Anda di halaman 1dari 20

Urgensi Ilmu Qiraat dalam Menafsirkan Al-Qur’an

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

………………….

Dosen Pengampu:

………………………

LOGO KAMPUS

Disusun Oleh :

…………………..

Universitas………………………….
KATA PENGANTAR

Puji syukur pada allah SWT yang telah mencipatakan manusia dan memuliakannya
dengan memberikan segala bentuk nikmat yang tidak terbatas. Tak lupa juga salawat dan salam
semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW sebagai nabi akhir zaman,
beserta keluarganya, para sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Alhamdulillah berkat rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan penyusunan


makalah ini dengan judul “Urgensi Ilmu Qiraat dalam Menafsirkan Al-Qur’an”. Pada
kesempatan yang baik ini, pemakalah mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata
kuliah kapita selekta ilmu qiraat, Dr. Hj. Khusnul Khatimah, M.Ag. atas tugas makalah ini yang
diberikan sebagai sarana pembelajaran yang diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi
pemakalah dan pembaca semua. Dan juga tidak lupa ucapan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu penyusunan makalah ini.

Pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna, maka kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan dalam
pembuatan makalah selanjutnya.Akhirnya, pemakalah berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat di masa sekarang dan masa akan datang.

Jakarta, 27 Maret 2021

Pemakalah
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Qira’at merupakan salah satu cabang ilmu dalam „Ulumul Qur‟an, namun tidak banyak
orang yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu saja, biasanya kalangan
akademik. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, diantaranya adalah ilmu ini tidak
berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari, tidak seperti
ilmu fiqih, hadis, dan tafsir misalnya, yang dapat dikatakan berhubungan langsung dengan
kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan ilmu Qira’at tidak mempelajari masalah-masalah
yang berkaitan secara langsung dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu dalam
kehidupan manusia. Selain itu, ilmu Qira’at juga cukup rumit untuk dipelajari. Banyak hal
yang harus diketahui oleh peminat ilmu Qira’at ini, yang terpenting adalah pengenalan al-
Qur‟an secara mendalam dalam banyak seginya.

Qira’at atau macam-macam bacaan al-Qur‟an telah mantap pada masa Rasulullah saw.,
dan beliau mengajarkan kepada sahabat sebagaimana beau menerima bacaan itu dari Jibril
AS. Sehingga muncul beberapa sahabat yang ahli bacaan al-Qur‟an seperti: Ubay bin Kaab,
Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, dan Abu Musa al-Asy’ari, mereka itulah
yang menjadi sumber bacaan alQur‟an bagi sebagian besar sahabat dan tabi‟in.

Pada masa tabi‟in seratus tahun pertama hijriyah segolongan masyarakat mengkhususkan
diri dalam penentuan bacaan al-Qur‟an karena memang memerlukannya, mereka menjadikan
Qira’at sebagai ilmu pengetahuan, dan akhirnya mereka menjadi imam Qira’at yang dianut
orang dan menjadi rujukan, namun dalam perkembangannya Qira’at mengalami masalah yang
serius, sebagai akibat dari adanya hadits yang menerangkan bahwa al-Qur‟an diturunkan
dengan beberapa wajah, banyak bermunculan versi bacaan yang semuanya mengaku
bersumber dari Rasulullah saw.

Para ulama dan ahli al-Qur‟an cepat tanggap dalam menangani masalah ini, maka pada
akhir abad ke-2 hijriyah, mereka melakukan kegiatan meneliti, menyeleksi, dan menguji
kebenaran Qira’at yang di katakan sebagai bacaan alQur‟an, Qira’at-qira’at tersebut harus
memenuhi kriteria sebagai berikut3 : 1) harus mempunyai sanad yang mutawatir, yakni
bacaan tersebut diterima dari guru-guru yang terpercaya, tidak cacat dan bersambung sampai
Rasulullah. 2) harus cocok dengan rasm utsmani. 3) harus cocok dengan kaidah tata bahasa
Arab.

Rasulullah saw., menyampaikan ayat-ayat yang diterimanya itu kepada para sahabatnya
juga melalui ucapan atau secara lisan. Penyampaian selanjutnya dari sahabat kepada tabi‟in
dan untuk seterusnya berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya, al-Qur‟an selalu
disampaikan dengan lisan.

ّ ٰ ‫اِ َّن ٰه َذا ْالقُرْ ٰانَ يَ ْه ِديْ لِلَّتِ ْي ِه َي اَ ْق َو ُم َويُبَ ِّش ُر ْال ُم ْؤ ِمنِ ْينَ الَّ ِذ ْينَ يَ ْع َملُوْ نَ ال‬
ِ ‫صلِ ٰح‬
‫ت‬

‫اَ َّن لَهُ ْم اَجْ رًا َكبِ ْير ًۙا‬

Terjemahnya: “Sesungguhnya al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang


lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan
amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. al-Isra‟/17:9)

Disebutkan dalam sebuah hadits, Sabda Rasulullah saw.,:

Artinya: “Barang siapa membaca satu huruf dari Kitabullah (al-Qur`an), maka baginya
satu pahala kebaikan dan satu pahala kebaikan akan dilipat gandakan menjadi sepuluh kali,
aku tidak mengatakan ALIF LAAM MIIM itu satu huruf, akan tetapi ALIF satu huruf,
LAAM satu huruf dan MIIM satu huruf. Selain jalur ini, hadits ini juga diriwayatkan dari
beberapa jalur dari sahabat Ibnu Mas'ud. Abul Ahwas telah meriwayatkan hadits ini dari Ibnu
Mas'ud, sebagian perawi merafa'kannya (menyambungkannya sampai kepada Nabi) dan
sebagian yang lainnya mewaqafkannya dari sahabat Ibnu Mas'ud. Abu Isa berkata; Hadits ini
hasan shahih gharib dari jalur ini, aku telah mendengar Qutaibah berkata; telah sampai berita
kepadaku bahwa Muhammad bin Ka'ab al-Quradli dilahirkan pada masa Nabi masih hidup,
dan Muhammad bin Ka'ab di juluki dgn Abu Hamzah”. (HR. Tirmidzi).

Begitu besar keagungan al-Qur‟an sampai-sampai dalam membacanya pun harus disertai
ilmu membaca yang disebut ilmu Qira’at, karena dikawatirkan apabila dalam membaca al-
Qur‟an tidak disertai ilmunya akan berakibat berubahnya arti, maksud serta tujuan dalam
setiap firman yang tertulis dalam al-Qur‟an.
Oleh karena perbedaan dan keragaman dialek, maka al-Qur‟an diturunkan Allah swt.,
dengan berbagai dialek dan macam-macam cara membaca, sehingga memudahkan mereka
untuk membaca, menghafal dan memahaminya. Sebagaimana Rasulullah saw., bersabda:
Artinya: “sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf (cara bacaan), maka
bacalah (menurut) makna yang engkau anggap mudah”. (HR. Bukhori dan Muslim).

Arti Sab’atu Ahruf dalam hadits di atas mengandung banyak penafsiran dari kalangan
para ulama, hal ini disebabkan karena kata Sab’ah dan kata Ahruf mempunyai banyak arti.
Kata Sab’ah dalam bahasa Arab bisa berarti tujuh, dan bisa juga berarti bilangan tak terbatas,
sedangkan kata Ahruf adalah jamak dari Harf yang berarti makna, wajah, kata, bahasa. Para
ulama telah mencoba menafsirkan Sab’atu Ahruf yang menurut Imam As-Suyuti tidak
kurang dari empat puluh penafsiran. Sebagai bahan rujukan dapat diambil pendapat Abul fadl
Ar-Razi, yang mengatakan bahwa arti Sab’atu Ahruf adalah tujuh wajah/bentuk maksudnya
keseluruhan alQur‟an dari awal sampai akhir tidak akan keluar dari tujuh wajah.

Kajian Qira’at Sab’ah banyak diajarkan dimana-mana, akan tetapi tidak seluruh pondok
pesantren dan Lembaga Pengajian mengajarkan materi Qira’at Sab’ah, hanya sebagian kecil
yang mengajarkanya. Faktor penyebabnya adalah di samping sulitnya dalam mempelajari
Qira’at Sab’ah, ilmu Qira’at Sab’ah sendiri sulit diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari,
juga faktor utamanya adalah keterbatasan orang yang ahli di bidang ilmu Qira’at Sab’ah dan
minimnya kemauan untuk memepelajarinya baik anak-anak maupun orang dewasa.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara menafsirkan Al-Qur’an dengan Al- Qur’an ?
2. Bagaimana cara menafsirkan Al-Qur’an dengan qira’at Mutawatirah?
3. Bagaimana cara menafsirkan Al-Qur’an denzatgan qira’at syadzdzah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui cara menafsirkan Al-Qur’an denganAl- Qur’an
2. Untuk mengetahui cara menafsirkan Al-Qur’an dengan qira’at Mutawatirah
3. Untuk mengetahui cara menafsirkan Al-Qur’an dengan qira’at syadzdzah
BAB II

PEMBAHASAN

a. Menafsirkan Al-Qur’an Denganal- Qur’an


1. Pengertian Tafsir
Tafsir secara etimologi (bahasa), kata “tafsīr” diambil dari kata “fassara – yufassiru -
tafsīrān” yang berarti keterangan atau uraian. Sedangkan Tafsir menurut terminologi (istilah),
sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan yang dikutip oleh Manna‟ al-Qaṭān ialah ilmu yang
membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur‟an, tentang petunjuk-petunjuk,
hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang
dimungkinkan baginya tersusun serta hal-hal yang melengkapinya.
Menurut al-Kilbiy dalam kitab at-Taṣliy, sebagaimana yang telah dikutip oleh Mashuri
Sirojuddin Iqbal dan A. Fudlali. Tafsir ialah mensyarahkan alQur‟an, menerangkan maknanya
dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyarat, ataupun
dengan tujuannya.
Menurut Ali Ḥasan al-‟Ariḍ, tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara
mengucapkan lafadz al-Qur‟an makna-makna yang ditunjukkan dan hukumhukumnya baik
ketika berdiri sendiri atau pun tersusun serta makna-makna yang dimungkinkan ketika dalam
keadaan tersusun.
Sedangkan menurut Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy tafsir adalah: Artinya:
“suatu ilmu yang di dalamnya dibahas tentang keadaan-keadaan alQur‟an al-karim dari segi
dalalahnya kepada apa yang dikehendaki Allah, sebatas yang dapat disanggupi manusia.”5
Sebatas yang dapat disanggupi manusia memiliki pengertian bahwa tidaklah suatu kekurangan
lantaran tidak dapat mengetahui makna-makna yang mutasyabihat dan tidak dapat mengurangi
nilai tafsir lantaran tidak mengetahui apa yang dikehendaki oleh Allah.
Istilah tafsir merujuk kepada ayat-ayat yang ada di dalam al-Qur‟an, salah satu di
antaranya adalah di dalam ayat 33 dari surat al-Furqān: Artinya: ”Tidaklah orang-orang kafir
itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu
suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”.
Pengertian inilah yang dimaksud di dalam Lisan al-Arab dengan “kasyf almugaṭṭa”
(membuka sesuatu yang tertutup), dan tafsir ialah membuka dan menjelaskan maksud yang
sukar dari suatu lafal. Pengertian ini yang dimaksudkan oleh para ulama tafsir dengan “al-īḍāḥ
wa al-tabyīn” (menjelaskan dan menerangkan). Dari sini dapat disimpulkan bahwa tafsir
adalah menjelaskan dan menerangkan tentang keadaan al-Qur‟an dari berbagai kandungan
yang dimilikinya kepada apa yang dikehendaki oleh Allah sesuai kemampuan penafsir.
2. Metode Tafsir
Kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan. Dalam
bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bahasa Arab menerjemahkannya dengan manhaj
dan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: cara yang teratur dan terpikir
baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya) cara kerja yang
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang
ditentukan. Definisi ini menggambarkan bahwa metode tafsir al-Qur‟an tersebut berisi
seperangkat tatanan dan aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan alQur‟an. Adapun
metodologi tafsir adalah analisis ilmiah tentang metode-metode menafsirkan al-Qur‟an.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa metode tafsir adalah cara yang
ditempuh penafsir dalam menafsirkan al-Qur‟an berdasarkan aturan dan tatanan yang
konsisten dari awal hingga akhir. Studi tentang metodologi tafsir masih terbilang baru dalam
khazanah intelektual umat Islam. Ilmu metode dijadikan objek kajian tersendiri jauh setelah
tafsir berkembang pesat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika metodologi tafsir
tertinggal jauh dari kajian tafsir itu sendiri.
Dalam perkembangan metodologi selanjutnya, Ulama‟-ulama‟ mengklasifikasikan
metode-metode penafsiran al-Qur‟an menjadi empat:
a.Metode Taḥlīliīy
Metode tafsir Taḥlīliīy juga disebut metode analisis yaitu metode penafsiran yang
berusaha menerangkan arti ayat-ayat al-Quran dengan berbagai seginya, berdasarkan urutan
ayat dan surat dalam al-Qur‟an muṣḥaf Utsmani dengan menonjolkan pengertian dan
kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat dengan ayatnya, sebab-sebab nuzulnya, hadits-
hadits Nabi Saw., yang ada kaitannya denga ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta pendapat
para sahabat dan ulama-ulama lainnya. Dalam melakukan penafsiran, mufassir (penafsir)
memberikan perhatian sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat yang
ditafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat.
Sehingga terlihat seperti pembahasan yang parsial, dari tiap-tiap ayat yang ditafsirkan oleh
para mufassir.
Langkah-Langkah Metode Taḥlīliīy Dalam menafsirkan al-Qur‟an, mufassir biasanya
melakukan sebagai berikut: 1) Menerangkan hubungan (munāsabah) baik antara satu ayat
dengan ayat lain maupun antara satu surah dengan surah lain. 2) Menjelaskan sebab-sebab
turunya ayat (asbāb al- nuzūl). 3) Menganalisis mufradat (kosa kata) dan lafal dari sudut
pandang bahasa Arab. Untuk menguatkan pendapatnya, terutama dalam menjelaskan
mengenai bahasa ayat bersangkutan, mufassir kadang kadang juga mengutip syair-syair yang
berkembang sebelum dan pada masanya. 4) Memaparkan kandungan ayat secara umum dan
maksudnya. 5) Menerangkan unsur-unsur fashāḥah, bayān dan i‟jāznya, bila dianggap perlu.
Khususnya, apabila ayat-ayat yang ditafsirkan itu mengandung keindahan balāgah. 6)
Menjelaskan hukum yang bisa ditarik dari ayat yang dibahas, khususnya apabila ayat-ayat
aḥkām, yaitu berhubungan dengan persoalan hukum. 7) Menerangkan makna dan maksud
syara‟ yang terkandung dalam ayat bersangkutan. Sebagai sandarannya, mufassir mengambil
manfaat dari ayatayat lainnya, hadits Nabi SAW, pendapat para sahabat dan tabi‟in, di
samping ijtihad mufassir sendiri. Apabila tafsir ini bercorak altafsīr al-„ilmi (penafsiran
dengan ilmu pengetahuan), atau al-tafsīr aladābi al-ijtimā‟i mufassir biasanya mengutip
pendapat para ilmuwan sebelumnya, teori-teori ilmiah modern, dan lain sebagainya. Metode
Taḥlīliīy kebanyakan dipergunakan para ulama masa-masa klasik dan pertengahan. Di antara
mereka, sebagian mengikuti pola pembahasan secara panjang lebar (ithnab), sebagian
mengikuti pola singkat (ijaz) dan sebagian mengikuti pula secukupnya (musawah). Mereka
sama- sama menafsirkan al-Qur‟an dengan metode Taḥlīliīy , namun dengan corak yang
berbeda-beda.
Contoh-contoh Kitab Tafsir Di antara contoh-contoh kitab tafsir yang menggunakan
metode Taḥlīliīy ialah: 1) Al-Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur‟an karangan Syaikh Imam al-Qurṭūbi 2)
Jāmi‟ al-Bayān „an Takwīl Ayyi al-Qur‟an, karangan Ibn Jarīr alThabariy. 3) Tafsīr al-
Qur‟an al-„Aẓīm, karangan al-Hāfidz Imad al-Din Abi alFida‟ Ismāil bin Katsȋr al-Quraisyi
al-Danasyqi. 4) Al-Mīzān fi Tafsīr al-Qur‟an, karangan al-„Allamah al-Sayyid Muhammad
Husyan al- Thabaṭaba‟i.
b. Metode Ijmālī Metode Ijmālī
Menafsirkan al-Qur‟an dengan cara menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an dengan singkat
dan global, yaitu penjelasannya tanpa menggunakan uraian atau penjelasan yang panjang
lebar, dan kadang menjelaskan kosa katanya saja.
Menurut Asy-Syibarsyi, sebagaimana yang telah dikutip oleh Badri Khaeruman,
mendefinisikan bahwa metode tafsir ijmali adalah sebagai cara menafsirkan al-Qur‟an
dengan mengetengahkan beberapa persoalan, maksud dan tujuan yang menjadi kandungan
ayat-ayat al-Qur‟an.
Dengan metode ini mufassir tetap menempuh jalan sebagaimana metode Taḥlīliīy,
yaitu terikat kepada susunan-susunan yang ada di dalam muṣḥaf Ustmani. Hanya saja dalam
metode ini mufassir mengambil beberapa maksud dan tujuan dari ayat-ayat yang ada secara
global Dengan metode ini mufassir menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur‟an secara garis
besar. Sistematika mengikuti urutan surah-surah al-Qur‟an dalam muṣḥaf Ustmani, sehingga
makna-makna dapat saling berhubungan. Dalam menyajikan makna-makna ini mufassir
menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari al-Qur‟an sendiri dengan
menambahkan kata-kata atau kalimat-kalimat penghubung, sehingga memberi kemudahan
kepada para pembaca untuk memahaminya.
Dengan kata lain makna yang diungkapkan itu biasanya diletakkan di dalam rangkaian
ayat-ayat atau menurut pola-pola yang diakui jumhur ulama‟, dan mudah dipahami orang.
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan metode ini, mufassir juga meneliti,
mengkaji, dan menyajikan asbāb al-nuzūl atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya
ayat, dengan cara meneliti hadits-hadits yang berhubungan dengannya.
Contoh-contoh Kitab Tafsir Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan Metode
Ijmālīadalah : 1) Tafsīr al-Jalālain karya Jalal al-Din al-Suyuṭi dan Jalal al-Din alMahally 2)
al-Tafsīr al-Mukhtaṣar karya Commite Ulama (Produk Majlis Tinggi Urusan Ummat Islam)
3) ṣafwah al-Bayān li Ma‟aniy al-Qur‟an karya Husnain Muhammad Makhmut 4) Tafsīr al-
Qur‟an karya Ibn Abbas yang dihimpun oleh al-Fairuz Abady.
c. Metode Muqāran
Metode ini adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an yang yang
mebahas suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antar ayat
dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat para ulama‟
tafsir dengan menonojolkan segi perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan.
Macam-macam Metode Muqāran Dari pemaparan di atas, metode muqāran ini
menjadi tiga bagian yaitu: a. Perbandingan ayat al-Qur‟an dengan ayat lain. Yaitu ayat-ayat
yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda,
atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama.
Pertentangan makna di antara ayat-ayat al-Qur‟an dibahas dalam ilm al-nasikh wa al-
mansukh.
Dalam mengadakan perbandingan ayat dengan ayat yang berbeda redaksi di atas
ditempuh beberapa langkah: (1) menginventarisasi ayat-ayat al-Qur‟an yang memiliki
redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang sama dalam kasus berbeda; (2)
mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan redaksi; (3) meneliti
setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya dengan kasuskasus yang dibicarakan
ayat bersangkutan; dan (4) melakukan perbandingan.
Perbedaan-perbedaan redaksi yang menyebabkan adanya nuansa perbedaan makna
seringkali disebabkan perbedaan konteks pembicaraan ayat dan konteks turunnya ayat
bersangkutan. Karena itu, „ilm al- munasabah dan „ilm asbāb al-nuzūl sangat membantu
melakukan al-tafsir al- muqāran dalam hal perbedaan ayat tertentu dengan ayat lain. Namun,
esensi nilainya pada dasarnya tidak berbeda.
Contoh-contoh Kitab Tafsir a. Durrat al-Tanzīl wa Qurrat al-Takwīl (Mutiara al-
Qur‟an dan Kesejukan al-Takwīl), karya al-Khātib al-Iskāfi. b. Al-Burhān fī Tajwih
Mutasyabih al-Qur‟an (Bukti Kebenaran dalam Pengarahan Ayat-ayat Mutasyabih al-
Qur‟an), karangan Tāj al-Qara‟ al-Kirmāni.
d. Metode Mauḍū’i
Metode mauḍū‟i ialah metode yang membahas ayat-ayat al- Qur‟an sesuai dengan
tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji
secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbāb al-
nuzūl, kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung
oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik
argumen yang berasal dari al-Qur‟an, hadis, maupun pemikiran rasional.Jadi, dalam metode
ini, tafsir al-Qur‟an tidak dilakukan ayat demi ayat, melainkan mengkaji al-Qur‟an dengan
mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis
yang dibahas oleh alQur‟an.
Prinsip utama dari metode tematik adalah mengangkat isu-isu doktrinal kehidupan,
isu sosial ataupun tentang kosmos untuk dikaji dengan teori alQur‟an, sebagai upaya
menemukan jawaban dari al-Qur‟an terkait tema tersebut.
Dari pengertian di atas, akan timbul dua pemahaman terkait metode mauḍū‟i.
Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur‟an dengan menjelaskan tujuan-
tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam dalam surat tersebut antara satu
dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai
masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang
bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur‟an yang dibahas satu masalah tertentu dari
berbagai ayat atau surat al-Qur‟an dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan
turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik
petunjuk al-Qur‟an secara utuh tentang masalah yang dibahas.
Langkah-langkah Mauḍū‟i Surat Dalam hal langkah-langkah yang ditempuh untuk
menentukan metode mauḍū‟i surat, Muṣṭafā Muslim mengklasifikasikan menjadi empat
langkah yaitu: a) Pengenalan nama surat b) Deskripsi tujuan surat dalam al-Qur‟an c)
Pembagian surat ke dalam beberapa bagian d) Penyatuan tema-tema ke dalam tema utama.
Contoh kitab tafsir dengan metode ini adalah: a) karya Syaikh Mahmud Syaltut
(Tafsīr al-Qur‟an al-Karīm) b) karya Muhammad al-Ghazali (Naḥwa Tafsīr al-Mauḍū‟i li
suwar alQur‟an al-karīm).
b. Menafsirkan Al-Qur’an Dengan Qira’at Mutawatirah
Qira’at Mutawatirah Artinya Qira`at yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari
kelompok lain yang tidak mungkin mereka sepakat untuk berbuat dusta. Contohnya adalah
Qira`at yang sanadnya telah disepakati dari tujuh ulama ahli Qira`at, dan Qira`at mereka adalah
Qira`at yang telah dikenal umum. Namun demikian kemutawatiran Qira`at tujuh ini menurut
beliau tidaklah mutlak, artinya apabila dari tujuh ini, kemudian ditemukan adanya hal-hal yang
menyalahi salah satu qaidah-qaidah atau tiga syarat yang telah diungkapkan di atas, maka
tidaklah dapat digolongkan pada Qira`at mutawatirah, hal ini sesuai dengan keterangan beliau
pada kitab "Thayyibat al-Nasyr" sebagaimana telah diungkapkan pada syair di atas.
Mutawatir adalah sesuatu yang penukilannya oleh orang banyak yang tidak memungkinkan
adanya kebohongan dari awal sampai akhir sanadnya. Pengertian mutawatir sudah sepakat para
ulama yaitu yang penukilannya dilakukan oleh orang banyak yang tidak kebohongannya.
Namun, pada bagian sahih Ibnu Jazari membagi menjadi dua bagian, pertama: qira’at yang sahih
sanadnya secara adil, pasti, kuat yang mana sampai pada batas akhir penukilan dan sesuai dengan
bahasaarab dan rasm usmani. Pembagian ini sama dengan mutawatir, namun dibagi lagi
menjadai dua bagian, yaitu: Pertama bahwa penukilan dan talaqinya diterima oleh para imam,
sebagaimana pada istilah bacaan mad (panjang) yang terdapat pada kitab-kitab yang dijadikan
rujukan utama oleh para imam, atau periwayatannya sendirian. Kedua, ada beberapa qiraat yang
tidak dapat diterima oleh para ulama dan belum begitu manggaung diantara mereka dan banyak
diantara mereka membolehkan dipakai dalam solat. Bagian kedua ini sebagaimana diungkap oleh
Abu ‘Amr Ibnu Salah: bahwasanya qiraat yang selain Imam Asyrah tidak boleh dibaca, dan
pelarangan ini adalah pelarangan haram bukan makruh.

c. Menafsirkan Al-Qur’an Dengan Qira’at Syadzdzah

Tidak banyak yang mempelajari adanya variasi bacaan atau qira’at ketika melafalkan
ayat-ayat Al-Qur’an. Yang paling populer dikenal istilah qiraat sab’ah (qira’at tujuh) atau bacaan
yang diriwayatkan oleh tujuh ulama qira’at terkemuka. Namun sebenarnya ada beberapa versi
qira’at. Ada qira’at asyrah (qira’at sepuluh) dan qira’at arba’a Asyrah (qira’at empat belas).
Bahkan buku ini mengkaji versi bacaan yang disebut qira’at syadzdzah atau bacaan yang asing
atau bacaan yang tidak umum. Dalam bukunya “Implikasi Qira’at Syadzdzah terhadap Istinbat
Hukum: Analisis terhadap Penafsiran Abu Hayyan dalam Tafsir al-Bahr al-Muhith” seorang ahli
qiraat dari Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta Romlah Widayati membuktikan bahwa qira’at
syadzdzah yang dinilai asing itu tidak saja dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman) dalam
menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, tetapi juga dapat dijadikan hujjah untuk istinbat hukum
atau menggali hukum Islam. Qira’at syadzdzah adalah qira’at yang tidak memenuhi semua
kriteria keabsahan yang ditetapkan oleh ulama. Qira’at ini mungkin sesuai dengan rasm mushaf
Utsmani atau ejaan yang dipakai oleh kebanyakan umat islam dan memenuhi tata bahasa Arab
tetapi tidak mempunyai sanad (riwayat) yang shahih, atau mempunyai sanad yang shahih dan
sesuai tata bahasa Arab tapi tidak sesuai rasm mushaf Utsmani.
Qira’at syadzdzah juga bisa berarti qiraat yang mempunyai sanad yang shahih dan sesuai
tata bahasa Arab, namun tidak diriwayatkan secara mutawatir (oleh banyak ulama) tapi hanya
oleh ulama tertentu saja. Misalnya pada surat al-Maidah [5] ayat 89, Ubai bin Ka’ab, Abdullah
ibn Mas’ud dan Ibnu Abbas membaca ‫صيَا ُم ثَاَل ثَ‹ ِة أَي ٍَّام‬
ِ َ‫ فَ َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد ف‬dengan meriwayatkan tambahan
ٍ ‫ ُمتَتَابِ َعا‬Riwayat yang tidak mutawatir seperti ini juga termasuk dalam kategori syadzdzah
kata ‫ت‬
karena hanya diriwayatkan oleh tiga ulama, dan jika digunakan sebagai hujjah pasti akan berbeda
makna dan konsekwesnsi hukumnya dengan riwayat lain. Buku Romlah Widayati merupakan
adaptasi dari disertasinya di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta (2009). Kementerian Agama
RI memilih disertasi ini sebagai salah satu karya unggulan dan patut diterbitkan. Disertasi ini
merupakan antitesis dari pendapat mayoritas yang menolak qira’at syadzdzah dijadikan hujjah
dalam istinbat hukum. Penulisnya mengemukakan bahwa qira’at syadzdzah bisa dijadikan
sebagai hujjah sepanjang tidak menyimpang dari kaidah bahasa Arab, memiliki riwayat yang
shahih dari Nabi, meskipun tidak diriwayatkan secara mutawattir. Sumber utama dari disertasi
ini adalah kitab al-Bahr al-Muhit yang disusun oleh Abu Hayyan (654H/1256 – 754H/1344).
Kitab ini banyak melansir qira’at syadzdzah dan melakukan pembelaan kepada model bacaan
seperti itu untuk dijadikan hujjah dalam menafsiri Al-Qur’an. Bahkan disebutkan oleh Romlah
dalam disertasinya, dalam 168 ayat yang berbicara masalah hukum (ayat ahkam), Abu Hayyan
menggunakan qira’at syadzdzah sebagai hujjah. Buku ini memberikan banyak contoh mengenai
perbedaan qiraat baik yang mutawattir atau yang syadzdzah. Misalnya dalam ayat keempat surat
al-Fatihah ‫ ملك يوم الدين‬ Kata ‫ ملك‬ bisa dibaca ‫ك‬
ِ ِ‫ َمل‬ atau ‫ك‬ َ َ‫ َمال‬sesuai versi riwayatnya. Dan
ِ ِ‫ َمال‬atau ‫ك‬
perbedaan bacaan akan menyebabkan perbedaan makna. Penulis buku Implikasi Qira’at
Syadzdzah terhadap Istinbat Hukum menegaskan bahwa perbedaan qira’at  hakikatnya
memberikan keleluasaan dan wawasan yang memperkaya dan menambah alternatif hukum
Islam.  
Qira`at syadzdzah yang mashyur Yaitu Qira`at yang sesuai dengan bahasa Arab, rasam
serta sanadnya shahih, namun tidak sampai pada derajat mutawatir. Seperti bacaan yang
diriwayatkan oleh Imam Hakim dari Ibnu Abas, bahwa Rasul SAW pernah membaca firman
Allah Surah al-Taubah ayat 128. Yaitu Qira`at yang tidak shahih sanadnya seperti bacaan surat
al-Fatihah ayat 4 dan 5 : ‫ يي الد يىم هله‬dengan bentuk fiil madhi serta menasabkan kata ‫ يىم‬dan
membaca ‫ يعبد ايان‬dengan bina majhul.
Qira’at Syadzdzah Qira’at adalah jamak dari qira’ah, artinya bacaan. Ia adalah mashdar
dari qara’ah. Dalam istilah keilmuan, qira’at adalah salah satu madzhab pembacaan Al-Qur’an
yang dipakai oleh seorang imam qurra’. Sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab
lainnya. Qira’at merupakan masdar dari kata qara’a BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang
Qira’at merupakan salah satu cabang ilmu dalam „Ulumul Qur‟an, namun tidak banyak orang
yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu saja, biasanya kalangan akademik. Banyak
faktor yang menyebabkan hal itu, diantaranya adalah ilmu ini tidak berhubungan langsung
dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari, tidak seperti ilmu fiqih, hadis, dan tafsir
misalnya, yang dapat dikatakan berhubungan langsung dengan kehidupan manusia. Hal ini
dikarenakan ilmu Qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan secara langsung
dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia. Selain itu, ilmu
Qira’at juga cukup rumit untuk dipelajari. Banyak hal yang harus diketahui oleh peminat ilmu
Qira’at ini, yang terpenting adalah pengenalan al-Qur‟an secara mendalam dalam banyak
seginya. 1 Qira’at atau macam-macam bacaan al-Qur‟an telah mantap pada masa Rasulullah
saw., dan beliau mengajarkan kepada sahabat sebagaimana beliau menerima bacaan itu dari Jibril
AS. Sehingga muncul beberapa sahabat yang ahli bacaan al-Qur‟an seperti: Ubay bin Kaab, Ali
bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu 1 (online) (http://www.slideshare.net/MythaChan/qiraat-
sabah, di akses 21 oktober 2015 1 2 Mas’ud, dan Abu Musa al-Asy’ari, mereka itulah yang
menjadi sumber bacaan alQur‟an bagi sebagian besar sahabat dan tabi‟in. 2 Pada masa tabi‟in
seratus tahun pertama hijriyah segolongan masyarakat mengkhususkan diri dalam penentuan
bacaan al-Qur‟an karena memang memerlukannya, mereka menjadikan Qira’at sebagai ilmu
pengetahuan, dan akhirnya mereka menjadi imam Qira’at yang dianut orang dan menjadi
rujukan, namun dalam perkembangannya Qira’at mengalami masalah yang serius, sebagai akibat
dari adanya hadits yang menerangkan bahwa al-Qur‟an diturunkan dengan beberapa wajah,
banyak bermunculan versi bacaan yang semuanya mengaku bersumber dari Rasulullah saw. Para
ulama dan ahli al-Qur‟an cepat tanggap dalam menangani masalah ini, maka pada akhir abad ke-
2 hijriyah, mereka melakukan kegiatan meneliti, menyeleksi, dan menguji kebenaran Qira’at
yang di katakan sebagai bacaan alQur‟an, Qira’at-qira’at tersebut harus memenuhi kriteria
sebagai berikut3 : 1) harus mempunyai sanad yang mutawatir, yakni bacaan tersebut diterima
dari guru-guru yang terpercaya, tidak cacat dan bersambung sampai Rasulullah. 2) harus cocok
dengan rasm utsmani. 3) harus cocok dengan kaidah tata bahasa Arab. Rasulullah saw.,
menyampaikan ayat-ayat yang diterimanya itu kepada para sahabatnya juga melalui ucapan atau
secara lisan. Penyampaian selanjutnya dari sahabat kepada tabi‟in dan untuk seterusnya berlanjut
dari satu generasi ke generasi berikutnya, al-Qur‟an selalu disampaikan dengan lisan.yang
berarti membaca. Maka qira’ah secara harfiah berarti bacaan dan ilmu qira’at berarti ilmu
tentang bacaan. Menurut istilah, seperti dua pendapat di bawah ini:
1. Menurut Az-Zarqani, ialah suatu madzhab yang dianut seorang imam qira’at yang berbeda
dengan yang lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-
jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun dalam pengucapan bentuk-
bentuknya. 2. Menurut Imam Az-Zarkasyi, qira’at yaitu perbedaan lafal-lafal Al-Qur’an, baik
menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif,
tasydid dan lain-lain. Sedangkan kata ‫ شا ذ‬menurut kamus bahasa Arab artinya yang terasing.
Kata ‫ شا ذ‬ataupun ‫ شذ و ذ‬adalah kata mashdar berasal dari fi'il madii ‫ يش‹ذ – ش‹ذ و ذ و ش‹ا ذ ا‬-‫شذ شذ‬
Dalam pemakaian bahasa Arab, kata syadzdzah artinya memisahkan diri, menyendiri atau jarang
sekali. Seseorang dikatakan telah melakukan syadz, apabila ia menyendiri atau memisahkan diri
dari kawan-kawannya. Jadi setiap sesuatu yang menyendiri disebut syadzdzah. Qira’at syadzdzah
menurut istilah adalah setiap qira’at yang tidak memiliki rukun yang tiga yaitu mutawatir, sesuai
dengan rasm mushaf Utsmani dan sesuai dengan kaidah tata bahasa Arab atau kurang salah satu
dari padanya. Selain dari itu qira’at syadzdzah yaitu qira’at yang menyimpang karena sanadnya
tidak shahih. Dari definisi yang telah dipaparkan di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa
qira’at syadzdzah ialah suatu bacaan yang berbeda dengan bacaan yang lain, dikarenakan tidak
memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan. Misalnya bacaan tersebut tidak sesuai
dengan mushaf Utsmani, tidak mutawatir, dan lain-lain. Orang yang pertama sekali menyelidiki
macam-macam qira’at, menuliskan hasil penyelidikannya itu dan menyelidiki qira’at yang syadz
serta membahas sanadnya adalah Harun bin Musa Abu Abdullah Al-A’war Al-Atki Al-Bashri
Al-Azadi. Dan beliau yang bernama Shaduuq mempunyai qira’at yang dikenal dinisbahkan
kepadanya, diriwayatkan dari ‘Ashim Al-Jahdari, Abdullah bin Katsir dan Abu ‘Amr bin
Al-‘Allaa’ dan lain-lain. Harun bin Musa wafat pada tahun 198 H. Imam As-Suyuthy Pengarang
kitab Al-Itqon menyebutkan macam-macam qira’at itu ada yang muttawatir, mashyur, syadz,
ahad, maudhu’ dan mudarraj. Qadhi’ Jalaluddin Al-Bulqiiny mengatakan: Qira’at itu terbagi ke
dalam: muttawatir, ahad dan syadz. Yang mutatawatir adalah qira’at tujuh yang mashyur. Yang
ahad adalah qira’at yang tsalasa (tiga yang menjadi pelengkap qira’ah sepuluh (qira’ah ‘asyrah),
yang kesemuanya dipersamakan dengan qira’at para sahabat. Adapun qira’at yang syadz ialah
qira’ah para tabi’in seperti qira’ah A’masy, Yahya ibnu Watsab, Ibnu Jubair dan lain-lain. Imam
As-Suyuthy mengatakan bahwa kata-kata di atas perlu ditinjau kembali. Yang pantas untuk
berbicara dalam bidang qira’at adalah qurra’ pada masanya yang bernama Syaikh Abu Al-Khair
ibnu Al-Jazary dimana beliau mengatakan dalam muqaddimah kitabnya An-Nasyr: “semua
qira’at yang sesuai dengan bacaan Arab walau hanya satu segi saja sesuai dengan salah satu
mushaf Utsmani walaupun hanya sekedar mendekati serta sanadnya benar maka qira’at tersebut
adalah shahih (benar), yang tidak ditolak dan haram menentangnya, bahkan itu termasuk dalam
bagian “huruf yang tujuh” dimana Al-Qur’an diturunkan. Wajib bagi semua orang untuk
menerimanya baik timbul dari imam yang tujuh maupun dari yang sepuluh atau lainnya yang
bisa diterima. Apabila salah satu persyaratan yang tiga tersebut di atas tidak terpenuhi maka
qira’at itu dikatakan qira’at syadz atau bathil, baik datangnya dari imam yang tujuh maupun dari
tokoh yang lebih ternama lagi. Inilah pendapat yang benar menurut para muhaqqiq baik dari
kalangan salaf maupun khalaf. Abu ‘Amr bin Abdil Bar meriwayatkan bahwa kaum muslimin
telah ijma’ bahwa tidak boleh membaca Al-Qur’an dengan qira’at syadzdzah dan tidak sah shalat
mengikuti seorang imam yang menggunakan qira’at syadzdzah dalam shalatnya. Adapun hukum
qiraah syadzdzah: 1. Haram dipakai dan tidak sah shalat yang menggunakan qira’at ini, karena ia
bukan termasuk bagian dari bacaan Al-Qur’an. Seperti qira’at Ibnu As-Sufa’ ifi: Falyawma
nunajjika bibadanuka litakunaliman kholafaka ayah. Dengan menfathakan huruf lam pada kata
kholafaka. Qira’at ini tidak dijadikan pegangan dalam bacaan dan bukan termasuk Al-Qur’an. 2.
Sebagian besar fuqaha, termasuk Imam Syafi’i, berpendapat tidak boleh berhujjah dengan qira’at
syadzdzah, karena ia tidak termasuk model bacaan Al-Qur’an. Tapi menurut mahzab Hanafi
dibolehkan berhujjah dengan qira’at ini dalam masalah hukum, karena qira’at syadzdzah
termasuk bagian dari tafsir. 3. Berhujjah dalam masalah bahasa dibolehkan dengan
menggunakan qira’at ini. Nawawi, Di dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab menjelaskan bahwa
qira’at syadzdzah (aneh) tidak boleh dibaca di dalam dan di luar shalat, karena qira’at itu bukan
Al-Qur’an, Al-Qur’an hanya ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedangkan qira’at yang
menyimpang tidak sesuai dengan isnad yang mutawatir. Bila ada yang menyalahi ketentuan dan
membaca qira’at yang menyimpang di dalam shalat atau lainnya, maka qira’at itu tidak dapat
dibenarkan. Para ulama Fiqh di Baghdad menuntut supaya si pembaca qira’at yang menyimpang
supaya bertobat Orang yang membaca Al-Qur’an dengan qira’at yang menyimpang tidak boleh
mengimami shalat. B. Macam-Macam Qira’at Syadzdah Bila melihat dari pengertian qira’at
syadzdah di atas, maka qira’at-qira’at yang tidak memenuhi syarat sahnya suatu qira’at dapat
dibagi menjadi empat bagian: 1. Qira’at Ahad, yaitu qira’at yang sanadnya shahih namun
menyalahi rasm Utsmani dan tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Contoh, qira’at Ibnu
Muhaisin salah satu imam qira’at dari empat imam qira’at lainnya, qira’at yang dimaksud adalah
surah Ar-Rahman ayat 76:     
  Qira’at macam ini tidak boleh dinyatakan dan wajib di I’tiqadkan sebagai Al-
Qur’an. 2. Qira’at Syadz, adalah bacaan atau qira’at yang sanadnya tidak shahih, Qira’at ini juga
tidak boleh dinyatakan dan tidak wajib di’ Itoqadkan sebagai Al-Qur’an. 3. Qira’at maudhu’
adalah bacaan yang tidak ada sumbernya sama sekali atau qira’at palsu. Dalam uraian ini kata
palsu dikaitkan dengan kata qira’at karena ada yang mengatakan qira’at. 4. Qira’at mudrajah
adalah bacaan atau qira’at yang dalam bacaan itu diselipkan tafsiran dari ayat yang bersangkutan
seperti qira’at Sa’ad bin Abi Waqash dengan menambah kata ‫ ِم ْن ُم ْسلِ ْم‬pada ayat 12 surat An-
Nisa’. C. Sebab-Sebab Kesyadzdzahan Suatu Qira’at Setiap ada akibat tentunya ada sebab yang
mempengaruhinya. Begitulah dengan qira’at syadz ini. Suatu qira’at dapat digolongkan qira’at
yang syadz, apabila tidak memenuhi beberapa kriteria. Seperti berikut ini: 1. Kesesuaian qira’at
tersebut sesuai dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dalam satu segi, baik segi fasih sebab
qira’at adalah sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan
berdasarkan pada isnad, bukan pada ra’yu (penalaran). 2. Qira’at sesuai dengan salah satu
mushaf Utsmani, meskipun hanya sekedar mendekati saja. Sebab dalam penulisan mushaf-
mushaf itu para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm (cara penulisan
mushaf) sesuai dengan macam-macam dialek qira’at yang mereka ketahui. Misalnya, mereka
menuliskan ‫ ا لصر ا ط‬dalam ayat ‫ ا هد نا ا لصر ا ط ا لمستقين‬dengan sad sebagai pengganti dari sin.
Mereka tidak menuliskan sin yang merupakan asal ini agar lafadz teersebut dapat pula dibaca
dengan sin yakni ‫ ا لسر اط‬. Meskipun demikian dalam satu segi berbeda dengan rasm, namun
qira’at yang sin pun tersebut yang dikenal, sehingga kedua bacaan itu dianggap sebanding. Dan
bacaan isymam untuk itu pun dikemungkinkan pula. Yang dengan sesuai yang hanya sekedar
mendekati saja (muwafaqah ihtimaliyah), adalah, seperti contoh di atas. 3. Qira’at itu harus
shahih sanadnya, sebab qira’at merupakan sunnah yang diikuti yang didasarkan pada
keselamatan penukilan dan keshahihan riwayat. Sering kali ahli bahasa Arab mengingkari
sesuatu qira’at hanya karena qira’at itu tidak sejalan dengan aturan atau lemah menurut kaidah
bahasa, namun demikian para imam qira’at tidak menanggung beban apapun atas keingkaran
mereka itu. Ibnul Jazari ketika memberikan komentar terhadap syarat pertama kaidah qira’at
yang shahih ini menegaskan, “Kata-kata dalam kaidah di atas meskipun hanya dalam satu segi,
yang kami maksudkan adalah satu segi dari ilmu nahwu, baik segi itu fasih maupun lebih fasih,
disepakati maupun diperselisihkan. Sedikit berlawanan dengan kaidah nahwu tidak mengurangi
keshahihan suatu qira’at jika qira’at tersebut telah popular dan telah diterima oleh para imam
berdasarkan isnad yang shahih, sebab syarat terakhir inilah yang menjadi syarat terpenting dan
utama. Berapa banyak qira’at yang diingkari oleh ahli nahwu, tetapi mereka tidak banyak
mendapatkan respon, seperti mensukunkan (‫ ) با ر كم‬dan (‫ ) يا مر كم‬mengkhafadhkan (‫) ا ال ر حا م‬,
menashabkan ( ‫) ليجز ي قو ما‬, dan memisahkan antara mudhaf dengan mudhaf ilaih, seperti dalam
ayat, (‫ )قتل ا و ال د هم شر كا ءهم‬dan sebagainya. Abu Amru Ad-Dani berkata, “Para imam qira’at
tidak mengubah sedikit pun huruf-huruf Al-Qur’an menurut aturan yang paling popular dalam
dunia kebahasaan yang paling sesuai dengan kaidah bahasa Arab, tetapi menurut yang paling
tegas dan shahih dalam riwayat dan penukilan. Karena itu bila riwayat itu jelas dan pasti, maka
aturan kebahasaan dan popularitas bahasa tidak bisa menolak dan mengingkarinya. Sebab qira’at
adalah sunnah yang harus diikuti dan wajib diterima seutuhnya serta dijadikan sumber acuan.
“Menurut Zaid bin Tsabit, “Qira’at adalah sunnah yang harus diikuti”. Menurut Al-Baihaqi,
maksud perkataan tersebut ialah mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal qira’at Al-
Qur’an, sebab itu merupakan sunnah atau tradisi yang harus diikuti, tidak boleh menyalahi
mushaf yang merupakan imam, tidak pula menayalahi qira’at yang mashyur meskipun tidak
berlaku dalam bahasa Arab. Ibnu Al-Jazari Pengarang kitab Ath-Thayyibah dalam memberikan
batas diterimanya qira’ah mengatakan: Setiap bacaan yang sesuai dengan nahwu Mirip dengan
tulisan mushaf Utsmani Benar sanadnya itulah bacaan Ketiga sendi ini Bila rusak salah satunya
Menyatakan itu cacat Meski dari qira’at sab’ah datangnya. Jika diperhatikan ketiga rukun qira’at
shahih tersebut, maka dapat diketahui bahwa qira’at syadzdzah baru mulai muncul pada masa
pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, seperti yang telah dipaparkan pada bab pendahuluan.
Ketika Al-Qur’an telah dikondifikasi dan adanya perintah untuk membakar semua tulisan Al-
Qur’an yang dibentuk Utsman bin Affan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1) tafsir ialah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafal. Pengertian
ini yang dimaksudkan oleh para ulama tafsir dengan “al-īḍāḥ wa al-tabyīn”
(menjelaskan dan menerangkan).
2) Qira’at syadzdzah juga bisa berarti qiraat yang mempunyai sanad yang shahih dan
sesuai tata bahasa Arab, namun tidak diriwayatkan secara mutawatir (oleh banyak
ulama) tapi hanya oleh ulama tertentu saja
3) Qira’at Mutawatirah Artinya Qira`at yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari
kelompok lain yang tidak mungkin mereka sepakat untuk berbuat dusta. Contohnya
adalah Qira`at yang sanadnya telah disepakati dari tujuh ulama ahli Qira`at, dan
Qira`at mereka adalah Qira`at yang telah dikenal umum.
DAFTAR PUSTAKA

As‟ad Human, Budiyanto,Pedoman Pengelolaan Pembinaan dan Pengembangan TPA-TPQ Nasional,


(Yogyakarta: Lptq Nasional, 1995), h. 19
Husain Usmani, Metodologi Penelitian Social, (Bumi Aksara, 1995), h. 18
Lexi J. Moleang, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Rosda Karya, 2000), h. 38
Maman Rahman, Strategi dan Langkah-Langkah Penelitian, op.cit, h. 96 7
Maman Rahman,Strategi dan Langkah-langkah Penelitian, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1992), h. 77
Max Darsono, Belajar dan Pembelajaran, (Semarang: IKIP Semarang Press,2000), h. 63
Muhammmad Zuhaili, Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini, (Jakarta: A.H. Ba‟adillah Press, 2002),
h. 89.
Prof. Dr. Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Cet. Ke 7;(Bandung: CV.
Alfabeta, 2007), h. 145
Romdloni, implementasi metode pembelajaran qira’th sab’ah di pondok pesantren tahfizhul qur’an (pptq)
raudhatus shalihin wetan pasar besar malang, (Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang, 2010)
Shifa Noviga, Efektifitas Metode Pengajaran Qira’at sab’ah di LBIQ Provinsi DKI Jakarta,
(Jakarta:Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2010).
Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setia,2002), h. 52
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif, Cet I, (Bandung: Alfabeta, 2005), h. 56
Sugiono, metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R dan D, op. cit , h. 273
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1998), h.
114.

Anda mungkin juga menyukai