Alasan pertama yang menjadi latar dari gerakan DI/TII Aceh adalah kekecewaan para
tokoh pimpinan masyarakat di Aceh atas dileburnya provinsi Aceh kedalam
provinsiSumatera Utara yang beribukota di Medan. Peleburan provinsi itu seakan
mengabaikan jasa baik masyarakat Aceh ketika perjuangan mempertahankan
kedaulatan Negara Republik Indonesia dimasa revolusi fisik kemerdekaan Indonesia
(1945-1950).
Kekhawatiran kembalinya kekuasaan para ulee balang yang sejak lama telah menjadi
pemimpin formal pada lingkup adat dan politik di Aceh [1][2]. Keinginan dari masyarakat
Aceh untuk menetapkan hukum syariah dalam kehidupan mereka. [3]
Sejarawan berkebangsaan Belanda, Cornelis Van Dijk, menyebutkan. Kekecewaan
Daud Beureueh terhadap Jakarta semakin berat dengan beredarnya rumor tentang
sebuah dokumen rahasia dari Jakarta. Dokumen itu disebut-sebut dikirim oleh Perdana
Menteri Ali Sastroamidjojo yang isinya berupa perintah pembunuhan terhadap 300
tokoh masyarakat Aceh. Rumor ini disebut sebagai les hitam. Perintah tersebut
dikhabarkan diambil oleh Jakarta berdasarkan kecurigaan dan laporan bahwa Aceh
sedang bersiap buat sebuah pemberontakan guna memisahkan diri dari negara
Indonesia.
Gerakan 30 September (dahulu juga disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI), Gestapu (Gerakan
September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi
selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di saat tujuh perwira tinggi
militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha
percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di
luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta,
ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang
mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta
anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan
sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit
presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata
dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem
"Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan
anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis,
Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional
dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan
masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign
reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa yang
terjadi pada 23 Januari 1950dimana kelompok milisi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang ada di
bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan komandan Depot
Speciale Troepen (Pasukan Khusus) KNIL, masuk ke kota Bandung dan membunuh semua orang
berseragam TNI yang mereka temui. Aksi gerombolan ini telah direncanakan beberapa bulan
sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.
Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menelepon Letnan Jenderal Buurman van
Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor. Westerling
menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan Westerling
berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang telah
mendengar berbagai kabar, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya
penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya Westerling.
Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan
kedaulatan" pada 27 Desember 1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan
tersebut, tapi van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling.