Anda di halaman 1dari 18

Makalah Revisi Studi Naskah Pendidikan (Resensi Kitab):

MEMBANGUN KARAKTER/AKHLAK
(‫)البناء الخلقي‬
Dalam kitab “Ushul at-Tarbiyah al-Islamiyah”

Hal.135-168

Disusun oleh:

RADHIATI
NIM. 25131786-2

Dosen pembimbing:
DR. Syabuddin Gade, M.A.

PROGRAM PASCASARJANA UIN AR-RANIRY

DARUSSALAM, BANDA ACEH

2015 M

1
A. PENDAHULUAN
Akhlak merupakan amal paling berat yang diletakkan dalam neraca hamba pada hari
kiamat. Karena dengan akhlak yang baik akan membawa seseorang pada ketakwaan yang
akan mendekatkannya pada Allah Swt. namun sebaliknya jika seseorang beramal tidak baik
akan semakin menjauhkannya dari Allah Swt.. Rasulullah Saw. diutus oleh-Nya untuk
menyempurnakan dan memperbaiki akhlak umat manusia, sekaligus sebagai contoh teladan
yang baik. Hal ini, sebagaimana Firman Allah Swt.:
‫نن ل ن‬ ‫ل‬ ‫س‬ ‫ا ل س‬ ‫ة لن ن‬ ‫ل أ ة‬ ‫ل ن نأ‬
‫لنقسد ٌكاَنن ٌلكسسم ٌهفيِ ٌنرأسسوهل ٌٱللسهه ٌأسسسنوة ٌنحنسسننة ٌسهلسنَمِّ ٌكساَنن ٌنيسرأجسوا ٌٱللسنه ٌنوٱلنيسسونم ٌٱلهخسنر ٌنوذكسنر ٌٱللسنه ٌكهثيِسرٗا‬
﴾۲۱﴿
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21).
Nabi Muhammad Saw. dalam dakwahnya selain memperkenalkan Allah SWT sebagai
satu-satunya Tuhan yang wajib disembah, beliau juga menuntun umatnya untuk berperilaku
mulia dan memberikan teladan kepada mereka. Dengan sikap sabar dan keteguhan hati,
beliau mampu mengubah moral yang telah rusak menjadi manusia yang berakhlak mulia.
Usaha yang dilakukan dalam membina akhlak mereka benar-benar menjadi terwujud sebagai
masyarakat yang bermoral dan beradab. Karakter yang paling menonjol dari kepribadian
Nabi Muhammad Saw. adalah akhlak yang tiada bandingannya. Akhlak Nabi sangat agung
dan melebihi semua akhlak seorang manusia manapun.
Mengenai pembahasan tentang akhlak juga diutarakan oleh DR. Khalid bin Hamid al-
Hazimi dalam kitabnya yang berjudul Ushul at-Tarbiyah al-Islamiyah pada halaman 135-168
Pasal empat mengenai al-Bina’ al-Khuluqiy. Di dalamnya membahas tentang membangun
karakter/ akhlak yang terdiri dari lima pembahasan, meliputi:
1) Pembahasan awal: mengenai pemahaman tentang akhlak yang terdiri dari akhlak terpuji
dan akhlak tercela.
2) Pembahasan kedua: tentang proses pembentukan akhlak/ karakter, baik secara Syar’i,
pengenalan dan kesadaran.
3) Pembahasan ketiga: tentang batasan-batasan akhlak yang terdiri dari batasan umum
dengan empat kaidah, dan batasan khusus dengan beberapa sifat yang harus ada dan juga
dijauhi.
4) Pembahasan keempat: mengenai dasar-dasar akhlak.
5) Pembahasan kelima: mengenai dasar-dasar pendidikan akhlak dan hukum akhlak.
Akhlak adalah situasi hati yang mantap, yang muncul ke permukaan dari individu
muslim dengan refleks atau spontan tanpa adanya pertimbangan. Apabila situasi hati
menimbulkan amal perbuatan yang baik dan terpuji menurut akal dan agama, maka disebut
akhlak yang baik, dan jika yang timbul darinya adalah amal perbuatan yang buruk, berarti
situasi yang menjadi sumbernya adalah situasi hati atau akhlak yang buruk/ tercela. Berikut
akan diuraikan beberapa pembahasan yang menyangkut penjelasan al-Hazimi mengenai
membangun karakter/akhlak serta hal-hal yang menyangkut dengannya.

B. ISI KANDUNGAN TEKS


Pembahasan Awal: Pemahaman Akhlak

2
Di awal pengantar, dijelaskan oleh al-Hazimi bahwa Islam telah memberikan
gambaran yang jelas mengenai konsep akhlak, salah satu tujuannya adalah untuk memberikan
arahan bertingkah laku kepada umat Islam dalam menjalani kehidupan. Islam memberikan
gambaran tersebut, yang tertuang di dalam Al-Quran dan Hadits Rasulullah Saw. Dua sumber
yang telah menjadi pedoman umat Islam, diharapkan individu atau masyarakat untuk
memegang teguh dan mengamalkan tentang akhlak dalam Al-Quran dan Hadits Rasulullah
Saw.
Selanjutnya, persoalan yang muncul ke permukaan adalah adanya kesalahfahaman
seseorang ataupun masyarakat mengenai pengertian akhlak tersebut. Sebahagian berpendapat
bahwa akhlak atau tingkah tidak memiliki keistimewaan atau pengaruh dalam kehidupan,
pemahaman yang salah seperti ini dapat diselesaikan melalui pendidikan akhlak bagi
seseorang atau masyarakat. Dilihat dari konteks persoalan bahwa beberapa orang telah keluar
dari akhlak Islami, tidak hanya telah melanggar aturan Islam, bahkan mempengaruhi orang-
orang yang berada disekitarnya. Konteks kehidupan saat ini, mengharuskan dibentuknya
pendidikan Islam, dikarenakan adanya kecurangan, penipuan, dan kejahatan. Seorang muslim
memiliki kewajiban untuk senantiasa meningkatkan dan memperbaiki kualitas moral yang
terdapat dalam dirinya. Dalam Islam, akhlak memiliki dimensi yang luas dan universal.
Mencakup akhlak terhadap apapun dan siapapun yang ada di sekitarnya, termasuk akhlak
terhadap lingkungan, terhadap alam, terhadap hewan, dan lain sebagainya.
Di akhir pengantar pembahasan awal, diterangkan pentingnya pendidikan akhlak
Islam sangat tergantung dari pemahaman seseorang mengenai konsep akhlak Islam dari
segala pengaruh akhlak yang berasal dari Barat, dan ketika pemahaman tentang konsep
akhlak Islam tersebut dipahami dengan sempurna, maka diharuskan untuk mempraktekkan
dalam kehidupan diri sendiri dan bermasyarakat.
1. Akhlak Menurut Bahasa
Akhlak dilihat dari bahasa (etimologi) adalah bentuk jamak dari Khuluq, yang berarti
budi pekerti, perangai, tingkah laku, dan tabiat. Pada dasarnya dapat dimaknai dengan sifat
yang tertanam dalam jiwa manusia, yaitu dirinya atau sifat (karakternya) dengan
pemahamannya yang secara khusus, kemudian dinyatakan dalam bentuk Khalqu yang
secara nyata, dalam sifat serta pemahamannya, dan didalamnya terbentuk karakter yang baik,
dan buruk.
2. Akhlak Menurut Istilah
Pemahaman tentang akhlak meliputi pengertian yang beragam, yang sebahagian besar
ditekankan bahwa sesungguhnya akhlak itu adalah fitrah, baik dan buruk, yaitu sifat manusia
yang terangkum didalam dirinya dengan sesuatu yang mempengaruhinya. Pengertian yang
jelas mengenai arti dari akhlak, dapat dilihat dari definisi yang dijelaskan oleh Ibn Hajar
Al’Asqalani, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Qurtubi, yaitu:
“Akhlak yaitu perbuatan manusia yang mencakupi di dalam dirinya, terpuji dan
tercela, sedangkan definisi perbuatan terpuji yaitu kebaikan yang dilakukan seseorang
terhadap sesama umat manusia, baik perlakuan terhadap dirinya, ataupun tidak, dan
didalamnya terkandung karakter pemaaf, sabar, lemah lembut, dan juga mendatangkan
rahmat yaitu kemurahan bagi diri serta kepercayaan diri dan dapat menghilangkan
perbuatan tercela, seperti kebencian, kesombongan, dan lain-lain sebagainya, sedangkan
pengertian perbuatan tercela adalah kebalikan dari pengertian dari perbuatan terpuji.”

3
Definisi tentang akhlak telah diberikan penjelasannya oleh al-Hazimi, bahwasanya
akhlak terbagi kepada dua macam, yaitu akhlak terpuji dan akhlak tercela, yang
keseluruhannya terkumpul dalam perbuatan seseorang, dan penjelasannya sebagai berikut:
a. Perbuatan Terpuji: perbuatan dengan sifat atau karakter yang baik, dan menghindari
perbuatan yang tercela.
Keseluruhan sifat terpuji akan terbentuk dalam karakter seseorang, akan tetapi jika
diutarakan perbuatan terpuji tersebut kepada orang lain, maka akan menggugurkan menjadi
haram atau makruh nilai dari perbuatan terpuji tersebut.
Nilai dari penjelasan diatas, yaitu diharuskan kepada setiap individu untuk
bertingkah-laku dengan benar, dan dengan ikhlas yaitu tanpa mengharapkan imbalan dari
melakukan perbuatan terpuji. Jika seseorang melakukan perbuatan yang terpuji, akan tetapi
tidak dilandasi dengan rasa ikhlas didalam dirinya, maka dapat digolongkan perbuatan terpuji
yang teoritik (belum sempurna), dan tidak berpura-pura terhadap perbuatan tersebut, kecuali
perbuatan tersebut dilandasi dengan niat, seperti keberanian berperang dapat digolongkan
sebagai akhlak yang mulia, karena karakter tersebut memiliki pengaruh terhadap dirinya.
Dijelaskan oleh Al-Hazimi bahwa landasan niat merupakan salah satu unsur yang
sentral dalam kajian akhlak, sebab jika seseorang melakukan suatu perbuatan tanpa dilandasi
dengan niat, maka perbuatan terpuji tersebut belum dapat digolongkan kepada derajat
kesempurnaan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Hadits Rasulullah saw. yang berbunyi:
‫ ٌفمنَمِّ ٌكاَنت ٌهجرته ٌا ٌورسولهس ٌفهجرتهس ٌا‬,‫س ٌوﺇنماَ ٌلكل ٌامرئ ٌماَ ٌنوى‬,‫ﺇنماَللعماَل ٌباَلنياَت‬
‫ ٌأوامس سرأة ٌينكحهسساَ ٌفهجرتسسه ٌﺇلسسى ٌمسساَ ٌهسساَجر ٌﺇليسسه ﴿رواه‬,َ‫ ٌومسسنَمِّ ٌكساَنت ٌهجرتسسه ٌلسسدنياَ ٌيصسسيبها‬,‫ور سسسوله‬
﴾‫البخاَرى‬
Artinya:“Sesungguhnya perbuatan itu dilandasi dengan niat, dan bahwa setiap perbuatan
tergantung niat dari yang menjalankannya, barangsiapa yang hijrahnya karena
Allah dan Rasul-Nya, maka balasan hijrahnya adalah dari Allah dan Rasul-Nya,
dan apabila seseorang hijahnya untuk dunia maka balasannya adalah apa yang
diniatkan, atau seorang perempuan yang dinikahi maka balasannya adalah apa
yang telah dibayar (mahar) padanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari hadits diatas, derajat seseorang dalam agama Islam ditentukan dengan niat yang
baik. Sesungguhnya, jika seseorang melandasi dengan niat yang buruk, maka perbuatan
tersebut kembali kepada dirinya. Perbuatan yang dilandasi dengan niat yang hukumnya
mubah, maka akan menghasilkan perbuatan yang bersifat mubah, bahwa sesungguhnya dari
setiap perbuatan terdapat ganjaran dan hukuman di dalamnya. Perbuatan seseorang, yang
terpuji dan tercela, tergantung dari niat yang mengiringi perbuatan yang dilakukannya.
b. Perbuatan Tercela: adalah keseluruhan perbuatan, yang mencakup perbuatan tercela
didalamnya, sedangkan perbuatan terpuji berdasarkan kepada niat yang benar.
Perbuatan tercela yaitu perbuatan yang tanpa adanya perintah/aturan dari Allah Swt.
termasuk didalamnya perbuatan yang keluar dari syari’at atau yang diperintahkan-Nya.
c. Perbuatan Manusia: keseluruhan sifat memiliki hubungan yang erat manusia, yang
terbentuk dalam wujud akhlak atau tingkah laku seseorang. Begitu halnya dengan jiwa
seseorang, yang terbentuk dengan sifat atau karakter yang melatarbelakangi perbuatan
yang dilakukannya. Tentunya pengaruh dari luar tidak secara langsung mempengaruhi

4
seseorang kepada sesuatu, misalnya: keindahan dalam berpakaian dan aneka ragamnya,
kebersihan, dan kebersihan badannya.
Perhatian dalam kajian akhlak, juga terletak pada hubungan dengan lainnya, dan sifat
tersebut terbentuk kepada dua macam yaitu: dirinya pribadi, dan masyarakat, yang keduanya
terbingkai dalam saling berkaitan satu sama lain.
Di akhir pembahasan dijelaskan bahwasanya akhlak terbagi kedalam dua macam,
yaitu akhlak terpuji, dan akhlak tercela. Seseorang belum dapat dikatakan melakukan akhlak
terpuji jika tidak diawali dengan niat yang baik, sedangkan perbuatan tercela terletak pada
pelaksanaannya, walaupun tidak dilandasi dengan niat. Apabila hanya pada niat tetapi belum
melakukannya, maka tidak digolongkan dengan perbuatan tercela.

Pembahasan Kedua: Proses Pembentukan Karakter


Adalah segala bentuk perbuatan yang dianjurkan, dilarang, dan bentuk perbuatan yang
senantiasa dijalankan dengan istiqamah (keteguhan). Sedangkan, yang dimaksud dengan
proses pembentukan karakter adalah aturan-aturan yang mengatur tentang segala perbuatan
manusia.
1. Jenis-jenis dalam proses pembentukan
Jenis-jenis dalam pembahasan ini meliputi penjelasan mengenai proses pembentukan
karakter yang disertai dengan contohnya, metode dalam memahaminya, serta menjauhkan
bentuk-bentuk pemahaman yang mengandung kesalahan dalam mendefinisikan karakter,
yaitu dengan membentuk struktur pemikiran. Oleh sebab itu, tidak dibenarkan untuk
memasukkan pemahaman karakter yang tidak berlandaskan agama Islam, dan diharuskan
untuk tidak mengkajinya. Perintah ini, membutuhkan pengetahuan serta pemahaman yang
mendalam dalam proses pembentukan karakter seseorang, sehingga tidak menimbulkan
kesalahan, serta keraguan dalam memahaminya. Proses pembentukan karakter tersebut,
dibagi dalam tiga bagian, yaitu:
a. Proses pembentukan syar’i (wajib);
b. Proses pembentukan pengenalan;
c. Proses pembentukan kesadaran.

a. Proses Pembentukan Karakter dengan Syar’i (wajib)


Pemahaman mengenai proses pembentukan syar’i, diartikan Al-Hazimi yaitu
memiliki sifat adil, yang berlandaskan dari Al-Quran dan Hadits Rasulullah Saw, dan
meninggalkan sesuatu yang tidak berlandaskan kepada Al-Quran dan Hadits Rasulullah Saw,
yaitu dengan kesungguhan atau meninggalkannya dalam bentuk perbuatan atau perkataan,
dan proses ini terbagi kedalam lima bagian, yaitu:
1) Perbuatan mahrumah yaitu segala bentuk tingkah-laku yaitu berupa perkataan, atau
perbuatan yang dilarang dalam syariat Islam, seperti tidak mematuhi (durhaka) kepada
kedua orang tua, dengan perkataan atau perbuatan, berbohong, menganiaya seseorang, dan
berlaku dzalim. Bentuk perbuatan tersebut, digolongkan kepada perbuatan yang dilarang
dalam agama Islam.
2) Perbuatan makruhah yaitu segala tingkah laku dalam bentuk perkataan, atau perbuatan,
“Yaitu jika ditinggalkan perbuatan tersebut akan memperoleh kebaikan, dan ini juga
ditetapkan untuk menghindarkan dari ke-mudharat-an (bahaya), dan apabila dikerjakan

5
perbuatan dengan kategori ini, tidak diberikan hukuman terhadap perbuatan tersebut”.
Misalnya: mengambil dan memberikan sesuatu dengan tangan kiri.
3) Perbuatan wajib, pengertian perbuatan wajib dalam kaidah agama Islam, yaitu segala
tingkah laku dalam bentuk perbuatan atau perkataan yang diharuskan dengan tegas untuk
melaksanakannya. Misalnya: Ta’at dan patuh kepada kedua orang tua, bersikap jujur, sabar
terhadap hal-hal yang telah ditentukan oleh Allah Swt, serta menjaga amanah yang telah
diberikan kepadanya, dan senantiasa menjaga silaturrahim (tali persaudaraan).
4) Perbuatan mustahabah dalam kaidah agama Islam, yaitu segala tingkah laku dalam bentuk
perkataan atau perbuatan, yang apabila ditinggalkan tingkah laku tersebut akan
mendapatkan hukuman, dan apabila dikerjakan akan mendapatkan ganjaran dari Allah
Swt. Misalnya: mengambil sesuatu dengan tangan kanan.
5) Perbuatan mubahah, yaitu segala tingkah laku dalam bentuk perkataan atau perbuatan
yang dalam kaidah hukum agama Islam, dianjurkan untuk mengerjakannya namun apabila
meninggalkan tidak mendapatkan hukuman. Misalnya: Menghidangkan makanan kepada
tamu.
Pengertian perbuatan mubahah, memiliki kedekatan hubungan dengan bentuk
perbuatan yang haram atau makruh, dan dapat dilihat dalam konteks perbuatannya, misalnya
perintah menyambut kedatangan tamu, mengandung unsur perbuatan yang diharamkan, atau
dimakruhkan, seperti menyia-nyiakan (mubazir) makanan; atau perbuatan mubah juga
mengandung unsur perbuatan wajib atau sunnah, dan juga tentunya dilihat dari konteks
perbuatannya. Misalnya: duduk di pinggir jalan, dapat menahannya dari pandangan yang
dilarang dalam agama Islam.

b. Proses Pembentukan Karakter dengan Pengenalan


Proses pembentukan karakter dengan pengenalan, yaitu suatu bentuk pemahaman
seseorang terhadap perbuatannya, atau meninggalkan perbuatan yang mengandung unsur
mubah didalamnya. Pengertian ini dimaknai dengan berbagai macam perbedaan, yaitu
dengan meninggalkannya, atau melakukannya dalam kategori akhlak yang bersifat umum.
Proses pembentukan karakter dengan pengenalan dalam definisi syariat Islam yang
sesungguhnya, sebagaimana yang terdapat dalam Hadits Rasulullah Saw.:
‫ ٌوم سساَ ٌرأوا ٌس سسيئاَ ٌفهس سو ٌعن سسد ٌا سس ٌسس سسيء ﴿رواه‬,ِّ‫فم سساَ ٌرأى ٌالس سسلمون ٌحس سسناَ ٌفهس سو ٌعن سسد ٌا سس ٌحس سسنَم‬
﴾‫أحمد‬
Artinya: “Barangsiapa yang melihat kaum muslimin melakukan kebaikan, maka
sesungguhnya itu datang dari Allah SWT, dan apabila sebaliknya yaitu melakukan
perbuatan tercela, sesungguhnya itu datang dari dirinya sendiri.” (HR. Ahmad).
Lebih lanjut ditambahkan bahwa pemahaman mengenai proses pembentukan dengan
pengenalan dikembalikan kepada definisi kajian ilmu fiqih, dalam permasalahan yang begitu
banyak, yang didalamnya terdapat permasalahan mengenai akhlak. Misalnya, segala bentuk
pengenalan dalam terciptanya suatu perbuatan, memakan makanan tanpa ucapan, dalam
setiap keramaian maupun dalam kesendirian, dengan menghidangkan buah-buahan, dan juga
berkaitan dengan meminum air dalam setiap rutinitas keseharian, didalamnya mengandung
pelajaran penting yang dapat diambil intisarinya.

6
Diberikan oleh al-Hazimi contoh sebagai berikut: mengenali masyarakat dalam
bentuk memberikan salam kepadanya ketika bertemu, dan memberikan pertanyaan yang
positif, mengajaknya dalam nuansa keakraban, ini merupakan perbuatan yang dibutuhkan
dalam proses pembentukan dengan pengenalan.
Mengenai proses pembentukan karakter dengan pengenalan, bahwa proses
pembentukan ini bukanlah karakter yang senantiasa yang dipraktekkan oleh masyarakat, akan
tetapi diharuskan kepadanya dengan penghayatan terlebih dahulu. Oleh karena itu, proses ini
mengandung nilai-nilai keislaman, sehingga dapat dikategorikan dengan akhlak Islam, dan
dimungkinkan untuk mencapai proses penghayatan pengenalan tersebut terbagi ke dalam
beberapa bentuk sebagai berikut:
1) Menjadikan kebiasaan sehari-hari sebagai bentuk awal terhadap pengenalan.
2) Menjadikan proses pengenalan sebagai penguatan karakter, sehingga terbentuknya
karakter tersebut dalam jangka waktu yang teratur, dan proses keteraturan tersebut
dalam bentuk perkataan dan perbuatan.
3) Jangan menjadikan proses pengenalan ini sebagai bentuk kemalasan yang
berkepanjangan, atau memutuskan proses ini dengan kaidah-kaidah syariat Islam, atau
tidak bertentangan dengan nash-nash yang Syar’i atau yang telah disepakati oleh
Ulama.
4) Jangan menjadikan pertentangan dalam proses pengenalan, dengan memunculkan
berbagai macam perbedaan pendapat, yaitu menjadikan proses pengenalan tidak dapat
diambil pelajaran didalamnya, dan juga jangan dijadikan sebagai alasan, jika memang
didalamnya terdapat perbedaan pendapat tentang proses pengenalan masyarakat.

Ketetapan dan Perubahan dalam Kebiasaan


Dalam hal ini, dijelaskan bahwa kebiasaan dalam konteks ketetapan dan perubahan
terbagi ke dalam dua macam, dengannya juga disertai sebab-sebab jatuhnya hukum dalam
kebiasaan tersebut:
a) Kebiasan yang tetap; yaitu kebiasaan yang senantiasa ada dalam diri seseorang, seperti
keinginan syahwat atau nafsu memakan, meminum, berbicaram berpendapat, mengamuk,
berjalan, dan lain-lain sebagainya. Apabila dalam sebab-sebab keinginan tersebut
merupakan penyebab munculnya dalam hukum syariat, maka tiadalah permasalahan dalam
mengambil i’tibar (pelajaran) dan jatuhnya hukum telah sesuai dengan ketentuan.
Misalnya, dalam kaidah hukum Islam, dilarangnya seseorang berjalan dengan
kesombongan, sebagaimana firman Allah SWT:
ŸŸ Ÿ Ÿ Ÿ ŸŸŸ Ÿ |Ÿ Ÿ Ÿ ŸŸŸ ŸŸ { Ÿ ¨Ÿ ¨Ÿ=ŸŸ ŸŸŸŸ ŸŸ Ÿ Ÿ ŸŸ ŸŸ Ÿ Ÿ Ÿ ŸŸŸ {Ÿ # ŸŸ Ÿ Ÿ ŸŸŸ ( ¨Ÿ Ÿ) Ÿ !Ÿ#
ŸŸ Ÿ=ŸŸ Ÿ Ÿ ¨Ÿ Ÿ. Ÿ Ÿ ŸŸŸ Ÿ ŸŸŸ Ÿ ŸŸ Ÿ ŸŸŸ ŸŸŸŸ
Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18).
Dari ayat tersebut, dijelaskan bahwa pelarangan berjalan dengan kesombongan,
adalah bukti jatuhnya hukum bahwasanya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong.
b) Kebiasaan yang berubah; yaitu kebiasaan yang didalamnya mengandung perubahan, dari
perbuatan terpuji menjadi perbuatan tercela, dan juga sebaliknya, yaitu terdapat perubahan

7
kebiasaan dari perbuatan tercela menjadi perbuatan terpuji, dan perbuatan tercela ditolak
dikarenakan bertentangan dengan syariat Islam dan akal sehat.

c. Proses Pembentukan Karakter dengan Kesadaran


Pada proses yang ketiga, yaitu suatu proses yang didalamnya terdapat penolakan atau
penerimaan dalam cakupannya terhadap perbuatan, dan perkataan manusia, dan tentunya
tidak bertentang dengan nash (Al-Quran dan Hadits). Sebagaimana yang diriwayatkan dari
Wabishah bin Ma’bad RA.:
:‫ ٌقساَل‬,‫ ٌنعم‬:‫ ٌجئست ٌتسسأل ٌعسنَمِّ ٌالسبرواﻹثم؟ ٌقلست‬:‫ ٌفقاَل‬,‫أتيت ٌرسسول ٌاس ٌصسلى ٌاس ٌعليسه ٌو ٌسسلم‬
,‫ ٌواﻹثسم ٌمساَ ٌحساَك ٌفسيِ ٌالنفس‬,‫ ٌواطمأن ٌﺇليه ٌالقلسب‬,‫ ٌالبر ٌماَ ٌالطمأنت ٌﺇليه ٌالنفس‬:‫استفت ٌقلبك‬
ٌ ﴾‫ ٌوﺇن ٌأفتاَك ٌالناَس ٌوأفتوك ٌ﴿رواه ٌأحمد‬,‫وتردد ٌفيِ ٌالصدر‬
Artinya: “Saya mendatangi Rasulullah Saw., dan Nabi berkata,“Kamu datang ingin bertanya
tentang kebaikan dan keburukan?”, saya mengatakan: “Ya”, dan kemudian
Rasulullah mengatakan: “Kuatkanlah keyakinanmu bahwa sesungguhnya kebaikan
adalah keyakinan yang telah ditetapkan dalam diri (jiwa), yaitu keyakinan yang
terbentuk di dalam hati, sedangkan keburukan yang tertolak di dalam diri (jiwa),
dan juga tertolak oleh hati, dan menyebabkan kebencian manusia, juga kebencian
terdapat dirimu.”(HR. Ahmad).
Pada proses pembentukan karakter yang ketiga ini, diterangkan bahwa seorang
mukmin akan dapat dipahami proses kehidupannya dalam menghadapi berbagai macam
permasalahan, dan dapat digambarkan sebagai berikut:
1) Perbuatan seorang mukmin, berlandaskan dengan nash-nash syar’i atau ijma’, bukanlah
seorang mukmin jika tidak mentaati Allah Swt, sebagaimana firman Allah Swt:
ŸŸŸŸ ŸŸ%Ÿ . Ÿ`ŸŸ÷Ÿ Ÿ ŸŸŸ ŸŸŸŸ >Ÿ ŸŸŸŸ÷ŸŸŸ #ŸŸŸ) Ÿ |Ÿ Ÿ% Ÿ !Ÿ# Ÿ Ÿ Ÿ&Ÿ!ŸŸŸŸŸŸŸ #ŸŸŸŸŸ & Ÿ
ŸŸ& ŸŸŸŸŸ ŸŸ ŸŸ ŸŸ ŸŸ ŸŸ ŸŸŸ ŸŸŸŸ:Ÿ# Ÿ`ŸŸ ŸŸŸŸ Ÿ ŸŸŸŸ& Ÿ `ŸŸŸŸ ŸŸ ÷ŸŸŸ Ÿ!Ÿ# ŸŸ&Ÿ!ŸŸŸŸŸŸŸ
ŸŸŸ)ŸŸ ¨Ÿ|Ÿ Ÿ Ÿ»Ÿ =|Ÿ ŸŸ ŸŸŸŸ ŸŸ ŸŸŸŸ
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan
ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata” (QS. Al-Ahzab: 36).
Dengan demikian, diharuskan bagi seorang mukmin untuk memahami bagaimana
sesungguhnya menjadi seorang dengan keterbukaan atau penerangan hati dan ridha
(keikhlasan).
2) Apabila dalam perjalanan kehidupan seseorang, jika tidak dilandasi dengan nash-nash dari
Allah Swt. dan Rasulullah Saw., juga tidak berdasarkan dari perkataan para sahabat
Rasulullah Saw. atau umat terdahulu, bila terjadi dalam jiwa seorang mukmin dengan
keyakinan dalam dirinya bahwa itulah cahaya pengetahuan, maka sesungguhnya itu adalah
sesuatu yang tidak berdasarkan dari agama Islam, dan tidak menemukan sesuatu hal
dengan ketenangan melainkan hanyalah keterpaksaan melalui pendapatnya, yaitu tidak
memiliki ketetapan dengan ilmu dan raganya, melainkan seseorang yang mengikuti
keinginan nafsunya.

8
Menurut al-Hazimi, bahwasanya keadaan seorang mukmin dilihat dari cahaya Ilahi
dalam hatinya, jika seorang dalam hidupnya tidak berdasarkan kaidah agama Islam, jelaslah
hati belum mendapatkan cahaya Ilahi, yang ditandai dengan keraguan, ketakutan, dan dosa
yang menyertainya. Ini merupakan bentuk dari suatu perbuatan yang terjadi saat ini,
perbuatan tersebut tidak berdasarkan nash syar’i dan melainkan berulang-berulang terjadi
padanya, dan menghasilkan di dalam hatinya keraguan, dan mengikuti ketakutan, perbuatan
yang dilarang dalam agama, inilah satu bentuk proses pembentukan karakter yang harus
diwaspadai oleh seorang Muslim.
Seperti yang dikutip al-Hazimi dari Ibn Rajab, bahwa ia mengatakan: telah
ditunjukkan sebuah hadits dari Wabishah dan makna yang terkandung didalamnya mengenai
hati yaitu karakter terbentuk didalam hatinya, dan mendapatkan penerangan atau cahaya Ilahi
yaitu kebaikan dan perbuatan yang halal dalam hukum agama, dan apabila yang terjadi
sebaliknya merupakan perbuatan yang tercela.
Diakhir pembahasan kedua, dijelaskan bahwa bentuk proses pembentukan dengan
kesadaran dapat dibatasi terhadap dua permasalahan, yaitu:
a) Apabila hatinya dibiasakan dengan perbuatan yang tercela, dan juga tidak
mendapatkan cahaya Ilahi, maka akan menghasilkan keraguan, ketakutan dalam
konteks dosa kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya.
b) Perbuatan tercela juga dapat memunculkan kebencian, ketakutan serta tidak adanya
kepercayaan terhadap dirinya (malu);

Pembahasan Ketiga: Batasan-batasan Akhlak


Dalam pembahasan ini, batasan-batasan akhlak yaitu suatu hal yang membatasi antara
dua hal yang berbeda atau sebuah sifat yang berkenaan dengan akhlak dan yang
membedakannya dari selain akhlak, apakah itu baik atau jahat. Ada dua point pentingnya
pembatasan akhlak, yakni:
1. Mengetahui batasan akhlak
Diantara ilmu yang yang harus diketahui adalah ilmu tentang batasan-batasan syari’at
Allah Swt. baik itu perintah atau larangan, sehingga seseorang tidak melampaui batas dan
juga tidak bersikap sepele terhadap perintah tersebut. Firman Allah Ta’ala:
‫ل أ ن‬ ‫ل نأ ن‬ ‫ل ن ن‬ ‫ا‬
﴾۲۲۹ :‫…هتلنك ٌأحأدوأد ٌاللهه ٌفلَ ٌتاعنتأدونهاَ ٌنونمانَمِّ ٌنينتنعلد ٌأحأدوند ٌاللهه ٌفأولهئنك ٌأهأم ٌالظاَهلون ٌ﴿البقرة‬
Artinya: “Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa
yang melanggar hukum-hukum Allah, maka mereka itulah orang-orang yang
dzalim.”

Di dalam ayat tersebut, terdapat pelarangan dari melampaui batas, walaupun ada
keinginan untuk mendekati batasan-batasan tersebut, karena batasan ini merupakan pemisah
antara yang halal dan haram. Akhlak adalah penerjemah batin seseorang, yang terkandung
didalamnya ketakwaan, keimanan, dan ruh, serta kelemahan dan kebodohan, yang merupakan
cerminannya. Hal ini harus diketahui batasan-batasannya agar orang tersebut tidak
menganggap remeh dan tidak pula melampaui batas.

2. Pentingnya pembatasan akhlak

9
Ilmu yang paling bermanfaat adalah ilmu tentang batasan-batasan syari’at, sehingga
manusia tidak memasukkan dalam syari’at sesuatu yang bukan dari syari’at dan tidak pula
mengeluarkan hal yang telah ditetapkan oleh syari’at.
Batasan-batasan akhlak dibagi menjadi dua, antara lain:
a. Batasan umum, yang maksudnya adalah ketentuan-ketentuan umum yang mungkin
dipraktekkan dan semua perkara akhlak-akhlak yang lain dimasukkan dalam kategori
ketentuan umum, hal ini ibarat sebuah kaidah umum untuk menentukan batasan akhlak
baik dan buruk, dan ini terbagi kedalam empat kaidah:
Kaidah pertama: tidak memasukkan apapun sebagai kategori akhlak terpuji yang bukan
bagian darinya. Misalnya: bermu’amalah dengan orang fasik tanpa ada pengingkaran
padanya.
Kaidah kedua: tidak mengeluarkan akhlak terpuji dari kategori aslinya. Misalnya:
membolehkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan asing karena alasan
malu.
Kaidah ketiga: tidak memasukkan dalam kategori akhlak tercela yang bukan bagian
darinya. Misalnya: bersikap lembut dengan orang bodoh guna mengajarkannya atau
berkawan dengan orang fasik guna melarangnya dari perbuatan tercela.
Kaidah keempat: tidak mengeluarkan akhlak tercela dari kategorinya. Misalnya:
bercampurnya antara laki-laki dan perempuan bukan dari akhlak tercela.
b. Batasan Khusus; merupakan kaidah khusus untuk membatasi ketentuan-ketentuan tiap
akhlak. Sebagaimana setiap akhlak memiliki batasan tertentu, maka tidaklah boleh
melampaui atau membatasinya. Menurut al-Hazimi, Ibnu Qayyim mengisyaratkan hal ini
dengan memberi contoh, diantaranya:
- Marah; sifat marah ini memiliki batasan dan ini adalah keberanian yang terpuji serta
merupakan sikap yang tegas dari akhlak tercela.
- Tawadhu’; sifat ini tidak memiliki batasan, tidak boleh dilampaui karena akan hina dan
tidak boleh ditinggalkan karena akan sombong.
- Kemuliaan; sifat ini memiliki batasan, jika dilampaui maka akan menyebabkan
kesombongan dan jika ditinggalkan maka akan hina.
- Dan lain-lain.
Selanjutnya ditambahkan bahwa, Ibnu Hazm juga mengatakan hal yang sama dengan
Ibnu Qayyim tentang batasan akhlak yaitu:
 Harga diri, yang batasannya adalah menundukkan pandangan dan seluruh anggota badan
dari segala yang haram.
 Keadilan, yang batasannya adalah memberi yang wajib dan mengambilnya, sedangkan
yang bukan kewajibannya tidak boleh diambil.
Pembahasan Keempat: Dasar-dasar Akhlak
Dalam pembahasan ini, dijelaskan bahwa dasar-dasar akhlak adalah sebuah pondasi yang
digunakan untuk menghukumi baiknya suatu akhlak manusia, yang meliputi: sikap memberi,
menahan diri dari berbuat maksiat, dan sikap sabar.
Ada beberapa pendapat yang ditambahkan Al-Hazimi, diantaranya Hasan al-Bashri
yang mengartikan akhlak sebagai wajah yang ceria, melakukan kebaikan, dan menahan
kejelekan. Ibnu Qayyim juga mengartikan akhlak tersebut yaitu melakukan kedermawanan,
menolak kejelekan, atau bersabar dari kejelekan.
Pertama: melakukan kebaikan sebagai bentuk kedermawanan

10
Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: meninggalkan dan memberikan.
1. Meninggalkan, ada dua kategori, antara lain:
a. Merasa cukup dengan apa yang dimiliki dan bertoleransi dengan hartanya yang
dipinjamkan pada orang lain (tidak memaksa untuk segera dilunaskan), sesuai dengan
bunyi hadits Nabi Saw. berikut:
,َ‫ ٌفيقسسول ٌلفتسساَه ٌﺇﺬا ٌأتيسست ٌمعسسرا ٌفتجسساَوز ٌعنسسه ٌلعسسل ٌاسس ٌيتجاَوزعنسسا‬,‫كساَن ٌرجسسل ٌيسسداينَمِّ ٌالنسساَس‬
﴾‫فلقي ٌا ٌفتجاَوز ٌعنه ٌ﴿رواه ٌالبخاَرى‬
Artinya: “Dahulu ada seorang lelaki yang suka memberikan pinjaman kepada manusia.
Jika ia melihat orang yang kesulitan membayar hutangnya, maka ia berkata kepada
anak buahnya, ‘Maafkanlah darinya (bebaskan dari hutangnya) mudah-mudahan
Allah mengampuni kita’. Maka Allah pun memaafkannya.”

b. Zuhud, yaitu dengan tidak melirik dengan harta yang dimiliki orang lain. Hal ini
diibaratkan oleh Abdullah bin Mubarak bahwa “Keluasan jiwa (lapang dada) untuk
tidak melirik terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain lebih baik daripada keluasan
jiwa untuk memberi sesuatu.” Dan hal ini memiliki batasan-batasan tertentu, terkadang
sikap member lebih baik daripada menahan rasa cemburu.
2. Memberi, merupakan kedermawanan dalam mempersembahkan sesuatu. Sumber-sumber
kedermawanannya adalah:
- Jiwa - Kehormatan
- Harta - Ilmu
a) Kedermawanan jiwa meliputi kedermawanan ruh, yaitu mengorbankan jiwa untuk
mendapatkan kemaslahatan yang nyata, seperti: jihad, membela kehormatan kaum
Muslimin, dan menyelamatkan orang tenggelam. Kedermawanan ini adalah yang paling
tinggi.
b) Kedermawanan harta dalam segala kebaikan, misalnya: menolong orang yang
membutuhkan dengan cara bersedekah, meminjamkan uang, hibah, hadiah,
memuliakan tamu dan tetangga.
c) Kedermawanan dalam kehormatan, yaitu membantu manusia dalam kedudukannya di
masyarakat atau dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya: membantu orang-orang
yang terzhalimi dengan mengembalikan hak-hak mereka, maka Allah Swt. akan
memberi pahala yang baik baginya. Sebagaiman firman Allah Ta’ala:
‫ة نة أ ن‬ ‫ن‬ ‫ا‬ ‫ة أ ن ن‬ ‫ة‬ ‫ن‬ ‫ا‬
َ‫نمسانَمِّ ٌنيشسنفاع ٌشسنفاَنعة ٌنحنسسننة ٌنيكسانَمِّ ٌلسأه ٌنهصسسيةب ٌهماننهسساَ ٌنونمسانَمِّ ٌنيشسنفاع ٌشسنفاَنعة ٌنسسهليئة ٌنيكسانَمِّ ٌلسأه ٌهكافسةل ٌهماننهسسا‬
‫ل ن أ ن‬ ‫ن‬
﴾٨٥ٌ :‫نوكاَنن ٌاللأه ٌنعلى ٌكهلل ٌشسايءء ٌأمهقيةتاَ﴿النساَء‬
Artinya: “Barang siapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan memperoleh
bahagian (pahala) daripadanya. Dan barang siapa yang memberi syafa'at yang
buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) daripadanya. Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu.”
d) Kedermawanan dalam ilmu, dapat dibagi menjadi dua macam:
i. Menjawab pertanyaan lebih dari sekedar jawaban yang semestinya, guna memberi
manfaat kepada si penanya. Contohnya seperti yang dilakukan oleh Nabi Saw. ketika
ditanyakan tentang kehalalan air laut, lalu Nabi menjawab soalan itu lebih banyak

11
untuk memberi pengetahuan kepada si penanya dengan bersabda, “Air laut itu suci,
lagi halal bangkainya” (HR. Abu Daud).
ii. Memberi ilmu tanpa ada soal, semua hadits Nabi Saw. mencakup akan hal ini. Seperti
sabdanya berikut:
‫ ٌاحفسسظ ٌاس‬,‫ ٌيسساَ ٌغلَم ٌﺇنسسي ٌأعلمسسك ٌكلمسساَت‬:َ‫قسسوله ٌلعبسسد ٌاسس ٌبسسنَمِّ ٌعبسسد ٌالعبسساَس ٌرضسسسي ٌاسس ٌعنهمسسا‬
﴾‫ ﴿رواه التمرذي‬... ‫يحفظك‬
Artinya: “Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas ra., ia mengatakan Nabi Saw. bersabda: ‘Wahai anak
muda, aku akan mengajarimu beberapa kalimat:‘Jagalah Allah, niscaya Allah
menjagamu…”
e) Kedermawanan dengan anggota badan, yaitu dengan membantu seseorang dalam
menyelesaikan pekerjaannya atau memperbaiki hubungan dengan sesama manusia.
Sebagaimana sabda Nabi Saw.:
‫ن اأ‬ ‫ننا ن ن ة أ‬ ‫ن‬ ‫ل أ‬ ‫أ ن‬ ‫نل‬ ‫ن‬
‫ٌ ٌك سلل ٌني ساوءم ٌتطل سأع‬،‫ص سندقة‬ ٌ ‫ ٌك سلل ٌأس سلَنمىَ ٌهم سننَمِّ ٌاللنسساَهس ٌعلي سهه‬:ٌ ‫اسس ٌنعلاي سهه ٌنونس سلنم‬ ٌ ‫ص سلى‬ ‫أ ا أ‬
‫قسساَنل ٌنرس سول ٌ ه‬
ٌ ‫اسس‬
‫ن أ ن ن ن ن ن ن‬ ‫ا ل ا أ ن ا أ نا ن انا ن ن ة أ‬
َ‫ٌ ٌنوتهعايِسأن ٌاللرأجسنل ٌهفسيِ ٌندالبهتسهه ٌفنتاحهملسأه ٌنعلاينهساَ ٌأاو ٌتارفسأع ٌلسأه ٌنعلاينهسا‬،‫صسندقة‬ ٌ ‫هفيهه ٌالشمس ٌتعهدل ٌبيِن ٌاثنيِسهن‬
‫ل ن ن ن ن ة ن أ ا أ ا نن‬ ‫ن ن ن أ ن ن ن ة ن ا ن ن أ ل ل ن أ ن ن ن ة ن أ ل أ ا ن ن ا ان ن‬
‫ٌ ٌوهبك هل ٌخطوءة ٌتمهشيهاَ ٌهﺇلى ٌالصلَهة ٌصدقة ٌو ٌتهميسط ٌالذى‬،‫متاَعه ٌصدقة ٌوالكهلمة ٌالط هيبة ٌصدقة‬
‫ل ا ن ن‬
﴾‫صندقة ٌ﴿رواه ٌالبخاَري ٌومسلم‬ ٌ ‫نعهنَمِّ ٌالطهريهق‬
Artinya: “Setiap anggota badan manusia diwajibkan bershadaqah setiap hari selama
matahari masih terbit. Kamu mendamaikan antara dua orang (yang berselisih)
adalah shadaqah, kamu menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau
mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah shadaqah, berkata
yang baik itu adalah shadaqah, setiap langkah berjalan untuk shalat adalah
shadaqah, dan menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah shadaqah”.
f) Kedermawanan dengan meluangkan waktu, yaitu dengan meluangkan waktunya untuk
membahagiakan orang lain. Misalnya: mengurangi waktu istirahat (begadang), atau
menjaga orang sakit.

Kedua: Menolak kejelekan atau gangguan


Menolak gangguan ini bisa dari segi perkataan ataupun perbuatan. Adapun perkataan,
dengan menjelaskannya secara lisan atau tulisan. Sedangkan perbuatan itu dilakukan dengan
seluruh anggota badan. Misalnya dengan membantu seseorang melalui perkataan dan
perbuatan. Berikut penjelasannya:
a. Sumber kejelekan
1) Bersumber dari perkataan (lisan); al-Hazimi menjelaskan bahwa dasar dari kejelekan
adalah lisan atau tulisan.
Oleh karena itu, Rasulullah Saw.mengingatkan kita akan bahayanya lisan dan
bahwasanya lisan itu adalah sebab dari kebinasaan. Ibnu Hazm juga mengatakan bahwa
“Dikhususkannya penyebutan lisan karena ia merupakan pantulan dari cerminan jiwa”.
2) Bersumber dari perbuatan; segala kejelekan juga bersumber dari anggota badan manusia,
diantaranya:
- Tangan, memiliki bahaya yang besar jika digunakan bukan pada asal penciptaannya,
seperti membunuh, mencuri, memukul, dan sejenisnya.

12
- Mata, merupakan sumber kejahatan atau gangguan jika digunakan untuk meremehkan
manusia, atau melihat hal-hal yang diharamkan.
- Isyarat (tunjuk menunjuk) dalam hal meremehkan orang lain.
- Telinga, terjadinya gangguan dengan telinga yakni mencuri kabar dari orang lain lalu
menyebarkannya pada yang lain, mengenai hal ini Allah Swt. berfirman:
‫ا ة ل ل ا ن ن ان ن ا ن أ أ ن ن‬ ‫ن نا أ ن نا ن ن‬
:‫صنر ٌنوالأفؤاند ٌكلل ٌأولهئنك ٌكاَنن ٌنعانأه ٌنماسأئول ٌ﴿اﻹساء‬‫س ٌلنك ٌهبهه ٌهعلم ٌهﺇن ٌالسمع ٌوالب‬ ‫ول ٌتقف ٌماَ ٌلي‬
﴾۳٦
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungan jawabnya.”

b. Tempat-tempat gangguan
Tempat-tempat gangguan ini meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, baik agama,
harta, kehormatan, jiwa, atau akalnya.
1) Aspek agama, gangguan pada aspek ini dengan cara menghalanginya dari melaksanakan
kewajiban agama, seperti: melarang seseorang dari melakukan amar makruf nahi munkar.
2) Aspek harta, gangguannya berupa mencuri, menipu, ataupun segala bentuk kedzaliman
terhadap harta orang lain, dikarenakan Islam telah menjaga harta-harta kaum Muslimin.
Sebagaimana
‫ ن‬firman Allah Ta’ala: ‫اأأ ن‬ ‫ن ا ل‬‫ن‬ ‫أ أ‬ ‫ا‬ ‫أ‬ ‫نأ‬ ‫ن اأأ‬
‫نول ٌتس سأكلوا ٌأامس سنوالكام ٌنبايننكس سام ٌهباَلنباَهطس سهل ٌنوتس سادلوا ٌهبنه سساَ ٌهﺇل سسى ٌالأحك سساَهم ٌهلنتس سأكلوا ٌفهريةق سساَ ٌهمس سانَمِّ ٌأامس سنواهل ٌاللن سساَهس‬
‫ا نا ن ن ن‬
﴾۱٨٨ :‫هباَﻹثهم ٌنوأنأتام ٌتاعلأمون﴿البقرة‬
Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
3) Aspek akal, gangguannya terjadi dengan beberapa cara, yaitu: menzhalimi orang dengan
memukulnya dibagian kepala, mendzalimi seseorang dengan dijualnya sesuatu yang dapat
merusak akal seperti alcohol ataupun barang-barang yang memabukkan, serta merusak
wawasan dengan cara menanamkan pikiran-pikiran yang sesat atapun menghiasinya
dengan hal-hal yang bathil seakan-akan pikiran tersebut adalah baik.
4) Aspek jiwa, gangguannya dilakukan dengan membunuh atau memukul seseorang, dan
Islam sungguh melarang seseorang itu bermusuhan dan berbuat zhalim. Sesuai dengan
firman Allah
‫ن ن‬ ‫ ن‬Swt.: ‫ل ن ن‬ ‫ن‬ ‫ن‬ ‫ن أ‬
َ‫نونمانَمِّ ٌنياقأتال ٌأماؤهمةناَ ٌأمنتنع لهمسةدا ٌفنجسنزاؤأه ٌنجنهلنسأم ٌخاَهلسةدا ٌهفينهساَ ٌنوغهضسنب ٌاللسأه ٌنعلايسهه ٌنولنعننسأه ٌنوأنعسلد ٌلسأه ٌنعسﺬاةبا‬
﴾۹۳ :‫نعهظيةماَ﴿االنساء‬
Artinya: “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka
balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan
mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”
5) Aspek kehormatan, gangguannya dengan cara menjatuhkan kehormatan seseorang atau
keluarganya dengan tuduhan-tuduhan.

Ketiga: sabar atas gangguan

13
Hal ini dimaknai Al-Hazimi yaitu dengan tidak membalas kejelekan dengan kejelekan
yang sama. Hal ini dapat diuraikan menjadi dua point antara lain:
1. Membalas kejelekan dengan memaafkan dan berpaling dari orang tersebut. Firman Allah
Swt. dalam surat Asy-Syura ayat 40:
‫ل‬ ‫ن‬ ‫ن ل‬ ‫ن‬ ‫ن ن ن أ ن لن ن لن ة اأن ن ن ا ن ن ن ان ن‬
‫صلنح ٌفأاجأرأه ٌنعلى ٌاللهه ٌهﺇلنأه ٌل ٌأيهحلب ٌالظاَ ه هليِنن‬‫وجزاء ٌس هيئءة ٌس هيئة ٌهمثلهاَ ٌفمنَمِّ ٌعفاَ ٌوأ‬
Artinya: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka Barang
siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan)
Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim.”
Namun pemaafan bukanlah sifat terpuji pada semua tempat, hal ini dapat dilakukan jika
tidak menyebabkan kerusakan, tapi jika menyebabkan kerusakan maka tidak
memaafkan adalah lebih baik. Misalnya: orang zhalim yang ketika dimaafkan malah
menjadi-jadi kezhalimannya, sehingga lebih baik untuk tidak dimaafkan.
2. Membalas kejelekan dengan kebaikan, contohnya: orang yang memutus tali persaudaraan
atau silaturrahmi dengan kita, lalu kita datangi mereka, menyalaminya, memaafkannya,
ataupun memuliakannya, dan lain sebagainya.

Keempat: wajah yang ceria


Keceriaan wajah merupakan sebab persatuan dan kecintaan. Hal ini adalah salah satu
sumber dari segala kebaikan. Sabda Nabi Saw.:
‫ن ن ا ن ل ن ان ا أ ا ن ا ة ن ن ا ن ا نا ن ن ن ن ن ا ن‬
‫ٌ ٌولو ٌأن ٌتلهقىَ ٌأخاَك ٌهبوجءه ٌطهلءق‬،َ‫ل ٌتحقهرن ٌهمنَمِّ ٌالعروهف ٌشيئا‬
Artinya: “Janganlah engkau memandang rendah perbuatan baik sedikitpun, walaupun hanya
dengan menemui saudaramu dengan muka manis.” (Hadits Shahih Muslim)

Pembahasan Kelima: Dasar Pendidikan Akhlak dan Hukum-Hukum Akhlak


Penjelasannya dibagi menjadi dua bagian yaitu hukum akhlak pada point pertama dan
dasar pendidikan akhlak pada point kedua.
1. Hukum-hukum Akhlak
Dalam pembahasan ini, dijelaskan bahwa hukum-hukum akhlak merupakan apa saja
yang dihukumkan oleh manusia kepada sebagian yang lain dari sifat tersembunyi atau pun
tercela. Manusia berbeda-beda dalam menghukumi akhlak diantara mereka, diantara manusia
ada yang terus menerus melakukan kebaikan kepada saudaranya, sedangkan sebagian
manusia yang lain menyifati saudaranya dengan sesuatu yang jarang dilakukan. Ibaratnya
kesalahan yang sekali dilakukan maka diingat selamanya, padahal kebaikannya lebih banyak
daripada kesalahan tapi tidak diingat sedikitpun oleh orang tersebut.
Sebenarnya untuk dapat menghakimi akhlak seseorang, maka yang harus dilihat adalah
kehidupannya, yakni cara dia bermu’amalah, cara dia berteman ataupun menjauhi temannya,
sikapnya dalam member persatuan dan juga menyatukan, begitu juga sebaliknya. Hal ini
dapat dilihat dengan kacamata syari’at.
Jika yang dinamakan dengan akhlak itu adalah suatu sifat yang dimiliki oleh manusia
baik pada dirinya atau antara dia dengan yang lain kemudian itu menjadi sifatnya, maka
tidaklah mungkin jika seandainya muncul darinya sifat yang berbeda tidaklah dikategorikan
sebagai sifat dia. Dicontohkan mengenai hal ini yaitu: orang yang biasanya kikir lalu tiba-tiba
menjadi dermawan karena ingin manfaat, maka dia tidak berhak untuk dikatakan orang yang

14
dermawan karena kedermawanan yang dia lakukan hilang disebabkan niat yang tidak baik.
Begitu juga pada orang yang biasanya dermawan lalu tiba-tiba hilang sifat tersebut pada
dirinya karena disebabkan oleh sesuatu, baik karena materi atau yang lain, maka pada saat
yang seperti ini tidaklah kita menghukumi orang tersebut sebagai orang yang bakhil/ kikir,
karena hal tersebut bukanlah milik dia.

2. Dasar-dasar Pendidikan Akhlak


Sebagaimana yang dijelaskan al-Hazimi dalam kitab Ushul at-Tarbiyah al-Islamiyah-
nya, bahwa dasar-dasar pendidikan akhlak dapat dilakukan pada saat mengajar atau pun
disaat mengembangkan akhlak pada pemikiran anak didik, yaitu dengan beberapa cara
sebagai berikut:
Menjelaskan keutamaan-keutamaan akhlak, dengan memaparkan tentang pahala dan
faedahnya terhadap pribadi dan mansyarakat sekitarnya.
a. Menjelaskan tentang akhlak tercela, dengan menjelaskan tentang hukuman dan kerusakan-
kerusakannya baik kepada pribadi ataupun masyarakat.
b. Menguatkan arahan diatas (poin a dan b) dengan bukti-bukti atau dalil-dalil dari Al-Qur’an
dan Hadits, serta atsar para sahabat.
c. Mengaitkan arahan-arahan tersebut (poin a dan b) dengan fakta kehidupan manusia,
dengan cara menceritakan kisah-kisah manusia atau mengambil pelajaran dari kejadian-
kejadian yang menimpa orang-orang perusak dan yang rusak akhlaknya.
Cara-cara seperti ini dapat memberi efek pada anak didik dikarenakan adanya penjelasan,
penyelesaian, dan faktor pendukung berupa dalil-dalil ikut disertakan dengan mengaitkannya
pada fakta-fakta yang mereka saksikan atau dengarkan. Dengan ini maka jelaslah urgensi
dasar pendidikan Islam yang dapat diterjemahkan dengan akhlak-akhlak yang dimiliki
manusia dan berpengaruh pada pribadinya atau dengan orang lain.
Diakhir pembahasan, dituliskan bahwa Islam sangat memperhatikan dasar pendidikan
akhlak ini, karena akhlak merupakan tujuan diutusnya Nabi Muhammad Saw. yaitu untuk
menyempurnakan akhlak/ karakter manusia.

C. ANALISIS KRITIS
Berdasarkan penjelasan dari Khalid bin Hamid al-Hazimi dalam kitabnya Ushul at-
Tarbiyah al-Islamiyah pasal ke empat mengenai membangun akhlak, pemakalah merasa
sependapat dengan apa yang telah diutarakan dan dijelaskan oleh beliau. Karena akhlak itu
adalah fitrah terdapat dalam diri seorang manusia, dan semua itu ikut juga dipengaruhi oleh
keluarganya lalu lingkungan sekitarnya dimana dia tinggal. Namun sebelumnya, patut
sekiranya pemakalah ikut mencantumkan beberapa definisi dan pendapat beberapa pakar atau
ulama yang lebih banyak lagi mengenai akhlak. Karena dengan adanya beberapa pendapat,
maka para pembaca kitab ini akan dapat membedakan dan memahami akhlak atau karakter
itu sendiri, serta jenis dan macam-macamnya.
Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani, Ethos yang berarti watak
kesusilaan atau adat. Dalam bahasa arab, akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang
berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa yang
berarti menciptakan. Seakar dengan kata khaliq (pencipta), makhluk (yang diciptakan )

15
dan khalq(penciptaan). Kesamaan akar kata di atas mengisyarakatkan bahwa dalam akhlak
tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak (khaliq) dengan perilaku
(makhluk). Atau dengan kata lain tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan
lingkungannya baru mengandung nilai akhlak yang hakiki manakala tindakan atau perilaku
tersebut didasarkan kepada kehendak (khaliq). Dari pengertian etimologi tersebut, akhlak
bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antar sesama
manusia tetapi juga norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan
bahkan dengan alam semesta.
Secara terminologis, menurut Imam Ghazali akhlak adalah sifat yang tertanam dalam
jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa
memerlukan pertimbangan dan pemikiran. Contohnya, ketika menerima tamu bila seseorang
membeda-bedakan tamu yang satu dengan yang lain atau kadang kala ramah kadang kala
tidak, maka orang tersebut belum bisa dikatakan memiliki sifat memuliakan tamu. Sebab
seseorang yang mempunyai akhlak memuliakan tamu, tentu akan selalu memuliakan
tamunya.1 Ibnu Maskawih mengatakan “akhlaq ialah keadaan jiwa yang selalu mendorng
manusia berbuat, tanpa memikirkan (lebih lama).”Dari beberapa definisi tersebut diatas,
penulis menarik definisi lain bahwa akhlak adalah perbuatan manusia yang bersumber dari
dorongan jiwanya. Dorongan jiwa yang melahirkan perbuatan manusia, pada dasarnya
bersumber dari kekuatan batin yang dimiliki oleh setiap manusia, yaitu: Tabiat (pembawaan),
Akal fikiran dan Hati nurani. Ketiga kekuatan kejiwaan dalam diri manusia inilah yang
menggambarkan hakikat manusia itu sendiri.2
Akhlak sering dikaitkan dengan etika, moral, dan karakter. Etika menurut Ki Hajar
Dewantara adalah ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup
manusia semuanya, terutama yang mengenai gerak gerik pikiran dan rasa yang merupakan
pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang merupakan perbuatan. Adapun
moral secara etimologi berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang
berarti adat kebiasaan. Didalam kamus umum bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral
adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Selanjutnya moral secara
terminologi adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat,
perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dikatakan benar, salah,
baik atau buruk. 3 Karakter adalah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti
yang membedakan seseorang dari yang lain. Dalam konteks disini adalah suatu proses atau
usaha yang dilakukan untuk membina, memperbaiki dan atau membentuk tabiat, watak, sifat
kejiwaan, akhlak mulia, insan manusia sehingga menunjukan perangai dan tingkah laku yang
baik. Akhlak/ budi pekerti adalah perbuatan yang lahir atau muncul dari dalam jiwa.
Gerakan refleksi, denyut jantung, tidak dapat dikatakan dengan akhlak, karena gerakan
tersebut tidak diperintah oleh unsur kejiwaan. Akhlak muncul secara spontan, tanpa
memerlukan pemikiran, pertimbangan lebih lama dengan tidak memerlukan dorongan luar.
Dapat dicontohkan dalam menerima tamu, yaitu jika seseorang membeda-bedakan tamu yang
1
Anonymous, dalam situs http://ismailmg677.wordpress.com/2014/01/08/perbedaan-antara-akhlak-etika-
dan-moral/ Online. Diunggah hari Selasa tanggal 10 Desember 2014.
2
http://amrikhan.wordpress.com/2012/07/30/perbedaan-antara-akhlak-etika-dan-moral-2/ Online. Diunggah
hari Selasa tanggal 10 Desember 2014.
3
http://amrikhan.wordpress.com/2012/07/30/perbedaan-antara-akhlak-etika-dan-moral-2/ Online. Diunggah
hari Selasa tanggal 10 Desember 2014.

16
satu dengan tamu yang lainnya, maka belum dapat dikatakan dengan berakhlak memuliakan
tamu, sebab seseorang yang memiliki “Akhlak memuliakan tamu”, tentu akan selalu
memuliakan tamunya tanpa memandang golongan, status dari tamunya tersebut. Jelas
bahwasannya akhlak haruslah bersifat konstan, spontan, tidak temporer, dan tidak
memerlukan pemikiran, pertimbangan serta dorongan dari luar. 4
Sesuai dengan yang dijelaskan oleh al-Hazimi dalam kitab Ushul at-Tarbiyah al-
Islamiyah yang telah penulis resensi pada pasal empat tersebut diatas. Sebagaimana
keseluruhan ajaran Islam, sumber akhlak adalah Al-Quran dan Hadits. Bukanlah akal pikiran,
atau filsafat Yunani sebagai sumber etika. Dalam konsep akhlak, segala sesuatu dinilai baik
dan buruk, semata-mata karena syara’ (Al-Quran dan Hadits). Sehingga penulis pun
sependapat dengan hal ini, karena jika karakter/ akhlak seseorang tidak didasari dengan
sumber Islam tersebut maka sudah bisa dipastikan akan kearah mana nanti akhlak seseorang
tersebut terbentuk. Fitrah manusia mengarahkan kepada kesucian dan selalu cenderung
kepada kebenaran. Hati nuraninya selalu mendambakan serta merindukan kebenaran, ingin
mengikuti ajaran-ajaran Tuhan, karena kebenaran tidak akan ditemukan kecuali dengan Allah
sebagai sumber kebenaran mutlak.
Kedudukan akhlak dalam Islam sangatlah terhormat, keberadaannya memiliki
kemutlakan yang mengarah kepada absolut. Kedudukan akhlak dalam Islam dapat diandaikan
sebagai berikut:
“Andaikan Islam sebuah bangunan atau gedung, maka akhlak adalah tiangnya, yang
wajib ditegakkan oleh setiap muslim. Barangsiapa yang menegakkannya berarti menegakkan
agama, dan barangsiapa yang mengabaikannya berarti merobohkan agama, dan Islam itu
berdiri diatas tiga yaitu: Aqidah, Ibadah, dan Akhlak”.
Akhlak memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan agama, sebab dengan akhlak
seseorang dapat menunjukkan identitas keislamannya. Shalat dalam agama Islam diyakini
dapat mengatasi perbuatan yang tercela. Karena dalam shalat tersebut diajarkan gerakan-
gerakan yang penuh ketawadhuan dan membuat seorang Muslim itu berserah diri pada-Nya
dengan khusyu’, sehingga nantinya akan terpancar dari perbuatannya sehari-hari. Wallahu
a’lam…

D. KESIMPULAN
Agama Islam menghendaki seseorang untuk melakukan perbuatan yang terpuji,
karena perwujudan perbuatan terpuji adalah bukti dari pelaksanaan ajaran agama. Perbuatan
terpuji dalam konteks agama Islam, tidak berdasarkan hanya pada perbuatan saja, tetapi yang
menjadi penekanan agama Islam adalah Niat. Perbuatan terpuji yang tidak dilandasi dengan
niat, tidak dipandang sebagai perbuatan terpuji, oleh karena Rasulullah Saw mengajarkan
kepada umatnya, agar dalam setiap pelaksaanan perbuatan senantiasa dilandasi dengan Niat
yang Ikhlas lillahi ta’ala kepada Allah SWT.
Perbuatan terpuji yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. adalah bentuk perbuatan
yang tidak mengharapkan imbalan, atau dilandasi dengan sesuatu yang diinginkannya.
Perbuatan terpuji dilandasi dengan keyakinan akan ganjaran dari Allah Swt. Umat Islam
4
Bambang Nurdiansah, dalam situs http://duniabembi.blogspot.com/2013/05/membangun-karakter-
character-building.html. Online. Diunggah hari Selasa tanggal 10 Desember 2014.

17
kembali merefleksikan perbuatan yang dikerjakan oleh Rasulullah Saw., dengan penuh
keyakinan, tanpa adanya keyakinan, sungguh sulit mengamalkan ajaran Agama Islam.
Akhir dari tulisan ini, pengaruh pemikiran barat haruslah difahami secara mendalam,
dan dalam pelaksanaan ajaran agama Islam, tentunya tidak memiliki kandungan pengaruh
barat didalamnya. Kecerdasan, wawasan, dan guru spiritual adalah wujud nyata yang harus
dibutuhkan oleh umat Islam saat ini dalam menjalani proses kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, dalam situs http://ismailmg677.wordpress.com/2014/01/08/perbedaan-antara-


akhlak-etika-dan-moral/ Online. Diunggah hari Selasa tanggal 10 Desember 2014.

Bambang Nurdiansah, dalam situs http://duniabembi.blogspot.com/2013/05/membangun-


karakter-character-building.html. Online. Diunggah hari Selasa tanggal 10 Desember
2014.

http://amrikhan.wordpress.com/2012/07/30/perbedaan-antara-akhlak-etika-dan-moral-2/
Online. Diunggah hari Selasa tanggal 10 Desember 2014.

http://amrikhan.wordpress.com/2012/07/30/perbedaan-antara-akhlak-etika-dan-moral-2/
Online. Diunggah hari Selasa tanggal 10 Desember 2014.

Sofyan Efendi, Al-Qur’an dan Terjemahannya, dalam Hadits Web: Kumpulan dan Belajar
Hadits. http://opi.110mb.com/.

18

Anda mungkin juga menyukai