Anda di halaman 1dari 3

BAB IV KEBENARAN ILMIAH

1. Pengantar Salah satu syarat pengetahuan adalah mengandung nilai kebenaran. Jadi, salah satu klaim atas apa yang kita ketahui benar adalah memiliki nilai-nilai kebenaran. Oleh karena itu, suatu hal mengenai pengetahuan tidak pernah terlepas dari kebenaran. 2. Macam-Macam Teori Kebenaran Menurut pembagiannya, dalam sejarah filsafat, sekurang-kurangya hingga kini ada empat macam teori yang menjawab pertanyaan secara filosofis. Keempat teori itu adalah: Teori kebenaran sebagai persesuaian (the correspondence theory of thruth) Teori ini diungkapkan oleh Aristoteles. Menurutnya, mangatakan hal yang ada sebagai tidak ada, atau yang tidak ada sebagai ada, adalah salah. Begitu juga sebaliknya mengatakan hal yang ada sebagai ada, atau hal yang tidak ada sebagai tidak ada adalah fana. Jadi, menurut aristoteles suatu pernyataan dianggap benar jika apa yang dinyatakan di dalamnya berhubungan atau memiliki keterkaitan (correspondence) dengan kenyataan yang diungkapkan dalam pernyataan itu. Dengan kata lain, teori ini menyatakan bahwa apa yang diketahui oleh subjek sebagai hal yang benar harus sesuai atau harus cocok dengan objek, dengan kenyataan yang diklaim oleh si subjek itu. Di sini sangat ditekankan adanya kesesuaian dengan realitas antara klaim dengan kenyataan. Dalam mengungkapkan kenyataan, kebenaran akan muncul dan terbukti dengan sendirinya ketika apa yang dikatakan sebagai benar memang sesuai dengan kenyataan. Ada beberapa hal yang perlu dicatat dalam teori ini. Pertama, teori ini lebih menekankan pada paham empirisme yang cenderung mengutamakan pengamatan dan pengalaman indrawin sebagai sumber utama pengetahuan manusia. Kedua, teori ini juga cenderung menegaskan dualitas antara subjek atau objek, antara si pengenal dan yang dikenal. Objek dipandang lebih penting bagi kebenaran pengetahuan manusia. Subjek (akal budi) hanya dianggap mengolah lebih jauh apa yang diberikan objek. Ketiga, teori ini sangat memandang pentingnya bukti (evidience) bagi kebenaran pengetahuan. Bukti ini merupakan hasil dari apa yang ditangkap oleh pancaindra manusia. Kebenaran akan terbukti jika apa yang ada dalam proposisi sesuai dengan kenyataanya. Teori kebenaran sebagai keteguhan (the coherence theory of thruth) Teori ini dianut oleh kaum epirisisme. Didalam teori ini menegaskan bahwa, kebenaran tidak ditemukan dalam kesesuaian antara proposisi dengan kenyataan, melainkan terjadi antara proposisi baru dengan proposisi sudah ada. Maka, suatu pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi atau hipotesis dianggap benar jika sejalan dengan pengetahuan, teori, proposisi, atau hipotesis lainnya, yaitu kalau proposisi itu meneguhkan dan konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap benar.

Bagi penganut teori ini, kebenaran ada karena adanya keterkaitan dan saling meneguhkan antar satu proposisi dengan proposisi lain. Contohnya, (1) Semua manusia bernafas, (2) Sokrates adalah manusia, (3) Sokrates pasti bernafas. Dalam contoh ini dapat kita lihat bahwa, pada pernyataan ketiga hanya merupakan implikasi logis dari sistem pemikiran yang ada pada pernyataan pertama dan kedua. Contoh lain adalah pada pernyataan Lilin akan mencair jika dimasukkan pada air yang sedang mendidih. Bagi kaum empiris mungkin diperlukan suatu percobaan dengan memasukkan lilin pada air mendidih agar terbukti jika pernyataan tersebut sesuai dengan kenyataan atau tidak. Namun hal ini berbeda dengan kaum rasionalis yang menganut kebenaran sebagai keteguhan, untuk mengetahui kebenaran hanya diperlukan mengecek apakah pernyataan ini sejalan dengan pernyataan lain. Dari contoh-contoh diatas dapat disimpulkan bahwa pertama, teori kebenaran sebagai keteguhan lebih menekankan pada kebenaran rasional-logis dan juga cara kerja deduktif. Hal ini berarti pernyataan mengandung kebenaran hanya diturunkan sebagai konsekuensi logis dari pernyataan lain yang sudah ada dan dianggap benar. Kedua, teori kebenaran sebagai keteguhan lebih menekankan kebenaran dan pengetahuan apriori. Ini berarti pembuktian sama halnya validasi (memperlihatkan apakah kesimpulan yang mengandung kebenaran tadi diperoleh secara sahih dari proposisi lain yang diterima kebenarannya. Salah satu kelemahan dari teori ini adalah terjadinya gerak mundur tanpa henti (infinite regress) atau terjadi gerak putar tanpa henti dalam pencarian kebenaran. Hal ini berarti ada keterkaitan antar satu kebenaran dengan kebenaran sebelumnya. Kebenaran tadi akan berkaitan lagi dengan kebenaran yang lain. Begitu terus hingga terjadi perputaran tanpa henti. Sehingga dapat kita ambil kesimpulan bahwa dalam situasi tertentu perlu adanya kesinambungan antara rasionalitas dengan pengalaman dan pengamatan untuk menguji suatu kebenaran. Kedua memang tidak saling bergantung tapi saling melengkapi satu dengan yang lain. Ini berarti perlu adanya kebenaran empiris dan kebenaran logis dalam mencari suatu kebenaran. Teori pragmantis mengenai kebenaran (the pragmantic theory of thruth) Teori ini dianut dan dikembangan oleh filusuf pragmantis asal Amerika, seperti Charles S. Pierce dan William James. Bagi mereka kebenaran adalah kegunaan. Ide-ide akan dianggap benar jika memiliki kegunaan tertentu bagi kehidupan. Ide yang benar adalah ide yang paling mampu untuk memungkinkan seseorang melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna. Pierce mengatakan bahwa ide yang jelas dan benar harus memiliki konsekuensi praktis pada tindakan tertentu. Artinya, jika ide tersebut memiliki nilai kebenaran maka akan berguna dalam memecahkan suatu persoalan dan menentukan perilaku manusia. Beda halnya dengan James, yang mengembangkan teori pragmantisnya mengenai kebenaran dengan mengacu pada proses berpikir. Menurutnya berpikir merupakan suatu cara untuk membentuk ide yang dapat memuaskan kebutuhan dan kepentingan manusia. Ide yang benar menurut James adalah ide yang dapat memenuhi kebutuhan hidup dan tuntutan manusia. Sedangkan ide yang salah adalah ide yang tidak dapat membantu memenuhi kebutuhan dan tuntutan manusia.

Dalam teori pragmatis ini kebenaran menyangkut pengetahuan bagaiamana (knowhow). Suatu ide yang benar adalah ide yang dapat memungkinkan manusia untuk dapat memperbaiki atau menghasilkan sesuatu. Sebenarnya kaum pragmantis tidak menolak teori kaum rasionalis dan empiris. Hanya saja, mereka cenderung melihat kebenaran sebagai penerapan yang berguna secara efektif dalam kehidupan manusia. Kebenaran juga memiliki sifat yang baik. Maksudnya adalah suatu ide tidak pernah benar kalau tidak baik untuk sesuatu. Oleh karena itu, kebenaran sejatinya adalah nilai moral, karena dengan kebenaran manusia bisa sampai dan sesuatu. Teori kebenaran performatif (the perfomative theory of truth) Teori ini dianut oleh filusuf seperti Frank Ramsey, John Austin, dan Peter Strawson.Mereka ingin menentang teori klasik bahwa benar dan salah merupakan ungkapan untuk menyatakan sesuatu. Menurut teori ini, pernyataan dianggap benar jika pernyataan tersebut dapat menciptakan realitas. Ini sangat berbeda dengan pengertian pernyataan sebelumnya yang berfungsi untuk mengungkap suatu realitas. Teori ini dapat dipakai secara positif tetapi juga dapat digunakan secara negatif. Secara positif, dengan pernyataan tertentu seseorang akan berusaha mewujudkan apa yang dinyatakan. Sedangkan secara negatif, orang dapat pula terlena dengan pernyataan dan ungkapannya seakan pernyataan atau ungkapan tersebut sama dengan realitas begitu saja. Jadi dapat disimpulkan bahwa adakalanya apa yang kita nyatakan belum tentu mejadi sebuah realitas. 3. Sifat Dasar Kebenaran Ilmiah Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya kebenaran ilmiah selalu mempunyai paling tidak tiga sifat dasar. Pertama, struktur yang rasional dan logis. Hal ini berarti, struktur kebenaran ilmiah selalu dicapai berdasarkan kesimpulan yang logis dan rasional mengenai teori dan proposi-proposi tertentu. Proposi-proposi ini dapat berupa teori atau hukum ilmiah yang sudah terbukti kebenarannya. Kedua, suatu kebenaran ilmiah harus memiliki sifat empirirs. Sifat ini menyatakan bahwa bagaiaman pun kebenaran ilmiah juga perlu dibuktikan kebenarannya dengan kenyataan yang ada. Ketiga, suatu kebenaran ilmiah harus memiliki sifat pragmatis yang menggabungkan sifat pertama dan sifat kedua. Dalam arti, sebuah pernyataan dianggap benar secara logis dan empiris, pernyataan tersebut harus dapat membantu manusia dalam memecahkan berbagai macam persoalan dalam hidupnya.

Anda mungkin juga menyukai