Anda di halaman 1dari 34

RESUME

AL-HADITS

“ULUMUL HADITS”

Sahrani Sohari. 2015. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia

OLEH:

MARJANI

JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM

2017
RESUME ULUMUL HADITS

Judul : Ulumul Hadits

Tahun Terbit : 2010

Penulis : Dr. Sohari Sahrani

Penerbit :Ghalia Indonesia

Alamat Penerbit : Jl. Rancamaya Km. 1 No. 47, Warung Nangka, Ciawi-Bogor 16720

Jumlah Halaman:246 hlm

Peresum : Marjani
BAB I

HADIS DAN PROBLEMATIKANYA

A. Pengertian hadits
Kata hadits berasal dari bahasa Arab; yakni al-hadit, jamaknya al-ahaadits, al-
hidsan dan al-husdan. Dari segi bahasa, kata ini memiliki banayak arti, di antaranya; (1)
al-jadid (yang baru), lawan dari al-qadim (yang lama), (2) al-khabar (kabar atau berita).1
Menurut istilah, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan
penegertian tentang hadits. Dikalangan ulama ahli hadits sendiri trdapat beberapa definisi
yang agak berbeda. Di antaranya: Segala perkataan Nabi Saw, perbuatan, dan hal
ihwalnya.2

Untuk lebih jelasanya, di bawah ini akan diuraikan istilah sunah, khabar dan atsar.

1. Pengertian Sunah
Menurut bahasa sunah berarti:
“Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang jelek”.3 Sedangkan menurut
terminologi (istilah) sunah dalam ulama ushul fikih adalah segala sesuatu yang
bersumber dari nabi saw, selain al-qur’an,baik berupa sabda, perbuatan maupun
takrir,yang layak menjadi dalil hukum syara’.4
2. Pengertian khabar dan atsar
Kata khabar menurut bahasa adalah segala berita yang di sampaikan oleh
seseorang kepada orang lain.Ulama lain, seperti dikatakan oleh At-Tirmasi, bahwa
khabar adalah sesutu yang datang selain dari nabi saw. Sedangkan yang datang dari
nabi saw disebut hadits.5
Atsar, meneurut pendekatan bahasa, sama artinya dengan khabar, hadits dan
sunah. Sedangkan atsar menurut istilah, Jumhur ahli hadits mengatakan yaitu
sesuatau disandarkan kepada nabi saw, sahabat dan tabi’in,sedangkan menurut ulama
Khurasan, atsar adalah untuk berita-berita yang mauquf dan khabar untuk yang
marfu’.6
B. Bentuk-bentuk hadits
1
Hal. 1.
2
Hal. 2.
3
Hal. 4.
4
Hal. 9.
5
Hal. 12-13.
6
Hal. 13.
1. Hadits Qauli
Nawir Yuslem mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan hadits quli adalah
seluruh hadits yang diucapkan Rasulullah SAW. Untuk berbagai tujuan dan dalam
berbagai kesepakatan.
Dalam istilah lain, Hadits qauli adalah segala bentuk perkataan atau ucapan yang
di sandarkan kepada nabi saw. Yang berisi berbagai tuntunan dan petunjuk
syara’,peristiwa-peristiwa, dan kisah-kisah,baik yang berkaitan dengan aspek akidah,
syariah maupun akhlak.7
2. Hadits Fi’il
Yang dimaksud dengan hadits fi’il ialah segala perbuatan yang disandarkan
kepada nabi saw. Dengan kata lain, hadits tersebut berupa perbuatan Nabi Saw. Yang
menjadi anutan perilaku para sahabat pada saat itudan menjadi keharusan bagi umat
Islam untuk mengikutinya.8
3. Hadits Takrir
Yang dimaksud dengan hadits takrir adalah hadits yang berupa ketetapan Nabi
Saw, terhadap apa yang datang atau dilakukan oleh para sahabatnaya, Nabi Saw.
Membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya,
tanpa memberikan penegasan, apakah beliau membenarakan atau
mempersalahkannya. Sikapa nabi demikian itu dujadikan dasar oleh para sahabat
sebagai dalil taqrir, yang dapat dijadikan hujah atau mempunyai kekuatan hukum
untuk menetapakan suatu kepastian syara’.9
4. Hadits Hammi
Yang dimaksud dengan hadits hammi ialah hadits yang berupa keinginana tau
hasrat Nabi saw.yang belum terealisir, seperti hasrat beliau untuk berpuasa pada
tanggal 9 asyura’.10
5. Hadits Ahwali
Yang dimaksud dengan hadits ahwali adalah hadits yang berupa ihwal Nabi
Saw.yang tidak termasuk ke dalam katagori keempat bentuk hadits di atas.11
C. Sifat-Sifat Nabi Yang Perlu Diteladani
Pemaaf dan tidak pendendam.12
7
Hal. 13-14.
8
Hal. 15.
9
Hal. 16.
10
Hal. 18.
11
Hal.19.
12
Hal. 26.
BAB II

KEDUDUKAN DA FUNGSI HADITS

A. Kedudukan hadits
Hadits adalah merupakan mubayyin (penjelas) bagia l-qur’an yang karenanya,
siapapun tidak akan bisa memehami Al-qur’an tanpa memahami dan menguasai hadits.
Begitu pula halnya menggunakan hadits tanpa Al-qur’an, akan kehilangan arah, karena Al-
qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis-garis besar syariat
islam. Dengan demikian, antara Al-qur’an dam hadits memeiliki hubingan timbal balik
yang tidak dapat dipisah-pisah.13
1. Dalil-dalil dari al-qur’an
Al-qur’an telah mewajibkan kaum muslimin untuk menaati Rasulullah SAW. Di
samping menaati Allah SWT. Dalam surat an-nisa’ ayat 59 yang artinya: “haiorang-
orang yang beriman,taatilah Allah dan taatilah Rasul-nya.....
2. Dalil dari hadits Nabi saw.
Selain berdasarkan ayat-ayat Al-qur’an tersebut di atas,kedudukan hadits ini juga
dilihat melalui hdits-hadits Nabu saw, banyak hadits yang menggambarkan ketaatan
kepada perintahnya. Dalam kaitan ini, Nabi bersabda:
Artinya: Bersabda Rasulullah saw,” aku tinggalkan kepadamu dua perkara, kamu
tidak akan sesat selamanya,selagi kamu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu
kitabullah (Al-qur’an) dan sunnah Nabinya (AL-hadits).14
3. Dalil dari ijma (kesepakatan ulama)
Umat islam telah mengambil kesepakatan bersama untuk mengamalkan sunnah.
Bahkan, hal ini mereka anggap sejalan dengan memenuhi panggilan Allah SWT.15
B. Posisi sunah (hadits) terhadap al-qur’an
1. Bayan at-Taqrir

13
Hal. 33.
14
Hal. 34-35.
15
Hal. 36.
Bayan at-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid. Yang dimaksud dengan
bayan ini adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam
Al-Qur’an.16
2. Bayan at-Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan at-tafsir ialah penjelasan terhadap ayat-ayat al-
qur’an yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat
mujmal, mutlak, dan’am, maka fungsi hadits dalam hal ini memberikan perincian
(tafsih) dan penafsiran terhadap ayat-ayat al-qur’an yang masih mujmal, memberikan
tayqid pada ayat-ayat yang masih mutlak, dan memberikan takhsis terhadap ayat-ayat
yang masih umum.
a. Merinci ayat-ayat mujmal
Yang dimaksud dengan ayat-ayat mujmal, ialah ayat yang ringkas atau singkat.
b. Men-taqyaid ayat-ayat yang mutlaq
Men-taqyid yang mutlaq, artinya membatasi ayat-ayat mutlaqdengan sifat,
keadaan atau syarat-syarat tertentu.
c. Men-tahsis ayat yang’am
Yang dimaksud men-tahsis yang ‘am ialah membatasi keumuman ayat al-qur’an
sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu.17

3. Bayan at-Tasyri’
Kata at-tasyri’ artinya pembuatan, mewujudkan atau menetapkan aturn atau
hukum, maka yang dimaksud dengan bayanat-tasyri’ ialah penjelasan hadits yang
berupa mewujudkan, mengadakan atau menetapakan suatu hukum atau aturan-aturan
syara’yang tidak didapati nas-nya dalam Al-Qur’an.18
4. Bayan an-nasakh
Kata an-nasakh secara bahasa mempunyai beberapa arti, di antaranya berarti al-
ibrah (membatalkan), tatau al-ijalah (menghilangkan), at-tahwil (memindahkan),
atau at-tagyir (mengubah). Menurut ulama mutaqaddimin, yang disebut bayan an –
nasakh ialah adanya dalil syara’ yang mendatangkan kemudian.19
C. Eksistensi Hadits Nabawi, Hadits Qudsi, dan al-Qur’an

16
Hal. 38.
17
Hal. 39-41.
18
Hal. 42.
19
Hal. 43.
Dalam pembahasan ini akan dipaparkan tentang perbedaan dan persamaan antara
hadits nabawi, hadits qudsi dan al-qur’an.
1. Hadits Nabawi
Yang dimaksud dengan hadits nabawi menurut H.A. Djalil Afif ialah hadits yang
disandarkan kepada selain Allah azza wajalla.
Jadi, yang disebut hadits nabawi adalah semua hadits yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad Saw.
2. Hadits Qudsi
Ditinjau dari segi kebahasaan, kata qudsi berasal dari kata qadasa, artinya suci
atau bersih, maka kata hadits qudsi artinya ialah hadits suci.secara istilah kata hadits
qudsi terdapat beberapa definisi dengan redaksi yang agak berbeda-beda, tetapi
esensinya pada dasarnya sama, yaitu sesuatu yang diberikan Allah SWT. Kepada Nabi
Saw.20

3. Perbandingan Antara Hadits Nabawi dengan Hadits Qudsi


a. Persamaan hadits nabawi maupun hadits qudsi, keduanya bersumber dari wahyu
Allag SWT.
b. Perbedaan hadits nabawi dengan hadits qudsi dapat dilihat pada sudut
sandarannya, nisbat-nya, dan jumlah kualitasnya. Pertama, dari sudut
sandarannya,hadits nabawi disandarkan kepada nabi saw, sedangkan hadits qudsi
disandarkan kepda Nabi Saw dan Allah SWT. Kedua, dari sudut nisbahnya,
hadits nabawi di nisabkan kepada nabi saw.baik redaksi maupun maknanya,
sedanggkan hadits qudsi, maknanya dinisabkan kepada AllahSWT dan
redaksinya dari nabi saw. Ketiga,dari sudut kualitasnya, jumlah hadits qudsi jauh
lebih sedikit dari hadits nabawi.21
4. Perbandingan antara Hadis Qudsi dengan al-Qur’an
a. Persamaan antar hadits qudsi dengan al-qur’an
Baik hadits qudsi maupun al-qur’an, keduanya bersumber dari Allah SWT,
karenanya hadits qudsi ini disebut dengan hadits Ilahi.
b. Perbedaan antara hadits qudsi dengan al-qur’an
Ada sekitar 6 perbedaan anttara hadits qudsi dengan al-qur’an.

20
Hal. 43-44.
21
Hal. 45.
 Pertama, al-qur’an merupakan mukjizat terbesar nabi muhammad saw,
sedangkan hadits qudsi bukan.
 Kedua, al-qur’an redaksi dan maknanya langsung dari allah swt, sedangkan
hadits qudsi maknanya dari allah swt, dan redaksinya dari nabi saw.
 Ketiga, dalam salat al-qur’an merupakan bacaan yang diwajibkan, sehingga
seseorang tidak sah salatnya kecuali dengan bacaan al-qur’an. Hal ini tidak
berlaku terhadap hadits qudsi.
 Keempat,menolak al-qur’amn merupakan perbuatan kufur, berbed dengan
penolakan terhadap hadits qudsi.
 Kelima, al-qur’an diturunkan melalu perantaraan malaikat jibril sedangka
hadits qudsi diberikan langsung , baik melali ihram maupun mimpi.
 Keenam, perlakuan atau sikap seseorang terhadap al-qur’an diatur oleh
beberapa aturan seperti keharusan bersuci dari hadas ketika memegang dan
membacanya, serta tidak boleh menyalin ke dalam baasa latin tanpa ditulis
lafaznya aslinya. Hal ini tidak berlaku pada hadits qudsi.22

BAB III

SEJARAH PEMBINAAN DAN PENGHIMPUNAN HADITS

A. Hadits pada Masa Rasullullah SAW


1. Beberapa Petunjuk Rasulullah SAW
Dalam suatu majlis ilmu, rasulullah saw. Adalah guru atau pembina bagi para
sahabatnya.
Rasulullah saw, juga sering menyampaikan do’a-do’anya kepada siapa saja yang
menyampaikan ajarannya, agar dibukakan pintu hatinya serta mendapat imbalan dari
padanya ( H.R Ahmad Dari Ibnu Mas’ud).23
2. Cara Menyampaikan Hadits
Menurut riwayat Al-Bukhari, Ibn Mas’ud penah bercerita bahwa untuk untuk
tidak melakhirkan rasa jenuh di kalangan sahabat,Rasul Saw. Menyampaukan
haditsnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para sahabat selalu ingin
mengikuti pengajiannya. Ada beberapa teknik atau cara Rasul Saw. Menyampaikan

22
Hal. 46-47.
23
Hal. 50.
hadits kepada para sahabat, yang di sesuaikan dengan kondisi mereka. Pertama,
melalu para jamaah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-ilmi. Kedua,
dalam banyak kesempatan, Rasul saw. Juga menyampaikan haditsnya melalui para
sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada
orang lain. Ketiga, melalui ceramah atau pidatao di tempat terbuka, seperti ketika haji
wada’ dan futuh Makkah. Keempat, melalu perbiatan langsung yang disaksikan oleh
para sahabatnya ( jalan musyahadah), seperti yang berkaitan dengan peraktik-peraktik
ibadah dan muamalah.24
3. Keadaan Para Sahabat Dalam Menerima Dan Mengusai Hadits
Dalam perolehan dan penguasaan hadits, anatara satu sahabat satu dengan sahabat
lainnya tidak sama. Hal ini menjadi, disamping karen berkaitan dengan bervariasinya
teknik dan tempat-tempat yang digumnakan,juga bergantung kepada beberapa hal,
anatara lain; Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasul saw.
Kedua, perbedaan dalam soal kesanggupan mereka untuk selalu bersama Rasul saw.
Ketiga, perbedaan mereka dalam soal hapalan dan kesungguhan bertanya kepada
sahabat lain. Keempat, perbedaan mereka karena berbedanya waktu isla dan jarak
tempat tinggal dan majlis Rasul saw. Kelima, perbedaan kemamapuan mereka dalam
keterampilan menulis, untuk menulis hadits.25
4. Pemeliharaan Hadits Dalam Hapalan Dan Tulisan
a. Aktifitas Menghapal
Terhadap al-qur’an Rasulullah saw memberi intruksi kepada sahabat tentu
supaya menulis, di samping menghapalnya, sedangkan terhadap hadits, perintah
resmi itu hanya untuk menghapal dan menyampaikan kepada orang lain.26
b. Aktivitas Mencatat Atau Menulis Hadits
Banyak para sahabat yang memiliki catatan dan melakukan penulisan hadits,
baik untuk disimpan sebagai catatan peribadi maupun memberikanpesan-pesan
kepada orang lain dalam bentuk surat menyurat dengan membubuhkan hadits.27

B. Hadits Pada Masa Sahabat


1. Memelihara Amanah Rasul Saw

24
Hal. 50-51.
25
Hal. 52.
26
Hal. 53-54
27
Hal. 55.
Para sahabat, sebagai generasi pertama yang menerima amanah terbesar bagi
kelangsungan syariat islam, adalah menerima dan melaksanakan segala amanah
Rasusulullah.28
2. Kehati-Hatian Para Sahabat Dalam Meneriama Dan Meriwayatkan Hadits
Sikap kehati-hatian juga ditunjukkan oleh Umar Bin Khattab, ia seperti halnya
Abu Bakar Ashiddiq, meminta di ajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan
hadits.29
3. Upaya Para Ulama Men-Taufik-Kan Hadits Tentang Larangan Menulis Hadits
Perlu diketahui, bahwa Abu Sa’ad al-Khudri sendiri (sahabat yang meriwayatkan
hadits tentang larangan Rasul menulisakan hadits, sebagaiman dikatakan al-Khatib
al-Baghadadi, ternyata memiliki catatan hadits yang diterimanya dari Rasulullah
saw.30
C. Hadits Pada Masa Tabi’in
1. Sikap Dan Perhatian Para Tabi’in Terhadap Hadits
Sebagaimana para sahabat, para tabiin juga cukup berhati-hati dalam
meriwayatkan hadits.31
2. Pusat-Pusat Kegiatan Pembinaan Hadits
Ialah madinah al-munawwwarah, makkah al-mukarramah, kufah, basrah, syam,
mesir, magrib, andalus, yaman, dan khurasan.32
3. Para Penulis Hadits Di Kalangan Tabiin
Tentang Menghapal Hadits, para ulama tabiin seperti ibn abi laila, abu aliyah, ibn
syihab az zuhuri, dan urwan bin az-zubairmenekankan pentingnya menghafal
hadits-hadits secara terus menerus. Sedangkan di antara para tabiin muda (shighar
at-tabiin) yang memiliki catatan atau menuliskannya, ialah ibrahim bin abdullah,
ismailbi abi khalid al-ahmasi, ayyub bin abi tamimah as- sakhtyani,bakir bi sulaiman
at-tamimi, hammad bin abi sulaiman, zaid bin rafi’,nafi, dan yazid.33
4. Perpecahan Politik Dan Pemalsuan Hadits
Perpecahan politik itu sebenaranya terjadi sejak masa sahabat, setelah terjadi
perang jamal dan perang sifin, yaitu ketika kekuasaan di pegang oleh ali bi abi
thalib.
28
Hal. 57.
29
Hal. 59.
30
Hal. 61.
31
Hal. 62.
32
Hal. 62.
33
Hal. 64.
Dari persoalan politik tersebut, langsung atau tidak langsung cukup memberikan
pengaruh, positif maupun negatif terhadap perkembangan hadits berikutnya.34
D. Masa kodifikasi Hadits
1. Latar Belakang Pemukiran Munculnya Usaha Kodifikasi Hadits
Dengan melihat berbagai persoalan yang muncul, sebagai akibat terjadinya
pergolakan politik yang sudah cukup lama dan mendesakkannya kebutuha untuk
segera mengambil tindakan guna menyelamatkan hadits dari kemusnahan dan
pemalsuan, maka umar bin abdul aziz sebagai seorang khalifah yang memiliki
tanggung jawab besar terhadap masalah agama, terdorong untuk mengambil tindakan
mengkodifikasian ini.35
2. Pembukaan Hadits Pada Kalangan Tabiin Dan Tabi’at Tabiin Setelah Ibn
Syihab Az-Zuhri
Di antara para ulama setelah Al-Zuhri, ada ulama ahli hadits yang berhasil
menyusun kitab tadwin, yang bisa dieariskan kepada generasi sekarang, yaitu malik
Bin Anas (97-179 H) di madinah, dengan kitab hasil karyanya bernama Al-
Muaththa’.36

E. Masa Seleksi, Penyempurnaan, Dan Pengembangan Sistem Penyusunan Kitab-


Kitab Hadits
1. Masa Seleksi Hadits
Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadits
yang diterimanya melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannnya, para ulam pada masa
ini berhasil memisahkan hadits yang dha’if dari yang saheh dan hadits-hadits yang
mauquf dan yang marfu’, meskipun berdasarkan penelitian para ulama berikutnya
masih ditemukan tersisipkannya hadits-hadits yang dha’if pada kitab-kitab saheh.37
2. Kitab-Kitab Induk Yang Enam (Al-Kutub As-Sittah)
Secara lengkap, kitan-kitab yang enam diturunkan, sebagai berikut.
a. Al-jami’ah ash-shahih susunan al-bukhari
b. Al-jami’ ash- shaheh susunan muslim
c. As-sunan susunan abu daud
d. As-sunan susunan at-turmudzi
34
Hal. 64-65.
35
Hal. 66.
36
Hal. 67.
37
Hal. 68.
e. As-sunan susunan an-nasa’i
f. As-sunan susunan ibnu majah38
3. Masa Penegembangan Dan Penyempurnaan Sistem Penyusunankitab-Kitab
Hadits
Masa perkembangan hadits yang disebut terkhir ini tidak berarti tidakada lagi
ulama yang menyusun kitab-kitab hadits saheh,diantara para ulama yang menyusun
kitab hadits semacam ini, seperti(yang dilakukan) oleh abu hatim muhammad bin
hibban bi ahmad at-tamimi al-bisti atau yang dikenal dengan Ibn Hibban
(w.354H),dengan karyanya saheh ibn hibban.39

BAB IV
ILMU HADITS DAN SEJARAHPEMBUKUANNYA
A. Pengertian Ilmu Hadits
Kata” ilmu hadits” merupakan kata serapan dari bahasa arab, “ilmu al-hadits”,
yang terdiri atas dua kata, yaitu “ilmu” dan “hadits”.jika mengacu kepada pengertian
hadits, berarti ilmu penegetahuan yang mengkaji atau membahas tentang segala yang
disandarkan kepada Nabi Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, takri maupun lainnya,
maka segala ilmu yang membicarakan masalah hadits pada berbagai aspeknya berarti
termasuk ilmu hadits. Secara terminologi, ulama mutaqaddimin merumuskan bahwa ilmu
hadits ialah:”ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan
hadits sampai kepada Rasul saw. Dari segi ihwal para perawinya yang menyangkut ke
dhabitan dan keadilannya dan dari bersambung dan terputusnya sanad , dan
sebagainya.40
Pembagian ilmu hadits menjadi bagian ini dikemukakan oleh ulama mutaakhirin,
dengan pembahasan masing-masing seperti berikut ini.
1. Ilmu Hadits Riwayah
a. Pengertian Ilmu Hadits Riwayah
Kata riwayah, artinya periwayat atau cerita, maka ilmu hadits riwayah,
artinaya ilmu hadits berupa periwayatan.secara terminologi yang dimaksud
dengan ilmu haduts riwayah ialah:” ilmu yang khusus berhubungan dengan

38
Hal. 69.
39
Hal. 70.
40
Hal. 71.
riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan(periwayatan) perkataan nabi
saw. Dan perbuatannya,dan pengurauan lafalnya.41

b. Objek Dan Kegunaannya


Yang menjadi objek ilmu hadits ini ialah membicarakan bagaimana cara
meneriama, menyampaikan kepada orang lain, memindahkan dan men-tadwin-
kan hadis.
Adapun kegunan atau signifikansi mempelajari ilmu hadits ini ialah untuk
menghindari adanya penukilan yang salah.42
2. Ilmu Hadits Dirayah
a. Pengertian Ilmu Hadits Dirayah
Istilah ilmu al-hadits atau disebut juga ilmu dirayah al-hadits as-suyuthi,
muncul setelah masa a-khathib al-bagdadi, yaitu masa al-akfani. Ilmu ini dikenla
juga dengan sebutan ilmu ushulnal-hadits, ulama al-hadits,mustahalah al-
hadits,dan qawa’id at-tahdis. (as-suyuthi,t.t:5).
Secara terminologi, yang dimaksud dengan ilmu hadits dirayah sebagaimana
didefinisikan oleh muhammad mahfuzh At-Tirmisi ialah undang-undang atau
kaidah-kaidah untuk mengetahui sanad dan matan.43
b. Objek Dan Kegunaannya
Objek ilmu dirayah ialah sanad, rawi dan matan/matawi.

Dengan mempelajari ilmu hadits dirayah ini, banyak kegunaan diperoleh,


antara lain, pertama, dapat mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dan
ilmu hadits dari masa kemasa sejak masa Rasulullah saw.sampai sekarang. Kedua,
dapat mnetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam
mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan hadits. Ketiga, dapat mengetatahi
kaidah-kaidah yang dipergunaka oleh para ulama dalam mengkalasifikasikan
hadits lebih lanjut. Keempat, dapat mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan
oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadits lebih lanjut. Kelima, dapat
mngetahu istilah-istilah, nilai-nilai, dan kriteria hadits sebagai pedoman dalam
menetapkan suatu hukum syarak.44

41
Hal. 72.
42
Hal. 72.
43
Hal. 73.
44
74-75.
B. Cabang-Cabang Ilmu Hadits
1. Ilmu Rijal Alhadits
Secara bahasa, kata rijal al-hadits, artinya orang-orang disekitar hadits, maka
kata ilmu rijal al- hadits, artinyaialah ilmu tentang orang-orang di sekitar hadits.
Sedangkan secara terminologi, ilmu rijalal-hadits,ialah ilmu untuk mengetahui para
perawi hadits dalam kapasitas mereka sebagai perawi hadits.45
2. Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Ilmu ini merupakan bagian dari ilmu rijalal-hadits.secara bahasa, kata al-jarh,
artinya cacat atau luka dan kata at-ta’dil, artinya mnegendalikan atau
menyamakan.maka katailmu al-jarh wa at-ta’dil artinya adalah ilmu tentang
kecacatan dan keadilan seseorang.46
3. Ilmu ‘Illal Al-Hadits
Kata ‘ilal dari illa, yaillu, adalah jamak dari kata al-illah, yang menurut bahasa,
artinya al-marad (penyakit atau sakit). Adapun yang dimaksud dengan ilmu ‘illal al-
hadits, menurut mereka, adalah: ilmu yang membahasa sebab-sebab yang
tersembunyi,yang dapat mencacatkan kesahehan hadits, misalnya mengatakan
muttashil terhadaphadits yang munqathi’, menyebut marfu’terhadap hadits yang
mauquf,memasukkan hadits lain, dan lain-lain seperi itu.47
4. Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits
Kata asbab wurud al-hadits atau disebut juga dengan asbab ashudur al-hadits,
secara bahasa artinya, ialah sebab-sebab adanya hadits itu. Bila dipisahkan kata asbab
adalah segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan.48
5. Ilmu Mukhtalif Al- Hadits
Ilmu mukhtalif al-hadits ialah: bertentangan atau berlawanan, kemudian
pertentangan tersebut dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya,
sebagaiman membahas hadits-hadits yang sulit di pahami kandungannya, dengan
menghilangkan kesulitan serta menjelaskan hakikatnya.49
C. Pertumbuhan Dan Perkembangan Ilmu Hadits
1. Pertumbuhan Ilmu Hadits

45
Hal. 76.
46
Hal. 76.
47
Hal. 77-78.
48
Hal. 78.
49
Hal. 79.
Pada masa sahabat dan pada masa tabii, kebutuhan terhadap ilmuini semakin
terasa.
2. Perkembangan Ilmu Hadits
Pada perkembangan berikutnya, kaidah-kaidah itu semakin dikembangakan oleh
para ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga hijriyah, baik mereka yang
mengkhususkan diri dalam bidang hadits maupun bidang-bidang lainnya.50

BAB V
KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN KUANTITASNYA
A. Hadits Mutawatir
a. Pengertian Hadits Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi’, yakni sesuatu yang datang berikut
dengan kita atau yang beringin-ingin antara satu dengan yang lainnya tanpa ada
jaraknya.
Adapun pengertian hadits mutawatir menurut istilah, terdapat beberapa formulasi
definisi, antar lain sebagai berikut.Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan
oleh sejumlah rawiyang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi
yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad, dan sanadnya mereka
adalah pancaindra.51
b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
1. Diriwayatkan Oleh Sejumlah Besar Perawi
Hadits mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang
membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak bersepakat berdusta.
2. Adanya keseimbanagan antar perawinya pada thabaqat (lapisan) pertama
dengan thabaqat berikutnya.
Jumlah perawi hadits mutawatir, antara thabaqat dengan thabaqat
lainnya harus seimbang.
3. Berdasarkan Tanggapan Pancaindara
Berita yang disampaikan oleh perawi tersebut harus berdasarkan
tanggapan pancaindra.52
c. Pembagian Hadits Mutawatir

50
Hal. 80-81.
51
Hal. 83-84.
52
Hal. 84-87.
Menurut ulama, hadits mutawatir itu terbagi menjadi dua, yaitu mutawatir
lafazhi dan mutawatir maknawi.53
d. Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah imu dharuri, yakni suatu keharusan
untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberikan oleh hadits
mutawatir tersebut, hingga membawa pada keyakinanyang qathi’i (pasti).54

B. Hadits Ahad
1. Penegertian Hadits Ahad
Kata ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti satu, maka ahad atau
khabar wahid berarti yang disampaikan oleh satu orang.
Adapun yang dimaksud dengan hadits ahad menurut istilah banyak didefinisikan
oleh para ulama,anatara lain sebagai berikut: khabar yang sejumlah perawinya tidak
sebanyak jumlah perawi hadits mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tiga,
empat, lima, dan seterusnya yang memberikan pengertian bahwa jumlah perawi
tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadits mutawatir.55
2. Pembagian Hadits Ahad
a. Hadits Masyhur
Masyhur menurut bahasa ialah al-intisyar wa az-zuyu’(sesutau yang sudah
tersebar dan populer). Adapun menurut istilah terdapat beberapa definsi, antara
lain: hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang lebih, tetapi bilangannya tidak
mencapai ukuran bilanagan mutawatir.56

b. Macam-Macam Hadits Masyhur


1. Masyhur di kalangan ini ahli hadita.
2. Masyhur di kalangan ulama ahli hadits
3. Masyhur di kalangan ulama ahli fiqih
4. Masyhur di kalangan ahli ushul fiqih
5. Masyhur di kalangan ahli sufi
6. Masyhur di kalangan ulama-ulama Arab

53
Hal. 87.
54
Hal. 90.
55
Hal. 91.
56
Hal. 94.
7. Masih banyak lagi hadits yang masyhur lainnya.57
c. Hadits Ghair Masyur
1. Hadits Aziz
Kata aziz berasal dari azza, ya’izu, yang berarti ia yakadu yujadu atau
qalla wanadar ( sedikit atau jarang adanya) atau berasal dari azza ya’azzu,
berarti qawiya (kuat).
Adapun kata aziz menurut istilah, antara lain didefinisikan sebagai
berikut. Hadits yang perawinya kurang dari dua orang dalam semua
thabaqat sanad.58
2. Hadits Gharib
Gharib secara lughawi (bahasa) berarti al-munfarid ( menyendiri) atau
al-ba’id’an (jauh dari kerabatnya). Ulama ahli hadits dalam hubungan ini
mendefinisikan hadits gharib sebagai berikut. Yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyadari dalam meriwayatkannya.
Hadits gharib dibagi menjadi 2 yaitu:
 Gharib Munthalaq
Hadits yang menyadari seseorang perawi dalam periwayatkannya
pada asal sanad.
 Gharib Nisbi

Hadits yang terjadi di pertengahan sanadnya.59

BAB VI

KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN KUALITASNYA

A. Hadits Maqbul
Maqbul bahasa, berarti ma’khudz ( yang diambil) dan mushaddaq (yang
dibenarkan atau diterima), sedangkan menurut istilah adalah: hadits yang telah
sempurna syarat-syarat diterimanya.60
B. Hadits Mardud

57
Hal. 95-97.
58
Hal. 97.
59
Hal. 98-100.
60
Hal. 104.
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak atauyang tidak diterima, sedangkan
menurut istilah: hadits yang tidak memenuhi syarat atau sebagaian syarat hadits
maqbul.
Untuk memperjelas persoalan ini, dapat dilihat pada uraian mengenai hadits daif
dan segala permasalahannaya, sebagaimana uraianberikut ini.

 Hadits sahih
Sahih secara etimologi lawan dari saqin (sakit),sedangkan menurut istilah ilmu
hadits, hadits sahih berarti:
Hadits yang berhubungan (bersambung) sanadnya diriwayatkan oleh perawi yang
adil, dhabib,yang diterimanya dari perawi yang sama (kualitasnya) dengannya
sampai kepada akhir sana, tidak syadz dan tidak pula ber’illat.61
Dari beberapa definisi hadits shih yang telah disepakati para ulama hadits, dapat
dinyatakan bahwa syarat hadits sahih adalah (1) sanadnya bersambung (2) para
perawinya bersifat adil (3) para perawinyabersifat dhabit (4) matannya tidak syadz
(5) matannya tidak berillat.
1. Sanadnya bersambung
Yang dimaksud sanadnya bersambung ialah perawi dalam hadits menerima
riwayat hadits dari perawi redekat sebelumnya karena itu berlangsung seperti
itu sampai akhir sanad dari hadits itu.
2. Perawinya adil
Kata adil, menurut bahasa berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak zalim, tidak
menyimpang, lurus, dan adil. Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan
perawi yang adildalam perawayatn sanad hadits adalah semua perawinya di
samping harus islam dan balig, juga memenuhi syarat.
3. Periwayat dhabit
Kata dhabit menurut bahasa yang kokoh, yang kuat. Perawi dikatakan dhabit
apabila ia mempunyai daya ingat sempurna terhadap hadits yang
diriwayatkannya.
4. Tidak syadz (janggal)
Yang dimaksud dengan syadz di sini ialah suatu hadits yang bertentangan
dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih kuat atau lebih

61
Hal. 105-106.
tsiqah, ini pengertian yang dipegang oleh Asy-Syafi’i dan diikuti oleh
kebanyakan para ulama lainnya.
5. Tidak berillat(ghair mu’allal)
Kata illat bentuk jamaknya adalah illal atau al-illal, yang menurut bahasa
adalah cacat, penyakit, keburukan, dan kesalahan baca. Dengan pengertian ini,
maka yang disebut hadits berillat adalah hadits-hadits yang mengandung cacat
atau penyakit.62

C. Hadits Hasan
Hasan menurut bahasa berarti: sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu.
Sedangkan hasan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam
mendefinisikannya.63
Dari definisi-definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa hadits hasan hampir sama
dengan hadits sahih, hanya saja terdapatb perbedaan dalam soal ingatan perawi. Pada
hadits sahih, ingatan atau daya hafalannya kurang sempurna. Dengan kata lain,syarat
hadits hasan dapat dirincikan sebagai berikut.
 Sanadnya bersambung
 Perawinya adil
 Perawinya dhabit, tetapi ke dhabitannya di bawah ke dhabitan perawi hadits hasan
 Tidak syadz
 Tidak ada illat.64

D. Hadits Dhaif
Secara bahasa, kata dhaif adalah lawan dari al-qowiy, yang berarti lemah, maka
sebutan hadits dhaif dari segi bahasa berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak
kuat. 65
Beberapa macam hadits dhaif, yang jumlahnya banyak sekali.
1. Dhaif Dari Segi Persambungan Sanadnya
a. Hadits Mursal
Hadits mursal ialah hadits yang gugur sanad-nya setelah tabiin.66

62
Hal. 108-110.
63
Hal. 114.
64
Hal. 116.
65
Hal. 118.
66
Hal. 119.
b. Hadits Munaqati’
Para ulama berbeda pandangan dalam merumuskan definisi hadits munqati’,
ada yang menyebutkan bahwa hadits munqati’, adalah: hadits yang pada sanadnya
terdapat seorsng perawi yang gugur atau pada sanad tersebutb disebutkan nama
seorang yang tidak dikenal namanya.67

c. Hadits Mu’dal
Hadits mu’dal ialah: hadits yang gugur dua sanadnya atau lebih, secara
berturut-turut.68
2. Dhaif Dari Segi Sanadnya
a. Hadits Mauquf
Hadits mauquf ialah: hadits yang diriwayatkan dari para sahabat,itu berupa
perkataan, perbuatan, atau takrirnya, baik periwayatnya itu bersambung ataupun
tidak.
b. Hadits Maqtu’
Hadits maqtu’ ialah: hadits yang diriwayatkan dari tabiin dan disandarkan
kepadanya, baik perkataan maupun perbuatannya.69
3. Dhaif Dari Segi-Segi Lainnya
a. Hadits Munkar

Hadits munkar ialah: hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lemah
( perawi yang dhaif). Yang bertentangan dengan periwayatan orang
kepercayaan.

b. Hadits Matruk
Hadits matruk ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang tertuduh dusta
(terhadap hadits yang diriwayatkannya). Atau nampak kefasikannya, baik pada
perbuatannya atau perkataannya atau orang yang banyak lupa atau banyak
ragu.
Yang dimaksud dengan hadits matruk dalam istilah ilmu hadits adalah: yaitu
hadits yang terdapat pada sanadnya perawi yangb tetuduh dusta.70
c. Hadits Syadz

67
Hal. 120.
68
Hal. 121.
69
Hal. 121-122.
70
Hal. 123-124.
Hadits syadz ialah: hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, tetapi
bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih
utama.
d. Hadits Maqlub
Hadits maqlub ialah: mengganti suatu lafal dengan lafal yang lain pada sand
hadits atau pada matannya dengan cara mendahulukan atu dengan
mengakhirkannya.71

BAB VII

URGENSI SANAD DAN MATAN HADITS

A. Penegertian Sanad Dan Matan Hadits


1. Sanad Hadits
Sanad secara bahasa berarti al-mu’tamad, yaitu yang diperpegangi (yang kuat)/
yang biasa dijadikan pegangan atau dapat juga diartikan: yaitu sesutu yang terangkat
(tinggi) dari tanah.
Secara terminologi, definisi sanad ialah jalannya matan, yaitu silsilah para
perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama.72
2. Isnad,Musnad, Dan Musnid
Istilah al-isnad berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal),
dan mengengkat. Yang dimaksud ialah menyandarkan hadits kepada orang yang
mengatakannya ( Hasbi Ash-Shiddiqi, 1985,43).73
3. Matan Hadits
Kata matan atau al-matan, menurut bahasa berarti ma shaluba wa irtafa’a min al-
ardhi ( tanah yang meninggi). Secara terminologi, istilah matan memiliki beberapa
definisi yang pada dasarnya maknanya sama, yaitu materi atau lafal hadits itu
sendiri.74

4. Rawi Hadits
Kata ra’wi atau ar’rawi, berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan
hadits (naqli al-hadits).75
71
Hal. 125.
72
Hal. 129-130.
73
Hal. 130-131.
74
Hal. 131.
75
Hal. 132.
B. Sanad Dan Hubungannya Dengan Dokumentasi Hadits
1. Dokumentasi Sanad Hadits
Salah satu keistimewaan atau keunikan hadits dari dokumen sejarah lainnya di
dunia ialah tertulisnya data orang-orang yang menerima dan meriwayatkan hadits-
hadits tersebut, yang disebut sanad.
2. Peranan Sanad Dalam Dokumentasi Hadits
Peranan sanad pada dasarnya terbgi pada dua, yaitu untuk pengamanan atau
pemeliharaan matan hadits, dan untuk penelitian kualitas hadits satu per satu secara
terperinci.76

C. Penelitian Sanad Dan Matan Hadits


1. Perlunya Penelitian Sanad Matan Hadits
Penelitian terhadap sanad dan matan hadits ( sebagai dua unsur pokok hadits)
bukan karena hadits itu diragukan otentisitasnya.77
2. Penelitian Para Ulama Tentang Sanad Dan Matan Hadits
Penelitian hadits, bik terhadap sanad maupun matan-nya mengalami evolusi, dari
bentuknya yang sangat sederhanasampai terciptanya seperangkat kaidah secara
lengkap sebagaai salah satu disiplin dalam ilmu agama, yang dikenal dengan ilmu
hadits.78
D. Periwayatan Hadits Dengan Lafal Dan Makna
1. Periwayatan Lafzhi
Seperti dikatakan, periwayatan lafzi adalah periwayatan hadits yang redaksi atau
matan -nya persis sama seperti yang di wurud-kan Rasul saw.
2. Periwayat Ma’nawi
Periwayat ma’nawi ( periwayat yang hanya maknanya saja), artinya periwayatan
hadits yang redaksi matan-nya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul
saw, tetapi isi atau maknanya sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul saw, tanpa
ada perubahan sedikitpun.79

BAB VIII
76
Hal. 133-134.
77
Hal. 136.
78
Hal. 137.
79
Hal. 139.
INGKAR SUNAH DAN PERMASALAHANNYA
A. Pengertian Ingkar Sunah
Menurut ahli-ahli ushul fiqih, sunnah adalah sabda Nabi saw. Yang bukan berasl dari Al-
qur’an, pekerjaan atau ketetapannya (Azami, 1993;14). Sedangkan Masyfuk Zuhud
(1993:14) memberikan definisi sunnah menurut istilah, yaitu sebagi berikut.
Sunnah ialah segala yang dinukilkan dari Nabi saw. Baik berupa perkataan, perbuatan,
takrirnya, atau selain itu.
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan ingkar sunnah adalah
orang-orang yang tidak mengakui (mengingkari) akan keberadaan al-sunnah al-hadits
sebagai sumber hukum dalam islam.80
a. Argumen-Argumen Naqli
Yang dimaksud dengan argumen-argumen naqli adalah alasan pengingkar sunah
menggunakan dalil, baik dari al-qur’an maupun dari hadits Nabi.
Argumen dari ayat-ayat Al-qur’an yang mereka gunakan, antara lain sebagai berikut.
1. Al-Qur’an (Q.S.Al- Nahl:89):
Artinya:”dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh
umat manusia dan kami turunkan kepadamu al kitab (Al-qur’an) untuk
menjelaskan segala sesuatu” (Hasbi al-Shiddieqi, 1992:414.).
2. Al-Qur’an (Q.S. AL-an’am 38):
Artinya:”tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam al-kitab (Hasbi al-Shiddieqi,
1992:192).
Menurut pengingkar sunnah, kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa al-qur’an
telah cukup serta mencakup segala sesuatu berkenaan dengan ketentuan-
ketentuan agama.
3. Sejumlah riwayat hadits, antara lain berbunyi sebagai berikut.
Artinya:”apa yang datang kepadamu dari saya, maka komfirmasikanlah dengan
kitabullah; jika sesui dengan kitabullah, maka hal itu berarti akan telah
mengatakannya, dan sesuatu yang menyalahi al-qur’an, berarti aku tidak
mengatakannya”(As-Suyuti, 1997:39).81
b. Argumen-Argumen Non Naqli
Yang dimaksud dengan argumen-argumen non naqlin ialah argumen yang tidak
berupa al-qur’an ataau hadits Nabi.

80
Hal. 142.
81
Hal. 143-144.
Di antar argumen non-naqli yang diungkapkan oleh pengingkar sunnah tersebut
ialah sebagai berikut.
1. Al-qur’an diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad (melalui malaikat
jibril) dalam bahasa Arab.
2. Dalam sejarah, umat islam telah mengalami kemunduran.
3. Asal mula hadits nabi yang dihimpun dalam kitab-kitab hadits adalah dangeng-
dongeng semata.82

B. Perkembangan Ingkar Sunah


a. Sikap Khawarij Terhadaap Sunah
Golongan khawarij memakai sunah dan mempercayaainya sebagaai sumber
hukum, hanya saja adaa sumber-sumber yang menyebutkan bahwa mereka menolak
hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah sahabat tertentu , khususnya setelah peristiwa
taahkim.
b. Sikap Syi’ah Terhadaap Sunah
mereka menolak al-sunnah umumnya dari sahabat, kecualiyang diturunkan oleh
para pengikut Ali ( Nurcholus Madjid, 1994:104).83
c. Ingkar Sunah Masa Kini
Imam muhammad abduh mengatakan bahwa umat islam saat ini tidak mempunyai
pimpinan lain,kecuali al-qur’an.84
C. Penyebab Ingkar Sunah
1. Salah paham terhadap penafsiran al-qur’an.
2. Terkait dengan adanya larangan Nabi, yang nota benarnya adalah sanbda Nabi(yang
berarti) al-hadits.
3. Mereka merasa angkuh dan gengsi.85
D. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pengingkar Sunah
Menurut M. Syuhudi Ismail, para pengingkar sunah adalah termasuk sesat karena
tidak sesuai dengan ajaran al-qur’an, di mana mereka tidak konsekuen dalam
melaksanakan al-qur’an secara total dan universal.86

82
Hal. 144.
83
Hal. 145.
84
Hal. 146.
85
Hal. 146-147.
86
Hal. 149.
BAB IX
AL-JARH WA TA’DIL DAN PERMASALAHANNYA
A. Pengertian Al-Jarh Wa Ta’dil
Al-jarh menurut bahasa, berarti melakukan badan yang karenanya mengeluarkan
darah (Hasbi,1981:204). Sedangkan menurut istilah ahli hadits adalah: tampak suatu
sifat pada perawi yaqng merusakkan keadilannya, hafalannya, karen gugurlah
riwayatnya atau dipandang lemah (‘Ajaj al-Khatib, 1989:260).87
Pengertian ta’dil dalam masalah periwayatan, dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:
1. Ta’dil dengan arti al-tawsiyah (menyamakan)(al-mujid,491)
2. Ta’dilmenurut istilah ahli hadits, adalah: menafsirkan para perawi dengan sifat-
sifat yang menetapkan kebersihannya, maka tampaklah keadilannya,dan
diterima riwayatnya ( Hasbi,1981:205).88

B. Pertumbihan Ilmu Al-Jarh Wa Al Ta’dil


Ilmu al-jarh wa al ta’dil tubuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan
hadits dalam islam karena untukmengetahui hadits yanh saheh dan keadaan para
perawinya sehingga dengan ilmu ini, memungkinkan menetapkan kebenaran seorang
perawi atau kedustaannya sampai mereka bisa membedakan antara yang diterima dan
yang ditolak (maqbul dan mardud).89
C. Sifat-Sifat Yang Menyebabkan Seorang Perawi Dinilai Jarh
1. Dusta
Yang dimaksud dengan dusta dalam hal ini ialah bahwa orang itu pernaha berbuat
dusta terhadap sesuatau beberapa hadits.
2. Tertunduk Berbuat Dusta
Yang dimaksud tertunduk dengan berbuat dusta adalah seorang perawisudag
benar di kalangan masyarakat sebagai yang berdusta.
3. Fasik (Melanggar Ketentuan Syarak)
Yang dimaksud dengan fasik di sini ialah fasik dalam perbuatan yang tampak
secara lakhiriah, bukan dalam hal i,tiqiyah, nama tepat periwayatnya ditola.

87
Hal. 150.
88
Hal. 151.
89
Hal. 151.
4. Jahalah
Yang dimaksud dengan jahalah adalah perawi hadits itu tidak diketahui
kepribadiannya, apakah ia sebagai orang yang atau tercacat (jarih).
5. Ahli Bi’ah
Yang dimaksud dengan ahli bid’ah, yaitu perawi yang tergolong melakukan
bid’ah, dalam hal i’tikad yang menyebabkan ia kufur, maka riwayatnya ditolak.
6. Hukum Menjarh Seorang Perawi
An-nawawi muqaddimah sahih muslim mengatakan, bahwa ulama telah sepakat
membolehkan seseorang untuk mencatat (menjarh) orang lain.90
D. Khalifiah Tentang Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
Istilah jarh dan ta’dil dalam membahas ilmu hadits merupakn dua istilah yang tidak
bisa atau pernah bersatukarena istilah tersebut adalah dui istilah yang selalu kontadiksi
(berlawanan).91

BAB X
PROBLEMATIKA HADITS MAUDHU
A. Pengertian Hadits Maudhu
1. Pengertian Kebahasaan (Etimologi)
Secara bahasa, kata hadits maudhu merupakan peralihan dari kata Arab, kata
berakar kata dari dasar. Kata, tersusun dari tiga huruf, kata merupakan bentuk isim
ma’ful dari kata dasarnya.92

2. Pengertian Keistilahan (Terminologi)


Hadits maudhu adalah hadits yang diciptakan dan dibuat-buat, yang bersipat
dusta terhadap Rasulullah saw. Dibuat secara sengaja atau tidak sengaja
( Syamsuddin Muhammad As-Sakhsh, 1968:224).
Beberapa unsur penting dalam bacaan definisi al-maudhu adalah sebagai
berikut.
a. Unsur al-wad’hu (pembuatan) atau (dibuta-buat)

90
Hal. 152-154.
91
Hal. 157.
92
Hal. 161.
b. Unsur al-kadzibu (dusta) atau(menipu)
c. Unsur al-amdu (sengaja) dan al-khatha’u (tidak sengaja).93
Pengertian hadits maudhu secara kebahasaan dan keistilahan memunyai
hubungan kesinambungan cakupan makna dan sasaran antara pengertian keadaanya.
1. Al-hiththah mengandung arti bahwa maudhu adalah hadits yang terbuang dan
terlempar dari kebahasaan yang tidak memiliki dasar sama sekali untuk diangkat
sebagai landasan hujjah.
2. Al-isqath mengandung arti bahwa hadits maudhu adalah hadits gugur, tidak
boleh diangkat sebagai dasar istidal.
3. Al-islaq mengandung arti bahwa hadits maudhu adalah hadits yang ditempelkan
kepada nabi Muhammad SAW agar dianggap berasal dari nabi.
4. Al-ikhtilaq menhandung arti bahwa hadits maudhu adalah hadits yang dibuat-
buat sebagai ucapan, perbuatan, atau ketetapan yang berasal dari nabi.94
B. Setatus Hadits Maudhu
Para ualama berbeda pendapat dalam menentukan status hadits maudhu, apakah
merupakan bagian dari hadits atau bukan. Pertentangan pendapat ini sangat berkaitan erat
dengan definisi hadits maudhu dirumuskan oleh par ulam muhaddisin, yaitu sebagai
hadits yang mengandung unsur dibuat-buat, dusta, dengan cara sengaja atau
tidaksengaja. Dengan adanya unsur dibuat-buat, dusta, dan disengaja, para muhaddisin
yang menolak hadits maudhu, mempersoalkan apakah hadits maudhu layak
dikatagorikan sebagai hadits.95
C. Tingkatan-Tingkatan Hadits Maudhu
Menurut imam adz-dzahabi, hadits maudhu mempunyai tiga tingkatan berikut.
1. Hadits maudhu yang nilai kamaudhuannya dusepakati secara bulat oleh para
muhaddisin.
2. Hadits maudhu yang nilai kemaudhannya ditetapkan berdasarkan kesepakatan
mayoritas ulama, bukan kesepakatan bulat seluruh ulama.
3. Hadits maudhu (waham al-maudhu). Sebagai muhaddisin lain melaluin hadits
yang dusta (kidz). (moh. Najib, 2001:48).96
D. Masa Awal Kemunculan Hadits Maudhu

93
Hal. 162-163.
94
Hal. 166.
95
Hal. 166-167.
96
Hal. 168.
Persoalan muncul batasan masa awal permulaan terjadinya pemalsuan hadits
maudhu dan munculnya hadits-hadits palsu pun diperselisihkan para ulama
muhaddisin.97
E. Status Periwayataan Hadits Maudhu
1. Status Perbuatan Membuat-Buat Hadits
Dikalangan muhaddisin, terdapat beberapa pendapat berikut.
a. Jumhur ulama berpendapat bahwa membuat-buat hadits nabi adalah dilarang secara
mutlak.
b. Sebagian ulama berpendapat bahwa oleh melakukan usaha membuat-buat hadits
nabi, dengan syarat atas dasar kepentingan Allah.
c. Kelompok karamiyah membolehkan membuat-buat hadits nabi, dengan syarat jika
kandungannya hanya terbatas pada pemberian berita baik dan pemberian berita
buruk.
d. Sebagisn ulama lain membolehkan semua bentuk penyadaran ungkapan yang baik-
baik kepada Nabi Muhammad saw isnadu al-qauli al-hasani bi al-nabiyyah dalam
bentuk pembuatan, sepanjang isinya berupa yang baik-baik.98
2. Setatus Berdusta Terhadap Rosulullah Saw.
Jumhur ulama bersepakat bahwa berbuat dusta terhadap nabi muhammad saw
secara sengaja termasuk dosa besar, karena itulah nabi muhammad saw memberi
ancaman keras kepada setiap orang yang berusaha berbuat dusta terhadap dirinya.
3. Status Pembuat Dusta Terhadap Rasullullah Saw
Jumhur ulama sepakat bahwa pembuat dusta terhadap nabi muhammad saw secara
sengaja adalah pembuat dosa besar.99
4. Status Riwayat Hadits Dusta
a. Jika pada saat meriwayatkan itu, dia bertujuan untuk menjelaskan jarh dan
ta’dilnya syahit riwayat, para muhaddisin sepakat untuk membolrhkan periwayat
demikian, bahkan dianggap berpahala, karena hal itu membantu menolak
kemudharatan yang lebih besar.
b. Jika tidak bertujuan menjenjelaskan jarh dan ta’dil syahud riwayat, dilarang
meriwayatkan hadits maudhu secaramutlak, apa pun bentuk isi matannya,baik
kaidah, ataupun fadha’il al-a’mal.

97
Hal. 168.
98
Hal. 171.
99
Hal. 172-173.
c. Imam Al-Khatib Al-Bagdhadi, imam an-nawawi, qadhi iyadh melarang secar
mutlak meriwayatkan hadits-hadits buatan atau maudhu, sebagaimana telah
diperingati dan diancam oleh Nabi dalam melakukan dusta terhadaap diri Nabi.100
5. Status Pengalaman Terhadap Hadits Maudhu
Dalam pengalaman hadits maudhu, para muhaddisin sepakat hadits maudhu tidak
dapat diamalkan dan tidak dapat dijadikan pedoman hujjah secra mutlak.101
BAB XI
PENERIMAAN DAN PERIWAYATAN HADITS

A. Penerimaan Hadits
1. Penerimaan Anak-Anak, Orang Qafir Dan Fasik
Jumhur ulama ahli hadits berpendapat bahwa penerimaan periwayatan suatu
hadits oleh anak yang belum sampai umur (belum mukallaf) dianggap sah bila
periwayat hadits tersebut disampaikan orang lain pada waktu sudah mukallaf.102
2. Cara Penerimaan Hadits
a. Al-sima’
Suatu cara penerimaan hadits dengan cara mendengarkan sendiri dari
perkataan gurunya dengan cara didekatkan.
b. Al-Qira’ah ‘Ala Al-Syaikh Atu ‘Aradh Al-Qira’ah
Yakni suatu cara penerimaan hadits dengan cara seseorang membacakan hadits
di hadapan gurunya.
c. Al-Ijazah
Seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk menriwayatkan hadits
atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu.
d. Al-Munawalah
Seorang guru memberikan hadits atau beberapa hadits atau sebuah kitab
kepada muridnya untuk diriwayatkan.
e. Al-Mukatabah
Seorang guru menuliskan atau menyuruh orang lain menuliskan sebagian
haditsnya guna diberikan kepada murid yang ada hadapannya atau yang dipercaya
untuk menyampaikannya.

100
Hal. 174.
101
Hal. 145.
102
Hal. 176.
f. Al-I’lam
Pemberitahuan seorang guru kepada muridnya bahwa kitab hadits yang
diriwayatkan dia terima dari seseorang guru, dengan tanpa memberikan izin
kepada muridnya untuk meriwayatkan atau menyuruhnya.
g. Al-Wasiyah
Seorang guru ketika akan meninggal atau berpegian, meninggalkan
pesankepada orang lain untuk meriwayatkan hadits atau kitabnya.
h. Al-Wijadalah
Yakni seorang memperoleh hadits orang lain dengan mempelajari kitab-kitab
hadits dengan tidak melalui al-sama’, al-ijazah, atau al-munawalah.103

B. Periwayat Hadits
1. Islam
Pada waktu meriwayatkan hadits, maka seorang perawi harus muslim,dan
menurut ijmak, periwayat kafirtidak sah.
2. Baligh
Baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadits, walaupun
penerimaannya sebelum balig.
3. ‘Adalah
Adil (‘adalah )adalah suati sifat yang melekatpada jiwaseseorang yang
menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut.
4. Dhabit
Dhabit ialah teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu
hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya.104

BAB XII
TAKHRIJ HADITS
A. Pengertian Takhrij Hadits
Takhrij, secara bahasa berarti: berkumpulnya dua hal yang bertentangan dalam satu
masalah. Sedangkan secara istilah takhrij berarti: menegembalikan (menelusuri kembali
ke asalnya) hadits-hadits yang terdpat di dalam berbagi kitab yang tidak memakai sanad

103
Hal. 177-182.
104
Hal. 182-183.
kepada kitab-kitab mausnad, baik disertai dengan pembicaraan tentang status hadits-
hadits tersebut daru segu saheh atau da’if, ditolak atau diterima, dan penjelasan tentang
kemungkinan illat yang ada padanya, atau hanya sekedar mengembalikannya kepada
kitab-kitab asal sumbernya.105
B. Sejarah Ilmu Takhrij
Ketika para ulama mulai merasa kesulitan untukmengetahui sumber suatu hadits,
yaitu setelah berjalan beberapa priode tertentu dan setelah berkembangnya karya-karya
ulam dalam bidang fikih, tafsir dan sejarah, yang memuat hadits-hadits Nabi saw. Yang
kadang-kadang tidak menyebutkan sumbernya, maka ulama hadits terdorong untuk
melakukan takhrij terhadap karya-karya tersebut.106
C. Tujuan Dan Manfaat Takhrij Hadits
Ada dua hal yang menjadi tujuan takhrij, yaitu:
1. Untuk mengetahui sumber dari suatu hadits
2. Mengetahui kualitas dari suatu hadits,apakah dapat diterima (saheh atau hasan)
atau ditolak (dha’if).
Manfaat takhrij. ‘abd al-mahdi menyimpulkan sebanyak dua puluh manfaat.
1. Memperkenalkan sumber-sumber hadits
2. Menambah perbendaharaan sanad hadits melalui asal dari suatu ditunjukkannya.
3. Memperjelas keadaan sanad
4. Memperjelas hukum hadits dengan banyak riwayatnya
5. Mengetahui pendapat-pendapat para ulama sekitar hukum hadits
6. Memperjelas perawi hadits yang samar karena dengan adanya takhrij
7. Memperjelas perawi hadits yang tidak diketahui namanya melalui perbandingan
di antara sanad-sanad
8. Dapat menafikan pemakaian “an” dalam periwayatan hadits oleh seorang perawi
mudallis
9. Dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat
10. Dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya
11. Dapat memperkenalkan periwayatnya yang tidak dapat dalam satu sanad
12. Dapat memperjelas arti kalimat asing yang terdapat dalam satu sanad
13. Dapat menghilangkan syadz ( kesendirian riwayat yang menyalahi riwayat perawi
yang lebih tsiqat) yang terdapat pada suatu hadits melalu perbandingan riwayat.

105
Hal. 187.
106
Hal. 189.
14. Dapat membedakan hadits yang mudraj (yang mengalami penyusupan sesuatu)
dari yang lainnya
15. Dapat mengungkap hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh perawi
16. Dapat mengungkap hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh seorang perawi
17. Dapat membedakan antara proses periwayatan yang dilakukan dengan lafadz dan
yang dilakukan dengan makna saja
18. Dapat menjelaskan masa dan tempat kejadian timbulnya hadits
19. Dapat menjelasakan sebab-sebab timbulnya hadits melalu perbandingan sanad-
sanad yang ada
20. Dapat mengungkap kemungkinan terjadinya kesalahan cetak melalu
perbandingan-perbandingan sanad yang ada.107
D. Kitab-Kitab Yang Diperlukan Dalam Men Takhrij
Di antara kitab-kitab yang dapat di jadikan pedoman dalam men-takhrij adalah ushul
al-takhrij wa dirasat al-asanid oleh muhammad al-thahan, hashul al-tafrij bi ushul al-
takhrij oleh ahmad ibn muhammad al-shiddiq al-gharami, thuruq takhrij hadits rasulullah
karya abu muhammad al-mahdi ibn ‘abd al-qadir ibn ‘abd al-hadi, metologi penelitian
hadits nabi tulisan syuhudi ismail, dan lain-lain.108
E. Cara Pelaksanaan Dan Metode Takhrij
Di dalammelakukan takhrij, ada lima metode yang dapat dijadikan sebgai pedoman,
yaitu sebagai berikut:
1. Takhrij menurut lafal pertama matan hadits
2. Takhrij menurut lafal-lafal yang terdapat di dalam matan hadits
3. Takhrij menurut perawi pertama
4. Takhrij menurut tema hadits
5. Takhrij menurut klasifikasi (status) hadits.109
F. Contoh Takhrij
Secara khusus, contoh berikut ini akan meneliti hadits malik tersebut, yang
berbunyi: dari malik, dari nafi’dan ‘abd allah ibn dinar, dari ibn ‘umar, bahwasanya
rasulullah saw. Bersabda,”janganlah kamu berpuasa (puasa ramadhan) sehingga kamu
melihat hilal, dan jangan pula kamu berbuka (beridul fitri) sehingga kamu melihatnya.

107
Hal. 190-192.
108
Hal. 192.
109
Hal. 194.
Jika hilal tersebut tetutup dari pandanganmu, maka tentukanlah ukurannya
(bilangannya).110

BAB XIII
BIOGRAPI BEBERAPA ULAMA HADITS DARI KALANGAN SAHABAT DAN
PELOPOR PENGKODIFILASI HADITS
A. Sahabat yang bergelar al-muktsirun fi al-hadits
 Abu hurairah
 ‘abu allah ibn ‘umar ibn al-khattab
 Anas ibn malik
 ‘a’isyah umm al-mu’minin
 ‘abd allah ibn’abbas
 Jabit ibn ‘abd allah
 Abu sa’ad al-khudari.111
B. Pelopor Pengkodifikasian Hadits Dan Ilmu Hadits
1. ‘Umar Ibn’ Abd Al-‘Aziz (61-106 H)
‘Umar Ibn’ Abd Al-‘Aziz adalah seorang khalifah yang mempunyai perhatian cukup
besar terhadap hadits Nabi Saw, beliu secara langsung menuliskan hadits-hadits yang
didengar dan diminatinya.
2. Muhammad Ibn Syihab al-zuhri (50-124 H)
al-zuhri terkenal sebagai seorang ulama yang cepat serta setia dan teguh hafalannya.
3. Muhammad Ibn Hazm (w. 117H)
Muhammad Ibn Hazm adalah seorang ulama besar dalam bidang hadits dia juga
terkenal ahli dalam bidang fikih pada masanya.
4. Al-Ramahurmuzi (w. 360 H)
Al-ramahurmuzi adalh seorang ulama besar dan terkemuka dalam bidang hadits pada
zamannya, dan beberapa karyanya muncul seiring dengan kebesarannya dalam
bidang hadits tersebut.
5. Bukhari (194-256 H)

110
Hal. 203.
111
Hal. 215.
Bukhari adalah imam hadits pada masanya, dan bahkan dia adalah orang yang
pertama menghimpun hadits-hadits sahih saja di dalam karyanya yang terkenal itu,
yaitu sahih al-bukhari.
6. Muslim (204-261 H)
Imam muslimdengan kitab sahihnya tersebut dinyatakan oleh para ulama hadits
sebagai orang kedua, setelah al-bukhari, yang menghimpun hadits-hadits sahih saja di
dalam kitabnya.112

112
Hal. 226-238.

Anda mungkin juga menyukai