DAFTAR PUSTAKA
Rapar, J.H. Filsafat Politik Plato Seri Filsafat Politik No1. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996.
Schmandt, Henry J. Filsafat Politik Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai
Zaman Modern.Yogyakarta:Pustaka pelajar (Anggota IKAPI), 2002.
Strathern, Paul. 90 Menit Bersama Aristoteles. Jakarta: Eirlangga, 2001
Syam, Firdus. Pemikiran Politik Barat. Jakarta:Bumi Aksara, 2007.
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeni Filsafat Politik Islam. Bandung: Mizan media
utama (MUU), 2002.
Demokrasi dan negara hukum adalah dua konsepsi mekanisme kekuasan dalam
menjalankan roda pemerintahan negara. Kedua konsepsi tersebut saling berkaitan
yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan, karena pada satu sisi demokrasi
memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan
dan kesederajatan manusia, pada sisi yang lain negara hukum memberikan patokan
bahwa yang memerintah dalam suatu negara bukanlah manusia, tetapi hukum.
Dalam tataran praksis, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin
peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap
peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar
mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Sedangkan dalam negara yang
berdasarkan atas hukum, dalam hal ini hukum harus dimaknai sebagai kesatuan
hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti
bahwa dalam suatu negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi.
Supremasi konstitusi, di samping merupakan konsekuensi dari konsep negara
hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah
wujud perjanjian sosial tertinggi (Jimly Asshiddiqie, 2005:152-162).
Maka, dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang tujuan bersama, batas-batas
hak individual, dan siapa yang bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan
tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya.
Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di
suatu negara (the supreme law of the land), yang kemudian dielaborasi secara
konsisten dalam hukum dan kebijakan negara (Jimly Assiddiqie, 2008:532).
Oleh karena itu, hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak
boleh ditetapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa.
Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi, karena hukum tidak dimaksudkan
hanya untuk menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan
menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang sehingga negara hukum yang
dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, tetapi demcratische rechtsstaa(Jimly
Assiddiqie, 2008:532)
Konsepsi Demokrasi
Konsepsi demokrasi selalu menempatkan rakyat pada posisi yang sangat strategis
dalam sistem ketatanegaraan, walaupun pada tataran implementasinya terjadi
perbedaan antara negara yang satu dengan negara yang lain. Karena berbagai
varian implementasi demokrasi tersebut, maka di dalam literatur kenegaraan
dikenal beberapa istilah demokrasi yaitu demokrasi konstitusional, demokrasi
parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi rakyat,
demokrasi soviet, demokrasi nasional, dan lain sebagainya. Semua konsep ini
memakai istilah demokrasi, yang menurut asal kata berarti “rakyat berkuasa” atau
government or rule by the people (kata Yunani demos berarti rakyat, kratos/
kratein berarti kekuasaan/berkuasa)(Miriam Budiardjo, 1996:50).
Dalam pandangan lain, demokrasi sebagai suatu gagasan politik merupakan paham
yang universal sehingga di dalamnya terkandung beberapa elemen sebagai
berikut:(Afan Gaffar, 2005:15)
Perwakilan politik. Kekuasaan politik tertinggi dalam suatu Negara dan dalam
masyarakat hokum yang lebih rendah diputuskan oleh badan perwakilan, yang diisi
melalui pemilihan umum;
Pertanggungjawaban politik. Organ-organ pemerintahan dalam menjalankan
fungsinya sedikit banyak tergantung secara politik yaitu kepada lembaga
perwakilan;
Pemencaran kewenangan. Konsentrasi kekuasaan dalam masyarakat pada satu
organ pemerintahan adalah kesewenang-wenangan. Oleh karena itu, kewenangan
badan-badan publik itu harus dipencarkan pada organ-organ yang berbeda;
Pengawasan dan kontrol (penyelenggaraan) pemerintahan harus dapat dikontrol;
Kejujuran dan terbuka untuk umum; dan
Rakyat diberi kemungkinan untuk mengajukan keberatan.
Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie (2000:141-144) menegaskan bahwa negara hukum
yang bertopang pada sistem demokrasi pada pokoknya mengidealkan suatu
mekanisme bahwa negara hukum itu haruslah demokratis, dan negara demokrasi
itu haruslah didasarkan atas hukum. Menurutnya, dalam perspektif yang bersifat
horizontal gagasan demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional
democracy) mengandung 4 (empat) prinsip pokok, yaitu:
Adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama;
Pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau pluralitas;
Adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama; dan
Adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan yang
ditaati bersama dalam konteks kehidupan bernegara, di mana terkait pula dimensi-
dimensi kekuasaan yang bersifat vertikal antar institusi negara dengan warga
negara.
Dalam pandangannya, keempat prinsip-prinsip pokok dari demokrasi tersebut
lazimnya dilembagakan dengan menambahkan prinsip-prinsip negara hukum
(nomokrasi), yaitu:
Pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia;
Pembatasan kekuasaan melalui mekanisme kekuasaan dan pembagian kekuasaan
disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antar lembaga negara,
baik secara vertikal maupun horizontal;
Adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak (independent and
impartial) dengan kewibawaan putusan yang tertinggi atas dasar keadilan dan
kebenaran;
Dibentuknya lembaga peradilan yang khusus untuk menjamin keadilan warga
negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan pemerintahan (pejabat
administrasi negara);
Adanya mekanisme judicial review oleh lembaga legislatif maupun lembaga
eksekutif;
Dibuatnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan-
jaminan pelaksana prinsip-prinsip tersebut; dan
Pengakuan terhadap asas legalitas atau due process of law dalam keseluruhan
sistem penyelenggaraan negara.
Oleh karena itu, negara hukum itu harus ditopang dengan sistem demokrasi karena
terdapat korelasi yang jelas antara negara hukum yang bertumpu pada konstitusi,
dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Dalam sistem
demokrasi partisipasi rakyat merupakan esensi dari sistem ini. Akan tetapi,
demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sementara
hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna. Menurut Frans Magnis Suseno,
demokrasi yang bukan negara hukum bukan demokrasi dalam arti yang
sesungguhnya. Demokrasi merupakan cara yang paling aman untuk
mempertahankan kontrol atas negara hukum (Frans Magnis Suseno, 1997:58).
Dengan demikian dalam negara hukum yang demokratis, hukum dibangun dan
ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Hukum tidak boleh dibuat,
ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan “tangan besi” berdasarkan
kekuasaan semata (machtsstaat). Sebaliknya, demokrasi haruslah diatur berdasar
atas hukum (rechtsstaat) karena perwujudan gagasan demokrasi memerlukan
instrumen hukum untuk mencegah munculnya mobokrasi, yang mengancam
pelaksanaan demokrasi itu sendiri.
Negara Hukum “Indonesia” Yang Demokratis
Indonesia, sebagai negara yang terlahir pada abad modern melalui Proklamasi 17
Agustus 1945 juga “mengklaim” dirinya sebagai negara hukum. Hal ini
terindikasikan dari adanya suatu ciri negara hukum yang prinsip-prinsipnya dapat
dilihat pada Konstitusi Negara R. I. (sebelum dilakukan perubahan), yaitu dalam
Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh (non Pasal-pasal tentang HAM), dan
Penjelasan UUD 1945 dengan rincian
sebagai beriku:
1. Pembukaan UUD 1945, memuat dalam alinea pertama kata ”peri keadilan”, dalam
alinea kedua “adil”, serta dalam alinea keempat terdapat perkataan “keadilan
sosial”, dan “kemanusiaan yang adil” Semua istilah itu berindikasi kepada
pengertian negara hukum, karena bukankah suatu tujuan hukum itu untuk
mencapai negara keadilan. Kemudian dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea
keempat juga ditegaskan “maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu
dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia”
2. Batang Tubuh UUD 1945, menyatakan bahwa “Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 14).
Ketentuan ini menunjukkan bahwa presiden dalam menjalankan tugasnya harus
mengikuti ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan dalam Undang-undang
Dasar. Pasal 9 mengenai sumpah Presiden dan Wakil Presiden “memegang teguh
Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya
selurus-lurusnya”. Melarang Presiden dan Wakil Presiden menyimpang dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam menjalankan tugasnya suatu
sumpah yang harus dihormati oleh Presiden dan Wakil Presiden dalam
mempertahankan asas negara hukum. Ketentuan ini dipertegas lagi oleh Pasal 27
UUD 1945 yang menetapkan bahwa “segala warga negara bersamaan
kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Pasal ini selain menjamin prinsip equality before the law, suatu hak demokrasi
yang fundamental, juga menegaskan kewajiban warga negara untuk menjunjung
tinggi hukum suatu prasyarat langgengnya negara hukum; dan
3. Penjelasan UUD 1945, merupakan penjelasan autentik dan menurut Hukum Tata
Negara Indonesia, Penjelasan UUD 1945 itu mempunyai nilai yuridis, dengan
huruf besar menyatakan: “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)
tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat)”. Ketentuan yang terakhir
ini menjelaskan apa yang tersirat dan tersurat telah dinyatakan dalam Batang
Tubuh UUD 1945.
Dari ketiga ketentuan di atas, penegasan secara eksplisit Indonesia sebagai negara
hukum dapat dijumpai dalam Penjelasan UUD 1945. Lain halnya dengan dua
konstitusi (Konstitusi RIS dan UUDS 1950) yang pernah berlaku di Indonesia,
terdapat penegasan secara eksplisit rumusan Indonesia sebagai negara hukum.
Dalam Mukaddimah Konstitusi RIS misalnya disebutkan pada alinea ke-4; “untuk
mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian, dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan negara hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna”.
Kemudian di dalam Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS juga disebutkan; “Republik
Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu Negara hukum yang
demokrasi dan berbentuk federasi”.
Demikian pula halnya, di dalam Mukaddimah UUDS 1950 pada alinea keempat
menyebutkan:
Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam Negara
yang berbentuk Republik Kesatuan, berdasar pengakuan Ketuhanan Yang Maha
Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial untuk
mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian, dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan negara hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna.
Kemudian di dalam Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 disebutkan; Republik Indonesia
yang merdeka dan berdaulat ialah negara hukum yang demokratis dan berbentuk
kesatuan.
Setelah UUD 1945 dilakukan perubahan, rumusan negara hukum Indonesia yang
semula hanya dimuat secara implisit baik di dalam Pembukaan maupun Batang
Tubuh UUD 1945 dan secara eksplisit dimuat di dalam Penjelasan UUD 1945,
penempatan rumusan negara hukum Indonesia telah bergeser kedalam Batang
Tubuh UUD 1945 yang secara tegas dinyatakan di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
1945 yang berbunyi: Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Jika dikaitkan
dengan unsur-unsur negara hukum sebagaimana uraian pada pembahasan di atas,
maka dapat ditemukan pengaturan unsur-unsur negara hukum dalam Batang Tubuh
UUD 1945 sebagai berikut:
Penutup
Negara hukum itu harus ditopang dengan sistem demokrasi karena terdapat
korelasi yang jelas antara negara hukum yang bertumpu pada konstitusi, dengan
kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Dalam sistem
demokrasi partisipasi rakyat merupakan esensi dari sistem ini. Akan tetapi,
demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sementara
hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna. Negara hukum yang demokratis,
hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Hukum tidak
boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan “tangan besi”
berdasarkan kekuasaan semata (machtsstaat). Sebaliknya, demokrasi haruslah
diatur berdasar atas hukum (rechtsstaat) karena perwujudan gagasan demokrasi
memerlukan instrumen hukum untuk mencegah munculnya mobokrasi, yang
mengancam pelaksanaan demokrasi itu sendiri.
akultas Hukum
Universitas Tanjungpura
Pontianak
2012
Kata Pengantar
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT atas selesainya tugas ini yang
dibuat untuk memenuhi tugas tugas mata kuliah Ilmu Negara.
Kami mengucapkan terima kasih kepada :
1) Bapak Dr.Firdaus,S.H.,M.si. selaku dosen pengajar mata kuliah Ilmu Negara.
2) Kedua orang tua atas segala fasilitas.
3) Anggota kelompok untuk semua bantuan dan kerjasamanya.
Kami berharap makalah ini dapat membantu pembaca untuk dapat mengetahui serta
memahami definisi negara,teori asal mula negara, teori bentuk negara dan bentuk
pemerintahan. Segala kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sangat kami
harapkan sebagai bahan perbaikan dimasa mendatang.
Pontianak,
PENYUSUN
Daftar Isi
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II Isi
2.1 Definisi Negara
2.2 Teori Asal Mula Negara
2.3 Teori Bentuk Negara
2.4 Teori Bentuk Pemerintahan
BAB III Penutup
3.1 Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I
Pendahuluan
Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Selain itu, manusia juga
merupakan mahluk politik yang mempunyai naluri untuk berkuasa. Oleh karena itu
keberadaan sebuah negara sangat diperlukan sebagai tempat berlindung bagi individu,
kelompok, dan masyarakat yang lemah dari tindakan individu, kelompok, atau masyarakat
maupun penguasa yang kuat (otoriter) karena manusia dengan manusia yang lainnya
memiliki sifat seperti serigala (homo homini lupus)
Kata negara sendiri berasal dari Bahasa Inggris (STATE), Bahasa Belanda (STAAT),
Bahasa Perancis (ETAT) yang sebenarnya kesemua kata itu berasal dari Bahasa Latin
(STATUS atau STATUM) yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang
memiliki sifatsifat yang tegak dan tetap. Dimana makna luas dari kata tersebut juga bisa
diartikan sebagai kedudukan persekutuan hidup manusia.
Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk
memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya.
Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut
sebagai Konstitusi, termasuk didalamnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh
rakyat sebagai anggota negara. Sebagai dokumen yang mencantumkan cita-cita
bersama, maksud didirikannya negara Konstitusi merupakan dokumen hukum
tertinggi pada suatu negara. Karenanya dia juga mengatur bagaimana negara
dikelola. Konstitusi di Indonesia disebut sebagai Undang-Undang Dasar.
Dalam bentuk modern negara terkait erat dengan keinginan rakyat untuk
mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis. Bentuk
paling kongkrit pertemuan negara dengan rakyat adalah pelayanan publik, yakni
pelayanan yang diberikan negara pada rakyat. Terutama sesungguhnya adalah
bagaimana negara memberi pelayanan kepada rakyat secara keseluruhan,
fungsi pelayanan paling dasar adalah pemberian rasa aman. Negara
menjalankan fungsi pelayanan keamanan bagi seluruh rakyat bila semua rakyat
merasa bahwa tidak ada ancaman dalam kehidupannya. Dalam
perkembangannya banyak negara memiliki kerajang layanan yang berbeda bagi
warganya.
Berbagai keputusan harus dilakukan untuk mengikat seluruh warga negara,
atau hukum, baik yang merupakan penjabaran atas hal-hal yang tidak jelas
dalam Konstitusi maupun untuk menyesuaikan terhadap perkembangan zaman
atau keinginan masyarakat, semua kebijakan ini tercantum dalam suatu Undang-
Undang. Pengambilan keputusan dalam proses pembentukan Undang-Undang
haruslah dilakukan secara demokratis, yakni menghormati hak tiap orang untuk
terlibat dalam pembuatan keputusan yang akan mengikat mereka itu. Seperti
juga dalam organisasi biasa, akan ada orang yang mengurusi kepentingan rakyat
banyak. Dalam suatu negara modern, orang-orang yang mengurusi kehidupan
rakyat banyak ini dipilih secara demokratis pula.
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1. Pembaca mengetahui definisi negara.
2. Pembaca mengetahui teori asal mula negara.
3. Pembaca mengetahui teori terbentuknya negara.
4. Pembaca mengetahui teori bentuk pemerintahan.
BAB II
Isi
2.1 Definisi Negara
Negara menurut bahasa (Noun):
1. 1 organisasi dl suatu wilayah yg mempunyai kekuasaan tertinggi yg sah dan ditaati oleh
rakyat; 2 kelompok sosial yg menduduki wilayah atau daerah tertentu yg diorganisasi di
bawah lembaga politik dan pemerintah yg efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat
sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya: kepentingan -- lebih penting dp
kepentingan perseorangan;
ber·ne·ga·ra v 1 mempunyai negara; 2 menjalankan pemerintahan negara: berjuang krn
ingin me·ne·ga·ra v menjadi bangsa yg bernegara;
ke·ne·ga·ra·an n seluk-beluk negara; yg berkenaan dng negara: Indonesia melakukan
hubungan ~ dng negara-negara tetangga
3. setelah penguasa tersebut berhasil mendirikan kekusaan diatas kaumnya, maka sifat
agresip untuk berperang atau menguasai negara tetangga menjadi kebiasaan dengan alasan
untuk memperluas negara.Ide- ide diatas merupakan gambaran mengenai suku kerajaan yang
tidak bisa dipungkiri seperti; Inggris, Skandinavia, Rusia, dan beberapa negara bagian Eropa.
Oppenheimer menberi enam tingkat gambaran atas dasar timbulnya negara:
1. Negara terlahir oleh peperangan, pembunuhan dan perampasan yang terus- menerus.
Penakluk membunuh semua kaum lelaki dan sebagai bukti penaklukan mereka membawa
anak- anak dan wanita Sebagai barang rampasan.
2. penyerahan diri kaum lemah terhadap kaum kuat, dimana mereka tidak berdaya untuk
melawan. Para penakluk berhenti membunuh, maka gantinya mereka dijadikan budak.
3. penakluk dan yang tertakluk bergabung bekerja sama guna meraih keuntungan yang baik.
4. perpaduan lebih lanjut dari penjajah dan yang dijajah. Mereka bukan saja mempelajari
untuk hidup bersama, akan tetapi juga bersatu untuk menguasai daerah lainnya.
5. mereka menemukan dasar perlengkapan administratip untuk menyudahi perselisihan
dibagian dalam.
6. para pemimpin dan sekelompok pemenang menjadi raja, dimana asisten militernya
menjadi penasehat, dan raja beserta adviser mulai berkuasa, sehingga diselenggarakan hukum
atau undang- undang terhadap warganegaranya.
Para ahli umunya membagi delapan teori mengenai terbentuknya sebuah negara.
Teori ini pertama kali dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat dengan tokoh utamanya
adalah Thomas Hobbes, Jhon Locke, dan JJ. Rosseau. Teori ini mengemukakan bahwa
negara didirikan atas dasar kesepakatan para anggota masyarakat. Mereka kemudian
menyerahkan hak-hak yang dimilikinya untuk diatur oleh negara. Teori ini adalah salah satu
teori yang terpenting menegnai sal-usul negara. Disamping tertua, teori ini juga relatif
bersifat universal, karena teori perjanjian masyarakat adalah teori yang termudah dicapai dan
negara tidak merupakan negara tiranik.penganut teori kontrak sosial ini mencakup para pakar
dari paham kenegaraan yang absolutis sampai ke penganut paham kenegaraan yang terbatas.
John Locke mengatakan bahwa sebagian besar anggota masyarakat membentuk persatuan
terlebih dahulu, baru kemudian anggota masyarakat tersebut menjadi rakyat dari suatu negara
yang didirikan. Negara dalam pandangan John Locke tidak berkuasa secara absolut
sebagaimana pandangan Hobbes. Hal ini karena dalam ralitasnya, ada bagian yang dimiliki
masing-masing orang yaitu hak asasi.
Dalam konsep tentang keadaan alamiah (state of nature), Locke dan Hobbes memiliki
perbedaan,. Hobbes melihat keadaan alamiah sebagai suatu keadaan anarkhi, sementara
Locke melihat keadaan itu sebagai suatu keadaan of peace, goodwill, mutual assistance and
preservation. Sekalipun keadaan itu suatu keadaan ideal, namun Locke juga merasakan
bahwa keadaan itu potensial dapat menimbulkan anarkhi, karena manusia hidup tanpa
organisasi dan pimpinan yang dapat mengatur kehidupan mereka dalam keadaaan alamiah
setiap individu sederajat baik mengenai kekuasaan maupun hak-hak lainnya, sehingga
penyelenggaraan kekuasaan dan yurisdiksi dilakukan oleh individu individu sendiri-sendiri,
dengan demikian dalam dirinya sendiri mengan dung potensi untuk menimbulkan kegaduhan
dan kekacauan. Oleh karena itu manusia membentuk negara dengan suatu perjanjian
bersama.
Menurut Locke, dasar kontraktual dari negara sebagai peringatan bahwa kekuasaan
negara tidak pernah mutlak, melainkan terbatas, sebab dalam mengadakan perjanjian dengan
seorang atau sekelompok orang, individu-individu tidak menyerahkan hak-hak alamiahnya
kepada mereka, karena ada hak-hak alamiah yang merupakan hak hak-hak asasi tidak dapat
dilepaskan.
Berbeda dengan Hobbes, menurut Locke karena kekuasaan negara terbentuk
dari concent rakyat dan produk perjanjian sosial warga negara, maka kekuasaan itu itdak
bebas dan otonom berhadapan dengan aspirasi dan kehendak rakyat. Hubungan antara
penguasa poltik dengan rakyat yang diperintah diumpamakan seseorang yang memberikan
kepercayaan kepada orang lain untuk mengatur dirinya. Maka hak bertindak dan mengatur
yang dimiliki negara bisa ditolelir dan dibenarkan sejauh tidak mengganggu hak-hak sipil dan
politik rakyat.
Jean Jacques Rosseau dalam bukunya yang terkenal Du Contract Social (1762),
meletakan dasar berdirinya sebuah negara, yakni dengan mengemukakan paham kedaulatan
rakyat. Yaitu adanya suatu perjanjian atau kesepakan untuk membentuk negara, tetapi rakyat
tidak sekaligus harus menyerahkan hak-hak yang dimilikinya untuk diatur negara. Agar
partisipasi rakyat dapat tersalurkan maka rakyat wajib memilih wakil-wakilnya untuk duduk
dalam pemerintahan yang didirikan serta menyusun birokrasi pemerintah secara lebih
partisipatif.
Rousseau memisahkan suasana kehidupan manusia dalam dua zaman, yakni zaman pra-
negara dan zaman bernegara. Keadaan alamiah itu diumpakan sebagai keadaan sebelum
manusia melakukan dosa, suatu keadaan yang aman dan bahagia. Karena keadaan alamiah
itu tidak dapat dipertahankan seterusnya, maka manusia dengan penuh kesadaran mengakhiri
keadaan itu dengan dengan suatu kontrak sosial, dengan adanya kontrak sosial tersebut
kemudian terjadi peralihan dari keadaan alamiah ke keadaan bernegara.
Negara atau “badan korporatif kolektif” dibentuk untuk menyatakan “kemauan umum”
(general will) dan kemauan umum tidak berarti kemauan seluruh rakyat, adakalanya
perbedaan-perbedaan antara kemauan umum dan kemauan seluruh rakyat (will of all).
Kemauan umum selalu benar dan ditujukan pada kebahagiaan bersama, sedangkan kemauan
seluruh rakyat juga memperhatikan kepentingan individual (particular interest).
Dengan konstruksi perjanjian masyarakat tersebut, Rousseau menghasilkan bentuk negara
yang kedaulatanya berada dalam tangan rakyat atau jenis negara yang demokratis melalui
kemauan umumnya.
4. Teori Organis
Teori organis merupakan teori yang banyak dipengaruhi oleh cara pandang dalam ilmu
eksakta, dengan tokohnya, Georg Wilhelm Hegel, J.K. Bluntscli, John Salisbury, Marsiglio
Padua, Pfufendrorf, Henrich Ahrens, J.W Scelling, FJ Schitenner dan lain sebagainya.
Negara adalah suatu organisme. Negara lahir sebagai analogi kelahiran makhluk hidup
lainya. Jika ada embrionya dari masyarakat-masyarakat atau suku-suku bangsa, maka
perlahan-lahan berkembang masyarakat atau suku bangsa tersebut menjadi sebuah negara.
Teori organis mengenai lahirnya negara dapat dianalogikan dengan teori historis atau teori
evolusi. Negara tumbuh sebagai hasil suatu evolusi yang memerlukan proses panjang.
1. Aristrokrasi, yaitu bentuk Pemerintahan yang di pegang oleh kaum Cendikiawan yang di
laksanakan sesuai dengan pikiran keadilan.
2. Temokrasi, yaitu bentuk pemerintahan yang di pegang oleh orang-orang yang ingin
mencapai kemasyuran dan kehormatan
3. Oligarki, yaitu bentuk pemerintahan yang di pegang oleh golongan hartawan.
Demokrasi, yaitu bentuk pemerintahan yang di pegeng oleh rakyat jeleta.
Tirani, yaitu bentuk pemerintahan yang di pegeng oleh soorang tiran ( sewenwng-wenang )
sehingga jauh dari cita-cita keadilan.
Ajaran Aristoteles ( 384-322 SM )
Aristoteles dapat membedakan bentuk pemerintahan berdasakan kriteria dua pokok, yaitu
jumlah orang yang memegang pucuk pemerintahan dan kualitas pemerintahannya.
Berdasarkan dua kriteria tersebut, perbedaan bentuk pemerintahan adalah sebagai berikit.
Monarki, yaitu bentuk pemerintahan yang di pegeng oleh satu orang demi kepentingan
umum. Sifat pemerintahan ini baik dan ideal.
1. Tirani, Yaitu bentuk pemerintahan yang di pegeng oleh seseorang demi
kepentingan pribadi.bentuk pemerintahan ini buruk dan merupakan kemerosotan.
Aristrokrasi, yaitu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok cendikiawan
demi kepentingan umum. Bentuk pemerintahan ini baik dan ideal.
2. Oligarki, yaitu bentuk pemerintahan yang di pegang oleh sekelompok
cendikiawan demi kepentingan kelompoknya. Bentuk pemerintahan ini merupKn
pemerosotan dan buruk..
3. Politea, yaitu bentuk pemerintahannya yang di pegeng oleh seluruh rakyat
demi kepentingan umum. Bentuk pemerintahan ini baik dan ideal.
Demokrasi, yaitu bentuk pemerintahan yang di pegeng oleh orang-orang tertentu demi
kepemtingan sebagian orang. Bentuk pemerintahan ini kurang baiak dan merupakan
pemerosotan.
Ajaran Polibios ( 204-122 SM )
Ajaran polybios yang di kenal dengan cyclus theory sebenarnya merupakan
pengembangan lebih lanjut dari ajaran Aristoteles dengan sedikit perubahan, yaitu dengan
mengganti bentuk pemerintahan ideal polytea dengan demokrasi.
Polibios menjelaskan bahwa pada mulanya monarki menjalankan kekuasaan atas
rakyat dengan baik dan dapat dipercaya.Namun, dalam perkembangannya raja tidak lagi
menjalankan pemerintahan untuk kepentingan umum, bahwa cenderung sewenang-wenang
dan menindas rakyat. Bentuk pemerintahan monarki bergeser menjadi tirani.
b. Monarki konstitusional
Bentuk monarki absolut banyak di praktekkan pada masa lalu, ketika partisipasi
politik rakyat di batasi atau bahkan tidak di perkenankan sama sekali. Perkembangan politik
yang terjadi, terutama setelah lahirnya Revolusi Industri, menyadarkan rakyat bahwa mereka
memiliki hak asasi yang tidak dapat di anbil alih secara paksa.karena itu berkembang
kehendak untuk membatasi kekuasaan Raja agar tidak bersifat mutlak ( Absolut ). Disisi lain
partisipasi politik Rakyat juga harus di beri ruang.penguasa pun mesti memperhatikan
kepentinagan rakyat dan bekarja keras untuk mewujutka tujuan bersama.semua itu termasuk
dala suatu undang-undang dasar ( Konstitusi ) yang di andaikan sebagai suatu kontrak Sosial
antara penguasa dan rakyat. Karena kekuasaan raja di batasi oleh undan-undang dasar (
Konstitusi ), maka bentuk pemerintahan di sebut monarki konstitusional.
Pengalaman beberapa kerajaan berkaitan dengan proses terbentuknya Monarki Konstitusional
dapat di uraikan sebagai berikut:
1) Adakalanya inisiatif untuk mengubah bentuk menarki absolut menjadi monarki
konstitusional itu datang dari raja sendiri karena di takut kekuasaannya akan runtuh.contoh
:Jepang dengan hak octrooi.
2) Adakalanya monarki absolut berubah menjadi monarki konstitusional karena adanya desakan
dari Rakyat atau terjadi refilusi yang berakibat dibatasinya kekuasaan raja (tidak lagi mutlah /
Absolut ). Contoh : Inggris yang melehirkan Bill of right pada 1689, Yordania, Denmark,
Arab Saudi, dan Brunei Darusalam.
Dalam perkembangan mondren, tidak sedikit yang kemudian membatasi kekuasaan raja
dengan hanya menempatkan raja sebagai kepala negara. Sementara, kekuasaan kepela
pemerinthan di pegang oleh seorang perdana mentri.kabinet yang di pimpin oleh
perdanamentri sendiri di bentuk berdasarkan kekuatan politik di parlemen.Dalam sistem ini,
perdana mentri bertabggung jawab kepada parlemen.sementara, anggota parlemen di pilih
oleh Rakyat. Dengan demikian, rakyat memiliki kekuasaan cukup besar untuk terlibat dalam
segenap proses politik Dengan pembatasan kekuasaan raja dan di bukanya partisipasi politik
warga negara, maka prinsip-prinsip dasar demikrasi sesunguhnya telah di terapkan.Sistem
yang demikian pada masa kini di kembangkan antara lain oleh Inggris,Belenda , dan
Malaysia
b. Sistem presidensiil
Sistem pemerintahan presidensiil adalah suatu pemerintahan di mana kedudukan eksekutif
tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, dengan kata lain kekuasaan
eksekutif berada di luar pengawasan (langsung) parlemen.
Karaktristik sistem pemerintahan presidensiil, yaitu:
- Presiden adalah kepala eksekutif yang memimpin kabinetnya yang semua diangkat olehnya
dan bertanggung jawab olehnya.
- Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif, tetapi dipilh oleh sejumlah pemili.
- Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan legislatif dan tidak dapat dijatuhkan oleh
badan legislatif.
- Sebagai imbangannya, presiden tidak dapat membubarkan badan legislatif.
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Negara merupakan integrasi kekuasaan politik, organisasi pokok kekuatan politik,
agency (alat) masyarakat yang memegang kekuasaan mengatur hubungan antarmanusia
dalam masyarakat dan menertibkan gejala kekuasaan di dalamnya. Dengan
demikian negara mengintegrasikan dan membimbing berbagai kegiatan sosial penduduknya
ke arah tujuan bersama.
Berikut rangkuman mengenai teori asal mula negara:
A.Teori-teori Perspektif
1. Teori Perjanjian Masyarakat (Kontrak sosial); Menganggap Perjanjian sebagai dasar
negara dan masyarakat.
2. Teori Teokratis; Negara sebagai buatan Ilahi (Tuhan) karena terjadinya atas kuasa dan
kehendak Tuhan. Hukum Tuhan adalah sumber dari segala sumber hukum yang berlaku bagi
masyarakat.
3. Teori Kekuatan; Merupakan hasil dominasi dari kelompok yang kuat terhadap kelompok
yang lemah. Negara terbentuk dengan penaklukan dan pendudukan.
4. Teori Patriakal dan Matriakal; Patriakal adalah Terjadinya negara dari kekuasaan asli
kepala keluarga yang pertama kemudian turun-temurun kepada ayah yang tertinggi dari suatu
keluarga. Matriakal adalah tidak mengenal pria sebagai kepala keluarga, sebaliknya garis
keturunan ditarik dari garis ibu.
5. Teori Organis; Negara dipersamakan dengan makhluk hidup, manusia atau binatang.
Negara dipandang sebagai organisme, sebagai makhluk hidup yang mmpunyai tempat
sendiri-sendiri dan fungsi sendiri-sendiri pula.
6. Teori Daluwarso; Raja karena daluwarsa menjadi pemilik kedaulatan. Di dasarkan atas
hukum kebiasaan.
7. Teori Naturalis; Negara merupakan ciptaan alam.
8. Teori Idealis (Teori Mutlak): Negara sebagai kesatuan yang mistis yang bersifat
supranatural. Merupakan bersifat idealistis karena merupakan pemikiran tentang negara
sebagaimana negara itu “seharusnya ada, negara sbg “ide”.
B. Teori Historis atau Teori yang Evolusionistis
Menganggap lembaga-lembaga sosial tidak dibuat, tetapi tumbuh secara sosial yang
diperuntukan guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia (F. Isjwara, 1980 : 1602)
Hubungan paling kecil adalah keluarga inti (nusleus family), kemudian membentuk keluarga
besar seperti Clan atu marga (bergabung) membentuk keluarga besar atau desa (bargabung)
Desa yang lebih besar yaitu Negara.
Asal mula terjadinya negara secara umum berdasarkan fakta sejarah:
1. Pendudukan (Occupatie)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah yang tidak bertuan dan belum dikuasai, kemudian
diduduki dan dikuasai.Misalnya, Liberia yang diduduki budak-budak Negro yang
dimerdekakan tahun 1847.
2. Peleburan (Fusi)
Hal ini terjadi ketika negara-negara kecil yang mendiami suatu wilayah mengadakan
perjanjian untuk saling melebur atau bersatu menjadi Negara yang baru. Misalnya
terbentuknya Federasi Jerman tahun 1871.
3. Penyerahan (Cessie)
Hal ini terjadi Ketika suatu Wilayah diserahkan kepada negara lain berdasarkan suatu
perjanjian tertentu. Misalnya, Wilayah Sleeswijk pada Perang Dunia I diserahkan
oleh Austria kepada Prusia,(Jerman).
4. Penaikan (Accesie)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah terbentuk akibat penaikan LumpurSungai atau dari
dasar Laut (Delta). Kemudian di wilayah tersebut dihuni oleh sekelompok orang sehingga
terbentuklah Negara. Misalnya wilayah negara Mesir yang terbentuk dari Delta Sungai Nil.
5. Pengumuman (Proklamasi)
Hal ini terjadi karena suatu daerah yang pernah menjadi daerah jajahanditinggalkan begitu
saja. Sehingga penduduk daerah tersebut bisa mengumumkan kemerdekaannya.
Contohnya, Indonesia yang pernah di tinggalkan Jepang karena pada saat itu jepang dibom
oleh Amerika di daerah Hiroshima dan Nagasaki.
Mengenai asal-usul berdirinya suatu negara, teori-teori yang dibangun lebih bertumpu
kepada hasil pemikiran teoritis-deduktif, dibandingkan dengan kajian empiris- induktif.
Dalam ilmu politik dikenal banyak teori tentang lahirnya sebuah negara, teori-teori tersebut
merupakan pengaruh dari perkembangan ilmu-ilmu sosial.
Di Indonesia, sangat jelas tertulis dalam undang-undang dasar Republik Indonesia
Pasal 1 (1) yang berbunyi “Negara Indonesia ialah Negarah Kesatuan,yang berbentuk
Republik”.