Anda di halaman 1dari 9

WATAK ILMU DAN KEBENARAN ILMU

Nama :
NIM :
Pendahuluan
Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempertimbangkan sifat, asal,
dan batasan pengetahuan. Dalam upaya untuk memahami bagaimana kita
memperoleh pengetahuan, dua konsep penting yang selalu menjadi pusat
perhatian adalah "watak ilmu" dan "kebenaran ilmu." Pemahaman yang mendalam
tentang konsep ini sangat relevan dalam memahami esensi ilmu pengetahuan dan
cara kita membangun dan memvalidasi pengetahuan kita.

Dalam ranah epistemologi, yang merupakan cabang filsafat yang


mempertimbangkan sifat dan batasan pengetahuan, terdapat dua konsep sentral
yang membentuk landasan dasar pemahaman ilmu pengetahuan: "watak ilmu" dan
"kebenaran ilmu."

Watak ilmu mengacu pada karakteristik atau sifat-sifat esensial yang


membedakan ilmu dari bentuk pengetahuan atau pemahaman lainnya. Watak ilmu
mencakup karakteristik kunci yang membedakan ilmu dari bentuk pengetahuan
lainnya, memastikan bahwa ilmu pengetahuan adalah alat yang andal dalam
pemahaman dunia dan pengembangan ilmu.

Sedangkan kebenaran ilmu berhubungan dengan sejauh mana suatu


pernyataan atau pengetahuan dianggap akurat, valid, dan dapat diandalkan dalam
kerangka ilmiah. Kebenaran ilmu merupakan konsep yang kompleks, yang
berkaitan dengan sejauh mana suatu pengetahuan dapat diandalkan dan akurat
dalam kerangka ilmiah.

Karakteristik Ilmu

Van Melsen (1985) memberikan penjelasan mengenai sembilan ciri atau


tanda pengenal yang melekat pada suatu ilmu. Pertama, ilmu pengetahuan harus
mencapai suatu keseluruhan yang logis dan koheren melalui metode ilmiah.
Kedua, ilmu pengetahuan harus dijalankan tanpa pamrih dan melibatkan tanggung

1
jawab. Ketiga, ilmu pengetahuan harus bersifat universal, yang dapat mencakup
seluruh dunia atau terbatas pada wilayah tertentu. Keempat, universalitas ini
berkaitan erat dengan objektivitas ilmu, yang mengutamakan fokus pada objek
dan menghindari pengaruh subjektif. Kelima, ilmu pengetahuan harus memenuhi
persyaratan intersubjektivitas, sehingga dapat diuji dan diverifikasi oleh peneliti
ilmiah lain yang sejenis. Keenam, ilmu pengetahuan harus dapat
dikomunikasikan, yaitu terbuka bagi siapa saja yang ingin memahaminya.
Ketujuh, ilmu pengetahuan harus bersifat progresif, selalu menghadirkan
pertanyaan baru dan mendorong munculnya isu-isu baru. Kedelapan, sikap kritis
harus selalu ada dalam pendekatan ilmiah. Kesembilan, ilmu pengetahuan harus
memiliki manfaat praktis dan dapat digunakan, yang merupakan hasil dari
verifikasi eksperimental.1

Archie J. Bahm (1984) menyajikan enam komponen utama dalam ilmu


sebagai cabang pengetahuan, yaitu permasalahan, sikap, metode, aktivitas,
kesimpulan, dan efek. Semua komponen ini telah terpenuhi dan bahkan
melampaui syarat-syarat tersebut dalam konteks ilmu pengetahuan.2

Selain itu, The Liang Gie (2010) menyajikan ciri-ciri ilmu sebagai berikut:
ilmu harus bersifat empiris (berdasarkan pengamatan dan percobaan), sistematis
(tersusun secara logis dan memiliki hubungan yang teratur), objektif (bebas dari
persangkaan dan preferensi pribadi), analitis (mengurai persoalan menjadi
komponen terinci), dan verifikatif (dapat diperiksa kebenarannya).3

Beerling et al. (1997) mengemukakan tiga ciri utama ilmu: memiliki dasar
pembenaran, bersifat sistematis, dan bersifat intersubjektif. Ilmu membutuhkan
dasar empiris, namun penting untuk melihat bagaimana fakta-fakta tersebut
diuraikan secara logis dan sistematis. Selain itu, ilmu harus bersifat objektif dan
menghindari preferensi pribadi. Analisis ilmiah harus terus menerus memecah

1
Saifullah Idris and Fuad Ramly, Dimensi Filsafat Ilmu Dalam Diskursus Integrasi Ilmu (Yogyakarta:
Darussalam Publishing, 2016), p. 63.
2
Idris and Ramly, p. 64.
3
Idris and Ramly, p. 64.

2
persoalan menjadi bagian-bagian yang terinci, dan ilmu harus memungkinkan
pengujian di lapangan untuk memverifikasi kebenarannya.4

Secara keseluruhan, ilmu dapat dipahami dari dua sudut pandang, yaitu
sebagai hasil atau produk yang berupa kumpulan pengetahuan yang sistematis,
dan sebagai proses yang melibatkan upaya penelitian dan metode tertentu untuk
mendapatkan pengetahuan ilmiah. Ilmu sebagai produk mencakup berbagai
cabang ilmu seperti Ilmu Ekonomi, Sosiologi, dan Biologi, sementara ilmu
sebagai proses melibatkan langkah-langkah penelitian dan metodologi untuk
memperoleh kesimpulan atau teori dalam ilmu tertentu.5

Teori Kebenaran
Pertanyaan “apa itu kebenaran?” ialah pertanyaan tak pernah mati bagi
insan setiap zaman. Orang tidak pernah terselesaikan mempermasalahkannya.
Tetapi diakui, soal kebenaran mempunyai kaitan dengan duduk perkara mengenai
yang terdapat. Hal ini berarti bahwa dasar kebenaran artinya terdapat atau yang
bereksistensi. Kebenaran hanya mungkin terjadi jika sesuatu itu ada. Jika sesuatu
itu tidak terdapat, kita tidak bisa mengatakan bahwa sesuatu itu sahih.

Dari sudut pandang sejarah filsafat, filsafat telah berperan sebagai upaya
manusia dalam pencarian kebenaran. Sebab salah satu inti dari filsafat itu sendiri
adalah kasih pada kebenaran. Aristoteles, seorang filosof Yunani terkenal, sangat
menghormati dan mengagumi guru besar Plato. Namun, dia memberikan prioritas
lebih tinggi pada kebenaran daripada pada Plato. Oleh karena itu, Aristoteles
pernah mengungkapkan bahwa Plato dan kebenaran memiliki nilai, tetapi
kebenaran memiliki nilai yang lebih tinggi daripada Plato.6

Teori kebenaran selalu sejalan dengan teori pengetahuan yang


dibentuknya. Sama seperti pengetahuan tidak selalu dilihat secara keseluruhan,
tetapi seringkali hanya melalui sudut pandang atau bagian tertentu, kebenaran juga
hanya bisa dipahami melalui pemahaman tentang pengetahuan yang spesifik

4
Idris and Ramly, p. 65.
5
Idris and Ramly, p. 66.
6
Budi Harianto, Diktat Filsafat Ilmu, 2023, p. 64.

3
tersebut. Oleh karena itu, setiap teori kebenaran yang akan dibahas, sebagian
besar fokus pada salah satu aspek atau langkah dalam usaha manusia untuk
mencapai kebenaran dalam pengetahuan. Contoh-contoh teori kebenaran berikut
ini mencerminkan penekanan pada langkah-langkah tertentu dalam proses
pencarian kebenaran pengetahuan.7

a. Teori Kebenaran Korespondensi

Teori ini dikenal sebagai salah satu teori kebenaran klasik,


atau teori yang paling kuno. Teori ini pertama kali muncul dalam
pemikiran Aristoteles. Menurut Aristoteles, menggambarkan suatu
objek yang ada sebagai sesuatu yang tidak ada, atau sebaliknya,
adalah kesalahan. Namun, menyatakan bahwa suatu objek yang
ada adalah kenyataan, atau bahwa yang tidak ada memang tidak
ada, adalah benar. Dengan pandangan ini, Aristoteles telah
memberikan dasar untuk apa yang dikenal sebagai teori kebenaran
korespondensi, yaitu pandangan bahwa kebenaran terletak pada
kesesuaian antara pernyataan dengan realitas. Sebuah pernyataan
dianggap benar jika apa yang dinyatakan di dalamnya sesuai atau
berkorespondensi dengan realitas yang dijelaskan oleh pernyataan
tersebut.8

Kebenaran adalah masalah sejauh mana klaim yang


dinyatakan sebagai pengetahuan sesuai dengan realitas yang
sebenarnya. Apakah sesuatu benar atau salah tergantung pada
apakah apa yang diungkapkan sesuai dengan realitas sebagaimana
adanya. Menurut pandangan ini, kebenaran terletak pada
keselarasan antara individu yang mengetahui (subjek) dan
kenyataan obyektif yang ada di dunia (obyek). Dengan kata lain,
kebenaran muncul ketika apa yang diketahui oleh individu sesuai
dengan realitas objektif yang ada.9
7
Paulus Wahana, FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN (Yogyakarta: Pustaka Diamond, 2016), p. 130.
8
Wahana, p. 130.
9
Wahana, p. 130.

4
Teori kebenaran korespondensi (correspondence theory of
truth) ialah teori berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan ialah
sahih Jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan
terdapat pada alam atau objek yang dituju pernyataan tadi.
Kebenaraan atau suatu keadaan dikatakan benar Jika ada
kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat
menggunakan fakta.10

Apa yang dianggap benar oleh subjek harus selaras atau


sesuai dengan objek, yaitu kenyataan yang diakui oleh subjek
tersebut. Terdapat hubungan yang erat antara pengetahuan yang
dimiliki oleh subjek dan realitas. Isi pengetahuan yang terkandung
dalam pernyataan atau proposisi harus selaras dengan objek atau
fakta. Oleh karena itu, suatu gagasan, konsep, atau teori dianggap
benar jika itu menggambarkan realitas yang sebenarnya.
Kebenaran pengetahuan terbukti dan menjadi benar ketika sesuai
dengan realitas yang diungkapkan oleh pengetahuan tersebut.
Dalam konteks kegiatan ilmiah, ungkapan realitas merupakan
elemen kunci, dan kebenaran akan muncul secara alami jika
pernyataan yang diklaim sebagai benar sesuai dengan realitasnya.11

b. Teori Kebenaran Koherensi

Apabila teori kebenaran korespondensi menjadi pilihan


kaum empiris, teori kebenaran koherensi lebih disukai oleh kaum
rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Descartes, Hegel, dan yang
lainnya. Menurut pandangan ini, kebenaran tidak ditemukan dalam
keselarasan antara pernyataan dengan realitas, tetapi dalam
hubungan antara pernyataan baru dengan pernyataan yang telah
ada sebelumnya dan dianggap benar. Dalam teori ini, pengetahuan,
teori, pernyataan, atau hipotesis dianggap benar jika konsisten

10
Harianto, p. 65.
11
Wahana, p. 131.

5
dengan pengetahuan, teori, pernyataan, atau hipotesis lain yang
sudah diterima sebagai benar. Matematika dan ilmu pasti adalah
contoh ilmu yang sangat mengutamakan teori kebenaran
koherensi.12

Penganut teori ini memandang bahwa suatu pernyataan atau


proposisi bisa dikategorikan sebagai benar atau salah dengan
memeriksa apakah pernyataan tersebut berkaitan dan konsisten
dengan pernyataan atau proposisi lainnya. Keabsahan suatu
pernyataan ditentukan oleh sejauh mana pernyataan tersebut sesuai
dengan kerangka pemikiran yang ada. Sebagai contoh, apakah
pernyataan "Lilin akan mencair jika dimasukkan ke dalam air yang
sedang mendidih" dianggap benar atau tidak, tidak harus mengacu
pada pengujian dalam realitas fisik. Bagi penganut teori kebenaran
koherensi, kebenaran pernyataan tersebut dapat diuji dengan
memeriksa apakah pernyataan tersebut bersesuaian dengan
pernyataan lain yang telah diterima, seperti bahwa lilin terbuat dari
bahan parafin yang selalu meleleh pada suhu minimal 60 derajat
Celsius, dan bahwa air mendidih pada suhu lebih tinggi dari 60
derajat Celsius, yaitu 100 derajat Celsius. Dengan demikian,
pernyataan "Lilin akan meleleh jika dimasukkan ke dalam air
mendidih" dianggap benar karena secara logis mengikuti dari
pernyataan-pernyataan lain yang sudah diterima sebelumnya.13

Teori kebenaran koherensi memberikan penekanan yang


lebih besar pada aspek kebenaran yang bersifat rasional-logis dan
menggunakan pendekatan deduktif. Pengetahuan yang dianggap
benar dalam teori ini hanya dapat dihasilkan melalui deduksi atau
penurunan logis dari pernyataan-pernyataan lain yang telah diakui
sebagai benar. Dengan demikian, kebenaran suatu pernyataan atau
pengetahuan dianggap sudah diterima secara apriori tanpa perlu
12
Wahana, p. 133.
13
Wahana, p. 133.

6
diverifikasi dengan kenyataan empiris yang ada. Bagi kaum
rasionalis yang mendukung teori kebenaran koherensi,
pengetahuan seperti bahwa lilin akan meleleh jika dimasukkan ke
dalam air mendidih sudah dianggap sebagai pengetahuan yang
memiliki kebenaran inheren dan sudah diketahui sebelumnya
secara apriori. Hal yang sama berlaku untuk kebenaran teori
inflasi, hukum penawaran dan permintaan, serta teori hubungan
timbal balik antara kinerja dengan kompensasi (gaji, tunjangan,
dana pensiun, dll.).14

Teori kebenaran koherensi menempatkan penekanan pada


kebenaran dan pengetahuan yang bersifat apriori. Oleh karena itu,
pembuktian atau justifikasi dalam teori ini terkait dengan validasi,
yaitu menunjukkan apakah kesimpulan yang dinyatakan sebagai
benar telah diperoleh secara sah (valid) dari proposisi-proposisi
lain yang telah diterima sebagai benar.15

c. Teori Kebenaran Pragmatis

Teori ini dikembangkan dan dianut oleh filsuf-filsuf


pragmatis dari Amerika, seperti Charles S. Pierce, William James,
dan John Dewey. Bagi kaum pragmatis, kebenaran sama artinya
dengan kegunaan. Jadi, ide, konsep, pernyataan, atau hipotesis
yang benar adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide
yang paling mampu memungkinkan seseorang – berdasarkan ide
itu – melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna.
Dengan kata lain, berhasil ;dan berguna adalah kriteria utama
untuk menentukan apakah suatu ide benar atau tidak. Contohnya,
ide bahwa kemacetan di jalan-jalan besar di Jakarta disebabkan
terlalu banyak kendaraan pribadi yang ditumpangi satu orang.
Maka, konsep solusinya, “wajibkan kendaraan pribadi ditumpangi

14
Wahana, p. 134.
15
Wahana, p. 135.

7
minimum 3 penumpang”. Ide tadi benar kalau ide tadi berguna dan
berhasil memecahkan persoalan kemacetan.16

Kebenaran pragmatis pada dasarnya juga mencakup unsur


kebenaran empiris. Namun, pendekatan kebenaran pragmatis
memiliki ciri yang lebih radikal, karena selain mengharuskan
kesesuaian dengan kenyataan, kebenaran pragmatis juga menuntut
bahwa pernyataan yang benar (sesuai dengan kenyataan) juga
harus memiliki manfaat konkret bagi manusia.17

Bagi kaum pragmatis, kebenaran selalu terkait dengan


aspek yang bermanfaat. Suatu ide atau teori dianggap benar hanya
jika ide tersebut memiliki nilai praktis dalam suatu konteks
tertentu. Dalam konsep kebenaran pragmatis, ide atau teori tidak
akan diakui sebagai benar jika tidak memiliki manfaat yang nyata.
William James menolak pandangan kebenaran rasionalis yang
hanya memberikan definisi-definisi yang bersifat abstrak tanpa
relevansi dalam kehidupan praktis. Menurut pandangan pragmatis,
kebenaran rasional tidak hanya sebatas pada konsep abstrak,
melainkan juga harus dapat diterapkan dengan cara yang
bermanfaat bagi manusia. Oleh karena itu, kebutuhan akan
"pengetahuan apa" dan "pengetahuan mengapa" harus dilengkapi
dengan "pengetahuan bagaimana" untuk memastikan bahwa
pengetahuan tersebut memiliki nilai yang nyata dalam tindakan
manusia.18

Kesimpulan

Artikel ini membahas konsep watak ilmu dan kebenaran ilmu dalam ranah
epistemologi. Watak ilmu mengacu pada karakteristik esensial yang membedakan
ilmu dari bentuk pengetahuan lainnya, sedangkan kebenaran ilmu berkaitan

16
Wahana, p. 135.
17
Wahana, p. 136.
18
Wahana, p. 137.

8
dengan sejauh mana suatu pernyataan atau pengetahuan dianggap akurat dan valid
dalam kerangka ilmiah. Dalam diskusi tentang karakteristik ilmu, Van Melsen dan
Archie J. Bahm menjelaskan ciri-ciri penting yang melekat pada suatu ilmu,
termasuk keselarasan logis, universalitas, objektivitas, intersubjektivitas,
komunikabilitas, progresivitas, sikap kritis, dan kegunaan praktis.

Artikel juga mencakup teori kebenaran, seperti teori korespondensi yang


menekankan kesesuaian antara pernyataan dan realitas, teori koherensi yang
menekankan konsistensi internal pernyataan, dan teori kebenaran pragmatis yang
menekankan kegunaan dan manfaat praktis dalam menentukan kebenaran. Teori
kebenaran pragmatis, yang diadopsi oleh filsuf pragmatis Amerika, mengatakan
bahwa kebenaran tidak hanya harus sesuai dengan kenyataan tetapi juga harus
memiliki manfaat nyata dalam konteks manusia.

Referensi

Harianto, Budi, Diktat Filsafat Ilmu, 2023

Idris, Saifullah, and Fuad Ramly, Dimensi Filsafat Ilmu Dalam Diskursus
Integrasi Ilmu (Yogyakarta: Darussalam Publishing, 2016)

Wahana, Paulus, FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN (Yogyakarta: Pustaka


Diamond, 2016)

Anda mungkin juga menyukai