Anda di halaman 1dari 11

Senin, 05 Juli 2009 pukul 01:10:00

Qiraat Sab'ah dan Seni Baca Alquran


Rubrik Laput
Sedikitnya, ada tujuh macam bacaan yang berkembang di dunia Islam dalam
membacakan ayat-ayat Alquran sesuai dengan dialek umat di suatu daerah.
Istilah qiraat yang biasa digunakan adalah cara pengucapan tiap kata dari ayat-ayat Alquran
melalui jalur penuturan tertentu. Jalur penuturan itu meskipun berbeda-beda karena mengikuti
aliran (mazhab) para imam qiraat, tetapi semuanya mengacu kepada bacaan yang disandarkan
oleh Rasulullah SAW.
Perbedaan qiraat ini berkisar pada lajnah (dialek), tafkhim (penyahduan bacaan), tarqiq
(pelembutan), imla (pengejaan), madd (panjang nada), qasr (pendek nada), tasydid (penebalan
nada), dan takhfif (penipisan nada). Contoh perbedaan qiraat yang paling sering kita jumpai
adalah imaalah . Pada beberapa lafal Alquran, sebagian orang Arab mengucapkan vocal 'e'
sebagai ganti dari 'a'. Misalnya, ucapan 'wadl-dluhee wallaili idza sajee. Maa wadda'aka rabuka
wa maa qolee'.
Kendati masing-masing imam punya beberapa lafal bacaan yang berbeda, dalam mushaf yang
kita pakai sehari-hari tidak terdapat tanda perbedaan bacaan itu. Perbedaan lafal bacaan ini hanya
bisa kita temui dalam kitab-kitab tafsir yang klasik. Biasanya, dalam kitab-kitab klasik tersebut,
akan ditemukan penjelasan tentang perbedaan para imam dalam membaca masing-masing lafal
itu.
Menurut berbagai literatur sejarah, perbedaan dalam melafalkan ayat-ayat Alquran ini mulai
terjadi pada masa Khalifah Usman bin Affan. Ketika itu, Usman mengirimkan mushaf ke pelosok
negeri yang dikuasai Islam dengan menyertakan orang yang sesuai qiraatnya dengan mushafmushaf tersebut. Qiraat ini berbeda satu dengan lainnya karena mereka mengambilnya dari
sahabat yang berbeda pula. Perbedaan ini berlanjut pada tingkat tabiin di setiap daerah
penyebaran. Demikian seterusnya sampai munculnya imam qurra' .
Begitu banyaknya jenis qiraat sehingga seorang imam, Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam, tergerak
untuk menjadi orang pertama yang mengumpulkan berbagai qiraat dan menyusunnya dalam satu
kitab. Menyusul kemudian ulama lainnya menyusun berbagai kitab qiraat dengan masing-masing
metode penulisan dan kategorisasinya.
Demi kemudahan mengenali qiraat yang banyak itu, pengelompokan dan pembagian jenisnya
adalah cara yang sering digunakan. Dari segi jumlah, ada tiga macam qiraat yang terkenal, yaitu
qiraat sab'ah, 'asyrah , dan syadzah . Sedangkan, Ibn al-Jazari membaginya dari segi kaidah

hadis dan kekuatan sanadnya. Namun demikian, kedua pembagian ini saling terkait satu dengan
lainnya.
Jenis qiraat yang muncul pertama kali adalah qiraat sab'ah . Qiraat ini telah akrab di dunia
akademis sejak abad ke-2 H. Namun, pada masa itu, qiraat sab'ah ini belum dikenal secara luas
di kalangan umat Islam. Yang membuat tidak atau belum memasyarakatnya qiraat tersebut
adalah karena kecenderungan ulama-ulama saat itu hanya memasyarakatkan satu jenis qiraat
dengan mengabaikan qiraat yang lain, baik yang tidak benar maupun dianggap benar.
Abu Bakar Ahmad atau yang dikenal dengan Ibnu Mujahid menyusun sebuah kitab yang diberi
nama Kitab Sab'ah . Oleh banyak pihak, kitab ini menuai kecaman sebab dianggap
mengakibatkan kerancuan pemahaman orang banyak terhadap pengertian 'tujuh kata' yang
dengannya Alquran diturunkan.
Kitab Sab'ah disusun Ibnu Mujahid dengan dengan cara mengumpulkan tujuh jenis qiraat yang
mempunyai sanad bersambung kepada sahabat Rasulullah SAW terkemuka. Mereka adalah
Abdullah bin Katsir al-Dariy dari Makkah, Nafi' bin Abd al-Rahman ibn Abu Nu'aim dari
Madinah, Abdullah al-Yashibiyn atau Abu Amir al-Dimasyqi dari Syam, Zabban ibn al-Ala bin
Ammar atau Abu Amr dari Bashrah, Ibnu Ishaq al-Hadrami atau Ya'qub dari Bashrah, Ibnu
Habib al-Zayyat atau Hamzah dari Kufah, dan Ibnu Abi al-Najud al-Asadly atau Ashim dari
Kufah.
Ketika itu, Ibnu Mujahid menghimpun qiraat-qiraat mereka. Ia menandakan nama Ya'qub untuk
digantikan posisinya dengan al-Kisai dari Kufah. Pergantian ini memberi kesan bahwa ia
menganggap cukup Abu Amr yang mewakili Bashrah. Sehingga, untuk Kufah, ia menetapkan
tiga nama, yaitu Hamzah, Ashim, dan al-Kisai. Meskipun di luar tujuh imam di atas masih
banyak nama lainnya, kemasyhuran tujuh imam tersebut semakin luas setelah Ibnu Mujahid
secara khusus membukukan qiraat-qiraat mereka.
Nazam
Kendati ilmu qiraat berhubungan dengan pelafalan ayat-ayat Alquran, ia tidak memiliki kaitan
dengan melagukan bacaan Alquran. Khusus untuk masalah melagukan Alquran, biasanya
dijelaskan dalam nazam, yaitu seni membaca Alquran. Keberadaan ilmu nazam diterangkan
secara jelas dalam firman Allah dalam surat Almuzzammil ayat 4, ''Bacalah Alquran itu secara
tartil.''
Di berbagai wilayah negeri Islam, berkembang aneka ragam seni membaca Alquran. Dalam
pelajaran nazam, dikenal berbagai jenis seni membaca Alquran, seperti Nahawan, Bayati, Hijaz,
Shaba, Ras, Jiharkah, Syika, dan lainnya. Semua jenis lagu atau irama itu tidak ada kaitannya
dengan ilmu qiraat sab'ah . Semata-mata hanya seni membaca secara tartil (indah) dan tak ada
kaitannya dengan bagaimana melafalkan ayat Alquran.
Umumnya, para pembaca Alquran dari Mesir yang membawa seni baca Alquran ke Indonesia.
Mereka mengajarkan berbagai macam lagu dan memberikan beragam variasinya serta membuat
harmoni yang khas. Seni seperti itulah yang sering kali diperlombakan dalam acara musabaqah
tilawatil quran (MTQ). Meski bukan satu-satunya jenis perlombaan, biasanya yang paling

mencuat memang masalah seni membaca.


Sedangkan, bacaan qiraat sab'ah justru merupakan cabang ilmu Alquran yang bersifat syar'i .
Bahkan, dalam banyak hal, perbedaan qiraat ini pun berpengaruh kepada perbedaan makna dan
kesimpulan hukum. Sedangkan, seni baca Alquran sama sekali di luar hal ini. Sebab, tujuannya
adalah menyuguhkan bacaan Alquran seindah mungkin.
Nazam merupakan salah satu bentuk ekspresi seni dalam Islam. Nazam ini telah tumbuh sejak
lama. Ibnu Manzur menyatakan bahwa ada dua teori tentang asal mula munculnya nazam
Alquran.
Pertama, nazam Alquran berasal dari nyanyian nenek moyang bangsa Arab.
Kedua, nazam terinspirasi dari nyanyian budak-budak kafir yang menjadi tawanan perang.
Kedua teori tersebut menegaskan bahwa lagu-lagu Alquran berasal dari khazanah tradisional
Arab. Dengan teori ini pula, ditegaskan bahwa lagu-lagu Alquran idealnya bernuansa irama
Arab.
Seni baca Alquran baru menampakkan geliatnya pada awal abad ke-20 M yang berpusat di
Makkah dan Madinah serta di Indonesia sebagai negeri berpenduduk mayoritas Muslim yang
sangat aktif mentransfer ilmu-ilmu agama (termasuk nazam) sejak awal abad ke-19 M. Hingga
hari ini, Makkah dan Mesir merupakan kiblat nazam dunia. Masing-masing kiblat nazam
memiliki karakteristik tersendiri. Dalam Makkawi, dikenal lagu Banjakah, Hijaz, Mayya, Rakby,
Jaharkah, Syikah, dan Dukkah. Sementara itu, pada Misri terdapat Bayyati, Hijaz, Shoba, Ras,
Jiharkah, Sikah, dan Nahawan.
Pada abad ke-20, kedua model lagu tersebut masuk ke Indonesia. Transmisi lagu-lagu tersebut
dilakukan oleh ulama-ulama yang mengkaji ilmu-ilmu agama di sana yang pulang ke tanah air
untuk mengembangkan ilmunya, termasuk seni baca Alquran. Lagu Makkawi sangat digandrungi
di awal perkembangannya di Indonesia karena liriknya yang sangat sederhana dan relatif datar.
Lagu Makkawi mewujud dalam Barzanji. Beberapa qari yang menjadi eksponen aliran ini adalah
KH Arwani, KH Sya'roni, KH Munawwir, KH Abdul Qadir, KH Damanhuri, KH Saleh Ma'mun,
KH Muntaha, dan KH Azra'i Abdurrauf.
Memasuki paruh abad ke-20, seiring dengan eksebisi qari Mesir ke Indonesia, mulai marak
berkembang lagu model Misri. Pada tahun 60-an, Pemerintah Mesir menyuplai sejumlah maestro
qari, seperti Syekh Abdul Basith Abdus Somad, Syekh Musthofa Ismail, Syekh Mahmud Kholil
Al Hushori, dan Syekh Abdul Qadir Abdul Azim.
Animo dan atensi umat Islam Indonesia terhadap lagu-lagu Misri demikian tinggi. Hal ini
disebabkan oleh karakter lagu Misri yang lebih dinamis dan merdu. Keadaan ini cocok dengan
kondisi alam Indonesia. Sejumlah qari yang menjadi elaboran lagu Misri adalah KH Bashori
Alwi, KH Mukhtar Lutfi, KH Aziz Muslim, KH Mansur Ma'mun, KH Muhammad Assiry, dan
KH Ahmad Syahid. dia/berbagai sumber
Perlu Perhatian dalam Membaca Alquran

Haji Muammar ZA tentu dikenal banyak orang. Dia adalah qari internasional asal Indonesia yang
menjadi juara MTQ tingkat internasional. Selain H Muammar ZA, masih terdapat beberapa nama
lain yang juga indah dan merdu dalam membaca Alquran, di antaranya H Nanang Qosim, Maria
Ulfa, dan H Khumaedi.
Sebagai seorang qari yang sangat fasih daam membaca Alquran, H Muammar berusaha
menularkan ilmu membaca Alquran kepada generasi muda Muslim masa kini. Bahkan, di
beberapa pesantren, sering diadakan pelatihan membaca Alquran secara tartil (indah) dengan
menggunakan seni baca Alquran. Mereka ini umumnya bergabung dalam organisasi yang
bernama Jam'iyyatul Qurra wa al-Huffazh, organisasi yang membina pelajaran membaca indah
dan menghafal Alquran.
Banyak orang yang ingin membaca Alquran dengan baik dan benar serta mampu melafalkannya
dengan seni yang indah. Menurut H Muammar ZA, ada beberapa hal yang harus diperhatikan
bagi seorang qari dalam melafalkan ayat-ayat Alquran.
Pertama, hendaknya Alquran dibaca secara fasih dan dengan memerhatikan tajwid. Menurut
Muammar, kedua hal ini merupakan syarat utama dalam seni baca Alquran. Sehingga, keduaduanya harus berjalan secara harmonis. ''Kalau kita hanya mengejar lagu tanpa memerhatikan
tajwid, ini merupakan satu kesalahan yang sangat besar. Membaca dengan bertajwid, membaca
dengan fasih, kemudian dilagukan secara harmonis,'' sebagaimana diungkapkannya dalam kaset
bimbingan membaca Alquran dengan tartil.
Kedua seorang qari harus mempunyai bakat dan juga hobi. Menurutnya, kalau membaca
Alquran sudah menjadi sebuah hobi, itu dapat memberikan satu jaminan bahwa seseorang dapat
berlatih secara kontinu (istikamah). Sedangkan, dengan bakat yang dimiliki, berarti yang
bersangkutan memiliki suara yang khas dan dibutuhkan dalam membaca Alquran dengan baik,
benar, dan indah. Begitu juga dengan pernafasan, hendaknya sering dilatih agar panjang.
Ketiga, yang tidak kurang pentingnya, menurut Muammar, seorang qari harus memiliki sifat
sabar dan ikhlas. Pelajaran seni baca Alquran dinilainya betul-betul memerlukan kesabaran.
Dalam mempelajari seni baca Alquran ini, seseorang akan banyak menghadapi kesulitankesulitan. Sebab, pada seni baca Alquran, banyak hal yang terkait di dalamnya, baik dari segi
tajwidnya maupun qiraatnya. Kita perlu mempelajari bagaimana pernafasan yang baik,
bagaimana seluk-beluk lagu, dari lagu A, B, C, dan sebagainya. Semua itu betul-betul
memerlukan kesabaran. Kemudian, kita juga harus ikhlas. Ikhlas dalam arti betul-betul
mempelajari seni baca Alquran ini karena Allah SWT semata.
Lebih jauh Muammar menuturkan bahwa lagu-lagu yang dianggap sebagai lagu pokok dalam
seni baca Alquran ini ada tujuh jenis. Yaitu, Bayyati, Shaba, Hijaz, Nahawan, Ros, Jiharkah, dan
Syika. Di luar ketujuh jenis lagu ini, dianggap sebagai lagu cabang yang nantinya akan
dipergunakan sebagai variasi dalam membentuk susunan atau komposisi lagu. Di antara lagulagu yang dianggap sebagai lagu cabang, misalnya lagu Nakriz, Awsaq, Zinjiran, Raml, Karqouk,
dan sebagainya.
Ketujuh jenis lagu pokok dalam seni baca Alquran ini biasanya dibawakan dalam beberapa tahap

tingkatan nada, dari mulai nada yang paling rendah sampai nada yang paling tinggi. Dalam
tatanan seni baca Alquran, tingkatan nada dikenal ada empat tahap, yakni qarar (rendah), nawa
(sedang), jawab (tinggi), dan jawabul jawab (sangat tinggi). Jenis lagu inilah yang 'wajib'
dipergunakan pada saat diselenggarakan perlombaan membaca Alquran. dia/sya
Senin, 05 Juli 2009 pukul 01:04:00

Sejarah Munculnya Bacaan Alquran


Rubrik Laput
Penyebaran agama Islam ke berbagai daerah berpengaruh pada cara umat dalam
membaca Alquran berdasarkan dialek setempat.
Alquran adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui
malaikat Jibril dan merupakan ibadah bagi yang membacanya. Alquran diturunkan dalam bahasa
Arab. Kendati demikian, Alquran ditujukan untuk seluruh umat manusia dan tak terbatas hanya
untuk orang Arab.
Seiring dengan perkembangan dan penyebaran Islam ke berbagai belahan dunia, hal itu
berdampak pada pemahaman umat Islam terhadap Alquran. Demikian pula dalam hal
membacanya. Bahkan, di masa Rasulullah SAW, perbedaan bahasa itu telah muncul. Namun, hal
itu dibiarkan saja oleh Rasulullah SAW sambil dilakukan perbaikan.
Belakangan, setelah Rasulullah wafat, perbedaan bacaan Alquran di kalangan umat yang tersebar
ke berbagai wilayah itu makin meruncing. Apalagi, ketika banyak sahabat penghafal Alquran
yang meninggal dunia karena terbunuh pada peperangan Yamamah, Umar bin Khattab meminta
Khalifah Abu Bakar Siddiq untuk segera membukukan Alquran. Namun, sejak zaman Abu Bakar
hingga Umar, Alquran belum sempat dibukukan. Baru pada zaman Khalifah Usman bin Affan,
Alquran dibukukan.
Kendati sudah dibukukan, perbedaan bacaan di kalangan umat masih ada sesuai dengan dialek
umat. Padahal, pembukuan Alquran dimaksudkan untuk menghindari perbedaan bacaan yang
terjadi di kalangan umat.
Rektor Institut Ilmu Alquran (IIQ), Dr Muhammad Ahsin Sakho, mengatakan, munculnya
perbedaan bacaan itu disebabkan adanya keinginan sebagian umat yang terbiasa menyingkat,
seperti pengucapan. Dan, itu terjadi pada kabilah-kabilah atau orang Arab yang berada di
pedalaman (badawi).
Dari sinilah, kemudian muncul beragam bacaan Alquran. Ada yang menyebutkan tujuh bacaan
(qiraat sab'ah ), 10, dan lainnya. Namun, adanya upaya pembukuan Alquran ditujukan untuk

menyatukan ragam bacaan (ilmu qiraat) tersebut sesuai dengan bacaan dari Rasulullah SAW.
Aliran Qiraat
Ilmu ini mulai dikenal pada masa sahabat Nabi SAW dan makin populer pada masa tabiin.
Karena populernya, ilmu ini kemudian berkembang menjadi aliran (mazhab) qiraat. Aliran-aliran
tersebut dalam banyak hal memiliki perbedaan, tetapi sudah disatukan dalam harf Quraisy
(bahasa Arab dengan dialek Quraisy) yang telah disepakati secara ijmak pada Mushaf Usmani
(kumpulan lembaran/catatan Usman bin Affan).
Pada periode awal perkembangan ilmu qiraat ini, dikenal tabaqah (kelompok ahli) qiraat dari
sahabat Nabi SAW dan tabiin serta kota-kota yang menjadi pusat pertumbuhan dan
perkembangan suatu aliran qiraat.
Perbedaan ini berlanjut pada tingkat tabiin di setiap daerah penyebaran. Demikian seterusnya
sehingga munculnya imam qurra'. Begitu banyaknya jenis qiraat sehingga seorang imam, Abu
Ubaid al-Qasim ibn Salam, tergerak untuk menjadi orang pertama yang mengumpulkan berbagai
qiraat dan menyusunnya dalam satu kitab. Menyusul kemudian ulama lainnya yang menyusun
berbagai kitab qiraat dengan masing-masing metode penulisan dan kategorisasinya.
Ilmu qiraat mengalami perkembangan pesat pada abad pertama hijriyah, sejalan dengan
perkembangan ilmu-ilmu syariat lainnya. Demi kemudahan mengenali qiraat yang banyak itu,
pengelompokan dan pembagian jenisnya adalah cara yang sering digunakan. Maka, dari segi
bentuk, jenis, dan cara periwayatan, aliran qiraat dinisbahkan kepada imam yang menjadi
penuturnya.
Ada tiga macam qiraat yang terkenal, yaitu qiraat sabah, 'asyrah , dan syadzah . Sedangkan, Ibn
al-Jazari membaginya dari segi kaidah hadis dan kekuatan sanadnya. Namun demikian, kedua
pembagian ini saling terkait satu dengan lainnya.
Qiraat sab'ah
Pada abad ke-4 H, seorang ulama Baghdad, Abu Bakar Ahmad atau yang lebih dikenal dengan
nama Ibnu Mujahid, menyusun sebuah kitab yang disebut dengan nama Kitab Sab'ah
.Akibatnya, Ibnu Mujahid dikecam dan dituduh telah membuat kerancuan bagi orang banyak
terhadap bacaan Alquran, termasuk pengertian tujuh kata ( sab'atu ahruf ). Salah seorang
pengkritiknya adalah Abu Al-Abbas ibn Amar yang pada awal abad ke-5 H tersohor sebagai
imam muqri .
Istilah qiraat sab'ah di zaman Abu al-Abbas memang belum populer. Tetapi, bukan berarti tidak
ada. Qiraat ini sesungguhnya telah akrab di dunia akademis sejak abad ke-2 H. Yang membuat
belum memasyarakatnya qiraat tersebut disebabkan kecenderungan ulama-ulama saat itu hanya
memasyarakatkan satu jenis qiraat dengan mengabaikan qiraat yang lain.
Ibnu Mujahid melakukan terobosan dengan mengumpulkan tujuh jenis qiraat yang mempunyai
sanad bersambung kepada sahabat Rasulullah SAW terkemuka. Ketujuh bacaan itu disandarkan
pada Abdullah bin Katsir al-Dariy (Makkah), Nafi' bin Abd al-Rahman ibn Abu Nu'aim
(Madinah), Abdullah al-Yashibiyn atau Abu Amir al-Dimasyqi (Syam), Zabban ibn al-Ala bin

Ammar atau Abu Amr (Bashrah), Ibnu Ishaq al-Hadrami atau Ya'qub (Bashrah), Ibnu Habib alZayyat atau Hamzah (Kufah), dan Ibnu Abi al-Najud al-Asadly atau Ashim (Kufah).
Ketika Ibnu Mujahid menghimpun qiraat-qiraat mereka, ia menandakan nama Ya'qub untuk
digantikan posisinya dengan al-Kisai dari Kufah. Pergantian ini memberi kesan bahwa ia
menganggap cukup Abu Amr yang mewakili Bashrah. Sehingga, untuk Kufah, ia menetapkan
tiga nama, yaitu Hamzah, Ashim, dan al-Kisai. Meskipun di luar tujuh imam di atas masih
banyak nama lainnya, kemasyhuran tujuh imam tersebut semakin luas setelah Ibnu Mujahid
secara khusus membukukan qiraat-qiraat mereka.
10 bacaan
Selain tujuh qiraat ( qiraat sab'ah ) yang ditetapkan Ibnu Mujahid, masih ada tiga qiraat lagi
yang masih bisa diterima. Karena itu, dikenal pula istilah qiraat asyrah (10). Tiga tambahan itu
adalah qiraat Ya'qub (yang digeser oleh Ibn Mujahid dari qiraat sab'ah untuk diganti dengan alKisai), qiraat Khalaf ibn Hisyam, dan qiraat Yazid ibn al-Qa'qa yang masyhur disebut Abu Ja'far.
Untuk diterimanya qiraat, para ulama menetapkan sejumlah kriteria. Salah satunya adalah
mutawatir : sesuai dengan kaidah bahasa Arab, sesuai dengan tulisan (rasm) mushaf Usmani,
dan mempunyai sanad yang sahih. Seperti halnya dalam menetapkan hukum syara', ulama
beristinbat kepada riwayat-riwayat yang bersanad sahih, begitu pula dalam penerimaan qiraat.
Sementara itu, qiraat syadzah diperkirakan muncul pada masa pemerintahan Usman ketika
Alquran telah dikodifikasikan dan adanya perintah untuk membakar semua tulisan Alquran
selain yang dibentuk Khalifah Usman. Peristiwa tersebut merupakan batas yang membedakan
dan menentukan antara qiraat sahih dan qiraat syadzah . Oleh sebab itu, persesuaian antara satu
qiraat dan rasm Usmani merupakan salah satu syarat sahihnya qiraat tersebut.
Dr Muhammad Salim Muhaisin dalam kitab Fi Rihabi Alquran berpendapat, batas yang
membedakan antara qiraat sahih dan qiraat syadzah adalah pemeriksaan Jibril yang terakhir
terhadap qiraat (bacaan) Alquran Nabi Muhammad SAW pada tahun wafatnya beliau. Dalam
pemeriksaan terakhir ini, sebagian qiraat di- nasakh (hapus) dan inilah yang dianggap kemudian
sebagai syadzah . Adapun dari segi sanad, qiraat syadzah ada kemungkinan bersambung kepada
Rasulullah SAW. dia/sya/berbagai sumber
(-)
Senin, 05 Juli 2009 pukul 01:23:00

Qiraat Sab'ah Beragam Cara Membaca


Alquran
Bagi umat Islam, Alquran adalah firman Allah yang berisi berbagai petunjuk bagi kehidupan
manusia. Di dalamnya, terkandung berbagai hal dalam mengatur kehidupan umat manusia

sebagai bekal di akhirat kelak.


Alquran diturunkan dalam bahasa Arab (QS Ibrahim: 4). ''Kami tidak mengutus seorang rasul
pun, melainkan dengan bahasa kumny , supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang
kepada mereka. Maka, Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk
kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan, Dia-lah Tuhan Yang Mahakuasa lagi Mahabijaksana.''
Kendati demikian, agama Islam dan Alquran bukan hanya untuk orang Arab. Islam adalah agama
yang sangat universal bagi seluruh umat manusia. Demikian juga dengan Alquran, ia bisa
dijadikan pedoman bagi seluruh umat manusia, baik Arab maupun Ajam (non-Arab).
Dalam sejarahnya, ketika Alquran diturunkan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah SAW,
banyak umat dan sahabat Nabi Muhammad yang menghafalkannya. Sebagian lagi menulisnya
pada lembaran-lembaran seperti pelepah kurma, kulit hewan, dan sebagainya.
Dan, ketika agama Islam telah berkembang hingga ke berbagai pelosok daerah dan diikuti oleh
sejumlah kabilah yang berasal dari suku-suku di pedalaman, terjadilah perubahan bacaan
Alquran di kalangan umat Islam. Perubahan bacaan Alquran itu bukan karena mengubah intisari
dari bacaan dan makna, melainkan karena perbedaan dialek orang Arab sehingga bunyi satu kata
atau satu kalimat terdengar berbeda.
Misalnya, ketika membaca ayat Wadl-Dluha , dibaca dengan dialek mereka menjadi WadlDluhe
. Lafal 'a' menjadi berbunyi 'e'. Begitu juga ketika membaca ayat Malikiyaumiddin , dibaca
dengan bunyi Malakayaumuddin .
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dr Abusshabar Syahir dari Kairo, Mesir, dialek orang
Arab itu bermacam-macam. Namun, dua yang terbesar adalah dialek orang Arab yang tinggal di
pedesaan (Badawi) dan orang Arab yang tinggal di perkotaan (Hadlari).
Menurut Dr H Muhammad Ahsin Sakho, rektor IIQ Jakarta, dari penelitian yang dilakukan
sejumlah ahli terhadap dialek orang Arab, terutam yang tinggal di pedalaman, terlihat adanya
suku (kabilah) yang tinggal di pedalaman begitu berbeda dialeknya dengan orang yang tinggal di
perkotaan.
''Karena tinggal di pedalaman dan jarak antara satu rumah dengan yang lainnya berjauhan,
mereka biasanya bertutur kata secara kuat ( syiddah ). Makanya, dalam mengucapkan hamzah,
suku-suku pedalaman itu cenderung mengeluarkan suaranya dengan kekuatan penuh. Misalnya,
A-andzartahum, Al-Ardli . Pengucapan hamzahnya harus kuat supaya terdengar oleh lawan
bicarnya,'' ujarnya.
Dan, karena jarak rumah yang berjauhan itu pula, kata Sakho, mereka sering mempersingkat kata
dan huruf. ''Misalnya, membaca yansurukum dibaca yansurkum , padahal itu bukan jazm , tapi
karena hanya dialek sehingga menjadi yansurkum, yusy'irkum, baarikum , dan lainnya,'' terang
Sakho.
Perbedaan ini awalnya tidak menjadi masalah. Rasulullah menerima perbedaan itu karena beliau

memahami maksudnya. Namun, sepeninggal Rasulullah, perbedaan bacaan itu semakin banyak.
Khawatir akan terjadi perpecahan dan pemalsuan terhadap ayat-ayat Alquran, Umar Ibn Khattab
memberi usul kepada Khalifah Abu Bakar Siddiq agar Alquran segera dibukukan. Apalagi,
banyak sahabat penghafal Alquran yang wafat di medan peperangan. Karena itulah, Alquran
akhirnya berhasil dibukukan pada Khalifah Usman bin Affan.
Namun demikian, perbedaan bacaan masih terjadi di kalangan umat karena masalah dialek
bahasa. Bahkan, jumlahnya semakin banyak. Hingga ada seorang ulama, yaitu Abu Bakar
Ahmad, yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Mujahid, menuliskan berbagai macam bacaan
yang berkembang di kalangan umat di berbagai daerah. Ia mengumpulkan pembaca Alquran
terbaik di masing-masing tempat. Misalnya, Abdullah Ibn Amr Asy'ari (Syam), Abdullah Ibn
Katsir al-Makki (Makkah), Nafi bin Abi Nu'im AlAsyfihani (Madinah), Muammar alBasri
(Basrah) dan Asyim, Hamzah, serta Kisai dari Kufah. Dari sinilah, kemudian muncul istilah
qiraatu sab'ah (tujuh bacaan).
Namun demikian, qiraat yang berkembang tidak hanya tujuh macam itu. Sebagian ulama bahkan
menyebutkan lebih banyak lagi hingga dikenal ada istilah qiraat asyrah (10) dan lainnya.
Tentu saja, perbedaan itu sangat berpengaruh bagi perkembangan umat. Bahkan, tak jarang hal
itu menjadi permusuhan. Karena itu, umat Islam harus memahami segala bentuk perbedaan dan
tetap berpedoman pada ajaran Alquran dan sunah Rasulullah SAW.
Seni baca Alquran
Berkembangnya beragam bacaan itu akhirnya juga berpengaruh pada cara umat dalam membaca
Alquran. Sesuai dengan petunjuk Alquran, umat dianjurkan agar membaca Alquran dengan indah
(tartil), baik, dan benar.
Dalam perkembangannya kemudian, makin banyak umat yang ahli dalam membaca Alquran
secara indah. Dari sini, lalu berkembang seni membaca Alquran yang tersebar, seperti dari Mesir,
Makkah, dan lainnya. Karena itu, dikenal pula beragam jenis lagu (seni) membaca Alquran. Di
antaranya yang populer adalah tujuh jenis, yaitu Bayyati, Nahawan, Shoba, Ros, Syika, Hijaz,
dan Jiharkah. Masing-masing jenis lagu tersebut memiliki sejumlah tingkatan, antara lain qarar
(rendah), jawab (tinggi), dan jawabul jawab (sangat tinggi). sya
Senin, 05 Juli 2009 pukul 01:15:00

Pengaruh Qiraat Alquran terhadap


Penafsiran
Rubrik Laput

Bacaan Alquran yang berdasarkan pada dialek umat (kabilah) di suatu daerah membuat banyak
perubahan bacaan dalam Alquran. kendati tidak sampai membuat pertumpahan darah, munculnya
beragam bacaan ini menimbulkan banyak penafsiran terhadap kandungan Alquran.
Sebagai sebuah kitab suci yang terjaga dan terpelihara kemurniannya dari segala bentuk
pemalsuan, munculnya ragam bacaan itu membuat banyak pihak khawatir terjadi pemalsuan
ayat-ayat Alquran. Namun, Allah telah menjamin bahwa Alquran akan senantiasa terjaga dari
pemalsuan. ''Sesungguhnya, Kami-lah yang menurunkan Alquran dan Kami pula yang akan
menjaganya.'' (QS Alhijr (15): 9). Inilah salah satu kemukjizatan Alquran.
Pada ayat lain, Allah menantang manusia untuk membuat satu surat seperti Alquran. Namun,
diyakini bahwa manusia tak akan mampu melakukannya. ''Dan, jika kamu (tetap) dalam
keraguan tentang Alquran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu
surat (saja) yang semisal Alquran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu
orang-orang yang benar.'' (QS Albaqarah (2): 23). Demikian juga pada surah Aththur (52): 34
serta QS Al-Isra' (17): 88.
Salah satu kemukjizatan Alquran ini membuat banyak ulama (mutakallimin dan mufasir) terus
mengeksplorasi sisi-sisi kemukjizatan Alquran.Menurut al-Jahizh, murid al-Nazhzham,
kemukjizatan Alquran terletak pada redaksinya (nazhm ). Redaksi Alquran mempunyai makna
yang amat mendalam, padahal kata-katanya sedikit. Ulama lain pun juga terus mengeksplorasi
kemukjizatan Alquran dari berbagai sisi, termasuk redaksionalnya. Di antara mereka yang juga
menulis kitab tentang nazhm Alquran adalah Abu Bakar Abdullah al-Sijistani, Abu Zayd alBalkhi, dan Ibn al-Ikhsyid al-Mutazili.
Ibnu Qutaybah al-Dinawari dalam kitabnya Ta'wil Musykil Alquran menyatakan, kemukjizatan
Alquran terletak pada keajaiban nazam-nya yang tak membosankan saat dibaca atau didengar
meski dibaca atau didengar berlama-lama dan makna yang kaya dalam kata-kata yang singkat.
Pendapat ini juga diamini oleh Ibnu Jarir al-Thabari, al-Wasithi, al-Rummani, al-Khaththabi, alBaqillani, dan al-Jurjani.
Perbedaan qiraat
Karena kemukzijatan yang tersemat pada kitab Alquran inilah, Ibrahim Al-Abyari
mengemukakan bahwa ada tiga hal yang terkait dengan masalah pelafalan (qiraat) Alquran.
Masalah pertama terkait dengan masalah imalah, isymam, tarqiq, tafkhim , dan lain sebagainya.
Perbedaan ini terjadi karena perbedaan pelafalan kalimat oleh kabilah-kabilah Arab yang
masing-masing tidak bisa mengucapkan seperti yang diucapkan oleh kabilah lainnya. Perbedaan
ini dapat terjadi, baik sebelum dibukukannya Alquran dan dibakukannya tanda baca (syakal)
maupaun sesudahnya, karena masalah ini terkait pada kebiasaan yang sulit diubah.
Masalah kedua terkait pada penentuan i'rab dan standardisasi tulisan (mushaf) Alquran. Seperti
dikatakan oleh Nasaruddin Umar bahwa dalam proses standardisasi rasm Alquran, ditempuh
beberapa tahapan. Pertama, ketika Alquran masih berangsur-angsur diturunkan. Setiap ayat yang
turun langsung disusun Nabi melalui petunjuk Jibril, lalu disebarkan melalui tadarrusan atau
bacaan dalam shalat di depan sahabat. Sampai di sini, belum ada masalah. Tetapi, setelah dunia
Islam melebar ke wilayah-wilayah non-Arab, mulailah muncul masalah karena tidak semua umat

Islam dapat membaca Alquran tanpa tanda huruf dan tanda baca.
Pemberian tanda baca ( syakal ) pertama kali diadakan pada masa pemerintahan Mu'awiyah bin
Abu Sufyan (661-680M), terutama ketika Ziyad ibn Samiyyah yang menjabat gubernur Bashrah
menyaksikan kekeliruan bacaan dalam masyarakat terhadap surat Attaubah ayat 3.Sedangkan,
masalah ketiga adalah peran periwayatan bacaan mempunyai kontribusi yang sangat besar bagi
perkembangan umat, terutama dalam menjaga kesatuan dan persatuan.
Perubahan makna
Selanjutnya, perbedaan dialek dalam membaca Alquran itu berpengaruh pula pada sistematika
Alquran dalam kaidah bahasa, nahwu, sharaf, i'rab, fiil, isim , harakat, dan lainnya. Akibatnya,
makna pun dapat berubah.
Rektor IIQ, Dr Muhammad Ahsin Sakho, mencontohkan kata 'Malikiyaumiddin karena berbagai
dialek masyarakat Arab, ada yang membacanya 'Malakayaumuddin . Walaupun memiliki mirip,
terdapat arti yang berbeda jika dilihat berdasarkan i'rab masing-masing kata. Begitu juga kata
Wadldluha yang dibaca menjadi wadldluhe . Perbedaan pengucapan huruf dan harakat itu dilihat
melalui takaran madd, takhfif, tafkhim, imalah, isymam , serta perbedaan tempat waqaf.
Perbedaan qiraat dalam Alquran ini adakalanya berpengaruh pada perbedaan makna yang
dikandung dan adakalanya tidak. Bahkan, Khalid Abd al-Rahman al-'Ak menyatakan, perbedaan
qiraat ada yang berpengaruh pada tafsir--bukan hanya makna--dan ada yang tidak. Ia
menjelaskan bahwa yang tidak berpengaruh pada tafsir, yaitu perbedaan pengucapan huruf dan
harakat seperti takaran mad, takhfif, imalah , dan sebagainya. Sedangkan, yang berpengaruh
pada tafsir terbagi dua, yaitu perbedaan dalam huruf atau kata serta perbedaan dalam harakat
fi'il .
Tesis lebih lengkap dikemukakan oleh Ibnu Qutaibah yang menyimpulkan, seperti yang dikutip
oleh Ibrahim Al-Abyari, bahwa segi-segi perbedaan pendapat dalam qiraat itu ada tujuh. Masingmasing ada yang berpengaruh pada perubahan makna dan ada yang tidak.
Ketujuh perbedaan tersebut sebagai berikut.
Pertama, perbedaan dalam i'rab atau harakat suatu kata yang tidak mengubah tulisannya dan
tidak mengubah makna (pengertian)-nya.
Kedua, perbedaan dalam i'rab dan harakat yang mengubah makna (pengertian)-nya dan tidak
mengubah bentuk tulisannya.
Ketiga, perbedaan pada huruf-huruf kata, bukan i'rab -nya dengan sesuatu yang mengubah
makna (pengertiannya) dan tidak mengubah bentuk tulisan.
Keempat, perbedaan dalam kata-kata yang mengubah bentuk tulisan dan tidak mengubah makna
(pengertian)-nya dalam kalimat.
Kelima, perbedaan itu dalam kata-kata yang mengubah bentuk dan makna (pengertian)-nya.
Keenam, perbedaan itu dengan mendahulukan dan mengemudiankan ( taqdm wal ta'khir ).
Ketujuh, perbedaan itu dengan penambahan dan pengurangan. dia/sya/berbagai sumber

Anda mungkin juga menyukai