Anda di halaman 1dari 4

Nama : Putri Amrita Sari

NPM : 1606832933
Senin, 11 September 2017
Orientasi di Alam Filsafat

Sumber bacaan I:
Van Peursen, C. A. (1980). Konsep Substansi. In C. A. Van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat (D.
Hartoko, Trans., pp. 73-86). Jakarta: PT. Gramedia.

I. Konsep Substansi menurut Descartes


Filsafat mengartikan ‘substansi’ sebagai hakekat kenyataan yang menopang segala gejala dan yang
tidak berakar lagi dalam suatu lapisan kenyataan yang lebih mendalam (Van Peursen, Konsep Substansi,
1980). Pengertian tersebut dijelaskan oleh seorang Filsuf bernama Descartes dengan sebuah ilustrasi lilin
yang didekatkan ke api, di mana lilin tersebut akan mengalami perubahan sifat-sifat, seperti perubahan
warna, bentuk, dan bau. Perubahan tersebut dapat dilihat oleh pancaindra kita, namun akal kita yakin bahwa
itu tetap lilin yang sama. Dengan kata lain, perubahan hanya terjadi pada sifat-sifatnya, tetapi substansinya
tetap sama. Sehingga, Descartes mendefinisikan substansi sebagai sesuatu yang berada pada dirinya sendiri
atau sesuatu yang adanya sedemikian rupa sehingga tidak membutuhkan seseuatu yang lain untuk berada
(Van Peursen, Konsep Substansi, 1980). Descartes membagi substansi menjadi dua jenis, yaitu subtansi
terbentang dan substansi berpikir. Substansi terbentang merupakan substansi dari hal-hal material.
Sedangkan, substansi berpikir merupakan substansi dari hal-hal rohani.
II. Dari Aristoteles sampai Spinoza
Aristoteles (384 – 322 SM) merupakan ahli pikir pertama dalam bidang filsafat yang menggunakan
dan membahas konsep substansi sebagai sebuah istilah khas dalam ilmu filsafat (Van Peursen, Konsep
Substansi, 1980). Konsep substansi digambarkan oleh Aristoteles dengan kata ‘ousia’ yang dalam bahasa
Yunani berarti ‘ke-ada-an’. Bagi Aristoteles, substansi sejati adalah dwitunggal antara materia (bahan
mentah yang belum berwujud) dan forma (wujud, bentuk yang memberi wajah konkret). Pada suatu benda
yang konkret, terdapat substansi yang tidak terukur banyaknya. Semakin meningkat bentuk serta wujud
suatu benda, lapisan substansi yang dimiliki benda tersebut akan semakin bersandar pada dirinya sendiri.
Pemikiran Aristoteles mengenai substansi banyak ditemukan kembali pada karya milik Thomas
Aquino yang mengatakan bahwa substansi merupakan pengemban sifat-sifat; bukan sebagai suatu hakikat
yang tersembunyi, melainkan sebagai sumber dan wadah dari sifat-sifat tersebut. Perbedaan antara
Aristoteles dengan Aquino adalah Aquino tidak berfokus pada barang konkret melainkan pada substansi
secara umum, di mana ia menempatkan konsep substansi pada kerangka ontologinya.

1
Descartes menganggap Tuhan sebagai substansi sejati sebagaimana ia mendefinisikan substansi
sebagai sesuatu yang tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk ada. Anggapan tentang Tuhan sebagai
substansi ini mencapai puncaknya pada pemikiran Benedictus de Spinoza (1623 – 1677). Spinoza
mengatakan bahwa Tuhan merupakan substansi yang mutlak dan tak terbatas. Pemikiran Spinoza ini
menimbulkan dua konsekuensi. Pertama, Tuhan kembali menjadi konsep yang sangat jauh dan sulit untuk
dikenali manusia. Kedua, manusia dianggap tidak memiliki kepribadiannya sendiri dan tidak bebas dalam
setiap tindakannya, di mana tindakannya telah ditentukan sebelumnya secara logis-fatalistis (Van Peursen,
Konsep Substansi, 1980).
III. Berkeley: Cara Berpikir menurut Relasi-relasi
Jika Spinoza berpendapat bahwa substansi bersifat ilahi, Kant menganggap substansi terkait dengan
daya pikir manusia. Bagi Kant, substansi hanyalah kategori-kategori dalam pikiran manusia yang mencetak
dan memberi bentuk tertentu keoada gejala-gejala yang kita amati, tetapi tidak mampu menyajikan suatu
gambaran mengenai kenyataan. Sedangkan, aliran neo-Kant mengesampingkan ‘Ding an sich’ dan
menyamakannya dengan kegiatan daya pikir manusia pada umumnya (Van Peursen, Konsep Substansi,
1980). Bahkan, seorang ahli bernama Ernst Cassirer menghapuskan konsep substansi dan menggantinya
dengan konsep fungsi.
Seorang filsuf bernama Berkeley menolak gagasan bahwa substansi dan daya pikir manusia bersifat
ilahi ataupun sebagai sesuatu yang tidak dapat dikenali. Menurutnya, segala sesuatu yang ada mempunyai
sifat relasional dan saling terkait yang coba diurai oleh Berkeley (Van Peursen, Konsep Substansi, 1980).
Bagi Berkeley, alam kebendaan merupakan sesuatu yang dapat diamati gejala-gejalanya secara konkret dan
hanya dapat diekspresikan melalui suatu bentuk abstrak. Sehingga, Berkeley menganggap bahwa substansi
material merupakan barang yang berelasi dengan manusia yang mengamati dunia sekitarnya dalam
kehidupan sehari-hari. Barkeley sangat menomorsatukan relasi, khususnya relasi terhadap roh manusia, yang
menurutnya sangat berkaitan dengan hakekat sebuah barang yang hanya dapat dingkapkan melalui kualitas
barang tersebut.

Sumber bacaan II:


Van Peursen, C. A. (1980). Ada dan Wajahnya. In C. A. Van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat (D.
Hartono, Trans., pp. 87-104). Jakarta: PT. Gramedia.

I. Pertanyaan mengenai ‘Ada’


Istilah ‘Ada’ yang dimaksud di sini bukan merujuk pada suatu benda yang berada di samping atau di
belakang benda-benda lain, melainkan dimensi lain yang memungkinkan kita untuk berkata bahwa sesuatu
itu sungguh ada (Van Peursen, Ada dan Wajahnya, 1980). ‘Ada’ yang dimaksud dalam bahan ini juga

2
berarti cakrawala arti yang meliputi segala sesuatu yang ada. Dalam artian, ‘ada’ tersebut dapat diungkapkan
dan karena ‘ada; tersebutlah manusia dapat mengatakan sesuatu mengenai barang-barang yang nyata.
Menurut Hegel, ‘ada’ bukanlah sebuah konsep kosong, melainkan sesuatu yang dapat diungkapkan
dengan segala macam cara (Van Peursen, Ada dan Wajahnya, 1980). Hal ini terjadi karena untuk
mendefinisikan ‘ada’ memerlukan pengetahuan mengenai ‘ada’ itu sendiri yang bisa didapatkan jika
manusia mulai mempertanyakan hakikat segala suatu hal. Sedangkan, Aristoteles menggunakan kata kerja
Sein (ada) untuk menjelaskan tentang suatu barang. Penelitian-penelitian Aristoteles sendiri banyak terfokus
pada ‘ada’ dalam konteks mengapa dan dari sudut mana suatu barang dikatakan ada sebagai barang. Ia tidak
membandingkan satu barang dengan barang yang lain, melainkan meneliti substansi dari barang-barang
yang konkret, ‘ke-ada-annya’. Bagi Aristoteles, ketuhanan merupakan ‘Ada’ tertinggi, karena merupakan
wujud tertinggi (Van Peursen, Ada dan Wajahnya, 1980).
II. Kontingensi: Ciri Segala Sesuatu yang Ada
Pembahasan mengenai kontingensi dalam filsafat banyak dipengaruhi oleh karya-karya Thomas
Aquino (1224 – 1274) tentang teologi seperti Summa Theologiae dan Summa contra gentiles. Kontingensia
sendiri dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang ada tidak niscaya ada (Van Peursen, Ada dan Wajahnya,
1980). Segala sesuatu yang ada bercirikan ‘transcendentalia’, yaitu sifat-sifat transenden yang tidak
menggolongkan makhluk-makhluk menurut jenisnya, tetapi dimiliki oleh segala sesuatu yang ada.
Transenden dicirikan dengan konsep-konsep berbobot, misalnya ‘berada’, ‘tunggal’, ‘benar’, dan ‘baik’.
Karya-karya Aquinos yang telah disebutkan di atas pada intinya membahas tentang Tuhan, di mana
Aquinos menggambarkan Tuhan melalui dua cara. Cara pertama adalah dengan penalaran analogis bahwa
segala kebaikan di dunia menunjukkan pada Tuhan sebagai sumber kebaikan itu sendiri. Cara kedua adalah
dengan menyangkal segala sifat itu, karena Tuhan berlainan sama sekali (Van Peursen, Ada dan Wajahnya,
1980). Berdasarkan dua hal tersebut, dapat dipahami bahwa Tuhan dapat dipahami melalui analogi, namun
analogi dalam ‘ada’ sangat berbeda dengan analogi tentang Tuhan ini dan merupakan konsep yang sangat
penting. Kemudian, dikenal suatu konsep yang disebut dengan analogi perimbangan atau proporsionalitas,
yakni analogi yang menyeimbangkan hakikat (esensi) dari suatu hal dengan eksistensinya. Bagi para pemikir
Semit, eksistensi suatu hal tidak dapat disimpulkan dari esensinya, dalam artian adanya esensi suatu hal
tidak menjamin eksistensi hal tersebut. Hal ini bertolakbelakang dengan pandangan pemikir Yunani yang
menyatakan bahwa definisi hakikat suatu hal sejatinya juga mengandung eksistensinya.
III. Eksistensi dan Ada
Johannes Duns Scouts (1266 – 1308), seorang ahli pikir dan rohaniawan dari Skotlandia, membahas
tentang eksistensi yang banyak diilhami oleh Plato dan Augustinus. Scouts menyatakan bahwa hal yang
penting ialah hal yang konkrit dan nyata dan hal yang individual lebih nyata daripada sebuah konsep umum
(Van Peursen, Ada dan Wajahnya, 1980). Penekankan Scouts bahwa ada suatu wujud individual pada setiap
benda atau makhluk hidup membuat setiap barang menjadi barang konkrit yang kemudian disebutnya
3
sebagai haecceitas (ke-ini-an). Menurut Scouts, kontingensi berarti bahwa barang-barang itu ada karena
dikehendaki Tuhan, tidak secara umum, melainkan Tuhan menghendaki yang ini dan yang itu berada (Van
Peursen, Ada dan Wajahnya, 1980). Pemikiran ini cenderung mengakarkan kontingensi pada Tuhan.
Pemikiran berbeda ditemukan dalam karya Hegel yang menyatakan bahwa eksistensi konkrit
merupakan hasil dari suatu penalaran logis. Budi manusia luput dari ancaman kontingensi dan kontingensi
dihapus dalam keniscayaan proses dialektis yang berawal pada ada dan tiada (Van Peursen, Ada dan
Wajahnya, 1980). Pemikiran Hegel tersebut disoroti kembali oleh seorang ahli filsafat jaman Romantik
bernama F.W.J. Scheling (1775 – 1854). Scheling mengatakan bahwa Hegel cenderung memaparkan filsafat
‘apa’ (the philosophy of what), sedang dirinya lebih terfokus pada filosofi ‘bagaimana’ (the philosophy of
that) mengenai eksistensi (Van Peursen, Ada dan Wajahnya, 1980). Menurut Scheling, yang nyata ialah
barang-barang yang ada, dan ada itu tidak pernah dapat disimpulkan dari sebuah konsep.
IV. Di Sebelah Sana yang ‘Ada’
Berbagai pikiran filsuf mengenai ‘yang ada’ yang telah dibahas sebelumnya menghasilkan dua
catatan penting. Pertama, konsep ‘yang ada’ mulai bergerak sejak diperdalam oleh para filsuf. ‘Ada’ bukan
lagi sesuatu yang niscaya, tetapi memperlihatkan celah-celah: eksistensi yang konkrit dan yang tidak niscaya
mulai Nampak sebagai cakrawala ‘yang ada’ itu (Van Peursen, Ada dan Wajahnya, 1980). Kedua, adanya
sifat spekulatif yang melekat pada pembahasan filsafat tentang ‘ada’ ini atau yang dikenal dengan nama
metafisika. Maksudnya adalah ketika menggali tentang ‘ada’ ini, para filsuf pada dasarnya juga sedang
mencari cakrawala kenyataan konkrit, sehingga ada kekhawatiran sang filsuf melupakan titik tolak tersebut
dan malah mengeluarkan berbagai spekulasi yang abstrak.
V. Meta-metafisika
Seorang filsuf dari Swiss bernama Pierre Thevenaz (1913 – 1955) mengemukakan tentang meta-
metafisika, yaitu kondisi dimana manusia tidak berhenti pada barang-barang lepas dan pada dunia yang ada,
tetapi juga sambal mencari dunia yang ada di belakang dunia yang nyata ini. Kecenderungan manusia
terhadap hal-hal mistik ini pada telah ditulis sejak Abad Pertengahan di Eropa.
VI. Ada yang Berkiblat
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa ‘ada’ bukanlah suatu pengertian
yang abstrak. Melalui konsep ‘ada’, kita diarahkan pada pandangan yang bersifat kontingen, kepada yang
ada di hadapan kita, dan kepada hal yang tidak dapat dikategorikan secara umum. ‘Ada’ kemudian menjadi
cakrawala arti bagi segala barang dan peristiwa konkrit yang mengandung penilaian dan menuntut sikap
serta jawaban manusia dalam menafsirkan dan memberi arti kepada segala sesuatu yang ada (Van Peursen,
Ada dan Wajahnya, 1980).

Anda mungkin juga menyukai