Anda di halaman 1dari 44

Konstruksi Dan Implementasi Filsafat Ilmu: Matematiak Dan Pendidikan Matematika

Disusun untuk memenuhi tugas ujian akhir semester mata kuliah Filsafat Ilmu

Dosen pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A

Disusun Oleh:
Rianti (23031140043)

PROGRAM STUDI PASCASARJANA PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN ALAM DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
TAHUN 2023
Kata Pengantar

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Dengan semua rahmatnya,
penulis akhirnya bisa menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.Tak lupa, penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Marsigit, M.A, selaku Dosen mata kuliah Filsafat
Ilmu, yang sudah memberikan banyak bantuan untuk menyusun makalah ini. Penulis juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu penyusunan makalah ini.
Semoga hal ini dapat berguna bagi Saya sebagai mahasiswa dan juga rekan-rekan semua, terutama
untuk menambah khazanah keilmuan serta wawasan dalam bidang pendidikan. Terlepas dari itu
semua, dengan segala kemampuan dan usaha yang dilakukan Saya telah berupaya agar makalah
ini dapat mudah dipahami terutama oleh Saya sendiri dan para mahasiswa. Oleh karena itu jika
terdapat kekurangan dalam penyusunan dan materi dalam makalah ini itu semata-mata karena
kekurangan yang ada pada Saya, karena kita ketahui bahwa manusia tidak terlepas dari
kekurangan. Dan tentunya Saya pun berharap masukan dan saran yang bermanfaat dan berguna
untuk meningkatkan nilai keilmuan dan wawasan Saya.
Dengan segala harapan dan doa semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya. Atas segala perhatiannya Saya ucapkan terima
kasih.

Jogyakarta, 11 Desember 2023

Penulis
BAB I
FILSAFAT UMUM
Filsafat hanya dapat dipahami bila sifat-sifat tertentu melekat di dalamnya. Jika tidak, itu tidak
bisa dimengerti. Karakternya secara garis besar dapat digambarkan sebagai radikal, kritis, dan
reflektif. Kata "radikal" mengacu pada jenis rasa ingin tahu yang mengeksplorasi suatu objek
secara menyeluruh dan kembali ke penyebab utamanya (Kausal Pertama). Salah satu penafsiran
istilah “kritis” adalah suatu jenis teknik bertanya. Seseorang perlu bersikap kritis agar dapat sampai
pada pemahaman yang akurat terhadap suatu objek. “Jangan bertanya sesat di jalan.” Pernyataan
yang berwawasan luas ini sangat cocok untuk diterapkan pada istilah ini. Sebaliknya, kata reflektif
mengacu pada pola pikir yang serius, mawas diri, dan fokus. Keterkaitan filsafat dengan objek-
objeknya yang lain tidak berarti bahwa ketiga sifat tersebut mengecualikan sifat-sifat lain yang
lebih spesifik. Secara umum, ada tiga bidang filsafat: aksiologi, ontologi, dan epistemologi

A. Ontologi
Ontologi merupakan salah satu dari tiga filsafat ilmu yang paling kuno dan berasal dari
Yunani. Studi ontologi yang membahas sesuatu yang bersifat nyata, konkret. Mayoritas
masyarakat Yunani kuno, ketika mitologi masih sangat mempengaruhi masyarakat, belum
mampu membedakan antara penampakan dan kenyataan. Banyak hal yang mempelajari
peristiwa alam dalam bentuk mistik sebagai penyebab fenomena alam yang sulit dipahami masih
ada pada masa itu. Menurut pendapat para filosof, ontologi dapat didefinisikan dengan beberapa
cara, antara lain:
1) Suriasumantri( 2000) memaknakan ontologi metafisika ilmu mengenai apa yang mau kita
tahu, seberapa jauh kita mau ketahui, ataupun, dengan tutur lain suatu analisis filosofi
mengenai“ terdapat”. Analisis ontologis hendak menanggapi pertanyaan, selanjutnya ialah:
a) Apakah obyek ilmu yang hendak ditelaah
b) Gimana bentuk yang penting dari obyek itu, serta
c) Gimana ikatan antara obyek mulanya dengan energi ambil orang( semacam
berasumsi, merasa, serta mengindera) yang menghasilkan wawasan.
2) Soetriono( 2007) berkata ontologi ialah azas dalam mempraktikkan batasan ataupun ruang
lingkup bentuk obyek penelaahan( obyek ontologis ataupun obyek resmi dari wawasan) dan
pengertian mengenai dasar realita (filsafat) dari obyek ontologi ataupun obyek resmi itu
serta alas ilmu yang bertanya apa yang dikaji oleh wawasan serta umumnya berhubungan
dengan alam realitas serta kehadiran.
3) The Lubang Gie( 2010) pula beranggapan ontologi merupakan bagian dari metafisika
bawah yang menguak arti dari sebuah keberadaan yang pembahasannya meliputi
persoalanpersoalan, seperti :
a) Apakah maksudnya terdapat, perihal terdapat?
b) Apakah golongan- golongan dari perihal yang terdapat?
c) Apakah watak bawah realitas serta perihal terdapat?
d) Apakah cara- cara yang berlainan dalam manaentitas dari kategori- kategori logis
yang berbeda( misalnya objek- objek fisis, penafsiran umum, abstraksi serta angka)
bisa dibilang ada?
Ontologi paling umum dipahami sebagai cabang filsafat yang mempelajari hakikat segala
sesuatu. Pemahaman ini diperluas dan dikaji secara terpisah dalam parameter bidang keilmuan
masing-masing. Selain itu, ontologi membahas segala sesuatu yang nyata, seperti rangkuman
perbedaan antara benda dan makhluk hidup. Segalanya tanaman, hewan, dan manusia. Ada tiga
aliran pemikiran ontologis, antara lain: Wahana (2016)
1) Idealisme, berkata kalau“ terdapat” yang sungguh- sunggu terletak didunia. Seluruh yang
nampak serta mewujud jelas dalam alam.
2) Materialisme, berkata kalau“ terdapat” yang sebetulnya keberadaannya sekedar bertabiat
material. Kenyataan yang sebetulnya merupakan alam kebendaan serta segala suatu yang
mengatasialam kebendaan itu wajib dikesampingkan
3) Dualisme, berkata kalau akar perseorangan terdiri dari 2 type elementer yang berlainan
serta tidak bisa direduksikan pada yang yang lain. Kedua type elementer dari akar itu
yakni material serta psikologis. Dengan begitu dualisme membenarkan kalau kenyataan
terdiri dari modul ataupun yang terdapat dengan cara fisis serta kenyataan terdiri dari
modul ataupun yang terdapat dengan cara fisis serta psikologis ataupun beradanya tidak
nampak dengan cara fisis.
Ontologi ketika memandang dasar suatu realitas ataupun dasar yang terdapat lewat 2 berbagai
ujung penglihatan ialah: pertama, kuantitatif ialah dengan mempersoalkan apakah realitas itu
berupa tunggal ataupun jamak. Kedua, kualitatif ialah dengan mempersoalkan apakah realitas itu
memiliki mutu khusus. Sederhananya ontologi dapat diformulasikan selaku ilmu yang menekuni
kenyataan ataupun realitas aktual dengan cara kritis. Pandangan ontologi dari ilmu wawasan
khusus seharusnya dijabarkan antara lain dengan cara:
1) Logis; memakai metode objektif
2) Analitis; silih berhubungan dengan cara tertib dalam sesuatu totalitas
3) Koheren; unsur- unsurnya tidak bisa memiliki penjelasan yang berlawanan
4) Logis; wajib beralasan pada kaidah berasumsi yang betul ( masuk akal)
5) Menyeluruh; memandang subjek tidak cuma dari satu bagian atau ujung penglihatan,
melainkan dengan cara multidimensional ataupun dengan cara totalitas( holistik)
6) Radikal; dijabarkan hingga pangkal persoalannya, ataupun esensinya
7) Umum; bagasi kebenarannya hingga tingkatan biasa yang legal di mana saja. (Rokhmah,
D. (2021)
Ontologi, sebuah konsep Yunani, adalah salah satu agen metafisik. Para penulis ontologis
Yunani Thales, Plato, dan Aristoteles semuanya membahas keberadaan sesuatu yang konkret
dalam tulisan mereka. Misalnya, Thales mempertimbangkan fakta bahwa air ada di mana-mana
dan menyimpulkan bahwa air adalah "zat terdalam" dan fondasi segala sesuatu. Ia mengarahkan
kalau air merupakan pangkal dari seluruh kehidupan, namun yang sangat berarti untuk kita
merupakan keyakinannya kalau" amat bisa jadi keseluruh kehidupan berawal dari satu materi."
Pemikiran ontologi kepada berasumsi kritis dalam ilmu difokuskan pada pengembangan keahlian
buat menganalisa artikel dengan cara kritis untuk meningkatkan suatu aksi. Perihal ini dibuktikan
dengan agama kalau berasumsi kritis merupakan keahlian penting dalam membuat evaluasi.
Ontologi ilmu wawasan juga mempunyai ciri-ciri tertentu, seperti berikut ini: Pertama,
penelitian merupakan awal mula ilmu pengetahuan. Kedua, tidak ada rencana pengajaran;
sebaliknya, ada rencana wawasan empiris. Ketiga, wawasan bersifat adil, jeli, metodis, sistematis,
dan logis. Keempat, menunjukkan rasa hormat terhadap berbagai prosedur penelitian, skeptisisme
radikal, kontinuitas dan reproduktifitas, penjelasan dan pembuktian, serta konfirmasi. Kelima,
melaksanakan pembuktian wujud sebab- akibat( causality) serta terapan ilmu jadi teknologi.
Ketujuh, membenarkan wawasan serta rancangan yang relatif dan logika- logika objektif.
Kedelapan, mempunyai bermacam anggapan serta teori- teori objektif. Kesembilan, mempunyai
rancangan mengenai hukum- hukum alam yang sudah dibuktikan.( Adib, Meter, 2011).
B. Epistemologi
Epistemologi adalah ulasan mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau filsafat tentang
pengetahuan. Istilah epistimologi sendiri berasal dari Bahasa Yunani, yakni episteme berarti
pengetahuan dan logos berarti ilmu, ulasan atau teori. Epistemologi, atau filsafat pengetahuan,
adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba memecahkan suatu dasar dari pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, serta pertanggungjawaban atas pernyataan tentang pengetahuan yang
dimiliki. Apa yang diketahui oleh seseorang, berarti penting adalah tergantung atas pengalaman
pribadi sendiri, ia mengetahui atas apa yang ia lihat , yang didengar, apa yang telah dibaca, dan
apa yang telah diberitahukan orang lain kepadanya telah dapat disimpulkan. pengetahuan
Persoalan epistemologis secara tradisional mencakup berbagai hal seperti berikut.
1) Persoalan tentang kemungkinan pengetahuan.
2) Persoalan tentang asal mula pengetahuan.
3) Persoalan tentang validitas pengetahuan.
4) Persoalan tentang batas-batas pengetahuan.
5) Persoalan tentang jenis-jenis pengetahuan.
6) Persoalan tentang kebenaran.
Aristoteles mengawali metafisisnya dengan pernyataan “Setiap manusia dalam kodratnya ingin
tahu”. Ia begitu yakin tentang hal itu sehingga dorongan untuk tahu ini bukan hanya disadari tetapi
benar-benar diwujudkan dalam karyanya sendiri.
Tetapi sebelumnya Socrates telah menitikarirnya pada suatu dasar yang agak berbeda, yaitu
keyakinan bahwa tak seorang pun manusia mempunyai pengetahuan. Menurut Plato, filsafat mulai
dengan rasa kagum, tidak ada seorang pun yang dapat berfilsafat kalau tidak bisa kagum. Rasa
kagum disini tidak boleh disamakan dengan rasa keingin tahuan dalam pengertian umum. Filsafat
merupakan pembukaan mata terhadap apa yang telah dialami, filsafat terutama merupakan refleksi
dan refleksi selalu bersifat kritis.Descartes memulai tahap dimana kekaguman filosofis sendirilah
yang dijadikan objek penyelidikannya. Epistemologi adalah sangat diperlukan, sebuah kepastian
dimungkinkan oleh suatu keraguan. Terhadap keraguan ini epistemologi merupakan suatu obatnya.
Apabila epistemologi berhasil mengusir keraguan ini kita mungkin akan menemukan kepastian
yang lebih pantas dianggap sebagai pengetahuan. Dalam bidang pengetahuan terdapat tiga
persoalan pokok yaitu:
1) Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu
datang dan bagaimana kita mengetahui? Ini adalah persoalan tentang ”asal” pengetahuan.
2) Apakah watak pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar diluar fikiran kita?
Ini adalah persoalan tentang: apa yang kelihatan segi reality.
3) Apakah pengetahuan kita itu benar? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dan
yang salah? Ini tentang mengkaji kebenaran.
Meskipun demikian, epistemologi menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai landasan
pertimbangan-pertimbangan tersebut serta pernyataan-pernyataan dan pertimbangan-
pertimbangan lainnya. Penilaian harus memiliki nilai kebenaran yang ditentukan oleh bukti.
Banyak keyakinan yang dianggap remeh pada akhirnya terbukti tidak benar. Pada suatu waktu
yakin bahwa bumi itu datar, bahwa setan-setan penyebab penyakit dapat dihalau keluar dengan
suara yang keras dan bahwa dalam mimpi, jiwa kita benar-benar pergi ketempat dan zaman yang
jauh. Ini yang pada suatu saat keprcayaan yang akan dipegang teguh.
Cara kerja epistemology sejatinya sering memulai spekulasi dengan berasumsi bahwa mereka
mengetahui banyak hal. Ketika asumsi tersebut direnungkan oleh mereka, mereka akan
menemukan pengetahuan itu dengan benar dan akurat. Seseorang baru bisa dikatakan
berpengetahuan jika telah sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan epistemology. Artinya,
pertanyaan epistemology itu bisa menggambarkan manusia mencintai pengetahuan. Epistemology
bertujuan untuk menganalisis proses mendapatkan ilmu. Oleh sebab itu, Langkah awal yaitu
dengan mengetahui di mana proses tersebut dimulai dan kapan harus berakhir. Tujuan dari
epistemolig adalah sebagai berikut.
1) Menganalisis sesuatu hal untuk memperoleh ilmu
2) Menggambarkan ciri-ciri tertentu dunia secara akurat
3) Mengkategorikan isi pemikiran manusia
4) Menentukan jenis mental apa yang ada pada manusia.

C. Aksiologi
Aksiologi adalah subbidang filsafat yang mengkaji apa yang dimaksud dengan nilai dan
bagaimana nilai itu diciptakan. Segala bentuk nilai, termasuk nilai estetika, etika, dan epistemik,
dinilai oleh para aksiolog pada umumnya. Dalam arti sempit, para aksiolog prihatin dengan apa
yang secara intrinsik berharga atau bernilai (apa yang diinginkan demi kepentingannya sendiri).
Adapun definisi aksiologi menurut para ahli, antara lain:
1) Kattsoff (2004), Pengertian aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat
nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.
2) Wibisono (dalam Surajiyo, 2009), Makna aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur
kebenaran, etika serta moral sebagai dasar normative penelitian dan juga penggalian, dan
juga penerapan ilmu.
3) Jujun S. suriasumantri, Arti aksiologi adalah teori nilai yang berhubungan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.
Aspek aksiologis dari filsafat mengkaji tentang hal-hal yang berkaitan dengan nilai dan moral
dalam kehidupan manusia. Aksiologis memunculkan dua cabang filsafat yang membahas tentang
aspek kualitas hidup manusia, yakni etika dan stetika.
Etika sosial atau filsafat moral adalah cabang filsafat yang “melibatkan sistematisasi,
mempertahankan, dan merekomendasikan konsep perilaku benar dan salah”. Bidang etika,
bersama dengan estetika, menyangkut masalah nilai, dan karenanya terdiri dari cabang filsafat
yang disebut aksiologi. Etika berusaha menyelesaikan pertanyaan tentang moralitas manusia
dengan mendefinisikan konsep-konsep seperti baik dan jahat, benar dan salah, kebajikan dan
keburukan, keadilan dan kejahatan. Sebagai bidang kajian intelektual, filsafat moral berkaitan
dengan bidang psikologi moral, etika deskriptif, dan teori nilai. Tiga bidang studi utama dalam
etika yang diakui saat ini adalah:
1) Meta-etika, tentang makna teoritis dan acuan proposisi moral, dan bagaimana nilai
kebenarannya (jika ada) dapat ditentukan
2) Etika normatif, tentang cara praktis untuk menentukan suatu tindakan moral
3) Etika terapan, tentang apa yang wajib dilakukan seseorang dalam situasi tertentu atau
wilayah tindakan tertentu
Nilai estetika adalah cabang filsafat yang berhubungan dengan sifat keindahan dan rasa, serta
filsafat seni (wilayah filsafatnya sendiri yang keluar dari estetika). Ini menguji nilai-nilai subjektif
dan sensori-emosional, atau kadang-kadang disebut penilaian sentimen dan rasa. Estetika meliputi
sumber alami dan buatan yang berasal dari pengalaman dan penilaian estetika.
Mempertimbangkan apa yang terjadi dalam pikiran kita ketika kita terlibat dengan objek atau
lingkungan estetika seperti dalam melihat seni visual, mendengarkan musik, membaca puisi,
mengalami permainan, menjelajahi alam, dan sebagainya. Bramel berpendapat bahwa aksiologi
bisa dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu;
1) Moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang yang satu ini melahirkan disiplin khusus, yang
kita kenal dengan istilah etika.
2) Esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini menimbulkan atau melahirkan
suatu keindahan.
3) Osio-political life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan atau memunculkan
filsafst sosio-politik.
Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa, aksiologi merupakan bidang filsafat yang
mengkaji masalah nilai terutama dalam etika dan estetika. Filsafat ini memberitahu kita tentang
yang baik dan yang jahat. Aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Penjelasan ini membahas nilai dari
sudut pandang filosofis. Aksiologi, terutama, menentukan baik dan buruk bagi individu dan
bangsa. Itu menetapkan standar baik dan buruk. Semua kehidupan sosial kita sebagian besar
bertumpu pada cabang filsafat ini. Aksiologi lebih dari sekedar menyatakan apa yang berharga
atau tidak berharga, mereka yang belajar di bidang ini mencoba mengemukakan alasan mengapa
sesuatu memiliki nilai atau tidak.
BAB II
FILSAFAT ILMU
Salah satu cabang filsafat yang dikenal dengan filsafat ilmu memberikan jawaban atas
berbagai pertanyaan tentang hakikat ilmu. Ilmu pengetahuan alam dan ilmu sosial termasuk dalam
kategori filsafat ilmu, dan terdapat cabang-cabang filsafat yang membahas tentang landasan, tata
cara, anggapan, dan akibat ilmu pengetahuan. Perhatian utama studi-studi ini sering kali adalah
apa yang dimaksud dengan sains, apakah teori-teori ilmiah dapat diandalkan, dan apa tujuan akhir
sains.
Filsafat ilmu memberikan kekuatan bagi perkembangan serta kemajuan suatu ilmu dan
sekaligus nilai moral yang terkandung dalam setiap ilmu baik itu dalam tataran ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Setiap jenis ilmu pengetahuan pastinya memiliki ciri-ciri yang
spesifik untuk menjawab apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi)
suatu ilmu pengetahuan itu disusun. Ketiga aspek dalam berpikir filsafat antara ontologi,
epistemologi, dan aksiologi saling berhubungan satu sama lain. Jika berbicara tentang
epistemologi ilmu, maka harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu juga. Dengan
demikian, ontologi ilmu berkaitan dengan epistemologi ilmu, dan epistemologi ilmu terkait dengan
aksiologi ilmu begitu seterusnya. Hal ini dikarenakan dalam membahas dimensi kajian filsafat
ilmu didasarkan pada model berpikir sistematik sehingga harus selalu dikaitkan. Oleh karenanya,
tidak mungkin ketiganya antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi terlepas satu sama lain.

A. Ontologi Ilmu
Dari perspektif linguistik, istilah "Ontos" dan "Logos" adalah akar kata Yunani dari ontologi.
Yang ada adalah Ontos; "pengetahuan" adalah Logos. Ontologi, sederhananya, adalah ilmu tentang
apa yang ada. Ontologi dan metafisika sering dikaitkan. Subbidang filsafat yang disebut ontologi
mempelajari hakikat keberadaan. Ontologi menjadi pembahasan yang utama dalam filsafat,
dimana membahas tentang realitas atau kenyataan. Karena mengkaji apa yang ingin diketahui
seseorang dan sejauh mana keingintahuannya, ontologi pada hakikatnya adalah studi tentang teori
“keberadaan” atau prinsip-prinsip rasional tentang apa yang ada.
Dalam pandangan Islam, ontologi berkaitan dengan dua jenis objek pengetahuan yaitu
pertama, objek pengetahuan yang material, yaitu yang dapat didengar, dilihat, dan dirasakan.
Sains, ilmu eksakta, ilmu sosial, politik, budaya, psikologi, dan lain sebagainya adalah beberapa
contohnya. Kedua, objek ilmu yang bersifat non-materi. Berlawanan dengan objek materi, pada
non-materi ini tidak bisa didengar, dilihat, dan dirasakan. Hasil akhir dari objek non-materi ini
lebih sebagai kepuasan spiritual. Contohnya objek yang berbicara tentang ruh, sifat dan wujud
Tuhan.
Ontologis dasarnya berbicara tentang hakikat “yang ada” ilmu pengetahuan, hakikat objek
pengetahuan, dan hakikat hubungan subjek-objek ilmu. Bagaimana ilmu pengetahuan ditinjau
secara ontologi maka pembahasannya adalah ontologi melakukan pemeriksaan, melakukan
analisis terhadap ilmu pengetahuan berdasarkan apakah ilmu pengetahuan itu benarbenar ada atau
tidak ada. Ontologi ilmu meliputi seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji melalui pancaindra
manusia. Ilmu mempelajari objek-objek empiris seperti halnya bebatuan, binatang, tumbuhan,
hewan, dan manusia. Ilmu juga mempelajari berbagai gejala maupun peristiwa yang pada dasarnya
memiliki manfaat bagi kehidupan manusia.
Awalnya, argumen tentang ontologi dicetuskan oleh Plato dengan teorinya yang disebut teori
idea. Menurutnya, apa saja yang ada di alam semesta ini pasti memiliki idea. Yang dimaksud oleh
Plato tentang idea adalah pengertian atau konsep universal dari tiap sesuatu. Selanjutnya, argumen
ontologi juga disampaikan oleh St. Augustine. Augustine menjelaskan bahwa manusia mengetahui
dari pengalamannya bahwa dalam alam semesta ini ada kebenaran. Kendati demikian, terkadang
akal manusia merasa bahwa apa yang ia ketahui memang benar, terkadang juga manusia merasa
ragu bahwa apa yang diketahuinya itu adalah suatu kebenaran.
Ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret
secara kritis. Aspek ontologi dari ilmu pengetahuan tertentu hendaknya diuraikan antara lain
secara:
1. Metodis; menggunakan cara ilmiah
2. Sistematis; saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu keseluruhan
3. Koheren; unsurunsurnya tidak boleh mengandung uraian yang bertentangan
4. Rasional; harus berdasar pada kaidah berpikir yang benar (logis)
5. Komprehensif; melihat objek tidak hanya dari satu sisi/sudut pandang, melainkan secara
multidimensional atau secara keseluruhan (holistik)
6. Radikal; diuraikan sampai akar persoalannya, atau esensinya
7. Universal; muatan kebenarannya sampai tingkat umum yang berlaku di mana saja.
Pada dasarnya ilmu tidak termasuk untuk mereproduksikan suatu kejadian tertentu dan
mengabstraksikannya dalam bahasa keilmuan. Ilmu ini bertujuan untuk mengetahui mengapa hal
itu bisa terjadi dan membatasi halhal yang asasi. Dengan keilmuan, proses keilmuan bertujuan
untuk mendapatkan inti yang berupa pengetahuan mengenai objek tersebut. Untuk mendapatkan
suatu pengetahuan, ilmu membuat beberapa asumsi mengenai objek empiris agar dapat
memberikan arah dan landasan bagi kegiatan dan penelaahan ilmu. Adapun karakteristik dari
ontologi ilmu pengetahuan antara lain sebagai berikut:
1. Pertama, ilmu berasal dari suatu penelitian.
2. Kedua, adanya konsep pengetahuan empiris dan tidak ada konsep wahyu.
3. Ketiga, pengetahuan bersifat rasional, objektif, sistematik, metodologis, observatif, dan
netral.
4. Keempat, menghargai asas verifikasi (pembuktian), eksplanatif (penjelasan), keterbukaan
dan dapat diulang kembali, skeptisisme yang radikal, dan berbagai metode eksperimen.
5. Kelima, melakukan pembuktian bentuk kausalitas (causality) dan terapan ilmu menjadi
teknologi.
6. Keenan, mengakui pengetahuan dan konsep yang relatif serta logika-logika ilmiah.
7. Ketujuh, memiliki berbagai hipotesis dan teori-teori ilmiah.
8. Kedelapan, memiliki konsep tentang hukum-hukum alam yang telah dibuktikan.
Ontologi merupakan spesifikasi dari sebuah konseptual, dengan kata lain ontologi merupakan
penjelasan dari suatu konsep dan keterhubungannya dari ilmu tersebut. Ontologi Matematika
merupakan segala aspek yang ada dalam ilmu matematika yang bersifat kongkrit. Contoh dari
ontologi matematika adalah segala sesuatu yang ada dalam matematika, seperti misalnya teorema-
teorema. Teorema di dalam matematika akan dibuktikan secara logis, terstruktur, dan sistematis.
Pembuktian teorema inilah yang merupakan salah satu contoh ontologi matematika. Sementara
Ontologi Pendidikan Matematika merupakan hal-hal atau aspek dalam proses pembelajaran
matematika yang bersifat ada atau kongkrit. Dalam pendidikan matematika proses pembelajaran
matematika memiliki beberapa hal yang bisa dijadikan contoh ontologi pendidikan matematika.
Contoh ontologi pendidikan matematika yaitu media pembelajaran matematika yang digunakan
untuk mengajarkan konsep matematika kepada peserta didik

B. Epistemologi Ilmu
Secara bahasa, epistemologi berasal dari Bahasa Yunani yang asal katanya Episteme artinya
“pengetahuan” dan Logos artinya “ilmu”. Secara istilah, epistemologi adalah suatu ilmu yang
mengkaji tentang sumber pengetahuan, metode, struktur, dan benar tidaknya suatu pengetahuan
tersebut Epistemologi diartikan sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan hakikat dan
lingkup pengetahuan, dasarnya, serta penegasan bahwa seseorang memiliki pengetahuan. Ketika
ontologi berusaha mencari secara reflektif tentang yang ada, berbeda epistemologi berupaya
membahas tentang terjadinya dan kebenaran ilmu. Landasan epistemologi memiliki arti yang
sangat penting bagi bangunan pengetahuan, karena menjadi tempat berpijak dimana suatu
pengetahuan yang baik ialah yang memiliki landasan yang kuat.
Epistemologi merupakan nama lain dari logika material yang membahas dari pengetahuan.
Epistemologi merupakan studi tentang pengetahuan yang mengkaji bagaimana mengetahui benda-
benda. Selain itu, epistemologi merupakan suatu doktrin filsafat yang lebih menekankan pada
peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal. Karena pada
dasarnya pengetahuan yang diperoleh menggunakan indra hasil tangkapannya secara aktif
diteruskan dan ditampilkan oleh akal. Pengetahuan ini yang berusaha menjawab dari pertanyaan-
pertanyaan seperti bagaimana cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan
jenisnya. Epistemologi menganggap bahwa setiap pengetahuan manusia merupakan hasil dari
pemeriksaan dan penyelidikan benda hingga akhirnya dapat diketahui manusia. Dengan demikian,
jelaslah bahwa epistemologi ini membahas tentang sumber, proses, syarat, batas fasilitas, dan
hakikat pengetahuan yang memberikan kepercayaan dan jaminan dari kebenarannya.
Epistemologi membahas bagaimana pengetahuan itu diperoleh. Metode ilmiah merupakan
landasan yang digunakan dalam epistemologi ilmu. Metode ilmiah yaitu cara yang digunakan ilmu
dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam
mendapatkan pengetahuan. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang
diperoleh lewat metode ilmiah. Metode ilmiah juga menjadi penentu layak atau tidaknya
pengetahuan menjadi ilmu, sehingga memiliki fungsi yang sangat penting dalam bangunan ilmu
pengetahuan. Dengan demikian, diharapkan pendekatan metode ilmiah tersebutlah yang
menjadikan suatu ilmu memiliki karakteristik tertentu seperti bersifat rasional dan telah teruji
kebenarannya.
Epistemologi dasarnya berbicara tentang dasar, sumber, karakteristik, kebenaran, dan cara
mendapatkan suatu pengetahuan. Aspek terpenting yang dibahas dalam epistemologi yaitu sumber
pengetahuan dan metode pengetahuan. Kedua hal itu dibicarakan dalam epistemologi dan ada juga
kuantitas pengetahuan juga dibahas di epistemologi. Jadi ketika ilmu pengetahuan disoroti melalui
epistemologi maka pembahasannya terarah pada bagaimana sumber yang dipakai oleh para
ilmuwan di dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan metodenya seperti apa karena setiap
jenis ilmu itu mempunyai sumber dan metode pengetahuan yang tidak sama, boleh jadi sama tapi
tentu ada karakteristik atau nuansa yang membedakan ilmu tersebut.
Selanjutnya, para ahli filsafat telah membagi metode ilmiah atau pola berpikir ilmiah yang
digunakan sebagai cara untuk mendapatkan suatu pengetahuan ilmiah, pola berpikir ilmiah
tersebut dibagi menjadi dua macam yaitu:
1. Pertama, pola berpikir deduktif. Berpikir deduktif memberikan sifat rasional dan konsisten
kepada pengetahuan ilmiah yang telah ada sebelumnya. Dengan metode ini, kita dapat
memulai aktivitas berpikir dari berbagai teori ilmu pengetahuan yang telah ada dan
kemudian dibuat hipotesis untuk dilakukan pengujian untuk pembuktian. Model deduktif
ini biasa disebut dengan logico-hypothetico-verivicative.
2. Kedua, pola berpikir induktif. Berpikir induktif memberikan pola dimana aktivitas berpikir
dimulai dari kemampuan seseorang dalam mengungkap kejadian yang ada di sekitarnya.
Kejadian tersebut kemudian dianalisis sehingga menghasilkan deskripsi dan konsep yang
objektif dan empiris.
Epistemologi matematika yaitu ilmu filsafat untuk mempelajari keaslian atau validitas dari
sifat-sifat matematika. Misalnya seperti kebenaran sebuah teorema. Untuk mengetahui benar atau
tidaknya sebuah teorema, maka diperlukan adanya pembuktian. Sehingga pembuktian teorema
dalam matematika ini merupakan contoh dari epistemologi matematika. Sedangkan Epistemologi
pendidikan matematika yaitu ilmu filsafat untuk mempelajari keaslian atau validitas dari sifat-sifat
pendidikan matematika, keaslian atau kebenaran hal-hal yang termuat dalam proses belajar
mengajar matematika. Contohnya seperti pengetahuan dasar matematika yang telah dipahami
siswa sebelumnya. Apakah pengetahuan itu bersifat benar atau tidak, seperti itulah contoh dari
epistemologi matematika.

C. Aksiologi Ilmu
Salah satu cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan
ilmunya disebut aksiologi. Aksiologi mencoba untuk mencapai hakikat dan manfaat yang ada
dalam suatu pengetahuan. Diketahui bahwa salah satu manfaat dari ilmu pengetahuan yaitu untuk
memberikan kemaslahatan dan kemudahan bagi kehidupan manusia. hal ini yang menjadikan
aksiologis memilih peran sangat penting dalam suatu proses pengembangan ilmu pengetahuan
karena ketika suatu cabang ilmu tidak memiliki nilai aksiologis akan lebih cenderung
mendatangkan kemudharatan bagi kehidupan manusia bahkan tidak menutup kemungkinan juga
ilmu yang bersangkutan dapat mengancam kehidupan sosial dan keseimbangan alam.
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axion yang berarti nilai dan logos yang berarti
ilmu. Sederhananya aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Aksiologis dasarnya berbicara tentang
hubungan ilmu dengan nilai, apakah ilmu bebas nilai dan apakah ilmu terikat nilai. Karena
berhubungan dengan nilai maka aksiologi berhubungan dengan baik dan buruk, berhubungan
dengan layak atau pantas, tidak layak atau tidak pantas. Ketika para ilmuwan dulu ingin
membentuk satu jenis ilmu pengetahuan maka sebenarnya dia harus atau telah melakukan uji
aksiologis.
Aksiologi ilmu meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna
terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan manusia yang
menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik-material.
Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine qua non
yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam
menerapkan ilmu.
Berpijak pada landasan aksiologi, suatu pernyataan ilmiah dapat dianggap benar bila
pernyataan ilmiah tersebut mengandung unsur aksiologi di dalamnya yaitu adanya nilai manfaat
bagi kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan memiliki ruh yang menginginkan adanya nilai
manfaat dari ilmu pengetahuan tersebut, sehingga pengamalan terhadap ilmu tersebut juga harus
berlandas pada tata nilai yang ada di masyarakat. Menghilangkan unsur aksiologis dari ilmu
pengetahuan berarti telah memperlemah posisi dari ilmu tersebut dari sudut pandang filsafat ilmu
pengetahuan.
Aksiologi juga dapat dikatakan analisis terhadap nilai-nilai. Maksud dari analisis yaitu
membatasi arti, ciri, tipe, kriteria, dan status dari nilai-nilai. Sedangkan nilai yang dimaksud di
sini yaitu menyangkut segala yang bernilai. Nilai berarti harkat yaitu kualitas suatu hal yang
menjadikan hal tersebut berguna. Nilai dapat bermakna bernilai guna sebagai suatu kebaikan.
Daya kerja dari aksiologi diantaranya yaitu:
1. Pertama, menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan dapat menemukan kebenaran
yang hakiki, maka perilaku keilmuan perlu dilakukan dengan penuh kejujuran dan tidak
berorientasi pada kepentingan langsung.
2. Kedua, dalam pemilihan objek penelaahan dapat dilakukan secara etis yang tidak
mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, tidak mencampuri
masalah kehidupan dan netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik, arogansi kekuasaan
dan kepentingan politik.
3. Ketiga, pengembangan pengetahuan diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup yang
memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta keseimbangan, kelestarian alam lewat
pemanfaatan ilmu dan temuantemuan universal.
Aksiologi matematika yaitu ilmu dalam filsafat yang mempelajari tentang matematika
dalam kehidupan. Mengkaji tentang manfaat dari aspek-aspek yang terkandung dalam matematika,
apa saja manfaat dan bagaimana efeknya dalam kehidupan. Contohnya adalah teorema pitagoras,
yang memiliki banyak manfaat dalam segala penerapanya. Manfaat itulah yang menjadi contoh
aksiologi matematika. Sedangkan Aksiologi Pendidikan matematika adalah ilmu dalam filsafat
yang mempelajari tentang kebermanfaatan Pendidikan matematika dalam sebuah proses belajar
mengajar. Contohnya adalah manfaat mempelajari tentang bangun ruang. Peserta didik mampu
menerapkan atau menggunakan hasil dari proses belajar matematika untuk membantu
kelangsungan hidupnya.
BAB III
MEMBANGUN FILSAFAT

Filsafat ilmu yang merupakan interaksi anatara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa
filsafat saat ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Dan juga sebaliknya,
ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Pembahasan filsafat ilmu sangat
penting karena akan mendorong manusia untuk lebih kreatif dan inovatif. Filsafat ilmu
memberikan semangat bagi perkembangan dan kemajuan ilmu dan sekaligus nilai-nilai moral
yang terkandung pada setiap ilmu. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena
itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan. Pengetahuan lama
menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru.
Dalam konteks filsafat ilmu, terdapat beberapa pendekatan yang berbeda. Salah satu
pendekatan yang dikenal adalah falsifikasi, yang dicetuskan oleh filsuf Karl Popper. Pendekatan
ini menekankan pentingnya mengujinya secara empiris untuk membedakan antara klaim yang bisa
diuji dan klaim yang tidak bisa diuji. Pendekatan lain adalah induksi, yang melihat pengetahuan
ilmiah sebagai hasil dari pengamatan dan generalisasi dari data yang ada. Filsafat ilmu memiliki
peran penting dalam memperkaya pemahaman kita tentang ilmu pengetahuan. Dengan
mempertanyakan dan menganalisis dasar-dasar ilmu pengetahuan, filsafat ilmu dapat membantu
menghasilkan pemikiran yang lebih kritis dan rasional. Melalui filsafat ilmu, kita dapat lebih
memahami sifat dan metode ilmu pengetahuan, serta konsekuensi etis dan sosialnya.

A. Review Video Kuliah Filsafat Prof. Marsigit


Kehidupan manusia yang metafisik atau manusia tidak sempurna karena itulah dia hidup di
dunia. Awal dari segala kegiatan dan sifat manusia ada dua bagian yaitu bagian atas fatal yaitu
terpilih atau bisa disebut dengan takdir. Bagian bawah vital yaitu terpilih atau bisa disebut dengan
ihtiar. Dari kedua ini munculah metafisik manusia yaitu sifat dibalik sifat, sifat mendahului sifat,
dan sifat mengikuti sifat. Dari berbagai sifat yang ada, sebaik-baiknya manusia adalah sifat
mengikuti sifat.
Pertama bagian atas sifat tetap yang lawanya bagian bawah yaitu berubah. Sifat yang kedua
adalah sifat idealsm atau mutlak yang mana bagian bawa adalah realism atau tanpa dibuat-buat.
Selanjutnya spiritualism dan kuasa tuhan atau clausa prema yaitu sebab dari segala sesuatu yang
terjadi di bumi. Bagian bawa selanjutnya materialism atau segala sesuatu adalah benda. Bagian
atas dinamakan definisi asumsi atau ketetapan awal. Bagian bawa dinamakan contoh atau yang
terpilih.
Takdir adala logika (logicism) atau disebut dengan pemikiran. Bagian bawa dinamakan
hukum alam. Bagian atas ada coherentism dan bagian bawa ada corespondentianism atau persepsi.
Bagian atas logika atau pemikiran kita bersifat analitik sedangkan bafian bawa bersifat sintetik.
Bagian atas ada yang dinamakan konsisten yaitu apa yang kamu pikirkan bersifat tetap dan bagian
bawa ada persepsi atau pengalaman. Selanjutnya bagian atas ada aksioma atau teorema yaitu
sesuatu yang bisa dipahami. Jika diatas disimbolkan sebagai langit dan bersifat formal dan
normative maka bagian bawa adalah bayangan dan bersifat material. Bagian atas bersifat apriori
atau telah memahami walaupun belum di lihat. Sedangkan bagian atas bersifat a pasteori atau tidak
bisa dipahami sebelum dilihat.
Semua dibumi akan mengalami perubahan. Yang tetap hukumnya adalah 𝐴 = 𝐴 dan bersifat
identitan atau mempunyai ciri khas. Bagian bawa 𝐴 ≠ 𝐴 dan bersifat kontradiksi atau
bertentangan. Bagian atas bersifat tautologia tau bernilai benar. Jika keduanya digabungkan maka
hukumnya 𝐴 = 𝐴 + 1.Bagian atas percaya Esa atau percaya akan tuhan maka bersifat monolism.
Bagian bawa bersifat pluralism dan keduanya digabungkan bersifat dualism. Maka munculah
seorang tokoh yaitu Imanuel Kant dengan teroinya tentang R. descartea, sceptiacm dan
fasionalism. Ditentang oleh Debit Hum dengan empirism.
Teori R Descartes mencari kebenaran sampai tidak mempercayai keberadaan tuhan atau
meragukan tuhan tetapi untuk mencari tuhan. Akhirnya ketemula istilah cogitu egusum yang
berbunyi “akua da karena aku berdiri”. Menurut teori R Dekartes sebenar benarnya ilmu haruslah
berdasar kepada rasio atau harus berdasarkan pemikiran. Sebenar- benarnya ilmu harus
berdasarkan pengalaman dan ilmu itu harus bersifat apriori. Jika ilmu hanya secara logis bagian
atas) maka tidak akan terjadi apa-apa begitupun jika hanya bagian bawah. Jadi ilmu adalah
perkawinan antara langit(bagian atas) dan bumi (bagian bawah) dimana buminya bersifat sintetik
dan langitnya bersifat apriori. Maka munculah jaman modern yaitu adanya perbedaan antara teori
R decartes dan Debit Hum dan munculah tokoh yang Bernama Aguster Compte pada tahun 1857
yang mengatakan “yang kamu kerjakan dan pikirkan tidak ada gunanya untuk membangun dunia.
Aguster Compte mengatakan bahwasanya agama tidak bisa digunakan untuk membangun dunia
karena tidak logis. Dibuku yang berjudul prositism urutan dari bawah yaitu agama, metafism dan
positif bagian atas. Dampak positif teknologi menghasilkan kesejahteraan dan Adapun dampak
negatifnya yaitu menghasilkan kemunafikan. Sekarang masyarakat sudah menjelma menjadi
archaic, tribal, tradicional, feudal, modern dan postmodern.

B. Review The Critique Of Pure Reason Immanuel Kant


Pengetahuan manusia digunakan untuk mempertimbangkan pertanyaa-pertanyaan yang
tidak dapat di pahami. Karena pertanyaan -pertanyaan tersebut timbul dari dirinya sendiri dan
belum mendapatkan jawaban yang disebabkan Karena belum bisa dipahami oleh pemikiran dari
manusia itu sendiri.
Manusia jatuh dalam kesulitan ini bukan karena kesalahanya sendiri. Hal ini dimulai karena
prinsip-prinsip yang tidak dapat diabaikan dalam bidang pengalaman. Suatu kebenaran
prinsipprinsip tersebut akan didapatkan jawabanya dari pengalam. Dengan prinsip-prinsip ini,
dengan mematuhi hukum-hukum alamnya, manusia naik ke dalam kondisi yang lebih tinggi dan
lebih terpencil. Mereka berpendapat bahwa, dengan car aini pekerjaan tidak akan selesai karena
pertanyaan-pertanyaan baru akan selalu muncu. Dengan demikian manusia mendapati dirinya
terpaksa menggunakan prinsip-prinsip selain yang berasal dari pengalaman sehingga ia jatuh ke
dalam kebingungan dan kontradiksi, sehingga menduga adanya kesalahan-kesalahan lain yang
bagaimanapun tidak dapat ditemukan karena prinsip yang digunakanya, yang melewati batas
pengalaman dan tidak dapat di uji dengan kriterian tersebut. Sesuati yang tidak ada habisnya
seperti ini dinamakan metafisik.
Pada awalnya pemerintahan berada di bawah administrasi yang dogmatis yang merupakan
deespotisme mutlak. Tapi, Ketika legislatif muncul dengan aturan barbar kuno, mereka secara
perlahan runtuh dan munculah pemerintahan anarki. Sedangkan seseorang yang skeptis membenci
tempat tinggal yang permanen sehingga menyerang dari waktu ke waktu dan kemudian bergabung
ke dalam Masyarakat sipil dengan jumlah mereka yang sangat kecil. Karena silsilah ini tidak benar,
sehingga dia bertahan dalam perkembangan klaimnya mengenai kedaulatan.
Dengan demikian , metafisik jatuh Kembali ke dalam konstitusi kuno dan dogmatism yang
telah jatuh Kembali karena adanya penghinaan yang telah dilakukan untuk mempertahankanya.
Karena metode tersebut berasal dari persuasi umum sehingga hasilnya hanyalah kelelahan dan
sikap acuh dan sebagai induk dari kekacauan dan kegelapan dunia ilmiah . objek tersebut tidak
dapat mengabaikan kemanusiaan.
Selain itu kepura-puraan dan ketidakpedulian ini, meskipun telah coba disamarkan dengan
asumsi bergaya popular dan dengan perubahan Bahasa dalam mazhab tersebut, tetap jatuh kedalam
deklarasi metafisik proporsi yang mereka anut dengan menganggapnya sebagai penghinaan. Pada
saat yang sama telah muncul ketidakpedulian ini telah muncul didunia sains dan berhubungan
dengan jenis pengetahuan yang telah kita liat kehancuranya . hal tersebut merupakan fenomena
yang baik sehingga layak untuk memperoleh perhatian dan pemikiran kita. Penilaian ini
merupakan penyelidikan yang kritis tentang akal budi murni.
Sangat sering terdengar keluhan tentang kedangkalan pada zaman sekarang dan
pembusukan ilmu yang parah. Tetapi orang yang bersandar pada landasan yang aman seperti
matematika, ilmu fisika, setidaknya yang paling layak menerima celaan ini, tetapi karena mereka
lebih suka mempertahankan ketenaran kuno mereka, dan dalam kasus terakhir memang jauh
melampaui penyelidikan ini. Hal yang sama juga akan terjadi dengan jenis kognisi yang lain jika
prinsipprinsip tersebut tidak kuat.
Pada bukunya dia tidak bermaksud semua ini sebagai kritik terhadap berbagai buku dan
berbagai system, tetapi merupakan penyelidikan kritis terhadap bidang akal budi, dengan mengacu
pada kognisi di mana ia berusaha mencapainya tanpa bantuan pengalaman. Dengan kata lain,
sebagai solusi atas pertanyaan mengenai kemungkinan atau kemustahilan metafisik, dan penetuan
asal usul serta tingkat dan batas ilmu ini. Semua ini harus dilakukan atas dasar prinsip. Memang
benar bahwa pertanyaan-pertanyaan ini belum dipecahkan sebagai dogmatism sebagaimana yang
diinginkan oleh Hasrat karena dia hanya dipuaskan melalui Latihan seni magis. Tapi semua ini
tidak muncul pada batas kemampuan mental kita, hal itu merupakan tugas filsafat untuk
menghancurkan ilusi yang memiliki asal-usul mereka dari kesalapahaman.
Tujuan utama penulis dalam menyelesaikan karyanya ini adalah ketelitian. Penulis
mengatakan bahwa tidak ada masalah metafisik yang tidak ditemukan solusinya atau kunci
solusinya ada dalam persoalan. Jika prinsip ini dikemukakan olehnya dan terbukti tidak cukup
untuk memberikan solusi, bahkan dari pertanyaan-pertanyaan di mana teori tentang akal budi itu
dilahirkan, kita harus menolaknya , karena kita tidak dapat memastikan secara sempurna dalam
kasus lain yang memadai. Tujuan yang ditetapkan dihadapan kita tidak diusulkan secara
sembarangan, tetapi dipaksakan kepada kita oleh sifat kognisi. Pernyataan tersebut berhubungan
dengan soal pertanyaan kritis. Mengenai kepastian dalam lingkup pemikiran , pendapat saja tidak
dapat diterima, dan bahwa segala sesuatu yang memiliki kemiripan dengan hipotesis tidak dapat
digunakan karena tidak memiliki nilai dalam diskusi tersebut. Pandangan yang digunakan
memiliki dua sisi, satu yang berkaitan dengan dengan objek pemahaman murni, dan dimaksudkan
untuk menunjukan dan untuk membuat validitas objektif yang dapat dipahami dari konsep
sebelumnya. Dan dalam akal budi ini ia membentuk bagian penting dalam kritik tersebut.
Pembahasan tentang pemahaman murni, tentang kemungkinanya dan tentang kekuatan
kognisinya yaitu dari sudut pandang subjektif dan meskipun eksposisi ini sangat penting, pada
dasarnya ia bukan tujuan utama. Karena pertanyaan besarnya adalah apa dan seberapa banyak akal
budi dan pemahaman, terlepas dari pengalaman dan yang perlu diperhatikan adalah bukan
bagaimana kemungkinan tentang kemampuan akal budi tersebut. Karena yang terakhir merupakan
penyelidikan terhadap penyebab dari efek tertentu sehingga didalamnya terdapat beberapa
kemiripan hipotesis.
BAB IV
MENERAPKAN FILSAFAT
Filsafat merupakan salah satu hal yang paling penting untuk diperhatikan dalam bidang
pendidikan. Hal ini disebabkan filsafat sangat efektif dalam menyelesaikan beberapa permasalahan
dalam bidang pendidikan dan kehidupan sehari-hari (Sadewo et al., 2022). Keterkaitan antara
filsafat dan pendidikan kuat karena melalui filsafat, guru dapat memberikan pendidikan dengan
konsep-konsep abstrak seperti matematika sehingga siswa dapat lebih mudah memahaminya
(Ismail et al., 2019). Inilah yang menjadi dasar landasan bahwa guru perlu memahami filsafat
pendidikan dengan baik. Filsafat dan matematika saling berkaitan satu sama lain. Keduanya terkait
untuk mencapai tujuan utama filsafat matematika, yaitu menjelaskan tempat matematika dalam
sistem pendidikan. Menjelaskan tempat matematika dalam sistem pendidikan merupakan tujuan
utama filsafat matematika (Syahnia et al., 2022).
Tujuan utama penciptaan matematika adalah untuk memudahkan kehidupan dan
memecahkan berbagai permasalahan (Manik et al., 2022). Filsafat yang diartikan sebagai proses
mental menjelaskan makna keberadaan dan fungsi matematika untuk memberikan pemahaman
yang jelas tentang tempat dan fungsi matematika. Untuk memecahkan masalah, orang yang
mempelajari matematika harus mampu berpikir kritis, kreatif, abstrak, dan logis. Melalui
mengasah teknik pemecahan masalah matematika, masyarakat diyakini akan mampu
menggunakan matematika untuk mengatasi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari (Ilham,
2019).

A. Sejara Perkembangan Matematika


Berggren, JL (2004) menyatakan bahwa banyak dokumen asli yang masih ada yang ditulis
oleh para juru tulis menjadi dasar bagi penemuan matematika yang dilakukan di Mesopotamia
dan Mesir Kuno. Matematika pada masa itu bisa terungkap dari artefak-artefak tersebut, meski
jumlahnya tidak banyak. Terlepas dari kenyataan bahwa matematika Mesopotamia masih primitif
dan tidak terorganisir secara deduktif seperti matematika modern, artefak matematika
mengungkapkan bahwa orang Mesopotamia memiliki pengetahuan matematika yang luar biasa.
Artefak yang ditemukan dan kemudian diberi nama Papirus Rhind (pertama kali diedit pada tahun
1877) menawarkan wawasan tentang pesatnya perkembangan matematika di Mesir kuno.
Kerajaan Sumeria (3000 SM), rezim Akkadia dan Babilonia (2000 SM), kerajaan Asyur (1000
SM), Persia (abad ke-6 hingga ke-4 SM), dan Yunani (1000 SM) termasuk di antara kerajaan-
kerajaan yang artefaknya berkaitan dengan matematika telah ditemukan.
Thales dan Pythagoras adalah dua ahli matematika paling terkemuka yang diketahui pernah
ada di Yunani kuno. Meskipun Pythagoras dan Thales adalah orang pertama yang berpikir secara
geometris, Pythagoras adalah orang yang mulai melakukan atau menghasilkan bukti matematis.
Elements, buku pertama tentang geometri yang disusun dengan deduksi, berisi catatan karya
monumental Euclides hingga dan termasuk masa pemerintahan Alexander Agung dari Yunani.
Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai hubungan antara matematika Islam
awal dengan matematika Yunani dan India karena banyak risalah penting dari matematika Islam
era ini telah hilang. Selain itu, sulit bagi kita untuk menentukan kontribusi yang tepat yang
diberikan oleh matematikawan Islam terhadap perkembangan matematika di Eropa karena jumlah
dokumen yang relatif sedikit. Namun, terbukti bahwa para matematikawan Islam memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan pemikiran modern, yang mulai muncul setelah
Abad Kegelapan dan berlanjut hingga abad ke-15 Masehi.
Dengan kemajuan teknologi pencetakan pada abad ke-16, para ahli matematika dapat
menerbitkan beberapa karya terbaik mereka dan terlibat dalam komunikasi yang lebih intensif
satu sama lain. Ia berusaha mengembangkan matematika sebagai sistem yang terpadu,
komprehensif, dan konsisten hingga zaman Hilbert. Murid Hilbert sendiri, Godel, membantah
atau membuktikan kesalahan upaya Hilbert dengan menyatakan bahwa matematika tunggal,
komprehensif, dan konsisten tidak dapat diciptakan. Dokumen yang disimpan di Berlin berisi soal
aljabar dan geometri lama. Contoh dari salah satu permasalahan ini adalah menghitung panjang
diagonal persegi panjang. Mereka menemukan bentuk segitiga siku-siku dengan menggunakan
hubungan panjang sisi-sisi persegi panjang. Teorema Pythagoras mengacu pada hubungan antara
sisi-sisi sudut siku-siku ini. Sebelum penemuan teorema Pythagoras oleh Pythagoras, teorema ini
telah digunakan selama lebih dari satu milenium.
Sistem bilangan seksagesimal ditemukan oleh orang Babilonia, yang menggunakannya untuk
melakukan perhitungan astrologi. Dengan menghubungkan kejadian-kejadian dengan kejadian
astronomi seperti gerhana bulan dan titik balik siklus planet (konjungsi, oposisi, titik stasioner,
dan jarak pandang pertama dan terakhir), para astronom Babilonia mencoba memprediksi
kejadian di masa depan. Mereka menemukan metode untuk menambahkan suku-suku yang tepat
dalam barisan aritmatika untuk menentukan posisi ini, yang dinyatakan dalam derajat lintang dan
bujur dan diukur relatif terhadap jalur pergerakan tahunan Matahari. Selain Mesopotamia dan
Babilonia, lingkungan Mesir dengan sungainya yang luas dan panjang berdampak pada
matematika di Mesir kuno dan membantu menopang peradaban Mesir. Persoalan hubungan sosial
muncul dari kenyataan bahwa aktivitas kelangsungan hidup masyarakat Mesir dihadapkan pada
kondisi lingkungan yang dapat menimbulkan konflik. Salah satu contohnya adalah mencari tahu
batas-batas ladang, areal, atau persawahan di tepian Sungai Nil pasca banjir bandang yang
merendam tanah mereka hingga beberapa meter. Dari salah satu kasus tersebut, muncul konsep
mengenai dimensi, bentuk, dan batas wilayah. Oleh karena itu, geometri telah menjadi bidang
matematika yang berkembang pesat di Mesir Kuno.
Orang Yunani mempunyai akses terhadap teknik yang diciptakan oleh orang Babilonia dan
Masir Kuno dalam waktu yang relatif singkat mungkin satu abad atau kurang. Misalnya,
Hipparchus (abad ke-2 SM) mengadopsi gaya seksagesimal dan kemudian menggunakan metode
Mesopotamia, meskipun pada awalnya ia lebih menyukai pendekatan geometris dari
pendahulunya dari Yunani. Ia dibawa ke Eropa oleh orang-orang Yunani, di mana ia diadopsi oleh
para ilmuwan Arab pada Abad Pertengahan dan terus digunakan secara luas dalam astronomi
matematika selama era Renaisans dan awal era Modern. Menit dan detik masih digunakan sampai
sekarang untuk mengukur sudut dan waktu. Aspek matematika Babilonia yang sampai ke Yunani
meningkatkan kualitas karya matematika dengan menanamkan kepercayaan diri melalui
pembuktian matematika selain kepercayaan pada bentuk fisik. Pythagoras dari zaman Yunani
Kuno mulai membuktikan secara matematis prinsip Teorema Pythagoras yang telah dikenal sejak
zaman Babilonia, atau kira-kira seribu tahun sebelum zaman Yunani.
Periode klasik matematika di Yunani Kuno, yang berlangsung sekitar tahun 600 SM hingga
300 SM, menyaksikan transformasi matematika dari alat praktis menjadi kerangka logis untuk
pengetahuan deduktif. Matematika menjadi ilmu ketika penekanannya bergeser dari penyelesaian
masalah dunia nyata ke pemahaman kebenaran umum matematika dan penciptaan objek teoretis.
Landasan logis matematika adalah sesuatu yang dianggap serius oleh orang Yunani. Penganut
Pythagoras berupaya menentukan panjang tepat sisi miring suatu segitiga siku-siku. Namun,
mereka tidak dapat mengidentifikasi satu angka pun yang diterapkan pada ketiga sisi segitiga
pada skala yang sama. Adanya skala yang tidak sama untuk memperoleh bilangan tertentu pada
sisi miringnya, dan hal inilah yang kemudian dikenal dengan masalah Incommensurability.
Mereka menemukan bahwa panjang sisi miring pada akhirnya adalah bilangan irasional dan
bukan bilangan bulat jika mereka dipaksa untuk menggunakan skala yang sama (atau sepadan).
Kontribusi Euclides pada geometri aksiomatik mewakili pencapaian terbesar Yunani Kuno.
Elemen merupakan sumber utama yang digunakan untuk merekonstruksi buku Euclides pra-
Euclidean, yang sebagian besar isinya masih dapat diterapkan dan digunakan hingga saat ini. Ada
tiga belas volume di Element. Kesesuaian segitiga, sifat-sifat garis sejajar, dan hubungan luas
antara segitiga dan jajar genjang dibahas dalam Buku I; himpunan yang berkaitan dengan persegi,
persegi panjang, dan segitiga ditetapkan dalam Buku II; sifat-sifat lingkaran dibahas dalam Buku
III; dan poligon di dalam lingkaran dibahas dalam Buku IV. Jelas bahwa sejarah buku Elemen ini
berlangsung selama berabad-abad, karena sebagian besar Buku I–III berisi tulisan Hippocrates,
dan Pythagoras dianggap menulis sebagian besar isi Buku IV. Buku V menguraikan sebuah teori
umum proporsi, yaitu sebuah teori yang tidak memerlukan pembatasan untuk besaran sepadan.
Ini teori umum berasal dari Eudoxus. Berdasarkan teori, Buku VI menggambarkan sifat
bujursangkar dan generalisasi dari teori kongruensi pada Buku I. Buku VII-IX berisi tentang apa
yang oleh orang-orang Yunani disebut "aritmatika," teori bilangan bulat. Ini mencakup sifat-sifat
proporsi numerik, pembagi terbesar, kelipatan umum, dan bilangan prima(Buku VII); proposisi
pada progresi numerik dan persegi (Buku VIII), dan hasil khusus, seperti faktorisasi bilangan
prima yang unik ke dalam, keberadaan yang tidak terbatas jumlah bilangan prima, dan
pembentukan "sempurna" angka, yaitu angka-angka yang sama dengan jumlah pembagi (Buku
IX). Dalam beberapa bentuk, Buku VII berasal dari Theaetetus dan Buku VIII dari Archytas. Buku
X menyajikan teori garis irasional dan berasal dari karya Theaetetus dan Eudoxus. Buku Xiberisi
tentang bangun ruang; Buku XII membuktikan theorems pada rasio lingkaran, rasio bola, dan
volume piramida dan kerucut.
Matematika Yunani telah meninggalkan warisan yang sangat besar, khususnya dalam
geometri. Sejak awal mulanya, matematika telah didefinisikan oleh orang-orang Yunani sebagai
bidang teoretis yang didedikasikan untuk menghasilkan hipotesis umum dan bukti formal, bukan
sebagai serangkaian prosedur. Meskipun terdapat tradisi yang tidak lengkap dan salah yang
dibawa ke Abad Pertengahan dan Renaisans, geometri telah dipelajari selama berabad-abad
karena luas dan beragamnya penemuan mereka, khususnya yang berasal dari abad ke-3 SM.
Pembaruan modern pada matematika kuno dan Yunani berkontribusi pada pertumbuhan eksplosif
subjek tersebut pada abad ke-17. Archimedes terinspirasi langsung oleh mekanika Galileo dan
perhitungan Kepler dan Cavalieri. Apollonius dan Pappus mempelajari geometri, namun
perkembangan baru di bidang tersebut seperti teori analitik Descartes dan teori proyektif
Desargues Girard juga menginspirasi mereka.
Sebagai perlawanan terhadap zaman kegelapan, ketika Gereja mengendalikan kebenaran,
pemikiran para filsuf meningkat seiring dengan matematika selama abad ke-17. Akibatnya,
Copernicus adalah seorang perintis yang menentang ajaran Gereja bahwa Bumi adalah pusat alam
semesta dan malah mengusulkan bahwa Matahari, bukan Bumi, adalah pusat tata surya, dan Bumi
berputar mengelilinginya. Renaisans memunculkan Era Modern yang ditandai dengan munculnya
matematikawan dan filsuf seperti Immanuel Kant, René Descartes, David Hume, Galileo, Kepler,
Cavalieri, dan lain-lain.

B. Ideologi Pendidikan
Dalam pendidikan dengan berbagai disiplin ilmu apapun hampir dipastikan ada aliran, faham
atau manhaj, atau ideologi yang berkembang di dalamnya. Dalam pendidikan matematika meski
dikenal sebagai ilmu pasti tidak terlepas pula dari aliran pendidikan. Artinya, pendidikan materi
yang berkembang sangat ditentukan dari aliran, konsep, dan teori yang melatarbelakanginya.
Dalam konteks kurikulum dan materi, pendidikan dilandasi pandangan filosofis tertentu.
Filsafat merupakan sumber dan awal bagi tumbuh dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi di berbagai negara di dunia. Ernest (1991) memiliki pandangan bahwa belajar adalah
membangun pengetahuan melalui komunikasi, oleh karenanya pendidikan matematika harus
membantu perkembangan konstruksi pengetahuan melalui keterkaitan aktif dan interaksi siswa.
Dalam konteks ini, penulis menyimpulkan bahwa belajar tentang teori matematika merupakan
teori perubahan konseptual atau konstruktivisme. Bentuk pendidikan matematika memainkan
peran yang sangat penting dalam menghasilkan kembali hirarki sosial, atau bisa jadi menantang
hirarki sosial. Pendidikan matematika mampu mengubah hirarki sosial.
Dalam konteks ini, Ernest (1991) memiliki pandangan mengenai pembelajaran juga terkait
dengan pandangan mengenai ilmu yang dipelajari, dalam hal ini yaitu matematika. Perbedaan
dalam memandang matematika menyebabkan perbedaan dalam membelajarkannya kepada siswa.
Ernest (1991) menyatakan dalam peta pendidikan yang dibuatnya terdapat lima ideologi yang
menjadi karakter suatu bangsa. Lima ideologi pendidikan matematika yaitu industrial trainer,
technological pragmatism, old humanist, progressive educator, dan public educator.
1. Industrial Trainer
Industrial Trainer secara konseptual yaitu berupa aliran atau faham pendidikan yang
menekankan kepada pelatihan atau training industri. Arah dari pelatihan ini lebih menekankan link
and math antara pendidikan dengan dunia usaha dan dunia industri. Dalam konteks pembelajaran
matematika atau di dalam pendidikan dasar, aliran industrial trainer yang dimaksudkan yaitu suatu
kegiatan pelatihan yang dilakukan kepada siswa. Pelatihan tersebut misalnya metode latihan,
hafalan, dan praktek. Pelatihan ini merupakan bagian dari persiapan yang dilakukan guru untuk
kehidupan siswa dalam menghadapi dunia kerja. Ini bertujuan untuk membantu siswa dalam
menanamkan kemampuan-kemampuan dan nilai-nilai yang sesuai dengan dunia atau tantangan
kerja di masa depan. Di industrial trainer, pendidikan tinggi di masa depan siswa tidak begitu diatur
atau diperhatikan.
Ketika dikaitkan dengan kurikulum 2013 pembelajaran menurut aliran industrial trainer tidak
relevan. Alasannya, pada industrial trainer guru menerapkan metode ceramah dan siswa hanya
pasif selama pembelajaran atau dengan kata lain siswa merupakan wadah kosong yang harus diisi
oleh guru dengan berbagai ilmu matematika. Guru sangat berperan di tahap ini, karena guru
bertugas untuk mentransfer ilmu matematika yang dimilikinya kepada siswa. Pembelajaran seperti
inilah yang menyebabkan siswa tidak memahami konsep dari matematika itu karena, mereka lebih
cenderung menghafal. Maka ketika aliran diterapkan kurang begitu sesuai.
2. Technological Pragmatist
Technological Pragmatist merupakan kelompok modern yang turun dari industrial trainer yang
bertugas untuk mempromosikan ideologi versi modern dengan tujuan utilitarian yaitu asas
kebergunaan atau kemanfaatan. Dalam konsepnya, Technological Pragmatist ini dapat disebut
sebagai faham, aliran, atau sikap dan perilaku politik yang tidak menginginkan adanya perubahan
yang berarti mendasar dalam sebuah sistem. Sikap ini biasanya dianut oleh mereka yang tengah
menikmati posisi istimewa atau kekuasaan dalam sebuah struktur atau paling tidak merasa sangat
diuntungkan oleh sistem yang ada.
Kelompok pada aliran ini khawatir dengan perkembangan pendidikan pada tahap industrial
trainer makanya, mereka membuat kelompok baru yang menerapkan perkembangan teknologi.
Secara epistemologis, perspektif teknologi pragmatis dilihat sebagai sebuah pengetahuan yang
dapat diterapkan dalam aplikasi praktis dan punya nilai guna. Ketika dikaitkan dengan matematika,
aliran ini menganggap bahwa matematika merupakan science of truth atau ilmu yang dianggap
benar. Dengan kata lain, matematika dipandang sebagai sesuatu yang tetap dan mutlak. Pernyataan
ini sejalan dengan pernyataan Immanuel Kant yang menyatakan bahwa pembelajaran matematika
itu lebih mementingkan logika, bukan sebuah pengalaman.
Ketika dikaitkan dengan pelaksanaan Kurikulum 2013, pembelajaran menurut aliran
Technological Pragmatist tidak sesuai. Alasannya, pembelajaran menurut Kurikulum 2013 itu lebih
mementingkan pengalaman siswa selama belajar matematika. Dalam konteks ini siswa memperoleh
pengetahuan tentang matematika melalui kegiatan atau pengalaman selama belajar matematika.
Sedangkan, pembelajaran pada aliran ini tidak mementingkan pengalaman melainkan lebih
mementingkan logika. Pembelajarannya dalam konteks ini lebih mengutamakan hasil yang
diperoleh daripada proses pelaksanaannya. Padahal, pada technological pragmatist ini, peserta didik
masih merupakan bejana kosong. Oleh karena itu, agar proses pembelajaran matematika menjadi
bermakna, siswa tersebut harus dituntut untuk mencari pengalaman sendiri dalam belajar
matematika, bukan mementingkan hasilnya saja.

3. Old Humanist
Aliran ini sering disebut “humanis lama” atau “humanis tua”. Kelompok ahli lama
menganggap ilmu pengetahuan murni menjadi berguna hanya pada kebenarannya sendiri. Akan
tetapi realitasnya, ahli matematika lama menganggap matematika sebagai barang berharga dan
juga sebuah unsur pusat kebudayaan. Dalam matematika pembuktian logika, struktur, abstraksi,
penyederhanaan memiliki nilai. Berdasarkan nilai ini, tujuan pendidikan matematika adalah
komunikasi dari metematika itu sendiri. Ideologi kelompok ini dipisahkan kemutlakan nisbian.
Matematika dipandang sebagai Structure of truth (struktur kebenaran). Nilai moral diajarkan
oleh orang tua kepada anaknya. Hal ini memandang orang tua memiliki peran dalam menentukan
moral anaknya. Kelompok humanis tua merupakan kelompok yang mementingkan
penyempurnaan diri sendiri dengan cara membangun karakter kemanusiaan. Jika dikaitkan dengan
pembelajaran matematika, menurut aliran ini pembelajaran yang dilakukan hendaknya dapat
membangun karakter siswa sehingga, siswa juga memiliki karakter yang baik di masa depan selain
mereka ahli di bidang matematika. Pembelajaran menurut aliran ini sudah mementingkan
pemahaman konsep matematika, tetapi pembelajaran yang dilakukan guru masih menggunakan
metode ceramah. Menurut aliran ini, matematika dianggap sebagai nilai kebenaran sendiri. Hal ini
sejalan dengan bahasa analog dari matematika yaitu matematika merupakan “ratu ilmu
pengetahuan”. Dalam matematika ketelitian, bukti logis, struktur, abstraksi, kesederhanaan,
keanggunan yang dihargai.
Pada kurikulum 2013 ketika pembelajarannya dikatikan perspektif humanis tua dapat
disimpulkan sudah sedikit mengarah kepada pelaksanaan pembelajaran menurut kurikulum 2013
karena, selain mementingkan ilmu matematika karakter siswa juga harus diperhatikan. Teori
pembelajarannyapun sudah memperhatikan pemahaman konsep siswa tentang matematika dan
penerapan ilmu matematika terhadap kehidupan sehari-hari siswa. Namun, di aliran humanis tua
ini, guru masih menerapkan metode ceramah. Menurut Kurikulum 2013, pembelajaran
matematika itu hendaknya dilakukan oleh siswa sendiri agar, pemahaman konsep tentang
matematika itu dapat dimengerti siswa dengan tepat.

4. Progressive Educator
Dalam hal ini pendidikan progresif berlandaskan pada progresivisme yang beranggapan bahwa
pendidikan harus didasarkan pada hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang paling baik
belajar apabila berada dalam situasi kehidupan nyata dengan orang lain. Teori progresivisme
sebetulnya merupakan perluasan pikiran-pikiran pragmatisme pendidikan. Teori ini memandang
siswa sebagai makhluk sosial yang aktif. Pada teori ini, belajar yang paling baik itu apabila
dikaitkan dengan situasi kehidupan nyata siswa. Pembelajarannya juga harus terpusat pada siswa.
Dalam konteks pembelajaran matematika, maka tujuan pendidikan matematika menuntut
kreativitas siswa dan dalam pembelajaran melibatkan keatifan siswa. Teori pembelajarannya
adalah eksplorasi. Teori pengajarannya adalah konstruktivis atau membangun dan
mengembangkan pengetahuannya sendiri. Berdasarkan pada kebutuhan siswa, pola pendidikan ini
menggunakan alat atau fasilitas yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi
dirinya dan membangun pengetahuannya sendiri. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa siswa
diizinkan untuk mengikuti semua keinginannya, karena mereka belum cukup matang untuk
menentukan tujuan yang memadai.
Dalam konteks aliran ini, sumber pembelajarannya dapat menggunakan apa saja, seperti buku,
diktat, buku daras, modul, LKS ataupun dari lingkungan. Ini nantinya akan menuntut siswa untuk
mengembangkan kreativitas mereka dalam melaksanakan pembelajaran matematika. Oleh karena
itu, penilaian yang dapat dilakukan pada pembelajaran ini yaitu portofolio. Berdasarkan
Kurikulum 2013, penilaian ini dianggap lebih reliable dan valid daripada penilaian pada umumnya.
Pasalnya, portofolio dipandang sebagai proses penilaian yang tidak mengutamakan hasil saja,
melainkan prosesnya juga dilihat secara empiris.

5. Public Educator
Public educator merupakan kelompok atau kaum yang berideologi demokrasi. Pada aliran ini,
pendidikan dapat dimiliki oleh siapapun. Dengan kata lain, pendidikan itu tidak melihat gender,
ras, jenis kelamin, status sosial, dan lainnya. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan
ini layaknya pendidikan inklusif yang mengumakan Gender Equality, Disability and Social
Inclusion (GEDSI).
Menurut public educator pendidikan hendaknya bertujuan menyediakan pengalaman untuk
menemukan atau memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sosialnya.
Pada hakikatnya masyarakat adalah terbaik, namun masyarakat yang demokratis merupakan
masyarakat terbaik dimana terdapat kesempatan untuk setiap pekerjaan dan dalam demokrasi tidak
mengenal adanya stratifikasi sosial. Menurut aliran ini, matematika merupakan suatu kegiatan
sosial yang didasarkan pada konsep-konsep matematika. Ini bertujuan agar siswa dapat memiliki
pengalaman dalam menemukan atau memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi maupun
sosial yang berkaitan dengan matematika.
Ketika ditinjau dengan pelaksanaan pembelajaran menurut Kurikulum 2013, pembelajaran
menurut aliran public educator ini sudah sesuai berdasarkan Kurikulum 2013 karena, sifat
pembelajaran yang dilakukan telah mengacu pada enam pengalaman belajar yaitu mengamati,
menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, mengkomunikasikan, dan mencipta. Peserta
didik dalam hal ini dituntut aktif mencari dan membangun pengetahuan, bukan menerima
pengetahuan. Sementara model-model pembelajaran yang dapat diterapkan dan dirumuskan dalam
kurikulum baru meliputi discovery/inquiry learning, project based learning di mana siswa
menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah, serta collaborative learning.

C. CMAP Theory Learning


Berikut ini beberapa teori belajar yang termuat dalam Cmap Theory Learning :
1. Teori Behaviourism (Behavioristik)
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya
interaksi antara stimulus dan respon. Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input
yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons. Faktor lain yang juga
dianggap penting oleh aliran behaviotistik adalah faktor penguatan (reinforcement). Penguatan
adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive
reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative
reinforcement) responpun akan tetap dikuatkan. Selain itu, dalam teori belajar ini motivasi sangat
berpengaruh dalam proses belajar. Pandangan teori ini menganggap bahwa belajar merupakan
proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu.

2. Teori Belajar Pendekatan Kognitif


Teori belajar behavioristik lama kelamaan tergantikan oleh teori belajar kognitif. Teori belajar
kognitif berbeda dengan teori belajar behavioristik. Teori belajar kognitif lebih mementingkan
proses belajar dari pada hasil belajarnya. Tidak seperti model belajar behavioristik yang
mempelajari proses belajar hanya sebagai hubungan stimulus-respon, model belajar kognitif
merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai model perseptual. Model belajar
kognitif mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya
tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan
persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak.
Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup
ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar
merupakan aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Proses belajar terjadi
antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur
kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman
dan pengalaman-pengalaman sebelumnya.

3. Teori Belajar Perkembangan Kognitif


Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses
yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin
bertambahnya umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin
meningkat pula kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, akan
mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya
perubahanperubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya. Piaget tidak melihat perkembangan
kognitif sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa
daya pikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.
Menurut Piaget, proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi,
dan ekuilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi merupakan proses pengintegrasian atau
penyatuan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki oleh individu. Proses
akomodasi merupakan proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru.
Sedangkan proses ekuilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan
akomodasi. Sebagai contoh, seorang anak sudah memahami prinsip pengurangan. Ketika
mempelajari prinsip pembagian, maka terjadi proses pengintegrasian antara prinsip pengurangan
yang sudah dikuasainya dengan prinsip pembagian (informasi baru). Inilah yang disebut proses
asimilasi. Jika anak tersebut diberikan soal-soal pembagian, maka situasi ini disebut akomodasi.
Artinya, anak tersebut sudah dapat mengaplikasikan atau memakai prinsip-prinsip pembagian
dalam situasi yang baru dan spesifik.

4. Teori Belajar Kontruktivisme (Papert)


Konstruksionisme menganjurkan pembelajaran penemuan yang berpusat pada siswa di mana
siswa menggunakan informasi yang sudah mereka ketahui untuk memperoleh lebih banyak
pengetahuan.Siswa belajar melalui partisipasi dalam pembelajaran berbasis proyek di mana
mereka membuat hubungan antara berbagai ide dan bidang pengetahuan yang difasilitasi oleh
guru melalui pembinaan daripada menggunakan ceramah atau panduan langkah demi langkah.
Lebih lanjut, konstruksionisme berpendapat bahwa pembelajaran dapat terjadi paling efektif
ketika orang aktif membuat objek berwujud di dunia nyata.
Seymour Papert mendefinisikan kata “konstruksionisme adalah mnemonik untuk dua aspek
teori pendidikan sains yang mendasari proyek ini. Dari teori psikologi konstruktivis, kami
memandang pembelajaran sebagai rekonstruksi daripada sebagai transmisi pengetahuan. .
Kemudian kami memperluas gagasan bahan manipulatif ke gagasan bahwa belajar paling efektif
ketika bagian dari suatu aktivitas yang dialami pelajar sebagai membangun produk yang
bermakna.” Pembelajaran berbasis masalah adalah metode konstruksionis yang memungkinkan
siswa untuk mempelajari suatu subjek dengan mengekspos mereka pada berbagai masalah dan
meminta mereka untuk membangun pemahaman mereka tentang subjek melalui masalah tersebut.
Papert telah menjadi pendukung besar dalam membawa teknologi ke ruang kelas, dimulai
dengan penggunaan awal bahasa Logo untuk mengajar matematika kepada anak-anak. Sementara
konstruksionisme, karena dorongannya, terutama digunakan dalam pengajaran sains dan
matematika (dalam bentuk sains berbasis inkuiri ), konstruksionisme berkembang dalam bentuk
yang berbeda di bidang studi media di mana siswa sering terlibat dengannya. teori dan praktek
media secara bersamaan dalam sebuah praksis yang saling melengkapi.

5. Teori Aktivitas (Leont’ev)


Teori aktivitas lebih merupakan meta-teori atau kerangka kerja deskriptif daripada teori
prediksi. Ini menganggap seluruh sistem kerja / aktivitas (termasuk tim, organisasi, dll.) Di luar
hanya satu aktor atau pengguna. Ini menjelaskan lingkungan, sejarah orang, budaya, peran
artefak, motivasi, dan kompleksitas aktivitas kehidupan nyata. Tujuan dari teori aktivitas adalah
memahami kemampuan mental seorang individu. Namun, ia menolak individu yang terisolasi
sebagai unit analisis yang tidak memadai, menganalisis aspek budaya dan teknis dari tindakan
manusia .

6. Teori Belajar Konektivisme (Siemens)


Teori konectivisme, diperkenalkan pertama kali oleh George Siemens, dimana teori ini
mengintegrasikan prinsip-prinsip yang digali melalui teori chaos, jejaring, kompeksitas dan self
organizing. Di dalam teori ini, pembelajaran merupakan suatu proses yang terjadi di dalam
lingkungan perubahan inti pembelajaran yang tidak sepenuhnya dalam kendali oleh seorang
individu. Menurut teori konnectivisme, kegiatan pembelajaran dimulai dari kegiatan mengetahui
sampai dengan kegiatan menciptakan pengetahuan yang dapat dilakukan (actioneble knowledge).
engambilan keputusan di era digital, akan didasarkan pada landasan-landasan yang berubah
secara cepat, karena informasi baru akan diperoleh secara terus menerus dan berkelanjutan,
sehingga diperlukan kemampuan untuk dapat membedakan mana informasi yang penting dan
tidak penting. Beberapa prinsip utama dalam teori connectivisme anta lain :
➢ pembelajaran merupakan suatu proses penghubungkan beberapa sumber informasi
➢ mendorong dan memelihara hubungan untuk memfasilitasi terjadinya pembelajaran
berkelanjutan (continual learning)
➢ kemutakhiran dan keakuratan pengetahuan merupakan tujuan dari kegiatan pembelajaran
➢ dapat memilah, memilih dan mengelola informasi untuk penentuan pengambilan suatu
keputusan.
Siemens (2008) menggambarkan kategori pembelajaran kedalam tiga framework
epistemologi, yang disebut dengan objectivism, pragmatism dan interpretivism. Objectivism
berkaitan dengan pola pikir, pengetahuan dan persepsi. Di dalam pragmatisme dinyatakan bahwa
pengetahuan merupakan sebuah negoisasi antara refleksi, pengalaman, inquiry serta suatu
tindakan. Interpretivism memposisikan bahwa pengetahuan berada pada konstruksi internal serta
diinformasikan melalui sosialisasi dan budaya.
No. Paradigma/Teori/Metode Sintak Penilaian
Pendekatan/Model/Strategi
1. Teori Behaviorism 1. Mengidentifikasi tujuan Aunthentic
pembelajaran
2. Melakukan analisis
pembelajaran
3. Mengidentifikasi
karakteristik dan
kemampuan awal belajar
4. Menentukan indicator
keberhasilan belajar
5. Mengembangkan bahan ajar
6. Mengembangkan strategi
pembelajaran
7. Mengamati stimulus yang
mungkin dapat diberikan
(Latihan, tugas, tes dll)
8. Mengamati dan menganalisis
respon belajar
9. Memberikan penguatan
Merevisi kegiatan pembelajaran
2. Meaningful Learning 1. Menentukan sebuah tujuan 1. Active
pembelajaran. 2. Constructvie
2. Melakukan identifikasi 3. Aunthentic
terkait karakteristik siswa, 4. Intentional
mulai dari kemampuan awal, Collaborative
gaya belajar, motivasi, dan
lain sebagainya.
3. Memilih materi pelajaran
yang sesuai dengan
karakteristik siswa dan
mengaturnya ke dalam
bentuk konsep inti.
4. Menentukan topik-topik dan
menampilkannya dalam
bentuk advance organizer
yang nantinya akan dipelajari
oleh para siswa.
Mempelajari konsep
3. Problem Solving 1. Mengidentifikasi masalah 1. Aunthentic
dengan jelas 2. Penilaian Assesment
2. Menganalisis masalah
3. Merencanakan solusi dari
masalah
4. Melaksanakan solusi
Pengujian dan evaluasi
4. PJBL 1. Menentukan pertanyaan 1. Assesment
mendasar 2. Proyek
2. Menyususn desain
perencanaan
3. Membuat jadwal aktivitas
4. Melakukan monitor pada
perkembangan kinerja
peserta didik
5. Menguji hasil kinerja peserta
didik
Mengevaluasi pengalaman
5. Realistic Mathematics Education 1. Memahami masalah Assessment
(RME) kontekstual
2. Menyelesaiakn masalah
kontekstual
3. Membandingkan dan
mendiskusikan jawaban
4. Menyimpulkan
6. Saintifik 1. Mengamati 1. Assessment
2. Menanya 2. Authentic
3. Mengumpulkan
informasi/mencoba
4. Menalar/mengasosiasi
Mengomunisasikan
7. Activity Theory 1. Orientasi Awal 1. Keaktifan siswa di
2. Pembentukan dan Penugasan kelas
Tim Test Formatif &
3. Eksplorasi Sumatif
4. Belajar Menjadi Tim Ahli
5. Re-Orientasi
6. Presentasi Tim dalam Kelas
7. Pengecekan Pemahaman
8. Refleksi dan Penyimpulan
9. Evaluasi Formatif
8. Teori Polya 1. Memahami masalah Assessment
2. Merencanakan masalah
3. Melaksanakan rencana
4. Melihat Kembali
9. Contextual Teaching And Learning 1. Kembangkan pemikiran Authentic
bahwa anak akan belajar
lebih bermakna dengan cara
bekerja sendiri, menemukan
sendiri, dan mengkonstruksi
sendiri pengetahuan dan
ketrampilan barunya.
2. Laksanakan sejauh mungkin
kegiatan inkuiri untuk semua
topik.
3. Kembangkan sifat ingin tahu
siswa dengan bertanya.
4. Ciptakan masyarakat belajar
(belajar dalam kelompok-
kelompok)
5. Hadirkan model sebagai
contoh pembelajaran.
6. Lakukan refleksi di akhir
pertemuan.
7. Lakukan penilaian yang
sebenarnya dengan berbagai
cara.

10. Problem Based Learning (PBL) 1. Oriantasi terhadap masalah 1. Pengetahuan


2. Organisasi belajar 2. Sikap
3. Penyelidikan individual 3. keterampilan
maupun kelompok
4. Pengembangan dan
penyajian hasil penyelesaian
masalah
5. Analisis dan evaluasi proses
penyelesaian masalah
11. Discovery Learning 1. Pemberian rangsangan 1. Pengetahuan
(stimulation) 2. Sikap
2. Identifikasi masalah keterampilan
(problem statetment)
3. Pengumpulan data (data
collection)
4. Pengelolaan data (data
processing)
5. Pembuktian (verification)
Menarik kesimpulan
(generalisation)
12. Group Inestigasion (GI) 1. Grouping (Pengelompokan)
2. Planning (persiapan )
3. Inestigating (Meynyelidid)
4. Presenting
(Mempresentasikan)
Evaluating (Mengevaluasi)
13. Jigsaw 1. Menyampaikan tujuan, Assessment for
pentingnya topik dan Learning (AFL)
motivasi siswa
2. Memberikan materi kepada
siswa
3. Menjelaskan bagaimana cara
pembentukan kelompok
Jigsaw
4. Membimbing kelompok
belajar pada saat
mengerjakan tugas
5. Mengevaluasi hasil belajar
dan setiap kelompok
mempresentasikan
Mencari cara untuk
menghargai baik Upaya
maupun hasil belajar
individu dan kelompok
14. Think Pair Share (TPS) 1. Tahap pendahuluan 1. Authentic
2. Tahap berpikir (thinking) 2. Observasi
3. Tahap berpasangan ( pairing) 3. Evaluasi
Tahap berbagi (sharing) 4. Keaktifan siswa di
kelas
Test Formatif &
Sumatif
15. Open Ended 1. Pemberian masalah Assesment
2. Mengeksplorasi masalah
3. Guru merekan respon siswa
Pembahasan respon siswa
16. Inkuiri 1. Orientasi Assessment
2. Merumuskan masalah
3. Mengajukan hipotesis
4. Mengumpulkan data
5. Menguji hipotesis
Merumuskan kesimpulan
BAB V
PENDIDIKAN KONSTRUKTIVISME

Apabila proses pembelajaran ditopang oleh pengetahuan yang cukup dan teori-teori
pendidikan yang dapat diterapkan secara luas maka dapat terlaksana secara efektif, efisien, dan
optimal. Untuk meningkatkan pemahaman pendidikan, khususnya bagi para guru dan praktisi
pendidikan pada umumnya, diperlukan kajian teori-teori pendidikan yang mendesak. Tujuannya
adalah untuk mengidentifikasi landasan teoritis yang beragam, tepat, dan berguna untuk praktik
pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa teori yang menjadi pedoman pendidikan tidak dapat
dipisahkan dari penerapannya.
Hingga saat ini, berbagai teori pendidikan telah dianut dalam bidang pendidikan. Teori
konstruktivisme merupakan salah satu teori yang memandu proses pembelajaran. Menurut teori
konstruktivis, subjek secara aktif mengkonstruksi struktur kognitif melalui interaksi dengan
lingkungannya. Konstruktivisme menurut von Glaserfeld merupakan filsafat pengetahuan yang
menekankan pada bagaimana kita mengkonstruksi pengetahuan kita sendiri (Pannen et al., 2001).
Teori konstruktivisme berpendapat bahwa aktivitas siswa sendiri, yang didukung oleh struktur
kognitif, merupakan landasan bagi perolehan pengetahuan mereka.

A. Pengertian Teori Konstruktivisme


Konstruktivisme adalah teori belajar yang mengusung pembangunan kompetensi, pengetahuan,
atau keterampilan secara mandiri oleh peserta didik yang difasilitasi oleh pendidik melalui
berbagai rancangan pembelajaran dan tindakan yang diperlukan untuk menghasilkan perubahan
yang dibutuhkan pada peserta didik.
Menurut Thobroni & Mustofa (2015, hlm. 107) Teori konstruktivisme memberikan keaktifan
terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan
hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya. Artinya, belajar dalam pandangan
konstruktivisme betul-betul menjadi usaha aktif individu dalam mengonstruksi makna tentang
sesuatu yang dipelajari. Dalam hal ini, meskipun guru tidak melakukan transfer ilmu, guru harus
tetap melakukan tindakan-tindakan yang akan memfasilitasi terbangunnya perubahan positif
terhadap pada siswa. Sehingga siswa dapat membangun suatu pengetahuan, keterampilan, atau
afeksi positif yang sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Berdasarkan keterangan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa konstruktivisme adalah
teori belajar yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk aktif belajar menemukan sendiri
kompetensi dan pengetahuannya guna mengembangkan kemampuan yang sudah ada pada dirinya
untuk diubah atau dimodifikasi oleh guru yang memfasilitasi, dengan merancang berbagai tugas,
pertanyaan, atau tindakan lain yang memancing rasa penasaran siswa untuk menyelesaikannya.

B. Proses Kontruktivisme
Menurut Piaget (Dahar, 2011: 159) secara garis besar penekanan teori konstruktivisme terletak
pada proses untuk menemukan sebuah teori atau pengetahuan yang ditemukan dan dibangun atas
realita dilapangan. Singkatnya, proses mengonstruksi adalah yang utama. Proses mengkonstruksi
sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Jean Piaget adalah sebagai berikut.
1. Skemata, merupakan sekumpulan konsep yang digunakan untuk berinteraksi dengan
lingkungan.
2. Asimilasi, merupakam proses dimana seseorang menginterpretasikan dan mengintegrasikan
persepsi.
3. Akomodasi, merupakan proses sesorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang
baru dengan skemata yang dimilikinya.
4. Keseimbangan, merupakan dimana terjadinya proses Ekuilibrasi (keseimbangan antara
asimilasi dan akomodasi) dan diskuilibrasi (tidak seimbangnya antara asimilasi dengan
akomodasi).

C. Tujuan Kontruktivisme
Perubahan menjadi suatu keharusan dalam proses belajar, terutama dalam hal konsep.
Perubahan tersebut berupa asimilasi untuk tahap pertama dan tahap kedua yang disebut akomodasi.
Dengan asimilasi, siswa menggunakan konsep-konsep yang telah mereka miliki untuk berhadapan
dengan fenomena baru. Sementara dengan akomodasi siswa mengubah konsepnya yang sudah
tidak cocok dengan fenomena baru yang muncul. Jadi, perubahan tetap menjadi tujuan utama
bahkan dalam ranah teori konstruktivisme sekali pun. Selanjutnya, menurut Thobroni (2017, hlm.
95) tujuan teori konstruktivisme adalah sebagai berikut.
1. Mengembangkan Kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri
pertanyaan.
2. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian pemahaman konsep secara lengkap.
3. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri, lebih
menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.

D. Ciri-ciri Pembelajaran Kontruktivisme


Ciri-ciri pembelajaran yang menerapkan teori kontruktivisme adalah sebagai berikut.
1. Memberi kesempatan kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam
dunia sebenar
2. Menggalakkan ide/gagasan yang dimulai oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan
merancang pengajaran.
3. Menyokong pembelajaran secara koperatif Menampilkan sikap dan pembawaan murid d.
Menampilkan bagaimana murid belajar sesuatu ide.
4. Menggalangkan dan menerima daya usaha murid.
5. Menggalangkan murid bertanya dan berdialog dengan murid dan guru.
6. Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil
pembelajaran.
7. Menggalangkan proses inkuiri murid melalui kajian dan eksperimen.

E. Karakteristik Pembelajaran Konsturktivisme


Sementara itu, Driver and Bell (dalam Suyono & Hariyanto, 2014, hlm. 106) mengemukakan
bahwa karakteristik pembelajaran konstruktivisme sebagai berikut.
1. Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan
2. Belajar harus mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa,
3. Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar, melainkan dikonstruksi secara personal,
4. Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi
lingkungan belajar,
5. Kurikulum bukanlah sekadar hal yang dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran,
materi dan sumber.

F. Kelebihan Konstruktivisme
Menurut Riyanto (2010, hlm. 157) kelebihan konstruktivisme antara lain adalah sebagai
berikut.
1. Memotivasi peserta didik bahwa belajar adalah tanggung jawab peserta didik itu sendiri
guna mendapatkan ilmu pengetahuan dan wawasan baru.
2. Mengembangkan potensi kemampuan peserta didik untuk mengajukan pertanyaan dan
mencari jawabannya sendiri.
3. Membantu peserta didik untuk mengembangkan potensi mengenai pengertian atau
pemahaman konsep secara menyeluruh dan lengkap.
4. Mengembangkan potensi kemampuan peserta didik untuk menjadi pemikir yang mandiri
dan kreatif.

G. Kelemahan Pendekatan Konstruktivisme


Selanjutnya, masih menurut Riyanto (2010, hlm. 157) kelemahan dari pendekatan
konstruktivisme adalah sebagai berikut.
1. Sukar mengalihkan pendekatan kuno yang sudah diajarkan dengan kurun waktu lama oleh
pendidik. Dengan begitu, pendidik yang menggunakan pendekatan konstruktivisme
dituntut untuk lebih kreatif dalam perannya sebagai pendidik.
2. Pemilihan media dalam pembelajaran.
3. Pendidik, peserta didik, dan orangtua pasti mengutamakan penyesuaian pembelajaran
dengan metode terbaru. Dengan begitu, simpulan yang didapat bahwa pelatihan
mengarahkan pada konsep konstruktivisme dengan menitikberatkan keaktifan peserta
didik untuk merefleksi pengetahuan mereka sendiri.

H. Prinsip Konstruktivisme
Terdapat sejumlah prinsip-prinsip yang dapat memandu penerapan konstruktivisme.
Menurut Suyono & Hariyanto (2014, hlm. 107) prinsip-prinsip konstruktivisme adalah sebagai
berikut.
1. Belajar merupakan pencarian makna. Oleh sebab itu pembelajaran harus dimulai dengan
isu-isu yang mengakomodasi siswa untuk secara aktif mengkonstruk makna.
2. Pemaknaan memerlukan pemahaman bahwa keseluruhan (wholes) itu sama pentingnya
seperti bagian-bagiannya. Sedangkan bagian – bagian harus dipahami dalam konteks
keseluruhan. Oleh karenanya, proses pembelajaran berfokus terutama pada konsep –
konsep primer dan bukan kepada fakta – fakta yang terpisah.
3. Supaya dapat mengajar dengan baik, guru harus memahami model – model mental yang
dipergunakan siswa terkait bagaimana cara pandang mereka tentang dunia serta asumsi –
asumsi yang disusun yang menunjang model mental tersebut.
4. Tujuan pembelajaran adalah bagaimana setiap individu mengkonstruksi makna, tidak
sekadar mengingat jawaban apa yang benar dan menolak makna milik orang lain. Karena
pendidikan pada fitrahnya memang antardisiplin, satu – satunya cara yang meyakinkan
untuk mengukur hasil pembelajaran adalah melakukan penilaian terhadap bagian – bagian
dari proses pembelajaran, menjamin bahwa setiap siswa akan memperoleh informasi
tentang kualitas pembelajarannya.

I. Contoh Pembelajaran Konstruktif oleh Prof.Dr.Marsigit,M.A.


Mahasiswa Pascasarjana yang terdaftar pada Program Studi Pendidikan Matematika
Universitas Negeri Yogyakarta wajib mengikuti perkuliahan filsafat umum yang dibimbing oleh
Prof. Dr. Marsigit, M.A. Selama perkuliahan, Prof. Marsigit, M.A. menerapkan pembelajaran
konstruktif di setiap pertemuan. Setiap pertemuan diawali dengan kuis yang diberikan oleh Prof.
Marsigit, M.A. sebelum perkuliahan. Setiap kata yang mempunyai makna dalam pembelajaran
filsafat dijawab oleh Mahasiswa.
Prof. Dr. Marsigit, M.A. membuka sesi tanya jawab dalam perkuliahannya usai memberikan
kuis. Mahasiswa diperbolehkan bertanya. Hal ini menunjukkan bagaimana perkuliahan filsafat
umum menggunakan pembelajaran konstruktif. dimana rasa ingin tahu dan kapasitas
pengetahuan siswa menjadi fokus pembelajaran konstruktif. Berdasarkan pertanyaan
mahasiswa, Prof. Marsigit, M.A. menyampaikan materi pada setiap sesi perkuliahan. untuk
memberikan fleksibilitas kepada mahasiswa dalam mata kuliah ini atas mata pelajaran yang
mereka pilih untuk dipelajari pada pertemuan perkuliahan tertentu.
Daftar Pustaka
Anwar-math.blogspot.com.(2016, 11 Januari). Filsafat Matematika dan Pendidikan Matematika.
Diakses pada 14 November 2023, dari http://anwar-math.blogspot.com/2016/01/filsafat-
matematika-dan-pendidikan.html
Arends, R. I. (2008). Belajar untuk mengajar. (Terjemahan Helly Prajitno Soetjipto & Sri
Mulyantini Soetjipto). New York: McGraw Hills. (Buku asli diterbitkan tahun 2007).
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta: ArRuzz Media,
2012), hal. 77-78
Bahrum. (2013). Ontologogi, Epistemologi, dan Aksiologi. Sulesna, 8(2).
Budiningsih, Asri. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Penerbit Rinika Cipta, Yogyakarta. Hal. 29-30
(https://www.asikbelajar.com/langkah-langkah-pembelajaran/ )
Dahar, Ratna Wilis. (2011). Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Bandung : Erlangga.

Dictio.id. (19 Oktober). Apa yang dimaksud dengan Teori Aktivitas atau Activity Theory. Diakses
pada 11 November 2023, dari https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-teori-
aktivitas-atau-activity-theory/121212/2
Endraswara, Suwardi. 2021. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Media Persindo.
https://books.google.co.id/books?id=eDu4EAAAQBAJ&lpg=PA1&dq=filsafat%20ilmu
&lr&hl=id&pg=PA1#v=onepage&q=filsafat%20ilmu&f=false
Ernest, Paul. (2004). The Philosophy of Mathematics Education : Studies in Mathematics Education. British
Library Cataloguing in Publication Data.

Fauzia, Nenden Latifah Ulfani & Jajang Bayu Kelana. (2020). Natural Science Problem Solving
in Elementary School Students Using the Project Based Learning (PjBL) Model. Jurnal
Ilmiah Sekolah Dasar, 4 (4): 596-603.
Hardanti, Bethari Widiya.(2020). Landasan Ontologis, Aksiologis, Epitesmologis Aliran Filsafat
Esensialisme dan Pandangannya Terhadap Pendidikan. Reforma: Jurnal Pendidikan dan
Pembelajaran, 9(2).
Hafidzhoh, Kholifah Al Marah, dkk. (2023). Belajar Bermakna (Meaningful Learning) Pada
Pembelajaran Tematik. Student Scientific Creativity Journal, 1(1).
Herlina, Tri dan Bella, Cithya.(2022). Pendekatan Ontologis, Epistimologis dan Aksiologis
Sebagai Filsafat Ilmu dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal Duniailmu, 2(1)
Hifni, Moh. (2020). Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi dalam Keilmuan. Institur Agama Islam
Negeri Madura.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1999.
Kant, Immanuel. (2013). The Critique of Pure Reason. The Pennyslvania State University.
Khafifah, Nur Risma.(2021). Model Pembelajaran Konstruktivisme. OSF Preprints,
https://osf.io/dxhe2
Klipaa.com. Ontologi Epistemologi dan Aksiologi dari Filsafat Matematika. Diakses pada 14
November 2023, dari https://klipaa.com/story/1393-ontologi-epistemologi-dan-aksiologi-
dari-filsafat-matematika
Lispika.(2022). Sejarah Perkembangan Matematika dan Dunia Pendidkan. Journal of Arts
Education, 2(2).
Lubis, Nur A. Fadhil. 2015. Pengantar Filsafat Umum. Medan: Perdana Publishing.
Maria Sanprayogi & Moh. Toriqul Chaer, Aksiologi Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Keilmuan, AL
MURABBI, Vol. 4, No. 1, 2017.

Marsigit. (2019, 18 Oktober). Filsafat Bagian 1, By Marsigit, Thuersday 17 Okt 2019. Diakses
pada 11 November 2023, dari https://www.youtube.com/watch?v=8t3lalvQbiQ
Muliadi. 2013. Filsafat Umum. Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati
Bandung.
Muflihin, Muh.Hizbul. Aplikasi dan Implikasi Teori Behaviorisme dalam Pembelajaran (Analisis
Strategis Inovasi Pembelajaran). STAIN Purwokerto.(
https://media.neliti.com/media/publications/143416-ID-aplikasi-dan-implikasi-teori-
behaviorism.pdf )
Pajriani, Tira Reseki, dkk. Epistemologi Filsafat. Primer: Jurnal Ilmiah Multidisiplin, 1(3).
Penenlitiantindakankelas.blogspot.com. (2012, 28 Juli). Komponen Penilaian Kooperatif) Diakses
pada 11 November 2023, dari
http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2012/07/komponen-yang-dinilai-pada-
pembelajaran.html
Rahman, Luthfi.Model Pembelajaran Meaningful Learning.Tasikmalaya: Universitas Siliwangi.
Riyanto, Yatim. (2014). Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Referensi bagi Pendidik dalam
Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas. Jakarta: Prenada Media.
Riyanto, Yatim. (2010). Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya : Penerbit SIC.
Salam, Burhanuddin. (2000). Sejarah filsafat ilmu dan teknologi. Bandung: Rineka Cipta.
Susanto. (2011). Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis. Jakarta: Bumi Aksara

Anda mungkin juga menyukai