Anda di halaman 1dari 13

Materi 3

MANUSIA SEBAGAI RELIGIOUS ANIMAL

Di masa abad pertengahan, manusia dilihat sebagai makluk ciptaan Tuhan seperti
diajarkan kitab suci agama-agama. Jagad raya dan seluruh isinya, termasuk manusia, tidak
bereksistensi dari dirinya sendiri. Meminjam argumentasi Thomas Aquinas, filsuf Kristen
terbesar di abad pertengahan, jagad raya (termasuk manusia) merupakan akibat yang menuntut
adanya penyebab yang tak disebabkan, penggerak yang tidak digerakkan (uncaused cause, prime
mover). Itulah Sang Pencipta. Pandangan ini menemukan wujud dalam konsep “The Great
Chain of Being” alias Scalla Naturae. Menurut konsep ini, segala ciptaan menempati posisi
masing-masing secara hirarkis dalam suatu tangga atau piramida. Tuhan sang Pencipta berada di
puncak piramida, sekaligus berada di luar piramida ini.

1. Pengaruh Aristotelianisme
Aristotelianisme masih sangat berpengaruh di penghujung akhir abad pertengahan,
bahkan masih mencengkeram institusi-institusi intelektual di masa awal modern, termasuk di
masanya Descartes. Sampai para komentator mengatakan bahwa evidensi bagi kebenaran filsafat
Aristoteles dapat dibaca dalam Alkitab. Orang yang menolak pandangan Aristoteles dapat
dituduh menentang sabda Tuhan dan sebab itu layak mendapat hukuman.
Filsafat Aristoteles mengajarkan tentang forma substansialis, yakni prinsip immaterial
dari suatu benda materi. Menurut Aristoteles benda-benda mempunyai sumber gerak atau diam
dalam diri sendiri. Itulah kodrat benda-benda yang dinamakannya physis. Pohon kecil misalnya,
tumbuh jadi besar karena kodratnya (physis). Pohon tetap tinggal pohon, tetap mempertahankan
identitas sebagai pohon berkat physis itu. Hewan, tumbuhan, air, tanah, udara, dan api memiliki
physis dan tujuan. Physis merupakan penyebab formal sekaligus penyebab final. Physis
menyebabkan suatu benda menjadi pohon, sekaligus menjadi tujuan pohon. Jadi physis
merupakan penyebab formal maupun penyebab final.
Dengan demikian setiap benda mencoba merealisasikan kodratnya (dan tujuannya).
Secara keseluruhan dunia mempunyai telos (tujuan). Peristiwa-peristiwa alam tidak bersifat
kebetulan. Semua yang nampaknya kebetulan sebetulnya mengejar suatu tujuan (telos), kata
Aristoteles. Api, udara, air, dan tanah juga punya telos alias prinsip substansialis yang sekaligus
merupakan tujuannya: api dan udara membubung ke atas, air dan tanah bergerak ke bawah. Atau
terminologi skolastiknya: tiap-tiap anasir menuju ke tempat kodratinya (locus naturalis).
Misalnya, kalau batu (terdiri dari tanah) jatuh, atau asap (yang terdiri dari api) naik membubung,
maka batu dan asap itu merealisasikan kodrat mereka.
Prinsip immaterial inilah yang oleh agama disamakan “penyebab yang tidak disebabkan”
(uncaused cause) atau tujuan terakhir (causa finalis) yang adalah Tuhan atau Sang Pencipta.
Tuhan adalah pengasal segala sesuatu, sekaligus tujuan dari segalanya. Jagad raya, termasuk
manusia, adalah ciptaan yang merealisasikan kodratnya. Dari latar belakang seperti inilah
muncul konsep manusia sebagai religious animal.

2. Pandangan Beberapa Filsuf


Semua filsuf di abad pertengahan mengajarkan tentang manusia sebagai makluk ciptaan
Tuhan. Posisi filsafat di abad pertengahan sebagai pelayan teologi (philosophia est ancilla
theologiae) memang mengharuskan bahwa ajaran-ajaran filsafat tidak boleh bertentangan dengan
ajaran teologi. Maka pandangan para filsuf pendukung Aristoteles juga menyesuaikan diri
dengan hal ini. Di satu pihak mereka mengacu kepada pandangan Aristoteles, di pihak lain
mereka juga menyesuaikannya dengan teologi. Pandangan mereka tetap melihat manusia sebagai
makluk yang terdiri dari jiwa dan tubuh, tetapi faktor Sang Pencipta dimasukkan sebagai
penyebab dan tujuan eksistensi manusia.
Di bawah ini akan dikemukakan secara singkat pandangan Agustinus, Ibnu Rusyd
(Averroes), dan Thomas Aquinas tentang manusia, mewakili filsuf Islam dan Kristen.

a. Agustinus (354-430)
Pandangan Agustinus tentang hakikat manusia dan asal usul jiwa manusia dijelaskan di
bawah ini:
 Hakikat Manusia
Manusia adalah kesatuan sempurna dari dua substansi, yakni jiwa dan tubuh. Keduanya
secara kategoris merupakan dua substansi berbeda. Tubuh merupakan obyek berdimensi
keluasan yang terdiri dari empat elemen, sedangkan jiwa tidak memiliki dimensi spasial. Jiwa
lebih superior dari tubuh karena bersifat spiritual, dan sebab itu memerintah tubuh, kata
Agustinus. Ini didasarkan pada pandangannya tentang tingkat-tingkat makluk, yakni (1) yang
bereksistensi, (2) yang bereksistensi dan hidup, (3) yang bereksistensi, hidup, dan memiliki akal
budi. Pada awalnya jiwa dan tubuh berada dalam harmoni sempurna, tapi setelah kejatuhan
manusia, muncul pertentangan di antara mereka.
Agustinus menentang pandangan skeptisisme yang meragukan kebenaran. Menurut dia,
berkat rasio manusia mampu mencapai kebenaran dan kepastian. Meskipun rasio itu ada
batasnya, tapi ia dapat mencapai kebenaran tak terbatas. Kata-katanya yang terkenal adalah:
“Aku ragu-ragu, maka aku ada”. Ungkapan ini tidak sekedar menyatakan bahwa manusia dapat
mencapai kepastian bahwa dirinya ada, tapi bahwa akal kita dapat berhubungan dengan suatu
kenyataan lebih tinggi. Dasar terakhir kepastian manusia ialah Tuhan sang Pencipta.
Menurut Agustinus rasio saja tak mampu mengenal kebenaran, apalagi kebenaran
tertinggi yakni Tuhan. Maka untuk mengenal Tuhan, rasio harus bekerja sama dengan iman.

 Asal-Usul Jiwa Manusia


Jiwa berasal dari mana? Dia mengaku bingung, dan tidak bisa menjawab pertanyaan ini.
Dalam buku Beata Vita dan Retractationes dia mengaku tidak tahu tentang asal usul jiwa. Tapi
bagi Agustinus jiwa tidak dapat disamakan dengan substansi Allah, tidak juga dengan tubuh,
tidak juga dengan benda fisik lain. Jiwa itu diciptakan dan bersifat immaterial. Jiwa juga dapat
berubah, jadi tidak seperti sang penciptanya. Pandangan ini merupakan dasar untuk menjelaskan
adanya perubahan moral.
Ada empat hipotesis tentang asal usul jiwa: (1) jiwa dikirim Allah untuk memerintah
tubuh; (2) jiwa datang mendiami tubuh atas kemauan sendiri; (3) Tradusianisme: jiwa diturunkan
dari jiwa Adam; (4) Kreasionisme: Tuhan menciptakan jiwa baru untuk setiap tubuh.
Dalam buku De Civitate Dei dia mengatakan bahwa Allah menciptakan hanya satu jiwa,
yakni jiwa Adam. Jiwa-jiwa manusia sesudahnya bukan turunan genealogis dari jiwa orisinil,
tapi identik dengan jiwa Adam sebelum memperoleh kehidupan individual khusus mereka.
Bagi Agustinus, akal budi merupakan puncak kognitif dari jiwa manusia, bukan saja
karena akal budi membedakan kita dari makluk ciptaan lain, tapi lebih penting ialah caranya ia
membedakan kita: akal budi memberikan kita akses kepada kebenaran. Kebenaran yang dicapai
akal budi bukan sekedar bersifat logis atau psikologis, melainkan ontologis, yakni suatu
isomorfisme antara kemutlakan (necessity) yang mengendalikan pikiran kita dan kemutlakan
yang mengendalikan struktur dari apa yang kita pikirkan. Jadi, ada isomorfisme antara kebenaran
akal budi dan struktur being.

b. Ibnu Rusyd (1126-1198)


Pandangan Ibnu Rusyd tentang manusia disajikan di bawah ini:
 Pandangan tentang Manusia
Sebagai penganut Aristotelianisme, Rusyd mempertahankan pandangan Hyleformisme
tentang kesatuan antara materi dan forma/bentuk. Manusia terdiri dari jiwa dan tubuh. Jiwa
merupakan forma, sedangkan tubuh merupakan materi. Seperti para filsuf agama lainnya dia
mengatakan manusia diciptakan oleh Tuhan. Pandangan ini merupakan implikasi dari pandangan
utamanya bahwa jagad raya dan isinya diciptakan oleh Tuhan.
Menurut Rusyd, jiwa mempunyai lima kemampuan, yakni nutritif, sensitif, imaginatif,
apetitif, dan rasional. Jiwa nutritif atau vegetatif dimiliki oleh semua tumbuhan dan hewan, dan
diturunkan lewat media seksual. Empat kemampuan lebih tinggi lain (sensitif, imaginatif,
apetitif, dan rasional) bergantung pada kemampuan nutritif dan merupakan kesempurnaan dari
nutritif.
Rusyd mengajarkan tentang dua jenis jiwa, yakni jiwa individual dan jiwa ilahi. Jiwa
individual bersifat tidak kekal, sedangkan jiwa ilahi bersifat kekal. Semua orang pada dasarnya
memiliki jiwa ilahi yang satu dan sama. Inilah cara Rusyd, seorang penganut Hyleformisme
menyesuaikan pandangan filosofis (Aristoteles) dengan ajaran Islam. Bagi Aristoteles, jiwa
memperoleh eksistensinya dari potensi materi. Sebab itu ketika materi hancur (waktu kematian)
jiwa juga tenggelam (hilang). Jadi dalam pandangan Aristoteles, jiwa tidak kekal. Tapi Rusyd
kemudian mengajarkan tentang jiwa ilahi yang bersifat kekal. Hal serupa dilakukan Thomas
Aquinas yang juga seorang penganut Aristoteles untuk menyesuaikan pandangan filosofisnya
dan ajaran agama Katolik.

c. Thomas Aquinas (1225-1274)


 Pandangan tentang Manusia
Thomas Aquinas adalah penganut Aristotelianisme, dan sering dijuluki Aristoteles
Kristen. Ia menyetujui pandangan Hylemorfisme dari Aristoteles, tapi kemudian
memodifikasinya sesuai iman Kristen yang dianutnya. “Seandainya Aristoteles sendiri sempat
menyaksikan hal itu, ia akan bengong dan tidak dapat berbicara,” tulis PA van der Weij dalam
bukunya Grote Filosofen over de Mens (1972).
Menurut Aristoteles, jiwa dan tubuh merupakan kesatuan mutlak karena keduanya itu
hanya satu substansi. Maka pada saat kematian, ketika tubuh hancur menjadi tanah, jiwa juga
tenggelam, hilang, tidak berbekas. Jadi, bagi Aristoteles, jiwa tidak kekal (berbeda dengan yang
diajarkan oleh Plato tentang jiwa yang menghuni dunia ide). Hyle (materi pertama) bersatu
dengan morphe (bentuk). Tapi menurut Aristoteles, morphe itu muncul dari potensi materi,
sehingga akan tenggelam pada saat materi itu hancur. Aristoteles menggunakan kata psyche dan
nous untuk jiwa, tapi Thomas menyebut jiwa dengan kata anima.
Menurut Thomas Aquinas, manusia adalah gabungan dari dua substansi yang tidak
lengkap, yaitu materi pertama (hyle) dan jiwa (anima). Kesatuan itu menjadi lebih kuat
dibanding yang diajarkan Aristoteles sebab manusia adalah suatu substansi yang lengkap.
Jiwa, kata Thomas, semata-mata bersifat rohani, tunggal, prinsip hidup dari seluruh
manusia dan tak dapat mati. Kerohanian jiwa tampak terutama dari kegiatan-kegiatan tinggi
seperti berpikir dan berkehendak. Jadi Thomas secara berani menggabungkan jiwa sebagai
bentuk rohani dengan materi. Thomas menegaskan bahwa jiwa diciptakan oleh Tuhan. Jadi ada
campur tangan langsung dari Tuhan. Ini nampak dari penggunaan istilah immittere, artinya
Tuhan memasukkan jiwa ke dalam materi.

 Jiwa Sesudah Kematian


Menurut Thomas jiwa mampu bereksistensi terpisah dari tubuh sesudah kematian. Jadi,
ada kesan dia mengakui adanya dua substansi, pada hal tidak. Dalam hal ini dia justru tampil
sebagai seorang Aristotelian sejati. Jiwa (soul) mampu untuk berada terpisah dari tubuh sesudah
kematian karena aktualitas pengertian dan kehendak bukan merupakan aktualitas organ tubuh,
melainkan aktualitas human animal yang dibedakan oleh bentuk rasional (rational form).
Menurut Thomas sesudah kematian tubuh jiwa itu subsisten. Artinya, sesudah
kehancuran tubuh, jiwa mampu bereksistensi sendiri (on its own). Ia tidak ada lagi dalam materi
tubuh. Tetapi kemampuan untuk bereksistensi sendiri bukanlah faktor yang membedakan suatu
substansi. Tangan yang terlepas dari tubuh hidup merupakan suatu subsisten. Tidak tepat kalau
menyebutnya tangan manusia karena ia tak dapat melakukan lagi hal-hal yang dapat dilakukan
tangan manusia. Bagaimanapun juga ia dapat ada terpisah dari substansi di mana ia menjadi
bagian sebelumnya.
Substansi adalah suatu yang subsisten dan lengkap dalam kodratnya. Kodrat adalah
prinsip instrinsik bagi gerakan dan perubahan pada subyek. Tangan yang terlepas dari tubuh
disebut subsisten, tapi bukan substansi sebab tidak lengkap dalam kodratnya. Tangan manusia
didefinisikan secara fungsional sebagai bagian dari substansi manusia.
Begitu pula jiwa manusia merupakan unsur konstitutif dari kodrat substansi manusia. Ia
merupakan prinsip formal dari substansi manusia. Ia tidak lengkap. Agar ia ada maka ia harus
menjadi bagian dari suatu substansi. Dalam arti ini ia merupakan prinsip dari substansi. Sebagai
prinsip dari sebuah kodrat, kodratnya ialah menjadi unsur formal dari sebuah substansi lengkap.
Maka ia bukanlah substansi dari dirinya sendiri meskipun ia mampu bersubsistensi terpisah dari
tubuh.
Tubuh yang tersisa setelah kematian adalah subsisten, paling kurang untuk sementara
waktu. Tapi ia bukan lagi substansi. Ia adalah jasad materi dari sebuah substansi. Demikin pula
secara analogis jiwa dapat disebut substansi sejauh ia merupakan prinsip formal dari sebuah
substansi.
Pandangan seperti ini merupakan implikasi dari pemahaman Thomas tentang aktivitas
pengetahuan dan kehendak pada manusia. Menurut Thomas tahu dan menghendaki adalah
aktivitas rasional dari animal. Jadi, tahu dan kehendak adalah aktivitas hewan yang bersifat
rasional. Rasionalitas adalah bentuk lain dari inteligensi pada manusia hewan. Rasionalitas
mencakup argumentasi yang bergerak dari satu hal yang diketahui kepada hal lain, dan dalam
gerakan itu mencapai pengetahuan. Gerakan dalam pemahaman ini perlu bagi manusia sebab
sebagai hewan ia hanya punya pemahaman parsial tentang benda-benda, sejauh pengetahuannya
selalu merupakan pengalaman indrawi tentang dunia yang tidak lengkap dan parsial. Adalah
pengalaman indra, dan self-movement yang muncul dari padanya, yang menempatkan manusia
(human being) dalam genus hewan. Jadi pengertian dan kehendak manusia secara instrinsik
terikat dengan aktivitas hewan, yakni sensasi. Akibatnya, rational adalah bentuk (form) yang
diambilnya dalam hewan.
Dalam Summa Theologiae Thomas bertanya apakah prinsip intelektual identik dengan
forma substansial atau jiwa dari human animal. Thomas menjawab bahwa keduanya identik.
Prinsip intelektual dari kehidupan manusia tidak berinteraksi dengan tubuh hewani, seperti suatu
efficient cause membuat tubuh beraktivitas. Sebaliknya, prinsip intelektual merupakan
substantial form dari kegiatan-kegiatan tubuh hewan. Mengacu kepada Aristoteles, Thomas
mengatakan bahwa jiwa bukan suatu yang lain dari tubuh, tapi bersatu dengan tubuh sebagai
formanya. Jiwa dan tubuh itu seperti aktus dan potensi. Benarlah bahwa kegiatan-kegiatan
intelek dan kehendak bukanlah aktualitas dari organ-organ fisik manapun. Keduanya bukan
aktivitas dari human animal yang hidup. Konkritnya, Socrates sang hewan yang tahu dan
berkehendak, bukan inteleknya yang berinteraksi dengan tubuhnya.

3. Scalla Naturae
Scalla Naturae adalah konsep tentang jagad raya (kosmos) yang sangat mempengaruhi
pemikiran Barat di masa Renesans hingga awal abad 18. Konsep GCB sebetulnya berasal dari
Plato dan Aristoteles, tapi pertama kali disistematisasi oleh Plotinus (Neo-Platonisme). Dalam
buku The Republic, Plato menyebut tentang “Ide Kebaikan” yang bersifat kekal, tak berubah,
ineffable, dan sempurna, dan yang merupakan dambaan segala sesuatu. Kebaikan ini disatukan
(fused) dengan Demiurge dalam Timaeus yang menciptakan “dunia menjadi”. “Dia itu baik,
dalam diri suatu yang baik itu tidak akan pernah muncul rasa iri”. Aristoteles memperkenalkan
definisi tentang kontinuitas dan menunjukkan berbagai skala eksistensi yang berjenjang. Dalam
buku Enneads, Plotinus mengatakan bahwa “ Yang Esa itu sempurna karena ia tidak mencari
sesuatu, dan tidak memiliki sesuatu, dan tidak membutuhkan sesuatu. Dan karena ia sempurna,
maka ia melimpah-rua, dan dengan demikian kelimpahannya menciptakan suatu yang lain”.
Banyak konsep tentang makluk hidup yang dikenal di awal masa modern berasal dari
tulisan-tulisan Aristoteles. Aristoteles mengemukakan berbagai tipe organism yang dapat
dibedakan dari yang lain. Aristoteles menemukan lebih dari 500 jenis spesies. Bahkan
pandangannya sudah mengandung apa yang kemudian dikenal sebagai teori evolusi. Tidak
sekedar berminat dalam biologi, dia mencoba membangun sebuah teori tentang dunia sebagai
suatu keseluruhan (whole). Dia yakin seluruh alam merupakan continuum organisasi dari benda
mati. Dia yakin bahwa jagad raya merupakan jagad yang sempurna, dimana spesies2 tak dapat
lagi berevolusi. Maka dia sampai pada konsep tentang The Great Chain of Being, yang adalah
usahanya untuk memberikan arti pada hubungan yang berubah di antara makluk-makluk hidup.
Menurut Aristoteles dunia adalah jagad yang sempurna. Ada hirarki atau tangga makluk-makluk,
dimana spesies seperti cacing berada di dasar tangga sedangkan manusia berada di puncak
tangga.
Konsep GCB menggambarkan tiga sifat jagad raya, yakni kepenuhan (plenitude),
kesinambungan (continuity), dan gradasi (gradation). Pripsip kepenuhan berarti bahwa jagad
raya itu “penuh”, yakni dipenuhi keanekaragaman maksimal dari berbagai jenis makluk,
termasuk apa saja yang mungkin (yang tidak bertentangan dengan diri sendiri - self-
contradictory). Prinsip kesinambungan berarti bahwa jagad raya tersusun dari suatu seri tak
terbatas dari berjenis-jenis makluk. Setiap jenis memiliki paling kurang satu unsur yang sama.
Sedangkan prinsip gradasi linear berarti bahwa seri ini merupakan hirarki, mulai dari bentuk
paling rendah sampai yang paling sempurna, yakni Ens Perfectissimum, yakni Tuhan.
Rantai Agung Ciptaan (Great Chain of Being) atau Scalla Naturae (Latin, tangga alam)
merupakan sebuah konsep Kristen di abad pertengahan dan renesans yang menempatkan segala
ciptaan dalam sebuah struktur hirarkis yang ketat mulai dari makluk paling sederhana di tingkat
paling bawah hingga yang paling sempurna di puncaknya. Dalam hirarki ini Tuhan Sang
Pencipta berada di puncak “tangga hirarki” sebagai yang mahakuasa, mahatinggi, dan
mahasempurna, sekaligus terpisah dari hirarki.
Di bawah Tuhan terdapat para malaikat yang berwujud roh. Selanjutnya di bawah
malaikat terdapat setan (malaikat yang berkhianat), bintang-bintang, bulan, para raja, para
pangeran, para bangsawan, manusia, hewan liar, hewan piaraan, pohon dan tumbuhan lain, batu
berharga, logam berharga, dan mineral-mineral lainnya.
Tanah (karang) menempati posisi paling rendah pada piramida. Tanah/karang hanya
memiliki atribut eksistensi. Setiap link di atasnya secara hirarkis mengandung atribut-atribut
positif dari link sebelumnya dan mempunyai (paling kurang) satu keunggulan baru yang tidak
ada di peringkat sebelumnya. Jadi, karang memiliki hanya eksistensi. Tumbuhan yang berada di
tangga berikutnya memiliki eksistensi plus (satu unsur baru yaitu) kehidupan. Berikut di atasnya,
hewan, memiliki eksistensi dan kehidupan plus mobilitas dan cita rasa (appetite). Berikut di
atasnya, manusia, memiliki eksistensi, kehidupan, mobilitas dan cita rasa, plus rasio.
Posisi manusia sangat unik. Manusia adalah daging yang dapat mati. Manusia sama
dengan benda-benda lain di bawahnya. Tapi manusia juga memiliki unsur roh, sehingga sama
dengan malaikat dan Tuhan. Ada dikotomi antara daging dan roh, dan pergulatan ini berdimensi
moral. Jalan roh lebih tinggi, lebih agung, dan membawa seseorang lebih dekat dengan Tuhan.
Sedangkan keinginan daging membuat seseorang ditarik ke bawah, menjauh dari Tuhan. Berikut
akan dibahas secara singkat tentang makluk-makluk yang mengisi seluruh “tangga alam”.

a. Tuhan
Tuhan Sang Pencipta berada di puncak tangga sekaligus berada di luar dunia ciptaan.
Tuhan ada di luar keterbatasan fisik. Ia memiliki sifat-sifat spiritual seperti akal budi, cinta, dan
imaginasi seperti yang dimiliki roh-roh lain. Tetapi dia sendiri memiliki sifat-sifat ilahi
mahakuasa (omnipotence), mahatahu (omniscience), dan ada dimana-mana (omnipresence).
Tuhan adalah otoritas paling kuat bagi ciptaan lain, paling penuh kebajikan, paling istimewa.

b. Malaikat
Malaikat adalah roh murni, tidak memiliki tubuh fisik. Untuk mempengaruhi dunia fisik,
malaikat mengenakan tubuh sementara yang terdiri dari unsur udara. Para teolog abad
pertengahan dan renesans melukiskan para malaikat memiliki akal budi, cinta, imaginasi, dan
berada di luar keterbatasan fisik. Mereka memiliki kesadaran sensoris yang tidak terikat dengan
organ fisik. Mereka juga mempunyai bahasa. Tapi mereka tidak memiliki atribut ilahi
omnipotence, omniscience, dan omnipresence. Mereka tidak mengalami perasaan fisik seperti
manusia dan hewan. Kelompok malaikat dibagi lagi menjadi tiga, tujuh, sembilan/sepuluh rank,
yang dikenal sebagai triads, ordo dan choir. Setiap rank memiliki kekuasaan dan
tanggungjawab lebih besar dari rank-rank di bawahnya. Klasifikasi terkenal tentang GCB dibuat
oleh Thomas Aquinas sbb:

1. Kepala malaikat: Seraphim


2. Serafim
3. Cherubim
4. Takhta (Ophanim)
5. Dominasi
6. Principalities
7. Kekuasaan
8. Kebajikan
9. Malaikat agung
10.Malaikat

c. Manusia
Bagi para pemikir abad pertengahan dan renesans, manusia menduduki posisi unik dalam
Scalla Naturae. Dia berada di antara dunia makluk spiritual dan dunia makluk fisik. Manusia
memiliki daya ilahi seperti akal budi, cinta dan imaginasi. Manusia sama dengan malaikat karena
memiliki unsur spiritual yaitu jiwa, tapi manusia juga berbeda dengan malaikat karena jiwa
manusia terikat pada tubuh fisik. Karena terikat dengan tubuh fisik maka manusia merasakan
passion dan sensasi fisik (rasa sakit, lapar, haus, nafsu seksual), dan daya reproduksi seperti
hewan-hewan yang berada di peringkat di bawahnya.
Tapi posisi manusia sebetulnya sulit, karena harus menjaga keseimbangan antara unsur
ilahi dan animalistik dalam kodratnya. Malaikat hanya melakukan dosa intelektual seperti
kesombongan, tapi manusia mampu melakukan dosa intelektual dan dosa fisik seperti nafsu dan
kerakusan. Manusia juga memiliki pancaindra, tapi kemampuan sensorisnya dibatasi oleh organ
fisik. Peringkat tertinggi pada kelompok manusia ialah para raja.

d. Hewan
Hewan mempunyai jiwa dan mampu untuk bergerak bebas. Mereka memiliki nafsu fisik
dan pancaindra, jumlahnya bergantung pada posisi mereka dalam “tangga alam”. Mereka
memiliki inteligensi dan kesadaran akan dunia sekitar. Tidak seperti manusia, mereka tak
memiliki sifat spiritual dan mental seperti jiwa kekal dan kemampuan logika dan bahasa.
Peringkat teratas kelompok hewan ialah binatang mamalia dengan singa atau gaja sebagai
rajanya. Menyusul di bawahnya burung dengan elang sebagai rajanya. Di bawahnya lagi terdapat
ikan dengan paus sebagai rajanya. Sang raja hewan memiliki kualitas yang lebih superior
dibanding yang lainnya. Secara detail pemeringkatan di kelompok hewan adalah sebagai berikut:

1. Mamalia: singa atau gajah


- Hewan liar (kucing besar, dll)
- Hewan piaraan (kuda, anjing dll)
- Hewan piaraan yang jinak (kucing dll)
2. Burung: elang
- Burung pemangsa (elang, hantu dll)
- Burung pemakan bangkai (hering, gagak)
- Burung pemakan cacing (robin dll)
- Burung pemakan biji (pipit dll)
3. Ikan: paus
- Mamalia laut (paus atau lumba)
- Hiu
- Ikan-ikan lain

Burung terhubung dengan unsur udara, dan sebab itu dianggap lebih superior dari makluk
yang hidup di air. Udara pada dasarnya berada di atas permukaan air, dan analog dengan itu
hewan yang terbang di udara lebih tinggi tempatnya.
Di bawah burung terdapat kelompok ikan dan berbagai jenis binatang merayap, binatang
amfibi, dan serangga. Di bagian paling bawah terdapat makluk-makluk laut seperti kerang-
kerangan dan remis (barnacles) yang tidak memiliki mobilitas dan organ sensoris seperti
penglihatan dan pendengaran. Tapi mereka lebih superior dari tumbuhan karena memiliki indra
sentuhan dan rasa.

e. Tumbuhan
Tumbuhan memiliki kemampuan untuk tumbuh dan bereproduksi, tapi tidak memiliki
unsur mental dan organ sensoris. Tapi tumbuhan dapat makan tanah, air, dan panas (fotosintesis
adalah fenomena yang masih kurang dipahami di masa renesans). Tumbuhan punya toleransi
lebih besar terhadap panas dan dingin. Mereka juga kebal terhadap rasa sakit yang dialami
hewan. Bagian paling dasar dari kelompok tumbuhan terdapat jamur dan lumut yang tidak
memiliki daun dan bunga, dan begitu terbatas dalam bentuk sehingga dianggap para pemikir
renesans sedikit lebih tinggi dari level mineral. Raja tumbuhan adalah pohon oak. Pemeringkatan
di kelompok tumbuhan adalah sbb:

1. Pohon (trees)
2. Semak kecil (shrubs)
3. Belukar (bushes)
4. Biji-bijian (crops, mis jagung, gandum, padi, dll)
5. Rumput (herbs)
6. Pakis/paku (ferns)
7. Rumput liar (weeds)
8. Lumut (moss)
9. Cendawan (Fungus)

f. Mineral
Mineral atau batu-batuan berada di dasar piramida makluk ciptaan. Rajanya mineral ialah
intan (diamond). Mereka tidak memiliki kemampuan untuk tumbuh dan bereproduksi seperti
pada tumbuhan. Tapi karunia istimewa yang mereka peroleh dari sang Pencipta ialah soliditas
dan kekuatan. Banyak jenis mineral diyakini memiliki kekuatan magis, khususnya batu-batu
permata. Pemeringkatan mineral adalah sbb:

1. Batu Mulia: intan


- Intan (diamonds)
- Batu delima (rubies)
- Zamrud (emeralds)
- Nilakandi (sapphires, dll)
2. Logam-logaman: emas
- Emas (gold)
- Perak (silver)
- Besi (iron, dan baja)
- Kuningan (bronze)
3. Tembaga (copper, dll)
4. Batu geologis: marmar
- Marmar (marble)
- Granit
- Batu pasir (sandstone)
- Baru kapur (limestone, dll)
5. Batu-batu kecil (kelikir, pasir, tanah, dll).

Berdasarkan konsep ini, Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646-1716) dan para filsuf lain
mengembangkan doktrin optimism filosofis: inilah dunia yang terbaik dari segala dunia yang
mungkin yang secara logis mampu bereksistensi.

Sumber:
1. Van der Weij, P.A. (1988). Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia (terjemahan). Jakarta: Gramedia.
2. Price, Richard. (2000). Agustinus (terjemahan). Yogyakarta: Kanisius.
3. Van Peursen, C.A.(1991). Tubuh Jiwa Roh (terjemahan). Jakarta: BPK Gunung Mulia
4. Hadiwijono, Harun. (1980). Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius.
5. Mendehlson, Michael. (2010). Sain Augustine, dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy
6. O’Callaghan, John. (2009). Saint Thomas Aquinas.
7. Hillier, H. Chad. (2010). Averroes, dalam Standord Encyclopedia of Philosophy.

Anda mungkin juga menyukai