Anda di halaman 1dari 26

TAFSIR IBNU KATSIR

Diposkan oleh EL-FATH_NAE di 01.49


I. PENDAHULUAN
Tafsir Ibnu Katsir merupakan kitab paling penting yang ditulis dalam masalah
tafsir al-Qur’an al-‘Azim, paling banyak diterima dan tersebar di tengah umat
Islam. Beliau telah menghabiskan waktu yang sangat lama untuk menyusunnya.
Tidak mengherankan jika penafsiran beliau sangat kaya dengan riwayat (baik
hadits maupun atsar), bahkan hampir seluruh hadits riwayat Imam Ahmad yang
terdapat dalam Kitab al-Musnad tercantum dalam kitab ini.
Beliau menggunakan rujukan-rujukan penting lainnya yang sangat banyak,
sehingga sangat bermanfaat dalam berbagai disiplin ilmu agama (seperti aqidah,
fiqh, dan lain sebagainya). Sangat wajar apabila Imam As-Suyuthi berkata : “
Belum pernah ada kitab tafsir yang semisal dengannya.”

II. PEMBAHASAN
A. Biografi Pengarang
Beliau adalah imam yang mulia Abdul Fida Imaduddin Ismail bin Umar bin
Katsir al-Quraisy al-Busharwi yang berasal dari kota Basharah, kemudian
menetap di Damascus. Beliau lahir pada tahun 705 H dan wafat pada tahun 774 H.
Beliau adalah seorang ulama yang terkenal dalam bidang tafsir, hadits, sejarah,
dan fiqh. Beliau mendengar hadits dari ulama-ulama Hidjaz dan mendapat ijazah
dari al-Wani serta mendapat asuhan dari ahli ilmu hadits terkenal di Suriah yaitu
Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mazi mertuanya sendiri. Ayahnya meninggal ketika
beliau masih berusia 6 tahun, oleh karena itu sejak tahun 706 H beliau hidup
bersama kakaknya di Damascus.
Beliau juga berguru kepada Ibnu Taimiyah dan sangat mencintai gurunya itu.
Sebagian ulama menggangap beliau sebagai salah seorang murid Ibnu Taimiyah
yang paling setia dan paling gigih mengikuti pandangan gurunya dalam masalah
fiqh dan tafsir.

B. Latar Belakang Penulisan


‫ور ِه ْم َوا ْشت ََر ْوا ِب ِه ثَ َم ًنا‬ ُ ‫اس َو ََل ت َ ْكتُ ُمونَهُ فَنَ َبذُوهُ َو َرا َء‬
ِ ‫ظ ُه‬ َ ‫َّللاُ ِميثَاقَ الهذِينَ أُوتُوا ْال ِكت‬
ِ ‫َاب لَت ُ َب ِينُنههُ ِللنه‬ ‫َو ِإذْ أ َ َخذَ ه‬
َ‫س َما َي ْشت َُرون‬ ً
َ ْ‫قَ ِليًل فَبِئ‬
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang
telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada
manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." Lalu mereka melemparkan
janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga
yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima.”(QS. Ali Imran 187)
Dengan firman Allah di atas, maka menurut Ibnu Katsir wajib bagi ulama untuk
menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam firman Allah dan tafsirya.

C. Bentuk, Metode dan Coraknya


Tafsir Ibnu Katsir dipandang sebagai salah satu tafsir bi al-ma’tsur yang terbaik,
berada hanya setingkat di bawah tafsir Ibnu Jarir at-Thabary. Ibnu Katsir
menafsirkan al-Qur’an berdasarkan hadits-hadits dan atsar-atsar yang disanadkan
kepada perawinya, yaitu para sahabat dan tabi’in.
Dalam bidang tafsir, Ibnu Katsir mempunyai metode tersendiri. Menurutnya jika
ada yang bertanya: “Apakah metode tafsir yang paling bagus?” maka jawabnya:
“Metode yang paling shahih dalam hal ini adalah menafsirkan ayat al-Qur’an
dengan ayat al-Qur’an. Dan perkara-perkara yang global di satu ayat dapat
ditemukan rinciannya dalam ayat lain. jika tidak mendapatkannya maka
hendaklah mencarinya dalam Sunnah kerena Sunnah adalah penjelas bagi al-
Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:
ِ ‫َّللاُ َو ََل تَ ُك ْن ِل ْلخَائِنِينَ خ‬
‫َصي ًما‬ ‫اس ِب َما أَ َراكَ ه‬ ِ ‫َاب ِب ْال َح‬
ِ ‫ق ِلتَحْ ُك َم بَيْنَ النه‬ َ ‫ِإنها أ َ ْنزَ ْلنَا ِإلَيْكَ ْال ِكت‬
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang
telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang
yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.”
Jadi menurut menurut hemat penulis, Ibnu Katsir dalam penafsirannya
mempunyai metode sebagai berikut:
1. Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
2. Bila penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an tidak didapatkan, maka al-Qur’an
ditafsirkan dengan hadits Nabi.
3. Kalau yang kedua tidak didapatkan maka al-Qur’an harus ditafsirkan oleh
pendapat para sahabat, karena mereka orang yang paling mengetahui konteks
sosial turunnya ayat dalam al-Qur’an.
4. Jika yang ketiga juga tidak didapatkan, maka pendapat para tabi’in perlu
diambil.

Bentuk Penafsirannya
Dari aspek bentuk penafsirannya, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya Ibnu Katsir ini
memakai bentuk riwayat (al-ma’tsur). Hal ini dapat dibuktikan dari hasil
penafsiran Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim yang banyak
menggunakan riwayat-riwayat baik dari para sahabat maupun para tabi’in.
Metode Penafsirannya
Dari empat macam metode penafsiran yang berkembang sepanjang sejarah tafsir
al-Qur’an, berdasarkan penelitian saya terhadap Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya
Ibnu Katsir, ternyata metode yang digunakan dalam tafsir ini adalah metode
analitis (tahlili).
Corak Penafsirannya
Dari beberapa corak penafsiran yang berkembang sepanjang sejarah tafsir al-
Qur’an, berdasarkan penelitian saya terhadap Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya
Ibnu Katsir, ternyata corak yang digunakan Ibnu Katsir dalam tafsir al-Qur’an al-
‘Adzim adalah bercorak umum.

D. Karakteristiknya
Diantara ciri khas tafsir Ibnu Katsir adalah perhatiannya yang besar kepada
masalah tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an (menafsirkan ayat dengan ayat). Sepanjang
pengetahuan saya, tafsir ini merupakan tafsir yang paling banyak memuat atau
memaparkan ayat-ayat yang bersesuaian maknanya, kemudian diikuti dengan
penafsiran ayat dengan hadits-hadits marfu’ yang relevan dengan ayat yang
sedang ditafsirkan, menjelaskan apa yang menjadi dalil dari ayat tersebut.
Selanjutnya diikuti dengan atsar para sahabat, pendapat tabi’in dan ulama salaf
sesudahnya.
Dalam hal ini, Rasyid Ridha berkomentar, “Tafsir ini merupakan tafsir paling
masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap riwayat-riwayat dari para
mufassir salaf, menjelaskan makna-makna ayat dan hukumnya, menjauhi
pembahasan masalah I’rab dan cabang-cabang balaghah yang pada umumnya
dibicarakan secara panjang lebar oleh kebanyakan mufassir, menghindar dari
pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam
memahami al-Qur’an secara umum atau hukum dan nasehat-nasehatnya secara
khusus.”
Keistimewaan lain dari tafsir Ibnu Katsir adalah daya kritisnya yang tinggi
terhadap cerita-cerita Israiliyat yang banyak tersebar dalam kitab-kitab tafsir bil-
ma’tsur, baik secara global maupun mendetail.
E. Perbedaan dengan Tafsir At-Thabari
Kitab tafsir at-Thabari yaitu “Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an”, merupakan
tafsir paling besar dan utama, menjadi rujukan penting bagi para mufassir bil-
ma’tsur. Para ulama sependapat bahwa belum pernah sebuah kitab tafsir pun yang
ditulis sepertinya. Sehingga Ibnu Katsir pun banyak menukil darinya. Tidak aneh
lagi jika tafsir Ibnu Katsir memiliki sedikit kemiripan dengan tafsir at-Thabari.
Namun dari persaman itu memunculkan perbedaan diantara kedua kitab tafsir itu,
yaitu diantaranya pada kitab tafsir at-Thabari memaparkan tafsir dengan
menyandarkan kepada sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sehingga pada kitab
tafsir at-Thabari terdapat cerita-cerita Israiliyat. Berbeda dengan kitab tafsir Ibnu
Katsir, beliau sangat kritis terhadap cerita-cerita Israiliyat
Nama lengkapnya adalah Abul Fida’, Imaduddin Ismail bin Umar
bin Katsir al-Qurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi, lebih dikenal
dengan nama Ibnu Katsir. Beliau lahir pada tahun 701 H di
sebuah desa yang menjadi bagian dari kota Bashra di negeri
Syam.
Pada usia 4 tahun, ayah beliau meninggal sehingga kemudian
Ibnu Katsir diasuh oleh pamannya. Pada tahun 706 H, beliau
pindah dan menetap di kota Damaskus.

Riwayat Pendidikan

Ibn Katsir tumbuh besar di kota Damaskus. Di sana, beliau


banyak menimba ilmu dari para ulama di kota tersebut, salah
satunya adalah Syaikh Burhanuddin Ibrahim al-Fazari.
Beliau juga menimba ilmu dari Isa bin Muth’im, Ibn Asyakir, Ibn
Syairazi, Ishaq bin Yahya bin al-Amidi, Ibn Zarrad, al-Hafizh adz-
Dzahabi serta Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Selain itu, beliau
juga belajar kepada Syaikh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mizzi,
salah seorang ahli hadits di Syam. Syaikh al-Mizzi ini kemudian
menikahkan Ibn Katsir dengan putrinya.

Selain Damaskus, beliau juga belajar di Mesir dan mendapat


ijazah dari para ulama di sana.

Prestasi Keilmuan

Berkat kegigihan belajarnya, akhirnya beliau menjadi ahli tafsir


ternama, ahli hadits, sejarawan serta ahli fiqih besar abad ke-8
H. Kitab beliau dalam bidang tafsir yaitu Tafsir al-Qur’an al-
‘Azhim menjadi kitab tafsir terbesar dan tershahih hingga saat
ini, di samping kitab tafsir Muhammad bin Jarir ath-Thabari.

Para ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah sebaik-


baik tafsir yang ada di zaman ini, karena ia memiliki berbagai
keistimewaan.
Keistimewaan yang terpenting adalah menafsirkan al-Qur’an
dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat yang lain), menafsirkan al-
Qur’an dengan as-Sunnah (Hadits), kemudian dengan perkataan
para salafush shalih (pendahulu kita yang sholih, yakni para
shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), kemudian dengan kaidah-
kaidah bahasa Arab.

Karya Ibnu Katsir


Selain Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, beliau juga menulis kitab-kitab
lain yang sangat berkualitas dan menjadi rujukan bagi generasi
sesudahnya, di antaranya adalah al-Bidayah Wa an-Nihayah
yang berisi kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, Jami’ Al
Masanid yang berisi kumpulan hadits, Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits
tentang ilmu hadits, Risalah Fi al-Jihad tentang jihad dan masih
banyak lagi.

Kesaksian Para Ulama

Kealiman dan keshalihan sosok Ibnu Katsir telah diakui para


ulama di zamannya mau pun ulama sesudahnya. Adz-Dzahabi
berkata bahwa Ibnu Katsir adalah seorang Mufti (pemberi
fatwa), Muhaddits (ahli hadits), ilmuan, ahli fiqih, ahli tafsir dan
beliau mempunyai karangan yang banyak dan bermanfa’at.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata bahwa beliau adalah


seorang yang disibukkan dengan hadits, menelaah matan-matan
dan rijal-rijal (perawinya), ingatannya sangat kuat, pandai
membahas, kehidupannya dipenuhi dengan menulis kitab, dan
setelah wafatnya manusia masih dapat mengambil manfa’at
yang sangat banyak dari karya-karyanya.

Salah seorang muridnya, Syihabuddin bin Hajji berkata, “Beliau


adalah seorang yang plaing kuat hafalannya yang pernah aku
temui tentang matan (isi) hadits, dan paling mengetahui cacat
hadits serta keadaan para perawinya. Para sahahabat dan
gurunya pun mengakui hal itu. Ketika bergaul dengannya, aku
selalu mendapat manfaat (kebaikan) darinya.

Wafatnya

Ibnu Katsir meninggal dunia pada tahun 774 H di Damaskus dan


dikuburkan bersebelahan dengan makam gurunya, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah.
Muhammad Ramdhoni*)

I. Muqaddimah

1.1.Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah memberikan begitu banyak
nikmat dan karunianya kepada kita semua, sehingga kita mampu untuk
melaksanakan rutinitas kita. Shalawat serta salam semoga tetap mengalir kepada

Rasulallah Muhammad S aw., yang


telah mengemban risalah kenabian dengan baik sehinga kita dapat mersakan
nikmat iman dan islam.

Al-Qur’an adalah sumber hukum pertama umat Islam. Kebahagiaan mereka


bergantung pada kemampuan memahami maknanya, pengetauan rahasia-
rahasianya dan pengalaman yang terkandung didalamnya. Kemampuan setiap
orang dalam menafsirkan Al-Qur’an tentu berbeda, padahal penjelasan ayat-
ayatnya begitu jelas. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah sesutau
yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-
makna lahirnya dan bersifat global. Sedangkan kalangan cendikiawan dan
terpelajar akan dapat memahami dan menyingkap makna-maknanya secara
menarik. Didalam kedua kelompok inipun terdapat aneka ragam dan tingat
pemahaman. Maka tidaklah mengherankan jika Al-Qur’an mendapatkan perhatian
besar dari umatnya melaluai pengkajian intensif terutama dalam rangka
menafsirkan kata-kata yang asing atau dalam mena’wilkan suatu redaksi kalimat.

Umat Islam memiliki banyak sekali ahli tafsir, diantara mereka ada dari kalangan
shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in bahkan ada juga dari ulama zaman ini yang
mencoba untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an. Dalam tulisan yang singkat ini kami
akan menganalisa bagaimana Ibnu Katsir menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
1.2. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an merupakan Mu’jizat Islam yang abadi, dimana semakin maju ilmu
pengetahuan, semakin jelas kemu’jizatannya. Allah swt. Menurunkannya kepada
nabi Muhammad saw. Demi membebaskan manusia dari berbagai kegelapan
hidup menuju cahaya ilahi, dan membimbing mereka kejalan yang lurus.
Rasulallah menyampaikannya kependuduk asli Arab yang sudah tentu dapat
memahami tabiat mereka. Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas bagi mereka
tentang ayat-ayat yang mereka terima, mereka langsung menanyakan kepada
Rasulallah saw..

Dalam ilmu tafsir Al-Qur’an banyak sekali ulama yang mencoba menafsirkan
ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Dalam penafsirannya para mufassirin dibagi kedalam
dua kelompok, yaitu mufassir yang menafsirkan ayat dengan menggunakan
metode bil ma’tsur dan para mufassirin yang menafsirkan ayat dengan
menggunakan metode bir Ra’yi. Metode bil ma’tsur yaitu menafsirkan ayat
dengan ayat, ayat dengan sunnah, ayat dengan perkataan shahabat atau ayat
dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in. Sedangkan metode bir ra’yi yaitu
menafsirkan ayat dengan pemahaman mufassir sendiri.

Adapun dalam tulisan ini kami aka mencoba meneliti metode yang dipakai Ibnu
Katsir dalam menafsirkan ayat al-Qur’an yang konon katanya merupakan tafsir
Al-Qur’an bil ma’tsur terbaik kedua setelah tafsir at-Thabari. Penulisan ini
bertujuan untuk memperoleh nilai tugas dari dosen Ulmul Qur’an.

1.3.Rumusan Masalah

Dalam perumusan masalah ini kami menggunakan beberapa pertanyaan yaitu

1. Bagaimanakah Ibnu Katsir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam


tafsirnya
2. Apa kelebihan dan kekurangan tafsir Ibnu Katsir

II. Profil Tokoh

2.1. Biografi Singkat Ibnu Katsir

Nama lengkap Ibnu Katsir ialah, Abul Fidâ ‘Imaduddin Isma’il bin Syeh Abi
Haffsh Syihabuddin Umar bin Katsir bin Dla`i ibn Katsir bin Zarâ` al-Qursyi al-
Damsyiqi. Ia di lahirkan di kampung Mijdal, daerah Bashrah sebelah timur kota
Damaskus, pada tahun 700 H. Ayahnya berasal dari Bashrah, sementara ibunya
berasal dari Mijdal. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Hafsh Umar ibn Katsir.
Ia adalah ulama yang faqih serta berpengaruh di daerahnya. Ia juga terkenal
dengan ahli ceramah. Hal ini sebagaimana di ungkapkan Ibnu Katsir dalam kitab
tarikhnya (al-Bidâyah wa al-Nihâyah). Ayahnya lahir sekitar tahun 640 H, dan ia
wafat pada bulan Jumadil ‘Ula 703 H. di daerah Mijdal, ketika Ibnu Katsir berusia
tiga tahun, dan dikuburkan di sana.

Ibnu Katsir adalah anak yang paling kecil di keluarganya. Hal ini sebagaimana
yang ia utarakan; “ Anak yang paling besar di keluarganya laki-laki, yang
bernama Isma’il, sedangkan yang paling kecil adalah saya “. Kakak laki-laki yang
paling besar bernama Ismail dan yang paling kecilpun Ismail.

Sosok ayah memang sangat berpengaruh dalam keluarga. Kebesaran serta


tauladan ayahnyalah pribadi Ibnu Katsir mampu menandingi kebesaran ayahnya,
bahkan melebihi keluasan ilmu ayahnya. Dibesarkan dalam keluarga yang taat
beragama, serta senantiasa menjunjung nilai-nilai keilmuan, mampu melahirkan
sosok anak saleh dan bersemangat dalam mencari mutiara-mutiara ilmu yang
berharga dimanapun. Dengan modal usaha dan kerja keras Ibnu Katsir menjadi
sosok ulama yang diperhitungkan dalam percaturan keilmuan.

Ibnu Katsir mulai sedari kecil mencari ilmu. Semenjak ayahnya wafat kala itu
Ibnu Katsir baru berumur tiga tahun, selanjutnya kakaknya bernama Abdul
Wahab yang mendidik dan mengayomi Ibnu Katsir kecil. Ketika genap usia
sebelas tahun, Ia selesai menghafalkan al-Qur`an.

Pada tahun 707 H, Ibnu Katsir pindah ke Damaskus. Ia belajar kepada dua Grand
Syaikh Damaskus, yaitu Syaikh Burhanuddin Ibrahim Abdurrahman al-Fazzari
(w. 729) terkenal dengan ibnu al-Farkah, tentang fiqh syafi’i. lalu belajar ilmu
ushul fiqh ibn Hâjib kepada syaikh Kamaluddin bin Qodi Syuhbah. Lalu ia
berguru kepada; Isa bin Muth’im, syeh Ahmad bin Abi Thalib al-Muammari (w.
730), Ibnu Asakir (w. 723), Ibn Syayrazi, Syaikh Syamsuddin al-Dzhabi (w. 748),
Syaikh Abu Musa al-Qurafi, Abu al-Fatah al-Dabusi, Syaikh Ishaq bin al-Amadi
(w. 725), Syaikh Muhamad bin Zurad. Ia juga sempat ber-mulajamah kepada
Syaikh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mazi (w. 742), sampai ia mendapatkan
pendamping hidupnya. Ia menikah dengan salah seorang putri Syaikh al-Mazi.
Syeh al-Mazi, adalah yang mengarang kitab “Tahdzîbu al-kamâl” dan “Athrâf-u
al-kutub-i al-sittah“.

Begitu pula, Ibnu Katsir berguru Shahih Muslim kepada Syaikh Nazmuddin bin
al-Asqalani. Selain guru-guru yang telah dipaparkan di atas, masih ada beberapa
guru yang mempunyai pengaruh besar terhadap Ibnu Katsir; mereka adalah Ibnu
Taymiyyah. Banyak sekali sikap Ibnu Katsir yang terwarnai dengan Ibnu
Taymiyah, baik itu dalam berfatwa, cara berpikir juga dalam metode karya-
karyanya. Dan hanya sedikit sekali fatwa beliau yang berbeda dengan Ibnu
Taymiyyah.

Sementara murid-murid beliaupun tidak sedikit, diantaranya Syihabuddin bin haji.


Pengakuan yang jujur lahir dari muridnya, “Ibnu Katsir adalah ulama yang
mengetahui matan hadits, serta takhrij rijalnya. Ia mengetahui yang shahih dan
dha’if”. Guru-guru maupun sahabat beliau mengetahui, bahwa ia bukan saja
ulama yang kapabel dalam bidang tafsir, juga hadits dan sejarah. Sejarawan
sekaliber al-Dzahabi, tidak ketinggalan memberikan sanjungan kepada Ibnu
Katsir, “Ibnu Katsir adalah seorang mufti, muhaddits, juga ulama yang faqih dan
kapabel dalam tafsir”.

Genap usia tujuh puluh empat tahun akhirnya ulama ini wafat, tepatnya pada hari
Kamis, 26 Sya’ban 774 H. Ia di kuburkan di pemakaman shufiyah Damaskus,
disisi makam guru yang sangat dicintai dan dihormatinya yaitu Ibnu Taimiyah. [1]

III. Karya – karya Ibnu katsir

3.1.Sekilas tentang karya – karya Ibnu katsir

Sosok ulama seperti Ibn Katsir, memang jarang kita temui, ulama yang lintas
kemampuan dalam disiplin ilmu. Spesialisasinya tidak hanya satu jenis ilmu saja.
Selain itu, ia juga sangat produktif dalam karya, telah banyak karya-karya yang
lahir dari tangan dan ketajaman berpikirnya. Di antara karya-karya beliau adalah :

1. Tafsîr al-Qur`an al-Azhîm ( akan kita bahas dalam tulisan ini)


2. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah. Buku ini membahas tentang sejarah. Buku ini
sering dijadikan rujukan para peneliti sejarah. Sumbernya begitu autentik.
Karyanya ini berisikan berbagai tinjauan sejarah. Pertama, pemaparan
tentang sejarah dan kisah Nabi-nabi beserta umatnya di masa lalu. Kisah
ini ditopang dengan dalil-dalil yang kuat, baik itu dari al-Qur`an maupun
al-Sunnah, juga pendapat-pendapat para mufassir, muhaddits dan
sejarawan. Kedua, Ia menguraikan secara jelas mengenai bangsa Arab
jaman jahiliyah, kemudian bangsa Arab ketika kedatangan Nabi Saw dan
perjalanan dakwah Nabi Saw beserta para sahabatnya. Buku ini di akhiri
dengan kisah Dazzal, juga ia ungkapkan mengenai tanda-tanda kiamat
lainnya.
3. Al-Takmîl fî makrifati al_tsiqât wa al-dlu’afâ` wa- al majâhil. Buku ini
adalah rujukan dalam ilmu hadist serta untuk mengetahui jarh wa ta’dil.
karya ini adalah karya gabungan dua karya imam Dzahabi yaitu Tahdzîbu
al-kamâl fî asmâ`i al rijâl dan Mîzân al i’tidâl fî naqdi al-rijâl dengan
tambahan dalam jarh wa ta’dil.
4. Al-Hadyu wa al-Sunan fî Ahâdits al-Masânid wa al-Sunan atau yang
mashur dengan istilah Jâmi’ al-Masânid. Dalam kitab ini, Ibnu Katsir
menggabungkan kitab musnad imam Ahmad (w.241), al-Bajjar (w.291),
Abi Ya’la (w.307) Ibn Abi Syaybah (w.297), bersama kitab yang enam.
Kemudian Ia menyusunnya dengan bab per bab.
5. Al-Sîrah al-Nabawiyah.
6. Al-Musnad al-syaykhân (musnad Abu Bakar dan Umar).
7. Syamâil al-rasûl wa dalâilu nubuwwatihi wa fadlâilihi wa khashâ`isihi (di
nukil dari kitab bidâyah wa nihâyah)
8. Ikhtishar al-Sîrah al-Nabawiyah. Di ambil dari bidâyah wa nihâyah
terkhusus mengenai kisah bangsa Arab jaman jahiliyah dan jaman Islam
serta sirah Nabi Saw.
9. Al-Ahâdîts al-tawhîd wa al-rad ‘alâ al-syirk.
10. Syarh Bukhari (tidak selesai)
11. Takhrîj ahâdîts muktashar ibn al-hâjib.
12. Takhrîj ahâdîts adillatu al-tanbîh fî fiqh al-syaafi’i.
13. Muktashar kitab Bayhaqi (al-madkhal ilâ al-sunan)
14. Ikhtishar ‘ulûmu al-hadîts li ibn al-shalâh.
15. Kitâb al-simâ’.
16. Kitâb al-ahkâm (tidak selesai hanya sampai bab haji saja)
17. Risâlah al-jihâd.
18. Thabâqât al-syafi’iyyah.
19. Al-Kawâkib al-Dirâri (dinukil dari kitab bidâyah wa nihâyah)
20. Al-Ahkâm al-Kabîrah.
21. Manâqib al-syâfi’i..

3.2. Bentuk fisik tafsir Ibnu Katsir

Pada mulanya buku ini ditulis dengan sepuluh jilid, tapi kemudian dicetak
dengan empat jilid dengan jilidan yang sangat tebal. Pada terbitan Daarul Jiil,
Beirut, tahun 1991, kalasifikasinya seperti berikut :

1. Jilid I, dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nisaa. Tebal : 552 halaman
2. Jilid II, dari surat al-Maidah sampai surat an-Nahl. Tebal : 573 halaman
3. Jilid III, dari surat al-Israa samapai surat Yaasiin. Tebal : 558 halaman
4. Jilid IV, dari surat as-Shaafat sampai surat an-Naas. Tebal :580 halaman
[2]

IV. Metodologi Tafsir ibnu Katsir

Sebelum kita mengambil beberapa penafsiran dari ayat Al-Qur’an yang telah
ditafsiran Ibnu Katsir, alangkah lebih baiknya kita mengenal latar belakang
keilmuan dan kondisi yang terjadi pada masa Ibnu Katsir, sehingga kita
mengetahui bagaimana relevansi kondisi itu denan peafsiran ayat Al-Qur’an.

Karakater karya seseorang tidak akan bisa dilepaskan dari kecondongan minat
orang tersebut, kira-kira seperti itu jugalah tafsir ibnu katsir. Sosok Ibnu Katsir
yang condong kepada keabsahan turats telah ikut mewarnai karyanya. Begitu juga
hal ini tidak bisa lepas dari kondisi jaman saat itu, perhelatan aliran pemikiran
pada abad ke 7/8 H memang sudah kompleks. Artinya telah banyak aliran
pemikiran yang telah ikut mewarnai karakter seseorang.
Pemahaman yang orisinil untuk mempertahankan keauntetikan Qur`an dan sunnah
terus dijaga. Inilah sebagian pewarnaan Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Selain itu,
kelompok-kelompok yang mengagungkan akal secara berlebihan dan thariqah-
thariqah shufiyah telah beredar luas kala itu. Islam telah berkembang pesat dan
banyak ‘agamawan’ yang masuk ke dalam Islam. Hal ini ikut pula mempengaruhi
sekaligus mewarnai perkembangan wawasan pemikiran.

Ibnu Katsir yang telah ter-sibghah dengan pola pikir gurunya (Ibnu Taymiyah)
sangat terwarnai dalam metode karya-karyanya. Sehingga dengan jujur Ia berkata,
bahwa metode tafsir yang ia gunakan persis sealur dan sejalur dengan gurunnya
Ibnu Taymiyyah. Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa tafsir ibnu katsir
telah menjadi rujukan kategori tafsir bil-ma’tsur. Yang tentunya hal ini tidak bisa
dipisahkan dari metode beliau dalam karyanya.

Untuk lebih jelasnya mari kita analisa beberapa ayat berikut :

Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 47 juz 1

“ Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah aku anugerahkan
kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya aku telah melebihkan kamu atas
segala umat.”

Allah mengingatkan Bani Israil akan nikmat yang dulu diberikan kepada nenek
moyang dan pendahulu mereka. Yaitu nikmat keungulan mereka berupa
pengangkatan sebagian mereka menjadi rasul, penurunanan Al-Kitab, dan
mengunggulkan mereka atas umat lain pada zamannya, sebagaimana Allah
berfirman , “ Dan sesunguhnya telah kami pilih mereka dengan pengetahuan
(kami) atas bangsa-bangsa.’ ( Ad-Dukhan : 32). Abul Aliyah berkata, “ mereka
mendapat keunggulan melalui kerajaan, pra rasul, da kitab-kitab, atas umat lain
pada zamannya. Karena pada setiap zaman ada umat yang unggul.

Diriwayatkan dari mujahid dan dari yang lainnya bahwa ayat di atas harus
ditafsirkan seperti itu, karena umat ini, yakni umat islam, lebih unggul dari bani
israil, berdasarkan firman Alah tenang umat ini, “ Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
menceah dari yang munkar dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab
beriman , tentulah itu lebih baik bagi mereka.” ( Ali-Imran :110), maka ayat
diatas tidak boleh dibelokan unuk mengunggulkan Bnai Israil atas umat-umat
yang lain, baik yang sebelum taupun ssesudahnya. Ibrahim yang ada sebelum
mereka adalah lebih unggul dar segenap nabi terdahulu. tetapi Muhamad saw.
Yang lahir setelah mereka adalah orang yang paling unggul atas semua mahluk,
junjungan umat manusia, baik didunia aupun di akhirat. Shalawat, salam dan
erkah Allah semoga terlimpah atasnya.

Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 210 juz 2


“ Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan Malaikat
(pada hari kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya. dan
hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan.”

Allah mengancam kaum kafir,” Tiada yang mereka nanti-nantikan kecuali Allah
mendatangkan merka dalam naungan awan dan malaikat,” yakni pda hari kiamat
sebagai penetapan keputusan antara orang-orang terdahulu dan kemudian, lalu
setiap pelaku dibalas selaras dengan perilakunya. Jika perilakunya baik maka akan
dibalas dengan kebaikan , dan jika buruk maka dibalas dengan keburukan. Oleh
karena itu Allah swt. berfirman lalu diputuskan lah persoalan itu, dan kepada
Allah –lah segala persoalan itu dikembalikan”, sebagaiman Allah berfirman, “
Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi diguncangkan berturut-turut dan
datanglah Tuhanmu, sedangkan malaikat berbaris-baris, dan pada hari itu
diperlihatkan neraka jahanam; dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi
tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan, ‘ Alangkah baiknya
jika aku dahulu mengerjakan (amal shaleh) untuk hidupku ini.” ( al-Fajr :21-24)

Berkaitan dengan kejadian itu, Ibnu Jarir menuturkan sebuah hadits yang akan
dikemukakan intinya. Hadits itu diterima dari Abu Hurairah, dari Rasulallah saw.
Hadits ini terkenal dan dideretkan bukan hanya oleh seorang dari berbagai sanad.
Dalam hadits itu dikatakan, “….Sesunguhnya tatkala manusia hendak menuju
tempatnya di beberapa lapangan, maka mereka akan meminta syafaat kepada
Tuhan mereka melalui para nabi, satu demi satu, mulai dari Adam kemudian
kepada nabi yang sesudahnya. Semuanya menyatakan tidak mampu untuk
member manfaaat. Akhirnya sampailah mereka kepada nabi Muhammad saw..
Ketika mereka menemuinya, beliau bersabda, ‘Aku akan memintakan syafaat
…aku akan memintakannya.’ Kemudian beliau pergi dan bersujud kepada Allah
dibawah Arasy. Beliau memberikan syafaat, pada sisi Allah untuk tampi
menyelesaikan permasalahan diantara para hamba. Dia menjadkan nabi dapat
memberi syafaat, dan Dia datang dalam naungan awan dan malaikat. Kedatangan-
Nya itu terjadi setelah terbelahnya langit dunia dan turunnya para malaikat yang
ada disana. Kemudian terbelah pula langit kedua, ketiga hingga langit ketujuh.
Kemudian turu pula para malaikat yang memikul Arasy dan malaikat karabiyun.
Nabi bersabda,’ maka turunlah yang maha perkas Azza wa jalla dalam naungan
aan dan malaikat yag bergemuruh oleh suara tasbih mereka yang mengatakan :
‘Maha suci pemilik kekuasaan dan seluruh kerajaan, maha suci pemilik
kegagahan dan keperkasaan, Maha suci Dzat yang hidup dan tdak akan mati,
mahasuci zat yang mematikan seluruh makhluk sedang Dia tidak akan mati,
Mahasuci, Maha qudustuhan para malaikat dan Jibril, Mahasuci dan Mahaqudus
kesucian Tuhan kami yang Maha tinggi, Mhasuci pemiik kekuasaan dan
kebesaran, dan Mahasuci…..Mahasuci….untuk selama-lamanya..selamanya”.

Al-Qur’an surat an-Naba ayat 31-36 juz 30

31. Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan, 32. (yaitu)


kebun-kebun dan buah anggur, 33. Dan gadis-gadis remaja yang sebaya, 34. Dan
gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). 35. Di dalamnya mereka tidak
mendengar Perkataan yang sia-sia dan tidak (pula) Perkataan dusta. 36. Sebagai
pembalasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak,

Allah swt. menggambarkan tentang orang-orang yang akan mendapatkan


kebahagiaan beserta kemulian dan kenikmatan abadi yang telah disediakan Allah
Ta’ala bagi mereka. Allah swt. berfirman, “ Sesungguhnya orang-orang yang
bertaqwa mendapatkan kemenangan. “ Ibnu Abbas mengatakan mafazan artinya
berjalan-jalan, karena selanjutnya Allah swt. berfirman,” Kebun-kebun dan buah
anggur dan gadis-gadis remaja yang sebaya ,” yaitu bidadari yang montok buah
dadanya. Mereka adalah gadis yang sebaya dan sangat mencintai pasanganya.

Allah swt. berfirman , “ Dan gelas-gelas yang penuh,” berisi terus menerus, tak
pernah kosong . ”Didalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia
dan tidak pula dusta,” sebagaiman firman-Nya,” Didalam surga itu mereka
saling memperebutkan piala yang isinya tidak (kata-kata) yang tidak berfaedah
dan tidak pula perbuatan dosa. ”( ath-Thuur :23) yaitu, di dalam surga itu tidak
terdapat kata-kata yang tidak berfaedah dan tidak pula dosa dan dusta, bahkan
surga merupakan tempat tinggal yang dipenuhi dengan kesejahteran dan semua
yang terdapat didalamnya selamat dari berbagai macam kekurangan.

Allah swt. berfirman ,” Sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang
cukup”. Yaitu semua yang disebutkan ini merupakan balasan Allah terhadap
mereka , dan Allah memberikannya kepada mereka sebagai karunia, nikmat,
kebaikan dan rahmt-Nya. “ Dan pemberian yang cukup”. Hisaban dalam ayat ini
arinya ‘cukup’. Arti ini terdapat dalam ungkapan hasbiyallah, artinya ‘cukup
Allah bagi diriku, tidak perlu yang lain’.

Dari penafsiran diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa metode yang
digunakan Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an adalah sebagai berikut:

1. Menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an. Pendeknya, Ia menjelaskan


satu ayat dengan ayat yang lain, karena dalam satu ayat di ungkapkan
dengan abstrak (mutlak) maka pada ayat yang lain akan ada pengikatnya
(muqayyad). Atau pada suatu ayat bertemakan umum (’âm) maka pada
ayat yang lain di khususkan (khâsh). Ibnu Katsir menjadikan rujukan ini
berdasarkan sebuah ungkapan, “bahwa cara yang paling baik dalam
penafsiran, adalah menafsirkan ayat dengan ayat yang lain”. Pada contoh
diatas yaitu surat al-Baqarah ayat 47, al-Baqaah ayat 210 serta an-Naba
ayat 35, Ibnu Katsir menyitir ayat al-Qur’an ang lain untuk lebih jelas
menafsirkannya.
2. Menafsirkan al-Qur`an dengan Sunnah (Hadits). Ibnu Katsir menjadikan
Sunnah sebagai referensi kedua dalam penafsirannya. Bahkan dalam hal
ini, Ibnu Katsir tidak tanggung-tanggung untuk menafsirkan suatu ayat
dengan berpuluh-puluh hadits –bahkan mencapai 50 hadits – kasus ini bisa
dilihat ketika menafsirkan surat al-Isrâ. Adapun pada contoh diatas
terdapat pada surat al-Baqarah ayat 210.
3. Tafsir Qur`an dengan perkataan sahabat. Ibnu Katsir berkata, jika kamu
tidak mendapati tafsir dari suatu ayat dari al-Qur`an dan Sunnah, maka
jadikanlah para sahabat sebagai rujukannya, karena para sahabat adalah
orang yang adil dan mereka sangat mengetahui kondisi serta keadaan
turunnya wahyu. Ia menjadikan konsep ini berdasarkan beberapa riwayat,
di antaranya atas perkataan Ibnu Mas’ud: “demi Allah tidak suatu ayat itu
turun kecuali aku tahu bagi siapa ayat itu turun dan di mana turunnya. Dan
jika ada seseorang yang lebih mengetahui dariku mengenai kitab Allah,
pastilah aku akan mendatanginya“. Juga riwayat yang lain mengenai
didoakannya Ibnu Abbas oleh Rasululllah saw, “ya Allah fahamkanlah
Ibnu Abbas dalam agama serta ajarkanlah ta’wil kepadanya“. Kita dapat
melihat pada surat an-Naba ayat 31 beliau menukil perkataan Ibnu Abbas.
4. Menafsirkan dengan perkataan tabi’in. Cara ini adalah cara yang paling
akhir dalam cara menafsirkan Al-Qur`an dalam metode bil-ma`tsur. Ibnu
Katsir merujuk akan metode ini, karena banyak para ulama tafsir yang
melakukannya, artinya, banyak ulama tabi’in yg dijadikan rujukan dalam
tafsir. Seperti perkataan ibnu Ishaq yang telah menukil dari Mujahid,
bahwa beliau memperlihatkan mushaf beberapa kali kepada Ibnu Abbas,
dan ia menyetujuinya. Sufyan al-Tsauri berkata, “jika Mujahid
menafsirkan ayat cukuplah ia bagimu”. Selain Mujahid, di antara ulama
tabi’in adalah Sa’id bin Jabir, Ikrimah, Atha’ bin Rabah, Hasan al-Bashri,
Masruq bin al-Ajdi, Sa’id bin Musayyab, Abu al-’aliyah, Rabi’ bin Anas,
Qatadah, al-Dahhaak bin Muzaahim Radliyall^ahu ‘anhum[3]. Kita dapat
melihat pada surat al-Baqarah ayat 47 beliau menukil perkataan Mujahid.

4.2. Sikapnya terhadap Israiliyat

Sikap Ibnu Katsir dalam israiliyat sama dengan gurunya Ibnu Taymiyyah, akan
tetapi dia lebih tegas sikapnya dalam menghadapi masalah ini. Sebagaimana
ulama yang lain, Ibnu Katsir mengklasifikasikan israiliyat ke dalam tiga jenis.
Pertama, riwayat yang shahih dan kita harus meyakininya. Pendeknya, riwayat
israiliyat tersebut sesuai (baca: ada) dengan apa yang di ajarkan oleh syari’at
Islam. Kedua, riwayat yang bersebrangan dengan Islam, berarti kewajiban untuk
ditolak, karena riwayat ini adalah riwayat dusta. Ketiga, riwayat yang tawaquf
ditangguhkan. Hal ini menuntut sikap untuk tidak meyakini 100 % dan menolak
100%. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits, “kabarkanlah oleh kamu tentang
bani Israil karena hal itu tidak mengapa bagi kamu…“. Dan hadits lain,
“janganlah kamu sekalian membenarkan mereka, juga jangan mendustakan
mereka”. Untuk point pertama dan kedua ibnu Katsir sepakat dengan ulama yang
lain tapi untuk point ketiga Ibnu Katsir kurang sepakat dalam tatanan realitanya.
hal ini bisa kita cermati, ketika beliau banyak mengedepankan tentang larangan
periwatan israiliyat yang Ia suguhkan dalam metode tafsirnya.
Begitu pula, Ia banyak melontarkan kritik terhadap riwayat israiliyat, karena
riwayat ini kurang mempunyai faidah baik itu dalam permasalah keduniaan
maupun problematika keagamaan. Berbagai trik Ia gunakan dalam menghadapi
riwayat ini. Seperti, tidak menyebutkan riwayat ini atau, kalaupun ia ungkapkan ia
sandarkan kepada orang yang mengatakannya. Lalu ia diskusikan dan
menjelaskan kelemahan serta sisi kekurangan riwayat ini

4.3. Referensi tafsirnya

Setelah diteliti oleh muhaqqiq dalam bidang tafsir dan hadits, tafsir Ibnu Katsir
sangat ilmiah dan kaya dengan referensi yang sulit di dapat. Bahkan sekarang ada
beberapa jenis referensi yang sudah tidak ada dan sangat sulit dicari. Betapa karya
ini kaya dengan ilmu yang menyimpan mutiara-mutiara berharga, karena Ibnu
Katsir menjadikan referensi karyanya yang diambil dari berbagai disiplin ilmu,
Baik itu tafsir, ilmu tafsir, hadits, ilmu-ilmu hadits, lughah, sejarah, fiqh, ushul
fiqh, bahkan geografi. Dari hasil penelitian, tafsir ibn katsir menjadikan
rujukannya tidak kurang dari 241 referensi yang terkumpul dari berbagai disiplin
ilmu. Dari jumlah itu bisa diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Kutub al-muqaddasah; al-qur`an, at-taurat dan injil.


2. Tafsir dan ilmunya, tidak kurang dari 36 judul buku dari berbagai
pengarang.
3. Hadits, syarh hadits dan ilmu-ilmunya terdiri dari 71 judul buku dari
berbagai pengarang.
4. Fiqh dan ilmu ushul fiqh yang terhipun dari 32 judul buku.
5. Sejarah tidak kurang dari 25 judul buku.
6. Bahasa dan disiplin ilmunya 4 judul buku.
7. Kategori berbagai disiplin ilmu terdiri dari 44 judul buku.
8. Kategori karya umum: 7 judul buku.
9. Naql langsung dari guru-guru ibn katsir.
10. Kategori umum yang tidak bisa dilacak kurang lebih 13 jenis.

4.4. Komentar para ulama

Dalam hal ini Rasyid Ridha berkomentar “ Tafsir ini merupakan tafsir paling
masyhur yang memberian perhatian besar pada riwayat-riwayat dari para mufassir
salaf, menjelaskan mana-mana ayat dan hukumnya, menjauhi pembahasan
masalah I’rab dan cabang-cabang balaghah yang pada umumnya dibicarakan
secara panjang lebar oleh kebanyakan mufassirin, menghindar dari pembicaraan
yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami al-
Qur’an secara umum atau hukum dan nasihat-nasihatnya secara khusus.”[4].
Imam Suyuthi (w.911) berkata mengenai tafsir ibnu katsir, “lam yu-laf ‘alâ
namthihi mitsluhu“( belum pernah ada kitab tafsir yang semisal dengannya).

V. Keistimewaan metodologi Tafsir Ibnu Katsir


Keistimewaan tafsir Ibnu Katsir ini bisa kita jabarkan ke dalam beberap point;
pertama, nilai (isi) tafsir tersebut tidak hanya tafsir atsari saja (bilma’tsur), yang
menghimpun riwayat serta khabar. Tapi beliau juga menghimpun referensi yang
lain. Kedua, menghimpun ayat-ayat yang serupa dengan menjelaskan rahasia yang
dalam dengan keserasiannya, keselarasan lafadnya, kesimetrisan uslubnya serta
keagungan maknanya. Ketiga, menghimpun hadits dan khabar baik itu perkataan
sahabat dan tabi’in. Dengan menjelaskan derajat hadits atau riwayat tersebut dari
shahih dan dla’if, dengan mengemukakan sanad serta mata rantai rawi dan
matannya atas dasar ilmu jarh wa ta’dîl. Pada kebiasaannya dia rajihkan aqwal
yang shahih dan menda’ifkan riwayat yang lain. Keempat, keterkaitan tafsir ini
dengan pengarangnya yang mempunyai kafabilitas mumpuni dalam bidangnya.
Ibnu Katsir ahli tafsir, tapi diakui juga sebagai muhaddits, sehingga dia sangat
mengetahui sanad suatu hadits. Oleh karenanya, ia menyelaraskan suatu riwayat
dengan naql yang shahih dan akal sehat. Serta menolak riwayat yang munkar dan
riwayat yang dusta, yang tidak bisa dijadikan hujjah baik itu di dunia ataupun di
akhirat kelak.

Kelima, jika ada riwayat israiliyat Ia mendiskusikannya serta menjelaskan


kepalsuannya, juga menyangkal kebohongannya dengan menggunakan konsep
jarh wa ta’dil. Keenam, mengekspresikan manhaj al-salâfu al-shaleh dalam
metode dan cara pandang, sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur`an dan As-
Sunnah.

VI. Kelemahan-kesalahan Wajar dalam Tafsir Ibnu Katsir

Dari analisa di atas, menurut saya terdapat beberapa kekurangan dalam


penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan Ibnu Katsir, yaitu diantaranya kurang
membahas masalah I’rab dan ketatabahasaan dalam menafsirkan aat-ayat dalam
Al-Qur’an. Dari hasil penelitian yang dilakukan para peneliti dari ualama al-Azhar
terdapat beberapa catatan yang mengungkapkan adanya kesamaran dalam
karyanya yaitu

Memang catatan yang ditujukan kepada tafsir ini tidak mengurangi keilmiahan
dan nilai tafsir ini -insya Allah-. Dalam hal ini, catatan tersebut di uraikan sebagai
berikut:

1. Kesalahan dalam penyandaran. Contohnya, dalam tafsir surat Âli


‘Imrân:169. Ia menyebutkan riwayat Ahmad; tsana Abdul Samad, tsana
Hamâd, tsana Tsabit, ‘an Anas marfû’an, “mâ min nafsin tamûtu laha…”
al-hadits. Ibn katsir berkata, “tafarrada bihi muslim min tharîq Hamâd“.
Hadits ini dikeluarkan oleh imam Muslim dari jalan Humed dan Qatadah
dari Anas. Imam Muslim tidak mengeluarkan hadits ini dari Tsabit melalui
jalur Anas. Sebenarnya yang meyendiri itu adalah riwayat Ahmad,
“tafarrada bihi ahmad min tharîq Hamâd“.
2. Kesalahan dalam nama sahabat yang meriwayatkan hadits, atau
penyandaran hadits kepada sahabat, padahal tidak terdapat hadits sahabat
tersebut dalam bab ini. Seperti, tafsir surat yusûf:5. Dalam penafsiran surat
ini, Ia mengungkapkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan
sebagian Ahli Sunan dari Muawiyyah ibn Haydah al-Qusyayrî
sesungguhnya dia berkata, Rasulullah bersabda, “al-Ru`ya ‘alâ rajuli thâ`ir
mâ lam tu’bar…..“. Seperti inilah yang tertera dalam musnad Muawiyyah
ibn Haydah yang diriwayatkan oleh imam Ahmad. Imam Abu Dawud,
Imam Tirmidzi dan Ibn Majah serta yang lainnya meriwayatkan hadits dari
Abi Rizin al-’Uqayli. Padahal hadits ini tidak diriwayatkan dari
Muawiyyah, melainkan dari Abi Rizin al-’Uqayli.
3. Kesalahan dalam mata rantai sanad. Contoh, tafsir surat al-An’am:59 dari
ibn Abi Hâtim dengan sanadnya kepada malik ibn Sa’îr, tsnâ al-A’mas,
dari Yazid ibn Abi Ziyad dari Abdullah ibn al-Harits dia berkata, “mâ fî
al-ardli min syajaratin….“. ibn Katsir berkata, seperti inilah ibn Jarir
meriwayatkan (11/13308), Ziyad ibn Yahya al-Hasani Abu al-Khathab.
Sementara dalam tafsir ibn katsir di dapati bahwa yang meriwayatkan itu,
Ziyad ibn Abdullah al-Hasani abu al-Khatab. Ini jelas keliru, karena
riwayat yang sebenarnya ialah Malik ibn Sa’ir melalui jalan Ziyad ibn
Yahya al-Hasani abu al-Khatab dari Ziyad.
4. Kurang menyentuh dalam menyandarkan riwayat. Contoh, sebagaimana
yang Ia ungkapkan dalam menafsirkan surat Âli ‘Imrân:180. Ia
mengemukakan hadits, “lâ ya`ti al-rajulu mawlâhu fayas`aluhu…“. Ibn
Katsir merasa cukup menyandarkan dalam periwayatannya kepada ibn
Jarir dan Ibn Mardaweh. Padahal, hadits ini diriwayatkan oleh imam
Ahmad, Abu Dawud, Nasâ`i dan yang lainnya, yang lebih utama untuk di
sandarkan.
5. Lupa dalam menukil beberapa perkataan ulama. Contonya, tafsir surat al-
A’raf:8. Ia menyebutkan hadits riwayat imam Tirmidzi. Imam Tirmidzi
mengomentari hadits ini dengan ungkapan, “rawâhu tirmidzi wa
shahhahahu“. Padahal yang sebenarnya ialah, “rawahu tirmidzi wa qâla,
hadza al-hadîts hasan gharîb“.

VII. Penutup

Ibnu Katsir sebagai sosok ulama yang saleh telah meninggalkan karya yang
sangat bermanfaat sekali. lontaran keilmuan yang ia lontarkan, merupakan gayung
bersambut dari amanah yang telah diembankan kepada ummat. Itulah salah satu
tanggung jawab yang ia kontribusikan kepada kita. Metode serta cara berpikirnya
telah memperlihatkan dan mempersembahkan metode yang dijadikan standar
dalam penelitian, dan senantiasa dijadikan tolak ukur.

Dalam penelitian yang sederhana ini kami dapat menyimpulkan bahwa tafsir Ibnu
Katsir merupakan tafsir yang menggunakan metodologi bil ma’tsur, bahkan
merupakan tafsir bil ma’tsur yang mendapatkan predikat termasyhur kedua
setelah tafsir at- Thabari.

Tafsir ini memiliki banyak keunggulan diantaranya yaitu kehati-hatian Ibnu katsir
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, terlebih kaitannya dengan Hadits atau
Khabar yang kurang tsiqah. Beliau mencoba sejauh mungkin untuk
menghindarinya. Begitupun dengan Israilliyat.

Tidak ada gading yang tidak retak, begitupun dalam tafsir ini. Sebagai buah karya
dari manusia biasa, tentu saja dalam tafsir ini ada kekurangannya yaitu kurangnya
pembahasan mengenai i’rab dan tatabahasa dalam penafsiran ayat, dan disamping
ada beberapa kekeliruan diatas. Tetapi ini tidak mengurangi kualitas tafsir ini.

Akhirnya semoga apa yang telah saya usahakan dapat bermanfaat bagi kita semua,
dan dapat memotivasi kita untuk lebih mentadaburi Al-Qur’an. Atas
kekurangannya saya mohon maaf. Wallahu waliyuttaufiq.
Tela'ah Tafsir Al Qur'an al Adzim Karya Ibnu Katsir

I. Pendahuluan
Sebagai kitab suci dan pedoman hidup bagi umat manusia, Al Qur'an
mempunyai peran penting dalam kehidupan setiap individu yang senantyasa ingin
berjalan pada jalan yang benar demi menggapai keridhoan Allah SWT. Maka
pemahaman isi Al Qur'an menjadi satu kepentingan yang tidak bisa lagi
dielakkan. Atas dasar kepentingan tersebut, munculah berbagai macam produk
tafsir yang kerap berbeda satu dan yang lainnya.
Perbedaan dalam penafsiran yang terjadi tidak boleh lepas dari pengamatan
kita, karena tak jarang perbedaan itu dapat menimbulkan pemahaman yang
relative berbeda. Maka dari itu, kita harus senantyasa berusaha untuk mengetahui
berbagai metode yang dipakai dan latar belakang dari setiap mufassir karena latar
belakang dari para mufassir itu sendiri dapat menimbulkan perbedaan yang tidak
bisa dipungkiri lagi.
Dalam sejarah perkembangan tafsir, telah dapat ditemukan berbagai
macam produk tafsir yang berbeda dan dapat diketahui banyaknya ulama muslim
yang berkecimpung dalam hal ini demi menggali makna terdalam yang
terkandung dalam Al Qur'an. Tafsir Al Qur’an Al Adzim adalah Tafsir yang
ditulis oleh Imam Al Jalil Al Hafidz Ibnu Katsir adalah salah satu tafsir yang ikut
mewarnai maraknya penafsiran Al Qur’an. Penafsiran dari para mufassir memiliki
ciri dan metode yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Maka dari itu
merupakan kewajiban kita untuk meneliti metode apa yang dipakai dan makna
apa saja yang terkandung didalam setiap produk tafsir para mufassir tersebut. Dan
pada kesempatan kali ini akan dibahas hal-hal terkait tafsir Al Qur’an Al Adzim
yang ditulis oleh Al Hafidz Ibnu Katsir.
II. Pembahasan
A. Biografi Ibnu Katsir

Imam Al Hafidz Ibnu Katsir adalah seorang ulama syafi’i dan salah satu
dari ahli hadits, dilahirkan di kota ibunya yaitu kota mijdal yang berada di Bashra.
Dan Ibnu Katsir tumbuh dalam kondisi keluarga yang mengutamakan keilmuan
dan ajaran agama. Ayahnya bernama Umar bin Hafsh bin Katsir , dan ayahnya
meninggal pada tahun 707 H ketika ia berumur tiga tahun, lalu berpindahlah Ibnu
Katsir ke kota Damaskus. Setelah ayahnya meninggal, Ibnu Katsir dididik dan
dibesarkan oleh saudaranya yang bernama syaikh abdul wahhab dan dari
saudaranya inilah Ibnu Katsir belajar ilmu fiqh.
Pada tahun 706 ketika berumur 6 tahun Ibnu Katsir pergi dan menetap di
kota damaskus, ibu kota Syiria. Setibanya di Damaskus Ibnu Katsir mendalami
ilmu fiqih kepada Syekh Burhanuddin Ibrohim Ibnu Abdirrohman Alfazzari yang
biasa dikenal dengan sebutan Ibnu al Farkah.
Kesungguhannya didalam menuntut ilmu membuatnya tidak hanya
mengupas ilmu dibidang fiqih, lebih dari itu Ibnu Katsir pun menelusuri keilmuan
dibidang lain seperti tafsir, hadits bahkan sejarah. Kesungguhan, kecerdasan serta
daya hafal yang kuat membawa sang imam menjadi sosok yang memiliki
kredibilitas bukan hanya dibidang tafsir, akan tetapi Ibnu Katsir pun dikenal
sebagai ahli hadits bahkan sejarah. Karya Imam Ibnu Katsir dibidang hadits
semisal “at-takmil fi ma’rifah at-tsiqot wa al-majahil ” atau karya beliau “ jami’
al-masanid wa as-sunan “ menjadi bukti nyata bahwa selain tokoh dalam dunia
tafsir Ibnu Katsir juga tokoh dalam dunia hadits, atau karyanya “al-bidayah wa
an-nihayah” menjadi bukti akan kompetensinya di bidang sejarah.

Pada tahun 711 H, Imam Ibnu Katsir berhasil menghafal Al-Quran


dibawah bimbingan Syekh Ghailan al-Ba’labaki, hal ini bertepatan dengan
kedatangan Syekh al-hafiz Ibnu Jama’ah di kota Damaskus. Imam Ibnu Katsir pun
menemuinya untuk berguru, dari Syaikh al-hafiz Ibnu Jama’ah inilah Ibnu Katsir
belajar takhrij hadits kitab ar-rafi’I (as-syarh al-kabir) sebuah kitab fikih mazhab
syafi’i.1[1]
Seiring berjalannya waktu tumbuhlah Ibnu Katsir menjadi sesosok yang
selalu menyibukkan diri dengan keilmuan. Ibnu Katsir mencari ilmu kepada
banyak guru, diantaranya :
- Syaikh Al Islam Abu Abbas Ahmad bin Taymiyah
- Syaikh Al Hafidz Abu Al Hajjaj Yusuf
- Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Adz Dzahabi
- Syaikh Abu Abbas Ahmad Al Hijar ( ibnu As syahnah )
- Syaikh Abu Ishak Ibrohim Al Fazari
- Syaikh Al Hafidz Kamaluddin Abdul Wahhab
- Imam Kamaluddin Abu Ma’ali Muhammad bin Zamalkani
- Imam Muhyiyuddin Abu Zakariya Yahya Asysyaybani
- Imam Muhammad Qosim Al Barzali
- Syaikh Syamsuddin Abu Nashr Muhammad Asysyirazi
Selain memiliki banyak guru, Ibnu katsir juga memiliki banyak murid,
diantaranya :
- Muhammad bin Muhammad bin Khodri Al Quraysyi
- Mas’ud Al Anthoki An Nahwi
- Muhammad bin Abi Muhammad Al juzri, Syaikh Ilmu Qiroat
- Muhammad bin Ismail Bin Kastir
- Imam Ibnu Abi ‘Uzz Al Hanafi
Diantara karya – karya Ibnu Katsir adalah :
1. Tafsir Al Qur'an Al Adzim
2. Al Bidayat wan Nihayat
3. Jami' Al Masanid Al 'Asyrah
4. Al Ikhtishor as Siroh an Nabawiyyah
5. Al Ikhtishor fi Ulumi al Hadits
6. Al-Ijtihad fi Thalabi al-Jihad
7. Risalah fi al-Jihad

B. Profil kitab Tafsir Al Qur'a al Adzim Karya Ibnu Katsir


Tafsir Ibnu Katsir adalah salah satu kitab tafsir yang terkenal dengan
menggunakan mendekatan periwayatan atau yang biasa disebut tafsir bi al
ma'tsur. Dalam kitab tafsirnya, Ibnu Katsir lebih banyak mencantumkan
periwayatan baik dari hadits-hadits Nabi, perkataan para sahabat dan tabi'in
sebagai sumber dari argumentasinya, Tak jarang Ibnu Katsir juga memberikan
penjelasan tentang jarh dan ta'dil pada periwayatan, menshohihkan dan
mendhoifkan hadits.2[2]
Tentang isroiliyat, Ibnu Katsir membolehkan mencantumkannya dalam
tafsir dengan syarat isroiliyat yang di gunakan memiliki sanad yang shahih, tidak
bertentangan dengan syari’at dan ini digunakan hanya untuk istidlal atau bukti
penafsiran yang ada ,bukan sandaran prinsipil dalam tafsir. Seperti penafsiran
pada surat Al Baqoroh ayat 67.

Dalam penafsiran dari ayat ini, dapat ditemukan satu cerita aneh dan panjang yang
menceritakan tentang laki-laki dari Bani Israil. 3[3]

Setiap kitab tafsir memliki kecenderungan yang berbeda dalam


penafsirannya. Pada Tafsir Al Aqur'an al Adzim ini, kecenderungan yang nampak
adalah dari segi ahkam / fiqih. Hal ini dapat disimpulkan, karena Ibnu Katsir
selalu memberi penjelasan yang luas disertai dengan pendapat para pada setiap
ayat ahkam / fiqih.

C . Metodologi Penulisan Tafsir Al Qur'an al Adzim Karya Ibnu Katsir


Yang dimaksud metodologi penafsiran adalah metode tertentu yang
digunakan oleh mufassir dalam penafsirannya. Pada umumnya metode ini terbagi
menjadi empat, yaitu metode ijmali, tahlili ( analitis ), muqorin ( perbandingan ),
maudhu'i ( tematik ).4[4] Dan setiap metode yang digunakan pasti memiliki suatu
ciri dan spesifikasi masing-masing.
Tafsir al Al Qur'an al Adzim ini dapat digolongkan sebagai salah satu
tafsir dengan metode tahlili ( analitis ). Karena dalam menafsirkan setiap ayat,
Ibnu Katsir menjelaskannya secara rinci dengan mencantumkan beberapa
periwayatan yang lalu digunakan sebagai pendukung dari argumentasinya.
Yang dimaksud dengan metode tahlili adalah menafsirkan ayat-ayat Al
Qur’an dengan memaparkan ayat-ayat Al Qur’an dan memaparkan berbagai aspek
yang terkandung didalam ayat–ayat yang sedang ditafsirkan itu serta
menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian
dan kecenderungan dari mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut .5[5]
Dalam menerapkan metode ini biasanya mufassir menguraikan makna
yang dikandung oleh Al Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai
dengan urutannya dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut beberapa aspek
yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata, konotasi
kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat-ayat yang lain, baik
sebelum maupun sesudahnya (munasabat), dan tak ketinggalan pendapat-pendapat
yang telah dikeluarkan berkenaan dengan tafsiran ayat terssebut baik yang
disampaikan oleh Nabi, sahabat, maupun para tabi’in, dan tokoh tafsir lainnya.
Bagaimanapun bentuk metodologi yang dipakai, ia tetap merupakan
produk ijtihadi atau hasil dari olah pikir manusia yang memiliki keterbatasan. Dan
keterbatasan inilah yang menimbulkan ketidak sempurnaan, maka pada metode ini
dapat kita temukan kelebihan dan kekurangan yang akhirnya menjadi ciri-ciri
yang ada pada setiap metode.
D. Corak / Aliran Tafsir Al Qur'an al Adzim karya Ibnu Katsir
Dalam menganalisa satu kitab tafsir terdapat beberapa aspek mendasar
yang harus diketahui dan dikaji sebelum adanya kesimpulan akhir dalam
penentuan metode yang digunakan oleh seorang mufassir dalam kitab tafsirnya.
Adapun aspek-aspek tersebut adalah ;
a. Peninjauan dari segi sumber / pendekatannya
b. Peninjauan dari cara penjelasan dalam tafsir tersebut
c. Peninjauan dari segi keluasan bahasanya
d. Peninjauan dari cara penertiban ayat
e. Dan terakhir adalah peninjauan dari segi kecenderungan mufassir dalam
penafsirannya
Berikut adalah analisa terhadap tafsir Al Qur’an al Adzim yang dipandang dari
kelima aspek yang telah disebutkan di atas.
1. Apabila ditinjau dari segi sumber yang digunakan dalam suatu penafsiran, maka
dapat disimpulkan terdapat dua sumber di dalamnya. Yaitu penafsiran bi al
ma'tsur dan bi ar ra'yi. Adapun yang dimaksud dengan tafsir bi al ma'tsur adalah
penafsiran yang berbentuk riwayat, adapun batasan tafsir bi al ma'tsur adalah
tafsir yang diberikan oleh Al Qur'an, sunnah Nabi, perkataan para sahabat dan
tabi'in. Dan yang dimaksud dengan tafsir bi ar ra'yi adalah bentuk penafsiran
melalui pemikiran dan ataupun ijtihad.
Dari pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Tafsir Al Qur'an al Adzim
ini termasuk dalam tafsir dengan pendekatan periwayatan / bi al ma'tsur. Adapun
contoh dari kesimpulan ini dapat dilihat pada setiap penafsiran dalam kitab tafsir
ini.
2. Pada aspek kedua adalah peninjauan yang dilihat dari cara penjelasannya. Hal ini
dapat dilihat dari cara dalam menjelaskan suatu ayat, apakah mufassir
menjelaskannya dengan cara bayani atau muqorron ( komperatif ). Penjelasan
secara bayani adalah penjelasan yang langsung dan adapun penjelasan muqorron
adalah penjelasan dengan system perbandingan. Yang dimaksud dengan
perbandingan adalah perbandingan antara satu ayat dengan ayat yang lain.
Dalam aspek ini, dapat disimpulkan bahwa Tafsir Al Qur'an al Adzim termasuk
dalam kelompok yang bayani, karena dalam penafsirannya Ibnu Katsir
menjelaskan secara rinci tanpa menggunakan perbandingan.
3. Aspek ketiga dari metode yang digunakan adalah dari segi keluasan bahasanya.
Dalam aspek ini terdapat dua bagian yaitu ijmali dan itnabi. Tafsir Ibnu Katsir ini
termasuk dalam kelompok ijmali, karena Ibnu Katsir tidak menjelaskan secara
luas dalam aspek kebahasaannya.
4. Dan adapun yang termasuk dalam aspek keempat adalah tentang cara penyusunan
atau penertiban ayat. Terdapat tiga cara penertiban ayat dalam suatu kitab tafsir,
tahlili, maudhu'i. dan nuzuli. Tahlili adalah penyusunan ayat secara urut, dari surat
pertama sampai terakhir. Maudhu'i adalah penyusunan ayat dengan cara
pengelompokan ayat-ayat dalam satu judul atau tema. Dan nuzuli adalah
penyusunan ayat sesuai dengan rentetan asbabun nuzul yang dimiliki.
Adapun Tafsir Al Qur'an al Adzim tersusun secara tahlili, yaitu disusun dengan
urutan surat dan ayat pada mushaf.
5. Peninjauan terakhir dari kelima aspek diatas adalah peninjauan secara latar
belakang atau kecenderungan mufassir dalam penafsiraanya. Terdapat banyak
kitab tafsir dengan perbedaan di dalamnya, dan kecenderungan mufassir sendiri
sangat menentukan produk tafsirnya. Mufassir yang lebih cenderung pada kajian
kebahasaan akan membahas secara rinci kedudukan nahwu, shorof dan
balaghohmya. Lain halnya dengan mufassir yang cenderung pada fiqihnya, maka
mufassir tersebut akan membahas secara detail setiap ayat yang berhubungan
dengan kajian fiqih.
Ibnu Katsir termasuk salah satu ulama fiqih yang terkemuka, dan ini menjadi
salah satu inidikasi kecenderungan Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya. Dalam
penafsirannya pada ayat-ayat hukum, Ibnu Katsir pun menjelaskan secara
mendetail dengan menyebutkan pendapat dan dalil-dalil yang digunakan oleh para
ulama fiqih.

E. Keistimewaan dan kelemahan Tafsir Al Qur'an al Adzim karya Ibnu Katsir


Keistimewaan tafsir Ibnu Katsir ini bisa kita jabarkan ke dalam beberap point;
1. menghimpun ayat-ayat yang serupa dengan menjelaskan rahasia yang dalam
dengan keserasiannya, keselarasan lafadnya, kesimetrisan uslubnya serta
keagungan maknanya.

2. menghimpun hadits dan khabar baik itu perkataan sahabat dan tabi’in. Dengan
menjelaskan derajat hadits atau riwayat tersebut dari shahih dan dla’if, dengan
mengemukakan sanad serta mata rantai rawi dan matannya atas dasar ilmu jarh wa
ta’dîl. Pada kebiasaannya dia rajihkan aqwal yang shahih dan menda’ifkan
riwayat yang lain.

3. keterkaitan tafsir ini dengan pengarangnya yang mempunyai kapabilitas mumpuni


dalam bidangnya. Ibnu Katsir ahli tafsir, tapi diakui juga sebagai muhaddits,
sehingga dia sangat mengetahui sanad suatu hadits. Oleh karenanya, ia
menyelaraskan suatu riwayat dengan naql yang shahih dan akal sehat. Serta
menolak riwayat yang munkar dan riwayat yang dusta, yang tidak bisa dijadikan
hujjah baik itu di dunia ataupun di akhirat kelak.

4. jika ada riwayat israiliyat Ia mendiskusikannya serta menjelaskan kepalsuannya,


juga menyangkal kebohongannya dengan menggunakan konsep jarh wa ta’dil.

5. menjelaskan dengan detail indikasi hokum yang terkandung dalam suatu ayat.

Kelemahan Tafsir Ibnu Katsir


1. tidak menjelaskan unsur atau kaedah kebahasaan yang terkandung

2. masih memasukkan israiliyyat meski dengan menyertakan penjelasan

3. meriwayatkan hadits dloif

Anda mungkin juga menyukai