Oleh
ABSTRAK
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Menurut aristoteles arti primer atau utama dari kata “ ada “?. Arti utama adalah
“substansi” ( bahasa yunani: usia ). Kata substansi berarti yang “berdiri sendiri”. Suatu
hal merupakan “substansi”, jika hal itu dapat menerima keterangan-keterangan,
sedangkan hal itu sendiri tidak dapat ditambah sebagai keterangan pada suatu hal lain.
Disamping substansi-substansi terdapat lagi “aksiden-aksiden” (symbebekos) yaitu
suatu hal yang tidak berdiri sendiri, tetapi hanya dapat dikenakan pada sesuatu hal yang
lain yang berdiri sendiri. Aksiden-aksiden hanya bisa berada menambah beberapa baris,
karena pandangan ini juga menjadi pokok pembicaraan dalam metaphysica ( bertens,
1999 ).
Telaah tentang substansi Filsafat Ilmu, kita dapat memaparkan dalam 5 bagian, yaitu
substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3)
konfirmasi dan (4) logika inferensi, (5) Tela’ah Konstruksi Teori dalam Substansi
Filsafat Ilmu.
Kenyataan atau fakta adalah sesuatu yang benar-benar terjadi dan memiliki bukti
tetai tidak mungkin dengan alat-alat yang serba kasar seperti panca indera, manusia
dapat menyaksikan hakikat semua kenyataan sebagai kebenaran sejati. Untuk dapat
meraih hakikat kenyataan sebagai kebenaran sejati, disamping panca indra dan akal,
manusia dikaruniai pula budi sebagai alat perantara antara akal dan Tuhan.
Sesungguhnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara
tradisional, dikenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik
(Jujun S. Suriasumantri, 1982). Sementara, Michel William mengenalkan 5 teori
kebenaran dalam ilmu, yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi,
kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng
Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik. (Ismaun;
2001)
Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang,
atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai
konfirmasi absolut atau probalistik. Menampilkan konfirmasi absolut biasanya
menggunakan asumsi, postulat, atau axioma yang sudah dipastikan benar. Tetapi tidak
salah bila mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Sedangkan untuk membuat
penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik dapat
ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.
Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah
logika matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran
korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara
yang dipercaya dengan fakta. Belief pada Russel memang memuat moral, tapi masih
bersifat spesifik, belum ada skema moral yang jelas, tidak general sehingga inferensi
penelitian berupa kesimpulan kasus atau kesimpulan ideografik.
Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara rasional,
koheren antara fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan Guba menampilkan
kebenaran koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper
menampilkan kebenaran struktural paradigmatik rasional universal dan Noeng Muhadjir
mengenalkan realisme metafisik dengan menampilkan kebenaranan struktural
paradigmatik moral transensden. (Ismaun,200:9)
Di lain pihak, Jujun Suriasumantri (1982:46-49) menjelaskan bahwa penarikan
kesimpulan baru dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan
menurut cara tertentu, yakni berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi
ke dalam 2 bagian, yaitu logika induksi dan logika deduksi.
Dengan di buatnya makalah ini diharapkan agar dapat membantu perkembangan
wawasan pemikiran dan kepribadian mahasiswa agar memperoleh wawasan pemikiran
yang lebih luas mengenai substansi filsafat beserta bagian-bagian substansi filsafat.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas terdapat rumusan
masalah yang dapat diambil antara lain:
a. Bagaimana definisi Kenyataan atau Fakta dalam Substansi Filsafat Ilmu?
b. Bagaimana definisi Kebenaran dalam Substansi Filsafat Ilmu?
c. Bagaimana definisi Konfirmasi dalam Substansi Filsafat Ilmu?
d. Bagaimana definisi Logika Inferensi dalam Substansi Filsafat Ilmu?
e. Bagaimana definisi Tela’ah Konstruksi Teori dalam Substansi Filsafat Ilmu?
B. PEMBAHASAN
1. FAKTA
Fakta (bahasa latin: factus) ialah segala sesuatu yang tertangkap oleh indra
manusia. Fakta seringkali diyakini oleh orang banyak (umum) sebagai hal yang
sebenarnya, baik karena mereka telah mengalami kenyataan-kenyataan dari dekat
maupun karena mereka dianggap telah melaporkan pengalaman orang lain yang
sesungguhnya. Dalam kamus istilah keilmuan fakta adalah suatu hasil pengamatan
yang obyektif dan dapat dilakukan verifikasi oleh siapapun. Fakta adalah suatu
yang ada, apakah setiap orang berpikir demikian atau tidak. Fakta juga di
definisikan secara luas yaitu segala sesuatu yang berada di dunia, contoh fakta
antara lain :
a. Matahari adalah suatu fakta
b. Jika menderita sagit gigi, maka sakit gigi itu adalah fakta
c. Jika pedagang jualannya habis, maka itu adalah fakta
Defenisi lain tentang fakta adalah apa yang membuat pernyataan itu betul atau
salah. Contoh; jika “Brutus” adalah seorang Romawi dan “Casius” adalah seorang
Romawi maka keduanya menyatakan fakta suatu fakta.
Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, tergantung dari sudut
pandang filosof yang melandasinya, diantaranya adalah :
1. Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada
korespondensi (hubungan ) antara yang satu dengan yang lainnya.
2. Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian
kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu
adanya korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua menjurus ke
arah koherensi moralitas kesesuaian antara fenomena dengan sistem
nilai.
3. Rasionalitik menganggap sesuatu sebagai nyata, bila ada koherensi
antara empiris dan skema rasional.
4. Realisme metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada
koherensi antara empiris dengan obyektif.
5. Pragmatisme memiliki pandangan bahwa dikatakan kenyataan bahwa
yang ada itu merupakan sesuatu yang berfungsi.
Di sisi lain, seorang pakar yang bernama Lorens Bagus mengungkapkan tentang
fakta obyektif dan fakta ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomena atau
bagian realitas yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia.
Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta obyektif dalam
kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah deskripsi fakta obyektif dalam
bahasa tertentu.
Fakta ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta ini
bangunan teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang
diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu
deskripsi ilmiah.
2. KEBENARAN
Benar pada dasarnya adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan.
Kebenaran juga diartikan dengan tidak adanya pertentangan dalam dirinya.
Sedangkan kebenaran adalah persesuaian antara tahu dengan objeknya juga
antara pengetahuan dan objeknya.
Pada setiap jenis pengetahuan tidak sama kriteria kebenarannya karena
sifat dan watak pengetahuan itu berbeda. Pengetahuan alam metafisika tentunya
tidak sama dengan pengetahuan tentang alam fisik. Alam fisik pun memiliki
perbedaan ukuran kebenaran bagi setiap jenis dari bidang pengetahuan.
Problem kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya
epistemologi. Telaah epistemologi terhadap kebenaran membawa orang kepada
sesuatu kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran, yaitu
kebenaran epistemologi, kebenaran ontologis, dan kebenaran semantis.
Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan
pengetahuan manusia, kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai
sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuau yang ada atau diadakan.
Kebenaran dalam arti semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat
dalam tutur kata dan bahasa. Namun, dalam pembahasan ini dibahas kebenaran
epistemologis karena kebenaran yang lainnya secara inheren akan masuk dalam
kategori kebenaran epistemologis.
Teori yang menjelaskan epistemologis adalah sebagai berikut :
1) Teori Koherensi (Coherence Theory of Truth)
Bagi penganut teori koherensi, maka suatu pernyataan dianggap benar bila
pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-
pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
Misalnya bila kita menganggap bahwa, “semua manusia akan mati.”
Adalah sebagai pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “Panjul
adalah seorang manusia, dan Panjul pasti akan mati” adalah benar pula,
sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan pertama.
2) Teori korespondensi (Correspondence Theory of Truth)
Mengenai teori korespondensi tentang kebenaran dapat disimpulkan
sebagai dua hal yang sudah diketahui sebelumnya, yaitu pernyataan dan
kenyataan. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesesuaian antara
pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu sendiri.
Sebagaimana contoh dapat dikemukakan : “Jakarta adalah ibu kota
Republik Indonesia.” pernyataan ini disebut benar karena kenyataannya
Jakarta memang ibukota Republik Indonesia. Kebenaran terletak pada
hubungan antara pernyataan dengan kenyataan. Adapun jika dikatakan
Bandung adalah ibukota Republik Indonesia, pernyataan itu salah karena
tidak sesuai antara pernyataan dengan kenyataan.
3) Teori pragmatisme
Kadang-kadang teori ini disebut teori kebenaran Inherensi. Menurut
filsafat ini benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata
bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika
mendatangkan manfaat.
Penganut pragmatis meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu jenis
konsekuensi, atau proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan
penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman, pernyataan itu adalah
benar.
Misalnya ada orang yang menyatakan sebuah teori A dalam komunikasi,
dan dengan teori A tersebut dikembangkan teknik B dalam meningkatkan
efektivitas komunikasi, maka teori A itu dianggap benar, sebab teori A ini
adalah fungsional atau mempunyai kegunaan.
4) Agama Sebagai Teori Kebenaran
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Salah satu cara untuk
menemukan suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan
karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalaan asasi
yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam, manusia, maupun tentang
Tuhan. Kalau ketiga teori kebenaran sebelumnya lebih mengedepankan
akal, budi, rasio, dan reason manusia, dalam agama yang dikedepankan
adalah wahyu yang bersumber dari Tuhan.
5) Teori Performatif
Menurut teori ini persyaratan kebenaran bukanlah kualitas atau sifat
sesuatu, tetapi sebuah tindakan (performatif). Untuk menyatakan sesuatu
itu benar, maka cukup melakukan tindakan konsesi
(setuju/menerima/membenarkan) terhadap gagasan yang telah dinyatakan.
Jadi, sesuatu itu dianggap benar jika memang dapat diaktualisasikan
dalam tindakan.
3. KONFIRMASI
Secara etimotologis, konfirmasi berasal dari kata confirmation dalam
bahasa Inggris yang artinya mempertegas dan memperkuat untuk mencari
kepastian. Konfirmasi berupaya mencari hubungan yang normatif antara
hipotesis (kesimpulan/dugaan sementara) yang sudah diambil dengan fakta-
fakta. Ada dua aspek konfirmasi, antara lain:
Kualitatif, yaitu informasi untuk konfirmasi didapat dalam bentuk narasi
atau deskripsi (gambaran seluruhnya). Contohnya, dalam sebuah penelitian,
peneliti menggunakan teknik wawancara untuk mendapatkan data ilmiah.
Kuantitatif, yaitu informasi untuk konfirmasi yang didapat dalam bentuk
angka. Konfirmasi kuantitatif membutuhkan sampel-sampel yang bisa mewakili
keseluruhan bahan penelitian sehingga bisa dilakukan generalisasi kesimpulan.
Contoh penerapan konfirmasi kuantitatif dalam penelitian adalah penggunaan
angket.
Jenis Konfirmasi :
Decision theory, menentukan kepastian yang didasarkan pada manfaat objek
secara aktual.
Esimation theory, menentukan kepastian dengan memberi peluang benar-
salah dengan konsep probabilitas. Contohnya statistika.
Reliability theory, menentukan kepastian dengan mencermati stabilitas
fakta/bukti yang berubah-ubah terhadap hipotesis. Suatu kepastian
dikatakan handal apabila hasil penelitiannya selalu tetap walaupun
penelitian dilakukan dalam jangka waktu yang berbeda-beda.
4. INFERENSI
Inferensi merupakan suatu proses penarikan konklusi dari satu atau lebih
proporsisi (keputusan). Konklusi yang ditarik tidak boleh lebih luas dari premis-
premisnya. Suatu inferensi bisa mengakui ataupun memungkiri suatu kesatuan
antara dua pernyataan. Inferensi bertolak dari pengetahuan yang sudah ada dan
bergerak ke pengetahuan yang baru. Proses penarikan interferensi dibedakan
menjadi dua, yaitu:
a. Deduktif
Deduktif yaitu proses penarikan konklusi secara umum, baru kemudian
dijabarkan secara khusus. Proses deduktif sendiri dibagi lagi menjadi dua,
diantaranya:
Inferensi langsung, yaitu cara penarikan kesimpulan hanya dari sebuah
premis.
Inferensi tidak langsung, yaitu cara penarikan kesimpulan dari dua atau
lebih premis.
b. Induktif
Induktif merupakan proses penarikan konklusi dengan menyimpulkan hasil
penjabaran-penjabaran secara umum.
d. Hukum Inferensi
Jika premis-premisnya benar, maka kesimpulannya benar.
Jika premis-premisnya salah, maka kesimpulannya bisa benar, bisa juga
salah.
Jika kesimpulannya salah, maka premis-premisnya salah.
Jika kesimpulannya benar, maka premis-premisnya bisa benar ataupun
salah.
5. KONSTRUKSI TEORI
A. Definisi Teori
Teori merupakan model atau kerangka berpikir yang menjelaskan fenomena
alami/sosial tertentu. Menurut KBBI, teori merupakan pendapat yang
dikemukakan sebagai keterangan suatu peristiwa. Menurut Miarso, teori
merupakan cara untuk mengamati gejala yang ada berdasarkan data empiris.
Jadi, suatu teori dirumuskan, dikembangkan, dan dievaluasi menurut metode
ilmiah.
Ada dua kutub arti teori, yaitu kutub yang menyatakan teori sebagai hukum
eksperimental, dan kutub yang menyatakan teori sebagai hukum yang
berkualitas normal. Contoh teori hukum eksperimental adalah Hukum Mendel,
sedangkan teori hukum berkualitas normal contohnya adalah Teori Relativitas
Einstein.
C. SIMPULAN
Prof. Dr. Ahmad Tafsir. “ Filsafat Ilmu ”.PT. Remaja Rosdakarya.Bandung : 2009