Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebenaran adalah hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup

manusia. Semua manusia berjuang untuk mendapatkan kebenaran. Beberapa cara

yang ditempuh untuk memperoleh kebenaran. Antara lain dengan menggunakan

rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-

pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat

penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti.

Ilmu pengetahuan harus dibedakan dari fenomena alam. Fenomena alam adalah

fakta, kenyataan yang tunduk pada hukum-hukum yang menyebabkan fenomena

itu muncul. Ilmu pengetahuan adalah formulasi hasil aproksimasi atas fenomena

alam atau simplifikasi atas fenomena tersebut.

Manusia selalu dalam kehidupannya pasti dirundung permasalahan besar

maupun kecil itu mungkin sangat tidak menutup kemungkinan dan mencari

kebenaran sejati karena manusia ingin melepaskan permasalahan tersebut, tetapi

bingung ingin mencari teori kebenaran karena banyak cara ditempuh untuk

memperoleh kebenaran antara lain dengan menggunakan rasio seperti para

rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang

diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang terkadang melampaui

penalaran rasional, lalu kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat

dimengerti.  Memang  sesuatu sifat manusia yang selalu mecari kebenaran yang

sebenarnya itu, inti dari membina dan menyempurnakannya sejalan dengan

kematangan kepribadiannya. Suatu kebenaran tidak hanya membutuhkan

1
2

pengakuan dari salah satu orang atau sekelompok orang saja tetapi kebenaran itu

memiliki takaran-takaran atau ukuran-ukran kebenaran tersebut diantara lain

adalah berfikir merupakan suatu aktifitas manusia untuk menemukan kebenaran

serta apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain.

Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami

kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu.

Di akhir pendahuluan dalam penulisan makalah ini, penulis mengangkat

judul tentang permasalahan “kebenaran” karena permasalahan ini di dalam filsafat

ilmu sangatlah penting karena alasannya adalah selain sebagai pelengkap dalam

pembahasan di filsafat ilmu tetapi juga pembahasan kebanaran ini bisa di

implikasikan dalam kehidupannya sehari-hari terutama bagi penulis maupun bagi

pembaca makalah ini. Dalam makalah ini penulis memaparkan penulisan yakni

pengertian kebenaran dari secara bahasa maupun dari istilah dan juga pengertian

kebenaran menurut para ahli, serta tipologi teori kebenaran, tokoh-tokoh

pendukung teori kebenaran dan sebagainya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah kebenaran menurut teori korespondensi?

2. Bagaimanakah kebenaran menurut teori koherensi?

3. Bagaimanakah kebenaran menurut teori pragmatisme?

4. Bagaimanakah kebenaran menurut teori postivisme?

5. Bagaimanakah kebenaran menurut teori esensialisme?

6. Bagaimanakah kebenaran menurut teori konstruktivisme?

7. Bagaimanakah kebenaran menurut teori religiusisme?


3

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui kebenaran menurut teori korespondensi.

2. Untuk mengetahui kebenaran menurut teori koherensi.

3. Untuk mengetahui kebenaran menurut teori pragmatisme.

4. Untuk mengetahui kebenaran menurut teori Postivisme.

5. Untuk mengetahui kebenaran menurut teori esensialisme.

6. Untuk mengetahui kebenaran menurut teori konstruktivisme.

7. Untuk mengetahui kebenaran menurut teori religiusisme.


4

BAB II

TEORI-TEORI KEBENARAN

A. Teori Korespondensi

Teori korespondensi adalah teori yang paling diterima secara luas oleh

kelompok realis. Menurut teori korespondensi, kebenaran adalah kesetiaan kepada

realita yang objektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian

antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan

(judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena

kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang

kita lakukan tentang sesuatu.1

Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan

kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya Plato, Aristoteles, dan

Moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad

skolatik, serta oleh Berrad Russel pada abad modern.2

Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori

korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang

dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang

dituju oleh pernyataan tersebut.3 Misalnya, seseorang mengatakan bahwa “Kota

Makassar terletak di Sulawesi Selatan”, maka hal tersebut benar karena sesuai

dengan objek faktual dan sesuatu dengan fakta bahwa kota Makassar memang

1 H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987). h. 237


2 Sonny keraf dan Mikhael dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis,
(Yogyakarta: Kanisius, 2001). h. 78
3 Jujun S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, (Jakarata: Pustaka
Sinar harapan, 1990). h. 57

3
5

berada di Sulawesi Selatan. Sekiranya ada orang yang membantah dan

mengatakan bahwa “Kota Makassar terletak di Sumatera Selatan” maka

pernyataan itu adalah tidak benar karena tidak terdapat objek yang sesuai dengan

pernyataan tersebut. Dalam hal ini maka secara faktual “Kota Makassar memang

terletak di Sulawesi Selatan dan bukan terletak di Sumatera Selatan”.

Menurut teori korespondensi, ada atau tidaknya keyakinan tidak

mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena

itu tergantung kepada kondisi yang sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu

pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka

pertimbangan itu salah.4

Aristoteles sudah   meletakkan dasar bagi teori kebenaran sebagai

persesuaian. Menurutnya kebenaran adalah persesuaian antara apa yang dikatakan

dengan kenyataan. Jadi suatu pernyataan dianggap benar jika apa yang dinyatakan

memiliki keterkaitan (correspondence) dengan kenyataan yang diungkapkan

dalam pernyataan itu.

Kebenaran sebagai persesuaian juga disebut sebagai kebenaran empiris,

karena kebenaran suatu pernyataan proposisi, atau teori ditentukan oleh apakah

pernyataan proposisi atau teori didukung oleh fakta atau tidak. Suatu ide, konsep,

atau teori yang benar, harus mengungkapkan relaitas yang sebenarnya. Kebenaran

terjadi pada pengetahuan. Pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh

kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan pengetahuan itu. Oleh

karena itu, bagi teori ini, mengungkapkan realitas adalah hal yang pokok bagi

4 Jujun S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, (Jakarata: Pustaka


Sinar harapan, 1990). h. 237.
6

kegiatan ilmiah. Dalam mengungkapkan realitas itu, kebenaran akan muncul

dengan sendirinya ketika apa yang dinyatakan sebagai benar memang sesuai

dengan kenyataan.

Menurut teori ini, kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang

diklaim sebagai pengetahuan dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan salah

adalah soal sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan yang ada atau

dapat pula dikatakan bahwa kebenaran adalah kesesuaian subjek dengan objek,

yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya.

Masalah kebenaran hanyalah perbandingan antara realita obyek (informasi,

fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan).

Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan,

realita, objek, maka hal tersebut benar. Teori ini menerangkan bahwa kebenaran

itu terbukti benar apabila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu

pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/dimaksud oleh pernyataan

atau pendapat tersebut. Kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan dengan

kenyataan, yang berselaran dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual.5

Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi

ini. Teori kebenaran menurut korespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat

sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-

pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh

nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di

dalam tingkah lakunya. Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan

5Sonny Keraf, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis , (Yogyakarta : Kanisius,


2001). h. 75
7

hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu. Bahkan anak harus mampu mengerti

hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral

itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak sehingga kebenaran berwujud

sebagai nilai standar atau asas normatif  bagi tingkah laku. Apa yang ada di dalam

subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku harus dicocokkan dengan apa yang ada

di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.

Berdasarkan beberapa pernyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

kebenaran menurut teori korespondensi adalah sesuatu dikatakan benar apabila

ada kesesuaian antara subjek dengan objek atau antara pernyataan dengan

kenyataan.

B. Teori Koherensi

Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil

test dan eksperimen dianggap reliabel jika kesan-kesan yang berturut-turut dari

satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan

penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.

Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu

bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang

dianggap benar.6 Pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain

yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika. Misalnya,

seseorang menganggap bahwa “semua tumbuhan adalah makhluk hidup” adalah

suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “pohon pisang adalah

6 Jujun S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, (Jakarata : Pustaka


Sinar harapan, 1990). h. 55.
8

tumbuhan dan pohon pisang adalah makhluk hidup” adalah benar pula, sebab

pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan pertama.

Salah satu kesulitan dan sekaligus keberatan atas teori ini adalah bahwa

karena kebenaran suatu pernyataan didasarkan pada kaitan atau kesesuaiannya

dengan pernyataan lain, timbul pertanyaan bagaimana dengan kebenaran

pernyataan tadi? Jawabannya, kebenarannya ditentukan berdasarkan fakta apakah

pernyataan tersebut sesuai dan sejalan dengan pernyataan yang lain. Hal ini akan

berlangsung terus sehingga akan terjadi gerak mundur tanpa henti (infinite

regress) atau akan terjadi gerak putar tanpa henti.

Karena itu, kendati tidak bisa dibantah bahwa teori kebenaran sebagai

keteguhan ini penting, dalam kenyataan perlu digabungkan dengan teori

kebenaran sebagai kesesuaian dengan realitas. Dalam situasi tertentu kita tidak

selalu perlu mengecek apakah suatu pernyataan adalah benar, dengan merujuknya

pada realitas. Kita cukup mengandaikannya sebagai benar secara apriori, tetapi,

dalam situasi lainnya, kita tetap perlu merujuk pada realitas untuk bisa menguji

kebenaran pernyataan tersebut.7

Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel,

Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia;

dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem

kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan

memperolah arti dari keseluruhan tersebut.8 Meskipun demikian perlu lebih

7 S. Arifin,  Apa itu Yang Dinamakan Ilmu, (Jakarta :  Hasta Mitra,1982). h. 23


8 H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1987). h. 239
9

dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan antara

suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan tertentu.

Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering

dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran

pendidikan. Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi.

Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman

dan kelanjutan yang teliti dan teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti

kebenaran. Teori konsistensi atau koherensi menganggap suatu pernyataan benar

bila di dalamnya tidak ada pertentangan, bersifat koheren dan konsisten dengan

pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu

pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan

yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya.

Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh

Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu teori dianggap benar apabila telah

dibuktikan (klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan

data terbaru yang benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan

gugur atau batal dengan sendirinya.

Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel,

Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia;

dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem

kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan

memperolah arti dari keseluruhan tersebut.9 Meskipun demikian perlu lebih

9 H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1987). h. 239


10

dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan antara

suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan tertentu.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa

menurut teori koherensi kebenaran atau pernyataan yang benar adalah pernyataan

yang konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang dianggap benar. Teori

koherensi menyatakan bahwa suatu pernyataan dianggap benar, jika pernyataan

itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain yang

telah diterima kebenarannya.

C. Teori Pragmatik

Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam

sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Ideals

Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang

kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering

dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filsafat ini diantaranya adalah

William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead

(1863-1931) dan C.I. Lewis.10

Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan

rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan

dikerjakan (workability)atau akibat yang memuaskan.11 Sehingga dapat dikatakan

bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar

adalah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-

10 Jujun S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, (Jakarata : Pustaka


Sinar harapan, 1990). h. 57
11H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1987). h. 241
11

akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika

pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis dalam

kehidupan manusia.12

Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan

kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang

sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan

dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu

fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar,

sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan

ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu

ditinggalkan,13 demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung

menekankan satu atau lebih dari tiga pendekatan , yaitu :

a. Yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita

b. Yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen.

c. Yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis.

Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan

pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling

bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang

kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide

kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi

karena kita dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan

12 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, (Yogyakarta : Kanisius, 1980). h.


130
13 Jujun S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, (Jakarata : Pustaka
Sinar harapan, 1990), h. 59
12

tersebut dengan konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang

kita anggap sah dan benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya

yang praktis.14

Menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan

kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.

Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari

pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia”.15 Dalam

pendidikan, misalnya di UIN, prinsip kepraktisan (practicality) telah

mempengaruhi jumlah mahasiswa pada masing-masing fakultas. Tarbiyah lebih

disukai, karena pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas lainnya.

William James mengembangkan teori pragmatisnya dengan berangkat dari

pemikirannya tentang “berpikir”. Menurutnya, fungsi dari berpikir bukan untuk

menangkap kenyataan tertentu, melainkan untuk membentuk ide tertentu demi

memuaskan kebutuhan atau kepentingan manusia. Oleh karena itu, pernyataan

penting bagi James adalah jika suatu ide diangap benar, apa perbedaan praktis

yang akan timbul dari ide ini dibandingkan dengan ide yang tidak benar. Apa

konsekuensi praktis yang berbeda dari ide yang benar dibandingkan dengan ide

yang keliru. Menurut William James, ide atau teori yang benar adalah ide atau

teori yang berguna dan berfungsi memenuhi tuntutan dan kebutuhan kita.

Sebaliknya, ide yang salah, adalah ide yang tidak berguna atau tidak berfungsi

membanu kita memenuhi kebutuhan kita.

14 H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1987). h. 245


15 Jujun S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, (Jakarata : Pustaka
Sinar harapan, 1990). h. 58
13

Dewey dan kaum pragmatis lainnya juga menekankan pentingnya ide yang

benar bagi kegiatan ilmiah. Menurut Dewey, penelitian ilmiah selalu diilhami oleh

suatu keraguan awal, suatu ketidakpastian, suatu kesangsian akan sesuatu.

Kesangsian menimbulkan ide tertentu. Ide ini benar jika ia berhasil membantu

ilmuwan tersebut untuk sampai pada jawaban tertentu yangmemuaskan dan dapat

diterima. Misalnya, orang yang tersesat di sebuah hutan kemudian menemukan

sebuah jalan kecil. Timbul ide, jangan-jangan jalan ini akan membawanya keluar

dari hutan tersebut untuk sampai pada pemukiman penduduk. Ide tersebut benar

jika pada akhirnya dengan dituntun oleh ide tadi ia akhirnya sampai pada

pemukiman manusia.16

Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu

berlaku atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna

(useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para

pragmatis, batu ujian kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan

(workability) dan akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory

consequences). Teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak

kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya.

Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari

ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar

tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau

teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan

harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.

16 H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1987). h. 249


14

Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa

teori pragmatisme menekankan satu atau lebih dari tiga pendekatan, yaitu: Yang

benar adalah yang memuaskan keinginan kita,dapat dibuktikan dengan

eksperimen dan dapat membantu dalam perjuangan hidup biologis.

D. Positivisme

Positivisme dirintis oleh August Comte (1798-1857), yang dianggap

sebagai bapak ilmu sosialogi Barat. Positivisme adalah cara pandang dalam

memahami dunia dengan berdasarkan sains. Positivisme sebagai perkembangan

empirisme yang ekstream, adalah pandangan yang menganggap bahwa yang dapat

diselidiki atau dipelajari hanyalah data-data yang nyata/empirik, atau yang mereka

namakan positif. Nilai-nilai politik dan sosial menurut positivisme dapat

digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari penyelidikan

terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai politik dan sosial juga dapat

dijelaskan secara ilmiah dengan mengemukakan perubahan historis atas dasar cara

berpikir induktif. Jadi, nilai-nilai tersebut tumbuh dan berkembang dalam suatu

proses kehidupan dari suatu masyarakat itu sendiri. Penganut paham positivisme

meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan

ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-

aturan, demikian juga alam.17

E. Esensialisme

Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai

kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme

17 Mohammad Adib, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.122.


15

muncul pada zaman renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan

progresivisme. Perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak

pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, dimana serta terbuka untuk perubahan,

toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme

memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki

kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang

mempunyai tata yang jelas. Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai

oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela

pula.18

Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai

pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada.

Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang berpendapat bahwa

alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada

ini nyata ada dalam arti spiritual.19

F. Konstruktivisme

Teori konstruktivisme didefenisikan sebagai pembelajaran yang bersifat

generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari.

Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang

dilalui dalam kehidupan manusia selama ini merupakan himpunan dan pembinaan

pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai

pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.20

18Mohammad Adib, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.122.


19 Mohammad Adib, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.123.
20 Mohammad Adib, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.124.
16

Konstruktivisme dianggap berusaha menghilangkan aspek power dalam

memahami nilai. Nilai dianggap sebagai sesuatu yang netral dan tidak punya bias

ataupun basis kekuasaan. Dalam artian ini, konstruktivisme kehilangan tujuan

utama pemikiran kritis, yakni emansipasi. Jadi, sekalipun memahami realitas

bukan sebagai sesuatu yang beku, alamiah dan abadi melainkan sebagai produk

dari interaksi, konstruktivisme tidak memaknai interaksi antar nilai ini sebagai

sebuah proses politik yang sangat berpengaruh pada aspek keadilan, kesederajatan

dan kebebasan.21

G. Teori Religiusisme

Teori religiusisme memaparkan bahwa manusia bukanlah semata-mata

makhluk jasmaniah, tetapi juga makhluk rohaniah. Oleh karena itu, muncullah

teori religius ini yang kebenarannya secara ontologis dan aksiologis bersumber

dari sabda Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.22

Secara pasti, kita tidak akan mendapatkan kebenaran mutlak, dan untuk

mengukur kebenaran dalam filsafat sesungguhnya tergantung kepada kita oleh

metode-metode untuk memperoleh pengetahuan itu. Jika apa yang kita ketahui

ialah ide-ide kita, maka pengetahuan hanya dapat terdiri dari ide-ide yang

dihubungkan secara tepat, dan kebenaran merupakan keadaan saling berhubungan

diantara ide-ide tersebut.23

21 Mohammad Adib, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.124.


22 Mohammad Adib, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.125.
23 Mohammad Adib, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.122.
17
18

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Kebenaran menurut teori korespondensi adalah sesuatu dikatakan benar

apabila ada kesesuaian antara subjek dengan objek atau antara pernyataan dengan

kenyataan.

Menurut teori koherensi kebenaran atau pernyataan yang benar adalah

pernyataan yang konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang dianggap benar.

Teori koherensi menyatakan bahwa suatu pernyataan dianggap benar, jika

pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan

lain yang telah diterima kebenarannya.

Teori pragmatisme menekankan satu atau lebih dari tiga pendekatan, yaitu:

Yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita,dapat dibuktikan dengan

eksperimen dan dapat membantu dalam perjuangan hidup biologis.

14
19

DAFTAR PUSTAKA

Abidin Zainal, Filsafat Manusia, Memahami Manusia Melalui Filsafat, Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya, 2000.
Al-Ahwani Ahmad Fuad, Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
Bagus Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Hadiwijono Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Ismail Fuad Farid, Mutawalli Abdul Hamid, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, Yogyakarta:
Irchisod, 2003.
Jujun S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata: Pustaka
Sinar harapan, 1990.
Keraf Sonny dan Mikhael dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis,
Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Lavine T. Z, Petualangan Filsafat dari Socrates ke Sarte, Yogyakarta: Jendela, 2002.
Martiningsih Wahyu, Para Filsuf dari Plato sampai Ibn Bajjah, Jogjakarta: Irchisod,
2012.
S. Arifin,  Apa itu Yang Dinamakan Ilmu, Jakarta :  Hasta Mitra,1982.
Rasyidi H. M., Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.

Anda mungkin juga menyukai