Anda di halaman 1dari 17

MODELLING COMPETENCIES

Disusun Untuk Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Matematika Model


(Dosen Pengampu: Dr. Ariyadi Wijaya, M.Sc.)

Oleh:
Kelompok 2
Pendidikan Matematika B
Sumbaji Putranto (16709251028)
Arifta Nurjanah (16709251030)
Azwar Anwar (16709251038)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017
KOMPETENSI PEMODELAN

Proses pembelajaran Matematika diharapkan dapat membangun


pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan pada siswa sehingga siswa dapat
bertindak secara mandiri dan bertanggung jawab di dalam kehidupan
bermasyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran Matematika pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah yang termuat di dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 bahwa pembelajaran matematika
bertujuan untuk mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan
keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang.
Salah satu aspek penting yang dapat mendukung pencapaian kemampuan
dan keterampilan tersebut adalah dengan meningkatkan kompetensi pemodelan di
dalam pembelajaran Matematika. Pemodelan Matematika merupakan aktivitas
yang menjembatani dunia matematika dengan dunia nyata. Berdasarkan pendapat
para ahli, pemodelan dapat menjadi proses yang mampu mendukung siswa dalam
memperoleh pemahaman matematika melalui konteks dunia nyata. Sebaliknya,
matematika dapat menjadi alat untuk membantu siswa dalam memahami
kehidupan. Dengan demikian kompetensi pemodelan memiliki peran dalam
mengembangkan kepekaan siswa tentang manfaat matematika dan penerapannya
dalam kehidupan. Dengan dilandasi hal tersebut, penting untuk dibahas mengenai
kompetensi pemodelan.

A. Pengertian Kompetensi
Menurut Blomhj & Jensen (2007:47) kompetensi merupakan kesiapan
penuh insight yang dimiliki seseorang untuk merespon tantangan pada suatu
situasi. Mereka menjelaskan lebih lanjut bahwa perkembangan kompetensi
merupakan suatu proses yang berkelanjutan. Sementara itu, Frey (1999:109)
mendefinisikan kompetensi sebagai kemampuan seseorang untuk memeriksa dan
menilai kebenaran faktual masing-masing kecukupan pernyataan dan ditransfer ke
dalam suatu tindakan.

MODELING COMPETENCIES 2
Kompetensi tidak hanya mencakup kemampuan dan keterampilan tetapi
juga tercermin dalam kehidupan dan kemauan untuk menerapkan keterampilan
dan kemampuan tersebut ke dalam tindakan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Weinert (Henning & Keune, 2007:225) bahwa kompetensi adalah sejumlah
kemampuan dan keterampilan yang dimiliki disertai dengan kemauan untuk
memecahkan masalah dan kemauan untuk bertindak secara bertanggung jawab
dan mencari solusinya secara kritis. Hampir sama dengan pendapat tersebut,
Singer (Singer, 2007:239) mendefinisikan kompetensi sebagai serangkaian
struktur pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh melalui pembelajaran,
yang membuat siswa mampu mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah pada
suatu aktivitas tertentu, dalam berbagai konteks.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kompetensi adalah kemamuan,
kemampuan, dan keterampilan untuk memecahkan suatu masalah.

B. Pengertian Kompetensi Pemodelan


Blomhoj dan Jensen (2007:45) menyatakan bahwa kompetensi matematis
harus mencakup kompetensi pemodelan. Maa (Henning & Keune, 2007:226)
mendefinisikan kompetensi pemodelan secara luas, yaitu sebagai kemampuan,
keterampilan, dan sikap yang penting untuk proses pemodelan disertai kemauan
siswa untuk menerapkannya. Definisi tersebut menyediakan struktur untuk
karakterisasi kompetensi pemodelan. Diantaranya ialah untuk menggambarkan
tiga bidang kompetensi yang berbeda, yaitu kompetensi kognitif, afektif dan meta-
kognitif. 1) kompetensi kognitif mencakup keseluruhan siklus pemodelan, yaitu
berkaitan dengan aktivitas sadar siswa yang terlibat saat pemodelan, 2)
kompetensi afektif berhubungan dengan keyakinan siswa tentang matematika,
sifat masalah dan nilai matematika dalam memecahkan masalah nyata, dan 3)
kompetensi meta-kognitif berhubungan dengan faktor-faktor yang mendukung
kognisi.
Sementara itu, secara lebih rinci Blum (Henning & Keune, 2007:226)
mendefinisikan kompetensi pemodelan sebagai kemampuan untuk menyusun,
mengolah, menafsirkan dan memecahkan masalah dan kemampuan untuk bekerja
dengan model matematis, memvalidasi model, menganalisis secara kritis dan

MODELING COMPETENCIES 3
menilai model dan hasilnya, mengkomunikasikan modelnya, dan mengamati serta
mengatur sendiri proses pemodelan.
Kompetensi pemodelan juga dapat didasarkan pada fase-fase pada proses
pemodelan. Gagasan pemodelan tersebut didasarkan pada pertimbangan teoritis
oleh Blum dan Kaiser (Maa 2006) yang menentukan kompetensi pemodelan
dengan daftar lengkap kemampuan yang terkait dengan pemahaman tentang
proses pemodelan. Kemampuan tersebut meliputi berbagai berikut ini.
1. Memahami masalah sebenarnya dan membuat model berdasarkan kenyataan,
2. Membuat model matematis dari model sebenarnya.
3. Memecahkan pertanyaan matematika dalam model matematis.
4. Menginterpretasikan hasil matematis dalam situasi nyata, dan
5. Memvalidasi solusi yang didapat dan melihat keterbatasan model.
Houston (2007:249) juga menyatakan hal yang sama. Houston
menyebutkan bahwa fase-fase tersebut dapat dijadikan sebagai kerangka kerja
dalam melakukan penilaian kompetensi pemodelan. Penilaian kompetensi yang
dikembangkan oleh Houston (2007:249) menggunakan kriteria yang ditinjau dan
dipetakan berdasarkan tujuh tahapan siklus pemodelan, yaitu 1) menspesifikasi
masalah nyata, 2) membuat model matematis, 3) menspesifikasi masalah
Matematika, 4) menyelesaikan masalah Matematika, 5) menginterpretasikan
solusi Matematika, 6) memvalidasi model, 7) merevisi dan melaporkan. Proses
tersebut ditunjukkan pada gambar berikut ini.

MODELING COMPETENCIES 4
Di samping itu, Houston (2007:250-255) menyatakan bahwa tahap-tahap
pemodelan tersebut dapat dinilai secara menyeluruh (holistik) atau hanya berfokus
pada beberapa tahap tertentu (misalnya tahap 1 sampai 3), dan juga dapat dinilai
untuk setiap masing-masing tahap pemodelan (individial phases). Penilaian
masing-masing tahap tersebut dapat memberikan keuntungan dalam mengajarkan
pemodelan, tidak hanya secara menyeluruh tetapi secara detail, memberikan
feedback pada siswa.

C. Karakteristik Kompetensi Pemodelan

Greer & Verschaffel (2007:219) menyatakan bahwa kompetensi


pemodelan dapat dibedakan menjadi tiga tingkat aktivitas pemodelan, yaitu
pemodelan implisit (memodelkan tanpa menyadarinya), pemodelan eksplisit
(memerlukan perhatian dalam proses pemodelan), dan pemodelan kritis (peran
pemodelan dalam matematika dan sains, dan di dalam masyarakat, diperiksa
secara kritis). Karakteristik dari ketiga macam kompetensi pemodelan tersebut
adalah sebagai berikut ini Greer & Verschaffel (2007:219).

1. Pemodelan Implisit

Dalam belajar matematika, tanpa disadari sebenarnya seseorang telah


melakukan pemodelan, bahkan pada tahap dasar.

a. Operasi Aritmatika Sebagai Model

Menurut Greer & Verschaffel (2007:219) inti dari proses pemodelan


terdiri dari pengaturan korespondensi antara beberapa aspek situasi dunia nyata
dan struktur matematis, yaitu melakukan operasi di dalam struktur tersebut, dan
menafsirkan kembali hasil operasi tersebut dalam konteks dunia nyata. Hal ini
aplikatif, bahkan pada masalah yang memiliki solusi paling sederhana yang hanya
melibatkan satu operasi. Selanjutnya, diperlukan penilaian untuk melihat apakah
operasi menyediakan model yang sesuai dengan situasi atau tidak. Pemodelan
secara implisit muncul pada pembelajaran tradisional yang = menghilangkan
pemberian non contoh, sebelum muncul operasi.

Singer (Greer & Verschaffel, 2007:220) menjelaskan bahwa secara umum,


pemodelan menuntut keseimbangan antara penyederhanaan dan presisi ideal yang

MODELING COMPETENCIES 5
dapat dilihat dengan sangat jelas, misalnya, dalam penerapan geometri pada
masalah kehidupan nyata. Terdapat perbedaan mendasar, antara siswa yang
mengabaikan kompleksitas situasi dunia nyata dengan aturan di dalam
pembelajaran dengan matematikawan atau ilmuwan yang secara mudah
menyederhanakannya dalam proses pemodelan.

b. Kompetensi untuk Pemodelan Implisit

Kompetensi-kompetensi untuk pemodelan implisit ialah sesuai dengan


istilah keahlian rutin yang disampaikan oleh Hatano (Greer & Verschaffel,
2007:220). Keahlian rutin adalah hanya bisa menyelesaikan latihan matematika di
sekolah dengan cepat dan akurat tanpa banyak pengertian. Seharusnya siswa
mampu mengaitkan berbagai situasi dengan skema aritmatika yang berhubungan
dengan operasi dasar dan proporsionalitas. Namun, kompetensi siswa implisit
adalah keahlian rutin dalam pemecahan masalah stereotip yang melibatkan
proporsionalitas. Bahkan pemahaman mereka yang tampak di dalam jawaban
yang benar hanyalah khayalan.
Dengan demikian, secara umum pemodelan implisit merupakan suatu
pemodelan yang tertanam sebagai hasil pengalaman pada seseorang dan terdapat
faktor yang tidak mempunyai sifat nyata seperti keyakinan dan juga perspektif.

2. Pemodelan Eksplisit

Pemodelan secara eksplisit adalah kondisi saat adanya perhatian pada


proses pemodelan. Houston menjelaskan sejumlah analisis yang sangat rinci dan
eksplisit mengenai fase pemodelan yang memberikan kerangka kerja yang
berguna untuk pengajaran dan penilaian. Menurutnya hal tersebut memberikan
profil rinci tentang kekuatan dan kelemahan siswa pada sub-sub proses
pemodelan.
Greer & Verschaffel (2007:222) menyatakan bahwa kompetensi-
kompetensi untuk pemodelan secara eksplisit tidak dapat dipisahkan dari aktivitas
sosial seperti tujuan utama pemodelan, sumber daya yang tersedia dari orang lain,
peralatan, distribusi informasi, debat tentang model-model alternatifnya, dan
komunikasi interpretasi model untuk mengunci target pada ruang lingkup standar

MODELING COMPETENCIES 6
penilaian dalam hal waktu, dalam hal informasi, dalam hal aktivitas, dalam hal
interaksi yang sosial, dari segi komunikasi.

3. Pemodelan Kritis

a. Mengajarkan Peran Pemodelan di Masyarakat

Menurut Greer & Verschaffel (2007:223) pemodelan adalah sumber antara


"dua muka" matematika, yaitu sebagai alat untuk menggambarkan aspek fisik dan
dunia sosial, dan sebagai seperangkat struktur otonomi formal. Jika pemodelan
fenomena sosial, dan fisik, diterima sebagai bagian inti pembelajaran matematika,
maka pemodelan memiliki manfaat dan konsekuensi besar. Hal tersebut
memberikan hubungan otentik antara matematika sekolah dan pengalaman hidup
siswa sehingga dapat menumbuhkan keyakinan terhadap pentingnya matematika
dalam kehidupan sosial.

Terdapat isu penting di dalam pemodelan fenomena sosial. Jablonka


(Greer & Verschaffel, 2007:222) menyebutkan bahwa penggunaan fenomena
sosial harus mempertimbangkan keragaman kehidupan, praktik, pengalaman,
tujuan, dan budaya masyarakat. Sementara itu Skovsmose (Greer & Verschaffel,
2007:222) menjelaskan bahwa matematika tidak hanya memberikan pandangan
tentang dunia, tapi juga membantu membentuknya. Dengan demikian ketika
bagian dari realitas disusun menjadi model, maka proses tersebut juga
mempengaruhi realitas itu sendiri. Kebanyakan orang menggunakan produk
pemodelan matematika secara tidak kritis, yaitu tanpa pemahaman tentang model
yang digunakan, asumsi dasar dari model, atau konsep umum dari pemodelan
yang digunakan.

b. Kompetensi untuk Kritikal Pemodelan

Blomhoj dan Jensen (Greer & Verschaffel, 2007:223) menyatakan bahwa


kompetensi matematis yang diperlukan dalam pemodelan kritikal merupakan satu
komponen. Selain itu, kompetensi tersebut juga berkaitan dengan komunikasi dan
penggunaan alat. Mereka menekankan pentingnya mengembangkan sikap kritis
terhadap semua tahap pada proses pemodelan. Kompetensi matematika mencakup
konsepsi keputusan tentang penerapan matematika, perkembangan historis, dan

MODELING COMPETENCIES 7
sifat matematika sebagai bidang subjek. Hampir sama dengan pendapat tersebut
Henning dan Keune (Greer & Verschaffel, 2007:223) menyebutkan bahwa
kegagalan utama dalam pembelajaran matematika adalah bahwa siswa pada
umumnya tidak menyadari sifat dan asumsi model yang mempengaruhi kehidupan
mereka.
Berdasarkan hal tersebut, Greer & Verschaffel (2007:223)
menyimpulkan bahwa pemodelan harus dikembangkan melalui serangkaian
pembelajaran yang koheren, dimulai pada tahun-tahun awal, dan menyadari peran
krusialnya dalam pengembangan disposisi matematis yang sesuai. Pemodelan
menuntut keahlian adaptif dan biasanya merupakan aktivitas sosial, dan perlu
kerentanannya terhadap bentuk pengajaran dan penilaian perlu diatasi. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa lompetensi untuk pemodelan secara kritis
fokus pada pentingnya mengembangkan sikap kritis terhadap semua bagian dari
proses pemodelan, termasuk mengkritisi pada sifat dan asumsi yang ada dalam
pemodelan.

D. Level Kompetensi Pemodelan


Henning & Kaune (2007:226) menyebutkan tiga macam level atau
tingkatan kompetensi pemodelan, yaitu level pengenalan dan pemaham
pemodelan (recognize and understanding modelling), level pemodelan
independen (indepedent modelling), dan level meta-refleksi pada pemodelan
(meta-reflection on modelling). Tingkat pemodelan dapat dilihat sebagai satu
dimensi pada sedikitnya tiga dimensi proses pemodelan, dan level kedua adalah
kompleksitas (konteks, metode, keterampilan teknis), dan level ketiga adalah
tingkat edukasional.
Menurut Henning & Kaune (2007:227), karakteristik dari ketiga level
tersebut dijelaskan sebagai berikut ini.
1. Level 1 Pengenalan dan Pemahaman Pemodelan
Ditandai dengan kemampuan untuk mengenali dan mendiskripsikan proses
pemodelan, mengkarakterisasi, membedakan, dan melokalisasi dalam proses
pemodelan.

MODELING COMPETENCIES 8
2. Level 2 Pemodelan independen
Ditandai dengan kemampuan untuk menganalisa dan menyusun masalah,
mengabstraksi jumlah, membuat pandangan yang berbeda, membuat model
matematis, menyelesaikan model, menafsirkan hasil dan pernyataan model, serta
memvalidasi model dan keseluruhan proses.
3. Level 3 Metarefleksi pada pemodelan
Ditandai dengan kemampuan untuk menganalisa pemodelan secara kritis,
merumuskan kriteria evaluasi model, merefleksikan tujuan pemodelan, dan
merefleksikannya pada penerapan matematika.
Secara teoritis, diasumsikan bahwa pada level pertama, siswa dapat
mengenali dan memahami prosedur dan metode sebagai prasyarat untuk level
kedua, yaitu dapat menyelesaikan masalah secara mandiri. Siswa yang telah
mencapai level ini mampu memecahkan masalah secara mandiri. Meskipun
konteks atau ruang lingkup masalah berubah, siswa dapat menyesuaikan
modelnya atau mengembangkan prosedur solusi baru. Selanjutnya level ketiga,
meta refleksi akan menjadi syarat yang terakhir. Pada tingkat kompetensi yang
ketiga, keseluruhan konsep pemodelan dipahami dengan baik. Kemampuan untuk
menilai dan mengenali hubungan yang signifikan juga telah berkembang secara
kritis.
Menurut Henning & Kaune (2007:226) kompetensi tidak dapat diamati
secara langsung. Namun, mereka menyatakan bahwa kompetensi merupakan
variabel yang dapat diukur. Misalnya kompetensi dapat diamati melalui perilaku
dan tindakan siswa ketika menyelesaikan masalah. Demikian halnya, level
kompetensi pemodelan yang telah diuraikan tersebut dapat digunakan untuk
menunjukkan tingkat kompetensi pemodelan yang dicapai oleh siswa.
Tingkatan tersebut dapat diamati ketika siswa menyelesaikan masalah
pemodelan. Menurut Henning & Kaune (2007:228), tingkat kompetensi
pemodelan dapat dinilai melalui kemampuan literasi matematis siswa dalam
menyelesaikan soal-soal Programme for International Student Assesment (PISA).
Mereka menyatakan bahwa soal-soal PISA dapat memberikan informasi tentang
kemampuan seseorang dalam mengidentifikasi dan memahami peran Matematika
di dalam kehidupan, membuat penilaian matematis yang logis, dan terlibat di

MODELING COMPETENCIES 9
dalam aktivitas matematika. Aktivitas tersebut menghubungkan struktur
Matematika dengan tugas-tugas yang realistis, yaitu menganalisis, mengasimilasi,
menginterpretasi, dan memvalidasi masalah. Aktivitas tersebut sesuai dengan
kompetensi di dalam pemodelan Matematika.
Berikut ini disajikan contoh soal-soal PISA dengan sedikit modifikasi
yang dapat digunakan dalam mengukur tingkat kompetensi pemodelan siswa.

1. Masalah Tangki Air

Sebuah tangki air terbentuk dari gabungan sebuah tabung dan sebuah kerucut.
Bagian yang berbentuk tabung berada di atas kerucut dengan tinggi kedua bagian
tersebut sama. Ketinggian tangki seluruhnya adalah 3 m. Ketebalan tangki adalah 1
cm dengan lebar bagian dalam tangki 1 m. Pada mulanya tangki kosong,
kemudian tangki diisi air dengan kecepatan 1 liter/detik. Dari grafik berikut ini,
manakah yang menunjukkan perubahan tinggi permukaan air dari waktu ke waktu.

MODELING COMPETENCIES 10
Misalnya seorang siswa menyelesaikan masalah tersebut dengan menaksir
kecepatan air dengan cara membuat sketsa tangki, yaitu seperti berikut ini.
1m
Hanya dengan menggunakan gambar tersebut,
siswa dapat menjawab bahwa grafik yang
1,5 m
tepat dalam menunjukkan perubahan tinggi
permukaan air dari waktu ke waktu adalah
1,5 m grafik B.

Untuk menjawab masalah tersebut, siswa telah menunjukkan


kemampuannya dalam mengenali dan memahami bahwa tangki air dapat
digambarkan sebagai gabungan bentuk tabung dan kerucut. Siswa juga telah dapat
memilah informasi penting yang ia butuhkan, yaitu memahami bahwa ketebalan
dan ketinggian tangki merupakan informasi yang tidak dibutuhkan. Kemudian
siswa menggunakan model grafik kualitatif, sedangkan data kuantitatif yang
diberikan pada soal tidak digunakan pada model. Hal ini menunjukkan tingkat
kompetensi siswa pada level pertama.

2. Masalah Pesta Sekolah


Untuk memperingati hari ulang tahun sekolah, sekolah akan mengundang suatu
band terkenal. Konser tersebut akan dilaksanakan di dalam gedung sekolah.
Hampir semua siswa dari sekolahmu dan siswa-siswa lain dari sekolah sekitar akan
datang untuk melihat konser tersebut. Kamu diberi tugas oleh panitia untuk
menghitung kemungkinan banyaknya penonton maksimum di gedung tersebut.
a. Rencanakan bagaimana kamu akan menyelesaikan masalah tersebut dan
tuliskan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk menemukan solusinya.
b. Lengkapi tugas yang panitia berikan kepadamu. Jika beberapa detail informasi
hilang, temukan dengan cara mengestimasi.
Panitia memintamu untuk menunjukkan hasil kerjamu kepada kepala sekolah
dalam presentasi singkat.
c. Buat lembar tentang poin penting yang akan kamu ceritakan kepada kepala
sekolah.

MODELING COMPETENCIES 11
Di dalam permasalahan tersebut, terdapat beberapa informasi yang hilang.
Dengan demikian, untuk menyelesaikan masalah tersebut siswa perlu menganalisa
dan membuat struktur masalah. Siswa perlu mengestimasi informasi-informasi
penting yang ia perlukan. Misalnya, siswa harus memikirkan ukuran gedung dan
banyaknya penonton yang hadir. Setelah itu, siswa perlu mengestimasi seberapa
luas yang diperlukan untuk seorang penonton. Siswa perlu membuat model
matematis, kemudian menyelesaikan modelnya, dan menginterpretasikan
hasilnya. Maka siswa yang dapat menyelesaikan masalah ini telah mampu
menyelesaikan masalahnya secara mandiri dan dapat mengembangkan model
yang sesuai. Dapat dikatakan bahwa siswa telah mencapai level yang kedua.
3. Masalah Sistem Alarm
Di suatu kota, setiap tahun polisi mencatat statistik banyaknya kasus pencurian.
Dari statistik tersebut suatu pabrik sistem alarm memilih tahun-tahun berikut ini.
Year 1960 1965 1970 1975 1980 1984
Number of crimes 110 200 330 480 590 550
Pabrik menggunakan data tersebut untuk membuat pernyataan berikut: Setiap 10
tahun banyaknya pencuri bertambah dua kali atau tiga kali lipat! Beli system
alarm sekarang sebelum rumahmu kecurian juga!
a. Apakah kalimat pertama pada slogan iklan tersebut benar? Jelaskan
pendapatmu.
b. Kenapa bisa pabrik secara khusus memilih data tersebut?
Bayangkan jika orang tuamu bekerja pada polisi dan memberitahumu bahwa
polisi tidak mencatat statistik tersebut di masa yang akan datang.
c. Jelaskan secara singkat keuntungan/kerugian dari jenis statistik tersebut.

Dalam masalah tersebut siswa diminta untuk menunjukkan


kemampuannya dalam merefleksikan proses pemodelan dan aplikasinya di dalam
dunia nyata secara kritis. Siswa juga diminta untuk merefleksikan dan
mengavaluasi proses pemodelannya. Dalam proses tersebut, siswa harus sadar
secara terus menerus untuk mengevaluasi setiap tahap, harus menyadari adanya
kesalahan, relevansinya dengan kehidupan, interpretasi dan prediksi yang dibuat.
Apabila siswa telah dapat melakukan hal-hal tersebut, siswa telah mencapai level
kompetensi pemodelan yang ketiga.

MODELING COMPETENCIES 12
E. Diskusi
1. Apakah seseorang yang memiliki kemampuan tetapi tidak memiliki kemauan
dan keterampilan dapat dikatakan telah memiliki kompetensi?
Merujuk pada definisi kompetensi menurut para ahli Weinert (Henning &
Keune, 2007:225) yang di kuatkan (Singer, 2007:239) maka untuk mempunyai
suatu kompetensi setidaknya ada tiga dimensi yang harus dimiliki oleh anak yaitu
kemauan, kemampuan, dan keterampilan. Ketiga dimensi tersbut dapat
diilustrasikan seperti gambar di bawah ini.

Maka untuk dapat menjadi seorang yang kompeten ketiga dimensi tersebut
harus terpenuhi oleh siswa.

2. Apa perbedaan antara pemodelan eksplisit dengan pemodelan implisit dan


contohnya dalam pembelajaran matematika?
Pemodelan implisit yaitu pemodelan yang dilakukan siswa tanpa mereka
sadari. Dalam hal ini biasanya siswa mengerjakan soal-soal sederhana dalam
matematika. Hatano telah memberi label "keahlian rutin", yang didefinisikan
sebagai "hanya bisa menyelesaikan latihan matematika di sekolah dengan cepat
dan akurat tanpa banya pengertian "(Hatano, 2003,). Tentu saja, diinginkan agar
siswa dapat mengasosiasikan berbagai situasi dengan skema aritmatika yang

MODELING COMPETENCIES 13
berkaitan dengan operasi dasar dan proporsionalitas (Usiskin,). Contoh dalam
matematika yaitu misalkan siswa di suruh mengerjakan soal perhitungan dasar 5 +
9 =....., 8 (-70) =...... dan seterusnya.
Pemodelan eksplisit merupakan analisis yang sangat rinci dan eksplisit
mengenai fase pemodelan yang memberikan kerangka kerja yang berguna untuk
pengajaran dan penilaian. Dalam hal ini pemodelan harus menyiratkan keahlian
adaptif serta tidak lagi menjadi keahlian rutin seperti pada pemodelan implisit.
Selain itu disarankan bahwa elemen pemodelan yang secara inheren bersifat
sosial, seperti tujuan pemodelan, komunikasi interpretasi terhadap model untuk
target berada di luar lingkup bentuk standar penilaian dalam hal informasi, dalam
hal aktivitas, dalam hal interaksi sosial, dalam hal komunikasi".
Contoh dalam pembelajaran matematika soal dikaitkan dengan kehidupan
sosial atau kehidupan sehari-hari. Misalnya Ibu membeli gula pasir dipasar
sebanyak 3 kg, bawang merah 2 kg, dan tepung 5 kg. Tiba-tiba ditengh perjalanan
pulang tepungnya jatuh sebanyak 2,5 kg. Dan ibu tidak menghiraukannya. Berapa
keseluruhan belanjaan ibu?

3. Apakah level pemodelan merupakan satu hierarki berurutan yang


menjadikannya satu level yang berjenjang?
Secara singkat level-level dalam pemodelan dapat didefinisikan sebagai
berikut ini. Level 1 Pengenalan dan Pemahaman Pemodelan ditandai dengan
kemampuan untuk mengenali dan mendiskripsikan proses pemodelan,
mengkarakterisasi, membedakan, dan melokalisasi dalam proses pemodelan.
Level 2 Pemodelan independen ditandai dengan kemampuan untuk menganalisa
dan menyusun masalah, mengabstraksi jumlah, membuat pandangan yang
berbeda, membuat model matematis, menyelesaikan model, menafsirkan hasil dan
pernyataan model, serta memvalidasi model dan keseluruhan proses. Sementara
Level 3 Metarefleksi pada pemodelan ditandai dengan kemampuan untuk
menganalisa pemodelan secara kritis, merumuskan kriteria evaluasi model,
merefleksikan tujuan pemodelan, dan merefleksikannya pada penerapan
matematika.

MODELING COMPETENCIES 14
Merujuk pada hal diatas menunjukkan bahwa untuk dapat mencapai level
kedua membutuhkan capaian di level pertama. Begitu pula untuk dapat mencapai
level ketiga membutuhkan capaian di level pertama dan kedua. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa level dalam pemodelan merupakan level berjenjang yang
membutuhkan level sebelumnya untuk dapat mencapai level yang lebih tinggi.

4. Apakah kompetensi pemodelan berpengaruh terhadap perkembangan kognitif


anak/siswa?
Dalam teori perkembangan kognitif Piaget, masa anak-anak adalah tahap
transisi dari penggunaan berpikir konkret secara operasional ke berpikir formal
secara operasional. Remaja mulai menyadari batasan-batasan pikiran mereka.
Mereka berusaha dengan konsep-konsep yang jauh dari pengalaman mereka
sendiri. Inhelder dan Piaget (1978) mengakui bahwa perubahan otak pada
pubertas mungkin diperlukan untuk kemajuan kognitif remaja. Dalam kaitannya
dengan kompetensi pemodelan bagaiamana siswa menyusun, mengolah,
menafsirkan dan memecahkan masalah dan, sebagai tambahan, kemampuan untuk
bekerja dengan model matematis, memvalidasi model, menganalisis secara kritis
dan menilai model dan hasilnya, mengkomunikasikan modelnya. Mengamati dan
mengatur sendiri mengatur proses pemodelan. Setiap siswa tidak semua siswa
melakukan hal tersebut secara keseluruhan harus dilihat dari tingkat
perkembangan kognitif anak dan disesuaikan dengan kebutuhan
Sementara Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini
menjadi empat, yaitu :
a. Tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun): Menunjuk pada konsep permanensi
objek, yaitu kecakapan psikis untuk mengerti bahwa suatu objek masih tetap
ada. Meskipun pada waktu itu tidak tampak oleh kita dan tidak bersangkutan
dengan aktivitas pada waktu itu. Tetapi, pada stadium ini permanen objek
belum sempurna.
b. Tahap preoperasional (umur 2-7): Perkembangan kemampuan menggunakan
simbol-simbol yang menggambarkan objek yang ada di sekitarnya. Berpikir
masih egosentris dan berpusat.

MODELING COMPETENCIES 15
c. Tahap operasional konkret (umur 7-11 tahun): Mampu berpikir logis. Mampu
konkret memperhatikan lebih dari satu dimensi sekaligus dan juga dapat
menghubungkan dimensi ini satu sama lain. Kurang egosentris. Belum bisa
berpikir abstrak.
d. Tahap operasional formal (umur 11-dewasa): Mampu berpikir abstrak dan
dapat menganalisis masalah secara ilmiah dan kemudian menyelesaikan
masalah.
Dalam kompetensi pemodelan erat kaitannya dengan teori perkembangan
kognitif anak karena ada beberapa hal yang perlu ditinjau dari kemampuan,
keterampilan serta sikap siswa dalam belajar. Inilah yang kemudian memunculkan
peran penting guru, untuk mampu memahami tingkat perkembangan anak
sehingga mampu mengembangkan kompetensi pemodelan siswa secara maksimal.

F. Kesimpulan
Kompetensi pemodelan dapat dimaknai sebagai kemamuan, kemampuan,
dan keterampilan untuk memecahkan suatu masalah yang meliputi : 1) Memahami
masalah sebenarnya dan membuat model berdasarkan kenyataan, 2) Membuat
model matematis dari model sebenarnya, 3) Memecahkan pertanyaan matematika
dalam model matematis, 4) Menginterpretasikan hasil matematis dalam situasi
nyata, dan, 5) Memvalidasi solusi yang didapat dan melihat keterbatasan model.
Kompetensi pemodelan dapat dibedakan menjadi tiga tingkat aktivitas
pemodelan, yaitu pemodelan implisit (memodelkan tanpa menyadarinya),
pemodelan eksplisit (memerlukan perhatian dalam proses pemodelan), dan
pemodelan kritis (peran pemodelan dalam matematika dan sains, dan di dalam
masyarakat, diperiksa secara kritis).
Kompetensi pemodelan dapat diklasifikasikan dalam tiga level, yaitu level
pengenalan dan pemaham pemodelan (recognize and understanding modelling),
level pemodelan independen (indepedent modelling), dan level meta-refleksi pada
pemodelan (meta-reflection on modelling).

MODELING COMPETENCIES 16
DAFTAR PUSTAKA

Blomhj, M., & Jensen, T. H. (2007). What's all the fuss about Competencies.
Dalam Blum, W., Galbraith, P. L., Henn, H. W., & Niss, M. (Eds.),
Modelling and Applications in Mathematics Education, The 14th ICMI
Study. (pp. 45-56). New York, NY: Springer.

Greer, B. & Verschaffel. (2007). Modelling Competencies-Overview. Dalam


Blum, W., Galbraith, P. L., Henn, H. W., & Niss, M. (Eds.), Modelling
and Applications in Mathematics Education, The 14th ICMI Study. (pp.
217-224). New York, NY: Springer.

Henning, H., & Kaune, M. (2007). Levels of Modelling Competencies. Dalam


Blum, W., Galbraith, P. L., Henn, H. W., & Niss, M. (Eds.), Modelling
and Applications in Mathematics Education, The 14th ICMI Study. (pp.
225-231). New York, NY: Springer.

Houston, K. (2007). Assesing the Phases of Mathematical Modelling. Dalam


Blum, W., Galbraith, P. L., Henn, H. W., & Niss, M. (Eds.), Modelling
and Applications in Mathematics Education, The 14th ICMI Study. (pp.
249-254). New York, NY: Springer.

Kemendikbud. (2016). Permendikbud Nomor 22, Tahun 2016, Standar Proses


Pendidikan Dasar dan Menengah

Maas, K. (2006). What are modelling competencies? Zentralblatt fur Didaktik der
Mathematik (ZDM): The International Journal on Mathematics
Education, 38(2), 113142.
Singer, M. (2007). Modelling Both Complexity and Abstraction: A Paradox?.
Dalam Blum, W., Galbraith, P. L., Henn, H. W., & Niss, M. (Eds.),
Modelling and Applications in Mathematics Education, The 14th ICMI
Study. (pp. 232-240). New York, NY: Springer.

MODELING COMPETENCIES 17

Anda mungkin juga menyukai