Penyusun:
NIM. 23070550006
SEKOLAH PASCASARJANA
2023
i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan tulisan ini.
Tulisan ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembautan tulisan ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan tulisan ini khususnya untuk pengampu mata kuliah
Filsafat Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Prof. Dr. Marsigit MA atas bimbingan
dan ilmu yang diberikan.
Terlepas dari semua itu, kami meyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki tulisan ini.
Akhir kata kami berharap semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat
maupun inspirasi terhadap pembaca.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
I. FILSAFAT UMUM
1
memperoleh dan memahami sesuatu yang ada dengan melihat latar
belakang dan alasan mengapa hal tersebut harus ada sehingga ilmu
pengetahuan didapatkan (Inayati et al, 2023).
B. Epistemologi
2
mempelajari tentang sumber, alasan, dan batasan pengetahuan.
Epistemologi mengkaji mengenai apa sesungguhnya ilmu, dari mana
sumber ilmu, serta bagaimana proses terjadinya (Mubin, 2020).
Epistemologi mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti
"Apa itu pengetahuan?" dan "Bagaimana kita memperoleh
pengetahuan?". Hal ini sejalan dengan (Crotty, 2003), epistemologi
'berkaitan dengan penyediaan landasan filosofis untuk memutuskan
jenis pengetahuan apa yang pengetahuan apa yang mungkin dan
bagaimana kita dapat memastikan bahwa pengetahuan tersebut
memadai dan sah. Landasan dalam tataran epistemologi adalah
proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika,
etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh
kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, apa yang
disebut dengan kebenaran ilmiah, keindahan seni dan kebaikan
moral (Pajriani et al, 2023).
3
kita mungkin mengakui bahwa kita dapat memiliki pengetahuan
tentang beberapa hal dan dan tetap skeptis tentang masalah-
masalah lain (Payne, 2015). Pendekatan konstruktivisme
berpendapat bahwa pengetahuan merupakan hasil konstruksi sosial
atau kultural. Menurut pandangan ini, pengetahuan dibentuk oleh
konteks sosial, bahasa, dan interpretasi kolektif.
C. Aksiologi
Aksiologi adalah cabang filsafat yang berhubungan dengan studi
tentang nilai-nilai dan perannya dalam kehidupan manusia. Aksiologi
mempertanyakan dan mempertimbangkan sifat nilai, etika, estetika,
dan kebaikan. Hal ini melibatkan refleksi tentang apa yang dianggap
baik, buruk, benar, salah, indah, atau layak dalam berbagai konteks
kehidupan manusia. Suriasumantri (2009) mendefinisikan aksiologi
sebagai teori nilai yang berkaitan kegunaan dari pengetahuan yang
di peroleh. Menurut Wibisono seperti yang dikutip (Surajiyo, 2007),
aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan
moral sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian, serta
penerapan ilmu.
Aksiologi juga dikenal sebagai filsafat nilai (Rosnawati et al,
2021). Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia
untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
4
Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter bagi apa yang disebut
sebagai kebenaran atau kenyataan itu (Nasir, 2021). Aksiologi
memberikan manfaat untuk mengantisipasi perkembangan
kehidupan manusia yang negatif sehingga ilmu pengetahuan tetap
berjalan pada jalur kemanusiaan (Rokhmah, 2021). Jadi yang
menjadi landasan dalam tataran aksiologi adalah untuk apa
pengetahuan itu digunakan? Bagaimana hubungan penggunaan
ilmiah dengan moral etika? Bagaimana penentuan obyek yang diteliti
secara moral? Bagimana kaitan prosedur ilmiah dan metode ilmiah
dengan kaidah moral? (Bahrum, 2013).
Aksiologi melibatkan pertimbangan tentang teori-teori atau
sistem nilai yang berbeda, seperti utilitarisme, deontologi,
relativisme, dan banyak lagi. Ini membantu dalam memahami dan
membandingkan pandangan tentang nilai-nilai dan pertimbangan
etis yang berbeda-beda. Studi dalam aksiologi membantu seseorang
dalam memahami dan merumuskan prinsip-prinsip moral, nilai-nilai
estetika, dan pertimbangan sosial yang membimbing tindakan dan
sikap kita. Ini juga membantu dalam mempertanyakan dan
memikirkan tentang aspek nilai-nilai yang mendasari kehidupan
manusia dan masyarakat secara lebih mendalam.
5
administrasi perkantoran akan mempengaruhi bagaimana penilaian dan
evaluasi dilakukan, serta bagaimana hasil penilaian diimplementasikan
dalam pendidikan bidang tersebut. Berikut penjelasan secara lengkap
mengenai filsafat penilaian bidang ilmu pendidikan administrasi
perkantoran
6
dimaksudkan adalah ontologi penilaian administrasi perkantoran
melibatkan pemahaman tentang kriteria penilaian yang digunakan
untuk menilai kualitas kinerja siswa. Kriteria penilaian ini dapat
mencakup pemahaman tentang konsep administrasi perkantoran,
kemampuan komunikasi, keterampilan pengorganisasian,
keakuratan pekerjaan, atau etika kerja. Autentisitas Penilaian artinya
ontologi penilaian juga mempertimbangkan autentisitas penilaian,
yaitu sejauh mana penilaian mencerminkan situasi nyata dalam
konteks administrasi perkantoran. Penilaian autentik dalam
administrasi perkantoran dapat melibatkan simulasi situasi kerja
nyata, seperti menyelesaikan tugas administrasi perkantoran yang
relevan atau berpartisipasi dalam proyek kerja kelompok. Umpan
Balik dan Peningkatan maksudnya adalah ontologi penilaian
administrasi perkantoran mencakup pemahaman tentang
bagaimana umpan balik diberikan kepada siswa dan bagaimana
penilaian digunakan untuk meningkatkan prestasi mereka. Ontologi
penilaian ini melibatkan pemahaman tentang pentingnya umpan
balik yang konstruktif dan berorientasi pada pengembangan siswa.
Pemahaman ontologi penilaian dalam pendidikan administrasi
perkantoran membantu pendidik dalam merancang penilaian yang
efektif, relevan, bermakna dalam mengukur prestasi siswa dan
memfasilitasi perkembangan mereka di bidang administrasi
perkantoran.
7
(Inayati et al, 2023). Epistemologi penilaian dalam konteks
pendidikan administrasi perkantoran mengacu pada pemahaman
tentang sifat pengetahuan dan prinsip-prinsip dasar yang mendasari
proses penilaian dalam bidang administrasi perkantoran.
Beberapa aspek epistemologi penilaian dalam administrasi
perkantoran dalam pendidikan yaitu sifat oengetahuan dalam
administrasi perkantoran, konstruksi pengetahuan, validitas
penilaian, keandalan penilaian, dan intepretasi hasil penilaian.
Pertama yakni mengenai sifat pengetahuan dalam Administrasi
Perkantoran, epistemologi penilaian administrasi perkantoran
melibatkan pemahaman tentang jenis pengetahuan yang relevan
dalam bidang ini. Ini mencakup pemahaman tentang pengetahuan
teoritis, konseptual, dan praktis yang diperlukan dalam administrasi
perkantoran. Misalnya, pengetahuan tentang prinsip-prinsip
manajemen, organisasi, komunikasi, penggunaan teknologi
perkantoran, dan prosedur administrasi. Selanjutnya konstruksi
pengetahuan, maksudnya bahwa epistemologi penilaian juga
mempertimbangkan bagaimana pengetahuan dalam administrasi
perkantoran dikonstruksi oleh siswa. Ini melibatkan pemahaman
tentang bagaimana siswa memperoleh, memproses, dan
menginterpretasikan pengetahuan tentang administrasi perkantoran.
Misalnya, siswa dapat memperoleh pengetahuan melalui
pengalaman praktis, studi kasus, pembelajaran kolaboratif, atau
pemodelan peran.
Validitas Penilaian artinya terkait epistemologi penilaian
administrasi perkantoran melibatkan pemahaman tentang validitas
penilaian, yaitu sejauh mana instrumen penilaian mengukur apa
yang seharusnya diukur dalam konteks administrasi perkantoran.
Validitas penilaian dapat dikaitkan dengan sejauh mana instrumen
penilaian mencerminkan pengetahuan dan keterampilan yang
relevan dalam administrasi perkantoran. Keandalan penilaian
8
maksudnya adalah epistemologi penilaian juga mempertimbangkan
keandalan penilaian, yaitu sejauh mana instrumen penilaian
memberikan hasil yang konsisten dan dapat diandalkan. Keandalan
penilaian dalam administrasi perkantoran melibatkan konsistensi
dalam pemberian penilaian antara penilai yang berbeda dan dalam
situasi evaluasi yang berbeda. Interpretasi hasil penilaian
maksudnya adalah epistemologi penilaian administrasi perkantoran
mencakup pemahaman tentang cara menginterpretasikan hasil
penilaian siswa. Ini melibatkan pemahaman tentang kriteria
interpretasi, skala penilaian, dan bagaimana hasil penilaian dapat
digunakan untuk memberikan umpan balik yang efektif kepada
siswa.
Pemahaman epistemologi penilaian dalam administrasi
perkantoran dalam pendidikan membantu pendidik dalam
merancang dan melaksanakan penilaian yang berbasis pada sifat
pengetahuan yang relevan dalam administrasi perkantoran. Hal ini
juga membantu memastikan validitas, keandalan, dan interpretasi
yang tepat dari hasil penilaian siswa untuk mendukung
pengembangan mereka di bidang administrasi perkantoran.
9
kerangka etis yang mengarahkan pendekatan penilaian yang adil,
bermakna, dan mendukung pengembangan siswa secara
menyeluruh.
Beberapa aspek aksiologi penilaian dalam administrasi
perkantoran dalam pendidikan yaitu keadilan, keterkaitan dengan
dunia nyata, pemberdayaan siswa, peningkatan, dan etika. Hal
pertama yakni mengenai keadilan, artinya bahwa sksiologi penilaian
administrasi perkantoran menekankan pentingnya keadilan dalam
proses penilaian. Penilaian harus dilakukan secara adil dan tanpa
prasangka, memberikan kesempatan yang setara bagi semua siswa
untuk menunjukkan kemampuan mereka. Faktor-faktor seperti latar
belakang sosial, gender, atau keberagaman tidak boleh
mempengaruhi penilaian yang objektif. Keterkaitan dengan dunia
nyata maksudnya adalah aksiologi penilaian administrasi
perkantoran mengakui pentingnya menghubungkan penilaian
dengan dunia nyata dan persyaratan kerja yang sebenarnya.
Penilaian harus mencerminkan tuntutan dan situasi yang dihadapi
oleh para profesional administrasi perkantoran di lingkungan kerja
nyata. Ini membantu siswa mempersiapkan diri untuk tantangan
yang mereka hadapi setelah lulus. Pemberdayaan siswa artinya
adalah aksiologi penilaian administrasi perkantoran mencakup
pemberdayaan siswa sebagai subjek dalam proses penilaian.
Penilaian harus memberikan kesempatan bagi siswa untuk
mengambil bagian aktif dalam proses penilaian, memahami kriteria
penilaian, dan berpartisipasi dalam evaluasi dan umpan balik
terhadap prestasi mereka. Ini membantu siswa menjadi lebih
bertanggung jawab dan mendorong pengembangan diri.
Peningkatan artinya adalah aksiologi penilaian administrasi
perkantoran menekankan pentingnya penilaian sebagai alat untuk
meningkatkan prestasi siswa. Penilaian harus memberikan umpan
balik yang konstruktif dan membantu siswa mengidentifikasi
10
kekuatan dan kelemahan mereka dalam administrasi perkantoran.
Tujuan utama penilaian adalah untuk mendukung perkembangan
siswa dan memberikan mereka kesempatan untuk belajar dari
kesalahan dan meningkatkan kemampuan mereka. Etika artinya
adalah aksiologi penilaian administrasi perkantoran juga melibatkan
prinsip-prinsip etika dalam proses penilaian. Penilaian harus
dilakukan dengan integritas tinggi dan menjaga kerahasiaan
informasi siswa. Penilai harus bertindak secara profesional dan
objektif, menghindari konflik kepentingan, serta memperlakukan
siswa dengan rasa hormat dan keadilan.
Pemahaman aksiologi penilaian dalam administrasi perkantoran
dalam pendidikan membantu pendidik dan evaluator dalam
merancang dan melaksanakan penilaian yang menghormati nilai-
nilai etis, mendukung pemberdayaan siswa, serta mempromosikan
keadilan dan peningkatan prestasi secara menyeluruh.
11
dari pemikiran tokoh – tokoh filsafat terdahulu. Prof Marsigit
memberikan contoh mengenai hakikat manusia dimana dalam
kehidupan manusia adalah metafisik, setelah yang ada masih ada
kehidupan lagi begitupun sebaliknya sebelum kehidupan ada
kehidupan lagi. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang sempurna
namun sebenarnya dalam kesempurnaan manusia itu tidak
sempurna. Jika manusia itu sempurna maka mereka akan cukup
sampai disitu. Sifat manusia yakni tidak akan bisa hidup tanpa
bantuan orang lain. Ketika manusia sudah menganggap dirinya
paling sempurna maka dia sudah mampu memenuhi kebutuhannya
dan menyediakan secara mandiri tanpa butuh bantuan orang lain.
Dari sini bisa kita pahami bahwa manusia sangat membutuhkan
filsafat.
12
penting adalah aturan Tuhan, Aksioma itu ketentuan-ketentuan
umum yang bisa dipahami. Dalam lingkup ini berarti apriori,
pengetahuan yang ada sebelum bertemu dengan pengalaman.
Setelah apriori muncul rasionalisme.
Pada sisi lain tentang kehidupan manusia yang berubah, vital,
memilih jalannya adalah 13ragm alam. Hukum alam adalah
korespondensi realita, fakta, dan persepsi. Dalam persepsi berkaitan
dengan sintetik, menyatukan dua atau lebih bagian menjadi satu
kesatuan. Dalam lingkup ini berarti aposteriori, yakni sejenis
pengetahuan yang dapat dicapai hanya dari pengalaman. Maka dari
itu pengetahuan bisa dirumuskan hanya setelah observasi atau
eksperimen. Aposteriori ini terletak pada level anak-anak, binatang
karena didasarkan pada pengalaman. Jadi pengetahuan yang jenis
ini didasarkan pengalaman, fenomena satu ke fenomena berikutnya.
Dikarenakan pengalaman maka muncul empirisme, semua
pengetahuan berasal dari pengalaman indra manusia. Filsafat
adalah seperti itu, bisa dipahami melalui kalimat yang terukur.
Kebanyakan orang tidak menguasai masalah karena tidak
menguasai dunianya, termasuk bahasanya.
Belajar filsafat harus belajar tokohnya. Dalam konsep
kehidupan yang dibawah (berubah, vital, memilih) tokohnya adalah
Heraclitos. Heraclitos berpendapat bahwa segala sesuatu itu
berubah. Sedangkan yang di bawah adalah jamak itu pluralisme.
Sedangkan konsep kehidupan yang diatas (tetap, fatal, terpilih)
tokohnya adalah Permenides. Permenides berpendapat bahwa
segala sesuatu bersifat tetap. Untuk Kuasa Tuhan itu esa, maka
lahirlah monoisme. Jika percaya dua itu dinamakan 13ragmat, dan
ini berada ditengah – tengah antara atas dan bawah. Dari hal ini
kemudian muncul tokoh yang bernama Immanuel Kant pada tahun
1671. Sebelum Immanuel Kant, tokoh rasionalisme itu René
Descartes, selain rasionalisme juga menjadi tokoh skeptisisme.
13
Sebetulnya filsafat itu mengalir, skeptisisme ini sudah ada sejak
zaman Yunani kuno. Teori rasionalisme ini ditentang oleh David
Hume sebagai tokoh empirisme. Descartes itu skeptisnya luar biasa
karena dia seorang pemikir yang bertemu dengan fenomena –
fenomena. Ada sebuah ungkapan yang diutarakan oleh Descartes,
sang filsuf ternama dari Prancis artinya aku berpikir maka aku ada.
Jadi menurut Descartes sebenar-benarnya ilmu harus berdasarkan
rasio dan pikiran. Kalau tidak ada pikiran, maka tidak ada ilmu.
Namun hal ini ditentang oleh David Hume yang mengungkapkan
bahwa sebenar – benarnya berpikir, jika belum mengalami maka
belum benar. Sehingga muncul aliran tengah yaitu Immanuel Kant
yang menyatakan mengenai perwakilan langit dan bumi.
Menurut Decartes ilmu itu harus apriori. Sedangkan menurut
Hume ilmu itu harus sintetik. Dari pertentangan Decartes dan Hume
maka muncullah zaman modern dalam filsafat. Kemudian muncul
tokoh yaitu Auguste Comte yang merupakan tokoh aliran
14ragmatism. Pendapat Comte yaitu indera amatlah penting dalam
memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat
bantu dan diperkuat dengan eksperimen karena kekurangan
inderawi dapat dikoreksi dengan eksperimen. Comte berpendapat,
14ragmatism adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan
berdasarkan sains. Ia menempatkan teori membangun dunia dengan
menempatkan spiritualisme itu berada di paling bawah. Agam ditaruh
di paling bawah, kemudian metafisik, di atasnya metode positif.
Terdapat dongeng bahwa Resi Gotama seolah-olah mengutuk
Comte. Jika Comte hanya berteori, namun era saintifik dan teknologi
saat ini justru kita melebihi dari apa yang dilakukan Comte. Karena
teknologi itu positifnya membawa kesejahteraan, namun negatifnya
adalah melahirkan kemunafikan.
Pemikiran – pemikiran tokoh terdahulu seperti itu dan
gambaran dunia masa kini yaitu archaic, tribal, tradisional, 14ragma,
14
modern, lalu postmodern hingga power now. Dewasa ini Indonesia
sedang mengalami bergesernya 15ragmati, politik, ekonomi,
15ragma, budaya yang ditandai dengan orientasi pendidikan dari
nasionalisme dan jati diri bangsa menuju berorientasi isme-isme
baru pengaruh dunia barat seperti 15ragmatism, kapitalisme,
utilitarianisme, materialisme, liberalisme. Pada penjelasan terakhir
Prof. Marsigit memberikan pesan bahwa kita jangan seperti ikan
asin, toleh kanan dan kiri tidak tahu apapun. Dengan pemikiran –
pemikiran dari tokoh sebelumnya maka kita harus dapat belajar dan
mengetahui paham – paham filsafat serta mendalaminya secara
baik.
15
Pada bagian pendahuluan, Kant memberikan tujuh poin penting.
Pada poin satu membahas mengenai perbedaan antara pengetahuan
murni dan pengetahuan empiric. Kant menyampaikan bahwa semua
pengetahuan kita dimulai dari pengalaman. Hal tersebut tidak
diragukan lagi karena dalam mencapai kemampuan berpikir, maka
kita harus melalui segala hal yang menggunakan panca indera dari
waktu ke waktu dan itu yang disebut dengan pengalaman. Kita bisa
membangun pemikiran dari hal yang sudah pernah kita alami. Namun
pernyataan tersebut belum cukup pasti untuk menunjukkan
keseluruhan makna dari pengetahuan yang ada sebelum bertemu
dengan pengalaman (a priori). Oleh karena itu, istilah "pengetahuan a
priori" yang akan kita pahami dalam sekuel ini, tidak seperti yang
terlepas dari pengalaman ini atau itu, tetapi seperti seperti yang mutlak
dari semua pengalaman. Lawan dari hal ini adalah pengetahuan
empiris pengetahuan, atau yang hanya mungkin secara a posteriori,
yaitu, melalui pengalaman. Pengetahuan apriori adalah murni atau
tidak murni. Murni pengetahuan a apriori adalah pengetahuan yang
tidak tercampur dengan unsur empiris. Sebagai contoh proposisi,
"Setiap perubahan memiliki penyebab," adalah sebuah proposisi
apriori, tetapi tidak murni, karena perubahan adalah konsepsi yang
hanya dapat diturunkan dari pengalaman.
Pada poin dua dijelaskan mengenai konsep pengetahuan murni.
Dimana judul dari bagian ini adalah “Akal Manusia, bahkan dalam
keadaan yang tidak filosofis, adalah keadaan, berada yang memiliki
kognisi tertentu apriori". Dalam tulisan ini kita diminta membedakan
antara pengetahuan murni dengan empiris. Secara jelas, dikatakan
bahwa yang pertama, pengalaman dapat mengajarkan kepada kita
bahwa suatu objek dibentuk dengan cara tertentu. Disini dijelaskan
adanya hubungan sebab akibat. Kedua, penilaian empiris tidak pernah
menunjukkan ketegasan dan kemutlakan, tetapi hanya diasumsikan
dan universalitas komparatif.
16
Universalitas empiris hanyalah perluasan validitas yang
sewenang-wenang. Pada poin tiga dijelaskan mengenai Filsafat
membutuhkan sebuah ilmu yang akan menentukan kemungkinan,
prinsip-prinsip, dan luasnya pengetahuan manusia secara "apriori".
Disini dijelaskan mengenai ketetapan Tuhan, dimana ketetapan
tersebut tidak dapat dihindari. Dicontohkan mengenai matematika
yang mempunyai keandalan dan menimbulkan anggapan
menguntungkan dimana mungkin belum mempunyai sifat berbeda.
Matematika memberikan contoh mengenai seberapa jauh kita dapat
berjalan maju dalam pengetahuan apriori. Kant membedakan antara
dua jenis pengetahuan yaitu a priori (sebelum pengalaman) dan a
posteriori (berasal dari pengalaman). Dia berpendapat bahwa ada
kebenaran tertentu yang dapat diketahui secara independen dari
pengalaman, seperti kebenaran matematis dan logis.
Pada poin keempat dijelaskan tentang perbedaan antara
penilaian analitis dan sintetis. Penilaian mengenai hubungan predikat
dan subjek yang dipikirkan melalui identitas disebut penilaian analitik.
Sedangkan penilaian mengenai hubungan tanpa identitas namun
dipikirkan disebut penilaian sintetis. Penilaian pengalaman, selalu
bersifat sintetis karena akan menjadi tidak masuk akal untuk berpikir
didasarkan pada penilaian analitis pada pengalaman, karena dalam
membentuk penilaian seperti itu tidak perlu keluar dari lingkup
konsepsi.
Pada poin kelima yaitu dalam semua ilmu pengetahuan teoritis
tentang nalar, penilaian sintetis; apriori terkandung sebagai prinsip.
Bagian ini dibagi menjadi tiga poin yaitu:
1. Penilaian matematis selalu bersifat sintetis.
Fakta yang telah berjalan hingga saat ini, meskipun tidak dapat
disangkal kebenarannya dan sangat penting dalam
konsekuensinya tampaknya telah lolos dari analis pikiran manusia.
Karena seperti yang ditemukan bahwa matematika berjalan sesuai
17
dengan prinsip kontradiksi, orang menjadi yakin bahwa prinsip-
prinsip dasar ilmu pengetahuan juga diakui dengan cara yang
sama. Tetapi gagasan ini keliru; karena meskipun sebuah
proposisi sintetis tentu saja dapat dilihat dengan menggunakan
prinsip kontradiksi.
2. Ilmu filsafat alam (fisika) dengan sendirinya mengandung sintetis
penilaian apriori, sebagai prinsip-prinsip. Saya akan
menambahkan dua proposisi.
3. Mengenai metafisika, bahkan jika kita memandangnya hanya
sebagai ilmu pengetahuan yang diupayakan, namun dari sifat akal
manusia, kita menemukan bahwa ia harus mengandung proposisi
sintetis secara apriori.
Pada poin keenam dijelaskan mengenai masalah universal
tentang nalar murni. Masalah yang tepat untuk akal budi murni
terkandung dalam pertanyaan sebagai berikut: "Bagaimana penilaian
sintetis secara apriori dimungkinkan?". Bahwa ilmu pengetahuan
metafisika sampai sekarang tetap berada dalam keadaan terombang-
ambing dalam ketidakpastian dan kontradiksi, hanya dapat dikaitkan
dengan fakta bahwa masalah besar ini, dan bahkan mungkin
perbedaan antara penilaian analitis dan sintetis, tidak segera muncul
di benak para filsuf.
Pada poin ketujuh dijelaskan mengenai ide dan pembagian ilmu
pengetahuan tertentu, dengan nama Kritik Nalar Murni. Dari semua
yang telah dikatakan, muncullah gagasan tentang ilmu pengetahuan
tertentu, yang dapat disebut sebagai kritik nalar murni. Untuk
alasannya adalah fakultas yang membekali kita dengan prinsip-prinsip
pengetahuan secara apriori. Oleh karena itu, murni murni adalah
fakultas yang berisi prinsip-prinsip untuk mengenali apapun benar-
benar apriori. Sebuah organon dari alasan murni akan menjadi
ringkasan dari prinsip-prinsip yang sesuai dengan yang hanya semua
kognisi murni apriori dapat diperoleh.
18
Memasuki bagian pembahasan, yang pertama dijelaskan yaitu
mengenai doktrin transendental elemen. Disana dijelaskan bahwa
ilmu pengetahuan adalah tentang semua prinsip sensibilitas apriori,
Kant kemudian menyebutnya sebagai estetika transendental estetika.
Dalam ilmu estetika transendental, pertama-tama kita akan
mengisolasi sensibilitas atau kemampuan indera, dengan
memisahkan semua yang dilampirkan untuk persepsi konsep-konsep,
sehingga tidak ada yang tersisa kecuali intuisi empiris. Harus ada ilmu
pengetahuan pertama yang membentuk bagian dari doktrin
transcendental elemen, bagian yang berisi prinsip-prinsip pemikiran
murni yang disebut logika transendental.
Kant mengkritik system metafisika sebelumnya, termasuk
rasionalisme dan empirisme, karena kegagalannya dalam
memberikan landasan yang aman bagi pengetahuan. Dia
berpendapat bahwa akal murni dapat menyebabkan kontradiksi dan
paradoks ketika digunakan di luar batasnya. Pada bukunya, sangat
terlihat bahwa Kant menggunakan silogisme – silogisme untuk
menyimpulkan suatu kondisi. Landasan berpikir yang diberikan
menunjukkan apa yang telah kita alami, kondisi yang memungkinkan
kita memiliki pengalaman itu, sehingga karena keduanya adalah
benar, elemen transendental pada langkah selanjutnya harus
mengikuti. Kant menggunakan ini untuk mengetahui hakikat
pengetahuan atau kondisi pra – mengetahui. Kant memberikan
pandangan bahwa kedudukan dari norma moral lebih tinggi daripada
norma hukum. Jika kita berbicara moral tentunya akan berkaitan
dengan hati nurani manusia, sedangkan bila kita bicara hukum maka
tidak serta merta berkaitan dengan hati nurani melainkan mengenai
balasan (berupa hukum) dari setiap perbuatan. Mengenai etika dan
moralitas, kant berpendapat bahwa manusia harus diperlakukan
sebagai tujuan dalam dirinya, bukan sebagai alat untuk mencapai
tujuan. Sehingga Kant menyoroti penting tidaknya niat moral yang baik
19
dalam menilai tindakan. Terdapat gagasan Kant terkait satu – satunya
hal yang baik adalah kehendak untuk berbuat baik, tanpa syarat.
Dalam bukunya Kant juga memberikan pandangan bahwa ia
menyamakan revolusi filosofisnya dengan revolusi astronomi
Copernicus. Dia menyatakan bahwa, alih-alih menyesuaikan diri
dengan dunia, pikiran kita secara aktif menyusun dan membentuk
pengalaman kita tentang dunia. Kant menyajikan serangkaian
antinomi, yang merupakan pernyataan yang tampaknya kontradiktif
yang muncul ketika alasan murni diterapkan pada pertanyaan tentang
sifat alam semesta, seperti pertanyaan tentang keterbatasan atau
ketidakterbatasannya. Kant berpendapat bahwa meskipun
pengetahuan manusia terbatas pada dunia fenomena (dunia seperti
yang tampak pada kita), kita tidak mampu membuat klaim tentang hal-
hal yang ada pada diri mereka sendiri (noumena). Keterbatasan ini
mendefinisikan batas-batas pengetahuan manusia.
Karya Immanuel Kant ini merupakan sebuah karya yang
kompleks dan berpengaruh yang menyelidiki sifat pengetahuan
manusia, peran akal budi, dan batas-batas dari apa yang dapat kita
ketahui tentang dunia. Gagasan Kant tentang pengetahuan apriori,
kategori pemahaman, dan idealisme transendental memiliki dampak
yang mendalam pada perkembangan filsafat modern.
C. Filsafat dan Ideologi Pendidikan Administrasi Perkantoran
20
kesanggupan untuk mengendalikan hubungan dengan alam.
Selanjutnya idealisme dimana memandang bahwa nilai itu tetap dan
tidak berubah. Ketiga yaitu Realisme, dimana hakikatnya terdiri atas
perpaduan dunia fisik dan rohan berkaitan dengan pendidikan,
Selanjutnya yaitu Materialisme dimana berpandangan bahwa
hakikatnya adalah materi bukan rohani. Selanjutnya yaitu pragmatism
dimana memfokuskan pada pengalaman manusia. Eksistensialisme
yang memfokuskan pada pengalaman individu terkait pilihan kreatif,
subjektifitas pengalaman manusia, dan tindakan konkret atas
lebenaran setiap rasionalitasnya. Yang terakhir adalah progresivisme
dimana pendidikan harus berpusat pada anak bukan guru.
Berkaitan dengan filsafat administrasi, pada zaman peradaban
Mesir Kuno dikenal memiliki sistem administrasi perkantoran yang
maju. Mereka menggunakan papirus untuk mencatat informasi seperti
perpajakan, inventarisasi, dan catatan-catatan penting lainnya. Di
Tiongkok Kuno, sistem administrasi perkantoran berkembang,
terutama pada masa Dinasti Han, dengan penggunaan "Zhupi,"
sebuah sistem dokumen yang digunakan untuk mengorganisasi
catatan pemerintah. Selama Abad Pertengahan di Eropa, biara-biara
memainkan peran penting dalam administrasi dan dokumentasi.
Mereka mengelola berbagai jenis catatan, termasuk buku besar dan
dokumen-dokumen gereja. Pada abad pertengahan ke awal abad
modern ditemukan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg pada abad
ke-15 membantu mempermudah produksi buku, termasuk dokumen
administratif. Pada abad ke-17, John Locke menyusun prinsip-prinsip
administrasi yang efisien untuk pemerintahan.
Pada abad ke-19 revolusi Industri membawa perubahan besar
dalam administrasi perkantoran. Perusahaan-perusahaan besar mulai
berkembang, dan kebutuhan akan administrasi yang terstruktur
meningkat. Penggunaan mesin hitung, telegraf, dan telepon mulai
menjadi bagian dari administrasi perkantoran. Pada abad ke-20
21
perkembangan teknologi, seperti mesin ketik, fotokopi, komputer, dan
komunikasi digital, mengubah cara administrasi perkantoran
dijalankan. Teori manajemen, seperti manajemen ilmiah oleh
Frederick Taylor, memengaruhi praktik administrasi perkantoran.
Pada abad ke-21 teknologi informasi dan internet telah
memungkinkan perubahan besar dalam administrasi perkantoran,
seperti penggunaan perangkat lunak manajemen tugas, sistem
manajemen dokumen elektronik, dan kolaborasi online. Administrasi
perkantoran semakin berfokus pada efisiensi, otomatisasi, dan
penggunaan data untuk pengambilan keputusan. Sejarah administrasi
perkantoran mencerminkan evolusi kebutuhan dan teknologi dalam
dunia bisnis dan pemerintahan. Dari catatan tangan pada papirus di
Mesir Kuno hingga penggunaan teknologi canggih dalam administrasi
kontemporer, peran administrasi perkantoran terus berubah dan
berkembang seiring dengan perubahan dunia.
Fakta bahwa "filsafat", bagi banyak orang, hanyalah sebuah kata
misterius yang mengingatkan kita pada gambaran janggut putih dan
mistisisme tidaklah mengherankan. Masyarakat kontemporer
tampaknya memiliki sedikit alasan untuk menghargai bidang yang
dikhususkan untuk ide daripada produksi. Sederhananya, filsafat itu
tidak praktis, sebuah pengalih perhatian dari dunia yang penting untuk
menumbuhkan ekonomi dan menjalani kehidupan nyata.
Kemungkinan yang lebih mengejutkan adalah bahwa filsafat kini juga
merupakan bidang yang hampir mati di kalangan akademisi.
Dalam filsafat ilmu, administrasi dikenal sebagai artistic sciences
karena aplikasinya, seni masih memegang peran yang menentukan.
Sebaliknya, seni administrasi dikenal sebagai scientific art karena
didasarkan pada sekelompok prinsip yang telah teruji "kebenarannya".
Melalui administrasi, administrasi publik dalam konteks filsafat ilmu,
adalah sifat apa yang diteliti dari aspek bagaimana proses
administrasi perkantoran dikelola dengan baik untuk mengatur,
22
melayani dan melindungi untuk setiap kepentingan umum. Dan
bagaimana hal itu mempengaruhi jalannya administrasi perkantoran
dalam mengembangkan ilmunya?. Lalu bagaimana cara membuat
birokrat yang bertanggung jawab atas masalah yang ada di
masyarakat? Jadi disini administrasi perkantoran berperan antara
hubungan dengan masyarakat. Kemudian administrasi harus mampu
membangun sumber daya manusia yang mampu menjalankan peran
administrasi perkantoran dalam proses penyelengaraannya.
Administrasi perkantoran sebagai pelaksana strategi yang
merumuskan proses penyelengaraan melalui sumber daya
administrasi secara sistematis dan sistemik.
Pada era ini, manusia memiliki kecamuk pikirannya masing-
masing yang berdampak pada kisah kebatinan dalam hidup, yang
semua akan menjadi ilmu. Filsafat adalah metode yang mengatur
bagaimana kita bijak dalam menggunakan sebuah ilmu. Menurut
Henderson, filsafat diartikan sebagai suatu pandangan kritis yang
sangat mendalam sampai ke akar-akarnya mengenai segala sesuatu
yang ada. Maka filsafat mengajarkan dan memberikan pengertian
bahwa dalam penggunaan sebuah ilmu haruslah diiringi dengan
kebijaksanaan. Sejalan dengan Gildenhuys (2004) menyatakan
bahwa filsafat adalah seperangkat prinsip, seperangkat kebenaran
fundamental atau hukum alam yang berfungsi sebagai dasar untuk
penalaran dan tindakan; itu adalah hukum alam yang membentuk
dasar untuk konstruksi dan kerja organisasi manusia. Manusia tidak
dapat membuat prinsip. Prinsip-prinsip itu alami dan ada; manusia
dapat menemukan prinsip-prinsip melalui melalui penelitian dan
kesimpulan logis dari fakta-fakta alam dengan pemikiran dan
penalaran yang rasional. Untuk mencapai kemajuan dalam berbagai
aspek kehidupan dan penghidupan modern harus mengutamakan
pembinaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Demikian pula dalam adminitrasi perlu pembinaan dan
23
pengembangan, antara lain dengan menerapkan filsafat administrasi
yang sesuai dengan faktor-faktor lingkungan, bangsa dan Negara.
Menurut para ahli, pengkajian dalam kefilsafatan keilmuan dibagi
ke dalam beberapa komponen yaitu ontologi, epistimologi dan
aksiologi. Ontologi diartikan tentang bagaimana mencari hakikat
kebenaran dan kenyataan dalam keilmuan mengenai apa dan
bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita
cari. Secara subtansial dan historis, ontologi merupakan bagian
mendasar dari filsafat, karena kelahiran atau keberadaan ontologi
tidak lepas dari peran filsafat. Sebaliknya pula perkembangan ontologi
memperkuat keberadaan filsafat. Adapun pemikiran dalam ontologi
ilmu administrasi dimulai dari adanya pembuktian, atau penyelidikan
yang dilakukan secara mendalam sampai kepada inti dari
permasalahan yang dapat diperlakukan kapan dan dimana saja.
Epistemologi berfungsi sebagaimana kebenaran itu diartikan
dalam mencapai pengetahuan (ilmiah). Maka epistimologi berfungsi
mengatur perbedaan pengartikulasian keilmuan ke dalam ruang-
ruang keilmuan normatif. Normatif berarti menentukan norma atau
tolak ukur, dan dalam hal ini tolak ukur kenalaran bagi kebenaran
pengetahuan yang nantinya akan dijadikan landasan berfikir. Ilmu
pengatahuan terkait administrasi perkantoran adalah suatu
pernyataan terhadap materi atau content, bentuk, serta objek formal
dan materialnya. Ilmu administrasi dalam perspektif epistemologi
adalah kecenderungan untuk membatasi diri pada persepsi dan
pemahaman intelektual seseorang. Pemahaman tersebut utamanya
adalah logika sebagai pengetahuan yang mempelajari segenap asas,
aturan, dan tata cara penalaran dari suatu objek yang dipikirkan
dengan benar. Pemikiran dan argumentasi ilmuan administrasi
berpangkal dari premis hingga kesimpulan. Jika ditinjau dari aspek
tahapan perkembangan kecerdasan berfikir ilmu administrasi, maka
terdapat beberapa tahapan, yaitu tahap sensasi (pengindraan), tahap
24
perseptual (pemahaman), dan tahap konseptual (pengertian).
Kemudian terkait dengan penelusuran objektivitas pemikiran dalam
administrasi dapat dilihat dari perspektif baik dari sudut pandang
materialnya (sesuatu yang menjadi sasaran perhatian secara detail
tentang makna kandungan penalaran dalam pemikiran manusia yang
mempelajari ilmu administrasi perkantoran) dan dari sudut pandang
objek formalnya (ilmu administrasi perkantoran memiliki kejelasan
dalam kajian metodenya).
Dalam buku Ernest Paul yang berjudul Philosophy Math
Education perspektif epistemologis yang dominan dalam matematika
yaitu, pandangan absolut bahwa kebenaran matematika adalah
mutlak, bahwa matematika adalah salah satu ilmu pengetahuan yang
tidak diragukan lagi dan obyektif. Hal ini bertantangan dengan
pandangan fallibilist bahwa kebenaran matematika adalah tidak
mutlak, dan tidak pernah bisa dianggap sebagai sesuatu yang tidak
perlu adanya revisi dan koreksi. Banyak yang diperoleh dari
perbedaan absolut-fallibilist, diantaranya adalah perspektif filosofis
yang diadopsi karena faktor epistemologis yang paling penting yang
mendasari pengajaran matematika. Sedangkan jika kita berbicara
mengenai administrasi perkantoran, kebenarannya tidaklah mutlak
karena ilmu social terus berubah dan berkembang.
Filsafat Administrasi Perkantoran adalah cabang filsafat yang
berujuan untuk merenungkan dan menjelaskan sifat dari administrasi
perkantoran. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam
Filosofi administrasi perkantoran seperti: Apa dasar untuk
pengetahuan administrasi perkantoran? Apakah sifat kebenaran
administrasi perkantoran? Apa ciri kebenaran administrasi
perkantoran? Apa pembenaran untuk pernyataan mereka? Mengapa
kebenaran administrasi perkantoran kebenaran yang diperlukan?
Pendekatan secara luas diadopsi oleh epistemologi, adalah untuk
menganggap bahwa pengetahuan dalam bidang apapun diwakili oleh
25
satu set proposisi, bersama-sama dengan prosedur untuk
memverifikasi atau memberikan pembenaran pada suatu pernyataan.
Ketika pembuktian administrasi perkantoran didasarkan pada
penarikan kesimpulan saja tanpa dengan data empiris, maka
pengetahuan administrasi perkantoran dipahami sebagai
pengetahuan yang paling diyakini. Secara tradisional, filsafat
matematika bertujuan untuk memberikan dasar kepastian
pengetahuan administrasi perkantoran. Yaitu, menyediakan sistem di
mana pengetahuan matematika dapat dibuang secara sistematis
dalam membangun kebenarannya. Hal ini tergantung pada asumsi
yang diadopsi, yaitu secara implisit atau eksplisit.
Aksiologi berperan sebagai sistem yang mengatur pelaksanaan
keilmuan ke dalam bentuk nilal-nilal (values) yang bersifat normatif
dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan
kehidupan pencarian keilmuan. Kajian aksiologi dalam ilmu
adminitrasi, yaitu terletak pada subtansi pemanfaatan ilmu
administrasi bagi manusia. Pemanfaatan tersebut antara lain seperti
bagaimana perilaku dalam beraktivitas, dan penetapan keputusan
tindakan manusia. Kemudian dalam konteks aksiologi ilmu
administrasi perkantoran terdapat dua jenis pengaturan dan
keteraturan , yaitu pengaturan dan keteraturan berfikir secara rasional,
dan pengaturan dan keteraturan dalam bertindak sebagai upaya
merealisasikan kesejahteraan manusia.
Dalam administrasi perkantoran, beberapa aspek filsafat yang
mungkin relevan adalah pragmatism dimana pendekatan pendidikan
administrasi perkantoran bisa didasarkan pada pragmatisme, yang
menekankan pentingnya pengalaman praktis dan pemecahan
masalah dalam proses pembelajaran. Ini berarti fokus pada
keterampilan yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja di bidang
administrasi perkantoran. Kedua adalah humanism, beberapa
pendekatan mungkin mengutamakan nilai-nilai humanis, menekankan
26
pengembangan pribadi, etika, dan tanggung jawab sosial dalam
administrasi perkantoran. Selanjutnya konstruktivisme dimana
pendidikan administrasi perkantoran juga bisa mencerminkan
konstruktivisme, yang menekankan peran aktif siswa dalam
membangun pengetahuan mereka sendiri melalui interaksi dengan
materi pembelajaran.
Ideologi pendidikan administrasi perkantoran mencakup
pandangan-pandangan mendasar tentang tujuan dan arah pendidikan
dalam konteks administrasi perkantoran. Beberapa ideologi yang
mungkin relevan yaitu pendidikan berorientasi pada karier dimana
ideologi ini menekankan persiapan siswa untuk sukses dalam karier
di bidang administrasi perkantoran. Pendidikan di sini akan fokus pada
pengembangan keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan
dalam lingkungan kantor. Kedua yaitu pendidikan inklusif dimana
ideologi ini mendorong pendidikan administrasi perkantoran yang
inklusif, di mana semua individu, tanpa memandang latar belakang
atau kemampuan, memiliki kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan dan pelatihan dalam bidang ini. Ketiga yaitu pendidikan
berkelanjutan, mengingat perkembangan teknologi dan perubahan
dalam lingkungan bisnis, ideologi ini mendorong pendidikan
administrasi perkantoran yang berkelanjutan, di mana profesional di
bidang ini terus memperbarui dan meningkatkan keterampilan mereka
sepanjang karier mereka.
27
A. Sejarah/Perkembangan Penilaian.
Penilaian untuk pembelajaran secara luas dipandang sebagai
cara yang penting untuk meningkatkan pembelajaran peserta didik.
Penilaian untuk pembelajaran telah menjadi sesuatu yang sedang
diperhatikan oleh para pembuat kebijakan dan lembaga pendidikan.
Hal ini dapat dilihat sebagai konsep 'ibu dan anak' dimana setiap
orang dapat mendaftar dan merasa senang, namun tidak
menghasilkan tindakan yang produktif. Hal ini mendorong kita untuk
mengajukan pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan
penilaian untuk pembelajaran dan bagaimana istilah tersebut
digunakan.
Gagasan untuk menggunakan penilaian dalam membantu siswa
dan memajukan pembelajaran sudah ada sejak berabad-abad yang
lalu. Namun, penggunaan penilaian untuk pembelajaran sebagai
istilah 'teknis' khusus yang mewujudkan ajakan untuk bertindak
dalam praktik pendidikan adalah hal yang lebih baru. Assessment
Reform Group dibentuk pada tahun 1989 oleh sekelompok Lihat
metadata, kutipan, dan makalah serupa di core.ac.uk yang
dipersembahkan oleh CORE yang disediakan oleh para peneliti
asesmen dari Northumbria Research Link di bawah naungan
Asosiasi Penelitian Pendidikan Inggris, dan telah aktif serta
berpengaruh dalam mempromosikan konsep dan praktik asesmen
untuk pembelajaran. Salah satu Salah satu anggota Grup, Caroline
Gipps (1994) sering dikreditkan dengan memperkenalkan istilah ini
kepada komunitas pendidikan yang lebih luas yang lebih luas kepada
komunitas pendidikan, dengan dasar membuat perbedaan yang
jelas antara penilaian untuk pembelajaran, yang merupakan evaluasi
dari apa yang telah dipelajari dan penilaian untuk pembelajaran yang
merupakan penggunaan evaluasi untuk memberikan masukan ke
dalam proses belajar dan mengajar dan dengan demikian
meningkatkan pembelajaran. Dalam rumusan ini, yang masih
28
digunakan secara luas, penilaian pembelajaran disamakan dengan
penilaian sumatif dan penilaian untuk pembelajaran dengan
penilaian formatif. Menelusuri sejarah dan penggunaan penilaian
untuk pembelajaran saat ini cukup menantang karena ada sejumlah
istilah lain, termasuk 'penilaian formatif', yang tampaknya memiliki
makna yang sangat mirip dengan istilah penilaian untuk
pembelajaran atau setidaknya tumpang tindih secara substansial.
Winter (2003, hlm. 767) menulis tentang 'perubahan kata depan'
dalam penilaian - dari, untuk dan sebagai pembelajaran. Carless dan
rekan-rekannya (Carless, Joughin & Mok, 2006) memperkenalkan
istilah 'penilaian yang berorientasi pada pembelajaran'. Gibbs dan
Simpson (2004) menggunakan istilah 'penilaian yang mendukung
pembelajaran'. Istilah-istilah yang berbeda ini menunjukkan
perbedaan yang terkadang tidak kentara dan terkadang cukup
substansial dalam penggunaannya oleh orang yang berbeda dan
dalam konteks yang berbeda pula.
Penilaian sebagai bagian dari proses evaluasi dan pengukuran
telah ada sejak zaman kuno, terutama dalam konteks pendidikan
formal di berbagai peradaban seperti Mesir kuno, Yunani kuno, dan
Romawi kuno. Pada masa ini, penilaian dilakukan melalui ujian
tertulis, tes lisan, dan observasi langsung oleh guru atau ahli. Selama
Abad Pertengahan, penilaian dalam pendidikan lebih terfokus pada
evaluasi kemampuan siswa dalam bidang agama dan teologi.
Penilaian dilakukan melalui ujian tulis dan lisan, serta diskusi dan
debat di kelas. Pada abad ke-18, dengan munculnya pemikiran
pencerahan dan gerakan pendidikan modern, praktik penilaian mulai
berkembang lebih sistematis. Metode penilaian berfokus pada
pengetahuan akademik dan keterampilan intelektual. Ujian tulis dan
tes standar mulai digunakan untuk mengukur prestasi siswa. Pada
abad ke-19, perkembangan pendidikan formal dan sistem sekolah
yang lebih terstruktur memberikan dorongan pada pengembangan
29
penilaian yang lebih luas. Metode penilaian yang lebih variatif mulai
digunakan, termasuk tes tertulis, tugas proyek, dan ujian lisan.
Perkembangan psikologi pendidikan dan statistik dalam abad ke-20
membawa perubahan signifikan dalam penilaian. Pemahaman
tentang validitas, reliabilitas, dan objektivitas penilaian semakin
diperdalam. Pengembangan tes standar dan tes norma menguatkan
penggunaan penilaian dalam proses seleksi dan pengukuran
prestasi. Dalam era digital dan teknologi informasi, penilaian
semakin melibatkan penggunaan teknologi. Pengembangan
penilaian online, penilaian berbasis komputer, dan penggunaan
analisis data dalam penilaian menjadi tren utama. Pendekatan
penilaian formatif yang berfokus pada umpan balik dan
pengembangan siswa juga semakin ditekankan.
Perkembangan penilaian selama sejarah mencerminkan
pergeseran paradigma dan pemahaman tentang pentingnya
penilaian dalam pendidikan. Dari metode sederhana hingga
pendekatan yang lebih kompleks dan beragam, penilaian terus
berkembang untuk mendukung evaluasi yang lebih akurat, adil, dan
bermakna bagi siswa dan proses pendidikan secara keseluruhan.
Dalam konteks pendidikan formal saat ini, terdapat beberapa
perkembangan penting dalam penilaian yang mencerminkan
pergeseran paradigma dan penekanan pada pendekatan yang lebih
holistik dan berpusat pada siswa. Perkembangan ini mencerminkan
pergeseran menuju penilaian yang lebih komprehensif, bermakna,
dan berpusat pada siswa. Tujuannya adalah untuk memberikan
umpan balik yang konstruktif, mendukung pengembangan pribadi
siswa, dan mengukur kemajuan mereka dalam konteks yang relevan
dengan dunia nyata.
30
B. Ideologi Pendidikan menuju Penilaian (Paul Ernest)
Salah satu konsep utama yang dikembangkan Paul Ernest
adalah Educational Ideology of Assessment. Ernest berpendapat
bahwa penilaian pendidikan tidak semata-mata tentang alat
pengukuran dan evaluasi, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai,
keyakinan, dan prinsip-prinsip yang mendasari sistem pendidikan.
Menurut Ernest, ideologi pendidikan mempengaruhi
bagaimana penilaian dirancang, diimplementasikan, dan
diinterpretasikan. Ia mengidentifikasi beberapa ideologi pendidikan
yang berbeda yang berdampak pada pendekatan penilaian. Ernest
berpendapat bahwa ideologi pendidikan harus secara kritis
dipertimbangkan dalam merancang sistem penilaian yang adil,
menyeluruh, dan bermakna. Pilihan metode dan pendekatan
penilaian harus mencerminkan nilai-nilai dan tujuan pendidikan yang
diinginkan. Selain itu, kesadaran terhadap implikasi sosial dan politik
dari penilaian pendidikan juga penting untuk memastikan keadilan
dan kesetaraan dalam pendidikan.
Dalam pandangan Ernest, penilaian pendidikan bukanlah
sesuatu yang netral, tetapi terkait erat dengan ideologi dan prinsip-
prinsip yang mendasari sistem pendidikan. Memahami dan
mempertimbangkan ideologi pendidikan dalam penilaian dapat
membantu mempromosikan pendekatan penilaian yang lebih
holistik, inklusif, dan berkeadilan. Paul Ernest telah membahas
berbagai isu filosofis dalam pendidikan matematika. Hakikat
matematika tidak harus berupa pandangan yang dipegang secara
sadar, tetapi bisa juga berupa filosofi yang dipegang secara implisit
(Ernest, 1989) diantaranya adalah instrumentalis, platonic, dan
pemecahan masalah.
Ernest mempertimbangkan peran konstruktivisme dalam
pembelajaran matematika. Dia mengajukan pertanyaan tentang
bagaimana konstruktivisme dapat diterapkan dalam konteks
31
pendidikan matematika, termasuk implikasi filosofisnya terhadap
konsep pengetahuan matematika, pembelajaran, dan penilaian.
Ernest membahas perdebatan antara realisme dan antirealisme
dalam konteks pembelajaran matematika. Dia mengeksplorasi
pertanyaan tentang apakah matematika adalah entitas yang ada
secara independen atau hanya menjadi konstruksi manusia. Ernest
mempertimbangkan masalah representasi dalam pembelajaran
matematika. Ia mempertanyakan bagaimana simbol, gambar, dan
bahasa digunakan untuk merepresentasikan konsep matematika,
dan implikasi filosofisnya terhadap pemahaman dan pengajaran
matematika. Ernest menyelidiki isu-isu etika yang terkait dengan
penilaian dalam konteks pendidikan matematika. Ia membahas
pertanyaan tentang keadilan, kesetaraan, dan dampak sosial dari
penilaian matematika, serta bagaimana etika dapat memandu
perancangan dan implementasi penilaian yang adil. Ernest
menyelidiki peran keterampilan metakognitif dalam pembelajaran
matematika. Dia mempertimbangkan bagaimana pemahaman diri
dan pemantauan diri dapat memengaruhi proses belajar
matematika, serta implikasi filosofisnya terhadap konsep
pengetahuan dan pemahaman matematika.
C. Paradigma/Teori/Model/Pendekatan/Metode/Strategi/Praksis
menuju Penilaian (review CMAP Theory Learning Interconnections
menuju Bidang Ilmu Pendidikan Administrasi Perkantoran)
1. Behaviorisme Theory
Behaviorisme atau aliran perilaku adalah filosofi dalam
psikologi yang berpijak pada proposisi bahwa semua yanh dilakukan
peserta didik termasuk apa yang ditanggapi, dirasakan, dan
dipikirkan dianggap sebagai perilaku. Teori behaviorisme
memandang bahwa belajar adalah perubahan perilaku yang dapat
diamati dan diukur. Behaviorisme berupaya memahami dan
32
menjelaskan perilaku manusia dalam kaitannya dengan rangsangan
dan respons, tanpa menggunakan proses mental atau peristiwa
internal. Tokoh teori behaviorisme yaitu John Broades Watson, Ivan
Petrovich Pavlov, Edward Lee Thorndike, Burrhus Frederic Skinner.
John Watson dikenal sebagai pendiri aliran behaviorisme di Amerika
Serikat, sehingga dikenal sebagai seorang behavioris murni
(Herpratiwi, 2016). Watson pada gilirannya, mengusulkan
pendekatan behavioris radikal, dengan alasan bahwa semua
perilaku adalah hasil dari pengondisian dan bahwa proses mental
tidak boleh menjadi subjek studi ilmiah. Dia menekankan pentingnya
lingkungan dalam membentuk perilaku manusia dan menganjurkan
gagasan bahwa respons perilaku dapat dibentuk melalui teknik
pengondisian. Pavlov melakukan eksperimen dengan anjing. Ia
menyelidiki pengkondisian klasik, di mana ia mengaitkan
rangsangan netral seperti bunyi bel, dengan rangsangan tak
terkondisi seperti makanan, dan mengamati respons terkondisi
anjing. Dalam eksperimennya, ivan meneliti tingkah laku yang
bersifat alami, ia tidak percaya jika reflex merupakan reaksi dan hasil
belajar. Thorndike mengadakan percobaan belajar dengan seekor
kucing yang dimasukkan dalam kotak puzzle. Kucing tersebut
mencari jalan keluar dari kotak dengan cara mencba – coba.
Menurutnya binatang dan manusia tidak selalu memecahkan
masalah dengan cara memikirkan cara dengan alogaritmik, tetapi
banyak yang memecahkan masalah dengan cara mencoba – coba.
Skinner mengembangkan konsep operant conditioning (Slavin,
2000) dimana stimulus bertindak sebagai pemancing respon,
sedangkan konsekuensi dapat bersifat positif atau negatif. Namun
keduanya saling memperkuat Ia percaya bahwa perilaku ditentukan
oleh konsekuensi yang mengikutinya. Jika suatu perilaku diikuti
dengan imbalan atau penguatan positif, kemungkinan besar perilaku
tersebut akan terulang kembali. Sebaliknya, jika suatu perilaku diikuti
33
dengan hukuman atau penguatan negatif, kecil kemungkinannya
untuk mengulanginya.
Manfaat yang terkait dengan behaviorisme meliputi:
a. Fokus pada perilaku yang dapat diamati: Behaviorisme
memberikan penekanan pada pengamatan perilaku secara
langsung dan terukur, yang memungkinkan pendekatan yang
lebih ilmiah dan obyektif dalam mempelajari perilaku manusia.
Hal ini mengarah pada pengembangan teknik modifikasi perilaku
dan strategi pengajaran yang efektif.
b. Penekanan pada pembelajaran dan modifikasi perilaku:
Behaviorisme menyoroti pentingnya pembelajaran, terutama
melalui pengondisian dan pemodelan perilaku. Ide-ide ini telah
diterapkan secara luas di berbagai bidang seperti terapi perilaku,
pendidikan, dan analisis perilaku, yang menyediakan metode
efektif untuk membantu orang mengubah dan meningkatkan
perilaku mereka.
c. Pendekatan sistematis: Behaviorisme membawa pendekatan
sistematis terhadap analisis perilaku, menekankan hubungan
antara rangsangan, respons, dan konsekuensi. Hal ini
memungkinkan terciptanya model dan teori yang membantu
memprediksi dan mengendalikan perilaku, berkontribusi
terhadap pemahaman dan intervensi dalam berbagai konteks.
34
emosi, pikiran, dan keadaan kesadaran, dari analisisnya.
Pendekatan ini mungkin dianggap terbatas, karena banyak yang
berpendapat bahwa memahami sepenuhnya perilaku manusia
memerlukan pertimbangan terhadap proses-proses ini.
b. Penyederhanaan perilaku manusia: Behaviorisme cenderung
mereduksi perilaku manusia menjadi respons terhadap
rangsangan dan penguatan eksternal, mengabaikan
kompleksitas dan individualitas pengalaman manusia. Kritikus
berpendapat bahwa pendekatan ini tidak memperhitungkan
pengaruh faktor internal, seperti motivasi, kepribadian dan
kognisi, dalam menentukan perilaku.
c. Determinisme lingkungan: Behaviorisme menekankan pengaruh
lingkungan eksternal terhadap perilaku, menyatakan bahwa
manusia "diprogram" oleh kondisi lingkungan. Hal ini dapat
dianggap sebagai pandangan yang sangat deterministik
terhadap perilaku manusia, mengabaikan hak pilihan individu
dan kebebasan memilih.
35
konsepnya masih relevan dan terus menjadi bahan kajian dan
perdebatan. Paradigma kognitif sosial, juga dikenal sebagai teori
kognitif sosial, adalah suatu pendekatan dalam psikologi yang
menekankan interaksi antara faktor kognitif, sosial, dan perilaku
dalam memahami perilaku manusia. Paradigma ini menyoroti
pentingnya proses kognitif, seperti persepsi, memori, pembelajaran
dan pengambilan keputusan, serta faktor sosial, seperti observasi
model dan interaksi sosial, dalam pembentukan dan pengaturan
perilaku.
36
konsekuensi yang memperkuat atau menghukum perilaku, serta
pengaruh konteks sosial atau fisik yang dapat memengaruhi
perilaku. Tujuan utama penilaian dalam teori behaviorisme adalah
untuk memahami perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil dari
proses pembelajaran. Penilaian dilakukan untuk mengukur
perubahan dalam frekuensi, durasi, intensitas, atau kualitas
perilaku yang teramati. Dengan memantau perubahan perilaku,
penilaian membantu dalam mengevaluasi efektivitas intervensi
atau pelatihan yang diberikan kepada individu. Penilaian dalam
teori behaviorisme bertujuan untuk mengukur dan memahami
perilaku yang dapat diamati secara eksternal. Penilaian perilaku
teramati, penilaian stimulus-respons, penilaian objektif, penilaian
pengaruh lingkungan, dan penilaian perubahan perilaku
merupakan aspek penting dalam melihat perilaku dalam konteks
behaviorisme.
37
konsep sentral dari paradigma kognitif sosial adalah pembelajaran
observasional atau pembelajaran sosial. Bandura menunjukkan
bahwa orang dapat belajar dengan mengamati perilaku orang lain
dan konsekuensi dari perilaku tersebut. Proses pembelajaran
observasional ini melibatkan perhatian pada model, menyimpan
informasi yang diamati, mereproduksi perilaku yang diamati, dan
memotivasi untuk mereproduksinya berdasarkan konsekuensi yang
diharapkan. Singkatnya, paradigma kognitif sosial menyoroti
interaksi antara faktor kognitif, sosial dan perilaku dalam memahami
perilaku manusia. Ini menekankan pentingnya pembelajaran
observasional, pengaturan diri, dan keyakinan pribadi, seperti efikasi
diri, dalam menentukan perilaku.
Pendekatan ini memperluas cakupan psikologi di luar
rangsangan dan respons behaviorisme, juga mempertimbangkan
proses mental dan sosial yang terlibat dalam pembentukan perilaku
manusia. Dalam teori Sosial Kognitif, penilaian berperan penting
dalam memahami bagaimana individu memperoleh, mengorganisir,
dan menggunakan pengetahuan serta bagaimana pengaruh
lingkungan sosial memengaruhi proses kognitif individu. Penilaian
diri melibatkan individu dalam mengevaluasi kemampuan,
kepercayaan diri, dan performa mereka sendiri. Dalam teori Social
Cognitive, penilaian diri penting dalam mempengaruhi motivasi,
keberanian, dan tujuan individu. Penilaian diri dapat memengaruhi
keyakinan individu terhadap kemampuan mereka untuk mencapai
tujuan, serta mempengaruhi sejauh mana mereka terlibat dalam
proses pembelajaran. Penilaian observasional melibatkan
pengamatan dan evaluasi individu terhadap orang lain dalam
lingkungan sosial mereka. Dalam teori Social Cognitive, individu
belajar melalui proses pemodelan, di mana mereka mengamati dan
meniru perilaku, sikap, atau strategi orang lain. Penilaian
observasional membantu individu memperoleh informasi tentang
38
apa yang dianggap efektif atau tidak efektif dalam lingkungan sosial
mereka. Penilaian umpan balik memainkan peran penting dalam
teori Social Cognitive. Umpan balik yang jelas dan relevan
membantu individu memahami sejauh mana mereka mencapai
tujuan, mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki, dan memperoleh
motivasi untuk mengubah atau meningkatkan perilaku mereka.
Umpan balik dapat diberikan oleh orang lain, seperti guru, mentor,
atau rekan, atau dapat berasal dari refleksi diri. Dalam teori Social
Cognitive, lingkungan sosial dianggap sebagai faktor penting dalam
pembelajaran dan pengembangan individu. Penilaian lingkungan
sosial melibatkan evaluasi individu terhadap norma, nilai, dan
harapan sosial yang ada dalam kelompok atau masyarakat tempat
mereka berada. Penilaian lingkungan sosial dapat mempengaruhi
perilaku, sikap, dan keyakinan individu dalam memilih perilaku yang
sesuai atau menghindari perilaku yang tidak diinginkan.
Teori Social Cognitive menekankan pentingnya penilaian diri-
regulasi dalam pembelajaran. Penilaian diri-regulasi melibatkan
individu dalam memantau, mengevaluasi, dan mengarahkan
perilaku, pikiran, dan emosi mereka dalam mencapai tujuan. Dengan
penilaian diri-regulasi, individu dapat mengatur diri mereka sendiri,
mengidentifikasi hambatan atau kesalahan, dan mengambil tindakan
yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Penilaian
dalam teori Social Cognitive merupakan bagian penting dari proses
pembelajaran dan pengembangan individu. Penilaian diri, penilaian
observasional, penilaian umpan balik, penilaian lingkungan sosial,
dan penilaian diri-regulasi saling berinteraksi dan mempengaruhi
perilaku dan perkembangan individu. Dalam konteks ini, penilaian
memiliki peran penting dalam membentuk dan memodifikasi
keyakinan, motivasi, dan perilaku individu.
39
3. Cognitive Information Processing Theory
Menurut Teori Gagne, hasil belajar merupakan keluaran dari
Pemrosesan informasi dalam bentuk kapabilitas manusia, yang
terdiri dari: Informasi Verbal, Keterampilan Intelektual, Strategi
Kognitif, Sikap dan Keterampilan Motorik. Keterampilan Motorik.
Asumsinya adalah bahwa belajar merupakan faktor yang sangat
penting dalam pembangunan. Pembelajaran adalah output dari
pemrosesan informasi dalam bentuk keterampilan manusia. Memori
jangka panjang adalah isi dari gambaran yang ada dalam setiap jenis
pola yang dapat melahirkan beberapa pendapat atau teori. Uraian
teori di atas dapat dikaitkan dengan kegiatan belajar mengajar yang
bertujuan menggunakan metode yang sangat penting dalam
keberhasilan sesuai dengan pola metode yang dapat kita belajar
dalam proses belajar mengajar. Dan hasil belajar merupakan hasil
dari setiap proses yang dilalui dalam kegiatan belajar mengajar.
belajar mengajar yang melibatkan siswa agar setiap teori yang
dijelaskan dapat dapat dipahami oleh siswa dalam penjelasan guru,
melalui teori ini guru menjelaskan berbagai cara yang dapat kita
gunakan untuk menggambarkan proses Oleh karena itu, sangat
penting sekali teori ini kita terapkan kepada setiap siswa agar mereka
dapat memahami pola belajar dengan berpikir.
Pemrosesan informasi mengacu pada cara-cara yang
digunakan orang untuk rangsangan lingkungan, mengorganisasikan
data, melihat masalah, mengembangkan konsep, dan memecahkan
masalah dengan menggunakan simbol-simbol verbal dan non-
verbal. Setiap proses informasi memiliki prosedurnya sendiri untuk
menangani segala sesuatu yang terjadi di lingkungan dengan
mengatur setiap orang di lingkungan untuk mengetahui setiap orang
di lingkungan untuk melihat setiap masalah dan mengembangkan
ide untuk memecahkan masalah dengan menggunakan aturan-
aturan yang yang harus ditaati seperti peraturan kedisiplinan yang
40
ada di setiap lembaga pendidikan, dan pengolahan informasi ini
sendiri menekankan kita untuk dapat berpikir lagi secara produktif.
Sedangkan penjelasan yang lain menekankan pada rencana yang
dikembangkan untuk setiap ketentuan standar dalam setiap
pengembangan proses pembelajaran, yaitu bahwa seorang siswa
harus melalui berbagai proses yang memiliki kualitas dalam setiap
berpikir siswa, teori kognitif adalah proses yang dihasilkan dari
penyesuaian biologis penyesuaian diri secara biologis. Terbentuknya
teori kognitif ini dari strategi kognitif yang menitikberatkan pada pola
pikir siswa secara internal.
Teori pemrosesan informasi/ kognitif dipelopori oleh Robert
Gagne. kognitif yang dipelopori oleh Robert Gagne ini berasumsi
bahwa belajar merupakan faktor yang sangat faktor yang sangat
penting dalam perkembangan. Belajar merupakan keluaran dari
pengolahan informasi dalam bentuk keterampilan manusia (Surya
2013, 147). Dalam teori Cognitive Information Processing, penilaian
berperan penting dalam memahami bagaimana individu memproses,
menyimpan, dan mengambil informasi dari lingkungan mereka.
Setiap kegiatan melibatkan kerja panca indera dan kerja otak, mulai
dari membaca, menyusun pertanyaan sederhana sampai
pertanyaan tingkat tinggi, menganalisis fakta-fakta, menyusun dan
merencanakan strategi penyelesaian masalah, penyajian data
sampai kepada proses membuat mind map dari hasil remapping
mind. Kegiataan pada tahapantahapan ini merupakan langkah-
langkah pemrosesan informasi untuk dapat lebih terekam pada
memori di otak (Keliat, dkk: 2020).
41
Encoding Penyimpanan Pengambilan
•Memasukkan •Mempertahankan •Mengambil
informasi kedalam informasi dari informasi dari
memori waktu ke waktu gudang memori
42
jurnal reflektif, atau metode lain yang mendorong individu untuk
mengidentifikasi dan memahami strategi kognitif mereka.
Penilaian tidak hanya berfokus pada hasil akhir, tetapi juga
pada proses kognitif yang terlibat dalam memproses informasi.
Observasi langsung, catatan reflektif, dan wawancara dapat
digunakan untuk memahami bagaimana individu memperoleh,
mengorganisir, dan menggunakan informasi. Penilaian juga
mempertimbangkan konteks di mana pemrosesan informasi terjadi.
Faktor kontekstual, seperti lingkungan fisik, sosial, dan budaya,
dapat mempengaruhi pemrosesan informasi dan perlu
dipertimbangkan dalam penilaian. Misalnya, penilaian dapat
mempertimbangkan bagaimana faktor-faktor kontekstual ini
mempengaruhi perhatian, memori, atau pemecahan masalah
individu. Penilaian tidak hanya terjadi pada satu titik waktu, tetapi
juga melibatkan penilaian berkelanjutan seiring waktu. Dengan
memantau perkembangan kognitif individu dari waktu ke waktu,
penilaian dapat memberikan gambaran tentang perubahan dan
pertumbuhan dalam pemrosesan informasi.
43
lingkungan sekolah. Namun, dia tidak mengatakan bahwa
pembelajaran penemuan tidak berhasil; melainkan bahwa hal itu
tidak efisien. Dengan kata lain, Ausubel percaya bahwa pemahaman
konsep, prinsip, dan ide dicapai melalui penalaran deduktif. Ausubel
berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi
kognitif siswa melalui proses pembelajaran yang bermakna.
Pembelajaran bermakna disini maksudnya adalah proses
mengkaitkan informasi baru dengan konsep – konsep yang relevan
dan terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Herpratiwi, 2016).
Di pendidikan dasar, ketika siswa banyak dilibatkan maka akan
lebih bermanfaat namun di tingkat yang lebih tinggi guru dapat lebih
efektif dengan menggunakan peta konsep, demonstrasi, diagram,
atau ilustrasi. Pembelajaran bermakna mengacu pada tindakan
berpikir tingkat tinggi dan pengembangan melalui keterlibatan
intelektual yang menggunakan pengenalan pola dan asosiasi
konsep. Hal ini dapat mencakup-tetapi tidak terbatas pada-berpikir
kritis dan kreatif, inkuiri, pemecahan masalah, wacana kritis, dan
keterampilan metakognitif. Gagasan tentang pembelajaran yang
bermakna (Engeström, 1981) memberikan materi pelajaran sebuah
teori yang lebih jelas keterlibatan, yang telah dikembangkan dari teori
pengadopsian tindakan mental (Galperin, 1979) dan teori
pengembangan operasi pemikiran teoritis (Davydov, 1982).
Dalam buku Science in the Primary School menjelaskan bahwa
pembelajaran yang bermakna terjadi ketika siswa membangun
pemahaman mereka dengan memodifikasi gagasan yang sudah ada
berdasarkan wawasan baru yang diperoleh dari penyelidikan ilmiah.
Dengan demikian, Sains dapat dilihat sebagai proses aktif dari
konstruksi pribadi makna dan pemahaman (Departemen Pendidikan
dan Ilmu Pengetahuan, 1999a, p.7). Spontanitas, pentingnya
perasaan dan emosi yang empatik, hak seseorang untuk
menentukan pilihannya sendiri, dan kreativitas merupakan dasar dari
44
pendekatan humanis dalam pembelajaran, yang telah dibahas pada
definisi terakhir dari Pembelajaran Bermakna. Namun, perlu dicatat
bahwa dalam menyikapi kondisi "kebebasan" yang diusulkan oleh
perspektif pembelajaran ini, isu-isu politis-pedagogis dan didaktis
tidak dapat diabaikan, karena kondisi kebebasan siswa dalam
proses pembelajaran dalam humanisme tidak dapat diabaikan dalam
proses pembelajaran dalam humanisme tidak mengesampingkan
kepatuhan terhadap rencana pengajaran dan jadwal akademik. Apa
yang mungkin spontan dan bebas adalah dinamika internal studi
siswa, di mana siswa akan dapat menemukan konsep, teknik, dan
dan perilaku akademik yang berkontribusi pada kemajuan kualitatif
dan kualitatif dari pengetahuannya tentang tema tertentu (Agra,dkk:
2018).
Dalam teori pembelajaran bermakna, penilaian memiliki peran
penting dalam memahami sejauh mana siswa telah memperoleh
pemahaman yang berarti dan relevan terhadap materi pembelajaran.
Teori pembelajaran berarti menekankan pentingnya
menghubungkan materi baru dengan pengetahuan dan pengalaman
sebelumnya untuk membangun pemahaman yang mendalam dan
bermakna. Penilaian formatif berperan penting dalam teori
meaningful learning. Penilaian formatif dilakukan selama proses
pembelajaran untuk memberikan umpan balik terhadap pemahaman
siswa dan membantu mereka memperbaiki pemahaman mereka.
Guru dapat menggunakan berbagai strategi, seperti pertanyaan
reflektif, diskusi kelompok kecil, atau tugas formatif, untuk
memperoleh wawasan tentang pemahaman siswa. Dalam teori
pembelajaran bermakna, penilaian autentik memberikan gambaran
yang lebih baik tentang pemahaman siswa daripada penilaian yang
bersifat teoritis atau terpisah dari konteks. Penilaian autentik
mencerminkan situasi nyata dan meminta siswa untuk menerapkan
pengetahuan mereka dalam konteks yang relevan. Contohnya
45
adalah proyek, tugas praktis, atau simulasi yang menggambarkan
hubungan antara materi pelajaran dengan dunia nyata. Pendekatan
penilaian berbasis portofolio juga sesuai dengan teori meaningful
learning karena memungkinkan siswa untuk mengumpulkan dan
menyajikan bukti karya mereka yang mencerminkan pemahaman
yang mendalam. Portofolio dapat mencakup berbagai jenis karya,
seperti tulisan, presentasi, atau proyek, yang mencerminkan
pemahaman siswa yang lebih komprehensif daripada tes tunggal.
Teori meaningful learning menekankan pentingnya kolaborasi
dan interaksi sosial dalam pembelajaran. Oleh karena itu, penilaian
kolaboratif dapat digunakan untuk mempromosikan pembelajaran
saling mendukung dan pengembangan pemahaman yang lebih
dalam. Penilaian ini dapat melibatkan penilaian antar sesama siswa
atau penilaian kelompok, di mana siswa memberikan umpan balik
dan evaluasi kepada rekan mereka. Penilaian reflektif mendorong
siswa untuk merefleksikan pemahaman mereka sendiri dan
mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dalam cara mereka
belajar. Metode penilaian seperti jurnal reflektif, portofolio reflektif,
atau pertanyaan reflektif dapat digunakan untuk mendorong siswa
untuk mengembangkan kesadaran metakognitif tentang proses
belajar mereka. Penting untuk diingat bahwa penilaian dalam teori
meaningful learning bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang
mendalam dan bermakna tentang materi pembelajaran. Penilaian
tersebut memberikan umpan balik yang relevan kepada siswa,
memfasilitasi pemahaman yang berarti, dan mendorong siswa untuk
mengembangkan keterampilan metakognitif yang meningkatkan
kemampuan mereka dalam memperoleh pemahaman yang
mendalam.
46
5. Cognitive Development Theory
Teori Perkembangan Kognitif, yang juga dikenal sebagai Teori
Perkembangan Kognitif Piaget, adalah kerangka kerja komprehensif
yang diusulkan oleh psikolog Swiss, Jean Piaget, untuk menjelaskan
bagaimana anak-anak secara aktif memperoleh pengetahuan dan
pemahaman tentang dunia di sekitar mereka. Teori Piaget
menekankan peran proses kognitif dalam perkembangan
kecerdasan dan menggambarkan tahapan yang dilalui anak-anak
saat mereka tumbuh dan belajar. Piaget mengidentifikasi tahapan
Cognitive Development, yaitu:
a. Sensorimotor stage (infancy)
Pada periode ini (yang terdiri dari 6 tahap), kecerdasan
ditunjukkan melalui aktivitas motorik tanpa menggunakan simbol.
Pengetahuan tentang dunia terbatas (tetapi berkembang) karena
didasarkan pada interaksi/pengalaman fisik. Anak memperoleh
keabadian objek pada usia sekitar 7 bulan (memori).
Perkembangan fisik (mobilitas) memungkinkan anak untuk mulai
mengembangkan kemampuan intelektual yang baru. Beberapa
kemampuan simbolik (bahasa) dikembangkan pada akhir tahap
ini.
b. Pre – operational stage (Toddler and Early Childhood)
Pada periode ini (yang memiliki dua tahap), kecerdasan
ditunjukkan melalui penggunaan simbol, penggunaan bahasa
semakin matang, dan memori serta imajinasi berkembang, tetapi
pemikiran dilakukan dengan cara yang tidak logis dan tidak dapat
dibalik. Pemikiran egosentris mendominasi
c. Concrete operational stage (Toddler and Early Childhood)
Pada tahap ini (ditandai dengan 7 jenis konservasi: jumlah,
panjang, cairan, massa, berat, luas, volume), kecerdasan
ditunjukkan melalui manipulasi simbol yang logis dan sistematis
yang berkaitan dengan objek konkret. Pemikiran operasional
47
berkembang (tindakan mental yang dapat dibalik). Pemikiran
egosentris berkurang
d. Formal operational stage (Adolescence and adulthood)
Pada tahap ini, kecerdasan ditunjukkan melalui penggunaan
simbol-simbol logis yang berkaitan dengan konsep abstrak. Pada
awal periode ini terjadi kembalinya pemikiran egosentris. Hanya
35% lulusan sekolah menengah di negara industri yang
memperoleh pendidikan formal; banyak orang tidak berpikir
secara formal selama masa dewasa.
48
pengetahuannya sendiri. Mereka juga menekankan pada pengaitan
pembelajaran baru dengan pengalaman siswa sebelumnya. Piaget
merekomendasikan pemberian tugas-tugas yang menantang untuk
mengaktifkan proses berpikir yang dapat memfasilitasi pelajar untuk
mencapai keseimbangan melalui proses adaptasi. Dari perspektif
Piaget, meskipun tugas/kegiatan tersebut mungkin menantang,
namun harus sesuai dengan tahap perkembangan siswa, jika tidak,
siswa tidak akan dapat belajar. Oleh karena itu, dari perspektif
kognitif, perkembangan kognitif peserta didik menentukan metode
penilaian dan alat yang akan digunakan untuk menilai kinerja peserta
didik. yang akan digunakan untuk menilai kinerja peserta didik. Jelas,
tidak ada metode penilaian yang tunggal atau seragam dari
perspektif ini. Penilaian tidak bersifat linier dari perspektif ini;
sebaliknya, penilaian merupakan proses yang spiral dan
berkesinambungan. Oleh karena itu, sebagai seorang guru, Anda
harus menanamkan penilaian dalam kegiatan itu sendiri dan
menentukan prosedur penilaian sesuai dengan tahap
perkembangan, pengalaman, dan eksposur peserta didik (Vishal,
dkk: 2018).
Dalam teori perkembangan kognitif, penilaian berperan penting
dalam memahami dan mengukur perkembangan kognitif individu.
Teori perkembangan kognitif yang terkenal dikembangkan oleh Jean
Piaget menekankan pentingnya pemahaman tentang cara anak-
anak berpikir dan memahami dunia di sepanjang tahap-tahap
perkembangan kognitif mereka. Penilaian dalam teori
perkembangan kognitif sering kali bersifat kualitatif daripada
kuantitatif. Fokusnya adalah pada pemahaman anak-anak tentang
konsep dan proses berpikir mereka. Penilaian kualitatif melibatkan
observasi, wawancara, dan analisis interaksi verbal dan non-verbal
untuk memahami cara anak memproses informasi.
49
Jean Piaget juga mengembangkan berbagai tes yang
dirancang untuk menggambarkan perkembangan kognitif anak-anak
di berbagai tahap perkembangan. Tes-tes ini melibatkan tugas-tugas
yang dirancang khusus untuk mengungkap cara berpikir anak dan
kemampuan mereka dalam memahami konsep-konsep tertentu.
Selain mengukur hasil dari pemahaman kognitif, penilaian
perkembangan kognitif juga dapat melibatkan penilaian terhadap
proses berpikir anak. Observasi langsung dan interaksi dengan anak
dapat memberikan wawasan tentang bagaimana mereka
memecahkan masalah, berpikir logis, dan memahami hubungan
sebab-akibat.Teori perkembangan kognitif juga mengakui
pentingnya penilaian diri (self-assessment) dalam memahami
perkembangan kognitif. Anak-anak diajak untuk merefleksikan
pemahaman mereka sendiri dan mengidentifikasi kekuatan dan
kelemahan dalam cara mereka berpikir dan memecahkan masalah.
Selain itu, penilaian perkembangan kognitif juga harus
mempertimbangkan konteks dan lingkungan di mana anak berada.
Konteks sosial, budaya, dan pendidikan dapat mempengaruhi
perkembangan kognitif anak dan perlu dipertimbangkan dalam
penilaian. Penting untuk diingat bahwa penilaian dalam teori
perkembangan kognitif bertujuan untuk memahami dan
menggambarkan cara anak-anak berpikir dan memahami dunia.
Penilaian ini dapat membantu guru dan orang tua dalam merancang
pengalaman belajar yang sesuai dengan tahap perkembangan
kognitif anak serta memberikan bimbingan yang tepat untuk
memfasilitasi perkembangan kognitif optimal.
6. Constructivism Theory
Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan merupakan
hasil konstruksi (bentukan). Dalam buku Science in the Primary
50
School (2008), filosofi konstruktivis mendasari kurikulum dan
menekankan bahwa pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki
anak menjadi dasar untuk pembelajaran selanjutnya. Semua ilmu
pengetahuan Semua kegiatan sains harus dimulai dengan guru
memunculkan ide-ide yang sudah ada pada siswa tentang topik
tersebut. Konstruktivisme adalah 'sebuah pendekatan pembelajaran
yang menyatakan bahwa orang secara aktif membangun atau
membuat pengetahuan mereka sendiri tentang realitas yang ada dan
bahwa realitas ditentukan oleh pengalaman-pengalaman yang
dimiliki oleh pembelajar'. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari
suatu konstruksi kognitif dari kenyataan yang terjadi melalui aktivitas
seseorang (Sumarsih, 2009). Konstruktivisme adalah teori belajar
yang menekankan peran aktif peserta didik dalam membangun
pemahaman mereka sendiri tentang pengetahuan dan dunia di
sekitar mereka. Teori ini menyatakan bahwa belajar adalah proses
membangun makna dan pengetahuan secara aktif melalui interaksi
antara informasi baru dan struktur kognitif yang sudah ada.
Istilah konstruktivisme juga mengacu pada gagasan bahwa
pelajar mengkonstruksi pengetahuan untuk diri mereka sendiri,
setiap pelajar secara individu (dan sosial) mengkonstruksi makna,
ketika mereka belajar (Hein, 1991). Mengkonstruksi makna adalah
belajar; tidak ada yang lain. Konsekuensi dramatis dari pandangan
ini ada dua;
a. kita harus fokus pada pelajar dalam berpikir tentang
pembelajaran (bukan pada mata pelajaran yang akan diajarkan):
b. Tidak ada pengetahuan yang terlepas dari makna yang dikaitkan
dengan pengalaman (yang dikonstruksi) oleh pembelajar, atau
komunitas pembelajar.
51
belajar. Belajar bukanlah memahami "benar" dari segala sesuatu,
juga bukan mengingat yang sempurna, melainkan konstruksi makna
secara pribadi dan sosial dari membingungkan dari berbagai sensasi
yang tidak memiliki urutan atau struktur selain penjelasan (dan saya
tekankan bentuk jamak) yang dibuat. Prinsip-prinsip inti
konstruktivisme meliputi hal-hal berikut:
52
kesempatan kepada peserta didik untuk secara aktif terlibat dalam
kegiatan langsung, menyelidiki masalah yang bermakna, dan
mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi sosial.
Penting untuk dicatat bahwa meskipun konstruktivisme telah
berpengaruh dalam teori dan praktik pendidikan, terdapat variasi dan
interpretasi dalam kerangka kerja konstruktivis. Para ahli dan peneliti
yang berbeda mungkin menekankan aspek atau pendekatan yang
berbeda dalam konstruktivisme. Meskipun demikian, gagasan
menyeluruh tentang siswa yang secara aktif membangun
pengetahuan tetap menjadi fokus utama teori pembelajaran
konstruktivis. Penilaian melalui implementasi teori pembelajaran
konstruktivistik dapat dilakukan dengan mengidentifikasi strategi
kognitif dan melakukan penilaian melalui partisipasi, tugas individu,
dan tugas kelompok.
Penilaian dari perspektif ini harus memberikan umpan balik
tentang bagaimana pembelajaran berlangsung dan bagaimana hal
itu dapat dipastikan di masa depan. Dengan kata lain, penilaian
harus mencerminkan tidak hanya tingkat perkembangan peserta
didik saat ini, tetapi juga tingkat perkembangan potensial. Oleh
karena itu, pendekatan pembelajaran konstruktivis mendorong
budaya penilaian di mana penilaian tertanam dalam keseluruhan
proses belajar-mengajar dan berfokus pada 'penilaian proses
pembelajaran di samping penilaian produknya' (Birenbaum dalam
Segers et al. 2003). Oleh karena itu, berbagai prosedur penilaian
digunakan untuk mengembangkan profil peserta didik melalui alat
penilaian yang otentik dan kontekstual. Peserta didik menjadi
peserta yang terlibat dalam berbagi dan mengembangkan kriteria,
dalam penilaian diri dan penilaian teman sebaya, merefleksikan
pembelajaran mereka sendiri, melacak kinerja mereka sendiri, dan
memanfaatkan umpan balik untuk memperbaiki pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku mereka. Guru memfasilitasi peserta didik
53
untuk mengembangkan strategi pembelajaran dan penilaian. Oleh
karena itu, penilaian bersifat spiral dan formatif, sementara dari
perspektif behavioris, penilaian dianggap sebagai proses linear dan
sumatif. Singkatnya, fokus penilaian, dalam perspektif konstruktivis
konstruktivis telah bergeser dari penilaian pembelajaran ke penilaian
untuk pembelajaran (Vishal, dkk: 2018).
7. Connectivisme Theory
Teori Connectivism adalah sebuah teori pembelajaran yang
dikembangkan oleh George Siemens dan Stephen Downes, yang
menekankan pentingnya jaringan dan koneksi dalam pembelajaran.
Teori ini mengakui perubahan yang disebabkan oleh kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi serta pergeseran ke arah
masyarakat yang terhubung secara digital. Prinsip dan elemen
penting dalam teori Connectivism antara lain:
a. Prinsip-prinsip konektivitas:
b. Pembelajaran dan pengetahuan terletak pada keragaman
pendapat.
c. Pembelajaran merupakan proses menghubungkan simpul-simpul
khusus atau sumber-sumber informasi.
d. Pembelajaran dapat berada pada peralatan non-manusia.
e. Kapasitas untuk mengetahui lebih banyak lebih penting daripada
apa yang saat ini diketahui
f. Memelihara dan menjaga hubungan diperlukan untuk
memfasilitasi pembelajaran yang berkelanjutan.
g. Kemampuan untuk melihat hubungan antar bidang, ide, dan
konsep merupakan keterampilan inti.
h. Pengetahuan yang akurat dan mutakhir adalah tujuan dari semua
pembelajaran konektivis. kegiatan.
i. Pengambilan keputusan itu sendiri merupakan proses
pembelajaran. Memilih apa yang akan dipelajari dan makna dari
54
informasi yang masuk dilihat melalui lensa realitas yang berubah.
Meskipun ada jawaban yang benar saat ini, mungkin saja
jawaban itu salah besok karena perubahan iklim informasi yang
mempengaruhi keputusan (Siemens: 2005)
55
dan memanfaatkan pengetahuan. Penilaian juga dapat melibatkan
evaluasi kemampuan individu untuk berkolaborasi dengan orang lain
dalam jaringan pembelajaran. Penilaian kolaboratif dapat mencakup
evaluasi kontribusi individu dalam proyek bersama, diskusi online,
atau kerja kelompok. Penilaian ini dapat membantu mengidentifikasi
kemampuan individu dalam berbagi pengetahuan, berkomunikasi,
dan bekerja sama secara efektif dalam konteks digital yang
terhubung. Penilaian juga mempertimbangkan konteks di mana
pembelajaran terjadi. Konteks dapat mencakup lingkungan digital,
lingkungan fisik, dan konteks sosial yang melibatkan individu.
Penilaian kontekstual memungkinkan pemahaman yang lebih baik
tentang bagaimana individu dapat mengadaptasi dan memanfaatkan
pengetahuan dalam berbagai situasi dan lingkungan. Teori
Connectivism juga menekankan penilaian proses pembelajaran.
Penilaian ini melibatkan pemantauan dan refleksi terhadap cara
individu memperoleh, mengelola, dan menggunakan informasi
dalam jaringan pembelajaran. Penilaian proses pembelajaran
membantu untuk mengidentifikasi strategi yang efektif, kendala yang
dihadapi, dan perubahan yang mungkin diperlukan dalam
pendekatan pembelajaran individu.
8. Discovery Learning
Moore (2009) menjelaskan bahwa pembelajaran discovery
merupakan sarana bagi siswa untuk secara aktif terlibat dalam
kegiatan pemecahan masalah untuk mengembangkan pengetahuan
dan keterampilan mereka. Pembelajaran discovery learning melatih
siswa untuk berpikir secara ilmiah dan melakukan eksperimen untuk
memecahkan masalah (Kharismawati, dkk: 2020). Oleh karena itu,
siswa dituntut untuk berkomunikasi dengan cermat, baik secara lisan
maupun tulisan. Dalam komunikasi tertulis, siswa tidak boleh
tergesa-gesa menuliskan suatu informasi tanpa melakukan
investigasi lebih dalam untuk mengetahui validitas isi dan ketepatan
56
unsur tata bahasa yang digunakan. Secara keseluruhan, dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran penemuan berfokus pada
pemerolehan dan pemahaman pengetahuan baru secara aktif
dengan memanfaatkan pengetahuan yang sudah ada. Pembelajaran
ini juga terdiri dari tahapan-tahapan yang mencerminkan pendekatan
ilmiah. Selain itu, metode ini tidak hanya mengembangkan
pengetahuan siswa tetapi juga keterampilan mereka melalui
eksperimen.
Selain memahami konsep pembelajaran penemuan, guru juga harus
memahami karakteristiknya. Mengacu pada empat komponen dari
Conklin (2004), berikut ini adalah karakteristik dari pembelajaran
penemuan.
a. Keingintahuan dan Ketidakpastian
Menumbuhkan rasa ingin tahu dan ketidakpastian dalam
mempelajari pengetahuan baru merupakan hal yang penting
dalam pembelajaran penemuan. Keduanya akan melibatkan
siswa untuk dapat berperan aktif dalam proses pembelajaran.
Keterlibatan dan kontribusi siswa dalam kegiatan pembelajaran
dapat memudahkan mereka untuk memahami apa yang mereka
pelajari. Untuk itu, guru harus berperan sebagai fasilitator,
terutama untuk membantu siswa dalam memecahkan masalah
yang dihadapinya.
b. Struktur Pengetahuan
Komponen kedua dalam discovery learning adalah struktur
pengetahuan, yang mengharuskan guru untuk memahami
kemampuan setiap siswa secara peka. Dengan demikian, guru
dapat menyesuaikan materi pembelajarannya agar mudah
dipahami oleh siswa. Bruner (dalam Conklin, 2014) menyarankan
agar guru dapat menyajikan berbagai masalah kepada siswa
melalui penyederhanaan sesuai dengan kemampuan berpikir
siswa, seperti menjelaskan konsep waktu sekarang dalam
57
pembelajaran bahasa asing. Guru dapat menjelaskan topik ini
untuk semua tingkat pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar
hingga universitas. Menyajikan masalah sesuai dengan tingkat
berpikir siswa melalui media yang menarik dan sesuai dengan
tujuan pembelajaran menjadi pilihan yang dapat diambil oleh
guru.
c. Pengurutan
Selain dapat menjelaskan suatu masalah berdasarkan tingkat
berpikir siswa, pembelajaran berpikir siswa, pembelajaran
penemuan menuntut guru untuk dapat menyajikan topik apapun
secara berurutan, mulai dari belajar menggunakan benda-benda
konkret (enaktif), belajar mengamati benda-benda visual (ikonik)
hingga belajar mendeskripsikan sesuatu dengan menggunakan
kata-kata atau simbol (simbolik). Namun, strategi pengurutan ini
harus sesuai dengan gaya belajar masing-masing siswa.
d. Motivasi
Pemberian penghargaan dan umpan balik sangat penting dalam
meningkatkan motivasi siswa. Guru perlu memperhatikan
frekuensi pemberian reward dan umpan balik karena sangat
membantu meningkatkan motivasi belajar siswa dan peran aktif
mereka dalam proses pembelajaran. Pemberian umpan balik
yang tepat dapat bermanfaat bagi siswa karena dapat menjadi
masukan bagi mereka untuk menyelesaikan menyelesaikan
suatu masalah.
58
menegaskan bahwa peran guru adalah menyediakan kondisi belajar
yang memungkinkan siswa mengidentifikasi ketidakpastian,
kemudian membimbing dan membantu siswa menemukan
hubungan antara apa yang telah mereka ketahui dengan
pengetahuan yang baru. Berdasarkan peran guru di sini,
pembelajaran penemuan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu
penemuan terbimbing, penemuan yang dimodifikasi, dan penemuan
terbuka (Moore, 2009). Setelah memahami ketiga karakteristik dari
pembelajaran penemuan, guru diharapkan dapat mengambil peran
dengan benar, dan menerapkan model pembelajaran dengan tepat.
Tahapan-tahapan tersebut berkaitan erat dengan tahapan dalam
pendekatan saintifik, antara lain merumuskan masalah, merumuskan
hipotesis, menguji hipotesis dengan melakukan percobaan,
menganalisis data, menarik kesimpulan, dan mempresentasikan
hasil percobaan. Oleh karena itu, pelaksanaan discovery learning
tidak dapat dipisahkan dari pendekatan saintifik. Moore (2009)
mendefinisikan bahwa discovery learning adalah pembelajaran yang
sengaja dilakukan dengan membimbing pemecahan masalah dan
menggunakan metode inkuiri ilmiah. Tahapan-tahapan tersebut
dijelaskan secara lebih rinci dalam bagan berikut
59
memecahkan masalah secara mandiri. Dalam discovery learning,
penilaian formatif dilakukan secara berkelanjutan selama proses
pembelajaran. Guru memberikan umpan balik kepada siswa
mengenai kemajuan mereka dalam menemukan dan memahami
konsep baru. Penilaian formatif dapat berupa diskusi kelas, tanya
jawab, atau penugasan yang menuntut siswa untuk berpikir kritis dan
mengaplikasikan pengetahuan yang ditemukan. Penilaian proyek
melibatkan siswa dalam proyek nyata yang mendorong mereka
untuk menggali pengetahuan secara mandiri. Siswa dapat diminta
untuk menyelesaikan tugas berbasis masalah, penyelidikan ilmiah,
atau proyek kreatif yang melibatkan pemecahan masalah dan
penerapan konsep yang dipelajari.
Selain itu, penilaian melalui portofolio memungkinkan siswa
untuk mengumpulkan dan menyimpan contoh pekerjaan terbaik
mereka selama proses pembelajaran. Portofolio dapat berupa
catatan eksplorasi, laporan eksperimen, atau produk kreatif yang
dihasilkan oleh siswa. Penilaian portofolio memberikan gambaran
komprehensif tentang kemampuan siswa dalam menemukan dan
memahami konsep baru. Ditambah lagi dengan penilaian peer
melibatkan siswa dalam memberikan umpan balik dan menilai
pekerjaan satu sama lain. Melalui penilaian peer, siswa dapat belajar
melalui proses memberikan dan menerima umpan balik, serta
mengembangkan kemampuan evaluasi diri. Hal ini dapat dilakukan
melalui diskusi kelompok, penilaian berpasangan, atau penilaian
dengan menggunakan rubrik yang telah disepakati bersama.
Kemudian terdapat penilaian ulang, yang dilakukan setelah siswa
menyelesaikan suatu tugas atau proyek. Tujuan dari penilaian ulang
adalah untuk membantu siswa merefleksikan proses pembelajaran
mereka dan memperbaiki pemahaman mereka. Siswa dapat diminta
untuk meninjau kembali pekerjaan mereka sendiri, mengidentifikasi
kesalahan atau kekurangan, dan merumuskan strategi perbaikan di
60
masa depan. Penting untuk dicatat bahwa dalam discovery learning,
penilaian bukan hanya bertujuan untuk memberikan nilai, tetapi juga
untuk memfasilitasi pembelajaran siswa. Penilaian harus dirancang
sedemikian rupa sehingga siswa dapat mengembangkan
kemampuan berpikir kritis, keterampilan penemuan, dan
pemahaman konsep yang mendalam.
9. PBL
Problem-Based Learning (PBL) adalah suatu metode
pembelajaran yang menekankan pembelajaran berpusat pada siswa
dengan memberikan siswa sebuah masalah atau tantangan yang
kompleks sebagai titik awal pembelajaran. Dalam metode ini, siswa
berperan aktif dalam mengidentifikasi masalah, mengumpulkan
informasi yang relevan, menganalisis, dan mencari solusi untuk
masalah tersebut. PBL melibatkan kolaborasi antara siswa,
pemecahan masalah, dan refleksi atas proses pembelajaran. PBL
didasarkan pada prinsip bahwa pembelajaran yang bermakna terjadi
ketika siswa terlibat secara aktif dalam konstruksi pengetahuan dan
pemahaman mereka sendiri. Dalam PBL, siswa belajar melalui
pengalaman langsung dalam mengatasi masalah dunia nyata, yang
memungkinkan mereka untuk mengembangkan keterampilan
berpikir kritis, kemampuan kolaborasi, dan kemandirian dalam
pembelajaran. Tujuan utama dari pembelajaran aktif dalam PBL
dapat disederhanakan sebagai penilaian siswa dalam hal berpikir
kritis, motivasi tinggi, pemecahan masalah, pengarahan diri sendiri,
reflektif diri, dan kemampuan pengambilan keputusan yang tinggi
(Mohd, dkk: 2015). Untuk mencapai tujuan ini, sangat penting untuk
mengevaluasi dan mengembangkan program PBL (Sahin, 2007).
Penting untuk dicatat bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi
praktik PBL, yaitu sumber daya, jaminan kualitas, faktor mahasiswa,
dan konsepsi pengajaran anggota fakultas (Lai & Tang, 2000). Hasil
61
penelitian (Savery & Duffy: 2001) menunjukkan bahwa pendidikan
Matematika adalah disiplin ilmu yang paling banyak menggunakan
PBL dalam proses belajar mengajar. Pada umumnya, 95% dari
penggunanya percaya bahwa PBL memiliki dampak positif terhadap
pendidikan dan dapat digunakan sebagai metode alternatif di setiap
tingkat pendidikan. Dalam PBL, penilaian dilakukan dengan fokus
pada kemampuan siswa dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan
memecahkan masalah yang kompleks. Tujuan utama penilaian
dalam PBL adalah untuk mengukur pemahaman konsep,
keterampilan berpikir kritis, kolaborasi, dan kemampuan pemecahan
masalah siswa.
Penilaian formatif dilakukan secara berkelanjutan selama
proses pembelajaran. Guru memberikan umpan balik kepada siswa
mengenai pemahaman mereka terhadap masalah, langkah-langkah
yang diambil dalam pemecahan masalah, dan strategi yang
digunakan. Penilaian formatif dapat dilakukan melalui diskusi kelas,
tanya jawab, penugasan individu atau kelompok, dan refleksi tertulis.
Tujuan dari penilaian formatif adalah untuk membantu siswa
memperbaiki pemahaman mereka dan mengembangkan
keterampilan pemecahan masalah. Siswa dapat diminta untuk
mempresentasikan hasil pemecahan masalah mereka kepada kelas
atau kelompok dalam bentuk presentasi atau diskusi. Penilaian
dalam presentasi atau diskusi kelompok dapat mencakup
kemampuan siswa dalam menjelaskan masalah, menganalisis
informasi, merumuskan solusi, dan mendukung argumen mereka
dengan bukti yang relevan. Penilaian juga dapat melibatkan
kemampuan mereka dalam berkolaborasi dan berkomunikasi dalam
kelompok. Meskipun beberapa literatur menunjukkan bahwa
penilaian berbasis siswa berguna dan sesuai untuk mengevaluasi
keterampilan dalam PBL, siswa dan guru memiliki persepsi yang
berbeda, yang mengarah ke sudut pandang yang berbeda dalam
62
penilaian. Selain itu, korelasi antara antara nilai penilaian siswa (diri
sendiri dan teman sebaya) dan penilaian guru tidak meyakinkan.
Penelitian Alias, dkk (2015) telah mengidentifikasi perbedaan dan
persamaan antara penilaian diri, penilaian teman sebaya, dan
penilaian guru.
Selanjutnya, penilaian produk dilakukan terhadap hasil akhir
yang dihasilkan oleh siswa dalam pemecahan masalah. Produk ini
dapat berupa laporan, presentasi visual, model fisik, atau solusi yang
diterapkan dalam konteks nyata. Penilaian produk melibatkan
evaluasi terhadap kualitas dan keefektifan solusi yang diusulkan,
serta sejauh mana solusi tersebut memenuhi kriteria yang ditetapkan
dalam pemecahan masalah. Penilaian produk juga dapat mencakup
kemampuan siswa dalam merumuskan argumen yang logis dan
mendukung dengan bukti. Penilaian peer melibatkan siswa dalam
memberikan umpan balik dan menilai pemecahan masalah yang
diajukan oleh teman sebaya mereka. Dalam penilaian peer, siswa
dapat menggunakan rubrik penilaian yang telah ditetapkan atau
menggunakan pedoman evaluasi yang telah disepakati bersama.
Penilaian peer dapat membantu siswa untuk mengembangkan
keterampilan evaluasi diri, belajar dari perspektif dan pendekatan
yang berbeda, serta melibatkan mereka dalam proses penilaian yang
lebih holistik. Penilaian evaluatif dilakukan pada akhir suatu periode
pembelajaran atau proyek berbasis masalah. Penilaian ini bertujuan
untuk mengukur pemahaman konsep dan keterampilan yang telah
dikembangkan oleh siswa selama proses pembelajaran. Penilaian
evaluatif dapat berupa ujian tertulis, tugas akhir, atau proyek akhir
yang melibatkan penerapan konsep dan pemecahan masalah yang
kompleks. Penting untuk mencatat bahwa penilaian dalam problem-
based learning tidak hanya berfokus pada jawaban yang benar atau
salah, tetapi juga pada proses berpikir dan pemecahan masalah
siswa. Guru juga dapat melibatkan siswa dalam merefleksikan
63
proses pembelajaran mereka, mengidentifikasi strategi yang efektif
dan perbaikan yang mungkin, serta merumuskan langkah-langkah
untuk pengembangan diri di masa depan.
10. PjBL
Project Based Learning atau PjBL adalah pendekatan
instruksional yang dibangun di atas aktivitas pembelajaran dan
tugas-tugas nyata yang memberikan tantangan bagi siswa untuk
diselesaikan (Stivers, 2010). Kegiatan-kegiatan ini umumnya
mencerminkan jenis pembelajaran dan pekerjaan yang dilakukan
orang di dunia sehari-hari di luar kelas. PjBL umumnya dilakukan
oleh kelompok siswa yang bekerja sama untuk mencapai tujuan
bersama. PjBL tidak hanya mengajarkan siswa tentang materi
pelajaran, namun juga keterampilan penting yang harus dimiliki
siswa agar dapat berfungsi layaknya orang dewasa di masyarakat.
Keterampilan ini termasuk keterampilan komunikasi dan presentasi,
keterampilan organisasi dan manajemen waktu, keterampilan
penelitian dan penyelidikan, keterampilan penilaian diri dan refleksi,
partisipasi kelompok dan keterampilan kepemimpinan, dan berpikir
kritis. Kinerja dinilai secara individual, dan mempertimbangkan
kualitas produk yang dihasilkan, kedalaman pemahaman konten
yang ditunjukkan, dan kontribusi yang diberikan pada proses
realisasi proyek yang sedang berlangsung. PBL memungkinkan
siswa untuk merefleksikan ide dan pendapat mereka sendiri, dan
membuat keputusan yang mempengaruhi hasil proyek dan proses
pembelajaran secara umum. Produk akhir yang dihasilkan adalah
produk dan presentasi yang berkualitas tinggi dan otentik. Terlepas
dari potensi manfaatnya, proyek dapat menimbulkan beberapa
kekhawatiran bagi siswa. Proyek sering kali membutuhkan upaya
yang terkonsentrasi dalam jangka waktu yang lama; hal ini dapat
menjadi pengalaman yang menantang bagi sebagian orang.
64
Kekhawatiran siswa lainnya termasuk mengatur waktu dan materi,
bekerja secara mandiri, dan bekerja sama dengan orang lain. Para
guru mungkin juga memiliki kekhawatiran tentang pembelajaran
berbasis proyek. Karena proyek sering kali melibatkan pembelajaran
mandiri dan tanpa pengawasan, kontribusi individu dalam upaya
kelompok mungkin sulit untuk dinilai dengan metode tradisional
(Fleming, 2000).
Dalam PjBL, penilaian difokuskan pada pemahaman siswa
terhadap materi pembelajaran serta kemampuan mereka dalam
menerapkan pengetahuan dan keterampilan tersebut dalam konteks
proyek nyata. Rubrik penilaian adalah alat yang digunakan untuk
menggambarkan kriteria penilaian dan tingkat pencapaian yang
diharapkan untuk setiap aspek proyek. Rubrik ini membantu
memastikan bahwa penilaian dilakukan secara konsisten dan
obyektif. Rubrik penilaian dapat mencakup berbagai aspek, seperti
penyelesaian tugas, kolaborasi tim, pemecahan masalah, kreativitas,
komunikasi, dan presentasi. Dengan rubrik penilaian, siswa dan guru
memiliki panduan yang jelas tentang apa yang diharapkan dalam
proyek dan bagaimana penilaian akan dilakukan. Penilaian formatif
dilakukan selama proses pembelajaran untuk memberikan umpan
balik kepada siswa tentang kemajuan mereka dalam proyek. Guru
dapat memberikan umpan balik tertulis atau lisan, melakukan diskusi
kelompok, atau melakukan pertemuan individu dengan siswa untuk
membantu mereka mengatasi tantangan dan mengembangkan
pemahaman yang lebih baik. Penilaian formatif membantu siswa
untuk memperbaiki kualitas proyek mereka sepanjang waktu.
Sebagian besar proyek dalam PjBL melibatkan presentasi atau
pameran proyek di depan kelas atau publik. Presentasi ini
memberikan kesempatan bagi siswa untuk memperlihatkan hasil
kerja mereka, menjelaskan proses yang mereka lalui, dan menjawab
pertanyaan dari audiens. Penilaian dalam presentasi proyek dapat
65
mencakup kemampuan berbicara di depan umum, kemampuan
menyampaikan ide dengan jelas, penggunaan media atau alat bantu
visual, dan kemampuan menjawab pertanyaan dengan baik.
Penilaian dilakukan terhadap produk atau hasil akhir dari proyek
yang telah diselesaikan oleh siswa. Evaluasi ini melihat sejauh mana
produk memenuhi kriteria yang telah ditetapkan, kualitas pekerjaan,
tingkat kreativitas, dan kemampuan siswa dalam menerapkan
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan. Evaluasi produk
proyek dapat melibatkan guru sebagai penilai tunggal atau
melibatkan siswa, tim, atau profesional dari luar sebagai penilai.
Penilaian peer melibatkan siswa dalam memberikan umpan balik
dan menilai proyek satu sama lain. Dalam penilaian peer, siswa
dapat menggunakan rubrik penilaian yang telah ditetapkan atau
menggunakan pedoman evaluasi yang telah disepakati bersama.
Penilaian peer dapat membantu siswa untuk mengembangkan
keterampilan evaluasi diri, belajar dari contoh-contoh terbaik dari
teman sebaya, dan melibatkan mereka dalam proses penilaian yang
lebih holistik. Penting untuk dicatat bahwa penilaian dalam project-
based learning tidak hanya berfokus pada hasil akhir, tetapi juga
pada proses pembelajaran yang terlibat dalam proyek. Guru juga
dapat melibatkan siswa dalam merefleksikan proses pembelajaran
mereka, mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan, serta
merumuskan strategi perbaikan di masa depan.
66
peserta didik mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri dan
melakukan hal ini dengan mengorganisasi dan mengkategorikan
informasi menggunakan sistem pengkodean. Sejak tahap awal
karirnya, Bruner telah tertarik pada gagasan tentang budaya;
bagaimana budaya membentuk pikiran. Bahkan, dia
ketidakpuasannya terhadap ketidakmampuan teori-teori psikologi
yang ada untuk menangani dengan cara budaya membentuk pikiran
manusia memotivasi dia untuk penelitian tentang pikiran manusia
yang tidak hanya melibatkan psikologi tetapi juga filsafat,
antropologi, linguistik, dan sebagainya. Dia menulis, "meskipun
sudah jelas jelas untuk mengatakan bahwa anak dilahirkan dalam
sebuah budaya dan dibentuk olehnya, namun tidak jelas bagaimana
teori psikologi perkembangan kognitif berhubungan dengan fakta ini
dengan fakta ini" (Takaya: 2008).
Menurut Bruner, interaksi sosial dan bahasa membantu
anak-anak membangun makna dari pengalaman mereka dan
mengembangkan cara berpikir yang lebih kompleks. Bruner
mengidentifikasi tiga tahap representasi kognitif: enaktif, ikonik, dan
simbolik. Representasi enaktif berbasis tindakan, representasi ikonik
berbasis gambar, dan representasi simbolik berbasis bahasa. Bruner
percaya bahwa tujuan pendidikan bukanlah untuk menanamkan
pengetahuan, melainkan untuk memfasilitasi kemampuan berpikir
dan pemecahan masalah anak yang kemudian dapat ditransfer ke
berbagai situasi. Dia juga menganjurkan pengajaran dengan
mengorganisasikan konsep dan belajar melalui penemuan. Teori
Bruner menekankan pentingnya interaksi sosial dan bahasa dalam
perkembangan kognitif. Dia percaya bahwa orang yang lebih
berpengetahuan memainkan peran utama dalam perkembangan
kognitif seorang pelajar dan Anda dapat mempercepat proses
pembelajaran. Karya Bruner telah mengalihkan fokus dari
pendekatan behavioris tradisional ke sudut pandang "berpikir
67
tentang memori" yang lebih komprehensif, yang menekankan
pentingnya memori semantik dan pengambilan memori dalam
proses pembelajaran. Singkatnya, teori perkembangan kognitif
Bruner menekankan pentingnya peserta didik secara aktif
membangun pengetahuan mereka sendiri melalui interaksi sosial
dan bahasa. Dia mengidentifikasi tiga tahap representasi kognitif dan
percaya bahwa pendidikan harus memfasilitasi kemampuan berpikir
dan pemecahan masalah anak.
12. SAINTIFIC
Pendekatan saintifik adalah model pembelajaran yang
diterapkan pada kurikulum 2013 dengan menggunakan metode
ilmiah dalam kegiatan pembelajarannya. Dalam model ini, siswa
diberikan ruang untuk bereksplorasi terhadap materi pembelajaran
dan secara aktif dapat membangun konsep, prinsip serta hukum
dengan melalui kegiatan 5M, yaitu mengamati, menanya,
mengajukan (hipotesis), menghimpun data dengan beberapa cara
dan teknik, menganalisa, serta membuat kesimpulan dan
mengomunikasikan konsep atau prinsip yang telah ditemukan.
Tujuan Pembelajaran dengan Saintifik adalah: a. Mendorong anak
agar memiliki kemampuan berpikir kritis, analitis, dan memiliki
kemampuan memecahkan masalah. b. Memberikan pengalaman
belajar yang lebih bermakna kepada anak dengan mendorong anak
melakukan kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan
informasi, menalar/mengasosiasi dan mengkomunikasikan c.
Mendorong anak mencari tahu dari berbagai sumber melalui
observasi dan bukan hanya diberi tau (Donatirin, dkk: 2017).
Langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan saintifik
meliputi mengamati, menanya, mengajukan hipotesis,
mengumpulkan data, menganalisis data, menarik kesimpulan, dan
mengkomunikasikan hasilnya. Penilaian dalam pendekatan saintifik,
68
yang sering kali digunakan dalam metode ilmiah, adalah proses yang
penting untuk mengukur, mengamati, dan memahami data dan hasil
dari eksperimen atau penelitian. Penilaian ini membantu dalam
pengembangan pemahaman ilmiah yang akurat dan dapat
diandalkan.
69
1. Kognisi situasional - semua pembelajaran adalah pengetahuan
terapan
2. Kognisi sosial - konstruksi intrapersonal
3. Kognisi terdistribusi - konstruk yang secara terus-menerus
dibentuk oleh orang lain dan hal-hal di luar individu
70
Learning, Multiple Intelligences, Neuro-Linguistic Programming,
Experiential Learning, Socratic Inquiry, dan Cooperative Learning.
Prinsip utama Quantum Learning adalah menciptakan suasana
belajar yang nyaman dan menyenangkan, mempertajam
pemahaman dan daya ingat, serta menjadikan belajar sebagai
proses yang menyenangkan dan bermanfaat (Mahananingtyas,
2016). Model Quantum Learning terdiri dari enam komponen
pembelajaran, yaitu tumbuhkan, alami, namai, demonstrasikan,
libatkan, dan rayakan. Model ini menekankan pentingnya interaksi
yang berkualitas dan bermakna antara guru dan siswa, serta
bertujuan untuk mempercepat pembelajaran dengan tingkat
keberhasilan yang tinggi.
Quantum Learning diharapkan dapat meningkatkan efikasi diri
dan hasil belajar siswa. Model ini dapat membantu siswa untuk lebih
termotivasi dan terlibat dalam proses pembelajaran, dan juga dapat
membantu guru untuk membimbing dan mengelola proses
pembelajaran secara efektif. Kelebihan Quantum Learning antara
lain fokusnya pada pembelajaran yang alamiah, interaksi yang
berkualitas, dan tingkat keberhasilan yang tinggi, sedangkan
kekurangannya antara lain membutuhkan guru yang terampil dan
potensi terjadinya stimulasi yang berlebihan. Quantum Learning
mengasumsikan bahwa siswa, jika mampu menggunakan potensi
nalar dan emosinya secara jitu, akan mampu membuat loncatan
prestasi yang tidak bisa terduga sebelumnya. Dengan metode
belajar yang tepat, siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat
ganda. Salah satu konsep dasar dari metode ini adalah bahwa
belajar itu harus mengasyikkan dan berlangsung dalam suasana
gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih lebar
dan terekam dengan baik (Haryanto, 2020).
Sintaks dalam penerapan model pembelajaran Quantum Learning
terdiri dari enam tahap, yaitu:
71
1. Tumbuhkan: Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa dengan
memberikan pemahaman tentang apa yang akan dipelajari.
2. Alami: Siswa diberikan kesempatan untuk mengalami dan
merasakan materi yang dipelajari melalui pengalaman langsung,
simulasi, atau permainan.
3. Namai: Guru memberikan nama atau label pada konsep atau
materi yang dipelajari agar mudah diingat dan dipahami oleh
siswa.
4. Demonstrasikan: Guru menunjukkan contoh atau demonstrasi
mengenai materi yang dipelajari agar siswa dapat memahami
dengan lebih baik.
5. Ulangi: Siswa diberikan kesempatan untuk mengulang dan
memperdalam pemahaman mereka mengenai materi yang
dipelajari melalui latihan atau diskusi.
6. Rayakan: Jika layak untuk dipelajari, maka layak juga untuk
dirayakan. Guru dan siswa merayakan keberhasilan dan
pencapaian yang telah dicapai dalam proses pembelajaran.
(Martini, dkk: 2014; Sultan & Hajerina: 2020)
72
V. PENILAIAN KONSTRUKTIF (dari umum menuju Bidang Ilmu
Pendidikan Administrasi Perkantoran)
Penilaian konstruktif juga dikenal sebagai penilaian formatif atau
penilaian berkelanjutan, adalah pendekatan dalam penilaian
pendidikan yang sejalan dengan prinsip-prinsip konstruktivisme.
Penilaian konstruktif bertujuan untuk memahami dan mendukung
perkembangan siswa dalam membangun pengetahuan, pemahaman,
dan keterampilan mereka melalui interaksi aktif dengan materi
pembelajaran. Beberapa ciri dan prinsip penilaian konstruktif yaitu (a)
fokus pada proses pembelajaran, tujuannya adalah untuk melacak
kemajuan siswa dari waktu ke waktu dan memahami bagaimana
mereka membangun pengetahuan dan pemahaman mereka; (b)
Penggunaan Beragam Alat dan Bentuk Penilaian. Penilaian konstruktif
melibatkan penggunaan beragam alat dan bentuk penilaian, termasuk
tugas proyek, presentasi, diskusi, portofolio, atau penilaian sejawat. Ini
memungkinkan siswa untuk menunjukkan pemahaman mereka dalam
konteks yang bervariasi dan relevan; (c) Pemberian Umpan Balik yang
Konstruktif. Umpan balik ini didesain untuk membantu siswa memahami
kekuatan mereka, area yang perlu diperbaiki, dan langkah-langkah
yang dapat diambil untuk meningkatkan pembelajaran mereka; (d)
Melibatkan Siswa dalam Proses Penilaian. Misalnya, siswa dapat
berpartisipasi dalam merancang rubrik penilaian, merefleksikan
kemajuan mereka sendiri, atau berpartisipasi dalam penilaian sejawat.
Ini membantu siswa memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang
tujuan pembelajaran dan kriteria penilaian; (e) Menghargai
Keanekaragaman dan Konteks Siswa.Hal ini berarti mengakui bahwa
siswa dapat memiliki berbagai cara dan tingkat pemahaman yang
berbeda serta menghargai latar belakang budaya, bahasa, dan
pengalaman siswa; (f) Mendorong Refleksi dan Metakognisi. Siswa
didorong untuk memikirkan cara mereka belajar, strategi yang mereka
gunakan, dan langkah-langkah yang mereka ambil untuk memperbaiki
73
pemahaman mereka. Dengan mengadopsi penilaian konstruktif,
pendidik dapat memperkuat siklus pembelajaran yang berkelanjutan,
memberikan umpan balik yang bermanfaat, dan membantu siswa
dalam membangun pengetahuan dan pemahaman mereka secara aktif.
Asesmen konstruktivistik dalam bidang administrasi pendidikan
merupakan aspek penting dalam evaluasi hasil belajar peserta didik.
Dalam konteks Pendidikan Administrasi Perkantoran, penilaian hasil
belajar dilakukan dengan menggunakan teknik dan instrumen yang
tepat untuk memperoleh hasil yang valid dan reliabel. Penilaian
dilakukan untuk mengukur ranah sikap, pengetahuan, dan
keterampilan, dan berbagai instrumen penilaian digunakan tergantung
pada tujuan penilaian.
Proses penilaian harus melibatkan analisis hasil belajar secara
terstruktur, termasuk menetapkan tujuan penilaian, mengembangkan
kisi-kisi penilaian, membuat instrumen penilaian dan pedoman
penskoran, menganalisis kualitas instrumen, melaksanakan penilaian,
mengolah, menganalisis, dan menginterpretasikan hasil penilaian,
serta melaporkan hasil penilaian.
Implikasi filosofis dari konstruktivisme dalam pembelajaran
administrasi perkantoran melibatkan pandangan tentang sifat
pengetahuan administrasi perkantoran, peran siswa sebagai
pembangun pengetahuan, dan proses pembelajaran yang efektif.
Berikut adalah beberapa implikasi filosofis yang terkait dengan
konstruktivisme dalam pembelajaran administrasi perkantoran:
a. Konstruksi Pengetahuan: Konstruktivisme menekankan bahwa
pengetahuan tidak hanya diterima secara pasif, tetapi juga
dibangun oleh individu melalui proses interaksi dengan lingkungan
dan pengalaman mereka. Dalam konteks pembelajaran
administrasi perkantoran, ini berarti bahwa siswa harus aktif terlibat
dalam membangun pengetahuan administrasi perkantoran mereka
sendiri melalui eksplorasi, refleksi, dan pemecahan masalah.
74
b. Peran Aktif Siswa: Konstruktivisme menekankan peran aktif siswa
dalam pembelajaran. Siswa dianggap sebagai pembangun
pengetahuan, bukan hanya penerima informasi. Mereka diminta
untuk berpartisipasi secara aktif dalam eksplorasi administrasi
perkantoran, berbagi ide, berdiskusi, dan berkolaborasi dengan
rekan mereka. Ini mendorong siswa untuk terlibat secara mendalam
dengan konsep administrasi perkantoran dan membangun
pemahaman yang berarti.
c. Konteks Sosial: Konstruktivisme mengakui pentingnya konteks
sosial dalam pembelajaran. Siswa dianggap sebagai anggota
komunitas pembelajaran yang saling berinteraksi dan saling
mendukung. Dalam konteks pembelajaran administrasi
perkantoran, ini dapat melibatkan kolaborasi dalam kelompok,
diskusi kelas, dan berbagi pemikiran dengan rekan sejawat.
Interaksi sosial ini dianggap penting dalam membangun
pemahaman yang lebih dalam dan memperluas pandangan
konseptual siswa.
d. Pemecahan Masalah Kontekstual: Konstruktivisme mendorong
pemecahan masalah kontekstual dalam pembelajaran administrasi
perkantoran. Siswa diajak untuk mengaitkan konsep administrasi
perkantoran dengan situasi atau masalah nyata, sehingga mereka
dapat melihat relevansi dan penggunaan praktis matematika dalam
kehidupan sehari-hari. Ini membantu siswa untuk memahami
matematika sebagai alat yang berguna dalam memecahkan
masalah dunia nyata.
e. Refleksi dan Metakognisi: Konstruktivisme mendorong siswa untuk
menjadi reflektif dan memiliki pemahaman metakognitif tentang
proses pembelajaran mereka. Mereka didorong untuk
mempertimbangkan pemikiran mereka sendiri, strategi yang
digunakan, dan pemahaman mereka saat bekerja dengan konsep
administrasi perkantoran. Ini membantu siswa mengembangkan
75
kesadaran diri tentang cara mereka belajar dan membangun
pengetahuan administrasi perkantoran.
Selain itu, mahasiswa juga diberi tugas untuk mereview video dan
buku. Hal ini juga bertujuan untuk membangun pikirannya sendiri
melalui pendekatan konstruktivis. Tujuan penggunaan teori ini adalah
untuk membantu mahasiswa dalam memahami isi dari materi
pembelajaran, mengasah kemampuan mahasiswa untuk selalu
bertanya dan mencari solusi atas pertanyaannya, meningkatkan
76
pemahaman mahasiswa terhadap suatu konsep secara komprehensif,
dan mendorong peserta didik untuk menjadi pemikir aktif.
77
Daftar Pustaka
Agra G, Formiga NS, Oliveira PS, Costa MML, Fernandes MGM, Nóbrega
MML. Analysis of the concept of Meaningful Learning in light of the
Ausubel’s Theory. Rev Bras Enferm [Internet]. 2019;72(1):248-55.
DOI: http://dx.doi.org/10.1590/0034-7167-2017-0691
Alias, M., Masek, A., Saleh, H.H.M. (2015). Self, Peer and Teacher
Assessments in Problem Based Learning: Are They in
Agreements?, 4th World Congress on Technical and Vocational
Education and Training (WoCTVET), 5th–6th November 2014,
Malaysia
Aliyu, A.A., Singhry, I.M., Adamu, H., Abubakar, M.M. (2015). Ontology,
Epistemology And Axiology In Quantitative Andqualitative
Research: Elucidation Of The Researchphilophical Misconception,
Proceedings Of The Academic Conference: Mediterranean
Publications & Research International On Newdirection And
Uncommon, Vol. 2 No. 1. 22nd December, 2015- University Of
Agric, Abekuta, Abekuta, Ogunstate, Nigeria. Available From:
Https://Www.Researchgate.Net/Publication/318721927_ONTOLO
GY_EPISTEMOLOGY_AND_AXIOLOGY_IN_QUANTITATIVE_A
ND_QUALITATIVE_RESEARCH_ELUCIDATION_OF_THE_RES
EARCH_PHILOSOPHICAL_MISCONCEPTION#Fulltextfilecontent
[Accessed Nov 04 2023].
Bahrun. (2013). Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Sulesana, Volume 8
Nomor 2, 35 – 45
Banawi, A. 2019. Implementasi Pendekatan Saintifik Pada Sintaks
Discovery/Inquiry Learning, Based Learning, Project Based
Learning, Jurnal Biology Science & Education
Bandura, Albert. (1991). Social cognitive theory of self-regulation. , 50(2),
248–287. doi:10.1016/0749-5978(91)90022-l
Birenbaum, M. (2003). New Insights into Learning and Teaching and Their
Implications for Assessment. In Segers, M., Dochy, F. & Cascallar,
E. (eds). Optimising New Modes of Assessment: In Search of
Qualities and Standards, Kluwer Academic Publishers, Dordrecht
Blackburn, Simon. (2008). The Oxford of Philosophy. Oxford University
Press. Bungin
78
Christopher Hodgltinson. 1978. Towards a Philosophy of Adailliatration.
Oxford: Basil Blackwell p. 244
Conklin, W. (2004). Applying differentiation strategies. California: Shell
education.
Crotty, M. (2003): The Foundations of Social Research: Meaning and
Perspectives in the Research Process, London: Sage Publications,
3rd edition, 10
Davydov, V.V. (1982). The psychological structure and content of learning
activity in schoolchildren. In R. Glaser & J. Lompscher (eds.)
Cognitive and motivational aspects of instruction, 37-44. Berlin:
Deutscher Verlag der Wissenschaften
Donatirin, S., Hananta, B., Mahmudin. 2017. PANDUAN Pembelajaran
Yang Menyenangkan Melalui Saintifik Pada Anak Usia 3-4 Tahun,
Kementerian Pendidikan dan kebudayaan Balai Pengembangan
Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (BP PAUD
dan DIKMAS) DIY 2017
Engeström, Y. (1981). Mielekäs oppiminen ja opetus (Meaningful learning
and teaching) Valtion koulutuskeskus, julkaisusarja B 17. Helsinki:
VAPK
Ernest, P. (1989). The impact of beliefs on the teaching of mathematics.
Mathematics teaching: state of the art.
Fleming, S.D. (2000). A Teacher's Guide to Project-Based Learning.
Charleston: AEL project
79
Hasan, K dan Pananrangi, A. M. 2019. Memahami Kebenaran Dalam
Perspektif Filsafat Administrasi, Meraja Journal, Vol. 2, No. 1,, 57 –
68
Heidegger, М. 2007. “The Main Concepts of Metaphysics // What is
Metaphysics? / М. Heidegger”. М: Academic Project,p.303.
Heidegger, М. 2007. “What Is Called ought?”М: Academic Project, p.351
Hein, G.E. (1991). Constructivist Learning Theory, The Museum and the
Needs of People CECA (International Committee of Museum
Educators) Conference Jerusalem Israel, 15-22 October 1991
Herpratiwi. 2016. Teori Belajar dan Pembelajaran. Lampung: Media
Akademi
Hota, NR. T (1984). Towards a Philosophy of Administration. Indian Journal
of Public Administration, 30(2), 461–475.
doi:10.1177/0019556119840212
Inayati, Wandarita, R., Ayuningtyas, P. (2023). PENDIDIKAN DALAM
TINJAUAN FILOSOFIS (ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN
AKSIOLOGI), JURNAL PENDIDIKAN INDONESIA: Teori,
Penelitian dan Inovasi
https://jurnal.penerbitwidina.com/index.php/JPI/index ISSN
(Online): 2807-3878, DOI: 10.59818/JPI
doi.org/10.59818/jpi.v3i3.559, Vol. 3, No. 3.
Inspectorate Evaluation Studies. (2008). Science in the Primary School,
Evaluation Support and Research Unit Inspectorate Department of
Education and Skills Marlborough Street
Keliat, N.R., Susilo, H., Hastati, U.S., Ibrohim. (2020). Kajian Teori-Teori
Belajar Berdasarkan Sintaks Model Pembelajaran PQDiS-CSR
Serta Validasi Model Pembelajaran Model PQDiS-CS: Suatu
Penelitian Pendahuluan Pengembangan Model Pembelajaran
PQDiS-CSR untuk Meningkatkan Keterampilan Metakognitif, 103 –
114
80
Kondratiev, Konstantin Vladimirovich; Saykina, Guzel Kabirovna. 2020.
Philosophy and its Relations to Science and Humanities Utopía y
Praxis Latinoamericana, vol. 25, no. Esp.12, 2020
Lai, P., & Tang, C. (2000). Obstacles to the Practices of Problem-Based
Learning (PBL) in Local Universities of Hong Kong.
Lloyd Morey (1939). A Philosophy of Business Administration. The Journal
of Higher Education, 10(2), 68–74. doi:10.2307/1974719
Mahananingtyas, E. (2016). Metode Quantum Learning Untuk
Meningkatkan Efikasi Diri Dan Hasil Belajar Ips Siswa Kelas V
Sekolah Dasar, VOL 4 NO 1 (2016): PEDAGOGIKA: JURNAL
PEDAGOGIK DAN DINAMIKA PENDIDIKAN
Marshall E. Dikoclt. 1958. A Philosophy of Adainiatration: Towards Creative
Growth. NY: Harper.
Martini, N.M., Rasna, I.W., & Artawan, I.G. 2014. IMPLEMENTASI MODEL
PEMBELAJARAN QUANTUM LEARNING DALAM
PEMBELAJARAN MENULIS KARANGAN DESKRIPSI PADA
SISWA KELAS X SMKN 1 ABANG. e-Journal Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Volume 3 Tahun 2014)
Mohd, H., Darus. N.M., Puteh, N., Marzuki, Z. (2015). A Problem Based
Learning Model and its Constructivist Framework for IT Courses,
Proceedings of the 5 th International Conference on Computing and
Informatics, ICOCI 2015 11-12 August, 2015 Istanbul, Turkey.
Universiti Utara Malaysia
Moore, K.D. (2009). Effective instructional strategies. Thousand Oaks, CA:
Sage Publications Inc.
81
Paul, Ernest. 1991. The Philosophy of Mathematics Education. Taylor &
Francis Group
Payne, W.R. 2015. An Introduction to Philosophy, Bellevue College
Perova, Yup. 2015. "Testing technologies in distance learning."TUSUR
Reports, 1(35).
Piaget, J. (1972). The psychology of the child. New York: Basic Books
Rokhmah, D. (2021). Ilmu Dalam Tinjauan Filsafat: Ontologi, Epistemologi,
Dan Aksiologi, CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman Volume 7,
Nomor 2, 172 – 186; P-ISSN 2443-2741; E-ISSN 2579-5503
Rolbina, E & Khametova, N. 2016. “Marketing basis for structure and
turnover of retail and office center’. Research Journal of Applied
Sciences, 11(11), pp.1178-1183
Rosnawati, Syukri, A., Badarussyamsi., Rizki, A.F. (2021). Aksiologi Ilmu
Pengetahuan dan Manfaatnya bagi Manusia, Jurnal Filsafat
Indonesia, Vol 4 No 2 Tahun 2021, 186 – 194
Sahin, M. (2007).The Importance of Efficiency in Active Learning. Turkish
Science Education, 65-69.
Santrock, J. W. (2011). Educational Psychology Fifth Edition. New york,
America: McGraw-Hill.
Siemens, G. (2005). Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age,
https://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm
82
Suriasumantri, J.S. (2009). Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
83
Tabel 1. Penilaian dalam berbagai pendekatan dan model pembelajaran
1. BEHAVIORISM 1. Test tulis (pilihan Penilaian proses/ 1. Menentukan tujuan Vishal, S., Niradhar, D.,
ganda-LOTS) Observasi dan indikator Saroj, P., Gaurav, S.
2. Kuis pembelajaran 2018. Evaluation in
2. Menganalisis Teaching-Learning
lingkungan belajar dan Process. IGNOU,
mengidentifikasi http://egyankosh.ac.in//h
pengetahuan awal andle/123456789/46039
peserta didik
3. Menentukan materi Anam, M.S., dan
pembelajaran Dwiyogo, W. D. Teori
4. Menguraikan materi Belajar Behavioristik
pembelajaran menjadi Dan Implikasinya Dalam
bagian-bagian, Pembelajaran, diakses
meliputi topik, pokok 30 Oktober 2023,
bahasan, sub-pokok https://cdn-
bahasan dan gbelajar.simpkb.id/s3/p3
seterusnya k/Pedagogi/Artikel/TEO
5. Menyajikan RI_BELAJAR_BEHAVI
pembelajaran
84
6. Memberi stimulus ORISTIK_DAN_IMPLIK
kepada peseta didik AS.pdf
7. Mengamati dan
mengkaji respons
yang diberikan peserta
didik
8. Memberikan
penguatan baik yang
positif maupun
negative
9. Memberi stimulasi
ulang
10. Mengamati dan
mengkaji respons dari
peserta didik
11. Memberi penguatan
12. Mengevaluasi hasil
belajar peserta didik
2. SOCIAL 1. Tes kemampuan 1. Penilaian proses/ 1. Fase Bandura, Albert.
COGNITIVE kognitif (LOTS) Observasi langsung Atensi/Perhatian: (1991). Social cognitive
2. Self assessment 2. Refleksi diri memberi perhatia theory of self-regulation.
3. Peer asesment pada model yang , 50(2), 248–
menarik/ dikagumi 287. doi:10.1016/0749-
5978(91)90022-l
85
2. Fase
Retensi/Pengkodean Lesilolo, H.J. (2018).
tingkah laku: Penerapan Teori Belajar
menyimpan kode itu Sosial Albert Bandura
dalam memori jangka Dalam Proses Belajar
panjang Mengajar Di Sekolah.
3. Fase Reproduksi: KENOSIS Vol. 4 No. 2.
Kode dalam memori 186 – 202
membimbing
penampilan yang Ikawati, H. D. (2022).
sebenarnya dari Pemodelan (User
tingkah laku yang Model) Dalam
baru diamati Pembelajaran. Journal
4. Fase Motivasi: Scientific of Mandalika
termotivasi meniru (JSM), Vol. 3 No. 1
model Februari 2022,e-ISSN:
2745-5955,p-ISSN:
2809-0543
Avalaible online at:
http://ojs.cahayamandali
ka.com/index.php/jomla/i
ssue/archive
86
3. COGNITIVE 1. Tes kemampuan 1. Penilaian proses/ 1. Menentukan tujuan Santrock, J. W. (2011).
INFORMATION diagnostic awal Observasi langsung pembelajaran yang Educational Psychology
PROCESSING 2. Tes kemampuan 2. Catatan reflektif dan jelas dan spesifik. Fifth Edition. New york,
kognitif (HOTS) - wawancara dapat 2. Menganalisis materi America: McGraw-Hill.
pemrosesan digunakan untuk pelajaran dan
informasi, memahami bagaimana mengidentifikasi
perhatian, memori, individu memperoleh, informasi yang
pemecahan mengorganisir, dan penting.
masalah, dan menggunakan 3. Mengorganisir
pengambilan informasi informasi pelajaran
keputusan dengan menggunakan
3. Self assessment strategi seperti mind
mapping atau
outlining.
4. Membuat hubungan
antara informasi baru
dengan pengetahuan
yang sudah dimiliki.
5. Menerapkan strategi
memori seperti
pengulangan,
pengelompokan, atau
mnemonik.
87
6. Menerapkan strategi
pemecahan masalah
seperti
mengidentifikasi
masalah, merumuskan
hipotesis, dan menguji
hipotesis.
7. Menerapkan strategi
transfer belajar dengan
menghubungkan
informasi yang
dipelajari dengan
situasi dunia nyata.
8. Evaluasi hasil belajar.
4. MEANINGFUL 1. Tes kemampuan 1. Penilaian proses/ 1. Subordinate learning: Ausubel, David P. 2000.
LEARNING kognitif (HOTS) Observasi langsung proses The Acquisition and
THEORY 2. Self assessment 2. Portofolio penggabungan ide Retention of Knowledge:
3. Peer asesment 3. Jurnal reflektif, atau pengalaman pola A Cognitive View.
portofolio reflektif, ide yang telah dimiliki New York: Springer
atau pertanyaan 2. Superordinat learning: Science
reflektif (umpan balik atribut kriteria baru
guru) yang mencakup ide Sulaiman, Dadang.
bawaan 1988. Teknologi/
88
3. Combinational Metodologi Pengajaran.
learning: proses Jakarta: P2LPTK
bahwa konsep baru
muncul dari konsep
lain yang sudah ia
dapat sebelumnya,
tetapi tidak dengan
urutan sebelumatau
sesudah pengetahuan
sebelumnya.
4. Assimilation:
Informasi baru terkait
dengan aspek struktur
kognitif yang relevan
dan sudah
adasebelumnya dan
baik informasi yang
baru diperoleh
maupun struktur yang
sudah ada
dimodifikasi dalam
proses.
Pembelajaranan yang
paling bermakna pada
89
dasarnya adalah
asimilasiinformasi
baru.
1. Fase perencanaan
yang terdiri dari
- Menetapkan tujuan
pembelajaran
- Mendiagnosis latar
belakang
pengetahuan
siswa
- Membuat struktur
materi
- Memformulasikan
advance organizer.
2. Fase pelaksanakan
terdiri dari
90
Advanceorganize
r
Diferensiasi
progresif
Rekonsiliasi integrative
5. COGNITIVE 1. Tes kemampuan 1. Penilaian proses/ 1. Encoding Vishal, S., Niradhar, D.,
DEVELOPMENT kognitif (HOTS) Observasi langsung Memasukkan Saroj, P., Gaurav, S.
THEORY 2. Self assessment 2. Analisis interaksi informasi kedalam 2018. Evaluation in
verbal dan non- memori Teaching-Learning
verbal untuk 2. Penyimpanan Process. IGNOU,
memahami cara Mempertahankan http://egyankosh.ac.in//
anak memproses informasi dari waktu handle/123456789/460
informasi ke waktu 39
3. Pengambilan
Mengambil informasi Santrock, J. W. (2011).
dari gudang memori Educational
Psychology Fifth
Edition. New york,
America: McGraw-Hill.
6. CONSTRUCTIVISM 1. Tes kemampuan 1. Penilaian proses/ 1. Mengamati Vishal, S., Niradhar, D.,
E kognitif (HOTS) Observasi langsung 2. Mempraktikkan Saroj, P., Gaurav, S.
2. Self assessment 2. Portofolio 3. Memanipulasi 2018. Evaluation in
3. Peer assessment 4. Memodifikasi
91
3. Refleksi diri sesuai 5. Mengkonstruksi Teaching-Learning
dengan umpan balik pengetahuannya Process. IGNOU,
dari guru sendiri http://egyankosh.ac.in//
handle/123456789/460
39
7. CONNECTIVISME 1. Tes kemampuan 1. Observasi langsung 1. Stimulasi Kropf, D.C. 2013.
kognitif 2. Refleksi diri 2. Identifikasi masalah Connectivism: 21st
2. Tes keterampilan 3. Pengumpulan Century’s New Learning
3. Peer assessment informasi Theory, European
4. Pengolahan Journal of Open,
informasi Distance and e‐Learning
5. Pembuktian – Vol. 16 / No. 2 13
6. Menarik kesimpulan: ISSN 1027‐5207
Siswa menarik
8. DISCOVERY 1. Tes kemampuan 1. Penilaian proses/ 1. Pemberian Banawi, A. 2019.
LEARNING kognitif (HOTS) Observasi langsung rangsangan Implementasi
2. Peer assessment – penilaian ulang (stimulation) Pendekatan Saintifik
untuk refleksi peserta 2. Pernyataan/identifika Pada Sintaks
didik si masalah (problem Discovery/Inquiry
2. Portofolio statement) Learning,
3. Pengumpulan data Based Learning,
(data collection) Project Based
4. Pengolahan data Learning, Jurnal
(data processing)
92
5. Pembuktian Biology Science &
(verification) Education
6. Menarik
simpulan/generalisas
i (generalization)
9. PBL 1. Tes kemampuan 1. Penilaian proses/ 1. Penyampaian Alias, M., Masek, A.,
kognitif (HOTS) Observasi skenario Saleh, H.H.M. (2015).
2. Self assessment (Presentasi, diskusi) pembelajaran Self, Peer and Teacher
3. Peer assessment 2. Portofolio (masalah) Assessments in
2. Definisi bahasa atau Problem Based
konsep yang tidak Learning: Are They in
dikenal Agreements?, 4th
3. Curah pendapat World Congress on
(komentar) dari para Technical and
siswa tentang isu-isu Vocational Education
yang muncul di benak and Training
mereka terkait (WoCTVET), 5th–6th
dengan skenario November 2014,
tersebut Malaysia
4. Identifikasi area-area
kunci untuk Montemayor, L. E
pembelajaran (2004). Formative and
potensial dan Summative
pengorganisasian Assessment of the
93
area-area tersebut ProblemBased
dalam sebuah Learning Tutorial
kerangka kerja Session Using a
konseptual yang logis Criterion Referenced
5. Pengembangan System, Volumee 14, 8
rencana – 14
pembelajaran
dengan pertanyaan-
pertanyaan spesifik
yang memastikan
bahwa semua
anggota kelompok
memahami dan
mematuhi rencana
pembelajaran
6. Belajar mandiri (studi
mandiri) yang
berpusat pada
rencana
pembelajaran yang
telah ditetapkan
sebelumnya
7. Diskusi berbasis
masalah yang
94
berpusat pada
rencana
pembelajaran
8. evaluasi pengalaman
belajar pada sesi
tertentu
10. PJBL 1. Tes kemampuan 1. Penilaian proses/ 1. penyajian Banawi, A. 2019.
kognitif (HOTS) Observasi permasalahan Implementasi
2. Penilaian (Presentasi, diskusi) 2. membuat Pendekatan Saintifik
keterampilan 2. Penilaian produk perencanaan Pada Sintaks
3. Peer assessment 3. Refleksi diri 3. menyusun Discovery/Inquiry
penjadwalan Learning,
4. memonitor Based Learning,
pembuatan proyek Project Based
5. melakukan Learning, Jurnal
penilaian Biology Science &
6. evaluasi Education
11. BRUNNER 1. Tes kemampuan 1. Penilaian proses/ 1. Enactive, yaitu di Mark K. Smith. 2010.
kognitif (HOTS) Observasi mana seseorang Teori Pembelajaran
2. Self assessment 2. Portofolio belajar tentang dunia dan Pengajaran,
melalui aksi-aksi Penerj. Abdul Qodir
terhadap objek. Shaleh, cet. Ketiga.
2. Iconic, yaitu di mana Yogyakarta: Mirza
pembelajaran terjadi Media Pustaka
95
melalui penggunaan
model-model dan Takaya, K. 2008.
gambar-gambar. Jerome Bruner’s
3. Symbolic, yang Theory of Education:
menggambarkan From Early Bruner to
kapasitas berpikir Later Bruner,
dalam istilah-istilah Interchange, Vol. 39/1,
yang abstrak 1–19, DOI:
10.1007/s10780-008-
9039-2
96
13. CONTEXTUAL 1. Tes kemampuan 1. Penilaian proses/ 1. mengembangkan Haryanto. 2020.
LEARNING kognitif (HOTS) Observasi pemikiran pada Evaluasi Pembelajaran
(Presentasi, diskusi) siswa akan belajar (Konsep dan
2. Penilaian proyek lebih bermakna Manajemen).
dengan cara bekerja Yogyakarta: UNY
sendiri, menemukan Press
sendiri, dan
mengonstruksi
sendiri pengetahuan
dan keterampilan
bertanya
2. melangsungkan
kegiatan penelitian
(inquiry) untuk
semua topik
mengembangkan
sifat ingin tahu pada
siswa
3. menciptakan
“masyarakat belajar”
4. menghadirkan model
sebagai contoh
pembelajaran
97
5. melakukan refleksi di
akhir pertemuan
6. melakukan penilaian
yang sebenarnya
dengan berbagai
cara.
14. QUANTUM 1. Tes kemampuan 1. Penilaian proses/ 1. Tumbuhkan Sultan, L & Hajerina.
LEARNING kognitif (HOTS) Observasi 2. Alami (2020). Penerapan
2. Peer assessment (Presentasi, diskusi) 3. Namai Model Pembelajaran
2. Portofolio 4. Demonstrasikan Quantum Learning
5. Ulangi Untuk Meningkatkan
6. Rayakan Hasil Belajar Siswa
Kelas Vii A Mts.
Alkhairaat Biromaru
Pada Materi Aritmatika
Sosial. Guru Tua : Jurnal
Pendidikan dan
Pembelajaran e-ISSN :
2623-2340 Vol. 3, No. 1,
Mei 2020, hal. 7-20
98
Model Pembelajaran
Quantum Learning
Dalam Pembelajaran
Menulis Karangan
Deskripsi Pada Siswa
Kelas X SMKN 1 Abang.
e-Journal Program
Pascasarjana
Universitas Pendidikan
Ganesha Program Studi
Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia
(Volume 3 Tahun 2014)
99