Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jalaluddin as-Suyuthi merupakan ulama besar pada abad ke 9 H, beliau adalah
penulis yang sangat produktif diberbagai disiplin ilmu pengetahuan, tidak hanya ilmu
yang berkaitan dengan hadits, fiqh dan balaghah, Ulama kelahiran Kairo tahun 849 H
ini juga merupakan salah seorang ulama yang menafsirkan al-Qur’an dalam berbagai
kitab tafsir, salah satu diantaranya adalah tafsir al-Durr al-Mantsur fi al- Tafsir al-
Ma’tsur. Lantas bagaimanakah metoden penafsirannya, komentar ulama, corak, dan
kelebihan serta kekurangannya didalam tafsir al-Durr al-Mantsur fi al- Tafsir al-
Ma’tsur ini

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi as-Suyuthi?
2. Apa saja kitab karangannya?
3. Bagaimana metode penafsirannya?
4. Apa saja komentar ulama?
5. Bagaimana corak tafsir?
6. Apa saja kelebihan dan kekurangan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana biografi as-Suyuthi
2. Untuk mengetahui apa saja kitab karangannya
3. Untuk mengetahui bagaimana metode penafsirannya
4. Untuk mengetahui apa saja komentar ulama
5. Untuk mengetahui bagaimana corak tafsir
6. Untuk mengetahui apa saja kelebihan dan kekurangan

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Imam as-Suyuti

beliau adalah Al-Hafidz Abdurrahman bin Kamal Abu Bakar bin Muhammad
bin Sabiqudin Ibnul Fakhar Utsman bin Dhadhirruddin al-Hammam al-Hadhairi al-
Suyuthi. Pemilik kitab Mu’jam al-Muallifin menambah dengan sebutan Ath-Thaluni al-
Mishri asy-Syafi’i. beliau diberi gelar “laqab” dengan Jalalluddin dan kunyah-nya: Abu
al-Fadhal. Nasabnya disandarkan pada asblin ‘ajami (keturunan non-Arab). Ia pernah
menceritakan tentang dirinya kemudian berkata, “Telah bercerita kepadaku orang yang
aku percaya bahwa dia mendengar dari orang tuaku (semoga Allah merahmatinya). Ia
menyebutkan bahwa kakeknya yang tertinggi berasal dari ‘ajam (non-Arab) dan dari
wilayah Timur.1

Imam Suyuthi rahimahullah dilahirkan di wilayah Suyuth, Mesir, setelah


Maghrib pada malam Ahad pada awal bulan Rajab tahun 849 H. Demikian ia
menyebutkan tempat tanggal lahirnya; dan demikian para ahli sejarah sepakat, tidak ada
yang berbeda kecuali Ibnu Ilyas san Ismail Basya al-Baghdadi. Keduanya berpendapat
bahwa kelahiran Imam Suyuthi di bulan Jumadil Akhir. Imam Suyuthi pada masa
pertumbuhannya adalah seorang yatim. Ayahnya meninggal dunia pada malam Senin, 5
Shafar 855 H. Yaitu pada saat berusia enam tahun.2 Beliau juga diberi gelar al-Kutub
karena dilahirkan diantara buku-buku milik ayahnya dan karena ketika beliau lahir,
beliau diletakkan ibunya di atas buku.

Ketika as-Suyuthi berumur tiga tahun, ayahnya pernah sekali mengajaknya ke


majlis Syaikh Ibnu Hajar, dan ketika masih kecil dia sering menghadiri majlis Syaikh
al-Muhaddis Zainuddin Ridwan al-Atabi. Dia juga pernah belajar kepada Syaikh
Sirajuddin Umar al-Wardi, kemudian mendalami ilmu dengan berguru pada beberapa

1
Jalaluddin al-Suyuthi, Studi Al-Qur’an Komperhensif, (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008), hlm. 11.
2
Jalaluddin al-Suyuthi, Studi Al-Qur’an Komperhensif, (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008), hlm. 12.

2
Syaikh. Dia juga pernah dibawa kepada Syaikh Muhammad al-Majzub, seorang wali
besar yang tinggal disebelah al-Nafisi untuk meminta keberkahan doa.3

Beliau aktif dengan keilmuan pada saat berusia enam belas tahun, yaitu mulai
awal tahun 864 H. Ia telah mengambil ilmu fiqh dan nahwu dari sejumlah ulama, dan
telah mengambil ilmu faraidh dari seorang alim pada masanya, yaitu Syekh syihabuddin
asy-Syarnasahi. Ia juga ber mulazamah dengan Syekhul Islam al-Buqini dalam bidang
fiqh hingga wafat, kemudian ber-mulazamah dengan putranya yaitu Imamuddin al-
Bulqin. Beliau ber-mulazamah pula dengan ustadzul wujud Muhyiddin al-Kafiyaji
selama empat belas tahun, sehingga ia mengambil darinya berbagai bidang ilmu, seperti
tafsir, ushul, ‘arabiyyah, dan al-makna. Muhyiddin telah menulis ijazah untuknya di
bidang ilmu-ilmu tersebut.

Imam Suyuthi banyak melakukan rihlah (perjalanan) untuk mencari ilmu.


Beliau pergi ke Al-Fuyum, Al-Mahallah, dan Dimyath, serta melakukan perjalanan jauh
ke negri Syam, Hijaz, Yaman, Hindia, dan Maroko.4

Imam Jalaluddin al-Suyuthi wafat pada malam Jum’at tanggal 19 Jumadil Awal
911 H/ 1505 M, genap berusia 61 tahun 10 bulan 18 hari, seminggu sebelum wafat
beliau sempat menderita sakit di bagian tangan kiri sehingga mengakibatkan beliau
berpulang ke rahmatullah. Imam Jalaluddin al-Suyuthi dimakamkan di Husy Qushun di
luar Bab Qarafah, Kairo.5

B. Kitab Karangan

Ketika umurnya mencapai 40 tahun, beliau uzlah dari manusia dan mengkhususkan
waktunya untuk mengarang dan menulis, sehingga selama kurang lebih 22 tahun dapat
mengisi perpustakaan Islam dengan berbagai mushannafaat (kitab-kitab ilmiah), bahkan
sebagian ulama ada yang menghitung buku-buku karyanya hingga sampai 600 lebih
dalam berbagai bidang keilmuan, seperti tafsir dan ilmu-ilmu tafsir, hadist dan ilmu-

3
Jalaluddin al-Suyuti, al-Luma’ fi Asbabil Wurud, terj. Bahrun Abu Bakar. Sinar Baru, (Bandung:
Algesindo, 2005), hlm. 2
4
Jalaluddin al-Suyuthi, Studi Al-Qur’an Komperhensif, (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008), hlm. 12
5
Mani ‘Abdul Halim Ahmad, Manhaj al-Mufassirin, (Jakarta: RajaGrafindo, 2006), h. 126

3
ilmu hadits, fikih dan ushul fikih, ilmu-ilmu bahasa Arab dengan cabang-cabangnya,
sirah, dan tarikh.6 Diantara karyanya yaitu:

a) Tafsir dan ‘Ulum al-Qur’an


1. Al-Durr al-Mansur fi Tafsir bi al-Ma’sur.
2. Setengah dari Tafsir al-Jalalain.
3. Majma’ al-Bahrain wa Matla’ al-Badrain.
4. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an .
5. Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul.
6. Hasyiyah Anwar al-Tanzil.
7. Tarjumah al-Qur’an al-Musannad.
8. Mufhamat al-Aqran fi Mubhamat al-Qur’an .
9. Syarah al-Isti’azah wa al-Basmalah.
b) Hadis, Syarah Hadis, dan Ilmu Hadis
1. Al-Jami’ al-Sagir min Ahadis al-Basyir wa al-Nazir
2. Tanwir al-Hawalik fi Syarah Muwatta’ al-Imam Malik.
3. Jam’ual-Jawami’.
4. Syarah Al-fiyyah al-‘Iraqi.
5. Kasyf al-Muwatta
6. Lubab al-Hadis.
7. Al- La’ali al-Masnu’ah fi Ahadis al-Maudu’ah.
8. Al-Azhar al-Mutanasirah fi al-Hadis.
9. Asbab Wurud al-Hadis.
10. Syarah Sunan Ibnu Majah.
11. Al-Madraj ila al-Madraj.
12. Azkar al-Azkar.
13. Jiyad al-Musalsalat.
14. Wusul al-Amani bi Usul al-Tihani.
15. Al-Raud al-Aniq fi Fadl al-Sadiq.
c) Fiqh dan Usul
1. Al-Asybah wa al-Nazair
2. Fath}u al-Qarib fi Hawasyi Mugni al-Labib.
3. Al-Hawi li al-Fatawa.
4. Al-Wafi fi Syarh al-Tanbih li Abi Ishaq al-Syairazi.
5. Al-Tahaddus bi al-Ni’mah.
6. Al-Radd ‘ala Man Akhlad ila al-Ard wa Jahil ‘An al-Ijtihad fi Kulli Asr
Fard.
d) Kitab Tabaqat
1. Tabaqat al-Usuliyyin.
2. Tabaqat al-Mufassirin.

6
Jalaluddin al-Suyuthi, Studi Al-Qur’an Komperhensif, (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008), hlm. 14

4
3. Tabaqat al-Bayaniyyin.
4. Tabaqat al-Huffaz.
5. Tabaqat al-Fuqaha al-Syafi’iyyah.
e) Nahwu dan saraf
1. Qathru al-Nida fi Wujudi Hamzah al-Ibtida.
2. Al-Bahjah al-Mudiah.
3. Al-Wafiyah fi Mukhtasar al-Alfiyyah.
4. Al-fiyyah li al-Suyuti.
5. Al-Mazhar fi ‘Ulum al-Lugah.
6. Al-Muhazab fimawaqa’a fi al-Qur’an min al-Mu’rab.
7. ‘Uqud al-Juman.
f) Sejarah
1. Husn al-Muhadarah fi Akhbari Misra wa al-Qahirah.
2. Tahzib al-Asma’.
3. Badi’ al-Zuhur fi Waqa’i al-Duhur.
4. Durr al-Sahabah fi Man Dakhala Misra Min al-Saba.7
C. Metode Penafsirannya

Metode yang digunakan Jalaluddin as-Suyuthi dalam menafsirkan al-Qur’an yakni


dengan mengguakan metode tahlili dari segi manhaj dan dengan pendekatan ma’tsur
dari segi sumber. Hal ini dapat diketahui karena didalam tafsir tersebut mengandung
unsur-unsur sebagai berikut:

1. Mencantumkan ayat yang tidak ditafsirkan, dalam hal ini sesuai dengan urutan
mushaf ‘ustmani.
2. Jika pada ayat tersebut terdapat asbab nuzul, maka didalam tafsir as-Suyuthi
memaparkan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan sebab suatu ayat tersebut
diturunkan (Asbab Nuzul).
3. Mengikut sertakan hadits-hadits yang ada kaitannya dengan ayat yang hendak
ditafsirkan.
4. Selain dari hadis as-Suyuthi juga banyak memuat perkataan para sahabat dan
tabi’in, seperti perkataan ibn Abbas, ibn Mas’ud, Mujahid, dan lain-lain
5. Memaparkan ayat-ayat yang ada kaitannya dengan suatu ayat yang akan
ditafsirkan atau dalam istilah Ulumul Qur’an disebut dengan munasbah ayat,
dalam tafsir tersebut as-Suyuthi sangat jarangmenggunakan pendapatnya dalam

7
Siradjuddin Abbas, Thabaqatus syafi’iyyah: Ulama Syafi’i dan Kitab-Kitabnya dari Abad ke Abad,
(Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2011), hlm. 280-283.

5
menafsirkan suatu ayat, beliau tidak banyak memasukkan pendapatnya,
sehingga dengan keberadaan seperti itu nampaklah bahwa kualitas ma’tsur yang
ada dalam kitab tersebut sangat jelas.
6. Mencantumkan riwayat-riwayat yang ada kaitannya dengan perbedaan qira’at
pada ayat yang hendak ditafsirkan.

Adapun sumber-sumber yang digunakan Jalaluddin as-Suyuthi dalam menjelaskan ayat-


ayat al-Qur’an yaitu beliau mengutip riwayat-riwayat yang bersumber dari

1. Hadits Rasulullah Saw


Dalam mengutip hadits Rasul, Imam Jalaluddin as-Suyuthi mengutip hadits
yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, al-Darul Quthmi, Syaikh al-Bukhari, Shahih
Muslim, Musnad Ahmad bin Hanbal, Muatho’, Imam Malik, Sunan an-Nasa’i,
at-Thabrani sunan al-Tirmidzi, musnad al-Bazzar, al-Darimi, ibn Hibban. Dari
beberapa sumber tersebut dapat diketahui bahwa hampir seluruh kitab-kitab
hadits yang terkenal dijadikan oleh as-Suyuthi sebagai sumber dalam
menafsirkan al-Qur’an, tetapi terkadang as-Suyuthi tidak memuat kualitas
tersebut dalam tafsirnya.
2. Perkataan Sahabat
Dalam mengutip riwayat-riwayat yang berkaitan dengan perkataan sahabat as-
Suyuthi juga memuat beberapa pendapat sahabat dalam tafsirnya, seperti
perkataan Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Abi Hurairah, Abi Darda’ Abi
Ubaidillah bin al-Jarroh, Qatadah, Jabir bin Abdullah.
3. Perkataan Tabi’in
Dalam menjelaskan ayat al-Qur’an Imam Jalaluddin as-Suyuthi juga mengutip
riwayat-riwayat yang bersumber dari perkataan tabi’in seperti perkaataan Imam
Mujahid, Ibn Abi Hatim, Abi Salamah bin Abdur-Rahman, al-Dahhak, Nafi’,
Ibn Abi Syaibah, Ibn al-Munzir, Yahya bin Ya’mar.

D. Komentar ulama tentang tafsir

Jalaluddin al-Suyuthi banyak mendapat tanggapan dari para ulama tentang


keilmuannya, diantara mereka ada yang mengakui dan ada yang tidak mengakui

6
keilmuannya. Pro kontra dikalangan ulama tersebut dilator belakangi oleh sifat dan
pemikiran al-Suyuthi yang terkadang menimbulkan kontroversi di kalangan ulama.
Diantara ulama yang mengakui keilmuan al-Suyuthi adalah sebagai berikut:
1. Muhammad al-Syaukani (seorang fakih dan ahli hadits ) mengatakan bahwa al-
Suyuthi adalah seorang imam dalam bidang al-Qur’an dan sunnah serta
menguasai ilmu yang diperlukan untuk melakukan ijtihad.
2. Ibn ‘Imad (1032 H/1623 M-1089 H/1679 M, seorang ahli fiqh dari madzhab
Hanbali) dari Suriyah mengatakan bahwa al-Suyuthi adalah seorang penulis
produktif kitab-kitab berharga.
3. Sedangkan ulama yang menolak keilmuan al-Suyuthi adalah Al-Sakhawi (831
H/1427 M-902 H/1497) dalam kitab sejarahnya yang berjudul Ad-Dau’ Al-Lami’
Fi Tarikh Al-Qarn At-Tasiallah mengatakan bahwa al-Suyuthi telah melakukan
penciplakan karangan ulama sebelumnya lalu mengakui sebagai karagannya
sendiri, seperti al-Suyuthi telah menciplak karya ibn Taimiyah yang membahas
tentang pengharaman ilmu mantiq, selain dari itu al-Suyuthi juga banyak
menciplak karya ibn Hajar al-Asqalani yang membahas tentang ilmu hadits
seperti Nasyr ahli al-Takhrij Ahadits al-Syarh al-Kabir, serta kitab-kitabnya
dalam ilmu-ilmu al-qur’an seperti al-Lubab al-Nuqul fi asbab al-Nuzul.8
Kemudian Al-Sakhawi mengatakan bahwa dalam ad-Durusu al-Mansūr
fi Tafsir al-Ma’tsūr banyak menghadapi kritik keras karena banyak riwayat
hadis sahih bercampur dengan riwayat-riwayat hadis-hadis yang tidak sahih.
Selain itu, juga karena kegiatan yang tidak asing lagi dari orang-orang zindiq
dari kaum Yahudi dan Persia yang berusaha menghancurkan agama Islam dan
mengacaukan ajaran-ajarannya. Lagi pula dengan pengaruh tokoh berbagai
macam mazhab dan golongan yang memiliki kegemaran aneh yaitu menafsirkan
Alquran dan menceritakan asbab an-nuzul menurut sesuka hatinya. Karena itu
penafsiran berdasarkan riwayat hadis dituntut kecermatan dalam
mengungkapkan sesuatu, keketatan dalam menyaring berbagai riwayat hadis dan
kehati-hatian serta ketelitian dalam mengetengahkan isnadnya.9

8
Abdul Aziz Dahlan (Ed), Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), Cet. Ke-1, Jilid 6, h. 1675-1677.
9
Abdul Aziz Dahlan (Ed), Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,

7
Imam Jalaluddin as-Suyuthi menggunakan beberapa metode yang berbeda pada
tiap kitab tafsirnya. Sebut saja dalam kitab Durr al-Matsur dan Tafsir jalalain. Di dalam
kitab Durr al-Mantsur semuanya memuat riwayat-riwayat yang ma’tsur. Dalam tafsir bi
al-Ma’tsur, Imam Jalaluddin as-Suyuthi mengambil riwayat-riwayat tersebut dari
berbagai kitab-kitab hadis, mulai dari shahih, sunan dan musnad, dan juga dari
mushannaf-mushannaf yang menghimpun pendapat-pendapat para sahabat dan tabi’in.
seperti Mushannaf Abdurrazzaq, Ibnu Abdi Syaibah, dan kitab-kitab tafsir bi al-Ma’tsur
yang bersambung, seperti tafsir Ibnu Jarir al-Thabari, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mundzir,
Ibnu Mardawaih, Abd bin Hamid dan lain-lain. Senada dengan namanya, karya tafsir
Imam Jalaluddin as-Suyuthi tergolong bi al-Ma’tsur karena secara keseluruhan dalam
menafsirkan ayat-ayat Alquran tafsir ini menggunakan penjelasan nabi maupun sahabat
yang dikutip dan dirujuk dari kitab-kitab hadis dan tafsir. Sistematika tafsir ini
mengikuti tartib mushhaf, begitu juga dengan ayat-ayat sumpah. Pada awal pembahasan
dicantumkan ayat-ayat yang hendak dibahas kemudian dikutip riwayat-riwayat yang
menjelaskan asbabun nuzul dan riwayat-riwayat lain yang menunjukkan penjelasan
Nabi atau sahabat berkenaan dengan ayat-ayat secara sistematis.

Metode yang digunakan dalam penyusunan kitab ini adalah metode tahlili
dengan bi al-ma’tsur. Dalam menyusun tafsirnya, Imam Jalaluddin as-Suyuthi
mempunyai metode yang terbilang berbeda dari lazimnya mufassir bi al-Ma’tsur
lainnya. Bila disimpulkan, metode Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Durr al-
Mantsur maka sebagai berikut:
1. Beliau di dalam tafsirnya memuat riwayat-riwayat dari para ulama salaf tanpa
menerangkan kedudukan riwayat tersebut, apakah shahih atau dha’if, dengan
kata lain riwayat tersebut masih tercampur baur akan kualitasnya. Beliau juga
tidak menjelaskan atau mengkritik riwayatriwayat
tersebut, yang menurut pengakuan beliau riwayat-riwayat tersebut bersumber dari kitab-
kitab yang ditakhrij. Di antara kitab-kitab tersebut adalah: Shahih Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan an-Nasa’I, Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan Ahmad bin Hambal, serta
kitab-kitab yang lainnya seperti

1996), Cet. Ke-1, Jilid 6, h. 1675-1677.

8
yang ditulis Ibnu Jarir al-Thabari, Ibn Abi Hatim, Abdullah bin Hamid, Ibn Abi Dunya,
Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Ibn Mundzir, Ibn Mardawaih dan lain-lain.
2. Dalam riwayat-riwayat atau atsar dan hadis-hadis yang menjadi penafsiran bagi
ayat, Imam as-Suyuthi meringkas sebagian jalur periwayatnya (sanad).
3. Pada penafsirannya as-Suyuthi konsisten memberi penjelasan terhadap ayat
yang dibahas dengan riwayat-riwayat hadis maupun atsar. Beliau tidak
menafsirkan ayat dengan pemikiran pribadinya atau pendapatpendapat yang
menguatkan periwayatan tersebut, sebagaimana yang telah dilakukan Ibnu Jarir
dan Ibnu Katsir. Itulah yang kami maksud dengan berbeda dari mufassir bi al-
Ma’tsur lainnya. Imam as-Suyuthi sama sekali tidak memberikan komentar baik
dari sisi bahasa, unsur I’jaz, dan balaghah, maupun penjelasan-penjelasan lain
seperti aspek kandungan pengetahuan, hukum, serta tambahan ijtihad yang lazim
digunakan oleh para mufassir pada zamannya. Belian hanya mencantumkan
riwayat-riwayat yang diawali dengan kata akhraja dilanjutkan dengan redaksi
yang terkait dengan penjelasan ayat.10
E. Corak Karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tafsir ad-Durusu al-Mansur
fi Tafsir al-Ma’tsur
Menurut ad-Zhabi sebagaimana juga diakui Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam
muqaddimah kitab, karya ini merupakan kitab musnad hadis, yang berisikan tafsir atau
penjelasan terhadap al-Qur’an. Di dalamnya memuat sekitar 10.000 hadits marfu‘ dan
hadits mauqūf11diselesaikan dalam 4 jilid dan diberi nama Tarjumān al-Qurān.
Kemudian untuk memudahkan pembaca dalam memahami kitab tersebut, Imam
Jalaluddin as-Suyuthi meringkasnya dengan hanya mencantumkan matnatau teks hadits
tanpa menyebutkan sanadnya. Meskipun demikian, dijelaskan bahwa sumber hadis-
hadis tersebut merupakan hasil takhrij dari kitab-kitab yang mu’tabar, kitab tersebut
diberi nama ad-Durr al-Mansūr fi at-Tafsir al-Ma’sūr. (Mutiara yang bertebaran dalam

10
Jalaluddin al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma’tsur (Bairut: Darr al- Fikr,
1994), Juz 5, h. 323.
11
Hadis marfu’ adalah hadis yang dihubungkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan,
perbuatan maupun taqrir. Hadis itu disebut marfu’ karena mempunyai derajat yang tinggi karena
dihubungkan dengan Nabi saw, baik dengan menggunakan sanad yang muttasil (bersambung) atau
tidak. Sedangkan hadis mauqūf adalah hadis yang dihubungkan kepada sahabat. Lihat ‘Ajjáj al-
Khatib, Ushūl al-Hādis ‘Ulūmuh wa Musthalahuh (Beirut: Dār al-Fikr, 1989), h. 355.

9
penafsiran berdasarkan al-Qurān dan Hadis). Sepanjang penelusuran (crosscheck),
penulis tidak menemukan kitab Tarjumān al-Qurān sebagaimana dimaksud, penulis
hanya menemukan kitab ad-Dūru al- Mansūr fi at-Tafsir al-Ma’sūr, Mukhtasār
Tarjumān al-Qurān dalam beberapa terbitan, di antaranya yang diterbitkan oleh Darr
al-Kutub al-Islami, Beirut,Libanon cetakan tahun 1990 yang terdiri dari 6 jilid besar.
Jilid pertama setebal 670 halaman, jilid kedua 617 halaman, jilid ketiga 646 halaman,
jilid keempat 673 halaman, jilid kelima 762 halaman dan jilid kelima 767 halaman.
Selain itu, sepanjang penelusuran, kitab tersebut belum pernah disitasi dalam karya
tafsir dan karya-karya lainnya. Dalam hal ini, menurut asumsi pribadi penulis, kitab
Tarjumān al-Qurān belum pernah dipublikasikan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi.
Namun tentunya diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai keberadaan kitab tersebut.
Merujuk kepada pemetaan Abdul Mustaqim, karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi ini
tergolong tafsir era pertengahan yang dikenal sebagai zaman keemasan ilmu
pengetahuan. Hal ini karena perhatian yang luar biasa terhadap ilmu pengetahuan pada
saat itu. Berbagai diskusi digelar mengenai segala ilmu pengetahuan yang sumbernya
juga banyak diadopsi dari dunia luar. Periode pertengahan ini berada dalam kurun
waktu yang panjang, karena dimulai dengan munculnya produk penafsiran yang
sistematis dan terkodifikasi dengan baik hingga lahirnya periode kontemporer. Sebagai
konseksuensi dari perkembangan ilmu pengetahuan, kondisi sosio-kultural dan politik,
disamping Alquran itu sendiri yang memang sangat terbuka untuk ditafsirkan, maka
muncul berbagai corak ideologi penafsiran. Meskipun tidak pernah menyatakan secara
langsung, oleh para ulama pada masanya Imam Jalaluddin as-Suyuthi disebut-sebut
berteologi Asy’ariyah hal itu terlihat dalam corak penafsirannya, selain itu semenjak
kecil ia dibesarkan dan menapaki karir dalam lingkungan madzhab syafi’i12
Secara keseluruhan kitab tafsir (ad-Dūru al-Mansūr fi at-Tafsir al- Ma’sūr) ini
menggunakan penjelasan Nabi maupun shahabat yang dikutip dan dirujuk dari kitab-
kitab hadits dan tafsir. Menurut ad-Dzahabi riwayat-riwayat dalam kitab ini diambil dari
karya al-Bukhāri (w. 256 H/ 870 M), Muslim (w. 261 H/ 875 M), an-Nasa’i (w. 303 H/
915 M), at-Turmuzi (w. 279 H/ 892 M), Ahmad (w. 241 H/ 855 M), Abu Dāwud (275

12
Imam Jalaluddin as-Suyuthi, at-Tahbir fi ‘Ilm at-Tafsir, h. 29-31.

10
H/ 892 M), Ibn Jarir (w. 310 H/ 923), Ibn Abi Hātim (w. 327 H), ‘Abd ibn Hamid, Ibn
Abi ad-Dunya (w. 281 H/ 894 M).13
Senada dengan namanya, karya tafsir ini tergolong bil-ma’sūr karena secara
keseluruhan dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran, tafsir ini menggunakan penjelasan
nabi maupun shahabat yang dikutip dan dirujuk dari kitab-kitab hadits dan tafsir.
Sistematika penulisan kitab ini mengikuti tartib mushāfi (sesuai dengan urutan mushaf),
dimulai surat al-Fātihah dan diakhiri surat an-Nās. Pada awal pembahasan dicantumkan
ayat-ayat yang hendak dibahas kemudian dikutip riwayat-riwayat yang menjelaskan
asbāb an-nuzūl dan riwayat-riwayat lain yang menunjukkan penjelasan nabi atau
sahabat berkenaan dengan ayat-ayat tersebut secara sistematis. Metode yang digunakan
dalam penyusunan kitab ini adalah metode tahlili dengan bentuk bil-ma’sūr.14
F. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir al-Durr al-Manstur fi Tafsir al-
Ma’tsur
Beberapa keistimewaan dan kekurangan tafsir al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma’tsûr

diantaranya;

a. Kitab ini merupakan kitab tafsir yang berisi kumpulan bagian-bagian terpenting

unsur penafsiran ayat secara ma’tsûr. Di dalamnya jarang kita dapati unsur

penafsiran ayat yang bukan secara ma’tsûr atau tercampur unsur-unsur ra’yu.

Bagi kita yang hendak mencari kitab yang benar-benar kumpulan riwayat

ma’tsûr, barangkali al-Durr al-Mantsûr sebagai jawabannya.

13
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassrun Cet. 8. Juz I (Mesir:
Maktabah Wahbah, 2003), h. 254
14
Metode tahlili analitis adalah menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan memaparkan segala aspek yang
terkandung dalam ayat-ayatyang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di
dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayatayat tersebut. lihat
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 32.
Sementara tafsir bil-ma’tsūr merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul petama kali dalam
sejarah khazanah intelektual Islam. Praktik penafsirannya adalah ayatayat yang terdapat dalam Alquran
ditafsirkan dengan ayat-ayat yang lain atau dengan riwayat dari Nabi saw, para sahabat dan juga para
tabi’in. mengenai riwayat tabi’in terdapat perbedaan pendapat. Lihat Alfatih Suryadilaga, Metodologi
Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 42.

11
b. al-Durr al-Mantsûr merupakan kitab tafsir satu-satunya yang selaras antara

penamaan dan isi kitab tersebut. Sebab seringkali dalam kitab-kitab lain,

menamakan tafsir bil ma’tsûr akan tetapi isinya tidak selaras dengan namanya.

c. Meski sanad-sanad hadits dalam kitab ini banyak dibuang, akan tetapi tetap

memudahkan bagi pembaca kitab ini dalam merujuk sumber aslinya atau

minimal yang berkaitan dengan sumber aslinya.15

Ada beberapa hal yang patut untuk mendapat kritikan adalah adalah sebagai

berikut:

a. Secara keseluruhan, tidak ditemukannya kelengkapan sanad yang dapat

memperkuat riwayat yang disampaikan meskipun pada setiap awal riwayat

terdapat rujukan singkat seperti nama ulama dan kitab-nya yang memang

terkenal seperti yang diakui as-Suyûthî dalam muqoddimah kitab.

b. As-Suyûthî tidak menentukan kualitas riwayat yang dikutip sehingga

dimungkinkan masuknya isrậîliyật. Sebagai contoh, dalam menafsirkan QS. Al-

Maidah (5): 22 as-Suyûthî mengutip riwayat tentang keengganan kaum Nabi

Musa untuk memasuki Palestina karena mendapati orang-orang yang gagah

perkasa (kaum jabbarun). Hal ini tentunya memunculkan kecurigaan ketika

tidak dibarengi dengan validitas riwayat yang dicantumkan. Selain itu, dalam

riwayat yang dikutipnya terdapat banyak pengulangan (at-tikrar) dan bertele-

tele.

c. Tidak menggunakan ayat-ayat al-Qur’an yang lain sebagai sumber penafsiran

sehingga memberikan kesan bahwa petunjuk al-Qur’an bersifat parsial. Sebagai

contoh dan perbandingan, dalam tafsir Ibn Katsir menafsirkan kata ‫هدى‬

15
Al-Najjar, op.cit, h. 256

12
‫ للمتقين‬dalam QS. Al-Baqarah (2): 2 dengan ayat-ayat lain yaitu QS. Fussilat

(41): 44, QS. al-Isra’ (17): 82 dan QS. Yunus (10): 82.16 Sedangkan dalam

Tafsir al-Durr al-Mantsûr lebih menjelaskan apa yang yang disebut dan

dipahami sebagai ‫ هدى للمتقين‬tentunya melalui riwayat-riwayat yang berkaitan

secara berurutan.17

d. Sepi dari penggunaan ijtihad & aplikasi penafsiran terhadap kajian tertentu baik

dari sisi bahasa (kosakata/ lafaz), menjelaskan arti yang dikehendaki, unsur ‘ijaz

dan balaghah) maupun penjelasan-penjelasan lain seperti aspek kandungan

pengetahuan, hukum asbab al-nuzûl, munasabah dan tambahan ijtihad yang

lazim digunakan oleh para mufassîr.

Karena secara keseluruhan berisi riwayat, maka objek material tafsir ini adalah

riwayat-riwayat hadits. Sedangkan dalam proses penelitian hadits, yang menjadi awal

penelitian adalah kaidah ke-shahîh-an yang telah dikemukakan oleh para ulama. Kaidah

yang dimaksud adalah segala syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu hadits

yang berkualitas sahîh. Selain serentetan metodologi yang digunakan untuk menentukan

kualitas sanad, juga digunakan metodologi untuk menentukan kualitas matan hadis,

karena kualitas sanad dan matan tidak selalu sejalan.18 Ada kalanya sanad-nya sahîh

akan tetapi matannya mardûd. Dengan melakukan penelitian sanad, dapat diketahui

kualitas periwayatan sebuah hadis. Sedangkan dengan melakukan penelitian matan,

dapat diketahui matan sebuah hadits tersebut maqbul atau mardud (diterima atau

ditolak). Selain itu, standar untuk menentukan status hadis yang berkaitan dengan

16
Al-Hafiz Ibn Kasir, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azîm (Beirut: Maktabah an-Nur al-‘Ilmiyyah, 1991),
Jilid I, hlm. 37-38.
17
As-Suyûthî, op.cit, Jld I, h. 57.
18
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), hlm. 115

13
akidah, ibadah dan muamalah jelas berbeda dengan standar yang berkaitan dengan yang

lainnya. Ada yang terkesan longgar (mutasahil), (mutawasit) dan ketat (mutasyaddid).19

Sementara dari sisi penunjukannya (dalalah), secara umum para ulama sepakat

bahwa hadits dapat dijadikan hujjah, namun dalam beberapa hal berkenaan dengan

hadits secara keseluruhan masih terjadi diskusi panjang terhadap jenis-jenis hadis yang

dapat dijadikan hujjah. Tidak diragukan lagi semua ulama berpendapat bahwa hadis

mutawâtir dapat dijadikan hujjah, namun terhadap hadis ahâd masih menimbulkan

berbagai perbedaan pendapat. Ada yang menolak menjadikan hujjah dan ada yang

menerimanya dengan persyaratan bahwa hadis tersebut bernilai sahîh dan hasan serta

tidak dha’if.

Selain persoalan teknis mengenai kualitas sebuah hadis melalui kajian naqd al-

hadîts (lebih ditekankan pada kritik sanad dan matan), problem yang dialami seringkali

bersifat spesifik dan variatif. Respon Rasulullah SAW, terhadap problem yang dialami

pada masa itu dituntut melalui bahasa spesifik dan sesuai dengan karakter problem,

yang boleh jadi juga spesifik dan khas.

19
Suryadi (dkk.), Metodologi Penelitian Hadis (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga, 2006)

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Jalaluddin as-Suyuthi merupakan ulama besar pada abad ke 9 H, beliau adalah

penulis yang sangat produktif diberbagai disiplin ilmu pengetahuan, tidak hanya ilmu

yang berkaitan dengan hadits, fiqh dan balaghah, Ulama kelahiran Kairo tahun 849 H

ini juga merupakan salah seorang ulama yang menafsirkan al-Qur’an dalam berbagai

kitab tafsir, salah satu diantaranya adalah tafsir al-Durr al-Mantsur fi al- Tafsir al-

Ma’tsur.

Lebih lanjut, dari berbagai rujukan kitab ini digolongkan sebagai kitab bi al-

Ma’tsur. Setelah proses pembacaan dan adanya penjelasan di atas, penulis

menyimpulkan bahwa tafsir as-Suyuthi digolongkan ke dalam tafsir bi al-Ma’tsur. Hal

ini disebabkan karena dalam kitabnya, as-Suyuthi memasukkan berbagai jalur riwayat

yang beliau dapatkan. Riwayat dari Nabi, Sahabat, maupun Tabi‟in. Selain itu, as-

Suyuthi juga memasukkan beberapa jalur periwayatan yang ia dapat dari berbagai kitab

yang telah dikarang pada masa di atasnya.

Di sisi lain, selain penyebutan riwayat dalam model penafsirannya, dalam metode

yang digunakan juga tidak ada penyebutan mengenai adanya campur tangan ra‟yu dari

as-Suyuthi. Dan setelah melalui proses pembacaan, proses penafsiran kitab ini

sepenuhnya adalah tafsir yang didapat melalui riwayat.

15

Anda mungkin juga menyukai