Disusun Oleh :
1. Anita (1813021033)
2. Abdul Aziz (1813021015)
3. Farhah Isna Fadhilah (1813021023)
4. Mita Dwi Sari (1813021028)
5. Resti Vidyasari (1813021017)
6. Romy Hakiki (1813021046)
Dosen Pengampu :
1. Dr. Sri Hastuti Noer, M.Pd.
2. Mella Triana, S.Pd., M.Pd.
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan
makalah yang berjudul “Keterampilan Berpikir Matematis” ini tepat waktu
dengan tujuan memenuhi tugas Mata Kuliah Kemampuan Berpikir Matematika.
Harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah
pengetahuan bagi para pembaca.
Di dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari kesulitan. Dan tidak lupa
penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada Ibu Dr. Sri Hastuti Noer, M.Pd.
dan Ibu Mella Triana, S.Pd., M.Pd. selaku dosen mata kuliah Kemampuan
Berpikir Matematika dan berbagai pihak atas saran dan kritiknya sehingga
penulisan dan penyusunan makalah ini dapat terselesaikan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah upaya sadar yang dilakukan agar siswa dapat mencapai tujuan
tertentu. Agar siswa dapat mencapai tujuan pendidikan yang telah di tentukan,
maka diperlukan wahana yang dapat digambarkan sebagai kendaraan. Soejadi
mengungkapkan bahwa pembelajaran matematika adalah kegiatan pendidikan
yang menggunakan matematika sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan. Salah satu tujuan pembelajaran matematika di Sekolah menurut
Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004 adalah melatih cara berpikir dan
bernalar dalam menarik kesimpulan. Berdasarkan tujuan pembelajaran
matematika, peserta didik bukan saja dituntut sekedar menghitung, tetapi peserta
didik juga dituntut agar lebih mampu berpikir dan bernalar, agar mampu
menghadapi berbagai masalah baik masalah itu mengenai matematika itu sendiri
maupun masalah dalam ilmu lain yang sangat tinggi, sehingga apabila telah
memahami konsep matematika secara mendasar dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Kemampuan matematika siswa meliputi siswa dengan
kemampuan matematika tinggi, siswa dengan kemampuan matematika sedang,
dan siswa dengan kemampuan matematika rendah. Pada hakikatnya, kemampuan
matematika siswa ini ditentukan berdasarkan kemampuan berpikir matematisnya.
Menurut Abu dan Widodo, berpikir adalah daya jiwa yang dapat meletakkan
hubungan-hubungan antara pengetahuan kita. Sedangkan menurut Santrock,
berpikir adalah memanipulasi atau mengelola dan mentransformasikan informasi
dan memori. Berpikir matematis merupakan kemampuan seseorang untuk mampu
menghubungkan suatu persoalan sehingga menghasilkan suatu ide atau cara untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Keterampilan berpikir matematis merupakan
1
kemampuan peserta didik untuk mampu berpikir logis dan sistematis serta mampu
menghubungkan fakta dan bukti sehingga memungkinkan sampai pada suatu
kesimpulan yang tepat. Keterampilan berpikir matematis memudahkan
terbentuknya keterampilan belajar matematika dan memungkinkan tercapainya
tujuan pembelajaran matematika, juga mampu memberikan dampak positif bagi
kehidupan nyata.
Berdasarkan penjelasan dari uraian di atas, maka pada makalah ini akan
membahas secara rinci mengenai berpikir matematis dan keterampilan berpikir
matematis.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari berpikir matematis.
2. Untuk mengetahui definisi dari keterampilan berpikir matematis.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang pada saat dihadapkan
pada suatu masalah yang harus dipecahkan. Berpikir matematis merupakan aspek
yang sangat diperlukan dalam pembelajaran matematika dan sangat berpengaruh
dalam pemecahan masalah matematika siswa dan berdampak pada hasil belajar
matematika siswa. Onal, Inan, dan Bozkurt (dalam Kuswardi, Usodo, Sutopo,
Crisnawati, dan Nurhasanah 2020 : 62) menyatakan bahwa berpikir matematis
merupakan suatu bentuk pemikiran yang diwujudkan tidak hanya pada kasus
dengan angka dan konsep matematika abstrak tetapi juga dalam kehidupan sehari-
hari.
4
Dalam berpikir matematis, seseorang perlu memiliki: 1) pengetahuan yang
mendalam tentang matematika, 2) kemampuan mengeneralisasi, 3) pengetahuan
tentang strategi yang di gunakan (Stacey dalam Sari, 2021). Hal ini juga senada
dengan pendapat Mason (dalam Sari, 2021) yang menyebutkan 3 faktor yang
mempengaruhi efektifitas berpikir matematis seseorang, yaitu 1) kemampuan
dalam menyelesaikan masalah, 2) pengendalian emosi dan psikolohi dalam proses
menyelesaikan masalah, 3) pemahaman konsep matematika beserta
pengaplikasiannya. Berpikir matematis sendiri merupakan kegiatan individu yang
berdasarkan pada pengelaman pribadi dan dapat pula berfokus pada
pengasosialisasi ide pokok yang dimiliki (Stacey dalam Sari, 2021).
Pengasosiasian ide-ide tersebut tentunya akan berkaitan dengan pengajuan
pertanyann terkait dengan apa yang diketahui, apa yang diinginkan, dan
bagaimana menyelesaikannya.
Berpikir matematis atau mathematical thinking perlu untuk diajarkan. Hal ini
merujuk pada pendapat Shigeo Katagiri (dalam Nurmudi 2019) yang menyatakan
bahwa “The most important ability that arithmetic and mathematics courses need
to cultivate in order to instill in students to think and make judgment
independently is mathematical thinking”. Dengan kata lain berpikir matematis
merupakan kemampuan utama dalam perhitungan dan pelajaran matematika, yang
perlu diolah untuk menanamkan pada siswa dalam berpikir dan menentukan
keputusan secara mandiri. Selanjutnya Shigeo Katagiri (dalam Nurmudi 2019)
juga mengungkapkan bahwa “Mathematical thinking allows for: (1) an
understanding of the necessity of using knowledge and skills, (2) learning how to
learn by oneself, and the attainment of the abilities required for independent
learning”. Dengan kata lain, berpikir matematis memberikan pemahaman akan
pentingnya pengetahuan atau pemahaman konsep matematika dan kemampuan
dalam memecahkan permasalahan matematika, serta belajar bagaimana belajar
sendiri dan mencapai kemampuan yang dibutuhkan dalam belajar mandiri.
5
prosedural matematika dan membangun kerangka berpikir sebagai kepercayaan
diri menyelesaikan setiap masalah (Kusumah dalam Kesumawati, 2016). Sejalan
yang dikemukakan Kusumah menurut Mason, Burton, dan Stacey dalam
Kesumawati (2016), berpikir matematis adalah proses dinamis yang memperluas
cakupan dan kedalaman pemahaman matematika (entry, attack, review). Berpikir
matematis dapat mengendalikan emosi seseorang dalam mempelajari matematika
dan menyelesaikan masalah karena berpikir matematis adalah cara berpikir terbaik
untuk menyelesaikan masalah yang ada dalam kehidupan ini.
a. Kondisi Fisik
Kondisi fisik adalah kebutuhan fisiologi yang paling dasar bagi manusia untuk
melayani kehidupan. Ketika kondisi fisik terganggu, sementara iya dihadapkan
dengan kondisi yang menuntut pemikiran yang matang untuk memecahkan
suatu masalah maka kondisi seperti ini sangat mempengaruhi pemikirannya. Ia
tidak dapat berkonsentrasi dan berpikir cepat karena tubuhnya tidak
memungkinkan untuk bereaksi terhadap respon yang ada.
b. Motivasi
Motivasi adalah hasil faktor internal dan eksternal. Motivasi merupakan upaya
yang menimbulkan rangsangan, dorongan ataupun pembangkit tenaga
seseorang agar mau berbuat sesuatu atau memperlihatkan prilaku tertentu yang
6
telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menciptakan
minat adalah cara yang sangat baik untuk memberikan motivasi pada diri demi
mencapai tujuan. Motivasi yang tinggi terlihat dari keterampilan atau kapasitas
atau daya serap dalam belajar, mengambil resiko, menjawab pertanyaan,
menentang kondisi yang tidak mau berubah kearah yang lebih baik,
mempergunakan kesalahan sebagai kesimpulan belajar, semakin cepat
memperoleh tujuan dan kepuasan, memperlihatkan tekat diri, sikap kontruktif,
memperlihatkan hasrat dan keinginan, serta kesediaan untuk menyetujui hasil
prilaku.
c. Kecemasan
d. Perkembangan Intelektual
7
pengalaman yang sudah dimiliki untuk berpikir secara kritis dan kreatif dalam
upaya menentukan keputusan dan memecahkan masalah pada situasi baru.
8
menurut NCTM (2000) dapat dilihat dari: (1) Kemampuan mengekspresikan
ide-ide matematika melalui lisan, tertulis, dan mendemonstrasikannya, serta
menggambarkannya secara visual; (2) Kemampuan memahami,
menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide Matematika baik secara lisan
maupun dalam bentuk visual lainnya; (3) Kemampuan dalam menggunakan
istilah-istilah, notasi-notasi Matematika dan struktur-strukturnya untuk
menyajikan ide, menggambarkan hubungan-hubungan dan model-model
situasi.
Kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan mengaitkan konsep-
konsep yang dalam pelajaran matematika berupa kemampuan
mengaitkan antar konsep dalam matematika maupun mengaitkan
konsep matematika dengan konsep dalam bidang lainnya.
Penalaran adalah proses berpikir yang dilakukan dengan satu cara untuk
menarik kesimpulan. Penalaran matematis adalah kemampuan menganalisis,
menggeneralisasi, mensintesis atau mengintegrasikan, memberikan alasan
yang tepat, dan menyelesaikan masalah non routine.
Menurut Mason dkk. (dalam Delima dkk, 2019), ada empat proses dasar dalam
konstruksi keterampilan berpikir matematis. Keempat proses tersebut adalah:
1. Spesialisasi (Specializing), yaitu keterampilan siswa dalam menyelesaikan
berbagai latihan dengan melihat contoh;
2. Generalisasi (Generalizing), adalah keterampilan siswa dalam
mengidentifikasi pola dan hubungan;
3. Menduga-duga (Conjecturing), dapat diartikan sebagai kemampuan siswa
dalam memprediksi korelasi dan hasil; dan
4. Meyakinkan (Convincing), adalah kemampuan siswa dalam menemukan
dan mengkomunikasikan alasan mengapa sesuatu dianggap benar
9
penalaran, pemodelan, dan membuat hubungan antar ide. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa keterampilan berpikir matematis merupakan salah satu
keterampilan yang mendukung penguasaan disiplin ilmu lain di luar matematika
seperti sains, teknologi, ekonomi, bahkan kemajuan di bidang ekonomi. (Delima
dkk, 2019)
Bartlett (dalam Gradini, Ega : 2019), membedakan berpikir tingkat rendah dan
tingkat tinggi, memberikan definisi lebih lanjut dengan menggunakan istilah
“mengisi celah (gap filling)”. Bartlett meyakini bahwa berpikir melibatkan salah
satu dari tiga proses gap filling, yaitu: (1) interpolasi (pengisian informasi yang
hilang dari urutan logis), (2) ekstrapolasi (memperluas argumen atau pernyataan
tidak lengkap), dan (3)penafsiran ulang (penataan ulang informasi untuk
menghasilkan yang baru interpretasi). Sementara itu, Resnick (dalam Gradini, Ega
: 2019) percaya bahwa keterampilan berpikir tingkat tinggi dapat di identifikasi, ia
10
juga menunjukkan bagaimana keterampilan berpikir rendah dan tingkat tinggi
dapat terjalin dalam proses pengajaran. Dalam penelitiannya, Resnick (dalam
Gradini, Ega : 2019) mendefinisikan keterampilan berpikir tingkat tinggi sebagai
“menguraikan materi yang diberikan, membuat kesimpulan di luar apa yang
disajikan secara eksplisit, membangun representasi yang memadai, menganalisis
dan membangun hubungan". Misalnya, agar anak-anak memahami apa yang
mereka baca, mereka perlu membuat kesimpulan dan menggunakan informasi
melampaui apa yang tertulis dalam teks. Dengan demikian, mengajarkan
membaca yang sederhana sekalipun melibatkan keterampilan berpikir tingkat
rendah dan tinggi.
Sejalan dengan Bartlett dan Resnick, Newman (dalam Gradini, Ega : 2019) juga
membedakan antara pemikiran tingkat rendah dan tinggi. Newman menyimpulkan
bahwa berpikir tingkat rendah hanya menuntut aplikasi rutin atau mekanis dari
informasi yang diperoleh sebelumnya, seperti daftar menggunakan informasi
informasi yang sebelumnya dihafal dan memasukkan angka ke dalam formula
yang dipelajari sebelumnya. Sebaliknya, berpikir tingkat tinggi, menurut Newman
(dalam Gradini, Ega : 2019), "menantang siswa untuk menafsirkan, menganalisis,
atau memanipulasi informasi".
11
Secara lebih spesifik, Sabandar (dalam Sapa’at, 2020) menjelaskan beberapa
kemampuan yang harus dikuasai guru agar dapat menciptakan thinking classroom,
di antaranya:
a. menterjemahkan dokumen kurikulum ke dalam praktik pembelajaran di kelas
dengan tepat;
b. menciptakan bahan ajar yang memungkinkan tersedianya cukup banyak celah
bagi siswa untuk berpikir, sehingga siswa tidak sekadar menerima informasi
yang sudah jadi dan menghafal saja;
c. memahami dan menguasai berbagai model, metode, pendekatan dan strategi
pembelajaran yang dapat memicu berlangsungnya proses berpikir di dalam
kelas;
d. menyusun seperangkat alat ukur dan alat evaluasi yang dapat mengukur
kemampuan berpikir setiap siswa;
e. membuat learning tasks yang dapat memicu perilaku kritis dan kreatif siswa;
memiliki kemampuan bertanya yang baik untuk dapat membangkitkan rasa
ingin tahu siswa dan membantu siswa untuk mau terlibat dalam suatu situasi
berpikir yang baik;
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
Delima, N., Rahmah, M. A., & Akbar, A. (2018, November). The analysis of
students’ mathematical thinking based on their mathematics self-concept.
Journal of Physics: Conference Series (Vol. 1108, No. 1, p. 012104).
IOP Publishing.
Kuswardi, Y., Usodo, B., Sutopo, S., Chrisnawati, H. E., & Nurhasanah, F.
Advanced Mathematic Thinking Ability Based on The Level of Student's
Self-Trust in Learning Mathematic Discrete. Journal of Mathematics and
Mathematics Education (JMME), 10(2), 61-74.
14
SISWA PADA POKOK BAHASAN KELARUTAN DAN HASIL KALI
KELARUTAN (Doctoral dissertation, UNIMED).
15