Anda di halaman 1dari 13

Definisi Tafsir menurut :

1. Al-Zarkasiy :

‫علم يعرف به كتاب هللا المنزل على نبيه محمد صلى هللا عليه وسلم و بيان معانيه و استخراج احكامه و حكمه‬

"Ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi, menjelaskan maknanya serta
mengeluarkan hukum atau hikmah darinya"

2. Abd al-Azhim al-Zarqani:

‫علم يبحث عن القران الكريم من حيث داللته على مراد هللا تعالى بقدر الطاقة البشرية‬

"ilmu yang membahas tentang al-Qur`an darisegi dilalah-nya berdasarkan maksud yang dikehendaki
oleh Allah sebatas kemampuan manusia"

3. Khalid bin Utsman al-Tsabt :

‫علم يبحث فيه عن أحوال القران العزيز من حيث داللته على مراد هللا تعالى بقدر الطاقة البشرية‬

"Ilmu yang membahas tentang keadaan al-Qur`an dari segi dilalah-nya berdasarkan maksud yang
dikehendaki oleh Allah sebatas kemampuan manusia"

‫ وما انطوت عليه اياته من عقائد و أسرار و حكم و أحكام‬,‫توضيح معاني القران‬

"Penjelasan makna al-Qur`an dan menghasilkan kaidah-kaidah, rahasia-rahasia, hikmah-hikmah dan


hukum-hukum dari ayatnya."

5. Al-Kilbi dalam al-Tashil:

‫شرح القران و بيان معناه و األفصاح بما يقتضيه بنّصه إو إشارته أو نجواه‬

"Menguraikan al-Qur`an dan menguraikan maknanya, memperjelas makna tersebut sesuai dengan
tuntutan nash atau adanya isyarat yang mengarah ke arah penjelasan tersebut atau dengan
mengetahui rahasia terdalamnya."
2. Pembagian Tafsir secara ilmiah, tafsir terbagi empat bagian:

a. Tafsir bil-ma'tsur (bir-riwayah)

Adalah penafsiran Al Qur'an dengan Qur'an, atau dengan Hadits ataupun perkataan para Shahabat,
untuk menjelaskan kepada sesuatu yang dikehendaki Allah swt. Mengenai penafsiran Al Qur'an
dengan perkataan para Shahabat ketahuilah, bahwasanya Tafsir Shahabat termasuk Tafsir yang
dapat diterima dan dijadikan sandaran. Karena para Shahabat (semoga Allah meridhoi mereka),
telah dibina langsung oleh Rasulullah saw, dan menyaksikan turunnya wahyu serta mengetahui
sebab-sebab diturunkannya ayat.

Dan juga dikarenakan kebersihan hati mereka, dan ketinggian martabat mereka dalam kefashihan
dan bayan. Juga karena faham. mereka yang shahih dalam menafsirkan Kalam Allah swt. Dan juga
dikarenakan mereka lebih mengetahui rahasia-rahasia yang terkandung dalam Al Qur'an
dibandingkan seluruh manusia setelah generasi mereka. Berkata Imam Hakim Rahimahullah:
Sesungguhnya tafsir para Shahabat (semoga Allah meridhoi mereka) yang mana mereka telah
menyaksikan wahyu dan turunnya Al Qur'an dihukumkan Marfu' (sampai atau bersambung kepada
Nabi saw). Ataupun dengan kata lain, tafsir para Shahabat mempunyai hukum hadits Nabawi yang
Marfu' kepada Nabi saw.

b. Tafsir bir-ra'yi (bid-dirayah)

Adalah tafsir yang dalam menjelaskan maknanya, Mufassir hanya perpegang pada pemahaman
sendiri. Dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada ra'yu semata. Seiring perkembangan
zaman yang menuntut pengembangan metoda tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada
masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan
penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu- ilmu Al-
Qur'an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain. Seorang mufassir akan menggunakan
kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan
perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.

Pembagian Tafsir bir-ra'yi terbagi menjadi dua bagian: yaitu Tafsir Mahmud dan Tafsir Madzmum.

1). Tafsir Mahmud


Adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari'at (penafsiran oleh orang yang
menguasai aturan syari'at), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa
arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nash-nash

2). Tafsir al Madzmum

Qur'aniyah.

Adalah penafsiran Al Qur'an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya
sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari'ah. Atau dia menafsirkan ayat
berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bid'ahnya yang tersesat. Hukum Tafsir bir-ra'yi al
Madzmum: Menafsirkan Al Qur'an dengan ra'yu dan Ijtihad semata tanpaada dasar yang shahih
adalah haram. Allah berfirman: Artinya "Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya". (QS, Al Isra': 36) Rasul juga pernah menginagtkan kita" Dari
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma dia berkata, bersabda Rasulullah saw: "Barang siapa menafsirkan
Al Qur'an dengan tanpa ilmu, maka siapkanlah tempatnya di neraka".

c. Tafsir Isyari (bil isyarah)

Menurut kaum sufi setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang
segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang
tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat
di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur'an inilah yang akan tercurah dalam hati dari limpahan
pengetahuan gaib yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.

d. Tafsir bil Izdiwaji (Campuran)

Tafsir bil Izdiwaji disebut juga dengan metode campuran antara tafsir bil Matsur dan Tafsir bil Ra'yi
yaitu menafsirkan Al-Qur'an yang didasarkan atas perpaduan antara sumber tafsir riwayat yang kuat
dan shahih, dengan sumber hasil ijtihad akan pikiran yang sehat.

3. Pembagian Tafsir berdasarkan metodologi yang digunakan


1. Metode Tahlili (Analitik)

Metode Tahlili adalah metode menafsirkan Al-Qur'an yang berusaha menjelaskan Al-Qur'an dengan
menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur'an. Metode ini
adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi
ayat kemudian surat demisurat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur'an. Dia
menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan
kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I'jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa
yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fikih, dalil syar'i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak
dan lain sebagainya.

Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al- Qur'an dengan metode ini adalah
untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan sesuatu yang dirasa
bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan
metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-
pisah. Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak
sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat
mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al- Qur'an untuk
setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu "mengikat" generasi berikutnya.

2. Metode Ijmali (Global)

Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara singkat dan global, dengan menjelaskan
yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan
penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang
singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat
dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada
pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan
tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas. 3. Metode Muqarin (komparatif)

Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits,
atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari
obyek yang diperbandingkan itu.

4. Metode Maudhu'i (Tematik)


Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara
mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas
topik/judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab
turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-
keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum
darinya. (Diposkan oleh Rudi Arlan Al-farisi di http://ulumulstai.blogspot.co.id/2009/03/ilmu-tafsir).

D. Istimbad Tafsir

Adapun Istimbad ilmu tafsir adalah seperangkat ilmu yang dibutuhkan mufasir ketika hendak
menafsirkan Al Qur'an. Seperangkat ilmu tersebut diantaranya adalah:

1. Linguistik Bahasa Arab

Mencakup nahwau; sharaf dan balaghah

2. Ilmu atsar (riwayat)

Adalah ilmu yang diguankan untuk mengetahui penjelasan- penjelasan Nabi Saw mengenai ayat-ayat
yang musykil (sulit) da mujmal (bersifat global) sehingga perlu dijelaskan. 3. Ilmu Qiraah

Adalah ilmu tentang cara membaca Al Quran yang dapat melahirkan makna yang dimaksud.
Walaupun ada memang bacaan yang tidak berpengaruh terhadap makna ayat sepeti ghunnah dan
ikhfa.

4. Kisah-Kisah (sejarah) Terutama sejarah yang Allah abdikan didalam Al Quran

5. Ushul Fiqih

Ushul figh berfungi memberikan batasan dan kaidah bagi mufasir dalam menggali hukum syariat dan
ayat Al Quran
6. Ilmu Aqidah

Diantara isi Al Quran adalah mengenai Aqidah, maka dibutuhkanlah ilmu aqidah untuk memahami
ayat-ayat tentang aqidah. (Samsurrohman, 2014: 31)

Secara umum zat memabukkan disebut sebagai khamar, dan mayoritas ulama telah
bersepakat atas keharamannya. Hanya saja dapat muncul pertanyaan: khamar
dalam wujud apa yang diharamkan? Bagaimana hukumnya jika zat yang
memabukkan itu hanya sedikit dikonsumsi, dan tidak sampai bikin mabuk? Kadar
dan kriteria khamar ini adalah diskusi yang cukup rumit. Membicarakan khamar,
para ahli fiqih tidak bisa mengabaikan pembahasan minuman nabidz. Nabidz
secara bahasa diartikan “zat yang didiamkan” – atau mungkin bahasa sekarang,
difermentasikan – sehingga dihasilkan minuman olahan yang berubah cita rasanya.
ADVERTISEMENT ADVERTISEMENT Kebanyakan kitab fiqih klasik
membahas khamar dan nabidz ini dalam cakupan perasan anggur, kismis dan
kurma. Kedua jenis dahulu ditengarai minuman ini memiliki potensi memabukkan.
Dicatat oleh KH. Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya Kriteria Halal Haram untuk
Pangan, Obat dan Kosmetika menurut Al Quran dan Hadits, setidaknya ada dua
spektrum pendapat soal khamar dan nabidz ini. ad Mari kita mulai dengan
pendapat jumhur ulama. Pendapat kalangan Malikiyah, Syafiiyah, serta pengikut
mazhab Ahmad bin Hanbal cukup tegas bahwa minuman yang berpotensi
memabukkan, sedikit atau banyak, ia tetap diharamkan. Demikian sebagaimana
dinyatakan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni. Peminum khamar dan juga
nabidz ini juga beroleh deraan had cambuk. Dalil yang digunakan antara lain: ‫َع ِن‬
‫ َو ُك ُّل ُمْس ِك ٍر َح َر اٌم‬،‫ ُك ُّل ُمْس ِك ٍر َخ ْم ٌر‬: ‫اْب ِن ُع َمَر َأَّن َر ُسوَل هللا صلى هللا عليه وسلم َق اَل‬. ad Artinya:
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda, “Setiap yang muskir
(memabukkan) adalah khamar, dan setiap yang muskir adalah haram.” (HR.
Muslim) Selain itu ada juga hadits yang diriwayatkan Jabir bin Abdullah dalam
Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, serta muhaddits lainnya, bahwa Nabi
bersabda, ‫ما أسكر كثيره فقليله حرام‬... “Sesuatu (minuman) yang banyaknya dapat
memabukkan, maka sedikitnya pun haram.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)
Melalui dua hadits di atas jumhur ulama berpendapat bahwa minuman yang
memabukkan itu haram, apapun jenisnya, berapapun kadarnya, serta apakah
meminumnya sampai mabuk atau tidak. Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, serta
Imam Ahmad dikenal sebagai ulama yang banyak beraktivitas di Hijaz. Rupanya,
pendapat soal khamar dan nabidz ini berbeda di kalangan ulama Irak, dengan
tokohnya antara lain tabi’in Ibrahim an-Nakhai dan Sufyan Ats-Tsauri, serta Imam
Abu Hanifah. Ulama Irak, mencakup juga dari daerah Kufah dan Basrah,
berpendapat bahwa keharaman khamar itu pada jumlah kadar yang diminum,
bukan dari substansi zat minumannya. Dalam kalangan Hanafiyah – sebagaimana
keterangan Imam al Hashkafi dalam Ad Durr al Mukhtar – minuman yang
memabukkan setidaknya adalah empat jenis ini: khamar sebagai minuman yang
terbuat dari anggur, panas saat diminum dan berbuih; kemudian thila’, air anggur
yang dimasak hingga sangat pekat; lalu sakar, air kurma yang berbuih dan berbau
cukup menusuk; serta air rendaman kismis Arab. Ketiga jenis minuman yang
disebut terakhir tidak dinyatakan secara eksplisit keharamannya. Imam Al
Hashkafi juga menyebutkan bahwa nabidz yang diolah dari selain anggur, kurma,
maupun kismis itu halal. Banyaknya jenis minuman olahan nabidz dari anggur
maupun buah lainnya ini menjadikan definisi soal khamar menjadi sangat spesifik
(mubayyan). Khamar dan nabidz, keduanya diketahui berpotensi memabukkan.
Mereka mendasarkan argumennya soal halalnya nabidz – minuman olahan yang
didiamkan atau difermentasikan dari ayat berikut: ‫َو ِمْن َث َمَر اِت الَّن ِخيِل َو اَأْلْع َن اِب َت َّت ِخُذ وَن‬
‫ ِم ْن ُه َس َك ًر ا َو ِر ْز ًقا َح َس ًن اۗ ِإَّن ِفي َٰذ ِلَك آَل َي ًة ِلَق ْو ٍم َي ْع ِقُلوَن‬Artinya: “Dan dari buah kurma dan
anggur, kalian buat darinya yang memabukkan dan rizki yang baik. Sesungguhnya
dalam hal demikian sungguh terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
berakal.” (QS An-Nahl ayat 67) Imam Al Jashshash dari kalangan Hanafiyah
dalam kitab tafsirnya Ahkamul Qur’an bahwa kata sakar, memiliki cakupan makna
khamar dan nabidz yang sama-sama berpotensi memabukkan. Namun di ayat Al
Quran lainnya (yaitu QS Al Maidah ayat 90) dijelaskan bahwa khamar telah
diharamkan dan tidak ada keterangan eksplisit soal haramnya nabidz. Tiadanya
pernyataan seputar keharaman nabidz yang sharih dan jelas dalam Al Quran
maupun hadits menunjukkan hukumnya mubah, di samping pengertian khamar
tidak cukup mencakup makna nabidz karena keduanya berbeda. Selain itu, khamar
lebih nyata efek memabukkannya segera setelah diminum dibanding nabidz yang
memperjelas aspek illat penyebab keharamannya. Imam Ibnu Abidin, salah satu
ulama Hanafiyah, dalam karyanya Hasyiyah Ibnu Abidin mengutip keterangan
Imam Abu Hanifah bahwa segala olahan nabidz boleh diminum selama tidak
digunakan untuk maksiat, serta digunakan sekadar istimrarut tha’am – melancarkan
makanan. Namun jika meminumnya sampai mabuk, maka tegukan terakhir itulah
yang haram, dan peminumnya menjadi ghairu ‘aqil (tidak berakal) – yang
implikasinya banyak sekali dalam urusan fiqih. Seseorang yang tahu persis bahwa
tiga gelas anggur akan membuatnya mabuk, maka dua gelas anggur yang pertama
itu halal, lalu gelas ketiganya itu haram baginya. Demikian catatan Imam Ibnu
Abidin. Ulama Irak berdalil dengan beberapa atsar yang meriwayatkan bahwa
sahabat Nabi pernah meminum nabidz kurma yang berbau menyengat, tapi tidak
sampai mabuk. Abdullah bin Abbas pernah menyebutkan bahwa saat ditanya
tentang hukum nabidz, beliau membolehkan minum satu, dua, atau tiga gelas
nabidz jika tidak khawatir mabuk. Riwayat kebolehan nabidz dan bahkan para
sahabat sendiri ada yang meminum nabidz – namun tidak mabuk – menunjukkan
bahwa Imam Abu Hanifah berkesimpulan bahwa nabidz secara substansi tidak
haram, namun ketika memabukkan ia jadi haram. Melalui pendapat kalangan
Hanafiyah di atas kita tahu bahwa ada istilah “minuman yang berpotensi
memabukkan” (al iskar bil quwwah), serta kondisi mabuk pada takaran minum
tertentu (al iskar bil fi’li). Ulama Irak – termasuk kalangan Hanafiyah –
berpendapat bahwa nabidz diharamkan disebabkan al iskar bil fi’li, yakni karena
“cara minumnya” yang kelewat batas. Jika minum cuma sedikit dan tidak mabuk,
nabidz dipandang tidak haram. Berbeda dengan pendapat mazhab Syafii, Maliki
maupun Hanbali yang berpendapat bahwa zat berpotensi memabukkan (al iskar bil
quwwah), sedikitnya saja sudah diharamkan, karena nabidz adalah bagian dari
khamar. Para ulama yang mengharamkan nabidz dan minuman “berpotensi
memabukkan” lain meski hanya sedikit dan tidak sampai mabuk, merujuk
keterangan Ibnu Abbas bahwa ayat surah An-Nahl ayat 67. Ibnu Abbas
menyatakan bahwa buah kurma dan anggur menjadi “minuman memabukkan dan
rezeki yang baik” di atas, adalah ayat Makkiyyah – diturunkan di Makkah, turun
sebelum ayat-ayat seputar keharaman khamar yang merupakan ayat Madaniyyah –
diturunkan di Madinah. Seluruh minuman memabukkan adalah khamar, baik itu
sekadar berpotensi atau memang langsung bikin mabuk dalam beragam wujudnya.
Demikian kurang lebih keterangan Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya Al-Jami’ li
Ahkamil Qur’an. Kemudian terkait riwayat hadits tentang kebolehan meminum
sedikit saja dari minuman yang memabukkan, Abdullah bin Mubarak menyatakan
bahwa riwayat tersebut seluruhnya merujuk ke Ibrahim an-Nakhai – salah satu
tabi’in Irak. Demikian catatan Ibnu Hajar al Asqalani dalam Fathul Bari Syarh
Shahih al Bukhari. Sebagai suatu riwayat yang menyendiri (ahad), keterangan
seputar halalnya nabidz dalam kadar sedikit dan tidak memabukkan ini
bertentangan dengan banyak hadits lain yang lebih shahih bahwa segala yang
memabukkan, sedikitnya saja haram. Sekilas kita lihat bahwa beda pandangan
soal minuman memabukkan antara ulama Irak dan Hijaz di atas disebabkan
perbedaan tafsir ayat seputar khamar, dasar hadits yang dirujuk, serta konteks
kehidupan masyarakat setempat kala itu. Kalangan ulama Irak di Kufah,
berdasarkan keterangan Ibnu Khaldun, dipandang meriwayatkan hadits lebih
sedikit dari penduduk Hijaz yang lebih dekat dengan lokasi Rasulullah dan sahabat
hidup. Pada kenyataannya muhaddits Irak lebih banyak dibanding dari Hijaz, dan
dakwah Islam di Irak sudah pesat sedari masa tabiin. Ilmu hadits yang baru mapan
dan berkembang luas setelahnya – utamanya di era Imam asy-Syafi’i, turut
mengembangkan cara penggunaan dalil hadits oleh ulama di kemudian hari. Dapat
dilihat bahwa beberapa hadits dan atsar yang menjadi basis argumen kalangan
Hanafiyah seputar halalnya nabidz, dinilai belum memenuhi kriteria shahih dan sah
menjadi hujjah berdasarkan ilmu hadits. ‘Ala kulli hal, yang sudah jelas adalah
mabuk-mabukan itu haram. Namun soal kadar dan kriteria minuman memabukkan,
ia bisa sangat terkait dengan kultur masyarakat, dalil yang disajikan para ulama,
serta produk minuman itu sendiri. Dalam konteks Indonesia banyak jenis
minuman olahan non-anggur yang dikonsumsi masyarakat, baik tuak, ciu, air tape,
fermentasi salak, dan lainnya. Namun agaknya minuman tadi atau juga anggur
merah (yang dipandang lebih soft), bukanlah gaya hidup rutin kebanyakan orang
Indonesia. Kebanyakan jadi minuman kala senggang, pelepas penat, dan tidak
untuk sekadar istimrarut tha’am saja sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah.
Karena menjadi konsumsi kala senggang, sangat mungkin minumnya bisa
kebablasan sampai mabuk. Di beberapa belahan dunia, seperti contoh di Prancis,
masyarakatnya kerap minum sesloki atau segelas kecil wine sebagai penutup dari
menu makanan mereka pada takaran tertentu saja. Masyarakat Eropa yang
melegalkan alkohol mengenal istilah standard drinks – kadar minimal minuman
beralkohol yang diperkenankan dan dapat ditoleransi tubuh. Minuman standard
drinks itu telah ditakar dan diteliti oleh para ahli, sehingga “peminum rasional”
memahami batasan minum serta menjauhi merek dan jenis yang tak bisa mereka
toleransi kadar alkoholnya. Tidak konsumsi minuman memabukkan kiranya
adalah pilihan terbaik ditinjau dari konteks masyarakat Indonesia maupun sudut
pandang kesehatan. Banyak risiko kesehatan dapat terjadi akibat perilaku
alkoholik. Untuk bir tradisional, saat ini pun belum ada standarisasi kadar alkohol
untuk tuak, air tape, atau bir salak pondoh, dan seberapa banyak ia mampu
memabukkan – maka menjauhinya adalah pilihan terbaik. Mengetahui lingkup
bahasan fatwa ulama seperti di atas, kiranya membuat kita lebih bijak dalam
mengonsumsi produk, mendiskusikan isu-isu kemasyarakatan, serta memandang
tradisi. Wallahu a’lam.

Sumber: https://islam.nu.or.id/fiqih-perbandingan/beda-pendapat-ulama-tentang-
kadar-khamar-dan-minuman-memabukkan-lainnya-fRaqR

___
Download NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap!
https://nu.or.id/superapp (Android/iOS)
Dengan ayat ini Allah menjelaskan hukum-hukum-Nya mengenai empat macam
perbuatan, yaitu: minum khamar, berjudi, mempersembahkan kurban kepada
patung-patung dan mengundi nasib dengan menggunakan alat-alat yang
menyerupai anak panah yang biasa dilakukan oleh bangsa Arab sebelum datangnya
agama Islam. Mengenai pengharaman minum khamar, para ahli tafsir berpendapat
bahwa ayat ini merupakan tahap terakhir dalam menentukan hukum haramnya
meminum khamar. Menurut mereka, Al-Qur'an mengemukakan hukum meminum
khamar itu dalam empat tahap. Pertama, berupa informasi tentang adanya
kandungan alkohol pada buah anggur pada surah an-Nahl/16:67. Kedua, manfaat
dan madarat minuman keras: Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad)
tentang khamar dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya."
(al-Baqarah/2: 219) Ayat ini turun pada masa permulaan Islam, ketika iman kaum
Muslimin belum begitu kuat untuk dapat meninggalkan apa yang telah menjadi
kegemaran dan kebiasaan mereka, yang sebenarnya tidak dibolehkan oleh agama
Islam. Maka setelah turun ayat ini, sebagian dari kaum Muslimin telah
meningalkan kebiasaan minum khamar karena ayat tersebut telah menyebutkan
bahwa perbuatan itu merupakan dosa besar. Tetapi sebagian masih melanjutkan
kebiasaan minum khamar, karena menurut pendapat mereka ayat itu belum
melarang mereka dari perbuatan itu, karena masih menyebutkan bahwa khamar itu
mengandung banyak manfaat bagi manusia. Alkohol atau khamr yang dimaksud
adalah etanol yang diproduksi dengan fermentasi sari buah seperti anggur, nanas,
dan sebagainya. Juga dapat diproduksi dari tetes, limbah dari pabrik gula tebu, dan
ini merupakan bahan baku yang paling banyak digunakan untuk memproduksi
alkohol di Indonesia. Alkohol memiliki beberapa manfat antara lain sebagai
sumber energi dan pelarut. Alkohol merupakan sumber energi yang cukup tinggi,
lebih tinggi dari gula dan hampir menyamai lemak dengan perbandingan sebagai
berikut Karbohidrat/gula, 4 kkal/g, alkohol, 7 kkal/g dan lemak, 9 kkal/g Selain itu
alkohol mudah dicerna sehingga badan mudah memperoleh energi setelah minum
alkohol. Alkohol juga dipakai pelarut dalam obat " obatan yang disebut elixir
seperti dalam obat ginjal batugen elixir atau juga dalam obat batuk. Ketiga,
larangan melaksanakan salat ketika mabuk: Wahai orang yang beriman! Janganlah
kamu mendekati salat, ketika kamu dalam keadaan mabuk¦ (an-Nisa'/4: 43). Karena
ayat ini melarang mereka melakukan salat dalam keadaan mabuk, maka ini berarti
bahwa mereka tidak dibolehkan minum khamar sebelum salat, agar mereka dapat
melakukan salat dalam keadaan tidak mabuk. Setelah turun ayat ini, mereka tak
bisa lagi minum khamar sejak sebelum Zuhur, sampai selesainya salat Isya, karena
waktu Zuhur dan Asar adalah bersambungan, dalam masa yang pendek. Demikian
pula antara Asar dan Magrib, dan antara Magrib dengan Isya. Apabila mereka
minum khamar sesudah salat Zuhur, atau Magrib, niscaya tak cukup waktu untuk
menunggu mereka sadar dari mabuk. Sehingga dengan demikian mereka tak akan
dapat melakukan salat dalam keadaan sadar, sedangkan Allah telah melarang
mereka melakukan salat dalam keadaan mabuk. Orang-orang yang hendak minum
khamar hanya mendapat kesempatan sesudah salat Isya dan sesudah salat Subuh.
Karena jarak antara Isya dan Subuh dan antara Subuh dan Zuhur cukup panjang.
Dengan demikian, diharapkan orang yang minum khamar menjadi semakin
berkurang. Keempat, penetapan keharaman khamar Setelah iman kaum Muslimin
semakin kuat, dan kejiwaan mereka semakin mantap untuk meninggalkan apa yang
tidak diperbolehkan agama, maka turunlah ayat 90 Surah al-Ma'idah/5 ini, yang
memberikan ketegasan tentang haramnya minum khamar, yaitu dengan
mengatakan bahwa minum khamar, dan perbuatan lainnya adalah perbuatan kotor,
haram dan termasuk perbuatan setan yang tak patut dilakukan oleh manusia yang
beriman kepada Allah. Dengan turunnya ayat ini, tertutuplah sudah semua
kemungkinan bagi orang-orang mukmin untuk minum khamar. Demikianlah tahap-
tahap yang telah diatur Al-Qur'an dalam memberikan hukum haram minum
khamar. Prinsip ini sangat tepat untuk digunakan bila kita ingin mengadakan
pemberantasan dan pembasmian apa yang telah berurat berakar dan mendarah-
daging dalam masyarakat. Andaikata kita mengadakan tindakan yang drastis,
pemberantasan yang mendadak dan sekaligus, maka akan terjadi kegoncangan
dalam masyarakat, dan akan timbullah perlawanan yang keras terhadap peraturan
baru yang hendak diterapkan. Agama Islam sangat mementingkan pembinaan
mental manusia, dan menghindari timbulnya kegoncangan-kegoncangan dalam
masyarakat. Khamar atau minuman berakohol dilarang karena dibalik
kemanfaatannya alkohol juga memiliki kemudaratan. Di negara"negara maju,
seperti Amerika dan Australia, alkohol penyebab kecelakaan lalu lintas lebih dari
55% dan juga merupakan sumber berbagai penyakit. Di Amerika diidentifikasi
bahwa pemabuk banyak menderita penyakit karena avitaminosis. Di Australia
didapatkan bahwa anak"anak suami istri pemabuk, banyak menderita cacat fisik
dan atau mental. Di Papua Nugini, kegemaran minum para pekerjanya adalah
penyebab penceraian, karena uang habis untuk minum"minum. Di Indonesia,
alkohol adalah penyebab tindakan kriminal seperti perampokan, perkosaan dan
pembunuhan. Juga penyebab kecelakaan lalu lintas, dan keretakan rumah tangga.
Meskipun merupakan bisnis besar, tetapi telah diteliti bahwa setiap dolar yang
diperoleh dari produk alkohol, memerlukan biaya yang lebih besar untuk
mengatasi akibat kerusakan sosial yang diperoleh, seperti : Tennese State :
Perolehan US$1,- biaya US$ 2.28 Shelby State : Perolehan US$1,- biaya US$
11.08 Memphis State : Perolehan US$1,- biaya US$ 4.39 Karena alkohol mudah
diserap, maka makanan berlebih seperti gula, lemak dan protein disimpan dalam
bentuk lemak sehingga kelebihan berat badan. Obesitas ini penyebab dari penyakit
pembuluh darah, jantung dan gula (diabetes). Perlu diketahui bahwa alkohol adalah
minuman berenergi tinggi tetapi tanpa gizi atau disebut "empty calories". Juga
alkohol penyebab tubuh tidak dapat menyerap vitamin dan mineral atau keduanya
dibuang ke dalam urin. Akibatnya pemabuk menjadi malnutrisi. Dan ini pula
penyebab utama bahwa anak " anak para peminum atau pemabuk menderita cacat
fisik atau mental karena sperma atau ovumnya kekurangan gizi. Detoksikasi
alkohol dalam tubuh oleh lever terus menerus dapat merusak sel"sel. Kerusakan sel
akan mengganggu kinerja lever. Selain itu kelebihan lemak disimpan dalam hati
yang dapat menyebabkan kanker hati atau cirrosis yang belum ada obatnya.
Alkohol merusak sistem syaraf, melemahkan koordinasi otot dan mata (penyebab
kecelakaan). Juga menghilangkan ingatan sehingga melakukan segala kejahatan
tanpa kesadaran, seperti memperkosa, berkelahi, merampok dan membunuh.
Alkohol termasuk bahan yang menyebabkan ketagihan atau adiktif. Sifat ini
menyebabkan peminum ingin mengkonsumsi lebih banyak dan lebih banyak lagi
karena tidak puas. Rasa yang selalu tidak puas itu yang akhirnya menyebabkan
terjerumus ke dalam dunia narkotika seperti ganja, morfin, kokain, dan sebagainya.
Sifat adiktif ini secara ilmu pengetahuan belum dapat dijelaskan dengan
memuaskan. Adapun judi, amat besar bahayanya bagi pribadi dan masyarakat. Judi
dapat merusak kepribadian dan moral seseorang, karena seorang penjudi selalu
berangan-angan akan mendapat keuntungan besar tanpa bekerja dan berusaha,
menghabiskan umurnya di meja judi tanpa menghiraukan kesehatannya, keperluan
hidupnya dan hidup keluarganya yang menyebabkan rumah tangga hancur. Judi
akan menimbulkan permusuhan antara sesama penjudi. Permusuhan ini terus
berlanjut dalam pergaulan sehingga merusak masyarakat. Berapa banyak rumah
tangga yang berantakan, harta yang musnah karena judi. Tidak ada orang yang
kaya semata-mata karena berjudi (lihat juga tafsir ayat 219 Surah al-Baqarah/2).
Orang Arab sebelum Islam merupakan masyarakat penyembah berhala. Mereka
membuat patung-patung dari batu dan sebagainya, kemudian mereka sembah dan
mereka agung-agungkan. Mereka menyembelih hewan-hewan kurban untuk
dipersembahkan kepada patung-patung tersebut. Perbuatan ini adalah perbuatan
yang sesat. Karena yang patut disembah dan diagungkan hanyalah Allah. Manusia
dapat menyembah Allah, tanpa perantara. Jika ingin berkurban, sembelihlah
kurban itu, kemudian dagingnya dibagi-bagikan kepada manusia yang dapat
memanfaatkannya, jangan kepada patung-patung yang tak akan dapat mengambil
manfaat apapun dari daging kurban tersebut. Oleh sebab itu, sangat tepat bila
agama Islam melarang kaum Muslimin mempersembahkan kurban kepada patung-
patung, kemudian Islam menetapkan bahwa kurban itu adalah untuk
mengagungkan Allah, dan dagingnya dibagikan kepada sesama manusia.
Mengundi nasib, juga suatu perbuatan yang telah lama dikenal manusia, bahkan
sampai sekarang masih dilakukan dan dipercayai oleh sebagian orang. Ada
berbagai cara yang digunakan untuk keperluan itu. Ada kalanya dengan
menggunakan alat, atau dengan meneliti telapak tangan, atau dengan
memperhatikan tanggal dan hari kelahiran bintang-bintang, sebagaimana sering
dicantumkan dalam majalah hiburan atau surat kabar-surat kabar. Bangsa Arab di
zaman jahiliah biasa mengundi nasib dengan menggunakan azlam, yaitu anak
panah yang belum memakai bulu. Mereka menggunakannya untuk mengambil
keputusan apakah mereka akan melakukan sesuatu perbuatan atau tidak. Caranya
ialah: mereka mengambil tiga buah anak panah yang belum memakai bulu tersebut
lalu pada anak panah yang pertama mereka tuliskan kata-kata "lakukanlah" sedang
pada anak panah yang kedua mereka tuliskan kata-kata "jangan lakukan"; adapun
anak panah yang ketiga tidak ditulisi apa-apa. Ketiga anak panah tersebut
diletakkan dalam suatu wadah, lalu disimpan di dalam Ka'bah. Bila mereka hendak
melakukan satu pekerjaan, maka mereka meminta kepada tukang kunci Ka'bah
untuk mengambil satu di antara ketiga anak panah tersebut. Apakah mereka akan
melakukan perbuatan itu atau tidak, tergantung kepada tulisan yang didapati pada
anak panah yang diambil itu. Jika ternyata bahwa yang diambil itu adalah anak
panah yang tidak ada tulisannya, maka undian itu diulang sekali lagi. Demikianlah
mereka menggantungkan nasib kepada undian tersebut dan mereka sangat
mempercayainya. Undian-undian dan ramalan-ramalan semacam itu mengandung
banyak segi negatifnya. Apabila si peramal mengatakan bahwa orang yang
bersangkutan akan menemui nasib yang jelek, maka hal itu akan membuatnya
merasa kuatir, takut dan putus asa, bahkan akan menyebabkan tidak mau bekerja
dan berusaha karena ia percaya kepada ramalan itu. Sebaliknya, bila peramal
mengatakan bahwa ia akan menjadi orang yang kaya dan berbahagia, maka hal itu
dapat menyebabkan dia malas bekerja dan memandang rendah segala macam
usaha, karena ia percaya bahwa tanpa usaha pun ia akan berbahagia atau menjadi
kaya. Orang beriman dilarang mempercayai ramalan-ramalan itu, baik yang
dikatakan langsung oleh tukang-tukang ramal, ataupun yang biasa dipublikasikan
dalam media cetak dan elektronik. Ramalan-ramalan tersebut dapat merusak iman.
Orang beriman harus percaya bahwa Allah sajalah yang dapat menentukan nasib
setiap makhluk-Nya. Percaya kepada qadha dan qadar Allah, adalah salah satu dari
rukun iman. Pada akhir ayat ini Allah memerintahkan agar orang beriman
menjauhi minuman khamar, berjudi, berkorban untuk patung-patung serta
mengundi nasib, diharapkan dengan menjauhi perbuatan-perbuatan itu, mereka
akan menjadi orang-orang yang sukses dan beruntung di dunia dan di akhirat.

Anda mungkin juga menyukai