Dosen Pengampu:
Rini Elvri, S.Ag.M.Pd.I
Disusun Oleh:
Segala puji hanya bagi Allah SWT, Tuhan yang telah memberikan segala
karunia dan nikmat kepada hamba-Nya sehingga hamba-Nya harus tunduk dan
menyembah-Nya dengan penuh ketaatan. Seuntai kalimat syukur penulis
panjatkan keharibaan Allah SWT, yang berkat rahmat dan pertolongan-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah yang sangat sederhana ini. Shalawat dan
salam keberkahan semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi kita, Muhammad Saw,
kepada keluarganya dan sahabatnya hingga kita sebagai umatnya. Selanjutnya,
makalah yang berjudul ”Macam-macam Akhlak Pribadi'' ini merupakan aktualisasi
dari penulis dalam memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Ibu Rini Elvri.
Penulis menyadari akan kekhilafan dan kekurangan dalam pembahasan atau dalam
penuturan bahasanya. Oleh karenanya penulis berharap sumbangan kritik yang
kontruktif dari para pembaca demi perbaikan di masa mendatang. Atas
partisipasinya semoga Allah SWT. senantiasa memberikan imbalan yang setimpal.
Amin ya robbal 'aalamin.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Memahami akhlaq merupakan masalah fundamental dalam islam, karena
akhlaq merupakan salah satu hal yang pokok dalam ajaran islam. Akan tetapi
seiring perkembangan zaman, akhlak sudah mulai luntur dari pribadi individu-
individu yang ada. Karena akhlaq merupakan hal yang penting maka seseorang
perlu untuk memahami hakikat akhlaq yang sebenarnya dan bagaimana
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang sudah memahami
akhlaq dan menghasilkan kebiasaan hidup yang baik, maka akhlaq sudah merasuk
dan tertanam pada seseorang tersebut. Akhlaq merupakan kelakuan yang timbul
dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan
yang menyatu, membentuk suatu kesatuan tindakan akhlaq yang dihayati dalam
kenyataan hidup keseharian. Semua yang telah dilakukan itu akan melahirkan
perasaan moral yang terdapat di dalam diri manusia itu sendiri sebagai fitrah,
sehingga ia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Akhlaq?
2. Bagaimana pengaruh Akhlaq terhadap diri pribadi?
3. Apa saja macam-macam Akhlaq pribadi?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengetahuan Akhlaq
2. Mengetahui pengaruh Akhlaq terhadap diri pribadi
3. Mengetahui macam-macam Akhlaq pribadi
BAB II
PEMBAHASAN
“sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan tang baik
bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamta dan yang banyak menyebut Allah”
Meskipun kata akhlak berasal dari Bahasa Arab, tetapi kata akhlak tidak terdapat di
dalam Al Qur'an. Kebanyakan kata akhlak dijumpai dalam hadist. Satu-satunya
kata yang ditemukan semakna, akhlak dalam al Qur'an adalah bentuk tunggal, yaitu
khuluq, tercantum dalam surat al Qalam ayat 4:
Shidiq
Shidiq artinya benar atau jujur. Seorang muslimin dituntut untuk selalu
berada dalam keadaan yang benar baik lahir dan batin, baik benar dalam hati,
benar perkataan dan benar perbuatan.
Firman Allah SWT :
ُّ صدِّيقِينَ َو
َّ الش \هَدَا ِء َو
َالص\\الِ ِحين \َ ُول فَُأولَِئ
ِّ ك َم َع الَّ ِذينَ َأ ْن َع َم هَّللا ُ َعلَ ْي ِه ْم ِمنَ النَّبِيِّينَ َوال َ َو َم ْن يُ ِط ِع هَّللا َ َوال َّرس
َو َحسُنَ ُأولَِئكَ َرفِيقًا
Artinya: Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu:
Nabi-nabi, Para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang
saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. An-Nisa’ : 69).
َّ ت َو
َالص \ابِ ِرين \ِ الص \ا ِدقَاَّ الص \ا ِدقِينَ َو
َّ ت َو ِ ت َو ْالقَ\\انِتِينَ َو ْالقَانِتَ\\ا \ِ ت َو ْال ُم\ ْؤ ِمنِينَ َو ْال ُمْؤ ِمنَ\\ا
ِ ِإ َّن ْال ُم ْس \لِ ِمينَ َو ْال ُم ْس \لِ َما
َ ت َو ْال َح\\افِ ِظينَ فُ \ر
ُوجهُ ْم َّ الص \اِئ ِمينَ َو
ِ الص \اِئ َما َّ ت َو َ ََص ِّدقِينَ َو ْال ُمت
\ِ ص ِّدقَا َ ت َو ْال ُمت\ِ ت َو ْالخَا ِش ِعينَ َو ْالخَا ِش َعا ِ َوالصَّابِ َرا
ِ ت َأ َع َّد هَّللا ُ لَهُ ْم َم ْغفِ َرةً َوَأجْ رًا ع
َظي ًما \ِ َو ْال َحافِظَا
ِ ت َوال َّذا ِك ِرينَ هَّللا َ َكثِيرًا َوال َّذا ِك َرا
Artinya: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya,
laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-
laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-
laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al-
Ahzab : 35).
Amanah
“Amanah”, artinya dapat dipercaya. Ini berarti para rasul setia menjalani
segala perintah Allah yang diberikan padanya. Allah swt menunjuk para nabi dan
rasul untuk membimbing umat manusia kepada jalan yang benar. Tugas dan
kepercayaan ini harus diselesaikan sebelum ajal menjemput mereka.
Rasulullahbersabda:
(( َو ِعفَّةٌ فِي طُ ْع َم\\ ٍة، َو ُحسْنُ خَ لِيقَ ٍة،ث ِ َو، ِح ْفظُ َأ َمانَ ٍة:ك َما فَاتَكَ ِمنَ ال ُّد ْنيَا
ُ ص ْد
ٍ ق َح ِدي َ ))َأرْ بَ ٌع ِإ َذا ُك َّن فِي
َ فَالَ َعلَ ْي،ك
“Ada empat hal yang jika ada padamu, maka apa saja bagian dunia yang hilang
darimu tidak akan berbahaya bagimu: menjaga amanah, jujur berbicara, baik
fisik, dan menjaga makanan.”
Lawannya adalah “khianat”, artinya tidak setia. Khianat adalah sifat munafik yang
dibenci oleh Allah apalagi jika yang dikhianati adalah Allah atau Rasulnya. Dalam
firman Allah : “ Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu menghianati
Allah, dan rosul dan juga janganlah kamu menghianati amanh-amanah yang
dipercayakan kepada kamu, sedangkan kamu mengetahuinya.” ( Qs. Al anfal 8 :
27 )
Istiqomah
Secara etimologis, istiqomah berasal dari istiqoma-yastaqimu yang berarti
tegak lurus. Dalam terminologi akhlak istiqomah adalah sikap teguh dalam
mempertahankan keimanan dan keislaman sekalipun menghadapi berbagai macam
rintangan dan godaan.Perintah dalam beristiqomah dinyatakan dalam al-Aquran
dan sunnah : “Maka karna itu serulah (mereka kepada agama itu) dan
istiqomahlah sebagaimana diperintahkan kepadamu janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka.” (Qs. Asy Sura:42:15).
Iman yang sempurna adalah iman yang mencakup tiga dimensi yaitu hati,
lisan dan amal perbuatan. Seorang yang beriman harus dapat beristiqomah dalam
tiga dimensi tersebut. Ibarat berjalan seorang yang beristiqomah akan selalu
berjalan kepada yang lurus yang cepat alam menghantarkan tujuan. Hal ini
tercermin dalam perkataan dan perbuatanya yang benar untuk mensucikan hati dan
dirinya. Tentulah orang yang berisitiqomah akan mengalami beberapa ujian dari
Allah.
Istiqomah itu mengundang karomah, kemuliaan para kekasih Allah, ciri
khasnya ada dua:
Yakin
Orang yang istiqomah itu haqqul yakiin, Allah akan menurunkan malaikat
yang buahnya adalah derajat kekasih Allah dalam situasi apapun, sekalipun jiwa
taruhannya, dia tenang. Tenang ini tidak bisa diminta dari orang, tidak bisa dibeli.
Tenang itu milik Allah.
“Huwalladzi andzala sakiinah fii qulubil mu’miniin,” Dialah Allah yang
menurunkan sakinah di hati orang yang beriman.
Orang yang dikaruniai ketenangan, jernih dalam segala kondisi itulah Rasulullah,
para sahabat, para ulama yang benar-benar pecinta Allah. Orang yang istiqomah
akan tidak ada takutnya dan tidak sedih dengan dunia berikut isinya.
Mendapat Keutamaan
“Sesungguhnya orang yang mengatakan, Tuhan kami adalah Allah,
kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan mereka tiada (pula) berduka cita. Merekalah orang-orang yang mewarisi surga,
kekal didalamnya sebagai balasan apa yang sudah dilakukan.” (QS Al- Ahqof: 13-
14)
Berikut ini merupakan cara-cara agar kita sebagai manusia tetap beristiqomah,
yaitu :
1. Menjiwai syahadat
2. Pelajari ibadah yang paling membuat kita nyaman dan memahami ilmunya
dengan baik
3. Pelajari dalil (ibadahnya) dengan baik dan amalkan
4. Tidak bosan bertaubat
Pengamalan dalam kehidupan sehari-hari:
1. Tidak mengumbar aib orang lain
2. Bersikap saling menolong
3. Tetap pada pendirian atau keputusan yang telah diyakini
4. Menutupi aurat
Iffah
Secara bahasa, ‘iffah adalah menahan. Adapun secara istilah; menahan diri
sepenuhnya dari perkara-perkara yang Allah haramkan. Dengan demikian, seorang
yang ‘afif adalah orang yang bersabar dari perkara-perkara yang diharamkan
walaupun jiwanya cenderung kepada perkara tersebut dan menginginkannya.
Allah saw berfirman: “Dan orang-orang yang belum mampu untuk menikah
hendaklah menjaga kesucian dirinya sampai Allah menjadikan mereka mampu
dengan karunia-Nya.” (An-Nur: 33) Termasuk dalam makna 'iffah adalah
menahan diri dari meminta-minta kepada manusia.
Allah Swt berfirman: "Orang yang tidak tahu menyangka mereka itu adalah
orang-orang yang berkecukupan karena mereka ta’affuf ." (QS. AL Baqarah: 273)
Dari kedua ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa iffah adalah menahan diri dalam
menjaga kesucian diri dan menhan diri dari perbuatan meminta-minta.
'Iffah merupakan akhlaq paling tinggi dan dicintai Allah Swt. Oleh sebab
itulah sifat ini perlu dilatih sejak anak-anak masih kecil, sehingga memiliki
kemampuan dan daya tahan terhadap keinginan-keinginan yang tidak semua harus
dituruti karena akan membahayakan saat telah dewasa. Dari sifat 'iffah inilah akan
lahir sifat-sifat mulia seperti: sabar, qana'ah, jujur, santun, dan akhlak terpuji
lainnya. Pentingnya sifat'Iffah ini ditanamkan dalam diri seorang muslim karena ia
merupakan perintah agama yang banyak memberikan kebaikan serta keutamaan
bagi seseorang yang memilikinya, diantara beberapa keutamaan itu adalah:
1. Meraih pahala yang besar di akhirat
2. Mendapatkan ketenangan hati dan kenikmatan besar di dunia
3. Memberi jalan keluar dari kesukaran dan kesulitan
Cara menanamkan dan mendididik sifat 'iffah dalam diri seorang muslim:
1. Membekali diri dengan ketaqwaan kepada Allah
2. Membentengi diri dengan rasa malu
3. Menundukkan pandangan atau ghadhul basher
4. Menjauhi tempat-tempat yang menimbulkan fitnah
Mujahadah
Mujahadah berasal dari kata bahasa Arab yang mempunyai makna berjuang.
Mujahadah adalah titik tolak yang juga merupakan permulaan baagi insan sebelum
mencapai ke tingkat selanjutnya. Antara mujahadah yang paling asas adalah
berusaha untuk mencari dan menuntut ilmu dari pada guru yang mursyid. Syarat
untuk mujahadah mestilah seseorang yang ikhlas dan bersungguh-sungguh karena
Allah SWT dan bukan karena sebab-musabab lain. Disepanjang mujahadahnya
dengan seorang guru itu tentunya diperuntukkan akan nasehat, petuah, kaedah, dan
amalan untuk dipegang dan diamalkan sepanjang perjalanannya menuju pada alam
ketuhanan. Berpegang dan beramal secara berterusan juga dianggap sebagai
mujahadah. Bagi orang awam, menunaikan segala perintah dan menjauhi segala
larangan Allah ta'ala secara istiqomah juga termasuk dalam kategori mujahadah,
segala usaha demi mengejar keridhoan Allah termasuk kedalam golongan
mujahadah.
Mujahadah bisa diartikan perjuangan batiniah menuju kedekatan diri kepada
Allah SWT, dan ada juga yang mengartikan dengan perjuangan melawan diri
sendiri, yakni melawan kekuatan pengaruh hawa nafsu yang menghambat
seseorang untuk sampai kepada martabat utama, yakni “puncak ketaqwaan”.
Mujahadah bisa dianggap sebagai kelanjutan dari jihad dan ijtihad.
Seperti firman Allah yang termaktub dalam QS Ali Imron: 102.
Macam-macam Mujahadah
Macam-macam mujahadah antara lain:
Mujahadah Yaumiyah adalah mujahadah yang dilakukan secara berjamaah
yang dilaksanakan setiap hari.
Mujahadah Usbu'iyyah Adalah mujahadah yang dilakukan secara berjamaah
yang dilaksanakan seminggu sekali.
c) Mujahadah Syahriyah adalah mujahadah yang dilakukan secara
berjamaah dan dilaksanakan sebulan sekali.
Mujahadah Ru'busanah adalah mujahadah yang dilakukan secara berjamaah
dan dilaksanakan tiga bulan sekali.
e) Mujahadah Nishfusana adalah mujahadah yang dilakukan secara
berjamah dan dilaksanakan setengah tahun sekali.
f) Mujahadah Kubro adalah mujahadah besar-besaran yang dilakukan dalam
bulan muharram dan bulan rojab dalam lingkungan pusat.
g) Mujahadah Khusus adalah mujahadah yang dilakukan secara khusus,
misalnya niat sebelum melaksanakan perkerjaan yang baik.
h) Mujahadah Non stop adalah mujahadah yang dilakukan secara terus
menerus dalam waktu yang mujahadah yang sudah ditentukan.
i) Mujahadah Momenti/Waktiya adalah mujahadah yang dilaksanakan pada
waktu tertentu yang diintruksikan oleh pengurus pusat.
Syaja’ah
Asy-syaja’ah (keberanian) adalah salah satu ciri yang dimiliki orang yang
istiqamah di jalan Allah, selain ciri-ciri berupa al-ithmi’nan (ketenangan) dan at-
tafaul (optimisme).
Jadi orang yang istiqamah akan senantiasa berani, tenang dan optimis karena yakin
berada di jalan yang benar dan yakin pula akan dekatnya pertolongan Allah.
Namun memang tak mudah untuk menjadi orang yang istiqamah atau teguh
pendirian memegang nilai-nilai kebenaran dan senantiasa berada di jalan Allah.
Rasulullah saw. memahami benar makna istiqamah yang sesungguhnya sampai
ketika Abu Sufyan bertanya hal terpenting apa dalam Islam yang membuatnya tak
perlu bertanya lagi, beliau menjawab, “Berimanlah kepada Allah dan kemudian
beristiqamahlah (terhadap yang kau imani tersebut)”. Di kesempatan lain,
Rasulullah saw. juga mengatakan tantangan buat orang yang istiqamah memegang
Islam di akhir zaman, begitu berat laksana menggenggam bara api.
Kisah yang tak kalah mencengangkannya terlihat pada peristiwa pembakaran Nabi
Ibrahim a.s. Rasa takut thabi’i terhadap api dan terbakar olehnya teratasi oleh rasa
takut syar’i yakni takut kepada Allah saja. Dan subhanallah, pertolongan Allah
datang dengan perintah Nya kepada api agar menjadi dingin dan sejuk serta
menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s. Keberanian, ketawakalan dan kepasrahan pada
Allah yang membuahkan pertolonganNya juga terlihat pada saat Rasulullah
Muhammad SAW bersama sahabat setianya Abu Bakar Ash-Shidiq berada di gua
Tsur untuk bersembunyi dalam rangka strategi hijrah ke Yatsrib (Madinah).
Kaki-kaki musuh yang lalu lalang tidak menggetarkan Rasulullah dan ketika Abu
Bakar begitu mengkhawatirkan keselamatan Rasulullah SAW, beliau
menenangkannya dengan berkata, “Jangan takut, sesungguhnya Allah bersama
kita” (QS 9: 40). Dan ternyata terbukti Allah Taala memberikan pertolongan
melalui makhluk-makhluk-Nya yang lain. Burung merpati yang secara kilat
membuat sarang, begitu pula laba-laba di mulut gua, membuat musyrikin Quraisy
yang mengejar yakin gua itu tak mungkin dilalui oleh manusia.
Macam-macam Syaja’ah
Syaja’ah atau pemberani tentu saja berbeda dengan bersikap nekat,
“ngawur” atau tanpa perhitungan dan pertimbangan. Asy-syaja’ah adalah
keberanian yang didasari pertimbangan matang dan penuh perhitungan karena
ingin meraih ridha Allah. Dan untuk meraih ridha Allah, tentu saja diperlukan
ketekunan kecermatan dan kerapian kerja (itqan). Buka keberanian yang tanpa
perhitungan, namun juga bukan terlalu perhitungan dan pertimbangan yang
melahirkan ketakutan. Paling tidak ada beberapa macam bentuk asy-syaja’ah
(keberanian), yakni:
4. Mengakui kesalahan
Salah satu orang yang memiliki sifat pengecut adalah tidak mau mengakui
kesalahan, mencari kambing hitam dan bersikap “lempar batu, sembunyi tangan”
Sebaliknya orang yang memiliki sifat syaja’ah berani mengakui kesalahan, mau
meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan dan bertanggung jawab.
Tawadhu
Secara etimologi, kata tawadhu berasal dari kata wadh'a yangberarti
merendahkan, serta juga berasal dari kata “ittadha'a” dengan arti merendahkan diri.
Disamping itu, kata tawadhu juga diartikan dengan rendah terhadap sesuatu.
Sedangkan secara istilah, tawadhu adalah menampakan kerendahan hati kepada
sesuatu yang diagungkan. Bahkan, ada juga yang mengartikan tawadhu sebagai
tindakan berupa mengagungkan orang karena keutamaannya, menerima kebenaran
dan seterusnya.Pengertian Tawadhu Secara Terminologi berarti rendah hati, lawan
dari sombong atau takabur.
Tawadhu menurut Al-Ghozali adalah mengeluarkan kedudukanmu atau kita
dan menganggap orang lain lebih utama dari pada kita.
Tawadhu menurut Ahmad Athoilah adalah sesuatu yang timbul karena melihat
kebesaran Allah, dan terbukanya sifat-sifat Allah.
Tawadhu yaitu perilaku manusia yang mempunyai watak rendah hati, tidak
sombong, tidak angkuh, atau merendahkan diri agar tidak kelihatan sombong,
angkuh, congkak, besar kepala atau kata-kata lain yang sepadan dengan tawadhu.
Tawadhu artinya rendah hati, tidak sombong, lawan dari kata sombong. Yaitu
perilaku yang selalu menghargai keberadaan orang lain, perilaku yang suka
memuliakan orang lain, perilaku yang selalu suka mendahulukan kepentingan
orang lain, perilaku yang selalu sukamenghargai pendapat orang lain.
Tawadhu artinya rendah hati, lawan dari kata sombong atau takabur. Orang
yang rendah hati tidak memandang dirinya lebih dari orang lain, sementara orang
yang sombong menghargai dirinya secara berlebihan. Rendah hati tidak sama
dengan rendah diri, karena rendah diri berarti kehilangan kepercayaan diri.
Sekalipun dalam praktiknya orang yang rendah hati cenderung merendahkan
dirinya dihadapan orang lain, tapi sikap tersebut bukan lahir dari rasa tidak percaya
diri. Sikap tawadhu terhadap sesama manusia adalah sifat mulia yang lahir dari
kesadaran akan ke-mahakuasa-an Allah SWT atas segala hamba-Nya. Manusia
adalah makhluk lemah yang tidak berarti apa-apa di hadapan Allah SWT. Manusia
membutuhkan karunia, ampunan dan rahmat dari Allah. Tanpa rahmat, karunia dan
nikmat dari Allah SWT, manusia tidak akan bisa bertahan hidup, bahkan tidak
akan pernah ada diatas permukaan bumi ini.
Orang yang tawadhu menyadari bahwa apa saja yang dia miliki, baik bentuk
rupa yang cantik atau tampan, ilrnu pengetahuan, harta kekayaan, maupun pangkat
dan kedudukan dan lain-lain sebagainya, semuanya itu adalah karunia dari Allah
SWT. Allah SWT berfirman dalam Q.S An-Nahl : 53, yang artinya: “Dan apa saja
nikmat yang ada pada kamu, maka adalah ia dari Allah (datangnya), dan bila kamu
ditimpa oleh kesusahan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.”
Dengan kesadaran seperti itu sama sekali tidak pantas bagi dia untuk
menyombongkan diri sesama manusia, apalagi menyombongkan diri terhadap
Allah SWT. Dari beberapa definisi diatas, sikap tawadhu itu akan membawa jiwa
manusia kepada ajaran Allah, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Membimbing dan membawa manusia untuk menjadi seorang yang ikhlas,
menerima apa adanya. Membawa manusia ke suatu tempat dimana berkumpulnya
orang-orang yang ikhlas menerima apa adanya. Sehingga tidak serakah, tamak, dan
untuk selalu berperilaku berbakti kepada Allah, taat kepada Rasul Allah, dan cinta
kepada makhluk Allah. Apabila perilaku manusia sudah seperti ini maka ia disebut
bersikap tawadhu.
a. Bersyukur
Bersyukur dengan apa yang kita punya karena itu semua adalah dari Allah, dengan
pemahamannya tersebut maka tidak pernahterbesit sedikitpun dalam hatinya
kesombongan dan merasa lebihbaik dari orang lain.
b. Menjauhi Riya
Lawan ikhlas adalah riya‟, yaitu melakukan sesuatu bukan karena Allah, tetapi
karena ingin dipuji atau karena pamrih. Kita harus menjauhi riya atau berusaha
mengendalikan diri untuk tidak menampakan kelebihan yang kita miliki kepada
orang lain. Karena itu juga yang akan membuat kita jadi sombong dan tinggi hati.
c. Sabar
Menahan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridho Allah,
atau bersabar dalam segala cobaan dan godaan yang berusaha mengotori amal
kebaikan kita, apalagi disaat pujian dan ketenaran mulai datang dan menghampiri
kita, maka akan merasa sulit bagi kita untuk tetap menjaga kemurnian amal sholeh
kita, tanpa terbesit adanya rasa bangga di hati kita.
d. Hindari sikap takabur
Lawan dari sikap tawadhu adalah takabur atau sombong, yaitusikap menganggap
diri lebih, dan meremehkan orang lain. Kita harus bisa menghindari sikap takabur,
karena biasanya orang sombong akan menolak kebenaran, kalau kebenaran itu
datang dari pihak yang statusnya dianggap lebih rendah dari dirinya.
Ciri-ciri Tawadhu
Sikap tawadhu itu merupakan sikap rendah hati yang diwujudkandalam
beberapa tindakan-tindakan nyata sebagai berikut :
a. Salah satu sikap tawadhu dapat ditunjukkan pada saat kita berdoakepada Allah.
Saat berdoa, seseorang dapat dikatakan tawadhu apabila ada rasa takut (khauf) dan
penuh harap kepada Allah SWT. Jika seseorang berdoa dengan rasa takut kepada
Allah SWT, maka ia pasti tidak akan berdoa dengan sembarang cara. Etika dalam
berdoa pasti akan dilakukannya dengan cara yang benar. Demikian pula, seseorang
yang berdoa dengan penuh harap maka ia akan selalu optimis, penuh keyakinan
dan istiqamah dalam memohon. Ia yakin bahwa tidak ada yang bisa memenuhi
semua keinginannya kecuali dengan pertolongan Allah, sehingga perasaan ini tidak
akan menjadikannya sombong dan angkuh.
b. Tawadhu juga berkaitan dengan sikap baik kita kepada orangtua dan orang lain.
Kepada orangtua, kita bersikap penuh hormat dan patuh terhadap perintah-
perintahnya. Jika mereka memerintahkan kepada hal-hal yang positif, kita berusaha
memenuhinya sekuat tenaga.
Sebaliknya, jika orangtua memerintahkan kita kepada hal yang buruk, maka kita
berusaha menolaknya dengan cara ramah. Kepada orang lain sikap tawadhu juga
bisa ditunjukan dengan memperlakukan mereka secara manusiawi, tidak menyakiti
mereka, berusaha membantu dan menolong mereka, serta menyayangi mereka
sebagaimana kita menyayangi diri sendiri. Selain itu, memuliakan orang lain atau
menganggap mulia orang lain dalam batas-batas yang wajar merupakan bagian dari
sikap-sikap tawadhu. Sebab dengan memuliakan orang lain itulah, kita bisa
menekan keinginan untuk menyombongkan diri sendiri.
c. Seseorang dapat belajar sikap tawadhu salah satunya dengan berusaha tidak
membangga-banggakan diri dengan apa yang kita miliki. Sikap membanggakan
diri sangat dekat dengan kesombongan. Sementara, kesombongan itu merupakan
lawan daripada tawadhu. Dengan demikian, berusaha menahan diri dari sikap
membangga-banggakan diri secara berlebihan akan memudahkan seseorang untuk
menjadi pribadi-pribadi yang tawadhu.
Macam-macam Tawadhu
Proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah proses transformasi ruhani
dari guru kepada murid. Karena itu kelancaran dan efektifitasnya sangat ditentukan
oleh kualitas hubungan ruhaniah antara keduanya. Semakin akrab hubungan ruhani
antara keduanya, maka semakin efektif transformasi ruhani yang terjadi, berarti
semakin maksimal penularan ilmu antara keduanya.
Syaikh Az Zarnuji dalam kitabnya yang berjudul Ta'limul Muta'allim membagi
sikap tawadhu atau sikap rendah diri dalam 3 hal, yaitu :
(1) Tawadhu pada guru
(2) Tawadhu pada Ulama
(3) Tawadhu terhadap sesama teman belajar.
Sedangkan menurut Khozin Abu Faqih dalam bukunya yang berjudul Tangga
Kemuliaan Menuju Tawadhu, ada beberapa jenis Tawadhu yaitu:
(1) Tawadhu kepada Allah. Berupa sikap merasa rendah diri dihadapan
Allah yang Maha Mulia. Perasaan rendah diri dihadapan Allah merupakan sikap
terpuji yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya.
(2) Tawadhu kepada Rasulullah. Yaitu mengikuti ajaran dan teladan
Rasulullah, tidak mengada-adakan suatu ibadah sendiri, tidak menganggap kurang
apa yang telah diajarkan beliau dan tidak menganggap diri lebih utama dari beliau.
(3) Tawadhu kepada Agama. Dalam hal ini, dibagi menjadi tiga tingkatan.
Pertama, tidak memprotes apa yang dibawa oleh Rasulullah. Kedua, Tidak
berburuk sangka kepada dalil Agama. Dan yang ketiga, Tidak mencari-cari jalan
untuk menyalahi dalil. Sedangkan jenis Tawadhu yang keempat adalah Tawadhu
kepada sesama hamba Allah. Yaitu sikap lemah lembut, kasih sayang, saling
menghormati, saling menghargai, saling memberi dan menerima nasihat, dan
seterusnya.
Dari beberapa pendapat diatas, dalam hal ini peneliti hanya akan membahas
tentang sikap tawadhu yang diungkapkan oleh Syaikh Az Zarnuji dalam kitabnya
yang berjudul Ta'limul Muta'allim yaitu tawadhu kepada guru, tawadhu kepada
ulama‟ dan tawadhu kepada sesama teman.
Dalam ini peneliti akan menjelaskan perbedaan Guru dan Ulama. Kata guru
berasal dari bahasa Indonesia yang berarti orang yang mengajar atau orang yang
memberi pelajaran. Selain itu guru juga bisa diartikan sebagai tutor, yakni guru
pribadi, educator, pendidik, ahli didik, lecture.
Adapun Ulama itu bukan hanya orang yang memiliki pengetahuan agama yang
luas dan mendalam saja, melainkan juga seorang ilmuan yang menguasai ilmu
sosial politik ekonomi dan lain sebagainya. Namun, belakangan dunia Islam
mengkhususkan istilah Ulama hanya bagi orang-orang yang hanya memiliki
pengetahuan agama yang luas dan mendalam saja.
Malu
1. Secara bahasa: "Menahan diri dari sesuatu yang buruk dan
meninggalkannya karena takut celaaan". Imam Fakhrurrazi berkata: Malu adalah
perubahan dan perbuatan meninggalkan sesuatu karena takut akan aib dan tercela,
asal katanya dari hayat (kehidupan). Lawannya sikap malu adalah cuek dan tidak
tahu malu, yaitu orang yang mengerjakan perbuatan munkar dengan berani dan
orang yang berkata dengan perkataan munkar secara blak-blakan dan tidak
memandang orang lain, dua hal ini adalah sikap terang-terangan dalam kejahatan,
Rasulullah SAW bersabda: "Seluruh ummatku akan dimaafkan, kecuali orang-
orang yang terang-terangan (dalam melakukan perbuatan mungkar)"
2. Secara Istilah: malu adalah: Hal yang sesuai dengan syariat, baik
pengukuhan atau peniadaan. Malu adalah akhlak yang menyebabkan seseorang
meninggalkan keburukan dan tidak mengambil hak orang lain. Dikatakan: malu
adalah meninggalkan segala hal yang dianggap buruk oleh akal dan terasa jelek
oleh perasaan yang baik dan diingkari oleh pencipta dan makhluk.
Imam Nawawi menjelaskan tentang hadits ini : Sesungguhnya hadits ini mencakup
semua hukum-hukum Islam, yaitu dengan perincian bahwa hal-hal yang
diperintahkan, baik itu wajib atau sunnah, orang akan malu untuk
meninggalkannya. Dan hal-hal yang dilarang oleh agama, baik itu haram ataupun
makruh, seorang muslim akan malu melakukannya. Adapun hal yang mubah, maka
boleh ditinggalkan dan boleh dilakukan, maka hadits ini mencakup seluruhnya
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata : "sifat malu merupakan akhlaq yang paling
utama dan mulia, paling banyak manfaatnya dan paling tinggi derajatnya, bahkan
ia adalah sifat dasar manusia, maka barangsiapa yang tidak memiliki rasa malu ,
maka ia hanya merupakan daging dan darah dan bentuk fisik saja, tidak memiliki
kebaikan. Karena bila tidak ada rasa malu, maka seorang manusia tidak akan
memuliakan tamu, tidak menepati janji, tidak menunaikan amanah, tidak
memperdulikan kebutuhan orang lain, tidak memperdulikan keindahan, tidak
menjauhi hal yang buruk, tidak menutup aurat, dan tidak menjauhi perbuatan keji.
Bila tidak ada rasa malu, maka banyak manusia yang tidak melakukan
kewajibannya, juga tidak memberi hak bagi makhluk lain, tidak menyambung
silaturrahim, tidak menghormati orang tua, dan sebagainya, karena dorongan
semua perbuatan ini, adalah antara faktor keagamaan, yaitu mencari ganjaran yang
baik, maupun factor duniawi, yaitu sifat malu dari orang yang mengerjakannya.
Telah terbukti bahwa dengan tidak ada rasa malu, baik kepada sang pencipta
maupun kepada sesama makhluk, ia tidak akan mengerjakannya.
Sesungguhnya manusia memiliki dua dorongan dan larangan : dorongan dan
larangan dari sisi malu, bila dorongan ini ditaati maka ia akan menahan diri dari
berbuat seenaknya, dan dorongan serta larangan dari sisi hawa nafsu. Maka
barangsiapa yang tidak mentaati dorongan dan larangan sifat malu, maka ia akan
mengikuti dorongan syahwat dan hawa nafsu."
Pembagian Malu
Malu terdapat dua macam: Sifat asli secara alami, dan yang dihasilkan
melalui kebiasaan, sama seperti akal / kecerdasan yang berupa bawaan atau hasil
usaha. Seorang bijak mengatakan: Aku melihat akal ada dua macam bawaan dan
yang dihasilkan. Maka yang dihasilkan tidak bermanfaat bila tidak ada bawaan.
Sebagaimana mata tidak bermanfaat bila tidak ada cahaya matahari.
Nabi SAW terdapat pada beliau kedua jenis malu ini, beliau memiliki sifat malu
bawaan yang sangat besar, dan dalam malu yang diusahakan beliau ada pada
puncak tertinggi. Bila jiwa seorang manusia kosong dari malu yang diusahakan,
dan hatinya tidak memiliki malu bawaan, maka tidak ada yang menghalanginya
dari melakukan perbuatan buruk, dan ia menjadi seperti orang yang tidak beriman
dari jin dan manusia. Oleh karena itulah Rasulullah bersabda "Bila tidak malu
maka berbuatlah sesukamu".
B. Bila engkau dalam perbuatanmu merasa aman dan tidak malu dan bukan
merupakan perbuatan yang tercela, maka lakukanlah sesukamu.
C. Hadits ini mengandung celaan, yaitu perbuatanmu yang tidak tahu malu itu
lebih buruk daripada keburukan yang kau kerjakan, Ibnu Sayyidah berkata : Hadits
ini bermakna bahwa orang yang tidak malu mengerjakan sesukanya, merupakan
celaan bagi orang yang berbuat seperti itu , bukan merupakan perintah untuk
berbuat sesukanya.
Macam-macam Malu
1. Malu terhadap Allah
Ini merupakan tingkatan malu yang tertinggi, dan paling besar pahalanya disisi
Allah ta'ala, yaitu dengan : Mensyukuri ni'mat Allah kepada manusia, yang
dinikmati oleh seluruh panca indranya dan seluruh tubuhnya yang sehat, bersyukur
akan ni'mat Allah berupa harta, anak, dan istri yang shalihah, sehingga ia
mendapatkan dalam jiwa dan akalnya bahwa ni'mat-ni'mat ini mewajibkan malu
kepada Allah, hendaknya ia selalu bersyukur kepadaNya atas semua
pemberianNya yang tidak terhitung dan tidak dapat dibandingkan dengan
perbuatan atau perkataan apapun.
Hendaknya nikmat Allah digunakan sebaik-baiknya dan tidak digunakan untuk
maksiat yang mendatangkan murka Allah dan menyebabkan azabNya. Malu
kepada Allah juga dilakukan dengan melakukan perintah-perintah Allah dan
menjauhi laranganNya, dimana hal ini merupakan inti dari taqwa. Nabi telah
mengisyaratkan bahwa ini adalah malu yang sebenarnya, dari Abdullah bin Mas'ud
RA, Rasulullah SAW bersabda : "Malulah kepada Allah Azza wa Jalla sebenar-
benarnya malu" kami berkata : "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami malu,
Alhamdulillah", Rasulullah bersabda :
"Bukan seperti itu, akan tetapi malu kepada Allah yang sebenar-benarnya adalah
menjaga kepalamu dan apa yang dipikirkannya perut dan isinya, dan hendaklah
kau mengingat mati dan cobaan, dan barangsiapa yang menginginkan akhirat maka
ia akan meninggalkan kemewahan dunia. Orang yang melakukan hal ini maka
sesungguhnya ia telah malu kepada Allah dengan Malu kepada Allah SWT juga
tampak dari kuatnya agama dan benarnya keyakinan, yang diisyaratkan oleh
Rasulullah SAW dengan perkataan beliau kepada orang yang berkata kepada
beliau: "Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat" , beliau bersabda :
"Aku berwasiat kepadamu untuk malu kepada Allah Azza wa Jalla sebagaimana
engkau malu terhadap kaummu yang shalih."
Bila malu menipis dan keyakinan melemah, maka akan banyak pelanggaran akan
perintah Allah dan hilang ikatan Iman, sebagaimana dikatakan bahwa : "Malu itu
peraturan Iman, bila suatu peraturan hilang, maka hancurlah ia"
Sebagian salaf berkata : "takutlah kepada Allah sesuai kuasaNya atasmu, dan
malulah kepadanya karena dekatnya Ia darimu"
2. Malu kepada manusia
Malu kepada manusia disini bukan dimaksudkan munafik atau Riya', akan tetapi ia
menunjukkan akhlak dan ingin disebut baik dan dihormati oleh manusia, yang juga
merupakan bentuk amar ma'ruf nahi munkar. Malu terhadap sesama manusia
diwujudkan dengan tidak menyakiti dan membahayakan mereka, serta keluarga
dan harta benda mereka,. selayaknya berbuat baik kepada mereka kita ingin
diperlakukan seperti itu. Juga dengan tidak menyebarkan keburukan dan dosa. Bila
seseorang tidak peduli akan penghormatan orang lain dan tidak punya malu, maka
wibawanya telah jatuh dan sifat manusiawinya telah dikalah kan oleh
hawa nafsu dan syahwatnya.
Sebagian salafussalih berkata: aku melihat maksiat itu menghinakan maka aku
tinggalkan sebagai muruah, kemudian ia menjadi agama. Kata seorang penyair:
Bila kau tidak menjaga kehormatan dan tidak takut kepada pencip, serta tidak malu
kepada sesama, maka apa yang kau suka kerjakanlah sebenar-benarnya.
3. Malu terhadap diri sendiri
Malu kepada diri sendiri menjunjukkan keutamaan jiwa, dan sucinya hati nurani,
benarnya muraqabatullah, yaitu dengan menjaga diri dan tidak berkhalwa.
Orang bijak berkata : "hendaknya rasu malu terhadap dirimu sendiri lebih besar
daripada malu kepada orang lain.
Sastrawan berkata : "Barangsiapa yang dalam kesendiriannya melakukan sesuatu
yang malu ia kerjakan dihadapan orang lain, maka ia tidak memiliki kehormatan"
Benarlah perkataan seorang penyair : "Rahasiaku sama seperti kenyataan dan
itulah penciptaanku dan kegelapan malamku sama dengan terangnya siangku".
Maka bila malu seseorang telah sempurna dari ketiga macam malu ini , yaitu malu
kepada Allah, malu kepada sesama, dan malu kepada diri sendiri, maka sebab-
sebab kebaikan telah sempurna, dan tidak ada sebab-sebab kejahatan, dan ia akan
menjadi orang yang mulia dan baik sebaliknya bila ada yang kurang dari 3 macam
malu ini maka ia memiliki kekurangan. Semoga Allah menyempurnakan kita
dengan sifat malu, dan menghiasi kita dengan taqwa, dan memberikan kita husnul
khatimah..
4. Malu yang tercela
Bila malu menghalangi diri dari berbuat buruk, maka itu merupakan akhlaq yang
mulia dan terpuji, karena ia menyempurnakan Iman dan mendatangkan kebaikan.
Dan ia merupakan malu yang syar'i sebagaimana tersebut diatas. Akan tetapi,
ketika malu melebihi batas yang masuk akal, yang menjadikan seseorang menjadi
takut, ragu-ragu dan menahan dirinya dari melakukan sesuatu yang mubah atau
wajib, maka itu adalah akhlaq yang tercela, tidak pada tempatnya. Ini adalah malu
yang menghalangi dari belajar dan rizki. Dikatakan : Malu seseorang yang bukan
pada tempatnya merupakan kelemahan.
Diriwayatkan dari Hasan : "Malu ada dua : Yang satu merupakan bagian dari Iman,
dan yang lain merupakan kelemahan."
Abu Abbas Al-Qurthubi berkata dalam kitabnya : "Sesungguhnya diantara malu
ada yang membawa kepada ketenangan , dengan menghormati orang lain, ia
menjadi tenang dalam dirinya, dan ada yang menghalangi dari perbuatan-perbuatan
yang banyak dilakukan orang. Malu seperti ini tidak layak bagi orang yang
memiliki muru'ah.
Singkatnya, Malu yang terpuji dalam sabda Rasulullah SAW adalah akhlak yang
mendorong kepada perbuatan baik dan melarang perbuatan buruk, adapun sifat
lemah yang menyebabkan seseorang menjadi sedikit melaksanakan hak Allah atau
hambaNya, maka itu bukanlah malu yang dimaksud, sesungguhnya itu adalah
kelemahan yang menghalangi dari ridha Allah.
DR. Muhammad Abdullah Darraz mengaakan : "Maka barangsiapa malu kepada
para pembesar dan teman-teman, sehingga ia tidak melakukan amr ma'ruf nahi
munkar karena menghormati mereka atau takut kehilangan cinta mereka maka
tidaklah itu malu yang sesuai syariat, bahkan itu merupakan sikap pengecut dan
lemah".
Manfaat Malu
Bila malu telah terbiasa dan menjadi jalan hidup, sesungguhnya ia akan memberi
manfaat yang besar, yang menjadikan manusia menjadi istiqomah dalam kebaikan,
diantaranya :
1. Iffah atau kesucian diri : orang yang memiliki sifat malu hingga
mendominasi seluruh perbuatannya, maka jiwa dan perbuatannya akan suci, dan ia
akan selamat dari perbuatan zhalim kepada orang lain, seperti merampok, korupsi,
kolusi, dan sebagainya
Sabar
Di antara akhlak baik orang Muslim ialah sabar. Sabar ialah menahan diri
terhadap apa yang dibencinya, atau menahan sesuatu yang dibencinya dengan ridha
dan rela. Jadi orang muslim menahan diri terhadap apa yang dibencinya seperti
beribadah kepada Allah Ta‟ala dan taat kepadaNya. Ia mewajibkan sifat tersebut
pada dirinya, menahan dirinya dari bermaksiat kepada Allah Ta‟ala dengan tidak
mengijinkannya mendekati kemaksiatan, dan mengerjakannya kendati dirinya
menghendakinya.
Ia menahan diri terhadap ujian yang menimpanya dengan tidak
membiarkannya berkeluh kesah atau marah, sebab keluh kesah terhadap sesuatu
yang telah hilang adalah penyakit, dan keluh kesah terhadap sesuatu yang akan
terjadi adalah tidak ridha, sedang tidak ridha terhadap takdir berarti mengecam
Allah Yang Maha Esa, dan Maha Perkasa. Dalam bersabar terhadap itu semua,
orang Muslim bersenjatakan diri dengan ingat pahala ketaatan yang besar dari
Allah Ta'ala, dan ingat siksa pedih Allah Ta‟ala untuk orang-orang yang
dimurkaiNya, dan orangorang yang bermaksiat kepadaNya.
Selain itu, ia ingat bahwa takdir-takdir Allah Ta'ala akan senantiasa berlangsung,
keputusanNya adalah adil, dan hukumNya pasti terjadi, seorang hamba sabar atau
tidak.
Hanya saja, sabar itu menjanjikan pahala dan tidak sabar itu menjanjikan dosa.
Karena sabar dan tidak sabar adalah akhlak yang didapatkan dengan pelatihan dan
mujahadah (usaha maksimal), maka setelah orang muslim meminta Allah Ta'ala
memberinya sifat sabar, ia ingat sifat sabar dengan ingat perintah kepada sabar dan
ingat pahala yang dijanjikan bagi orang sabar, misalnya dalil-dalil berikut:
1. Firman Allah Ta'ala, “Hai orang-orang yang beriman, Bersabarlah kalian
dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan
negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kalian beruntung.” (Ali
Imran: 200).
seorang Mukmin pada jiwa, anak, dan hartana, hingga ketika ia menghadap
Allah, ia tidak mempunyai kesalahan.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi).
Pemaaf
Pemaaf berarti orang yang rela memberi maaf kepada orang lain. Sikap
pemaaf berarti sikap suka memaafkan kesalahan orang lain tanpa sedikit pun ada
rasa benci dan keinginan untuk membalasnya. Dalam bahasa Arab sikap pemaaf
disebut al-‘afw yang juga memiliki arti bertambah (berlebih), penghapusan,
ampun, atu anugerah (Munawwir, 1984: 1020).
Dalam al-Quran kata al-‘afw disebut sebanyak dua kali, yakni dalam QS. al-
Baqarah (2): 219 dan QS. al-A’raf (7): 199. Dalam QS. al-Baqarah (2): 219 Allah
Swt. berfirman:
Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: “Yang berlebih dari keperluan”. (QS. al-Baqarah (2): 219).
Dari makna berlebih atau bertambah tersebut, kata al-‘afw maknanya
berkembang menjadi menghapuskan atau memaafkan. Dalam QS. al-A’raf (7): 199
Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma`ruf,
serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS. al-A’raf (7): 199).
Jadi, makna memaafkan inilah yang kemudian menjadi makna baku dari
kata al-‘afw. Kata al-‘Afw juga merupakan salah satu dari sifat atau asma Allah
yang berarti dzat yang Maha Pemaaf (QS. al-Mujadilah (58): 2)
Sikap pemaaf merupakan salah satu dari akhlak mulia yang juga merupakan salah
satu kriteria sekaligus manifestasi dari ketakwaan seseorang.
Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang
yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu
lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.” (QS. Ali ‘Imran (3): 133-134).
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa ciri orang yang bertakwa adalah
orang yang mau memaafkan orang lain tanpa harus menunggu orang lain itu
meminta maaf. Jadi yang dimaksudkan dalam ayat di atas bukan meminta maaf,
tetapi memberi maaf.
Sikap memberi maaf jauh lebih mulia dari sikap meminta maaf. Dalam
kehidupan sehar-hari orang yang memberi maaf biasanya didasari adanya
kesalahan yang diperbuat orang lain terhadapnya kemudian dia dengan rela
memaafkan kesalahan orang lain tersebut. Sedang orang yang meminta maaf
justeru sebaliknya membuat kesalahan terhadap orang lain kemudian dia meminta
maaf atas kesalahan yang telah diperbuatnya.
Jadi, jelas sikap orang yang pertama lebih mulia daripada sikap orang yang
kedua. Orang yang pertama dengan rela hati menerima perlakuan orang lain yang
tidak baik dengan memaafkannya, sementara orang yang kedua malah membuat
kesalahan terhadap orang lain kemudian dia meminta orang lain memaafkannya.
Sikap orang kedua belum tentu akan diterima oleh orang yang dimintai maaf,
sedang sikap orang pertama jelas akan diterima dengan baik oleh orang yang
berbuat salah. Karena itulah al-Quran menyebut ciri orang bertakwa adalah orang
yang mau memaafkan kesalahan orang lain, bukan meminta maaf kepada orang
lain. Dalam al-Quran juga ditegaskan bahwa sikap memberi maaf itu harus benar-
benar disertai sikap lapang dada bahwa kesalahan orang lain itu benar-benar sudah
dimaafkan tanpa ada perasaan dendam sedikit pun. Allah Swt. berfirman:
Artinya: “ ... maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Maidah (5): 13).
Membiarkan orang yang dimaafkan berarti tidak lagi mempersoalkan kesalahan
yang diperbuatnya. Jadi, orang yang pemaaf adalah yang benar-benar lapang dada
dan tidak lagi peduli dengan kesalahan yang telah diterimanya. Dalam ayat yang
lain Allah Swt.
Artinya: “... dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu
tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS. al-Nur (24): 22).
Hikmah Pemaaf
Di antara hikmah yang dapat dirasakan dari sikap pemaaf di antaranya
adalah sebagai berikut:
a. Orang yang pemaaf akan mendapatkan perlakuan yang lebih baik dari
orang yang dimaafkan. Orang yang dimaafkan merasa mendapatkan perhatian dan
penghormatan dengan dimaafkannya apa yang telah dilakukan, sehingga dia akan
memberikan balasan yang lebih baik dari sekedar sikap pemaaf yang diterima.
b. Orang yang pemaaf akan memperkuat tali silaturrahim dengan orang lain,
termasuk orang yang dimaafkan. Dengan demikian, dia akan tetap memiliki
hubungan yang baik dengan siapa pun.
c. Sikap pemaaf menunjukkan konsistensi seseorang dalam bertakwa.
Artinya, orang yang tidak memiliki sikap pemaaf berarti dia tidak disebut bertakwa
dalam arti yang sebenarnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Akhlak adalah hal yang terpenting dalam kehidupan manusia karena akhlak
mencakup segala pengertian tingkah laku, tabi’at, perangai, karakter manusia yang
baik maupun yang buruk dalam hubungannya dengan Khaliq atau dengan sesama
makhluk. Akhlak ini merupakan hal yang paling penting dalam pembentukan
akhlakul karimah seorang manusia. Dan manusia yang paling baik budi pekertinya
adalah Rasulullah S.A.W.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu seorang sahabat yang mulia menyatakan:
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling baik budi
pekertinya.” (HR.Bukhari dan Muslim).
Daftar Pustaka
https://www.academia.edu/28912843/
Makalah_AKHLAK_DALAM_AJARAN_ISLAM_revisi
eprints.stainkudus.ac.id
document.tips_makalah-akhlak-pribadi
https://d1.islamhouse.com
https://arrosyadi.files.wordpress.com
repo.iain-tulungagung.ac.id
https://www.fityan.org
memberfiles.freewebs.com
staffnew.uny.ac.id