Anda di halaman 1dari 7

PEMIKIRAN TRADISIONALISME JAWA SOEHARTO PADA ERA ORDE BARU

Bayu Baskoro F, Dwinanda Mahardika, M.Lutfi, Putri Edtrieka

Pendahuluan
Sejarah pemikiran politik Indonesia tidak terlepas dari tradisi yang melekat pada kehidupan
masyarakat, sebagai contoh tradisi Jawa. Pada tulisan ini kami akan membahas mengenai beberapa
pemikiran tradisionalis Jawa yang berpengaruh dalam gaya kepemimpinan dan pengambilan kebijakan
dari dua tokoh terkemuka pada masa Orde Baru, yaitu Soeharto.

Untuk menjelaskan bagaimana pemikiran tradisionalis jawa tokoh tersebut, ada baiknya kita juga
memperhatikan latar belakang keluarga yang merupakan hal dasar dan turut serta dalam mempengaruhi
pemikiran dan gaya kepemimpinannya tersebut.

Latar Belakang Keluarga Soeharto


Soeharto dilahirkan pada tanggal 8 Juni tahun 1921 di rumah orang tuanya yang sederhana di
desa kemusuk, dusun terpencil di daerah Argomulyo, Godean, sebelah barat kota Yogyakarta. Ayahnya
bernama Kertosodiro dan Ibunya bernama Sukirah. Ketika berumur delapan tahun Soeharto mulai
bersekolah tetapi ia sering berpindah-pindah sekolah. Ditahun 1941 tepatnya di Sekolah Bintara,
Gombong di Jawa Tengah, Soeharto terpilih sebagai Prajurit Teladan, sejak kecil ia memang bercita-cita
menjadi seorang tentara atau militer.

Kemudian pada tanggal 5 Oktober 1945 setelah Indonesia merdeka, Soeharto kemudian resmi
menjadi anggota TNI. Setelah itu kemudian Soeharto menikahi Siti Hartinah atau Ibu Tien yang merupakan
anak seorang Mangkunegaran pada tanggal 27 Desember 1947 dimana usia Soeharto ketika itu 26 tahun
dan Siti Hartinah atau Ibu Tien berusia 24 tahun. Dari pernikahannya kemudian ia dikarunia enam orang
anak yaitu Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo
Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih.

Kepemimpinan Soeharto
Secara sederhana masa pemerintahan Soeharto (1966-1998) dapat dibagi menjadi tiga periode
yang masing-masing terdiri dari masa awal, masa perkembangan/kejayaan, dan akhirnya masa
penurunan/kejatuhan.

Cara pandang sinkretisme-Intergralistik serupa terlihat ketika Soeharto mengelompokan partai-


partai dengan aliran ideologis yang berbeda-beda ke dalam golongan nasionalis di satu pihak, dan
golongan agama di pihak lain, pada 1970. Di dalam kelompok golongan nasionalis dicoba dilebur
partai-partai berbasis ideologi nasionalis dan partai-partai kristen (PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan partai
katolik), sedangkan di dalam kelompok golongan agama digabungkan partai-partai Islam (NU, Parmusi,
PSII, dan Perti). Pengelompokan ideologis inilah yang kemudian diwujudkan dalam fusi partai pada 1973
yang hakikatnya merupakan fusi ideologis. Kelompok yang pertama melahirkan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI), sedangkan kelompok kedua melahirkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Puncak berlakunya deideologisasi ala Soeharto ini adalah berlakunya asas tunggal pancasila bagi
semua organisasi politik dam organisasi kemasyarakatan pada 1985. Loyalitas terhadap Nasakom menjadi
ukuran bagi Soekarno memilih lawan dan kawan politik, begitu pula yang dilakukan Soeharto dengan asas
tunggal pancasila dan UUD 1945 versi subyektif rezim yang dipimpinnya.

Dari kutipan di atas dapat dilihat Soeharto memakai konsep Sinkretisme dan Integralistik.
Pengertiann Negara yang Intergralistik adalah bangsa yang teratur, persatuan rakyat yang tersusun, maka
pada dasarnya tidak akan ada dualisme staat dan individu. Tidak akan ada pertentangan antara susunan
staat dan susunan hukum individu, tidak akan ada dualisme staat und staatsfreie Gesellschaft tidak akan
membutuhkan jaminan oleh karena itu individu tidak lain ialah suatu bagian organik dari staat yang
mempunyai kedudukan dan kewajiban tersendiri untuk turut menyelenggarakan kemuliaam staat, dan
sebaliknya oleh karena staat bukan suatu badan kekuasaan atau raksasa politik yang berdiri di luar
lingkungann suasana kemerdekaaan.
Tiap tiap negara mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri berhubungan dengan riwayat dan
corak masyarakatnya. Oleh karena itu politik pembangunan Negara Indonesia harus disesuaikan dengan
social structuur masyarakat Indonesia yang nyata pada masa sekarang, serta harus disesuaikan dengan
panggilan zaman, misalnya cita-cita Negara Indonesia dalam lingkungan Asia Timur Raya.

Sebagai contoh negara Soviet Rusia pada masa sekarang ialah diktatur proletariat (Kepemimpinan
Rakyat Pekerja). Lain negara seperti Jerman nasional sosialis. Negara tersebut berdasar atas aliran pikiran
negara totaliter. Kalau kita meninjau negara Asia berdasar atas persatuan lahir batin yang kekal antara
Yang Maha Tenno Haika, negara dan rakyat Nippon seluruhnya. Keluarga Tennoo yang dinamakan
khositu ialah keluarga yang terutama. Dasar persatuan ini sangat sesuai pula dengan corak masyarakat
Indonesia. setelah kita meninjau dengan ringkas contoh dari sifat negeri-negeri lain, maka dapat ditarik
kesimpulan yang mana sesuai dan tdiak sesuai dengan lembaga sosial (struktur sosial) dari masyarakat
Indonesia yang asli. Seperti yang kita ketahui struktur sosial Indonesia yang asli dicipatakan dari
kebudayaan indonesia yang berasal dari pikiran atau semangat kebatinan bangsa Indonesia maka
semangat kebatinan, struktur keruhanian dari bangsa Indonesia bersifat dan bercita-cita persatuan hidup,
persatuan kawulo dan gusti yaitu persatuan antara dunia luar dan dunia batin antara mikrokosmos dan
makrokosmos antara rakyat dan pemimpinnya.

Manusia sebagai seseorang tidak terpisah dari soerang lain atau dari dunia luar. Golongan-
golongan manusia malah segala golongan mahkluk segala sesuatu bercampur-baur dan bersangkut-paut
segala sesuatu saling mempengaruhi dan saling bersangkut paut inilah ide totaliter atau ide integralistik
dari negara.

Presiden Indonesia sering disepadankan dengan pahlawan-pahlawan Jawa. Soekarno yang ramah
dan menyenangkan adalah Ratu Adil, sang pembunuh naga yang kisahnya tentang pembebasan
Nusantara sudah diramalkan dalam sebuah buku nujum pada abad ke-12. Pengganti Soekarno, Soeharto,
pada awalnya disamakan dengan Werkudara yang dikenal lebih suka memasuki peperangan dengan
berjalan kaki ketimbang menunggu kereta kencana. Ketika kedua orang itu duel, Soeharto bertindak
dengan gerak lamban. Terbukti pasca huru-hara 1965, Soeharto tidak langsung mengambil alih kekuasaan,
melainkan menghabisi para pemberontak atau yang dicurigai sebagai komunis, serta mendesak
Soekarno untuk mengecam sekutu-sekutu komunisnya. Pergerakan Soeharto menuju kekuasaan
mengikuti langkah strategi kebudayaan Jawa, yakni alon-alon asal kelakon yang berarti biar berjalan
lambat asal terselesaikan semuanya. Kebudayaan Jawa mempunyai pengaruh bagi Soeharto dalam
menjalankan pemerintahannya. Soeharto sangat dipengaruhi oleh akar budayanya yang berasal dari
Kemusuk, Jawa Tengah. Gaya pemikiran Soeharto ditandai oleh perenungan, penghitungan dan
penguasaan batin yang menampakkan dirinya dalam aturan-aturan moral maupun praktis tertentu.
Struktur kepribadian dan emosinya, susunan kerangka berpikirnya, serta persepsinya tentang makna dan
arah historis memang sangat dipengaruhi oleh adat dan kepercayaan Jawa.

Dalam menguasai politik di Indonesia dan juga mempertahankan kekuasaannnya, Soeharto


menggunakan sistem patronase atau bapakisme. Budaya membangun suatu rekanan di era Soeharto, juga
merupakan salah satu contoh sistem patronase. Budaya patronase merupakan salah satu pemikiran luhur
Jawa, dimana seorang bawahan sebagai bentuk pengabdian memberikan sebagian rezekinya kepada
atasan. Karena pada saat itu, atasanlah yang memberi tanah garapan (hubungan patron-klien). Oleh
karena itu, seorang bawahan harus pada suatu waktu memberikan pisungun berupa asok glondhong
miwah pengarem-arem atau upeti.

Kekuasaan Jawa memang hampir seluruh kekuasaan terpusat pada raja. Hal ini dapat dilihat dari
konsep kerajaan Mataram yang menggunakan konsep keagunbinataraan. Kekuasaan besar yang wenang
wisesa ing sanagari, dalam konteks pewayangan sering dinamakan gung binathraha, bau dendha
nyakrawati (sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia). Oleh karena itu raja
berhak mengambil keputusan apa saja termasuk keputusan ia untuk melakukan apapun untuk
kerajaannya termasuk yang ada di dalamnya yang berarti termasuk hidup manusia di dalam kerajaannya.
Dengan demikian bila raja menginginkan sesuatu maka ia akan dengan mudah mendapatkan apa yang ia
inginkan dan ketika ada orang yang tidak mau memberikan apa yang diinginkan sang raja maka ia akan
diperangi. Sehingga dengan keadaan seperti demikian rakyat akan takut dan tunduk kepada raja.

Seorang pemimpin dalam berkuasa dalam konsep budaya Jawa harus diimbangi oleh beberapa
sikap seperti berbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta (berbudi luhur serta mulia dan bersifat adil
kepada siapa saja dan adil dengan penuh kasih sayang). Raja yang baik harus dapat menjaga
keseimbangan antara kewenangan yang besar dengan kewajiban yang besar pula. Tugas raja adalah
membuat dan mempertahankan agar negara tata titi tentrem, negari ingkang panjang punjung-punjung
pasir wukir lohjinawi gemah ripah karta tur raharja (negara yang aman tenteram, terkenal dengan
kewibawaannya, luas wilayahnya ditandai oleh pegunungan dan laut sebagai wilayahnya, di depannya
terhampar sawah luas dan sungai yang selalu mengalir). Sistem politik kerajaan sering disebut sistem
politik patrimonial, dalam hal ini raja sebagai penguasa dan juga pengayom seperti halnya peran bapak
dalam keluarga. Oleh karena itu, hubungan pengayom dengan pengayem (atau orang yang dilindungi oleh
pengayom) seperti hubungan patron dengan klien. Di dalam sistem ini bapak sangat menentukan dan
semua orang berusaha agar menjadi anak buah yang baik dan taat.

Sistem patronase di masa kepemimpinan Soeharto terdiri dari orang-orang yang cukup dekat
dengannya. Kita dapat melihat keterampilan Soeharto dalam membangun dan memelihara mesin
patronase yang rumit dan memastikan bahwa pelaku dalam Orde Baru secara terkompromikan dan
berutang budi kepadanya sehingga mereka tidak memiliki ruang manuver politik. Hal ini dicapai melalui
pembagian uang minyak secara profesional yang dikelola oleh Ibnu Sutowo, dan melalui alokasi piawai
peluang-peluang bisnis. Ketika mereka yang tidak puas akan kebijakan dan kepemimpinannya yang
kemungkinan akan menjadi masalah baginya, mereka pelan-pelan digeser ke bidang-bidang yang
memberikan status serta peluang bisnis yang sulit mereka tolak. Dalam hal ini, dapat kita hubungkan
dengan salah satu budaya Jawa yakni belantik (dagang sapi) yang sebetulnya budaya ini adalah budaya
tawar menawar agar terjadi kesepakatan (harmonisasi). Namun budaya ini telah disalah artikan dengan
tawar menawar jual beli kekuasaan. Dengan sistem patronasenya pula, Soeharto dapat menghancurkan
lawan-lawan politiknya. Para lawan politiknya yang tidak bisa disuap harus menyadari bahwa mereka akan
menanggung hukuman yang cukup berat. Hal ini dapat dicontohkan dengan dalam memerangi lawan-
lawan politiknya (seperti A. H. Nasution, Mokoginta, M. Jasin, Hugeng, Ali Sadikin, Mohammad Natsir,
Burhanudin Harahap, dan Syafruddin Prawiranegara-dalam Petisi 50), ia selalu berhati-hati dengan
pertama-tama mengucilkannya sehingga lawan politik tersebut tidak mampu memperoleh dukungan
dalam jumlah yang besar. Hal ini akan membuat lawan politiknya tidak dapat berbuat banyak dan akhirnya
pendapat-pendapat miring mengenai kepemimpinannya akan hilang dengan sendirinya.

Penutup
Vincent Lemieux, seorang pakar politik Perancis menyatakan suatu teori yang disebut teori
patronase politik. Teori patronase politik adalah teori yang mengatakan bahwa patronase adalah suatu
dipensasi dari suatu keberhasilan, seperti pekerjaan kantor, kontrak-kontrak, pembagian-pembagian atau
hal-hal lain yang mempunyai berharga yang berasal dari seorang patron (seseorang yang mengontrol
dispensasi) kepada rekannya. Sebagai gantinya, rekanan tersebut akan memberikan suatu penghargaan
yang sama atau senilai, seperti memilih partai Patron atau menyumbang sejumlah uang ataupun sejumlah
pekerja untuk diperkerjakan dalam kampanye pemilihan umum. Budaya membangun suatu rekanan di
era Soeharto, merupakan salah satu contoh sistem patronase. Dalam hal ini, atasan dan bawahan seperti
halnya hubungan patron-client. Suwardi Endaswara menyebutnya sebagai fenomena bapakisme, yang
dikenal dengan istilah ABS (Asal Bapak Senang). Oleh karena itu, seorang bawahan harus pada suatu waktu
memberikan pisungun berupa asok glondhong miwah pengarem-arem atau upeti.
Patronase dapat diartikan sebagai sistem politik yang berlandaskan hubungan pribadi antara
patron (pemimpin) dan klien (pengikutnya). Masing-masing pihak memiliki peran yang saling melengkapi.
Klien menawarkan dukungan politik dan penghormatan terhadap patron dalam bentuk-bentuk seperti
kepatuhan, bahasa yang hormat, hadiah, dan lain-lain. Kemudian patron menawarkan kebaikan,
pekerjaan dan perlindungan terhadap kliennya. Seringkali dalam birokrasi modern pun masih terjadi
sistem patronase, di mana norma birokrasi di kalangan masyarakatnya rendah sedangkan birokrasi
vertikalnya memiliki solidaritas yang kuat. Pengertian patronase pada budaya Jawa, adalah sebagai
bentuk pengabdian seorang bawahan kepada atasannya yang telah memberikan keamanan dan
kenyamanan dalam kehidupan sehari-harinya. Di masa orde baru, Soeharto menekankan pentingnya
hubungan yang horizontal terhadap rakyatnya meskipun jiwa dari hubungan tersebut adalah vertikal satu
arah. Banyak contoh mengenai sifat kejawaan dari Soeharto, seperti ia mewakili sosok lama era para raja
kuno Jawa yang terpengaruh oleh konsep-konsep feodal kuno. Secara sadar ataupun tidak, ia tampaknya
berupaya mereorganisasi Indonesia yang modern menjadi seperti kerajaan Jawa, baik dalam bentuk dan
juga semangatnya. Dalam penggunaan kata-kata misalnya, Soeharto suka melambangkan dirinya sebagai
Semar di dunia pewayangan yang tidak lepas dari unggah-ungguh dari kata-kata kesehariannya. Hal itu
perlukan agar masyarakat tidak sampai menggerutu, karena menggerutu inilah yang sering dilakukan oleh
orang Jawa, mereka sering melakukannya karena tidak punya keberanian untuk berpendapat.
Bila merunut pada Benedict R.O.G Anderson mengenai teori kekuasaan Jawa, dapat dilihat bagaimana
Soeharto terpengaruh oleh pemikiran Jawa mengenai kekuasaan. Kekuasaan memiliki ciri-ciri yaitu
pertama, kekuasaan itu konkrit, artinya kekuasaan itu adalah bentuk realitas seperti kekuatan yang ada
pada benda-benda seperti batu, tanah, air, dan api. Bila dibandingkan dengan pemikiran barat, kekuasaan
haruslah hubungan antara orang dengan orang, manusia dengan manusia. Dalam kekuasaan Jawa tidak
ada garis yang tegas antara zat organik dan zat anorganik. Sumber dari kekuasaan adalah adil kodrati.
Kedua, kekuasaan itu homogen, artinya kekuasaan itu bersumber dari satu hal, yang dalam hal ini adalah
Sang Pencipta. Ketiga, kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan. Contohnya, ketika Mataram Lama
masih berjaya, mereka membangun bangunan-bangunan monumental. Karena rakyatnya tidak senang
dengan kerajaannya, maka rakyat Mataram Lama pindah ke Jawa Timur dan terjadi akumulasi kekuasaan.
Dengan adanya kerajaan di Jawa Timur maka kerajaan Mataram Lama makin merosot. Dan keempat,
kekuasaan di alam semesta selalu tetap. Karena kekuasaan bukan hasil dari interaksi. Alam semesta juga
tidak bertambah luas ataupun menyempit sehingga kekuasaan adalah hal yang stabil.

Kekuasaan Jawa memang hampir seluruh kekuasaan terpusat pada raja. Hal ini dapat dilihat dari konsep
kerajaan Mataram yang menggunakan konsep keagunbinataraan. Kekuasaan besar yang wenang wisesa
ing sanagari, dalam konteks pewayangan sering dinamakan gung binathraha, bau dendha nyakrawati
(sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia). Oleh karena itu raja berhak
mengambil keputusan apa saja termasuk keputusan ia untuk melakukan apapun untuk kerajaannya
termasuk yang ada di dalamnya yang berarti termasuk hidup manusia di dalam kerajaannya.

Dengan demikian bila raja menginginkan sesuatu maka ia akan dengan mudah mendapatkan apa
yang ia inginkan dan ketika ada orang yang tidak mau memberikan apa yang diinginkan sang raja maka ia
akan diperangi. Sehingga dengan keadaan seperti demikian rakyat akan takut dan tunduk kepada raja.
Rakyat yang tidak berani menyuarakan pendapatnya kepada pimpinannya, seperti ajaran Jawa yang
berbunyi yen mlaku ojo sok ndangak mundhak kesandhung, mulo luwih becik tumungkulo. Artinya bila
jalan jangan suka melihat ke atas oleh karena bisa kesandung, maka itu lebih baik melihatlah ke bawah.
Maksudnya supaya di dalam kehidupan janganlah suka melihat ke atas, ke arah mereka yang kaya dan
berharta. Lebih baik memandang ke bawah, ke arah mereka yang kurang berada. Ajaran itu kemudian
menjadi suatu legitimasi untuk para pemimpin Jawa dalam mempertahankan kekuasaannya, karena tiap
rakyatnya pasti mengetahui kalimat ajaran itu.

Sistem patronase di masa kepemimpinan Soeharto terdiri dari orang-orang yang cukup dekat
dengannya. Sifat chauvinisme Jawa amat nyata terlihat, seperti yang kita ketahui bahwa menteri,
pimpinan instansi, kepala angkatan dalam Orba kebanyakan bersal dari orang Jawa, yang namanya
dengan jelas berakhiran o. Tentu, ini bukan semata karena etnis Jawa adalah kelompok masyarakat
terbesar di Indonesia, melainkan lebih kepada kepercayaan kolusif yang dimiliki Soeharto kepada orang-
orang yang dianggap memiliki kedekatan emosional dengannya Kita dapat melihat keterampilan Soeharto
dalam membangun dan memelihara mesin patronase yang rumit dan memastikan bahwa pelaku dalam
Orde Baru secara terkompromikan dan berutang budi kepadanya sehingga mereka tidak memiliki ruang
manuver politik. Hal ini dicapai melalui pembagian uang minyak secara profesional yang dikelola oleh Ibnu
Sutowo, dan melalui alokasi piawai peluang-peluang bisnis. Dalam hal ini, dapat kita hubungkan dengan
salah satu budaya Jawa yakni belantik (dagang sapi) yang sebetulnya budaya ini adalah budaya tawar
menawar agar terjadi kesepakatan (harmonisasi). Namun budaya ini telah disalah artikan dengan tawar
menawar jual beli kekuasaan. Perilaku para politisi tersebut berdampak pada timbulnya praktek korupsi.
Budaya Gotong Royong yang sebetulnya adalah budaya Jawa yang luhur tetapi kembali disalah artikan
oleh para politisi Orde Baru. Budaya gotong royong di masa orde baru menjadi budaya bergotong royong
dalam tutup-menutupi kesalahan dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan pejabat-pejabat negara.

Dengan sistem patronasenya pula, Soeharto dapat menghancurkan lawan-lawan politiknya. Para
lawan politiknya yang tidak bisa disuap harus menyadari bahwa mereka akan menanggung hukuman yang
cukup berat. Hal ini dapat dicontohkan dengan dalam memerangi lawan-lawan politiknya (seperti A. H.
Nasution, Mokoginta, M. Jasin, Hugeng, Ali Sadikin, Mohammad Natsir, Burhanudin Harahap, dan
Syafruddin Prawiranegara-dalam Petisi 50), ia selalu berhati-hati dengan pertama-tama mengucilkannya
sehingga lawan politik tersebut tidak mampu memperoleh dukungan dalam jumlah yang besar. Hal itu
akan membuat lawan politiknya tidak dapat berbuat banyak dan akhirnya pendapat-pendapat miring
mengenai kepemimpinannya akan hilang dengan sendirinya.
Menurut Mochtar Lubis, dalam pidato kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki tahun 1977,
sistem demokrasi di Indonesia masih dikuasai oleh jiwa feodalisme dan sifat hipokrisi manusia. Manusia
Indonesia memiliki empat ciri-ciri. Pertama adalah hipokrit alias munafik, orang Indonesia suka bicara lain
di muka, lain di belakang. Kedua adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatan, kelakuan
ataupun pikirannya. Ketiga, jiwa feodalnya masih kental dan yang keempat adalah manusia Indonesia
masih percaya takhayul. Dari pemaparan ciri-ciri tersebut, terlihat bahwa sikap dan karakter masyarakat
Jawa yang dominan mengisi pola hidup kenegaraan bangsa Indonesia, itulah yang disindir oleh Mochtar
Lubis. Dengan banyaknya kuantitas masyarakat Jawa di negeri ini, bukanlah hal yang sulit untuk
masyarakat Jawa memenangkan berbagai jabatan-jabatan penting di pemerintahan. Kemudian saudara-
saudara Jawa kita yang berada di sektor pemerintahan itu memungkinkan terjadinya masuknya pola
kebudayaan Jawa dalam kehidupan politik Indonesia, dan mewariskan hal tersebut kepada generasi-
generasi di bawahnya.
Bila kita lihat teori kekuasaan, kekuasaan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi
untuk mempengaruhi orang lain, sehingga tingkah laku orang tersebut akan mengikuti orang yang
mempengaruhinya. Kekuasaan merupakan upaya untuk mencapai tujuan-tujuan atau kepentingan-
kepentingan kolektif dengan cara membuat keputusan-keputusan yang mengikat, dan jika ada
perlawanan akan diberikan sanksi. Pemimpin dalam suatu negara dapat dikatakan seperti raja. Raja dalam
konteks pemikiran tradisionalisme Jawa, memiliki kekuasaan yang terpusat padanya. Sama halnya yang
terjadi pada masa kepemimpinan Soeharto di mana sebagai presiden Republik Indonesia, ia memiliki
kekuasaan yang dapat dikatakan hampir tiada batas. Tindak korupsi model Orde Baru yang menekankan
pada kepentingan kolektif, sebagai akibat sistem patronase adalah ciri politik pada masa itu, ciri yang
sangat dekat dengan kolusi dan upeti. Namun, Soeharto mungkin lupa jika di dalam pemikiran Jawa,
kekuasaan tersebut harus diimbangi oleh sikap-sikap berbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta, yang
berbudi luhur, mulia, adil dan penuh kasih sayang. Raja yang baik harus dapat menjaga keseimbangan
antara kewenangan yang besar dengan kewajiban yang besar pula.
DAFTAR PUSTAKA

Adam, Asvi Warman. 2006. Soeharto: Sisi Gelap Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Ombak.

Ali, Fachry dan Kholid Novianto. 1997. Politik Komunikasi Harmoko: Dari Rakyat ke Panggung Politik.
Jakarta: PT Intermasa.

Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Djafar, Zainuddin. 2005. Soeharto: Mengapa Kekuasaan Dapat Bertahan Selama 32 Tahun?. Depok:
FISIP UI Press.

Elson, R. E. 2005. Soeharto, Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Pustaka Minda Utama.

Endaswara, Suwardi. 2006. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Penerbit Cakrawala.

Harmoko. 1986. Komunikasi Sambung Rasa: Turut Menggugah Hati Rakyat Memacu Pembangunan
Nasional. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

Ramadhan K.H dan G.Dwipayanan. 1989. Soeharto : Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Jakarta: PT
Citra Lamtoro Gung Persada.

Schwarz. 1994. A Nation in Waiting. Colorado: Westview Press.

Kahin, Audrey R. 2005. Dari Pemberontakan ke Integrasi, Sumatera Barat dan politik Indonesia 1926-
1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Chapter Tradisionalisme Jawa yang diberikan dosen sebagai bahan ajar mata kuliah Pengantar
Sejarah Pemikiran Politik Indonesia.

Pidato Kebudayaan Mochtar Lubis di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada tahun 1977. Dibukukan oleh
Yayasan Obor Indonesia dengan judul Manusia Indonesia, 2001.

Anda mungkin juga menyukai