Anda di halaman 1dari 24

8 Bangunan Bersejarah di Bengkulu

Indonesia, Objek Wisata


Berdarma wisata tidak hanya bisa dilakukan di tempat-tempat hiburan. Kegiatan ini ternyata juga
bisa dilakukan di tempat-tempat yang bernilai historis. Selain menyenangkan, berdarma wisata
ditempat dengan nuansa sejarah juga bisa membuat anda tahu tentang banyak hal yang terjadi di
masa lampau sebagai pengetahuan saat ini. Dengan mengajak keluarga dan anak-anak juga akan
menambah berbagai nilai manfaat agar turut memahami berbagai keteladanan masa lampau
untuk mengisi hari esok. Hal ini juga bisa menjadi sumbangsih kita dalam melestarikan cagar
budaya yang dimiliki Indonesia.

Banyak daerah di Indonesia yang memiliki tempat-tempat bersejarah, salah satunya adalah
Provinsi Bengkulu yang terletak di Pulau Sumatera. Untuk lebih mengetahui apa saja wisata
bersejarah yang terdapat di kota tersebut, berikut kami sajikan 8 Wisata Bersejarah di
Bengkulu:

1. Fort Marlborough
Salah satu bangunan yang cukup memiliki nilai historis di Bengkulu adalah benteng Fort
Marlborough. Gubernur Joseph Callet merupakan pendiri dan pelopor berdirinya bangunan ini.
Bangunan ini merupakan bangunan yang dirancang oleh sekutu Inggris East India Company

(EIC). Untuk membuat bangunan bercat putih nan kokoh ini, lama waktu yang dibutuhkan
adalah enam tahun, mulai tahun 1713 hingga tahun 1719.
Pada tahun 1825-1942 karena persaingan dan pergolakan masa perang, bangunan ini diambil alih
oleh pihak Hindia-Belanda. Karena melalui deal-deal politik Inggris harus mengalah, beberapa
aset lain pun juga ikut lepas dari Inggris. Bagi Indonesia, peralihan ini tidak begitu berdampak
positif, dampak yang terjadi malah lebih terkesan negatif, Belanda ternyata lebih menjadi lintah
darat yang lebih kejam dari Inggris.
Salah satu hal yang mungkin menjadi nilai tersendiri dari bangunan ini adalah bahwa benteng
Fort Marlborough merupakan benteng terkuat kedua di wilayah Timur yang dimiliki Inggris
setelah St.George di Madras India. Bangunan yang kokoh dan masih bertahan sampai sekarang
merupakan salah-satu bukti tentang betapa kuatnya bangunan ini. Bangunan ini terus menjadi
rebutan antara pihak Sekutu, Jepang dan Pejuang Kemerdekaan sampai pada akhirnya menjadi
milik Polri pada tahun 1950 sebelum diserahkan kepada Depdikbud sebagai bangunan cagar
budaya.

2. Tempat Tinggal Pengasingan Bung Karno


Pada perjalanan sejarahnya, tokoh sekaligus bapak proklamator yakni bung Karno karena
kegesitan dan keberaniannya menentang kolonialisme, pernah diasingkan di Bengkulu. Ia
menempati sebuah rumah milik warga Tionghoa bernama Tan Eng Cian. Peristiwa pengasingan
Bung Karno ini terjadi pada tahun 1938 sampai 1942. Rumah tersebut terletak disebuah jalan
tidak jauh dari benteng Fort Marlborough.

3. Masjid Jami di Bengkulu


Masjid yang merupakan hadiah dan kenang-kenangan Bung Karno ini terletak 1,2 km dari
benteng Marlborough. Masjid ini berbentuk limas dengan tembok cukup rendah sehingga jika
dilihat dari jauh. Masjid ini terkesan sangat mirip dengan piramida di Mesir. Pada tahun 1938,
masjid ini didesain ulang, dengan masyarakat yang berperan mendanai pembangunan masjid,
bung Karno memimpin langsung dengan menjadi arsitek masjid tersebut. Salah satu hal unik dari
masjid ini adalah perpaduan budaya Tionghoa dan Jawa, di mana atap limas khas Jawa berpadu
dengan arsitektur khas Tionghoa. hal ini menjadi tanda perkawinan antar budaya yang
berkolaborasi dalam bangunan masjid ini.

4. Thomas Parr Monument


Terletak 170 meter di arah tenggara dari benteng Marlborough. Bangunan ini memiliki luas 70 m
dan tinggi dari monument ini mencapai 13,5 m. Monument yang cukup megah ini merupakan
penanda sejarah silam yang pernah terjadi di Bengkulu. Dimana pada tahun 1808 bangunan ini
dibangun oleh pemerintah Inggris untuk memperingati sebuah insiden pembunuhan pemimpin

Inggris yang bertangan besi. Digambarkan bahwa kekejamannya melampaui kemanusiaan


dengan beragam pembantaian dan pembunuhan yang pernah dilakukannya kepada rakyat
Bengkulu. Penguasa ini yang dikenal dengan Thomas Parr, pada akhirnya mati atas perjuangan
rakyat Bengkulu. Ia menguasai Bengkulu mulai tahun 1805 sampai 1807.
Setelah tragedy tersebut, para tentara Inggris tidak tinggal diam. Dengan pasukan yang ada, para
tentara menyerbu perkampungan dan membunuh masyarakat secara membabi buta, bahkan
dikatakan bahwa hewan ternak pun tidak luput dari emosi tentaara Inggris. Balas dendam ini
sampai berdampak pertumpahan darah dengan lenyapnya banyak nyawa. mengenai jasad
Thomas Parr sendiri dikubur diam-diam di salah satu area yang tersembunyi di benteng
Marlborough karena takut akan digali dan dirusak oleh masyarakat.

5. Kampung Tionghoa
Bangunan ini terletak di sebelah selatan bangunan benteng Marlborough. Bangunan ini telah ada
semenjak masa Kolonial Inggris di Bengkulu. Dalam kampung Tionghoa ini, terdapat 20 rumah
dengan corak arsitektur khas Tionghoa. Salah satu aspek yang kental dari bangunan khas
Tionghoa adalah atap lengkung dan pola jendela yang di atasnya terdapat semacam ventilasi
udara. Keberadaan kampung ini menjadi salah satu bukti bagi para sejarawan, bahwa bangsa
Tionghoa telah ada di Indonesia sebelum abad ke-18.

6. Persemayaman Panglima Sentot Ali Basya


Merupakan salah satu pejuang, panglima Sentot Ali Basya menjadi tokoh bersejarah dari
Bengkulu. Beliau hidup pada era Diponegoro dan turut pula menyertai perjuangan Pangeran
Diponegoro untuk melawan penjajah. Makam sang panglima perang Sentot Alibasya ini berada
di Jalan Sentot Alibasya, Kelurahan Bajak, Kecamatan Teluk Segara, Kota Bengkulu. Letaknya
juga tak sulit ditemukan karena hanya berjarak 200 meter dari jalan raya dan tak jauh dari pusat
kota Bengkulu.
Meskipun makam dari Sentot Ali Basya terletak di Bengkulu, namun sebenarnya beliau bukanlah
berasal dari kota tersebut. Sentot Alibasya atau dengan nama aslinya Pangeran Sentot
Prawirodirjo, merupakan seorang panglima perang ketika peperangan diponegoro melawan
penjajah atau koloni Belanda di pulau Jawa pada tahun 1825 sampai 1830. Beliau berjuang
bersama dengan Pangeran Diponegoro. Karena kekalahan terjadi di kubu Sentot Ali Basya, maka
beliau menjadi tawanan Belanda dan karena hal inilah beliau di buang ke pulau Sumatera.

7. Rumah Fatmawati
Sebagai sorang putri asli Bengkulu, Fatmawati menjadi terkenal ketika dipersunting oleh Ir.
Sukarno Presiden Republik Indonesia yang pertama. Ibu Fatmawati merupakan ibunda Presiden
Indonesia ke-5, yakni Megawati Sukarno Putri. Yang paling berkesan adalah bahwa Sang Saka

Bendera Pusaka Merah Putih yang berkibar di hari proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan kain
hasil dari benang dan jarum rajutan tangan beliau. Bermula pada tahun 1938 dimana seorang
bernama Soekarno yang diasingkan ke Bengkulu harus singgah dan berdomisili di sana akibat
taktik dan strategi politis penjajah. Di sini, Bung Karno memilai hidup barunya bukan tanpa
melakukan apa pun, beliau singgah di Bengkulu bahkan telah melakukan banyak hal, mulai
membangun sebuah masjid dan juga beliau sempat mempersunting seorang gadis yang kemudian
turut mewarnai sejarah merah putih. Di balik lelaki hebat terdapat wanita yang kuat.
Menjadi saksi sejarah kain merah putih. Rumah fatmawati kini menjadi sebuah destinasi wisata
yang dilestarikan. Saksi sejarah yang berupa sebuah rumah tersebut terletak di Anggut Kota
Bengkulu, berjarak kira-kira 600 meter dari rumah Sukarno. Di rumah terdapat bermacam
koleksi antara lain foto-foto Fatmawati, pakaian, benda-benda interior, perabut dan lain-lain.

8. Kantor Pemerintahan Thomas Stamford Raffles

image credit
Jika mendengar nama ini, kita langsung teringat sebuah bunga yang bernama Rafflesia. Bukanlah
hal yang aneh, karena memang bunga Rafflesia dinamai berdasarkan nama salah satu pemimpin

Inggris yaitu Thomas Stamford Raffles. Pemimpin Inggris terakhir di Bengkulu ini memiliki
kantor pemerintahan yang terletak sekitar 300 meter ke arah Utara Benteng Marlborough. Lokasi
Bangunan Istana Gubenur ini terletak sekitar 300 meter ke arah Utara Benteng Marlborough.
Ada sebuah anggapan bahwa ternyata terdapat terowongan rahasia yang menghubungkan Kantor
Raffles dengan benteng Marlborough melewati monumen Thomas Parr.
Demikian merupakan beberapa tempat bersejarah yang tentunya jangan dilewatkan begitu saja
ketika anda berkunjung ke Bengkulu. Jadikan tempat-tempat tersebut sebagai destinasi wisata
anda, dan juga manfaat yang bisa didapat adalah perenungan kembali tentang perjuangan bangsa
Indonesia melawan penjajah, agar kita lebih bersyukur dan lebih menghormati jasa-jasa para
pahlawan dengan banyak mengisi kemerdekaan dengan hal positif. Demikian artikel ini semoga
bermanfaat!

PENINGGALAN SEJARAH
Benteng Marlborough
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa

Benteng Marlborough

Banteng Marlborough (Inggris:Fort Marlborough) adalah benteng peninggalan Inggris di kota


Bengkulu. Benteng ini didirikan oleh East India Company (EIC) tahun 1713-1719 di bawah
pimpinan gubernur Joseph Callet sebagai benteng pertahanan Inggris. Konon, benteng ini
merupakan benteng terkuat Inggris di wilayah Timur setelah benteng St. George di Madras,
India. Benteng ini didirikan di atas bukit buatan, menghadap ke arah kota Bengkulu dan
memunggungi samudera Hindia. Benteng ini pernah dibakar oleh rakyat Bengkulu; sehingga
penghuninya terpaksa mengungsi ke Madras. Mereka kemudian kembali tahun 1724 setelah
diadakan perjanjian. Tahun 1793, serangan kembali dilancarkan. Pada insiden ini seorang opsir
Inggris, Robert Hamilton, tewas. Dan kemudian di tahun 1807, residen Thomas Parr juga tewas.
Keduanya diperingati dengan pendirian monumen-monumen di kota Bengkulu oleh pemerintah
Inggris.
Marlborough masih berfungsi sebagai benteng pertahanan hingga masa Hindia-Belanda tahun
1825-1942, Jepang tahun 1942-1945, dan pada perang kemerdekaan Indonesia. Sejak Jepang
kalah hingga tahun 1948, benteng itu manjadi markas Polri. Namun, pada tahun 1949-1950,
benteng Marlborough diduduki kembali oleh Belanda. Setelah Belanda pergi tahun 1950,

benteng Marlborough menjadi markas TNI-AD. Hingga tahun 1977, benteng ini diserahkan
kepada Depdikbud untuk dipugar dan dijadikan bangunan cagar budaya.

Bengkulu-Inggris
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hubungan yang terjalin antara rakyat propinsi Bengkulu dengan Inggris sudah berjalan sejak
lama, yakni sejak abad ke-17. Pada tahun 1682, Belanda (VOC) mampu mengungguli The
Honourable East India Company (EIC), khususnya setelah tercapai kesepakatan antara VOC
dengan kerajaan Banten mengenai monopoli perdagangan rempah-rempah. Hal ini memaksa
EIC keluar dari Jawa dan harus mencari tempat pangkalan baru yang secara politik dan militer
dapat menguntungkan mereka dalam perdagangan rempah-rempah.
Pada awalnya mereka berkeinginan untuk mendirikan perusahaan dagang di Aceh, namun
keinginan ini ditolak oleh Ratu Aceh, Sultana Zaqiyat -ud-udin Inayat Shah. Penolakan ini
membuat EIC berpaling ke wilayah lain yang bersedia untuk menerima mereka, yakni Pariaman
dan Barus di Sumatera Barat. Keinginan kedua wilayah ini untuk menerima EIC didorong oleh
ketakutan terhadap kekuatan Belanda yang sangat agresif. Namun pada akhirnya pilihan EIC
jatuh kepada Bengkulu, ada dua versi catatan sejarah yang menyebabkan terjadinya perubahan
pilihan ini, yakni :
1. Menurut buku Bencoolen: A History of the Honourable East India Companys
Garrison on the West Coast of Sumatra (1685 1825), yang ditulis oleh Alan
Harfield (1995), perubahan ini disebabkan adanya surat permintaan dari para
penguasa di Bengkulu yang mereka terima dua hari menjelang
keberangkatan utusan EIC (Ord dan Cawley) dari Madras menuju Pariaman.
2. Menurut buku Bengkulu dalam Sejarah, yang ditulis oleh Firdaus Burhan
(1988), perubahan ini disebabkan oleh kesalahan navigasi dalam pelayaran
dari Madras menuju Pariaman dan adanya permintaan dari para penguasa
Bengkulu setelah utusan EIC tersebut mendarat di Bengkulu.

Terlepas dari adanya perbedaan di atas, sejarah mencatat bahwa Inggris (EIC) pada akhirnya
bercokol di Bengkulu dan rakyat Bengkulu menerima kehadiran mereka. Setibanya mereka di
Bengkulu pada tahun 1685, pihak Inggris disambut oleh petinggi Bengkulu pada masa itu, yakni
Orang Kaya Lela dan Patih Setia Raja Muda. Dalam beberapa pertemuan selanjutnya pihak
Inggris memperoleh izin untuk mendirikan faktori di Bengkulu dan menjalin hubungan dagang
dengan para penguasa Bengkulu. Pangkalan pertama yang didirikan oleh Inggris di Bengkulu
adalah Fort York. Sejak saat itu Inggris menamakan faktori dagang mereka di Bengkulu sebagai
Garnizun EIC di Pantai Barat pulau Sumatera (The Honourable East India Companys Garrison
on the West Coast of Sumatra).

Kehadiran Inggris di Bengkulu berlangsung selama 140 tahun, yaitu dari tahun 1685 sampai
dengan bulan Maret 1825, ketika seluruh kekuatan Inggris meninggalkan Bengkulu. Berakhirnya
kehadiran Inggris di Bengkulu adalah disebabkan adanya perjanjian antara Raja Inggris dan Raja
Belanda, yang ditanda-tangani pada tanggal 17 Maret 1824. Perjanjian ini oleh pihak Inggris
disebut The Anglo-Dutch Treaty of 1824, sedangkan pihak Belanda menyebutnya sebagai Traktat
London. Perjanjian ini mengatur pertukaran kekuasaan Inggris di Bengkulu dengan kekuasaan
Belanda di Melaka dan Singapura (Singapura pada masa itu merupakan bagian dari kerajaan
Melaka).

Pembangunan benteng Marlborough


Pada tahun 1714 kondisi Fort York menjadi kritis. Bangunan benteng dan barak-barak telah
semakin rapuh, dan air hujan secara terus-menerus membasahi ruangan-ruangan tempat tinggal
para penghuni. Selain itu, kondisi bahan makanan yang dikonsumsi oleh tentara Inggris sangat
buruk sehingga disiplin para prajurit dan pegawai benteng menjadi turun. Berbagai macam
penyakit, umumnya disentri dan malaria, telah menyebabkan sebagian besar prajurit garnizun
tidak dapat melaksanakan tugas mereka. Joseph Collet yang menjadi pimpinan Garnizun di
Bengkulu pada tahun 1712 menarik kesimpulan bahwa Fort York membutuhkan perbaikanperbaikan besar dan lokasi benteng itu sebenarnya tidak tepat. Oleh sebab itu pada tanggal 27
Februari 1712, Joseph Collet menulis surat kepada Dewan Direksi EIC yang mengusulkan agar
membangun benteng baru di tempat yang disebut Carrang. Lokasi Carrang yang diusulkan oleh
Joseph Collet terletak sekitar dua mil dari Fort York (orang Bengkulu menyebutnya Ujung
Karang). Usul Joseph Collet untuk membangun benteng baru disetujui oleh Dewan Direktur EIC
dan pembangunan benteng baru tersebut dimulai pada tahun 1714.
Benteng baru yang dibangun di Carrang diberi nama Marlborough. Nama ini dipilih oleh Joseph
Collet untuk menghormati John Churchill, seorang komandan ternama Inggris yang pernah
memenangkan pertempuran di Blenheim pada tahun 1704, Rammilies pada tahun 1706,
Oudenarde pada tahun 1708, dan Malplaquet pada tahun 1709. Atas jasa-jasanya ini John
Churchill kemudian diberi gelar Duke of Marlborough. Benteng baru yang dibangun oleh Joseph
Collet ini kemudian dikenal dengan nama Fort Marlborough. Pembangunan Fort Marlborough
selesai seluruhnya pada tahun 1741.

Pemakaman Inggris dan monumen Thomas Parr


Selama 140 tahun berada di Bengkulu, orang-orang Inggris banyak yang meninggal dunia.
Kematian orang-orang Inggris tersebut kebanyakan disebabkan oleh serangan penyakit malaria
dan disentri, dan tewas dalam konflik-konflik dengan rakyat Bengkulu. Orang-orang Inggris
yang meninggal di Bengkulu pada masa itu tercatat sebanyak 709 orang. Apabila diambil angka
rata-rata maka selama 140 tahun 5 orang Inggris yang meninggal setiap tahunnya. Sebagian dari
orang-orang Inggris tersebut dimakamkan di pemakaman Inggris di Jitra, Bengkulu.
Di Bengkulu pada tahun 1808 dibangun sebuah monumen atau tugu peringatan bagi bangsa
Inggris dalam zaman kompeni dulu. Monumen ini disebut oleh orang-orang Bengkulu dengan
istilah Kuburan Bulek (kuburan Bulat). Nama sebenarnya dari Kuburan Bulek ini adalah

monumen Parr (Parr Monument). Monumen ini dibuat oleh Inggris untuk mengenang
pengalaman pahit bangsa Inggris karena di tempat itu dikuburnya Thomas Parr bersama seorang
asistennya yang terbunuh dalam satu insiden dengan rakyat Bengkulu pada malam tanggal 27
Desember 1807. Pembunuhan terhadap Thomas Parr ini disebabkan oleh akumulasi rasa tidak
puas rakyat Bengkulu terhadap kebijaksanaan yang ditempuh oleh penguasa Inggris.
Kebijaksanaan Parr yang menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pribumi, antara lain
pemberlakuan tanam paksa kopi dan pengubahan yang besar dalam peradilan pribumi tanpa
persetujuan dan tanpa meminta nasihat dari para Kepala Adat Rakyat Bengkulu.

Bunga Rafflesia Arnoldi


Sir Thomas Stamford Raffles diangkat menjadi Gubernur Bengkulu pada tahun 1818. Dia tiba di
Bengkulu pada bulan Maret 1818 didampingi oleh istrinya Lady Sophia Raffles dan seorang
Kepala Adat Jawa Raden Rana Dipura. Dalam perjalanan dari Inggris ke Bengkulu, Lady Sophia
Raffles melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Charlotte Sophia Tanjung Segara
Raffles. Ketika Raffles tiba di Bengkulu dia menemukan Bengkulu yang luluh lantak akibat
gempa bumi, oleh karena itu kota Bengkulu disebut dengan istilah Tanah Mati. Namun setelah
itu, Raffles bersama-sama dengan rakyat Bengkulu membangun dan membangkitkan kembali
Kota Bengkulu dari puing-puing Tanah Mati.
Gubernur Raffles bertugas di Bengkulu selama 6 tahun, yaitu dari tahun 1818 sampai tahun
1824. Selama bertugas di Bengkulu Raffles banyak melakukan perjalanan ke daerah-daerah
pedalaman. Dalam salah satu perjalanannya, Raffles dengan didampingi istri dan Dr. Arnold
(pakar Botani), singgah di desa Pulau Lebar, Lubuk Tapi (Bengkulu Selatan). Di desa inilah
Raffles menemukan bunga yang berukuran sangat besar dan indah. Penduduk setempat
menamakan bunga ini Petimun Sikinlili atau Sirih Hantu. Bunga tersebut kemudian diberi nama
Rafflesia Arnoldy, diambil dari nama Raffles dan Dr. Arnold. Bunga Rafflesia Arnoldi saat ini
sudah menjadi simbol Propinsi Bengkulu yang dikenal dengan nama Bumi Rafflesia. Bunga
Rafflesia pada masa kini masih sering ditemukan di Kawasan Hutan Lindung Rejang Lebong
dan desa Talang Tais di kecamatan Kaur Utara (Bengkulu Selatan).

Perjanjian London tahun 1824


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pada tanggal 17 Maret 1824, di London, Antara Kerajaan Britania Raya dan Kerajaan Belanda
mentandatangani Perjanjian Britania-Belanda 1824, yang juga dikenal dengan Perjanjian
London atau Traktat London. Perjanjian ini ditujukan untuk mengatasi konflik yang
bermunculan akibat pemberlakuan Perjanjian Britania-Belanda 1814.

Belanda diwakili oleh Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Falck, sedangkan Britania diwakili
oleh George Canning dan Charles Watkins Williams Wynn.
Perjanjian ini menjelaskan, bahwa kedua negara diijinkan untuk tukar menukar wilayah pada
British India, Ceylon (Sri Langka) dan Indonesia, berdasarkan kepada negara yang paling
diinginkan, dengan pertimbangan masing-masing negara harus mematuhi peraturan yang
ditetapkan secara lokal. antara lain :
1. Pembatasan jumlah bayaran yang boleh dikenakan pada barang dan kapal
dari negara lain.
2. Tidak membuat perjanjian dengan negara bagian Timur yang tidak
mengikutsertakan /membatasi perjanjian dagang dengan negara lain.
3. Tidak menggunakan kekuatan militer dan sipil untuk menghambat perjanjian
dagang.
4. Melawan pembajakan dan tidak menyediakan tempat sembunyi atau
perlindungan bagi pembajak atau mengijinkan penjualan dari barang-barang
bajakan.
5. Pejabat lokal masing-masing tidak dapat membuka kantor perwakilan baru di
pulau-pulau Hindia Timur tanpa seijin dari pemerintah masing-masing di
Eropa.

Pertimbangan-pertimbangan dalam perjanjian ini, mengikutsertakan :

Belanda menyerahkan semua dari perusahaan/bangunan yang telah didirikan


pada wilayah India dan hak yang berkaitan dengan mereka.

Belanda menyerahkan kota dan benteng dari Malaka dan setuju untuk tidak
membuka kantor perwakilan di semenanjung Melayu atau membuat
perjanjian dengan penguasanya.

Belanda menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Singapura oleh


Britania.

Britania meminta untuk diberikan akses perdagangan dengan kepulauan


Maluku, terutama dengan Ambon, Banda dan Ternate.

Britania menyerahkan pabriknya di Bengkulu (Fort Marlborough) dan seluruh


kepemilikannya pada pulau Sumatra kepada Belanda dan tidak akan
mendirikan kantor perwakilan di pulau Sumat atau membuat perjanjian
dengan penguasanya.

Britania menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Billiton oleh

Belanda.

Britania setuju untuk tidak mendirikan kantor perwakilan pada kepulauan


Karimun atau pada pulau-pulau Batam, Bintan, Lingin, atau pulau-pulau lain
yang terletak sebelah selatan dari selat Singapura ataumembuat perjanjian
dengan penguasa-penguasa daerah.

Semua serah terima dari kepemilikan dan bangunan yang didirikan terjadi pada tanggal 1 Maret
1825.
Termasuk penyerahan Jawa kembali kepada Belanda, seperti yang dijelaskan pada Convention
on Java tanggal 24 Juni 1817. Hal ini diluar dari jumlah yang harus dibayarkan oleh Belanda
sebesar 100.000 pounds sterling sebelum akhir tahun 1825.
Perjanjian disahkan pada tanggal 30 April 1824 oleh Britania dan tanggal 2 Juni 1824 oleh pihak
Belanda.

Tempat - tempat bersejarah di kota Bengkulu


Diposkan oleh Uly Johnson Hutagalung. Bengkulu, Indonesia di 20.57

Fort Marlborough

FORT Marlborough dibangun Perusahaan India Timur di bawah kepemimpinan


Gubernur Joseph Callet. Benteng ini menghadap Selatan dan memiliki luas 44.100
meter persegi. Bentuk benteng abad XVIII (1914) ini menyerupai kura-kura. Pintu
utama dikelilingi parit luas dan tersambung dengan jembatan ke gerbang dalam.
Menurut masyarakat sekitar, benteng ini memiliki pintu keluar bawah tanah.
Fort Marlborough adalah peninggalan terbesar Inggris terbesar di Indonesia.
Benteng Marlborough sesungguhnya bukan sekadar benteng pertahanan militer,
karena ia dibangun demi kepentingan perdagangan; penjamin kelancaran suplai
lada bagi perusahaan dagang Inggris, East India Company, serta pengawasan jalur
pelayaran dagang melalui Selat Sunda. Benteng berperan ganda: markas
pertahanan militer sekaligus kantor pusat perdagangan dan pemerintahan Inggris.
Bengkulu merupakan ibu kota wilayah presidensi (kumpulan wilayah residen) Inggris
di pesisir barat Sumatera. Wilayah itu dikendalikan dari Benteng Marlborough.
Inggris sebelumnya juga membangun benteng serupa dengan fungsi dan peran
lebih besar di Madras, India, yaitu Fort St George. Dari Madras inilah, East India
Company mengembangkan pengaruh ke Asia Pasifik, termasuk Bengkulu.
Fort Marlborough dihuni oleh pegawai sipil dan tentara Inggris. Dalam catatan
British Library, Oriental and India Office Collections tahun 1792 terdapat 90 pegawai
sipil dan militer tinggal dan bekerja dalam Benteng Marlborough. Para petinggi atau
perwira senior tinggal dalam lingkungan benteng bersama keluarga. Benteng ini
menyerupai hunian dalam kota kecil dengan tembok tebal. Seperti layaknya
kehidupan bermasyarakat, catatan-catatan menyangkut perkawinan, pembaptisan,
dan kematian "penduduk" benteng ini pun masih dapat tersimpan.
Desain tata ruang Benteng Marlborough mencerminkan keragaman aktivitas
masyarakat. Kompleks bangunan ini 44.100,5 meter persegi, tetapi total bangunan
dalam benteng hanya sekitar 20 persen. Bagian benteng selebihnya berfungsi
sebagai ruang terbuka. Bangunan fisik Benteng Marlborough sangat kokoh, antara
lain terbukti ketika gempa bumi berkekuatan 7,3 skala Richter meluluhlantakkan
ribuan bangunan gedung dan permukiman Bengkulu tahun 2000 maupun gempa

bumi dengan 7,9 skala Richter, benteng ini tak mengalami kerusakan berarti.
Padahal, konstruksi benteng ini tidak menggunakan beton bertulang.
Desain dasar Benteng Marlborough berbentuk segi empat. Desain ini menyerupai
kura-kura, ditandai dengan empat bagian bangunan menyudut seperti kaki, serta
satu kelompok bangunan menyerupai bagian kepala kura-kura. Bagian atas
bangunan ini tersambung melingkar menjadi pelataran penempatan meriam,
sekaligus mempermudah mobilitas perpindahan meriam. Ciri lain benteng
pertahanan ini adalah dua lapis dinding pertahanan, sehingga ketika dinding
terdepan bisa ditembus lawan, pasukan bisa segera mundur dan melakukan
pertahanan dari dinding kedua.
Pembangunan benteng tahap pertama selesai 1718 dengan gerbang utama
benteng di sisi barat. Bagian bangunan menyerupai kepala kura-kura kemudian
ditambahkan pada 1783. Dengan penambahan ini sistem pertahanan gerbang
benteng menjadi berlapis. Kekokohan benteng tergambar dari ketebalan dinding
bagian luar setinggi 8,65 meter dan ketebalan tiga meter. Sementara tebal dinding
dalam sekitar 1,8 meter. Bahan bangunan antara lain batu karang, batu kali, dan
bata dengan perekat campuran kapur, pasir, dan semen merah.
Untuk memasuki benteng dari gerbang utama, kita harus melewati dua jembatan
yang menyeberangi parit-parit kering. Parit itu berkedalaman sekitar 1,8 meter
dengan lebar 3,6 meter. Jembatan-jembatan kayu di atas parit kering itu aslinya
tidak pernah permanen agar dapat diangkat dalam menghambat gerak musuh.
Selepas gerbang pertama, kita akan menyusuri lorong pendek dengan langit-langit
melengkung. Empat buah batu nisan besar tertempel pada salah satu sisi bangunan
lengkung ini. Batu-batu nisan ini merupakan tugu peringatan kematian sejumlah
petinggi benteng, antara lain Deputi Gubernur Inggris Richard Wattsmeninggal
pada 1705. Meskipun tugu peringatan berbahasa Inggris itu tertulis dalam huruf
bergaya kuno, tetapi sebagian besar masih terbaca dengan jelas.
Keluar dari bangunan lengkung selepas pintu masuk ini, kita akan menyusuri alur
jalan pada ruang terbuka menuju jembatan kedua. Di sisi selatan jalan itu berjajar
tiga buah makam, satu di antaranya makam Residen Thomas Parrterbunuh
Desember 1807. Adanya pemakaman itu menunjukkan fungsi benteng menampung
seluruh aktivitas penghuni sejak lahir hingga meninggal. Melalui jembatan kedua
berketinggian 3,25 meter dari dasar parit di bawahnya, sampailah pada pintu
gerbang yang dikenal sebagai the great gate (gerbang utama). Daun pintu kayu
pada gerbang kedua ini masih utuh meskipun sudah berumur hampir 300 tahun.
Daun pintu ini memakai jenis kayu kapur konon berasal dari Kalimantan.
Tiga ruangan kita jumpai di sebelah kiri begitu melewati the great gate dulu
difungsikan sebagai kediaman para perwira. Ruangan-ruangan ini pada 1873
difngsikan sebagai gudang senjata. Ruang pertama menyerupai lorong sepanjang
13,5 meter dengan lebar sekitar lima meter. Di dalamnya terdapat tiga "anak
ruangan" berukuran sekitar 1,5 meter x 4,5 meter. Ruang ini seakan menyerupai
lemari beton tebal. Di ujung lorong terdapat pintu turun menuju ke ruang bawah

bangunan benteng. Gelap dan lembab pada ruang-ruang bawah memberi kesan
penyusuran bagian benteng ini berbau petualangan. Ruang bawah ini disebutkan
berfungsi sebagai tempat penyimpanan harta.
Pada sisi lain gerbang masuk, kita akan menemui ruangan dengan funsi ruang jaga
utama maupun ruang penjaga benteng yang tidak sedang bertugas. Di bagian
dalam, terdapat dua ruang tahanan militer. Pada salah satu bagian dinding ruang
tahanan itu terlihat lukisan arang dan catatan dalam bahasa Belanda kuno. Tulisan
diperkirakan buatan tahanan dalam benteng.
Di sepanjang sayap selatan Benteng Marlborough terdapat deretan ruangan barak
tidur. Masing-masing ruang memiliki satu pintu menghadap ke halaman dalam
benteng. Meskipun terbuat dari jeruji besi, pintu-pintu ini berdesain lengkung dan
terkesan cantik. Desain lengkung juga terlihat pada bagian langit-langit ruangan.
Kompleks perkantoran terdapat di sayap utara benteng. Sebelum tahun 1780-an,
sisi utara benteng ini difungsikan menjadi ruang keluarga pejabat sipil senior serta
tempat tinggal perwira lajang. Sementara gudang dan kediaman gubernur terdapat
di bagian barat.
Pada zamannya, benteng ini dikelola oleh dewan pimpinan terdiri dari deputi
gubernur sebagai kepala wilayah pendudukan, komandan benteng sebagai
pemimpin militer, dibantu oleh dua pejabat. Pejabat tinggi lainnya adalah semacam
kepala perdagangan (senior merchant). Pada 1792, tercatat 18 atase perdagangan
berkantor di Fort Marlborough. Beberapa kepala perdagangan ini juga menjabat
sebagai kepala wilayah atau residen sejumlah kawasan sepanjang pesisir barat
Sumatera, antara lain Manna, Lais, Natal, Tapanuli, dan Krui. Pada 1792 tercatat
sembilan orang juru tulis bekerja dan tinggal dalam benteng. Teknisi, petugas
kesehatan, pemain organ, hingga tukang kayu pun menghuni benteng ini.
Di tengah benteng, terhampar halaman dalam berumput hijau dengan beberapa
pepohonan teduh. Halaman dalam cukup luas ini berfungsi bagi beragam kegiatan
militer pada masa itu, misalnya upacara dan latihan keterampilan. Di lapangan ini
pula dibacakan keputusan pengadilan dan kesaksian eksekusi militer. Sementara
bagian halaman teduh oleh pepohonan dengan pemandangan laut lepas, menjadi
tempat bersantai. Jalan setapak menghubungkan gerbang utama bagian selatan
dengan gerbang utara terdapat di tengah halaman. Pintu gerbang sisi utara ini pun
disambungkan dengan jembatan kayu ke luar lingkungan benteng.
Dari atas dinding benteng atau bastion, teramati hamparan laut lepas. Untuk
menaikkan meriam pada posisi tembak di bastion, dibangunlah beberapa bidang
miring dari susunan bata di sudut-sudut benteng ini. Di bastion, kita juga dapat
mengamati saluran etalase ruangan-ruangan seperti cerobong. Mulut cerobong itu
diberi payung kerucut terbuat dari seng sehingga udara dapat bersirkulasi, namun
terlindung dari curahan air. Menjelajahi benteng ini tidak akan lengkap tanpa
menyusuri lorong-lorong di bawahnya. Lorong-lorong bawah tanah sempit dan gelap
ini konon merupakan tempat penyimpanan senjata. Juga terdapat lorong bawah
tanah yang menyambungkan benteng dengan jalan keluar tanpa melewati pintu-

pintu gerbang.
Rumah Pengasingan Bung Karno

Selama berada di pengasingan Propinsi Bengkulu, Bung Karno di tempatkan di


sebuah rumah milik orang cina yang bernama Tan Eng Cian. Tan Eng Cian pada
waktu itu merupakan pengusaha penyuplai bahan kebutuhan pokok untuk kolonial
Belanda. Bung Karno menempati rumah tersebut pada tahun 1938 sampai dengan
tahun 1942, rumah tersebut terletak di jalan anggut tidak jauh dari Benteng
Malborough.
Rumah yang di tempati Bung Karno sewaktu pengasingan di Propinsi Bengkulu
berdiri pada abad ke-20 , berbentuk empat persegi panjang. Bangunan ini tidak
berkaki dan dindingnya polos. Pintu masuk utama berdaun ganda, dengan. Bentuk
jendela persegi panjang dan berdaun ganda. Pada ventilasi terdapat kisi-kisi
berhias. Rumah dengan halaman yang cukup luas ini memiliki atap berbentuk limas.
Luas bangunan rumah ini adalah 162 m2, dengan ukuran 9 x 18 m.Dulunya Luas
tanah semua rumah itu mencapai 4 hektar.
Dengan berjalananya waktu maka oleh pihak pemerintah propinsi Bengkulu,

sebagian tanahnya di bagi-bagi untuk mendirikan rumah penduduk dan perkantoran


milik pemerintah setempat. Di dalam rumah pengasingan Bung Karno tersebut
terdapat benda-benda bersejarah yang menjadi saksi bisu atas keberadaan Bung
Karno di Propinsi Bengkulu selama dalam Pengasingan. Benda-benda tersebut
diantaranya adalah sebuah lemari gandeng berukuran 2 x 1,5 meter, tempat buku
koleksi Bung Karno dipajang, sebuah lemari pakaian yang dulunya di gunakan untuk
menyimpan pakaian serta beberapa benda bekas pemain sandiwara ketika itu,
seperti kebaya dan payung tua terbuat dari kertas tetapi semuanya telah tampak
usang dan pudar warnanya, tidak hanya itu setiap dinding terpajang foto-foto Bung
Karno berserta Ibu Inggit dan keluarga serta kerabatnya yang lain termasuk juga
foto Ibu Fatmawati ketika itu baru beranjak dewasa. Dan masih banyak yang
lainnya.
Rumah Fatmawati

Sebelum menikah dengan Bung Karno, Fatmawati tinggal bersama keluarganya di


rumah yang letaknya hanya 600 meter dari rumah pengasingan Bung Karno. Jalan
tempat rumah itu sekarang dinamai Jalan Fatmawati, dekat bundaran simpang lima
di depan kantor Walikota Bengkulu. Rumah ini sekarang juga sudah dijadikan
museum.
Monument Thomas Parr

Monumen Thomas Parr merupakan salah satu objek wisata sejarah di Kota
Bengkulu. Letaknya berdekatan dengan Benteng Marlborough, hanya berjarak
sekitar 170 m di sebelah tenggara. Monumen berbentuk tugu dengan luas 70 meter
persegi dan tinggi 13,5 meter ini dibangun oleh pemerintah Inggris pada tahun1808
untuk memperingati Residen Thomas Parr yang tewas dibunuh oleh rakyat
Bengkulu.Thomas Parr (1805-1807) adalah pengusa Inggris di Bengkulu ke empat
puluh sembilan yang terkenal sangat keji dan kejam. Dia diangkat oleh pemerintah
Inggris untuk menggantikan Deputy Governor Walter Ewer (1800-1805).
Semasa memerintah, Thomas Parr menerapkan sistem tanam paksa untuk
membuka perkebunan kopi di Bengkulu. Sudah tidak dapat dihitung lagi berapa
banyak korban nyawa yang melayang selama masa tanam paksa tersebut.Sampai
suatu ketika, kebencian rakyat Bengkulu sudah tidak dapat dibendung lagi. Pada
suatu malam, tepatnya pada tanggal 23 Desember 1807, rakyat Bengkulu beramairamai menyerbu Mount Felix ( Bukit Palik ) rumah peristirahatan Thomas Parr, tentu
dengan maksud ingin menghabisi sang Residen itu. Pada malam yang naas itu, sang
Residen yang lalim tersebut akhirnya terbunuh dengan cara yang mengenaskan.

Atas peristiwa itu, Pemerintah Inggris tidak ambil diam. Sebagai pemabalasan,
tentara Inggris bertindak keji dan membabi buta, menghancurkan dusun-dusun dan
membunuh setiap penduduk yang di jumpainya. Bukan hanya itu, hewan ternak pun
tidak luput dari amukan tentara Inggris yang kehilangan kendali.
Menurut sebuah sumber, Thomas Parr dimakamkam di daerah tertutup di Fort
Marlborough, dengan pertimbangan, untuk menghindari perasaan penduduk lokal,
dan juga dikawatirkan akan digali dan dinajiskan (dikutuk) oleh penduduk lokal.
Demikian juga dengan makam Charles Murray, sekretarisnya yang telah berusaha
menyelamatkan Mr. Parr, dan meninggal pada tanggal 7 Januari 1808.
Bagi pemerintah kolonial Inggris, bagaimana pun juga Thomas Parr tetap dianggap
sebagai pahlawan karena jasa dan pengabdiannya. Oleh karena itu, pemerintah
Inggris kemudian mendirikan sebuah monumen untuk mengenangnya. Monumen
tersebut dibangun diatas tanah yang berlokasi tidak jauh dari pusat ibukota
Bengkulu (sekitar 150 kaki) dari Fort Marlborough.
Monumen yang didirikan tanggal 7 Januari 1808 itu, terdapat prasasti (memori)
yang berkaitan dengan peristiwa Mount Felix. Orang-orang Inggris menyebut
dengan nama Parr Monument, sedangkan kelompok elite pribumi Bengkulu
menyebutnya sebagai Taman Raffles (Raffles Park). Penduduk pribumi Bengkulu itu
sendiri lebih akrab menyebutnya sebagai kuburan bulek.Keistimewaan Monumen
Thomas Parr dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek fisik bangunannya dan aspek
sejarahnya. Dilihat dari aspek fisiknya, keistimewaan Monumen Thomas Parr dapat
dilihat dari keunikan arsitekturnya. Monumen berbentuk tugu ini berdenah segi 8
dan mempunyai tiang-tiang bergaya corinthian (berbentuk bulat seperti balok kayu
yang mengandung makna agar bangunan terlihat kokoh dan berwibawa). Pintu
masuknya terdpat di bagian depan dan sisi kanan dan kiri, berbentuk lengkung
sempurna dan tidak mempunyai daun pintu. Pada salah satu dinding di ruang dalan
tugu terdapat sebuah prasasti, tapi pada saat ini sudah tidak dapat di baca lagi
karena sudah rusak. Bagian atas tugu mempunyai atap yang berbentuk kubah.
Adapun nilai sejarah yang melekat pada monumen ini adalah mengingatkan
masyarakat Indonesia pada besarnya kontribusi rakyat Bengkulu dalam mengusir
penjajahan Inggris dari Nusantara. Monumen yang oleh rakyat Bengkulu disebut
dengan kuburan Bulek ini merupakan simbol perjuangan dan persatuan dalam
mempertahankan hak dan kemerdekaan tanah leluhurnya dari penindasan kolonial
Inggris.
Lokasi Monumen Thomas Parr terletak di jalan Ahmad Yani, Kota Bengkulu, Propinsi
Bengkulu Indonesia.
China Town

Kampung Cina terletak 190 meter di sebelah selatan dari Benteng Marlborough,
pada titik koordinat 3o 47' 15,9" LS dan 102o 15' 2,6" BT. Berdasarkan data sejarah
kawasan ini merupakan pemukiman Cina sejak masa Kolonial Inggris. Keterangan
tersebut mendukung keberadaan tinggalan-tinggalan arkeologi di kawasan tersebut
yang berupa rumah tinggal yang mempunyai arsitektur Cina.
Terhitung ada 20 buah rumah tinggal yang berarsitektur Cina di kawasan ini.
Rumah-rumah tersebut umumnya memanjang ke arah belakang, bertingkat 2, dan
beratap lengkung.Terlihat juga rumah-rumah tersebut diberi hiasan terawangan
yang terdapat di atas jendela yang berfungsi sebagai ventilasi sebagaimana
umumnya pada arsitektur rumah Cina.
Kini kawasan pemukiman cina tersebut hampir berubah bentuk walaupun sebagian
masih dipertahankan keasliannya.
untuk mempertahankan keidentikan dan kekhasan daerah pemukiman cina
tersebut, pemerintah daerah bengkulu mendirikan sebuah gerbang bercorak cina di
depan benteng Marlborough tak jauh dari pemukiman tersebut.
Masjid Jamik

Mesjid Jamik ini terletak di jalan utama kota Bengkulu dan merupakan kenangkenangan dari Bung Karno semasa pengasingannya dan juga sebagai seorang
arsitek, bangunan mesjid yang masih aktif dipergunakan ini memiliki atap
berbentuk Limas dan menggambarkan perkawinan budaya lokal, budaya thionghoa
dan budaya islam.
Mesjid ini terletak di ujung jalan soeprapto tepat di pusat keramaian kota
Bengkulu.Mesjid ini berada pada ketinggian 20 m di atas permukaan laut. Berjarak
1,2 km dari Benteng Marlborough, dengan sudut kemiringan 112o (Darmansyah
2002). Pada abad XIX bangunan masjid berbentuk sederhana dengan bangunan
berbahan kayu dan beratap rumbia.
Pada awal abad ke XX masyarakat membangun masjid tersebut menjadi lebih baik
dengan cara swadaya. Bagian dinding diganti dengan tembok, dan bagian atap
diganti dengan seng, sekaligus memperluas masjid tersebut.
Pada tahun 1938, bangunan masjid didesain ulang oleh Bung Karno yang biaya
ditanggung oleh masyarakat sendiri.
Bung Karno sebagai arsitek bangunan tersebut tidak merubah secara keseluruhan,
hanya bagian-bagian tertentu saja yang dirubah dan ditambah. Bagian dinding
masjid ditinggikan 2 meter, dan bagian lantai ditinggikan 30 cm.
Bung Karno memberikan ciri khas pada bagian atap dengan membentuk atap
limasan kerucut dengan memberikan celah pada pertengahan atap sebagai
sentuhan arsitektur tersendiri. Pada beberapa bagian bangunan ditambah tiang
dengan ukiran dan pahatan berbentuk sulur-sulur di bagian atasnya dan dicat
dengan warna emas.

Ratu Samban berhak menjadi Pahlawan Nasional


Oleh : Hakim Benardie Sabri
Belanda Balik Menyerang, Sejak peristiwa gugurnya dua pejabat kolonial Belanda
pada tahun 1873, pemerintah kolonial Belanda tidak henti-hentinya mengejar dan
mencari terus Mardjati alias Ratu Samban yang disebut-sebut sebagai pahlawan
oleh anak negeri.
Laki-laki berperawakan besar dan tinggi dengan rambut pancang terurai ini tidak
mudah diperdayakan Belanda. Setiap rakyat yang ditemui dan dimintakan
keterangan tentang keberadaan Ratu Samban selalu saja bungkam (tutup mulut),
bahkan mereka seolah-olah tidak mengetahui adanya peristiwa pembantaian yang
terjadi.
Akibat gerakan perlawanan masyarakat tutup mulut Belanda mendapat kesulitan
untuk membedakan pemimpin yang dicari-cari itu dengan rakyat biasa, karena Ratu
Samban memang pemimpin yang merakyat, dan apa yang diperjuangkannya
memang untuk rakyat. Pernah suatu ketika (1887) Ratu Samban tertangkap oleh
kolonial Belanda di daerah Napal Putih (Ketaun = Cat twon), dan dia dibawa ke Fort
Marlborough (Benteng) , namun beberapa saat kemudian serdadu Belanda lainnya
juga melaporkan (Pasukan lainnya) telah menangkap Ratu Samban beserta
pengawalnya, maka terpaksa Mardjati yang asli itu dilepaskan.
Pada tahun 4 Desember 1888, kolonial Belanda mendapat berita bahwa Mardjati
alias Ratu Samban berada di Bintunan setelah bersembunyi dan berpindah-pindah
dari Ketahuan dan Lais. Maka pada tahun 1889 Belanda mengumumkan
(Mengeluarkan maklumat) keseluruh negeri berisikan Akan memberikan hadiah
yang besar kepada siapa saja yang dapat menangkap Mardjati alias Ratu Samban.
Tanggal 24 Maret 1889 (Pada tengah malam) penjahat nomor wahid yang dicari-cari
kolonial Belanda ini ditangkap, dan di eksekusi diatas rakit, sebagaimana dua
pejabat Belanda di eksekusi oleh Ratu Samban. Tokoh ini wafat menjalani hukum
pancung dengan tangan terikat, dan dia dimakamkan oleh masyarakat di Desa
Bintunan Kecamatan Batik Nau (sekarang).
Dalam berbagai lagenda (sebagai bahan catatan) menyebutkan bahwa Mardjati
adalah orang yang sakti mandraguna sehingga tidak mudah ditangkap, dan rakyat
amat setia kepadanya sehingga tidak mudah diperdaya. Dalam kisah lainnya yang
juga diceritakan secara berlebih-lebihan dalam lagenda, disebut-sebut Mardjati
memiliki ilmu belut putih, sehingga badannya licin bagaikan belut jika ditangkap.
Sedangkan beberapa saksi menceritakan dalan lagenda bahwa. mereka melihat
Mardjati tidak mempan ditembak dan ditusuk senjata tajam kolonial Belanda
sewaktu membantai Asisten Residen dan kontroleur di Air Bintunan (Sungai
Bintunan). Peristiwa ini telah membuat Mardjari semakin disegani masyarakat
Bengkulu Utara ketika itu.

Sudah saatnya pemerintah, untuk segera mengusulkan Mardjati alias Ratu Samban
sebagai Pahlawan Nasional dari Provinsi Bengkulu. Setidaknya ada pengakuan
rakyat Bengkulu, yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda). Karena
dia adalah pahlawan reformasi di masa penjajah, yang berjasa besar kepada rakyat
kecil di Bengkulu Utara, dan gugur sebagai kusuma bangsa

Penobatan Gelar
Ratu Samban adalah gelar/adok yang diberikan kepada seorang Pesirah (sekarang
sama dengan kepala desa) oleh tua-tua masyarakat di desa (Marga) Bintunan
Kabupaten Bengkulu Utara pada tahun 1874, seusai musim panen. Tanda
penghargaan dan penghormatan itu diberikan kepada Mardjati yang dinilai telah
berhasil membela kepentingan rakyat, dan sekaligus telah berhasil membunuh dua
orang penguasa kolonial Belanda yaitu Asisten Residen H.Van Amstel dan Kontroleur
E.E.W Castens pada 2 September 1873, saat hendak menyeberang Sungai
Bintunan.
Dalam tragedi penyeberangan dengan menggunakan rakit (bambu yang diikat), dua
pejabat kolonial H.Van Amstel dan E.E.W Castens didamping emapat (4) orang
depati negeri Sembilan (sebutan untuk negeri Bintunan) dan salah seorangnya yang
turut menyeberangkannya adalah depati Mardjati. Sedangkan tiga orang lainnya
tidak disebutkan namanya, namun dapat diduga bahwa mereka adalah depati yang
ditangkap Belanda pada tahun 1878.
Perihal senjata yang digunakan oleh Mardjati alias Ratu Samban, pada peristiwa
pembantaian itu adalah parang tajam (bukan keris), dan saat korbannya luka
(pejabat Belanda) maka langsung dibuang/ditenggelamkan ke sungai Bintunan.
Peristiwa itu terjadi saat cuaca dalam keadaan usai hujan, sedangkan sungai dalam
keadaan banjir (Arus air sungai deras). Sedangkan kedua petinggi Belanda itu
mengharapkan sampai keseberang, dan akan bermalam di Bintunan (darat
diseberang sungai), karena hari menjelang petang.
Berdasarkan berbagai literatur dan catatan sejarah pada tahun 1901 hingga 1913,
serta berbagai catatan kolonial Belanda di Batavia (Arsip Nasional), hingga saat
tulisan ini diturunkan penulis belum menemukan satupun berita yang menyebutkan
bahwa Belanda pernah mengirim pasukan sebanyak 1000 orang serdadu ke
Bengkulu. Karena tidak pernah ada pertempuran terbuka, baik yang langsung
dipimpin oleh Ratu Samban ataupun yang lainnya.
Ratu Samban bukanlah seorang panglima perang (Memiliki pasukan khusus
tempur), tetapi sewaktu dia menyerang dua petinggi kolonial Belanda itu, dia
disaksikan oleh ratusan warga yang menyambut kunjungan Asisten Residen H.Van
Amstel dan Kontroleur Castens, yang sengaja dikerahkannya (Mardjati) untuk
menyaksikan peristiwa pembantaian tersebut oleh depati Mardjati (sebelum
menjabat Pasirah).

Mardjati seorang depati yang selanjutnya menjadi Pasirah karena dinilai telah
berjasa melindungi masyarakat dari beban pajak (Raaden = Pajak yang harus
dibayarkan kepada pemerintah Kolonial Belanda) sebesar 30.000 Golden. Hal itu
berdasarkan ketentuan pemerintah kolonial Belanda di Batavia tahun 1872, serta
hasil pertemuan pemuka masyarakat dengan kontroleur Castens dan Asisten
Residen H.Van Amstel.
Beban pajak ini pulalah yang dirasakan amat berat oleh rakyat, khususnya yang
berada Resort Bintunan. Pada tanggal 2 September 1873, dua pejabat penting ini
mengadakan inspeksi kewilayah perkebunan rakyat, yang terkenal banyak
menghasilkan kopi, lada, kopra, emas dan batu mulya diwilayah pesisir barat pulau
Sumatera, yaitu Lais, Bintunan, Ketahun (Provinsi Bengkulu).
Sumber-sumber sejarah Inggris maupun Belanda banyak menyebutkan tentang
komoditi yang berasal dari tiga wilayah ini, daerah yang menghasilkan kopi dan
lada terbesar, disamping kopra, emas dan batu muly.

Anda mungkin juga menyukai