Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

SYURUTH AL-MUFASSIRIN

Tentang

PERSYARATAN AKHLAK (MORALITAS)

Disusun Oleh

RAHMAT HIDAYAT
NIM. 2120080031

Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Rusydi AM, Lc.,M.Ag


Zulbadri, M.Ag.,Ph.D

JURUSAN ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR


PASCASARJANA
UIN IMAM BONJOL PADANG
2021 M / 1443 H

0
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seorang mufassir perlu memiliki kualifikasi (syarat-syarat) dan
berbagai bidang ilmu pengetahuan secara mendalam. Untuk menjadi
mufassir yang diakui, maka harus memiliki kemampuan dalam segala
bidang. Para ahli telah memformulasikan tentang syarat-syarat dasar yang
diperlukan bagi mufassir.
Adapun orang yang dapat menafsirkan Al-Quran hanya orang yang
memiliki keahlian dan menguasai ilmu tafsir, sedangkan orang yang belum
banyak mengerti tentang ayat dan tata cara penafsiran serta tidak
menguasai ilmu tafsir tidak diperbolehkan menafsirkan Al-Quran. hal ini
ditekankan agar tidak terjadi penafsiran kitab suci dengan hawa nafsu dan
keinginan nalar, sehingga tidak sesuai dengan maksud yang dikehendaki
Allah SWT.
Maka dari itu, di dalam makalah ini penulis akan memaparkan
pembahasan tentang etika dalam menafsirkan Al-Quran yang lebih di
kenal dengan adab al mufassir yang terfokus kepada persyaratan dari segi
akhlak. Penulis berharap kiranya tulisan ini bermanfaat untuk kita
semuanya terutama saya sebagai penulis serta dapat menambah ilmu
pengetahuan dalam khazanah keislaman.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, bahwa yang menjadi masalah
penulisan makalah ini yaitu: bagaimana persyaratan yang harus dipenuhi
seorang mufassir ditinjau dari segi akhlak?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka pembahasan makalah
ini bertujuan untuk mengetahui serta memahami akan persyaratan yang
harus dipenuhi seorang hamba agar menjadi mufassir di tinjau dari segi
persyaratan akhlak.

1
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akhlak
Perkataan akhlak berasal dari bahasa Arab, jama’ dari khuluqun
(‫)ﺧﻠﻖ‬, artinya adalah budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at.
Dalam kamus al-Marbawiy, ditemui kata khuluqun (‫)ﺧﻠﻖ‬, atau maru’ah
(‫)ﻣﺮوءة‬, artinya adalah perangai, tabi’at, mempunyai rasa malu. Dalam kitab
ushul al-da’wah di jumpai bahwa:

‫اﳋﻠﻖ ﰲ اﻟﻠﻐﺔ اﻟﻄﺒﻴﻌﺔ واﻟﺴﺠﻴﺔ‬


Arti dari pada al-khuluq secara bahasa adalah tabi’at atau
perangai1
Pengertian akhlak sebagaimana tersebut di atas, adalah secara
etimologi, sedangkan secara terminology banyak dikemukakan para ahli
dalam bentuk kalimat yang berbeda-beda, namun tujuannya adalah sama,
yaitu sama-sama menentukan dan menilai baik dan buruknya suatu
perbuatan manusia.
Di antara sekian banyak defenisi tersebut, sebagaimana yang
dikemukakan oleh beberapa pakar :
1. Menurut Abdul Karim Zaidan, pengertian akhlak itu adalah kumpulan
sifat-sifat yang berurat berakar dalam diri manusia, serta berdasarkan
dorongan dan pertimbangan sifat itu, dapat dikatakan perbuatan itu baik
atau buruk menurut pandangan manusia.
2. Menurut Muhammad Natsir adalah suatu sifat yang berurat dan berakar
pada diri seseorang yang terbit daripadanya perbuatan-perbuatan dengan
mudah tanpa dipikir-pikir dan di timbang-timbang.2
3. Ibnu Maskawih dalam buku Tahzib al Akhlaq wa Tathhir al'rab, “Sifat
yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan

1
Bakri Dusar, Gusnar Zain, Akhlak Dalam Berbagai Dimensi, (Padang: IAIN IB
Press, 2000), h. 1-2
2
Ibid, h. 3

2
perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.3
4. Imam Ghazali dalam buku Ihya Ulumuddin sifat yang tertanam dalam jiwa
yang menimbulkan macam-macam perbuatan baik atau buruk tanpa
membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.4

Jadi, akhlak itu terjadi dengan kemauan sendiri, dengan spontan,


tanpa dipikirkan dan tanpa pertimbangan terlebih dahulu. Kalimat khuluq
mengandung persesuaian dengan perkataan khalq, yang berarti kejadian, dan
erat hubungannya dengan khaliq, yang berarti pencipta; sedangkan makhluk
berarti yang diciptakan, artinya selain dari pada Allah.
Perumusan pengertian akhlak sebagaimana tersebut di atas
mempunyai hubungan yang erat antara khaliq sebagai pencipta dengan
makluk sebagai yang diciptakan. Antara khaliq dengan makhluk
mempunyai hubungan timbal balik, seterusnya juga hubungan antara
manusia dengan sesamanya serta manusia dengan alam/makhluk lainnya.
Berdasarkan kepada pengertian dan pemahaman terhadap akhlak
sebagaimana yang telah dikemukakan, maka berikut ini dikonklusikan,
bahwa:
1. Ilmu akhlak adalah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk,
antara yang terpuji dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan
manusia lahir dan bathin.
2. Ilmu akhlak adalah ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian
tentang baik dan buruk, ilmu yang mengajarkan tentang pergaulan
manusia dan menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari seluruh
usaha dan pekerjaan mereka.5
3. Berkenaan dengan perkataan akhlak, banyak dijumpai kata yang
seirama dengannya, salah satu kata-kata yang erat kaitannya yaitu kata
adab. Adapun pengertian adab adalah kesopanan, ketulusan dan
kebaikan, budi pekerti. Contoh: orang yang tinggi adabnya. Sedangkan

3
Wahyuddin, dkk, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Grasindo, 2009), h. 5
4
Imam al-Ghozali, ihya’ulum al-Dien, jilid III, (Beirut: Dar al-fikr, t.t.), h. 56.
5
Op. cit, Bakri Dusar, Gusnar Zain, h. 5

3
beradab adalah mempunyai adab, sopan, baik budi bahasanya. Contoh:
dari segi perbuatan, kelakuan, kecerdasan dan kebudayaan.6
B. Karakteristik Akhlak
Karakteristik akhlak merupakan nilai-nilai ruhiyah yang harus
dimiliki oleh seorang mufassir agar layak untuk mengemban amanah
dalam menyingkap dan menjelaskan suatu hakikat kepada orang yang
tidak mengetahui maksud dari ayat-ayat Al-Quran. para ulama salaf shalih
mengartikulasikan aspek ini sebagai adab-adab seorang alim.7
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa karakteristik akhlak
mencakup pada sumber moralnya, kriteria yang dijadikan sebagai ukuran
untuk menentukan baik buruknya tingkah laku.
Adapun karakteristik akhlak adalah sebagai berikut:
1. Akhlak mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah
laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang
buruk.
2. Akhlak mengajarkan bahwa yang menjadi sumber moral,
ukuran baik dan buruknya perbuatan, didasarkan kepada ajaran
Allah SWT. dan ajaran/sunnah Rasulullah SAW.
3. Aklah bersifat universal dan komprehensif, dan dapat diterima
oleh seluruh umat manusia disegala waktu dan tempat.
4. Akhlak mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang
akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah
pancaran sinar petunjuk Allah SWT. menuju keridhaan-Nya.
Agar manusia selamat dari pikiran-pikiran dan perbuatan yang
keliru dan menyesatkan.8

Sebagaimana telah dimaklumi juga, bahwa dasar ajaran Islam yaitu


Al- Quran dan sunnah Rasulullah SAW. maka kedua pokok dasar itulah

6
Ibid, h. 9-10
7
Muhammad Isa Anshory, Studi Tentang Syarat-Syarat Mufassir Al-Qur’an, dalam
https://www.academia.edu/9760388/Syarat_Mufassir, di akses pada tanggal 1-09-2021, pukul
17.51 WIB
8
Op.cit, Bakri Dusar, Gusnar Zain, h. 60

4
yang menjadi pedoman, menjadi petunjuk sebagai landasan dan sumber
ajaran Islam secara universal, sekaligus terdapat di dalamnya menentukan
pola dan sikap hidup dalam berakhlak, mana yang baik dan mana yang
buruk.
Kalau dikaji tentang ulumul Quran atau ilmu tafsir, secara pasti
dikemukakan, bahwa Al-Quran itu bukanlah merupakan hasil pemikiran
manusia, dan juga bukan hasil karangan Nabi Muhammad SAW. akan tetapi
yang sebenarnya bahwa Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW. ajaran kebenaran terkandung di dalamnya
dan tidak dapat ditandingi oleh siapapun dan apapun. 9 Allah SWT
berfirman dalam QS. Al-Maidah/5: 15-16:

َ‫سولُنَا يُ َب ِي ُن لَ ُك ۡم َك ِث ٗيرا ِم َّما ُكنت ُ ۡم ت ُ ۡخفُون‬ ِ َ‫َٰ ََٰٓيأ َ ۡه َل ۡٱل ِك َٰت‬


ُ ‫ب قَ ۡد َجا َٰٓ َء ُك ۡم َر‬
١٥ ‫ين‬ ٞ ‫ب ُّم ِب‬ٞ َ‫ور َو ِك َٰت‬ ِ َّ َ‫عن َك ِث ٖۚير قَ ۡد َجا َٰٓ َء ُكم ِمن‬
ٞ ُ‫ٱَّلل ن‬ َ ْ‫ب َو َيعۡ فُوا‬ ِ َ‫ِمنَ ۡٱل ِك َٰت‬
‫ت‬ ُّ َ‫س َٰ َل ِم َوي ُۡخ ِر ُج ُهم ِمن‬
ِ ‫ٱلظلُ َٰ َم‬ َّ ‫سبُ َل ٱل‬ ُ ‫ض َٰ َو َنهُۥ‬ۡ ‫ٱَّللُ َم ِن ٱتَّ َب َع ِر‬ َّ ‫َيهۡ دِي ِب ِه‬
١٦ ‫ص َٰ َرط ُّم ۡستَ ِقيم‬ ِ ‫ور ِبإِ ۡذ ِن ِهۦ َو َيهۡ دِي ِه ۡم ِإلَ َٰى‬ ِ ‫ِإلَى ٱل ُّن‬
Artinya: 15. Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul
Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang
kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan
Kitab yang menerangkan.
16. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang
mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan
kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap
gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-
Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.
Adapun hadis sebagai landasan kedua dari ajaran Islam dan
berguna untuk kepentingan hidup dan kehidupan muslim/mukmin, yang di
jelaskan dalam firman Allah QS. Al-Ahzab: 21 sebagai berikut:

‫ٱَّلل َو ۡٱل َي ۡو َم ۡٱۡلَٰٓ ِخ َر‬ َ ‫ٱَّلل أ ُ ۡس َوة ٌ َح‬


َ َّ ْ‫َة ِل َمن َكانَ َي ۡر ُجوا‬ٞ ‫سن‬ ُ ‫لَّقَ ۡد َكانَ لَ ُك ۡم ِفي َر‬
ِ َّ ‫سو ِل‬
َ َّ ‫َوذَ َك َر‬
٢١ ‫ٱَّلل َك ِث ٗيرا‬

9
Op.Cit, Bakri Dusar, Gusnar Zain. h. 61-62

5
21. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

C. Persyaratan Dari Segi Akhlak Mufassir


1. Berniat baik dan tujuan yang benar, maksudnya seorang mufassir
dengan penafsirannya harus semata-mata bertujuan untuk mendekatkan
diri kepada Allah bukan untuk tujuan yang lain, seperti mendapatan
pujian atau sanjungan, mencari popularitas, dan tujuan lainnya selain
mendekatkan diri kepada Allah. Mufassir yang mempunyai tujuan yang
benar akan mendapatkan petunjuk dari Allah, sebagaimana firman
Allah dalam QS. Al-Ankabut: 69, sebagai berikut:

٦٩ َ‫ٱَّلل لَ َم َع ۡٱل ُم ۡح ِسنِين‬


َ َّ ‫سبُلَن َٖۚا َو ِإ َّن‬
ُ ‫َوٱلَّذِينَ َٰ َج َهدُواْ فِينَا لَنَهۡ ِد َي َّن ُه ۡم‬
Artinya: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan)
Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Ankabut: 69)

Seseorang akan mempunyai tujuan yang bersih sepanjang ia


mau hidup mengesampingkan duniawi, sebab apabila ia mencintai
dunia maka sangat mungkin ia menggunakan karyanya untuk mencapai
tujuan-tujuan duniawi yaitu seperti harta, tahta, kedudukan,
superioritas, sanjungan, dan lain-lain.10
2. Seorang mufassir harus objektif, yaitu jujur dan teliti dalam mengutip,
seorang mufassir ia tidak berbicara atau menulis kecuali setelah
menyelidiki apa yang diriwayatkannya. Dengan cara ini ia akan
terhindar dari kesalahan dan kekeliruan.11 Adapun kejujuran seorang
mufassir bukanlah persoalan penafsiran semata, tapi persoalan
penjelasan. Penafsir harus benar-benar jujur sehingga tidak akan
menyembunyikan dengan sengaja maksud Tuhan yang tersimpan
dalam teks, atau karena berbagai alasan, mengganti bunyi perintah

10
Hasan Zaini, Novri Andy, Ilmu Tafsir, (STAIN Batu Sangkar Press, t.th), h. 43-44
11
Manna Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2005), h. 418

6
Tuhan. Kejujuran juga berarti penafsir tidak berpura-pura memahami apa
yang tidak ia ketahui, serta berterus terang tentang sejauh mana ilmu dan
kemampuannya dalam memahami kehendak Tuhan.12
3. Baik akhlaknya, ahli-ahli tafsir itu berdiri di atas budi pekerti yang baik
dan terpuji. Selain itu ia akan menjadi contoh teladan orang- orang
banyak dalam segi akhlak dan moral. Kata-katanya akan ditiru dan di
praktekkan oleh orang-orang yang ikut mendengar atau membaca fatwa-
fatwanya itu.13
4. Tidak hanya menguatkan pendapatnya sendiri, melainkan
mendahulukan orang yang lebih utama daripadanya. Seorang mufassir
hendaknya tidak gegabah untuk menafsirkan dihadapan orang yang
lebih pandai pada waktu mereka masih hidup dan tidak pula
merendahkan mereka sesudah mereka wafat. Tetapi hendaknya ia
menganjurkan belajar dari mereka dan membaca kitab-kitabnya.14

Dalam kitab Ushul Tafsir Wa Qawaiduhu dijelaskan Ringkasnya,


adab seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Quran dapat dinyatakan
sebagai berikut: sesungguhnya, kriteria yang mesti dipenuhi seorang
mufassir dari segi akhlak setidaknya memiliki enam aspek, yang jika salah
satunya tidak terpenuhi, maka lebih baik agar dia diam saja (dalam perkara
tersebut)15:
Yang pertama: Mengikuti hukum-hukum syari’at dalam perkara
ibadah dan muamalah beserta sunah-sunah yang berkaitan dengannya agar
dapat menempatkan setiap ayat yang membahas perkara hukum tersebut
sesuai pada tempatnya.
Yang Kedua: Agar menaati dan memprioritaskan pendapat para
mufassir terdahulu dari kalangan salaf dan khallaf, karena pendapat
12
Aly Taufiq, Menimbang Keberpihakan Mufassir, https://www.kompasiana.com›
moch_aly_taufiq/Menimbang-Keberpihakan-Mufassir-analitis-kritis-hermeneutis, di akses pada
tanggal 1-September-2021, pukul 17.43 WIB.
13
Mana’ul Qathan, Pembahasan Ilmu Al-Quran 2, (Jakarta: PT. RINEKA CIPTA,
1995), h. 172
14
Ibid., h. 418
15
Khalid Abdurrahman Al-’lk, Ushul At-Tafsir Wa Qawa’iduhu, (Beirut: Dar An-
Nafais, t.th), h. 189

7
mereka lebih lurus jika dia hendak menafsirkan ayat serta lebih mendekati
kebenaran.
Yang Ketiga: Hendaklah dia orang yang sangat jenius, yang pintar
dalam memahami serta kuat pemikirannya. Karena tentunya orang dungu
tak akan mampu memahami penjelasan yang diberikan kepadanya, apalagi
harus beristinbath terhadap perkara yang belum ada penjelasannya sama
sekali.
Yang keempat: Mengetahui segala pintu-pintu rahasia tentang
keikhlasan, tawakal, dan penyerahan diri, mengetahui perbedaan antara
ilham dan was- was semata, juga mengetahui setiap perkara-perkara yang
dapat merusak atau memperbaiki amal, penyakit-penyakit di dunia dan
segala aibnya bagi jiwa, serta dapat mengetahui jalan ketakwaan dari
segenap kerusakan yang terdapat padanya, agar kelak dia mampu
menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan perkara-perkara tersebut
dengan baik.
Yang kelima: Menyerahkan segala urusannya kepada Allah SWT.
Memohon dengan segenap kerendahan hati kepada-Nya agar diberikan
ilham berupa petunjuk dan taufiq, serta berhati-hati agar tidak merasa takjub
terhadap dirinya sendiri dan bergantung kepada akal dan kejeniusannya
semata.
Yang keenam: Hendaklah dia orang yang zuhud terhadap dunia
serta berharap kepada hari akhir. Sebab andaikan setiap orang diliputi oleh
segala sesuatu yang dicarinya dan dikelilingi oleh semua hal yang
diinginkan dan diharapkannya, maka barang siapa yang mengharapkan
dunia, ke sanalah hasratnya akan tertuju, yang tentunya akan menyebabkan
dirinya menjadikan segala kecondongan hatinya tersebut sebagai
landasannya dalam berbicara membahas perkara-perkara tafsir
sebagaimana yang dia inginkan. Dan tidaklah perkara itu membuatnya
takut bahwa dia akan mengubah kitab Allah menurut keinginannya
belaka, sehingga akhirnya menyesatkan dirinya sendiri dan menyesatkan
orang lain. Na’udzubillahi min dzalik.

8
9
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Secara etimologi perkataan akhlak berasal dari bahasa Arab, jama’ dari
khuluqun (‫)ﺧﻠﻖ‬, artinya adalah budi pekerti, perangai, tingkah laku atau
tabi’at. Sedangkan secara terminology banyak dikemukakan para ahli
dalam bentuk kalimat yang berbeda-beda, namun tujuannya adalah
sama, yaitu sama-sama menentukan dan menilai baik dan buruknya
suatu perbuatan manusia.
2. Berkenaan dengan perkataan akhlak, banyak dijumpai kata yang
seirama dengannya, salah satu kata-kata yang erat kaitannya yaitu kata
adab. Adapun pengertian adab adalah kesopanan, ketulusan dan
kebaikan, budi pekerti.
3. Adapun Persyaratan Dari Segi Akhlak Mufassir adalah sebagai berikut:
1) Berniat baik dan tujuan yang benar
2) Seorang mufassir harus objektif, yaitu jujur dan teliti dalam
mengutip.
3) Baik akhlaknya.
4) Tidak hanya menguatkan pendapatnya sendiri, melainkan
mendahulukan orang yang lebih utama daripadanya.
5) Mengikuti hukum-hukum syari’at dalam perkara ibadah dan
muamalah beserta sunah-sunah yang berkaitan dengannya.
6) Agar menaati dan memprioritaskan pendapat para mufassir
terdahulu dari kalangan salaf dan khallaf,
7) Hendaklah dia orang yang sangat jenius, yang pintar dalam
memahami serta kuat pemikirannya.
8) Mengetahui segala pintu-pintu rahasia tentang keikhlasan, tawakal,
dan penyerahan diri, serta dapat mengetahui jalan ketakwaan dari
segenap kerusakan yang terdapat padanya.
9) Menyerahkan segala urusannya kepada Allah SWT

10
10) Hendaklah dia orang yang zuhud terhadap dunia serta berharap
kepada hari akhir.

B. Saran
Pemakalah menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam
makalah ini. Jika terdapat kesalahan dan kekurangan, pemakalah berharap
kritik/saran dan masukan dari pembaca, guna untuk mewujudkan perubahan
ke arah yang lebih baik di kemudian harinya

11
DAFTAR PUSTAKA

Al-’lk, Khalid Abdurrahman. Ushul At-Tafsir Wa Qawa’iduhu,. Beirut: Dar


An-Nafais. t.th.

al-Ghozali, Imam. Ihya’ulum al-Dien, jilid III. Beirut: Dar al-fikr, t.t.

Al-Qathan, Manna. 2005. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka


Al-Kautsar.

Anshory, Muhammad Isa. Studi Tentang Syarat-Syarat Mufassir Al-Qur’an,


dalam. https://www.academia.edu/9760388/Syarat_Mufassir, di
akses pada tanggal 1-09-2021, pukul 17.51 WIB

Dusar. Bakri, Gusnar Zain. 2000. Akhlak Dalam Berbagai Dimensi. Padang:
IAIN IB Press.

Qathan, Mana’ul. 1995. Pembahasan Ilmu Al-Quran 2. Jakarta: PT. RINEKA


CIPTA.

Taufiq, Aly. Menimbang Keberpihakan Mufassir, https://www.kompasiana.com›


moch_aly_taufiq/Menimbang-Keberpihakan-Mufassir-analitis-kritis-
hermeneutis, di akses pada tanggal 1-September-2021, pukul 17.43
WIB.

Wahyuddin, dkk. 2005. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Grasindo.

Zaini. Hasan, Novri Andy, Ilmu Tafsir. STAIN Batu Sangkar Press. t.th.

12

Anda mungkin juga menyukai