Anda di halaman 1dari 13

MUFASSIR

A. PENDAHULUAN

Tafsir adalah salah satu cara yang ditempuh oleh para mufassir untuk
menerangkan Al-Qur’an, menjelaskan makna-maknanya serta memperjelas apa
yang sesungguhnya dikehendaki makna dalam lafadz-lafadz al-Qur’an itu,
menggali hukum-hukum yang dikandung di dalamnya serta hikmah yang
dikandung oleh Al-Qur'an itu sendiri
Penafsiran terhadap Al-Qur’an itu sudah ada sejak zaman Rasulullah,
semenjak Al-Qur’an itu diturunkan, pada masa Rasulullah penfsiran Al-Qur’an itu
beliau lakukan sendiri, atas dasar wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril.
Penafsiran pada zaman Rasulullah berlangsung selama hidupnya,
kemudian setelah rasul wafat para sahabat menafsirkan sendiri ayat- ayat Al-
Qur’an, penafsiran yang dilakukan oleh para sahabat ini berdasarkan penjelasan
yang mereka dengar dari Rasul, dimana semasa Rasul hidup mereka banyak
mendengarkan penafsiran-penafsiran dari Rasul dan mereka hayati dengan
sungguh-sungguh, hal ini dikarenakan para sahabat ini adalah orang Arab pemilik
bahasa Arab danmereka juga menjadi saksi turunnya Al-Qur’an.
Selain itu para sahabat juga memiliki akal yang cerdas, hafalan dan
ingatan yang kuat yang merupakan keistimewaan yang dimiliki oleh orang-orang
arab murni pada masa itu, mereka juga mengetahui sebab turunnya ayat tersebut
dan hubungan antara ayat per ayat, semua pengetahuan mereka itu sangat
membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Penafsiran Al-Qur’an pada masa rasul dan sahabat ini belum dituliskan,
kemudian penafsiran Al-Qur’an pada masa tabi’in dilakukan dengan berpedoman
kepada ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasul oleh para
sahabat, tapi masih dalam bentuk hafalan dan periwayatan saja, pada masa Umar
bin Abdul Aziz barulah ada pembukuan tafsir, kemudian pada masa
mutaqaddimin dan masa mutaakhirin penulisan tafsir dilakukan oleh para ahli,
masa ini penulisan tafsir dipengaruhi oleh kefanatikan madzhab dari ilmu-ilmu
keahlian mereka masing-masing.

1
Karena begitu berkembangnya ilmu tafsir ini, sampai zaman modernisasi
ini, maka dalam menafsirkan Al-Qur’an itu tidak sembarang orang saja untuk bias
menafsirkan Al-Qur’an itu, akan tetapi ada syarat-syarat tertentu yang harus
mereka miliki, untuk itu dalam makalah kali ini penulis akan manjelaskan, siapa
itu mufassir?, apa syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, beserta
adab / tata karma seorang mufassir itu.

B. PEMBAHASAN

1. Definisi Mufassir
Tafsir dalam disiplin ilmu Al-Quran tidak sama dengan interpretasi teks

lainnya; dalam bahasa Arab, kata tafsir (‫ )التفس ير‬berarti (‫)اإليض اح والتب يين‬

“menjelaskan”.
Selain itu, kata tafsir berasal dari derivasi (isytiqâq) al-fasru (‫ )الفسر‬yang

berarti (‫“ )اإلبانة والكشف‬menerangkan dan menyingkap”. Di dalam kamus, kata al-

fasru juga bermakna menerangkan dan menyingkap sesuatu yang tertutup.1


Adapun secara istilah, para ulama mengemukakan beragam definisi
mengenai tafsir yang saling melengkapi antara satu definisi dengan definisi
lainnya. Imam Az-Zarkasy dalam kitabnya, Al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qurân,
mendefinisikan tafsir dengan:

‫اب اهلل تع اىل املَن َّزل على نبيّ ه حمم د ص لّى اهلل علي ه وس لّم وبي ان‬
ُ ‫علم يُفهم ب ه كت‬
ٌ
ُ ِ ِ
‫معانيه واستخراج أحكامه وح َكمه‬
Artinya: “Ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi-
Nya Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, menjelaskan
maknanya, serta menguraikan hukum dan hikmahnya.”2

Sementara itu, Imam Jalaluddin As-Suyuthy mendefinisikan tafsir dengan:


1
Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. Tt. ‘Ilmu At-Tafsir. Kairo: Dâr Al-Ma’ârif. Hal. 5
2
Ar-Rumy, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman. 1419 H. Buhûts fî Ushûl At-Tafsîr wa
Manâhijuhu. KSA: Maktabah At-Taubah. Hal. 8. Dinukil dari Al-Burhân juz I hal. 13.

2
‫ فه و ش امل لك ل م ايتوقف علي ه‬,‫علم يبحث عن م راد اهلل تع اىل بق در الطاق ة البش رية‬
.‫فهم املعىن وبيان املراد‬
Artinya: “Ilmu yang membahas maksud Allah ta‘ala sesuai dengan Kadar
kemampuan manusiawi yang mencakup segala sesuatu yang
berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna.”3

Definisi tafsir lainnya dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Abdul


Azhim Az-Zarqany:

‫علم يبحث في ه عن أح وال الق رآن الك رمي من حيث داللت ه على م راد اهلل تع اىل بق در‬
‫الطاقة البشرية‬
Artinya:“Ilmu yang membahas perihal Al-Quran Al-Karim dari segi
penunjukan dalilnya sesuai dengan maksud Allah ta‘ala
berdasarkan kadar kemampuan manusiawi”

Oleh Az-Zarqany, definisi di atas dijelaskan sebagai berikut:


Maksud kata ilmu adalah pengetahuan-pengetahuan yang terkonsep.
Abdul Hakim menjelaskan secara lebih panjang, “Sesungguhnya ilmu tafsir
termasuk konsepsi (tashawwurât) karena tujuannya adalah memahami konsep
makna lafal-lafal Al-Quran. Ilmu tafsir juga termasuk pengetahuan, akan tetapi
kebanyakannya bahkan semuanya termasuk pengetahuan secara lafal. Sayid
berpendapat bahwa tafsir termasuk legalisasi (tashdîqât) karena mencakup
hukum atas lafal-lafal bahwa lafal-lafal tersebut bermanfaat bagi makna-makna
terkait yang disebutkan dalam tafsir.”
Dengan perkataan kami, “membahas tentang perihal Al-Quran”, maka
tidak termasuk di dalamnya ilmu-ilmu yang membahas perihal selain Al-Quran.
Dengan perkataan kami, “dari segi penunjukan dalilnya sesuai dengan
maksud Allah ta‘ala”, maka tidak termasuk di dalamnya ilmu-ilmu yang
membahas perihal Al-Quran dari segi selain segi penunjukan dalilnya. Misalnya
ilmu qira’ah yang membahas keadaan Al-Quran dari segi pengaturan lafal dan
cara membacanya. Demikian juga ilmu rasm ‘Utsmany yang membahas keadaan
Al-Quran Al-Karim dari segi cara menuliskan lafal-lafalnya.

3
Adz-Dzahabi. Op.cit. hal. 6

3
Tidak termasuk juga dengan perkataan ini ilmu yang membahas keadaan
Al-Quran dari segi ia makhluk atau bukan makhluk karena ini termasuk
pembahasan dari ilmu kalam Demikian juga ilmu yang membahas keadaan Al-
Quran dari segi diharamkan untuk membacanya bagi orang yang junub dan yang
semisal karena ini termasuk pembahasan dari ilmu fikih.
Perkataan kami, “berdasarkan kadar kemampuan manusiawi”, adalah
untuk menjelaskan bahwa tidak dianggap cacat dalam ilmu tentang tafsir
ketidaktahuan terhadap makna mutasyabihat dan ketidaktahuan terhadap maksud
Allah dalam sebuah peristiwa atau perkara.4
Demikianlah definisi tafsir yang dikemukakan oleh para ulama. Tafsir
adalah aktivitasnya, sedangkan pelakunya disebut sebagai mufassir. Husain bin
Ali bin Husain Al-Harby menjelaskan definisi mufassir secara lebih panjang:

‫ ق در‬,‫تام ة يع رف هبا م راد اهلل تع اىل بكالم ه املتعبّ د بتالوت ه‬


ّ ‫املفس ر ه و من ل ه أهلي ة‬
ّ
‫ م ع معرفت ه مجال كث رية من تفس ري كت اب‬,‫ وراض نفس ه علي من اهج املفس رين‬,‫الطاق ة‬
.‫ ومارس التفسري عملياً بتعليم أو تأليف‬,‫اهلل‬
Artinya:“Mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna yang
dengannya ia mengetahui maksud Allah ta‘ala dalam Al-Quran sesuai
dengan kemampuannya. Ia melatih dirinya di atas manhaj para
mufassir dengan mengetahui banyak pendapat mengenai tafsir
Kitâbullâh. Selain itu, ia menerapkan tafsir tersebut baik dengan
mengajarkannya atau menuliskannya.”5

2. Ilmu Yang Dibutuhkan Mufassir


Dari penjelasan mengenai definisi tafsir di atas, kita mengetahui bahwa
menafsirkan Al-Quran merupakan amanah berat. Oleh karena itu, tidak setiap
orang memiliki otoritas untuk mengemban amanah tersebut. Siapa saja yang
ingin menafsirkan Al-Quran harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Adanya
persyaratan ini merupakan suatu hal yang wajar dalam semua bidang ilmu.
Dalam bidang kedokteran misalnya, seseorang tidak diperkenankan menangani

4
Az-Zarqany, Muhammad Abdul Azhim. 1995 Manâhilul ‘Irfân fî ‘Ulûm Al-Qurân. Juz II.
Beirut: Dâr Al-Kitâb Al-’Araby. Hal. 6
5
. Al-Harby, Husain bin Ali bin Husain. 1996. Qawâ‘id at-Tarjîh ‘Inda al-Mufassirîn;
Dirâsah Nazhâriyyah Tathbîqiyyah. Riyadh: Dâr al-Qâsim. Juz 1. Hal. 29.

4
pasien jika tidak menguasai ilmu kedokteran dengan baik. Bahkan jika ia nekad
membuka praktek dan ternyata pasien malah bertambah sakit, ia akan dituduh
melakukan malpraktek sehingga bisa dituntut ke pengadilan. Demikian juga
halnya dengan tafsir Al-Quran, syarat yang ketat mutlak diperlukan agar tidak
terjadi kesalahan atau kerancuan dalam penafsiran. Menurut Ahmad Bazawy
Adh-Dhawy, syarat mufassir secara umum terbagi menjadi dua: aspek
pengetahuan dan aspek kepribadian.6
Aspek pengetahuan adalah syarat yang berkaitan dengan seperangkat
ilmu yang membantu dan memiliki urgensitas untuk menyingkap suatu
hakikat. Tanpa seperangkat ilmu tersebut, seseorang tidak akan memiliki
kapabilitas untuk menafsirkan Al-Quran karena tidak terpenuhi faktor-faktor
yang menjamin dirinya dapat menyingkap suatu hakikat yang harus dijelaskan.
Para ulama memberikan istilah untuk aspek pengetahuan ini dengan syarat-
syarat seorang alim.
Syarat yang berkaitan dengan aspek pengetahuan yang harus dikuasai
oleh seorang mufassir ini dibagi menjadi dua, yaitu: syarat pengetahuan murni7
dan syarat manhajiyah (berkaitan dengan metode).8
Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân
menyebutkan lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir. Lima
belas ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bahasa Arab karena dengannya seorang mufassir mengetahui
penjelasan kosakata suatu lafal dan maksudnya sesuai dengan
objek.
Oleh karena demikian urgennya penguasaan terhadap bahasa
Arab dalam menafsirkan Al-Quran, Mujahid bahkan mengatakan,

‫ال حيل ألحد يؤمن باهلل واليوم اآلخر أن يتكلم يف كتاب اهلل إذا مل‬
.‫يكن عاملا بلغات العرب‬
ً
6
.
7
Pengetahuan yang belum mendapatkan pengaruh luar, pengetahuan yang murni di miliki oleh
seorang mufassir
8
Metode yang dimaksud di sini adalah suatu proses dan tata kerja yang digunakan dalam
proses penafsiran al-Qur’

5
Artinya: “Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan
hari akhir berbicara mengenai sesuatu yang terdapat dalam
Kitâbullâh apabila ia tidak mengetahui bahasa Arab.”

2. Nahwu karena suatu makna bisa saja berubah-ubah dan berlainan


sesuai dengan perbedaan i’rab.
3. Tashrîf (sharaf) karena dengannya dapat diketahui binâ’
(struktur kalimat) dan shîghah (tense) suatu kata.
4. Isytiqâq (derivasi) atau pemecahan suatu kata dalam beberapa
bentuk, karena suatu nama apabila isytiqâqnya berasal dari dua
subjek yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda.

Misalnya (‫)المسيح‬, apakah berasal dari (‫ )السياحة‬atau (‫)المسح‬.

5. Al-Ma‘âni, yaitu ilmu yang dapat mengetahui khasiat-khasiat


susunan pembicaraan dari segi member pengertian. Karena
dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu
kalimat dari segi manfaat suatu makna.
6. Al-Bayân (penjelasan) yaitu ilmu yang dapat memberikan
pengetahuan khasiat-khasiat susunan perkataan yang berlainan.
Karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi)
suatu kalimat dari segi perbedaannya sesuai dengan jelas tidaknya
suatu makna.
7. Al-Badî‘,keindahan suatu bahasa atau cara mengetahui proses
keindahan pembicaraan.9 karena dengannya dapat diketahui
kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi keindahan
suatu kalimat.
Ketiga ilmu di atas disebut ilmu balaghah yang merupakan ilmu
yang harus dikuasai dan diperhatikan oleh seorang mufassir agar
memiliki sense terhadap keindahan bahasa (i‘jâz) Al-Quran.

9
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqi, Sejarah & Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir,
( Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997. H. 184

6
8. Ilmu qirâ’ah karena dengannya dapat diketahui cara
mengucapkan Al-Quran dan kuat tidaknya model bacaan yang
disampaikan antara satu qâri’ dengan qâri’ lainnya.
9. Ushûluddîn (prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam Al-
Quran berupa ayat yang secara tekstual menunjukkan sesuatu
yang tidak boleh ada pada Allah ta‘ala. Seorang ahli ushul
bertugas untuk menakwilkan hal itu dan mengemukakan dalil
terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
10. Ushul fikih karena dengannya dapat diketahui wajh al-istidlâl
(segi penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbâth.
11. Asbâbun Nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat) karena dengannya
dapat diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa
diturunkannya.
12. An-Nâsikh wa al-Mansûkh agar diketahui mana ayat yang
muhkam (ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya.
13. Fikih.10
14. Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global)
dan mubham (tidak diketahui).
15. Ilmu muhibah, yaitu ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada
orang yang mengamalkan ilmunya.
Dalam sebuah hadits disebutkan,

‫من عمل مبا علم ورثه اهلل علم ما مل يعلم‬


Artinya: “Siapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan
menganugerahinya ilmu yang belum ia ketahui.”
Ibnu Abid Dunya mengatakan, “Ilmu Al-Quran dan istinbâth darinya
merupakan lautan yang tidak bertepi.”
Ilmu-ilmu di atas merupakan alat bagi seorang mufassir. Seseorang
tidak memiliki otoritas untuk menjadi mufassir kecuali dengan menguasai
ilmu-ilmu ini. Siapa saja yang menafsirkan Al-Quran tanpa menguasai ilmu-
ilmu tersebut, berarti ia menafsirkan dengan ra’yu (akal) yang dilarang. Namun
10
Pemahaman yang mendalam, yang membutuhkan pengerahan potensi akal

7
apabila menafsirkan dengan menguasai ilmu-ilmu tersebut, maka ia tidak
menafsirkan dengan ra’yu (akal) yang dilarang.
Adapun bagi seorang mufassir, maka ia harus menguasai tiga syarat
pengetahuan tambahan selain lima belas ilmu di atas. Tiga syarat pengetahuan
tersebut adalah:
1. Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga
mampu memberikan penafsiran terhadap Al-Quran yang turut
membangun peradaban yang benar agar terwujud universalitas
Islam.
2. Mengetahui pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang
sedang mendominasi dunia agar mufassir mampu mengcounter
setiap syubhat yang ditujukan kepada Islam serta memunculkan
hakikat dan sikap Al-Quran Al-Karim terhadap setiap problematika
kontemporer. Dengan demikian, ia telah berpartisipasi dalam
menyadarkan umat terhadap hakikat Islam beserta keistimewaan
pemikiran dan peradabannya.
3. Memiliki kesadaran terhadap problematika kontemporer.
Pengetahuan ini sangat urgen untuk memperlihatkan bagaimana
sikap dan solusi Islam terhadap problem tersebut.

3. Adab dan Sifat Mufassir


Adapun syarat kedua yang harus terpenuhi pada diri seorang mufassir
adalah syarat yang berkaitan dengan aspek kepribadian. Yang dimaksud
dengan aspek kepribadian adalah akhlak dan nilai-nilai ruhiyah yang harus
dimiliki oleh seorang mufassir agar layak untuk mengemban amanah dalam
menyingkap dan menjelaskan suatu hakikat kepada orang yang tidak
mengetahuinya. Para ulama salaf shalih mengartikulasikan aspek ini sebagai
adab-adab seorang alim.
Imam Abu Thalib Ath-Thabary mengatakan di bagian awal tafsirnya
mengenai adab-adab seorang mufassir, “Ketahuilah bahwa di antara syarat
mufassir yang pertama kali adalah benar akidahnya dan komitmen terhadap

8
sunnah agama. Sebab, orang yang tertuduh dalam agamanya tidak dapat
dipercaya dalam urusan duniawi, maka bagaimana dalam urusan agama?
Kemudian ia tidak dipercaya dalam agama untuk memberitahukan dari
seorang alim, maka bagaimana ia dipercaya untuk memberitahukan rahasia-
rahasia Allah ta‘ala? Sebab seseorang tidak dipercaya apabila tertuduh
sebagai atheis adalah ia akan mencari-cari kekacauan serta menipu manusia
dengan kelicikan dan tipu dayanya seperti kebiasaan sekte Bathiniyah dan
sekte Rafidhah ekstrim. Apabila seseorang tertuduh sebagai pengikut hawa
nafsu, ia tetap tidak dapat dipercaya karena akan menafsirkan Al-Quran
berdasarkan hawa nafsunya agar sesuai dengan bid‘ahnya seperti kebiasaan
sekte Qadariyah. Salah seorang di antara mereka menyusun kitab dalam
tafsir dengan maksud sebagai penjelasan paham mereka dan untuk
menghalangi umat dari mengikuti salaf dan komitmen terhadap jalan
petunjuk.”11
Sementara itu, Imam As-Syuyuthy mengatakan, “Ketahuilah
bahwa seseorang tidak dapat memahami makna wahyu dan tidak akan terlihat
olehnya rahasia-rahasianya sementara di dalam hatinya terdapat bid‘ah,
kesombongan, hawa nafsu, atau cinta dunia, atau gemar melakukan dosa, atau
lemah iman, atau bersandar pada pendapat seorang mufassir yang tidak
memiliki ilmu, atau merujuk kepada akalnya. Semua ini merupakan penutup
dan penghalang yang sebagiannya lebih kuat daripada sebagian lainnya. Saya
katakan, inilah makna firman Allah ta‘ala.

‫ْح ِّق‬ ِ ‫ين َيتَ َكَّب ُرو َن فِي اأْل َْر‬


َ ‫ض بِغَْي ِر ال‬
ِ َّ ِ ُ ‫َص ِر‬
َ ‫ف َع ْن َءايَات َي الذ‬ ْ ‫َسأ‬
Artinya:“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya
di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-
Ku.” (QS Al-A‘raf: 146)

Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan, ‘Para ulama mengatakan bahwa maksud


ayat di atas adalah dicabut dari mereka pemahaman mengenai Al-Quran.’
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.”

11
Al-‘Ik, Khalid Abdurrahman. 1986. Ushûl At-Tafsîr wa Qawâ‘iduhu. Beirut: Dâr An-Nafâis.
Hal. 189.

9
Berdasarkan perkataan Imam Asy-Syuyuthy di atas, Ahmad
Bazawy Adh-Dhawy meringkaskan sejumlah adab yang harus dimiliki oleh
seorang mufassir, yaitu:
1. Akidah yang lurus
2. Terbebas dari hawa nafsu
3. Niat yang baik
4. Akhlak yang baik
5. Tawadhu‘ dan lemah lembut
6. Bersikap zuhud terhadap dunia hingga perbuatannya ikhlas semata-mata
karena Allah ta‘ala
7. Memperlihatkan taubat dan ketaatan terhadap perkara-perkara syar‘i serta
sikap menghindar dari perkara-perkara yang dilarang
8. Tidak bersandar pada ahli bid‘ah dan kesesatan dalam menafsirkan
9. Bisa dipastikan bahwa ia tidak tunduk kepada akalnya dan menjadikan
Kitâbullâh sebagai pemimpin yang diikuti.
Selain sembilan point di atas, Syaikh Manna‘ Al-Qaththan
menambahkan beberapa adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir,
yaitu:
1. Mengamalkan ilmunya dan bisa dijadikan teladan
2. Jujur dan teliti dalam penukilan
3. Berjiwa mulia
4. Berani dalam menyampaikan kebenaran
5. Berpenampilan simpatik
6. Berbicara tenang dan mantap
7. Mendahulukan orang yang lebih utama dari dirinya
8. Siap dan metodologis dalam membuat langkah-langkah penafsiran12
MenurutSyaikhShalah ‘Abdul Fattah al-Khaalidi ada 14 syarat
yang harusdimilikiolehseorangmufassir, diantaranya 13:
12
Al-Qaththan, Manna‘. 1973. Mabâhits fî ‘Ulûm Al-Qurân. Beirut: Mansyûrât Al-‘Ashr Al-
Hadîts. Hal. 332. Silakan lihat juga terjemahannya: Al-Qaththan, Manna‘. 2007. Pengantar Studi
Ilmu Al-Quran. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Hal. 417-418.
13
Shalah ‘Abdul Fattah al-Khaalidi, Ta’riifu ad-daarisiina bi manaahijilMufassiriin (Damsyiq:
DaarulQalam, tth) h. 61-64

10
1. Seorang mufassir itu harus benar agamanya (akidahnya)
2. Mengambil tafsir itu dari sunnah
3. Berfikir sehat
4. Seorang mufassir tidak boleh terpengaruh oleh mazhab yang mereka anut
5. Terkenal adil di kalangan muslimin
6. Terhidar dari bid’ah
7. Ikhlas dalam beramal
8. Seorang mufassir harus zuhud
9. Memahami Al-Qur’an secara baik dan benar
10. Bersikap sesuai dengan ajaran Al-Qur’an
11. Terhindar dari dosa dan maksiat
12. Menjaga pemahaman terhadap Al-Qur’an
13. Menjauhkan diri dari larangan Al-Qur’an
14. Cerdas.

C. PENUTUP
Demikianlah penjelasan mengenai syarat-syarat mufassir Al-
Quran yang sangat ketat. Dari uraian di atas, sampailah kita pada satu
kesimpulan bahwa tafsir Al-Quran adalah interpretasi berdasarkan pada
ilmu pengetahuan yang mapan.
Orang yang terpenuhi pada dirinya syarat-syarat mufassir
diperbolehkan untuk menafsirkan Al-Quran sesuai dengan kaidah dan
aturan yang berlaku. Akan tetapi jika seseorang tidak dapat mencapai
kriteria syarat-syarat mufassir, maka sikap yang mesti diambil adalah
mengikuti penafsiran para ulama yang berkompeten dalam bidang ini;
bukan malah berani membuat model tafsir baru alias bid‘ah sehingga
menimbulkan kerancuan (syubhât) dalam memahami Islam.
Bagi seseorang yang ingin menjadi mufassir harus memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan dan ilmu-ilmu yang yang berkaitan
dengan al-Qur’an.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abu Syuhbah, Muhammad. H. Al-Isrâiliyât wa Al-Maudhû‘ât fî Kutub At-Tafsîr.


KSA: Maktabah As-Sunn

Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. 2000. At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn. Juz I.


Kairo: Maktabah Wahbah.

12
Al-Harby, Husain bin Ali bin Husain. 1996. Qawâ‘id at-Tarjîh ‘Inda al-
Mufassirîn; Dirâsah Nazhâriyyah Tathbîqiyyah. Riyadh: Dâr al-Qâsim.
Juz 1.

Al-Qaththan, Manna‘. 1973. Mabâhits fî ‘Ulûm Al-Qurân. Beirut: Mansyûrât


Al-‘Ashr Al-Hadîts.

Al-Qaththan, Manna‘. 2007. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar.

Arqahwah, Shalahuddin. 1987. Mukhtashar Al-Itqân Fî ‘Ulûm Al-Qurân li As-


Suyûthy. Beirut: Dâr An-Nafâis.

Ar-Rumy, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman. 1419 H. Buhûts fî Ushûl At-
Tafsîr wa Manâhijuhu. KSA: Maktabah At-Taubah.

Az-Zarqany, Muhammad Abdul Azhim. 1995 Manâhilul ‘Irfân fî ‘Ulûm Al-


Qurân. Juz II. Beirut: Dâr Al-Kitâb Al-’Araby.

Fattah, Shalah ‘Abdul al-Khaalidi, Ta’riifu ad-daarisiina bi manaahijilMufassiriin


Damsyiq: DaarulQalam, tth

Husaini, Adian. “Virus Abu Zaid di Indonesia” dalam pengantar: Shalahuddin,


Henri. 2007. Al-Quran Dihujat. Jakarta: Al-Qalam.

13

Anda mungkin juga menyukai