Anda di halaman 1dari 6

Pemberontakan PRRI/Permesta didahului dengan pembentukan dewan-dewan di

beberapa daerah di Sumatera, antara lain


1. Dewan Banteng di Sumatera Barat oleh Letnan Kolonel Achmad Husein (20
Desember 1956) ;
2. Dewan Gajah di Medan oleh Kolonel Maludin Simbolon (22 Desember 1956) dan
3. Dewan Manguni di Manado oleh Letnan Kolonel Ventje Sumuai (18 Februari
1957).

Tanggal 10 tahun 1958 didirikan organisasi yang bernama Gerakan Perjuangan


Menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang diketuai oleh Letnan Kolonel
Achamad Husein. Gerakan Husein ini akhirnya mendirikan PRRI (Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittinggi dengan Syafruddin
Prawiranegara sebagai pejabat presiden. Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) pada
hari berikutnya mendukung dan bergabung dengan PRRI sehingga gerakan bersama
itu disebut PRRI/Permesta. Permesta yang berpusat di Manado tokohnya adalah
Letnan Kolonel Vantje Sumual, Mayor Gerungan, Mayor Runturambi, Letnan Kolonel
D.J. Samba, dan Letnan Kolonel Saleh Lahade.

Perdjuangan Semesta atau Perdjuangan Rakjat


Semesta disingkat Permesta adalah sebuah gerakan militer di Indonesia. Gerakan
ini dideklarasikan oleh pemimpin sipil dan militer Indonesia Timur pada 2
Maret 1957 yaitu oleh Letkol Ventje Sumual.
Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu
kota Sulawesi. Awalnya masyarakat Makassar mendukung gerakan ini. Perlahan-lahan,
masyarakat Makassar mulai memusuhi pihak Permesta. Setahun kemudian,
pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado. Disini timbul kontak
senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata.
Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas dengan keadaan pembangunan
mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga mengetahui bahwa mereka juga
berhak atas hak menentukan diri sendiri (self determination) yang sesuai dengan
sejumlah persetujuan dekolonisasi. Di antaranya adalah :
1. Perjanjian Linggarjati,
2. Perjanjian Renville dan
3. Konferensi Meja Bundar yang berisi mengenai prosedur-prosedur dekolonisasi
atas bekas wilayah Hindia Timur.
Untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta dilaksanakan operasi gabungan
yang terdiri atas unsur-unsur darat, laut, udara, dan kepolisian. Serangkaian operasi
yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Operasi Tegas dengan sasaran Riau dipimpin oleh Letkol Kaharudin Nasution.
Tujuan mengamankan instansi dan berhasil menguasai kota. Pekanbaru pada
tanggal 12 Maret 1958.
2. Operasi 17 Agustus dengan sasaran Sumatera Barat dipimpin oleh Kolonel
Ahmad Yani berhasil menguasai kota Padang pada tanggal 17 April 1958 dan
menguasai Bukittinggi 21 Mei 1958.
3. Operasi Saptamarga dengan sasaran Sumatera Utara dipimpin oleh Brigjen
4. Operasi Sadar dengan sasaran Sumatera Selatan dipimpin oleh Letkol Dr. Ibnu
5. Sedangkan untuk menumpas pemberontakan Permesta dilancarkan operasi
gabungan dengan nama Merdeka di bawah pimpinan Letkol Rukminto
Hendraningrat, yang terdiri dari :
6. Operasi Saptamarga I dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Tengah, dipimpin
oleh Letkol Sumarsono.
7. Operasi Saptamarga II dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan, dipimpin
oleh Letkol Agus Prasmono.
8. Operasi Saptamarga III dengan sasaran Kepulauan Sebelah Utara Manado,
dipimpin oleh Letkol Magenda.
9. Operasi Saptamarga IV dengan sasaran Sulawesi Utara, dipimpin oleh Letkol
Rukminto Hendraningrat
Pemberontakan dibawah pimpinan Andi Aziz ini terjadi di Makassar diawali
dengan adanya kekacauan di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan
tersebut terjadi karena adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti-
federal, mereka mendesak NIT segera menggabungkan diri dengan RI. Sementara
itu terjadi demonstrasi dari golongan yang mendukung terbentuknya Negara
federal. Keadaan ini menyebabkan muncul kekacauan dan ketegangan di
masyarakat.
Untuk menjaga keamanan maka pada tanggal 5 April 1950, pemerintah mengirimkan 1
batalion TNI dari Jawa. Kedatangan pasukan tersebut dipandang mengancam
kedudukan kelompok masyarakat pro-federal. Selanjutnya kelompok pro-federal ini
bergabung dan membentuk “Pasukan Bebas” di bawah pimpinan Kapten Andi Aziz. Ia
menganggap masalah keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawabnya.
Pada 5 April 1950, pasukan Andi Aziz menyerang markas TNI di Makassar dan berhasil
menguasainya bahkan Letkol Mokoginta berhasil ditawan. Bahkan Ir.P.D. Diapari
(Perdana Mentri NIT) mengundurkan diri karena tidak setuju dengan tindakan Andi Aziz
dan diganti Ir. Putuhena yang pro-RI. Tanggal 21 April 1950, Wali Negara NIT, Sukawati
mengumumkan bahwa NIT bersedia bergabung dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Untuk mengatasi pemberontakan tersebut pemerintah pada tanggal 8 April 1950
mengeluarkan perintah bahwa dalam waktu 4 x 24 Jam Andi Aziz harus melaporkan diri
ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kepada pasukan yang
terlibat pemberontakan diperintahkan untuk menyerahkan diri dan semua tawanan
dilepaskan. Pada saat yang sama dikirim pasukan untuk melakukan operasi militer di
Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh A.E. Kawilarang.
Pada tanggal 15 April 1950 Andi Aziz berangkat ke Jakarta setelah didesak oleh
Presiden NIT, Sukawati. Tetapi Andi Aziz terlambat melapor sehingga ia ditangkap dan
diadili sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Mayor H. V Worang terus melakukan
pendaratan di Sulawesi Selatan. Pada 21 April 1950 pasukan ini berhasil menduduki
Makassar tanpa perlawanan dari pasukan pemberontak.
Tanggal 26 April 1950, pasukan ekspedisi yang dipimpin A.E. Kawilarang mendarat di
Sulawesi Selatan. Keamanan yang tercipta di Sulawesi Selatan tidak berlangsung lama
karena keberadaan pasukan KL-KNIL yang sedang menunggu peralihan pasukan
APRIS keluar dari Makassar. Mereka melakukan provokasi dan memancing bentrokan
dengan pasukan APRIS.
Pertempuran antara APRIS dengan KL-KNIL terjadi pada 5 Agustus 1950. Kota
Makassar pada waktu itu berada dalam suasana peperangan. APRIS berhasil memukul
mundur pasukan lawan. Pasukan APRIS melakukan pengepungan terhadap tangsi-
tangsi KNIL.
Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai pada tanggal 20 September 1953. Dimulai
dengan pernyataan Proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia oleh Daud
Beureueh, proklamasi itu menyatakan diri bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara
Islam Indonesia (NII) dibawah kepemimpinan Imam Besar NII Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo.
Dalam persiapan melancarkan gerakan perlawanannya Daud Beureueh telah berhasil
mempengaruhi banyak pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie.
Pada masa-masa awal setelah proklamasi NII Aceh dan pengikut-pengikutnya berhasil
mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk beberapa kota.

Alasan pertama yang menjadi latar dari gerakan DI/TII Aceh adalah kekecewaan para
tokoh pimpinan masyarakat di Aceh atas dileburnya provinsi Aceh kedalam
provinsiSumatera Utara yang beribukota di Medan. Peleburan provinsi itu seakan
mengabaikan jasa baik masyarakat Aceh ketika perjuangan mempertahankan
kedaulatan Negara Republik Indonesia dimasa revolusi fisik kemerdekaan Indonesia
(1945-1950).
Kekhawatiran kembalinya kekuasaan para ulee balang yang sejak lama telah menjadi
pemimpin formal pada lingkup adat dan politik di Aceh [1][2]. Keinginan dari masyarakat
Aceh untuk menetapkan hukum syariah dalam kehidupan mereka. [3]
Sejarawan berkebangsaan Belanda, Cornelis Van Dijk, menyebutkan. Kekecewaan
Daud Beureueh terhadap Jakarta semakin berat dengan beredarnya rumor tentang
sebuah dokumen rahasia dari Jakarta. Dokumen itu disebut-sebut dikirim oleh Perdana
Menteri Ali Sastroamidjojo yang isinya berupa perintah pembunuhan terhadap 300
tokoh masyarakat Aceh. Rumor ini disebut sebagai les hitam. Perintah tersebut
dikhabarkan diambil oleh Jakarta berdasarkan kecurigaan dan laporan bahwa Aceh
sedang bersiap buat sebuah pemberontakan guna memisahkan diri dari negara
Indonesia.
Gerakan 30 September (dahulu juga disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI), Gestapu (Gerakan
September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi
selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di saat tujuh perwira tinggi
militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha
percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.

Latar belakang[sunting | sunting sumber]

Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965

Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di
luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta,
ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang
mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta
anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan
sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.

Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit
presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata
dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem
"Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan
anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis,
Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.

Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional
dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan
masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign
reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa yang
terjadi pada 23 Januari 1950dimana kelompok milisi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang ada di
bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan komandan Depot
Speciale Troepen (Pasukan Khusus) KNIL, masuk ke kota Bandung dan membunuh semua orang
berseragam TNI yang mereka temui. Aksi gerombolan ini telah direncanakan beberapa bulan
sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.

Latar belakang[sunting | sunting sumber]


Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling
telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang
diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama
organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan
bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah
mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga
mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di
kota Medan.

Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menelepon Letnan Jenderal Buurman van
Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor. Westerling
menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan Westerling
berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang telah
mendengar berbagai kabar, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya
penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya Westerling.

Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan
kedaulatan" pada 27 Desember 1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan
tersebut, tapi van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling.

Anda mungkin juga menyukai