Anda di halaman 1dari 5

Nama : Nabila Syahidah Nurmahabbatullah

NIM : 2020310003
Fakultas/Semester : KPI/ II A
Mata Kuliah : Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu : Moch. Riou Badar Tubanie, M.T.

PERBEDAAN ESENSI DAN SUBSTANSI

Esensi adalah sesuatu yang terlepas dari persoalan apakah sesuatu itu ada
atau tidak, sedangkan substansi watak yang sebenarnya dari sesuatu. Esensi
adalah hakikat barang sesuatu. Esensi adalah suatu hal yang mendasar dan paling
bermakna dalam suatu tindakan, kesenian, tulisan, maupun perkataan. Setiap
substansi mengandung pengertian esensi, tetapi tidak setiap esensi mengandung
pengertian substansi. Aristoteles menyatakan bahwa substansi dapat dikatakan
merupakan sesuatu yang di dalamnya terwujud esensi. Substansi dipandang
sebagai sesuatu yang adanya terdapat di dalam dirinya sendiri. Substansi dapat
ditafsirkan sebagai ‘yang membentuk sesuatu, atau yang pada dasarnya
merupakan sesuatu atau dapat disempitkan menjadi itu. Pembahasan mengenai
substansi akan selalu terkait dengan esensi (essence).
Contohnya, jika kita memperhatikan secarik kertas, kertas tersebut
mempunyai kualitas-kualitas yang tertentu, namun kertas tadi tidak nampak
seperti kualitas-kualitas itu. Jika bangun kertas tersebut diubah, kertas tadi tetap
merupakan kertas. Karena itu yang dinamakan kertas bukanlah bangunnya, atau
warnanya, atau sesuatu kualitasnya yang lain yang dapat ditangkap oleh indera.
Yang dinamakan kertas ialah substansinya, yaitu kertas.
Sebuah patung dapat mempunyai bentuk manusia, dan bangun yang
berlain-lain semuanya dapat menyatakan bentuk yang sama itu. Tetapi tidak
sebuah pun yang mempunyai esensi manusia, karena patung itu bukan manusia,
substansinya tetap sebuah batu.

1
Esensi yang terwujud dalam materi akan mempunyai bentuk yang khusus
dan bentuk itu dapat dicontoh.
Contoh dari esensi, Esensi apakah yang dimiliki dari lukisan pemandangan
dan pertanian di desa? jawabannya untuk menghargai kerja keras para petani di
desa dan menikmati kekayaan alam yang Tuhan telah berikan.
Kemudian makna esensi yang berasosiasi, esensi adalah kenyataan. Maka,
makna kenyataan yang ada pada suatu urusan merupakan esensi dari urusan
tersebut. Contohnya, kata esensi melekat pada kata “ibadah”, maka akan
melahirkan makna kenyataan sebuah ritual bagi pelakunya. Apakah kenyataannya
ibadah hanya sebuah gerakan atau punya makna batin yang mendalam bagi yang
menjalankannya? Esensi yang melekat pada sebuah hubungan dapat bermakna
beda lagi. Menurut Raditya Dika, esensi sebuah hubungan adalah dengan adanya
orang yang kita sayang di samping kita.
Dari contoh diatas dapat kita simpulkan bahwa esensi adalah sebuah kata
yang maknanya dapat berubah-ubah.
Mengenai substansi dalam kajian filsafat, sebelum berbicara mengenai
substansi kita harus mengetahui apa itu filsafat. Filsafat terbagi menjadi dua kata
yaitu Filo dan Sofia, menurut bahasa Filsafat artinya mencari kebenaran.
Sedangkan menurut istilah filsafat adalah berfikir secara mendalam untuk
memperoleh kebenaran atau kebijaksanaan.
Dalam kajian filsafat, secara umum istilah substansi diartikan sebagai
hakikat atau inti dari kenyataan yang menopang segala gejala yang tidak berakar
lagi dalam suatu lapisan kenyataan yang lebih mendalam. Konsep substansi
muncul sebagai usaha para filsuf untuk mengungkap hakikat kebenaran dalam
realitas. Adanya konsep substansi diawali dari adanya pengenalan manusia
terhadap benda-benda pada dunia realitas
1. Konsep Substansi Menurut Aristoteles
Aristoteles adalah filsuf yang pertama kali membicarakan substansi, ia
menggunakan kata ousia (artinya ke-ada-an). Ousia dimaksudkan Aristoteles
sebagai barang konkret yang ada, yang terdiri dari bahan dan bentuk
(hylomorphisme).

2
Substansi, yaitu benda yang ‘ada’, dan eksistensinya tidak tergantung pada
benda lain. Benda semacam ini bukan sekedar bentuk, ia bahkan gabungan antara
bahan dan bentuk (Materi dan Forma). Bagi Plato, apa yang dapat diindera adalah
bahan dari benda-benda ilusi dan yang nyata adalah bentuk yang bisa ditangkap
pikiran. Bagi Aristoteles bahan bukan cuma ilusi atau pelengkap yang mengiringi
bentuk (Forma). Bahan justru memberi nilai khas bagi keberadaan suatu benda
dalam kenyataan.
2. Konsep Substansi Menurut Thomas Aquinas
Menurut Aquinas, segala sesuatu di dunia ini mempunyai hakikat
(substansi) yang tak kelihatan. Substansi inilah yang membuat sesuatu menjadi
sesuatu itu, dan bukan menjadi yang lain. Misalnya hakikat kucing adalah apa
yang membuat kucing itu kucing, tak peduli apakah kucing itu besar, kurus,
kurapan, berbulu hitam atau putih. Hakikat meja adalah apa yang membuat
berbagai meja dengan bentuk apapun (bulat, lonjong, segiempat) menjadi meja.
Sedangkan aksidensi adalah bentuk lahiriah (gemuk, kurus, hitam, putih, bulat,
lonjong, dsb.) yang ditambahkan pada substansi. Substansi dan aksidensi
membentuk segala makhluk/benda konkret. Dari sini, St. Thomas Aquinas
mengajarkan bahwa dalam konsekrasi, seluruh substansi roti dan anggur (yakni
apa yang membuat roti dan anggur menjadi roti dan anggur) diubah menjadi
substansi tubuh dan darah Kristus, meskipun sifat dan rupa (aksidens) roti dan
anggur tetap sama.
3. Konsep Substansi Menurut Rene Descartes
Substansi menurut Descartes sangat erat dengan teori innate ideas nya.
Descartes percaya bahwa manusia memiliki tiga ide bawaan, yaitu res cogitans
(aspek mental), res extensa (aspek keluasan), dan idea tentang Tuhan. Res
cogitans adalah kesadaran dalam aku yang berpikir. Dalam realitas, aku bukan
hanya sebentuk kesadaran dan pikiran, tetapi juga jasmani yang konkret.
Kejasmanian bisa saja menipu dan tidak sempurna. Tapi bahwa kesan tentang
kejasmanian itu sebenarnya sudah ada semenjak lahir dan menunjukkan bahwa
kejasmanian adalah ide bawaan. Descartes menyebutnya sebagai res extensa.
Terakhir, Descartes menjelaskan bahwa aku yang berpikir dan berkesadaran ini

3
juga memiliki ide tentang yang maha sempurna. Itulah Tuhan. Pada Descartes
Tuhan ini menjadi penjamin bagi keberlangsungan aku yang berpikir. Tuhan
adalah substansi yang tak dapat ditolak. Ketiga idea bawaan inilah yang ia
transformasikan ke dalam konsep substansinya.
4. Konsep Substansi Menurut Baruch Spinoza
Baruch Spinoza lahir pada tahun 1632. Ia adalah seorang filsuf berdarah
Yahudi yang keluarganya bermigrasi ke Belanda. Sebagai seorang yang
berkebangsaan Yahudi, maka sudahlah barang pasti bahwa pemikirannya
dipengaruhi dengan pola pikir ala filsafat Yahudi, yang memiliki pendekatan
korelasi antara agama (agama yahudi) yang bersifat mistik dengan ilmu
pengetahuan.
Spinoza menerima definisi Cartesian soal substansi, namun menurutnya
hanya ada satu substansi. Karena jika ada dua substansi, maka keduanya akan
saling membatasi atau melimitasi independensi masing masing karena tidak ada
dualisme yang mungkin untuk konsisten. Konklusinya, hanya ada satu substansi.
Sebab selain Tuhan, segala sesuatu punya atribut yang dapat direferensikan
kepada Tuhan.
5. Konsep Substansi Menurut Immanuel Kant
Bagi Kant, substansi adalah kategori intelek yang memiliki hubungan hanya
kepada data-data yang bisa dihindari, dan akibatnya tidak berguna dalam upaya
menemukan pengetahuan tentang realitas yang melampaui penginderaan.
Substansi merupakan kategori pikiran. Kategori tersebut tidak dapat bekerja
sendiri tanpa adanya realitas disekeliling manusia yang dapat dikenali. Dalam
konteks ini, Kant memaknai substansi sebagai pengenalan manusia terhadap
realitas yang melibatkan kategori pikiran dan dunia realitas yang dapat ditangkap
dan dikenali melalui fenomena.
Pada dasarnya para filsuf tersebut masing-masing berusaha menjelaskan
hakikat kenyataan yang memungkinkan manusia dapat mengenali realitas dan
mendapatkan pengetahuan dari realitas tersebut melalui suatu konsep yang
dinamakan substansi. Substansi adalah hakikat atau inti kenyataan yang
menopang segala gejala yang tidak berakar lagi dalam suatu lapisan kenyataan

4
yang lebih mendalam. Substansi juga merupakan keseluruhan relasi dan sifat yang
terkandung dalam benda-benda konkrit. Konsep substansi mencoba memberikan
penjelasan mengenai arti dunia realitas dan setiap pengenalan oleh manusia.

Anda mungkin juga menyukai