Anda di halaman 1dari 3

Arti Kebenaran

Term “Kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret maupun abstrak. 24 Dalam bahasa Inggris
“Kebenaran” disebut “truth”, Anglo-Saxon “Treowth” (kesetiaan). Istilah latin “varitas”, dan Yunani “eletheid”, dipandang
sebagai lawan kata “kesalahan”, “kesesatan”, “kepalsuan”, dan kadang juga “opini”. Dalam bahasa „Arab “Kebenaran”
disebut “al-haq” yang diartikan dengan “naqid al-batil”.
Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia kata “Kebenaran”, menunjukkan kepada keadaan yang cocok dengan keadaan
yang sesungguhnya, sesuatu yang sungguh-sungguh adanya.
Menurut „Abbas Hamami, jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi
maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement. Dan, jika subyek menyatakan
kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan dan nilai. Hal yang
demikian itu karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan dan nilai itu sendiri.
Dengan adanya berbagai macam katagori sebagaimana tersebut di atas, maka tidaklah berlebihan jika pada saatnya setiap
subjektif yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang amat berbeda satu dengan yang lainnya.
Selanjutnya, setelah melalui pembicaraan tentang berbagai “model” kerangka kebenaran, Harold H. Tutis sampai kepada
kesimpulan yang terjemahannya kurang lebih sebagai berikut: “Kebenaran” adalah kesetiaan putusan-putusan dan ide-ide
kita pada fakta pengalaman atau pada alam sebagaimana apa adanya: akan tetapi sementara kita tidak senantiasa dapat
membandingkan putusan kita itu dengan situasi aktual, maka ujilah putusan kita itu dengan putusan-putusan lain yang kita
percaya sah dan benar, atau kita ujilah putusan-putusan itu dengan kegunaannya dan dengan akibat-akibat praktis.29 Tidak
jauh berbeda dengan apa yang telah disimpulkan oleh Titus di atas mengenai arti “kebenaran”. Patrick juga mencoba
menawarkan alternatif sikap terhadap atau mengenai “kebenaran” itu dengan menyatakan, yang terjemahnya kurang lebih
sebagai berikut: Agaknya pandangan yang terbaik mengenai ini (kebenaran) adalah bahwa kebenaran itu merupakan
kesetiaan kepada kenyataan. Namun sementara dalam beberapa kasus kita tidak dapat membandingkan idea-idea dan
putusan-putusan kita dengan kenyataan, maka yang terbaik yang dapat kita lakukan adalah melihat jika idea-idea dan
putusanputusan itu konsisten dengan idea-idea dan putusan-putusan lain, maka kita dapat menerimanya sebagai benar.30
FH. Bradly penganut faham idealisme mengatakan bahwa kebenaran ialah kenyataan. Karena kebenaran ialah makna yang
merupakan halnya, dan karena kenyataan ialah juga merupakan halnya
Dalam sejarah filsafat, sekurang-kurangnya hingga kini ada empat teori yang berupaya menjawab
pertanyaan tersebut secara filosofis, yaitu.
 Teori Kebenaran sebagai pesesuaian (the correspondence theory of truth)
 Teori Kebenaran sebagai keteguhan (the coherence theory of truth)
 Teori Pragmatis tentang kebenaran (the pragmatic theory of truth)
 Teori Performatif tentang kebenaran (the perfomative theory of truth)

a. Teori kebenaran sebagai persesuaian korespondensi)


“The Theory of Correspondence is an old one”. Teori ini eksponen utamanya adalah Bertrand Russell (1872- 1970).
44 Inti ajarannya tentang kebenaran adalah bahwa suatu pernyataan itu benar jika makna yang dikandungnya
sungguh-sungguh merupakan halnya, dinamakan “paham korespondensi” kebenaran atau keadaan benar berupa
kesesuaian (correspondence) antara makna yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan dengan apa yang
sesungguhnya merupakan halnya, atau apa yang merupakan fakta-faktanya.45 Teori kebenaran ini termasuk dalam
katagori “veritas desfait” yaitu kebenarankebenaran berdasarkan kenyataan. 46 Teori ini melahirkan cara berpikir
induksiyang tampak dalam statistika. Kebenaran dalam paham ini terletak pada kesesuaian hubungan antara
pernyataan dengan obyek yang bersifat faktual. Paham ini banyak dianut oleh penganut realisme dan metarialisme
dan berkembang pada abad ke-19 di bawah pengaruh Heggel,47 dan sangat menghargai pengamatan empirik serta
memuji cara kerja aposteriori. Titik tolaknya pada dua realitas – sebagaiman yang telah disebutkan di atas – yaitu
Pernyataan dan Kenyataan. Sebenarnya unsur-unsurnya sudah ada sejak Heraklitus. Kemudian diteruskan oleh
Aristoteles, juga tampak dalam pandangan Thomas Aquinas dan didukung oleh para filsuf Inggris sejak abad
pertengahan sama masa pencerahan.48 Penganut realisme membawa ukuran kebenaran dari dunia ide ke dunia
empiris dan kenyataan kebenaran berada pada alam realitas obyektif. Rasionalisme dipergunakan dalam rangka
empirisme atau rasionalisme dilihat dalam rangka empirisme.
Aristoteles sudah meletakkan dasar bagi teori kebenaran sebagai persesuaian antara apa yang dikatakan
dengan kenyataan. Menurut teori ini, kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai
diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya, benar dan sebagaimana adanya. Kebenaran yang terletak
pada kesesuaian objek dan subjek, yaitu apa yang diketahui sebjek dan realitas apa adanya atau disebut
dengan kebenaran empiris. Contohnya, “Bumi itu bulat” adalah suatu pernyataan yang benar karena sesuai
dengan kenyataan.
Melalui contoh diatas, teori ini apa yang diketahui subjek adalah benar dan harus sesuai dengan objek.
Subjek memang berkaitan dan berhubungan dengan. Singkatnya, materi pengetahuan yang diungkapkan
dan dikandung dalam kenyataan atau proposisi memang sesuai dengan objek atau fakta. Menurut teori ini,
suatu ide, konsep, atau teori yang benar, harus mengungkapkan realitas yang sebenarnya. Bagi teori ini,
mengungkapkan realitas adalah hal yang pokok bagi kegiatan ilmiah.
Ada beberapa hal yang perlu dicatat sehubungan dengan teori ini. Pertama, teori ini sangat ditekankan
oleh aliran empirisme yang mengutamakan pengalaman dan pengamatan indrawi sebagai sumber utama
pengetahuan manusia. Kedua, teori ini menekankan pentingnya objek bagi kebenaran pengetahuan
manusia. Ketiga, teori ini sangat menekankan bukti bagi kebenaran suatu pengetahuan.yang disebut sebagai
pembuktian atau justifikasi adalah proses menyodorkan fakta yang mendukung suatu proposisi atau
hipotesis.
Pernyataan, proposisi, atau hipotesis yang tidak didukung oleh bukti empiris, maka tidak dianggap benar.
Misalnya, “Ada tuhan yang mahakuasa” tidak dianggap sebagai suatu kebenaran kalau tidak didukung oleh
bukti empiris tertentu. Pernyataan yang tidak dianggap pengetahuan tersebut akan berubah menjadi suatu
keyakinan.
Pernyataan tersebut bisa diajarkan disekolah, tetapi tidak lagi sebagai pengetahuan, pernyataan tersebut
hanya diajarkan dan dipertahankan sebagai sebuah ideologi, yaitu sistem keyakinan atau pernyataan yang
mengandung keyakinan.

b. Teori kebenaran sebagai keteguhan (Koherensi)


Kata “koherensi” (coherence. Inggris = sticking together, consistent (especially of speech, thought, reasoning), clear,
easy to understand; Latin: cohaerere = melekat, tetap menyatu, bersatu). Koherensi berarti hubungan yang terjadi
karena adanya gagasan (prinsip, relasi, aturan, konsep) yang sama. Teori ini banyak dianut oleh penganut idealisme,
seperti: FH. Bradly (1846-1924) The Coherence Theory of Truh yang sering pula dinamakan The Consistence Theory
of Truth. Secara singkat paham ini mengatakan bahwa suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut
dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi yang benar atau jika makna yang dikandunganya
dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita.37 Suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan
itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Teori koherensi ini juga
termasuk dalam katagori “Veritas de raison” yaitu, kebenarankebenaran yang masuk akal dan juga melahirkan
berpikir deduksi yang sangat diperlukan untuk matematika. Alam pikiran teori ini terpadu secara utuh/koheren, baik
argumentasinya maupun kaitannya dengan pengeahuan-pengetahuan sebelumnya yang dianggap benar.Teori ini
dikenal juga sebagai teori justifikasi, karena dukungan dari keputusan-keputusan yang terdahulu yang sudah diakui
dan diterima kebenarannya. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, teori ini banyak dianut atau berakar pada
pola filsafat idealisme yaitu Idealisme Plato yang mendewakan dunia ide. Baginya (Plato) yang nyata itu adalah ide
dan ide ini abadi. Dengan demikian, dunia dan seluruh isinya berupa perwujudan dari ide tersebut dan sifatnya
berubah-ubah, yaitu tidak abadi, seperti; “kucing” yang sebenarnya diciptakan oleh Tuhan berarti kucing yang ideal,
unik dan merupakan “ kucing” yang sebenarnya. Kucing-kucing partikular yang kita lihat di sekitar kita adalah hanya
perwujudan belaka.41 Jadi teori ini memberikan ukuran kebenaran pernyataan pada adanya hubungan antara
pernyataan itu dengan pernyataan yang lain atau pengalaman sebelumnya yang diakui kebenarannya. Jika ada
hubungan berarti benar, jika tidak berarti tdak benar. Kebenaran terletak pada hubungan antara pernyataan dan
pengalaman. Semakin banyak hubungannya, semakin tinggi derajat kebenaran itu

Tokoh-tokoh teori ini adalah kaum rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Descartes, Hegel, dll. Teori ini
mengatakan bahwa kebenaran ditemukan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah
ada. Artinya, suatu proposisi dianggap benar apabila meneguhkan proposisi sebelumnya yang telah
dianggap benar. Matematika dan ilmu-ilmu pasti sangat menekankan teori kebenaran sebagai keteguhan ini.
Kebenaran sesungguhnya hanya berkaitan dengan implikasi logis dari pemikiran yang ada. Misalnya, (1)
Semua manusia pasti mati (2) Socrates adalah manusia (3) Socrates pasti mati. Sebenarnya semua itu hanya
implikasi logis dari sistem pemikiran yang ada. Dalam hal ini, kebenaran (3) sesungguhnya sudah ada dalm
kebenaran (1). Kebeneran (3) tidak ditentukan apakah dalam kenyataan Socrates mati atau tidak. Dari
uraian ini, bisa dilihat dengan jelas bahwa, pertama, teori kebenaran sebagai keteguhan lebih menekankan
kebenaran rasional, logis dan juga cara kerja deduktif. Kedua, dengan demikian teori kebenaran sebagai
keteguhan lebih menekankan kebenaran dan pengetahuan apriori.
Kebenaran ditentukan berdasarkan fakta apakah pernyataan tersebut sesuai dan sejalan dengan
pernyataan lainnya. Hal ini berlangsung tersu sehingga terjadi gerak mundur tanpa henti (Infinite regress)
atau akan terjadi gerak putar tanpa henti. Dalam kenyataan, perlu digabungkan dengan teori kebenaran
sesuai dengan realitas. Sebagai perbandingan kita dapat membuat perbedaan antara kebenaran empiris dan
kebenaran logis sebagai berikut.

Kebenaran Empiris Kebenaran Logis


Mementingkan objek Mementingkan subjek
Menghargai cara kerja induktif dan Menghargai cara kerja deduktif dan
aposteriori apriori
Lebih mengutamakan pengamatan indra Lebih mengutamakan penalaran akal
budi

Jadi, suatu proposisi atau kesimpulan bisa saja benar dari segi logis tetapi salah dalam segi empiris.
Keduanya tidak saling bergantung namun yang dibutuhkan tidak hanya kebenaran empiris saja melainkan
juga kebenaran logis juga. Immanuel Kant sangat menekankan baik kebenaran logis yang diperoleh melalui
penalaran dengan akal budi maupun kebenaran empiris yang diperoleh dengan bantuan pancaindera yang
menyodorkan data-data tertentu. Penting dua kebenaran tersebut supaya tidak terjebak pada silogisme dan
retorika kosong. Kebenaran ilmiah haruslah memenuhi dua kriteria yaitu, Empiris & Rasional.
c. Teori Pragmatis tentang kebenaran
Teori ini dikembangkan oleh filsuf-filsuf pragmatis dari Amerika Serikat seperti Charles S. Peirce dan
William James. Bagi kaum pragmatis, kebenaran sama artinya dengan kegunaan. Jadi, ide, konsep,
pernyataan, atau hipotesis yang benar adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling
mampu memungkinkan seseorang melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna. Berguna adalah
kriteris utama untuk menentukan benar atau tidaknya ide.
Pierce mengatakan, bahwa ide yang jelas dan benar mau tidak mau mempunyai konsekuensi praktis pada
tindakan tertentu. Jika ide benar, maka ketika digunakan akan berguna dan berhasil memecahkan persoalan
manusia. Menurut William James, fungsi dari berpikir bukan untuk menangkap kenyataan tertentu,
melainkan untuk membentuk ide tertentu demi memuaskan kebutuhan atau kepentingan manusia. James
menjelaskan, kalau suatu ide dianggap benar, apa perbedaan praktis yang akan timbul dari ide ini
dibandingkan ide yang tidak benar. James menjelaskan ide yang benar dan berguna akan berfungsi
memenuhi tuntutan dan kebutuhan kita. Sebaliknya ide yang salah tidak dapat berfungsi untuk memenuhi
tuntutan dan kebutuhan kita.
Maka, menurut John Deway dan William James, ide yang benar sesungguhnya adalah instrument untuk
bertindak secara berhasil. Kebenaran yang terutama ditekankan oleh kaum pragmatis ini adalah kebenaran
yang menyangkut “pengetahuan bagaimana” (Know-How). Dalam hal ini, kaum pragmatis sesungguhnya
tidak menolak kebenaran dari kaum rasionalis maupun kaum empiris. Bagi kaum pragmatis, yang penting
bukanlah benar tidaknya suatu ide secara abstrak. Melainkan, sejauh mana kita dapat memecahkan
persoalan-persoalan praktis yang muncul dalam kehidupan kita dan kehidupan masyarakat sehari-hari.
Kebenaran pragmatis mencakup pula kebenaran empiris. Hanya saja lebih radikal sifatnya karena
kebenaran pragmatis tidak hanya sesuai dengan kenyataan melainkan juga pernyataan yang benar.
Kebenaran bagi kaum pragmatis berarti suatu sifat yang baik. Maksudnya adalah suatu ide atau teori
tidak pernah benar kalau tidak baik untuk sesuatu. Oleh karena itu, William James menolak memisahkan
kebenaran dari nilai moral. Kebenaran merupakan sebuah nilai moral karena dengan kebenaran manusia
sampai pada sesuatu. Bagi kaum ini, yang penting bukanlah benar tidaknya suatu ide secara abstrak.
Melainkan, sejauh mana kita dapat memecahkan persoalan dalam realitas kehidupan dengan menggunakan
ide-ide itu.

d. Teori Kebenaran Perfomatif

Teori ini dianut oleh filsuf seperti Frank Ramsey, John Austin, dan Peter Strawson. Filsuf-filsuf ini mau
menentang teori klasik bahwa “benar” dan “salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan suatu yang
deskriptif. Menurut teori ini, pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas tapi
justru dengan pernyataan itu tercipta suatu realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu.
Contohnya, “Dengan ini, saya mengangkat kamu menjadi Bupati Bantul.” Dengan pernyataan itu, tercipta
sebuah realitas baru. Tetapi, secara negatif, orang dapat pula terlena dengan pernyataan atau ungkapannya
seakan pernyataan atau ungkapan tersebut sama dengan realitas begitu saja. Misalnya, “Saya bersumpah,
saya berjanji akan setia.” Seakan-akan dengan janji itu ia setia. Padahal apa yang dinyatakan belum tentu
dengan sendirinya menjadi realitas.

Anda mungkin juga menyukai