Anda di halaman 1dari 38

Pemikiran Plato Dan Aristoteles Dalam

Kaitannya Dengan Cikal Bakal


Konsep Demokrasi
BY FIRDHAN SMART ON MAY 11, 2011

1. Pandangan Plato dan Aristoteles Mengenai Demokrasi


a. Plato
Nama Plato yang sebenarnya adalah Aristokles. karena dahi dan bahunya yang lebar, ia
memperoleh julukan Plato dari pelati senamnya. Plato dalam bahasa Yunani berasal
dari kata benda “:Platos” (Kelebarannya / Lebar). Ada yang mengatakan Plato lahir di
Athena, adapula yang mengatakan di pulau Aegenia. Begitu juga dengan tahun
kelahirannya yang tidak diketahui pasti ada yang mengatakan Plato lahir tahun 428 SM,
ada juga yang mengataakan tahun 427 SM.
Plato lahir dalam keluarga Aristokrat Athena yang turun temurun memiliki peranan
penting dalam kehidupan politik di Athena. Ayahnya bernama Ariston, seorang
bangsawan keturunan Kodrus, raja terakhir Athena yang hidup sekitar 1068 SM. Ibunya
bernama Periktione keturunan Solon.
Pada zaman Yunani jumlah penduduknya sangat kecil , orang-orang Yunani tidak
pernah mengenal sistem pemerintahan perwakilan. Badan yang berdaulat di Athena
adalah Majelisnya, suatu pertemuan massa yang terdiri dari penduduk pria dewasa
yang bersedia bersusah-susah untuk hadir.

Plato mengkritik demokrasi seperti itu, berdasarkan pendapatnya bahwa masyarakat


merupakan hakim yang tidak becus dalam banyak masalah politik. Masyarakat
cenderung memberikan penilaian berdasarkan kebodohan, dorongan hati, sentimen,
dan prasangka. Yang paling buruk adalah demokrasi seperti itu mendorong munculnya
pemimpin-pemimpin yang tidak becus. Karena pemimpin memperoleh
kepemimpinannya dari masyarakat, pemimpin cenderung mengikuti tingkat masyarakat
demi keamanan kedudukannya. Lagi pula, karena dalam demokrasi” setiap individu
bebas melakukan apa yang dikehendakinya”, pengaruhnya bersifat merusak.
Plato sangat kritis terhadap Demokrasi karena kekalahan Athena dalam perang
Peloponesos pada 405 SM. Bagi Plato, kekalahan Athena itu akibat dari ketidak
mampuan sistem pemerintahan Demokratis untuk memenuhi kebutuhan rakyat di
bidang politik, moral, dan spiritual.
Kekalahan Athena merangsang Plato menempuh karir politik apalagi ketika terbentuk
“oligarki-aristokrasi” semangat Plato terjun ke dunia politik semakin besar ketika
kelompok tiga puluh tyrannoi yang salah satunya adalah paman dan spupu Plato yang
menjadi diktator kejam dan jahat, bahkan Socrates guru yang amat dicintai, dikagumi,
dan dihormati Plato hendak diperalat bahkan terancam hukuman mati karena Socrates
menolak tawaran kelompok tersebut untuk menangkap dan membunuh seseorang yang
tidak bersalah.
Kelompok tiga puluh tyrrannoi hanya berkuasa delapan bulan, karena disingkirkan oleh
pemerintah demokrasi Athena. Pemulihan pemerintahan demokratis tersebut
memberikan harapan baru kepada Plato dan Socrates gurunya, akan tetapi harapan
Plato kandas ketika Socrates dihukum mati oleh pemerintahan demokratis dengan
tuduhan sebagai seorang penjahat, yang merusak kaum muda dan tidak mempercayai
dewa yang diimani di negara, malahan lebih percaya kerohanian yang baru.
Akibat kematian Socrates, ambisi Plato masuk ke dunia politik kandas. Plato mengambil
kesimpulan bahwa sistem pemeritah pada masa itu sangat buruk dan moralitas
penguasa amat bobrok, pemerintah akan menjadi baik dan mendatangkan kebahagiaan
apabila kekuasaan dalam negara dipimpin oleh seorang filsuf. Ide “filsuf raja” itulah yang
begitu mempengaruhi pemikiran Plato dalam Republic.
b. Aristoteles
Aristoteles dilahirkkan di Stragia kuno, Makedonia Yunani, pada tahun 384 SM. Ayah
Aristoteles bernama Nikomados seorang dokter. Aristoteles dibesarkan dalam suasana
ilmu kedokteran, ayahnya meninggal ketika ia masih keci, kemudian dia dibawah pindah
ke Atarneus, sebuah kota Yunani dan diasuh oleh saudara sepupunya yang bernama
Proksenos. Pada umur tiga puluh tahun ia belajar di akademi Plato, selama bertahun-
tahun Aristoteles benar-benar menentang Plato secara mendasar.
Pemerintahan demokratis bagi Aristoteles, bukanlah sesuatu yang ideal melainkan
hanya bentuk yang paling bisa berjalan. Preferensi personalnya terhadap monarki
sangat jelas terlihat dalam bukunya Politics. Dia memberikan sedikit dukungan pada
proposisi bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang paling sesuai
dengan watak manusia baik dari sudut pandang teoritik maupun praktik.
Meskipun Aristoteles selalu menentang Plato, namun Aristoteles sepakat dengan Plato
tentang sifat negatif dari demokrasi. Menurutnya, definisi kebebasan sebagai orang
bebas hidup menurut kehendak sendiri, dan demi keinginan sendiri adalah tidak betul.
Namun, seperti yang ditulisnya dalam politics: “Rakyat, secara individu berperluang
besar untuk dikuasai oleh amarah, atau dikuasai oleh perasaan lainnya sehingga,
dengan demikian, membuat penilain atau keputusan yang menyesatkan.
2. Konsep Demokrasi Plato dan Aristoteles
Melalui kritik Plato terhadap masyarakat-masyarakat yang tidak sempurna, di samping
demokrasi, mencakup timarki, oligarki, dan idealnya tentang masyarakat yang
sempurna. Yaitu suatu masyarakat yang diperintah oleh raja-raja filosof. Masyarakat
aristokratis ideal seperti hal tersebut, merupakakan antitesis demokratis.
Sedangkan dalam rencana Plato mengenai bentuk demokrasi, bahwa masing-masing
dan semua kelas memiliki hak yang sama untuk mempunyai wakil-wakilnya dalam tiga
cabang dari badan penguasa, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Selain itu, menurut Plato pengetahuan merupakan kriteria untuk seorang penguasa
yang sejati di dalam sebuah bentuk negara demokrasi. Penguasa yang sejati bukanlah
orang yang memerintah sedemikian rupa sehingga berdamai dengan baik dengan
rakyatnya, juga bukan orang yang memerintah dengan menghormati hukum.
Bagi Plato kepentingan orang-orang harus disesuaikan dengan kepentingan
masyarakat. Dengan demikian, Plato lebih cenderung untuk menciptakan adanya rasa
kolektivisme, rasa bersama, daripada penonjolan pribadi orang-perorang, menurut Plato
pembagian pekerjaan dikalangan masyarakat, walaupun pembagian pekerjaan itu
bukan terbatas pada ekonomi atau efisien kerja, melainan bersandar pada pada
kesadaran manusia. Jadi kesimpulannya Plato berpendapat suatu bentuk negara akan
berjalan dengan baik jika pembagian kerja dapat dijadikan sebagai konsekuensi dari
adanya timbal balik serta rasa saling memerlukan di antara manusia dalam kehidupan
masyarakat maupun negara. Plato mendasarkan pada prinsip larangan atas pemilikan
pribadi, baik dalam bentuk uang, harta, keluarga maupun anak.
Aristoteles menganggap suatu rezim akan menjadi ideal ketika rezim itu merupakan
perpaduan antara aristokrasi dan demokrasi, dimana menurut Aristoteles rezim tersebut
akan berjalan dengan baik jika benar-benar memadukan (anggota-anggota) dari
berbagai kelas menjadi satu komunitas tunggal .
Disinilah Plato bersepakat dengan Aristoteles yang menekankan konsepsi kedaulatan
hukum. Namun, meskipun Aristoteles memandang demokrasi lebih rendah dibanding
dengan otokrasi, kepercayaannya terhadap rakyat lebih tulus dibandingkan Plato. Inilah
alasan yang melatar belakangi kritik Aristoteles terhadap Plato gurunya. Tampaknya,
Plato lebih menekankan elemen monarki atau elemen oligarki dalam perpaduan
tersebut.
Di dalamnya monarki menjadi cair karena dibagi –bagi diantara beberapa pejabat,
sedangkan demokrasi menjadi lemah karena dibatasinya hak-hak pemilihan dan kontrol
pada suatu majlis primer yang kecil dan orang-orang terpilih. Rancangan Plato paling
banter dapat disebut oligarki atau monarki konstitusional, rancangan Aristoteles
merupakan suatu demokrasi yang terbatas, yang dia sebut sebagai polity suatu paduan
organis demokrasi dan aristokrasi (dalam pengertian bahwa para pejabatnya adalah
sekolompok kecil orang pilihan).
3. Bentuk Negara Ideal menurut Plato dan Aristoteles
Menurut Plato ada enam bentuk Negara, yakni tiga bentuk yang mengenal hukum dan
tiga bentuk yang tidak mengenal hukum. Dari golongan yang mengenal hukum, yaitu
negara yang memiliki undang-undang, bentuk yang terbaik adalah monarki, lalu
aristokrasi, dan kemudian demokrasi, oligarki, dan yang terburuk adalah tirani.
Yang menarik dari teori Plato tentang bentuk negara adanya dua bentuk demokrasi,
yakni demokrasi yang dari negara yang memiliki undang-undang dan demokrasi yang
tidak memiliki undang-undang. Demokrasi yang memiliki undang-undang adalah bentuk
yang terburuk, sedangkan yang tidak memiliki undang-undang adalah bentuk yang
terbaik. Jelas terlihat bahwa ke dua bentuk demokrasi itu memiliki tempat yang lebih bai
dari oligarki yang di dalam Republic memiliki peringkat pertama setelah demokrasi.
Dalam negara ideal Plato, semua orang harus hidup dengan moralitas yang baik dan
terpuji. Apalagi bagi yang memerintah dan berkuasa harus memiliki segala macam ilmu
pengetahuan dan sanggup berfikir secara filsafat
Plato juga beranggapan bahwa negara ideal hanya akan tercapai atas dasar budi
penduduknya, menurut Plato anak umur 10 tahun ke atas adalah urusan negara. Dasar
utama pendidikan anak-anak adalah gymnastic (senam) dan musik selain diberikan
pelajaran menulis, membaca, dan menghitung, budi yang halus dengan menjauhkan
lagu-lagu yang melemahkan jiwa, serta mudah menimbulkan nafsu buruk. Selain guna
membina solidaritas, suatu negara tidak akan kuat jika tidak percaya pada Tuhan
Secara keseluruhan bagi Aristoteles, suatu negara bisa dikatakan ideal jika di dalam
suatu negara dapat menghasilkan dan mendukung suatu kelas dari orang-orang
terhormat yang berbudaya seperti dirinya, biarpun dia menyadari bahwa semua itu tidak
mungkin terjadi.
Aristoteles beranggapan, jika ingin memperoleh sebuah tujuan negara, yang
dianjurkannya adalah mengenai cara mempertahankan tirani yang sepenuhnya seperti
yang dianjurkannya mengenai cara mempertahankan tirani yang sepenuhnya, seperti
yang telah dirincikannya dengan sungguh dingin. Aristoteles beranggapan untuk
menjalankan suatu pemerintahan tirani yang tepat, maka perlu diciptakan kebijakan
ketat. Yakni kegiatan kultural yang bersifat liberal harus dilarang dan rakyatpun harus
selalu dibuat takut, miskin, serta siap bekerja untuk membangun monumen-monumen
publik yang dahsyat. Selain itu, keadaan juga kadang-kadang harus diselingi dengan
perang untuk membuat rakyat tetap waspada dan memperlihatkan kebutuhan mereka
untuk mempertahankan pemimpin yang hebat.
Konstitusi yang ideal itu menurut Aristoteles, semacam campuran dari oligarki,
pemerintahan orang-orang tertentu berdasar pada harta, darah, atau keturunan,
kedudukan, pendidikan dan sebagainya di satu pihak dan demokrasi, pemerintahan
orang banyak, jadi berdasarkan dari pihak yang lain.
Aristoteles juga telah membagi kenegaraan dalam fungsi pembahasan, ini harus
diletakkan di atas segalanya, baik berlaku pada oligarki atau demokrasi, dan penguasa
yang tahu juga bersikap patuh dan tunduk. Apabila hukum merupakan ikatan moral,
maka keadilan adalah kebjikan.
Negara ideal menurut aristoteles dari segi ukran adalah seperti polis atau city state,
dikarenakan negara memiliki jenjang tertinggi dari satuan keluarga dengan desa, negara
memiliki kekuasaan mutlak dan absolut. Ada tiga bentuk negara menurut Aristoteles,
yakni monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Dari ketiga bentuk negara tersebut yang
paling mungkin dalam kenyataan adalah bentuk demokrasi atau politea (polis).
Demokrasi seakan memiliki konotasi negatif dan Aristoteles tidak menyebutnya untuk
negara ideal.

DAFTAR PUSTAKA
Rapar, J.H. Filsafat Politik Plato Seri Filsafat Politik No1. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996.
Schmandt, Henry J. Filsafat Politik Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai
Zaman Modern.Yogyakarta:Pustaka pelajar (Anggota IKAPI), 2002.
Strathern, Paul. 90 Menit Bersama Aristoteles. Jakarta: Eirlangga, 2001
Syam, Firdus. Pemikiran Politik Barat. Jakarta:Bumi Aksara, 2007.
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeni Filsafat Politik Islam. Bandung: Mizan media
utama (MUU), 2002.

Hukum Dan Demokrasi


Posted on 26 Maret 2015 by Andriansyah_D.S

Demokrasi dan negara hukum adalah dua konsepsi mekanisme kekuasan dalam
menjalankan roda pemerintahan negara. Kedua konsepsi tersebut saling berkaitan
yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan, karena pada satu sisi demokrasi
memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan
dan kesederajatan manusia, pada sisi yang lain negara hukum memberikan patokan
bahwa yang memerintah dalam suatu negara bukanlah manusia, tetapi hukum.
Dalam tataran praksis, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin
peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap
peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar
mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Sedangkan dalam negara yang
berdasarkan atas hukum, dalam hal ini hukum harus dimaknai sebagai kesatuan
hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti
bahwa dalam suatu negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi.
Supremasi konstitusi, di samping merupakan konsekuensi dari konsep negara
hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah
wujud perjanjian sosial tertinggi (Jimly Asshiddiqie, 2005:152-162).

Maka, dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang tujuan bersama, batas-batas
hak individual, dan siapa yang bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan
tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya.
Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di
suatu negara (the supreme law of the land), yang kemudian dielaborasi secara
konsisten dalam hukum dan kebijakan negara (Jimly Assiddiqie, 2008:532).
Oleh karena itu, hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak
boleh ditetapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa.
Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi, karena hukum tidak dimaksudkan
hanya untuk menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan
menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang sehingga negara hukum yang
dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, tetapi demcratische rechtsstaa(Jimly
Assiddiqie, 2008:532)
Konsepsi Demokrasi
Konsepsi demokrasi selalu menempatkan rakyat pada posisi yang sangat strategis
dalam sistem ketatanegaraan, walaupun pada tataran implementasinya terjadi
perbedaan antara negara yang satu dengan negara yang lain. Karena berbagai
varian implementasi demokrasi tersebut, maka di dalam literatur kenegaraan
dikenal beberapa istilah demokrasi yaitu demokrasi konstitusional, demokrasi
parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi rakyat,
demokrasi soviet, demokrasi nasional, dan lain sebagainya. Semua konsep ini
memakai istilah demokrasi, yang menurut asal kata berarti “rakyat berkuasa” atau
government or rule by the people (kata Yunani demos berarti rakyat, kratos/
kratein berarti kekuasaan/berkuasa)(Miriam Budiardjo, 1996:50).

Sementara itu, Sidney Hook memberikan definisi tentang demokrasi sebagai


bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting atau
arah kebijakan di balik keputusan secara langsung didasarkan pada keputusan
mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa. Hal ini berarti bahwa
pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok
mengenai kehidupan mereka, termasuk dalam menilai kebijaksanaan negara yang
turut menentukan kehidupan mereka tersebut. Oleh karena itu, demokrasi sebagai
suatu gagasan politik di dalamnya terkandung 5 (lima) kriteria, yaitu (Robert A.
Dahl, 1985:19-20): (1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif
yang mengikat; (2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua
warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif, (3) pembeberan
kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan
penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis, (4)
kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya keputusan eksklusif bagi
masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan
melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang
lain atau lembaga yang mewakili masyarakat, dan (5) pencakupan, yaitu
terliputnya masyarakat mencakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan
hukum.

Secara komprehensif kriteria demokrasi juga diajukan oleh Gwendolen M. Carter,


John H. Herz dan Henry B. Mayo. Carter dan Herz mengkonseptualisasikan
demokrasi sebagai pemerintahan yang dicirikan oleh dan dijalankannya melalui
prinsip-prinsip: (1) pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan
perlindungan bagi individu dan kelompok dengan jalan menyusun pergantian
pimpinan secara berkala, tertib dan damai, dan melalui alat-alat perwakilan rakyat
yang efektif; (2) adanya sikap toleransi terhadap pendapat yang berlawanan; (3)
persamaan di depan hukum yang diwujudkan dengan sikap tunduk kepada rule of
law tanpa membedakan kedudukan politik; (4) adanya pemilihan yang bebas
dengan disertai adanya model perwakilan yang efektif; (5) diberinya kebebasan
partisipasi dan beroposisi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan,
masyarakat dan perseorangan serta prasarana pendapat umum semacam pers dan
media massa; (6) adanya penghormatan terhadap hak rakyat untuk menyatakan
pandangannya betapa pun tampak salah dan tidak populernya pandangan itu; dan
(7) dikembangkannya sikap menghargai hak-hak minoritas dan perorangan dengan
lebih mengutamakan penggunaan cara-cara persuasif dan diskusi daripada koersif
dan represif.

Sedangkan Henry B. Mayo (Miriam Budiardjo, 1996:165-191) menyatakan bahwa


nilai-nilai yang harus dipenuhi untuk kriteria demokrasi adalah (1) menyelesaikan
pertikaian-pertikaian secara damai dan sukarela; (2) menjamin terjadinya
perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang selalu berubah; (3)
pergantian penguasa dengan teratur; (4) pengunaan pemaksaan seminimal
mungkin; (5) pengakuan dan penghormatan terhadap nilai-nilai keanekaragaman;
(6) menegakkan keadilan; (7) memajukan ilmu pengetahuan; dan (8) pengakuan
dan penghormatan terhadap kebebasan.

Dalam pandangan lain, demokrasi sebagai suatu gagasan politik merupakan paham
yang universal sehingga di dalamnya terkandung beberapa elemen sebagai
berikut:(Afan Gaffar, 2005:15)

1. Penyelenggara kekuasaan berasal dari rakyat;


2. Setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat
mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya;
3. Diwujudkan secara langsung maupun tidak langsung;
4. Rotasi kekuasaan dari seseorang atau kelompok ke orang atau kelompok yang
lainnya, dalam demokrasi peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan
dilakukan secara teratur dan damai;
5. Adanya proses pemilu, dalam negara demokratis pemilu dilakukan secara teratur
dalam menjamin hak politik rakyat untuk memilih dan dipilih; dan
6. Adanya kebebasan sebagai HAM, menikmati hak-hak dasar, dalam demokrasi
setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasarnya secara bebas, seperti
hak untuk menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat dan lain-lain.
Dalam rangka mengimplementasikan semua kriteria, prinsip, nilai,

dan elemen-elemen demokrasi tersebut di atas, perlu disediakan beberapa

lembaga sebagai berikut


1. Pemerintahan yang bertanggung jawab
2. Suatu Dewan Perwakilan Rakyat yang mewakili golongan-golongan dan
kepentingan-kepentingan dalam masyarakat yang dipilih dengan pemilihan umum
yang bebas dan rahasia atas dasar sekurang-kurangnyadua calon untuk tiap kursi.
Dewan perwakilan ini mengadakan pengawasan (kontrol) memungkinkan oposisi
yang konstruktif dan memungkinkan penilaian terhadap kebijakan pemerintah
secara terus menerus.
3. Suatu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik. Partai-partai
menyelenggarakan hubungan yang terus menerus antara masyarakat umum dan
pemimpin-pemimpinnya;
4. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat; dan
5. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan mempertahankan
keadilan.
Itulah landasan mekanisme kekuasaan yang diberikan oleh konsepsi demokrasi,
yang mendasarkan pada prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Pada
hakikatnya, kekuasaan dalam suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan
legitimasi religious, legitimasi ideologis eliter, atau legitimasi pragmatis. Namun,
kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut, dengan sendirinya,
mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena mengklaim kedudukan
lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang
berdasarkan ketiga legitimasi tersebut akan menjadi kekuasaan yang absolut,
karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak
yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan
kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi tersebut
bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter (Jimly Asshiddiqie,
2008:532)

Dengan demikian, kekuasaan yang diperoleh melalui mekanisme demokrasi,


karena konsepsi demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan
yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat, maka bisa dipastikan
akan menjadi kekuasaan yang demokratis karena kehendak rakyatlah sebagai
landasan legitimasinya.

Konsepsi Negara Hukum


Secara historis, gagasan tentang konsepsi negara hukum terus bergulir sejalan
dengan arus perkembangan sejarah. Mulai dari konsepsi negara hukum liberal
(nachwachter staat/negara sebagai penjaga malam) ke negara hukum formal
(formele rechtsstaat) kemudian menjadi negara hukum materiil (materiele
rechtsstaat) hingga pada ide negara kemakmuran (welvarstaat) atau negara yang
mengabdi kepada kepentingan umum (social service state atau sociale
verzorgingsstaat).(Padmo Wahjono, 1991:73)
Negara hukum liberal atau yang sering disebut sebagai negara hukum dalam arti
sempit adalah konsepsi yang diberikan oleh Immanuel Kant (1724 – 1804 SM),
yang kemunculannya bersamaan dengan lahirnya faham liberalisme yang
menentang kekuasaan absolut dari para raja pada masa itu.Menurut faham
liberalisme negara justeru harus melepaskan dirinya dari campur tangan urusan
kepentingan rakyatnya, yang berarti sikap negara harus pasif (staatsonthouding).
Hal ini berpengaruh pada bentuk negara dan bentuk pemerintahan yang kemudian
menjadi monarchi konstitusional, yaitu adanya pembatasan kekuasaan raja oleh
konstitusi sebagai akibat dari perjanjian yang dilakukan dengan rakyatnya yang
menentukan kedua belah pihak dalam kedudukan yang sama. Oleh karena itu, tipe
negaranya pada masa itu adalah negara hukum liberal (nachwachterstaat). Dalam
negara hukum liberal ini terdapat jaminan bahwa setiap warga negara mempunyai
kedudukan hukum yang sama dan tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang oleh
penguasa. Maka, untuk mencapai tujuan ini, negara harus mengadakan pemisahan
kekuasaan yang masing-masing mempunyai kedudukan yang sama tinggi dan sama
rendah, tidak boleh saling mempengaruhi dan tidak boleh campur tangan satu sama
lain sehingga untuk dapat disebut sebagai negara hukum dalam tipe ini harus
memiliki 2 (dua) unsur pokok, yaitu:18 (1) Perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia; dan (2) Pemisahan kekuasaan dalam negara.
Namun dalam perkembangan tuntutan masyarakat tidak lagi menghendaki faham
liberalisme ini dipertahankan, sehingga negara terpaksa turut campur tangan dalam
urusan kepentingan rakyat, hanya saja masih dalam koridor saluran-saluran hukum
yang telah ditentukan. Sejak itulah lahir negara hukum formil, yang dalam
perspektif ini negara hanya dipandang sebagai instrument of power, akibatnya telah
menimbulkan reaksi-reaksi dalam wujud pemikiran-pemikiran baru tentang suatu
sistem yang baru, yaitu aliran-aliran yang tidak hanya memandang negara sebagai
instrument of power saja, tetapi negara justeru dipandang sebagai agency of
service. Maka timbullah konsep Welfare State (negara
kesejahteraan/kemakmuran), yang terutama memandang manusia tidak hanya
sebagai individu, akan tetapi juga sebagai anggota atau warga dari suatu
kolektivitas dan juga untuk tujuan diri sendiri. Dalam konsepsi negara
kesejahteraan/kemakmuran ini, negara dituntut untuk memperluas tanggung
jawabnya kepada masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi oleh rakyat
banyak, peran personal untuk menguasai hajat hidup rakyat banyak dihilangkan.
Perkembangan inilah yang memberikan legislasi bagi negara intervensionis pada
abad ke-20. Negara justeru perlu dan bahkan harus melakukan intervensi dalam
berbagai masalah sosial dan ekonomi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan
bersama dalam masyarakat. Adapun yang menjadi ciri-ciri pokok dari suatu
welfare state(negara kesejahteraan/kemakmuran) adalah sebagai berikut:
1. Pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politica dipandang tidak prinspiil lagi.
Pertimbangan-pertimbangan efisiensi kerja lebih penting daripada pertimbangan-
pertimbangan dari sudut politis, sehingga peranan dari organ-organ eksekutif lebih
penting daripada organ legislatif;
2. Peranan negara tidak terbatas pada penjaga keamanan dan ketertiban saja, akan
tetapi negara secara aktif berperanan dalam penyelenggaraan kepentingan rakyat di
bidang-bidang sosial, ekonomi dan budaya, sehingga perencanaan (planning)
merupakan alat yang penting dalam welfare state;
3. Welfare state merupakan negara hukum materiil yang mementingkan keadilan
sosial dan bukan persamaan formil;
4. Hak milik tidak lagi dianggap sebagai hak yang mutlak, akan tetapi dipandang
mempunyai fungsi sosial, yang berarti ada batas-batas dalam kebebasan
penggunaannya; dan
5. Adanya kecenderungan bahwa peranan hukum publik semakin penting dan
semakin mendesak peranan hukum perdata. Hal ini disebabkan karena semakin
luasnya peranan negara dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.
Welfare state (negara hukum materill) telah menjadi trends negara-negara
diduniapada abad ke 20 ini. . Akan tetapi, perlu disadari sebesar-besarnya bahwa
dalam tipe negara hukum ini mudah sekali untuk timbulnya penyalahgunaan
kekuasaan karena freis ermessen memegang peranan yang sangat banyak. Oleh
karena itu, satu-satunya cara untuk menghindari penyalahgunaan ini, baik
penyalahgunaan wewenang sendiri maupun penyalahgunaan wewenang yang
bukan wewenangnya oleh alat perlengkapan negara lainnya, terutama sekali guna
melindungi kepentingan rakyatnya, maka setiap alat perlengkapan negara harus
berada di bawah suatu kontrol yang kuat serta sistematis melalui suatu sistem
pertanggungjawaban tertentu. Apabila ternyata tidak dapat memberikan
pertanggungjawaban yang telah ditentukan harus dikenakan sanksi-sanksi hukum
sebagaimana mestinya. Untuk kepentingan ini adanya suatu peradilan administrasi
menjadi urgen (Jowniarto, 1960:20).
Negara Hukum Demokratis, Sistesisme Demokrasi dan Negara Hukum
Sebagaimana telah dikatakan pada bagian pengantar dari tulisan ini bahwa
demokrasi dan negara hukum adalah dua konsepsi yang saling berkaitan yang satu
sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Pada konsepsi demokrasi, di dalamnya
terkandung prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (democratie) sedangkan di dalam
konsepsi negara hukum terkandung prinsip-prinsip negara hukum (nomocratie),
yang masing-masing prinsip dari kedua konsepsi tersebut dijalankan secara
beriringan sebagai dua sisi dari satu mata uang. Paham negara hukum yang
demikian dikenal dengan sebutan “negara hukum yang demokratis”
(democratische rechtsstaat) atau dalam bentuk konstitusional
disebut constitutional democracy.
Disebut sebagai “negara hukum yang demokratis karena di dalamnya
mengakomodasikan prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip=prinsip demokrasi
yaitu:

Prinsip-prinsip Negara Hukum :

 Asas legalitas, pembatasan kebebasan warga negara (oleh pemerintah) harus


ditemukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan peraturan umum.
Kemauan undang-undang itu harus memberikan jaminan (terhadap warga negara)
dari tindakan (pemerintah) yang sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai jenis
tindakan yang tidak benar, pelaksanaan wewenang oleh organ pemerintah harus
dikembalikan dasarnya pada undang-undang tertulis, yakni undang-undang formal;
 Perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM);
 Keterikatan pemerintah pada hukum;
 Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum; dan
 Pengawasan oleh hakim yang merdeka dalam hal organ-organ pemerintah
melaksanakan dan menegakkan aturan-aturan hukum.
Prinsip-prinsip Demokrasi :

 Perwakilan politik. Kekuasaan politik tertinggi dalam suatu Negara dan dalam
masyarakat hokum yang lebih rendah diputuskan oleh badan perwakilan, yang diisi
melalui pemilihan umum;
 Pertanggungjawaban politik. Organ-organ pemerintahan dalam menjalankan
fungsinya sedikit banyak tergantung secara politik yaitu kepada lembaga
perwakilan;
 Pemencaran kewenangan. Konsentrasi kekuasaan dalam masyarakat pada satu
organ pemerintahan adalah kesewenang-wenangan. Oleh karena itu, kewenangan
badan-badan publik itu harus dipencarkan pada organ-organ yang berbeda;
 Pengawasan dan kontrol (penyelenggaraan) pemerintahan harus dapat dikontrol;
 Kejujuran dan terbuka untuk umum; dan
 Rakyat diberi kemungkinan untuk mengajukan keberatan.
Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie (2000:141-144) menegaskan bahwa negara hukum
yang bertopang pada sistem demokrasi pada pokoknya mengidealkan suatu
mekanisme bahwa negara hukum itu haruslah demokratis, dan negara demokrasi
itu haruslah didasarkan atas hukum. Menurutnya, dalam perspektif yang bersifat
horizontal gagasan demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional
democracy) mengandung 4 (empat) prinsip pokok, yaitu:
 Adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama;
 Pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau pluralitas;
 Adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama; dan
 Adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan yang
ditaati bersama dalam konteks kehidupan bernegara, di mana terkait pula dimensi-
dimensi kekuasaan yang bersifat vertikal antar institusi negara dengan warga
negara.
Dalam pandangannya, keempat prinsip-prinsip pokok dari demokrasi tersebut
lazimnya dilembagakan dengan menambahkan prinsip-prinsip negara hukum
(nomokrasi), yaitu:
 Pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia;
 Pembatasan kekuasaan melalui mekanisme kekuasaan dan pembagian kekuasaan
disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antar lembaga negara,
baik secara vertikal maupun horizontal;
 Adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak (independent and
impartial) dengan kewibawaan putusan yang tertinggi atas dasar keadilan dan
kebenaran;
 Dibentuknya lembaga peradilan yang khusus untuk menjamin keadilan warga
negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan pemerintahan (pejabat
administrasi negara);
 Adanya mekanisme judicial review oleh lembaga legislatif maupun lembaga
eksekutif;
 Dibuatnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan-
jaminan pelaksana prinsip-prinsip tersebut; dan
 Pengakuan terhadap asas legalitas atau due process of law dalam keseluruhan
sistem penyelenggaraan negara.
Oleh karena itu, negara hukum itu harus ditopang dengan sistem demokrasi karena
terdapat korelasi yang jelas antara negara hukum yang bertumpu pada konstitusi,
dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Dalam sistem
demokrasi partisipasi rakyat merupakan esensi dari sistem ini. Akan tetapi,
demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sementara
hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna. Menurut Frans Magnis Suseno,
demokrasi yang bukan negara hukum bukan demokrasi dalam arti yang
sesungguhnya. Demokrasi merupakan cara yang paling aman untuk
mempertahankan kontrol atas negara hukum (Frans Magnis Suseno, 1997:58).

Dengan demikian dalam negara hukum yang demokratis, hukum dibangun dan
ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Hukum tidak boleh dibuat,
ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan “tangan besi” berdasarkan
kekuasaan semata (machtsstaat). Sebaliknya, demokrasi haruslah diatur berdasar
atas hukum (rechtsstaat) karena perwujudan gagasan demokrasi memerlukan
instrumen hukum untuk mencegah munculnya mobokrasi, yang mengancam
pelaksanaan demokrasi itu sendiri.
Negara Hukum “Indonesia” Yang Demokratis
Indonesia, sebagai negara yang terlahir pada abad modern melalui Proklamasi 17
Agustus 1945 juga “mengklaim” dirinya sebagai negara hukum. Hal ini
terindikasikan dari adanya suatu ciri negara hukum yang prinsip-prinsipnya dapat
dilihat pada Konstitusi Negara R. I. (sebelum dilakukan perubahan), yaitu dalam
Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh (non Pasal-pasal tentang HAM), dan
Penjelasan UUD 1945 dengan rincian

sebagai beriku:

1. Pembukaan UUD 1945, memuat dalam alinea pertama kata ”peri keadilan”, dalam
alinea kedua “adil”, serta dalam alinea keempat terdapat perkataan “keadilan
sosial”, dan “kemanusiaan yang adil” Semua istilah itu berindikasi kepada
pengertian negara hukum, karena bukankah suatu tujuan hukum itu untuk
mencapai negara keadilan. Kemudian dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea
keempat juga ditegaskan “maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu
dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia”
2. Batang Tubuh UUD 1945, menyatakan bahwa “Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 14).
Ketentuan ini menunjukkan bahwa presiden dalam menjalankan tugasnya harus
mengikuti ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan dalam Undang-undang
Dasar. Pasal 9 mengenai sumpah Presiden dan Wakil Presiden “memegang teguh
Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya
selurus-lurusnya”. Melarang Presiden dan Wakil Presiden menyimpang dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam menjalankan tugasnya suatu
sumpah yang harus dihormati oleh Presiden dan Wakil Presiden dalam
mempertahankan asas negara hukum. Ketentuan ini dipertegas lagi oleh Pasal 27
UUD 1945 yang menetapkan bahwa “segala warga negara bersamaan
kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Pasal ini selain menjamin prinsip equality before the law, suatu hak demokrasi
yang fundamental, juga menegaskan kewajiban warga negara untuk menjunjung
tinggi hukum suatu prasyarat langgengnya negara hukum; dan
3. Penjelasan UUD 1945, merupakan penjelasan autentik dan menurut Hukum Tata
Negara Indonesia, Penjelasan UUD 1945 itu mempunyai nilai yuridis, dengan
huruf besar menyatakan: “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)
tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat)”. Ketentuan yang terakhir
ini menjelaskan apa yang tersirat dan tersurat telah dinyatakan dalam Batang
Tubuh UUD 1945.
Dari ketiga ketentuan di atas, penegasan secara eksplisit Indonesia sebagai negara
hukum dapat dijumpai dalam Penjelasan UUD 1945. Lain halnya dengan dua
konstitusi (Konstitusi RIS dan UUDS 1950) yang pernah berlaku di Indonesia,
terdapat penegasan secara eksplisit rumusan Indonesia sebagai negara hukum.
Dalam Mukaddimah Konstitusi RIS misalnya disebutkan pada alinea ke-4; “untuk
mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian, dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan negara hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna”.
Kemudian di dalam Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS juga disebutkan; “Republik
Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu Negara hukum yang
demokrasi dan berbentuk federasi”.

Demikian pula halnya, di dalam Mukaddimah UUDS 1950 pada alinea keempat
menyebutkan:

Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam Negara
yang berbentuk Republik Kesatuan, berdasar pengakuan Ketuhanan Yang Maha
Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial untuk
mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian, dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan negara hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna.

Kemudian di dalam Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 disebutkan; Republik Indonesia
yang merdeka dan berdaulat ialah negara hukum yang demokratis dan berbentuk
kesatuan.
Setelah UUD 1945 dilakukan perubahan, rumusan negara hukum Indonesia yang
semula hanya dimuat secara implisit baik di dalam Pembukaan maupun Batang
Tubuh UUD 1945 dan secara eksplisit dimuat di dalam Penjelasan UUD 1945,
penempatan rumusan negara hukum Indonesia telah bergeser kedalam Batang
Tubuh UUD 1945 yang secara tegas dinyatakan di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
1945 yang berbunyi: Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Jika dikaitkan
dengan unsur-unsur negara hukum sebagaimana uraian pada pembahasan di atas,
maka dapat ditemukan pengaturan unsur-unsur negara hukum dalam Batang Tubuh
UUD 1945 sebagai berikut:

1. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM);


2. Pemisahan / pembagian kekuasaan;
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;dan
4. Peradilan administrasi yang berdiri sendiri.
Dengan demikian, dalam sistem konstitusi Negara Indonesia cita negara hukum itu
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan
Indonesia sejak kemerdekaan. Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum
perubahan, ide negara hukum itu tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam
penjelasannya ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide ‘rechtsstaat’, bukan
‘machtsstaat’. Sementara dalam Konstitusi RIS Tahun 1949, ide negara hukum itu
bahkan tegas dicantumkan, demikian pula dalam UUDS 1950, kembali rumusan
bahwa Indonesia adalah negara hukum dicantumkan dengan tegas. Bahkan dalam
Perubahan Ketiga pada tahun 2001 terhadap UUD Negara RI Tahun 1945,
ketentuan mengenai negara hukum ini kembali dicantumkan secara tegas dalam
Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Oleh
karena itu, secara teoritis gagasan kenegaraan Indonesia telah memenuhi
persyaratan sebagai negara hukum modern, yaitu negara hukum yang demokratis
dan bahkan menganut pula paham negara kesejahteraan (welfare-state).

Penutup
Negara hukum itu harus ditopang dengan sistem demokrasi karena terdapat
korelasi yang jelas antara negara hukum yang bertumpu pada konstitusi, dengan
kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Dalam sistem
demokrasi partisipasi rakyat merupakan esensi dari sistem ini. Akan tetapi,
demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sementara
hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna. Negara hukum yang demokratis,
hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Hukum tidak
boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan “tangan besi”
berdasarkan kekuasaan semata (machtsstaat). Sebaliknya, demokrasi haruslah
diatur berdasar atas hukum (rechtsstaat) karena perwujudan gagasan demokrasi
memerlukan instrumen hukum untuk mencegah munculnya mobokrasi, yang
mengancam pelaksanaan demokrasi itu sendiri.
akultas Hukum
Universitas Tanjungpura
Pontianak
2012

Kata Pengantar
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT atas selesainya tugas ini yang
dibuat untuk memenuhi tugas tugas mata kuliah Ilmu Negara.
Kami mengucapkan terima kasih kepada :
1) Bapak Dr.Firdaus,S.H.,M.si. selaku dosen pengajar mata kuliah Ilmu Negara.
2) Kedua orang tua atas segala fasilitas.
3) Anggota kelompok untuk semua bantuan dan kerjasamanya.
Kami berharap makalah ini dapat membantu pembaca untuk dapat mengetahui serta
memahami definisi negara,teori asal mula negara, teori bentuk negara dan bentuk
pemerintahan. Segala kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sangat kami
harapkan sebagai bahan perbaikan dimasa mendatang.

Pontianak,

PENYUSUN

Daftar Isi

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II Isi
2.1 Definisi Negara
2.2 Teori Asal Mula Negara
2.3 Teori Bentuk Negara
2.4 Teori Bentuk Pemerintahan
BAB III Penutup
3.1 Kesimpulan
Daftar Pustaka

BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Selain itu, manusia juga
merupakan mahluk politik yang mempunyai naluri untuk berkuasa. Oleh karena itu
keberadaan sebuah negara sangat diperlukan sebagai tempat berlindung bagi individu,
kelompok, dan masyarakat yang lemah dari tindakan individu, kelompok, atau masyarakat
maupun penguasa yang kuat (otoriter) karena manusia dengan manusia yang lainnya
memiliki sifat seperti serigala (homo homini lupus)

Kata negara sendiri berasal dari Bahasa Inggris (STATE), Bahasa Belanda (STAAT),
Bahasa Perancis (ETAT) yang sebenarnya kesemua kata itu berasal dari Bahasa Latin
(STATUS atau STATUM) yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang
memiliki sifatsifat yang tegak dan tetap. Dimana makna luas dari kata tersebut juga bisa
diartikan sebagai kedudukan persekutuan hidup manusia.
Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk
memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya.
Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut
sebagai Konstitusi, termasuk didalamnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh
rakyat sebagai anggota negara. Sebagai dokumen yang mencantumkan cita-cita
bersama, maksud didirikannya negara Konstitusi merupakan dokumen hukum
tertinggi pada suatu negara. Karenanya dia juga mengatur bagaimana negara
dikelola. Konstitusi di Indonesia disebut sebagai Undang-Undang Dasar.
Dalam bentuk modern negara terkait erat dengan keinginan rakyat untuk
mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis. Bentuk
paling kongkrit pertemuan negara dengan rakyat adalah pelayanan publik, yakni
pelayanan yang diberikan negara pada rakyat. Terutama sesungguhnya adalah
bagaimana negara memberi pelayanan kepada rakyat secara keseluruhan,
fungsi pelayanan paling dasar adalah pemberian rasa aman. Negara
menjalankan fungsi pelayanan keamanan bagi seluruh rakyat bila semua rakyat
merasa bahwa tidak ada ancaman dalam kehidupannya. Dalam
perkembangannya banyak negara memiliki kerajang layanan yang berbeda bagi
warganya.
Berbagai keputusan harus dilakukan untuk mengikat seluruh warga negara,
atau hukum, baik yang merupakan penjabaran atas hal-hal yang tidak jelas
dalam Konstitusi maupun untuk menyesuaikan terhadap perkembangan zaman
atau keinginan masyarakat, semua kebijakan ini tercantum dalam suatu Undang-
Undang. Pengambilan keputusan dalam proses pembentukan Undang-Undang
haruslah dilakukan secara demokratis, yakni menghormati hak tiap orang untuk
terlibat dalam pembuatan keputusan yang akan mengikat mereka itu. Seperti
juga dalam organisasi biasa, akan ada orang yang mengurusi kepentingan rakyat
banyak. Dalam suatu negara modern, orang-orang yang mengurusi kehidupan
rakyat banyak ini dipilih secara demokratis pula.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi Negara ?


2. Bagaimana teori asal mula Negara ?
3. Bagaimana teori bentuk Negara ?
4. Bagaimana teori bentuk pemerintahan ?

1.3 Tujuan
1. Pembaca mengetahui definisi negara.
2. Pembaca mengetahui teori asal mula negara.
3. Pembaca mengetahui teori terbentuknya negara.
4. Pembaca mengetahui teori bentuk pemerintahan.
BAB II
Isi
2.1 Definisi Negara
Negara menurut bahasa (Noun):
1. 1 organisasi dl suatu wilayah yg mempunyai kekuasaan tertinggi yg sah dan ditaati oleh
rakyat; 2 kelompok sosial yg menduduki wilayah atau daerah tertentu yg diorganisasi di
bawah lembaga politik dan pemerintah yg efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat
sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya: kepentingan -- lebih penting dp
kepentingan perseorangan;
ber·ne·ga·ra v 1 mempunyai negara; 2 menjalankan pemerintahan negara: berjuang krn
ingin me·ne·ga·ra v menjadi bangsa yg bernegara;
ke·ne·ga·ra·an n seluk-beluk negara; yg berkenaan dng negara: Indonesia melakukan
hubungan ~ dng negara-negara tetangga

Beberapa definisi negara oleh para ahli :


1. George Jellinek: Negara adalah organisasi yang dilengkapi dengan suatu
kekuatan yang asli yang didapat bukan dari suatu kekuatan yang lebih tinggi
derajatnya. Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah
berkediaman di wilayah tertentu.
2. Benedictus de Spinoza: “Negara adalah susunan masyarakat yang integral
(kesatuan) antara semua golongan dan bagian dari seluruh anggota masyarakat
(persatuan masyarakat organis).”
3. Harold J. Laski: The state is a society which is integrated by possessing a coercive authority
legally supreme over any individual or group which is part of the society. A society is a group
of human beings living together and working together for the satisfaction of their mutual
wants. Such a society is a state when the way of life to which both individuals and
associations must conform is defined by a coercive authority binding upon them all. (Negara
adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena memiliki wewenang yang bersifat
memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan
bagian dari masyarakat.
Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk mencapai
terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara jika cara
hidup yang harus ditaati – baik oleh individu maupun asosiasi-asosiasi – ditentukan oleh
suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat mereka semua).
4. Dr. W.L.G. Lemaire: Negara tampak sebagai suatu masyarakat manusia teritorial yang
diorganisasikan.
5. Hugo de Groot (Grotius): Negara merupakan ikatan manusia yang insyaf akan arti dan
panggilan hukum kodrat.
6. Leon Duguit: There is a state wherever in a given society there exists a political
differentiation (between rulers and ruled) …
7. R.M. MacIver: The state is an association which, acting through law as promugated by a
government endowed to this end with coercive power, maintains within a community
territorially demarcated the external conditions of order. (Negara adalah asosiasi yang
menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat di suatu wilayah berdasarkan sistem
hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi
kekuasaan memaksa).
8. Prof. Mr. Kranenburg: “Negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh
sekelompok manusia yang disebut bangsa.”
9. Herman Finer: The state is a territorial association in which social and individual forces of
every kind struggle in all their great variety to control its government vested with supreme
legitimate power.
10. Prof.Dr. J.H.A. Logemann: De staat is een gezags-organizatie. (Negara ialah suatu organisasi
kekuasaan/ kewibawaan).
11. Roger H. Soltau: The state is an agency or authority managing or controlling these (common)
affairs on behalf of and in the name of the community. (Negara adalah alat atau wewenang
yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat).
12. Max Weber: The state is a human society that (succesfully) claims the monopoly of the
legitimate use of physical force within a given territory. (Negara adalah suatu masyarakat
yang memonopoli penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah).
13. Bellefroid: Negara adalah suatu persekutuan hukum yang menempati suatu wilayah untuk
selama-lamanya dan dilengkapi dengan suatu kekuasaan tertinggi untuk menyelenggarakan
kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.
14. Prof.Mr. Soenarko: Negara adalah organisasi masyarakat di wilayah tertentu dengan
kekuasaan yang berlaku sepenuhnya sebagai kedaulatan.
15. G. Pringgodigdo, SH: Negara adalah suatu organisasi kekuasaan atau organisasi kewibawaan
yang harus memenuhi persyaratan unsur-unsur tertentu, yaitu harus memiliki pemerintah
yang berdaulat, wilayah tertentu, dan rakyat yang hidup teratur sehingga merupakan suatu
nation (bangsa).
16. Prof. R. Djokosutono, SH: Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia
yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
17. O. Notohamidjojo: Negara adalah organisasi masyarakat yang bertujuan mengatur dan
memelihara masyarakat tertentu dengan kekuasaannya.
18. Dr. Wiryono Prodjodikoro, SH: Negara adalah suatu organisasi di antara kelompok atau
beberapa kelompok manusia yang bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu dengan
mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok
atau beberapa kelompok manusia itu.
19. M. Solly Lubis, SH: Negara adalah suatu bentuk pergaulan hidup manusia yang merupakan
suatu community dengan syarat-syarat tertentu: memiliki wilayah, rakyat dan pemerintah.
20. Prof. Miriam Budiardjo: Negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh
sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan
perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah.
21. Prof. Nasroen: Negara adalah suatu bentuk pergaulan manusia dan oleh sebab itu harus
ditinjau secara sosiologis agar dapat dijelaskan dan dipahami.
22. Mr. J.C.T. Simorangkir dan Mr. Woerjono Sastropranoto: Negara adalah persekutuan hukum
yang letaknya dalam daerah tertentu dan memiliki kekuasaan tertinggi untuk
menyelenggarakan kepentingan umum dan kemakmuran bersama.
23. John Locke dan Rousseau: Negara adalah suatu badan atau organisasi hasil dari pada
perjanjian masyarakat

2.2 Teori Asal Mula Negara


Teori asal- usul negara terbagi atas dua bagian:
1. Teori yang bersifat ketuhanan (Teori Teokratis)
Teori ini menjadi kepercayaan sebagian besar komunitas seperti, Mesir, Babilonia,
India, Yahudi dan Masyarakat pertengahan negara Eropa.
Merujuk pada perjanjian terdahulu bahwa Tuhan adalah sumber kekuatan dari negara. Bangsa
Yahudi percaya bahwa Tuhanlah yang menetapkan seorang raja, ia diturunkan untuk
memimpin sekaligus memberantas peraturan- peraturan dhalim.
Kaum Yahudi yakin bahwa raja merupakan wakilnya Tuhan dan ia diamanatkan tanggung
jawab yang harus dilaksanakan.
Di India teori ini berlaku dan dipercaya dalam kisah Mahabhrata dimana dunia telah
menjadi negara berbentuk anarki, dimasa itu masyarakat India memohon kepada Tuhan
mereka untuk diturunkan seorang pemimpin. Mereka berdo’a wahai Tuhan kami, sungguh
kami akan binasa bila negara ini tidak terlahir seorang pemimpin, turunkanlah kepada kami
seorang pemimpin, dimana ia bisa membawa kami tenang dalam ibadah, dan melindungi
kami dari kedhaliman. Maka Tuhan menurunkan Manu sebagai pemimpin mereka.
Akan tetapi sebagian besar perjanjian yang berhasil diatas ditemukan didalam tulisan
bapak gereja pertama. St. Paul menyatakan: serahkanlah jiwa untuk tunduk kepada yang
memiliki kekuatan tak tertandingi, tidak ada kekuatan yang tinggi kecuali Tuhan: dimana
segala kekuatan bersumber dari-Nya.
Dari teori diataslah timbul keyakinan bahwa siapapun yang menentang kekuatan raja,
maka dia telah melawan peraturan Tuhan, dan mereka pembangkang akan menerima kutukan
atas perlawanannya.
Pendeta Kristen percaya bahwa manusia pada dasarnya tidak berdosa, dimasa ini
negara tidak diperlukan. Akan tetapi tatkala manusia kehilangan dasarnya, maka negara
dibutuhkan untuk mencegah hal- hal yang fatal. Jadi menurut teori ini Tuhanlah yang
menciptakan negara, maka negara merupakan kekuatan bersifat ketuhanan yakni untuk
memperbaiki kejahatan manusia.
Ada beberapa pendapat yang menguatkan teori diatas:
a) Martin Luther berpendapat bahwa pangeran diseluruh dunia ini merupakan Tuhan.
b) Sir Robert Filmer dalam Patriarchanya tertulis: Adam adalah raja pertama didunia ini,
maka raja selanjutnya dianggap sebagai ahli warisnya.
c) King James I mengatakan bahwa raja negara adalah sebagian besar orang yang mulia
didunia ini. Raja bukan saja utusan Tuhan yang mana diberikan tahta, akan tetapi karna
dekatnya dirinya dengan Tuhan mereka juga diaggap sebagai Tuhan.
2. Teori yang didasari oleh kekuatan
Menurut teori ini negara muncul terbentuk dari salah satu akibat penaklukan kaum
lemah oleh kaum kuat. Teori ini berbasis dalam dasar pikiran psikologis dimana sifat manusia
itu agresif. Sifat ini membawa manusia meronta terus- menerus untuk meraih kekuasaan; dan
dari sifat ini pula mendorong kaum kuat untuk menjajah kaum lemah.
Sifat dasar agresif inilah membawa naluri manusia bangkit dan membentuk institusi
negara, oleh karena itu kekuatan kekuatan adalah dasarnya negara. Jean bodin, D. hume,
Oppenheimer dan Jenks merupakan ahli Filsafat dimasa modern dimana mereka memegang
dan menyokong teori ini.
Intisari dari teori ini adalah’’ perang untuk menjadi raja ‘’ ditahun 1080 Pope Gregory
VII menulis: barangsiapa yang tidak mengetahui bahwa raja- raja atau pemimpin- pemimpin
mereka yang membawa mereka dari permulaan, dimana para pemimpin tersebut buta dari
mengenal tuhan, dan berpura- pura, buta yang disebabkan oleh ketamakan dan kesombongan
yang tak tertahankan, bisa dianggap menjaga harga diri, kekerasan , kepercayaan yang jelek,
pembunuhan , dan dekat dengan segala bentuk kejahatan, menjadi penghasut bersama para
pemimpinnya menuju jalan iblis.
Pada abad 18. D. Hume mengungkapkan pandangan yang serupa, dia mengatakan,
apakah mungkin kekuasaan pertama seseorang terhadap orang banyak selama perang
dinegara tersebut masih berlaku, dimana keunggulan keberanian dan mengetahui kejeniusan
dirinya sendiri sebagian besar nampak. Tatkala konser kebulatan hati sebagian besar
merupakan syarat dan dimana kekacauan harta benda merusak dengan pantas sebagian besar
perasaan, secara terus- menerus menjadi kebiasaan dimana kebiadaban diantara manusia
membiasakan masyarakat kepada ketundukan.
Disisi lain ide Leacock tentang teori ini: pengertian menurut histori bahwa
pemerintahan muncul dari agresip manusia, dimana permulaan negara ditemukan dalam
perebutan dan perbudakan dari manusia sendiri, dalam perebutan hati dan penaklukan kaum
lemah dimana dilakukan layaknya kampanye, pencarian yang diperoleh tidak jauh dari
dominasi dirinya dalam kekuatan fisik.
Dari inilah pertumbuhan manusia yang agresip menuju kerajaan dan dari kerajaan sampai
kepada kekaisaran merupakan suatu proses yang lama.
E. Jenks menjelaskan dengan baik teori ini, dia mengatakan: secara histori. Tidak ada
bukti pengabaian kesulitan didalamnya dimana semua komunitas dari perpolitikan modern
menerima adanya suatu kesuksesan dari peperangan.
Ide- ide umum terhadap dasar negara berdasarkan teori ini sebagai berikut:
1. ketika populasi bertambah, maka tekanan harta untuk hidup juga bertambah. Sebab ini
mengiring manusia untuk berjuang diantara bermacam bangsa untuk mengkontrol wilayah
dan kekayaan lainnya untuk kehidupan.
2. secara berangsur- angsur peperangan menjadi sebuah seni, dan pelajaran bagi pejuang,
mereka muncul menjadi spesialis dalam kesenian. Negara muncul hidup tatkala penguasa dan
pejuang- pejuangnya bersatu membentuk kekuasaan atas suatu wilayah.

3. setelah penguasa tersebut berhasil mendirikan kekusaan diatas kaumnya, maka sifat
agresip untuk berperang atau menguasai negara tetangga menjadi kebiasaan dengan alasan
untuk memperluas negara.Ide- ide diatas merupakan gambaran mengenai suku kerajaan yang
tidak bisa dipungkiri seperti; Inggris, Skandinavia, Rusia, dan beberapa negara bagian Eropa.
Oppenheimer menberi enam tingkat gambaran atas dasar timbulnya negara:
1. Negara terlahir oleh peperangan, pembunuhan dan perampasan yang terus- menerus.
Penakluk membunuh semua kaum lelaki dan sebagai bukti penaklukan mereka membawa
anak- anak dan wanita Sebagai barang rampasan.
2. penyerahan diri kaum lemah terhadap kaum kuat, dimana mereka tidak berdaya untuk
melawan. Para penakluk berhenti membunuh, maka gantinya mereka dijadikan budak.
3. penakluk dan yang tertakluk bergabung bekerja sama guna meraih keuntungan yang baik.
4. perpaduan lebih lanjut dari penjajah dan yang dijajah. Mereka bukan saja mempelajari
untuk hidup bersama, akan tetapi juga bersatu untuk menguasai daerah lainnya.
5. mereka menemukan dasar perlengkapan administratip untuk menyudahi perselisihan
dibagian dalam.
6. para pemimpin dan sekelompok pemenang menjadi raja, dimana asisten militernya
menjadi penasehat, dan raja beserta adviser mulai berkuasa, sehingga diselenggarakan hukum
atau undang- undang terhadap warganegaranya.
Para ahli umunya membagi delapan teori mengenai terbentuknya sebuah negara.

1. Teori perjanjian masyarakat (kontrak sosial)

Teori ini pertama kali dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat dengan tokoh utamanya
adalah Thomas Hobbes, Jhon Locke, dan JJ. Rosseau. Teori ini mengemukakan bahwa
negara didirikan atas dasar kesepakatan para anggota masyarakat. Mereka kemudian
menyerahkan hak-hak yang dimilikinya untuk diatur oleh negara. Teori ini adalah salah satu
teori yang terpenting menegnai sal-usul negara. Disamping tertua, teori ini juga relatif
bersifat universal, karena teori perjanjian masyarakat adalah teori yang termudah dicapai dan
negara tidak merupakan negara tiranik.penganut teori kontrak sosial ini mencakup para pakar
dari paham kenegaraan yang absolutis sampai ke penganut paham kenegaraan yang terbatas.

Negara berdiri atas kompromi-kompromi politik antar warga masyarakat, maka


kelangsungan negara yang dibentuk sangat tergantung dari bagaimana warga masyarakat
mampu saling bekerjasama dan mengakomodasi setiap perbedaan yang muncul dengan jalan
dialog atau musyawarah.

Thomas Hobbes mengemukakan bahwa lahirnya negara adalah dengan adanya


kesepakatan untuk membentuk negara, maka rakyat menyerahkan semua hak yang mereka
miliki sebelumnya secara alamiah (sebelum adanya negara), untuk diatur sepenuhnya oleh
kekuasaan negara. Dalam keadaan demikian, hukum dibuat oleh mereka yang fisiknya
terkuat sebagaimana keadaan di hutan belantara. Mausia seakan-akan merupakan binatang
dan menjadi mangsa dari manusia yang fisik yang lebih kuat darinya. Keadaan ini dilukiskan
dalam peribahasa latin homo homini lupus. Manusia saling bermusuhan dan saling berperang
satu sama lain, dan perang tersebut bukan dalam bentuk perang yang terorganisir, tetapi
perang dalam arti keadaan bermusuhan yang terus menerus antara individu dengan individu
lainnya.
Keadaan tersebut tidak dapat dibiarkan berlangsung terus, manusia dengan akalnya
mengerti dan menyadari bahwa demi kelanjutan hidup mereka sendiri, keadaan alamiah
tersebut harus diakhiri. Hal ini dilakukan dengan mengadakan perjanjian bersama individu-
individu yang tadinya hidup dalam keadaan alamiah berjanji akan menyerahkan hak-hak
kodrat yang dimilikinya kepada seseorang atau sebuah badan. Dan selanjutnya dengan
adanya perjanjian tersebut maka terbentuklah negara yang dianggap dapat mengakhiri
anarkhi yang menimpa individu dalam keadaan alamiah itu.
Bagi Hobbes, perjanjian tersebut terjadi antar individu, bukan antara individu dengan
negara. Maka menurut Hobbes, yang terkait sepenuhnya terhadap perjanjian tersebut adalah
individu-individu tersebut. Negara sendiri bebas karena tidak terikat oleh perjanjian, ia
berada diatas individu. Negara bebas melakukan apapun yang dikehendakinya terlepas sesuai
atau tidak dengan dengan kehendak individu. Negara versi Hobbes ini juga tidak memiliki
tangung jawab apa pun terhadap rakyat.

John Locke mengatakan bahwa sebagian besar anggota masyarakat membentuk persatuan
terlebih dahulu, baru kemudian anggota masyarakat tersebut menjadi rakyat dari suatu negara
yang didirikan. Negara dalam pandangan John Locke tidak berkuasa secara absolut
sebagaimana pandangan Hobbes. Hal ini karena dalam ralitasnya, ada bagian yang dimiliki
masing-masing orang yaitu hak asasi.
Dalam konsep tentang keadaan alamiah (state of nature), Locke dan Hobbes memiliki
perbedaan,. Hobbes melihat keadaan alamiah sebagai suatu keadaan anarkhi, sementara
Locke melihat keadaan itu sebagai suatu keadaan of peace, goodwill, mutual assistance and
preservation. Sekalipun keadaan itu suatu keadaan ideal, namun Locke juga merasakan
bahwa keadaan itu potensial dapat menimbulkan anarkhi, karena manusia hidup tanpa
organisasi dan pimpinan yang dapat mengatur kehidupan mereka dalam keadaaan alamiah
setiap individu sederajat baik mengenai kekuasaan maupun hak-hak lainnya, sehingga
penyelenggaraan kekuasaan dan yurisdiksi dilakukan oleh individu individu sendiri-sendiri,
dengan demikian dalam dirinya sendiri mengan dung potensi untuk menimbulkan kegaduhan
dan kekacauan. Oleh karena itu manusia membentuk negara dengan suatu perjanjian
bersama.
Menurut Locke, dasar kontraktual dari negara sebagai peringatan bahwa kekuasaan
negara tidak pernah mutlak, melainkan terbatas, sebab dalam mengadakan perjanjian dengan
seorang atau sekelompok orang, individu-individu tidak menyerahkan hak-hak alamiahnya
kepada mereka, karena ada hak-hak alamiah yang merupakan hak hak-hak asasi tidak dapat
dilepaskan.
Berbeda dengan Hobbes, menurut Locke karena kekuasaan negara terbentuk
dari concent rakyat dan produk perjanjian sosial warga negara, maka kekuasaan itu itdak
bebas dan otonom berhadapan dengan aspirasi dan kehendak rakyat. Hubungan antara
penguasa poltik dengan rakyat yang diperintah diumpamakan seseorang yang memberikan
kepercayaan kepada orang lain untuk mengatur dirinya. Maka hak bertindak dan mengatur
yang dimiliki negara bisa ditolelir dan dibenarkan sejauh tidak mengganggu hak-hak sipil dan
politik rakyat.

Jean Jacques Rosseau dalam bukunya yang terkenal Du Contract Social (1762),
meletakan dasar berdirinya sebuah negara, yakni dengan mengemukakan paham kedaulatan
rakyat. Yaitu adanya suatu perjanjian atau kesepakan untuk membentuk negara, tetapi rakyat
tidak sekaligus harus menyerahkan hak-hak yang dimilikinya untuk diatur negara. Agar
partisipasi rakyat dapat tersalurkan maka rakyat wajib memilih wakil-wakilnya untuk duduk
dalam pemerintahan yang didirikan serta menyusun birokrasi pemerintah secara lebih
partisipatif.
Rousseau memisahkan suasana kehidupan manusia dalam dua zaman, yakni zaman pra-
negara dan zaman bernegara. Keadaan alamiah itu diumpakan sebagai keadaan sebelum
manusia melakukan dosa, suatu keadaan yang aman dan bahagia. Karena keadaan alamiah
itu tidak dapat dipertahankan seterusnya, maka manusia dengan penuh kesadaran mengakhiri
keadaan itu dengan dengan suatu kontrak sosial, dengan adanya kontrak sosial tersebut
kemudian terjadi peralihan dari keadaan alamiah ke keadaan bernegara.
Negara atau “badan korporatif kolektif” dibentuk untuk menyatakan “kemauan umum”
(general will) dan kemauan umum tidak berarti kemauan seluruh rakyat, adakalanya
perbedaan-perbedaan antara kemauan umum dan kemauan seluruh rakyat (will of all).
Kemauan umum selalu benar dan ditujukan pada kebahagiaan bersama, sedangkan kemauan
seluruh rakyat juga memperhatikan kepentingan individual (particular interest).
Dengan konstruksi perjanjian masyarakat tersebut, Rousseau menghasilkan bentuk negara
yang kedaulatanya berada dalam tangan rakyat atau jenis negara yang demokratis melalui
kemauan umumnya.

2. Teori Pengalihan Hak


Teori pengalihan hak merupakan teori negara yang dipelopori oleh Sir Robert Filmer dan
Loyseau. Pengertian umumnya adalah bahwa hak yang dimiliki oleh negara pada hakikatnya
diperoleh setelah rakyat melepaskan sebagian hak yang dimilikinya atau rakyat membiarkan
berlakunya hak tersebut untuk dikelola oleh negara. Pada umumnya pengalihan hak tepat
diterapkan untuk mengkaji terbentuknya negara monarkhi. Pengalihan hak ini dapat
dianalogikan kepada pembentukan negara sebagai hasil revolusi.
3. Teori Penaklukan
Teori penaklukan banyak dikemukakan oleh ilmuwan politik antara lain, Ludwig
Gumplowitz, Gustav Ratzenhover, Georg Simmel, dan Lester Frank Ward. Teori ini erat
kaitanya dengan doktrin “ kekuatan menimbulkan hak”. Bahwa pihak atau kelompok yang
kuat, akan menaklukan pihak atau kelompok lainya, dan selanjutnya mendirikan sebuah
negara. Pembuktian dan penggunaan kekuatan berlaku sebagai dasar terbentuknya negara.

4. Teori Organis
Teori organis merupakan teori yang banyak dipengaruhi oleh cara pandang dalam ilmu
eksakta, dengan tokohnya, Georg Wilhelm Hegel, J.K. Bluntscli, John Salisbury, Marsiglio
Padua, Pfufendrorf, Henrich Ahrens, J.W Scelling, FJ Schitenner dan lain sebagainya.
Negara adalah suatu organisme. Negara lahir sebagai analogi kelahiran makhluk hidup
lainya. Jika ada embrionya dari masyarakat-masyarakat atau suku-suku bangsa, maka
perlahan-lahan berkembang masyarakat atau suku bangsa tersebut menjadi sebuah negara.
Teori organis mengenai lahirnya negara dapat dianalogikan dengan teori historis atau teori
evolusi. Negara tumbuh sebagai hasil suatu evolusi yang memerlukan proses panjang.

5. Teori Ketuhanan (Teori Teokratis)


Teori ketuhanan pada awalnya banyak dianut oleh sebagian besar ilmuwan politik pada
abad 18 M, dengan tokohnya Thomas Aquinas. Kekuasaan atas negara dan terbentuknya
negara adalah karena hak-hak yang dikaruniakan oleh Tuhan. Dalam implementasinya setiap
kebijakan negara senantiasa mengatasnamakan Tuhan, sehingga rakyat harus mematuhi apa
yang telah diputuskan pemimpinya.

6. Teori Garis Kekeluargaan (Patriarkhal, atau Matriarkhal)


Teori ini banyak dipengaruhi oleh perkembangan ilmu sosiologi dan antropologi, yang
mendunia sejak awal abad 19 M, dengan tokohnya Henry S. Maine, Herbert Spencer, dan
Edward Jenks. Menurut teori ini negara dapat terbentuk dari perkembangan suatu keluarga
yang menjadi besar dan kemudian bersatu membentu negara, sehingga negara yang terbentuk
adakalanya manganut garis kekeluargaan berdasarkan garis ayah (patriarkhal), dan bahkan
adakalanya garis ibu (matriarkhal).
Teori ini juga disebut sebagai teori perkembangan suku. Orang-orang yang mempunyai
hubungan darah (kekeluargaan) berkembang menjadi suatu suku, kemudian berkembang
secara lebih luas lagi sampai membentuk suatu negara.

7. Teori Metafisis (Idealistis atau Mutlak)


Teori metafisis banyak mendapat pengaruh dari para ahli filsafat, dengan tokohnya yang
terkemuka adalah Immanuel Kant. Negara ada, lahir, dan terbentuk karena memang
seharusnya ada dengan sendirinya, maka ketika jumlah manusia semakin banyak secara
otomatis negara akan lahir dengan sendirinya. Dalam prosesnya, negara adalah kesatuan
supranatural, terbentuknyapun karena dorongan supranatural atau metafisis.
8. Teori Alamiah
Teori alamiah merupakan pandangan awal tentang berdirinya sebuah negara, dengan
tokohnya Aristoteles. Negara terbentuk karena kodrat alamiah manusia. Sebagai zoon
politikon (manusia politik yang bermasyarakat), maka manusia membutuhkan adanya negara.
Sehubungan dengan kebutuhan alamiah inilah, maka dibentuk sebuah negara dengan tujuan
untuk memenuhi kebutuhan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.[1][1]

2.3 Teori Bentuk Negara


Teori bentuk negara menurut para ahli:
Secara tradisional ada tiga bentuk negara, yaitu monarki, aristokrasi, dan politea yang
telah dikemukakan oleh Arisototeles. Teori yang dikemukakannya juga disebut sebagai teori
revolusi bentuk negara dan banyak diikuti oleh beberapa sarjana pada saat itu, antara lain
Polybios. Selanjutnya Machiavelli mengemukakan dua macam bentuk negara, yaitu monarki
dan republik. Terhadap teori Machiavelli ini beberapa sarjana mengemukakan kriteria-kriteria
tertentu terhadap bentuk negara monarki dan republik.Para sarjana kemudian mengadakan
pembahasan masalah bentuk negara berdasar bentuk negara yang sebenarnya. Pembahasan
terbagi dalam tiga sudut peninjauan, yaitu teori yang mengutamakan bentuk pemerintahan
dari bentuk negara. Jadi pembahasan sudah bergeser pada masalah bentuk pemerintahan yang
merupakan segi struktur atau isi dari suatu organisasi negara.. Sedangkan masalah bentuk
negara merupakan peninjauan segi sosiologis, yaitu melihat negara sebagai suatu kebulatan
(ganzhei). Peninjauan yang kedua menyatakan bahwa bentuk negara adalah demokrasi dan
diktatur. Sedangkan yang terakhir adalah teori yang mengemukakan lima kriteria untuk
bentuk negara oleh Strong.
Menurut Aristoteles,Aristoteles membagi bentuk negara berdasarkan teori kuantitas,
yaitu bentuk negara yang berdasarkan jumlah orang yang memerintah, serta teori kualitas
yang berdasarkan kualitas orang yang memerintah.
Berdasarkan teori kuantitasnya, Arsitoteles membagi bentuk negara menjadi 3, yaitu
monarki/kerajaan, aristokrasi, politea. Monarki / kerajaan adalah sebuah pemerintahan oleh
satu orang untuk kepentingan rakyatnya. Menurut Aristotele, bentuk pemorosotan dari
pemerintahan ini adalah tirani atau diktator. Aristokrasi adalah pemerintahan oleh beberapa
orang untuk kepentingan umum. Misalnya ahli-ahli filsafat, cendikiawan, serta para
bangsawan. Bentuk pemerosotan dari pemerintahan ini adalah oligarki yang mendasarkan
kepada golongan sendiri, serta pluktorasi di mana pemimpinnya memerintah hanya untuk
kepentingan orang-orang kaya. Namun, Plato mempunyai pandangan berbeda dengan
Aristoteles tentang aristokrasi. Menurutnya, aristokrasi adalah pemerintahan yang dipegang
oleh kaum cendikiawan yang dilaksanakan sesuai dengan pikiran keadilan.
Politea adalah suatu pemerintahan oleh seluruh orang untuk kepentingan seluruh rakyat.
Bentuk pemerosotannya adalah demokrasi di mana orang-orang yang memerintah tidak
memerintah tidak tahu sama sekali tentang pemerintahan.
Teori yang dikemukan oleh Arsitoteles tersebut disanggah oleh Polybios.
Menurutnya, bentuk negara ideal yang ketiga bukan politea, melainkan demokrasi. Di mana
bentuk pemerosotonnya adalah oklokrasi / mobokrasi yang pada akhirnya menuju anarki
yakni suatu kondisi di mana pemerintahannya kacau balau. Menurutnya lagi, pada bentuk
monarki apabila keturunan para penguasa telah melaksanakan tugas dengan sewenang-
wenang dan mementingkan kepentingan sendiri, maka saat itu monarki telah bergeser
menjadi oligarki. Demokrasi yang kacau akan berubah menjadi oklokras. Jika pemimpinnya
dapat memerintah dengan baik serta mementingkan nasib rakyat, maka bentuk oklokrasi akan
kembali pada bentuk awal yaitu negara monarki.
Teori Dua Bentuk Negara Menurut Machiavelli. Menurut Machiavelli, bentuk negara
hanya ada dua, yaitu republik (respublica) dan monarki (principati). Negara dalam hal ini
merupakan hal yang pokok (genus) dan spesiesnya adalah republic dan monarki. Para sarjana
kemudian menentukan ukuran tertentu untuk menentukan bentuk negara monarki dan
republik.
Georg Jellinek mengatakan bahwa ukuran untuk menentukan bentuk negara monarki
dan republic berdasar pada terjadinya kehendak negara (staatswill). Dalam
perkembangannya, teori Jellinek sulit diterapkan. Karena pada jaman modern penentuan
staatswill pada bentuk monarki tidak lagi ditentukan oleh satu orang.
Leon Duguit menggunakan ukuran cara pengangkatan kepala negara untuk membedakan
bentuk negara monarki dan republik. Apabila kepala negara diangkat secara turun-temurun
maka bentuk negara adalah monarki. Sedangkan apabila kepala negara diangkat dengan cara
dipilih maka bentuk negara adalah republik.
Otto Koellrenter yang menggunakan ukuran berdasar atas kesamaan dan
ketidaksamaan untuk membedakan bentuk negara monarki dan republik. Asas kesamaan
adalah setiap warga mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin negara
setelah memenuhi beberapa persyaratan. Sedangkan asas ketidaksaman artinya tidak setiap
warga mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin negara, karena hanya
berdasar garis keturunan tertentu. Kriteria untuk menentukan bentuk negara sebenarnya tidak
terlepas dari keadaan sekitarnya dan berdasar pada masa tertentu sehingga bersifat historis.
Pada saat ini timbul beberapa pendapat yang tidak lagi berpegang pada bentuk-bentuk negara
berdasar sejarah, tetapi berdasar pada bentuk negara yang sebenarnya yaitu melihat pada
struktur atau isinya.
Bentuk Negara Menurut Strong. C.F. Strong mencoba memecahkan persoalan bentuk
negara berdasarkan pada 5 kriteria. Pertama, dengan cara melihat bagaimana bangunan
negaranya, hal ini bisa dilihat dari ciri-ciri (i) negara kesatuan yang tidak terdiri dari negara-
negara bagian dan (ii) negara serikat yang terdiri dari negara-negara bagian.
Pembedaan negara kesatuan dan negara serikat mempengaruhi organisasinya. Pada negara
serikat, masih ada pembedaan dalam menentukan pembagian kekuasaan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah negara bagian. Namun, ada 2 cara penentuannya, yaitu (i)
merumuskan dengan tegas wewenang negara bagian, selebihnya wewenang pemerintah pusat
atau (ii) merumuskan dengan tegas wewenang pemerintah pusat, selebihnya wewenang
pemerintah negara bagian. Pada cara yang pertama, menurut Strong, negara serikat masih
mendekati negara kesatuan (negara federal yang kurang murni), yaitu negara kesatuan dengan
sistem desentralisasi. Di mana wewenang daerah swatantra sudah dirumuskan dengan tegas
dan selebihnya termasuk wewenang pemerintah pusat. Kedua, dengan cara melihat
bagaimana konstitusinya, apakah konsititusi itu diletakkan dalam suatu naskah tertentu atau
tidak (tertulis atau tidak). Ada beberapa keuntungan konstitusi tertulis, yaitu (i) organisasi
negara itu dapat terjamin, dalam arti tidak berubah sewaktu-waktu jadi tidak tunduk pada
kehendak orang tertentu dan (ii) adanya pedoman tertentu untuk perkembangan lebih lanjut.
Misalnya pada suatu pasal atau bab, sehingga pekembangannya bisa dikembalikan pada
norma tertentu. Namun ada pula beberapa kelemahan tidak adanya naskah (konstitusi tidak
tertulis). Misalnya dalam menentukan siapa yang berwenang menentukan bahwa kebiasaan
yang baru dalam masyarakat yang merupakan hukum yang baru. Karena tidak adanya naskah
tertentu, bagaimana kita dapat mengetahui adanya keadaan baru yang bertentangan dengan
naskah itu. Di Inggris, hal ini dipecahkan dengan memberi wewenang kepada parlemen yang
disebut Omnipotence, yaitu wewenang tertinggi di segala hal pada parlemen.
Ketiga, mengenai badan perwakilannya, bagaimana disusunnya, siapa yang berhak
memegang kekuasaan itu. Keempat, mengenai badan eksekutif, apakah ia bertanggung jawab
kepada parlemen atau tidak atau disebutkan badan eksekutif yang sudah pasti jangka waktu
kekuasaannya. Kelima, bagaimana hukum yang berlaku.
Bentuk negara di masa sekarang:
a. Negara Kesatuan (Unitaris)
Negara Kesatuan adalah negara bersusunan tunggal, yakni kekuasaan untuk mengatur
seluruh daerahnya ada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat memegang kedaulatan
sepenuhnya, baik ke dalam maupun ke luar. Hubungan antara pemerintah pusat dengan
rakyat dan daerahnya dapat dijalankan secara langsung. Dalam negara kesatuan hanya ada
satu konstitusi, satu kepala negara, satu dewan menteri (kabinet), dan satu parlemen.
Demikian pula dengan pemerintahan, yaitu pemerintah pusatlah yang memegang wewenang
tertinggi dalam segala aspek pemerintahan. Ciri utama negara kesatuan adalah supremasi
parlemen pusat dan tiadanya badan-badan lain yang berdaulat.
Negara kesatuan dapat dibedakan menjadi dua macam sistem, yaitu:
1. Sentralisasi, dan
2. Desentralisasi.
Dalam negara kesatuan bersistem sentralisasi, semua hal diatur dan diurus oleh
pemerintah pusat, sedangkan daerah hanya menjalankan perintah-perintah dan peraturan-
peraturan dari pemerintah pusat. Daerah tidak berwewenang membuat peraturan-peraturan
sendiri dan atau mengurus rumah tangganya sendiri.

b. Negara Serikat (Federasi)


Negara Serikat adalah negara bersusunan jamak, terdiri atas beberapa negara bagian
yang masing-masing tidak berdaulat. Kendati negara-negara bagian boleh memiliki konstitusi
sendiri, kepala negara sendiri, parlemen sendiri, dan kabinet sendiri, yang berdaulat dalam
negara serikat adalah gabungan negara-negara bagian yang disebut negara federal.
Setiap negara bagian bebas melakukan tindakan ke dalam, asal tak bertentangan dengan
konstitusi federal. Tindakan ke luar (hubungan dengan negara lain) hanya dapat dilakukan
oleh pemerintah federal.
Persamaan antara negara serikat dan negara kesatuan bersistem desentralisasi:
1. Pemerintah pusat sebagai pemegang kedaulatan ke luar;
2. Sama-sama memiliki hak mengatur daerah sendiri (otonomi).
Sedangkan perbedaannya adalah: mengenai asal-asul hak mengurus rumah tangga
sendiri itu. Pada negara bagian, hak otonomi itu merupakan hak aslinya, sedangkan pada
daerah otonom, hak itu diperoleh dari pemerintah pusat.

2.4 Teori Bentuk Pemerintahan


1.Teori Klasik tentang bentuk pemerintahan
Bentuk Pemerintahan adalah suatu sistem yang mengatur alat-alat perlengkapan
Negara dan hubungan antr alat-alat perlengkapan itu.Teori-teori klasik tentang bentuk
pemerintahan pada umumnya masih menggabungkan bentuk Negara dan bentuk
Pemerintahan.hal ini sejalan dengan pendapat Mac Iver dan Leon Duguit yang menyatakan
bahwa bentuk negara sama dengan bentuk pemerintahan.Padmo Wahyono juga berpendapat
behwa bentuk Negara aristrokrasi dan demokrasi adalah bentuk Pemerintahan klasik,
sedangkan monarki dan republik adalah bentuk pemerintahan modern. Dalam teori Klasik,
bentuk pemerintahan dapat dibedakan atas jumlah orang yang memerintah dan sifat
pemerintahannya.
Ajaran plato (429-347 SM )
Plato mengemukakan lima bentuk pemerintahan negara. Kelima bentuk itu menurut
Plato harus sesuai dengan sifat-sifat tertentu manusia.Adapun kelima bentuk itu sebagai
berikut:

1. Aristrokrasi, yaitu bentuk Pemerintahan yang di pegang oleh kaum Cendikiawan yang di
laksanakan sesuai dengan pikiran keadilan.
2. Temokrasi, yaitu bentuk pemerintahan yang di pegang oleh orang-orang yang ingin
mencapai kemasyuran dan kehormatan
3. Oligarki, yaitu bentuk pemerintahan yang di pegang oleh golongan hartawan.
Demokrasi, yaitu bentuk pemerintahan yang di pegeng oleh rakyat jeleta.
Tirani, yaitu bentuk pemerintahan yang di pegeng oleh soorang tiran ( sewenwng-wenang )
sehingga jauh dari cita-cita keadilan.
Ajaran Aristoteles ( 384-322 SM )
Aristoteles dapat membedakan bentuk pemerintahan berdasakan kriteria dua pokok, yaitu
jumlah orang yang memegang pucuk pemerintahan dan kualitas pemerintahannya.
Berdasarkan dua kriteria tersebut, perbedaan bentuk pemerintahan adalah sebagai berikit.
Monarki, yaitu bentuk pemerintahan yang di pegeng oleh satu orang demi kepentingan
umum. Sifat pemerintahan ini baik dan ideal.
1. Tirani, Yaitu bentuk pemerintahan yang di pegeng oleh seseorang demi
kepentingan pribadi.bentuk pemerintahan ini buruk dan merupakan kemerosotan.
Aristrokrasi, yaitu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok cendikiawan
demi kepentingan umum. Bentuk pemerintahan ini baik dan ideal.
2. Oligarki, yaitu bentuk pemerintahan yang di pegang oleh sekelompok
cendikiawan demi kepentingan kelompoknya. Bentuk pemerintahan ini merupKn
pemerosotan dan buruk..
3. Politea, yaitu bentuk pemerintahannya yang di pegeng oleh seluruh rakyat
demi kepentingan umum. Bentuk pemerintahan ini baik dan ideal.
Demokrasi, yaitu bentuk pemerintahan yang di pegeng oleh orang-orang tertentu demi
kepemtingan sebagian orang. Bentuk pemerintahan ini kurang baiak dan merupakan
pemerosotan.
Ajaran Polibios ( 204-122 SM )
Ajaran polybios yang di kenal dengan cyclus theory sebenarnya merupakan
pengembangan lebih lanjut dari ajaran Aristoteles dengan sedikit perubahan, yaitu dengan
mengganti bentuk pemerintahan ideal polytea dengan demokrasi.
Polibios menjelaskan bahwa pada mulanya monarki menjalankan kekuasaan atas
rakyat dengan baik dan dapat dipercaya.Namun, dalam perkembangannya raja tidak lagi
menjalankan pemerintahan untuk kepentingan umum, bahwa cenderung sewenang-wenang
dan menindas rakyat. Bentuk pemerintahan monarki bergeser menjadi tirani.

Dalam pemerintahan tirani yang sewenang-wenang,muncullah kaum Bangsawan yang


bersekongkol untuk melawan.Mereka bersatu untuk mengadakan pemberontakan sehingga
kekuasaan beralih pada mereka. Pemerintahan selanjutnya di pegang oleh beberapa orang dan
memperhatikan kepentingan umum. Pemerintahan pun berubah dari tirani menjadi
aristrokrasi. Aristrokrasi yang semula baik dan memperhatikan kepentingan umum, pada
perkembangannya tidak lagi menjalankan keadilan, dan hanya mementingkan diri sendiri.
Keadaan itu mengakibatkan pemerintahan aristrokrasi bergeser ke oligarki.
Dalam pemerintahan oligarki yang tidak ada keadilan, rakyat berontak mengambil
alih kekuasaan untuk memperbaiki nasib. Rakyat menjalankan kekuasaan negara demi
kepentingan rakyat .akibatnya,pemerintahan bergeser menjadi Demokrasi.namun,
Pemerintahan demokrasi yang awalnya baik lama kelemaan banyak di warnai
kekacauan,kebrobokan, dan koropsi sehingga hukum sulit di tegakkan.Dari pemerintahan
oklokrasi ini kemudian muncul seorang yang kuat dan berani yang dengan kekerasan dapat
memegang pemerintahan dengan demikian, pemerintahan kembali di pegang oleh satu tangan
dalam bentuk monarki.
Perjalanan siklus pemerintahan menurut polybios diatas memperlihatkan adanya
hubungan Kausal (sebab akibat ) antara bentuk pemerintahan yang satu dengan yang lain

2. Bentuk pemerintahan Monarki


Leon Duguit dalam bukunya treatie de Droit Constitutional membedakan bentuk
Pemerintahan dalam Monarki dan Republik. Perbedaan antara bentuk pemerintahan Monarki
dan republik menurut Leon Duguit ada pada kepela Negaranya.Jika Kepala negara di tunjuk
berdasarkan hak turun-temurun, maka pemerintahan yang demikian di sebut Monarki. Kalau
kepela Negaranya ditunjuk tidak berdasarkan turun-temuru, melainkan dipilih, maka bentuk
pemerintahan tersebut adalah republik.
Dalam praktik-praktik ketatanegaraan, bentuk pemerintahan Monarki dapat di bedakan
sebagai berikut:
a. Monarki Absolut
Dalam Monarki Absolut, pemerintahan di kepelai oleh seorang raja,ratu,syah atau
kaisar (sebutan untuk jabatan ini antara satu wilayah dengan wilayah lain kadang berbeda
yang kekuasaannya tidak terbatas. Perintah penguasa merupakan hukum yang harus di patuhi
oleh rakyatnya.pada diri penguasa terdapat kekuasaan exsekutif, legeslatif,dan yudikatif yang
menyatu dalam ucapan dan perbuatannya.Satu contoh yang banyak di kenal adalah Perancis
pada masa kekuasaan Louis XIV. Louis XIV menyebut l’etat c’est moi (Negara adalah saya )
Artinya tidak ada perbedaan antara lembaga Negara dengan diri pribadi sang Raja,segala
kehendaknya bearti undang-undang yang mesti di patuhi oleh rakyat.

b. Monarki konstitusional
Bentuk monarki absolut banyak di praktekkan pada masa lalu, ketika partisipasi
politik rakyat di batasi atau bahkan tidak di perkenankan sama sekali. Perkembangan politik
yang terjadi, terutama setelah lahirnya Revolusi Industri, menyadarkan rakyat bahwa mereka
memiliki hak asasi yang tidak dapat di anbil alih secara paksa.karena itu berkembang
kehendak untuk membatasi kekuasaan Raja agar tidak bersifat mutlak ( Absolut ). Disisi lain
partisipasi politik Rakyat juga harus di beri ruang.penguasa pun mesti memperhatikan
kepentinagan rakyat dan bekarja keras untuk mewujutka tujuan bersama.semua itu termasuk
dala suatu undang-undang dasar ( Konstitusi ) yang di andaikan sebagai suatu kontrak Sosial
antara penguasa dan rakyat. Karena kekuasaan raja di batasi oleh undan-undang dasar (
Konstitusi ), maka bentuk pemerintahan di sebut monarki konstitusional.
Pengalaman beberapa kerajaan berkaitan dengan proses terbentuknya Monarki Konstitusional
dapat di uraikan sebagai berikut:
1) Adakalanya inisiatif untuk mengubah bentuk menarki absolut menjadi monarki
konstitusional itu datang dari raja sendiri karena di takut kekuasaannya akan runtuh.contoh
:Jepang dengan hak octrooi.
2) Adakalanya monarki absolut berubah menjadi monarki konstitusional karena adanya desakan
dari Rakyat atau terjadi refilusi yang berakibat dibatasinya kekuasaan raja (tidak lagi mutlah /
Absolut ). Contoh : Inggris yang melehirkan Bill of right pada 1689, Yordania, Denmark,
Arab Saudi, dan Brunei Darusalam.
Dalam perkembangan mondren, tidak sedikit yang kemudian membatasi kekuasaan raja
dengan hanya menempatkan raja sebagai kepala negara. Sementara, kekuasaan kepela
pemerinthan di pegang oleh seorang perdana mentri.kabinet yang di pimpin oleh
perdanamentri sendiri di bentuk berdasarkan kekuatan politik di parlemen.Dalam sistem ini,
perdana mentri bertabggung jawab kepada parlemen.sementara, anggota parlemen di pilih
oleh Rakyat. Dengan demikian, rakyat memiliki kekuasaan cukup besar untuk terlibat dalam
segenap proses politik Dengan pembatasan kekuasaan raja dan di bukanya partisipasi politik
warga negara, maka prinsip-prinsip dasar demikrasi sesunguhnya telah di terapkan.Sistem
yang demikian pada masa kini di kembangkan antara lain oleh Inggris,Belenda , dan
Malaysia

3. Bentuk Pemerintahan Republik


Selain bentuk pemerintahan monarki, yang secara jelas dicirikan oleh kepemimpinan raja,
terdapat pula bentuk pemerintahan yang lain.Bentuk pemerintahan tersebut adalah
Republik.Republik berasal dari kata res publika yang bermakna kepentingan umum. Hal ini
karena pada awalnya, bentuk pemerintahan republik diangankan sebagai suatu bentuk
pemerintahan yang dijalankan secara demikratis dengan memperhatikan kepentingan
rakyat.tetapi, dalam kenyataannya tidak demikian. Kadang kita mendapati pula suatu Negara
mengunakan bentuk pemerintahan Republik,tetapi kepala pemerintahannya bertindak
sewenang-wenang seolah dengan kekuasaan yang ada dalam genggamannya di dapat
melekukan segala keinginannya.
Dalam praktik, kita dapat membedakan bentuk pemerintahan republik antara republik absolut
dan republik konstitusional
a. Republik Absolut
Dalam Republik absolut, pemerintahan bersifat diktator tanpa ada pembatasan
kekuasaan.penguasa mengabaikan tatanan Republik dalan idialisasi,yang sesungguhnya mesti
menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan sempit kekuasaan pribadi
pemimpin.untuk mengabsahkan ( melegitimasi ) kekuasaan yang sewenang-wenang,kerap
kali penguasa diktator mengunakan instrumen Hukum. Maksutnya, Hukum dimanipulasi
sedemikian rupa sehingga mendukung kekuasaannya yang semena-mena. Misalnya, dibuat
satu pasal dalam konstitusi yang menyatakan bahwa didrinya adalah Presiden seumur
hidup.tidak jarang pula tatanan politik di gunakan sebagai alat kekuasaan.misalnya Partai
Politik ada,tetepi partai tersebut merupakan satu-satunya partai yang boleh berdiri dan di
pimpin oleh sang peguasa atau di gunakan sebagai penopang utama kekuasaannya.
Pemerintahan yang absolut bersifat totaliter.maksudnya segalanya terpisat pada kekuasaan
sang pemimpin. Adapun tindakan dan ucapan sang pemimpin dapat digunakan sebagai
landasan untuk membenarkanKesewenangan.perbedaan, kebebasan, atau hak asasi yang tidak
diakui.yang ada hanyalah keseragaman, dan keseragaman tersebut di tentukan oleh
pengiasa.Tidak ada yang lebih benar daripada penguasa.penentangan terhadap kekuasaan
akan dimaknai sebagai penentangan terhadap negara.jadi, musuh peguasa adalah musuh
negara. Sebeb, tidak ada pembedaan antara lembaga negara dan penguasa sebagai pribadi.
Perbedaan utama antara Monarki absolut dan Republik absolut terdapat pada
kekuasaan yang di eariskan. Dalam Monarki absolut kekuasaan Rajadiwarisi dari
pendahuluannya sedabgkan dalam Republik absolut kekuasaan dapat diperoleh melelui
beragam cara.Ada peguasa Republik yang meraih kekuasaan melaliu perebutan kekuasaan
melelui perebutan kekuasaan secara tidak sah ( kudeta ), adapula yang memperolehnya
memlalui pemilu yang curang. Tapi adapula penguasa negara Republik yang mewariskan
kekuasaannya kepada keturunannya atau orang kepercayaannya ( tanpa melelui pemilu )
demi melanggengkan upaya memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan sendiri.
b. Republik Konstitusional
Dalam Republik Konstitusional, kekuasaan Kepala negara dan kepala pemerintahan
tidak diwariskan.Keduanya merupakan kedudukan politik yang dapat di perebutkan melelui
cara-cara yang di tetapkan di dalam undang-undang dasar.Undang-undang Dasar menjadi
landasan utama segenap praktik kenegaraan.Undang-undang Dasar menjadi semacam kontrak
sosial antara rakyat dengan pemimpin.Didalamnya secara umum di atur bagaimana
kekuasaan dipisah/dibagi, bagaimana kekuasaan tersebut dijalankan, apasaja dan kewajiban
warga negara, dan aturan-aturan dasar lain dalam kehidupan kenegaraan.
Kedaulatan tertinggi berda di tangan Rakyat. Karena itu, pemimpin dipilih dan
bertanggung jawab kepada rakyat ( secara langsung atau tidak langsung ). Kekuasaan
pemimpin tidak bersifat mutlak. Dala hal ini aspek pertanggung jawaban publik merupakan
hal yang membedakan bentuk Republik konstitusional dengan yang absolut.apabila
pemimpin melakukan penyelewengan terhadap Undang-undang Dasar, terdapat suatu
mekanisme yang memungkinkan kontrol sekaligus pergantian kepemimpinan secara
prosedural.
Republik konstitusional menjujung tinggi hukum dan kedaulatan rakyat.itu
artinya,setiap warga negara berkedudukan setara dihadapan Hukum.demikian pula,
partisipasi politik bagi warga negara terbuka asal sesuai dengan pereturan perundan-
undangan.
Republik konstitusional dapat memperaktekkan sistem pemerintahan Presidensial
maupun parlementter dalam Republik konstitusional yang menjalankan sistem presidensial,
kekuasaan pemerintahan dan kepela negara berada di tangan presiden.Sedangkan dalam
Republik parlementer, posisi kepala negara pemerintahan di jabat oleh orang yang
berbeda.perbedaan antara sistem presidensial dan parlementer telah di uraikan dalan bahasa
terdahulu.
Sistem Pemerintahan di Masa Sekarang
Ada 3 macam sistem pemerintahan :
a. Sistem pemerintahan parlementer
Sistem pemerintahan parlementer merupakan sistem pemerintahan dimana hubungan antara
eksekutif dan badan perwakilan (legislatif) sangat erat.
Ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer, antara lain:
- Kabinet yang dipimpin oleh perdana mentri dibentuk oleh atau atas dasar kekuatan dan atau
kekuatan-kekuatan yang menguasai parlemen.
- Para anggota kabinet mungkin seluruhnya atau para anggota kabinet mungkin seluruh
anggota parlemen, atau tidak seluruhnya dan mungkin seluruhnya bukan anggota parlemen.
- Kabinet dengan ketuanya (eksekutif) bertanggung jawab kepada parlemen (legislatif).
- Sebagai imbangan dapat dijatuhkannya kabinet, maka kepala negara (presiden: raja atau ratu)
dengan saran atau nasehat perdana mentri dapat membubarkan parlemen.
- Kekuasaan kehakiman secara prinsipil tidak digantungkan kepada lembaga eksekutif dan
legislatif, hal ini untuk mencegah intimidasi dan intervensi lembaga lain.

b. Sistem presidensiil
Sistem pemerintahan presidensiil adalah suatu pemerintahan di mana kedudukan eksekutif
tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, dengan kata lain kekuasaan
eksekutif berada di luar pengawasan (langsung) parlemen.
Karaktristik sistem pemerintahan presidensiil, yaitu:
- Presiden adalah kepala eksekutif yang memimpin kabinetnya yang semua diangkat olehnya
dan bertanggung jawab olehnya.
- Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif, tetapi dipilh oleh sejumlah pemili.
- Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan legislatif dan tidak dapat dijatuhkan oleh
badan legislatif.
- Sebagai imbangannya, presiden tidak dapat membubarkan badan legislatif.

c. Sistem pemerintahan quasi


Sistem pemerintahan quasi pada hakikatnya merupakan bentuk variasi dari sistem
pemerintahan parlemen dan sistem pemerintahan presidensiil. Hal ini disebabkan situasi dan
kondisi yang berbeda sehingga melahirkan bentuk-bentuk semuanya.

d. Sistem pemerintahan referendum


Sistem referendum merupakan bentuk variasi dari sistem quasi (quasi presidensiil) dan sistem
presidensiil murni. Tugas membuat undang-undang berada dibawah pengawasan rakyat yang
mempunyai hak pilih, pengawsan itu dilakukan dalam bentuk referendum.
Sistem pemerintahan referendum dibagi menjadi dua, yaitu:
- Referendum oblikator, yaitu jika persetujuan dari rakyat mutlak harus diberikan dalam
pembuatan suatu peraturan UU yang mengikat rakyat seluruhnya, karena sangat penting
- Referendum fakultatif, yaitu jika persetujuan dari rakyat dilakukan terhadap UU biasa,
karena kurang pentingnya, setelah UU itu diumumkan dalam jangka waktu yang ditentukan.

Sistem Pemerintahan Negara RI Terdapat pada pasal-pasal berikut :


• Pasal 4 ayat 1
• Pasal 17 ayat 1
• Pasal 17 ayat 2
• Pasal 17 ayat 34
• Pasal 17 ayat 4

BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Negara merupakan integrasi kekuasaan politik, organisasi pokok kekuatan politik,
agency (alat) masyarakat yang memegang kekuasaan mengatur hubungan antarmanusia
dalam masyarakat dan menertibkan gejala kekuasaan di dalamnya. Dengan
demikian negara mengintegrasikan dan membimbing berbagai kegiatan sosial penduduknya
ke arah tujuan bersama.
Berikut rangkuman mengenai teori asal mula negara:
A.Teori-teori Perspektif
1. Teori Perjanjian Masyarakat (Kontrak sosial); Menganggap Perjanjian sebagai dasar
negara dan masyarakat.
2. Teori Teokratis; Negara sebagai buatan Ilahi (Tuhan) karena terjadinya atas kuasa dan
kehendak Tuhan. Hukum Tuhan adalah sumber dari segala sumber hukum yang berlaku bagi
masyarakat.
3. Teori Kekuatan; Merupakan hasil dominasi dari kelompok yang kuat terhadap kelompok
yang lemah. Negara terbentuk dengan penaklukan dan pendudukan.
4. Teori Patriakal dan Matriakal; Patriakal adalah Terjadinya negara dari kekuasaan asli
kepala keluarga yang pertama kemudian turun-temurun kepada ayah yang tertinggi dari suatu
keluarga. Matriakal adalah tidak mengenal pria sebagai kepala keluarga, sebaliknya garis
keturunan ditarik dari garis ibu.
5. Teori Organis; Negara dipersamakan dengan makhluk hidup, manusia atau binatang.
Negara dipandang sebagai organisme, sebagai makhluk hidup yang mmpunyai tempat
sendiri-sendiri dan fungsi sendiri-sendiri pula.
6. Teori Daluwarso; Raja karena daluwarsa menjadi pemilik kedaulatan. Di dasarkan atas
hukum kebiasaan.
7. Teori Naturalis; Negara merupakan ciptaan alam.
8. Teori Idealis (Teori Mutlak): Negara sebagai kesatuan yang mistis yang bersifat
supranatural. Merupakan bersifat idealistis karena merupakan pemikiran tentang negara
sebagaimana negara itu “seharusnya ada, negara sbg “ide”.
B. Teori Historis atau Teori yang Evolusionistis
Menganggap lembaga-lembaga sosial tidak dibuat, tetapi tumbuh secara sosial yang
diperuntukan guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia (F. Isjwara, 1980 : 1602)
Hubungan paling kecil adalah keluarga inti (nusleus family), kemudian membentuk keluarga
besar seperti Clan atu marga (bergabung) membentuk keluarga besar atau desa (bargabung)
Desa yang lebih besar yaitu Negara.
Asal mula terjadinya negara secara umum berdasarkan fakta sejarah:
1. Pendudukan (Occupatie)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah yang tidak bertuan dan belum dikuasai, kemudian
diduduki dan dikuasai.Misalnya, Liberia yang diduduki budak-budak Negro yang
dimerdekakan tahun 1847.
2. Peleburan (Fusi)
Hal ini terjadi ketika negara-negara kecil yang mendiami suatu wilayah mengadakan
perjanjian untuk saling melebur atau bersatu menjadi Negara yang baru. Misalnya
terbentuknya Federasi Jerman tahun 1871.
3. Penyerahan (Cessie)
Hal ini terjadi Ketika suatu Wilayah diserahkan kepada negara lain berdasarkan suatu
perjanjian tertentu. Misalnya, Wilayah Sleeswijk pada Perang Dunia I diserahkan
oleh Austria kepada Prusia,(Jerman).
4. Penaikan (Accesie)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah terbentuk akibat penaikan LumpurSungai atau dari
dasar Laut (Delta). Kemudian di wilayah tersebut dihuni oleh sekelompok orang sehingga
terbentuklah Negara. Misalnya wilayah negara Mesir yang terbentuk dari Delta Sungai Nil.
5. Pengumuman (Proklamasi)
Hal ini terjadi karena suatu daerah yang pernah menjadi daerah jajahanditinggalkan begitu
saja. Sehingga penduduk daerah tersebut bisa mengumumkan kemerdekaannya.
Contohnya, Indonesia yang pernah di tinggalkan Jepang karena pada saat itu jepang dibom
oleh Amerika di daerah Hiroshima dan Nagasaki.

Mengenai asal-usul berdirinya suatu negara, teori-teori yang dibangun lebih bertumpu
kepada hasil pemikiran teoritis-deduktif, dibandingkan dengan kajian empiris- induktif.
Dalam ilmu politik dikenal banyak teori tentang lahirnya sebuah negara, teori-teori tersebut
merupakan pengaruh dari perkembangan ilmu-ilmu sosial.
Di Indonesia, sangat jelas tertulis dalam undang-undang dasar Republik Indonesia
Pasal 1 (1) yang berbunyi “Negara Indonesia ialah Negarah Kesatuan,yang berbentuk
Republik”.

Anda mungkin juga menyukai