Anda di halaman 1dari 5

PEMIKIRAN POLITIK SOEHARTO

Dalam Pemikiran Politik Indonesia, terdapat berbagai macam pemikiran politik,


diantaranya pemikiran politik komunis, sosialis, nasionalis, islam, dan tradisionalisme jawa.
Pemikiran politik tradisionalisme jawa merupakan salah satu pemikiran politik yang berkembang
di Indonesia dan menarik untuk dikaji. Pemikiran politik tradisionalisme jawa dapat dilihat dari
beberapa aspek, diantaranya konsep kekuasaan, konsep kepemimpinan, hubungan penguasa dan
yang dikuasai, dan pergantian kepemimpinan. Konsep kekuasaan dalam adat jawa sangat
berlawanan dengan konsep kekuasaan barat. Dalam adat jawa, kekuasaan bersifat konkret, yang
berarti seseorang yang mempunyai kekuasaan adalah dia yang mempunyai kekuatan yang sakti.
Kekuasaan juga dilihat sebagai sesuatu yang konstan/tetap. Kuantitas kekuasaan yang ada di
dunia ini tidak dapat berkurang maupun bertambah. Apabila ada seseorang yang melakukan
pemusatan kekuasaan di suatu tempat maka dia akan mengurangi kekuasaan yang dimiliki oleh
orang lain. Seorang pemimpin yang mempunyai kekuasaan tidak membutuhkan legitimasi
sebagaimana yang dikonsepsikan oleh barat. Hal ini dikarenakan masyarakat akan otomatis
mentaati segala peraturan yang datang dari pemimpin tersebut. Kesaktian dan ketenangan
merupakan indikator yang dapat dilihat dari kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang. Hal ini
dapat dibuktikan dengan kemampuannya dalam menguasai suatu wilayah, mengendalikan
wilayah dan penduduk yang ada di wilayah tersebut. Dalam pandangan jawa kekuasaan bersifat
metempiris, karena kekuasaan diperoleh bukan dari kekayaan, relasi, atau keturunan, melainkan
melalui semedi (berdiam diri) dengan tujuan memperoleh kekuatan dari Ilahi.

Konsep kepemimpinan dalam adat jawa tergambarkan dari 8 sifat unggul pemimpin
(Hasta Brata), diantaranya; Matahari, pemimpin memiliki sifat berhati-hati dalam membimbing
bawahannya. Pemimpin mampu memberikan dorongan energi kepada para bawahan secara
perlahan, yang tanpa disadari akan membimbing bawahan menjalankan tujuan bersama.

Angin, pemimpin memiliki sifat teliti ketika turun langsung memperhatikan atau
mengawasi kinerja semua bawahan. Pemimpin harus berada dekat dengan bawahan tanpa
membedakan statusnya. Bulan, pemimpin memiliki sifat periang yang mampu menyenangkan
hati para bawahannya. Pemimpin mampu memberikan motivasi kepada parabawahan agar
performa kinerjanya meningkat. Api, pemimpin memiliki sifat tegas dalam memerintah,
terutama saat memberikan hukuman pada bawahan yang melakukan kesalahan. Pemimpin harus
berani mengambil keputusan untuk menghukum bahkan mengeluarkan bawahan yang bersalah
dalam kelompok. Bumi, pemimpin memiliki sifat murah hati dan adil terhadap semua
pengikutnya. Pemimpin bersikap adil dengan memberikan penghargaan bagi para bawahan yang
berprestasi tanpa membedakan statusnya. Langit, pemimpin memiliki sifat mampu memberi nilai
tambah keilmuan kepada para bawahannya. Pemimpin harus memiliki bekal keluasan
pengetahuan atau kompetensi yang dapat diajarkan kepada para bawahan. Samudra, pemimpin
memiliki sikap terbuka dan mampu menampung aspirasi dari para bawahannya. Pemimpin
hendaknya bersikap bijak dalam menyikapi setiap kritik dari bawahan. Bintang, pemimpin
memiliki sifat percaya diri dalam memegang teguh prinsip yang diyakininya. Prinsip kuat yang
dimiliki pemimpin adalah pedoman bawahan dalam bekerjasama mencapai tujuan.

Pemikiran politik tradisionalisme jawa pernah menjadi ciri khas kepemimpinan salah satu
presiden Indonesia. Soeharto merupakan presiden ke-2 Indonesia dikenal dengan
kepemimpinannya yang mencerminkan adat jawa. Lengsernya Soekarno dari jabatannya sebagai
Presiden Republik Indonesia dan digantikan oleh Soeharto menunjukkan kesesuaian dengan
konsep kekuasaan tradisionalisme jawa yang bersifat konkrit dan jumlahnya konstan atau tetap,
yaitu berkurangnya kekuasaan pada soekarno menjadikan kekuasaan soeharto bertambah. Dalam
meraih kekuasaan, soeharto berpandangan bahwa menghimpun kekuasaan merupakan hal yang
lebih penting dibandingkan menggunakan kekuasaan. Soeharto menghimpun kekuatan bersama
militer dan memberantas siapa saja yang dianggap sebagai pemberontak sebelum dia
melengserkan soekarno. Hal ini membuktikan bahwa kekuasaan bersifat homogen. Di masa
kepemimpinannya, Soeharto menempatkan rekan-rekannya pada posisi-posisi penting dalam
pemerintahan. Selain itu, Soeharto juga menempatkan orang-orang kepercayaannya dalam
struktur militer, dengan harapan semakin memperkuat kekuasaannya. Hal ini menggambarkan
pemikiran politik tradisionalisme jawa yang dimana seorang penguasa harus mempunyai dan
mengumpulkan benda atau orang yang mempunyai kekuatan disekitarnya agar semakin
memperkuat posisi penguasa tersebut. Ide tentang orang-orang di sekeliling penguasa yang
memperkuat posisi penguasa juga ditemukan dalam sebuah bagian dalam pustaka klasik Jawa,
Kartawijoga, yang menggambarkan negara yang ideal dalam pandangan tradisional Jawa.
“Ketentraman tidak pernah terusik, karena negara tidak pernah terancam serbuan musuh dari
luar, dan tidak satu pun pembantu raja yang berkhianat.”

Dalam mempertahankan kekuasaan, Soeharto juga mempunyai cara lain yang cukup
berpengaruh dalam mengendalikan manuver politik di Indonesia. Rezim orde baru soeharto
membuat kebijakan tentang partai politik dengan melakukan fusi partai politik menjadi hanya
tiga partai politik. Partai-partai tersebut adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan
Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Hal ini dilakukan karena apabila jumlah
partai politik banyak, maka tuntutan terhadap pembagian kekuasaan semakin tinggi. Sedangkan
dalam pemikiran politik tradisionalisme jawa, pembagian kekuasaan secara konstitusional dan
federalisme memang dapat dianggap memperlemah kekuasaan.10 Selain itu, Soeharto menolak
konsep demokrasi ala barat yang menuntut persamaan hak dan persaingan bebas. Demokrasi ala
barat dianggap akan mengakibatkan berbagai ketidakadilan dan membahayakan bagi kestabilan
negara. Oleh karen itu, Soeharto mengganti konsep demokrasi ala barat menjadi Demokrasi
Pancasila yang dinilai lebih baik untuk Indonesia. Meskipun begitu, dalam penerapannya justru
banyak melanggar nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Contohnya, semakin
mengecilkan peran lembaga legislatif yang merupakan perwakilan dari rakyat. Dengan adanya
fusi partai politik dan penerapan “Demokrasi Pancasila”, Soeharto semakin mudah
mengendalikan situasi politik negeri ini sehingga kestabilan politiklah yang akan terlihat.

Soeharto mempunyai gaya kepemimpinan yang sentralistis dan hal ini sangat umum
ditemui dalam pemikiran politik tradisional Jawa karena sifat dari pemikiran politik
tradionalisme jawa ini sangat berorientasi pada pusat (centripetality). Soeriokoesoemo
menggunakan analogi keluarga yang dianggapnya sebagai negara dalam ukuran kecil dimana
sang ayah bertanggung jawab mengatur negara, sementara si ibu mengatur urusan ekonomi dan
anak-anak mengerjakan pekerjaan sesuai perintah orang tuanya. Artinya, kekuasaan dalam
negara memang harus diberikan pada “orang bijaksana” sebagai suatu pusat, yang juga dipilih
oleh orang bijak dan bukan oleh rakyat. Selain sentralistis, Soeharto mempunyai gaya
kepemimpinan yang mempersonal. Hal ini dapat dilihat bagaimana Soeharto menjadi sosok yang
sangat dihormati oleh masyarakat Indonesia. Gaya kepemimpinan yang seperti ini sesuai dengan
penggambaran negara idaman menurut Ki Reditanaja dimana sang raja yang bergelar Narasoma
sangat dihormati rakyat dan negara-negara lain; “begitu terpuji dan murah hatinya Sri Paduka,
hingga semalam suntuk pun tidak akan cukup untuk menceritakannya.”

Hubungan Soeharto dan Masyarakat Indonesia menggunakan Sistem Patronase.


Patronase dapat diartikan sebagai sistem politik yang berlandaskan hubungan pribadi antara
patron (pemimpin) dan klien (pengikutnya). Masing-masing pihak memiliki peran yang saling
melengkapi. Klien menawarkan dukungan politik dan penghormatan terhadap patron dalam
bentuk-bentuk seperti kepatuhan, bahasa yang hormat, hadiah, dan lain-lain. Kemudian patron
menawarkan kebaikan, pekerjaan dan perlindungan terhadap kliennya. Seringkali dalam
birokrasi modern pun masih terjadi sistem patronase, di mana norma birokrasi di kalangan
masyarakatnya rendah sedangkan birokrasi vertikalnya memiliki solidaritas yang kuat. Dalam
budaya Jawa, patronase adalah sebagai bentuk pengabdian seorang bawahan kepada atasannya
yang telah memberikan keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan sehari-harinya. Budaya
membangun suatu rekanan di era Soeharto, juga merupakan salah satu contoh sistem
patronase. Budaya patronase merupakan salah satu pemikiran luhur Jawa, dimana seorang
bawahan sebagai bentuk pengabdian memberikan sebagian rezekinya kepada atasan. Karena
pada saat itu, atasanlah yang memberi tanah garapan (hubungan patron-klien). Oleh karena itu,
seorang bawahan harus pada suatu waktu memberikan pisungun berupa asok glondhong miwah
pengarem-arem atau upeti.

Soeharto sangat pandai dalam menerapkan sistem patronasenya, dia menempatkan orang-
orang dekatnya yang mendukungnya untuk menjalankan sistem pemerintahan yang dia inginkan.
Orang-orang tersebut dapat dibuat berkompromi dan berutang budi kepadanya, sehingga mereka
tidak memiliki ruang manuver politik. Soeharto akan mengucilkan dan menghancurkan orang-
orang yang menolak kepemimpinanya. Siapa saja yang tidak bisa disuap harus menyiapkan diri
untuk menanggung hukuman yang cukup berat. Hal ini dibuktikan dengan sikap Soeharto dalam
memerangi lawan-lawan politiknya seperti A. H. Nasution, Mokoginta, M. Jasin, Hugeng, Ali
Sadikin, Mohammad Natsir, Burhanudin Harahap, dan Syafruddin Prawiranegara dalam Petisi
50 sehingga lawan politik tersebut tidak mampu memperoleh dukungan dalam jumlah yang
besar. Hal ini akan membuat lawan politiknya tidak dapat berbuat banyak dan akhirnya
pendapat-pendapat miring mengenai kepemimpinannya akan hilang dengan sendirinya.
DAFTAR PUSTAKA

Anggoro, Wahyu J. 2011. Studi Eksplorasi Konstrak Kepemimpinan Model Jawa: Asta Brata.
Jurnal Psikologi.

Tjaja, Amalya Fitria. Praktik Kepemimpinan Soeharto Dalam Perspektif Pemikiran Politik
Tradisionalisme Jawa, dalam Ki Reditanaja, “Negara Idaman”, dalam Herbert Feith dan Lance
Castles (Ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 (Jakarta: LP3ES, 1988).

Bayu Baskoro, Bayu. Pemikiran Tradisionalisme Jawa Soeharto Pada Era Orde Baru, dalam
Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai