Anda di halaman 1dari 14

TUGAS TERSTRUKTUR DOSEN PENGAMPU

PENDIDIKAN AKHLAK SELAMAT MAULANA S.Pd. M.Pd

KONSEP AKHLAK ISLAM

OLEH
KELOMPOK 1
JUMIATI : NIM 210101050084
FAJAR FIRDAUS : NIM 210101050301
LAILA NURUL HUDA : NIM 210101050414
M. FAJAR MAULANA : NIM 210101050088

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
BANJARMASIN
2024M/1445 H
A. PENDAHULUAN
Konsep akhlak dalam Islam merupakan aspek yang sangat penting dalam
membentuk karakter dan perilaku umat Muslim. Makalah ini akan membahas
secara komprehensif mengenai konsep akhlak Islam yang meliputi pengertian,
kewajiban fitriah, sumber, ruang lingkup, kemuliaan, serta pandangan Al-Quran
terhadap baik dan buruk. Akhlak, dalam konteks Islam, merujuk pada sifat-sifat
kebaikan yang membentuk karakter individu dan memengaruhi interaksi manusia
dengan sesama, Tuhan, dan alam sekitar.
Sumber utama ajaran akhlak Islam terdapat dalam Al-Quran dan Hadits
Nabi Muhammad SAW, yang memberikan pedoman dan contoh konkret bagi umat
Muslim dalam membentuk akhlak yang mulia. Konsep akhlak juga mencakup
kewajiban fitriah, yang merupakan warisan bagi setiap individu.
Ruang lingkup akhlak Islam meliputi beragam aspek kehidupan, mulai dari
hubungan antar manusia, hubungan manusia dengan Tuhan, hingga interaksi
manusia dengan alam. Kemuliaan akhlak dalam Islam menjadi tujuan utama dalam
kehidupan manusia, yang diharapkan dapat membentuk karakter yang baik dan
memengaruhi hubungan antar manusia dalam berbagai aspek. Selain itu, pandangan
Al-Quran terhadap baik dan buruk juga menjadi bagian penting dalam memahami
konsep akhlak dalam Islam.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Akhlak
Akhlak merupakan kata yang sudah sangat familiar bagi masyarakat

Indonesia, walaupun sesungguhnya kata akhlak itu berasal dari bahasa Arab ‫اخالق‬

yang berarti tabiat, perangai, dan kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia kata akhlak
sama dengan budi pekerti, adab, sopan santun, susila dan tata kerama.
Diantara sekian banyak jenis makhluq ciptaan Allah hanya manusia yang
diberi bekal dengan akhlaq. Allah SWT berfirman:
ِْ ‫ض وا ْْلِب ِال فَاَبي اَ ْن ََّي ِملْنَ ها واَ ْش َف ْقن ِمنْ ها و ََحلَها‬ ِ ِ
‫اْلنْ َسان‬ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ َْ َ َ ِ ‫ضنَا ْاْلََمانَةَ َعلَى ال َس ٰم ٰوت َو ْاْلَْر‬ ْ ‫ا َّن َعَر‬
‫ا‬
‫اِنَهٗ َكا َن ظَل ْوًما َجه ْوًْل‬
Artinya: Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi
dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
(Q.S Al- Ahzab:72)
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. Dengan bekal itu
Allah berharap dapat dijadikan pedoman, landasan dan petunjuk untuk berbuat,
demi kebaikan seluruh makhluq ciptaan-Nya. Tidak ada aspek kehidupan manusia
yang tidak dinaungi dengan petunjuk yang jelas tentang bagaimana manusia harus
berbuat dan bertindak, mengatur, dan membina hubungan baik kepada Tuhannya
(hablun minallah), kepada sesama manusia (hablun minannas) dan kepada alam
sekitarnya. (Al-Ahzab Ayat 72)1
2. Akhlak Sebagai Kewajiban Fitriah
Dalam al-Quran ditemukan banyak sekali pokok-pokok keutamaan akhlak
yang dapat digunakan untuk membedakan perilaku seorang Muslim, seperti
perintah berbuat kebajikan (al- birr), menepati janji (al-wafa), sabar, jujur, takut
pada Allah SWT., bersedekah di jalan Allah, berbuat adil, dan pemaaf (QS. al-
Baqarah (2): 177; QS. al-Muminun (23): 1–11; QS. al-Nur (24): 37; QS. al-Furqan
(25): 35–37; QS. al-Fath (48): 39; dan QS. Ali ‘Imran (3): 134). Ayat-ayat ini
merupakan ketentuan yang mewajibkan pada setiap orang Islam untuk
melaksanakan nilai akhlak mulia dalam berbagai aktivitas kehidupannya.
Keharusan menjunjung tinggi akhlak karimah lebih dipertegas lagi oleh
Nabi Muhammad Saw. dengan pernyataan yang menghubungkan akhlak dengan
kualitas kemauan, bobot amal, dan jaminan masuk surga. Sabda Nabi Saw. yang
diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Amr:

‫رواه الرتمذي‬. ‫َخ َالقًا‬ ِ ‫ِخياَركم أ‬


ْ ‫َحا سنك ْمأ‬
َ ْ
Artinya: “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik akhlaknya ... (HR. al-
Tirmidzi).
Kemudian, Dalam surat al-Kahfi Allah Swt. berfirman:
ۤ ۤ
٢٩: ‫الكهف‬.‫َوق ِل ا ْْلَق ِم ْن َربِك ْم فَ َم ْن َشاءَ فَلْي ْؤِم ْن َوَم ْن َشاءَ فَلْيَكْف ْر‬

1
Suhayib, Studi Akhlak (Yogyakarta: Kalimedia, 2016).,h.1-6
3
Artinya: “Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang
ingin (kafir) biarlah ia kafir".” (QS. al-Kahfi (18): 29)
Baik atau buruk bukan sesuatu yang mutlak diciptakan, melainkan manusia
dapat memilih beberapa kemungkinan baik atau buruk. Namun walaupun manusia
sudah terjatuh dalam keburukan, ia bisa bangkit pada kebaikan kembali dan bisa
bertaubat dengan menghitung apa yang telah dipetik dari perbuatannya.
Syeikh Muhammad Abduh ketika menafsirkan QS. al- Baqarah (2): 286
menjelaskan bahwa kebaikan dikaitkan dengan kasaba, sedang keburukan dikaitkan
dengan iktasaba. Hal ini menandakan bahwa fitrah manusia pada dasarnya adalah
cenderung kepada kebaikan, sehingga manusia dapat melakukan kebaikan dengan
mudah. Berbeda dengan keburukan, yang akan dikerjakan manusia dengan susah
payah, penuh kegoncangan dan kekacauan.
Dengan demikian, akhlak telah melekat dalam diri manusia secara
fitriahnya. Dengan kemampuan fitriah ini ternyata manusia mampu membedakan
batas kebaikan dan keburukan, dan mampu membedakan mana yang tidak
bermanfaat dan mana yang tidak berbahaya.2
3. Sumber Akhlak Islam
Sumber akhlak adalah Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad SAW, akal
sehat, dan Nurani. Mengapa demikian, karena pada dasarnya akhlak merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam yang sumber utamanya adalah Al-
Qur'an dan sunah Nabi Muhammad SAW. Kedua sumber utama tersebut dipahami
oleh para ulama salaf saleh, yakni ulama terdahulu yang saleh, secara mendalam
dengan akal sehat (al-'aql al-salim) dan nurani bersih (al-qalb al-salim) se- hingga
menghasilkan pemikiran tentang akhlak yang tercerahkan. Seorang muslim
meyakini bahwa minuman keras, berjudi, berkurban untuk berhala atau sesajen, dan
mengundi nasib dengan anak panah merupakan perbuatan keji karena Al-Qur'an
menyatakan demikian, sebagaimana disebutkan pada ayat berikut.

2
Marzuki, Prinsip Dasar Akhlak Mulia (Yogyakarta: Debut Wahana Press, 2009).
4
‫صاب َو ْاْلَْزَْلم ِر ْجس ِم ْن َع َم ِل الشَْي ٰط ِن‬ ِ ِ ِ
َ ْ‫ْٰٰٓيَي َها الَذيْ َن اٰ َمن ْْٓوا اََّنَا ا ْْلَ ْمر َوالْ َمْيسر َو ْاْلَن‬
‫اجتَنِب ْوه لَ َعلَك ْم ت ْفلِح ْو َن‬ ْ َ‫ف‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras,
berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah
perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-
perbuatan) itu agar kamu beruntung." (QS. Al-Ma'idah [5]:90)
Firman Allah ini kemudian dicerna oleh nalar sehat dan nurani bersih para
ulama saleh sehingga sumber akhlak dalam Islam itu merupa- kan keterpaduan
antara Al-Qur'an dan sunah, yang merupakan dimensi keilahian, dengan akal dan
nurani, yang merupakan dimensi kemanusiaan. Al-Qur'an dan sunah Nabi
merupakan sumber utama ajaran Islam, termasuk sumber utama akhlak dalam
Islam, sedangkan nalar dan nurani merupakan pelengkap yang membuktikan bahwa
ajaran Islam itu sejalan dengan nalar yang sehat dan nurani yang bersih. Singkatnya,
sumber akhlak dalam Islam itu keterpaduan dimensi keilahian dan kemanusiaan.3
4. Ruang Lingkup Aklahk Islam
Berdasarkan berbagai macam definisi akhlak, maka akhlak tidak memiliki
pembatasnya, ia melingkupi dan mencakup semua kegiatan, usaha, dan upaya
manusia, yaitu dengan nilai-nilai perbuatan. Dalam perspektif Islam, akhlak itu
komprehensif dan holistik, dimana dan kapan saja mesti berakhlak. Oleh sebab
itulah merupakan tingkah laku manusia dan tidak akan pernah berpisah dengan
aktivitas manusia. Jadi, ruang lingkup akhlak Islam adalah seluas kehidupan
manusia itu sendiri yang mesti diaplikasikan fi kulli al-makan wa fi kulli al zaman.
Akhlak Islam meliputi:
a. Ahklak terhadap Allah (Khalik)
Mencintaui Allah melebihi cinta kepada apa dan siapa pun juga, dengan
mempergunakan firmanNya dalam Al-Quran sebagai pedoman hidup dan
kehidupan, mentauhidkan Allah dan menghindarkan syirik, bertaqwa kepadaNya
(melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala laranganNya), mengharapkan
dan berusaha memperoleh keridhaan Allah, mensyukuri nikmat dan karunia Allah,

3
Asep Usman Ismail, Akhlak Tasawuf (Jakarta Timur: Bumi Aksara, 2023), 55.
5
memohon ampunan hanya kepada Allah, memohon pertolongan kepadaNya
melalui berdoa, berdzikir di waktu siang ataupun malam, baik dalam keadaan
berdiri, duduk, ataupun berbaring dan bertawakal kepadaNya.4
b. Akhlak terhadap lingkungan
Lingkungan alam dan lingkungan makhluk hidup lainnya, termasuk air,
udara, tanah, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Jangan membuat kerusakan dimuka
bumi ini.
c. Akhlak Kepada Sesama Manusia
Hubungan antara sesama manusia hendaknya saling memuliakan dengan
bersikap adil ketika memutuskan sesuatu dan sebagainya. Islam sudah banyak
memberikan contoh perbuatan yang indah jika dilakukan bersama-sama. Islam
menganjurkan manusia untuk berkumpul di masjid lima kali setiap harinya untuk
salat berjamaah. Itu semua dianjurkan supaya bisa saling bertemu satu sama lain,
sehingga akan melahirkan cinta dan terjadilah persatuan.5
5. Kemuliaan Seseorang dengan Akhlak
Dalam Islam akhlak adalah ukuran utama. Dengan akhlak mulia seseorang
akan beroleh kemuliaan dunia dan akhirat. Kemuliaan dunia berupa kualitas
tertinggi dihadapan manusia, meskipun dirinya tidak memiliki harta benda dan
jabatan tinggi. Para ulama selalu menekankan seorang murid untuk belajar
berkahlak sebelum memperdalam ilmu agama.
Ungkapan “akhlak sebelum ilmu” sangat populer dikalangan penuntut ilmu
agama. Seorang tokoh Tabi’in, Ibnul Mubarak mengatakan, saya belajar selama 50
tahun dimana 30 tahun pertamanya adalah belajar akhlak mulia.Dengan akhlak
mulia, meskipun dengan ilmu sekedarnya, kemuliaan seseorang akan diraih.
Banyak kisah para awliya Allah yang bukan dari golongan ulama, namun
orang yang sangat baik akhlaknya. Oleh karena itulah, seseorang yang berakhlak
mulia disejajarkan derajatnya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan

4
Rohidin, Pendidikan agama Islam sebuah pengantar, Cetakan 1 (Yogyakarta: FH UII
Press, 2018), 230.
5
Anis Ridha Wardati, “KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK ANAK USIA SEKOLAH
DASAR MENURUT IBNU MISKAWAIH (Telaah Kitab Tahdzib al-Akhlaq),” DARRIS: Jurnal
Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah 2, no. 2 (1 November 2019): 64–77,
https://doi.org/10.47732/darris.v2i2.127.
6
orang yang selalu menghidupkan malam dengan shalat-shalat malam dan berpuasa
penuh sepanjang tahun kecuali lima hari yang diharamkan.
Demikian pula dengan kemuliaan di akhirat. Dalam sebuah hadits,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan balasan bagi orang yang
berakhlak mulia kelak di kehidupan khirat. Salah satu teladan akhlak Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap seorang rabi (pendeta agama Yahudi)
bernama Zaid bin Sa’yah. Ia pernah membaca di sebuah kitab kuno bahwa Nabi
akhir zaman salah satu cirinya adalah perlakuan seburuk apa pun terhadapnya tidak
akan menambahkan kepadanya kecuali sikap santun dan sabar.
Zaid kemudian ingin menguji apakah sifat itu ada pada diri Muhammad. Ia
lalu memberi utang Nabi dengan utang yang disepakati temponya. Tiga hari
sebelum jatuh tempo, Zaid mendatangi Nabi untuk menagih utang dengan kata-kata
kasar. “Aku adalah penjamin istana di surga bagian bawah bagi orang yang
meninggalkan perdebatan (yang tidak ada manfaatnya) meskipun ia benar, dan
dengan istana di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun ia
bercanda, serta istana di surga yang paling tinggi bagi orang yang berakhlak mulia”
(HR Abu Dawud). Dalam hadis lain yang artinya “Sungguh, dengan kemuliaan
akhlak, seorang Mukmin akan mencapai derajat orang yang berpuasa sepanjang
tahun (kecuali lima hari yang diharamkan) dan mendirikan shalat malam sepanjang
tahun” (HR Abu Dawud).
Hal itu memancing kemarahan Umar bin Khatthab yang kala itu berada di
dekat Nabi hampir saja mencelakai Zaid dan membunuhnya. Rasulullah dengan
sabar dan santun spontan mencegah apa yang ingin dilakukan oleh Umar. Melihat
hal itu, Zaid langsung mengucapkan dua kalimat syahadat dan masuk Islam.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah. Akhlak yang mulia juga ditunjukkan oleh
salah seorang cicit Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Imam Ali bin Husain
bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum yang berjuluk as-Sajjad Zainal ‘Abidin.
Suatu ketika beliau berwudhu dengan dibantu oleh salah seorang budak
perempuannya. Sang budak memegang sebuah teko (cerek) yang berisi air dan
dituangkan sedikit demi sedikit untuk diambil Imam Zainal Abidin dan dibasuhkan
ke anggota-anggota wudhu. Tiba-tiba teko itu lepas dari genggaman sang budak
7
dan jatuh mengenai kepala Imam Zainal Abidin. Seketika kepala beliau luka dan
mengucurkan darah. Budak perempuan itu gemetar badannya dan sangat takut.
Lantas sang budak berkata: wahai tuanku, “(Orang-orang yang bertakwa
adalah) mereka yang mampu menahan amarah”. Sang Imam berkata: “Aku telah
menahan amarahku” Budak itu melanjutkan potongan ayat berikutnya: “(Orang-
orang yang bertakwa juga adalah) mereka yang memaafkan kesalahan orang lain”.
Imam Zainal Abidin berkata: “Aku telah memaafkanmu, silakan pergi, engkau
sekarang aku merdekakan karena Allah ta’ala”. Hadirin rahimakumullah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: yang artinya: “Siapa yang
menahan amarah padahal ia mampu melampiaskannya, maka Allah akan
memanggilnya di hadapan para makhluk pada hari kiamat hingga ia dipersilakan
memilih bidadari mana yang ia kehendaki” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dan
ia berkata: Ini hadits hasan).6
6. Baik dan Buruk Akhlak dalam Pandangan Islam
a. Macam-macam Baik (kebaikan) Buruk (keburukan)
Akhlak mulia yang digambarkan alquran memberi petunjuk tentang sikap
dan sifat ketundukan manusia kepada seruan Tuhan yang diperkuat dengan
kemampuan akalnya. Dengan kata lain kebaikan akhlak adalah kebaikan yang
disandarkan kepada pentunjuk syara’ dan akal sehat manusia sekaligus.
Ibnu Miskawih menyatakan bahwa kebaikan manusia terletak pada
“berfikir” Menurut beliau kebahagian hanya akan terjadi jika terlahir tingkah laku
yang sempurna yang khas bagi alamnya sendiri, dan bahwa manusia akan bahagia.
Oleh karena itu kebahagian manusia bertingkat-tingkat dengan jenis pemikiran dan
yang dipikirkanya. Sedangkan akhlak tercela yang diinformasikan Alquran
memberikan gambaran bahwa perilaku itu merupakan kemenangan tabiat buruk
manusia. Seperti telah dijelaskan pada keterangan yang telah lalu, pada dasarnya
kecenderungan manusia kepada keburukan dipengaruhi oleh hawa dan syahwatnya.
Oleh karena itu, wajar bila Alquran menjelaskan bahwa menuruti hawa nafsu
merupakan akhlak tercela. Akhlak tercela juga menggambarkan kebodohan,

6
Adnan Jamaluddin FHasyim, Akhlak Sebagai Barometer Kemuliaan Seseorang (Jakarta
pusat, 2022), h. 5-8
8
kesombongan, kerakusan dan sifat-sifat lainya yang menandakan manusia
dikendalikan oleh syahwah-nya.
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa kebaikan akhlak adalah
kemenangan potensi jiwa yang mengarahkan manusia pada kebaikan, berupa aql,
qalb, dan bashirah-nya untuk mengendalikan hawa dan syahwah-nya.
Miskawih membagi fakultas jiwa terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
fakultas berpikir (al-quwwah al-nathiqah), fakultas nafsu syawiyah disebut fakultas
binatang, dan fakultas amarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah) disebut fakultas
binatang buas.
Berdasarkan fakultas ditegaskan Ibnu Miskawih bahwa kebaikan yang
sempurna adalah kebahagian merupakan akhir kebaikan dan kebaikan yang paling
utama. Pada akhirnya beliau menyatakan bahwa tingkatan kebajikan terakhir adalah
apabila seluruh perbuatan manusia bersifat Ilahi. Dalam kehidupan manusia
terdapat kewajiban berbuat baik dan menghindari perbuatan jelek/buruk yang
bersifat universal dan merupakan keharusan moral, berdasarkan kodrati
kemanusiaan. Berdasarkan itu manusia mengerti segala kewajibannya sebagai
perintah Tuhan. Itulah sebetulnya bukti tentang adanya Tuhan, dan bukti itu adalah
bukti yang praktis.
Bila diklasifikasikan berdasarkan dimensi, menurut Al-Ghazali, akhlak
mempunyai tiga dimensi, yaitu: dimensi diri, yakni orang dengan dirinya dan
Tuhannya seperti ibadah dan shalat; dimensi sosial, yakni masyarakat, pemerintah
dan pergaulannya dengan sesamanya; dan dimensi metafisis, yakni aqidah dan
pegangan dasarnya.
Ketuhanan adalah dasar dari seluruh kesusilaan dan tujuan kesusilaan.
Tanpa ketuhanan tidak mungkin ada kesusilaan yang berkembang. Kebenaran
teristimewa dalam ilmu akhlak/etika adalah postulat: adanya Tuhan, kebebasan
kehendak, dan keabadian jiwa.7

7
Enoh, “Konsep Baik (Kebaikan) dan Buruk (Keburukan) dalam Al-Qur’an,” Jurnal Sosial
dan Pembangunan 23 (2007), h. 15-39
9
b. Pembahansan Konsep Kebaikan (Baik) dan Keburukan (Buruk) dalam Alquran
Keragaman Istilah Baik (Kebaikan) dan Buruk (Keburukan) Memang tidak
mudah untuk membedakan secara tegas perbedaan penggunaan istilah-istilah
termasuk yang sama-sama mengandung pengertian kebaikan-keburukan. Namun
bila ditelaah secara seksama, akan dapat ditemukan bahwa masing-masing istilah
memiliki kecenderungan tertentu dalam menunjukkan kebaikan.
Al-Ashfahani menyebutkan bahwa kata al-husnu merupakan gambaran segala
sesuatu yang menyenangkan dan disukai, baik berdasarkan pandangan akal, hawa,
atau dari segi pandangan secara fisik. Sedangkan Al-khair adalah segala sesuatu
yang disukai, seperti akal, adil, utama, dan sesuatu yang bermanfaat.
Kebaikan berdasarkan kata ini dibagi dua, yaitu kebaikan mutlaq dan
kebaikan muqayyad. Kebaikan mutlak adalah kebaikan yang disenangi pada setiap
keadaan dan siapa pun, seperti syurga. Sedangkan kebaikan muqayyad adalah
kebaikan yang mungkin baik bagi seseorang dan dalam keadaan tertentu, tetapi
tidak bagi yang lainnya atau dalam keadaan lainnya. Al-khair yang diartikan harta
untuk kepentingan wasiat dalam QS. 2: 180, menurut para ulama adalah harta yang
banyak dan suci/bersih. Dalam pemakaiannya kata al-khair-al-syarr dapat diartikan
sebagai isim (QS. 3:104) dan dapat pula sebagai sifat pada wajan af’ala (2: 106,
197). Sedangkan pada QS. 2: 184 dapat diartikan kedua-duanya. Al-syarr
menunjukkan pengertian segala sesuatu yang dibenci. Biasanya keburukan yang
ditunjukkan dengan kata al-syarr diperkuat dengan menyebut kata al-khair dan
macamnya (QS. 12: 77; 19: 85; 25: 34).
Seseorang yang buruk adalah yang terpanggil pada keburukan, dan kaum
yang buruk dinisbatkan kepada keburukannya. Sementara Ibnu Manzhuur
menyatakan bahwa keburukan manusia adalah sesuatu yang menjadikannya hina.
Untuk menggambarkan kebaikan dalam istilah al-khairat, Alquran menunjukkan
perintah untuk berlomba-lomba (QS. 2: 148; 5: 48), atau bersegera meraihnya (QS.
3: 114; 21: 90; 23: 61). Penggunaan kalimat-kalimat tersebut menunjukkan bahwa
kebaikan dimaksud harus diraih dengan kerja keras untuk menunjukkan keutamaan
masing-masing dibanding lainnya. Ayat-ayat itu menyatakan bahwa masing-
masing mempunyai jalan yang dianggap baik menuju keutamaan hidup. Salah satu
10
bentuk kebajikan mukmin adalah jihad dengan jiwa dan harta (QS. 9: 88).
Selanjutnya Alquran menjelaskan bahwa keutamaan yang hakiki adalah keutamaan
berdasarkan ilham yang diberikan Allah (QS. 21: 73). Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa konsep kebaikan dan keburukan dalam term al-khair-al-syarr,
memiliki kecenderungan dalam menggambarkan kebaikan dan keburukan yang
berdimensi sosial. Kebaikan dan keburukan berdasarkan istilah ini lebih
menggambarkan kebaikan dan keburukan yang tidak mudah diketahui oleh
masyarakat banyak, melainkan hanya oleh orang-orang tertentu. Dengan demikian
wajar bila Alquran mengisyaratkan bahwa untuk sampai pada al-khair mesti diajak
bukan diperintahkan.
Sedangkan konsep kebaikan dan keburukan dalam term al-ma’ruf-al-
munkar menunjukan kecenderungan kepada kebaikan-keburukan yang
berhubungan dengan ketaatan dan ketundukan manusia kepada Allah, sang
Pencipta. Secara akal dan syara’ mudah dikenali masyarakat umum. Secara tegas,
Alquran sering menggunakan istilah al-ma’ruf-al-munkar dengan dipersandingkan
dengan kata ‘amara dan naha. Berdasarkan pencarian frase, dalam Alquran
ditemukan sebanyak 14 kali persandingan al-ma’ruf dengan kata ‘amara, dan 12
kali kata al-munkardengan naha. Keterangan lain dapat dirujuk adalah bahwa secara
konstektual penggunaan kata al-ma’ruf dalam Alquran yang senantiasa
berhubungan dengan persoalan dan ketentuan yang digariskan Allah secara syar’i.
Oleh sebab itu dapat dimaklumi bila Al-Suyuthi menegaskan bahwa al-ma’ruf dan
al-munkar bersifat syar’iyah.
Konsep kebaikan dan keburukan dalam term al-mashlahah dan al-mafsadah
lebih cenderung kepada gambaran kebaikan yang berhubungan dengan kebaikan-
keburukan alam dan lingkungan secara umum dan menunjukkan kebaikan bersifat
amaliyah. Keterangan ke arah tersebut dapat dilihat dari larangan berbuat kerusakan
di bumi, baik secara fisik maupun pada tatanan kehidupan secara umum. Para
mufasir, disamping memaknai amal shalih dengan sejumlah ketaatan, juga
menjelaskan bagaimana peperangan, permusuhan, dan lainnya sebagai hal yang
merusak tatanan kehidupan sehingga dikategorikan sebagai perbuatan merusak al-
mafsadah di muka bumi dan harus dicegah demi kemaslahatan.
11
Pada akhirnya Alquran mengoreksi sekaligus mengarahkan manusia pada
kebaikan akhlak yang hakiki yang secara mutlak tergambar dalam penggunaan al-
birr, sebagai kebaikan yang hakiki dan menggambarkan integrasi akal, perasaan,
sekaligus tuntunan syara dalam menentukan baik buruk, sehingga mencakup
sekaligus mengintegralkan seluruh kebaikan dari berbagai dimensi.8

8
Enoh., h. 15-39
12
KESIMPULAN

Pemahaman dan penerapan akhlak dalam masyarakat sangat penting untuk


membentuk karakter yang baik dan harmonis. Nilai-nilai kebaikan yang tercakup
dalam akhlak Islam, seperti keadilan, kesabaran, dan kejujuran, perlu diintegrasikan
dalam kehidupan sehari-hari.
Sumber akhlak dari Al-Qur'an dan sunah Nabi Muhammad SAW menjadi
landasan utama, dan pemahaman yang mendalam tentang konsep kebaikan dan
pencegahan keburukan perlu ditekankan.
Pendidikan agama dan pemahaman Al-Qur'an menjadi kunci untuk
membentuk masyarakat yang sadar nilai dan menjalani kehidupan sesuai dengan
prinsip-prinsip akhlak Islam. Dengan fokus pada pengembangan kecerdasan
emosional dan spiritual, serta implementasi nilai-nilai akhlak dalam segala aspek
kehidupan, diharapkan masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang berakhlak
mulia sesuai dengan ajaran Islam.

13
DAFTAR PUSTAKA

Enoh. “Konsep Baik (Kebaikan) dan Buruk (Keburukan) dalam Al-Qur’an.” Jurnal
Sosial dan Pembangunan 23 (2007).

Jamaluddin FHasyim, Adnan. Akhlak Sebagai Barometer Kemuliaan Seseorang.


Jakarta pusat, 2022.

Marzuki. Prinsip Dasar Akhlak Mulia. Yogyakarta: Debut Wahana Press, 2009.
Rohidin. Pendidikan agama Islam sebuah pengantar. Cetakan 1. Yogyakarta: FH
UII Press, 2018.

Suhayib. Studi Akhlak. Yogyakarta: Kalimedia, 2016.

Usman Ismail, Asep. Akhlak Tasawuf. Jakarta Timur: Bumi Aksara, 2023.

Wardati, Anis Ridha. “KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK ANAK USIA


SEKOLAH DASAR MENURUT IBNU MISKAWAIH (Telaah Kitab
Tahdzib al-Akhlaq).” DARRIS: Jurnal Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah 2,
no. 2 (1 November 2019): 64–77. https://doi.org/10.47732/darris.v2i2.127.

14

Anda mungkin juga menyukai