Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH

Agama keimanan dan kemanusiaan

(Macam-macam Akhlak Pribadi)

Dosen Pengampu:
Rini Elvri, S.Ag.M.Pd.I

Disusun Oleh:

Nur hadi (181810002)


Ersa putri yusniawati ( 181810006)
Dina Muqnhi Artha (181810015)
Tisha dwina (181810023)
Asriati nurishaque (181810025)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONTIANAK


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PSIKOLOGI
2018/2019
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah SWT, Tuhan yang telah memberikan segala
karunia dan nikmat kepada hamba-Nya sehingga hamba-Nya harus tunduk dan
menyembah-Nya dengan penuh ketaatan. Seuntai kalimat syukur penulis
panjatkan keharibaan Allah SWT, yang berkat rahmat dan pertolongan-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah yang sangat sederhana ini. Shalawat dan
salam keberkahan semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi kita, Muhammad Saw,
kepada keluarganya dan sahabatnya hingga kita sebagai umatnya. Selanjutnya,
makalah yang berjudul ”Macam-macam Akhlak Pribadi'' ini merupakan aktualisasi
dari penulis dalam memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Ibu Rini Elvri.
Penulis menyadari akan kekhilafan dan kekurangan dalam pembahasan atau dalam
penuturan bahasanya. Oleh karenanya penulis berharap sumbangan kritik yang
kontruktif dari para pembaca demi perbaikan di masa mendatang. Atas
partisipasinya semoga Allah SWT. senantiasa memberikan imbalan yang setimpal.
Amin ya robbal 'aalamin.

Pontianak, 09 Desember 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Memahami akhlaq merupakan masalah fundamental dalam islam, karena
akhlaq merupakan salah satu hal yang pokok dalam ajaran islam. Akan tetapi
seiring perkembangan zaman, akhlak sudah mulai luntur dari pribadi individu-
individu yang ada. Karena akhlaq merupakan hal yang penting maka seseorang
perlu untuk memahami hakikat akhlaq yang sebenarnya dan bagaimana
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang sudah memahami
akhlaq dan menghasilkan kebiasaan hidup yang baik, maka akhlaq sudah merasuk
dan tertanam pada seseorang tersebut. Akhlaq merupakan kelakuan yang timbul
dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan
yang menyatu, membentuk suatu kesatuan tindakan akhlaq yang dihayati dalam
kenyataan hidup keseharian. Semua yang telah dilakukan itu akan melahirkan
perasaan moral yang terdapat di dalam diri manusia itu sendiri sebagai fitrah,
sehingga ia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Akhlaq?
2. Bagaimana pengaruh Akhlaq terhadap diri pribadi?
3. Apa saja macam-macam Akhlaq pribadi?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengetahuan Akhlaq
2. Mengetahui pengaruh Akhlaq terhadap diri pribadi
3. Mengetahui macam-macam Akhlaq pribadi
BAB II
PEMBAHASAN

PENGERTIAN AKHLAK PRIBADI


Kata “akhlak’ berasal dari bahasa arab, yaitu jama’ dari kata “khuluqun”
yang secara etimologis berkmakna tabi’at, budi pekerti, adat dan kebiasaan.
Akhlak dalam islam adalah yang menentukan batas antara yang baik dan buruk
antara terpuji dan tercela, tetntang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan
bathin. Yang menentukan itu yang baik dan buruk tentu bersumber pada al-Qur’an
dan as Sunnah, sehingga penilaina baik dan buruknya akhlak seseorang
berdasarkan al-Qur’an dan sunnah.
Rasulullah Saw merupakan teladan bagi umat manusia dalam mewujudkan
akhlak yang islami, hal ini dipertegas dalam QS.Al-Ahzab. 33:21

“sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan tang baik
bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamta dan yang banyak menyebut Allah”

Meskipun kata akhlak berasal dari Bahasa Arab, tetapi kata akhlak tidak terdapat di
dalam Al Qur'an. Kebanyakan kata akhlak dijumpai dalam hadist. Satu-satunya
kata yang ditemukan semakna, akhlak dalam al Qur'an adalah bentuk tunggal, yaitu
khuluq, tercantum dalam surat al Qalam ayat 4:

‫َظ ٍيم‬ ٍ ُ‫ك لَ َعلَ ٰى ُخل‬


ِ ‫قع‬ َ َّ‫َوِإن‬
Artinya : “Dan sesungguhnya kamu (muhammad) benar-benar berbudi pekerti
yang agung.”
Akhlak adalah netral, artinya ada akhlak yang terpuji (al akhlaq al
mahmudah) dan ada akhlak yang tercela (al akhlaq al mazmumah). Ketika
berbicara tentang nilai baik buruk maka muncullah persoalan tentang konsep baik
buruk. Yang paling dekat dengan seseorang itu adalah dirinya sendiri, maka
hendaknya seseorang itu menginsyafi dan menyadari dirinya sendiri, karena hanya
dengan insyaf dan sadar kepada diri sendirilah, pangkal kesempurnaan akhlak yang
utama dan budi yang tinggi. Manusia terdiri dari jasmani dan rohani, disamping itu
manusia telah mempunyai fitrah sendiri, dengan semuanya itu manusia mempunyai
kelebihan dan dimanapun saja manusia mempunyai perbuatan yang dapat dia
lakukan. Akhlak pribadi terhadap diri sendiri meliputi kewajiban terhadap dirinya
disertai dengan larangan merusak, membinasakan dan menganiaya diri sendiri baik
secara jasmani maupun secara rohani.
Untuk mengembangkan pribadi umat Islam agar sukses, mereka diharapkan
dapat mempelajari dan melaksanakan atau menerapkan akhlak yang baik dalam
kehidupan sehari-hari. Akhlak Islami ini didasarkan pada Al-qur’an dan sunnah
Rasul, sebagaimana diriwayatkan HR. Ahmad, Hakim dan Baihaqi yaitu:
”Sesungguhnya aku (Rasulullah) diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan
akhlak yang baik”.
Adapun yang mempengaruhi Akhlak terhadap diri pribadi adalah:
1. Dapat bersikap wara’ atau penuh pertimbangan dalam bertindak.
2. Pandai mensyukuri nikmat Allah, menematkan nikmat Allah sebagai
jembatan untuk semakin mendekatkan diri pada Allah.
3. Sabar dan tawakkal, selalu pasrah berserah diri diiringi berusaha berbuat
semaksimal mungkin.
4. Optimis dan sportif, penuh keyakinan dan harapan dalam menempuh
perjalanan hidup.
5. Tawadhu’ atau rendah hati, senantiasa bersikap merendah atas nikmat Allah,
betapapun banyak nikmat Allah yang dia terima tidak menjadikannya
angkuh kepada Allah dan orang lain.
6. Syaja’ah atau berani menegakkan kebenaran, berani dengan penuh
perhitungan untuk menegakkan hokum Allah.
7. Ikhlas dan ridho, ikhlas berarti melakukan ibadah kepada Allah bukan untuk
mengharapkan pahala dan takut akan dosa, namun semua karena Allah.
Ridho berarti menerima segala takdir yang telah berlaku pada dirinya.

Macam-macam Akhlaq Pribadi

Shidiq
Shidiq artinya benar atau jujur. Seorang muslimin dituntut untuk selalu
berada dalam keadaan yang benar baik lahir dan batin, baik benar dalam hati,
benar perkataan dan benar perbuatan.
Firman Allah SWT :
ُّ ‫صدِّيقِينَ َو‬
َّ ‫الش \هَدَا ِء َو‬
َ‫الص\\الِ ِحين‬ \َ ‫ُول فَُأولَِئ‬
ِّ ‫ك َم َع الَّ ِذينَ َأ ْن َع َم هَّللا ُ َعلَ ْي ِه ْم ِمنَ النَّبِيِّينَ َوال‬ َ ‫َو َم ْن يُ ِط ِع هَّللا َ َوال َّرس‬
‫َو َحسُنَ ُأولَِئكَ َرفِيقًا‬
Artinya: Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu:
Nabi-nabi, Para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang
saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. An-Nisa’ : 69).

Imam Ghazali menyebutkan ada 5 jenis shidiq yang perlu direalisasikan


dalam diri seorang mu’min agar menjadi mu’min yang sebenarnya, yaitu :

 Shidqul Lisan (Benar dalam ucapan)


Ucapan manusia adalah ekspressi yang ada di hatinya. Hati yang baik melahirkan
ucapan yang baik. Sebaliknya hati yang buruk mengeluarkan ucapan yang buruk.
Perbaikan ucapan harus dimulai dari perbaikan hati. Apabila hati baik, ucapan
yang keluar menjadi baik dan selanjutnya akan mengikuti oleh prilaku yang baik.
Dan prilaku yang baik akan dibalas dengan ampunan dosa yang dapat
membersihkan diri manusia.

 Shidqul Niyah dan Irodah (Benar dalam keyakinan dan motivasi)


Nilai perbuatan seseorang tergantung motivasi dan niatnya. Manakala perbuatan
yang baik dilandasi dengan niat yang baik, mangharap ridho Allah maka nilai
perbuatan itu menjadi baik, sebaliknya manakala motivasi dan niatnya buruk
sekaligus tampak lahiriahnya kelihatan baik, seperti apa-apa yang kadang-kadang
dilakuakan oleh orang munafik. Nabi bersabda :“sesungguhnya amal perbuatan
manusia tergantung niatnya. Dan amal setiap orang mendapatkan balasan
perbuatan yang tergantung niatnya.”

 Shidqul ‘Azmi (Benar dalam Tekad)


Untuk melakukan perbuatan yang baik dan benar tidak cukup dengan adanya
keinginan dan motivasi, tetapi harus ditopang dengan tekad yang kuat untuk
merealisasikan perbuatan tersebut banyak rintangan, tantangan dan kendalanya.
Suksesnya Abu Bakar dalam memerangi orang-orang yang murtad, tidak mau
membayar zakat, karena tekadnya yang luar biasa untuk memerangi orang-orang
murtad sekalipun sendirian tanpa dukungan sahabat-sahabatnya yang lain. Tekad
inilah yang kemudian mendapatkan dukungan dan simpati Umar dan seluruh
sahabat yang lain.
 Shidqul Wafa’ (Benar dalam kesetiaan)
Wafa (setia) adalah sifat ulul albab, orang-orang suci, orang-orang mu’min dan
muttaqin yang dipuji didalam Al Qur’an. Ulul albab adalah “orang-orang yang
setia memenuhi janjinya kepada Allah dan tidak merusak janji” orang-orang Abror
(suci) adalah yang setia menunaikan nazarnya dan takut akan sesuatu hari (kiamat)
yang azabnya tersebar dimana-mana.

 Shidqul Amal (Benar dalam Perbuatan)


Risalah manusia adalah untuk beramal, berbuat yang shaleh dan positif. “Dan
katakanlah : “Bekerjalah kamu maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
mu’min akan melihat amal perbuatannya”. (QS. At-Taubah : 105). Amal
perbuatan yang benar yang akan menjadi bekal yang membahagiakan manusia
kelak di akhirat.

Shidiq dalam merealisir tingkatan-tingkatan terpuji


Mu’min sejati adalah yang dapat mengembangkan seluruh pontensi dan sifat-
sifatnya.

َّ ‫ت َو‬
َ‫الص \ابِ ِرين‬ \ِ ‫الص \ا ِدقَا‬َّ ‫الص \ا ِدقِينَ َو‬
َّ ‫ت َو‬ ِ ‫ت َو ْالقَ\\انِتِينَ َو ْالقَانِتَ\\ا‬ \ِ ‫ت َو ْال ُم\ ْؤ ِمنِينَ َو ْال ُمْؤ ِمنَ\\ا‬
ِ ‫ِإ َّن ْال ُم ْس \لِ ِمينَ َو ْال ُم ْس \لِ َما‬
َ ‫ت َو ْال َح\\افِ ِظينَ فُ \ر‬
‫ُوجهُ ْم‬ َّ ‫الص \اِئ ِمينَ َو‬
ِ ‫الص \اِئ َما‬ َّ ‫ت َو‬ َ َ‫َص ِّدقِينَ َو ْال ُمت‬
\ِ ‫ص ِّدقَا‬ َ ‫ت َو ْال ُمت‬\ِ ‫ت َو ْالخَا ِش ِعينَ َو ْالخَا ِش َعا‬ ِ ‫َوالصَّابِ َرا‬
ِ ‫ت َأ َع َّد هَّللا ُ لَهُ ْم َم ْغفِ َرةً َوَأجْ رًا ع‬
‫َظي ًما‬ \ِ ‫َو ْال َحافِظَا‬
ِ ‫ت َوال َّذا ِك ِرينَ هَّللا َ َكثِيرًا َوال َّذا ِك َرا‬
Artinya: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya,
laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-
laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-
laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al-
Ahzab : 35).

Lawan dari shidiq adalah kebohongan (Kizib). Kebohongan yaitu mengatakan


sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataanya, entah itu di kurangi atau di tambahi
sehingga tidak sesuai dengan kebenarannya. Sifat bohong adalah sifat yang sangat
tercela. Contoh dari sikap kizib seperti memfitnah, mengingkar janji, dan masih
banyak lagi.

Amanah
“Amanah”, artinya dapat dipercaya. Ini berarti para rasul setia menjalani
segala perintah Allah yang diberikan padanya. Allah swt menunjuk para nabi dan
rasul untuk membimbing umat manusia kepada jalan yang benar. Tugas dan
kepercayaan ini harus diselesaikan sebelum ajal menjemput mereka.

Rasulullahbersabda:
((‫ َو ِعفَّةٌ فِي طُ ْع َم\\ ٍة‬،‫ َو ُحسْنُ خَ لِيقَ ٍة‬،‫ث‬ ِ ‫ َو‬،‫ ِح ْفظُ َأ َمانَ ٍة‬:‫ك َما فَاتَكَ ِمنَ ال ُّد ْنيَا‬
ُ ‫ص ْد‬
ٍ ‫ق َح ِدي‬ َ ‫))َأرْ بَ ٌع ِإ َذا ُك َّن فِي‬
َ ‫ فَالَ َعلَ ْي‬،‫ك‬
“Ada empat hal yang jika ada padamu, maka apa saja bagian dunia yang hilang
darimu tidak akan berbahaya bagimu: menjaga amanah, jujur berbicara, baik
fisik, dan menjaga makanan.”

Lawannya adalah “khianat”, artinya tidak setia. Khianat adalah sifat munafik yang
dibenci oleh Allah apalagi jika yang dikhianati adalah Allah atau Rasulnya. Dalam
firman Allah : “ Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu menghianati
Allah, dan rosul dan juga janganlah kamu menghianati amanh-amanah yang
dipercayakan kepada kamu, sedangkan kamu mengetahuinya.” ( Qs. Al anfal 8 :
27 )
Istiqomah
Secara etimologis, istiqomah berasal dari istiqoma-yastaqimu yang berarti
tegak lurus. Dalam terminologi akhlak istiqomah adalah sikap teguh dalam
mempertahankan keimanan dan keislaman sekalipun menghadapi berbagai macam
rintangan dan godaan.Perintah dalam beristiqomah dinyatakan dalam al-Aquran
dan sunnah : “Maka karna itu serulah (mereka kepada agama itu) dan
istiqomahlah sebagaimana diperintahkan kepadamu janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka.” (Qs. Asy Sura:42:15).
Iman yang sempurna adalah iman yang mencakup tiga dimensi yaitu hati,
lisan dan amal perbuatan. Seorang yang beriman harus dapat beristiqomah dalam
tiga dimensi tersebut. Ibarat berjalan seorang yang beristiqomah akan selalu
berjalan kepada yang lurus yang cepat alam menghantarkan tujuan. Hal ini
tercermin dalam perkataan dan perbuatanya yang benar untuk mensucikan hati dan
dirinya. Tentulah orang yang berisitiqomah akan mengalami beberapa ujian dari
Allah.
Istiqomah itu mengundang karomah, kemuliaan para kekasih Allah, ciri
khasnya ada dua:

 Yakin
Orang yang istiqomah itu haqqul yakiin, Allah akan menurunkan malaikat
yang buahnya adalah derajat kekasih Allah dalam situasi apapun, sekalipun jiwa
taruhannya, dia tenang. Tenang ini tidak bisa diminta dari orang, tidak bisa dibeli.
Tenang itu milik Allah.
“Huwalladzi andzala sakiinah fii qulubil mu’miniin,” Dialah Allah yang
menurunkan sakinah di hati orang yang beriman.
Orang yang dikaruniai ketenangan, jernih dalam segala kondisi itulah Rasulullah,
para sahabat, para ulama yang benar-benar pecinta Allah. Orang yang istiqomah
akan tidak ada takutnya dan tidak sedih dengan dunia berikut isinya.

 Mendapat Keutamaan
“Sesungguhnya orang yang mengatakan, Tuhan kami adalah Allah,
kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan mereka tiada (pula) berduka cita. Merekalah orang-orang yang mewarisi surga,
kekal didalamnya sebagai balasan apa yang sudah dilakukan.” (QS Al- Ahqof: 13-
14)
Berikut ini merupakan cara-cara agar kita sebagai manusia tetap beristiqomah,
yaitu :
1. Menjiwai syahadat
2. Pelajari ibadah yang paling membuat kita nyaman dan memahami ilmunya
dengan baik
3. Pelajari dalil (ibadahnya) dengan baik dan amalkan
4. Tidak bosan bertaubat
Pengamalan dalam kehidupan sehari-hari:
1. Tidak mengumbar aib orang lain
2. Bersikap saling menolong
3. Tetap pada pendirian atau keputusan yang telah diyakini
4. Menutupi aurat

Iffah
Secara bahasa, ‘iffah adalah menahan. Adapun secara istilah; menahan diri
sepenuhnya dari perkara-perkara yang Allah haramkan. Dengan demikian, seorang
yang ‘afif adalah orang yang bersabar dari perkara-perkara yang diharamkan
walaupun jiwanya cenderung kepada perkara tersebut dan menginginkannya.
Allah saw berfirman: “Dan orang-orang yang belum mampu untuk menikah
hendaklah menjaga kesucian dirinya sampai Allah menjadikan mereka mampu
dengan karunia-Nya.” (An-Nur: 33) Termasuk dalam makna 'iffah adalah
menahan diri dari meminta-minta kepada manusia.
Allah Swt berfirman: "Orang yang tidak tahu menyangka mereka itu adalah
orang-orang yang berkecukupan karena mereka ta’affuf ." (QS. AL Baqarah: 273)
Dari kedua ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa iffah adalah menahan diri dalam
menjaga kesucian diri dan menhan diri dari perbuatan meminta-minta.
'Iffah merupakan akhlaq paling tinggi dan dicintai Allah Swt. Oleh sebab
itulah sifat ini perlu dilatih sejak anak-anak masih kecil, sehingga memiliki
kemampuan dan daya tahan terhadap keinginan-keinginan yang tidak semua harus
dituruti karena akan membahayakan saat telah dewasa. Dari sifat 'iffah inilah akan
lahir sifat-sifat mulia seperti: sabar, qana'ah, jujur, santun, dan akhlak terpuji
lainnya. Pentingnya sifat'Iffah ini ditanamkan dalam diri seorang muslim karena ia
merupakan perintah agama yang banyak memberikan kebaikan serta keutamaan
bagi seseorang yang memilikinya, diantara beberapa keutamaan itu adalah:
1. Meraih pahala yang besar di akhirat
2. Mendapatkan ketenangan hati dan kenikmatan besar di dunia
3. Memberi jalan keluar dari kesukaran dan kesulitan

Cara menanamkan dan mendididik sifat 'iffah dalam diri seorang muslim:
1. Membekali diri dengan ketaqwaan kepada Allah
2. Membentengi diri dengan rasa malu
3. Menundukkan pandangan atau ghadhul basher
4. Menjauhi tempat-tempat yang menimbulkan fitnah

Mujahadah
Mujahadah berasal dari kata bahasa Arab yang mempunyai makna berjuang.
Mujahadah adalah titik tolak yang juga merupakan permulaan baagi insan sebelum
mencapai ke tingkat selanjutnya. Antara mujahadah yang paling asas adalah
berusaha untuk mencari dan menuntut ilmu dari pada guru yang mursyid. Syarat
untuk mujahadah mestilah seseorang yang ikhlas dan bersungguh-sungguh karena
Allah SWT dan bukan karena sebab-musabab lain. Disepanjang mujahadahnya
dengan seorang guru itu tentunya diperuntukkan akan nasehat, petuah, kaedah, dan
amalan untuk dipegang dan diamalkan sepanjang perjalanannya menuju pada alam
ketuhanan. Berpegang dan beramal secara berterusan juga dianggap sebagai
mujahadah. Bagi orang awam, menunaikan segala perintah dan menjauhi segala
larangan Allah ta'ala secara istiqomah juga termasuk dalam kategori mujahadah,
segala usaha demi mengejar keridhoan Allah termasuk kedalam golongan
mujahadah.
Mujahadah bisa diartikan perjuangan batiniah menuju kedekatan diri kepada
Allah SWT, dan ada juga yang mengartikan dengan perjuangan melawan diri
sendiri, yakni melawan kekuatan pengaruh hawa nafsu yang menghambat
seseorang untuk sampai kepada martabat utama, yakni “puncak ketaqwaan”.
Mujahadah bisa dianggap sebagai kelanjutan dari jihad dan ijtihad.
Seperti firman Allah yang termaktub dalam QS Ali Imron: 102.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar


takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan
beragama Islam”.
Mujahadah adalah proses perjalanan ruhani manusia menuju Allah. Sebagai
proses, mujahadah memiliki beberapa pilar sebagai tempat berdiri dan tegaknya
proses perjalanan tersebut. Berkenaan dengan pilar-pilar tersebut, seperti yang
telah dikemukakan dalam firman Allah Qs Al Ankabut Ayat 69 yang artinya: “Dan
orangorang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-
benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.

Macam-macam Mujahadah
Macam-macam mujahadah antara lain:
 Mujahadah Yaumiyah adalah mujahadah yang dilakukan secara berjamaah
yang dilaksanakan setiap hari.
 Mujahadah Usbu'iyyah Adalah mujahadah yang dilakukan secara berjamaah
yang dilaksanakan seminggu sekali.
c) Mujahadah Syahriyah adalah mujahadah yang dilakukan secara
berjamaah dan dilaksanakan sebulan sekali.
 Mujahadah Ru'busanah adalah mujahadah yang dilakukan secara berjamaah
dan dilaksanakan tiga bulan sekali.
e) Mujahadah Nishfusana adalah mujahadah yang dilakukan secara
berjamah dan dilaksanakan setengah tahun sekali.
 f) Mujahadah Kubro adalah mujahadah besar-besaran yang dilakukan dalam
bulan muharram dan bulan rojab dalam lingkungan pusat.
 g) Mujahadah Khusus adalah mujahadah yang dilakukan secara khusus,
misalnya niat sebelum melaksanakan perkerjaan yang baik.
 h) Mujahadah Non stop adalah mujahadah yang dilakukan secara terus
menerus dalam waktu yang mujahadah yang sudah ditentukan.
i) Mujahadah Momenti/Waktiya adalah mujahadah yang dilaksanakan pada
waktu tertentu yang diintruksikan oleh pengurus pusat.

Syaja’ah
Asy-syaja’ah (keberanian) adalah salah satu ciri yang dimiliki orang yang
istiqamah di jalan Allah, selain ciri-ciri berupa al-ithmi’nan (ketenangan) dan at-
tafaul (optimisme).
Jadi orang yang istiqamah akan senantiasa berani, tenang dan optimis karena yakin
berada di jalan yang benar dan yakin pula akan dekatnya pertolongan Allah.
Namun memang tak mudah untuk menjadi orang yang istiqamah atau teguh
pendirian memegang nilai-nilai kebenaran dan senantiasa berada di jalan Allah.
Rasulullah saw. memahami benar makna istiqamah yang sesungguhnya sampai
ketika Abu Sufyan bertanya hal terpenting apa dalam Islam yang membuatnya tak
perlu bertanya lagi, beliau menjawab, “Berimanlah kepada Allah dan kemudian
beristiqamahlah (terhadap yang kau imani tersebut)”. Di kesempatan lain,
Rasulullah saw. juga mengatakan tantangan buat orang yang istiqamah memegang
Islam di akhir zaman, begitu berat laksana menggenggam bara api.
Kisah yang tak kalah mencengangkannya terlihat pada peristiwa pembakaran Nabi
Ibrahim a.s. Rasa takut thabi’i terhadap api dan terbakar olehnya teratasi oleh rasa
takut syar’i yakni takut kepada Allah saja. Dan subhanallah, pertolongan Allah
datang dengan perintah Nya kepada api agar menjadi dingin dan sejuk serta
menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s. Keberanian, ketawakalan dan kepasrahan pada
Allah yang membuahkan pertolonganNya juga terlihat pada saat Rasulullah
Muhammad SAW bersama sahabat setianya Abu Bakar Ash-Shidiq berada di gua
Tsur untuk bersembunyi dalam rangka strategi hijrah ke Yatsrib (Madinah).
Kaki-kaki musuh yang lalu lalang tidak menggetarkan Rasulullah dan ketika Abu
Bakar begitu mengkhawatirkan keselamatan Rasulullah SAW, beliau
menenangkannya dengan berkata, “Jangan takut, sesungguhnya Allah bersama
kita” (QS 9: 40). Dan ternyata terbukti Allah Taala memberikan pertolongan
melalui makhluk-makhluk-Nya yang lain. Burung merpati yang secara kilat
membuat sarang, begitu pula laba-laba di mulut gua, membuat musyrikin Quraisy
yang mengejar yakin gua itu tak mungkin dilalui oleh manusia.

Macam-macam Syaja’ah
Syaja’ah atau pemberani tentu saja berbeda dengan bersikap nekat,
“ngawur” atau tanpa perhitungan dan pertimbangan. Asy-syaja’ah adalah
keberanian yang didasari pertimbangan matang dan penuh perhitungan karena
ingin meraih ridha Allah. Dan untuk meraih ridha Allah, tentu saja diperlukan
ketekunan kecermatan dan kerapian kerja (itqan). Buka keberanian yang tanpa
perhitungan, namun juga bukan terlalu perhitungan dan pertimbangan yang
melahirkan ketakutan. Paling tidak ada beberapa macam bentuk asy-syaja’ah
(keberanian), yakni:

1. Memiliki daya tahan besar


Seseorang dapat dikatakan memiliki sifat berani jika ia memiliki daya tahan yang
besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja bahaya dan
penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.

2. Berterus terang dalam kebenaran


“Qulil haq walau kaana muuran” (katakan yang benar meskipun itu pahit) dan
berkata benar di hadapan penguasa yang zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad
bil lisan. Jelas saja dibutuhkan keberanian menanggung segala resiko bila kita
senantiasa berterus terang dalam kebenaran.

3. Kemampuan menyimpan rahasia


Orang yang berani adalah orang yang bekerja dengan baik, cermat dan penuh
perhitungan terutama dalam persiapan jihad menghadapi musuh-musuh Islam.
Kemampuan merencanakan dan mengatur strategi termasuk di dalamnya mampu
menyimpan rahasia adalah merupakan bentuk keberanian yang bertanggung jawab.

4. Mengakui kesalahan
Salah satu orang yang memiliki sifat pengecut adalah tidak mau mengakui
kesalahan, mencari kambing hitam dan bersikap “lempar batu, sembunyi tangan”
Sebaliknya orang yang memiliki sifat syaja’ah berani mengakui kesalahan, mau
meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan dan bertanggung jawab.

5. Bersikap obyektif terhadap diri sendiri


Ada orang yang cenderung bersikap over estimasi terhadap dirinya, menganggap
dirinya baik, hebat, mumpuni dan tidak memiliki kelemahan serta kekurangan.
Sebaliknya ada yang bersikap under estimasi terhadap dirinya yakni menganggap
dirinya bodoh, tidak mampu berbuat apa-apa dan tidak memiliki kelebihan apapun.
Kedua sikap tersebut jelas tidak proporsional dan tidak obyektif. Orang yang
berani akan bersikap obyektif, dalam mengenali dirinya yang memiliki sisi baik
dan buruk.
6. Menahan nafsu di saat marah
Seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu bermujahadah li nafsi, melawan
nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat mengendalikan diri dan menahan
tangannya padahal ia punya kemampuan dan peluang untuk melampiaskan
amarahnya.

Tawadhu
Secara etimologi, kata tawadhu berasal dari kata wadh'a yangberarti
merendahkan, serta juga berasal dari kata “ittadha'a” dengan arti merendahkan diri.
Disamping itu, kata tawadhu juga diartikan dengan rendah terhadap sesuatu.
Sedangkan secara istilah, tawadhu adalah menampakan kerendahan hati kepada
sesuatu yang diagungkan. Bahkan, ada juga yang mengartikan tawadhu sebagai
tindakan berupa mengagungkan orang karena keutamaannya, menerima kebenaran
dan seterusnya.Pengertian Tawadhu Secara Terminologi berarti rendah hati, lawan
dari sombong atau takabur.
Tawadhu menurut Al-Ghozali adalah mengeluarkan kedudukanmu atau kita
dan menganggap orang lain lebih utama dari pada kita.
Tawadhu menurut Ahmad Athoilah adalah sesuatu yang timbul karena melihat
kebesaran Allah, dan terbukanya sifat-sifat Allah.
Tawadhu yaitu perilaku manusia yang mempunyai watak rendah hati, tidak
sombong, tidak angkuh, atau merendahkan diri agar tidak kelihatan sombong,
angkuh, congkak, besar kepala atau kata-kata lain yang sepadan dengan tawadhu.
Tawadhu artinya rendah hati, tidak sombong, lawan dari kata sombong. Yaitu
perilaku yang selalu menghargai keberadaan orang lain, perilaku yang suka
memuliakan orang lain, perilaku yang selalu suka mendahulukan kepentingan
orang lain, perilaku yang selalu sukamenghargai pendapat orang lain.
Tawadhu artinya rendah hati, lawan dari kata sombong atau takabur. Orang
yang rendah hati tidak memandang dirinya lebih dari orang lain, sementara orang
yang sombong menghargai dirinya secara berlebihan. Rendah hati tidak sama
dengan rendah diri, karena rendah diri berarti kehilangan kepercayaan diri.
Sekalipun dalam praktiknya orang yang rendah hati cenderung merendahkan
dirinya dihadapan orang lain, tapi sikap tersebut bukan lahir dari rasa tidak percaya
diri. Sikap tawadhu terhadap sesama manusia adalah sifat mulia yang lahir dari
kesadaran akan ke-mahakuasa-an Allah SWT atas segala hamba-Nya. Manusia
adalah makhluk lemah yang tidak berarti apa-apa di hadapan Allah SWT. Manusia
membutuhkan karunia, ampunan dan rahmat dari Allah. Tanpa rahmat, karunia dan
nikmat dari Allah SWT, manusia tidak akan bisa bertahan hidup, bahkan tidak
akan pernah ada diatas permukaan bumi ini.

Orang yang tawadhu menyadari bahwa apa saja yang dia miliki, baik bentuk
rupa yang cantik atau tampan, ilrnu pengetahuan, harta kekayaan, maupun pangkat
dan kedudukan dan lain-lain sebagainya, semuanya itu adalah karunia dari Allah
SWT. Allah SWT berfirman dalam Q.S An-Nahl : 53, yang artinya: “Dan apa saja
nikmat yang ada pada kamu, maka adalah ia dari Allah (datangnya), dan bila kamu
ditimpa oleh kesusahan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.”

Dengan kesadaran seperti itu sama sekali tidak pantas bagi dia untuk
menyombongkan diri sesama manusia, apalagi menyombongkan diri terhadap
Allah SWT. Dari beberapa definisi diatas, sikap tawadhu itu akan membawa jiwa
manusia kepada ajaran Allah, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Membimbing dan membawa manusia untuk menjadi seorang yang ikhlas,
menerima apa adanya. Membawa manusia ke suatu tempat dimana berkumpulnya
orang-orang yang ikhlas menerima apa adanya. Sehingga tidak serakah, tamak, dan
untuk selalu berperilaku berbakti kepada Allah, taat kepada Rasul Allah, dan cinta
kepada makhluk Allah. Apabila perilaku manusia sudah seperti ini maka ia disebut
bersikap tawadhu.

Faktor yang membentuk Sikap Tawadhu


Tawadhu adalah satu bentuk budi pekerti yang baik, hal ini bisa diperoleh
bila ada keseimbangan antara kekuatan akal dan nafsu. Faktor-faktor
pembentuknya adalah:

a. Bersyukur
Bersyukur dengan apa yang kita punya karena itu semua adalah dari Allah, dengan
pemahamannya tersebut maka tidak pernahterbesit sedikitpun dalam hatinya
kesombongan dan merasa lebihbaik dari orang lain.

b. Menjauhi Riya
Lawan ikhlas adalah riya‟, yaitu melakukan sesuatu bukan karena Allah, tetapi
karena ingin dipuji atau karena pamrih. Kita harus menjauhi riya atau berusaha
mengendalikan diri untuk tidak menampakan kelebihan yang kita miliki kepada
orang lain. Karena itu juga yang akan membuat kita jadi sombong dan tinggi hati.

c. Sabar
Menahan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridho Allah,
atau bersabar dalam segala cobaan dan godaan yang berusaha mengotori amal
kebaikan kita, apalagi disaat pujian dan ketenaran mulai datang dan menghampiri
kita, maka akan merasa sulit bagi kita untuk tetap menjaga kemurnian amal sholeh
kita, tanpa terbesit adanya rasa bangga di hati kita.
d. Hindari sikap takabur
Lawan dari sikap tawadhu adalah takabur atau sombong, yaitusikap menganggap
diri lebih, dan meremehkan orang lain. Kita harus bisa menghindari sikap takabur,
karena biasanya orang sombong akan menolak kebenaran, kalau kebenaran itu
datang dari pihak yang statusnya dianggap lebih rendah dari dirinya.

e. Berusaha mengendalikan diri untuk tidak menampakan kelebihan yang kita


miliki kepada orang lain. Agar kita dapat membentuk sikap tawadhu dalam diri
kitaseharusnya kita melakukan perbuatan-perbuatan yang terpuji selain itu kita
harus menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi larangan dari
Allah dan Rasul-Nya.

Ciri-ciri Tawadhu
Sikap tawadhu itu merupakan sikap rendah hati yang diwujudkandalam
beberapa tindakan-tindakan nyata sebagai berikut :

a. Salah satu sikap tawadhu dapat ditunjukkan pada saat kita berdoakepada Allah.
Saat berdoa, seseorang dapat dikatakan tawadhu apabila ada rasa takut (khauf) dan
penuh harap kepada Allah SWT. Jika seseorang berdoa dengan rasa takut kepada
Allah SWT, maka ia pasti tidak akan berdoa dengan sembarang cara. Etika dalam
berdoa pasti akan dilakukannya dengan cara yang benar. Demikian pula, seseorang
yang berdoa dengan penuh harap maka ia akan selalu optimis, penuh keyakinan
dan istiqamah dalam memohon. Ia yakin bahwa tidak ada yang bisa memenuhi
semua keinginannya kecuali dengan pertolongan Allah, sehingga perasaan ini tidak
akan menjadikannya sombong dan angkuh.
b. Tawadhu juga berkaitan dengan sikap baik kita kepada orangtua dan orang lain.
Kepada orangtua, kita bersikap penuh hormat dan patuh terhadap perintah-
perintahnya. Jika mereka memerintahkan kepada hal-hal yang positif, kita berusaha
memenuhinya sekuat tenaga.
Sebaliknya, jika orangtua memerintahkan kita kepada hal yang buruk, maka kita
berusaha menolaknya dengan cara ramah. Kepada orang lain sikap tawadhu juga
bisa ditunjukan dengan memperlakukan mereka secara manusiawi, tidak menyakiti
mereka, berusaha membantu dan menolong mereka, serta menyayangi mereka
sebagaimana kita menyayangi diri sendiri. Selain itu, memuliakan orang lain atau
menganggap mulia orang lain dalam batas-batas yang wajar merupakan bagian dari
sikap-sikap tawadhu. Sebab dengan memuliakan orang lain itulah, kita bisa
menekan keinginan untuk menyombongkan diri sendiri.

c. Seseorang dapat belajar sikap tawadhu salah satunya dengan berusaha tidak
membangga-banggakan diri dengan apa yang kita miliki. Sikap membanggakan
diri sangat dekat dengan kesombongan. Sementara, kesombongan itu merupakan
lawan daripada tawadhu. Dengan demikian, berusaha menahan diri dari sikap
membangga-banggakan diri secara berlebihan akan memudahkan seseorang untuk
menjadi pribadi-pribadi yang tawadhu.

Macam-macam Tawadhu
Proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah proses transformasi ruhani
dari guru kepada murid. Karena itu kelancaran dan efektifitasnya sangat ditentukan
oleh kualitas hubungan ruhaniah antara keduanya. Semakin akrab hubungan ruhani
antara keduanya, maka semakin efektif transformasi ruhani yang terjadi, berarti
semakin maksimal penularan ilmu antara keduanya.
Syaikh Az Zarnuji dalam kitabnya yang berjudul Ta'limul Muta'allim membagi
sikap tawadhu atau sikap rendah diri dalam 3 hal, yaitu :
(1) Tawadhu pada guru
(2) Tawadhu pada Ulama
(3) Tawadhu terhadap sesama teman belajar.

Sedangkan menurut Khozin Abu Faqih dalam bukunya yang berjudul Tangga
Kemuliaan Menuju Tawadhu, ada beberapa jenis Tawadhu yaitu:
(1) Tawadhu kepada Allah. Berupa sikap merasa rendah diri dihadapan
Allah yang Maha Mulia. Perasaan rendah diri dihadapan Allah merupakan sikap
terpuji yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya.
(2) Tawadhu kepada Rasulullah. Yaitu mengikuti ajaran dan teladan
Rasulullah, tidak mengada-adakan suatu ibadah sendiri, tidak menganggap kurang
apa yang telah diajarkan beliau dan tidak menganggap diri lebih utama dari beliau.
(3) Tawadhu kepada Agama. Dalam hal ini, dibagi menjadi tiga tingkatan.
Pertama, tidak memprotes apa yang dibawa oleh Rasulullah. Kedua, Tidak
berburuk sangka kepada dalil Agama. Dan yang ketiga, Tidak mencari-cari jalan
untuk menyalahi dalil. Sedangkan jenis Tawadhu yang keempat adalah Tawadhu
kepada sesama hamba Allah. Yaitu sikap lemah lembut, kasih sayang, saling
menghormati, saling menghargai, saling memberi dan menerima nasihat, dan
seterusnya.
Dari beberapa pendapat diatas, dalam hal ini peneliti hanya akan membahas
tentang sikap tawadhu yang diungkapkan oleh Syaikh Az Zarnuji dalam kitabnya
yang berjudul Ta'limul Muta'allim yaitu tawadhu kepada guru, tawadhu kepada
ulama‟ dan tawadhu kepada sesama teman.
Dalam ini peneliti akan menjelaskan perbedaan Guru dan Ulama. Kata guru
berasal dari bahasa Indonesia yang berarti orang yang mengajar atau orang yang
memberi pelajaran. Selain itu guru juga bisa diartikan sebagai tutor, yakni guru
pribadi, educator, pendidik, ahli didik, lecture.
Adapun Ulama itu bukan hanya orang yang memiliki pengetahuan agama yang
luas dan mendalam saja, melainkan juga seorang ilmuan yang menguasai ilmu
sosial politik ekonomi dan lain sebagainya. Namun, belakangan dunia Islam
mengkhususkan istilah Ulama hanya bagi orang-orang yang hanya memiliki
pengetahuan agama yang luas dan mendalam saja.

Malu
1. Secara bahasa: "Menahan diri dari sesuatu yang buruk dan
meninggalkannya karena takut celaaan". Imam Fakhrurrazi berkata: Malu adalah
perubahan dan perbuatan meninggalkan sesuatu karena takut akan aib dan tercela,
asal katanya dari hayat (kehidupan). Lawannya sikap malu adalah cuek dan tidak
tahu malu, yaitu orang yang mengerjakan perbuatan munkar dengan berani dan
orang yang berkata dengan perkataan munkar secara blak-blakan dan tidak
memandang orang lain, dua hal ini adalah sikap terang-terangan dalam kejahatan,
Rasulullah SAW bersabda: "Seluruh ummatku akan dimaafkan, kecuali orang-
orang yang terang-terangan (dalam melakukan perbuatan mungkar)"
2. Secara Istilah: malu adalah: Hal yang sesuai dengan syariat, baik
pengukuhan atau peniadaan. Malu adalah akhlak yang menyebabkan seseorang
meninggalkan keburukan dan tidak mengambil hak orang lain. Dikatakan: malu
adalah meninggalkan segala hal yang dianggap buruk oleh akal dan terasa jelek
oleh perasaan yang baik dan diingkari oleh pencipta dan makhluk.

Urgensi Sifat Malu


Urgensi sikap malu adalah: menjauhkan diri dari perbuatan buruk dan
maksiat, selain itu juga sebagai salah satu pendukung kebaikan. Orang yang tidak
memiliki sifat malu akan tercela dimata manusia. Malu adalah salah satu sebab
kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Malu adalah sebagian
dari iman" dan "Malu itu tidak menghasilkan kecuali kebaikan".
Bahkan, sesungguhnya dalam hukum-hukum dan ajaran Islam terdapat ajakan
yang sempurna yang membangun kebaikan dan kebenaran, serta ajakan untuk
meninggalkan hal yang buruk dan tercela, oleh karena itu sangatlah ditekankan
hadits Rasulullah Saw : "Bila engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu".

Imam Nawawi menjelaskan tentang hadits ini : Sesungguhnya hadits ini mencakup
semua hukum-hukum Islam, yaitu dengan perincian bahwa hal-hal yang
diperintahkan, baik itu wajib atau sunnah, orang akan malu untuk
meninggalkannya. Dan hal-hal yang dilarang oleh agama, baik itu haram ataupun
makruh, seorang muslim akan malu melakukannya. Adapun hal yang mubah, maka
boleh ditinggalkan dan boleh dilakukan, maka hadits ini mencakup seluruhnya
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata : "sifat malu merupakan akhlaq yang paling
utama dan mulia, paling banyak manfaatnya dan paling tinggi derajatnya, bahkan
ia adalah sifat dasar manusia, maka barangsiapa yang tidak memiliki rasa malu ,
maka ia hanya merupakan daging dan darah dan bentuk fisik saja, tidak memiliki
kebaikan. Karena bila tidak ada rasa malu, maka seorang manusia tidak akan
memuliakan tamu, tidak menepati janji, tidak menunaikan amanah, tidak
memperdulikan kebutuhan orang lain, tidak memperdulikan keindahan, tidak
menjauhi hal yang buruk, tidak menutup aurat, dan tidak menjauhi perbuatan keji.
Bila tidak ada rasa malu, maka banyak manusia yang tidak melakukan
kewajibannya, juga tidak memberi hak bagi makhluk lain, tidak menyambung
silaturrahim, tidak menghormati orang tua, dan sebagainya, karena dorongan
semua perbuatan ini, adalah antara faktor keagamaan, yaitu mencari ganjaran yang
baik, maupun factor duniawi, yaitu sifat malu dari orang yang mengerjakannya.
Telah terbukti bahwa dengan tidak ada rasa malu, baik kepada sang pencipta
maupun kepada sesama makhluk, ia tidak akan mengerjakannya.
Sesungguhnya manusia memiliki dua dorongan dan larangan : dorongan dan
larangan dari sisi malu, bila dorongan ini ditaati maka ia akan menahan diri dari
berbuat seenaknya, dan dorongan serta larangan dari sisi hawa nafsu. Maka
barangsiapa yang tidak mentaati dorongan dan larangan sifat malu, maka ia akan
mengikuti dorongan syahwat dan hawa nafsu."

Perkataan Orang-orang Shalih tentang Malu


• Amirul Mu'minin Umar bin Khatthab RA berkata : "Orang yang sedikit
malunya maka akan sedikit wara' (kehati-hatiannya) , dan barangsiapa yang sedikit
wara'nya maka hatinya akan mati"
• Iyas bin Qarrah berkata : Aku sedang bersama Umar bin Abdul Aziz ketika
disebutkan tentang malu, orang-orang berkata : "Malu sebagian dari Iman", maka
Umar berkata : "Bahkan malu adalah seluruh Iman"
• Al Fudhail bin Iyadh berkata : "5 tanda kesengsaraan : kerasnya hati,
keringnya mata, sedikitnya rasa malu, menginginkan dunia, dan panjang angan-
angan"
• Seorang penyair berkata : Bila engkau tidak takut akan akibat dari malam-
malam, dan kau tidak malu maka berbuatlah sesukamu
Sekali-kali tidak, demi Allah tidak ada kebaikan dalam kehidupan dan dunia bila
malu telah hilang
Seseorang akan hidup dengan baik selama ia bersifat malu dan tongkat akan tetap
selama ada bayangan
• Al Ashmu'ie berkata : Aku mendengar seorang badui berkata : "orang yang
menjadikan malu sebagai pakaiannya maka manusia tidak akan melihat aibnya"
• Ibnu Mas'ud berkata : "Iman itu telanjang, perhiasannya adalah Taqwa, dan
pakaiannya adalah malu"

Pembagian Malu
Malu terdapat dua macam: Sifat asli secara alami, dan yang dihasilkan
melalui kebiasaan, sama seperti akal / kecerdasan yang berupa bawaan atau hasil
usaha. Seorang bijak mengatakan: Aku melihat akal ada dua macam bawaan dan
yang dihasilkan. Maka yang dihasilkan tidak bermanfaat bila tidak ada bawaan.
Sebagaimana mata tidak bermanfaat bila tidak ada cahaya matahari.

1. Sifat malu alami/bawaan


Yaitu yang merupakan watak yang dibawa sejak lahir, yang yang membuat
orang tersebut mulia akhlaknya. Allah memberikannya kepada sebagian
hambaNya, dan menciptakannya dengan sifat malu tersebut. Orang tersebut
senantiasa menahan diri dari berbuat maksiat dan semua hal yang buruk, oleh
karena itulah malu merupakan sumber kebaikan, dan salah satu cabang Iman. Dari
Abu Hurairah ra: "Dan malu itu sebagian dari Iman". Sifat malu bawaan ini tidak
dibebankan oleh Allah karena bukan merupakan usaha manusia, dan Allah tidak
membebani seseorang kecuali sesuai kemampuan orang itu. Akan tetapi sifat ini
membantu manusia untuk condong kepada sifat malu yang baik. Rasulullah SAW
bersabda : "Malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan" dan "Malu itu
seluruhnya baik"
Diriwayatkan dari Umar bin Khatthab RA , ia berkata : "Barangsiapa yang malu
maka ia akan bersembunyi, dan barangsiapa yang bersembunyi maka ia bertaqwa,
dan barangsiapa yang bertaqwa maka ia akan terjaga"
2. Malu yang diusahakan
Yaitu malu yang didapat karena mengenal Allah, dan mengenal
keagunganNya serta kedekatanNya kepada hambaNya, dan menyadari bahwa Ia
Maha Mengetahui segala rahasia, pengkhianatan dan semua yang ada dalam hati.
Seorang Muslim yang berusaha mendapatkan sifat malu ini, sesungguhnya ia
menegakkan dalam jiwanya Iman yang tertinggi, dan derajat Ihsan yang tertinggi,
yaitu : "Menyembah Allah seakan-akan engkau melihatNya dan bila engkau tidak
melihatNya maka sesungguhnya Ia melihatmu"
Malu jenis ini kadang didapat dengan merenungi nikmat Allah, dan merasa kurang
mensyukurinya. Abdullah bin Mas'ud berkata : Rasulullah Saw bersabda : "Malu
kepada Allah adalah kau menjaga kepalamu dan yang dipikirkannya, perut dan
isinya, mengingat mati dan cobaan, dan barangsiapa yang menginginkan Akhirat
maka ia akan meninggalkan perhiasan dunia. Maka orang yang melakukan itu
sesungguhnya ia malu kepada Allah"

Nabi SAW terdapat pada beliau kedua jenis malu ini, beliau memiliki sifat malu
bawaan yang sangat besar, dan dalam malu yang diusahakan beliau ada pada
puncak tertinggi. Bila jiwa seorang manusia kosong dari malu yang diusahakan,
dan hatinya tidak memiliki malu bawaan, maka tidak ada yang menghalanginya
dari melakukan perbuatan buruk, dan ia menjadi seperti orang yang tidak beriman
dari jin dan manusia. Oleh karena itulah Rasulullah bersabda "Bila tidak malu
maka berbuatlah sesukamu".

Para ulama mengemukakan beberapa pendapat tentang hadits ini :


A. Bila kau tidak malu akan aib dan tak takut celaan akan perbuatanmu, maka
kerjakanlah apa yang ada dalam jiwamu apakah itu baik atau buruk. Kata perintah
dalam hadits ini berarti ancaman , didalamnya terdapat pernyataan bahwa yang
menghalangi manusia dari kelakuan buruk adalah malu, maka bila malu telah
hilang maka ia akan mengerjakan semua kesesatan dan keburukan.

B. Bila engkau dalam perbuatanmu merasa aman dan tidak malu dan bukan
merupakan perbuatan yang tercela, maka lakukanlah sesukamu.

C. Hadits ini mengandung celaan, yaitu perbuatanmu yang tidak tahu malu itu
lebih buruk daripada keburukan yang kau kerjakan, Ibnu Sayyidah berkata : Hadits
ini bermakna bahwa orang yang tidak malu mengerjakan sesukanya, merupakan
celaan bagi orang yang berbuat seperti itu , bukan merupakan perintah untuk
berbuat sesukanya.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata : "Diantara akibat maksiat adalah hilangnya


malu yang merupakan sebab kehidupan hati, ia adalah sumber segala kebaikan.
Maka dosa-dosa melemahkan rasa malu dalam diri, hingga mungkin hilang darinya
sama sekali, hingga sampai taraf ia tidak perduli bila orang-orang mengetahui
keburukannya. Bila seorang hamba telah sampai kepada keadaan ini maka tidaklah
tersisa kebaikan dalam dirinya. Diantara dosa dan sedikitnya malu dan ketiadaan
kecemburuan terdapat saling keterkaitan, saling menarik satu sama lain, dan
barang siapa yang malu terhadap Allah untuk berbuat maksiat, maka Allah malu
menghukumnya pada hari kiamat, dan barangsiapa yang tidak malu berbuat
maksiat maka Allah tidak akan malu menghukumnya"

Macam-macam Malu
1. Malu terhadap Allah
Ini merupakan tingkatan malu yang tertinggi, dan paling besar pahalanya disisi
Allah ta'ala, yaitu dengan : Mensyukuri ni'mat Allah kepada manusia, yang
dinikmati oleh seluruh panca indranya dan seluruh tubuhnya yang sehat, bersyukur
akan ni'mat Allah berupa harta, anak, dan istri yang shalihah, sehingga ia
mendapatkan dalam jiwa dan akalnya bahwa ni'mat-ni'mat ini mewajibkan malu
kepada Allah, hendaknya ia selalu bersyukur kepadaNya atas semua
pemberianNya yang tidak terhitung dan tidak dapat dibandingkan dengan
perbuatan atau perkataan apapun.
Hendaknya nikmat Allah digunakan sebaik-baiknya dan tidak digunakan untuk
maksiat yang mendatangkan murka Allah dan menyebabkan azabNya. Malu
kepada Allah juga dilakukan dengan melakukan perintah-perintah Allah dan
menjauhi laranganNya, dimana hal ini merupakan inti dari taqwa. Nabi telah
mengisyaratkan bahwa ini adalah malu yang sebenarnya, dari Abdullah bin Mas'ud
RA, Rasulullah SAW bersabda : "Malulah kepada Allah Azza wa Jalla sebenar-
benarnya malu" kami berkata : "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami malu,
Alhamdulillah", Rasulullah bersabda :
"Bukan seperti itu, akan tetapi malu kepada Allah yang sebenar-benarnya adalah
menjaga kepalamu dan apa yang dipikirkannya perut dan isinya, dan hendaklah
kau mengingat mati dan cobaan, dan barangsiapa yang menginginkan akhirat maka
ia akan meninggalkan kemewahan dunia. Orang yang melakukan hal ini maka
sesungguhnya ia telah malu kepada Allah dengan Malu kepada Allah SWT juga
tampak dari kuatnya agama dan benarnya keyakinan, yang diisyaratkan oleh
Rasulullah SAW dengan perkataan beliau kepada orang yang berkata kepada
beliau: "Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat" , beliau bersabda :
"Aku berwasiat kepadamu untuk malu kepada Allah Azza wa Jalla sebagaimana
engkau malu terhadap kaummu yang shalih."
Bila malu menipis dan keyakinan melemah, maka akan banyak pelanggaran akan
perintah Allah dan hilang ikatan Iman, sebagaimana dikatakan bahwa : "Malu itu
peraturan Iman, bila suatu peraturan hilang, maka hancurlah ia"
Sebagian salaf berkata : "takutlah kepada Allah sesuai kuasaNya atasmu, dan
malulah kepadanya karena dekatnya Ia darimu"
2. Malu kepada manusia
Malu kepada manusia disini bukan dimaksudkan munafik atau Riya', akan tetapi ia
menunjukkan akhlak dan ingin disebut baik dan dihormati oleh manusia, yang juga
merupakan bentuk amar ma'ruf nahi munkar. Malu terhadap sesama manusia
diwujudkan dengan tidak menyakiti dan membahayakan mereka, serta keluarga
dan harta benda mereka,. selayaknya berbuat baik kepada mereka kita ingin
diperlakukan seperti itu. Juga dengan tidak menyebarkan keburukan dan dosa. Bila
seseorang tidak peduli akan penghormatan orang lain dan tidak punya malu, maka
wibawanya telah jatuh dan sifat manusiawinya telah dikalah kan oleh
hawa nafsu dan syahwatnya.
Sebagian salafussalih berkata: aku melihat maksiat itu menghinakan maka aku
tinggalkan sebagai muruah, kemudian ia menjadi agama. Kata seorang penyair:
Bila kau tidak menjaga kehormatan dan tidak takut kepada pencip, serta tidak malu
kepada sesama, maka apa yang kau suka kerjakanlah sebenar-benarnya.
3. Malu terhadap diri sendiri
Malu kepada diri sendiri menjunjukkan keutamaan jiwa, dan sucinya hati nurani,
benarnya muraqabatullah, yaitu dengan menjaga diri dan tidak berkhalwa.
Orang bijak berkata : "hendaknya rasu malu terhadap dirimu sendiri lebih besar
daripada malu kepada orang lain.
Sastrawan berkata : "Barangsiapa yang dalam kesendiriannya melakukan sesuatu
yang malu ia kerjakan dihadapan orang lain, maka ia tidak memiliki kehormatan"
Benarlah perkataan seorang penyair : "Rahasiaku sama seperti kenyataan dan
itulah penciptaanku dan kegelapan malamku sama dengan terangnya siangku".
Maka bila malu seseorang telah sempurna dari ketiga macam malu ini , yaitu malu
kepada Allah, malu kepada sesama, dan malu kepada diri sendiri, maka sebab-
sebab kebaikan telah sempurna, dan tidak ada sebab-sebab kejahatan, dan ia akan
menjadi orang yang mulia dan baik sebaliknya bila ada yang kurang dari 3 macam
malu ini maka ia memiliki kekurangan. Semoga Allah menyempurnakan kita
dengan sifat malu, dan menghiasi kita dengan taqwa, dan memberikan kita husnul
khatimah..
4. Malu yang tercela
Bila malu menghalangi diri dari berbuat buruk, maka itu merupakan akhlaq yang
mulia dan terpuji, karena ia menyempurnakan Iman dan mendatangkan kebaikan.
Dan ia merupakan malu yang syar'i sebagaimana tersebut diatas. Akan tetapi,
ketika malu melebihi batas yang masuk akal, yang menjadikan seseorang menjadi
takut, ragu-ragu dan menahan dirinya dari melakukan sesuatu yang mubah atau
wajib, maka itu adalah akhlaq yang tercela, tidak pada tempatnya. Ini adalah malu
yang menghalangi dari belajar dan rizki. Dikatakan : Malu seseorang yang bukan
pada tempatnya merupakan kelemahan.
Diriwayatkan dari Hasan : "Malu ada dua : Yang satu merupakan bagian dari Iman,
dan yang lain merupakan kelemahan."
Abu Abbas Al-Qurthubi berkata dalam kitabnya : "Sesungguhnya diantara malu
ada yang membawa kepada ketenangan , dengan menghormati orang lain, ia
menjadi tenang dalam dirinya, dan ada yang menghalangi dari perbuatan-perbuatan
yang banyak dilakukan orang. Malu seperti ini tidak layak bagi orang yang
memiliki muru'ah.
Singkatnya, Malu yang terpuji dalam sabda Rasulullah SAW adalah akhlak yang
mendorong kepada perbuatan baik dan melarang perbuatan buruk, adapun sifat
lemah yang menyebabkan seseorang menjadi sedikit melaksanakan hak Allah atau
hambaNya, maka itu bukanlah malu yang dimaksud, sesungguhnya itu adalah
kelemahan yang menghalangi dari ridha Allah.
DR. Muhammad Abdullah Darraz mengaakan : "Maka barangsiapa malu kepada
para pembesar dan teman-teman, sehingga ia tidak melakukan amr ma'ruf nahi
munkar karena menghormati mereka atau takut kehilangan cinta mereka maka
tidaklah itu malu yang sesuai syariat, bahkan itu merupakan sikap pengecut dan
lemah".

Manfaat Malu
Bila malu telah terbiasa dan menjadi jalan hidup, sesungguhnya ia akan memberi
manfaat yang besar, yang menjadikan manusia menjadi istiqomah dalam kebaikan,
diantaranya :
1. Iffah atau kesucian diri : orang yang memiliki sifat malu hingga
mendominasi seluruh perbuatannya, maka jiwa dan perbuatannya akan suci, dan ia
akan selamat dari perbuatan zhalim kepada orang lain, seperti merampok, korupsi,
kolusi, dan sebagainya

2. Tepat janji, yang merupakan karakteristik kebaikan Ahnaf bin Qais


berkata : "Dua hal yang tidak akan berkumpul dalam seseorang : kebaikan dan
dusta Muru'ah memberi banyak manfaat seperti: Kejujuran, tepat janji, kesucian
jiwa, dan rasa malu. orang yang melanggar janji dan melanggar
perjanjian,sesungguhnya dia melakukannya dengan keburukan, ia kehilangan
kebaikan, dan tidak tahu malu.

3. Terjaga dari terbukanya keburukan dan aurat, misalnya dalam kolam


renang dan kamar mandi umum . Al Baihaqi berkata : "termasuk dalam malu
kepada Allah Azza wa Jalla dan sesama manusia adalah menutup aurat, karena
syariah memerintahkan untuk menutup aurat. Begitu juga manusia, hati nuraninya
sesungguhnya mencela terbukanya aurat, dan menganggapnya suatu yang tercela.
Diriwayatkan dari Atha bin Abi Rabah , ia berkata : Rasulullah SAW melewati
seorang yang mandi dengan kotoran di suatu kolam, maka Nabi SAW kembali dan
berdiri, ketika mereka melihat beliau berdiri maka mereka keluar kepadanya, dan
Rasulullah bersabda : "sesungguhnya Allah ta'ala malu, Maha menutup, suka
kepada sikap malu dan menutup aurat, maka bila seorang dari kalian mandi
hendaklah membelakangi orang lain.

Sabar
Di antara akhlak baik orang Muslim ialah sabar. Sabar ialah menahan diri
terhadap apa yang dibencinya, atau menahan sesuatu yang dibencinya dengan ridha
dan rela. Jadi orang muslim menahan diri terhadap apa yang dibencinya seperti
beribadah kepada Allah Ta‟ala dan taat kepadaNya. Ia mewajibkan sifat tersebut
pada dirinya, menahan dirinya dari bermaksiat kepada Allah Ta‟ala dengan tidak
mengijinkannya mendekati kemaksiatan, dan mengerjakannya kendati dirinya
menghendakinya.
Ia menahan diri terhadap ujian yang menimpanya dengan tidak
membiarkannya berkeluh kesah atau marah, sebab keluh kesah terhadap sesuatu
yang telah hilang adalah penyakit, dan keluh kesah terhadap sesuatu yang akan
terjadi adalah tidak ridha, sedang tidak ridha terhadap takdir berarti mengecam
Allah Yang Maha Esa, dan Maha Perkasa. Dalam bersabar terhadap itu semua,
orang Muslim bersenjatakan diri dengan ingat pahala ketaatan yang besar dari
Allah Ta'ala, dan ingat siksa pedih Allah Ta‟ala untuk orang-orang yang
dimurkaiNya, dan orangorang yang bermaksiat kepadaNya.
Selain itu, ia ingat bahwa takdir-takdir Allah Ta'ala akan senantiasa berlangsung,
keputusanNya adalah adil, dan hukumNya pasti terjadi, seorang hamba sabar atau
tidak.
Hanya saja, sabar itu menjanjikan pahala dan tidak sabar itu menjanjikan dosa.
Karena sabar dan tidak sabar adalah akhlak yang didapatkan dengan pelatihan dan
mujahadah (usaha maksimal), maka setelah orang muslim meminta Allah Ta'ala
memberinya sifat sabar, ia ingat sifat sabar dengan ingat perintah kepada sabar dan
ingat pahala yang dijanjikan bagi orang sabar, misalnya dalil-dalil berikut:
1. Firman Allah Ta'ala, “Hai orang-orang yang beriman, Bersabarlah kalian
dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan
negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kalian beruntung.” (Ali
Imran: 200).

2. Firman Allah Ta‟ala: “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan


sabar dan (mengerjakan shalat).” (Al Baqarah: 45)
3. Firman Allah Ta‟ala: “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah
kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (An-Nahl: 127)
4. Firman Allah Ta‟ala: “Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu,
sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah).” (Luqman: 17)
5. Firman Allah Ta‟ala: “Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar. (Yaitu) orangorang yang apabila ditimpa musibah, mereka
mengucapkan, „Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun (Sesungguhnya kami
milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepadaNya). Mereka
Itulah yang mendapat keberkahan yang Sempurna dan rahmat dari Tuhan
mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-
Baqarah: 155-157).
6. Firman Allah Ta‟ala: “Dan Sesungguhnya kami akan memberi balasan
kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
Telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 96)
7. Firman Allah Ta‟ala: “Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-
pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka
sabar, dan mereka meyakini ayat-ayat kami.” (As-Sajdah: 24).
8. Firman Allah Ta‟ala: “Sesungguhnya Hanya orang-orang yang Bersabarlah
yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar: 10).
9. Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Sabar adalah cahaya.”
10.Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Dan barang siapa menahan
diri (dari hal-hal haram dan dari meminta-minta manusia), maka Allah
membuatnya suci. Barang siapa meminta kaya maka Allah
mengkayakannya. Dan barang siapa meminta sabar maka Allah
menyabarkannya. Seseorang tidak diberi pemberian yang lebih baik dan
lebih luas daripada pemberian berupa sabar.” (Diriwayatkan Muslim).
11.Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Luar biasa urusan orang
Mukmin. Sesungguhnya semua urusannya itu baik, dan itu semua tidak
dimiliki kecuali oleh orang Mukmin. Jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia
bersyukur, dan itu sangat baik baginya. Jika ia ditimpa cobaan, ia bersabar,
dan itu sangat baik baginya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).
12.Ketika salah satu putri Rasullullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengutus
seseorang kepada beliau untuk meminta kedatangan beliau sebab anak
putrinya hendak meninggal dunia, maka beliau bersabda kepada utusan
putrinya,
13.“Sampaikan salamku kepadanya dan katakan kepadanya, Sesungguhnya
Allah berhak atas apa yang telah Dia ambil, dan berhak atas apa yang pernah
Dia berikan. Segala hal di sisiNya itu sesuai dengan ajal yang telah
ditentukan. Oleh karena Itu, hendaklah ia bersabar, dan mengharapkan
pahalaNya‟. (Diriwayatkan Al-Bukhari).
14.Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Allah Azza wa Jalla
berfirman,‟jika aku menguji hambaKu dengan kedua orang anaknya,
kemudian ia bersabar, Aku mengganti keduanya dengan surga.”
(Diriwayatkan Al Bukhari).
15.Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Barangsiapa Allah
menghendaki kebaikan padanya, maka Dia mengujinya.” (Diriwayatkan Al-
Bukhari).
16.Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya besarnya
pahala itu sesuai dengan besarnya ujian. Jika Allah mencintai suatu kaum,
Dia menguji mereka. Maka barangsiapa ridha maka ia mendapatkan
keridhaan dan barangsiapa murka maka ia mendapatkan kemurkaan.”
(Diriwayatkan At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
17. Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Ujian senantiasa menimpa

seorang Mukmin pada jiwa, anak, dan hartana, hingga ketika ia menghadap
Allah, ia tidak mempunyai kesalahan.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi).

Pemaaf
Pemaaf berarti orang yang rela memberi maaf kepada orang lain. Sikap
pemaaf berarti sikap suka memaafkan kesalahan orang lain tanpa sedikit pun ada
rasa benci dan keinginan untuk membalasnya. Dalam bahasa Arab sikap pemaaf
disebut al-‘afw yang juga memiliki arti bertambah (berlebih), penghapusan,
ampun, atu anugerah (Munawwir, 1984: 1020).
Dalam al-Quran kata al-‘afw disebut sebanyak dua kali, yakni dalam QS. al-
Baqarah (2): 219 dan QS. al-A’raf (7): 199. Dalam QS. al-Baqarah (2): 219 Allah
Swt. berfirman:
Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: “Yang berlebih dari keperluan”. (QS. al-Baqarah (2): 219).
Dari makna berlebih atau bertambah tersebut, kata al-‘afw maknanya
berkembang menjadi menghapuskan atau memaafkan. Dalam QS. al-A’raf (7): 199
Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma`ruf,
serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS. al-A’raf (7): 199).
Jadi, makna memaafkan inilah yang kemudian menjadi makna baku dari
kata al-‘afw. Kata al-‘Afw juga merupakan salah satu dari sifat atau asma Allah
yang berarti dzat yang Maha Pemaaf (QS. al-Mujadilah (58): 2)
Sikap pemaaf merupakan salah satu dari akhlak mulia yang juga merupakan salah
satu kriteria sekaligus manifestasi dari ketakwaan seseorang.
Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang
yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu
lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.” (QS. Ali ‘Imran (3): 133-134).
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa ciri orang yang bertakwa adalah
orang yang mau memaafkan orang lain tanpa harus menunggu orang lain itu
meminta maaf. Jadi yang dimaksudkan dalam ayat di atas bukan meminta maaf,
tetapi memberi maaf.
Sikap memberi maaf jauh lebih mulia dari sikap meminta maaf. Dalam
kehidupan sehar-hari orang yang memberi maaf biasanya didasari adanya
kesalahan yang diperbuat orang lain terhadapnya kemudian dia dengan rela
memaafkan kesalahan orang lain tersebut. Sedang orang yang meminta maaf
justeru sebaliknya membuat kesalahan terhadap orang lain kemudian dia meminta
maaf atas kesalahan yang telah diperbuatnya.
Jadi, jelas sikap orang yang pertama lebih mulia daripada sikap orang yang
kedua. Orang yang pertama dengan rela hati menerima perlakuan orang lain yang
tidak baik dengan memaafkannya, sementara orang yang kedua malah membuat
kesalahan terhadap orang lain kemudian dia meminta orang lain memaafkannya.
Sikap orang kedua belum tentu akan diterima oleh orang yang dimintai maaf,
sedang sikap orang pertama jelas akan diterima dengan baik oleh orang yang
berbuat salah. Karena itulah al-Quran menyebut ciri orang bertakwa adalah orang
yang mau memaafkan kesalahan orang lain, bukan meminta maaf kepada orang
lain. Dalam al-Quran juga ditegaskan bahwa sikap memberi maaf itu harus benar-
benar disertai sikap lapang dada bahwa kesalahan orang lain itu benar-benar sudah
dimaafkan tanpa ada perasaan dendam sedikit pun. Allah Swt. berfirman:
Artinya: “ ... maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Maidah (5): 13).
Membiarkan orang yang dimaafkan berarti tidak lagi mempersoalkan kesalahan
yang diperbuatnya. Jadi, orang yang pemaaf adalah yang benar-benar lapang dada
dan tidak lagi peduli dengan kesalahan yang telah diterimanya. Dalam ayat yang
lain Allah Swt.
Artinya: “... dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu
tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS. al-Nur (24): 22).
Hikmah Pemaaf
Di antara hikmah yang dapat dirasakan dari sikap pemaaf di antaranya
adalah sebagai berikut:
a. Orang yang pemaaf akan mendapatkan perlakuan yang lebih baik dari
orang yang dimaafkan. Orang yang dimaafkan merasa mendapatkan perhatian dan
penghormatan dengan dimaafkannya apa yang telah dilakukan, sehingga dia akan
memberikan balasan yang lebih baik dari sekedar sikap pemaaf yang diterima.
b. Orang yang pemaaf akan memperkuat tali silaturrahim dengan orang lain,
termasuk orang yang dimaafkan. Dengan demikian, dia akan tetap memiliki
hubungan yang baik dengan siapa pun.
c. Sikap pemaaf menunjukkan konsistensi seseorang dalam bertakwa.
Artinya, orang yang tidak memiliki sikap pemaaf berarti dia tidak disebut bertakwa
dalam arti yang sebenarnya.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Akhlak adalah hal yang terpenting dalam kehidupan manusia karena akhlak
mencakup segala pengertian tingkah laku, tabi’at, perangai, karakter manusia yang
baik maupun yang buruk dalam hubungannya dengan Khaliq atau dengan sesama
makhluk. Akhlak ini merupakan hal yang paling penting dalam pembentukan
akhlakul karimah seorang manusia. Dan manusia yang paling baik budi pekertinya
adalah Rasulullah S.A.W.

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu seorang sahabat yang mulia menyatakan:
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling baik budi
pekertinya.” (HR.Bukhari dan Muslim).
Daftar Pustaka
 https://www.academia.edu/28912843/
Makalah_AKHLAK_DALAM_AJARAN_ISLAM_revisi
 eprints.stainkudus.ac.id
 document.tips_makalah-akhlak-pribadi
 https://d1.islamhouse.com
 https://arrosyadi.files.wordpress.com
 repo.iain-tulungagung.ac.id
 https://www.fityan.org
 memberfiles.freewebs.com
 staffnew.uny.ac.id

Anda mungkin juga menyukai