Anda di halaman 1dari 24

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sejarah Agama menunjukkan bahwa kebahagiaan yang ingin dicapai
dengan menjalankan syariah agama itu hanya dapat terlaksana dengan adanya
akhlak yang baik. Kepercayaan yang hanya berbentuk pengetahuan tentang
keesaan Tuhan, ibadah yang dilakukan hanya sebagai formalitas belaka,
muamalah yang hanya merupakan peraturan yang tertuang dalam kitab saja,
semua itu bukanlah merupakan jaminan untuk tercapainya kebahagiaan
tersebut.
Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang
penting, sebagai individu maupun masyarakat dan bangsa, sebab jatuh
bangunnya suatu masyarakat tergantung pada bagaimana akhlaknya. Apabila
baik akhlaknya, maka sejahteralah lahir batinnya, dan apabila rusak
akhlaknya, maka rusaklah lahir batinnya.
Timbulnya kesadaran akhlak dan pendirian manusia terhadap-Nya adalah
pangkalan yang menentukan corak hidup manusia. Akhlak, atau moral, atau
susila adalah pola tindakan yang didasarkan atas nilai mutlak kebaikan.
Hidup susila dan tiap-tiap perbuatan susila adalah jawaban yang tepat
terhadap kesadaran akhlak, sebaliknya hidup yang tidak bersusila dan tiap-
tiap pelanggaran kesusilaan adalah menentang kesadaran itu.
Kesadaran akhlak adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri,
dimana manusia melihat atau merasakan diri sendiri dengan baik dan buruk.
Disitulah manusia harus mampu membedakan halal dan haram, hak dan
bathil, boleh dan tidak boleh dilakukan, meskipun dia bisa melakukan.
Konsep akhlakul karimah adalah konsep hidup yang lengkap dan tidak
hanya mengatur hubungan antara manusia, alam sekitarnya tetapi juga
terhadap penciptaannya. Allah menciptakan ilmu pengetahuan bersumber dari
AL-Qur’an. Namun, tidak semua orang mengetahui atau percaya akan hal itu.
2

Ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan manusia dalam menggali ilmu-ilmu


yang ada dalam Al-Qur’an itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan akhlak?
2. Bagaimana pertumbuhan akhlak pada manusia?
3. Apa saja yang menjadi lingkungan pendidikan akhlak?
4. Bagaimana pendidikan perangai/tingkah laku (sulukiyyah) itu?
5. Apa yang dimaksud dengan status etika?

C. Maksud dan Tujuan


1. Untuk mengetahui pengertian akhlak.
2. Untuk mengetahui pertumbuhan akhlak pada manusia.
3. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi lingkungan pendidikan akhlak.
4. Untuk mengetahui bagaimana pendidikan perangai/tingkah laku
(sulukiyyah) itu.
5. Untuk mengetahui pengertian status etika.
3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akhlak
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab khuluq yang jamaknya akhlak.
Menurut bahasa, akhlak adalah perangai, tabi’at dan agama. Kata tersebut
mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalq yang berarti
“kejadian”, serta erat hubungannya dengan kata khaliq yang berarti
“pencipta” dan makhluq yang berarti “yang diciptakan”.1 Akhlak adalah hal
ihwal yang melekat dalam jiwa, daripadanya timbul perbuatan-perbuatan
yang mudah tanpa dipikirkan dan diteliti oleh manusia.2 Firman Allah SWT. :

    


   
  
 
   
21. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.3

Pada dasarnya al khulqu dan al kholqu sama hanya saja al kholqu itu
khusus tertuju pada tingkah-tingkah atau keadaan dan bentuk-bentuk yang
bisa dilihat dengan mata, sedangkan khulqu khusus pada kekuatan dan tabi’at
yang ditembus dengan hati. Ibnu Abbas r.a. berkata maksudnya benar-benar
yang agung, agama yang paling kucinta dan tak ada agama yang Aku ridhoi
selainnya. Agama itu adalah Islam” kemudian, Al Hasan berkata,
“maksudnya etika Al-Qur’an”, kemudian Qatadah berkata “maksudnya

1
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h.11.
2
Zainuddin, Pendidikan Agama Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h.29.
3
Q.S. Al-Ahzab : 21.
4

sesuatu yang diperintahkan Allah dan yang dilarang-Nya”. Adapun maknanya


adalah “sesungguhnya kamu benar-benar berakhlak yang telah dipilih Allah
untukmu dalam Al-Qur’an.4

Dalam pengertian sehari-hari akhlak umumnya disamakan artinya dengan


budi pekerti, kesusilaan, sopan santun dalam bahasa Indonesia, dan tidak
berbeda pula dengan arti kata moral, ethic dalam bahasa Inggris. Manusia
akan menjadi sempurna jika mempunyai akhlak terpuji serta menjauhkan
segala akhlak tercela.5
Secara kebahasaan akhlak bisa baik dan juga bisa buruk, tergantung tata
nilai yang dijadikan landasan atau tolok ukurnya. Di Indonesia, kata akhlak
selalu berkonotasi positif. Orang yang baik sering disebut orang yang
berakhlak, sementara orang yang tidak berlaku baik disebut orang yang tidak
berakhlak.
Adapun secara istilah, akhlak adalah sistem nilai yang mengatur pola
sikap dan tindakan manusia di muka bumi. Sistem nilai yang dimaksud
adalah ajaran Islam, dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai sumber
nilainya serta ijtihad sebagai metode berfikir islami. Pola sikap dan tindakan
yang dimaksud mencakup pola-pola hubungan dengan Allah, sesama manusia
(termasuk dirinya sendiri) dan dengan alam.6 Dalam Al-Qur’an Allah SWT,
telah berfirman :
   
 
  
  
  
 
 

4
Robi Muhammad Jauhari, Keistimewaan Akhlak Islam, h.86.
5
Dr. Mansur, MA, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.221.
6
Muslim Nurdin, dkk, Moral dan Kognisi Islam. (Bandung: CV Alfabeta, 1995), ed.2. h.209.
5

90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat


kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Ada beberapa pendapat para ahli yang mengemukakan pengertian akhlak
sebagai berikut :
1. Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulum al din mengatakan bahwa
akhlak adalah : sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
bermacam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan.7
2. Ibrahim Anas mengatakan akhlak ialah ilmu yang objeknya membahas
nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia, dapat disifatkan
dengan baik dan buruknya.8
3. Ahmad Amin mengatakan bahwa akhlak ialah kebiasaan baik dan buruk.
Contohnya apabila kebiasaan memberi sesuatu yang baik, maka disebut
akhlakul karimah dan bila perbuatan itu tidak baik disebut akhlakul
madzmumah.9
Jadi akhlak adalah sumber dari segala perbuatan yang sewajarnya,
artinya sesuatu perbuatan atau sesuatu tindak tanduk manusia yang tidak
dibuat-buat, dan perbuatan yang dapat dilihat ialah gambaran dari sifat-
sifatnya yang tertanam dalam jiwa, jahat atau baiknya.

B. Pertumbuhan Akhlak pada Manusia


1. Sejarah Perkembangan Akhlak pada Zaman Yunani
Diduga yang pertama kali mengadakan penyelidikan tentang akhlak yang
berdasarkan ilmu pengetahuan ialah Bangsa Yunani. Ahli-ahli filsafat
Yunani kuno tidak banyak memperhatikanpada akhlak, tetapi kebanyakan
penyelidikannya mengenai alam, sehingga datangnya Sephisticians (500-
450 SM). Arti dari Sephisticians adalah orang yang bijaksana.

7
Imam Al Ghozali, Ihya Ulum al Din, jilid III. (Indonesia: Dar Ihya al Kotob al Arabi, t.t), h.52.
8
Ibrahim Anas, Al Mu’jam Al Wasith. (Mesir: Darul Ma’arif, 1972), h.202.
9
Ahmad Amin, Kitab Al-Akhlak. (Kairo: Darul Kutub Al-Mishriyah, t.t.), h. 15.
6

Diantara sekian banyak ahli-ahli pemikir Yunani yang mengungkapkan


pengetahuan akhlak, yaitu :
a. Socrates (469-399 SM), terkenal dengan semboyan : “Kenalilah diri
engkau dengan diri engkau sendiri”. Dia dipandang sebagai perintis
Ilmu Akhlak Yunani yang pertama. Usahanya membentuk pergaulan
manusia-manusia dengan dasar ilmu pengetahuan.10
b. Plato (427-347 SM), seorang filsafat Athena dan murid dari Socrates,
bukunya yang terkenal adalah “Republic”. Ia membangun ilmu akhlak
melalui akademi yang ia dirikan. Pandangannya dalam akhlak berdasar
dari “teori contoh” bahwa di balik alam ini ada alam rohani sebagai
alam yang sesungguhnya.11
c. Aristoteles (9394-322 SM), dia murid Plato yang membangun suatu
paham yang khas, yang mana pengikutnya diberi nama dengan
“Paripatetics” karena mereka memberikan pelajaran sambil berjalan.
Dan ia berpendapat bahwa tujuan terakhir yang dikehendaki manusia
mengenai segala perbuatannya ialah “bahagia”. Ia berpendapat bahwa
jalan mencapai kebahagiaan ialah mempergunakan kekuatan akal
pikiran sebaik-baiknya. Selain itu Aristoteles ialah pencipta teori serba
tengah tiap-tiap keutamaan adalah tengah-tengah diantara dua
keburukan, seperti dermawan adalah tengah-tengah antara membabi
buta dan takut.

2. Sejarah Akhlak pada Bangsa Romawi (Abad Pertengahan)


a. Sejarah Akhlak pada Bangsa Arab sebelum Islam
Bangsa Arab pada zaman Jahiliyah tidak ada yang menonjol dalam segi
filsafat sebagaimana bangsa Yunani (Socrates, Plato dan Aristoteles),
Tiongkok dan lain-lainnya, disebabkan karena penyelidikan akhlak
terjadi hanya pada bangsa yang sudah maju pengetahuannya. Sekalipun
demikian, bangsa Arab waktu itu ada yang mempunyai ahli-ahli hikmah

10
Abjan Soleiman, Ilmu Akhlak (Ilmu Etika). (Jakarta: Dinas Rawatan Rohani Islam Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Darat, 1976), h.28.
11
Abjan Soleiman, ..., h.29.
7

yang menghidangkan syair-syair yang mengandung nilai-nilai akhlak,


misalnya : Luqman el-Hakim, Aktsan bin Shoifi, Zubair bin Abi Sulma
dan Hotim al-Thoi.
b. Sejarah Akhlak pada Bangsa Arab Setelah Islam
Dalam Islam, tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad SAW.
adalah Nabi yang diutus untuk menyempurnakan akhlak. Akan tetapi
tokoh pertama yang menulis ilmu akhlak dalam Islam masih
diperbincangkan.

3. Sejarah Akhlak pada Zaman Baru


Pada akhir abad ke-15 Masehi, Eropa mulai mengalami kebangkitan dalam
bidang filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Segala sesuatu yang
selama ini dianggap mapan mulai diteliti, dikritik dan diperbaharui, hingga
akhirnya mereka menerapkan pola bertindak dan berpikir secara liberal.
Diantara masalah yang merka kritik dan dilakukan pembaharuan adalah
masalah akhlak. Penentuan patokan baik dan buruk yang semula
didasarkan pada dogma gereja diganti dengan berdasarkan pandangan ilmu
pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman empirik.
Banyak tokoh pemikir akhlak yang lahir pada abad baru, diantaranya :
Descartes (1596-1650), John of Salisbury (1120-1180 M), Bentham (1748-
1832) dan Stuart Mill (1806-1873), Thomas Hill Green (1836-1882) dan
Herbert Spencer (1820-1903), Spinoza (1632-1677), Hegel (1770-1831)
dan Khat (1724-1831), Viktor Cousin (1729-1867) dan August Comte
(1798-1857), Pasca Mill dan Spencer.

C. Lingkungan Pendidikan Akhlak


Adapun yang dimaksud lingkungan pendidikan akhlak disini adalah
faktor yang diambil dari luar yang mempengaruhi kelakuan atau perbuatan
manusia, yaitu meliputi :
1. Keluarga
8

Akhlak merupakan faktor mutlak dalam menegakkan keluarga


sejahtera. Keluarga yang tidak dibina dengan tonggak akhlak yang baik,
tidak akan bahagia, sekalipun kekayaan materialnya melimpah ruah.
Pengenalan Allah sebagai pencipta merupakan pendidikan dasar yang
meski diberikan oleh orang tua muslim. Sedini mungkin anak dikenalkan
dan difahamkan bahwasanya Allah adalah pencipta segalanya. Allahlah
satu-satunya yang disembah. Orangtua hendaknya menjelaskan bahwa ada
suatu kesaksian suci yang telah diucapkan oleh manusia sebelum manusia
terlahir ke muka bumi bahwasanya manusia telah bersaksi Allah adalah
satu-satunya yang disembah, tiada sekutu baginya.
Keluarga adalah ikatan laki-laki dan wanita berdasarkan hukum atau
undang-undang perkawinan yang sah. Di dalam keluarga ini lahirlah anak-
anak, dalam keluarga pula terjadi interaksi pendidikan. Para ahli
pendidikan umumnya menyatakan pendidikan di lembaga ini merupakan
pendidikan pertama dan utama. Dikatakan demikian karena di lembaga ini
anak mendapatkan pendidikan untuk pertama kali. Disamping itu,
pendidikan di sini (keluarga) mempunyai pengaruh yang dalam terhadap
kehidupan anak didik di kemudian hari, karena keluarga secara umum
merupakan tempat, dimana anak didik menghabiskan sebagian besar
waktunya sehari-hari.12
Selanjutnya, dari keluarga, sang anak kemudian belajar cara
bergabung bersama dengan kelompok lain untuk memenuhi kebutuhan dan
merealisasikan kesejahteraan dirinya melalui interaksi dengan anggota-
anggota lainnya. Rasulullah SAW. bersabda :

‫ والرجل راع على أهل بيته وهو مسؤول عن‬: ‫قال رسول هللا‬
‫ والمرأة راعية على أهل بيت زوجها وولده وهي مسؤولة‬،‫رعيته‬
13
‫عنهم‬

12
Zakaria, Pendidikan. H.99.
13
Dr. Abdul Hamid as-Shaid, Usus at-Tarbiyah al-Islamiyyah fi as-Sunnati an-Nabawiyyah, (Libia: Daar Kutub al-
Aroby, 1984), h.662.
9

Rasulullah SAW. bersabda : “Seorang suami adalah pemimpin atas


keluarganya, dan istri juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-
anaknya.”. (H.R. Bukhari)

Hadits yang lain menyebutkan :

،‫ مروا أوالدكم بالصالة وهم أبناء سبع سنين‬: ‫وقال رسول هللا ﷺ‬
‫وأضربوهم عليها وهم أبناء عشر سنين وفرقوا بينهم في المضاجع‬
14
)‫(رواه مسلم‬
Rasulullah SAW. bersabda : “Perintahlah anak-anakmu untuk
melaksanakan solat ketika usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka
(ketika tidak melaksanakan solat) saat umur mereka 10 tahun. Dan
pisahkanlah tempat tidurnya (antara anak laki-laki dan anak
perempuan).”. (H.R. Muslim)

Pada intinya, keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi


proses perkembangan seorang anak sekaligus merupakan peletak dasar
kepribadian anak. Pendidikan anak diperoleh terutama melalui interaksi
antara orang tua dan anak. Dalam berinteraksi dengan anaknya, orang tua
akan menunjukkan sikap dan perilaku tertentu sebagai perwujudan
pendidikan terhadap anaknya.

2. Sekolah/Madrasah
Pendidikan selalu menjadi simbol status sosial. Masyarakat dengan
kualifikasi akademik tinggi akan dihormati oleh masyarakat lainnya dan
yang tidak berpendidikan tinggi akan dipandang rendah.
Anak-anak yang berhasil secara akademik sangat disukai, dikenal dan
dipuji oleh masyarakat. Mereka menjadi kebanggaan orang tuanya. Karena
itu, dapat dimengerti mengapa banyak orang tua yang ingin anak-anaknya

14
Dr. Abdul Hamid as-Shaid, Usus at-Tarbiyah al-Islamiyyah fi as-Sunnati an-Nabawiyyah, (Libia: Daar Kutub al-
Aroby, 1984), h.662.
10

mendapat pendidikan yang baik sehingga mencerminkan status dalam


masyarakat. Sebaliknya, anak-anak yang tidak berprestasi di sekolah
biasanya disebut lamban, malas atau sulit. Mereka dianggap sebagai
pembuat masalah, cenderung ditolak oleh guru-guru, dimarahi orang tua,
diabaikan teman-teman sebayanya. Anak-anak tersebut sulit diharapakan
untuk dapat berprestasi dan biasanya membuat mereka sulit meningkatkan
diri dalam pendidikan dan keterampilan.15
Sekolah bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak selama mereka
diserahkan kepadanya. Karena itu, sebagai wujud sumbangan sekolah
sebagai lembaga terhadap pendidikan, diantaranya sebagai berikut :
a. Sekolah membantu orang tua mengerjakan kebiasaan-kebiasaan yang
baik serta menanamkan budi pekerti yang baik.
b. Sekolah memberikan pendidikan untuk kehidupan di dalam masyarakat
yang sukar atau tidak dapat diberikan di rumah.
c. Sekolah melatih anak-anak memperoleh kecakapan-kecakapan seperti
membaca, menulis, berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu lain yang
sifatnya mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan.
d. Di sekolah diberikan pelajaran etika, keagamaan, estetika,
membenarkan benar atau salah, dan sebagainya.
Rasulullah SAW. bersabda :

‫ هؤالء يقرأون القرآن ويدعون هللا تعالى فإن شاء‬،‫( كل على خير‬
‫ وهؤالء يتعلمون ويعلمون وإنما بعثت‬،‫أعطاهم وإن شاء منعهم‬
16
.) ‫معلما‬
“Segala sesuatu adalah baik, yaitu membaca Al-Qur’an dan berdo’a
kepada Allah Ta’ala. Jika Allah berkehendak memberi mereka dan jika
Dia berkehendak mencegah mereka, itu adalah belajar, dan mengajarkan

15
Alvin, Handling Study Stress. (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2007), h.14.
16
Dr. Abdul Hamid as-Shaid, Usus at-Tarbiyah al-Islamiyyah fi as-Sunnati an-Nabawiyyah, (Libia: Daar Kutub al-
Aroby, 1984), h.664. H.R. Ibn Majah dari Ibn Umar.
11

kepada mereka. Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk menjadi


guru”.

3. Teman Sebaya
Rasulullah SAW. bersabda :

‫ فلينظر‬،‫ الرجل على دين خليله‬: ‫عن أبي هريرة أن النبي ﷺ قال‬
)‫ (رواه أبو داود‬17‫أحدكم من يخالل‬
Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi SAW. bersabda : “Seseorang
tergantung agama teman dekatnya, maka hendaknya kalian memerhatikan
siapakah teman dekatnya.”

Hubungan sosial dengan teman sebaya memiliki arti yamh sangat


penting bagi perkembangan pribadi anak. Berikut merupakan fungsi teman
sebaya :
a. Teman sebaya sebagai sarana mengenal dunia luar keluarga
Pada masa remaja cenderung ditandai dengan bertambahnya konflik
sehubungan dengan bertambahnya kebebasan anak-anak. Masalah-
masalah otonomi dan kontrol menjadi sangat tajam pada masa ini.
Anak-anak remaja mulai mengalihkan komunikasi dari komunikasi
keluarga kepada komunikasi dengan teman-teman sebaya. Karena
perubahan-perubahan fisiologis dan psikologi yang dialami remaja,
topik-topik tertentu menjadi perhatian mereka. Usia remaja mungkin
merupakan tantangan terbesar bagi komunikasi keluarga. Bila orangtua
dan anak dapat mengatasi badai, komunikasi selanjutnya akan lebih
lancar.18
b. Teman sebaya sebagai sarana untuk mengenal gambaran diri

17
Dr. Abdul Hamid as-Shaid, Usus at-Tarbiyah al-Islamiyyah fi as-Sunnati an-Nabawiyyah, (Libia: Daar Kutub al-
Aroby, 1984), h.665.
18
Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, Human Comunication (prinsip-prinsip dasar), alih bahasa oleh Deddy Mulyana
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), h.220.
12

Melalui teman sebaya remaja menerima umpan balik tentang


kemampuan mereka dari kelompok teman sebaya. Anak-anak
mengevaluasi apakah mereka lakukan lebih baik, sama, atau lebih jelek
dari yang dilakukan oleh anak-anak lain. Mereka menggunakan orang
lain sebagai tolak ukur untuk membandingkan dirinya. Proses
perbandingan sosial ini merupakan dasar bagi pembentukan rasa harga
diri dan gambaran diri anak.19
c. Teman sebaya memiliki sejumlah peranan penting dalam
perkembangan pribadi dan sosial remaja
Saat mencapai pubertas, mereka semakin mengandalkan teman sebaya,
alih-alih orangtua untuk mencari dukungan sosial, terutama dalam
masa-masa krisis atau kebingungan. Dukungan sosial dari teman sebaya
tersebut terutama penting bagi remaja-remaja yang berasal dari keluarga
yang kurang memeberikan kasih sayang atau yang sarat hukuman. 20
d. Teman sebaya sebagai sarana “latihan” intimasi orang dewasa
Kelompok teman sebaya merupakan sumber afeksi, simpati,
pemahaman, dan panduan moral; tempat bereksperimen, dan setting
untuk mendapatkan otonomi dan independensi dari orang tua.
Kelompok tersebut merupakan tempat membentuk hubungan intim
yang berfungsi sebagai “latihan” bagi intimasi orang dewasa.21

4. Masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok manusia yang secara relatif mandiri,
hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, mendiami suatu
tempat tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian
besar kegiatannya dalam kelompok tersebut.22

19
Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan. (Jakarta: Kencana, 2011), h.194-195.
20
Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi Pendidikan : Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, terjemahan Wahyu Indianti
dkk. (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 109-110.
21
Diane E. Papalia, Human Development (Psikologi Perkembangan), alih bahasa oleh: Anwar. (Jakarta: Kencana, 2008),
h.617-618.
22
Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi. (Jakarta: Erlangga, 2009), edisi keenam.
13

Masyarakat merupakan lembaga keempat setelah keluarga,


sekolah/madrasah dan teman sebaya. Pendidikan dalam masyarakat
dampaknya lebih luas. Corak dan ragam pendidikan yang dialami
seseorang dalam masyarakat banyak sekali, meliputi segala bidang, baik
pembentukan kebiasaan-kebiasaan, pembentukan pengertian-pengertian
(pengetahuan) sikap dan minat, maupun pembentukan kesusilaan dan
keagamaan.
Masyarakat pun memiliki peran yang tidak kalah pentingnya dalam
upaya pembentukan karakter anak bangsa. Dalam hal ini yang dimaksud
dengan masyarakat disini adalah orang yang lebih tua yang “tidak dekat”,
“tidak dikenal”, “tidak memiliki ikatan family” dengan anak tetapi saat itu
ada di lingkungan sang anak atau melihat tingkah laku si anak. Orang-
orang inilah yang dapat memberikan contoh, mengajak, atau melarang
anak dalam melakukan suatu perbuatan. Beberapa contoh perilaku yang
dapat diterapkan oleh masyarakat :
a. Membiasakan gotong royong di lingkungan
b. Membiasakan anak tidak membuang sampah sembarangan, merusak
atau mencoret-coret fasilitas umum
c. Mengatur anak yang melakukan perbuatan yang tidak baik, dan lain
sebagainya.
Rasulullah SAW. bersabda :

‫ ( إياكم‬: ‫عن أبي سعيد الخدري رضي هللا عنه أن النبي قال‬
‫ ما لنا من مجالسنا بد‬،‫ يا رسول هللا‬: ‫والجلوس بالطرقات ) فقالوا‬
) ‫ ( إذا أبيتم إال المجلس فاعطوا الطريق حقه‬: ‫ فقال‬.‫نتحدث فيها‬
‫ وكف‬،‫ ( غض البصر‬: ‫ قال‬.‫ وما حق الطريق يا رسول هللا‬: ‫قالوا‬
14

‫ ( رواه‬23‫ ورد السالم واألمر بالمعروف والنهي عن المنكر‬،‫األذى‬


) ‫البخاري‬

Maksud hadits di atas adalah duduk di jalanan pada hakikatnya


dilarang kecuali memenuhi adab di jalan sebagaimana yang disebutkan
oleh Rasulullah SAW. yaitu : menjaga pandangan, tidak merusak,
menjawab salam dan memerintahkan kepada kebaikan dan menjauhi
terhadap apa yang dilarang.
Menjaga pandangan ialah memelihara pandangan dari yang
diharamkan, seperti : melihat wanita yang bukan muhrim, sedangkan yang
dimaksud tidak merusak ialah tidak menyakiti manusia baik dari lisannya
maupun perbuatannya sedangkan menjawab salam (yaitu menjawab salam
ketika seseorang mengucapkan salam kepadanya. Sedangkan yang
dimaksud amr ma’ruf ialah memerintah kepada kebaikan dan kebenaran,
dan nahyi munkar ialah melarang terhadap suatu perkara yang buruk.

D. Pendidikan Perangai/Tingkah Laku (Sulukiyyah)


Pendidikan akhlak sebagai pendidikan yang penting untuk menanamkan
nilai-nilai moral spiritual dalam kehidupan sehari-hari dapat menumbuhkan
budi pekerti, tingkah laku dan kesusilaan yang baik untuk masa depan
seseorang.
Sepanjang sejarah umat manusia, masalah akhlak selalu menjadi pokok
persoalan. Karena perilaku manusia secara langsung ataupun tidak langsung
masih menjadi tolak ukur untuk mengetahui perbuatan atau sikap mereka,
wajar kiranya persoalan akhlak selalu dikaitkan dengan persoalan sosial
masyarakat, karena akhlak menjadi simbol bagi peradaban suatu bangsa.24
1. Kritik Diri/ Konsep Diri

23
Dr. Abdul Hamid as-Shaid, Usus at-Tarbiyah al-Islamiyyah fi as-Sunnati an-Nabawiyyah, (Libia: Daar Kutub al-
Aroby, 1984), h.666.
24
http://pedulibersamadsmbali.blogspot.com/2013/05/pentingnya-pendidikan-akhlak-islam-html. diakses 20 April 2018.
15

Berpikir mengenai dirinya sendiri adalah aktivitas manusia yang tak


dapat dihindari. Pada umumnya, secara harfiah orang akan berpusat pada
dirinya sendiri.
Agustiani menyatakan konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki
seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman
yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Konsep diri bukan
merupakan faktor bawaan, melainkan berkembang dari pengalaman yang
terus menerus dan terdiferensiasi. Dasar dari konsep diri individu
ditanamkan pada saat-saat dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang
mempengaruhi tingkah lakunya di kemudian hari.25
Dalam hadits dikatakan :

‫ من تاب قبل أن تطلع‬: ‫ قال رسول هللا‬: ‫وعن أبي هريرة قال‬
)‫ (رواه مسلم‬26‫الشمس من مغربها تاب هللا عليه‬
Dari Abu Hurairah berkata : Rasulullah SAW. bersabda : “Barangsiapa
bertaubat sebelum matahari terbit dari barat niscaya Allah menerima
taubatnya.” (H.R. Muslim)

Menurut Jalaludin Rahmad ada dua faktor konsep diri adalah


sebagai berikut :
a. Orang lain
Harry Stack Sullivan menjelaskan bahwa jika kita diterima, dihormati
dan disenangi orang lain karena keadaan diri, maka diri akan cenderung
bersikap menghormati dan menerima diri sendiri. Sebaliknya, jika
orang lain selalu meremehkan, menyalahkan dan menolak kita, maka
kita akan cenderung menolak diri kita.
Orang yang dekat dengan kita mempunyai ikatan emosional. Dari
merekalah secara perlahan-lahan kita membentuk konsep diri kita.

25
Hendriati Agustiani, Psikologi Perkembangan (Pendekatan Ekologi Kaitannya dengan Konsep Diri dan
Penyesuaian Diri pada Remaja). (Refika Aditama: 2009), h.138.
26
Dr. Abdul Hamid as-Shaid, Usus at-Tarbiyah al-Islamiyyah fi as-Sunnati an-Nabawiyyah, (Libia: Daar Kutub al-
Aroby, 1984), h.679.
16

Senyuman, pujian, penghargaan dan pelukan mereka, menyebabkan kita


menilai diri kita secara positif. Sebaliknya, cemoohan, ejejkan dan
hardikan membuat kita memandang diri kita secara negatif.
b. Kelompok Rujukan
Setiap kelompok mempunyai norma tertentu. Ada kelompok yang
secara emosional mengikat kita dan berpengaruh terhadap pembentukan
konsep diri, hal ini disebut kelompok rujukan. Dengan melihat
kelompok ini, orang akan mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan
dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya.27

2. Menata Diri
Manusia pasti kehilangan kendali dan salah arah bila nilai-nilai
spiritual ditinggalkan, sehingga mudah terjerumus ke berbagai
penyelewengan dan kerusakan akhlak. Misalnya melakukan perampasan
hak-hak orang lain, penyelewengan seksual dan pembunuhan.
Nilai-nilai spiritual yang dimaksudkan dalam Islam adalah ajaran
agama yang berwujud perintah, larangan dan ajaran yang semuanya
berfungsi untuk membina kepribadian manusia dalam kaitannya sebagai
hamba Allah serta anggota masyarakat.
Rasulullah SAW. bersabda :

،‫ حفت الجنة بالمكاره‬: ‫ قال رسول هللا‬: ‫وعن أنس بن مالك قال‬
)‫وحفت النار بالشهوات (رواه مسلم‬
Dari Anas bin Malik ia berkata : Rasulullah SAW. bersabda : “Surga itu
diliputi dengan hal-hal yang tidak menyenangkan, dan neraka itu diliputi
hal-hal yang menyenangkan.” (H.R. Muslim)

Imam Al-Ghazali membagi tingkatan keburukan akhlak menjadi


empat macam, yaitu :

27
Rahmat J, Psikologi Komunikasi. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h.100-104.
17

a. Keburukan akhlak yang timbul karena ketidaksanggupan seseorang


mengendalikan nafsunya.
b. Perbuatan yang diketahui keburukannya, tetapi ia tidak bisa
meninggalkannya karena nafsunya sudah menguasai dirinya.
c. Keburukan akhlak yang dilakukan oleh seseorang, karena pengertian
baik baginya sudah kabur, sehingga perbuatan buruklah yang
dianggapnya baik.
d. Perbuatan buruk yang sangat berbahaya terhadap masyarakat pada
umumnya, sedangkan tidak terdapat tanda-tanda kesadaran bagi
pelakunya, kecuali hanya kekhawatiran akan menimbulkan
pengorbanan yang lebih hebat lagi.
Aristoteles menyebutkan bahwa kebahagiaan yang sempurna apabila
ia telah melakukan kebaikan, seperti kebijaksanaan yang bersifat penalaran
dan kebijaksanaan yang bersifat kerja. Dengan kebijaksanaan nalar dapat
diperoleh pandangan-pandangan yang sehat dan dengan kerja dapat
memeperoleh keadaan utama yang menimbulkan perbuatan-perbuatan
yang baik.
Perlu kita ketahui, tujuan pokok akhlak adalah agar setiap muslim
berbudi pekerti, bertingkah laku, berperangai atau beradat-istiadat yang
baik sesuai dengan ajaran Islam.

3. Evaluasi Diri
Setiap manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. baik yang
kejadiannya sempurna ataupun memiliki kelainan dalam dirinya, namun
bukan berarti adanya perbedaan dalam penciptaan tersebut Allah SWT.
membeda-bedakan makhluk-Nya, terbukti dengan adanya kesamaan fitrah
(potensi) yang diberikan kepada semua makhluk yang diciptakan-Nya
sebagai modal utama dalam menjalani hidup untuk supaya dikembangkan
fitrah (potensi) tersebut yaitu salah satu caranya melalui pendidikan dan
pembinaan.
18

Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia yaitu untuk


memperbaiki hubungan makhluq (manusia) dengan khaliq (Allah Ta’ala)
dan hubungan baik antara makhluq dengan makhluq.
Kata “menyempurnakan” berarti akhlak itu bertingkat, sehingga perlu
disempurnakan. Hal ini menunjukkan bahwa akhlak bermacam-macam,
dari akhlak sangat buruk, buruk, sedang, baik, baik sekali hingga
sempurna. Rasulullah sebelum bertugas menyempurnakan akhlak, beliau
sendiri sudah berakhlak sempurna. Perhatikan firman Allah SWT. berikut :
   

4. dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.28

Dalam ayat di atas, Allah SWT. sudah menegaskan bahwa Nabi


Muhammad SAW. mempunyai akhlak yang agung. Hal ini menjadi syarat
pokok bagi siapa pun yang bertugas untuk memperbaiki akhlak orang lain.
Logikanya, tidak mungkin bisa memperbaiki akhlak orang lain kecuali
dirinya sendiri sudah baik akhlaknya.

‫ فان لم يستطع‬،‫ من رأى منكم منكرا فليغيره بيده‬: ‫وقال رسول هللا‬
‫( رواه مسلم‬ 29
‫ فان لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف اإليمان‬،‫فبلسانه‬
)
Rasulullah SAW. bersabda : “Barangsiapa diantara kamu yang melihat
kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan
tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan
lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan
itulah keimanan yang paling lemah.”

28
Q.S. Al-Qalam : 4.
29
Dr. Abdul Hamid as-Shaid, Usus at-Tarbiyah al-Islamiyyah fi as-Sunnati an-Nabawiyyah, (Libia: Daar Kutub al-
Aroby, 1984), h.683.
19

E. Status Etika
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “etika” adalah ilmu
tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral.
Kumpulan asas/nilai yang berkenaan dengan akhlak, nilai mengenai yang
benar dan salah yang dianut masyarakat.”30
Jika diteliti dengan baik, etika tidak hanya sekedar sebuah ilmu tentang
yang baik dan buruk ataupun bukan hanya sekedar sebuah nilai, tetapi lebih
dari itu bahwa etika adalah sebuah kebiasaan yang baik dan sebuah
kesepakatan yang diambil berdasarkan suatu yang baik dan benar.
Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu : “susila (sansekerta), lebih
menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik
(su). Akhlak (Arab), berati moral, dan etika berarti ilmu akhlak.”31
Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis, dan dalam
kajian secara terminologi etika berarti sebuah cabang ilmu yang
membicarakan perbuatan/tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan
yang baik buruk dan yang buruk. Surajiyo mengatakan, “Secara terminologi,
etika adalah cabang ilmu yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan
manusia dalam hubungannya dengan yang baik dan yang buruk. Yang dapat
dinilai baik buruk adalah sikap manusia, yaitu yang menyangkut perbuatan,
tingkah laku, gerakan, kata-kata, dan sebagainya.32
Jadi, etika memiliki sifat kritis sebagai suatu sifat yang mendasar, karena
“Etika mempersoalkan norma-norma yang dianggap berlaku; memiliki dasar
norma-norma itu; mempersoalkan hak dari setiap lembaga, seperti orang tua,
sekolah, negara dan agama untuk memberikan perintah atau larangan yang
harus ditaati.33
Rasulullah SAW. bersabda :

30
Kamus Besar Bahasa Indonesia, s.v. “Etika”
31
http://massofa.wordpress.com/2018/11/17/pengertian-etika-moral-dan-etiket/. Diakses pada tanggal 20 April 2018.
32
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, h.88.
33
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. (Jakarta: Prenada Media, 2008).
20

‫ ما شيء أثقل في ميزان المؤمن يوم‬: ‫عن أبي الدرداء أن النبي قال‬
‫(رواه‬ 34
‫ وأن هللا ليبغض الفاحش البذيء‬،‫القيامة من خلق حسن‬
)‫الترميذي‬
Dari Abu Darda, bahwasanya Nabi SAW. bersabda : “Tidak ada yang lebih
berat pada timbangan amalan seorang hamba pada hari kiamat daripada
akhlak yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala sangat membenci orang yang
kotor perbuatan dan kata-katanya.” (H.R. Tirmidzi)

Dari satu sisi, etika membicarakan suatu fakta yang terkait dengan situasi
dan realitas yang membudaya, ini dinamakan dengan etika deskriptif,
sedangkan menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan
seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh
manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini, merupakan sebuah
penekanan dari etika normatif.

34
Dr. Abdul Hamid as-Shaid, Usus at-Tarbiyah al-Islamiyyah fi as-Sunnati an-Nabawiyyah, (Libia: Daar Kutub al-
Aroby, 1984), h.687.
21

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang
penting, sebagai individu maupun masyarakat dan bangsa, sebab jatuh
bangunnya suatu masyarakat tergantung pada bagaimana akhlaknya. Apabila
baik akhlaknya, maka sejahteralah lahir batinnya, dan apabila rusak
akhlaknya, maka rusaklah lahir batinnya.
Timbulnya kesadaran akhlak dan pendirian manusia terhadap-Nya adalah
pangkalan yang menentukan corak hidup manusia. Akhlak, atau moral, atau
susila adalah pola tindakan yang didasarkan atas nilai mutlak kebaikan.
Hidup susila dan tiap-tiap perbuatan susila adalah jawaban yang tepat
terhadap kesadaran akhlak, sebaliknya hidup yang tidak bersusila dan tiap-
tiap pelanggaran kesusilaan adalah menentang kesadaran itu.
Kesadaran akhlak adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri,
dimana manusia melihat atau merasakan diri sendiri dengan baik dan buruk.
Disitulah manusia harus mampu membedakan halal dan haram, hak dan
bathil, boleh dan tidak boleh dilakukan, meskipun dia bisa melakukan.
Faktor yang diambil dari luar yang mempengaruhi kelakuan atau
perbuatan manusia, yaitu meliputi : keluarga, sekolah/madrasah, taman
sebaya dan masyarakat.
Dalam penjelasan di atas, Allah SWT. sudah menegaskan bahwa Nabi
Muhammad SAW. mempunyai akhlak yang agung. Hal ini menjadi syarat
22

pokok bagi siapa pun yang bertugas untuk memperbaiki akhlak orang lain.
Logikanya, tidak mungkin bisa memperbaiki akhlak orang lain kecuali
dirinya sendiri sudah baik akhlaknya.

B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang pembahasan di
atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat
dipertanggungjawabkan.
23

DAFTAR PUSTAKA

Q.S. Al-Ahzab : 21.


Q.S. Al-Qalam : 4.
Dr. Abdul Hamid as-Shaid, Usus at-Tarbiyah al-Islamiyyah fi as-Sunnati an-
Nabawiyyah, (Libia: Daar Kutub al-Aroby, 1984).
Soleiman, Abjan. Ilmu Akhlak (Ilmu Etika). (Jakarta: Dinas Rawatan Rohani
Islam Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, 1976).
Amin, Ahmad. Kitab Al-Akhlak. (Kairo: Darul Kutub Al-Mishriyah, t.t.).
Alvin, Handling Study Stress. (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2007).
Diane E. Papalia, Human Development (Psikologi Perkembangan), alih bahasa
oleh: Anwar. (Jakarta: Kencana, 2008).
Agustiani, Hendriati. Psikologi Perkembangan (Pendekatan Ekologi Kaitannya
dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja). (Refika
Aditama: 2009).
Anas, Ibrahim. Al Mu’jam Al Wasith. (Mesir: Darul Ma’arif, 1972).
Imam Al Ghozali, Ihya Ulum al Din, jilid III. (Indonesia: Dar Ihya al Kotob al
Arabi, t.t).
Ormrod, Jeanne Ellis. Psikologi Pendidikan : Membantu Siswa Tumbuh dan
Berkembang, terjemahan Wahyu Indianti dkk. (Jakarta: Erlangga, 2008).
Praja, Juhaya S. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. (Jakarta: Prenada Media,
2008).
Kamus Besar Bahasa Indonesia, s.v. “Etika”
24

Dr. Mansur, MA, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009).
Nurdin, Muslim, dkk. Moral dan Kognisi Islam. (Bandung: CV Alfabeta, 1995),
ed.2.
Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi. (Jakarta: Erlangga, 2009), edisi
keenam.
Rahmat J, Psikologi Komunikasi. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007).
Jauhari, Robi Muhammad. Keistimewaan Akhlak Islam.
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010).
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar.
Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, Human Comunication (prinsip-prinsip
dasar), alih bahasa oleh Deddy Mulyana (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000).
Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan. (Jakarta: Kencana, 2011).
Zainuddin, Pendidikan Agama Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 2011).
Zakaria, Pendidikan.
http://massofa.wordpress.com/2018/11/17/pengertian-etika-moral-dan-etiket/.
Diakses pada tanggal 20 April 2018.
http://pedulibersamadsmbali.blogspot.com/2013/05/pentingnya-pendidikan-
akhlak-islam-html. diakses 20 April 2018.

Anda mungkin juga menyukai