Anda di halaman 1dari 17

1

KEPASTIAN DAN KEBENARAN ILMIAH

Mengetahui apa yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan tidak sama dengan mengetahui
apakah pernyataan itu benar ataukah tidak. Bahkan mereka yang mengatakan bahwa makna sama
dengan keadaan yang dapat diverifikasi, akan bersepakat demikianlah harapan saya bahwa
mengetahui syarat-syarat untuk menetapkan suatu pemyataan dapat diverifikasi tidaklah sama
dengan mengetahui bahwa syarat-syarat itu sudah dipenuhi. Untuk sampai pada definisi tentang
kebenaran, marilah kita hubungkan lagi pembicaraan kita dengan kalimat, "Di luar hawanya
dingin."
Kalimat, ini dapat dianalisa sebagai berikut: (l) suatu perangkat tanda, (2) suatu susunan
tanda-tanda yang teratur yang sesuai dengan aturan-aturan sintaksis, (3) makna yang
dikandungnya atau dimaksudkannya. Bila kita mencari sesuatu definisi tentang kebenaran, maka
kita tidak berhubungan dengan kalimat-kalimat sebagai sekadar tanda-tanda atau berhubungan
dengan aturan-aturan sintaksis begitu saja.
PROPOSISI, KANDUNGAN MAKNA SUATU PERNYATAAN. Penyusunan tanda-
tanda tersebut di atas secara tertib merupakan apa yang oleh aturan-aturan sintaksis dinamakan
kalimat berita, dan apa yang saya namakan 'pernyataan'. Meskipun saya menamakannya
'pernyataan' dalam hubungannya dengan makna yang dikandung oleh kalimat, namun istilah
'pernyataan' tersebut merupakan istilah yang murni bersifat sintaksis, karena pernyataan berarti
'kalimat berita'. Sedangkan makna yang dimaksudkan oleh pemyataan, saya namakan 'proposisi'
(proposition).
Sudah jelas bahwa tidak ada perangkat tanda yang dapat dikatakan benar. Selanjutnya,
kecuali secara luwes, kita sesungguhnya tidak dapat mengatakan bahwa sesuatu pemyataan
benar. Kadang-kadang pemyataan diartikan sama sepenuhnya dengan proposisi, dan kalau
demikian halnya, maka perkataan benar dapat diterapkan kepada keduanya. Kadang-kadang
perkataan 'pernyataan' juga dipakai, sementara yang dimaksudkan ialah proposisi, dan dalam hal
ini pun perkataan 'benar' dapat diterapkan. Tetapi sebaiknya kedua ,acarn segi tersebut tetap kita
pisahkan, setidak-tidaknya pada kesempatan ini. Dalam hal yang demikian, perkataan 'benar'
hanya dapat diterapkan kepada proposisi.
2

Dalam telaah-telaah mengenai Filsafat Ilmu Pengetahuan kita menemukan banyak masalah dan
pemecahannya. Masalah-masalah itu antara lain, kepastian, kebarangkalian, kesesatan dalam ilmu-ilmu empiris dan
ilmu eksakta dan lain-lain. Suatu masalah pokok yang harus dicerap adalah kebenaran dan kepastian. Pengetahuan
selalu mengandung kebenaran dalam arti bahwa apa yang kita klaim sebagai isi pengetahuan kita haruslah benar.
Kita menemukan beberapa teori mengenai kebenararr.
1. Kebenaran sebagai Persesuaian (the correspondent theory of truth). Pendasar teori ini
adalah Aristoteles. Menurutnya, mengatakan sesuatu yang ada sebagai tidak ada, atau yang
tidak ada sebagai ada adalah salah. Sebaliknya mengatakan hal yang ada sebagai ada, dan
yang tidak ada sebagai tidak ada, adalah benar. Dengan ini muncul kebenaran sebagai
persesuaian antara apa yang dikatakan atau dipikirkan dengan kenyataan. Apa yang
dinyatakan berhubungan dengan kenyataan yang diungkapkan dalam pernyataan itu
(correspondent). Dengan kata lain, kebenaran adalah kesesuaian antara S dan 0, apa yang
diketahui S dengan realitas sebagaimana adanya (kebenaran empiris yan didukung oleh
fakta). Beberapa pokok penting yang perlu diketahui tentang hal ini adalah:
a. Teori ini sangat didukung oleh empirisme, dan oleh karena itu teori ini sangat
menghargai pengamatan dan pengujian empiris. la lebih menekankan cara kerja
pengetahuan aposteriori;
b. Teori ini juga menegaskan dualitas antara S dan 0, pengenal dan yang dikenal. Di sana
obyek terasa penting bagi pengetahuan manusia. Subyek atau akal budi hanya mengolah
apa yang diberikan obyek;
c. Teori ini juga menekankan bukti bagi kebenaran suatu pengetahuan. Namun bukti ini
bukannya hasil akal budi, atau hasil imaginasi akal budi, tetapi apa yang disodorkan
obyek melalui panca indera. Persoalan ialah bahwa semua proposisi atau hipotesis yang
tidak didukung oleh bukti empiris tidak akan dianggap benar. Misalnya, Tuhan adalah
mahabijaksana dan dia hadir dalam sejarah manusia. Ini pernyataan yang tidak benar.
Maka ini tidak dilihat sebagai pengetahuan. Ini hanya dianggap sebagai keyakinan atau
juga ideologi. Unsur-unsur anggapan seperti ini sudah nampak sejak Heraklitus,
Aristoteles, Aquinas dan terutama didukung oleh para pemikir Inggris (Empirisme).
2. Kebenaran sebagai Keteguhan (the coherent theory of truth). Pandangan ini dudukung oleh
Pythagoras, Parmenides, Spinoza, dan Hegel. Teori ini dianut oleh kaum rasionalis.
Kebenaran tidak lagi ditemukan dalam kesesuaian dengan kenyataan, melainkan dalam relasi
antara proposisi baru dengan proposisi lama atau yang sudah ada. Maka suatu pengetahuan
3

atau proposisi dianggap benar kalau sejalan dengan pengetahuan atau proposisi sebelumnya.
Matematika dan ilmu pasti sangat cocok dengan teori kebenaran ini. Misalnya, Semua
manusia mati; Sokrates adalah manusia; Maka Sokrates pasti mati. Penekanan pada
pengetahuan apriorirasional dan deduktif. Di sini pengenal dan subyek lebih dipentingkan
daripada obyek.
3. Teori Pragmatis tentang Kebenaran (the pragmatic theory of truth). Teori ini
dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce dan William James. Kebenaran memiliki arti
yang sama dengan kegunaan. Suatu ide benar adalah ide yang bisa memungkinkan seseorang
melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna. Ide yang benar pasti juga memiliki
konsekuensi praktis pada tindakan tertentu (J. Dewey). Kebenaran yang ditemukan di sini
adalah menyangkut "know-how", kalau manusia berhasil menciptakan sesuatu.
4. Teori Kebenaran Performatif (Performative theory of truth). Anggapan tentang
terlaksananya kebenaran dalam bahasa (ungkapan) manusia berasal dari Inggris (Frank
Ramsey, John Austin, dan Peter Strawson). Mereka melawan teori klasik bahwa benar dan
salah adalah ungkapan deskriptif. Suatu pernyataan dianggap benar kalau is menciptakan
realitas. Misalnya, "Dengan ini saya mengangkat ands menjadi ketua kelas." Ungkapan atau
pernyataan ini menciptakan suatu realitas.
5. Teori Kebenaran Historis. Ini pada umumnya diakui oleh kelompok post-modernis atau
strukturalis dan post-strukturalis. Menurut mereka kebenaran selalu bersifat historis dan
selalu berpusat pada kebebasan batin setiap manusia, dan bukannya ditentukan lebih dahulu
atau ditentukan oleh orang lain. Dalam diri setiap manusia dan kebudayaan terdapat unsur
kebenaran.
Sifat-Sifat Kebenaran Ilmiah
Kita tahu bahwa paling kurang ada dua macam kebenaran yaitu kebenaran empiris dan logis yang kiranya
dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu terdapat tiga sifat dasar kebenaran ilmiah:
 Struktur kebenaran ilmiah bersifat rasional-logis (berdasarkan kesimpulan yang logis-rasional dari premis-
premis tertentu). Karena itu bersifat rasional, maka semua orang rasional dapat menggunakan akal budinya
secara balk dan memahami kebenaran ilmiah ini. Sebab itu is bersifat universal. Sifat rasional harus
dibedakan dari `masuk akal' (reasonableness). Sifat rasional berlaku untuk kebenaran ilmiah. `Masuk akal'
berlaku terutama bagi kebenaran tertentu yang berada di luar lingkup ilmu pengetahuan. Misalnya, sikap
marah atau menangis dapat masuk akal walau tidak rasional.
 Isi empiris: kebenaran ilmiah perlu diuji dengan kenyataan yang ada (empiris).
4

 Sifat pragmatis mau menggabungkan dua sifat kebenaran di atas. Pernyataan itu logis dan empiris, maka
harus juga berguna dalam hidup manusia dalam memecahkan permasalahan.
Kepastian dan Kebenaran
Dalam diskusi tentang macam-macam teori kebenaran pertanyaan yang muncul ialah apakah kebenaran
ilmiah bersifat pasti atau sementara? Jawaban atas pertanyaan ini memunculkan dua pandangan berbeda, yaitu
pandangan kaum rasionalis yang menekankan kebenaran logis-rasional dan pandangan kaum empiris yang
menekankan kebenaran empiris. Karena itu kita harus berbicara tentang taraftaraf kepastian (subyektivitas dan
obyektivitas).
Pemakaian istilah S dan 0 sudah dibicarakan, demikian pula pengetahuan yang dimengerti sebagai
kesadaran si subyek tentang obyek yang dikenalnya. Di sana terang terjadi pada pihak subyek (yang dapat
membedakan obyek dari dirinya) dan dari pihak obyek yang seolah membuka diri kepada S. Terang justru terjadi
dalam diri S (bdk. Kant dengan pengetahuan apriori-sintetis).
Dari sudut pengetahuan kita mengenal apa yang disebut evidensi dan kepastian. Dalam hubungan S dan 0,
evidensi terletak pada pihak obyek. Sedangkan kepastian ada pada pihak subyek. Evidensi adalah terang atau daya
obyek yang menampakkan diri, sedangkan kepastian ialah keyakinan dalam diri subyek bahwa apa yang dikenalnya
sungguh adalah obyek yang ingin diketahuinya. Kepastian berkaitan dengan subyek (rasionalis). Kaum rasionalis
yakin bahwa kebenaran sebagai keteguhan bersifat pasti, karena kesimpulannya hanyalah merupakan konsekuensi
logis dari teori, pernyataan, atau hukum ilmiah Iainnya. Sebab itu sejauh teori atau hukum benar, kesimpulannya
juga benar.
Taraf Kepastian Ilmu Empiris dan Ilmu Eksakta
Dalam kaitan dengan kepastian sering kita mengatakan bahwa sesuatu hanya dapat ditempatkan dalam
"barangkali" atau "mungkin."Istilah ini digunakan para ilmuwan untuk menunjuk pada sesuatu yang dalam gejala
pengetahuan terletak pada pihak obyek. Untuk mengatasi kesulitan ini kita diperkenalkan dengan istilah
`kepercayaan' (credibility).
Kepercayaan adalah ciri khas hipotesis ilmiah. Hipotesis ini justru ada pada pihak subyek. Kepercayaan
hipotesis bisa Iemah, bisa kuat, tetapi ini tergantung pada mutu dan jumlah data empiris yang dapat diterangkan.
Bila data empiris ini dirumuskan dalam serangkaian pernyataan ilmiah P, maka kepercayaan p dari hipotesis H
tertentu (p (H,P) dapat diberi nilai kuantitatif antara 0 dan 1. 0 berarti tidak ada kepercayaan (kalah atau hipotesis
yang tidak bisa diperiksa secara empiris). Angka 1 adalah kuat.
Kepastian dalam ilmu-ilmu empiris
Semua ilmu empiris, termasuk ilmu-ilmu manusia, mengajar tentang kepastian dalam dua arti, yaitu:
a. kepastian tentang explanans dari gejala-gejala yang diselidiki, terutama menyangkut
kebenaran pernyataan dari gejala-gejala itu; dan
b. kepastian mengenai kesimpulan yang dapat ditarik dari suatu hukum yang berlaku.
Namun yang dicapai adalah satu ketakpercayaan (tidak pernah mencapai nilai 1).
Bahkan walaupun hipotesis dan hukum sangat terpercaya, keduanya harus tetap
5

terbuka untuk dibuktikan salah (keduanya bersifat sementara). Jelas bahwa segala taraf
kepastian konkrit dalam ilmu-ilmu empiris bersifat bebas, dalam arti tak pernah ada
paksaan dalam akal agar sesuatu disetujui. Dengan menggunakan istilah evidensi dapat
dikatakan bahwa evidensi dalam ilmu-ilmu empiris selalu bersifat nisbi, dan sebab itu
perlu disetujui berdasarkan pilihan bebas tanpa paksaan.
Kepastian dalam ilmu-ilmu eksakta
Dalam konteks penemuan (context of discovery), dalam usaha mencoba-coba, apa yang dikatakan tentang
ilmu-ilmu empiris juga berlaku untuk ilmu-ilmu pasti (di mans ilmu itu belum pasti). Namun dalam konteks
pembenaran (context of justification), dalam satu sistem matematika atau logika yang sudah jadi dan berdiri sendiri,
tidak ada lagi hipotesis, melainkan hanya ungkapan-ungkapan yang bersifat aksiomatis (yang terdiri dari dalil-dalil)
yang semuanya bernilai 1. Semua dalil berlaku di mana-mana tanpa diragukan dalam sistem itu sendiri. Inilah yang
dimaksudkan dengan ilmu pasti.
Jelas bahwa kesementaraan hanya ada dalam penemuan ilmu-ilmu pasti. Namun kesesatan sementara yang
merupakan sifat kesementaraan ilmuilmu empiris tidak ada dalam ilmu-ilmu pasti. Lalu apakah kepastian ilmu-ilmu
pasti bersifat bebas, dalam anti bahwa setiap orang dapat dengan bebas masuk dalam sistem ilmu pasti yang sama,
dapat dikatakan bahwa kepastian itu bersifat bebas? Kalau dengan bebas seseorang masuk dalam sistem tertentu, is
tidak bebas lagi untuk meragukan atau menolak hasil sistem ilmu bersangkutan. la bersifat mutlak dan bahwa
evidensi ilmu-ilmu itu jugs bersifat mutlak.

`KEBENARAN', SUATU PERKATAAN YANG BERSIFAT SEMANTIK”.


'Pernyataan' merupakan suatu istilah yang bersifat sintaktis; 'proposisi' ialah istilah yang bersifat
semantik, dan demikian pula kata 'benar' mengacu kepada makna simbol-sirnbol, dan bukan
kepada simbolnya. Maka kemungkinan untuk mengatakan bahwa 'p' adalah benar, jika dan hanya
jika p itulah halnya; dalam hal ini menurut kebiasaan simbol 'p' menunjukkan pernyataan,
sedangkan simbol p mengacu kepada proposisi. Maka di dalam sintaksis kita tidak dapat
mengatakan apapun mengenai kebenaran. Untuk membicarakan masalah kebenaran kita
membutuhkan suatu bahasa yang berbeda dengan bahasa yang bersifat sintaksis.
'Kebenaran' menunjukkan bahwa makna suatu pernyataan artinya" proposisinya -
sungguh-sungguh merupakan halnya. Bila proposisinya tidak merupakan halnya, maka kita
mengatakan bahwa proposisi itu 'sesat'. Kadang-kadang orang juga memakai istilah-istilah yang
lain. Misalnya, bila suatu proposisi mengandung kontradiksi, maka kita dapat mengatakan bahwa
proposisi itu 'mustahil', sedangkan jika proposisi itu sedemikian rupa sehingga apa pun yang
terjadi proposisi itu berbentuk 'p atau bukan p', maka kita menamakan 'tautologi'. tingkat-tingkat
6

probabilitas (probability) dan kemungkinan benar juga dapat diterapkan kepada proposisi, sesuai
dengan tingkat-tingkat bahan-bahan bukti untuk mempercayainya sebagai proposisi yang benar
atau sesat.
Kiranya jelas mengapa penganut idealisme, seperti F.H. Bradley, mengatakan bahwa
kebenaran ialah kenyataan. Karena kebenaran ialah makna yang merupakan halnya, dan karena
kenyataan ialah juga merupakan halnya, maka keduanya dipandang sama sepenuhnya Karena
makna pernyataan "Di luar hawanya dingin", artinya proposisi Di luar hawanya dingin, sekarang
sungguh-sungguh merupakan halnya pada waktu menulis catatan ini, maka keadaan dingin-di
luar merupakan bagian dari keadaan kenyataan yang ada pada waktu sekarang serta pada tempat
ini, dan proposisi tersebut dikatakan 'benar'.

UKURAN-UKURAN KEBENARAN

Kiranya semua ini cukup terang dan jelas. Mengenai makna apa yang didukung oleh perkataan
'kebenaran' tampaknya dapat dijawab dengan mudah. Tetapi kesulitan-kesulitan akan timbul bila
saya menanyakan "Bagaimana cara saya mengetahui bila proposisi itu benar?" Dengan perkataan
lain, ukuran apakah yang dapat diterapkan pada proposisi-proposisi untuk menentukan
kebenarannya atau kenyataannya? Ini berarti mengadakan pembedaan antara definisi tentang
kebenaran masalah tentang makna dengan ukuran tentang kebenaran. Apa yang kita butuhkan
ialah sesuatu yang dapat dipakai untuk menunjukkan bahwa definisi itu terpenuhi, karena
tidaklah mudah untuk menerapkan suatu definisi secara langsung.
Misalnya, saya mengatakan "di luar hawanya dingin" kepada seseorang di kamar sebelah,
dan ia ingin sekali mengetahui apakah proposisi tersebut benar atau tidak. Definisi itu
sesungguhnya tidak banyak membantunya, karena apa yang ingin ia ketahui ialah apakah definisi
itu betul-betul terpenuhi ataukah tidak. Ia mungkin ke luar untuk melihat bagaimana caranya
orang berpakaian atau ia mungkin pergi ke luar untuk mengamati termometer. Tetapi bagaimana
dengan orang yang akan membaca hal itu, yang mungkin dibacanya dua tahun kemudian dan
yang berada 500 mil dari tempat tersebut? Dapatlah digambarkan bahwa masalahnya bersifat
pelik serta sukar.
Dan, bila kita menghadapi proposisi-proposisi mengenai objek-objek antar-bintang, atau
gejala-gejala sub-atomis, atau perbedaan-perbedaan yang mendasar, atau satuan-satuan
7

metafisik, atau masalah-masalah teologi, maka kesulitan-kesulitan yang kita hadapi semakin
bertambah banyak dan menjadi kian rumit karena disisipi oleh emosi, kecenderungan,
kewibawaan, jarak, kesulitan untuk mengamati, dan sebagainya. Jika kita menghadapi
pertanyaan yang diajukan oleh Plato, "Apakah kebenaran itu?," maka kita dapat memberikan
definisi yang bersifat umum seperti tersebut di atas. Tetapi jika ditanya, "Apakah yang
merupakan kebenarannya?," mengenai sesuatu masalah yang khusus, maka acap kali kita dapat
langsung memberikan jawaban.
Sekarang masalahnya bukan lagi "Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan?"
Hat itu telah dibicarakan secara lebih dalam pada bab yang terdahulu. Kini kita perlu mengetahui
dengan ukuran apakah kita dapat menguji suatu proposisi, untuk dapat mengatakan apakah
proposisi itu merupakan pengetahuan ataukah tidak, khususnya di dalam hal-hal yang katakanlah
kita tidak dapat melihat dan tidak dapat mengetahui untuk diri kita sendiri. Untuk dapat
menghargai masalah yang kita bicarakan, maka hendaknya bagian kedua dari bab 7 dibaca
kembali.
Ukuran kebenaran sesungguhnya tergantung pada apakah sebenarnya yang diberikan
kepada kita oleh metode-metode untuk memperoleh pengetahuan. Jika apa yang dapat kita
ketahui ialah ide-ide kita, maka pengetahuan hanya dapat terdiri dari ide-ide yang dihubungkan
secara tepat; dan kebenaran merupakan keadaan-saling-berhubungan (coherence) di antara ide-
ide tersebut atau keadaan saling berhubungan di antara proposisi-proposisi. Jika sebaliknya, kita
dengan suatu cara tertentu mengetahui kenyataan, maka pengetahuan atau ide-ide yang benar
terdiri dari - seperti yang dikatakan oleh Spinoza - kejumbuhan antara ide dengan ideatum-nya,
atau selanjutnya kesesuaian (correspodence) antara ide-ide dengan apa yang diwakilinya.
Selanjutnya jika proposisi-proposisi tersebut rnemberitahukan kenyataan kepada kita,
maka proposisi-proposisi itu seharusnya membantu kita untuk menyelesaikan masalah-masalah
kita, atau merarnalkan (predict) pengalarnan-pengalaman, sebagaimana yang diajarkan oleh para
penganut pragmatisrne.
Penganut skeptisisme mengatakan bahwa sesungguhnya tidak ada satu pun ukuran
tentang kebenaran, sedangkan penganut dogmatisme berpendirian sama gigihnya dengan
mengatakan bahwa ukuran yang dipunyainya merupakan ukuran yang dapat dipercaya secara
mutlak. Penganut idealisme dan realisme mengambil pendirian di tengah. Mereka berpendapat
bahwa ukuran yang mereka punyai, meskipun tidak selalu rnerupakan ukuran terakhir serta
8

penutup, namun ukuran tersebut memberikan kesaksian yang dapat dipercaya mengenai
kemungkinan benar-sesatnya proposisi.
Catatan-catatan yang terakhir ini dimaksudkan untuk sekali lagi menegaskan bahwa
jawaban-jawaban terhadap masalah-masalah kefilsafatan itu saling berkaitan. Tidaklah mungkin
untuk memisahkan-misahkan jawaban terhadap masalah kebenaran serta ukurannya dari
jawaban-jawaban yang diberikan terhadap masalah-masalah kefilsafatan yang lain, meskipun ada
orang-orang yang ingin percaya bahwa demikianlah halnya. Yang demikian ini serupa dengan
mencoba untuk menyatu-hasilkan permainan 'teka-teki' anak-anak (rumah-rumahan, dan
sebagainya, pen.). Bagian dari'teka-teki' yang kita tempatkan pada suatu tempat, mungkin karena
bangunnya, membantu atau menghalangi bagi kita untuk menemukan bagian 'teka-teki' lain yang
cocok.

Keadaan saling tergantung ini kian menjadi jelas bila saya membicarakan jawaban-jawaban yang
pokok terhadap masalah ukuran kebenaran.

1. Paham Koherensi (Coherence Theory)


Paham koherensi tentang kebenaran biasanya dianut oleh para pendukung idealisme,
seperti filsuf' Britania F. H. Bradley (1846-1924). Banyak di antara kajian yang kita lakukan
sehari-hari terhadap kebenaran didasarkan atas paham ini. Secara singkat paham tersebut
mengatakan bahwa suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan
saling berhubungan dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika makna yang
dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita. Bagaimanakah
cara kita mengatakan bila seseorang berbohong dalam banyak hal? Jawabnya dengan jalan
menunjukkan bahwa apa yang dikatakan tidak cocok dengan hal-hal lain yang telah
dikatakannya atau dikerjakannya.
Kiranya sudah jelas bahwa kebenaran proposisi kesejarahan yang mengatakan,
misalnya, "Caesar dibunuh oleh Brutus," atau "Yesus disalib oleh orang-orang Romawi,"
dapat diuji dari keadaannya yang saling berhubungan dengan fakta-fakta lain yang terdapat di
dalam catatan-catatan yang mungkin tersedia dan yang kebenarannya tidak diragukan. Jika
suatu proposisi berada dalam keadaan saling berhubungan dengan semua fakta yang mungkin
ada, maka proposisi tersebut secara mutlak benar. Tetapi karena pada setiap saat hanya
9

sejumlah kecil fakta atau pengalaman semacam itu yang tersedia, maka umumnya kita tidak
memperoleh kebenaran yang mutlak, melainkan sekadar probabilitas-probabilitas belaka.
Marilah kita perhatikan suatu contoh tentang seseorang yang memberikan kesaksian
di pengadilan. Ia mengatakan pandangannya tentang apa yang terjadi, dan kemudian diajukan
pertanyaan-pertanyaan kepadanya dengan maksud untuk memeriksanya. Pengadilan
mencoba menetapkan adanya keadaan saling berhubungan, atau tidak adanya keadaan saling
berhubungan, di dalam seluruh kesaksiannya. Kemudian diajukan saksi-saksi lain yang
melukiskan apa yang terjadi menurut penglihatan mereka. Semakin banyak jumlah saksi
yang mandiri, yang kesaksiannya saling berhubungan, maka semakin tinggi derajat
kebenaran yang dapat diberikan terhadap pelukisan peristiwa-peristiwa tersebut. Tetapi juga
dalam hal ini, dengan jumlah saksi yang terbatas yang melukiskan hanya apa yang dapat
dinamakan penampang alam semesta yang terbatas, tetap ada kemungkinan bahwa saksi
berikutnya akan memperkenalkan sesuatu hal baru yang tidak ada keadaan saling
berhubungannya. Berhubung dengan itu, paham koherensi mengatakan, bahwa derajat
keadaan saling berhubungan merupakan ukuran bagi derajat kebenaran, sedangkan keadaan
saling berhubungan dengan semua kenyataan memberikan kebenaran yang mutlak

EPISTEMOLOGI IDEALISME DAN PAHAM KOHERENSI

Penganut idealisme juga melakukan pendekatan masalah tersebut melalui epistemologinya.


Karena praktek sesungguhnya yang kita kerjakan tidak hanya menunjukkan bahwa ukuran
kebenaran ialah keadaan-saling-berhubungan, rnelainkan juga jawaban terhadap pertanyaan
"Apakah halnya yang kita ketahui?" Hal ini memaksa kita untuk menerirna paham tentang
kebenaran di atas.
Kebenaran tentu merupakan sifat yang dimaksud oleh ide kita. Apapun yang kita
ketahui selalu berupa ide-ide dan tidak pernah berupa sesuatu sebagaimana yang terdapat
dalam dirinya sendiri yang bersifat lahiriah, yang hipotetis. Sebab, pemikiranlah yang
menemukan ketertiban, tatanan serta sistem di dalam kenyataan yang kita hadapi, dan
pemikiranlah yang membuahkan ide-ide, dan ide-ide kebenaran terletak dalam keadaan -
saling-berhubungan di antara ide-ide tersebut.
10

HUKUM YANG SALING BERHUBUNGAN.


Apakah yang dimaksud oleh penganut idealisme dengan keadaan-saling-berhubungan itu?
Bradley mengemukakan dua ciri pokok. Pertama, adanya keharusan bahwa semua fakta
terangkum. Ide-ide tidak mungkin saling berhubungan jika ide-ide itu hanya merupakan
bagian-bagian dari kebenaran seluruhnya- Misalnya, jika kita mengetahui bahwa tanah basah
dan juga mengetahui bahwa langit berawan, maka kedua ide tersebut belum cukup
menunjukkan adanya keadaan saling berhubungan untuk menetapkan bahwa hujan turun.
Kedua keadaan tersebut mungkin ada, namun bisa saja hujan tetap tidak turun. Ini
menggambarkan bahwa agar ada kebenaran, perlu ada suatu sistem yang bersifat mencakup,
yang di dalamnya ide-ide saling berhubungan.
Kedua ide-ide tersebut harus teratur secara laras dan tidak mengandung kontradiksi.
Ide tentang keterbatasan dari kontradiksi sudah diterangkan di atas. Dengsn memakai sistem
ilmu ukun, pengertian tentang ketertiban yang laras dapat digambarkan secara lebih baik.
Kenyataan (dan karenanya, kebenaran) oleh para penganut idealisme digambarkan sebagai
sistem kebenaran yang teratur, yang logis, yang didalamnya tidak terdapat kontradiksi.
Contoh yang baik tentang bagaimana cara menerapkan paham koherensi terdapat di
dalam perkenalan dengan teori relaliuilas Einstein. Ide bahwa semua gerakan semata-mata
bersifat nisbi serta ditinggalkannya pengertian-pengertian tentang ruang dan waktu yang
mutlak, ternyata saling berhubungan dengan ide-ide lain yang jauh lebih balk daripada
pengertian-pengertian yang lama. Ini menyebabkan bahwa ilmu pengetahuan merupakan
kumpulan yang bersifat laras dari lapangan-lapangan yang bertautan dan berhubungan, dan
ditinjau secara matematis bersifat lebih sederhana. Fisika matematik mendekati keterangan
tentang kebenaran yang diberikan oleh paham koherensi.

PROPOSISI-PROPOSISI YANG SALING BERHUBUNGAN

Agaknya orang pun menaruh keberatan yang utama terhadap paham koherensi. Apakah tidak
mungkin terdapat kumpulan proposisi yang dalam keadaan saling berhubungan, yang
semuanya sesat? Tentunya orang membayangkan buku-buku seperti Alice in Wonderland
serta cerita-cerita detektif, yang baik penulisannya, yang ceritanya telah direncanakan secara
hati-hati sehingga di dalamnya segala-galanya saling berhubungan. Selama orang tetap
11

berpegangan pada anggapan-anggapan yang dimuat dalam buku itu, maka tidak ada yang
sesat atau tidak benar.
Selain itu, suatu segi yang tidak kurang pentingnya, pendirian yang baik di dalam
ilmu pengetahuan ialah bahwa ilmu pengetahuan harus mampu mengadakan peramalan.
Bagaimanakah peramalan dapat diterangkan atas dasar paham koherensi? Atau lebih baik,
"Bagaimanakah suatu peramalan dapat diverifikasi?" Karena, jika sistemnya sudah dalam
keadaan saling berhubungan, maka tidak akan ada ide yang disimpulkan dari sistem tersebut
yang tidak cocok dengan sistem tadi.
Peramalan meliputi penjabaran suatu proposisi mengenai peristiwaperistiwa yang
tidak dilukiskan dalam sistem tersebut. Jika peristiwa-peristiwa yang dilukiskan di dalam
sistem tadi dapat diamati, maka peramalan itu telah diverifikasi. Ini tidak berarti bahwa
keadaan-saling berhubungan itu kadang-kadang tidak merupakan ukuran yang sangat
berharga tentang kebenaran. Sesungguhnya kita pasti akan menolak suatu gagasan yang
bertentangan dalam dirinya sendiri, juga tentu akan menolak bahan-bahan bukti yang dalam
keadaan tidak saling berhubungan diajukan oleh seseorang.

2. TEORY KEBENARAN KORESPONDENSI


(Correspondence Theory) Bagi orang kebanyakan, suatu pernyataan itu` benar jika
apa yang diungkapkannya merupakan fakta, dan barangkali kita sendiri berpandangan
demikian. Jika saya mengatakan "Di luar hawanya dingin", maka hal itu benar jika di luar
sungguh-sungguh hawanya dingin atau jika keadaan dingin di luar itu merupakan fakta.
Orang mungkin mengatakan, jika di luar benar-benar hawanya dingin, maka proposisi
tersebut akan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi lain, dan bahwa karenanya
keadaan saling berhubunyan itu merupakan konsekuensi dari kebenaran suatu pernyataan.
(Tetapi paham koherensi mengatakan sebaliknya; jika suatu proposisi saling berhuburigan
dengan proposisi-proposisi yang lain, maka apa yang dinyatakannya merupakan fakta).
Paham yang mengatakan bahwa suatu pernyataan itu benar jika makna yang
dikandungnya sungguh-sungguh merupakan halnya, dinamakan 'paham korespondensi'.
Kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian (correspondence) antara makna yang
dimaksudkan oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh merupakan halnya,
atau apa yang merupakan fakta-faktanya.
12

MAKNA SESUAI (CORRESPOND).


Tetapi apakah yang sesuai, dan bagaimanakah caranya agar sesuai? Dalam hal ini tercakup
jawaban yang pasti terhadap pertanyaan: "Apakah halnya yang kita ketahui?" Bagaimanakah
suatu makna yang merupakan ide dapat sesuai dengan suatu fakta? Jika fakta-fakta itu sendiri
merupakan ide-ide, maka terdapatlah makna-makna yang berhubungan dengan makna-makna
yang lain - atau ide-ide yang berhubungan dengan ide-ide - dan hubungan ini ialah hubungan
koherensi.
Tetapi paham korespondensi biasanya dianut oleh para pengikut realisme, dan mereka
berpegang pada kemandirian fakta-fa4cta atau hakekat yang tidak ideal dari fakta-fakta.
Dalam keadaan semacam ini sukar untuk membayangkan apakah yang sesuai dengan fakta-
fakta. Karena, tidak ada satu ide pun yang bersifat kejiwaan yang serupa atau sesuai dengan
fakta yang tidak bersifat kejiwaan. Kesulitan ini dihadapi oleh sejumlah penganut realisme.

KESESUAIAN DI ANTARA ESENSI-ESENSI.


K. Rogers, seorang penganut realisme kritis di Amerika, menunjukkan bahwa kita perlu
rnengadakan pembedaan antara dua segi dari makna. Pertama-tama, ada segi kejiwaan yang
di dalamnya makna termasuk dalam lingkungan pengalaman kejiwaan dan merupakan makna
yang kita berikan. Kemudian ada segi makna yang termasuk dalam lingkungan objeknya,
yaitu hakekat objek. Hal ini telah kita kenal di depan sebagai esensi, dan Rogers
menamakannya demikian. Keterangan Rogers tentang kebenaran yang didasarkan atas esensi
kira-kira berbunyi sebagai berikut.
"Setiap esensi mempunyai dua segi, yang satu terdapat di dalam objeknya dan yang
lain sebagai makna. Segi esensi yang berupa makna bersifat kejiwaan. Dalam suatu
pencerapan, kita secara diam-diam mengenal esensi yang termasuk objeknya, maupun apa
yang dimaksudkan oleh esensi tersebut" dengan kata lain, apa yang dikatakan oleh Rogers
ialah, bahwa keadaan-keadaan terletak dalam kesesuaian antara esensi atau makna yang kita
berikan dengan esensi atau makna yang terdapat di dalam objeknya. Maka yang
berkesesuaian itu bukanlah makna dengan objeknya, melainkan esensi sebagai makna dengan
esensi yang terdapat di dalam objek.
13

SIMBOL SEBAGAI PERANTARA.


Kiranya penting untuk membahas kesulitan yang terdapat dalam suatu paham
korespondensi yang langsung. Tampaknya tidak ada sesuatu pun dalam kenyataan yang
bersesuaian dengan pernyataan murni "It's cold outside" ("Di luar hawanya dingin").
Perkataan tersebut sebagai perkataan hanyalah merupakan wahana makna belaka. Perkataan
tadi mempunyai rnakna hanya bagi orang yang memahaminya. Bagi mereka yang tidak
memahami bahasa Inggris, perkataan tersebut sama sekali tidak ada maknanya. Jika yang
ditunjuknya hanya objek lahiriah, tetapi bukan makna, maka perkataan tersebut masih belum
mengandung kebenaran atau makna.
Berhubung dengan itu, maka suatu simbol harus berlaku sebagai semacam perantara
antara apa yang ditunjukkan dalam keadaan sesungguhnya dengan esensi atau makna yang
terdapat di dalam pikiran seorang pendengar atau pembaca. Menurut Rogers, kesesuaian itu
ialah di antara kedua segi dari makna tersebut.
KESESUAIAN DI ANTARA BENTUK-BENTUK KATA Sampailah kini untuk
mengenalkan suatu pengertian tentang esensi sebagai yang-bereksistensi secara nyata, atau
untuk mengatakannya secara sederhana, sebagai kenyataan. Banyak penganut realisme yang
mengingkari hal semacam itu, dan mereka mencoba meletakkan kesesuaian itu atas dasar
yang lain. Dengan mengingat bahwa proposisi-proposisi yang dinyatakan dalam bentuk kata-
kata itu terdapat di dalam bahasa dan dipergunakan dalam keadaankeadaan tertentu, maka
Bertrand Russel, seorang filsuf Britania, mengatakan bahwa kesesuaian itu terdapat di antara
dua bentuk kata, yang satu telah tertentu, yang kebenarannya dipertimbangkan; yang lain,
ditimbulkan oleh lingkungan tempat terdapatnya orang yang memakai kata.
Suatu bentuk kata dikatakan benar, jika seseorang yang mengetahui makna kata
tersebut berada dalam situasi yang demikian rupa sehingga menyebabkan dia mengucapkan
kata-kata yang sama dalam keadaan-keadaan itu.
Ini berarti orang dapat menganalisa situasi sebagai berikut.
1. suatu bentuk kata telah diteuntukan;
2. suatu subjek terlibat;
3. ada suatu perangkat keadaan;
4. ada reaksi dalam bentuk kata-kata dari subjek tersebut.
14

Jika reaksi dalam bentuk kata-kata dari subjek dalam perangkat keadaan tertentu yang
mengandung unsur-unsur yang terdapat di dalam makna yang dikandung oleh kata-kata,
menghasilkan suatu bentuk kata-kata yang sama sepenuhnya dengan bentuk kata-kata yang
telah ditentukan, maka bentuk kata-kata yang telah ditentukan itu benar. Ini merupakan
sejenis definisi behavioristis tentang kebenaran. Tetapi definisi ini kurang tepat, karena
seseorang mungkin tergerak untuk mengucapkan perangkat kata yang sama dalam keadaan-
keadaan yang menyesatkan, namun demikian mengandung unsur-unsur yang terdapat di
dalam makna yang dikandung oleh kata-kata yang telah ditentukan tersebut Di dalam definisi
ini juga terdapat kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan kebenaran-kebenaran atau
kesesatan proposisi-proposisi mengenai hari depan, seperti "Besok hujan akan turun." Karena
itu di dalam ajaran Russell, kesesuaian tersebut terdapat di antara kata-kata yang telah
ditentukan, dengan kata-kata sebagai reaksi yang dihasilkan oleh subjek. Lebih baik
dikatakan bahwa makna yang dikandung oleh kata-kata yang diucapkan sama dengan makna
yang dikandung oleh kata-kata yang telah ditentukan, dan kesesuaian itu berupa kesamaan
sepenuhnya antara makna-makna tersebut. Suatu segi yang penting dalam definisi ini ialah
tekanan yang diletakkan pada pengalaman subjek, yang menghasilkan suatu bentuk kata-kata
tertentu.

3. Paham-paham Empiris
Definisi-definisi tentang kebenaran paham-paham empiris mendasarkan diri pada
pelbagai segi pengalaman, dan biasanya menunjuk kepada pengalaman inderawi dari orang
seorang. Semua paham tersebut dalam arti tertentu memandang proposisi bersifat
meramalkan (predictiue) atau hipotetis, dan memandang kebenaran proposisi sebagai
terpenuhinya ramalan-ramalan. Yang demikian ini menyebabkan kebenaran menjadi
pengertian yang bersifat subjektif serta nisbi.
Kebenaran menjadi bersifat dinamis serta tidak pasti, dan bukannya bersifat mutlak
serta statis. Istilah-istilah ini jangan dianggap bersifat menghormati atau merendahkan,
melainkan sekadar menunjukkan ciri-ciri khas pengertian kebenaran. Sifat khas masing-
masing di antara pelbagai corak kebenaran tersebut tergantung pada apa yang dianggap
diramalkan oleh proposisi yang bersangkutan.
15

Penganut operasionisme yang mendefinisikan makna berdasar atas tindakah-tindakan


(operation), mengatakan bahwa setiap proposisi meramalkan hasil yang berupa konsekuensi-
konsekuensi tertentu sebagai akibat adanya tindakan-tindakan tertentu. Dan ia
mendefinisikan kebenaran sebagai terjadinya konsekuensi-konsekuensi yang telah
diramalkan. Penganut empirisisme radikal, atau penganut positivisme logis, mengatakan
bahwa suatu proposisi dapat dilacak sampai kepada proposisi-proposisi mengenai
pengalaman-pengalaman inderawi yang sungguh-sungguh terjadi. Paham semacam ini juga
disebut 'paham reduksionisme'.
Dalam kedua contoh tadi pengalaman inderawi dianggap sebagai pengadilan banding
yang tertinggi. Terjadinya konsekuensi-konsekuensi yang telah diramalkan, atau
pengalaman-pengalaman inderawi, merupakan sesuatu yang tidak dipersoalkan. Hal tersebut
dikenal secara langsung. Dalam hal ini paham-paham tadi terlampau bersahaja serta
terlampau bersifat membatasi. Sebab, paham-paham tersebut tidak menerangkan masalah
dapat dipercapainya pengalaman-pengalaman inderawi, dan juga tidak memperhitungkan
kebenaran (dan makna) dalam hal-hal yang konsekuensi-konsekuensinya pada dasarnya tidak
dapat diramalkan atau, tidak dapat diverifikasi oleh pengalaman-pengalaman inderawi.
Banyak di antara proposisi-proposisi yang terpokok tentang fisika atom tidak dapat
diverifikasi secara langsung, sebagaimana dalam arti tersebut di atas.
4. Pragmatisme
Sebagaimana telah kita lihat, ajaran-ajaran pragmatisme berbeda-beda coraknya,
sesuai dengan konsekuensi-konsekuensi yang mereka tekankan. Namun, semua penganut
pragmatisme meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. William
James, misalnya, mengatakan bahwa proposisi 'Tuhan ada' adalah benar bagi seseorang yang
hidupnya mengalami perubahan karena percaya adanya Tuhan. Ini berarti bahwa proposisi-
proposisi yang membantu kita mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang memuaskan
terhadap pengalaman-pengalaman kita, adalah benar.
Dalam batas-batas tersebut, kebenaran merupakan gagasan yang berguna atau dapat
dilaksanakan di dalam suatu situasi. Dan orang mempunyai kehendak serta hak untuk
percaya akan hal-hal yang membantu menetapkan hubungan yang memuaskan dengan sisa
pengalaman mereka. Kiranya jelas, bahwa kesulitan besar tentang definisi mengenai
kebenaran sebagai sesuatu yang berguna dalam menetapkan penyesuaian-penyesuaian yang
16

memuaskan, tergantung pada apa yang dimaksudkan dengan 'dapat dilaksanakan' atau
'berguna', dan tergantung pada apakah yang merupakan 'hubungan-hubungan yang
memuaskan dengan sisa pengalaman kita'.
Selain itu, tidak dapat dikatakan apa yang harus kita lakukan di dalam hal-hal yang
menggambarkan seseorang berpendapat bahwa suatu proposisi tertentu dapat dilaksanakan,
sedangkan seseorang yang lain berpendapat bahwa kebalikannya dapat dilaksanakan. Dalam
hal ini, apakah kedua-duanya benar? Jika demikian, apa artinya mempunyai dunia yang di
dalamnya suatu proposisi, dan kebalikannya kedua-duanya benar?

KEBENARAN SEBAGAI PEMBENARAN (VERlFICATION).


Telah saya katakan di atas bahwa John Dewey memandang makna yang dikandung suatu
proposisi terletak di dalam konsekuensi-konsekuensinya terhadap tingkah laku seseorang.
Suatu proposisi mengandung suatu makna, jika proposisi itu membuat perubahan. Atau jika
proposisi itu menyediakan suatu perangkat cara untuk melakukan sesuatu. Tetapi tingkah
laku makhluk hidup selalu ditujukan untuk menyelesaikan masalah hidup. Baiklah saya
berikan contoh yang dipakai oleh Dewey.
Misalkan kita tersesat di hutan. Setelah sejenak mempertimbangkannya, kita berkata
kepada diri sendiri, "Jalan keluarnya ialah ke kiri'. Proposisi ini mengandung makna bagi
kita, jika kita kemudian berjalan ke kiri. Dengan kata lain, kita menghadapi masalah untuk
keluar dari hutan dan kita telah mengucapkan suatu proposisi yang merupakan hipotesa
mengenai cara untuk keluar dari hutan.
Bagaimanakah kita mengetahui bahwa proposisi itu benar? Menurut Dewey, kita baru
mengetahui setelah kita mengadakan verifikasi, dan yang demikian ini kita kerjakan dengan
cara berjalan ke kiri. Jika dengan berjalan ke arah kiri, kita sungguh-sungguh ke luar dari
hutan, maka barulah proposisi tersebut sungguh-sungguh benar. Proposisi yang kita ajukan
merupakan suatu hipotesa yang meramalkan konsekuensi-konsekuensi. Dan karenanya, akan
benar jika dan hanya jika - konsekuensi-konsekuensi tersebut terwujud. Kebenaran ialah
pembenaran (verification), dan hal ini ditunjukkan bila penyelidikan yang menimbulkan
perumusan proposisi tersebut diselesaikan dengan sukses.
Tampaknya orang mencampur-adukkan antara mengetahui suatu proposisi benar
dengan keadaan suatu proposisi benar. Dimisalkan saya mengatakan Jalan ke kiri membawa
17

kita keluar dari hutan." Sebetulnya saya tidak mengetahui apakah yang saya ucapkan itu
benar, kecuali jika saya mengikutinya Tetapi sudah pasti, apakah saya mengikuti ataukah
tidak, jalan itu membawa kita keluar dari hutan atau tidak membawa kita keluar dari hutan.
Seorang yang terbang di atasnya dapat melihat apakah jalan tersebut membawa kita keluar
dari hutan tanpa tersesat atau kita harus berjalan tanpa mengikuti jalan tersebut.
Satu hal lain perlu juga ditunjukkan. Jika saya tersesat di hutan, saya mungkin sekali
mengatakan, 'Jalan ke kiri boleh jadi membawa kita keluar dari hutan". Dan jika saya
mengikuti jalan tersebut serta keluar dari hutan, saya mengatakan, 'Jalan tersebut betul-betul
membawa kita keluar dari hutan." Proposisi yang terakhir ini benar dengan jalan
menunjukkan kepada masa lampau, dan tidak menunjuk kepada sesuatu yang akan saya
kerjakan di hari depan.
Selanjutnya, pendapat saya bahwa jalan itu boleh jadi akan membawa kita keluar dari
hutan, tidak akan menjadi salah karena tindakan-tindakan yang saya lakukan kemudian.
Yaitu, meskipun saya mengikuti jalan tersebut dan (ternyata) jalan itu membawa saya lebih
jauh lagi masuk ke dalam hutan. Definisi yang diberikan oleh Dewey tentang kebenaran
bertentangan dengan pengertian-pengertian kita tentang pernyataan-pernyataan yang
mengandung probabilitas.
Namun demikian, Dewey menunjukkan suatu hal yang penting. Proposisi memang
mengadakan ramalan, dan hasilnya dapat mengatakan kepada kita banyak hal mengenai
benar-sesatnya. Tetapi kecuali jika proposisi itu ditinjau dari sudut logika sama nilainya
dengan ramalan-ramalan, maka tidak satu pun ramalan yang atas dasar itu dapat dilakukan
verifikasi terhadap proposisi. Berhubung dengan itu, semua proposisi yang bercorak
demikian dan semua proposisi empiris kiranya merupakan ramalan belaka - tidak akan
mengandung lebih daripada kemungkinan untuk benar.

Anda mungkin juga menyukai