Anda di halaman 1dari 196

46

BAB III
TAFSIR QS. AL-HUJURAT AYAT 1 – 18

A. Tafsir QS. Al-Hujurat Menurut Ibnu Katsir

Tafsir Ibnu Katsir merupakan kitab paling penting yang ditulis dalam

masalah tafsir al-Qur’an al-‘Azim, paling banyak diterima dan tersebar di tengah

umat Islam. Beliau telah menghabiskan waktu yang sangat lama untuk

menyusunnya. Tidak mengherankan jika penfafsiran beliau sangat kaya dengan

riwayat (baik hadits maupun atsar), bahkan hampir seluruh hadits riwayat Imam

Ahmad yang terdapat dalam Kitab al-Musnad tercantum dalam kitab ini.

Beliau menggunakan rujukan-rujukan penting lainnya yang sangat banyak,

sehingga sangat bermanfaat dalam berbagai disiplin ilmu agama (seperti aqidah,

fiqh, dan lain sebagainya). Sangat wajar apabila Imam As-Suyuti berkata: “Belum

pernah ada kitab tafsir yang semisal dengannya.”

1. Biografi Pengarang

Beliau adalah imam yang mulia Abdul Fida Imaduddin Ismail bin Umar

bin Katsir al-Quraisy al-Busharwi yang berasal dari kota Basharah, kemudian

menetap di Damascus. Beliau lahir pada tahun 705 H dan wafat pada tahun 774 H.

Beliau adalah seorang ulama yang terkenal dalam bidang tafsir, hadits, sejarah,

dan fiqh. Beliau mendengar hadits dari ulama-ulama Hidjaz dan mendapat ijazah

dari al-Wani serta mendapat asuhan dari ahli ilmu hadits terkenal di Suriah yaitu

Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mazi mertuanya sendiri. Ayahnya meninggal ketika

beliau masih berusia 6 tahun, oleh karena itu sejak tahun 706 H beliau hidup

bersama kakaknya di Damascus.

Beliau juga berguru kepada Ibnu Taimiyah dan sangat mencintai gurunya

itu. Sebagian ulama menggangap beliau sebagai salah seorang murid Ibnu
47

Taimiyah yang paling setia dan paling gigih mengikuti pandangan gurunya dalam

masalah fiqh dan tafsir.

2. Latar Belakang Penulisan

‫ب لوتهبُونيِيننهننلهه إلللناَإس ووول توذكتههموُنوهه فوننوبُوهذوهه وووراءو ظهههوُإرإهذم‬ ‫إ‬ ‫إ‬ ‫إ‬
‫ووإذذ أووخوذ اللهه ميِوثاَوق الذيِون هأوتهوُا الذكوتاَ و‬
‫س وماَ يِوذشتونهرون‬ ‫ئ‬
‫ذ‬ ‫واذشتونرذوا بإإه وثونناَ قولإيِنل فوبُإ‬
‫و‬ ‫و و‬
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang
telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu
kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." Lalu
mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan
mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk
tukaran yang mereka terima.”(QS. Ali Imran 187)

Dengan firman Allah di atas, maka menurut Ibnu Katsir wajib bagi ulama

untuk menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam firman Allah dan

tafsirya.

3. Bentuk, Metode dan Coraknya

Tafsir Ibnu Katsir dipandang sebagai salah satu tafsir bi al-ma’tsur yang

terbaik, berada hanya setingkat di bawah tafsir Ibnu Jarir at-Thabary. Ibnu Katsir

menafsirkan al-Qur’an berdasarkan hadits-hadits dan atsar-atsar yang disanadkan

kepada perawinya, yaitu para sahabat dan tabi’in.

Dalam bidang tafsir, Ibnu Katsir mempunyai metode tersendiri.

Menurutnya jika ada yang bertanya: “Apakah metode tafsir yang paling bagus?”

maka jawabnya: “Metode yang paling shahih dalam hal ini adalah menafsirkan

ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an. Dan perkara-perkara yang global di satu

ayat dapat ditemukan rinciannya dalam ayat lain. jika tidak mendapatkannya maka

hendaklah mencarinya dalam Sunnah karena Sunnah adalah penjelas bagi al-

Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:


48

‫إ إإ‬ ‫إ‬ ‫إ‬ ‫إلناَ أونذنزلذوناَ إلويِ و إ‬


‫ي‬ ‫ب إباَذلويق لتوذحهكوم بون ذ و‬
‫ي اللناَإس وباَ أووراوك اللهه ووول توهكذن لذلوخاَئن و‬ ‫ك الذكوتاَ و‬ ‫و ذ‬
َ‫صيِنما‬ ‫خإ‬
‫و‬
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa
yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi
penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang
khianat.”

Jadi menurut menurut hemat penulis, Ibnu Katsir dalam penafsirannya

mempunyai metode sebagai berikut:

a. Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an.

b. Bila penafsiran al-Qur’an tidak didapatkan, maka al-Qur’an ditafsirkan

dengan hadist Nabi.

c. Kalau yang kedua tidak dapat ditafsirkan maka al- Qur’an harus ditafsirkan

oleh pendapat para sahabat, karena mereka orang yang paling mengetahui

konteks sosial turunnya ayat al-Qur’an.

d. Jika yang ketiga juga tidak didapatkan, maka pendapat para tabi’in perlu

diambil.

4. Bentuk Penafsirannya

Dari aspek bentuk penafsirannya, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya

Ibnu Katsir ini memakai bentuk riwayat (al-ma’tsur). Hal ini dapat dibuktikan

dari hasil penafsiran Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim yang

banyak menggunakan riwayat-riwayat baik dari para sahabat maupun para

tabi’in.

5. Metode Penafsirannya

Dari empat macam metode penafsiran yang berkembang sepanjang sejarah

tafsir al-Qur’an, berdasarkan penelitian saya terhadap Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim


49

karya Ibnu Katsir, ternyata metode yang digunakan dalam tafsir ini adalah metode

analitis (tahlili).

6. Corak Penafsirannya

Dari beberapa corak penafsiran yang berkembang sepanjang sejarah tafsir

al-Qur’an, berdasarkan penelitian saya terhadap Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya

Ibnu Katsir, ternyata corak yang digunakan Ibnu Katsir dalam tafsir al-Qur’an

al-‘Adzim adalah bercorak umum.

7. Karakteristiknya

Diantara ciri khas tafsir Ibnu Katsir adalah perhatiannya yang besar kepada

masalah tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an (menafsirkan ayat dengan ayat). Sepanjang

pengetahuan saya, tafsir ini merupakan tafsir yang paling banyak memuat atau

memaparkan ayat-ayat yang bersesuaian maknanya, kemudian diikuti dengan

penafsiran ayat dengan hadits-hadits marfu’ yang relevan dengan ayat yang

sedang ditafsirkan, menjelaskan apa yang menjadi dalil dari ayat tersebut.

Selanjutnya diikuti dengan atsar para sahabat, pendapat tabi’in dan ulama salaf

sesudahnya.

Dalam hal ini, Rasyid Ridha berkomentar, “Tafsir ini merupakan tafsir

paling masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap riwayat-riwayat dari

para mufassir salaf, menjelaskan makna-makna ayat dan hukumnya, menjauhi

pembahasan masalah I’rab dan cabang-cabang balaghah yang pada umumnya

dibicarakan secara panjang lebar oleh kebanyakan mufassir, menghindar dari

pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam

memahami al-Qur’an secara umum atau hukum dan nasehat-nasehatnya secara

khusus.”
50

Keistimewaan lain dari tafsir Ibnu Katsir adalah daya kritisnya yang tinggi

terhadap cerita-cerita Israiliyat yang banyak tersebar dalam kitab-kitab tafsir bil-

ma’tsur, baik secara global maupun mendetail.

8. Perbedaan dengan Tafsir At-Thabari

Kitab tafsir at-Thabari yaitu “Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an”,

merupakan tafsir paling besar dan utama, menjadi rujukan penting bagi para

mufassir bil-ma’tsur. Para ulama sependapat bahwa belum pernah sebuah kitab

tafsir pun yang ditulis sepertinya. Sehingga Ibnu Katsir pun banyak menukil

darinya. Tidak aneh lagi jika tafsir Ibnu Katsir memiliki sedikit kemiripan dengan

tafsir at-Thabari. Namun dari persaman itu memunculkan perbedaan diantara

kedua kitab tafsir itu, yaitu diantaranya pada kitab tafsir at-Thabari memaparkan

tafsir dengan menyandarkan kepada sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sehingga

pada kitab tafsir at-Thabari terdapat cerita-cerita Israiliyat. Berbeda dengan kitab

tafsir Ibnu Katsir, beliau sangat kritis terhadap cerita-cerita Israiliyat.

9. Tafsir Surat Al Hujurat ayat 1-18 menurut Ibnu Katsir

{1ُ}‫ل ن ووورهسننوُلإإه وواتلنهق نوُا الون إلن الون وإس نيِعع وعلإيِ نهم‬ ‫يِاَأويِنيهنناَ النإذيِن ءامنهنوُا ولتهنوق نيدموُا بني ن يِ نودإي ا إ‬
‫ه وذو و‬ ‫و وو‬ ‫و و‬
‫بن ن وولو وذتوهن نهروا لون نهه بإنناَلذوقذوُإل‬ ‫إ‬ ‫إ‬
‫صن نذوُت النلإ ي‬ ‫ويِاَأويِنيوه نناَ ا نل نذيِون وءاومنهن نوُا ولتونذرفونعهن نوُا أو ذ‬
‫صن نووُاتوهكذم فون نذوُوق و‬
‫{ إلن الن نإذيِون‬2ُ} ‫ط أوذعومن نناَلوهكذم وووأنتهن نذم لوتوذشن نعههروون‬ ‫ض وأن وذتبُون ن و‬ ‫ضن نهكذم لإبُونذعن ن ض‬‫وكجهن نإر بنع إ‬
‫و ذ وذ‬
‫ك النإذيِون اذمتووحنون الهن قهنلنهنوُبونههذم إللتلنذقنووُىَ ولنهنم‬ ‫لن أهذولوئإن و‬
‫ضننوُون أوصنوُاتونهم إعننود رسننوُإل ا إ‬
‫وه‬ ‫ذو هذ‬ ‫يِونغه ي‬
{3ُ} ‫لمذغإفورةع ووأوذجعر وعإظيِعم‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan
suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan
suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap
sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu
tidak menyadari. Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi
51

Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah
untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar (QS. 49 Al-
Hujurat1-3)1

Melalui ayat-ayat ini Allah SWT mengajarkan etika sopan santun kepada

hamba-hamba-Nya yang beriman dan bergaul dengan Rasulullah SAW. Yaitu

hendaknya mereka menghormati, memuliakan, dan mengagungkan beliau SAW.

Untuk itu Allah SWT berfirman:

‫ي يِوودإي الإ ووورهسوُلإإه‬ ‫إ‬


‫ويِاَأويِنيوهاَ الذيِون وءاومنهوُا ولتهنوقيدهموُا بون ذ و‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya
(QS. Al-Hujurat 1)

Maksudnya, janganlah kalian tergesa-gesa dalam segala sesuatu di

hadapannya, yakni janganlah melakukannya sebelum dia, bahkan hendaknyalah

kamu mengikuti kepadanya dalam segala urusan. Dan termasuk kedalam

pengertian umum etika yang diperintahkan Allah ini adalah hadis Mu’az r.a.

ketika diutus oleh Nabi SAW ke negeri Yaman. Nabi SAW bertanya kepadanya,

“Dengan apa engkau putuskan hukum?” Mu’az menjawab, “Dengan Kitabullah”.

Rasul SAW bertanya. “Kalau tidak kamu temuka?” Mu’az menjawab, “Dengan

Sunnah Rasul”. Rasul SAW bertanya, “Jika tidak kamu temukan?” Mu’az

menjawab, “Aku akan berijtihad sendiri”. Maka Rasulullah SAW mengusap

dadanya seraya bersabda:

‫ل علويِإه وسلم لإماَ يِنرإضىِ رسوُول ا إ‬


‫ل وعلوذيِإه وووسلوم‬ ‫إ إ‬ ‫إ إ‬
‫اوذلوذمهد ل الذىَ ووفلوق ورهسذوُول ورهسذوُل ا و ذ و و و و هذ و ه ذ‬
Segala Puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah kepada apa
yang diridhai oleh Rasulullah.

1 Ad-Dimasyqi Al-Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu Kasir, Tafsirul Qur’anil Adzimi, terj.
Bahrun Abu Bakar dkk, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2008), Cet. II, hlm. 283-284.
52

Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, dan Imam Ibnu Majah

telah meriwayatkan hadis ini pula. Kaitannya dengan pembahasan ini adalah

Mu’az menangguhkan pendapat dan ijtihadnya sendiri sesudah Kitabullah dan

sunnah Rasul-Nya. Sekiranya dia mendahulukan ijtihadnya sebelum mencari

sumber dalil dari keduanya, tentulah dia termasuk orang yang mendahului Allah

dan Rasul-Nya.

Ali Ibnu Talhah telah dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna
firman-Nya:
‫ي يِوودإي الإ ووورهسوُلإإه‬
‫لوتهنوقيدهموُا بون ذ و‬

Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya (QS. Al-Hujurat-1)

Yakni janganlah kamu katakan hal yang bertentangan denga Kitabullah

dan sunnah. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa mereka (para

sahabat) dilarang berbicara disaat Rasulullah SAW sedang berbicara. Mujahid

mengatakan “ janganlah kamu meminta fatwaa kepada Rasulullah SAW tentang

suatu perkara, sebelum Allah SWT menyelesaikan melalui lisannya”. Ad-Dakhlak

mengatakan, “janganlah kamu memutuskan suatu urusan yang menyangkut

hukum syari’at agama kalian sebelum Allah dan Rasul-Nya memutuskannya”.

Sufyan As-Sauri telah mengatakan sehubungan dengan makna firman

Allah SWT:

‫ي يِوودإي الإ ووورهسوُلإإه‬


‫ولتهنوقيدهموُا بون ذ و‬

Jang2anlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya (QS. Al-Hujurat-1)

Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-


Nya:3

2 Ibid. Hlm. 285


3 Ibid. hlm 284.
53

‫ي يِوودإي الإ ووورهسوُلإإه‬


‫ولتهنوقيدهموُا بون ذ و‬

Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya (QS. Al-Hujurat-1)

Yaitu janganlah kamu berdo’a sebelum imam berdo’a. Qatadah

mengatakan, telah diceritakan kepada kami bahwa ada beberapa orang yang

mengatakan, “seandainya saja diturunkan mengenai hal anu dan anu. Seandainya

saja hal anu dibenarkan. Maka Allah SWT tidak menyukai hal tersebut; karena hal

tersebut berarti sama dengan mendahului”.

‫وواتلنهقوُا الو‬

Bertakwalah kepada Allah (QS. Al-Hujurat-1)

Dengan mengerjakan semua apa yang diperintahkan-Nya kepada kalian.

‫إلن الو وإسيِعع وعلإيِهم‬


Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. Al-Hujurat 1)

Yakni Dia mendengar semua ucapan kalian dan mengetahui semua niat

kalian.

Firman Allah SWT:

‫يِاَأويِنيهاَ الإذيِن ءامنهوُا ولتونرفونعوُا أوصوُاتوهكم فونوُوق إ‬


‫صذوُت النلإ ي‬
‫ب‬ ‫ذ ه ذو ذ ذ و‬ ‫و وو‬ ‫و و‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi
suara Nabi (QS. Al-Hujurat-2)

Ini merupakan etika lainnya yang melaluinya Allah mendidik hamba-

hamba-Nya yang beriman agar mereka jangan meninggikan suaranya dihadapan

Nabi SAW lebih tinggi dari pada suaranya. Menurut suatu riwayat, ayat ini

diturunkan berkenaan dengan dua orang syekh, yakni Abu Bakar dan Umar. Imam
54

Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Busrah Ibnu Sahwan Al-

Lakhami, telah menceritakan kepada kaum Nafi’ Ibnu Umar, dari Ibnu Abu

Mulaikah yamg mengatakan bahwa hampir saja kedua orang yang terbaik binasa

(yaitu Abu Bakar dan Umar) karena keduanya meninggikan suaranya dihadapan

Nabi SAW disaat datang kepada beliau kafilah Bani Tamim. Lalu salah seorang

dari keduanya berisyarat kepada Al-Aqra’ ibnu Haris r.a. saudara lelaki Bani

Mujasyi’, sedangkan yang lain berisyarat kepada lelaki yang lainnya. Nafi’

mengatakan bahwa dia tidak ingat lagi nama lelaki itu. Maka Abu Bakar berkata,

“engkau ini tidak lain kecuali bersikap berbeda denganku”. Umar menjawab, “aku

tidak berniat berbeda denganmu”. Maka suara keduanya kuat sekali

memperdebatkan hal tersebut, lalu sehubungan dengan peristiwa itu Allah SWT

menurunkan firmannya:

‫بن ن وولو وذتوهن نهروا لنو نهه بإنناَلذوقذوُإل وكوجذهن نإر‬ ‫إ‬ ‫إ‬
‫صن نذوُت النلإ ي‬ ‫ويِاَأويِنيوه نناَ ا نل نذيِون وءاومنهن نوُا ولتونذرفونعهن نوُا أو ذ‬
‫صن نووُاتوهكذم فون نذوُوق و‬
٢ ‫ط أوذعوماَلوهكذم وووأنتهذم لوتوذشعههروون‬ ‫ض وأن وذتبُو و‬ ‫ضهكذم لإبُونذع ض‬ ‫بنع إ‬
‫وذ‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi


suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras,
sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain,
supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari (QS.
Al-Hujurat 2).

Ibnu Zubair r.a. mengatakan bahwa sesudah turunnya ayat ini Umar r.a.

tidak berani lagi angkat bicara dihadapan Rasulullah SAW melainkan

mendengarnya lebih dahulu sampai mengerti. Akan tetapi, Ibnu Zubair tidak

menyebutkan dari ayahnya tentang Abu Bakar r.a. hadis ini diriwayatkan secara

tunggal oleh Imam Muslim.4

4 Ibid. hlm. 285-287


55

Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami

Hasan Ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij,

telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Mulaikah, bahwa Abdullah Ibnu Zubair

r.a. menceritakan kepadanya bahwa pernah datang iringan kafilah dari Bani

Tamim kepada Nabi SAW. Maka Abu Bakar r.a. berkata, “angkatlah Al-Qa’qa

Ibnu Ma’bad sebagai pemimpin mereka”. Dan Umar r.a. berkata, “angkatlah Al-

Aqra’ Ibnu Habis sebagai pemimpin mereka”. Maka Abu Bakar r.a. berkata, “tiada

lain tujuannya adalah untuk menentangmu”, akhirnya keduanya perang mulut

hingga suara mereka gaduh dihadapan Nabi SAW. Maka turunlah firman Allah

SWT:

‫ي يِوودإي الإ ووورهسوُلإإه‬ ‫إ‬


‫ويِاَأويِنيوهاَ الذيِون وءاومنهوُا ولتهنوقيدهموُا بون ذ و‬
Hai orang0oarang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-
Nya. (QS. Al-Hujurat 1).
Sampai dengan firman Allah SWT:

‫صبُونهروا وحلت وتذهروج إلوذيِإهذم‬


‫وولوذوُ أوننلههذم و‬
Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui
mereka (QS. Al-Hujurat-5).

Hal yang sama juga telah diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari dalam

kitab tafsirnya secara munfarid dengan sanad yang sama.5

Al-hafidz Abu Bakat Al-Bazzar mengatakan dalam kitab musnadnya, telah

menceritakan kepada kami Al-Fadl Ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami

Ishaq Ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Husain Ibnu Umar, dari

mukhariq, dari Thariq Ibnu Shihab, dari Abu Bakar As-Sidiq r.a. yang mengatakan

bahwa ke6tika ayat ini diturunkan, yaitu firmannya:

5 Ibid. hlm. 287-288


6 Ibid. Hlm. 288
56

‫يِاَأويِنيهاَ الإذيِن ءامنهوُا ولتونرفونعوُا أوصوُاتوهكم فونوُوق إ‬


‫صذوُت النلإ ي‬
‫ب‬ ‫ذ ه ذو ذ ذ و‬ ‫و وو‬ ‫و و‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu
melebihi suara Nabi (QS. Al-Hujurat-2)
Abu Bakar r.a berkata, “wahai Rasulullah, demi Allah, aku tidak akan

berbicara lagi kepadamu melainkan dengan suara yang endah (pelan). Husain Ibnu

Umar sekalipun predikatnya dhaif, tetapi hadis ini telah kami kemukaaka pula

melalui riwayat Abdur Rahman Ibnu Auf dan Abu Hurairah r.a. dengan lafadz

yang semisal; hanya Allah-lah yang Maha Mengetahui.

Imam Bukhari megatakan telah menceritakan kepada kami Ali Ibnu

Abdullah, telah menceritakan kepada kami Azar Ibnu Sa’d, telah menceritakan

kepada kami Ibnu Auf, telah menceritakan kepada kami Musa Ibnu Anas, dari

Anas Ibnu Malik r.a. bahwa Nabi SAW kehilangan Sabit Ibnu Qais r.a. maka

seorang lelaki berkata, “wahai Rasulullah, saya mengetahui dimana ia berada”.

Lalu lelaki itu mendatanginya, dan menjumpainya dirumahnya sedang

menundukan kepalanya. Maka lelaki itu bertanya kepadanya”, mengapa kamu?”

ia menjawab, bahwa dirinya celaka karena telah meninggikan suaranya di hadapan

Nabi SAW lebi dari suara Nabi SAW. Dan ia beranggapan bahwa amal baiknya

telah dihapuskan, maka ia termasuk ahli neraka.

Lelaki itu kembali kepada Nabi SAW dan menceritakan kepada beliau apa

yang dikatakan oleh orang yang dicarinya, bahwa dia telah mengatakan anu dan

anu. Musa Ibnu Anas ,elanjutkan kisahnya, bahwa lelaki itu kembali menemuinya

seraya membawa berita gembira dari Nabi SAW yang telah besabda:

‫ك إمذن أوذهإل اذلونلإة‬ ‫إ‬ ‫اإذذه إ‬


‫ت إمذن أوذهإل اللناَإر وولوإكنل ك‬ ‫ب الوذيِإهوفهقذل لوهه انل و‬
‫ك لوذس و‬ ‫و ذ‬
Kemblilah kamu kepadanya dan katakanlah kepadanya sesungguhnya
engkau bukan ahli neraka tetapi engkau termasuk ahli surga.
57

Imam Bukhari meriwayatkan jalur ini secara tunggal.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah

menceritakan kepada kami Sulaiman Ibnu Mugirah, dari Sabit, dari Anas ibnu

Malik r.a. yang mengatakan bahwa ayat berikut diturunkan, yaitu firman Allah

SWT:

‫يِاَأويِنيهاَ الإذيِن ءامنهوُا ولتونرفونعوُا أوصوُاتوهكم فونوُوق إ‬


‫صذوُت النلإ ي‬
‫ب‬ ‫ذ ه ذو ذ ذ و‬ ‫و وو‬ ‫و و‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi
suara Nabi (QS. Al-Hujurat 2)
Sampai dengan firman-Nya:

‫وووأنتهذم لوتوذشعههروون‬
Sedangkan kamu tidak menyadari (QS. Al-Hujurat 2)

Tersebutlah bahwa Sabit Ibnu Qais Ibnu Syammas seorang yang memiliki

suara yang keras. Maka ia berkata, “akulah yang sering meninggikan suaraku

diatas suara Rasulullah SAW, maka aku termasuk ahli neraka, semua amalku

dihapus”. Lalu ia duduk di tempat tinggal keluarganya dengan hati yang sedih dan

tidak mau keluar lagi.

Maka Rasulullah SAW merasa kehilangan dia, lalu sebagian orang

berangkat untuk menemuinya di rumahnya. Mereka berkata kepadanya bahwa

Rasulullah SAW merasa kehilangan dia, dan mereka menanyakan mengenai

penyebabnya. Sabit Ibnu Qais menjawab, “akulah yang seriang meninggikan

suaraku di atas suara Nabi SAW, dan aku sering berkata dengan saura yang keras

kepad beliau; maka semua amalku dihapuskan dan aku termasuk kepada ahli

neraka”. Lalu mereka kembali kepada Nabi SAW dan menceritakan kepadanya

apa yang telah dikatakan oleh Sabit Ibnu Qais. Maka Nabi SAW bersabda:

‫اَ بوذل ههووُ إمذن أوذهإل اذلونلإة‬,‫ول‬


58

Tidak, bahkan dia termasuk ahli surga.

Anas r.a mengatakan, “sejak saat itu kami melihatnya berjalan diatara

kami, sedangkan kami mengetahui bahwa dia termasuk ahli surga. Ketika perang

Yamamah terjadi, kami mengalami tekanan dari pihak musuh hingga terpukul

mundur. Maka datanglah Sabit Ibnu Qais ibnu Syammas dalam keadaan telah

memakai kapur barus dan mengenakan kain kafan, lalu berkata, “alangkah

buruknya apa yang dianjurkan oleh teman-teman kalia”, kemudian ia maju ke

barisan musuh dan memerangi mereka hingga ia gugur sebagai syuhada, semoga

Allah melimpahkan ridha-Nya kepadanya.

Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Ibnu

Abu Asy-Syaibah, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan Ibnu Musa, telah

menceritakan kepada kami Hammad Ibnu Salamah, dari Sabit Al-Bannani, dari

Anas Ibnu Malik r.a. yang mengatakan bahwa setelah ayat berikut diturunkan,

yaitu firman Allah SWT:

‫إ‬
‫يِيوأويِنيوهاَٱلذيِون وءاومنهوُاذ ول وترفونعهوُاذ وأصيووُتوهكم وفوُوق و‬
‫صوُتإ ٱلنلإ ي‬
‫ب‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi
suara Nabi (QS. AL-Hujurat 2).

Sabit r.a. mengurung diri di dalam rumahnya, dan mengatakan, “aku

termasuk ahli neraka”, dan ia tidak lagi mau keluar menemui Nabi SAW. Maka

Nabi SAW bertanya kepada Sa’d Ibnu Mu’az, “hai Abu Amr, kemana Sabit,

Apakah dia sakit?” Sa’ad r.a. menjawab, “aku memang tetangga dia, tapi aku

tidak mengetahui bahwa dia sakit.” Lalu Sa’ad mendatanginya dan menceritakan

kepadanya perkataan Rasulullah SAW. Maka Sabit r.a. mengatakan, “ayat ini telah

diturunkan, dan seperti yang telah kamu ketahui bahwa aku adalah orang yang
59

paling tinggi nada suaranya diantara kalian melebihi suara Nabi SAW. Karena itu,

aku adalah ahli neraka.”7

Sa’ad r.a. menceritakan kepada Nabi SAW apa yang dikatakan oleh Sabit

itu. Maka Rasulullah SAW bersabda:

‫بوذل ههووُ إمذن أوذهإل اذلونلإة‬


Tidak, bahkan dia termasuk ahli surga.

Imam Muslim meriwayatkan hadis ini dari Ahmad Ibnu Said Ad-Darimi,

dari Hayyan Ibnu Hilal, dari Sulaiman Ibnu Mugirah dengan sanad yang sama;

tetapi dalam riwayat ini tidak disebutkan nama Sa’d ibnu Mu’az r.a. telah

diriwayatkan dari Qatan Ibnu Basyir, dari Jafar Ibnu Sulaiman, dari Sabit, dari

Anas r.a. hal yang semisal; Imam Muslim menyebutkan bahwa dalam riwayatnya

ini tidak disebutkan Sa’d Ibnu Mu’az r.a. Disebutkan bahwa telah menceritakan

kepadaku Hudah Ibnu Abdul A’la Al-Asadi, telah menceritakan kepada kami Al-

Mu’tamir Ibnu Sulaiman, bahwa ia telah mendengar ayahnya bercerita dari Anas

r.a. yang mengatakan bahwa ketika turun ayat ini (al-hujuat-2), lalu disebutkan hal

yang semisal, akan tetapi tidak disebutkan nama Sa’d Ibnu Mu’az. Ditambahkan

pula bahwa kami memnyaksikannya berjalan diantara kami dan kami beranggapan

bahwa dia termasuk ahli surga. Keetiga jalur periwayatan ini berbeda dengan

riwayat Hammad Ibnu Salamah yang diriwayatkannya secara munfarid (tunggal)

dan yang didalamnya disebutkan nama Sa’d Ibnu Mu’az r.a.

Menurut pendapat yang benar, di saat turunnya ayat ini Sa’d Ibnu Mu’az

r.a. tidak ada lagi. Ia telah gugur beberapa hari setelah perang dengan Bani

Quraizah karena luka yang dideritanya, yaitu pada tahun lima hijriah. Sedangkan

ayat ini berkenaan dengan delegasi Bani Tamim. Dan menurut riwayat yang

7 Ibid. hlm. 288-291


60

mutawatir, para ulama menyebutkan bahwa peristiwa ini terjadi pada tahun

sembilan hijriah. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Ibnu Jariri mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah

menceritakan kepada kami Zaid Ibnu Habbab, telah menceritakan kepada kami

ibnu Sabit Ibnu Qais Ibnu Syammas, telah kepadaku pamanku Ismail Ibnu

Muhammad Ibnu Sabit Ibnu Qais Ibnu Syammas, dari ayahnya yang mengatakan

bahwa setelah ayat ini duturunkan, yaitu firman-Nya:

‫ب ووول وتوههرواذ لوههۥ إبٱِلوقوُإل‬ ‫ول وترفونعوُاذ وأص يوُتوهكم وفوُوق إ‬


‫صوُت ٱلنلإ ي‬
‫و‬ ‫ه و‬
Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu
berkata kepadanya dengan suara yang keras (Qs. Al-Hujurat-2).

Maka Sabit Ibnu Qais r.a. duduk di pinggir jalan seraya menangis. Lalu

lewatlah kepadanya Asim Ibnu Addi, dari Banil Ajlan dan bertanya kepadanya,

“mengapa kau menangis, hai Sabit?” Sabit r.a. menjawab, “ayah inilah yang

membuat aku takut, apabila ia diturunkan berkenaan dengan diriku, karena aku

adalah orang yang tinggi suaranya”.

Asim Ibnu Addi r.a. melanjutkan perjalanannya menemui Rasulullah SAW.

Tangisan Sabit semakin menjadi-jadi, lalu ia mendatangi istrinya (Jamilah Binti

Abdullah Ibnu Ubay Ibnu Sulul) dan berkata, “jika aku masuk kamarku, maka

gemboklah kamarku dengan paku.” Maka istrinya melaksanakan apa yang

diperintahlan suaminya itu, lalu Sabit berkata, “aku tidak akan keluar sapai Allah

mewafatkan diriku atau rasulullah SAW meridhaiku.”

Asim r.a. datang kepada Rasulullah SAW, lalu menceritakan kepadanya

apa yang dialami oleh Sabit. Maka beliau bersabda, “pergilah kepadanya dan

undanglah dia untuk datang kepadaku.” Asim r.a. datang ke tempat ia menemui

Sabit, tetapi dia tidak menjumpainya. Lalu ia datang ke rumah keluarga Sabit, dan
61

ia menjumpainya berada di dalam kamar sedang mengunci dirinya, lalu ia berkata

kepadanya bahwa Rasulullah SAW memanggilnya. Maka Sabit berkata, “patahkan

saja kuncinya.”

Lalu keduanya berangkat menuju rumah Nabi SAW, sesampainya di

rumah Nabi SAW, beliau bertanya kepadanya, “apakah yang menyebabkan kamu

menangis, hai Sabit?” Sabit menawab “saya orang yang tinggi suaranya, dan saya

khawatir ayat ini diturunkan berkenan dengan diri saya, “ maksudnya adalah

firman Allah SWT:

‫ب ووول وتوههرواذ لوههۥ إبٱِلوقوُ ل‬ ‫ول وترفونعوُاذ وأص يوُتوهكم وفوُوق إ‬


‫ل‬ ‫صوُت ٱلنلإ ي‬
‫و‬ ‫ه و‬
Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan
janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras (QS. Al-
Hujurat 2)

Maka Nabi SAW bersabda kepadanya:

‫ضىِ أوذن توعإيِش وإ‬


َ‫اَ ووتوذدهخهل اذلونلوة؟‬,‫حذيِندا ووتهنذقتوول وشإهذيِندا‬ ‫ذ و‬ ‫أووماَ تونذر و‬

Tidaklah kamu puas bila kamu hidup dalam keadaan terpuji, gugur
sebagai syuhada, dan masuk kedalam surga?

Lalu Sabit menjawab, “aku rela dengan berita gembira dari Allah SWT,

dan Rasul-Nya, dan aku tidak akan meninggikan suaraku lagi selamanya lebih

dari suara Nabi SAW. Kemudian Allah SWT menurunkan firmannya:

َ‫ك ٱلإذيِونٱِمتووحونٱِللهه قهنهلوُبونههم إلللتقوُويى‬ ‫إلنٱِلإذيِون يِونغه ي‬


‫ضوُون وأصيووُتونههم إعنود ورهسوُإل ٱللإه أهذويلوئإ و‬
Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah
mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk
bertakwa (QS. Al-Hujurat 3).

Kisah ini telah diriwayatkan bukan hanya oleh seorang dari kalangan

Tabi’in. Allah SWT telah melarang orang-orang mukmin meninggikan suaranya

dihadapan Raulullah SAW. Telah diriwayatkan pula kepada kami dari Amirul
62

Mukminin Umar Ibnu Khattab r.a. bahwa ia mendengar mendengar suara dua

orang laki-laki di alam mesjid Nabawi sedang bertengkar hingga suara keduanya

tinggi dan gaduh. Maka datanglah Umar, lalu berkata, “tahukah kamu berdua, di

manakah kamu berada?” kemudian umar r.a. bertanya pula, “dari manakah kamu

berdua?” keduanya menjawab, “dari Taif.” Maka Umar berkata, “seandainya

kamu besua dari kalangan penduduk Madianh, tentu aku pukuli kalian berdua

sampai kesakitan.”8

Para ulama menagtakan bahwa makruh meninggikan suara di hadapan

kuburan Nabi SAW sebagaimana hal itu diimakruhkan saat beliau SAW masih

hidup. Karena sesungguhnya beliau SAW tetap dimuliakan, baik selama hidupnya

maupun sesudah wafatnya untuk selamanya.

Kemudian Allah SWT malarang orang-orang mukmin berbicara

kepadanya dengan suara yang keras sebagaimana seseorang berbicara dengan

temannya, bahkan dia harus bersikap tenang, menghormati dan memuliakannya

saat berbicara kepada beliau SAW dan tentunya dengan suara yang tidak keras.

Karena itulah Allah SWT menyebutkan alam firmannya:

‫ضهكم لإبُوع ض‬
‫ض‬ ‫وول وتهرواذ لوهۥ إبٱِلوقوُإل وكجهإر بع إ‬
‫و و‬ ‫و وه ه‬
Dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana
kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain (QS. Al-Hujurat 2)
Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain:

‫لاَ وتعلهوُاذ دعاَء ٱللرسوُإل بيِنوهكم وكهدعاَإء بع إ‬


َ‫ضهكم وبعضا‬ ‫و و‬ ‫و هو و ه و‬
Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan
sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). (QS. An-Nur 63)

Adapun firman Allah SWT:

8 Ibid. hlm. 291-293


63

٢ ‫ط وأعيوملههكم وووأنهتم ول وتشعههروون‬


‫أن وتبُو و‬
Supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari
(QS. Al-Hujurat 2)
Yakni sesungguhnya Kami melarang kalian meninggikan suara di hadapan

Nabi SAW lebih dari suaranya tiada lain karena dikhawatirkan beliau akan marah,

yang karenanya Allah pun marah disebabkan kemarahannya. Dan karenanya maka

dihapuskanlah amal baik orang yang menbuatnya marah, sedangkan dia tidak

menyadarinya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis shahih yang

menyebutkan:

Sesungguhnya seseorang benar-benar mengucapkan suatu kalimat yang


diridhai oleh Allah SWT sedangkan dia tidak menyadarinya, hingga
ditetetapkan baginya surga karenanya. Dan sesungguhnya seseorang
mengucapkan suatu kalimat yang dimurkai oelh Allah SWT tanpa ia
sadari hingga menjerumuskan dirinya keneraka karenanya,lebih jauh dari
jarak antara langit dan bumi.

Kemudian Allah SWT menganjurkan kepada orang-orang mukmin agar

merendahkan suaranya di hadapan Nabi SAW. Allah SWT memberi mereka

semangat dan bimbingan serta anjuran kepada mereka untuk melakukannya.

Untuk itu Allah SWT berfirman:

َ‫ك ٱلإذيِونٱِمتووحونٱِللهه قهنهلوُبونههم إلللتقوُويى‬ ‫إلنٱِلإذيِون يِونغه ي‬


‫ضوُون وأصيووُتونههم إعنود ورهسوُإل ٱللإه أهذويلوئإ و‬
Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah
mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk
bertakwa (QS. Al-Hujurat 3).

Yakni diasah untuk bertaqwa dan menjadikannya sebagai ahli dan tempat

untuk taqwa, sehingga taqwa benar-benar meresap ke dalam hati sanubarinya.9

٣ ‫وهلم لمغإفورة وووأجعر وعإظيِعم‬

Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar (QS. Al-Hujurat 3)

9 Ibid. hlm. 294-295


64

Imam Ahmad mengatakan di dalam kitab Zuhud-nya, telah menceritakan

kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari

Mansur, dari Mujahid yang mengatakan bahwa ia pernah berkirim surat kepada

Khalifah Umar r.a. yang isinya sebagai berikut: “wahai Amirul Mukminin,

seseorang tidak berselera terhadap maksiat dan tidak mempunyai keinginan untuk

melakukannya; apakah dia lebih utama dari pada seseorang yang ingin melakukan

maksiat, tetapi dia tidak mengerjakannya?” maka Khalifah Umar r.a. menjawab,

“bahwa sesungguhnya orang-orang yang ingin melakukan maksiat, tetapi mereka

tidak mengerjakannya.

٣ ‫ك ٱلإذيِونٱِمتووحونٱِللهه قهنهلوُبونههم إلللتقووُيىَ وهلم لمغإفورة وووأجعر وعظإيِعم‬


‫أهذويلوئإ و‬
Mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk
bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar (QS.Al-Hujurat
3)10

Al-Hujurat, ayat 4-5

‫إ‬ ‫إ‬ ‫إ‬ ‫إلنٱِلنإذيِن يِنوناَدونون و إ‬


‫ وولنونوُ أوننلههننم و‬٤ ‫ك مننن وووراء ٱلهحهجنيورت وأكثونهرههننم ول ويِعقلنهنوُون‬
‫صنوبهواذ وح ل يت ن وتنهروج‬ ‫وه ه‬
٥ ‫إلويِإهم لووكاَون وخيَا لهلم ووٱللهه وغهفوُر لرإحيِم‬

Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu)


kebanyakan mereka tidak mengerti. Dan kalau sekiranya mereka bersabar
sampai kamu keluar menemui mereka sesungguhnya itu lebih baik bagi
mereka, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-
Hujurat 4-5).

Kemudain Allah SWT mencela orang-orang yang memanggil Nabi SAW

dari luar kamarnya, yakni kamar-kamar istrinya, seperti yang dilakukan oleh

10 Ibid. hlm. 296


65

kebiasaan orang-orang Arab kampung yang keras lagi kasar wataknya. Untuk itu

Allah SWT berfirman:

‫أكثونهرههم ول ويِعإقهلوُون‬
kebanyakan mereka tidak mengerti (QS. Al-Hujurat-4)

kemudian Allah SWT memberi petunjuk kepada etika sopan santun dalam

hal tersebut. Untuk itu Allah SWT berfirman:

‫صبُونهرواذ وح ل يت وتهروج إلويِإهم لووكاَون وخيِرا لهم‬


‫ووولوُ أوننلههم و‬

Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui


mereka sesungguhnya itu lebih baik bagi mereka (QS. Al-Hujurat 1).
Yakni tentulah hal tersebut mengandung kebaikan dan maslahat bagi di

dunia dan akhiratnya. Kemudian Allah SWT menyeru mereka untuk bertobat dan

kembali kepada-Nya:

٥ ‫ووٱللهه وغهفوُر لرحإيِم‬


Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Hujurat : 5)

Menurut riwwayat, ayat ini berkenaan dengan Al-Iqra Ibnu Habis At-

Tamimi r.a. menurut yang diketengahkan bukan hanya oleh seorang. Imam Ahmad

mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada

kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Musa Ibnu Uqbah, dari Abu

Salamah Ibnu Abdur Rahman, dari Al-Aqra Ibnu Habis r.a. bahwa ia memanggil

Nabi SAW, “hai Rasulullah,” tetapi Rasulullah SAW tidak menyahutnya. Maka

berkatalah Al-Aqra Ibnu Habis r.a. “wahai Rasulullah, sesungguhnya pujianku

benar-benar baik dan celaanku benar-benar buruk.” Maka Rasulullah SAW

menjawab, “itu adalah Allah SWT.”


66

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Umar Al-

Husain Ibnu Hurayyis Al-Marwazi, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl Ibnu

Musa, dari Al-Husain Ibnu Waqid, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra sehubungan

dengan firman-Nya:

‫ك إمن وراإء ٱلحج ير إ‬ ‫إ لإ‬


‫ت‬ ‫لنٱِ ذيِون يِنهوناَهدونو و و و ه ه و‬
Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu)
(QS. Al-Hujurat 4)
Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW, lalu berkata, “hai

Muhammad, sesungguhnya pujiannku baik dan celaanku buruk,” Rasulullah SAW

menjawab, “itu adalah Allah SWT.” Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Al-

Hasan Al- Basri dan Qatadah secara mursal.

Sufyan As-Syauri telah meriwayatkan dari Habib Ibnu Abu Umrah yang

mengatakan bahwa Bisyr Ibnu Galib dan Labid Ibnu Utarid atau Bisyr Ibnu Utarid

dan labid Ibnu Galib berada di sisi Al-Hajjaj duduk, maka Bisyr Ibnu Galib

berkata kepada Labid Ibnu Utarid , bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan

kaummu Bani Tamim, yaitu firman Allah SWT:

‫ك إمن وراإء ٱلحجه ير إ‬ ‫لإ‬


‫ت‬ ‫إلنٱِ ذيِون يِنهوناَهدونو و و و ه و‬
Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu)
(QS. Al-Hujurat 4)

Sufyan As-Syauri mengatakan bahwa lalu ia menceritakan hal tersebut

kepada Sa’id Ibnu Jubair. Maka sa’id ibnu Jubair menjawab, bahwa seandainya ia

mengetahui kelanjutan dari ayat tersebut, tentulah ia menjawabnya:

‫ك وأن وأسلوهموُاذ‬
‫ويهينوُون وعلويِ و‬
Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keIslaman
mereka (QS. Al-Hujurat 17)
67

Mereka mengatakan, “kami masuk Islam dan Bani Asad tidak

memerangimu.”11

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku,

telah menceritakan kepada kami Amr Ibnu Ali Al-Bahilli, telah menceritakan

kepada kami Al-Mu’tamir Ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah

mendengar Daud At-Ta’i menceritakan dari Abu Muslim Al-Bajali, dari Zaid Ibnu

Arqom r.a. yang mengatakan bahwa beberapa golongan daro orang Badui

berkumpul, dan mereka mengatakan, “marilah kita berangkat menemui lelaki ini.

Jika memang ia seorang nabi, maka kita adalah orang yang paling berbahagia

karena ada dia, dan jika dia seorang malaikat, berarti kita dapat hidup dengan

sayapnya.” Zaid Ibnu Arqam melanjutkan kisahnya, bahwa ia lalu datang kepada

Rasulullah SAW dan menceritakan kepadanya apa yang dikatakan oleh orang-

orang Badui itu.

Selanjutnya orang-orang Badui itu datang kepada rumah Nabi SAW, dan

mereka memanggil Nabi SAW yang berada di dalam kamarnya. “hai Muhammad,

hai Muhammad!” maka Allah SWT menurunkan firman-Nya:

‫ك إمن وراإء ٱلحج ير إ‬


٤ ‫ت وأكثونهرههم ول ويِعإقهلوُون‬ ‫إ لإ‬
‫لنٱِ ذيِون يِنهوناَهدونو و و و ه ه و‬
Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu)
kebanyakan mereka tidak mengerti (QS. Al-Hujurat 4)

Maka Rasulullah SAW memegang daun telingaku dan menjewernya

seraya bersabda:

Imam Ibnu Jarir meriwayatkan hadis ini dari Al-Hasan Ibnu Arafah, dari

Al-Mu’tamir Ibnu Sulaiman dengan sanad yang sama.12

11 Ibid. hlm. 296-298


12 Ibid. hlm. 299
68

Al-Hujurat 6-8

‫يِي أويِنيهاَٱلإذيِن ءامهنوُاذ إإن جاَءهكم وفاَإسنق بإنوبُنإَ فونتوبُنيِلننهنوُاذ وأن ته إ‬


َ‫صنيِبُهوُاذ وقوُومناَ إبويوهلونة فونتهصنبُإهحوُاذ وعلونيىِ ومنا‬ ‫ه و و‬ ‫وو‬ ‫و و و وو‬
‫ ووٱعلوهموُاذ أولن فإيِهكم ورهسوُول ٱللإه ولوُ يِهإطيِعههكم إف وكإثيَ يمنون ٱلأومنإر لووعنإتينم وويلوإكنلن‬٦ ‫ي‬ ‫إإ‬
‫فونوعلهتم نيودم و‬
‫ك‬‫ب إلويِهكنهم ٱلإإَيينوون وووزيِنلنوههنۥ إف قهنلهنوُبإهكم وووكنلروه إلويِهكنهم ٱلهكفنور ووٱلهفهسنوُوق ووٱلعإصنويِاَون أهذويلوئإن و‬ ‫ٱللنهو وحبُلن و‬
٨ ‫ وفضل يمون ٱللإه ووإنعومة ووٱللهه وعلإيِعم وحإكيِم‬٧ ‫هههمٱِليلرإشهدوون‬
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu. Dan ketahuilah olehmu bahwa di
kalanganmu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa
urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu
"cinta" kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu
serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan.
Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. Sebagai karunia
dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Allah SWT memerintahkan (orang mukmin) untuk memeriksa dengan

teliti berita dari orang fasik, dan hendaklah mereka bersikap hati-hati dalam

menerimanya dan jangan menerimanya dengan begitu saja, yang akibatnya akan

membalikan kenyataan. Orng Yng menerimanya dengan begitu saja berita

darinya, berarti sama dengan mengikuti jejaknya. Sedangkan Allah SWT telah

melarang kepada kaum mukmin mengikuti jalan orang-orang rusak.

Berangkat dari pengertian inilah, ada sejumlah ulama yang melarang kita

menerima berita (riwayat) dari orang yang tidak dikenal, karena barangkali dia

adalah orang fasik. Tetapi sebagian ulama lainnya mau menerimanya dengan

alasan bahwa kami hanya diperintahkan untuk meneliti kebenaran berita orang

fasik, sedangkan orang yang tidak dikenal (majhul) masih belum terbukti

kefasikannya karena dia tidak diketahui keadaannya.13

Kami telah membahas masalah ini di dalam kitabul ‘ilmi bagian dari

Syarah Imam Bukhari (karya tulis penulis sendiri).

13 Ibid. hlm. 299-300


69

Banyak ulama tafsir yang menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan

berkenaan dengan al-Walid Ibnu Uqbah Ibnu Abu Mu’it ketika itu diutus oleh

Rasulullah SAW untuk memungut zakat orang-orang Bani Mustaliq. Hal ini

diriwayatkan oleh berbagai jalur, dan yang terbaik ialah apa yang telah

diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya melalui riwayat

pemimpin orang-orang Bani Mustaliq, yaitu Al-Haris Ibnu Abu Dirar, orangtua

Siti Juwariyah Ummul Mukminin r.a.

Imam Ahmad mengataka, telah menceritakan kepada kami Muhammad

Ibnu Sabiq, telah menceritakan kepada kami Isa Ibnu Dinnar, telah menceritakan

kepada ayahku, bahwa ia pernah mendengar Al-Haris Ibnu Abu Dirar Al-Khuza’i

r.a. menceritakan hadis beikut: aku datang menghadap Rasulullah SAW, beliau

menyeruku untuk masuk Islam, lalu aku masuk Islam dan menyatakan diri masuk

Islam. Beliau SAW menyeruku untuk zakat, dan aku terima keyakinan itu dengan

penuh keyakinan. Aku berkata, “wahai Rasulullah, aku akan kembali kepada

mereka dan akan ku seru mereka untuk masuk Islam dan menunaikan zakat. Maka

barang siapa yang memenuhi seruanku, aku kumpulkan harta zakatnya. Dan

engkau Ya Rasulullah, tinggal mengirimkan utusanmu kepdaku sesudah waktu

anu dan anu agar dia membawa harta zakat yang telah ku kumpulkan kepadamu.”

Setelah Al-Haris mengumpulkan zakat dari orang-orang yang memenuhi

seruannya dan masa yang telah ia janjikan kepada Rasulullah SAW tennyata

utusannya belum juga tiba. Akhirnya Al-Haris mengira bahwa telah terjadi

kemarahan Allah dan Rasul-Nya terhadap dirinya. Untuk itu Al-Haris

mengumpulkan semua orang kaya kaumnya, lalu ia berkata kepada mereka,

“sesungguhnya Rasulullah SAW telah menetapkan kepadaku waktu bagi


70

pengiriman utusannya kepadaku untuk mengambil harta zakat ayang ada padaku

sekarang, padahal Rasulullah tidak pernah menyalahi janji, dan aku rela telah

menjadi suatu hal yang membuat Allah dan Rasul-Nya murka. Karena itu marilah

kita berangkat menghadap kepada Rsulullah SAW (untuk menyampaikan harta

zakat kita sendiri).”14

Bertepatan dengan itu Rasulullah SAW mengutus Al-Walid Ibnu Uqbah

kepada Al-Haris untuk mengambil harta zakat yang telah dikumpulkannya.

Keyika Al-Walid sampai di jalan, tiba-tiba hatinya gentar dan takut, lalu ia

kembali kepada Rasulullah SAW dan melapor kepadanya, “Hai Rasulullah,

sesungguhnya Haris tidak mau menyerahkan zakatnya kepadaku, dan dia akan

membunuhku.” Mendengar berita itu Rasulullah marah, lalu beliau mengirimkan

utusan kepada Al-Haris.

Ketika Al-Haris dan teman-temannya sudah dekat dengan kota Madinah,

mereka berpapasan dengan pasukan yang dikirim oleh Rasulullah SAW itu.

Pasukan itu melihat kedatangan Al-Haris, dan mereka engatakan, “itu dia Al-

Haris,” lalu mereka mengepunnya. Setelah Al-Haris dan teman-temannya

terkepung, ia bertanaya, “kepada siapakah kalian dikirim?” mereka menjawab,

“kepadamu.” Al-Haris bertanya, “mengapa?” mereka menjawab, “sesungguhnya

Rasulullah SAW telah mengutus Al-Walid Ibnu Uqbah kepadamu, lalu ia

memberitakan bahwa engkau menolak bayar zakat dan bahkan akan

membunuhnya.”

Al-Haris menjawab, “tidak, demi Tuhan, yang telah mengutus Muhammad

SAW dengan membawa kebenaran. Aku sama sekali tidak penah melihatnya dan

tidak penah pula kedatangan dia.” Ketika AL-Haris masuk menemui Rasulullah
14 Ibid. hlm. 301
71

SAW, beliau bertanya, “apakah engkau menolak untuk membayar zakat dan

hendak membunuh utusanku?’ A-Haris menjawab, “tidak, demi Tuhan Yang telah

mengutusmu dengan membawa kebenaran, aku tidak pernah melihatnya, dan tiada

seorangpun utusan yang datang kepadaku.” Dan tidaklah aku datang melainkan

pada saat utusan datang terlambat kepadaku. Maka aku mersa takut bila hal ini

membuat Allah dan Rasul-Nya murka.” Al-Haris melanjutkan kisahnya, bahwa

lalu turunlah ayat dalam surat Al-Hujurat ini, yaitu:

َٖ‫يِيوأويِنيوهاَٱلإذيِون وءاومهنوُاذ إإن وجاَءوهكم وفاَإسهق بإنووبُإ‬


Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita (QS. Al-Hujurat 6)
Sampai dengan firman-Nya:
‫وحإكيِم‬
Maha Bijaksana (QS. Al-Hujurat 8)

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan hadis ini dari Al-Munziir Ibnu Syazan At-

Tammar, dari Muhammad Ibnu Sabiq dengan sanad yang sama. Imam Tabrani

telah meriwayatkannya pula melaui hadis Muhammad Ibnu Sabiq dengan sanad

yang sama, hanya dalam riwayatnya disebutkan Al-Haris Ibnu Siran, tetapi

sebenarnya adalah Al-Haris Ibnu Dirar, seperti yang disebutkan dalam riwayat

diatas.15

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah

menceritakan kepada kami Ja’far Ibnu Aun,, dari Musa Ibnu Ubaibah, dari Sabit

maula Ummu Salamah r.a., dari Ummu Salamah yang menceritakan bahwa

Rasulullah SAW pernah mengutus seorang lelaki untuk memungut zakat dari Bani

Mustaliq setelah mereka ditaklukkan dengan jalan perang. Maka kaum Bani

Mustaliq mendengar berita tersebut, lalu mereka menyambut kedatangannya

15 Ibid.hlm. 302-303
72

sebagai raasa hormat mereka kepada Rasulullah SAW. Akan tetapi setelah

membisikkan kepada utusan Rasulullah SAW bahwa mereka (kaum Bani Mustaliq

itu) hendak membunuhnya. Maka lelaki itu kembali kepada Rasulullah SAW dan

berkata kepadanya, “sesunggunhnya orang-orang Bani Mustaliq tidak mau

membayar zakatnya kepadaku.” Maka Rasulullah dan kaum muslim marah

mendengar berita itu.

Orang-orang Bani Mustaliq mendengar kepulangan utusan tersebut, maka

mereka mengahadap kepada Rasulullah SAW dan membuat saf bermakmum

kepada Rasulullah SAW saat beliau SAW shalat lohor. Lalu mereka berkata,

“kami berlindung kepada Allah dari murka Allah SWT dan murka Rasul-Nya,

engkau telah mengutus seorang lelaki kepada kami sebagai penarik zakat. Maka

kami merasa gembira dan senang dengan berita itu. Tapi sesampainnya di tengah

jalan, dia kembali; maka kami takut bila hal itu merupakan kemurkaan dari Allah

dan Rasu-Nya (terhadap kami).” Mereka masih terus berbicara dengan Rasulullah

SAW hingga datanglah Bilal r.a. lalu mengumandangkan azan shalat ashar. Ummu

Salamh r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa lalu turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya:

‫يِأويِنيهاَٱلإذيِن ءامهنوُاذ إإن جناَءهكم وفاَإسنق بإنوبُنإَ فونتوبُنيِلننهنوُاذ وأن ته إ‬


َ‫صنيِبُهوُاذ وقوُومنناَ إبويوهلنونة فونتهصنبُإهحوُاذ وعلونيىِ ومنا‬ ‫ه و و‬ ‫و و‬ ‫و و وو‬
‫إإ‬
٦‫ي‬ ‫فونوعلهتم نيودم و‬
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu
(QS. Al-Hujurat 6)
Ibnu Jarir meriwayatkan pula melaui jalur al-Aufi, dari Ibnu Abbas r.a.

sehubungan dengan ayat ini. Disebutkan bahwa Rasulullah SAW mengutus Al-

Walid Ibnu Uqbah Ibnu Abu Mu’it itu kepada orang-orang Bani Mustaliq untuk

memungut zakat dari mereka. Dan sesungguhnya mereka ketika mendengar berita
73

itu merasa bahagia, lalu mereka keluar hendak menyambut utusan dari Rasulullah

SAW.

Tetapi ketika Al-Walid melihat mereka, dalam hatinya ia mengira bahwa

mereka hendak membunuhnya, lalu ia kembali kepada Rasulullah SAW dan

berkata, “wahai Rasulullah, sesungguhnya Bani Mustaliq tidak mau membayar

zakat.” Maka Rasulullah benar-benar marah mendengar laporan itu. Dan ketika

kami sedang membicarakan perihal mereka, tiba-tiba datanglah delegasi mereka,

lalu berkata, “wahai Rasulullah, sesunggunhnya kami telah mendapat berita

bahwa utusanmu kembali lagi di tengah jalan, maka kami merasa khawatir bila hal

yang mengembalikannya itu adalah surat darimu karena kemarahanmu kepada

kami, dan sesungguhnya kami berlindung kepada Allah dari kemurkaan-Nya dan

murka Rasul-Nya.” Dan sesungguhnya Nabi SAW dan kaum muslim telah

mengurung mereka dan hampir saja menyerang mereka, tetapi Allah SWT

menurunkan wahyu-Nya yang membela mereka, yaitu firman-Nya:

‫يِيوأويِنيوهاَٱلإذيِون وءاومهنوُاذ إإن وجاَءوهكم وفاَإسهق بإنووبُإَ فونتوبُونليِنهوُاذ‬


Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (QS. Al-Hujurat 6)
Mujahid dan Qatadah menceritakan bahwa Rasulullah mengirimkan Al-

Walid Ibnu Uqbah kepada Bani Mustaliq untuk mengambil harta zakat mereka.

Lalu Bani Mustaliq menyambut kedatangannya dengan membawa zakat (yakni

berupa ternak), tetapi Al-Walid kembali lagi dan melaporkan bahwa

sesungguhnya Bani Mustaliq telah menghimpun kekuatan untuk memerangi

Rasulullah. Menurut riwayat Qatadah, disebutkan bahwa selain itu mereka murtad

dari Islam.
74

Maka Rasulullah SAW mengirimkan Khalid Ibnu Walid r.a. kepada

mereka, tetapi beliau SAW berpesan kepada Khalid agar meneliti dahulu

kebenaran berita tersebut dan jangan cepat-cepat mengambil keputusan sebelum

cukup buktinya. Khalid berangkat menuju tempat Bani Mustaliq, ia sampai di

dekat tempat mereka di malam hari. Maka Khalid menirimkan mata-matanya

untuk melihat keadaan mereka; ketika mata-mata Khalid kembali kepada mereka,

mereka menceritakan kepadanya bahwa Bani Mustaliq masih berpegang teguh

pada Islam, dan mereka mendengar suara adzan di kalangan Bani Mustaliq serta

suara shalat mereka. Maka keesokan harinya Khalid r.a. mendatangi mereka dan

melihat hal yang menakjubkan dirinya di kalangan mereka, lalu ia kembali kepada

Rasulullah, dan menceritakan apa yang disaksikannya, lalu tidak lama kemudian

Allah SWT menurunkan ayat ini:

Qatadah mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:


‫ل وو الوعوجلوةه إمذن الكشذيِوطاَإن‬
‫شيبُتهإمن ا إ‬
‫التل و ذ‬
Hati-hati itu dari Allah dan terburu-buru itu dari setan.
Hal yang sama telah disebutkan bukan hanya oleh seorang dari kalangan

ulama Salaf, antara lain Ibnu Abu Laila, Yazid Ibnu Ruman, Ad-Dakhlak, Muqattil

Ibnu Hayyan, dan lain-lainnya. Mereka mengatakan sehubungan dengan ayat ini,

bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Al-Walid Ibnu Uqbah, hanya Allah-

lah Yang Maha Mengetahui.16

‫ووٱعلوهموُاذ أولن فإيِهكم ورهسوُول ٱللإه‬


Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah (QS. Al-
Hujurat 7)
Yakni ketahuilah bahwa di antara kalian terdapat Rsaulullah SAW maka

hormatilah dia, muliakanlah dia, bersopan santunlah kamu dalam menghadapinya,

dan turutilah perintahnya. Karena sesungguhnya dia lebih mengetahui

16 Ibid. hlm. 303-305


75

kemaslahatan kalian dan lebih sayang kepada kalian dari pada diri kalian sendiri.

Dan pendapatnya untuk kalian lebih sempurna dari pada pendapat kalian untuk

diri kalian sendiri. Hal yang senada di sebutkan oleh Allah SWT melaui firman-

Nya:

‫ي إمن وأنهفإسهإم‬ ‫إإ‬


‫ب وأو و يل بإٱِلهمؤُمن و‬
‫ٱلنلإ ي‬
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri
mereka sendiri (QS. Al-Ahzab 6)
Kemudian Allah SWT menjelaskan bahwa pendapat mereka sia-sia bila

ditinjau dari kemaslahatan mereka. Untuk itu Allah SWT berfirman:

‫لوُ يِهإطيِعههكم إف وكإثيَ يمون ٱولمإر لووعنإيتم‬


Kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu
mendapat kesusahan (QS. Al-hujurat 7).

Yakni setidaknya dia menuruti kalian dalam semua apa yang kalian pilih,

niscaya hal itu akan mengakibatkan kamu mengalami kesusahan dan merasa

berdosa. Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melaui firman

Allah SWT:

‫ض ووومن فإيِإهلن وبل أوتويِينوههم بإنإذكإرإهم فونههننم وعننن‬ ‫إ‬


‫وولوإوُٱتلنبُونوعٱِلوحيق وأهووُاءوههم لووفوسودت ٱللسيوميووُ ه‬
‫ت ووٱلوأر ه‬
‫إ إ‬
٧١ ‫ضوُون‬ ‫ذكإرهم يمعإر ه‬
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan
bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah
mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka
berpaling dari kebanggaan itu (QS. Al-Mu’minun)
Adapun firman Allah SWT:

‫ب إلويِهكهم ٱلإإَييوون وووزيِنلنوههۥ إف قهنهلوُبإهكم‬ ‫يإ‬


‫وولوكلن ٱللهو وحبُل و‬

Tetapi Allah menjadikan kamu "cinta" kepada keimanan dan menjadikan


keimanan itu indah di dalam hatimu (QS. Al-Hujurat 7)
Yakni menjadikan iman itu dicintai oleh hati kalian dan dan

memperindahnya. Imam Ahmad mengatakn, telah menceritakan kepada kami


76

Bahz, telah menceritakan kepada kami Ali Ibnu Mas’adah, telah menceritakan

kepada kami Qatadah, dari Anas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW

pernah bersabda:

‫ذالإاَ ذسولهاَم إعولاَ نإليِهة ووالذإاَذيِوماَ نه إفىِ الذقوذلبإ‬


Islam itu terang-terangan dan iman itu didalam hati.

Anas r.a. mengatakan bahwa kemudian Rasulullah SAW berisyarat ke arah

dadanya sebanyak tiga kali, lalu bersabda:

َ‫التوذقووُىَ هوههوناَ التوذقووُىَ هوذهونا‬


Taqwa itu (letaknya) di sini, taqwa itu (letaknya) disini. 17
Firman Allah SWT:
‫وووكلروه إلويِهكهم ٱلهكفور ووٱلهفهسوُوق ووٱلعإصيِواَون‬
Serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan)QS.
Al-Hujurat 7)
Yakni dan Allah menjadikan hatimu membenci kekafiran dan kefasikan

yakni dosa-dosa besar, yang dimaksud dengan Al-Isyan ialah semua perbuatan

durhaka, ini merupakan kesempatan nikmat dari Allah SWT yang bertingkat-

tingkat:

٧ ‫ك هههمٱِليلرإشهدوون‬
‫أهذويلوئإ و‬
Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus (QS. Al-Hujurat 7)
Orang-orang yang mempunyai sifat-sifat ini adalah orang-orang yang

mengikuti jalan yang lurus, Allah-lah yang telah menganugerahkan hal ini kepada

mereka.18

Imam Ahmad mengatakan telah menceritalan kepada kami Marwan Ibnu

Mu’awiyah Al-Fazzari, telah menceirakan kepada kami Abdul Wahid Ibnu Aiman

Al-Makki, dari Abu Rifa’ah Az-Zurqi, dari ayahnya yang mengatakan bahwa

17 Ibid. hlm. 303-305


18 Ibid. hlm. 307-308
77

ketika terjadi perang Uhud dan pasukan kaum musrik telah pulang, maka

Rasulullah bersabda;

‫إاسذوتهوُ ذوا حوتلىِ هاثذإنىِ عوولىِ وريبىِ عولز وووجلل‬


Berbarislah dengan rapi karena aku akan memanjatkan do’a kepada Tuhanku.

Maka mereka berbaris membentuk saf-saf di belakang beliau, lalu beliau

mengucapkan doa yang artinya sebagai berikut:

Ya Allah bagi-Mu segala puji. Ya Allah, tiada yang dapat menggengggam


apa yang engkau bukakan, dan tiada yang dapat membuka terhadap apa
yang Engkau genggamkan; dan tiada yang dapat mrmberi prtunjuk
kepada orang-orang yang Engkau sesatkan. Dan tiada yang dapat
menyesatkan orang yang Engkau tunjuki; dan tiada yang dapat memberi
terhadap apa yang Engkau cegah, dan tiada yang dapat mencegah
terhadap apa yang Engkau beri; dan tiada yang dapat mendekatkan
terhadap apa yang Engkau jauhkan, dan tiada yang tiada yang dapat
memjauhkan apa yang Engkau dekatkan. Ya Allah limpahkanlah kepada
kami berkah, rahmat, karunia dan rezeki-Mu. Ya Allah sesungguhnya aku
memohon kepada Engkau nikmat yang kekal yang tidak berpindah dan
tidak pula lenyap. Ya Allah aku memohon nikmat kepada Engkau di hari
yang sulit, dan keamanan di hari yang menakutkan. Ya Allah
sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari keburukan apa yang
telah Engkau berikan kepada kami dan dari keburukan apa yang Engkau
cegah dari kami. Ya Allah jadikanlah kami cinta kepada keimanan dan
jadikanlah iman itu indah dalam hati kami; dan jadikanlah kami benci
kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan; dan jadikanlah kami
orang-orang yang mengikuti lurus. Ya Allah, waafatkanlah kami sebagai
orang-orang muslim, dan hidupkanlah kami sebagai orang-orang muslim,
dan himpunkanlah aku dengan orang-orang yang saleh agar tidak
kecewwa dan tidak pula terfitnah. Ya Allah perangilah orang-orang kafir
yang mendustakan rasul-rasul-Mu dan mencegah manusia dari jalan-Mu,
dan jadikanlah siksaan dan adzab-Mu atas merekaa. Ya Allah Tuhan Yang
Hak, perangilah orang-oarang kafir dari kalangan ahli kitab.

Imam Nasa’i meriwayatkan hadis ini di dalam kitab Al-Yaum wal-Lailah

dari Ziad Ibnu Ayyub, dari Marwan Ibnu Muawiyah, dari Abdul Wahid Ibnu

Aiman, dari Ubaid Ibnu Rifa’ah, dari ayahnya dengan sanad yang sama.19

Di dalam hadis yang marfu disebutkan:

19 Ibid.hlm. 308-310
78

‫اَءتذه وسييِئوهته وفههووُ همذؤُ إمعن‬


‫سوناَتذه وووس و‬
‫ومذن وسلرذته وح و‬
Barang siapa yang gembira karena kebaikannya dan susah karena keburukannya,
maka dia adalah orang mukmin.
Kemudian Allah SWT berfirman:
‫وفضل يمون ٱللإه ووإنعموة‬
Sebagai karunia dan nikmat dari Allah (QS. Al-Hujurat 8)
Yakni pemberian yang telah diberikan kepada kalian ini merupakan
karunia dan nikmat dari-Nya:
٨ ‫ووٱللهه وعلإيِعم وحإكيِم‬
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Hujurat 8)

Yaitu Maha Mengetahui siapa yang berhak mendapat hidayah dan siapa

yang berhak mendapat kesesatan, lagi Dia Maha Bijaksana dalam semua ucapan,

perbuatan, syari’at dan takdir-Nya.20

QS. Al-Hujurat 9-10

‫ووإإن وطاَئإوفوتاَإن إمون ٱلهمؤُإمنإيِونٱِقوتتونلهوُاذ فووأصلإهحوُاذ بويِنونههوماَ فوإإَن بونوغت إإحودىَينههوماَ وعولىِ ٱلهأخوريىَ فونيوقتإلهوُاذ‬
‫إ إ‬ ‫إ‬ ‫إ‬ ‫إ‬ ‫إ‬
‫ٱلإت توبُغيِ وح ل يت توفيِنءو إ و يلن أومنإر ٱللنه فونإإَن فوناَوءت فوأوصنلهحوُاذ بويِنونههومناَ بإٱِلوعندل وووأقسنهطوُاذ إلن ٱللنهو‬
‫إ‬ ‫إ‬ ‫إإ‬ ‫هإي ي‬
‫ إلنواَٱلهمؤُمهنوُون إإخووُة فوأوصنلهحوُاذ بو و‬٩ ‫ي‬
‫ين أووخنووُيِهكم ووٱتلنهقنوُذاٱللهو لووعلهكنم هتروحهموُون‬ ‫ب ٱلهمقسط و‬
١٠
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah
kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian
terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi
sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah
antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil;
sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang
beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya
kamu mendapat rahmat.21
Allah SWT berfirman memerintahkan kaum mukmin agar mendamaikan
diantara dua golongan yang satu sama lainnya:

َ‫ووإإن وطاَئإوفوتاَإن إمون ٱلهمؤُإمنإيِونٱِقوتتونلهوُاذ فووأصلإهحوُاذ بويِنونههوما‬

20 Ibid. hlm. 310-311


21 Ibid. hlm. 311
79

Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah
kamu damaikan antara keduanya (QS. Al-Hujurat 9)
Allah menyebutkan mereka sebagai orang-orang mukmin, padahal mereka

berperang satu sama lainnya. Berdasarkan ayat ini Imam Bukhari dan lain-lainnya

menyimpulkan bahwa maksiat itu tidak mengeluarkan orang yang bersangkutan

dari keimanannya, betapapun besarnya maksiat itu. Tidak seperti yang dikatakan

oleh golongan Khawarij dan para pengikutnya dari kalangan Mu’tazilah dan lain-

lainnya (yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar dimasukan ke neraka untuk

selama-lamanya). Hal yang sama telah disebutkan di dalam kitab Sahih Bukhari

melaui hadis Al-Hasan, dari Abu Bakar r.a. yang mengatakan bahwa pada suatu

hari Rasulullah SAW berkhotbah diatas mimbarnya, sedangkan beliau membawa

Al-Hasan Ibnu Ali r.a. Lalu beliau sesekali memandang ke arah cucunya itu, dan

pada kesempatan lain memandang ke arah orang-orang, lalu beliau bersabda:

‫سإلإمذيِون‬
‫صإلوح بإإه وبيِذون إفوئتوذيِإن عوإظويِومذتيِإن مإون ذالهم ذ‬
‫ال تووعولىِ اوذن يِه ذ‬
‫إانل ذابنإىِ هووذا سوييِهد ووولوعلل ه‬
Sesungguhnya anak (cucu) ku ini adalah pemimpin, mudah-mudahan
dengan melauinya Allah mendamaikan diantara dua golongan besar
kaum muslimin (yang berperang).

Ternyata kejadiaannya memang persisi seperti apa yang dikataka oleh

Nabi SAW sesudah beliau tiada. Allah SWT melaui Al-Hasan telah mendamaikan

antara penduduk Irak sesudanh kedua belah pihak terlibat dalam peperangan yang

panjang lagi sangat mengerikan. 22

Firman Allah SWT:

‫ووإإن وطاَئإوفوتاَإن إمون ٱلهمؤُإمنإيِونٱِقوتتونلهوُاذ فووأصلإهحوُاذ بويِنونههوماَ فوإإَن بونوغت إإحود يىَنههوماَ وعولىِ ٱلهأخوريىَ فونيوقتإلهوُاذ‬
‫ٱلإت توبُإغيِ وح ل يت توإفيِءو إ و يل وأمإر ٱللإه‬
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu
melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar

22 Ibid. hlm. 311-312


80

perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah
(QS. Al-hujurat 9) 23

Yakni hingga keduanya kembali taat kepada perintah Allah SWT dan

Rasul-Nya, seperti mau mendengar perkara yang hak dan menaatinya. Seperti

yang disebutkan di dalam hadis sahih, dari Anas r.a. bahwa Rasulullah SAW

pernah bersabda:

َ‫اَك ظوإاَلنماَ اوذو ومذظهلذوُمنا‬


‫صذر واوخ و‬
‫هانذ ه‬
Tolonglah saudaramu, baik dalam keadaan aniaya atau teraniaya.

Aku bertanya, “wahai Rasulullah, kalau dia teraniaya, aku pasti

menolongnya. Tetapi bagaimana akau menolongnya jika dia aniaya?” Rasulullah

SAW bersabda:

‫صهروك اإليِاَهه‬
‫الظذلإم وفوذاكو نو ذ‬
‫وتذمونعهه إمون ي‬
Engkau cegah ia dari perbuatan aniaya, itulah cara engkau menolongnya. 24

Imam Ahmad mengatakan, “telah menceritakan kepada kami Arim, telah

menceritakan kepada kami Mu’tamir yang mengatakan bahwa ia pernah

mendengar ayahnya menceritakan bahwa Anas r.a. pernah berkata, bahwa pernah

dikatakan kepada Nabi SAW, “Sebaiknya engkau datang kepada Abdullah Ibnu

Ubay ibnu Salul (pemimpin kaum munafik, (pent.).”Maka Rasulullah SAW

berangkat menuju ke tempatnya dan menaiki keledainya, sedangkan orang-orang

mukmin berjalan kaki mengiringinya. Jalan yang mereka tempuh adalah jalan

yang terjal. Setelah Nabi SAW sampai ditempatnya, maka ia (Abdullah Ibnu

Ubay) berkata,”menjauhlah dariku. Demi Allah, bau keledaiku menggangguku.”

Maka seseorang lelaki dari kalangan Ansar berkata, “Demi Allah, sesungguhnya

keledai Rasulullah SAW lebih harum ketimbang baumu.”

23 Ibid. hlm. 312


24 Ibid. hlm. 313
81

Maka sebagian kaum Abdullah Ibnu Ubay marah, membela pemimpin

mereka; masing-masing dari kedua pihak memiliki pendukungnya. Kemudian

tersebutlah di antara mereka terjadi perkelahian dengan memakai pelepah kurma,

pukulan tangan, dan terompah. Maka menurut berita yang sampai kepada kami,

diturunkanlah kepada kami, diturunkanlah ayat berikut berkenaan dengan mereka,

yaitu firman Allah SWT:

َۖ‫ووإإن وطاَئإوفوتاَإن إمون ٱلهمؤُإمنإيِونٱِقوتتونلهوُاذ فووأصلإهحوُاذ بويِنوههوما‬


Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya (QS. Al-Hujurat 9) 25
Imam Bukhari meriwayatkannya di dalam kitab A-Sulh, dari Musaddad;

dan Muslim meriwayatkannya dalam kitab Al-Magazi, dari Muhammad Ibnu

Abdul A’la; keduanya dari Al-Mu’tamir Ibnu Sulaiman, dari ayahnya dengan

sanad yang sama dan lafadz yang semisal.

Sa’id Ibnu Jubair menceritakan bahwa orang-orang Aus dan orang-orang

Khazraj terlibat dalam suatu perkelahian memakai pelepah kurma danterompah,

maka Allah SWT menurunkan ayat ini dan memerintahkan kepada Nabi SAW

untuk mendamaikan kedua belah pihak.

As-Saddi menyebutkan bahwa dahulu seorang dari kalangan Ansar yang

dikenal dengan nama Imran mempunyai istri yang dikenal dengan nama Ummu

Zaid. Istrinya itu bermaksud mengunjungi orangtuanya, tapi suaminya melarang

dan menyekap istrinya itu dikamar atas dan tidak boleh ada seorangpun dari

keluarga istri menjenguknya. Akhirnya si istri menyuruh seorang suruhannya

untuk menemui orangtuanya. Maka kaum si istri datang dan menurunkannya dari

kamar atas dengan maksud akan membawanya pergi. Sedangkan suaminya

mengetahui hal itu, lalu ia keluar dan meminta bantuan kepada keluarganya.

25 Ibid. hlm. 313-314


82

Akhirnya datanglah saudara-saudara sepupunya untuk menghalang-halangi

keluarga si istri agar tidak dibawa oleh kaumnya. Maka terjadilah perkelahian

yang cukup seru diantara dua belah pihak dengan terompah (sebagai senjatanya),

maka turunlah ayat ini berkenaan denagn mereka dan mendamaikan mereka,

akhirnya kedua belah pihak kembali kepada perintah Allah SWT. 26

Firman Allah SWT:

٩‫ي‬ ‫إإ‬ ‫فوإإَن وفاَوءت فووأصلإهحوُاذ بويِنونههوماَ بإٱِلوعدإل وووأقإسهطوُاذ إلن ٱللهو هإي ي‬
‫ب ٱلهمقسط و‬
Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan,
dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-
orang yang berlaku adil (QS. Al-Hujurat 9)

Berlaku adillah dalam menyelesaikan persengketaan kedua belah pihak,

berkaitan dengan kerugian yang dialami oleh salah satu pihak akibat ulah pihak

yang lain, yakni putuskanlah hal itu dengan adil dan bijaksana.

٩‫ي‬ ‫إإ‬ ‫إلن ٱللهو هإي ي‬


‫ب ٱلهمقسط و‬
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil (QS. Al-
Hujurat 9)

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu

Zar’ah, telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibnu Abu Bakar Al-

Maqdami, telah menceritakan kepada kami Abu A’la, dari Ma’mar dari Az-Zuhri,

dari Sa’id Ibnu Musayyab, dari Abdullah Ibnu Amr r.a. yang mengatakan bahwa

sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bersabda:

‫سهطذوُا‬
‫اَن عولز وو وجلل إبوماَ اوذق و‬
‫الرذحوم إ‬
‫يِدي إ ل‬
‫الدنذويِاَ عوولىِ مووناَ بإور إمذن هلذؤُهلإؤُ وبيِذون و‬
‫ف ي‬ ‫سإطيِذون إ‬
‫إانل ذالهمذق إ‬
َ‫الدنذيِوا‬
‫إفىِ ي‬
Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil di dunia berada di atas
mimbar-mimbar dari cahaya di sisi Tuhan Yang Maha Pemurah berkat
keadilan mereka sewaktu di dunia. 27

26 Ibid. hlm. 314


27 Ibid. hlm. 314-315
83

Imam Nasai meriwayatkan hadis ini dari Muhammad Ibnu Musanna dari

Abdul A’la dengan sanad yang sama. Sanad hadis ini kuat lagi baik, tetapi para

perawinya dengan syarat Syaikhain. Telah menceritakan pula kepada kami

Muhammad Ibnu Abdullah ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Sufyan

Ibnu Uyaynah, dari Amr Ibnu Dinar, dari Amr Ibnu Aus, dari Abdullah Ibnu Amr

r.a., dari Nabi SAW yang telah berkata yang artinya:

Orang-orang yang adil kelak di ahari kaimat di sisi Allah berada diatas
mimbar-mimbar dari cahaya di sebelah kanan ‘Arasy mereka adalah
orang-orang yang berlaku adil dalam hukumnya, dan terhadap keluarga
dan kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka.

Imam Muslim dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Sufyan

Ibnu Uyaynah dengan sanad yang sama. 28

Firman Allah SWT:

‫إلوناَٱلهمؤُإمهنوُون إإخووُة‬
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara (QS. Al-Hujurat 10)
Yakni semuanya adalah saudara seagama, seperti yang disebutkan oleh

Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya yang mengatakan:

‫إ‬ ‫إ‬ ‫إ‬ ‫إ‬


‫اهلمذسلهم اوهخوُا الهذسلإم ول يِوظذلهمهه ووول يِوذسلهمهه‬
Orang muslim itu adalah saudara muslim lainnya, ia tidak boleh berbuat aniaya
terhadapnya dan tidak boleh pula menjerumuskannya.
Di dalam hadis shahih disebutkan:

‫ك بإثإذلإه‬ ‫ك اوإم ذ إ‬
‫ي وولو و‬ ‫اإوذا ودوعاَ الذمسلإإم إلوإخذيِإه بإظوذهإر الذغوذيِ إ‬
‫ب وقاَول الذوملو ه‬ ‫هذ‬
Apabila seorang muslim berdoa untuk kebaikan saudaranya tanpa
sepengetahuan yang bersangkutan. Maka malaikat mengamininya dan
mendoakan, “semoga engkau mendapat hal yang serupa.

Hadis-hadis yang menerangkan hal ini cukup banyak; dan di dalam hadis

sahih disebutkan (yang artinya):

28 Ibid. hlm. 315-316


84

Perumpamaan orang-orang mukmin dalam persahabatan, kasih dan


persaudaraannya sama dengan satu tubuh, apabila salah satu anggotanya
merasa sakit, maka rasa sakitnya itu menjalar ke seluruh tubuh
menimbulkan demam dan tidak dapat tidur (istirahat).
Di dalam hadis shahih disebutkan pula:

‫إ‬
َ‫ضا‬ ‫الذؤُمهن وكاَالذبُهنذننويِاَإن يِإهشيد بونذع ه‬
‫ضهه بونذع ن‬
Orang mukmin (terhadap mukmin lainnya) bagaikan satu bangunan, satu
‫ه‬
sama lainnya saling kuat menguatkan.
Lalu Rasulullah SAW merangkumkan jari jemarinya. Imam Ahmad

mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad Ibnu Hajjaj, telah

menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepada kami, Mus’ab

Ibnu Sabit, telah menceritakan kepadaku Abu Hazim yang mengatakan bahwa ia

pernah mendengar Sahl Ibnu Sa’d As-Saidi r.a. menceritakan hadis berikut dari

Rasulullah yang telah bersabda:

‫إ إ‬ ‫إ إ‬ ‫إ‬ ‫إ‬ ‫إ إإ إ‬ ‫إ إ إ‬
‫وقاَول الن الهذؤُمهن مذن اوذهإل اذلوماَن بوذنإز لوة اللرأذإس مذن اذلووسد يِوأذوله الهذؤُمهن لوذهإل اذلوماَن وكوماَ ويِاَوله‬
‫اولوسهد لإوماَ إف اللرأذإس‬
Sesungguhnya orang mukmin dari kalangan ahli iman bila dimisalkan
sama kedudukannya dengan kepala dari suatu tubuh; orang mukmin akan
merasa sakit karena derita yang dialami oleh ahli iman, sebgaimana
tubuh merasa sakit karena derita yang dialami oleh kepala.
Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini secara munfarid, sedangkan

sanadnya tidak mempunyai cela, yakni dapat diterima. 29

Firman Allah SWT:

‫إ‬
‫فووأصلهحوُاذ بو و‬
‫ي أووخووُيِهكم‬
Maka damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu (QS. Al-
Hujurat 10)
Yakni diantara kedua golongan yang berperang itu.

‫ووٱتلنهقوُذاٱللهو‬
Dan bertaqwalah kepada Allah (QS. Al-Hujurat 10)
Dalam semua urusan kalian.

‫لووعلهكم هتر وه‬


‫حوُون‬
29 Ibid. hlm. 316-318
85

supaya kamu mendapat rahmat (QS. Al-Hujurat 10 )

Ini merupakan pernyataan dari Allah SWT yang emngandung kepastian

bahwa Dia pasti memberikan rahmat-Nya kepada orang-orang yang bertaqwa

kepada-Nya. 30

QS. Al-Hujurat Ayat 11

‫يِيوأويِنيوهاَٱلإذيِون وءاومنهوُاذ ول ويِسوخر وقوُم يمن قنونوُضم وعوسنيىِ وأن يِوهكوُننهوُاذ وخيَا يمنههننم ووول نإوسناَء يمننن نيوسناَضء‬
‫س ٱإلٱِسنهم ٱلهفهسننوُهق‬ ‫و‬ ‫ن‬ ‫ئ‬ ‫وعسنيىِ وأن يِوهكنلن وخيَا يمنههنلن وول وتلإمنهزواذ وأنهفسنهكم وول تونننوناَبونهزواذ بنإنٱِلوأليوق إ‬
‫ب بإ‬
‫و و‬ ‫و‬ ‫و‬
١١ ‫ك هههم ٱل يظللإهموُون‬ ‫وبعود ٱلإإَييوإن ووومن لل يِونهتب فوأهذويلوئإ و‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik
dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan
lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela
dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.
Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan
barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Allah SWT melarang menghina orang lain, yakni meremehkan dan

mengolok-olok mereka. Seperti yang disebutkan pula dalam hadis sahih dari

Rasulullah SAW yang telah bersabda:

‫ص اللناَإس – وويِونذرإوىَ – وووغذم ه‬


‫ط اللناَإس‬ ‫إ‬
‫الكذبُنهر بوطوهر اذلويق وو وغذم ه‬
Takabut itu ialah menentang perkara hak dan meremehkan orang lain; menurut
riwayat yang lain, dan menghina orang lain.
Makna yang dimaksud ialah menghina dan meremehkan mereka. Shal ini

diharamkan karena barangkali orang yang diremehkan lebih tinggi kedudukannya

di sisi Allah dan lebih di sukai oleh-Nya dari pada orang yang meremehkannya.

Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

‫يِيوأويِنيوهاَٱلإذيِون وءاومنهوُاذ ول ويِسوخر وقوُم يمن قنونوُضم وعوسنيىِ وأن يِوهكوُننهوُاذ وخيَا يمنههننم ووول نإوسناَء يمننن نيوسناَضء‬
‫وعوسيىِ وأن يِوهكلن وخيَا يمنههلن‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik

30 Ibid. hlm. 318


86

dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan


lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik (QS. Al-hujurat 11)
Secara nas larangan ditujukkan kepada kaum laki-laki, lalu diiringi dengan

larangan yang ditujukkan kepada kaum wanita.

Firman Allah SWT:


‫ووول وتلإمهزواذ وأنهفوسهكم‬
Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri (QS. Al-Hujurat 11)

Makna yang dimaksud ialah janganlah kamu mencela orang lain,

pengumpat dan pencela dari kalangan kaum lelaki adalah orang-orang yang

tercela lagi dilaknat, seperti yang disebutkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

١ ‫لموزةض‬
‫وويِل ليهكيل ههووزة ي و‬
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela (QS. Al-Humazah 1)

Al-Hamz adalah ungkapan celaan melalui perbuatan, sedangkan Al-Lamz

adalah ungkapan celaan dengan lisan. Seperti pengertian yang terdapat di dalam

ayat lain melalui firman-Nya:

١١ ‫هاَز لملشاَإء بإنوإميِم‬


‫ول‬
Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah (QS. Al-Qalam 11)

Yakni meremehkan orang lain dan mencela mereka berbuat melampaui

batas terhadap mereka, dan berjalan kesana kemari menghambur fitnah, mengadu

domba, yaitu mencela dengan lisan. Karena itulah dalam surat ini disebutkan oleh

firman-Nya:

‫ووول وتلإمهزواذ وأنهفوسهكم‬


Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri (QS. Al-Hujurat 11) 31

Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:


‫ووول وتقتهنلهوُاذ وأنهفوسهكم‬

31 Ibid. hlm. 318-320


87

Dan janganlah kamu membunuh dirimu (QS. An-Nisaa 29)


Yakni janganlah sebagian dari kamu membunuh sebagian yang lain, Ibnu

Abbas, Mujahid, Sa’id Ibnu Jubair, Qatadah dan Muqatil Ibnu Hayyan telah

mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

‫ووول وتلإمهزواذ وأنهفوسهكم‬


Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri (QS. Al-Hujurat 11)

Artinya, janganlah sebagian dari kamu mencela sebagian yang lainnya.

Firman Allah SWT:

‫وول تنناَبنزواذ إبٱِل و ي‬


‫ألقو إ‬
‫ب‬ ‫و وو و ه‬
Dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan (QS. Al-

Hujurat 11)

Yakni janganlah kamu memanggil orang lain dengan gelar yang buruk

yang tidak enak didengar oleh yang bersangkutan. Imam Ahmad mengatakan,

“telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Daud

ibnu Abu Hindun, dari Asy-Sya’bi yang mengatakan bahwa telah menceritakan

kepadaku Abu Jubairah Aibnu Ad-Dakhlak yang mengatakan bahwa berkenaan

dengan kami Bani Salamah ayat berikut diturunkan, Allah SWT berfirman:

‫وول تنناَبنزواذ إبٱِل و ي‬


‫ألقو إ‬
‫ب‬ ‫و وو و ه‬
Dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan (QS. Al-
Hujurat 11)32
Ketika Rasulullah tiba di Madinah, tiada seorangpun dari kami melainkan

mempunyai dua nama atau tiga nama. Tersebutlah pula apabila beliau memanggil

seseoramg dari mereka dengan salah satu namanya. Mereka megatakan, “wahai

Rasulullah, sesungguhnya dia tidak menyukai nama panggilan itu.” Maka

turunlah firman-Nya:

32 Ibid. hlm. 321


88

‫وول تنناَبنزواذ إبٱِل و ي‬


‫ألقو إ‬
‫ب‬ ‫و وو و ه‬
Dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan (QS. Al-

Hujurat 11)

Imam Abu Daud meriwayatkan hadis ini dari Musa Ibnu Ismail, dari

Wahb, dari Daud dengan sanad yang sama.

Firman Allah SWT:

‫س ٱإلٱِسهم ٱلهفهسوُهق وبعود ٱلإ يو‬


‫إَيإن‬ ‫إ‬
‫بئ و‬
Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman
(QS. Al-Hujurat 11)
Seburuk-buruk sifat dan nama ialah yang mengandung kefasikan, yaitu

panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk, seperti yang biasa dilakukan

di zaman Jahiliah bila saling memanggil diantara sesamanya, kemudian sesudah

kalian masuk Islam dan berakal, lalu kalian kembali kepada tradisi jahiliah itu.

‫ووومن لل يِونهتب‬
Dan barangsiapa yang tidak bertobat (QS. Al-Hujurat 11)
Yakni dari kebiasaan tersebut.
١١ ‫ك هههم ٱل يظللإهموُون‬
‫فوأهذويلوئإ و‬
Maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS. Al-Hujurat 11). 33

QS. Al-hujurat Ayat 12

33 Ibid. hlm. 321-322


89

‫ض ٱلظلنين إث نم وو ول وتولسهس نوُاذ ووول ويِغتوننب‬ ‫إ إ‬ ‫إ‬


‫يِيوأويِنيوهاَٱلن ذيِون وءاومنهنوُاذ ٱجتونبُهنوُاذ وكثيَ نا يم نون ٱلظلنين إلن بوع ن و‬
‫ب أووحهدهكم وأن ويِأهكول ولوم أوإخيِنإه وميِتناَ فووكإرهتههمنوُهه ووٱتلنهقنوُذاٱللهو إلن ٱللنهو تونلوُاب‬ ‫ضاَ أو هإي ي‬ ‫ضهكم وبع ن‬ ‫لبع ه‬
١٢ ‫رلإحيِم‬
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan),
karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari
keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang
diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
Allah SWT melarang hamba-hamba-Nya yang beriman dari banyak

berprasangka buruk, yakni mencurigai keluarga dan kaum kerabat serta oranglain

dengan tuduhan yang buruk yang bukan pada tempatnya. Karena sesungguhnya

sebagian dari hal tersebut merupakan hal yang murni dosa, untuk itu hendaklah

hal tersebut dijauhi secara keseluruhan sebagai tindakan prefentif.

Telah diriwayatkan kepada kami dari AmirulMu’minin Umar Ibnu Khattab

r.a. bahwa ia pernah berkata, “janganlah sesekali kamu mempunyai prasangka

terhadap suatu kalimat yang keluar dari lisan saudaramu yang mukmin melainkan

hanya kebaikan belaka, sedangkan kamu masih mempunyai jalan untuk

memahaminya dengan pemahaman yang baik.”

Abdullah Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu

Qasim Ibnu Abu Damrah Nasr Ibnu Muhammad Ibnu Sulaiman Al-Himsi, telah

menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah

Ibnu Abu Qais An-Nadri, telah menceritakan kepada kami Abdullah Ibnu Amr r.a.

yang mengatakan bahwa ia pernah melihat Nabi SAW sedang tawaf di Kabah

seraya mengucapkan:

‫س همولمضد بإيِوإدإه إلهذرومضة‬ ‫ه‬ ‫ف‬


‫ذ‬ ‫ن‬
‫و‬ ‫ن‬ َ‫دى‬ ‫ماَ أوطذيِبُك وأوطذيِب إرذيك ماَ أوعظومك و أوذغطوم حرمتك وال إ‬
‫و وو و و و و و و و ذ و و و و ه ذ و و و و‬
‫ك وماَلههه ووودهمهه ووأوذن يِهظولن بإإه اإللوخذيِننرا‬
‫ل تونوعولىِ هحذرومةن إمذن و‬
‫الذؤُإمإن أوذعظوم إعذنود ا إ‬
‫ه‬ ‫ه‬
90

Alangkah harumnya namamu, dan alangkah harumnya baumu, dan


alangkah besarnya namamu, dan alangkah besarnya kesucianmu. Demi
Tuhan yang jiwa Muhammad berada di dalam genggaman kekuasaan-
Nya, sesungguhnya kesuciann orang mukmin itu lebih besar di sisi Allah
SWT dari pada kesucianmu; harta dan darahnya jangan sampai dituduh
yang bukan-bukan melainkan hanya baik belaka. 34

Ibnu Majah meriwayatkan melaui jalur ini secara munfarid (tunggal).

Malik r.a. telah meriwayatkan dari Abu Zanad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah

r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

‫اإيِاَهكم إوالظللن فواَإلن الظللن أوذكوذب اذلإديِ إ‬


‫ث ووول وتولسهسذوُا ووول وتولسهسذوُا ووول تونوناَفوهسذوُا ووول تونوبُاَوغظهذوُا‬ ‫ه و ذ‬ ‫و ذ‬
‫إ‬ ‫وول توودابنروا وهكوُننهوُا إعبُاَد ا إ‬
َ‫ل اذخووُاننا‬ ‫و وه ذ و ذ ذ و و‬
Janganlah kamu mempunyai perasangka buruk, karena sesungguhnya
prasangka yang buruk itu adalah berita yang paling dusta, janganlah
kamu saling memata-matai janganlah kamu saling mencari-cari
kesalahan, janganlah kamu saling menjatuhkan janganlah kamu saling
mendengki, janganlah kamu saling membenci, dan janganlah kamu saling
berbuat makar, tetapi jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang
bersaudara.
Imam Bukhari meriwayatkannya dari Abdullah ibnu Yusuf, sedabgkan

Imam Muslim meriwayatkannya dari Yahya Ibnu Yahya. Imam Abu Daud

meriwayatkannya dari Al-Atabi, dari Malik dengan sanad yang sama.

Sufyan Ibnu Uyaynah telah meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Anas r.a.

yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

‫لن اإذخووُاننناَ ووول وإيليلإهمذسنلإضم اإلن‬


‫ولتونوقنناَ طوعنوُا وول تونودابنروا وول تونبُنناَوغظهوُا وول وتاَسنهدوا وهكوُننهوُا إعبُنناَد ا إ‬
‫وه ذ و و ذ و و و ذ و ذ و و‬ ‫هذ و‬
‫يِونذههجور أووخاَهه فونذوُوق ثوولوثةوأوليِاَضم‬
Janganlah kalian saling memutuskan persaudaraan, janganlah kamu
saling menjatuhkan, janganlah kamu saling membenci, dan janganlah
kamu saling memdengki, tetapi jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah
yang bersaudara, tidak dihalalkan bagi seorang muslim mendiamkan
saudaranya lebih dari tiga hari.

34 Ibid. hlm. 322-324


91

Imam Muslim dan Imam Turmudzi meriwayatkannya dalam kitab

sahihnya masing-masing, dan Imam Turmudzi menilainya sahih, malalui riwayat

Sufyan Ibnu Uyaynah dengan sanad yang sama.

Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami, Muhammad

Ibnu Abdullah Al-Qurmuti Al-Adawi, telah menceritakan kepada kami Ismail

Ibnu Qais Al-Ansari, telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman Ibnu

Muhammad ibnu Abu Rijal, dari ayahnya, dari kakeknya Harisah Ibnu Nu’man

r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

‫ الطييِونورةه وواذذلووسهد ووهسذوُءه الظلين‬: ‫ت إلهلمإت‬


‫ث ول إزوماَ ع‬
‫ثوول ع‬
Ada tiga perkara yang semuanya memastikan bagi umatku: yaitu tiyarah,
dengki dan buruk prasangka.
Seorang lelaki berntanya, “Wahai Rasululullah, bagaimana caranya

melenyapkan bagi seseorang yang tiga-tiganya ada pada dirinya?” Rasulullah

SAW menjawab:

‫ت وفاَذم إ‬ ‫إ‬ ‫إ إ إ‬ ‫إ‬


‫ض‬ ‫ت فوول هتويقهق وواوذا توطويِلنذر و‬
‫ت وفاَذستونذغفذر ال وواوذا اووظنونذن و‬
‫اوذا وحوسذد و‬
Apabila kamu dengki, mohonlah ampuna kepada Allah SWT dan apabila
kamu buruk prasangka, maka janganlah kamu nyatakan, dan apabila
kamu mempunyai tiyarah (pertanda kemalangan) maka teruskanlah
niatmu. 35
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu

Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Muawiyyah dari Al-A’masy,

dari Zaid r.a. yang menceritakan bahwa sahabat Ibnu Mas’ud r.a. pernah

menerima seorang lelaki yang ditangkap, lalu dihadapkan kepadanya, kemudian

dikatakan keapda Ibnu Mas’ud , “ini adalah si Fulan yang jenggotnya meneteskan

khamr (yakni dia baru saja minum khamr).” Maka Ibnu Mas’ud r.a. menjawab,

“sesungguhnya kami dilarang memata-matai oranglain. Tetapi jika ada bukti yang

kelihatan oleh kita, maka kita harus menghukumnya.” Ibnu Abu Hatim

35 Ibid. hlm. 324-325


92

menjelaskan nama lelaki tersebut didalam riwayatnya, dia adalah Al-Walid Ibnu

uqbah ibnu Abu Mu’it.

Imam Ahmad mengatakan, “telah menceritakan kepada kami Hayim, telah

menceritakan kepada kami Lais, dari Ibrahim ibnu Nasyit Al-Khaulani, dari Ka’ab

ibnu Alqamah, dari Abu Haisam, dari Dajin (juru tulis Uqbah) yang menceritakan

bahwa ia pernah berkata kepada Uqbah, “sesungguhnya kami mempunyai banyak

tetangga yang gemar minum khamr, dan aku akan memanggil polisi untuk

menangkap mereka.” Uqbah menjawab, “jangan kamu lakukan itu, tetapi

nasihatilah mereka dan ancamlah mereka.” Dajin melakukan saran Uqbah, tetapi

mereka tidak mau juga berhenti dari minumnya. Akhirnya Dajin datang kepada

Uqbah dan berkata kepadanya, “sesungguhnya telah ku larang mereka mengulangi

perbuatannya, tetapi mereka tidak juga mau berhenti. Dan sekarang aku akan

memanggil polisi susila untuk menagkap mereka.” Maka Uqbah berkata kepada

Dajin, “janganlah kamu lalkukan hal itu, celakalah kamu, karena sesungguhnya

pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

َ‫ومذن وستونور وعذوُورنة همذؤُإمضن فووكاَولوناَ اإذستوذحيِواَووموُهؤذوودنة إمذن قون ذإبوها‬


Barang siapa yang menutupi aurat orang mukmin, maka seakan-akan
(pahalanya) sama dengan orang yang menghidupkan bayi yang dikubur
hidup-hidup dari kuburnya. 36
Imam Abu Daud dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Al-Lais

Sa’d dengan sanad dal lafadz yang sama. Sufyan Asy-Syauri telah meriwayatkan

dari Rasyid Ibnu Sa’d dan Muawiyyah r.a. yang mengatakan bahwa ia pernah

mendengar Nabi SAW bersabda:

‫ت أوذن تهنذفإسودههذم‬ ‫إ‬ ‫إ‬ ‫اإنل و إ إ‬


‫ت وعذوُورات اللناَإس أوفذوسذدتونههذم أوذو كذد و‬
‫ك ان اتلنبُونذع و‬
Sesungguhnya jika kamu menelusuri aurat orang lain, berarti kamu rusak
mereka atau kamu hampir buat mereka menjadi rusak.

36 Ibid. hlm. 326


93

Abu Darda mengatakan suatu kalimat yang ia dengar dari Mu’awiyah r.a.,

dari Rasulullah SAW; semoga Allah SWT menjadikannya bermanfaat. Imam

Daud meriwayatkannya secara munfarid, melalui hadis As-Sauri dengan sanad

yang sama.

Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Sa’id Ibnu

Amr Al-Hadrami, kepada menceritakan kepada kami Ismail Ibnu Iyasy, telah

menceritakan kepada kami Damdam Ibnu Zur’ah, dari Syuraih Ibnu Ubaid, dari

Zubair Ibnu Nafir, Kasir Ibnu Murrah, Amr Ibnu Aswad, Al-Miqdam ibnu Ma’di

Kariba dan Abu Umamah r.a. dari Nabi SAW yang telah bersabda:

‫اإلن الوإمذيِنور أإوذ ابذتإوغىِ الير يِذنبُوةو إف اللناَإس أوفذوسودههذم‬


Sesungguhnya seorang Amir itu apabila mencari-cari kesalahan
rakyatnya, berarti dia membuat mereka rusak.
Firman Allah SWT:

‫وو ول وتولسهسوُاذ‬
Dan janganlah mencari-cari keburukan orang (QS. Al-Hujurat 12)
Yakni sebagian dari kalian terhadap sebagian yang lain. Lafadz tajassus

pada galibnya (umumnya) menunjukkan pengertian negatif (buruk), karena itulah

mata-mata dalam bahasa Arabnya disebut jasus. Adapun mengenai lafadz tahassus

pada umumnya ditujukkan kepada kebaikan, seperti pengetian yang terdapat

dalam firman Allah SWT yang menceritakan perihal nabi Yakub yang telah

mengatakan kepada putera-puteranya:

‫يِنبُإن اذذهبُنوُا فونتوحلسسوُا إمن يِنوُسف واوإخيِإه وول توأيِنئوسوُا إمن لروإح الإ‬
‫وو ل و ه ذ و ه ذ ذ ه ذ ه و و ذ و ذ ه ذ ذ ذ‬
Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang yusuf dan
saudaranya. Dan jangan kamu berputus asa dari Rahmat Allah (QS. Yusuf
87)
94

Tetapiadakalanya lafadz ini digunakan untuk pengertian negatif, seperti

pengertian yang terdapat dalam hadis sahih, bahwa Rasulullah SAW bersabda

yang artinya:

Janganlah kalian saling memata-matai dan janganlah pula saling


mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah pula saling membenci
dan janganlah pula saling menjatuhkan, tetapi jadilah kamu sekalian
hamba-hamba Allah yang bersaudara.
Al-Auza’I mengatakan bahwa tajassus adalah mencari-cari kesalahan

pihak lain, dan tahassus adalah mencari-cari berita suatu kaum, sedangkan pihak

yang bersangkutan tidak mau beritanya itu terdengar atau disadap. Tadabur artinya

menjerumuskan atau menjatuhkan atau membuat makar. Demikian menurut apa

yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim:

َ‫ضا‬
‫ضهكم وبع ن‬
‫ووول ويِغوتب لبع ه‬
Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain (QS. Al-Hujurat 12) 37

Ini larangan memergunjingkan oranglain. Hal ini ditafsirkan oleh Nabi

SAW melaui sabdanya yang mengatakan bahw gibah ialah:

‫إ‬ ‫إ‬
‫ذذكهروك أووخاَوك بواَ توذكورهه‬
Kamu gunjingkan saudaramu, dengan hal-hal yang tidak disukainya.
Lalu ditanyakan, “bagaimanakah jika yang dipergunjingkan itu ada

padanya?” Rasulullah SAW menjawab:

‫إإ‬ ‫إ‬ ‫إ‬ ‫إإ‬ ‫إ‬


‫اذن وكاَون فذيِه وماَتونهقذوُهل فونوقد اذغتوذبُتوهه وواذن ولذ يِإهكذن فذيِه وماَ تونهقذوُهل فونوقذد بونوهتلهه‬
Jika apa yang kamu pergunjingkan itu ada padanya, berarti kamu telah
mengumpatnya dan jika apa yang kamu pergunjingkan itu tidak ada
padanya berarti kamu telah menghasutnya.
Imam Turmudzi meriwayatkannya dari Qutaibah, dari Ad-Darawardi

dengan sanad yang sama, imam Turmudzi mengatakan bahwa hadis ini sahih.

Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Bandar, dari Gundar, dari Syu’bah, dari Al-A’la.

37 Ibid. hlm. 326-328


95

Hal yamg sama telah dikatakan oleh Ibnu Umar r.a., Masruq, Qatadah, Abu Ishaq,

dan Mu’awiyah Ibnu Qurrah.

Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah

menceritakan kepada kami Yahya, dari Sufyan, bahwa telah menceritakan

kepadaku Ali Ibnu Aqmar, dari Abu Huzaifah, dari Aisyah r.a. yang mengatakan

bahwa ia pernah megatakan kepada Nabi SAW perihal keburukan Saffiyyah.

Selain Musaddad menyebutkan bahwa safiyyah itu adalah wanita yang pendek.

Maka Nabi SAW besabda:

‫لووقذد قهنذلت وكلإمةن لووُمإزج إ إ‬


‫ت بواَء الذبُوذحإر لووموزوجذتهه‬
‫ه و ذه و ذ‬
Sesungguhnya kamu telah mengucapkan suatu kalimat (yang berdosa)
seandainya kalimat itu dilemparkan ke dalam laut, tentulah dia dapat
mencemarinya. 38
Siti Aisyah r.a. menyebutkan bahwa lalu ia menceritakan perihal seseorang

kepada Nabi SAW maka Nabi SAW bersabda:

‫ت اإنذوساَنناَ وواولن إ ذل وكوذا وووكوذا‬ ‫ماَاهإح ي إ‬


‫ب اين وحوكذيِ ه‬ ‫و‬
Aku tidak suka bila aku menceritakan perihal seseorang, lalu aku
mendapatkan anu dan anu (yakni dosa)
Imam Turmudzi meriwayatkannya melalui hadis Yahya Al-Qattan, Abdur

Rahman ibnu Mahdi, dari Waki’. Ketiga-tiganya dari Sufyan As-Sauri, dari Ali

Ibnu Aqmar, dari Abu Huzaifah Salamah Ibnu Suhaib Al-Arhabi, dari Aisyah r.a.

dengan sanad yang sama. Imam Turmudzi mengatakan bahwa hadis ini hasan

sahih.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Imam Abusy

Syawarib, telah menceritakan kepada kami Abdul Walid Ibnu Ziad, telah

menceritakan kepada kami, Sulaiman Asy-Syaibani, telah menceritakan kepada

kami Hassan Ibnu Mukhariq, bahwa pernah seorang wanita menemui Siti Aisyah

38 Ibid. hlm. 328-329


96

r.a. di dalam rumahnya. Ketika wanita itu bediri dan bangkit hendak keluar, Siti

Aisyah r.a. berisyarat kepada Nabi SAW dengan tangannya yang menunjukkan

bahwa wanita itu pendek. Maka Nabi SAW bersabda:

َ‫اإذغتوذبُتإذيِنوها‬
Engkau telah mengumpatnya
Gibah atau mengumpat adalah perbuatan yang haram menurut kesepakatan

semua ulama. Tiada pengecualian kecuali hanya terhadap hal-hal yang telah

diyakini kemaslahatannya, seperti dalam hal jarh, dan ta’dil (yakni istilah ilmu

mustalahul hadis yang menerangkan tentang prediakt para perawi seorang demi

seorang) serta dalam masalah nasihat.

Seperti sabda Nabi SAW ketika ada seorang lelaki pendurhaka meminta

izin masuk menemuinya, maka bersabdalah beliau:

‫س أوهخوُ الوعإشذيِنورإة‬ ‫إ‬ ‫إ‬


‫ائذوذننهذوُا لوهه بذئ و‬
Izinkanlah dia masuk, dia adalah seburuk-buruk saudara satu kabilah

Juga seperti sabda Nabi SAW kepada Fatimah Binti Qais r.a. yang dilamar

oleh Mu’awiyah dan Abdul Jahm. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya

memberinya nasihat:

‫صاَهه وعذن وعاَتإإقه‬ ‫اَ ووأولماَأوبهوُا الوذهإم فوول يِو و‬,‫صذعلهذوُعك‬


‫ضهع وع و‬ ‫أولماَ هموعاَإويِوةه فو و‬
Adapun Mu’awiyah maka dia adalah seorang yang miskin, sedangkan
Abu Jahm adalah seorang yang tidak pernah menurunkan tongkatnya dari
pundaknya (uakni suka memukul istrinya) 39
Hal-hal lainnya yang bertujuan semisal diperbolehkan pula. Sedangkan

yang selain dari itu tetap diharamkan dengan snagat, dan ada peringatan yang

keras terhadap pelakunya. Karena itulah maka Allah SWT menyerupakan

pelakunya sebagaimana memakan daging manusia yang telah mati. Hal ini

diungkapkan oleh Allah SWT melaui firman-Nya:

39 Ibid. hlm. 329-331


97

‫إإ‬ ‫أو هإي ي‬


‫ب أووحهدهكم وأن ويِأهكول ولوم أوخيِه وميِتاَ فووكإرهتههموُهه‬
Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya
yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya (QS. Al-
hujurat 12)
Yakni sebagaimana kamu tidak menyukai hal tersebut secara naluri, maka

bencilah perbuatan tersebut demi perintah syara’. Karena sesungguhnya hukuman

yang sebenarnya jauh lebih keeras dari pada yang digambarkan. Ungkapan seperti

ayat di atas hanyalah untuk menimbulkan rasa antipati terhadap perbuatan tersebut

dan sebagai peringatan agar tidak dikerjakan. Perihalnya sama seperti apa yang

diakatakan oleh Rasulullah SAW sehubungan dengan seorang yang mencabut

kembali hibahnya:

‫ب يِوإقىِءه هثل يِونذرإجهع إف قونذيِئإإه‬


‫وكاَلذوكذل إ‬
Seperti anjing yang muntah lalu memakan kembali muntahannya. 40
Dan beliau SAW telah bersabda:

‫ولذيِسو لووناَ ومثوهل اليسذوُإء‬


Tiada bagi kami perumpamaan yang buruk
Telah disebutkan dalam kitab-kitab sahih, hasan dan musnad melalui

berbagai jalur, bahwa Rasululllah SAW dalam haji wada’nya mengatakan dalam

khitbah yang artinya:

Sesungguhnya darah-darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian

diharamkan atas kalian sebagaimana kesucian hari, bulan, dan negeri kalian ini.

Abu Daud mengatakan telah menceritakan kepada kami Wasil Ibnu Andul

A’la, telah menceritakan kepada kami Asbath Ibnu Muhammad, dari Hisyam ibnu

SA’d, dari Zaid Ibnu Aslam, dari Abu Saleh dari Abu Hurairah r.a. yang

mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

40 Ibid. hlm. 331


98

‫إ‬ ‫اَ إبوس إ‬,‫ضهه وودهمهه‬ ‫إ‬ ‫إ‬ ‫إ‬


‫ب اذمإرضئ مون اللشير أوذن هيويقور أووخاَهه‬ ‫ذ‬ ‫هكيل الذهمذسلإم وعولىِ الذهمذسلإم وحوراوم وماَلههه ووعذر ه و‬
‫الذهمذسلإوم‬
Diharamkan atas orang muslim harta, kehormatan dan darah orang
muslim lainnya. Cukuplah keburukan bagi seseorang bila ia menghina
saudara semuslimnya. 41
Imam Turmudzi meriwayatkan pula hadis ini dari Ubaid ibnu Asbath ibnu

Muhammad, dari Ayahnya dengan sanad yang sama. Dan Imam Turmudzi

mengatakan bahwa hadis ini hasan gharib. Telah menceritakan pula kepada kami

Usman Ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Al-Aswad Ibnu Amir,

telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Iyasy, dari Al-A’Masy, dari Sa’d

Ibnu Abdullah Ibnu Khadij, dari Abu Burdah Al-Balawi yang mengatakan bahwa

Rasulullah SAW pernah bersabda yang artinya:

Hai orang-orang yang iman dengan lisannya, tetapi iman belum meresap
kedalam kalbunya, janganlah kalian menggunjing orang-orang muslim,
dan janganlah pula kalian menelusuri aurat mereka, karena barang siapa
yang menelusuri aurat mereka, maka Allah akan membalas
denganmenelusuri auratnya. Dan barang siapa yang ditelusuri auratnya
oleh Allah maka Allah akan mempermalukannya di dalam rumahnya.
Imam Abu Daud meriwayatkan hadis ini secara tunggal, hal yang semisal

telah diriwayatkan pula melalui Al-Barra Ibnu Azid, untuk itu Al-Hafidz Abu

Ya’la mengatakan dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami

Mus’ab Ibnu Salam, dari Hamzah ibnu Habib Az-Zayyat, dari Abu Ishaq As-

Suba’I dari Al-Barra Ibnnu Azib r.a yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW

berkhotbah kepada kami sehingga suara beliau terdengar oleh kaum wanita yang

ada di dalam kemahnya atau di dalam rumahnya masing-masing. Beliau Saw

bersabda yang artinya:

Hai orang-orang yang iman dengan lisannya, tetapi iman belum meresap
kedalam kalbunya, janganlah kalian menggunjing orang-orang muslim,
dan janganlah pula kalian menelusuri aurat mereka, karena barang siapa
yang menelusuri aurat mereka, maka Allah akan membalas

41 Ibid. hlm. 332


99

denganmenelusuri auratnya. Dan barang siapa yang ditelusuri auratnya


oleh Allah maka Allah akan mempermalukannya di dalam rumahnya.
Jalur lain ibnu Umar r.a. Abu Bakar alias Ahmad Ibnu Ibrahim Al-Ismaili

mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah Ibnu Najiyah, telah

menceritakan kepada kami Yahya Ibnu Aksam, telah menceritakan kepada kami

Al-Fadl Ibnu Musa Asy-Syaibani, dari Al-Husain Ibnu Waqid, dari Aufa ibnu

Dalham, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda

yang artinya:

Hai orang-orang yang iman dengan lisannya, tetapi iman belum meresap
kedalam kalbunya, janganlah kalian menggunjing orang-orang muslim,
dan janganlah pula kalian menelusuri aurat mereka, karena barang siapa
yang menelusuri aurat mereka, maka Allah akan membalas
denganmenelusuri auratnya. Dan barang siapa yang ditelusuri auratnya
oleh Allah maka Allah akan mempermalukannya sekalipun ia berada di
dalam tandunya. 42
Dan pada suatu hari ibnu Umar memandang ke arah ka’bah, lalu berkata,

“alangkah besarnya engkau dan alangkah besarnya kehormatanmu, tetapi

sesungguhnya orang mukmin itu lebih besar kehormatannya daripada engkau

disisi Allah.”

Abu Daud emngatakan, telah menceritakan kepada kami Haiwan Ibnu

Syiraih, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, dai ibnu Sauban, dari ayahnya,

dari Mak-hul, dari Waqqas ibnu Rabi’ah, dari Al-Miswar yang menceritakan

kepadanya bahwa Nabi SAW pernah bersabda yang artinya:

Barang siapa yang memakan (daging) seorang muslim (yakni


menggunjingnya) sekali makan (gunjing), maka sesungguhnya Allah akan
memberikan makanan yang semisal di dlam neraka Jahanam. Dan barang
siapa yang memakaikan kepadanya pakaian yang semisal didalam neraka
Jahanam. Dan barang siapa yang berdiri karena ria dan pamer terhadap
seseorang, maka Allah akan memberdirikannya di tempat pamer dan ria
kelak di hari kiamat. 43

42 Ibid. hlm. 332-334


43 Ibid. hlm. 334-335
100

Imam Abu Daud meriwayatkan hadis ini secara munfarid. Telah

menceritakan pula kepada kami Ibnu Musaffa, telah menceritakan kepada kami

Baqiyyah dan Abdul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Safwan, telah

menceritakan kepadaku Rasyid Ibnu Sa’d dan Abdur Rahman Ibnu Jubair, dari

Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

‫لإوماَ وههؤُولإء الإذيِذون يِوأذهكلهذوُون ولهذوُوم اللناَإس وويِونوقعهذوُون إف أوذعورا إضإهذم‬.

Mengapa mereka memakan daging orang lain (menggunjing orang lain)


dan menjatuhkan kehormatan orang-orang lain? 44
Imam Abu Daud meriwayatkan secara munfarid. Hal yang semisal telah

diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Abu Mugirah Abdul Quddus Ibnu Hajjaj

Asy-Syami dengan sanad yang sama.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, “telah menceritakan kepada kami ayahku,

telah menceritakan kepada kami Ahmad Ibnu Abdah, telah menceritakan kepada

kami Abu Abdus Samad Ibnu Abdul Aziz Al-ummi, telah menceritakan kepada

kami Abu Harun Al-Abdi, dari Abu Said Al-Khudri yang mengatakan bahwa kami

pernah berkata, “wahai Rasulullah, ceritakanlah kepada kami apa yang telah

engkau lihat dalam perjalanan isra (malam) mu.” Maka diantara jawaban beliau

SAW menyebutkan bahwa kemudian aku dibawa menuju ke tempat sejumlah

makhluk Allah yang banyak terdiri dari kaum laki-laki dan wanita. Mereka

diserahkan kepada para malaikat yang berupa kaum laki-laki yang dengan sengaja

mencomot daging lambung seorang dari mereka sekali comot sebesar terompah,

kemudoan mereka jajalkan daging itu ke mulut seorang lainnya dari mereka. Lalu

dikatakan kepadanya, “makanlah ini sebagaimana dahulu kamu makan,”

sedangkan ia menjumpai daging itu adalah bangkai.

44 Ibid. hlm. 335-336


101

Jibril mengatakan, “Hai Muhammad, tentu saja itu menjijikannya, tetapi

dipaksakan kepadanya untuk memakannya.” Aku bertanya, “hai Jibril siapakah

mereka itu?” jibril menjawab, “mereka adalah orang-orang yang suka

menggunjing dan mencela serta mengadu domba orang-orang lain.” Lalu

dikatakan, “sukakah salah seoarang diantara kamu memakan daging saudaranya

yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” Dan orang

tersebut tidak suka memakannya (tetapi dipaksakan kepadanya). Demikianlah

hadis secara ringkasnya, sedangkan secara panjang lebarnya telah kami

kemukakan pada permulaan tafsir surat al-isra.

Abu Daud At-Tayasili mengatakan di dalam kitab musnadnya, bahwa telah

menceritakan kepada kami Ar-Rabi’ dari Yazid dari Anas bahwa Rasulullah SAW

memerintahkan kepada orang-orang untuk melakukan puasa atu hari, tidak boleh

ada satu orangpun yang berbuka sebelum didizinkan kepadanya berbuka.

Maka orang-orang pun melakukan puasa. Ketika petang harinya seorang

datang kepada Rasulullah SAW lalu mengatakan, “sejak pagi hari saya berpuasa,

maka izinkanlah bagiku untuk berbuka.” Kemudian ia diberi izin untuk berbuka.

Dan datang lagi lelaki lainnya yang juga meminta izin untuk berbuka, lalu

diizinkan baginya untuk berbuka.

Kemudian datanglah seorang lelaki melaporkan, “wahai Rasulullah ada

dua orang wanita dari kalangan keluargamu (istri-istrimu) sejak pagi melakukan

puasa, maka berilah izin kepada keduanya untuk berbuka.” Tetapi Rasulullah

SAW berpaling darinya, lalu lelaki itu mengulangi lagi laporannya. Akhirnya

Rasulullah SAW bersabda:


102

‫صاَ ئإمتون ذ إ‬ ‫إ‬ ‫إ‬ ‫إ‬


‫ي اوذن‬ ‫هاَ اذنووكاَنونوتاَ و و‬ ‫صاَوم ومذن ظولل يِوأذهكهل مذن هلهذوُم اللناَإس؟َ اذذوه ذ‬
‫ب فوهمذرهو‬ ‫ف و‬
‫صاَوموتاَ وووكذيِ و‬ ‫وماَ و‬
َ‫يِوذستوإقيِوئا‬
Keduanya tidak puasa, bagaimanakah dikatakan puasa seorang yang
terus-terusan memakan daaging orang lain? Pergilah dan katan kepada
keduanya, bahwa jika keduanya puasa hendaklah keduanya muntah.
Lalu keduanya melakukan apa yang diperintahkan oleh Nabi SAW. Ketika

keduanya muntah, ternyata keduanya mengeluarkan darah kental. Kemudian

lelaki itu datang kepada Nabi SAW dan melaporkan apa yang telah terjadi, Nabi

SAW bersabda:

‫هاَ فإذيِإهوماَ ولو وكوذلتنههوماَ اللناَهر‬


‫لوذوُوماَتونوتاَ وو هو‬
Seandainya kedaunya mati, sedangkan darah kental itu masih ada dalam
rongga perut keduanya, tentulah keduanya akan dibakar oleh api neraka.
Sanad hadis ini daif, sedangkan matanya garib. Hal yang semisal telah

diriwwayatkan oleh Al-hafiz Al-Baihaqi melalui hadis Yazid ibnu Harun, telah

menceritakan kepada kami Sulaiman At-Taimi yang mengatakn bahwa ia pernah

mendengar seorang lelaki bercerita di majlis Abu Usman An-nahdi, dari Ubaid

maula Rasulullah SAW bahwa di masa Rasulullah SAW pernah ada dua orang

wanita berpuasa, lalu seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW melaporkan,

“wahai Rasulullah, di sini ada dua orang wanita berpuasa, tetapi keduanya hampir

saja mati karena kehausan,” perawi mengatakan bahwa ia merasa yakin

penyebabnya adalah karna teriknya matahari di tengah hari. Rasulullah SAW

berpaling darinya atau diam tidak menjawab.

Lelaki itu kembali berkata, “wahai Nabi Allah, demi Allah sesungguhnya

keduanya sekarat atau hampir saja sekarat.” Maka Rasulullah SAW bersabda,

“pergilah keduanya,” lalu keduanya datang. Maka didatangkanlah sebuah wadah

atau mangkuk, dan Nabi SAW berkata kepada salah satu dari wanita itu,

“muntahlah!” wanita itu mengeluarkan muntahan darah dan nanah sehingga


103

memenuhi separo waddah itu. Kemudian Nabi Saw berkata kepada wanita

lainnya, “muntahlah!” lalu waita itu memuntahkan nanah, darah, muntahan darah

kental, dan lainnya hingga wadah itu penuh, kemudian Nabi SAW bersabda:

Sesungguhnya wanita itu puasa dari apa yang dihalalkan oleh Allah bagi
keduanya, tapi keduanya tidak puasa dari apa yang diharamkan oleh
Allah atas keduanya; salah satu ari keduanya mendatangi yang lain lalu
keduanya memakan daging orang lain (menggunjingnya). 45
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Yazid ibnu

Harun dan Ibnu Abu Addi, keduanya dari Salman ibnu Sau’an At-Taimi dengan

snad yang semisal dan lafadz yang sama atau semisal. Kemudian Imam Ahmad

meriwayatkannya pula melalui hadis Musaddad, dari Yahya Al-Qattan dari Usman

Ibnu Qiyas telah menceritakan kepadaku seorang lelaki yang menurutku dia

berada di majelis Abu Usman, dari SA’ad maula Rasulullah SAW bahwa mereka

diperintahkan untuk puasa, lalu ditengah hari datanglah seorang lelaki dan

berkata, “wahai Rasulullah, Fulanah dan Fulanah telah payah sekali,’ tetapi Nabi

SAW berpaling darinya; hal ini berlangsung sebanyak dua atau tiga kali. Pada

akhirnya Raulullah SAW bersabda, “panggilah keduanya.”

Maka Nabi SAW datnag membawa panci atau wadah, dan berkata kepada

salah seorang dari kedau wanita itu, “muntahlah!” wanita itu memuntahkan

daging, daah kental, dan muntahan. Lalu Nabi SAW berakta kepada wanita

lainnya, “muntahlah!” maka wanita itu memuntahkan hal yang sama. Kemudian

Rasulullah SAW bersaba:

Sesungguhnya wanita itu puasa dari apa yang dihalalkan oleh Allah bagi
keduanya, tapi keduanya tidak puasa dari apa yang diharamkan oleh Allah atas
keduanya; salah satu ari keduanya mendatangi yang lain lalu keduanya memakan
daging orang lain (menggunjingnya) hingga perut keduanya penuh dengan
nanah. 46

45 Ibid. hlm. 336-338


46 Ibid. hlm. 338-339
104

Imam Baihaqi mengatakan bahwa demikianlah bunyi teks yang

diriwayatkan dari SA’d. tetapi yang pertama (yaitu ubaid) adalh yang paling sahih.

Al-Hafiz Abu Ya’la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr

Ibnu Dakhlak Ibnu Makhlad, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah

menceritakan kepada kami Abu Asim, telah menceritakan kepada kami Ibnu

Juraij, telah menceritakan kepada kami Abu Zubair, dari seoranganak Abu

Hurairah, bahwa Ma’iz datang kepada Rasulullah SAW, lalu berkata, “wahai

Rasulullah, aku telah berzina.” Rasulullah SAW berpaling darinya hingga MA’iz

mengulangi ucapannya, sebanyak empat kali, dan pada kelima kalinya Rasulullah

SAW balik bertanya, “kamu benar berziana?” MA’iz menjawab, “Ya.”

Rasulullah SAW bertanya, “tahukah kamu apakah zina itu?” Ma’iz

menjawab, “ya, aku lakukan terhadapnya perbuatan yang haram sebagaimana

layaknya seorang suami mnedatangi istri yang halal.” Rasulullah Saw bertanya,

“apakah yang engkau maksudkan dengan pengakuanmu ini?” Ma’iz menjawab,

“aku bermaksud agar engkau menyucikan diriku (dari dosa zina).”

Maka Rasulullah Saw bertanya, “apakah engkau memasukan itu mu

kedalam itunya dia, sebagaimana batang celak dimasukkan kedalam wadah celak

dan sebagaimana timba dimasukkan ke dalam sumur?” Ma’iz menjawab, “Ya,

waahai Rasulullah, “ maka Rasulullah memerintahkan agar Ma’iz dihukum rajam,

lalu Ma’iz dirajam.

Lalu Nabi SAW mendengar dua orang lelaki berkata. Salah satu dari

merka berkata kepada slah seorang dari yang lainnya (temannya). “tidaklah

engkau menyaksikan orang yang telah ditutupi oleh Allah, tetapi dia tidak

membiarkan dirinya hingga harus dirajam seperti anjing dirajam?” lalu Nabi SAW
105

berjalan hingga melaui bangkai keledai, lalu beliau SAW bersabda, “dimanakah si

Fulan dan si Fulan? Suruhlah keduanya turun dan memakan bagkai keledai ini.”

Keduanya mmenjawab “semoga Allah mengampunimu, ya Rasulullah,

apakah bagkai ini dapat dimakan?” beliau SAW menjawab:

Apa yang kamu berdua katakan tentang saudaramu tadi jauh menjijikan
dari pada bangkai keledai ini rasanya. Demi Tuhan yang jiwaku berada
di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya dia sekarang benar-
benar berada di sungai-sungai surga menyelam didalamnya.
Imam Ahmad mengatakan, “telah menceritakan kepada kami Abdus

Samad, telah menceritakan kepadaku Wasil maula Ibnu Uyaynah, telah

menceritakan kepadaku Khalid Ibnu Urfutah dari Talhah ibnu Nafi’, dari Jabir

ibnu Abdullah r.a. yang menceritakan bahwa ketika kami bersama Nabi SAW lalu

terciumlah oleh kami bau bangkai yang sangat busuk, maka Rasulullah Saw

besaba:

‫س‬ ‫إإ إ ل إ‬ ‫إإ‬


‫اوتوذدهرذوون وماَوهذه اليريِذهح؟َ وهذه ريِذهح ا ذيِذون يِونذغوتاَبنهذوُون اللناَ و‬
Tahukah kalian, bau pakah ini? Ini adalah bau orang-orang yang
menggunjing orang lain. 47
Abdu Ibnu Humaid mengatakan dalam kitab musnadnya, telah

menceritakan kepada kami Ibrahi ibnu Asy’as, telah menceritakan kepada kami

Al-Fudail ibnu Iyad, dari Sulaiman ibnu Abu Sufyan alias Thalhah ibnu Nafi’,

dari Jubair ibnu Abdullah r.a. yang mengatakan bahwa ketika kami bersama Nabi

SAW dalam satu perjalanan, tiba-tiba terciumlah bau bangkai yang sangat busuk.

Maka Nabi SAW bersaba:

‫ت وهإذإه اليريِذهح‬ ‫اإلن نونوفرا إمن الناَفإإقي اإذغتبُنوُا وناَساَ إمن اهلمسلإإم إ إ‬
‫ك بونوعثو ذ‬
‫ي فولوذل و‬
‫ن و هو ذ و وه ذ ن و ذ ذ و‬
Sesungguhnya sejumlah orang-orang munafik telah menggunjing
sesorang dari kaum muslim, maka hal tersebutlah yang menimbulkan bau
yang sangat busuk ini.
Dan barangkali beliau SAW bersabda:

47 Ibid. hlm. 339-341


106

‫ت وهإذإه اليريِذهح‬
‫ك وهاَوج ذ‬
‫إإ‬
‫فولوذل و‬
karena itulah tercium bau busuk ini.

As-saddi mengatakan sehubungan dengan firman Allah SWT:

‫ب أووحهدهكم وأن ويِأهكول ولوم أوإخيِإه وميِت‬


‫أو هإي ي‬
Suka memakan daging saudaranya yang sudah mati. (QS. Al-Hujurat 12) 48

Ia merasa yakin bahwa Salman r.a. ketika berjalan dengan dua orang

sahabat Nabi SAW dalam suatu perjalanan sebagai pelayan keduanya dan

meringankan beban keduanya dengan imbalan mendapat makan dari keduanya.

Suatu hari ketika semua orang telah berangkat, sedangkan Salman tidak ikut

berangkat bersama mereka melainkan tertidur, lalu kedua temannya

menggunjingkannya. Kemudian keduanya mencari Salman, tetapi kedaunya tidak

menemukannya. Akhirnya kedua teman Salman membuat kemah dan keduanya

megatakan secara menggerutu, “tiada yang dikehendaki oleh Salman atau budak

ini selain dari yang enaknya saja, yaitu datang tinggal makan, dan kemah sudah

dipasang.

Ketika Salman datang, mereka mengutus Salman kepada Rasulullah SAW

untuk meminta lauk pauk. Maka Salman pun berabgkat hingga datang kepada

Rasulullah SAW seraya membawa lauk pauk. Lalu Salman berkata, “wahai

Rasulullah, teman-temanku telah menyuruhku unuk meminta lauk pauk kepada

engkau, jika engkau mempunyainya.’ Rasulullah SAW bersabda:

‫ك إباَذلهذدإم؟َ قوإدائذنتوودهمذوُا‬ ‫صنوهع أو ذ‬


‫صوحاَبو و‬ ‫وماَ يِو ذ‬
Apa yang dilakukan teman-temanmu dengan lauk pauk, bukankah mereka
telah memperoleh lauk pauk? 49

48 Ibid. hlm. 341


49 Ibid. hlm. 341-342
107

Maka Salman kembali kepada kedua teman-temannya dan menceritakan

kepada mereka apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah SAW. Kemudian

keduanya berangkat hingga ke tempat Nabi SAW lalu berkata, “demi Tuhan yang

telah mengutusmu dengan hak, kami belum makan sejak pertama kali kita

istirahat, “Rasulullah SAW bersaba:

َ‫اإنلهكوماَ قوإدائذنتوودذمتهوماَ بإوسذلوماَون بإوقذوُلإهكوما‬


Sesungguhnya kamu berdua telah mendapat lauk pauk dari salman karena
gunjinganmu (terhadapnya). 50
Lalu turunlah firman Allah SWT:

‫ب أووحهدهكم وأن ويِأهكول ولوم أوإخيِإه وميِت‬


‫أو هإي ي‬
Suka memakan daging saudaranya yang sudah mati. (QS. Al-Hujurat 12)

Sesungguhnya pada saat itu salman sedang tidur.

Al-Hafid Ad-Diya Al-Maqdisi ttelah meriwayatkan dalam kitab Al-

Mukhtar-nya melalui jalur Hasan ibnu Hilal, dari Hammad ibnu Salamah, dari

Sabit, dari Anas ibnu Malik r.a. yang telah menceritakan bahwa dahulu oang-

orang Arab biasa melayani yang lainnya dengan perjalanan. Dan tersebutlah Abu

Bakar dan Umar r.a. membawa serta seorang lelaki yang melayani keduanya. Lalu

kedaunya tidur dan bangun, tapi lelaki itu tidak menyediankan makanan untuk

mereka berdua, lalu mereka kedaunya mengatakan bahwa sesungguhnya orang ini

(yakni pelayan keduanya) suka tidur. Dan keduanya membangunkan pelayannya

itu dan mengatakan kepadanya, “pergilah kepada Rasulullah SAW dan katakan

kepada beliau bahwa Abu Bakar dan Umar mengirimkan salam untuknya dan

kedaunya meminta lauk pauk dari beliau.” Ketika pelayan itu sampai ke tempat

50 Ibid. hlm. 342


108

Nabi SAW maka beliau SAW besabda, “sesungguhnya mereka berdua telah

memperoleh lauk pauk.” 51

Maka Abu Bakar dan Umar datang menghadap kepada Rsulullah SAW dan

bertanya, “wahai Rsulullah, lauk pauk apakah yang telah kami peroleh?’ mak

Rasulullah SAW bersabda:

‫إ إإ إ‬ ‫إ‬
‫ووالذيِذون النلنذفسيِ بإيِوده اين ولوورىَ ولذومهه بون ذ و‬
َ‫ي ثونوناَويِاَ هكوما‬
Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam genggaman kekuasaan-Nya
sesungguhnya aku melihat dagingnya berada di lambungmu.
Keduanya berkata, “wahai Rasulullah, mohonkanlah ampunan bagi kami.”

Rasulullah SAW bersabda:

َ‫هموراهه فونذليِوذستونذغإفذر لوهكوما‬


Perintahkankah kepada lelaki itu (pelayanmu) untuk memohonkan ampun bagi
kamu berdua. 52
Al-hafiz abu Ya’la mengatakan, teleh menceritakan kepada kami Al-

Hakam Ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibnu Maslamah

dari Muhammad Ibnu Ishaq, dari pamannya Musa Ibnu Yasar, dari Abu Hurairah

r.a. yang telah mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

َ‫ب اإلوذيِإه إف اذلوإهورإة فونيِونوقاَهل لوهه هكذلهه إميِينتاَ وكوماَ أووكذلتوهه وحليِا‬ ‫إإ‬ ‫إ‬
‫ومذن أووكول مذن ولذإم أوخذيِه إف اليدنذنويِاَ قهنير و‬
Barang siapa yang memakan dging saudaranya sewaktu di dunia, maka
disungguhkan kepadanya daging saudarany itu kelak di akhirat, lalu dikatakan
kepadanya, “makanlah ini dalam keadaan mati sebagaimana engkau memannya
dalam keadaan hidup. 53
Abu Hurairah mengatakan, bahwa lalu dia memakannya, sekalipun dengan

rasa jijik seraya menjerit. Hadis ini gharib sekali.

Firman Allah SWT:

‫ووٱتلنهقوُذاٱللهو‬
Dan bertakwalah kepada Allah (QS. Al-Hujurat 12)

51 Ibid. hlm. 342-343


52 Ibid. hlm. 343
53 Ibid. hlm. 344
109

Dengan mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada

kalian dan mejauhi apa yang dilarang oleh-Nya, mak merasalah diri kalian berada

dalam pengawasan-Nya dan takutlah kalian kepada-Nya.

١٢ ‫إلن ٱللهو تونلوُاب لرإحيِم‬


Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang (QS. Al-
Hujurat 12)
Yakni Maha Penerima taubat terhadap oang yang mau bertaubat kepada-

Nya, lagi Maha Penyayang kepada orang yang kembali kepada jalan-Nya dan

percaya kepada-Nya. 54

Jumhur ulama mengatakan bahwa cara brtaubat dari menggunjing orang

lain ialah hendaknya yang bersangkutan bertekad untuk tidak mengulangi lagi

perbuatannya. Akan tetapi, apakah disayratkan menyesali perbuatannya yang telah

lalu itu? Maslahahnya masih diperselisihkan. Dan hendaknya pelakunya meminta

maaf kepada oang yang digunjingnya.

Ulama lainnya mengtakan bahwa tidak disyaratkan meminta maaf dari

orang yang digunjiingnya, karena jika ia memberitahu kepadnya apa yang

dilakukan kepadanya barang kali hatinya lebih sakit dari pada seandainya tidak

diberitahu. Dan cara yang terbaik ialah hendaknya pelaku yang menggujing

tersebut membersihkan nama orang-oarang yang digunjingnya di tempat yang

tadinya dia mencelanya dan berbalik memujinya. Dan hendaklah ia membela

orang yang pernah digunjingnya itu dengan segala kemampuan sebagai pelunasan

dari apa yng dilakukan terhadapnya sebelum itu. 55

Imam Ahmad mengatakan telah menceritakan kepada kami Ahmad Ibnu

Hajjaj telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah mneceritakan kepada kami

54 Ibid. hlm. 344


55 Ibid. hlm. 344-345
110

Yahya Ibnu Ayub dari Abdullah ibnu Sulaiman, bahwa ismail ibnu Yahya Al-

Mua’firi telah menceritakan kepadnya bahwa Sahl ibnu Mu’az ibnu Anas Al-

Juhani telah menceritakan kepadnya dari ayahnya, dari Nabi SAW yang telah

bersabda:

Barang siapa yang membela seorang mukmin dari orang munafik yang
menggunjingnya, maka Allah mengirimkan malaikat kepadanya untuk
melindungi dagingnya kelak di hari kiamat dari api jahanam. Dan barang
siapa yang menuduh seorang mukmin dengan tuduhan yang ia maksudkan
untuk mencacinya, maka Allah menahannya di jembatan neraka jahanam
hingga ia mencabut kembali apa yang dituduhkannya itu.

Hal yang telah diriwayatkan oleh Abu Daud melaui hadis Abdullah ibnu

Mubarok dengan sanad dan lafaz yang semisal. 56

Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq Ibnu Sabah,

telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada

kami Al-Lais telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Salim, dia pernah

mendengar Ismail ibnu Basyir mengatakan bahwa ia pernah mendengar Jabir ibnu

Abdullah dan Abu Thalhah ibnu Sal Al-Ansari mengatakan bahwa Rsulullah SAW

pernah bersabda:

Tidaklah seorang menghina seorang muslim di suatu tempat, yang


menyebabkan kehormatannya dilecehkan dan harga dirinya direndahkan.
Melainkan Allah SWT akan balas menghinanya di tempat yang sangat ia
memerlukan pertolongan-Nya. Dan tidaklah seorang membela seorang
muslim di suatu tempat yang meyebabkan harga diri dan kehormatannya
direndahkan, melainkan Allah akan menolongnya ditempat-tempat yang
sangat ia memerlukan pertolongan-Nya. 57

QS. Al-Hujurat 13

56 Ibid hlm. 345-346


57 Ibid. hlm. 346
111

‫س إلناَ وخولقينوهكم يمن ذووكر ووهأنثويىِ وووجوعلينوهكم هشهعوُباَ ووقونوبُاَئإنول إلتونوعنناَورفهوُاذ إلن وأكورومهكننم إعننود‬
‫يِيوأويِنيوهاَٱللناَ ه‬
١٣ َ‫ٱللإه وأتوقيىهكم إلن ٱللهو وعلإيِعم وخإبُي‬
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.
Allah SWT menceritakan kepada manusia bahwa Dia telah menciptakan

mereka dari diri yang satu dan darinya Allah menciprakan istrinya, yaitu Adam

dan Hawa, kemudian Dia menjadikan mereka berbangsa-bangsa. Pengertian

bangsa alam bahasa Arab ialah Sya’bun yang artinya lebih besar daripada kabilah,

sessudah kabilah terdapat tingkatan-tingkatan lainnya yang lebih kecil, seperti

fasa’il, (puak), Asya’ir (Bani), ama’ir, Afkhad, dan lain sebagainya. 58

Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan syu’ub adalah kabilah-

kabilah non Arab. Sedangkan yang dimaksud dengan kabilah-kabilah ialah khusus

untuk orang Arab, seperti halnya kabilah Bani Israil disebut asbath. Keterangan

mengenai hail ini telah kami jabarkan dalam muqadimah terpisah yang sengaja

kami himpunn dalam suatu kitab al-Asbah karya Abu Umar ibnu Abdul Bar, juga

dalam muqadimah kitab yang berjudul Al-Qasdu wal Umam fi Ma’rifati Ansabil

Arab wal Ajam.

Pada garis besarnya manusia bila ditinjau dari unsur kejadiannya yaitu

tanah liat, sampai dengan Adam dan Hawa a.s. sama saja. Sesungguhnya

perbedaan keutamaan diantara mereka karena perkara agama, yaitu ketaatan

kepada Allah SWT dan Rsul-Nya. Karena ituah sesudah melarang perbuatan

menggunjing dan menghina orang lain, Allah SWT berfirman, mengingatkan

mereka, bahwa mereka adalah manusia yang memiliki martabat yang sama:

58 Ibid. hlm. 347


112

‫س إلناَ وخولقينوهكم يمن ذووكر ووهأنثويىِ وووجوعلينوهكم هشهعوُباَ ووقونوبُاَئإول إلتونوعاَورهفوُاذ‬


‫يِيوأويِنيوهاَٱللناَ ه‬
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal (QS. Al-Hujurat 13)
Agar mereka saling menganal diantara sesamanya, masing-masing

dinisbatkan kepada kabilah (suku atau bangsa)nya. Mujahid telah mengatakan

sehibungan dengan firman-Nya:

‫إلتونوعاَورهفوُاذ‬
Supaya kamu saling kenal-mengenal (QS. Al-Hujurat 13)

Seperti disebutkan si Fulan bin Fulan dari kabilah anu atau bangsa anu.

Sufyan As-Sauri mengatakan bahwa orang-orang Himyar menisbatkan dirinya

kepada sukunya masing-masing, dan orang-orang Arab Hijaz menisbatkan dirinya

kepada kabilahnya masing-masing. 59

Abu Isa Al-Turmudzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami

Ahmad ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu

Mubarak, dari Abdul Malik ibnu Isa AS-Saqafi, dari Yazid Maula al_Mubda’is

dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW yang telah bersabda:

‫ص نلهذوُاون بإنإه أوذروهنناَومهكإم فوناَإلن إص نلوةو اللرذح نإم وموبُلنةع إف ن اذولذه نإل ومثذ نوراةع إف ن‬
‫تونعلم نوُا إم نن أونذسنناَبإهكم منناَ تو إ‬
‫و هذ ذ و ذ و‬
‫الذوماَإل ومذنوسأوةع إف اذلوثوإر‬
Pelajarilah nasab-nasab kalian untuk mempererat silaturahmi (hubungan
keluarga) kalian, karena sesunggihnya silaturahmi itu menanamkan rasa
cinta kepada kekeluargaan memperbanyak harta dan memperpanjang
uisa.
Kemudian Imam At-Turmudzi mengatakan bahwa hadis ini garib, ia tidak

mengenalnya melaikan hanya melalui jalur ini. 60

‫إلن وأكورومهكم إعنود ٱللإه وأتوقيىكهم‬

59 Ibid. hlm. 347-348


60 Ibid. hlm. 348
113

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disis Allah ialah
orang yang paling takwa diantara kamu (QS. Al-Hujurat 13)
Yakni sesungguhnya kalian berbeda-beda dari keutamaan di sisi Allah

SWT hanyalah dengan ketaqwaan, bukan karena keturunan dan kedudukan.

Sehubungan dengan hal ini banyak hadis Nabi SAW yang menerangkannya. 61

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad

Ibnu Salam, telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Ubaidillah, dari SA’id

ibnu Abu sa’id dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW

pernah ditanya mengenai orang yang paling mulia, siapakah dia sesungguhnya?

Maka Rasulullah SAW bersabda:

‫وأكورومههذم إعنود ٱللإه وأتوقىيهكم‬


Orang yang paling mulia diantara kamu disis Allah ialah orang yang
paling bertakwa.
Mereka mengatakan, “bukan itu yang kami maksudkan.” Rasulullah Saw

bersabda:

‫ل ابن خلإيِل الإ‬


‫ل ابن نوإ إ‬
‫إ‬
‫ب ا ذه و ذ ه‬ ‫فوأوذكورهم اللناَإس يِنهذوُهس و‬
‫ف نونيب ا ذ ه ه‬
Oang yang paling mulai adalah Yusuf, Nabi Allah, putra Nabi Allah dan
juga cucu nabi Allah yaitu kekasih Allah.
Mereka mengatakan, “bukan itu yang kami maksudkan.” Rasulullah SAW

beliau bertanya, “kamu maksudkan ialah tentang kemuliaan yang ada di kalangan

orang-orang Arab?” mereka menjawab, “ya” maka Rasulullah SAW bersabda:

‫لاَإهلإيِلإة إخويِاَهرهكذم إف ا ذإلذسولإم اإوذا فونوقههذوُا‬ ‫إ‬


‫فوخويِاَهرهكذم إف ا و‬
Orang-orang yang terhormat diantara kalian di zaman jahiliah adalah juga
orang-orang yang terhormat dikalangan masa Islam jika mereka mendalami
agamanya.
Imam Bukhari meriwayatkan hadis ini bukan hanya di satu tempat

melainkan melalui berbagai jalur dari Abdah ibnu Sulaiman, Imam Nasai

61 Ibid. hlm. 349


114

mriwayatkannya dalam kitab tafsir, dari Uabidah ibnu Umar Al-Umari dengan

sanad yang sama. 62

Imam Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr An-

naqid telah menceritakan kepada kami kasir ibnu Hisyam, telah menceritakan

kepada kami Ja’far ibnu Burqan, dari Yazid ibnu Asam, dari Abu Hurairah r.a.

yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

‫صووُإرهكذم وواوذمووُالإهكذم وولوإكذن يِونذنظههر اإول قهنلهذوُبإهكذم وواوذعوماَلإهكذم‬ ‫إ‬ ‫إ‬


‫الن الو ول يِونذنظههر اول ه‬
Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian dan harta
kalian tetapi Dia memandang kepda hati dan amal perbuatan kalian.
Ibnu Majah meriwayatkan hadis ini dari Ahmad ibnu Sinan, dari dari Kasir
ibnu Hisyam dengan sanad yang sama.
Imam ahmad mengatakan, telah mneceritakan kepada kami Waki’. Dari
Abu Hilal, dari Abu Bakar dari Abu Zar r.a. yang menagtakan bahwa
sesungguhnya Nabi SAW pernah bersabda kepadanya:
‫ك لوست إبو ضيَ إمن أوذحر وول أوسوُد اإلل أوذن توإفضلوه إبتونذقوُىَ الإ‬ ‫إ‬
‫هه و‬ ‫اهنذظهذر فواَنل و ذ و ذ ذ وو و ذ و و‬
Perhatikanlah, sesungguhnya kebaikanmu bukan karena kamu dari kulit
merah dan tidak pula dari kulit hitam. Melainkan kamu peroleh
keutamaan karena taqwa kepada Allah SWT.
Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini secara munfarid. 63

Al-Hafiz Abu Qasim At-Tabrani menagatakan, telah menceritaka kepada

kami Abu Ubaidah Abdul Waris ibnu Ibrahim Al-Askari, telah menceritakan

kepada kami abdur Rahman Ibnu Amr ibnu Jabalah, telah menceeritakan kepada

kami Ubaid Ibnu Hunain At-Ta’I bahwa ia pernah mendengar Muhammad ibnu

Habib ibnu Khirasy Al-Asri menceritakan hadis berikut dari ayahnya yang pernah

mendengar Rasulullah Saw bersabda:

َ‫ضول إلووحضد وعولىِ أووحضد اإلل إباَالتلنذقووُى‬ ‫إ‬


‫الذهمذسلإهمذوُون اذخووُاةع ول فو ذ‬

62 Ibid. hlm. 349-350


63 Ibid. hlm. 350
115

Orang-orang muslim itu bersauara, tiada keutamaan bagi sesorang atas


lainnya kecuali dengan taqwa. 64
Al-Bazzar telah telah mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah

menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya AL-Kufi, telah menceritakan

kepada kami Al-Hasan Ibnu Husain, telah menceritakan kepada kami Qais (yakni

Ibnu Rabi’) dari Syabib ibnu Urqubah, dari Al-Mustazil ibnu Husain, dari

Huzaifah r.a. yang mengatakan bahw Rasulullah SaAW pernah bersabda:

ِ‫ي قونذوُعم يِونذفوخهرذوون إباَوباَئإإهذم أوذو لويِوهكذوُنولن اوذهووُاهن وعولى‬ ‫هكليهكم بننهنوُا اوودم واودم هخلإوق إمن تهنرا ض‬
‫ب وولويِونذنتوإه و ل‬ ‫ذ و‬ ‫ذوذ وو ه‬
‫ل تونوعولىِ إمون اذلهذعولإن‬
‫اإ‬
Kamu sekalian adalah anak-anak Adam, dan Adam diciptakan dari tanah,
untuk itu hendaklah suatu kaum tidak lagi membangga-banggakan
orangtuanya, atau benar-benar mereka rendah dari serangga tanah
menurut Allah SWT.
Kemudian Al-bazzar mengatakan bahwa kami tidak mengenalnya

bersumberkan dari Huzaifah kecuali melalui jalur ini. 65

Ibnu abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi’,

telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu zakariya Al-Qattan, telah

menceritakan kepad kami Musa ibnu Ubaidah, dari Abdullah ibnu Dinar, dari ibnu

Umar r.a. yang mengatakn bahwa di hari penaklukan kota Mekkah Rasulullah

Saw melakukan tawaf di Baitullah dengan mengendarai untanya yang bernama

Qaswa, beliau mengusap rukun dengan tongkat yang dipegangnya. Maka beliau

tidak menemukan ruangan bagi unta Qaswa di dalam Masjidil Haram itu (karena

penuh sesak dengan orang-orang). Akhirnya beliau turun dari untanya dan

menyerahkan untanya kepda seseorang yang membawabya keluar masjid, lalu

mengistirahatkannya di lembah tempat Sa’i. 66

64 Ibid. hlm. 350-351


65 Ibid. hlm. 351
66 Ibid. hlm. 351-352
116

Kemudian Rasulullah SAW berkhotbah kepada mereka di atas unta


kendaraanya itu, yang dumulainya dengan membaca hamdalah dan memuji-Nya
dengan pujian yang pantas untuk-Nya. Setelah itu beliau bersaba:
Hai manusia, sesungguhnya Allah telah melenyapkan dari kalian keaiban
masa jahiliah dan tradisinya yang selalu membangga-banggakan orang-
orang tuanya. Manusia itu ada dua macam, yaitu orang yang berbakti,
bertaqwa lagi mulia di sisi Allah SWT dan orang yang durhaka, celaka
lagi hina manurut Allah SWT. 67
Kemudian Nabi SAW membaca firman Allah SWT:

‫س إلناَ وخولقينوهكم يمن ذووكر ووهأنثويىِ وووجوعلينوهكم هشهعوُباَ ووقونوبُاَئإنول إلتونوعنناَورفهوُاذ إلن وأكورومهكننم إعننود‬
‫يِيوأويِنيوهاَٱللناَ ه‬
١٣ َ‫ٱللإه وأتوقيىهكم إلن ٱللهو وعلإيِعم وخإبُي‬
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal (QS. Al-Hujurat 13) 68
Setelah itu beliau SAW mengucapkan istigfar seperti berikut:

‫أوقهنذوُهل قونذوُإل وهوذا وواوذستونذغإفهرالو إل وولوهكذم‬


Aku akhiri ucapan ini seraya memohon ampun kepada Allah untuk diriku dan
kalian.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abdu ibnu Humaid , dari Abu
Asim Ad-Dakhlak, dari Mukhlad, dari Musa ibnu Ubaidah dengan sanad yang
sama. 69
Imam Ahmad mengatakan, telah mneceritakan kepada kami Yahya ibnu

Ishaq, telah menceritakan kepada kami ibnu Lahi’ah dari AL-Haris ibnu Yazid

dari Ali Ibnu Rubah, dari Uqbah ibnu Amir r.a. yang mengatakan bahw

sesungguhnya Rasulullah Saw pernah bersabda:

Sesungguhnya nasab kalian ini bukanlah untuk merendahkan siapa pun.


Kamu sekalian adalah anak-anak Adam yang mempunyai martabat yang
sama, tiada bagi seseorang keutamaanatas yang lainnya kecuali dengan
agama dan taqwa. Cukuplah bagi seseorang bila dia menjadi orang yang
tercela, kikir lagi buruk kata-katanya. 70

67 Ibid. hlm. 352


68 Ibid. hlm. 352-353
69 Ibid. hlm. 353
70 Ibid. hlm. 353
117

Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Yunus dari ibnu Wahb dari ibnu Lahi’ah

dengan snad yang sama, yang bunyi teksnya sebagai berikut;

‫ع لوذومذيِهملن ننؤُوهه اإلن لون ن وليِوذسن ن نأولههكذم وع ن نذن أوذحوسن نناَبوهكذم وولووعن ن نذن‬
‫صن نناَ و‬
‫ف ال ل‬
‫س ولودوم وووحن ن نووُاءو طنون ن ل‬
‫النلن نناَ ه‬
‫ل اوتذنوقاَهكذم‬‫أونذساَبهكم يِنوُم الإقيِمإةاإلن اوذكرمهكم إعذنود ا إ‬
‫وو ذ‬ ‫و و ذ وذ و و و‬
Manusia itu berasak dari Adam dan Hawa mempunyai martabat yang
sama. Sesungguhnya Allah tidak menanyai kedudukan kalian dan tidak
pula nasab kalian di hati kiamat nanti. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. 71
Tetapi teks hadis ini terdapat di dalam keenam kitab sittah melalui jalur
ini. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami ibnu Abdul
Malik, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Sammak, dari Abdullah ibnu
Umrah (suami Durrah binti Abu Lahab), dari Durrah binti Abu Lahab yang
menceritaka bahwa seorang lelaki berdiri, lalu berjalan kepada Nabi Saw saat itu
beliau berada di atas mimbar, lalu ia bertanya, “wahai Rasulullah manusia
manakah yang paling baik itu?” Rasulullah SAW menjawab:
‫إ‬
‫وخذيِنهرالنلنناَإس أوقذنورهؤههن نذم ووأوتذنوق نناَههذم وعلزوووجن نلل وواومهرههن نذم بإنناَلذومذعهرذوف ووأونذنوه نناَههذم وعن نإن الذهمذنوكن نإر وواوذو و‬
‫صن نلهههذم‬
‫إلللرذحإم‬
Sebaik-baik manusia adalah yang paling pandai membaca Al-Quran,
paling bertaqwa kepada Allah SWT, paling gencar memerintahkan
kepada kebajikan dan paling tekun melarang perbuatan mungkar serta
paling gemar bersilaturahmi. 72
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan, telah

menceritakan kepad kami ibnu Lahi’ah, telah menceritakan kepada kami Abu

Aswad, dari Al-Qasim ibnu Muhammad, dari Aisyah r.a. yang mengatakan:

ِ‫ط اإلل ذهذوتوإقيي‬


‫صولىِ اله وعلوذيِإه وووسلم وشيِءع إمذن اليدنذنويِاَ ووول اوذعوجبُوهه اووحعد قو ط‬
‫ذ‬ ‫و‬ ‫و‬
‫ماَاوذعجب رسوُهل ا إ‬
‫ل‬ ‫و و و وه‬
Tiada sesuatupun dari duniawi ini ang dikagumi oleh Rasulullah SAW dan tiada
seorangpun yang dukagumi oleh beliau kecauli orang-orang yang mempunyai
ketaqwaan. 73
Firman Allah SWT:

١٣ َ‫إلن ٱللهو وعلإيِعم وخإبُي‬


71 Ibid. hlm. 353-357
72 Ibid. hlm. 354
73 Ibid. hlm. 354-355
118

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujurat 13)

Yakni Dia Maha Mengetahui kalian dan Maha Mengenal semua urusan
kalian, maka Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia Kehendaki-Nya dan
menyesatkan siapa yang Dia kehendaki-Nya, merahmati siapa yang dikehendaki-
Nya dan mengazab siapa yang Dia kehendaki-Ny, serta mengutamakan siapa yang
dikehendaki-Nya atas siapa yang dikehendakinya. Dia Maha Bijaksana, Maha
Mengetahui, lagi Maha Mengenal dalam semuanya itu.
Ada sebagian ulama yang dengan berdasarkan ayat yang mulia ini
berpendapat bahwa kafa’ah (sepadan) dalam masalah nikah bukan merupakan
syarat, dan tiada syarat dalam pernikahan kecuali hanya agama, karena firman
Allah SWT:

‫إلن وأكورومهكم إعنود ٱللإه وأتوقيىكهم‬


Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling takwa diantara kamu (QS. Al-Hujurat 13)
Sedangkan sebagian ulama lainnya berpegangan kepada dalil-dalil lain

yang keterangannya secara rinci disebutkan di dalam kitab-kitan fikih, kami telah

mengutarakan sebagian darinya di dalam kitab kitabul Ahkam. 74

Imam Tabrani meriwayatkan dari Abdur Rahman bahwa ia telah

mendengar seorang lelaki dari kalangan Bani Hasyim megatakan, “aku adalah

orang yang paling utama terhadap Rasulullah Saw.” Maka orang lain mengatakan,

“aku lebih utama terhadapnya daripadamu, karena aku memiliki hubungan

terhadapnya.” 75

QS. Al-hujurat 14-18

‫ب وءاوملناَ هقل لل هتؤُإمنهنوُاذ وويلوإكننن هقوُلهنوُاذ أوسنولموناَ وولولمنناَ يِنوندهخإل ٱلإإَيينوهن إفن قهنلنهنوُبإهكم‬ ‫۞وقاَلوت ٱلوأعورا ه‬
‫إ‬
١٤ ‫ووإإن تهإطيِعه ن ن نوُاذ ٱللن ن نهو ووورهسن ن ننوُلوههۥ ول يِوإلتهكن ن ننم يمن ن ننن وأعيوملإهكن ن ننم وش ن ن ن ‍يِناَ إلن ٱللن ن نهو وغهفن ن ننوُر لرإحيِ ن ن نعم‬
‫إلوناَٱلهمؤُإمهنوُونٱِلإذيِون وءاومنهوُاذ إبٱِللإه ووورهسوُلإإهۦ هثل ول ويِروتاَبهوُاذ وويوجوههدواذ بإنوأميووُإإلم وووأنهفإسنإهم إفن وسنبُإيِإل ٱللنإه‬

74 Ibid. hlm. 355


75 Ibid. hlm. 355-356
119

‫ قهنل وأتهنعليمنوُون ٱللنه بإنإديِنإهكم وٱللنه يِعلونم مناَ إف ٱللسن يم يوُ إ‬١٥ ‫صنإدهقوُون‬
‫ت ووومناَ إفن‬ ‫وو‬ ‫و هو هو‬ ‫و‬ ‫وه‬ ‫أهذويلوئإ و‬
‫ك هههم ٱل يل‬
‫ك وأن وأسلوهموُاذ هقل لل وتهنيوُاذ وعلوليِ إسن يلوومهكم بونإل‬ ‫ض إ‬
‫ ويهينوُون وعلويِ و‬١٦ ‫ض ووٱللهه بإهكيل وشيِء وعليِم‬ ‫ٱلوأر إ‬
‫ت‬‫ إننلنٱِلله يِعلو نم وغيِ نب ٱللس ن يم يوُ إ‬١٧ ‫ٱلل نه ويهنين علويِهكننم وأن ه نوديىَهكم لإإلييونإن إإن هكنتهننم يص نإدقإي‬
‫وو‬ ‫وو ه و‬ ‫و و‬ ‫و‬ ‫ه و‬
١٨ ‫صيَه إ وباَ وتعومهلوُون‬
‫ض وٱلله ب إ‬
‫ووٱلوأر إ و ه و‬
14. Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah:
"Kamu belum beriman, tapi katakanlah ´kami telah tunduk´, karena iman itu
belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"
15. Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang
percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-
ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan
Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar
16. Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang
agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi
dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu?
17. Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keIslaman mereka.
Katakanlah: "Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan
keIslamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu
dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang
benar"
18. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi. Dan
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. 76
Allah SWT berfirman, mengingkari orang-oarang Arab Badui yang baru

saja masuk Islam, lalu mereka mengiklankan dirinya beriman, padahal iman

masih belum meresap ke dalam hati mereka.

‫ب وءاوملناَ هقل لل هتؤُإمنهوُاذ وويلوإكن هقوُلهوُاذ وأسولمنواَ وولولماَ ويِدهخإل ٱلإإَييوهن إف قهنهلوُبإهكم‬ ‫إ‬
‫۞وقاَلوت ٱلوأعورا ه‬
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu
belum beriman, tapi katakanlah ´kami telah tunduk´, karena iman itu belum
masuk ke dalam hatimu (QS. Al-Hujurat 14)
Dari makna ayat ini dapat disimpulkan bahwa iman itu pengertiannya

lebih khusus dari pada Islam, seperti yang dikatakan oleh mazhab Ahlus Sunnah

Wal-Jama’ah. Pengertian ini diperkuat dengan dengan adanya hadis Jibril a.s.

ketika ia bertanya (kepada Nabi Saw) tentang Islam, kemudian iman dan trakhir

76 Ibid. hlm. 356-357


120

tentang ihsan. Dalam pertanyaan itu ia memulai dari yang umum kemudian kepad

yang khusus, lalu kepada yang lebih khusus lagi. 77

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur

Razzaq. Telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari Az-Zuhri dari Amir ibnu

Sa’d ibnu Waqas dari ayahnya yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw memberi

bagian kepada anak laki-laki, tetapi tidak memberi seseorang dari meeka

sedikitpun. Maka Sa’d ibnu Abu Waqas r.a. bertanya, “wahai Rasulullah Allah

telah memberi Fulan dan Fulan tetapi engkau tidak memberi si Fulan barang

sedikitpun padahal dia seorang mukmin?” maka Rasulullah SAW balik bertanya,

“bukankah dia seorang muslim?” Sa’d mengulani pertanyaannya sebanyak tiga

kali, dan selalu dijawab oleh Nabi SAW dengan pernyataan “bukankah dia

seorang muslim?’ kemudian Nabi Saw bersabda:

‫ل إمذنهذم فونلوذم اهذعإطإه وشذيِنئاَ هوماَ فوةن اوذن يِهوكبُينذوُا إف اللناَإر‬ ‫اإين وله عإطيِ إرجاَنل وأودع من هوُ أوح ي إ‬
‫ب ا ول‬ ‫و و و ه و ذ هو و‬ ‫ذ‬
‫وعولىِ هوهجذوُإهإهذم‬
Sesungguhnya aku benar-benar memberi bagian kepada banyak laki-laki dan aku
tinggalkan sesorang yang lebih aku suaki daripada mereka (yang kuberi bagian)
tanpa memberinya sesuatu pun, karena ku merasa khawatir bila kelak Allah Akan
menyeret mereka kedalam neraka dengan muka di bawah. 78
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini melaui Az-

Zuhri dengansanad yang sama. Dalam hadis ini Nabi SAW membedakan antara

orang mikmin dan orang muslim. Hal ini menunjukkan bahwa pengetian imam

lebih khusus daripada Islam. Kami telah menjelaskan hal ini beserta dalil-dalinya

dalam syarah Imam Bukhari kitabul Imam.

Hadis di atas menunjukkan pula bahwa lelaki yang tidak diberi bagian itu

adalah seorang muslim, bukan seorang munafik, dan Nabi SAW tidak

77 Ibid. hlm. 357


78 Ibid. hlm. 357-358
121

memberinya sesuatu bagian pun karena beliau percaya dengan keIslaman dan

keimanannya yang telah meresap ke dalam hatinya. Hal ini menunjukkan bahwa

orang-oarang Badui yang disebtkan dalam ayat ini buka pula orang-orang

munafik, mereka adalah orangorang muslim, tetapi iman masih belum meresap

kedalam hati mereka. Katika mereka mengakui bahwa dirinya telah mencapai

suatu tingatan yang pada hakikatnya mereka belum mencapainya, maka diberi-

Nya lah kepada mereka pelajaran tentang etika. Pengertian inilah yang

dimaksudkan oleh Ibnu Abbas r.a., Ibrahim An-Nakha’I, dan Qatadah, lalu dipilih

oleh Ibnu Jarir.

Sesungguhnya kami kemukakan pendapat ini untuk meyanggah apap yang

telah dikatakan oleh Imam Bukhari rahimahullah yang berpendapat bahwa orang-

orang Arab Badui itu adalah orang munafik yang mengaku-ngaku dirinya beriman

padahal pada kenyataannya tidak demikian.

Telah diriwayatkan dari Sa’id Ibnu Jubair, Mujahid dan Ibnu Zaid bahwa

mereka telah mengatakan sehubungan dengan makna firmn Allah-Nya:

َ‫وويلوإكن هقوُهلوُاذ وأسولمونا‬


tapi katakanlah ´kami telah tunduk (QS. Al-Hujurat 14)
yakni kami tunduk dan patuh karena takut dibunuh dan ditawan. Mujahid

mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Bani Asad

Ibnu Khuzaifah. Qatadah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan

dengan suatu kaum yang mengakui dirinya berjasa kepada Rasulullah SAW

karena mereka mau beriman, padahal iman masih belum meresap ke dalam hati

mereka. Maka mereka diberi pelajaran etika dan diberi tahu sesungguhnya

tingkatan iman sebenarnya masih belum mereka capai. 79

79 Ibid. hlm. 358-359


122

Sekiranya mereka itu orang-orang munafik, tentulah mereka diaktakan

dengan nada yang keras dan dipermalukan, seperti penuturan perihal orang-orang

munafik dalam surat at-taubah. Dan sesungguhnya dikatakan kepada mereka

hanyalah semata-mata untuk mendidik mereka, yaitu firman-Nya:

ۖۡ‫لل هتؤُإمنهوُاذ ويلوإكن هقوُلهوُاذ وأسولموناَ ولولماَ يِدهخإل ٱلإإَييون إف قهنهلوُبإهكم‬


‫ه‬ ‫و و‬ ‫و‬
Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah ´kami telah tunduk´, karena
iman itu belum masuk ke dalam hatimu (QS. Al-Hujurat 14)
Yaitu kalian belum mencapai hakikat iman, kemudian Allah SWT

berfirman:

َ‫ووإإن تهإطيِعهوُاذ ٱللهو ووورهسوُلوههۥ ول يِوإلتهكم يمن وأعيوملإهكم وش ‍يِنا‬


Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi
sedikitpun pahala amalanmu (QS. Al-Hujurat 14) 80
Dan tidak akan megurangi pahala amalanmu barabg sedikitpun, semakna

dengan apa yang dikatakan dalam firman-Nya:

‫وووماَ أوولتينوههم يمن وعوملإإهم يمن وشيِء‬


dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka (QS. At-tur 21)
81

Adapun firman Allah SWT:

١٤ ‫ۚۚ إلن ٱللهو وغهفوُر لرإحيِعم‬


sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Hujurat
14)
yakni kepada orang-orang yang bertaubat dan kembali kepada jalan-Nya.

Firman Allah SWT:

‫إلوناَٱلهمؤُإمهنوُون‬
Sesungguhnya orang-orang yang (QS. Al-Hujurat 15)
Yaitu yang sempurna iman mereka.

‫ٱلإذيِون وءاومنهوُاذ إبٱِللإه ووورهسوُلإإهۦ هثل ول ويِروتاَبهوُاذ‬

80 Ibid. hlm. 359


81 Ibid. hlm. 359-360
123

hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya,


kemudian mereka tidak ragu-ragu (QS. Al-Hujurat 15)
Maksudnya, tidak ragu-ragu, tidak bimbang dakam keimananya. Bahkan

teguh dalam satu pendirian, yaitu membenarkan dengan setulus-tulusnya,

‫وويوجوههدواذ بإوأميووُإإلم وووأنهفإسإهم إف وسبُإيِإل ٱللإه‬


dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah
(QS. Al-Hujurat 15) 82
Mereka korbankan diri dan harta benda mereka yang disayang untuk

ketaatan kepad Allah dan ridha-Nya:

١٥ ‫صإدهقوُون‬ ‫أهذويلوئإ و‬
‫ك هههم ٱل يل‬
Mereka itulah orang-orang yang benar (QS. Al-Hujurat 15)

Yakni dalam ucapannya yang mengatakan bahwa mereka adalah orang-

orang yang beriman, tidak sebagaimana yang dikatakan oelh sebagian orang-

orang Arab Badui yang iman mereka masih belum meresap kecuali hanya sebatas

lahiriah saja. 83

Imam Ahmad mengatakan,telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu

Gailan, telah enceritakan kepada kami Rasyidin, telah enceritakan kepada kami

Amr Ibnu Haris, dari Abu Sumah, dari Abu Haisam, dari Abu Sa’d r.a. yang

mengatakan bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah bersabda:

Orang-orang mukmin di dunia ini adda tiga macam, yaitu orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka yang ragu-ragu dan
mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah; dan orang
(mukmin) yang dipercayai oleh orang lain terhadap harta dan jiwa mereka; dan
orang (mukmin) yang apabila mereka yang memilki raa tamak (terhadap sesuatu)
maka dia meninggalkannya karena Allah.
Firman Allah SWT:
‫هقل وأتهنوعليهموُون ٱللهو بإإديِنإهكم‬
Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang
agamamu (QS. Al-Hujurat 16)

82 Ibid. hlm. 360


83 Ibid. hlm. 360-361
124

Maksudnya apakah kalian akan memberitahukan kepada-Nya apa yang

tersimpan didalam hati kalian.

‫وٱلله يِعلوم ماَ فإيِ ٱللس يم يوُ إ‬


‫ت وووماَ إف ٱلأور إ‬
‫ض‬ ‫وو‬ ‫و هو هو‬
Padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi (QS. Al-
Hujurat 16) 84
Yakni tidak ada sesuatu pun yang sebesar zarrah di bumi atau di langit,

tiada pula yang lebih kecil dari itu, dan tiaa pula yang lebih besar tersembunyi dari

pengetahuan Allah.

١٦ ‫ووٱللهه بإهكيل وشيِضء وعلإيِم‬


Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu? (QS. Al-Hujurat 16) 85
Kemudian Allah SWT berfirman:

‫ك وأن وأسلوهموُاذ هقل لل وتهنيوُاذ وعلوليِ إإس يلوومهكم‬


‫ويهينوُون وعلويِ و‬
Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keIslaman mereka.
Katakanlah: "Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan
keIslamanmu (QS. Al-Hujurat 17)
Kalimat ini ditujukkan kepada orang Arab Badui yang merasa berjasa
kepada keIslaman mereka dan keikutsertaan dalam menolong Rasulullah SAW
maka Allah SWT berfirman menyanggahnya:

‫هقل لل وتهنيوُاذ وعلوليِ إإس يلوومهكم‬


Katakanlah: "Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan
keIslamanmu (QS. Al-Hujurat 17)
Karena sesungguhnya hal itu manfaatnya kembali kepada dirimu sendiri,

Allah-Lah yang sebenarnya memberi nikmat kepada kalian karena Dialah yang

menunjukkan kalian kepada Islam.

١٧ ‫ي‬ ‫بإل ٱلله ويين علويِهكم وأن هوديىَهكم لإإلييإن إإن هكنتم ي إ إ‬
‫صدق و‬ ‫ه و‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫و ه ه و‬
Sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan
menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar"
(QS. Al-Hujurat 17)
Yakni benar dengan pengakuanmuntentang hal tersebut, sebagaimana yang

dilakukan oleh Nabi SAW kepada orang-orang Ansar di hari perang Humain:
84 Ibid. hlm. 361-352
85 Ibid. hlm. 362
125

‫ل إب؟َ وهكذنتهم متونوفإرقإي فاَولولفهكم ا إ‬


َ‫ل إب؟‬ ‫يِاَ معوشر اذلونذصر أوول أوإجذدهكم ضولنل فوحوداهكم ا إ‬
‫ذ‬ ‫و ذ ه ذو‬ ‫و ه‬ ‫ذ و‬ ‫و و ذ و وو ذ‬
‫وهكذنتهم عواَلةن فواَوذغوناَ هكم ا إ‬
َ‫ل إب؟‬ ‫ذ‬ ‫و ذ و‬
Hai golongan orang-oarang Anshar, bukankah aku jumpai kalian dalam keadaan
sesat, lalu Allah memberi petunjuk kepada kalian melaluiku? Dan kalian dalam
keadaan berpecah belah. Lalu Allah mempersatukan kelian melaluiku? Dan
kalian dalam keadaan miskin, kemudian allah menjadikan kalian berkecukupan
melauiku?
Setiap kalimat yang diucapkan oleh Nabi SAW dijawab oleh mereka

dengan ucapan, “hanya kepada Allah dan Rasul-Nya kami beriman.” 86

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada

kami Ibrahim Ibnu sa’id Al-Jauhari, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu

Sa’id Al-Umawi, dari Muhammad ibnu Qais, dari Abu Aun, dari Sa’id ibnu ibnu

Jubair dari ibnu Abbas r.a. yang menceritakan bahwa Bani Asad datang kepada

Rasulullah SAW lalu mereka berkata, “wahai Rasulullah kami telah Islam. Orang-

orang Arab Badui memerangimu. Tetapi kami tidak memerangimu.” Maka

Rasulullah SAW bersabda, “sesungguhnya pengetahuan mereka minim, dan

sesungguhnya setan telah memutarbalikan lisan mereka,” lalu turunlah ayat ini,

yaiti firman-Nya:

‫ك وأن وأسلوهموُاذ هقل لل وتهنينوُاذ وعلونليِ إسن يلوومهكم بونإل ٱللنهه وينهين وعلويِهكنم وأن وهنوديىَهكم لإإليينوإن‬‫ويهينوُون وعلويِ و‬
١٧ ‫ي‬ ‫إإن هكنتم ي إ إ‬
‫صدق و‬ ‫ه و‬
Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keIslaman mereka.
Katakanlah: "Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan
keIslamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu
dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang
benar" (QS. Al-Hujurat 17) 87
Kemudian Al-Hafiz Al-Bazzar megatakan, “kami telah mengenal hadis ini

diriwayatkan melainkan hanya melalui jalur ini, dan kami tidak mengetahui Abu

86 Ibid. hlm. 362-353


87 Ibid. hlm. 363-354
126

Aun alias Muhammad ibnu Ubaidilah meriwayatkan dari Sa’id ibnu Jubair kecuali

dalam hadis ini.

Kemudian Allah SWT megulangi pemberitaann-Nya bahwa Dia

mengetahui semua makhluk dan melihat semua amal perbuatan mereka. Untuk itu

Allah befirman:

١٨ ‫صيَه إ وباَ وتعومهلوُون‬


‫ض وٱلله ب إ‬ ‫إ‬ ‫إ‬
‫لنٱِللهو ويِعلوهم وغيِ و‬
‫ب ٱللسيوميووُت ووٱلوأر إ و ه و‬
Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi. Dan Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Hujurat 18)

BAB III
TAFSIR QS. AL-HUJURAT AYAT 1 – 18

B. Tafsir QS Al-Hujurat Menurut Al-Maraghi

Tafsir Al-Maraghi, termasuk ke dalam golongan tafsir kontemporer. Hal ini

dapat dilihat jelas selain dari waktu penyusunan tafsirnya, dapat terlihat juga dari

cara Al-Maraghi menafsirkan ayat-ayat yang ada di dalam Al-Qur’an. Al-Maraghi

menafsirkannya dengan cara yang lebih sistematis, sehingga mudah dicerna oleh

setiap pembacanya. Pada terbitan yang pertama, tafsir Al-Maraghi ini terdiri dari

30 jilid, namun hal itu terlihat sangat banyak kemudian pada terbitan selanjutnya

diperampinglah penerbitannya sampai menjadi 10 jilid saja.

Karena disusun di Mesir, pemikiran Al-Maraghi juga tidak lepas dari

pengaruh dua ulama besar Al-Azhar, Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh

Muhammad Rasyid Ridha, yang tidak lain mereka adalah guru-gurunya. Banyak

ahli tafsir yang melihat percikan-percikan Tafsir Al-Manar yang disusun oleh dua

ulama besar awal abad dua puluh tersebut dalam Tafsir Al-Maraghi, terutama dari

sisi modernitas pemikirannya. Berbeda dengan tafsir salaf yang sistematika


127

penulisannya relatif sederhana, meski pembahasannya sangat mendalam, Syaikh

Ahmad Musthafa Al-Maraghi menyusun tafsirnya dengan sistematika yang lebih

bercorak.

Dimulai dengan menyebutkan satu, dua, atau sekelompok ayat yang akan

ditafsirkan, yang pengelompokannya berdasarkan kesatuan pokok bahasan. Meski

dikelompokkan namun urutan ayat dan surahnya tetap seperti biasa, yakni mulai

dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nas. Disusul kemudian dengan penjelasan

kosa kata (syarh al-mufradāt) yang secara umum dianggap sukar, lalu uraian

pengertian global ayat (ma’na al-Ijmali). Setelah diajak memahami maksupd ayat

secara umum, pembaca lalu disuguhi penafsiran yang lebih rinci dan luas.

Pengertian ijmali tersebut merupakan hal baru dalam dunia tafsir, yang belum

pernah dilakukan oleh mufassir lain sebelumnya.

1. Biografi Al-Maraghi

Nama lengkap Al-Maraghi adalah Ahmad Musthafa Ibn Musthafa ibn

Muhammad ibn Abd al-Mun’im al-Qadhi al-Maraghi. Ia lahir pada tahun 1300

H/1883 M di kota Al-Maraghah, propinsi Suhaj, kira-kira 700 km arah selatan

Kairo.88 Ahmad Musthafa Al-Maraghi berasal dari kalangan ulama yang taat dan

menguasai berbagai bidang ilmu agama. Hal ini dapat dibuktikan, bahwa 5 dari 8

orang putra laki-laki Syekh Musthafa Al-Maraghi (ayah Ahmad Musthafa Al-

Maraghi) adalah ulama besar yang cukup terkenal, yaitu:

Syekh Muhammad Musthafa Al-Maraghi yang pernah menjadi Syekh Al-

Azhar dua periode, tahun 1928-1930 dan 1935-1945.

Syekh Ahmad Musthafa Al-Maraghi, pengarang Tafsir Al-Maraghi.

88 Hasan Zaini, M.A., Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir Al-Maraghi, Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1997, h. 15.
128

Syekh Abdul Aziz Al-Maraghi, pernah menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin

Universitas Al-Azhar dan imam Raja Faruq.

Syekh Abdullah Musthafa Al-Maraghi, pernah menjadi inspektur umum pada

Universitas Al-Azhar.

Syekh Abdul Wafa Musthafa Al-Maraghi, pernah menjadi sekretaris Badan

Penelitian dan Pengembangan Universitas Al-Azhar.89

Al-Maraghi mula-mula belajar dari buku al-Qaryah dan tidak lama

kemudian beliau hafal Al-Qur’an. Setelah lulus sekolah dasar dan menengah, pada

tahun 1314 H orang tuanya menyuruh Al-Maraghi untuk melanjutkan studi di Al-

Azhar. Disinilah ia mendalami bahasa arab, tafsir, hadits, fiqih, akhlak dan ilmu

falaq. Di antara guru-gurunya, Muhammad Abduh, Syekh Muhammad Hasan Al-

Adawy, Syekh Muhammad Bahis Al-Mufthi, dan Syekh Ahmad Rifa’i Al-Fayumi.

Tidak lama setelah tamat belajar, Al-Maraghi diangkat menjadi guru di beberapa

sekolah menengah kemudian diangkat menjadi direktur sebuah sekolah guru di

Fayum.

Pada masa selanjutnya Al-Maraghi semakin mapan, baik sebagai birokrat

maupun sebagai intelektual muslim, menjadi Qadi Al-Qudat dan menduduki

jabatan Mahkamah Tinggi Syariah hingga tahun 1919, kemudian kembali ke

Mesir pada tahun 1920. Pada bulan Mei tahun 1928 M, Al-Maraghi diangkat

menjadi rektor Al-Azhar. Usia 47 tepatnya pada tahun 1952 M, ialah merupakan

tahun dimana Al-Maraghi meninggal dunia.

2. Sistematika Penulisan

89 Hasan Zaini, M.A., Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir Al-Maraghi, Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1997, h. 16.
129

Sistematika penulisan Tafsir Al-Maraghi ini, dikemukakan seperti

penuturannya dalam muqaddimah tafsir tersebut, sebagai berikut:

a. Menyampaikan ayat-ayat diawal pembahasan satu atau lebih dari ayat-ayat Al-

Qur’an, sehingga memberikan pengertian yang menyatu.

b. Apabila terdapat ayat-ayat yang sulit dipahami, Al-Maraghi menjelaskan secara

mufrodat (kata-kata).

c. Menyebutkan maksud ayat secara ijmali, dengan maksud sebelum memasuki

kepada penafsiran terlebih dahulu mengetahui makna ayat-ayat secara ijmali,

kemudian ditafsirkan secara rinci.

d. Menyertakan bahasan asbabun nuzul, jika terdapat riwayat shahih dari hadits

yang menjadi pegangan para mufassir.

e. Mengesampingkan istilah yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan,

seperti: ilmu sharaf, nahwu, balaghah, dan yang lainnya.

f. Gaya bahasa yang dipergunakan disesuaikan dengan perkembangan

pengetahuan masa kini.

g. Sebelum membahas, terlebih dahulu dia mengkaji tafsir terdahulu yang

beraneka kecenderungannya serta masa penulisannya, setelah itu baru dia

menyajikannya dengan gaya bahasa yang mudah diterima.

h. Dalam pembahasannya, dia tidak memakai cerita-cerita orang dahulu, kecuali

yang tidak bertentangan dengan agama serta tidak diperselisihkan.90

3. Karakteristik Tafsir Al-Maraghi

a. Metode

Metode yang digunakan Al-Maraghi dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an

menggunakan metode tahlili, hal itu dilihat dari cara beliau menafsirkannya
90 Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz I, 1985, h. 18-22
130

dengan memulai mengelompokan ayat-ayat menjadi satu kelompok lalu

menjelaskan pengertian kata-kata, maknanya secara ringkas, dan disertai asbabun

nuzul, kemudian munasabah ayatnya. Pada bagian akhir, beliau memberikan

penafsiran yang lebih rinci mengenai ayat tersebut.

b. Sumber

Dilihat dari sumber penafsirannya, Al-Maraghi banyak menggunakan akal.

Hal tersebut karena pengaruh dari gurunya yaitu, Muhammad abduh. Al-Qur’an

menurut Muhammad Abduh tidak hanya berbicara kepada hati, tetapi juga pada

akal pikiran, sebab Al-Qur’an menempatkan akal pada kedudukan tinggi. Karena

itu Al-Qur’an harus dipahami secara kritis, bukan hanya sekedar membaca dan

menghafalnya, karena itu wahyu dan akal keduanya merupakan tanda kekuasaan

Allah dalam wujud ini. Kedua tanda kekuasaan itu tidak mungkin berlawanan,

karena (1) keduanya menjadi tanda zat yang mutlak sempurna (2) wahyu dan akal

merupakan sumber hidayah, disesuaikan dengan keadaan pada masa itu, karena

betapa pentingnya kedudukan akal dalam memahami Islam.91

c. Corak

Tafsir Al-Maraghi ini dapat dikatakan kitab tafsir yang memiliki corak Adabi

Ijtima’i, hal itu disebabkan dari uraian dalam kitab tafsirnya menggunakan bahasa

yang indah dan menarik dengan beroreintasi pada sastra, kehidupan budaya dan

kemasyarakatan.

Arti umum mengenai corak Adabi Ijtima’i ini, dijelaskan oleh Husein Adz-

Dzahabi, yaitu penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan

ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan

menekankan tujuan pokok diturunkannya Al-Qur’an, lalu mengaplikasikannya


91 Ensiklopedi Islam, 1997, h. 256
131

pada tatanan sosial, seperti pemecahan-pemecahan masalah-masalah umat islam

dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat.

4. Uraian Tafsir Surat Al Hujurat ayat 1-18 menurut Al Maraghi

La Taqaddimu: janganlah kamu mendahului.

Yakni dari perkatan Muqaddimah Jaisy, yang artinya orang yang berada di

depan mereka. Abu Ubaidah mengatakan, orang Arab berkata, “Janganlah kamu

mendahului di hadapan pemimpin dan d hadapan ayah.” Maksudnya, janganlah

kamu tergesa-gesa melakukan sesuatu hal sebelum dia.

Dan ada pula yang mengatakan bahwa maksudnya adalah, janganlah kamu

berkata yang bertentangan dengan Al-Kitab dan Sunnah. Dan agaknya pendapat

inilah yang lebih kuat. Janganlah kamu meninggikan suara-suaramu melebihi

suara nabi. Maksudnya, apabila kamu berbicara dengan dia sedang dia berkata-

kata dan kamu pun berkata-kata, janganlah sampai suara-suaramu melampaui

batas yang dicapai oleh kenyaringan suara nabi.

Yagudduna Aswataham : Mereka merendahkan dan melunakkan suara mereka

Imtahanallah Qulubahum : Allah menguji mereka. Maksudnya mensucikan dan

membeersihkannya, sebagaimana seorang pengrajin emas dengan cara melebur

dan membersihkannya dari setiap kepalsuan. 92

PENGERTIAN SECARA UMUM

Surat Al-Fath disebut sesudah ayat Al-Qital. Karena yang pertama

merupakn muqodimah sedang yang kedua merupakan hasil. Sedang surat ini

disebutkan sesudah surat Al-Fath. Karena apabila suatu umat telah berjuang,

kemudian Allah emmberi kemenangan kepada mereka, sedang Nabi saw berada di

92 Al-Maragi Ahmad Mustafa, Tafsir Al-Maragi, terj. Bahrun Abu Bakar dkk, (Semarang : Karya
Toha Putra, 1993), Cet. II, hlm 200.
132

tengah mereka dan segala urusan pun telah stabil, maka ajib diadakan kaidah-

kaidah yang mengatur hubungan antara Nabi saw. Dan para sahabatnya, agimana

cara mereka bergaul dengannya. Dan bagaimana mereka bergaul sesamanya.

Maka mereka disuruh agar jangan sampai memutuskan sesuatu perkara sebelum

mendapat keputusan Allah dan rasull-Nya, dan jangan sampai meninggikan suara

mereka melebihi suara Nabi saw. Juga jangan bersuara keras kepadanya

sebagaiamana sebagian mereka bersuara keras kepada sebagian yang lain. Karena

hal itu berarti meremehkan, yang bias menyebabkan kepada kekafiran yang

membatalkan segala amal. 93

PENJELASAN
Allah SWT. mendidik orang-orang mukmin, apabila berhadapan dengan

Rasul saw. Dengan dua kesopanan. Yaitu, yang pertama berupa perbuatan, sedang

yang kedua berupa perkataan. Kepada yang pertama Allah mengisyaratkan dengan

firman-Nya :

‫يِيوأويِنيوهاَ ٱلإذيِون وءاومنهوُاذ ول تهنوقيدهموُاذ بويِون يِوودإي ٱللإه ووورهسوُلإإهۦۦ ووٱتلنهقوُاذ ٱللهو إلن ٱللهو وإسيِعع وعلإيِم‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu tergesa-gesa memutuskan

suatu perkara sebelum mendapat keputusan Allah dan rasull-Nya, mengenai

perkara itu untukmu. Karena barangkali kamu memutuskan dengan keputusan

yang tidak sama dengan keputusan mereka berdua. Dan tautlah kalian kepada

Allah, jangan sampai kamu berkata tentang sesuatu yang tidak diizinkan oleh

Allah maupun rasull-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Menndengar tentang apa

yang kamu ucapkan, dan Maha Tahu tentang maksud perkataanmu apabila kamu

berbicara, tidak ada sesuatu pun dari sisi dadamu yang tersembunyi bagi Allah.

93 Ibid. hlm. 201


133

Dengan jawaban seperti inilah Mu’az bin Jabal ra menjawab pertanyaan

Rasulullah saw. Ketika beliau mengirimkannya ke Yaman Rasul saw., bertanya

kepadanya, “Dengan apakan kamu memutuskan suatu perkara?” Mu’az

menjawab, “Dengan Kitab Allah.” Rasul saw , berkata, “Kalau tidak kamu

dapatkan?” Mu’az menjawab, “Dengan sunnah Rasul-Nya.” Rasul saw saw.

Ketika beliau mengirimkannya ke Yaman Rasul saw., bertanya kepadanya,

“Dengan apakan kamu memutuskan suatu perkara?” Mu’az menjawab, “Dengan

Kitab Allah.” Rasul saw , berkata, “Kalau tidak kamu dapatkan?” Mu’az

menjawab, “Dengan sunnah Rasul-Nya.” Rasul sartanya, “Kalau tidak juga kamu

dapatkan?” Mu’az menjawa, “Aku berijtihad dengan pendapatku.” maka rasul

pun menepuk dada Mu’azdengan mengatakan, “ Segala puji Allah yang telah

member taufik kepada kepada delegasi rasul-Nya dengan taufik yang diridai oleh

rasul-Nya.” (Hais diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmizi).

Anda lihat, Mu’az ternyata mengakhirkan pendapat ijtihadnya dan

meletakannya sesudah Kitab Allah dan sunnah rasul-Nya. Sekiranya ia

mendahulukan pendapat ijtihad dan meletakkannya sebelum kitab Allah dan

sunnah rasul-Nya, tentu ia tergolong orang-orang yang mendahului Allah dan

rasull-Nya.

Kesimpulannya, ahwa Allah menyuruh orang-orang mukmin agar tunduk

kepada perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya, dan jangan sampai

mereka tergesa-gesa menguucapkan perkataan atau melakukan uatu perbuatan

sebelum Rasul saw. Senndiri mengucapkan atau berbuat. Maka mereka tida

menyembelih kurban pada Idul Adha sebelum nabi sendiri menyembelih, dan
134

tidak seorang pun berpuasa pada hari yang meragukan (yaumusy syak). Dan hal

itu memang dilarang oleh nabi.

Selanjutnya Allah SWT. Mengisyaratkan kesopanan yang kedua dengan


firman-Nya :
‫يِي أويِنيهاَ ٱلإذيِن ءامنهوُاذ ول وترفونعوُاذ وأص يوُتوهكم وفوُوق إ‬
‫صوُت ٱلنلإ ي‬
‫ب‬ ‫و‬ ‫ه و‬ ‫و وو‬ ‫و و‬
Apabila nabi berbicara dan kamu pun berbicara, maka janganlah kamu

meninggikan suara-suaramu melebihi nabi. Dan janganlah sampai suaramu

mencapai belakang batas yang dicapai oleh suara nabi. Karena hal itu menunjukan

kekurang ajaran dan tidak hormat.

Al-Bukhari meriwayatkan dengan sanad dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa

Adullah bin Zubair ra. Mengabarkan kepadanya, bahwa ada serombongan dari

Tamim yang datang kepada Nabi saw. Maka Abu Bakar ra. Berkata, “Yang jadi

pemimpin Al-Qa’qa bin Ma’bad, “Sedang Umar berkata pula, “Bahkan yang jadi

pemimpin Al-Aqra’bin Habis. Maka Abu Bakar ra. Berkata, “Kamu hanya ingin

membantahku saja.” Umar ra. Berkata, “Aku tidak hendak membantahmu” Dan

keduanya pun bertengkar hingga suara mereka berdua menjadi keras. Maka

turunlah ayat, Ya ayyuhal Lazina amanu la tarfa u tarfa aswatakum …..al ayah.

Sesudah turun ayat tersebut mak Abu Bakar tak pernah berbicara dengan

Rasulullah saw. kecuali seperti orang yang berbisik saja. Sedang Umar tak pernah

berbicara dengan Nabi saw. Sesudah peristiwa itu dengan perkataan yang bias

didengar, sehingga nabi perlu bertanya kepadanya karena suarranya sangat

rendah.

‫ط وأعيوملههكم وووأنهتم ول وتشعههروون‬ ‫ضهكم لإوبُع ض‬


‫ض وأن وتبُو و‬ ‫وول وتهرواذ لوهۥ إبٱِلوقوُإل وكجهإر بع إ‬
‫و و‬ ‫و وه ه‬
135

Dan apabila kamu berbicara dengan nabi sedang ia diam, maka jangan

sampai kamu berbicara keras sekeras suara yang kamu keluarkan dengan

sesamamu, atau janganlah kamu mengucapkan hai Muhammad, hai Ahmad.

Tetapi panggilah dia dengan panggilan nabi disertai dengan penghormatan dan

pengagungan. Karena dikhawatirkan hal itu akan menyebabkan meremehkan

kepada yang diajak berbicara, sehingga kamu menjadi kafir tanpa dirasakan.

Dan setelah turun ayat ini maka Sabit bin Qaiz mundur dari majlis

Rasulullah saw. Sehingga Rasul saw. memanggilnya. Maka katanya,”Ya

Rasulullah sesungguhnya ayat ini th diturunkan. Padahal aku ini sungguh seorang

lelaki yang bersuara keras. Kemudian aku khawatir amalku menjadi batal. Maka

sabda Rasulullah saw., “Kamu tidak berada di sana. Sesungguhnya kamu hidup

dengan baik dan mati pun dengan baik. Dan sesungguhnya kamu tergolong

penghuni surga.”

Maka kata Sabit, “Saya rela dengan kabar gembira dari Rasulullah saw.

Aku takkan meninggalkan suaraku terhadap Rasulullah saw. Uat selama lamanya.

Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat :

‫ك ٱلإذيِون ٱمتووحنون ٱللنهه قهنلنهنوُبونههم إللتلقنووُيىَ ولنهنم‬


‫ضوُون وأصيووُتونههم إعنود ورهسوُإل ٱللإه أهذويلوئإ و‬‫إلن ٱلإذيِون يِونغه ي‬
‫لمغإفورة وووأجعر وعإظيِعم‬

Sesungguhnya orang-orang yang hatinya diuji oleh Allah Ta’ala dengan

bermacamm-macam ujian dan beban-beban yang berat sehingga menjadi suci dan

bersih karena sudah menempuh kesabaran yang atas yang berat-berat, mereka

akan mendapatkan ampunan atas dosa-dosa mereka dan pahala yang besar

dikarenakan mereka merendahkan suara dan disebabkan ketaatan-ketaatan mereka

yang lain.
136

Ahmad meriwayatkan tentang zuhut sebuah riwayat dari Mujahid ia

berkata, bahwa Umar menerima surat yang bunyinya, “Hai Amirul Mukminin !

Seorang laki-laki yang tidak ingin bermaksiat dan tidak melakukannya, itukah

yang lebih utama ataukah seorang lelaki yang ingin melakukan maksiat yang tidak

melakukannya?”

Maka Umar pun membalas suratnya,” Sesungguhnya orang-orang yang

ingin melakukan maksiat tetapi tidak melakukannya itulah orang-orang yang telah

diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala

yang besar.” 94

Al-Hujurat : 4-5
‫إ‬ ‫إ‬ ‫إلن ٱلإذيِن يِنناَدونو إ إ‬
‫ وولونوُ أوننلههنم و‬٤ ‫ك من وووراء ٱلهحهجيورت وأكثونهرههنم ول ويِعقلهنوُون‬
‫صنبُونهرواذ وح ل يتن وتنهروج‬ ‫و هو ه و‬
‫إلويِإهم لووكاَون وخيَا لهلم ووٱللهه وغهفوُر كروإحيِم‬

Min Warail Hujurat : dari balik kamar-kamar. Maksudnya dari luar

kamar-kamar, baik dari belakang atau dari depannya. Karena semua itu termasuk

tempat-tempat yang tidak kelihatan (Al-Mawarat yang artinya bertabir). Jadi

apasaja yang tidak kelihatan oleh mu, itulah Wara’a, yang maksudnya di belakang

atau didepan. Dan apasaja yang dapat kamu lihat, berarti tidak dibalikmu

(Wara’aka). Dalam pada itu, sebagian ahli bahasa berpendapat bahwa kata Wara’a

termasuk kata yang artinya saling berlawanan (Al-Addad). Maksudnya kadang-

kadang dartikan temmpat yang ada di depan mu dan kadang-kadang di artikan

tempat yang ada di belakangmu. Adapun Al-Hujurat atau Al- Hujarat atau Al-

Hujrat (Huruf Jim didammahkan atau difatahkan atau di sukun) adalah jamak dari

Hujrah, yang artinya sebidang tanah yang dibatasi. Sedang maksudnya disini

94 Ibid. hlm. 201-204


137

adalah bilik-bilik istri-istri Nabi saw. Mereka ada Sembilan orang yang masing-

masing mempunyai ilik sendiri-sendiri terbuat dari pelepah kurma yang pada

pintu masing-masing ditutup dengan selembar kain dari bulu hitam. Kamar-kamar

itu tidak tinggi dan bias disentuh atapnya dengan tanggan.

Namun di masa pemerintahan Al-Walid bin Abdul Malik, bilik-bilik itu

atas perintahnya dimasukan kedalam mmesjid Rasulullah saw. Karenanya orang-

orang menangis.

Said bin Musayyab waktu itu berkata, “Sesunggunya aku ingin sekiranya

mereka membiarkan bilik-bilik itu tetap dalam keadannya yang asli, biarlah

penduduk Madinah berkembang dan orang-orang dari mana-mana datang lalu

melihat keadaan Rasulullah saw, dalam hidupnya. Suaya hal itu menjadi pelajaran

yang dapat membua orang-orang untuk berzuhud, dan tidak bermegah-megahan

dan saling berlomba dalam kehidupan dunia. 95

PENGERTIAN SECARA UMUM


Allah Tabaraka wa Ta’ala mengecam orang-orang yang memanggil

Rasulullah saw dari balik kamar-kamar baliau ketika beliau berada dalam rumah

istri-istrinya, sepeerti yang dilakukan oleh orang Arab Badui yang masih kasar

tabiatnya. Kemudian Allah SWT, menunjukkan kepada kesopanan yang memuat

kebaikan dan maslahat bagi mereka dalam agama maupun dunia mereka, yaitu

agar mereka menunggu sampai beliau keluar kepada mereka.

Ibnu Jarir dengan sanad dari Yazid bin Arqam ra meriwayatkan bahwa ia

berkata, “Sekelompok orang Arab berkumpul lalu ia berkata,” marilah kita

berangkat menuju laki-laki ini, Kalu ia memang seorang nabi, maka kita akan

95 Ibid. hlm. 205


138

menjadi orang-orang yang paling berbahagia karenanya. Dan kalau ia seorang

raja, maka kita akan hidup dibawah perlindungannya.

Yazid mengatakan, maka aku datang kepada Rasulullah saw, lalu aku

kabarkan kepada beliau apa yang mereka katakana.

Orang-orang itu pun datang ke bilik Nabi saw, lalu mulailah mereka

memanggil beliau, sementara beliau berada dalam kamarnya, “Hai Muhammad!

Hai Muhammad!”

Maka Allah Ta’ala pun menuurunkan ayat Innallazina yunaddunaka ….al


ayah.
kata Yazid, maka Rasulullah saw, memegang telingaku, lalu menjewernya

dan beliau bersabda, “Benar-benar Allah telah membuktikan kebenaran

perkatanmu, hai Yazid. Benar-benar Allah telah membuktikan kebenaran

perkataanmuu hai Yazid.”

Sedang Qatadah mengatakan, ayat ini turun mengenai delegasi dari

Tamim. Mereka ada 70 orang lelaki di antaranya adalah Zibriqan bin Badar,

Athariq bin Hajib, Qais bin Ashim, dan Amr bin Ahtam. Mereka datang kepada

Nabi saw untuk memanggakan kemegahan mereka. Kemudian mereka pun

memanggil beliau didepan pintu. “Keluarlah kepada kami, hai Muhammad.

Sesungguhnya pujian kami sungguh indah dan sesungguhnya kami benar-benar

jelak.”

Maka Rasulullah saw, pun keluar menemui mereka seraya bersabda,


“Sesungguhnya Allah sajalah yang pujiannya indah daan kecaman-Nya jelek.”
Mereka berkata,”Kami adalah orang dari Tamim, kami datang dengan
penyiar kami dan orator kami. Kami akan bersyair dan berbangga kepadamu.”
Rasulullah saw, menjawab,”Bukan dengan syair aku di uttus dan bukan
untuk berbangga aku diperintahkan. Akan tetapi tunjukan olehmu.”
139

Maka bangkitlah seorang pemuda di antara mereka, lalu dia menyebut-


nyebut keunggulannya dan menyebut-nyebut keunggulan kaumnya.
Maka Rasulullah saw, pun berkata kepada Sabitbin Qais bin Syamas, ia

adalah seorang orator Nai saw. Bangkitlah kamu dan jawablah ia. Maka Sabit pun

menjawab. Sesudah itu, bangkit pula Az-Zibriqan bin Badar lalu berkata,”Kami

adalah orang-orang mulia. Tak ada satu kabilah pun yan menandingi kami. Dari

kamilah raja-raja dan pada kami pula biara-biara didirika.”

Demikian seterusnya sampai dengan kata, anda tidak melihat kami

mendatangi suatu kabilah yang menandingi kemegahan raja-raja kecuali mereka

bias ambil pelajaran. Kaena kepala mereka terpenggal. Bila ada yang menandingi

kemegahan kami dalam hal itu, kami pun mengakui. Namun orang-orang itu pula

membawa berita-berita kamai yang di dengar kemana-mana.”

Maka Rasulullah pun berate kepada Hasan bin Sabit, jawablah ia. Maka

Hasan pun berkata,”Sesungguhnya tokoh-tokoh terkemuka dari Bani Fihir dan

saudara-saudaranya telah menerangkan kepada orang banyak suatu tradisi yang

menjadi anutan. Disukai oleh siapapun yang hatinya bertakwa kepada Allah, dan

mau melakukan segala kebaikan. Merekalah kaum yang bila berperang maka

membahayakan musuh-musuh mereka dan bila melakukan kemanfaatan kepada

para pendukung-pendukungnya, maka pasti berguna. Itulah kelakuan mereka yang

tidak asing lagi. Ketahuilah, sesungguhnya sebuuruk-buruk laku ia yang bid’ah.”

Demikian seterusnya dalam suatu kasidah yang panjang. Dan setelah

Hasan usai dari ucapannya, maka berkatalah Al-Aqra’ bin Habis, “Demi ayahku,

sesungguhnya laki-laki ini benar-benar dianugerahi. Sesungguhnya orator yang

mereka miliki lebih bagus dari pada orator kita, dan sesungguhnya penyairnya
140

lebih pandai bersyair dari pada penyair kita. Dan sesungguhnya suara-suara

mereka lebih nyaring dari pada suara-suara kita.”

Sesudah itu ia pun mendekat kepada Rasulullah saw, lalu berkat, “Aku
bersaksi bahwasannya tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwa engkau adalah
rasul Allah.”
Rasulullah saw, lalu bersabda, “Takkan membahayakan kamu apa saja
yang terjadi sebelum ini.” Kemudian beliau member hadiah kepada mereka
dengan hadiah yang terbaik. 96
PENJELASAN
‫ك إمن وراإء ٱلحج ير إ‬ ‫إ لإ‬
‫ت وأكثونهرههم ول ويِعقإهلوُون‬ ‫لن ٱ ذيِون يِنهوناَهدونو و و و ه ه و‬
Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari balik bilik-bilik

istri-istrimu, kebanyakan mereka adalah orang-orang bodoh tak tahu tentang

penghormatan dan pengagungan yang seharusnya mereka melakukan kepadamu.

Dan yang dimaksud Al-Hujurat (bilik-bilik) adalah tempat halwat nabi dan
tempat tiduurnya bersama salah seorang istrinya.

‫صبُونهرواذ وح ل يت وتهروج إلويِإهم لووكاَون وخيَا لههم‬


‫ووولوُ أوننلههم و‬
Dan sekiranya orang-orang yang memanggil kamu dari balik bilik-bilik

istrimu itu bersabar dan tidak memanggil kamu sehingga kamu keluar menemui

mereka, niscaya itu lebih baik lagi mereka di sisi Allah. Karena sesungguhnya

Allah telah menyuruh mereka supaya menghormati dan mengagungkan kamu.

‫ووٱللهه وغهفوُر لرإحيِم‬


Dan Allah memaafkan orang yang memanggil kamu dari balik tabir jika ia

mau bertaubat dari emaksiatnnya, yang ia lakukan dengan memanggil kamu

seperti itu, dan mau kembali kepada perintah Allah dalam hal itu maupun hal yang

lain.

96 Ibid. hlm. 205-207


141

Dan Allah Maha Pengasih kepadanya sehingga dia takkan menghukum

dosanya seperti itu setelah dia bertaubat dari dosa tersebut.

Kesimpulannya, sesungguhnya Allah SWT, mengecam suara keras

terhadap Rasulullah saw, pada saat beliau menyendiri dibalik tembok, sebagimana

teriakn yang disampaikan kepada orang yang derajatnya paling rendah. Hal itu

Allah sampaikan agar menjadi perhatian tentang betapa kejinya keberanian yang

mereka lakukan terhadap Rasul. Karena perbuatan yang dlakukan oleh orang-

orang seperti mereka terhadap manusia yang oleh Allah diangkat derajatnya

sehingga orang tidak boleh bersuara keras kepadanya, adalah termasuk

kemungkaran yang kekejiannya tiada terhingga. 97

AL-HUJURAT : 6-8
‫ييِ أويِنيهاَ ٱلإذيِن ءامهنوُاذ إإن جاَءهكم وفاَإسق بإنوبُإَ فونتوبُنيِلننهوُاذ وأن ته إ‬
َ‫صيِبُهوُاذ وقوُومناَ إبويوهلونة فونتهصنبُإهحوُاذ وعلونيىِ ومننا‬ ‫ه و و‬ ‫وو‬ ‫و وو‬ ‫و و‬
‫ ووٱعلوهموُاذ أولن فإيِهكم ورهسوُول ٱللإه ولوُ يِهإطيِعههكم إف وكثإيَن يمنون ٱلأومنإر لووعنإتنينم وويلوإكنلن‬٦ ‫ي‬ ‫إإ‬
‫فونوعلهتم نيودم و‬
‫ك‬‫ب إلويِهكنهم ٱلإإَيينوون وووزيِنلنوههنۥ إف قهنلهنوُبإهكم وووكنلروه إلويِهكنهم ٱلهكفنور ووٱلهفهسنوُوق ووٱلعإصنويِاَون أهذويلوئإن و‬ ‫ٱللنهو وحبُلن و‬
٨ٞ ‫ وفضل يمون ٱللإه ووإنعومة ووٱللهه وعلإيِعم وحإكيِم‬٧ ‫هههم ٱليلرإشهدوون‬

PENAFSIRAN KATA-KATA SULIT


Al-Fasiq: orang yang keluar dari batas-batas agama. Yakni dari kata
Fasaqar Rutabu, yang artinya kurma itu keluar dari kulitnya.
At-Tabayyun : mencari kejelasan.
An-Naba’ : berita. Menurut Ar-Ragib, berita tidak disebut Naba’
kecuali bila memuat perkara besar yang dengan demikian diperoleh pengetahuan
(ilmu) atau persangkaan yang kuat.

97 Ibid. hlm. 207-208


142

Bi Jahalah : dengan kebodohan. Maksudnya dalam keadaan tidak tahu


tentang hal ihwal mereka. 98
Tusibu : kalian menjadi.
Nadimin : orang-orang yang menyesal.
Yakni orang-orang yang sedih berkepanjangan dan berangan-angan
sekiranya hal itu tidak terjadi. Karena penyesalannya adalah kesedihan atas
terjadinya sesuatu yang disertai angan-angan sekiranya hal itu tidak terjadi.
La’anittum: kalian mengalami kesusahan dan kebinasaan.
Al-Kufa: menutupi nikmat-nikmat Allah Ta’ala dengan cara
mengingkarinya.
Al-fusuq: keluar dari batas sebagaimana anda tahu.
Al-Isyan: tidak patuh. Yakni dari kata ‘Asatin Nawat, yang artinya biji
itu keras dan atos.
Ar-Rasyad : menepati kebenaran dan mengikuti jalan yang lurus.
99

PENGERTIAN SECARA UMUM


Allah SWT, mendidik hamba-hamba-Nya yang mukmin dengan sesuatu

kesopanan yang berguna bagi mereka dalam soal agama maupun dunia mereka.

Yaitu bahwasannya apabila mereka didatangi oleh seorang fasik yang terang-

terangan meninggalkan syiar-syiar agama, dengan membawa suatu berita, maka

pertama-tama hendaklah mereka jangan membenarkannya sehingga mendapatkan

kepastian dan berusaha mengetahui ahal yang sebenarnya, dan jangan bersandar

kepada perkataannya. Karena orang tidak peduli dalam melakukan kefasikan tentu

tidak perduli pula untuk melakukan dusta, karena dusta memang termasuk cabang

kefasikan. Hal itu perlu dilakukan agar jangan sampai orang-orang mukmin

menimpakan suatu bencana kepada suatu kaum yang tidak mereka ketahui hal

98 Ibid. hlm. 208


99 Ibid. hlm. 210
143

ihwal mereka, lalu menyesal mereka atas perbuatan yang terlanjur mereka

lakukan dan berangan-angan sekiranya hal itu tak pernah terjadi.

Ada sebuah riwayat dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini turun mengenai Al-

Wahid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’ith. Dia telah diutus oleh Rasulullah saw, kepada

Bani Al-Musthaliq supaya memungut zakat. Ketika Bani Al-Mustahiq mendengar

berita tersebut maka mereka bergembira dan keluar menyambut utusan nabi itu,

namun ketika hal itu diceritakan kepada Al-Wahid, maka ia menyangka bahwa

orang-orang itu datang untuk memeranginya. Maka ia pun pulang sebelum sempat

disambut oleh Bani Al-Mustahiq, dan ia pun memberitahukan kepada Rasulullah

saw. Bahwa merea tidak mau berzakat. Maka Rasulullah saw, sangat marah. Dan

tatkala beliau berkata kepada diri sendri untuk menyerang mereka, tiba-tba

datanglah kepada beliau utusan dari Bani Al-Mustahiq, mereka berkata, “Ya

Rasulullah, sesungguhnya kami mendapat berita bahwa utusanmu pulang kembali

di tengah perjalanan.dan sesungguhnya kami khawatir jangan-janagan kembalinya

itu karena ada surat yang datang dari mu karena engkau marah kepada kami. Dan

sesungguhnya kami berlindung kapada Allah dari murka-Nya dan kemurkaan

rasul-Nya.

Maka Allah Ta’ala pun menurunkan uzur mereka itu dalam kitab-Nya,

seraya firman-Nya, “Ya ayyuhal Lazina amanu in ja akum … al ayah.” Hadis

diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Abi Hatim, At-Tabrani dan Ibnu Mardawih.

Menurut Ibnu Abi Hatim, riwayat ini adlah riwayat yang terbaik mengenai

sebab turunnya ayat ini.

Namun demikian, Ar-Razi berkata riwayat ini daif. Karena dia hanya

berprasangka saja, yang ternyata keliru. Padahal yang keliru itu tidak bias disebut
144

sebagai orang yang fasik. Bagaimana hal itu bias diterima, padahal orang yang

fasik pada kebanyakan tempat yang dimaksud ialah orang yang keluar dari

lingkungan iman, berdasarkan firman Allah Ta’ala, Inallaha la yahdi qaumal

fasiqin. (sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang

fasik).” (Al-Munafiqun, 63 : 6).

Selanjutnya Allah SWT, menerangkan bahwa para sahabat nabi

menghendaki agar pendapat mereka mengenai berbagai peristiwadiikuti. Tapi

sekiranya nabi melakukan hal itu, niscaya mereka terjerumus dalam kesulitan dan

kebinasaan. Akan tetapi Allah menjadikan sebagian mereka mencintai iman dan

menjadikan iman itu indah dalam hati mereka, dan menjadikan mereka membenci

kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan

yang menempuh jalan lurus. 100

PENJELASAN
‫يِي أويِنيهاَ ٱلإذيِن ءامهنوُاذ إإن جاَءهكم وفاَإسق بإنوبُإَ فونتوبُنيِلننهوُاذ وأن ته إ‬
َ‫صيِبُهوُاذ وقوُوماَ إبويوهولة فونهتصبُإهحوُاذ وعلويىِ وما‬ ‫ه و و‬ ‫وو‬ ‫و وو‬ ‫و و‬
‫إإ‬
‫فونوعلهتم نيودم و‬
‫ي‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kalian seorang fasik

dengan membawa suatu beritta, maka janganlah kamu bertindak tyterlebih dahulu,

tetapi periksalah kejelasan utusan itu dan berusahalah mengetahui hal yang

sebenarnya. Dan janganlah kamu bersandar kepada perkataannya. Karena orang

100 Ibid. hlm. 210-211


145

yang tidak perduli melakukan kefasikan, lebih-lebih ia takkan perduli berbuat

dusta dan tida menjaga diri dari kedustaan, sangat sulit dipercaya. Hal itu perlu

dilakukan agar kamu jangan sampai melakukan penganiayaan terhadap suatu

kaum yang kamu tidak mengetahui hal ihwal mereka, sehingga menyebabkan

kamu menyesal atas tindakan yang terlanjur kamu lakukan dan berangan-angan

sekiranya kamu tidak berbuat demikian.

Selanjutnya Allah SWT, memberi nasihat kepada orang-orang beriman

dengan suatu nnasihat, bahwa mereka adalah umat manusia yang paling patut

mengikutinya. Firman-Nya:

‫ووٱعلوهموُاذ أولن فإيِهكم ورهسوُول ٱللإه‬


Dan ketahuilah bahwasannya di kalangan kalian ada Rasulullah. Maka

hormatilah dia dan agungkanlah, dan bersikaplah sopan terhadanya dan patuhilah

perintahnya. Karena ia lebih tahu tentang kemaslahatan-kemaslahatanmu dan

lebih belas kasih terrhadapmu daripada dirimu sendiri, sebagimana Allah Ta’ala

menfirmankan, “Nabi itu lebih belas kasih terhadap orang-orang mukmin dari

pada diri mereka sendiri.” (Al-Ahzab, 16 : 6).

Kemudian Allah SWT, menerangkan bahwa pendapat nabi lebih

bermanfaat bagi mereka dan lebih patut diperhatikan. Firman-Nya :

‫ولوُ يِهإطيِعههكم إف وكإثيَ يمون ٱلوأمإر لووعنإيتم‬


Sekiranya nabi cepat-cepat melaksanakan apa yang kamu menghendaki

sebelum urusannya menjadi jelas, dan dia memenuhi pendapat yang kamu

sarankan, niscaya kamu terjerumus dalam kesulitan dan dosa. Akan tetapi dia

tidak mentaati kamu pada kebanyakan apa yang kamu kehendaki sebelum
146

masalahnya menjadi jelas baginya, dan tidak cepat-cepat melaksanakan apa yang

dia dengar sebelum dia memikirkannya.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri diriwayatkan bahwa ia membaca ayat ini lalu

berkata, inilah nabimu yang diberi wahyu. Dan iman kamu yang terbaik sekiranya

mentaati orang banyak dalam hal, niscaya mereka mendapat kesulitan. Maka

bagamanakah halmu saat ini. Demikian diriwayatkan oleh At-Tirmizi.

Kemudian Allah melanjutkan keterangan tersebut dengan menggunakan

kata istridak (tetapi) untuk menerrangkan tentang lepasnya sbagian orang-orang

mukmin dari sifat-sifat mereka yyang tersebut, Firman-Nya :

‫ب إلويِهكهم ٱلإإَييوون وووزيِنلنوههۥ إف قهنهلوُبإهكم وووكلروه إلويِهكهم ٱلهكفور ووٱلهفهسوُوق ووٱلعإصيِواَون‬ ‫يإ‬
‫وولوكلن ٱللهو وحبُل و‬
Akan tetapi sekelompok dari kamu bebas dari pada membenarkan orang

dusta yang kamu lakukan, maupun dari mmenganggap baik membinasakan orang

yang bersih dari dosa, dan dari keinginan untuk mempertrutkan perkara hak

kepada hawa nafsu mereka. Karena Allah Ta’ala menjadikan iman sebagai sesuatu

yang paling mereka cintai. Sehingga tidak terjadi dari mereka kecuali hal yang

sesuai dengan iman dan dituntut olehnya, yaitu perkara-perkara yang saleh dan

tidak cepat-cepat menerima berita, dan Allah membuat mereka benci kepada tiga

orang berikut ini, yaitu kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan.

Kesimpulannya, bahwa iman yang sempurna adalah pengakuan dengan

lidah, membenarkan dengan hati, melaksanakan dengan anggota badan. Jadi

membenci kekafiran adalah lawan dari mencintai iman. Dan memegang iman

sebagi sesuatu yang indah dalam hati, itulah yang disebut membenarkan dengan

hati, sedang kefasikan, yaitu kedustaan lawan dari pengakuan iman dengan lidah.

Sedang kedurhakaan adalah lawan dari melaksanakan dengan anggota badan.


147

‫ك هههم ٱليلرإشهدوون‬
‫أهذويلوئإ و‬
Orang-orang yang bersifat-sifat mereka seperti itulah, termasuk orang-
orang yang menempuh jalan kebahagian dan tidak berpaling dari kelurusan.

‫وفضل يمون ٱللإه ووإنعومة‬


Pemberian yang telah Allah anugerahkan kepadamu merupakan karunia

dari-Nya kepadamu dan merupakan anugerah dari sisi-Nya.

‫ووٱللهه وعلإيِعم وحإكيِم‬


Dan Allah Mahha Tahu tentang orang-orang yang patut memperoleh

petunjuk dan orang-orang yang patut disesatkan, Lagi Maha Bijasana dalam

mengatur urusan-urusan mahluk-Nya dan menjerumuskan mereka kepada

keputusan yang Dia kehendaki.

Kesimpulannya, bahwa Rasulullah ada di kalangan kalian. Dan ia lebih

tahu tentang kemaslahatan-kemaslahatanmu. Sekiranya dia mentaati kamu dalam

semua yang kamu sarankan kepadanya, niscaya hal itu aan menyebabkan kamu

mendapat kesulitan dan kamu terjerumus ke dalam jurang kebinasaan. Akan

tetapi, sebagian mereka dijadikan oleh Allah lebih mencintai iman dalam hati

mereka, dan benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Dan mereka

itulah orang-orang yang menepati kebenaran dan menempuh jalan lurus. 101

AL-HUJURAT : 9 – 10

َ‫ي ٱقوتتونلهنوُاذ فوأوصن نلإهحوُاذ بويِنونههومنناَ فونإإَن بونغوننت إح نود يىَنههوماَ وعلوننىِ ٱلأهخ نوريى‬ ‫إإ‬ ‫إ إإ‬
‫ووإإن وطاَئوفتونناَن م نون ٱلهمننؤُمن و‬
‫فونيوقتإلهنوُاذ ٱلإتن توبُغإنيِ وحتكونيىِ توإفيِنءو إ و يلن أومنإر ٱللنإه فونإإَن فوناَوءت فوأوصنلإهحوُاذ بويِنونههومناَ بإٱِلوعندإل وووأقإسنهطوُاذ‬
‫إ‬ ‫إ‬ ‫إإ‬ ‫إلن ٱللهو هإي ي‬
‫ي أووخووُيِهكم ووٱتلنهقوُاذ ٱللنهو لووعلهكنم‬ ‫ إلوناَ ٱلهمؤُمهنوُون إإخووُة فووأصلهحوُاذ بو و‬٩ ‫ي‬ ‫ب ٱلهمقسط و‬
١٠ ‫هتروحهموُون‬
PENAFSIRAN KATA-KATA SULIT

101 Ibid. hlm. 212-214


148

At-Taifah: kelompok yang berjumlah kurang dari jumlah firqah,

berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di

antara mereka sekelompok.” (At-Tauah, 9 : 122).

Aslihu Bainahuma: cegahlah keduanya dari pertempuran dengan diberi

nasihat atau ancaman atau hukuman.

Bagat : menyerang dan berlaku aniaya.


Tafia : kembali.
Amrillah : perintah Allah, yaitu perdamaian. Karena perdamaian itu

perkara yang diperintahkan dalam firman Allah Ta’ala, “Dan perbaikilah

perhubungan di antara sesamamu.” (Al-Anfal, 8 : 1).

Aslihu Bainahuma bil ‘Adli: damaikanlah di antara keduanya dengan adil,

yakni dengan menghilangkan pengaruh-pengaruh peperangan, yaitu dengan cara

menjamin menjamin barang-barang yang dirusakkan, dimana hokum yang

diputuskan harus adil, sehingga pertengkaran dalam hal itu tak menyebabkan

pertempuran kembali.

Aqstitu : berlaku adillah dalam setiap urusan kalian. Al-Iqsat pada

asalnya berarti menghilangkan. Al-Qast (huruf Qaf difathahkan yang berarti

menyimpang dari kebenaran). Sedang Al-Qasit, artinya orang yang menyimpang

dari kebenaran, sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala, “Adapun orang-orang

yang menyyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka

jahanam.” (Al-Jin, 72 : 15).

Al-Ikhwah: saudara-saudara menurut nasab. Sedang Al-Ikhhwan,

saudara-saudara dalam persahabatan. Kedua-duanya jamak dari Akhun.


149

Persaudaraan dalam agam dianggap sebagai persaudaraan dalam nasab. Dan

seolah-olah islam adalah ayah mereka. 102

PENGERTIAN SECARA UMUM


Setela Allah SWT, memperingatkan kepada orang-orang mukmin supaya

wapada dalam menerima berita yang disampaikan oleh orang fasik, maka Allah

SWT. Menerangkan disini tentang apa yang bias saja terjadi akibat berita seperti

ini. Seperti pertengkaran antara dua kelompok yang kadang-kadang akhirnya

menyebabkan peperangan.

Oleh sebab itu Allah SWT, menyuruh orang-orang mukmin supaya

menghilangkan pengaruh dari perkataan orang fasik itu dan agar mereka

memperbaiki hubungan antara dua kelompok tersebut. Jika salah satu di antara

keduanya berlaku aniaya terhadap yang lain, maka perangilah kelompok yang

aniaya tersebut, sehingga mereka mau kembali berdamai, dengan cara

mencegahnya dari kezaliman secara langsung, kalau hal itu mungkin dilakukan,

atau dengan mengajak pemerintah untuk mendamaikannya. Namun bila yang

berlaku aniaya itu pemerintah sendiri, maka wajiblah orang-orang Islam untuk

mencegahnya dengan cara memberi nasehat atau lebih dari itu, dengan syarat

jangan sampai hal itu menimbulkan huru-hara yang lebih parah lagi.

Kemudian Allah SWT, melanjutkan bimbingan-Nya dan menerangkan

bahwa perdamaian itu sebagaimana wajib dilakukan antara dua kelompok, maka

wajib pula antara dua orang bersaudara. Sesudah itu, Allah menyuruh orang-orang

mukmin supaya merendahkan diri di hadapan-Nya, dengan harapan agar Allah

merahmati mereka apabila mereka mematuhi Allah dan tidak melanggar perintah-

Nya.

102 Ibid. hlm. 215-216


150

Qatadah meriwayatkan bahwa ayat ini turun mengenai dua orang lelaki

dari golongan Ansar yang terjadi di antara keduanya pertengkaran mengenai hak.

Yang seorang berkata kepada yang lain, aku benar-benar akan mengambil hakku

darimu meski dengan kekerasa, perkataan mana disampaikan karena

memanggakan keluarganya yang banyak. Sedang yang lain mengajaknya agar

meminta pengadilan kepada Nabi saw. Namun orang itu tidak mau menurutinya.

Oleh karena itu pertengkaran terus berlangsung di antara keduanya sehingga

mereka saling mendorong dan sebagian menghantam yang lain dengan tangan

atau sandal. Namun tidak sampai terjadi pertempuran dengan pedang. 103

PENJELASAN

َ‫ي ٱقوتتونلهوُاذ فووأصلإهحوُاذ بويِونههوما‬ ‫إإ‬ ‫إ إإ‬


‫ووإإن وطاَئوفوتاَن مون ٱلهمؤُمن و‬
Jika terjadi peperangan di antara dua golongan orang mukmin, maka

damaikanlah hai orang-orang mukmin, di antara keduanya dengan diajak kepada

hokum Allah SWT. Dan rida menerima keputusan-Nya, baik keputusan itu

menguntungkan keduanya atau merugikan. Itulah perdamaian antara keduanya

dengan adil.

‫فوإإَن بونوغت إإحودىَينههوماَ وعولىِ ٱلهأخوريىَ فونيوقتإلهوُاذ ٱلإت توبُإغيِ وح ل يت توإفيِءو إ و يل وأمإر ٱللإه‬
Kalau salah satu di antara kedua golongan itu tidak mau menerima hokum

Allah dan menerjang apa yang oleh Allah dijadikan sebagai keadilan di antara

makhluk-Nya, sedang yang lain mau menerimanya, maka perangilah golongan

yang menerjang dan tidak mau menerima hukum Allah itu, sehingga kembali

kepada-Nya dan tunduk patuh kepada-Nya.

103 Ibid. hlm. 216-217


151

‫فوإإَن وفاَوءت فووأصلإهحوُاذ بويِنونههوماَ بإٱِلعودإل‬


Jika golongan yang durhaka itu setelah diperangi olehmu mau kembali
kepada hokum Alah SWT, dan rela menerimanya, maka perbaikilah hubungan di
antara keduanya dengan cara yang adil dan tdak berat sebelah, sehingga antara
keduanya tidak terjadi peperangan baru di waktu yang lain.
Kemudian Allah SWT menyuruh orang-orang mukmin supaya tetap
berlaku adil dalam segala hal. Firman-Nya :

‫ي‬ ‫إإ‬ ‫وووأقإسهطوُاذ إلن ٱللهو هإي ي‬


‫ب ٱلهمقسط و‬
Dan berlaku adilah kalian pada semua yang kamu lakukan maupun yang

kamu tinggalkan. Sesungguhnya Allah mencinttai orang-orang yang adil dalam

segala perbuatan-perbuatan mereka dan member balasan kepada mereka dengan

balasan yang baik.

Menurut hadis Sahih dari Anas ra. Nabi saw. Bersabda, “Tolonglah

saudaramu ketika berbiuat aniaya atau dianiaya.” Saya berkata, “Ya Rasulullah,

orang itu saya tolong ketika teraniaya. Maka bagaimanakah aku harus menolong

dia ketika berbuat aniaya?” Rasul bersabda, “Kamu mencegah dia dari berbuat

aniaya. Itulah caramu menolong dia.”

‫إلوناَ ٱلهمؤُإمهنوُون إإخووُة‬


Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bernasab kepada satu pokok, yaitu

iman yang menyebabkan diperolehnya kebahagiaan abadi.

Mmenurut sebuah hadis, orang Islam yang satu adalah saudara orang

Islam yang lain. Dia tidak boleh menganiaya ataun menghina atau

merendahkannya atau saling mengungguli dengannya dengan membuat gedung-

gedung, sehingga ia menutupi angin terhadapnya kecuali dengan izinya, atau

menyakiti hatinya dengan tak sudi memberikan isi pancinya kecuali penciduk
152

untuknya satu cidukan, dan jangan membeli buah-buahan untuk anak-anaknya

lalu mereka keluar membawa buah-buahan tersebut menuju anak-anak

tetangganya sedang anak-anak itu tidak berbagi memakan buah-buahhan tersebut

dengan kawan-kawannya.

Kemudian sabdanya pula, “Periharalah oleh kalian, namun hanya sedikit

saja di antara kalian yang mau memelihara.”

Sedang menurut hadis sahih yang lain juga dikatakan, “Apabla seorang

muslim mendoakan saudaranya di luar pengetahuan, maka berdoa malaikat,

“Semoga doamu dikabulkan dan kamu pun semoga mendapatkan yang seperti

itu.”

Oleh karena persaudaraan itu menyebabkan terjadinya hubungan yang

baik dan mau tidak mau harus dilakukan, karenanya Allah berfirman :

‫إ‬
‫فووأصلهحوُاذ بو و‬
‫ي أووخووُيِهكم‬
Maka perbaikilah hubungan di antara dua orang saudaramu dalam agam
sebagaimana kamu memperbaiki hubungan di antara dua orang saudaramu dalam
nasab.

‫ووٱتلنهقوُاذ ٱللهو‬
Dan bertakwalah kamu kepada Allah dalam segala hal yang kamu lakukan

maupun yang kamu tinggalkan. Yang di antaranya adalah memperbaiki hubungan

di antara sesame kamu yyang kamu disuruh melaksanakannya.

‫ٱللهو لووعلهكم هتروحهموُون‬


Mudah-mudahan Tuhanmu memberi rahmat kepadamu dan memaafkan

dosa-dosamu yang telah lalu apabila kamu mematuhi Dia dan mengikuti perintah

dan larangan-Nya. 104

AL-HUJURAT : 11
104 Ibid. hlm. 217-219
153

‫يِيوأويِنيوهاَ ٱلإذيِون وءاومنهوُاذ ول ويِسوخر وقوُم يمن وقوُضم وعوسيىِ وأن يِوهكوُنهوُاذ وخيَا يمنههنم ووول نإوسناَء يمنن نيوسناَضء‬
‫س ٱإلٱِسنهم ٱلهفهسننوُهق‬ ‫إ ي إ إ‬ ‫إ‬
‫وعوسيىِ وأن يِوهكنلن وخيِنرا يمنههنلن ووول وتلمنهزواذ وأنهفوسنهكم ووول تونننوناَبونهزواذ بن ٱِلوألوقب بئن و‬
١١ ‫ك هههم ٱل يظللإهموُون‬ ‫وبعود ٱلإإَييوإن ووومن لل يِونهتب فوأهذويلوئإ و‬

PENAFSIRAN KATA-KATA SULIT


As-Sukhriyah : mengolok-olok, menyebut-nyebut aib dan kekurangan-

kekurangan orang lain dengan cara yang menimbulan tawa. Orang mengatakan

Sakhira bihi dan Sakhira Minhu (mengolok-olokkan). Dan Dahika bihi dan

Dahika minhu (mentertawakan dia). Dan Hizi’a bihi dan Hazi’a minhu

(mengejek).adapun isim masdarnya As-Sukhriyah dan As-Sikhriyah (huruf sin

didammahkan atau dikasrah). Sukhriyah bias juga terjadi dengan meniru

perkataan atau perbuatan atau dengan menggunakan isyarat atau menertawakan

perkataan orang yang diolokkan apabila ia keliru perkataanya terhadap

perbuatannya atau rupanya yang buruk.

Al-Qaum : telah umum diartikan orang-orang lelaki, bukan orang-

orang perempuan. Sebagaimana pada ayat ini juga, sebagaimana dikatakan oleh

Zubair:

Wala Talmizu Anfusakum: janganlah kamu mencela dirimu sendirimu.

Maksudnya jangan sebagian kamu mencela mencela sebagian yang lain dengan

perkataan atau isyarat tangan, mata atau semisalnya. Karena orang-orang mukmin

adalah seperti satu jiwa. Maka apabila seorang mukmin mencel orang mikmin

yang lain, maka seolah-olah mencela dirinya sendiri.

At-Tanabus : saling mengejak dan panggil-memanggil dengan

gelar-gelar yang tidak disukai oleh seseorang.


154

Al-Ismu: nama dan kemasyhuran. Seperti orang mengatakan Tara ismuhu

bainan nasi bil karami wal lu’mi, namanya terkenal dikalangan orang banyak baik

karena kedermawanannya atau kejelekannya. 105

PENGERTIAN SECARA UMUM


Setelah Allah SWT, menyebutkan apa yang patut dilakukan oleh seorang

mukmin terhadap Allah Ta’ala maupun terhadap Nabi saw, dan terhadap orang

yang tidak mematuhi Allah dan nabi-Nya serta bermaksiat kepada-Nya, yaitu

orang fasik, maka Allah menerangkan pula apa yang patut dilakukan oleh seorang

mukmin terhadap orang mukmin lainnya. Allah menyebutkan baha tidak

sepatutnya seorang mukmin mengolok-olok orang mukmin lainnya atau

mengejeknya dengan celaan ataupun hinaan dan tidak patut pula member gelar

yang menyakitkan hati. Alangkah buruknya perbuatan seperti itu.

Dan barang siapa yang tidak bertaubat setelah ia melakukan perbuatan

seperti itu, maka berarti ia berbuat buruk terhadap dirinya sendiri dan melakukan

dosa besar.

Diriwayatkan bahwa ayat ini turun mengenai delegasi dari Tamim mereka

mengejek orang-orang kafir dari para sahabat Nabi saw, seperti Ammar, Shuhaeb,

Bilal, Khabbab, Ibnu Fuhairah, Salman Al-Farisi, dan Salim bekas budak Abu

Huzaifah dihadapan orang orang lain. Sebab mereka melihat orang orang itu

keadaannya compang-camping.

Dan ada pula yang meriwayatkan bahwa ayat ini turun mengenai Shafiyah

bin Huyain Akhtab ra. Dia datang kepada Rasulullah saw, lalu berkata,

“Sesungguhnya kaum wanita itu berkata kepadaku, “Hai wanita Yahudi, anak

perempuan orang-orang Yahudi. “Maka Rasulullah saw pun berkata kepadanya,

105 Ibid. hlm. 220-221


155

“Tidakkah kamu katakana ayahu Harun, pamanku Musa, dan Suamiku

Muhammad. 106

PENJELASAN

‫يِيوأويِنيوهاَ ٱلإذيِون وءاومنهوُاذ ول ويِسوخر وقوُم يمن قووُضم‬


Janganlah beberapa orang dari orang-orang mukmin mengolok-ngolok

orang-orang mukmin lainnya.

Sesudah itu Allah SWT, menyebutkan alas an mengapa hal itu tak boleh
dilakukan, dengan firman-Nya :

‫وعوسيىِ وأن يِوهكوُنهوُاذ وخيَا يمنههم‬


Karena kadang-kadang orang yang diolok-olokkan itu lebih baik disisi

Allah daripada orang-orang yang mengolok-ngolokkannya, sebagaimana

dinyatakan pada sebuah asar.

Barangkali orang yang berambut kusut penuh debu tidak punya apa-apa

dan tidak diperdulikan, sekiranya ia bersumpah dengan menyebut nama Allah

Ta’ala maka Allah mengabulkannya.

Maka seyogianyalah agar tidak seorang pun yang berani mengolok-olong

orang lain yang ia pandang hina karena keadaannya yang company-camping, atau

karena ia cacat pada tubuhnya atau karena ia tidak lancer berbicara. Karena

barangkali ia lebih ikhlas nuraninya dan lebih bersih hatinya dari pada orang yang

bersifat tidak seperti itu. Karena dengan demikian berarti ia menganiaya diri

sendiri dengan menghina orang lain yang dihormati oleh Allah Ta’ala :

‫ووول نإوساَء يمن نيوساَضء وعوسيىِ وأن يِوهكلن وخيَا يمنههلن‬

106 Ibid. hlm. 221


156

Dan janganlah kaum wanita mengolok-olok kaum wanita lainnya, karena

barangkali wanita-wannita yang diolok-olokkan itu lebih baik daripada wanita-

wanita yang mengolok-olokkan.

Allah menyebutkan kata jamak pada dua tempat dalam ayat tersebut,

karena kebanyakan mengolok-olok itu dilakukan ditengah orang banyak, sehingga

sekian banyak orang enak saja mengolok-olokkan, sementara dipihak lain banyak

pula yang sakit hati.

At-Tirmizi meriwayatkan dari ‘Aisyah berkata, di hadapan Nabi saw, saya

menirukan seorang lelaki. Maka beliau bersabda, “Saya tidak suka sekiranya aku

meniru seorang lelaki padahal aku sendiri begini dan begini.” ‘Aisyah berkata,

maka saya berkata, “Ya Rasulullah , sesungguhnya Safiyah itu seorang wanita

…..’Aisyah memperagakan dengan tangannya dengan sedemikian rupa yang

maksudnya bahwa safiyah itu wanita yang pendek. Maka Rasul saw bersabda,

“Sesungguhnya kamu telah mencampur sesuatu kata-kata yang sekiranya

dicampur dengan air laut, tentu akan bercampur dengan seluruhnya.

Muslim telah meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata,

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa

mu dan hartamu, akan tetapi memandang kepada hati dan amal perbuatanmu.”

Hal ini merupakan isyarat bahwa seorang tak bias dipastikan berdasarkan

pujian maupun celaan orang lain atas rupa, amal, ketaatan, atau pelanggaran yang

tampak padanya. Karena barang kali seseorang yang memelihara amal-amal

lahiriyah, ternyata Allah mengetahui sifat yang tercela dalam hatinya, yang tidak

patut amal-amal tersebut dilakukan, disertai dengan sifat tersebut. Dan barangkali
157

orang yang kita lihat lalai atau melakukan maksiat, ternyata Allah mengetahui

sifat yang terpuji dalam hatinya, sehingga ia mendapat ampunan karenanya.

Jadi amal merupakan tandda-tanda zanniyyah, bukan petunjuk yang pasti.

‫ووول وتلإمهزواذ وأنهفوسهكم‬


Dan janganlah sebagian kamu mencela sebagian yang lain dengan ucapan

atau isyarat secara tersembunyi.

Firman Allah Ta’ala Anfusakum merupakan peringatan bahwa orang yang

berakal tentu takkan mencela dirinya sendiri. Oleh karena itu, tidak sepatutnya ia

mencela orang lain. Karena orang lain itu pun seperti dirinya juga. Karenanya

sabda Nabi saw. “Orang-orang mukmin itu seperti halnya satu tubuh. Apabila

salah satu anggota tubuh itu menderita sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan

tak bisa tidur dan demam.”

Dan sabda Nabi saw, pula. “Sesorang dari kalian melihat setitik noda pada

mata saudaranya, sedang ia membiarkan batang pohon pada matanya sendiri.”

Ada pula orang mengatakan :


“adalah kebahagiaan bagi seseorang bila ia sibuk memikirkan aib dirinya
sendiri sendiri sehingga tidak sampai memikirkan aib-aib orang lain”.
‫وول وتلإمهزواذ وأنهفسهكم وول تونوناَبونهزواذ بإٱِلوأليوق إ‬
‫ب‬ ‫و و‬ ‫و‬
Dan janganlah sebagian kamu memanggil sebagian yang lain dengan gelar

yang menyakitidan tidak sesuai. Seperti halnya berkata kepada sesame muslim,

“Hai fasik, hai munafik, atau berkata kepada orang yang masuk islam, “Hai

Yahudi, hai nasrani.”

Menurut Qatadah dan Ikrimah dari Abu Jabairah bin Dhahak ia berkata,

wa la tanabazu bil alqab, turun mengenai Bani Salamah.


158

Bahwasannya Rasulullah saw, tiba di Madinah sedang dikalangan kami

tidak ada seorang lelaki pun kecuali mempunyai dua atau tiga nama. Apabila

memanggil salah seorang dari mereka dengan nama yang mereka miliki mereka

menjawab, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ia menolaknya. “Maka turunlah ayat

ini. (H.R. Al-Bukhari).

Telah dikeluarkan oleh Inu Jarir dan Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud

ddengan At-Tanabazu bil alqab ialah seorang lelaki yang telah melakukan amal-

amal buruk, kemudian dia bertaubat dan kembali kepada kebenaran. Maka Allah

Ta’ala melarang orang itu dicela dengan perbuatannya yang telah lalu.

Adapun gelar-gelar yang memuat pujian dan penghormatan. Dan

merupakan gelar yang benar tidak dusta, maka hal itu tidaklah dilarang.

Sebagiman ornag memanggil Abu Bakar dengan ‘Atiq dan Umar dengan nama

Al-Faruq, Usman dengan nama Zun Nuraini, Ali dengan Abu Thurab dan Khalid

dengan Saefullah.

‫س ٱإلٱِسهم ٱلهفهسوُهق وبعود ٱلإ يو‬


‫إَيإن‬ ‫إ‬
‫بئ و‬
Alangkah buruknya sebutan yang disampaikan kepada orang-orang

mukmin bila mereka disebut sebagi orang-orang yang fasik setelah mereka masuk

ke dalam iman dan termasyhur dengan keimanan tersebut.

Hal ini merupakan isyarat betapa buruknya penghimpunan antara kedua

perkatan , yakni sebagaimana kamu mengatakan, alangkah buruknya tingkah laku

seperti anak muda setelah tua. Maksudnya tingkah laku anak muda yang

dilakukan semasa sudah tua.

‫ك هههم ٱل يظللإهموُون‬
‫ووومن لل يِونهتب فوأهذويلوئإ و‬
159

Dan barang siapa tidak bertaubat dari mencela saudara-saudara dengan

gelar-gelar yang Allah melarang mengucapkannya atau menggunakannya sebagai

ejekan atau olok-olok terhadapnya, maka mereka itulah orang-orang yang

menganiaya diri sendiri yang berarti mereka menimpakan hukuman Allah

terhadap diri sendiri karena kemaksiatan mereka terhadap-Nya. 107

AL-HUJURAT : 12

‫ض ٱلظلنين إثنم وو ول وتولسهسنوُاذ ووول ويِغتوننب‬ ‫إ إ‬ ‫إ‬


‫يِيوأويِنيوهنناَ ٱلنذيِون وءاومنهنوُاذ ٱجتونبُهنوُاذ وكثيَنا يمنون ٱلظلنين إلن بوعن و‬
‫ب أووحهدهكم وأن ويِأهكول ولوم أوإخيِإه وميِتاَ فووكإرهتههموُهه ووٱتلنهقوُاذ ٱللهو إلن ٱللهو تو نلوُاب‬‫ضاَ أو هإي ي‬ ‫ضهكم وبع ن‬ ‫لبع ه‬
‫لرإحيِم‬
PENAFSIRAN KATA-KATA SULIT
Ijtanibu: jauhila oleh kalian. Ijtanibu aslinya Ijtanabtuhu berarti, saya

berada d tepi dari sesuatu it. Kemudian digunakan secara luas untuk arti menjauhi

yang lazim dlakukan terhadap sesuatu iyu.

Al-Ismu : dosa.

At-Tajassus : memata-matai. Yaitu mencari keburukan-keburukan

dan catat-catat serta membuka hal yang ditutupi oleh orang.

Al-Gibah : menyebut-nyebut seseorang tentang hal-hal yang

tidak ia sukai, tidak sepengetahuan dia.

Muslim, Abu Daud dan At-Tirmidzi tela meriwayatkan bahwa Nabi saw.

Pernah bersabda, “Tahukah kalian apakah gibah itu?” para sahabat berkata, “Allah

dan rasul-Nya lebih tahu.” Sabda rasul, “Kamu menceritakan saudaramu dengan

hal-hal yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Bagaimanakah pendapat tuan

sekiranya pada sudaraku memang bena terdapat hal-hal yang aku katakana?”

Rasul bersabda, “Jika padanya memang terdapat hal-hal yang kamu katakan,

107 Ibid. hlm. 222-225


160

maka sesungguhnya engkau telah menggunjing dia, dan jika padanya tidak

terdapat hal-hal yang kamu katakana, maka sesungguhnya kamu telah berbuat

buhtan (duusta).” 108

PENGERTIAN SECARA UMUM

Allah SWT, mendidik hamba-hamba-Nya yang mukmin dengan

kesopanan-kesopanan, yang jika mereka berpegang teguh, maka akan langgenglah

rasa cinta dan persatuan sesame mereka. Di antaranya adalah kesopanan yang

tersebut sebelum ayat ini, dan di di antaranya lagi yang Allah sebutkan di sini,

yaitu perkara-perkara besar yang menambah semakin kuatnya hubungan dalam

masyarakat Islam. Yaitu :

a. Menghindari purbasangka yang buruk terhadap sesama manusia dan

menuduh mereka berhianat pada apa pun yang mereka ucapkan dan

yang mereka lakukan. Karena sebagian dari purbasangka dan tuduhan

tersebut kadang-kadang merupakan dosa semat-mata. Maka hendaklah

menghindari kebanyakan dari hal seperti itu.


b. Jangan mencari-cari keburukan dan aib orang lain.
c. Jangan sebagian mereka menyebut sebagian yang lain dengan hal-hal

yang tidak mereka sukai tanpa pengetahuan mereka. Syari’ telah

mengumpamakan orang yang melakukan gibah (pengunjingan)

sebagai orang yang memakan daging bangkai saudaranya karena

kejinya perbuatan seperti itu.

Menurut tafsir Qatadah, sebagaimana kamu tidak suka memakan mayat

yang terhantar sekiranya kamu mendapatkan, maka demikian pula janganlah

kamu suka memakan daging saudaramu itu selagi ia masih hidup. 109

108 Ibid. hlm. 226-227


109 Ibid. hlm. 227
161

PENJELASAN

‫ييِوأويِنيوهاَ ٱلإذيِون وءاومنهوُاذ ٱجتونإبُهوُاذ وكإثيَا يمون ٱلظلين‬


Hai orang-orang yang beriman jauhilah oleh kalian kebanyakan

purbasangka terhadap sesama orang mukmin, yaitu kamu menyangka mereka

dengan persangkaan yang buruk selagi hal itu dapat kamu lakukan. Menurut

sebuah hadis, “Sesungguhnya Allah mengharamkan darah dan kehormatan orang

Islam, dan disangka dengan persangkaan yang buruk.”

Namun demikian, persangkaan yang buruk itu hanya diharamkan terhadap

orang yang disaksikan sebagai orang yang menutupi aibnya, saleh dan terkenal

amanatnya. Adapun orang yang mempertontonkan diri sebagai orang yang gemar

melakukan dosa, seperti orang yang masuk ketempat-tempat pelacuran atau

berteman dengan penyanyi-penyanyi cabul, maka tidaklah diharamkan berburuk

sangka terhadapnya.

Al-Baihaqi dalam kitab Sya’bul Iman mengeluarkan sebuah riwayat dari

Sa’id bin Musyyab bahwa ia berkata, pernah saya mendapat surat dari sebagian

temanku dari kalangan para sahabat Rasulullah saw., “Letakkanlah urusan

saudaramu pada tempat yang terbaik selagi tidak datang kepadamu berita yang

kuat menurutmu. Dan jangan sekali-kali kamu menyangka kata-kata yang keluar

dari seorang muslim sebagai sesuatu yang buruk, padahal kamu masih

mendapatkan tempat yang baik bagi kata-kata itu. Dan barang siapa yang

menempatkan dirinya untuk menjadi sasaran persangkaan, maka jangan sekali-

kali ia mencela kecuali dirinya sendiri. Dan barang siapa yang menutupi

rahasianya, maka pilihan itu ada pada tangannya. Dan tidaklah engkau balas

seseorang yang mendurhakai Allah, pada hari kiamat (kecuali) yang sebanding.

Agar engkau taat kepada Allah demi balasan itu.”


162

Senantiasalah kamu berteman dengan orang-orang yang benar

perkataannya, sehingga kamu akan masuk kedalam usaha amal mereka. Karena,

mereka adalah perhiasan ketika senang dan perisai ketika mengalami bencana

yang besar. Dan janganlah kamu mudah bersumpah agar kamu tidak dihinakan

oleh Allah Ta’ala. Dan jangan sekali-kali kamu bertanya tentang sesuatu yang

tidak ada, sehingga sesuatu itu ada. Dan janganlah kamu meletakan

pembicaraanmu kecuali pada orang yang kamu sukai.dan senantiasa salah kamu

berkata benar sekalipun hal seperti itu bisa memunuhmu. Dan jauhilah musuhmu,

waspadalah terhadap kawanmu kecuali yang terpercaya. Dan tidak ada orang yang

terpercaya ecuali orang yang takut kepada Allah. Dan bermusyawarahlah kamu

mengenai urusanmu dengan orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka

sendirian.

Selanjutnya Allah SWT. memberi alas an dari perintah-Nya supaya

menjauhi banyak purbasangka dengan firman-Nya :

‫ض ٱلظلين إإثم‬
‫إلن وبع و‬
Sesungguhnya menyangka sesame mukmin dengan persangkaan yang

buruk adalah dosa. Karena Allah telah melarang perbuatan seperti itu. Jadi

melakukannya adalah dosa.

Semakna dengan ayat ini ialah firman Allah SWT., “Dan kamu telah

menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang

binasa.”Al-Fath, 48 : 12).

Kata Ibnu Abbas mengenai ayat ini, Allah melarang orang mukmin

berburuk sangka kepada orang mukmin lainnya, Selanjutnya, setelah Allah SWT,
163

menyuruh mereka supaya menjauhi kebanyakan purbasangka, maka Dia melarang

pula dari memata-matai orang lain. Firman –Nya :

‫وو ول وتولسهسوُاذ‬
Dan janganlah sebagian amu meneliti keburukan sebagian lainnya dan

jangan mencari-cari rahasia-rahasianya dengan tujuan mengetahui cacat-cacatnya.

Akan tetapi puaslah kalian dengan apa yang nyata bagimu mengenai dirinya. Lalu

pujilah atau kecamlah berdasarkan yang nyata itu, bukan berdasarkan hal yang

kamu ketahui dari yang tidak nyata.

Menurut Al-Bukhari dan Muslim dalam As-Sahih dari Abu Hurairah,

bahwa Nabi saw.bersabda, “Hindarilah olehmu purbasangka karena purbasangka

itu berita yang paling dusta.dan janganlah kamu memata-matai orang lain, jangan

mencari-cari berita mengenainya, jangan saling mengungguli dalam jual beli,

jangan saling membenci dan jangan saling mendiamkan. Tidak jadikah kalian

hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidak halal bagi seorang muslim untuk

mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.”

At-Tajassus (memata-matai) adalah mencari-cari apa yang tersembunyi


bagimu.
At-Tahassus (merasa-rasai) maksudnya mencari-cari berita mengenai
saudaramu.
At-Tanajusy, maksudnya berjual-beli atas jual-beli orang lain (dengan cara
saling mengungguli harga ).
At-Tadabur tidak mengajak bicara dan memutuskan hubungan.
Dan dari Abu-Barzakh Al-Aslami, ia berkata bahwa Rasulullah saw,

bersabda, “Hai golongan orang yang beriman dengan lidahnya tetapi iman tidak

masuk kedalam hatinya, janganlah kalian menggunjing orang-orang Islam dan

janganlah kamu meneliti cacat-cacat mereka. Karena barang siapa yang meneliti
164

cacat-cacat orang islam, maka dia akan dibukakan cacatnya di tengah rumahnya

sendiri.”

Sementara itu At-Tabrani juga meriwayatkan dari Harisah Ibnu Nu’man ra.

Ia berkata, bahwa Rasulullah saw, bersabda, “Ada tiga hal yang lekat pada

umatku, yaitu tayyarah (berburuk sangka) dengki (hasad) dan zann (berburuk

sangka terhadap orang lain). Seorang lelaki bertanya, “Apakah yang dapat

menghilangkan hal hal tersebut : ya Rasulullah dari orang yang mempunyai sifat-

sifat seperti itu?” Rasulullah saw, bersabda, “Apabila kamu mendengki maka

mohonlah Ampun kepada Allah, dan apabila kamu berburuk sangka, maka

janganlah kamu memeriksa benar tidaknya, dan apabila kamu menduga

(tayyarah) maka laksanakan saja rencanamu.

Abdurahman bin Auf berkata, pernah saya meronda pada suatu malam

bersama Ummar bin Khatab di Madinah. Tiba-tiba kami melihat sorot lampu

disebuah runah yang pintunya berpaling dari orang banyak, mereka mengeluarkan

suara-suara keras dan kegaduhan, maka berkatalah Umar, “Ini adalah rumah

Rabi’ah bin Umayyah bin Khalaf. Mereka sekarang sedang minum-minum, maka

bagaimanakah pendapatmu. “Saya menjawab, “Saya berpendapat bahwa kita telah

melakukan larangan Allah. Allah Ta’ala berfirman Wala Tajassasu (janganlah

kamu memata-matai) dan itu benar-benar telah memata-matai. Maka Umar pergi

meninggalkan mereka.

Sedang Abu Qibalah mengatakan pula, seseorang melapor pada Umar bin

Khatab, bahwa Abu Mihjan As-Saqafi meminum khamr bersama beberapa

sahabatnya dirumahnya. Maka berangkatlah Umar untuk menemui Abu Mihjan,


165

“Sesungguhnya ini tidak halal bagimu. Karena Allah telah melarang dari memata-

matai. Maka Umar pun keluar meninggalkannya.

َ‫ضا‬
‫ضهكم وبع ن‬
‫ووول ويِغوتب لبع ه‬
Dan janganlah kamu menceritakan sebagian yang lain dengan suatu yang

tidak ia sukai ketika orang lain itu tidak ada.

Adapun yang dimaksud menyebut di sini ialah menyebut-nyebut dengan

terang-terangan, atau dengan isyarat atau dengan cara lain yang bisa diartikan

sebagai perkataan. Karena itu, semua itu berartimenyakiti orang yang digunjing

dan memanasan hatinya serta memecah belah jemaah. Karena menggunjing

memang merupakan api yang menyala, ia takkan membiarkan sesuatu pun dan

takan menyisakan.

Dan yang dimaksud sesuatu yang tida ia sukai adalah hal yang berkenaan

dengan agama atau dunianya, rupa akhlak, harta, anak, istri, pembantu, akaian

atau apasaja yang lain, yang berkaitan dengan dia.

Al-Hasan berkata, gibh itu ada tiga macam yang semuanya itu tercantum dalam
kitab Allah. Yaitu ; Al-Gibah, Al-Ikfu, dan Al-Buktam.
a. Gibah maksudnya ialah kamu berkat-kata mengenai saudaramu tentang

hal-hal yang ada pada dia.


b. Adapun Al-Ikfu kamu berkata-kata mengenai saudaramu tentang apa-apa

yang sampai kepadamu mengenai dia.


c. Adapun Al-Buhtan, kamu berkata-kata mengenai saudaramu yang tidak

terdapat pada dirinya.


d. Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa gibah termasuk

dosa besar (kabair). Dan bagi orang-orang yang menggunjing seseorang

wajib bertaubat kepada Allah atau memohon ampun bagi orang yang ia

gunjing atau meminta kehalalan (maaf) dari orang yang digunjingnya tadi.
166

e. Diriwayatkan dari Syu’bah bahwa ia berkat pernah Mu’awiyah bin Qurrah

berkata kepadaku, sekiranya kamu dilewati oleh seorang lelaki yang

bunting (terpotong tangannya) lalu kamu berkata, orang ini bunting. Maka

pembicaraanmu itu gibah. Syu’bah mengatakan, hal ini kemudian saya

ceritakan kepada Abu Ishaq. Maka beliau mengatakan benar.

Selanjutnya Allah SWT. memberikan suatu perumpamaan tentang gibah

agar orang menghindari dan berhati-hati terhadap kelakuan seperti itu. Firman-

Nya :

‫إإ‬ ‫أو هإي ي‬


‫ب أووحهدهكم وأن ويِأهكول ولوم أوخيِه وميِتاَ فووكإرهتههموُهه‬
Apakah seorang dari kalian suka memakan daging saudaranya setelah ia

meninggal dunia. Kalaupun tidak suka melakukan hal itu, bahkan kamu

membencinya, karena nafsumu memang jijik, maka demikian pula hendaklah

kamu tidak suka menggunjing saudaramu ketika ia hidup.

Kesimpulannya, sesungguhnya sebagaimana kamu tidak menyukai

perbuatan seperti itu, karena tabiatmu memang demikian. Maka janganlah kamu

menyukai hal itu berdasarkan syara’. Karena perbuatan itu menyebabkan

hukuman yang bera.

Gibah itu telah dimisalkan dengan memakan daging karena gibah itu

berarti merobek-robek kehormatan yang serupa dengan memakan dan merobek-

robek daging. Ungkapan seperti ini sesuai dengan cara orang AArab berbicara. Al-

Muqanna Al-Qindi berkata :

“Jika mereka memakan dagingku, maka aku adakan daging mereka dan
jika mereka merobohkan kejayaanku, maka aku bangunkan kejayaan mereka.”
167

Lebih dari itu, ayat ini menganggap daging yang dimakan itu adalah

daging saudara sendiri yang telah mati, sebagai gambaran betapa kejinya

perbuatan seperti itu yang dianggap menjijikan oleh perasaan siapa pun.

Ali Husain ra, pernah mendengar seseorang menggunjing orang lain.

Maka ia berkata, “Hindarilah oleh mu menggunjing, karena menggunjing itu lauk

anjing-anjing dari jenis manusia.”

Pernah pula Amr bin Ubaid dilapori, Fulan telah menggunjing engkau,

sehingga aku kasihan kepadamu. Maka jawabnya, “Justru kebaikan-kebaikanku.”

Sementara itu diceritakan pula dalam hadis sahih, bukan hanya darhi satu

sanad saja, bahwa Nabi saw, ketika berpidato pada Haji Wada’ beliau bersabda,

“Sesungguhnya darah, harta, dan kehhormatanmu adalah wajib dihormati

sesamamu, seperti terhormatnya harimu ini di dalam bulanmu ini di dalam

negerimu ini.”

‫ووٱتلنهقوُاذ ٱللهو‬

Maka janganlah kamu suka menggunjing, dan bertakwalah kamu kepada

Allah tentang apa yang Dia perintahkan dan Dia larang terhadapmu, waspadalah

dan takutlah kamu kepada Allah.

Selanjutnya Allah SWT, member alas an tentang hal ini dengan firman-
Nya :

‫ۚۚ إلن ٱللهو تونلوُاب كروإحيِم‬


Sesungguhnya Allah menerima taubat dari orang yang mau bertaubat

kepada-Nya atas dosanya yang telah terlanjur ia lakukan, Maha Belas kasih

kepadanya sehingga Dia takkan mengazab setelah ia bertaubat.


168

Bagi orang yang menggunjing wajiblah ia segera bertaubat ketika

perbuatan itu baru ia lakukan, yaitu dengan cara berhenti dari perbuatan itu dan

menyesal atas keterlanjurannya, serta bertekad dengan kuat untuk tidak

mengulangi lagi perbuatan yang telah terlanjur dilakukan itu.

Namun demikian, gibah tidaklah haram apabila untuk tujuan yang benar

menurut syara’ yang tak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan melakukan

gibah. Dan hal itu ringkasnya ada enam perkara :

1. Mengadakan penganiayan. Maksudnya orang yang dianiaya boleh

mengadukan halnya kepada orang yang ia sangka dapat

menghilangkan penganiayaan tersebut atau meringanannya.


2. Meminta tolong untuk merubah kemungkaran dengan menceritakan

kemungkaran tersebut kepada orang yang ia sangka mampu

menghilangkannya.
3. Meminta fatwa. Jadi boleh bagi orang yang meminta fatwa untuk

berkata kepad mufti, fulan telah menganiaya aku demikian. Bolehlah ia

melakukan hal itu.


4. Member peringatan agar orang-orang Islam waspada terhadap

keburukan, seperti cacatnya para perawi dan orang-orang yang berani

member fatwa, padahal ia tidak ahli untuk itu. Dan contohnya lagi,

member saran sekalipun tidak diminta terhhadap orang yang akan

kawin atau akan bergaul dengan orang lain dalam persoalan agama

maupun dunia. Tetapi hendaklah terrbatas dengan secukupnya saja.

Jika perlu menyebutkan salah satu aib atau dua macam aib, maka

boleh hal itu dilakukan.


5. Menceritakan orang yang seraya terang-terangan melakukan kefasikan,

seperti mereka yang gemar meminum khamr dan mendatangi tempat-


169

tempat pelacuran, sedang mereka bangga dengan perbuatan-

perbuatannya. Memperkenalkan gelar atau lainnya, seperti si mmata

satu atau si rabun, dan lain sebagainya, apabila orang tdak mengenal

kecuali dengan gelar seperti itu.

Umat Islam telah sepakat tentang buruknya gibah dan besar dosanya

sekalipun orang gemar melakukannya, sampai ada yang sebagian mengatakan

gibah adalah sabunnya hati, dan sesungguhnya gibah itu berasa manisnya seperti

kurma dan ketagihan bagai ketagihan khamar. 110

AL-HUJURAT : 13

‫س إلناَ وخولق ينوهكم يمن ذووكر ووهأنثويىِ وووجوعلينوهكم هشهعوُباَ ووقونوبُاَئإول إلتونوعاَورفهوُاذ إلن وأكورومهكم إعنود‬
‫يِيوأويِنيوهاَ ٱللناَ ه‬
١٣ َ‫ٱللإه وأتوقيىهكم إلن ٱللهو وعلإيِعم وخإبُي‬
13. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal
Minzakarin wa unsa : dari seorang laki-laki dan seorang

perempuan.

Maksudnya dari Adam dan Hawa., Ishaq Al-Mushilli berkata :

Asy—Syu’ub: jamak dari Sya’ab, yaitu suku besar yang bernasab kepada

suatu nenek moyang, seperti suku Rabi’ah dan Muhdar. Sedang kabilah adalah

lebih kecil lagi, seperti kabilah Bakar yang merupakan bagian dari Rabi’ah, dan

kabilah Tamim yang merupakan bagian dari Muhdar.

110 Ibid. hlm. 227-234


170

Abu Ubaidah mmenceritakan bahwa tingkatan-tingkatan keturunan yang

dikenal bangsa Arab ada tujuh, yaitu Sya’ab kemudian Qabilah, kemudian

Imarah, kemudian Bath, kemudian Fakhz, kemudian Fasilah, kemudian Asyirah,

yang masing masing mencakup pada tingkatan sebelumnya. Artinya kabilah-

kabilah berada dibawah Sya’ab.’Imarah-imarah berada di bawah kabilah. Bath-

bath berada dibawah ‘Imarah. Fakhz-fakhz berada di bawah Bath, dan fasilah-

fasilah berada di bawah Fakhz dan ‘Asyirah-‘asyirah berada di bawah Fasilah.

Umpamanya Khuzaimah adalah Sya’ab, sedang Kinanah adalah kabilah, dan

Quraisy adalah ‘Imarah atau ‘Amarah (huruf ‘Ain di kasrahikan atau

difathahkan), dan Qusyai adalah Bath, Abdul Manaf adalah Fakhz, Hasyim adalah

Fasilah, dan Al-Abbas adalah ‘Asyirah. Sya’ban disebut demikian (artinya

cabang, pen.) karena kemudian bercabang-cabang menjadi kabilah-kabilah,

seperti halnya bercabang—cabangnya dalam pohon. 111

PENGERTIAN SECARA UMUM

Setelah Allah SWT, melarang pada ayat-ayat yang lalu mengolok-olok

sesama manusia mengejek serta menghina dan panggil-memanggil dengan gelar-

gelar yang buruk, maka di sini Allah menyebutkan ayat yang llebih menegaskan

lagi larangan tersebut dan memperkuat cegahan tersebut. Allah menerangkan

bahwa manusia seluruhnya berasal dari seorang ayah dan seorang ibu. Maka

kenapakah saling mengolok-olok sesama saudara hanya saja Allah Ta’ala

menjadikan mereka bersuku-suku dan berkabilah-kabilah yang berbeda-beda, agar

di antara mereka terjadi saling kenal dan tolong-menolong dalam kemaslahatan-

kemaslahatan mereka yang bermacam-macam.

111 Ibid. hlm. 234-235


171

Namun tetap tidak ada kelebihan bagi seseorang pun atas yang lain,

kecuali dengan takwa dan kesalehan, di samping kesempurnaan jiwa bukan

dengan hal-hal yang bersifat keduniaan yang tiada abadi.

Abu Daud menyebutkan bahwa ayat ini turun mengenai Abu Hindin, ia

adalah seorang pembekam Nabi saw. Katanya bahwa Rasulullah saw, menyuruh

Bani Biyadah agar mengawinkan Abu Hindin dengan seorang wanita dari mereka.

Maka mereka berkata kepada Rasulullah saw, apakah kami harus mengawinkan

anak-anak perempuan kami dengan bekas-bekas budak kami. Maka Allah ‘Azza

wa Jalla pun menurunkan ayat :

‫س إلناَ وخولق ينوهكم يمن ذووكر ووهأنثويىِ وووجوعلينوهكم هشهعوُباَ ووقونوبُاَئإول‬


‫يِيوأويِنيوهاَ ٱللناَ ه‬

ِ‫س إلناَ وخولقينوهكم يمن ذووكر ووأهنثويى‬


‫ييِوأويِيوهاَ ٱللناَ ه‬
Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari Adam dan

Hawa. Maka kenapakah kamu saling mengolok sesama kamu, sebagian kamu

mengejek sebagian yang lain, padahal kalian bersaudara dalam nasab dan sangat

mengherankan bila saling mencela sesama saudaramu atau saling mengejek, atau

panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang jelek.

Diriwayatkan dari Abu Mulaikah dia berkata, pada peristiwa Fathu

Makkah. Bilal naik ke atas Ka’bah lalu adzan. Maka berkatalah ‘ Attab bin Said

bin Abil ‘Ish, “ Segala puji bagi Allah yang telah mencabut nyawa ayahku,

sehingga tidak menyaksikan hari ini. “ Sedang Al-Haris bin Hisyam berkata, “

Muhammad tidak menemukan selain burung gagak yang hitam ini untuk dijadikan

mu’azin.” Dan Suhail bin Amr berkata, “Jika Allah menghendaki sesuatu maka
172

bisa saja Dia merubahnya. “ Maka Jibril datang kepada Nabi saw. dan

memberitahukan kepada beliau apa yang mereka katakana. Lalu mereka pun

dipanggil datang, ditanya tentang apa yang telah mereka katakana, dan merekapun

mengaku.

Maka Allah pun menurunkan ayat ini sebagai cegahan bagi mereka dari

membanggakan nasab, mengunggul-unggulkan harta dan menghina kepada orang-

orang fakir. Dan Allah menerangkan bahwa keutamakan itu terletak pda takwa.

At-Tabari mengatakan, Rasullulah saw. berkhutbah di Mina di tengah hari-

hari Tasyriq, sedang beliau berada di atasuntanya. Katanya, “Hai manusia,

ketahuilah sesungguhnya Tuhanmu dalah Esa dan ayahmu satu. Ketahuilah tidak

ada kelebihan bagi seorang Arab atas seseorang ‘Ajam (bukan Arab) maupun bagi

seseorang ‘Ajam atas seorang Arab, atau bagi orang hitam atas orang merah, atau

bagi orang merah atas orang hitam, kecuali dengan takwa. Ketahuilah, apakah

telah aku sampaikan? “ Mereka menjawab, “Ya.” Rasul berkata, “Maka hendaklah

yang menyaksikan hari ini menyampaikan kepada yang tidak hadir”.

Diriwayatkan pula dari Abu Malik Al-Asy’ari, ia berkata bahwa

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada

pangkat-pangkat kalian dan tidak pula kepada nasab-nasabmu dan tidak pula

kepada tubuhmu, dan tidak pula kepada hartamu, akan tetapi memandang kepada

hatimu. Maka barang siapa mempunyai hati yang saleh, maka Allah belas kasih

kepadanya. Kalian tak lain adalah anak cucu Adam. Dan yang paling dicintai

Allah di antara kalian ialah yang paling bertakwa di antara kalian.

‫وووجوعلينوهكم هشهعوُباَ ووقونوبُاَئإول إلتونوعاَورفهوُاذ‬


173

Dan kami menjadikan kalian bersuku-suku dan berkabilah-kabilah supaya

kamu kenal-mengenal, yakni saling kenal, bukan saling mengingkari. Sedangkan

mengejek, mengolok-olok dan menggunjing menyebabkan terjadinya saling

mengingkari itu.

Kemudian Allah menyebutkan sebab dilarangnya saling membanggakan

dengan firman-Nya:

‫وووجوعلينوهكم هشهعوُباَ ووقونوبُاَئإول إلتونوعاَورفهوُاذ‬


Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah dan yang paling tinggi

kedudukannya di sisi-Nya ‘Aza wa Jalla di akhirat maupun di dunia adalah yang

paling bertakwa. Jadi jika kamu hendak berbangga maka banggakannya takwamu.

Artinya barang siapa yang ingin memperoleh derajat-derajat yang tinggi maka

hendaklah ia bertakwa.

Ibnu Umar ra, meriwayatkan bahwa Nabi saw, pernah berkhutbah kepada

orang-orang banyak pada Fathu Makkah, sedang beliau berada di atas

kendaraannya. Beliau memuji dan menyanjung Allah dengan pujian dan

sanjungan yang patut diterima-Nya. Kemudian beliau bersabda, “Hai manusia

sesungguhnya Allah benar-benar telah menghilangkan dari kalian keangkuhan dan

kesombongan jahiliyyah dengan nenek moyang mereka. Karena manusia itu ada

dua macam, yaitu orang yang baik dan bertakwa serta mulia disisi Allah, dan

orang yang berdosa, sengsara dacn hina di sisi Allah Ta’ala. Sesungguhnya Allah

‘Azza wa jalla berfirman, ‘Inna khalaqnakum min zakarin wa unsa …..al-ayah.’ ”

Kemudian beliau bersabda, “Aku ucapkan kata-kataku ini dan aku

memohon ampun kepada Allah untuk diriku dan untuk kalian.”


174

‫إلن وأكورومهكم إعنود ٱللإه وأتوقيىهكم‬


Sesungguhnya Allah Maha Tahu tentang kamu dan tentang amal

perbuatanmu juga Maha Waspada tentang sikap-sikap hatimu. Karenanya,

jadikanlah takwa itu bekalmu untuk akhiratmu. 112

AL-HUJURAT : 14 – 18

‫ب وءاوملناَ هقل لل هتؤُإمنهنوُاذ وويلوإكننن هقوُلهنوُاذ أوسنولموناَ وولولمنناَ يِنوندهخإل ٱلإإَيينوهن إفن قهنلنهنوُبإهكم‬ ‫إ‬
‫۞وقاَلوت ٱلوأعورا ه‬
َ‫ إلننوننا‬١٤ ‫ووإإن تهإطيِعهن نوُاذ ٱللن نهو ووورهسن ننوُلوههۥ ول يِوإلتهكن ننم يمن ننن وأعيوملإهكن ننم وش ن ن ‍يِناَ إلن ٱللن نهو وغهفن ننوُر لرإحيِ ن نعم‬
‫ٱلمهؤُإمهنوُون ٱلإذيِون وءاومنهوُاذ إبٱِللإه ووورهسوُلإإهۦ هثل ول ويِرتنوناَبهوُاذ وويوجوهنهدواذ بإنوأميووُإإلم وووأنهفإسنإهم إفن وسنبُإيِإل ٱللنإه‬
‫ قهنل وأتنهعليمنوُون ٱللنه بإنإديِنإهكم وٱللنه يِعلونم مناَ إفن ٱللسن يم يوُ إ‬١٥ ‫صنإدهقوُون‬
‫ت ووومنناَ إفن‬ ‫وو‬ ‫و هو هو‬ ‫و‬ ‫وه‬ ‫ك ههنهم ٱل يل‬ ‫أهذويلوئإ و‬
‫ك وأن وأسلوهموُاذ هقل لل وتهنيوُاذ وعلوليِ إسن يلوومهكم بونإل‬ ‫ض إ‬
‫ ويهينوُون وعلويِ و‬١٦ ‫ض ووٱللهه بإهكيل وشيِء وعليِم‬ ‫ٱلوأر إ‬
‫ت‬‫ إلن ٱللنه يِعلونم وغيِنب ٱللسن يم يوُ إ‬١٧ ‫ٱللنه وينهين علويِهكننم وأن هنوديىَهكم لإإليينوإن إإن هكنتنهنم يصنإدقإي‬
‫و و ه و وو‬ ‫و و‬ ‫و‬ ‫ه و‬
١٨ ‫صيَه إ وباَ وتعموهلوُون‬ ‫ض وٱلله ب إ‬
‫ووٱلوأر إ و ه و‬
14. Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman".
Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah ´kami telah tunduk´,
karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala
amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang"
15. Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang
yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka
tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa
mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar
16. Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah
tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa
yang di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu?
17. Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman
mereka. Katakanlah: "Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat
kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang
melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada
keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar"

112 Ibid. hlm. 235-238


175

18. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi.
Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. 113

Arab Al-A’rab: penduduk desa di tengah padang pasir.


Amanna: kami membenarkan syari’at-syari’at yang telah kamu bawa dan

kami mematuhi apa yang diperintahkan kepada kami. Jadi iman adalah

membenarkan dengan hati.

Aslamna: kami patuh dan tunduk kepadamu, yaitu lawan dari Al-

Harb (melawan). Maksuudnya kami tidak memusuhi orang-orang mukmin dan

tidak pula membantu orang-orang musyrik.

Yamunnuna ‘alaika: mereka menyebut-nyebut keislaman itu

sebagaimana orang yang telah berbuat baik kepadamu dan telah menganugrahkan

kenikmatan kepadamu. 114

PENGERTIAN SECARA UMUM


Setelah Allah SWT, menyuruh manusia supaya bertakwa, maka Dia

mengecam orang yang imannya lemah. Yaitu orang-orang badui yang

menampakan Islam sedang hati mereka masih lemah. Karena mereka

menginginkan harta rampasan dan harta benda dunia. Mereka datang pada musim

paceklik, lalu mereka mengatakan kepada Rasulullah saw. kami tidak memerangi

engkau sebagaimana Bani Fulan telah memerangi engkau. Dengan menyebutkan

seperti itu mereka menginginkan sedekah dan menyebut-nyebut perbuatan mereka

yang baik kepada Nabi saw. maka Allah memberitahukan kepada nabi-Nya atas isi

hati mereka yang tersimpan. Dan bahwa mereka sebenarnya belum beriman

dengan iman yang sebenarnya, yaitu iman yang antara hati dan lidah terdapat

kesesuaian.

113 Ibid. hlm. 238-239


114 Ibid. hlm. 240
176

Allah juga menyuruh mereka supaya mengatakan kami menyerah dan

tunduk. Sesudah itu Allah memberitahukan kepada mereka bahwa pahala amal-

amal mereka diberikan dengan sempurna tanpa dikurangi. Kemudian Allah

menerangkan juga bahwa di antara tanda iman yang sempurna. Ialah berkorban

jiwa dan harta di jalan Allah, dan dengan membelanjakannya dalam memperkuat

sendi sendi agama dan meninggikan derajatnya, serta melumpuhkan kekuatan

musuh dengan berbagai cara yang mungkin ditempuh.

Sesudah itu, Allah menerangkan pula bahwa Dia mengetahui iman mereka

yang lemah ataupun kuat. Karena tidak sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah

dibumi maupun di langit, dan bahwasannya tidak sepatutnya bagi orang yang

beriman untuk menyebut-nyebut imannya kepada rasul sebagai anugerah bagi

beliau, bahkan adalah hak bagi Rasulullah saw, untuk menyebut-nyebut

anugerah-Nya kepada dia, yaitu bahwa dia memperoleh petunjuk lewat tangan

rasul , kalau memang ia benar-benar beriman.

Selanjutnya Allah mengakhiri ayat-ayat ini dengan memberitahukan

tentang ilmu-Nya Yang Maha Luas dan meliputi rahasia-rahasia yang tersimpan

pada mahkluk-Nya, baik di langit maupun di bumi, tidak luput dari Allah apa pun,

meski hanya seberat zarrah yang dilakukan oleh hamba-hama-Nya berupa

perbuatan yang baik maupun buruk.

Mujahid berkata, ayat ini turun mengenai orang-orang badui dari Bani

Asad bin Khuzaimah saw (mereka tinggal di sekitar Madinah). Mereka datang

kepada Rasulullah, dan menyatakan dua kalimah syahadat namun mereka tidak

benar-benar beriman.
177

Sedang menurut As-Suddi, ayat ini turun mengenai orang-orang badui

yang disebutkan pada surat Al-Fath, yaitu orang-orang Badui Muzainah, Juhainah,

Aslam, Gifar, Ad-Dil dan Asyja’. Mereka berkata, kami beriman, dengan tujuan

supaya mereka aman jiwa dan harta mereka. Namun ketika mereka dikerahkan

oleh orang-orang kafir buat memerangi Madinah, ternyata mereka ingkar dari

iman. 115

PENJELASAN
‫إ‬
‫وقاَلوت ٱلوأعورا ه‬
َ‫ب وءاوملنا‬
Orang-orang Badui berkata, kami telah membenarkan Allah dan rasul-Nya

dan kami beriman kepada-Nya. Namun Allah membantah mereka dengan

mendustakan mereka, sekalipun mereka menyatakan seperti itu. Firman-Nya :

َ‫هقل لل هتؤُإمنهوُاذ وويلوإكن هقوُلهوُاذ وأسولمونا‬


Katakanlah kepada mereka, sesungguhnya iman adalah membenarkan

yang disertai dengan ketentraman hati dan kepercayaan penuh kepada Allah.

Namun hal itu belum terjadi padamu, terbukti bahwa kamu menyebut-nyebut

kepada rasaul bahwa kamu tidak memerangi dia. Akan tetapi ucapkanlah, kami

menyerah dan tunduk kepadamu dan kami tdak ikut berperang, dan kami tidak

membantuu musuhmu untuk menyerang kamu.

Ayat ini menggunakan uslub seperti ini, dan tidak mengatakan kepada

mereka, kazabtum (kalian berdusta), akan tetapi, Qulu Aslamna (ucapkanlah

olehmu, kami tunduk), dengan maksud mengajari Nabi saw, tentang kesopanan

dalam berdialog supaya ditiru oleh pengikut-pengikutnya. Sehingga mereka mau

melemah lembut dengan orang yang diajak bicara.

‫وولولماَ ويِدهخإل ٱلإإَييوهن إف قهنهلوُبإهكم‬


115 Ibid. hlm. 240-241
178

Ucapkanlah olehmu, kami telah tunduk. Itu saja, karena iman belum

masuk ke dalam hatimu. Karena belum ada kesesuaian antara hati dengan yang

diucapkan dengan lidah. Sementara syari’at-syari’at agama maupun adab-adabnya

belum berpengaruh pada amal perbuatanmu dan belum termakan oleh ruh.

Jiwamu juga belum terbentuk dengan syari’at dan adab-adab tersebut.

As-Sajad berkata, Islam adalah menampakan ketundukan dan menerima

ajaran yang di bawa oleh Nabi saw, yang dengan demikian maka darah akan

terpelihara. Jika hal itu dibarengi pula dengan keyakinan dan pembenaran dengan

hati, maka itulah iman dan orang yang melakukannya disebut mukmin.

َ‫ووإإن تهإطيِعهوُاذ ٱللهو ووورهسوُلوههۥ ول يِوإلتهكم يمن وأعيوملإهكم وش ‍يِنا‬


Dan jika kamu mentaati Allah dan rasul-Nya dan memurnikan amal untuk

Allah dan kamu meninggalkan kemunafikan, maka Allah SWT takkan

mengurangi pahalamu sedikit pun, bahkan Dia akan melipatkan pahala itu

berlipat-lipat yang banyak.

Dan oleh karena manusia itu banyak melakukan kekeliruan, sekalipun ia

telah bersungguh-sungguh menghindarinya, maka Allah SWT.menyebutkan

bahwa Dia Maha Pengampun atas ketergelinciran manusia. Firman-Nya :

‫إلن ٱللهو وغهفوُر لرإحيِعم‬


Sesungguhnya Allah Maha menutupi kekeliruan-kekeliruan dan Maha

Pengampun atas ketergelinciran dari orang yang mau bertaubat dan kembali

kepada Tuhannya dengan ikhlas, lagi Maha Pengasih kepadanya hingga Dia

takkan mengazabnya setelah bertaubat, bahkan Dia aan semakin memuliakan

orang yangbertaubat itu dan memaafkan dosa-dosanya.

Selanjutnya Allah SWT, menerangkan hakikat iman dengan firman-Nya :


179

‫ إلوناَ ٱلهمؤُإمنهنوُون ٱلنإذيِون وءاومنهنوُاذ بإنٱِللإه ووورهسنوُلإإهۦ هثلن ول ويِرتوناَبهوُاذ وويوجوه هدواذ بإنوأميووُإإلم وووأنهفإسنإهم إفن‬١٤
‫صإدهقوُون‬ ‫ك هههم ٱل يل‬ ‫وسبُإيِإل ٱللإه أهذويلوئإ و‬
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan iman yang sebenarnya

adalah orang-orang yang membenarkan Allah dan rasul-Nya, kemudian tidak

ragu-ragu dan tidak goncang,bahkan mereka mantap pada satu sikap dan mau

mengorbankan jiwa dan harta benda mereka yang paling mahal demi ketaatan

kepada Allah dan mengharapkan rida-Nya, mereka itulah orang-orang yang benar

dalam mengatakan Amanna (kami beriman). Bukan seperti sebagian orang Badui

yang iman mereka hanyalah kata-kata yang lahir saja, sedang mereka masuk

agama hanya karena takut terhadap pedang supaya darah dan harta mereka

terpelihara.

Selanjutnya Allah SWT, lebih menegaskan lagi firman-Nya yang lalu,

yaitu Lam Tu’minu (kalian belum beriman), dengan firman-Nya :

‫هقل وأتهنوعليهموُون ٱللهو بإإديِنإهكم‬


Katakanlah kepada mereka, apakah kalian memberitahukan kepada Allah

tentang apa yang ada dalam hatimu dan apa yang tersimpan dalam sanubarimu,

yaitu tentang kebenaran iman kamu dengan mengucapkan, “Kami benar-benar

beriman.”

‫وٱلله يِعلوم ماَ إف ٱللس يم يوُ إ‬


‫ت وووماَ إف ٱلأور إ‬
‫ض‬ ‫وو‬ ‫و هو هو‬
Dan Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada

dibumi. Jadi tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allahh, sekalipun hanya

seberat zarrah yang ada di langit ataupun di bumi.

Tidak diragukan, bahwa hal ini merupakan pembodohan dan pemburukan

terhadap orang-orang Badui itu.


180

‫ووٱللهه بإهكيل وشيِضء وعلإيِم‬


Dan Allah Maha Tahu tentang segala sesuatu. Maka waspadalah kalian

jangan sampai kamu mengucapkan kata-kata yang bertentangan dengan apa yang

diketahui oleh Allah pada hati sanubarimu, sehingga kamu takkan mendapatkan

hukuman-Nya. Karena tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah.

‫ك وأن وأسولمهوُاذ‬
‫ويهينوُون وعلويِ و‬
Mereka menyebut-nyebut ketundukan dan keikutan mereka kepadamu dan

pembelaan mereka kepadamu sebagai suatu anugerah yang mereka meminta

upahnya kepadamu. Mereka berkata, kami datang kepadamu dengan membawa

beban-beban keluarga dan kami tidak memerangi kamu sebagaimana yang

dilakukan oleh Banu Fulan dan Banu Fulan.

Selanjutnya Allah SWT. menyuruh rasul-Nya supaya mengatakan apayang

harus beliau katakana kepada mereka, ketika mereka menyebut-nyebut anugerah

kepada beliau, yakni ketika mereka mengaku Islam. Firman-Nya :

‫هقل لل وتهنيوُاذ وعلوليِ إإس يلوومهكم‬


Katakanlah, janganlah kamu menyebut-nyebut ketundukanmu yang kamu

namakan iman itu sebagai anugerah untukku. Kareena ketundukan itu adalah

anugerah yang pemberiannya tidak menuntut upah dari orang yang menerimanya.

Oleh karena itu kemudian Allah SWT, berfirman :

‫ي‬ ‫بإل ٱلله ويين علويِهكم وأن هوديىَهكم لإإلييإن إإن هكنتم ي إ إ‬
‫صدق و‬ ‫ه و‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫و ه ه و‬
Bahkan Allah-lah yang telah memberi anugerah kepadamu. Karena telah

menganugrahkan kepadamu taufik dan hidayah-Nya sehingga kamu beriman jika

kalian benar-benar beriman.


181

Hal ini merupakan isyarat bahwa mereka dusta dalam pengakuan mereka

sebagai mukmin.

Diriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah berkata kepada orang orang Anshar

ketika terjadi perang Hunain “Hai golongan Anshar, bukankah aku telah datang

kepadamu sedang kalian sesat lalau Allah member petunjuk, dan alian melarat lalu

Dia membuatmu kaya, dan kamu saling bermusuhan, lalu Allah mengakurkan di

antara hatimu ?” Mereka berkata, “Ya, Allah dan rasul-Nya lebih nyata anugerah

dan keutamaannya.”

Kesimpulannya, bahwa Allah SWT, menamakan apa yang telah mereka

lakukan sebagai penyyerahan dan ketundukan itu bukan iman, dengan maksud

menyatakan kedustaan mereka dalam mengucapkan, “Kami beriman.”

Selanjutnya oleh karena mereka menyebut-nyebut kepadamu tentang apa yang

tidak sepatutnya disebut-sebut. Yaitu ttentang penyerahan mereka yang mereka

sebut iman, padahal semestinya tidak demikian. Bahkan Allah-lah yang patut

menganggap mereka sebagai orang-orang beriman jika memang mereka benar-

benar beriman. Karena Dia-lah yang telah menganugrahkan kepada mereka

petunjuk dan taufik-Nya.

Kemudian Allah mengulangi pemberitahuan-Nya tentang ilmu-Nya

mengenai segala makhluk dan pengetahuan-Nya tentang perbuatan-perbuatan

makhluk-Nya. Firman-Nya :

‫صيَه إ وباَ وتعومهلوُون‬


‫ض وٱلله ب إ‬ ‫إ‬ ‫إ‬
‫لن ٱللهو ويِعلوهم وغيِ و‬
‫ب ٱللسيوميووُت ووٱلوأر إ و ه و‬
Sesungguhnya Allah mengetahui hal-hal yang gaib di langit maupun di

bumi, dan Dia Maha Tahu tentang apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu
182

terang-terangkan, tak ada yang tersembunyi bagi Allah, apa pun yang ada dalam

hati sanubarimu.

Hal itu menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang berdusta

dalam keimanan mereka, juga merupakan pernyataan kepada Nabi saw. dan para

pengikutnya yang mukmin tentang apa yang tersimpan dalam hati manusia. 116

KESIMPULAN SURAT AL-HUJURAT


Hal-hal yang dibahas dalam surat ini dibagi dua bagian, menerangkan

tentang hubungan antara Nabi saw, dengan umatnya, dan yang lain menyuruh

kepada umatnya supaya meninggalkan sifat-sifat yang rendah dan menghiasi diri

dengan sifat-sifat utama.

Adapun bagian yang pertama ialah :

1. Agar orang-orang mukmin jangan mengambil keputusan mengenai

suatu hal sebelum ada keputusan dari Allah dan rasul-Nya mengenai

hal itu.
2. Penghormatan dan pengagungan kepada Rasulullah saw, dan agar

suara mereka tidak melampaui suara nabi.


3. Agar mereka tidak memanggil Nabi saw, dengan menyebut namanya

atau julukannya (kaniyanya) seperti yang dilakukan di antara sesama

mereka. Akan tetapi panggilah nabi dengan sebutan nabi atau rasul.
4. Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suara mereka

dihadapan Rasulullah saw, itulah orang-orang yang bertakwa.


5. Sesungguhnya orang-orang yang memanggil rasul dari balik kamar

beliau seperti halnya Uyainah bin Hisn dan para pengikutnya,

kebanyakan mereka termasuk tidak berakal.


6. Kecaman atas penyebutan iman sebagai anugerah kepada Allah dan

Rasul-Nya saw.

116 Ibid. hlm. 241-246


183

Adapun bagian kedua ialah :

1. Agar kita tidak memperdulikan perkataan orang fasik sehingga kita

mendapat kepastian dan mengetahui hal yang sebenarnya.


2. Apabila salah satu golongan dari orang-oorang mukmin berbuat aniaya

terhadap golongan lain, maka wajib diperangi golongan yang aniaya

itu sehingga mau kembali kepada perintah Allah.


3. Allah menjadikan perdamaian sebagai suatu yang lebih disukai di

kalangan orang-orang beriman.


4. Larangan terhadap mengolok-olok, menghina dan memanggil dengan

gelar-gelar yang jelek.


5. Larangan terhadap berburuk sangka terhadap sesama muslim dan agar

jangan mencari-cari keburukan-keburukan yang tertutup dan

melakukan pergunjingan dan adu domba.


6. Seluruh manusia adalah sama, yakni diciptakan dari seorang lelaki dan

seorang perempuan, tidak ada kelebihan lagi seseorang atas seseorang

yang lain kecuali dengan takwa. 117

C. Tafsir Surat Al Hujurat Menurut Tafsir Fi Zilalil Qur`an

1. Bentuk Tafsir Fi Zhilalil Qur’an

Sudah disepakati bersama sebelumnya dalam kuliah Ulumul Qur’an saya

yang diampu Ibu Noor Rosyidah bahwa bentuk tafsir mengacu pada sumber yang

diambil dalam penafsiran, yaitu bil ra’yi dan bil ma’tsur. Berdasarkan studi

analisis terhadap kitab Fi Zhilalil Qur’an Jilid 1 yang memuat surat Al Fatihah dan

dan Al Baqarah, dan mempelajari keseluruhan kitab Fi Zhilalil Qur’an dari jilid 1

hingga jilid 13, maka dapat saya simpulkan bahwa kitab Fi Zhilalil Qur’an

termasuk dalam bentuk tafsir bil ra’yi. Alasannya adalah bahwa kitab ini tidak

menukil atau menyandarkan diri pada kitab-kitab yang sudah ada sebelumnya,
117 Ibid. hlm. 246-247
184

tetapi Sayyid Quthb yang memang berlatar belakang sastrawan dan seniman

muslim dengan hafalan Al-Qur’an yang kuat, menuliskan tafsir dengan akal atau

pendapat sendiri.

Sayyid Quthb menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan kaidah bahasa

(lughawi), ushul, konteks sosial kemasyarakatan yang pada waktu itu ia hidup di

Mesir. Hal yang sangat meyakinkan bahwa kitab Fi Zhilalil Qur’an merupakan

tafsir bil ra’yi adalah bahwa Sayyid Quthb samasekali tidak memakai referensi

kitab lain dalam menafsirkan Al-Qur’an. Akan tetapi di setiap menafsirkan ayat, ia

menggunakan pendapatnya secara langsung yang kemudian dituangkan dalam

tulisannya. Contohnya dalam surat Ibrahim ayat 13 dan 14:

‫وووقاَول ٱلنإذيِون وكوفنهرواذ لإهرهسنلإإهم لوهنخإروجنلهكنم يمنن وأرإضنوناَ وأو ولتونعهنوُهدلن إف إملتإنوناَ فونوأووحيىِ إلويِإهنم وربنيههنم‬
‫ف وموقناَإميِ وووخنناَ و‬ ‫ك لإومنن وخناَ و‬ ‫إإ إ‬
‫ض إمنن بوعندهم يوذلن و‬ ‫إ‬ ‫يإ إ‬ ‫إ‬
‫ف‬ ‫ وولونهسنكنوننلهكهم ٱلوأر و‬١٣ ‫ين‬ ‫لوهنهلوكلن ٱلظللم و‬
١٤ ‫ووإعيِإد‬
Berikut penafsiran yang ditulis Sayyid Quthb tentang ayat di atas:

“Sikap manusia yang mereka hadapi adalah sama, pengalamannya sama,

keyakinannya sama, ancamannya sama, dan yang dijanjikan untuk mereka pun

sama, yaitu yang dijanjikan kepada rombongan yang terhormat itu. Dan akibat

yang dinantikan juga sama, yaitu akibat yang dinantikan oleh orang-orang

mukmin di ujung perjalanan mereka, sedangkan mereka menghadapi kesewenang-

wenangan, teror dan ancaman.”

Dari kalimat di atas, Sayyid Quthb menggunakan pendapatnya sendiri

dalam menafsirkan ayat di atas, demikian juga penafsiran-penafsiran lain terhadap

ayat-ayat Al-Qur’an, ia samasekali tidak menukil dari pendapat ulama lain. Alasan

tersebut yang saya jadikan hujjah bahwa bentuk tafsir Fi Zhilalil Qur’an adalah
185

tafsir bil ra’yi, yaitu tafsir yang bersumber pada akal atau pendapat sendiri tanpa

menukilkan pada kitab lain. Berbeda dengan tafsir bil ma’tsur yang menukilkan

pada kitab atau referensi lain dan menuangkannya secara utuh tanpa melibatkan

pendapat pribadi.

2. Metode Tafsir Fi Zhilalil Qur’an

Metode tafsir merupakan suatu cara yang digunakan untuk menafsirkan Al-

Qur’an. Ada beberapa metode, yaitu tahlili (analisis), ijmali (global), muqaran

(komparasi) dan maudhu’i (tematik). Dari studi analisis terhadap kitab Fi Zhilalil

Qur’an, dapat saya simpulkan bahwa Fi Zhilalil Qur’an menggunakan metode

tafsir maudhu’i. Alasannya adalah bahwa metode yang ditempuh oleh Sayyid

Quthb untuk menjelaskan atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang suatu

permasalahan atau tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Al-Qur’an

yang membahas tema tersebut. Kemudian ayat-ayat itu dikaji secara komprehensif

dari berbagai aspek kajiannya.

Kita bisa melihat bahwa metode yang digunakan adalah maudhu’i pada

daftar isi, sebelum jauh mendalami isi tafsir. Di dalam daftar isi, Sayyid Quthb

menghimpun permasalahan secara tematik kemudian ia tafsirkan ayat-ayat untuk

menyelesaikan permasalahan itu. Apabila kita kaji lebih jauh, akan membuktikan

semakin kuat bahwa Fi Zhilalil Qur’an menggunakan metode maudhu’i. Coba kita

lihat seksama dalam tema: Seruan Umum Kepada Umat Manusia, kitab ini

menghimpun beberapa ayat untuk membahas tema tersebut, yaitu dengan surat al-

Baqarah: 21-22, al-Anbiya’: 30, dan hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas. Atau

masalah dengan tema: Golongan Munafik, yang menghimpun surat al-Baqarah 8-


186

16, 11-12, 13, 14, 15,16, 17-18, 19-20, untuk membahas tema yang sama, yaitu

Golongan Munafik. Oleh karena itu, saya menyatakan bahwa tafsir Fi Zhilalil

Qur’an adalah tafsir maudhu’i.

3. Corak Tafsir Fi Zhilalil Qur’an

Mengkaji masalah corak, maka sudah kita sepakati bersama bahwa corak

berhubungan dengan substansi atau isi tafsir, yakni meliputi tafsir fiqhi

(membahas masalah fiqh), tafsir falsafi (menggunakan pendekatan filsafat

termasuk ilmu kalam), tafsir ilmiy (membahas ilmu pengetahuan umum), dan

tafsir ijtima’I (masalah sosial kemasyarakatan).

Dari membaca biografi dan latar belakang Sayyid Quthb, kita bisa

pastikan bahwa tafsir Fi Zhilalil Qur’an membahas masalah sosial

kemasyarakatan, sehingga Fi Zhilalil Qur’an merupakan tafsir yang bercorak

ijtima’i. Namun hal itu tidak cukup membuktikan apakah ini tafsir ijtima’I atau

tidak. Perlu penelusuran yang cukup mendetail lagi, yaitu melihat substansi apa

yang dibahas dalam kitab tafsir ini.

Setelah menganalisis bahwa yang ditulis Sayyid Quthb memang memuat

persoalan sosial kemasyarakatan dan kritiknya terhadap kehidupan politik, maka

bisa memperkuat landasan bahwa rafsir Fi Zhilalil Qur’an adalah tafsir ijtima’i.

sebagai contoh adalah dalam Fi Zhilalil Qur’an membahas secara tematik tentang

Thalut, Kapabilitas, dan Profesionalitas Pemimpin, dan Kisahnya Khatimah. Atau

membahas masalah riba, zakat, tenggang rasa, jual-beli, infak, hukum wasiat,

puasa, talak, dan masih banyak lagi yang menyoroti masalah dari aspek sosial,

bukan pada fiqh, ilmu pengetahuan atau filsafat. Selain itu, jika ditinjau dari latar

belakang Sayyid Quthb dalam memahami Al-Qur’an bahwa Al-Qur’an diturunkan


187

pada kaum jahiliyah sehingga dapat menata akhlaknya, membenahi akidahnya,

menyembuhkan penyakit sosial politik. Sehingga akan semakin bisa menjadi

hujjah bahwa tafsir Fi Zhilalil Qur’an bercorak ijtima’i.

4. Kritik Tafsir Fi Zhilalil Qur’an

Dari segi pengetahuan tentang Al-Qur’an, Sayyid Quthb sudah tidak

diragukan lagi karena dari umur 10 tahun ia sudah bisa menghafal Al-Qur’an.

Perpaduan yang luar biasa antara sastra yang dibawa oleh Quthb untuk

menafsirkan Al-Qur’an, sehingga kita bisa melihat karya Fi Zhilalil Qur’an jika

kita baca tafsir ini memiliki gaya sastra, berbeda dengan karya-karya lain yang

terkesan kaku dan tidak enak dibaca. Sehingga ada yang mengatakan ini

merupakan tafsir bayani mengingat Quthb sangat memperhatikan kaidah

kepenulisan teks tafsir (lughawi).

Dari segi muatan sosial dan aspek personal Quthb, saya menilai karya ini

dipengaruhi kehidupan pribadi Quthb di mana ia dipenjara karena melontarkan

gagasan-gagasannya kepada pemerintahan. Di dalam penjara pula Quthb menulis

karya ini, sehingga terkesan antipati terhadap pemerintah Mesir yang saat itu

antikritik. Jika dikontekskan dalam kehidupan di luar Mesir, maka saya kira tafsir

ini perlu dikaji lebih mendalam karena sebagaimana para ulama mengatakan

bahwa pemikiran Sayyid Quthb inilah yang memicu radikalisme melawan

pemerintah mendirikan Negara Islam secara menyeluruh. Misalnya kita jumpai

pembahasan Quthb tentang bagaimana seorang Islam harus berIslam secara penuh
188

meski dalam konteks kenegaraan. Sehingga seringkali tafsir Fi Zhilalil Qur’an

dimaknai sebagai benih ideologi radikal. Atau kita bisa rasakan bahwa tafsir ini

sangat anti dengan modernisasi barat, dan mengatakan barat adalah jahiliah

modern. Inilah rasanya bagi saya sehingga saya mengkritik bahwa tafsir Fi

Zhilalil Qur’an sangat dipengaruhi psikologi, pribadi, kondisi sosial

kemasyarakatan Mesir pada waktu itu, sehingga nilai-nilai universal Al-Qur’an

tidak tampak dalam tafsir ini. Meskipun demikian, Fi Zhilalil Qur’an merupakan

karya monumental yang memiliki perjalanan besar dalam penciptaannya oleh

Sayyid Quthb.

Kitab tafsir Fi Zhilalil Qur’an karya Sayyid Quthb merupakan sebuah

tafsir yang memiliki bentuk tafsir bil ra’yi karena melandaskan pada argumen

pribadi, dengan metode maudhu’i karena menghimpun ayat Al-Qur’an untuk

membahas permasalahan yang tematik, dan dengan corak ijtima’i karena memiliki

substansi tafsir yang berisi permasalahan sosial kemasyarakatan, bukan membahas

fiqh, filsafat, atau ilmu pengetahuan.

6. Uraian Tafsir Fi Zhilalil Qur`an tentang Surat Al Hujurat ayat 1-18

Surah yang tidak lebih dari 18 ayat ini merupakan surah yang agung dan

besar, yang mengandung aneka hakikat akidah dan syariah yang penting;

mengandung berbagai hakikat wujud dan kemanusiaan. Hakikat ini membukakan

cakrawala yang luas dan jangkauan yang jauh bagi akal dan kalbu. Juga

menimbulkan pikiran yang dalam dan konsep yang penting bagi jiwa dan nalar.

Hakikat itu meliputi berbagai manhaj penciptaan, penataan, kaidah-kaidah


189

pendidikan dan pembinaan, prinsip-prinsip penetapan hokum dan pengarahan.

Pada hal, kuantitas dan jumlah ayatnya kurang dari ratusan.

Surah ini menyuguhkan dua perkara yang maha penting untuk

direnungkan dan dipikirkan. Hal yang pertama kali muncul tatkala mulai

menelaah surah ini ialah bahwa nyaris semua ayatnya menata berbagai dunia yang

sempurna. Dunia yang tinggi, mulia, bersih, dan sehat. Dunia yang memiliki

berbagai kaidah, landasan, prinsip, dan manhaj yang menjadi fondasi bagi dunia

itu, yang menjamin tegak dan terpeliharanya dunia tersebut. Itulah dunia yang

bersumber dari Allah, mengacu kepada Allah, dan layak untuk dinisbatkan dengan

Allah. Itulah dunia yang membuat kalbu menjadi suci, perasaan menjadi bersih,

lisan terpelihara, dan akhirnya jiwa menjadi suci. Itulah dunia yang memiliki etika

dengan Allah, etika dengan Rasul-Nya, etika dengan diri manusia sendiri, dan

etika dengan orang lain, etika yang ada dalam gejolak hatinya, dan etika dalam

dinamika anggota badannya.

Pada saat yang bersamaan, dunia itu memiliki aneka tatanan yang

mengatur aneka situasinya; tatanan yang menjamin terpeliharanya dunia tersebut.

Tatanan itu berupa syariat dan system yang menjadi landasan dan sumber bagi

etika yang selaras dengan dunia itu. Sehingga tercapailah keserasian antara

batiniah dunia ini dan lahiriahnya. Bertautlah antara syariat dan perasaan,

seimbanglah antara dorongan dan pengendalian, dan harmonislah antara langkah

dan perasaan ketika seseorang melangkah maju kepada Allah.

Karena itu, tegak dan terpeliharanya dunia yang adil, mulia, bersih, dan

sehat ini tidak hanya diserahkan pada etika hati dan kebersihan rasa. Tidak hanya

diserahkan pada penataan dan pengaturan. Tetapi juga, diserahkan pada kegiatan
190

mempertemukan etika dan aturan secara harmonis dan serasi. Demikian pula

dunia ini tidak hanya dipasrahkan pada system pemerintahan dan mekanismenya.

Tetapi, juga pada mekanisme elaksanaan dan kewajiban dan aktivitas antara

rakyat dan pemerintah serta antara pemerintah dan individu dalam rangka kerja

sama dan keserasian.

Itulah dunia yang memiliki etika dengan Allah dan dengan Rasul Allah.

Etika ini terrcermin dalam emahaman tentang keterbatasan hamba di depan

Tuhannya dan pemahaman tentang Rasul yang menyampaikan wahyu dari

Tuhannya,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-
Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.” (al-Hujuraat : 1)
Hamba yang beriman tidak boleh mendahului Tuhannya dalam masalah

perintah dan larangan. Jangan member-nya saran tentang hokum dan keputusan.

Jangan melampaui apa yang diperintahlkan dan dilarang-Nya. Dan jangan

memberikan peluang kepada dirinya (hamba yang beriman) untuk berkehendak

dan berpendapat tentang makhluk-Nya sebagai wujud ketakwaan dan ketakutan

terhadap-Nya; wujud rasa malu dan kesopanan epada-Nya.

Seorang hamba memliliki etika khusus saat berbicara dengan rasulullah

untu menghormatinya.

“Hai orang-orang yang beriamn, janganlah kamu meninggikan suaramulebih


dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang
kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain supaya tidak hapus
(pahala) amal-amalanmu sedangnya kamu sedangkan kamu tidak menyadari.
Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya rasulullah dan yang
merendahkan dirinya. Sesungguuhnya orang-orang yang direndahkan kamu tidak
menyadari. Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya disisi
Radullulah mereka itulah orang –orang soalnya disisi seseorang orang-orang
yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa, bagi mereka ampunan
dan pahal yang besat. Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari
luar kamar (mu) kebanyakan mereka tidak mengerti; dan kalau mereka bersabar
191

sampai amu keluar menemui mereka, sesungguhnya itu adalah lebih baik bagi
mereka, dan Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang. “(Al-Hujurat 2-5)
Itulah dunia yang memiliki manhaj sendiri dalam meneguhkan tutur kata
dan tindakan serta dalam menguatkannya dari sumbernya sebelum memutuskan
perkataan dan tinda kan. Manhaj ini berlandaskan ketakwaan kepada Allah dan
118

kepatuhan kepada Rasulullah tanpa mendahuluinya serta tidak menyarankannya,


jika tidak meminta atau diperintahkan,
”Hai oranr-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fask membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaanya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu. Ketahuilah olehmu bahwa dikalangan
kamu ada Rasulullah. Kalau beliau menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa
urusan, benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan. Tetapi Allah
menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam
hatimu dan menjadikan hatimu benci kepada kekafiran, kefaskan, dan
kedurhakaan. Mereka itu lah orang-orang yang mengikuti jaln yang lurus, sebagi
karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.”(al-Hujuraat : 6-8)
Itulah dunia yang memiliki sistem dan mekanisme praktis dalam

menghadapi perselisihan, fitnah, gossip, dan gejolak yang terjadi di dunia itu jika

dibiarkan tanpa ditangani. Seorang mukmin hendaklah menghadapinya dengan

mekanisme praktis yang bersumber dari prinsip persaudaraan diantara kaum

mukmin, dari hakikat keadilan dan keselarasan, dan dari ketakwaan kepada Allah

serta harapan untuk mendapatkan rahmat dan keridhaan-Nya,

“Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang damaikanlah


diantara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya
terhadap golongan yang yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat
aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan
itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah diantara keduanya
dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang0orang
yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang yang mukmin adalah bersaudara.

118 Quthb Sayyid, Fi Zhilalil-Qur’an, terj. As’ad Yasin dkk, (Jakarta : Gema Insani, 2004),
Cet. I, hlm. 407.
192

Karena itu, damaikanlah diantara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada


Allah supaya kamu mendapat rfahmat.” (al-Hujuraat: 9-10)
Itulah dunia yang memiliki etka psikologis menyangkut perasaan sebagian

orang terhadap orang lain. Itulah dunia yang memiliki etika berperilaku tatkala

berinteraksi diantara hamba, 119

“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum


yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari
mereka (yang mengolok-olokkan). Jangan pula wanita-wanita (mengolok-
olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan)
lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan).janganlah kamu mencela dirimu
sendiri dan janganlah kamu memangil-manggil dengan gelar-gelar yang buruk.
Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman. Dan,
barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang zalim.” (al-
Hujuraat : 11)
Itulah dunia yang membershkan perasaan, menjamin segala penghormatan,

dan memelihara perkara, baik saat pemiliknya ada maupun tidak ada. Dalam dunia

ini seseorang tidak diperlakukan berdasarkan dugaan, kerahasiaannya tdak

disingkapkan, serta keselamatan, kemuliaan dan kebebasannya, tidak boleh

diganggu sedikit pun, 120

“Hai orang-orang yang beriman , jauhilah kebanyakan dari prasangka


sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing
sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging
saudaranya yang sudah mati. Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan,
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerma tobat lagi Maha
Penyayang.” (al-Hujuraat : 12)
Itulah dunia yang memiliki gagasan sempurna tentang persatuan umat

manusia yang berbeda jenis dan berlainan suku. Dunia ini memiliki satu

pertimbangan yang berfungsi menanta seluruh umat manusia, yaitu pertimbangan

Allah yang bersih dari kepentingan hawa nafsu dan dari kekeliruaan, hal 408

“Hai manusia, seseungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki


dan seorang wanita serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya oranag yang paling mulia diantara

119 Ibid. hlm. 408


120 Ibid. hlm. 408
193

kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengenal.” (al-Hujurat : 13)
setelah surah ini menyajikan beberapa kebenaran agung yang melukiskan

berbagai tanda dari dunia yang adil, mulia, bersih, dan sehat, maka dikemukakan

tanda-tanda keimanan. Dengan identitas keimanan inilah kaum mukminin diseur

untuk menegakkan dunia tersebut. Dengan identitas keimanan itulah mereka

dibisiki agar merespons seruan Allah yang mengajak mereka supaya

melaksanakan berbagai tugas dengan siffat elok yang mendorong untuk

merespons dan mematuhinya. Dia menyeru, “Hai orang-orang yang beriaman

…” 121

itulah panggilan kesayangan yang membuat seseorang yang dipanggil

merasa malu, jika dia tidak memenuhi panggilan itu. Itulah panggilan yang

membuat segala beban menjadi midah, segala penderitaan menjadi ringan dan

semua hati menjadi rindu, lalu dia menyimak dan menjawab,

“Orang-orang Arab Badui itu berate,’Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada


mereka),” Kamu belum beriman, tetapi katakanlah,’Kami telah tunduk.’ Karena
iman itu belum masuk kedalam hatimu. Jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-
Nya, dia tiada akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu. Sesunggunya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ Sesungguhnya orang-orang yang
beriman hanya orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Kemudia
mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada
jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. Katakanlah (kepada
mereka),’Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang
agamamu(keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan
apa yang ada dibumi serta Allah Maha Mengetahui segala sesuatu?””(al-
Hujuraat : 14-16)

Akhir surah menyingkapkan betapa besarnya anugerah Tuhan yang

dimiliki manusia. Yaitu, anugerah keimanan yang diberikan kepada orang yang

dikehendaki-Nya sesuai dengan hak orang itu menurut pengetahuan-Nya,

121 Ibid. hlm. 408-409


194

“Mereka telah merasa member nikmat kepada mu dengan keIslaman mereka.


Katakanlah,’Janganlah kamu merasa telah member nikmat kepadaku dengan
keIslamanmu. Sebenarnya Allah Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu
dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang
benar. ‘Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi.
Dan, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-Hujuraat : 17-18) 122
Persoalan kedua yang hendak ditonjolkan kepada manusia melalui surah

ini dan melalui perenungan terhadap aneka peristiwa yang menyertai turunnya

ayat ni ialah upaya yang besar, kokoh, dan terus menerus. Hal ini sebagaimana

tercermin dari berbagai pengarahan Al-Qur’anul-Karim dan pendidikan kenabian

yang bijaksana, dalam membangun dan membina kelompok muslim seperti yanag

dilukiskan oleh dunia yang adil, mulia, bersih, dan sehat, yang akan menjadikan

kenyataan dibumi ini pada suatu hari. Sejak itu tidak ada lagi gagasan ideal dan

angan-angan tentang dunia yang bergejolak didalam pikiran.

Masyarakat ideal yang mencerminkan kebenaran realistis dalam suatu

periode sejarah tidaklah tumbuh secara tiba-tiba, tidak berwujud secara kebetulan,

dan tidak dapat diciptakan dalam satu hari atau satu malam. Demikian pula ia

tidak lahir sebagai hasil sebuah tiupan yang emudian mengubah karakter segala

hal dalam sekaligus dan sekejap mata. Namun, masyarakat itu tumbuh secara

alamiah dan perlahan sebagaimana sebatang pohon yang tumbuh menjulang

dengan akar yang menhunjam. Pohon ini memerlukana pertumbuha dalam waktu

yang lama.

Demikian pula terwujudnya masyarakat masyarakat tersebut memerlukan

upaya yang terus-menerus, konsisten, dan berkesinambungan. Masyarakat yang

demikian memerlukan perhatian ekstra, kesabaran yang panjang, dan upaya yang

122 Ibid. hlm. 409


195

cermat dalam membina dan memangun, mengarahkan, dan mengendalikan, serta

menguatkan dan mengokohkan. Masyarakat demikian mununtut adanya aneka

pengalaman praktis yang berulang-ulang serta ujian berat yang tidak sedikit, di

samping pengambilan pelajaran dari pengalaman dari ujian tersebut.

Dalam seluruh upaya ini tercermin pemeliharaan Allah terhadap

pemilihana masyarakat tersebut, berdasarkan pengetahuan-Nya, untuk memikul

amanah yang besar ini dan merealisasikan kehendak Allah dibumi melalui

masyarakat itu. Semua itu disertai dengan aneka karunia yang terpendam dalam

kesiapan yang tersimpan pada generasi itu dan yang tersimpan dalam situasi serta

kondisi yang tersedia. Dengan semua ini, terbitlah masyarakat yang menabjubkan

dalam sejarah umat manusia sebagai sebuah kenyataan yang tampak dari

kejauhan. Atau, ia hanyalah sebagai cita-cita yang tumbuh dalam kalbu atau

impian yang terbang dalam khayalan..

Adab berbicara kepada Nabi saw.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-
Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar
janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi. Janganlah kamu
berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian
kamu terhadap bagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala)amalanmu
sedangkan kamu tidak menyadari. Sesungguhnya orang-orang yangmerendahkan
suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang diuji hati mereka
oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.
Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar (mu)
kebanyakan mereka tidak mengerti. Dan, kalau mereka bersabar sampai kamu
keluar menemui mereka, sesungguhnya itu adalah lebih baik bagi mereka. Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Hujuraat : 1-5)

Surah ini dimulai dengan seruan kesayangan dan seruan yang


menggetarkan kalbu, “Hai orang-orang yang beriman.” 123

123 Ibid. hlm. 409-410


196

Inilah seruan dari Allah bagi orang-orang yang beriman kepada Allah yang

gaib. Seruan yang menggetarkan kalbu mereka sehingga mengikatkannya dengan

Allah. Seruan yang memberitahukan bahwa mereka memiliki Allah; mereka

mengusung tanda-tanda-Nya; mereka merupakan hamba dan tentara-Nya di planet

ini; mereka berada disana untuk suatu hal yang telah di tetapkan dan di kehendaki-

Nya; serta dia menjadikan keimanan itu disukai dan dipandang indah oleh hati

mereka bagi orang-orang tertentu sebagai karunia dari-Nya.

Sepantasnyalah mereka berdiri di tempat yang dikehendaki-Nya. Berdiri

dihadapan Allah dalam sikap sebagai seseorang yang menanti keputusan dan

pengarahan-Nya menyangkut dirinya dan orang lain. Lalu, dia melaksanakan apa

yang di perintahkan-Nya, rela terhadap apa yang diberikan-Nya dan menerima

serta pasrah,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-
Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mmendengar lagi
Maha Mengetahui.” (al-Hujurraat : 1) 124

Hai orang-orang yang beriman, janganlah memberikan saran kepada Allah

dan Rasul-Nya, saran menyangkut dirimu sendiri atau menyangkut persoalan

kehidupan dilingkunganmu. Janganlah kamu mengatakan sesuatu sebelum Allah

mengatakanya melalui rasul-Nya. Dan, janganlah kamu melakukan sesuatu yang

tidak dapat kamu rujukkan kepada firman Allah dan sabda Rasul-Nya.

Qatadah menafsirkan,”Diriwayatkan bahwa sejumlah orang

berkata,’andaikan diturunkan ayat mengenai anu dan anu ….Andaikan

demikian.’Allah tidak menyukai hal itu.”

Al-Aufi menafsirkan,”Mereka dilarang berbicara di hadapan Allah.”

124 Ibid. hlm. 410


197

Mujahid menafsirkan,”Janganlah meminta fatwa kepada Rasulullah

tentang sesuatu sebelum Allah memutuskan melalui lisan Nabi-Nya.”

Adh-Dhahhak menafsirkan,”Jangnlah kamu meutuskan suatu persoalan

yang menyangkut syariat agamamu tanpa Allah dan Rasul-Nya.”

Ali bin Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dia menafsirkan,

“Jnganlah kamu berkata dengan menyalahi Kitab Allah dan Sunnah Rasulnya.”

Itulah etika seorang individu dengan Allah dan Rasul-Nya. Itulah manhaj

dalam menerima dan melaksanakan sesuatu. Itulah salah satu pokok syariat dan

cara bertindak sepanjang waktu. Etioka itu bersumber dari ketakwaan kepada

Allah dan merujuk kepadanya. Ketakwaan ini bersumber dari perasaan bahwa

Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Semua itu disajikan dalam satu

ayat yang pendek, tetapi menyentuh dan menggambarkan segala haikikat yang

pokok dan penting.

Demikianlah, kaum mukminin menjadi terdidik dalam berhubungan

dengan Allah dan Rasul-Nya. Maka tiada lagis seorang pun diantara mereka yang

memberi saran kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada seorang pun diantara

mereka yang menawarkan sebuah gagasan yang tidak diminta oleh Rasulullah.

Tidak ada lagi seorang pun di antara mereka yang menetapkan atau memutuskan

sesuatu dengan pikiran melainkan dia merujukkan kepada firma Allah dan sabda

Rasulullah.

Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari

Mu’adz r.a. bahwa tatkala Nani saw. Mengutusnya ke Yaman, beliau bersabda,

“Dengan apakah kamu memutuskan ?” Mu’adz menjawab, “Dengan Kitab Allah.”

Nabi saw bersabda, “Jika kamu tidak menemukannya?” Mu’adz menjawab,


198

“Dengan Sunnah Rasulullah.”Nabi saw bersabda, “Jika kamu tidak

menemukannya?” Mu’adz r.a. berkata,”Aku akan berijtihad dengan pikiranku.”

Lalu Nabi saw.menepuk dada Mu’adz seraya bersabda, “Segala puji bagi Allah

Yang telah membantu Rasul Allah dengan apa yang diridhai oleh Rasul Allah.”

Bahkan, Rasulullah menanyakan kepada para sahabat tentang hari yang

tengah mereka lalui dan tentang tempat dimanamereka berada, sedang mereka

benar-benar mengetahui hari atau tempat itu, mereka merasa segan menjawab

kecuali dengan ungkapan, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Mereka

khawatir jika jawabannya itu dipandang mendahului Allah dan Rasul-Nya.

Dalah hadits Abu Bakrah Nfi’ibnu Harits ats-Tsakafi ditegaskan bahwa

pada haji wada’Nabi saw. Bertanya, “Bulan apakah ini?” maka, dijawab,”Allah

dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau diam, sehingga para sahabat mengira

bawa beliau akan menamainya dengan nama lain. Beliau bertanya kembali,

“Bukankah sekarang bulan Zulhijjah?” mereka menjawab, “Benar.” Beliau

bertanya, “Negeri pakah ini?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih

mengetahui.” Beliau diam, sehingga kami mengira bahwa beliau akan

menamainya dengan nama lain. Beliau bertanya kembali, “Bukankah negeri ini

adalah tanah haram?” mereka menjawab, “Benar.” Beliau bertanya, “Hari apakah

ini?” Mereka menjaab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui,”Beliau diam,

sehingga kami mengira bahwa beliau akan menamainya dengan nama lain. Beliau

bertanya kembali, “Bukankah sekarang merupakan hari Nahar?” mereka

menjawab,”Benar.”

Itulah gambaran etika. Keseganan dan ketakwaan sebagai buah yang diraih

kaum muslimin setelah mereka mendengar seruan, pengarah, dan isyarat supaya
199

bertakwa. Yaitu, bertakwa kepada Allah yang Maha Mendengar lagi Maha

Mengetahui. 125

Kedua ialah etika mereka terhadap Nai saw, dalam berbicara, berdialog,

dan dalam memberikan penghormatan dari dalam hati bercermin dari volume dan

nada suara. Etika yang membedakan sosok Rasulullah dari selainnya dan

membedakan majelis beliau dari majelis selainya. Allah menyerukan hal itu

kepada mereka dengan seruan kesayangan dan mewanti-wanti mereka agar tidak

menyalahi peringatan tersebut,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih


dari suara Nabi . janganlah kamu erkata kepadanya dengan suara keras
sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain,
supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (al-
Hujuraat : 2).

Hai orang-orang yang beriman...., hendaklah mereka menghormati Nabi

saw. Yang menyeru mereka pada keimanan ....,supaya amalmu tidak terhapus

tanpa kamu sadari .... Hendaklah kamu waspada dari kekeliruan yang

emmbuahkan terhapusnya amal, sedang kamu menyadari dan mengetahuinya.

Hendaklah kamu hati-hati.

Seruan kesayangan dan wanti-wanti yang ditakuti itu elah menimbulka

pengaruh yang kuat di dalam diri mereka.

Al-Bukhari mengatakan bahwa Basarah bin Shafwan al-Lakhmi

menceritakan dari Nafi’bin Umar dari Ibnu Abi Malikah bahwa dia berkata, “Dua

orang pilihan, yaitu Abu Bakar dan Umar nyaris binasa. Keduanya berkata keras

di dekat Nabi tatkala beliau ditemui oleh rombongan penunggang bani Tamim

pada tahun ke-7 Hijrah. Salah seorang dari keduanya (Abu Bakaer atau Umar)

125 Ibid. hlm. 410-411


200

menunjuk Aqra bin Habis r.a. saudara bani mujasyi supaya dia menjadi ketua bani

Tamim, sedang yang satu lagi menunjuk orang lain.

Perawi lupa nama orang yang ditunjuk oleh salah seorang sahabat dekat

Rasulullah itu. Namun, sebuah riwayat mengatakan bahwa dia bernama al-Qa’qa

bin Ma’bad. Maka, berkatalah Abu Bakar kepada Umar, “Kamu selalu ingin

menentangku.’ 126

Umar menjawab,’Aku tidak bermaksud menentangmu.’ Lalu terjadilah

pertengkaran di antara keduanya mengenai masalah itu. Lalu Allah menurunkan

ayat,

‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu


lebih dari suara Nabi. Janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara
keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian
yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak
menyadari.””(al-Hujuraat :2) 127

Ibnu Zubair berkata, “Sejak ayat ini turun, tidaklah Umar mendengar

sabda Rasulullah melainkan dia berupaya memahaminya. Diriwayatkan pula dari

Abu Bakar bahwa tatkala ayat di atas turun, dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, demi

Allah, aku tidak akan berbicara kepada mu kecuali seperti kepada saudara yang

memegang rahasia.’ Maksudnya, berbicara dengan berbisik.”

Imam Ahmad mengatakan bahwa Hasyimmenceritakan dari Sulaiman

ibnu-Mughirah, dari Tsabit, dari Anas bin Malik r.a., bahwa dia berkata, “Takala

ayat di atas (al-Hujurrat ayat 2) diturunkan, sedang Tsabit bin Qais bin asy-

Syamas adalah orang bersuara lantang, maka dia berkata, ‘Akulah orang yang

paling tinggi suaranya di dekat Rasulullah. Aku termasuk penghuni neraka.

Hapuslah seluruh amalku.’ Dia pun termangu sedih di rumahnya.

126 Ibid. hlm. 411


127 Ibid. hlm. 412
201

Rasulullah merasa kehilangan dia, lalu sekelompok orang menemuinya.

Mereka berkata, ‘Rasulullah merasa kehilanganmu! Ada apa denganmu?’ Dia

menjawab, ‘Akulah orang yang mengalahkan suara Rasulullah dan yang paling

keras saat berbicara di dekat beliau. Sehingga, seluruh amalku terhapus dan aku

menjadi penghuni neraka.’ Mereka menemui Rasulullah saw. seraya

menyampaikan perkataan Tsabit bim Qais. Nabi saw. bersabda, Tidak, justru dia

merupakan ahli surga.’ Anas berkata, ‘Maka, kami dapat melihatnya berjalan

diantara kami, sedang kami mengetahui bahwa dia merupakan ahli surge.’”

Demikianlah, hati mereka gemetar dan berguncang karena pengaruh

seruan kesayangan dan seruan supaya wanti-wanti. Demikianlah, merek menjadi

sopan di dekat Rasulullah karena khawatir amalnya terhapus tanpa mereka sadari.

Jika mereka menyadari, niscaya diperbaikilah persoalannya. Namun, kekeliruan

yang takut hingga memelihara diri dari bersuara keras.

Allah mengangkat ketakwaan mereka dan perlahannya suara mereka di


dekat Rasulullah melalui ungkapan yang menakjubkan.
“sesungguhnya orang-oraang yang merendahan suaranya di sisi
Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hai mereka oleh Allah
untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.’” (al-Hujurat: 3)
128

Ketakwan merupakan anugrah yang besar. Allah memiliki kalbu yang akan

menerimanya setelah ia diuji, dicoba, dibersihkan, dan diseleksi. Maka, tidaklah

ketakwaan disimpan dalam suatu kalbu melainkan ia sudah siap untuk

menerimanya dan telah diputuskan bahwa kalbu itu berhak menerimanya. Orang-

orang yang merendahkan suaranya di dekat Rasulullah merupakan orang yang

kalbunya telah diuji Allah dan disiapkan untuk menerima anugerah itu. Yakni

128 Ibid. hlm. 412


202

anugerah ketakwaan yang telah diputuskan untuk diberikan kepada kalbu tersebut.

Melalui anugerah ini, diraih pula maghfirah ‘ampunan’ dan pahala yang besar.

Itulah targib yang dalam setelah mereka diwanti-wanti. Melalaui ayat itu,

Allah membina kalbu hamba-hamba-Nya yang terpilih dan mempersiapkannya

untuk menerima perkara penting guna membangkitkan dada agar mengikuti

petunjuk melalui pendidikan dan cahaya ini.

Diriwayatkan dari Amirul Mu’minin Umar Ibnu Khaththab r.a bahwa dia

memdengar dua laki-laki bersuara keras di mesjid Nabi saw. . umar

menghampirinya dan berkata,”Tahukah kamu dimana kamu berada?” Lalu Umar

bertanya, “Dari mana kamu?” keduanya menjawab, “Dari Tha’if.” Umar berkata,

“Andaikan kamu penduduk Madinah, niscaya ku pukul dengan keras.”

Para ulama umat ini menegaska bahwa dimakruhkan mengeraskan suara di

dekat pusara Nabi saw. sebagaimana hal itu dimakruhkan tatkala beliau hidup. Hal

ini untuk memuliakannya dalam segala keadaan.

Kemudian Allah mengisayaratkan peristiwa yang dilakukan utusan bani

Tamim tatkala mereka datang untuk menemui Rasulullah pada tahun ke 9 Hijriah

yang juga disebut tahun utusan karena banyaknya utusan masyarakat badui yang

datang dari berbagai tempat setelah jatuhnya kota Mekah. Mereka datang untuk

masuk Islam. Mereka adalah orang Badui yang bertabiat kasar. Sehingga mereka

memanggil istri-istri Nabi saw. dari balik kamar-kamar para istri beliau yang

menempel dengan masjid Nabi yang mulia. Mereka berseru, “Hai Muhammad,

temuilah kami!” Nabi saw. tidak menyukai kekasaran dan gangguan ini. Maka

diturunkanlah firman Allah,

“Sesungguhnya orang-orang yang memanggil amu dari luar kamar(mu)


kebanyakan mereka tidak mengerti. Dan, kalau mereka bersabar sampai kamu
203

keluar menemui mereka, sesungguhnya itu adalah lenih baik bagi mereka. Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Hujuraat : 4-5) 129
Allah menerangkan bahwa mayoritas mereka tidak berakal. Dia tidak

menyukai mereka yang memanggil dengan cara yang bertentangan dengan etika

dan kesantunan yang sesuai dengan pribadi Nabi saw. dan kehormatan Rasulullah

sebagai panglima dan pendidik. Allah menerangkan kepada mereka yang lebih

baik dan utama, yaitu bersabar dan menunggu sehingga beliau menemui mereka.

Allah mendorong mereka supaya bertaubat dan kembali serta menyukai ampunan

dan rahmat.

Kaum muslimin menyadari etika yang tinggi ini. Lalu, etika tersebut

mereka tetapkan pula kepada guru dan ulama. Mereka tidak mau mengganggu

ulama sehingga dia sendiri datang menemui dan tidak mau menjumpainya kecuali

ulama itu memanggilnya. Diceritakan dari Abu Ubaid, seorang ulama yang zuhud,

bahwa dia berkata, “Aku tidak pernah mengetuk pintu rumah ulama, tetapi aku

menunggunya hingga dia keluar pada saatnya.”

Menykapi Kabar Burung

”Hai oranr-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fask membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaanya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu. Ketahuilah olehmu bahwa dikalangan
kamu ada Rasulullah. Kalau beliau menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa
urusan, benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan. Tetapi Allah
menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam
hatimu dan menjadikan hatimu benci kepada kekafiran, kefaskan, dan
kedurhakaan. Mereka itu lah orang-orang yang mengikuti jaln yang lurus, sebagi
karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.”(al-Hujuraat : 6-8). 130

Seruan pertama untuk menegaskan pihak yang memiliki kepemimpinan

dan sumber perintah. Sedangkan, seruan kedua untuk menegaskan etika dan

129 Ibid. hlm. 412-413


130 Ibid. hlm. 413
204

kesantunan yang patut diterapkan kepada pemimpin. Kedua seruan ini merupakan

fondasi bagi seluruuh arahan dan tatanan di dalam surah ini. Maka, sangatlah

penting ada kejelasan sumber yang menjadi rujukan kaum mukminin dan

ketegasan tentang kedudukan rujukan itu. Juga kesantunan terhadapnya agar

aneka pengarahan menjadi bernilai, berbobot, dan dipatuhi.

Karena itu, muncullah seruan ketiga yang menerangkan kepada kaum


mukmini agaimana sepatutnya mereka menerima berita dan bagaimana
memperlakukannya. Seruan ini menegaskan pentingnya perujukan kepada sumber
berita,
”Hai oranr-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fask membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaanya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu.(al-Hujuraat : 6) 131
Allah memfokuskan orang fasik sebab ia dicurigai sebagai sumber

kebohongan dan agar keraguan tidak menyebar dikalangan kaum muslimin karena

berita yang disebarkan oleh setiap individunya, lalu ia menodai informasi. Pada

prinsipnya, hendaklah setiap individu kaum muslimin menjadi sumber berita yang

terpercaya dan hendaknya berita itu benar serta dapat dijadikan pegangan. Adapun

orang fasik, maka dia menjadi sumber keraguan sehingga hal ini menjadi

ketetapan.

Dengan cara seperti itu, urusan umat menjadi stabil dan moderat diantara

mengambil dan menolak berita yang sampai kepadanya. Kaum muslimin angan

tergesa-gesa bertindak berdasarkan berita dari orang fasik. Pasalnya, ketergesa-

gesaan itu bisa membuatnya bertindak zalim kepada suatu kaum sehingga

menyesal karena melakukan perbuatan yang dimurkai Allah serta tidak

mempertahankan kebenaran dan keadilan.

131 Ibid. hlm. 413


205

Banyak mufasir yang mengemukakan bahwa ayat di atas diturunkan

berkenaan dengan Al-Wahid bin Uqbah bun Abi Mu’ith yang diutus oleh

Rosulullah untuk mengumpulkan zakat dari bani al-Mustahiq. Ibnu Kaysir

mengatakan bahwa Mujahid dan Qatadah berkata, “Rasulullah mengutus al-Walid

bin Uqbah kepada bani Mustahiq untuk mengambil zakat mereka. Dia menjumpai

mereka telah berkerumun dengan zakatnya. Al-Wlid kembali seraya berkata,

‘Bani Mustahiq telah berkumpul untuk memerangimu.’ (Dalam riwayat Qatadah

dikatakan bahwa al-Walid menambah dengan, ‘Mereka telah keluar dari agama

Islam.’)

Maka, Rasulullah mengutus halid ibnu-Walid untuk menemui mereka.

Beliau menyuruhnya untuk berhati-hati dan tidak tergesa-gesa. Berangkatlah

Khalid dan tiba di tempat mereka pada malam hari. Dia menyebarkan mata-mata.

Setah tiba, mereka melapor kepada Khalid bahwa bani Mustahiq adalah orang-

orang yang tetap memegang teguh Islam. Mata-mata masih mendengar azan dan

bacaan shalat mereka.

Keesokan harinya, Khalid menemui mereka dan melihat sesuatu yang

mengesanannya. Khalid pun kembali kepa Rasulullah seraya menyampaikan

berita yang sebenarnya. Lalu Allah menurunkan ayat di atas. (Qatadah berkata,

“Saat itu Rasulullah saw.bersabda. ‘Kehati-hatian dari Allah, sedangkan

ketergesa-gesaan dari setan.”).

Riwayat di atas tidak hanya dikemukakan oleh ulama salaf. Tetapi,

dikemukakn oleh yang lainnya seperti Ibnu Abi Laila, Yazid bin Rauman, adh-

Dhahhak, Muuqatil bin Hayyann, dan ulama lainnya yang mengatakan bahwa ayat

itu berkaitan dengan Al-Walid bin ‘Uqbah. Wallahu a’lam.


206

Ayat di atas bermakna umum, yaitu mengandung prinsip selektif dan hati-

hati informasi dari orang fasik. Adapun berita dari orang shaleh dapat diambil,

sebab dialah pangkal di dalam kelompok mukmin. Sedangkan, berita orang fasik

dikecualikan. Mengambil berita orang sshaleh merupakan bagian dari manhaj

kehati-hatian, sebab dia merupakan salah satu sumber berita. Adapun keraguan

yang tersebar semua sumber dan semua informasi adalah bertentangan dengan

pangkal kepercayaan yang semestinya berada dalam kelompok mukmin.

Keraguan juga dapat menghambat gerak kehidupan dan keteraturannya di

kalangan kelompok mukmin.

Islam menghendaki kehidupan itu berjalan pada jalur yang alamiah. Islam

hanya memasang pagar dan jaminan demi memelihara kehidupan itu, bukan untuk

melantarkannya. Inilah model kebebasan untuk mengambil berita dari sumbernya,

yang disertai dengan pengecualian.

Dari riwayat di atas jelaskan bahwa sebagian kaum muslimin beraksi atas

berita yang disampaikan oleh al-Walid bin Uqbah begitu mereka mendengarnya

serta mereka menyarankan agar Nabi saw.segera menindak mereka.Reaksi

sedemikian sebagian wujud pemeliharaan kelompok ini terhadap agamanya dan

wujud kemarahan kepada orang yang menolak zakat. Kemudian ayat berikutnya

tampil mengingatkan mereka akan kebenaran yang hakiki dan nikmat yang besar

yang ada ditengah-tengah mereka. Tujuannya supaya mereka memahami nilainya

dan senantiasa ingat terhadap keberadaan nikmat yang besar itu, “Dan ketahuilah

olehmu bahwa dikalangan kamu ada Rasulullah.”

Itulah kebenaran yang dilukiskan dengan mudah karena ia benar-benar

terjadi dan realistis. Namun, tatkala berita itu direnungkan, tampaklah sesuatu
207

yang mencengangkan dan nyaris tak dapat dilukiskan. Apakah sesuatu yang

mudah bagi manusia untuk menuliskan pertautan antara langit dan bumi secara

berkesinambungan dalam kehidupan nyata?

Langit megatakan kepada bumi dan menginformasikan kepada

penduduknya ihwal keadaan mereka dan perilakunya yang nyata dan

bersembunyi. Langit meluruskan langkah mereka selangkah-demi selangkah.

Langit mengarahkan mereka pada urusan pribadi dan urusan-urusan yang lainnya.

Lalu, salah satu diantara mereka melakukan suatu tindakan dan melontarkan suatu

pernyataan dan adapula yang berjalan dengan was-was. Tiba-tiba langit menatap.

Maka, tiba-tiba Allah yang mahaagung memberitahukan kepada Rasul-

Nya tentang apa yang telah terjadi. Kemudian mengarahkannya kepada apa yang

semestinya dilakukan dan dikatakan dalam dunia nyata ini. Itulah suatu perkara.

Itulah suatu berita yang sangat besar. Itulah hakikat yang mengejutkan sehingga

orang yang melihat hakikat itu berada dihadapannya, justru dia tidak mengetahui

kebesarannya. Karena itu, diingatkanlah akan keberadaan hakikat tersebut melalui

reaksi ini,

“Dan ketahuilah olehmu bahwa dikalangan kamu ada Rasulullah….”

Kethuilah beliau dan hormatilah berliau dengan sungguh-sungguh. Beliau

merupakan perkara yang besar. 132

Salah-satu dari tuntutan dari pengetahuan tentang adanya perkara yang

besar ini ialah kaum mukminin tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya. Namun,

pengarahan itu semakin menambah kejelasan dan kekuatan bagi mereka. Allah

memberitahukan kepada mereka bahwa pengaturan Rasulullah kepada mereka itu

didasarkan pada wahyu Allah atau ilham-Nya yang mengandung kebaikan, kasih
132 Ibid. hlm. 413-415
208

saying, dan kemudahan bagi mereka. Jika dia menaati sesuatu yang menurut

mereka itu penting, niscaya peroalan yang dihadapinya menjadi sulit. Allah lebih

mengetahui daripada mereka mengenai apa yang terbaik bagi mereka Rasulullah

merupakan rahmat bagi mereka melalui apa yang diatur dan dipilihkan untuk

mereka,

“ ….Kalau beliau menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan, benar-

benarlah kamu akan mendapat kesusahan …”

Ayat diatas memberitahukan bahwa hendaklah merea menyerahkan

persoalannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Hendaknya mereka memasuki Islam

secara kaffah serta berserah diri kepada takdir Allah dan pengaturan-Nya. Juga

menerima apa yang disampaikan-Nya dan tidak menyarankan apa-pun Kepada-

Nya.

Kemudian Allah mengarahkan pandangan mereka pada nikmat keimanan

yang di tunjukkan oleh-Nya, menggerakkan hatinya supaya mencintai keimanan,

menyingkapkan keindahan dan keutamaan keimanan kepada mereka, mengaitkan

ruhnya kepada keimanan, dan membuatnya benci atas kekafiran, kefasikan, dan

kemaksiatan. Semua ini merupakan rahmat dan karunia-Nya.

“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu
indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan,
dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang
lurus,sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana.” (al-Hujuraat : 7-8) 133
Allah memilih sekelompok orang d antara hamba-Nya agar kalbunya

terbuka untuk menerima keimanan, menggerakan hatinya kepada keimanan

tersebut, dan menjadikannya indah dalam pandangan mereka. Lalu, ruhnya

bertebangan menyambut keimanan serta meraih keindahan dan kebaikannya.

133 Ibid. hlm. 415


209

Pemilihan ini merupakan karunia dan nikmat dari Allah. Tidak ada karunia dan

nikmat yang lebih besar daripada itu, bahkan jika dibandingkan dengan nikmat

keberadaan dan kehidupan sekalipun. Kenikmatan ini lebih sedikit dan lebih

rendah darpada nikmat iman.

Kami akan menerangkan firman Allah, “Tetapi Allah memberikan


anugerah kepadamu dengan menunjukkanmu kepada keimanan.”
Inya Allah kami akan menerangkan karunia ini nanti.
Suatu hal yang perlu dicermati disini ialah peringatan kepada mereka

bahwa Allahlah yang berkehendak atas kebaikan bagi mereka dan dialah yang

membersihkan kalbu mereka dari keburukan; kekafiran, kefasikan, dan

kemakasiatan. Dialah yang menjadikan mereka, dengan cara seperti itu, beroleh

petunjuk sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Semua itu didasarkan atas

pengetahuan dan nikmat-Nya.

Penegasan hakikat ini mengisayaratkan bahwa mereka mesti pasrah atas

pengarahan dan pengaturan Allah. Juga merasa tentram atas kebaikan dan berkah

atas yang ada di pengaturan-Nya, tidak emmberikan saran.ersesa-gesa dan

bereaksi terhadap apa yang menurut dugaanya senagai kebaikan, sebelum Allah

member pilihan. Karena Allahlah yang memilihkan kebaikan untuk mereka,

sedang Rasulullah pun berada di tengah-tengah mereka. Allah akan menuntut

mereka kepada kebikan ini. Inilah yang dimaksud dengan pengarahan.

Manusia itu suka tergesa-gesa, sedangkan dia tidak mengetahui apa yang

ada dibalik langkahnya. Manusia suka memberikan saran kepada dirinya dan

orang lain, padahal dia tidak tahu apakah sarannya itu baik atau buruk.

“Dan manusia berdoa untuk keburukan sebagaimana dia berdoa untuk kebaikan,
adalah manusia itu bersifat tergesa-gesa.” (al-Israa : 11) 134

134 Ibid. hlm. 415


210

Jika dia berserah diri kepada Allah, masu kedalam Islam secara kaffah,

rela atas kebaikan yang dipilihkan Allah untuknya, dan merasa tentram karena

pilihan Allah itu lebih lebih baik dari pada pilihannya serta karena Dia lebih

mencintainya dan lebih banyak memberikan kebaikan, …nisccaya dia merasa

tenang dan nyaman. Dia akan melintasi perjalanan singkat di atas planet ini dalam

ketenteraman dan dan kerelaan. Namun, semua ini pun merupakan karunia dan

anugerah dari Allah yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. 135

Menyelesaikan Perselisihan di antara Kaum Mukminin

“Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berrperang, maka


damaikanlah diantara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat
aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat
aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan
itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damakanlah diantara keduanya
dengan adil dan berlau adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang yang mukmin adalah bersaudara.
Karena itu, damaikanlah diantara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada
Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (al-Hujuraat : 9-10) 136
Inilah kaidah hokum yang praktis untuk memelihara masyarakat mukmin

dari permusuhan dan perpecahan dibawah kekuatan dan perpecahan. Kaidah ini

disajikan setelah menerangkan berita dari orang fasik dan tidak tergersa-gesa

mempercayainya. Juga setelah menerangkan perintah agar berlindung dibalik

pemeliharaan diri dari semangat tanpa hati-hati dalam meyakini persoalan.

Baik ayat diatas diturunkan karena alas an tertentu seperti dikemukakan

oleh sejumlah riwayat, maupun sebagai tatanan belaka seperti pada kondisi ini,

ayat itu mencerminkan kaidah umum yang ditetapkan untuk memelihara

kelompok Islam dari perpecahan dan perceraiberaian. Kaidah itu pun bertujuan

meneguhkan kebenaran, keadilan, dan perdamaian. Yang menjadi pilar bagi semua

135 Ibid. hlm. 415


136 Ibid. hlm. 416
211

ini ialah ketakwaan kepada Allah dan harapan akan rahmat-Nya dengan

menegakkan keadilan dan perdamaian.

Al-Qur’an menghadapi atau mengantisipasi kemungkinan terjadinya

perang antara dua kelompok mukmin. Mungkin salah satu kelompok itu berlaku

zalim atas kelompok lain, bahkan mungkin keduanya berlaku zalim dalam salah

satu segi. Namun, Allah mewajibkan kaum mukminin lain, tentu saja bukan dari

kalangan yang bertikai supaya menciptakan perdamaian diantara kedua kelompok

yang berperang. Jika salah satunya melampaui btas dan tidak mau kemali kepada

kebanaran, misalnya kedua kelompok itu berlaku zalim dengan menolak dengan

berdamai atau menolak untuk menerima hokum Allah dalam menyelesaikan aneka

masalah yang diperselisihkan, maka kaum mukminin hendaknya memerangi

kelompok yang zalim tersebut dan terus memeranginya hingga mereka kembali

kepada ‘perkara Allah”.

Adapun yang dimaksud dengan “ Perkara Allah” ialah menghentikan

permusuhan diantara kaum mikminin dan menerima hokum Allah dalam

menyelesaikan apa yang mereka perselisihkan. Jika pihak yang zalim telah

menerima hokum Allah secara penuh, kaum mukminin hendaknya

menyelenggarakan perdamaian yang berlandaskan keadilan yang cermat sebagai

wujud kepatuhan kepada Allah dan pencarian keridhaan-Nya.

“….Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (al-Hujuraat


: 9) 137
Seruan dan hokum diatas diikuti dengan sentuhan atas kalbu orang-orang

yang beriman dan tuntutan supaya menghidupkan ikatan yang kuat diantara

mereka. Yaitu, ikatan yang menyatukan mereka setelah bercerai-berai, yang

menautkan kalbu mereka setelah permusuhan, mengingatkan mereka supaya


137 Ibid. hlm. 416
212

bertakwa kepada Allah, dan mengisaratkan perolehan rahmat-Nya yang diraih

dengan ketakwaan,

”Sesungguhnya orang-orang yang mukmin adalah bersaudara. Karena itu,


damaikanlah diantara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya
kamu mendapat rahmat.” (al-Hujuraat : 10) 138
Implikasi dari persaudaraan ini adalah hendaknya rasa cinta perdamaian

,kerjasama, dan persatuan menjadi landasan utama masyarakat muslim.

Hendaklah perselisihan atau perang merupakan anomali yang mesti dikembalikan

kepada landasan tersebut begitu suatu kasus terjadi. Dibolehkan memerangi kaum

mukminin yang lain yang bertindak zalim kepada saudaranya agar mereka

kembali kepada barisan muslim. Juga agar mereka melenyapkan anomali itu

berdasarkan prinsip dan kaidah Islam. Itulah penanganan yang tegas dan tepat.

Di anatara tuntutan kaidah di atas ialah tidak bermaksud melukai orang

dalam kancah penegakan hokum, tidak membunuh kawanan, tidak menghukum

orang yang melarikan diri dari perang dan menjatuhkan senjata, dan tidak

mengambil harta pihak yang melampaui batas sebagai ghanimah. Sebab, tujuan

memerangi mereka bukanlah untuk menghancurkannya. Tetapi, untuk

mengembalikan mereka ke barisan dan merangkulnya dibawah bendera

ersaudaraan Islam.

Prinsip utama dalam system umat Islam ialah hendaknya am muslimin

diberbagai belahan dunia memiliki satu kepemimpinan. Sehingga, jika telah

berbaiat kepada seorang imam, maka imam yang kedua wajib di bunuh, sebab dia

dan para pendukungnya dianggap sebagai kelompok yang memberontak terhadap

kelompok lain (bughat). Kaum mukminin hendaknya memerangi kelompok itu

138 Ibid. hlm. 416


213

dibawah pimpinan imam. Berdasarkan atas prinsip inin, imam Ali r.a. bangkit

untuk memerangi bughat dalam Peristiwa Unta dan Peristiwa Shifin.

Ali memerangi mereka bersama kelompok sahabat Nabi saw. lainnya yang

mulia. Namun, sebagian mereka tidak ikut berperang, di antaranya Sa’ad,

Muhammad bin Malamah, Usman bin Zaid, dan Ibnu Umar. Mereka tidak ikut

serta mungkin karna bagi mereka belum jelas sisi kebenarannya pada saat itu,

sehingga mereka memandangnya sebagai fitnah. Atau, karena mereka beralasan

seperti yang dikemukakan oleh imam al-jashshash, ‘Mungkin karena mereka

memandang cukup dengan Imam Ali dan tentaranya, sehingga tidak

membutuhkan kesertaan dirinya, lalu mereka memilih berpangku tangan dari

masalah itu.”

Kemungkinan pertama lebih sahih. Hal ini ditunjukan oleh sejumlah

riwayat tentang pernyataan mereka. Juga ditunjukan oleh keterangan yang

meriwayatkan bahwa Ibnu Umar menyesal karena tidak ikut berperang bersama

Imam Ali.

Meskipun prinsip di atas telah di tegakkan, nash Al-Qur’an

memungkinkan penerapan prinsip ini dalam berbagai situasi dengan beberapa

pengecualian yang memungkinkan adanya dua imam atau lebih diwilayah Negara

umat Islam yang berlainan dan yang berjauhan. Ini adalah kondisi darurat dan

pengecualian dari prinsip di atas. Kewajiban kaum muslimin adalah memerangi

kelompok pemberontak jika kelompok ini memerangi kelompok imam yang satu

dan jika sekelompok muslim membangkang kelompok muslim yang lain, tetapi

tidak memeranginga. Kewajiban kaum musimin ialah memerangi pemberontak,

jika mereka unjuk kekuatan kepada salah seorang imam muslim lain tatkala
214

adanya beberapa imam sebagai bentuk kecualian. Para imam hendaknya bersatu

untuk memerangi kelompok itu hingga dia kembali kepada hokum Allah.

Demikianlah perlakuan nash Al-Qur’an dalam segala situasi dan kondisi.

Jelaslah bahwa system ini merupakan system penegakan hokum dan

penyerangan terhadap kelompok pemberontak agar dia kembali kepada hukum

Allah. Ia merupakan system yang mendahului upaya-upaya manusia lainnya

dalam bidang ini. System itu memiliki kesempurnaan dan jauh dari kekurangan

dan cela yang justru tampak jelas pada berdagai upaya manusia yang telah di

upayakannya dalam berbagai eksperimen yang lumpuh.

Di samping itu, system ini pun bersih, amanah, dan benar-benar adil.

Sebab, penetapan keputusan kepada hokum Allah tidaklah terkontaminasi oleh

kepentingan pribadi dan hawa nafsu, dan tidak terkait dengan kekurangan dan

keterbatasan. Tetapi umat manusia pada ini malah mencari-cari jalan, terpincang-

pincang, tergelincir, dan tersungkur, padahal didepannya ada jalan terang yang

telah disiapkan lagi lurus.

Haram Mengolok-olok, Mencela, dan Memanggil dengan Panggilan yang


Buruk
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum
yan lain (karena) boleh jadi mereka (yang di olok-olokan) lebih baik dari pada
mereka (yang mengolok-olokan). Janganlah pula wanita-wanita (mengolok-
olokan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diolok-olokan) lebih
baik dari wanita (yang mengolok-olokan), janganlah kamu mencela dirimu
sendiri dan janganlah kamu pangil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.
Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buru sesudah iman. Dan,
barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim.”(al-Hujuraat:11) 139

Masyarakat unggul yang hendak ditegakkan Islam dengan petunjuk Al-

Qur’an ialah masyarakat yang memiliki etika yang luhur. Pada masyarakat itu

139 Ibid. hlm. 416-417


215

setiap individu memiliki kehormatan yang tidak boleh di sentuh. Ia merupakan

kehormatan kolektif. Mengolok-olok individu mena pun berarti mengolok-olok

pribadi umat. Sebab, seluruh jemaah itu satu dan kehormatannya pun satu.

Melalui umat ini, Al-Qur’an memberitahukan etika tersebut melalui

panggilan kesayangan, “Hai orang-orang yang beriman.” Dia melarang suatu

kaum mengolok-olok kaum yang lain, sebab boleh jadi laki-laki yang diolok-olok

itu lebih baik dalam pandangan Allah dari pada yang menolok-olok. Mungkin

juga wanita yang diolok-olok itu lebih bai dalam pertimbangan Allah dari pada

yang mengolok-olok.

Ungkapan ayat mengisyaratkan secara halus bahwa nilai-nilai lahiriah

yang dilihat laki-laki dan wanita pada dirinya bukanlah nilai hakiki yang dijadikan

pertimbangan oleh manusia. Disana ada sejumlah nilai lain yang tidak mereka

ketahui dan hanya diketahui Allah serta djadikan pertimbangan oleh seagian

hamba. Karena itu, kadang-kadang orang kaya menghina orang miskin,orang kuat

menghina orang lemah, dan orang yang sempurna menghina otang yang cacat.

Kadang-kadang orang yang professional menghina orang lugu yang hanya

menjadi pelayan. Kadang-kadang orang yang beranak menghina orang yang

mandul dan yang hanya dapat megurus anak yatim. Kadang wanita cantik

menghina wanita buruk, pemudi menghina nenek-nenek, wanita yang sempurna

menghina wanita yang cacat, dan wanita yang kaya menghina yang miskin. Hal-

hal di atas dan perkara lainnya merupakan nilai duniawi yang tidak dapat

dijadikan ukuran. Timbangan Allah dapat naik dan turun bukan oleh timbangan

duniawi itu.
216

Al-Qur’an tida cukup dengan menyampaikan isyarat ini, bahkan

menyentuh emosi persaudaraan atas keimanan. Al-Qur’an menceritakan bahwa

orang-orang yang beriman itu seperti satu tubuh. Barang siapa yang mengolok-

oloknya, berarti negolok-olok keseluruhannya, “Janganlah kamu mencela dirinya

sendiri.” Al-Lumzu berarti aib. Tetapi, kata itu memiliki gaung dan cakupan yang

menegaskan bahwa ia yang bersifat lahiriah, bukan aib yang bersifat maknawiah.

Termasuk mengolok-olok dan mencela aialah memanggil dengan

panggilan yang tidak disukai pemiliknya serta ia merasa terhina dan ternoda

dengan panggilan itu. Di antara hak seorang mumin yang wajib diberikan mukmin

lain ialah dia tidak memanggilnya dengan sebutan yang tidak disukai. Diantara

kesantunan seorang mukmin ialah ia tidak menyakiti saudaranya dengan hal

semacam ini. Rasulullah telah menubah beberapa nama dan panggilan yang

dimiliki orang sejak jahiliah, karena nama atu panggilan itu menyinggung, dan

mencela perasaannya yang lembut dan hatinya yang mulia.

Setelah ayat di atas mengisyaratkan nilai-nilai yang hakiki menurut

pertimbangan Allah dan setelah menyentuh rasa persaudaraanya, bahkan perasaan

bersatu dengan diri yang satu, ayat selanjutnya mengusik konsep keimanan dan

mewanti-wanti kaum mukminin agar jangan sampai kehilangan sifat yang mulia,

menodai sifat itu, dan menyalahinya dengan melakukan olok-olok, cacian,

pemanggilan yang buruk.

“Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman.”

Pemanggilan itu bagaikan murtad dari keimanan. Ayat ini mengancam dengan

memandangnya sebagai kezaliman, padahal kezaliman itu kata lain dari syirik,

“Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang
217

zalim.” Demikianlah ayat-ayat di atas telah mencanangkan prinsip-prinsip

kesantunan diri dari masyarakat yang unggul dan mulia tersebut.

Haram Berburuk Sangka, Ghibah, dan Mencari-cari Kesalahan Orang Lain

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,


sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-
cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagaian
yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya
yang sudah mati? Maa, tentulah kamu merasa jijik kepadanya . Bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”
(al-Hujuraat : 12). 140

Ayat ini pun menegakkan jalinan lain pada masyarakat yang utama lagi

mulia ini seputar kemuliaan individu, kehormatannya, dan kebebasannya sambil

mendidik manusia dengan ungkapan yang menyentuh dan menakjubkan tentang

cara membersihkan perasaan dan kalbunya.

Untaian surah dimulai dengan panggilan kesayangan, “Hai orang-orang

yang beriman.” Lalu ayat menyuruh mereka menjauhi banyak berprasangka.

Sehingga, mereka tidak membiarkan dirinya dirampas oleh setiap dugaan,

kesamaran dan keraguan yang dibisikan orang lain disekitarnya. Ayat itu

memberikan alas an, “Sesungguhnya sebagaian prasangka itu adalah dosa.”

Tatkala larangan disadarkan atas banyak berprasangka, sedang aturannya

menyebutkan bahwa sebagian prasangka itu merupakan dosa, maka

pemberitahuan dengan ungkapan ini intinya agar manusia menjauhi buruk sangka

apa pun yang akan menjerumuskannya ke dalam dosa. Sebab, dia tidak tahu

sangkaanya dengan manakah yang menimbulkan dosa.

Dengan cara inilah, Al-Qur’an membersihkan kalbu dari dalam agar tidak

terkontaminasi dengan prasangka buruk, sehingga seseorang terjerumus kedalam


140 Ibid. hlm. 417-418
218

dosa. Tetapi Al-Qur’an membiarkannya agar tetap bersih dan terbebas dari bisikan

dan keraguan sehingga menjadi putih. Dia menyayangi saudara-saudaranya tanpa

dibarengi prasangka buruk. Hatinya bersih tanpa terkotori keraguan dan

kesangsian; dan hatinya tenteram tanpa terkotori kegelisahan dan gundah.

Alangkah nyamannya kehidupan dalam masyarakat yang terbebas dari aneka

prasangka.

Namun, persoalannya dalam Islam tidak berhenti sampai disana pada

atmosfer yang mulia dan elok tatkala membina hati dan perasaan. Bahkan, nash

diatas menegakkan prinsip berinteraksi dan jalinan seputar hak-hak orang lain

yang hidup dalam masyarakatnya yang bersih. Sehingga, mereka tidak

memeperlakukannya dengan prasangka dan menghukuminya dengan keraguan.

Prasangka tidak menjadi landasan bagi keputusan mereka. Bahkan, ia

mesti lenyap dari masyarakat tersebut dari sekitar mereka. Rasulullah bersabda,

“Jika kamu berprasangka, ia takkan terwujud.” (HR Thabrani) 141

Hadits ini berarti manusia senantiasa bebas dan terpelihara hak-haknya,

kebebasannya, sebelum nyata benar perbuatan yang berisikoo hokum. Sangkaan

yang beredar di kalangan mereka tidaklah cukup untuk dijadikan landasan

penetapan sanksi.

Adakah pemeliharan kemanusiaan manusia. Kebebasannya, hak-haknya,

dan ungkapannya seperti yang ditegaskan nash ini? Sejauhmanakah kekaguman

orang terhadap Negara yang paling demokratis dan bebas serta paling menjaga

hak-hak manusia, jika dibandingkan dengan apa yang diberitahukan oleh Al-

Qur’anul-Karim kepada orang-orang yang beriman yang dijadikan landasan dan

141 Ibid. hlm. 419


219

diaktualisasikan oleh masyarakat Islam setelah sebelumnya menjadi realitas dalam

kalbu?

Kemudian berkaitan dengan penjaminan terciptanya masyarakat tersebut,

disajikanlah prinsip lain yang erkaitan dengan manjauhi prasangka, “Dan

janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” Tajassus kadang-kadang

merupakan kegiatan yang mengiringi dugaan dan kadang-kadang sebagai kegiatan

awal untuk menyingkap aurat dan mengetahui keburukan. Al-Qur’an

memberantas praktis yang hina ini dari segi akhlak guna membersihkan kalbu dari

kecendrungan yang buruk itu, yang hendak nmengungkap aib dan keburukan

orang lain.

Pemberantasan ini sejalan dengan tujuan Al-Qur’an yang hendak

membersihkan akhlak dan kalbu. Namun, persoalan itu memiliki dampak yang

lebih jauh daripada hal tersebut. Yaitu, menjadi salah satu prinsip Islam yang

utama dalam system kemasyarakatan dan dalam peneraan serta aplikasi hokum.

Manusia memiliki kebebasan, kehormatan, dan kemuliaan yang tidak

boleh dilanggar dengan cara apa pun dan tidak boleh disentuh dalam kondisi apa

pun. Pada masyarakat Islam yang adil dan mulia, hiduplah manusia dengan rasa

aman atas dirinya, rasa aman atas rumahnya, rasa aman atas kerahasiaannya, dan

rasa aman atas aibnya. Tidak ada rasa satu perkara pun yang menjustifikasi

pelanggaran kehormatan diri, rumah, rahasia, dan aib. Bahkan, jika terjadi

pembunuhan yang berimplikasi pada penegakan hukum, maka tidak

diperbolehkan mencari-cari kesalahan manusia.

Manusia hendaklah dipandang lahiriahnya. Tidak ada seorang pun yang

berhak menghukum atas batiniahnya. Tidak ada seorang pun yang dapat
220

menghukum manusia kecuali berdasarkan penyimpangan dan kesalahan yang

tampak. Seseorang tidak boleh menyangka atau mengharapkan, atau bahkan

mengetahui bahwa mereka melakukan suatu penyimpangan secara sembunyi-

sembunyi, lalu diselidiki untuk memastikannya. Yang boleh dilakukan atass

manusia ialah menghukum mereka saat kesalahannya terjadi dan terbukti disertai

jaminan lain yang telah ditetapkan oleh nash berkaitan dengan setiap

kesalahannya.

Abu Dawud meriwayatkan bahwa Abu Bakar bin Abi Syaibah

menceritakan dari Abu Mu’ awiyah, dari al-‘Amasy, dari Zaib bin Wahab bahwa

Ibnu Mas’ud datang. Tiba-tiba dikatakan kepadanya,” Dari janggut orang ini

menetes khamar.” Abdullah bin Mas’ud berkata, “Kita dilarang mencari-cari

kesalahan orang. Jika jelaslah kepada kita kesalahannya, barulah kita

menghukumnya.”

Diriwayatkan dari Mujahid bahwa dia berkata, “janganlah kamu mencari-

cari kesalahan orang lain. Peganglah apa yang terlihat olehmu dengan jelas dan

biarkanlah apa yang disembunyikan Allah.”

Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan dengan sanadnya dan Dijin,

sekretaris Uqbah, ia berkata kepada Uqbah, “Kami punya tetangga yang suka

meminum khamar. Lalu aku memunta bukti untuk dapat menghukum mereka.”

Uqbah berkata, “Jangan berbuat demikian, tetapi nasihatilah mereka dan berilah

ancaman.” Diijin melaksanakan sarannya, tetapi mereka tetap melakukannya.

Akhirnya, diijinkan menemui Uqbah kembali seraya berkata, “Aku telah melarang

mereka, namun mereka tidak berhenti. Karena itu, aku meminta bukti untuk

menghukumnya.” ‘Uqbah berkata, “Hus, jangan lakukan itu, karena aku


221

mendengar Rasulullah bersabda, ‘Barang siapa yang menutupi aib seorang

mukmin, dia bagaikan menggali anak yang di kubur hidup-hidup dari kuburnya.”

Sufyan ats-Tsauri meriwayatkan dari Rasyid bin Sa’ad , dari Mu’awiyah

bin Abi Sufyan, bahwa Rasulullah bersabda, “Jika kamu menyelidiki aib manusia,

berarti kamu mencelakakan mereka atau kamu nyaris mencelakakan mereka.”

Abu Dharda berkata, “Itulah ungkapan yang didengar Mu’awiyah dari Rasulullah.

Semoga Allah member manfaat baginya melalui ungkapan itu.”

Demikianlah nash Al-Qur’an menggambil jalannya dalam tatanan praktis

bagi masyarakat Islam. Tatanan itu tidak hanya membina hati dan membersihkan

kalbu. Namun, menjalin aneka kehormatan manusia, hak-haknya, dan

kemerdekaannya. Sehingga, tidak boleh disentuh, baik dari dekat maupun dari

jauh, karena suatu kekeliruan atau kesamaran.

Alangkah jauhnya tatanan itu, alangkah tinggi cakrawalanya, dan alangkah

mengagumkannya jika dibandingkan dengan system demokrasi dan kebebasan

Negara manapun dalam memelihara hak-hak manusia setelah 14 abad yang lalu.

Setelah itu, ditampilkanlah larangan ghibah dalam ungkapan yang

menakjubkan yang diciptakan Al-Qur’anul-Karim,”Janganlah sebagian kamu

menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu

memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik

kepadanya.”

Janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Lalu,

tergelarlah pemandangan yang mengusik diri yang paling tebal sealipun dan

mengusik perasaan yang paling kuat sekalipun. Yaitu, pemandangan dimana

seorang saudara memakan daging saudaranya yang sudah mati. Kemudian dengan
222

cepatnya menyeruak bahwa mereka tidak menyukai perbuatan yang menjijikan

ini. Dan jika demikian, berarti mereka membenci umpatan.

Kemudian rangkaian larangan berprasangka, mencari-cari kesalahan, dan

ghibah diakiri degan mengusik perasaan ketakwaan mereka. Juga mengisyaratkan

barang siapa yang melakukan sebagian dari perbuatan ini, hendaknya dia segera

bertobat dan menjemput rahmat-Nya, “Dan bertakwalah kepada Allah.

Sesungguhnya Allah Maha Penerma tobat lagi Maha Penyayang.”

Nash ini merambat kedalam kehidupan masyarakat muslim. Lalu,

mengikat kemuliaan manusia dan menjadikannya sebagai etika yang merasuk

kedalam jiwa dan kalbu. Kemusian Rasulullah menegaskan hal ini sejalan dengan

uslub Al-Qur’an yang menakjubkan guna menimbulkan kebencian dan rasa jijik

terhadap wujud ghibah yang tidak disukai itu melalui hadits yang diriwayatkan

oleh Abu Dawud. Disebutkan oleh Abu Dawud bahwa al-Qa’nabi menceritakan

dari Abdul Aziz bin Muhammad, dar al-‘Ula’, dar ayahnya, dari Abu Hurairah,

bahwa Rasulullah ditanya ,”Hai Rasulullah, apakan ghibah itu?” Nabi saw.

menjawab, “Kamu menceritakan saudaramu mengenai apa yang tidak

disukainya.”Beliau ditanya,”Bagaimana menurut engkau jika yang dikemukakan

itu ada pada dirinya?”Nabi saw. menjawab,

“Jika yang kamu katakana itu ada pada dirinya, berarti kamu mengumpatnya.
Jika tidak ada pada dirinya, berarti kamu telah berdusta tentang dia.” (HR
Tirmidzi) 142
Abu Dawud mengatakan bahwa Musaddad dari Yahya, dari Sufyan, Ali

ibnul-Aqmar, dari Abu Hudzaifah, dari Aisyah r.a bahwa ia berkata kepada Nabi

saw., “Cukuplah anu dan anu untuk meninggalkan Shafiyah.” (Menurut

Musaddad, maksudnya tubuh Shafiyah yang pendek). Makam Nabi saw. bersabda,

142 Ibid. hlm. 419-420


223

“Engkau telah melontarkan sebuah pernyatan yang apabila dicampurkan dengan

air samudera, niscaya berbaur dengannya.” Aisyah berkata, “aku mengisahkan

seseorang kepada beliau.” Nai bersabda, “Aku tida suka menceritakan

seseorangpadahal diriku anu dan anu.”

Abu Dawud meriwayatkan dengan sanadnyadari Anas bin Malik bahwa

Rassulullah bersabda, “Takala dimikrajkan, aku melihat suatu kaum yang berkuku

tembaga. Mereka mencakari wajah dan dadanya. Aku bertanya, ‘Jibril, siaakah

mereka itu?’ Jibril menjawab, ‘Mereka adalah orang yang suka memakan daging

manusia dan menodai kehormatannya.’”

Takala Ma’iz mengakui perzinaannya dengan al-Ghamidiyah, Rasulullah


lalu merajam keduanya setelah pengakuan itu guna membersihkan keduany. Nabi
saw. mendengar seseorang yang berkata kepada temannya, “Apakah kamu tidak
melihat orang yang telah ditutupi Allah, lalu tidaak menyerahkan dirinya untuk
dilempari seperti kepada anjing?” Nabi saw. melanjutkan perjalanannya hingga
melihat bangkai keledai. Beliau bersabda, “Di mana si Fulan dan si Fulan?
Turunlah, dan makanlah bangkai keledai itu!” Keduanya berkata, “Ya Rasulullah,
semoga Allah mengampuni engkau. Apakah ini boleh dimakan?” Nabi saw.
bersabda,
“Apa yang kamu raih dari saudaramu barusan (maksudnya ghibah, lebih buruk
daripada bangkai ini. Demi Zat yang menguasai Muhammad, sungguh dia
(Ma’iz)sekarang telah menyelam di salah satu sungai surga.” (HR Ibnu Katsir)
Melalui penanganan yang kokoh inilah, Al-Qur’an membersihkan dan
meninggikan masyarakat muslim. Sehingga, berbuah dengan kehiliman yang
menjalar di muka bumi dan contoh yang mewujud dalam realitas sejarah. 143

Islam dan Iman serta Dampaknya dan Karunia yang Terkandung di


Dalamnya
Setelah menyampaikan seruan-seruan yang berulang-ulang kepada orang

yang beriman ini; membawa mereka ke cakrawala etika individual serta social
143 Ibid. hlm. 421
224

yang tinggi dan elok; menegakkan tradisi yang kuat seputar jaminan kemuliaan,

kebebasan, dan kehormatan; dan menjamin semua ini dengan perasaan yang

ditebarkan ke dalam jiwa mereka melalui pengharapan kepada Allah dan

ketakwaan kepada-Nya, .. maka diserulah seluruh umat manusia dengan segala ras

dan warna kulitnya untuk dikembalikan ke pangkal yang satu dan kepada

timbangan yang satu. Yaitu, timbangan yang digunakan untuk menilai kelompo

terpilih yang naik ke puncak yang tinggi,

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-


laki dan seorang wanita serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.”(al-Hujuraat: 13) 144

Hai manusia! Hai orang-orang yang berbeda ras dan warna kulitnya, yang

berbeda-beda suku dan kabilahnya, sesungguhnya kalian berasal dari pokok yang

satu. Maka, janganlah berikhtilaf, janganlah bercerai-berai, janganlah

bermusuhan, dan janganlah centang-perenang.

Hai manusia, Zat yang menyerumu dengan seruan ini adalah Zat Yang

Telah menciptakan kamu dari jenis laki-laki dan wanita. Dialah yang

memperlihatkan kepadamu tujuan dari menciptakanmu bersuku-suku dan

berbangsa-bangsa. Tujuannya bukan untuk saling menjenggal dan bermusuhan,

tetapi supaya harmonis dan saling mengenal. Adapun perbedaan bahasa dan warna

kulit, perbedaan watak dan akhlak, serta perbedaan bakat dan potensi merupakan

keragaman yang tidak perlu menimbulkan pertentangan dan perselisihan. Namun,

justru untuk menimbulkan kerja sama supaya bangkit dan memikiul segala tugas

dan memenuhi segala kebutuhan.


144 Ibid. hlm. 421
225

Warna kulit, ras, bahasa, Negara, dan lainnya tidak ada dalam

pertimbangan Allah. Di sana hanya ada satu timbangan untuk menguji seluruh

nilai dan mengetahui keutamaan manusia. Yaitu, “Sesungguhnya orang yang

paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di

antara kamu.”Orang paling mulia yang hakiki ialah yang mulia menurut

pandangan Allah. Dialah yang menimbangmu, berdasarkan pengetahuan dan

berita dengan aneka nilai dan timbangan. “Sesungguhnya Allah Maha

Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Dengan demikian, berguguranlah segala perbedaan, gugurlah segala nilai.

Lalu, dinaikanlah satu timbangan dengan satu penilaian. Timbangan inilah yang

digunaan manusia untuk menetapkan hokum. Nilai inilah yang harus dirujuk oleh

umat manusia dalam menimbang.

Demikianlah seluruh sebab pertengkaran dan permusuhan telah

dilenyapkan di bumi dan seluruh nilai dipertahankan manusia telah dihapuskan.

Lalu, tampaklah dengan jelas sarana utama bagi terciptanya kerja sama dan

keharmonisan. Yaitu, ketuhanan Allah bagi semua dan terciptanya mereka dari

asal tang satu.

Kemudian naiklah satu panji yang diperebutkan semua orang agar dapat

bernaung di bawahnya. Yaitu, panji ketakwaan di bawah naungan Allah. Inilah

panji yang dikerek Islam untuk menyelamatkan umat manusia dari fanatisme ras,

fanatisme daerah, fanatisme daerah, fanatisme kabilah, dan fanatisme rumah.

Semua ini merupakan kejahiliahan yang kemudian dikemas dalam berbagai model

dan dinamai dengan berbagai istilah. Semuanya merupakan kejahiliahan yang

tidak berkaitan dengan Islam.


226

Islam memerangi fanatisme jahiliah ini serta segala sosok dan bentuknya

agar sistem Islam yang manusiawi dan mengglobal ini tegak di bawah satu panji,

yaitu panji Allah. Bukan panji Negara, bukan panji nasionalisme, bukan panji

keluarga, dan bukan panji ras. Semua itu merupakan panji palsu yang tida di kenal

Islam.

Rasulullah bersabda,
“Kamu semua merupakan keturunan Adam dan Adam diciptakan dari tanah.
Hendaklah suatu kaum menahan diri dari membanggakan nenek moyangnya,
atau jadilah kalian makhluk yang lebih remeh bagi Allah daripada ju’lan.” (HR
Abu Bakar al-Bazzar)
Nabi saw. bersabda ihwal fanatisme jahiliah,
“Tingalkanlah ia karena merupakan bangkai.” (HR Muslim)
Inilah prinsip yang menjadi pondasi masyarakat Islam. Yaitu, masyarakat

yang manusiawi dan mendunia, yang senantiasa dibayangkan aktualisasinya

dalam suatu warna. Tetapi, kemudian ia memudar sebab tidak menempuh satu-

satunya jalan yang mengantarkan ke jalan lurus, yaitu jalan menuju Allah. Juga

karena masyarakat itu tidak berdiri di bawah satu-satunya panji yang

mempersatukan, yaitu panji Allah. 145

Pada akhir surah disajikan penjelasan ihwal hakikat keimanan dan nilainya

dalam membantah orang-orang badui yang berkata,”Kami beriman”, padahal

mereka tidak beriman tidak memahami hakikat keimanan. Juga membantah

orang-orang yang memberikan harapan kepada Rasulullah bahwa mereka akan

masuk Islam, padahal mereka tidak akan memberikan harapan itu. Karena,

Allahlah yang menganugerahkan keimanan kepada hamba-hamba-Nya.

“Orang-orang Arab Badui itu berkata, ‘Kami tidak beriman.’katakanlah


(kepada mereka),”Kamu belum beriman, tetapi katakanlah,’Kami telah tunduk’,
karena iman itu belum masuk kedalam hatimu. Jika kamu tat kepada Allah dan
Rasul-Nya, dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampunlagi Maha Penyayang. ‘Sesungguhnya
orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah
145 Ibid. hlm. 421-422
227

dan Rasul-Nya. Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan
harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, merela itulah orang-orang yang benar.
Katakanlah (kepada mereka), ‘Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah
tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi serta Allah Maha Mengetahui segala sesuatu?’
mereka telah merasa memberi nikmat kepadamu dengan keIslaman mereka.
Katakanlah, ‘Janganlah kamu merasa telah member nikmat kepadaku dengan
keIslamanmu, sebenarnya Allah Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu
dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang
benar. ‘Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi.
Dan, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan,” (al-Hujuraat: 14-18) 146
Ayat itu diturunkan berkenaan dengan orang Badui dari bani Asad. Pada

awal mereka masuk Islam, mereka berkata,”Kami beriman.”Mereka juga

memberikan harapan kepada Rasulullah. Mereka berkata, “Kami telah masuk

Islam”. Orang-orang Badui memerangimu, padahal kami tidak memerangimu.”

Allah hendak member tahu mereka akan hakikat perkara yang ada dalam

dirinya saat mereka melontarkan penyataan itu. Allah menjelaskan bahwa mereka

masuk Islam karena kalah, dan Islamnya itu belum sampai ke kalbunya hingga

mencapai martabat keimanan. Hal ini menunjukan bahwa hakikat keimanan

belum lagi mengendap dalam hati mereka dan belum terserap oleh nyawa mereka,

“…Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah,

‘Kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.’ ….”

Meskipun begitu, karunia Allah menghendaki untuk membalas setiap amal

saleh yang mereka lakukan tanpa dikurangi sedikit pun. Inilah Islam yang nyata,

yang menyatu dengan kalbu, lalu mengendap menjadi keimanan yang kuat dan

menentramkan. Cukup Islam inilah untuk menilai amal saleh mereka. Sehingga,

tidak disia-siakan seperti disia-siakannya amal kaum kafir dan pahalanya yang ada

di sisi Allah tidak dikurangi sedikit pun selama mereka berada dalam ketaatan dan

kepasrahan,

146 Ibid. hlm. 422-423


228

“…Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi
sedikit pun (pahala) amalmu….”
Hal itu karena Allah lebih dekat dengan ampunan dan rahmat. Maka,

diterimalah hamba mulai dari langkah pertama, diridhai pula ketaatan dan

kepasrahan, hingga kalbunya merasakan keimanan dan ketentraman,

“…Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Lagi Maha


Penyayang….”(al-Hujurat: 14).

Kemudian Allah menjelaskan hakikat keimanan kepada mereka.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman


kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian kepada ragu-ragu dan mereka berjihad
dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang
benar.” (al-Hujuraat: 15). 147

Iman berarti membenarkan kalbu terhadap Allah dan Rasul-Nya;

membenarkan yang tidak bercampur dengan keraguan dan kebimbangan;

membenarkan yang menentramkan, kokoh, sempurna, dan tidak menimbulkan

kegelisahan; membenarkan yang dapat mendorong seeorang berjihad dengan harta

dan nyawanya di jalan Allah. Jika kalbu telah merasakan lezatnya keimanan dan

kegandrungan kepadanya serta telah mengakar, niscaya akan mendorong untuk

mewujudkan kebenaran itu di luar kalbu. Yakni, dalam aneka praktik persoalan

dan dalam realitas kehidupan.

Seseorang takkan sanggup menahan pemisahan antara gambaran keimanan

yang ada dalam perasaannya dan gambaran realitas yang ada disekitarnya. Sebab,

pemisahan ini akan menyakitinya dan menohoknya setiap saat. Karena itu, dia pun

bergerak untuk berjihad dei jalan Allah dengan harta dan nyawa. Itulah gerakan

murni yang bersumber dari hati seorang mukmin. Gerakan ini dimaksudkan untuk

merealisasikan sosok cemerlang yang ada dalam kalbunya agar tampak

terejawantah dalam realitas kehidupan dan di kalangan manusia.


147 Ibid. hlm. 423
229

Permusuhan antara kaum mukminin dengan kehidupan jahiliah yang ada

di sekitarnya merupakan permusuhan yang esensial yang tumbuh dari

ketidakmampuan menciptakan kehidupan yang menyatukan sosok keimanan dan

realitas kehidupan nyata. Juga disebabkan ketidakmampuan seseorang untuk

menjabarkan sosok keimanan yang sempurna, elok, dan lurus ke dalam dunianya

yang nyata, praktis, berkekurangan, tercela, dan menyimpang. Karena itu, dia

mesti melakukan perang antara dirinya dan jahiliah yang ada di sekitarnya

sehingga kejahiliahan ini menyukai sosok keimanan dan kehidupan imani.

“mereka itulah orang-orang yang benar.” Orang-orang yang benar

akidahnya. Orang-orang yang benar takala mereka berkata, “sesungguhnya

mereka itulah orang yang beriman.” Jika perasaan-perasaan tersebut belum

tertanam dalam kalbu dan damaknya belum terwujud dalam realitas kehidupan,

berarti keimanan itu belum ada. Maka, kebenaran akidah dan pengakuan atasnya

belum lagi tercipta.

Kita berhenti sejenak di depan penjagan yang melintang pada ayat.


“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian mereka tidak ragu-
ragu….”(al-hujuraat: 15) 148
Ia bukan sekedar ungkapan. Namun, merupakan sentuhan terhadap

pengalaman perasaan yang nyata dan penanganan terhadap kondisi yang ada pada

dirinya, bahkan setelah diri itu beriman, “Kemudian mereka tidak ragu-ragu.”

Penjagaan ini mirip dengan penjagaan pada firman Allah, “Sesungguhnya

orang-orang yang berkata,’Rabb kami adalah Allah…’, kemudian mereka

beristiqamah.” ‘tidak adanya keraguan dan keteguhan dalam memegang

pernyataan, “Rabb kami adalah Allah”, mengisyaratkan sesuatu yang kadang-

kadang menggoyahkan jiwa seorang mukmin yang berada di bawah pengaruh


148 Ibid. hlm. 423-424
230

pengalaman yang keras dan ujian yang sulit, yaitu keagamaan dan kekacauan.

Juga diisyaratkan bahwa dalam kehidupan ini orang mukmin dihantam dengan

berbagai kesulitan yang dapat menggoyahkan dalam peristiwa yang

menggundahkan. Adapun jiwa yang kokoh, percaya dengan penuh tanpa ragu-

ragu, dan senantiasa berjalan lurus yang mengantarkan ke tujuan, maka itulah jiwa

yang berhak meraih derajat di sisi Allah.

Pengungkapan semacam ini mengingatkan kalbu yang beriman akan licin

dan bahayanya perjalanan supaya kalbu itu membulatkan tekadnya, penuh

perhitungan, dan konsisten. Juga agar tidak gampang tatkala ditunjukan oleh ufuk,

dibuat gelap oleh atmosfer, dan diguncang dengan angin dan badai.

Kemudian disajikan pemberitahuan kepada orang Badui bahwa Allah lebih

mengetahui kalbu mereka dan isinya. Allahlah yang memberitahukan sesuatu

kedalam kalbu mereka, bukanlah Dia yang menerima pemberitahuan dari mereka,

“Katakanlah (kepada mereka),’Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah


tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi serta Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.’’’(al-Hujuraat: 16). 149

Manusia suka mengaku tahu. Padahal, dia tidak mengetahui dirinya, tidak

mengetahui aneka perasaannya, tidak memahami hakikat dirinya, dan tidak

mengetahui hakikat perasaannya. Akal sendiri tidak mengetahui bagaimana ia

bekerja sebab dia tidak memiliki kemampuan untuk memantau dirinya saat akal

bekerja. Tatkala memantau dirinya, dia menghentikan pekerjaannya yang alamiah,

sehingga di sana tiada lagi sesuatu yang dipantaunya. Tatkala dia melakukan

pemantauan pada saat yang sama.

149 Ibid. hlm. 424


231

Karena itu, akal takkan mampu mengetahui karakteristik dirinya dan cara

kerja dirinya. Akal hanyalah instrument yang digunakan manusia untuk meraih

sesuatu. Namun, “Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang gain di langit dan di

bumi.” Allah mengetahui substansinya. Allah tidak hanya mengetahui lahiriyah

dan jejaknya semata. Tetapi, mengetahui hakikat dan substansinya secara

menyeluruh dan komprehensif serta tidak terbatas dan tidak temporer. “Allah

Maha Mengetahui segala sesuatu.” Dia mengetahui keseluruhan dari semua itu

secara komprehensif dan integral.

Setelah menerangkan hakikat keimanan yang belum diraih dan dicapai

oleh kaum Badui, Allah mengerahkan sapaan kepada Rasulullah ihwal nikmat

masuk Islam yang diberikan mereka kepadanya. Nikmat itu sendiri menunjukan

bahwa hakikat keimanan belum mengendap dalam kalbu mereka. Juga

menunjukan bahwa lezatnya keimanan belum dirasakan oleh ruh mereka.

“mereka merasa telah member nikmat kepadamu dengan keIslaman mereka.


Katakanlah, ‘Janganlah kamu merasa telah member nikmat kepadaku dengan
keIslamanmu, sebenarnya Allah Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu
dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang
benar.’’’(al-Hujuraat: 17). 150

Mereka telah memberikan nikmat kepada Nabi saw. dengan masuknya

mereka ke dalam Islamdan mereka menduganya sebagai keimanan. Lalu,

datanglah bantahan bahwa tidak boleh memberikan nikmat dengan Islam. Juga

datang bantahan bahwa nikmat itu milik Allah yang dianugrahkan kepada mereka,

jika pengakuan mereka akan keimanan itu tulus.

Kita berhenti dulu di depan bantahan yang mengandung kebenaran yang

besar ini, yang dilupakan oleh banyak orang, bahkan dilupakan oleh sebagian

mukmin. Yaitu, bahwa keimanan merupakan anugerah terbesar yang diberikan


150 Ibid. hlm. 424
232

Allah kepada salah seorang hamba-Nya di bumi. Nikmat keimanan lebih besar

daripada nikmat kebenaran diri yang dianugerahkan pertama kali kepada hamba.

Juga lebih besar daripada nikmat rezeki, kesehatan, kehidupan, dan harta benda

yang terkait dengan keberadaan diri.

Keimanan merupakan karunia yang membuat wujud manusia itu memiliki

hakikat yang istimewa dan yang memberinya peran utama yang besar pada

tatanan alam semesta ini.

Hal yang pertama kali dilakukan oleh keimanan di alam manusia ini,

tatkala hakikatnya mengendap dalam kalbu, ialah kelapangan alam nyata ini yang

dilukiskan kepada si pemilik kalbu karena keterkaitan dia dengan alam ini dan

karena perannya di alam ini. Keimanan akan memberikan gambaran yang sahih

tentang aneka nilai, perkara, manusia, dan peristiwa yang ada di sekitarnya.

Keimanan akan memberikannya ketentraman tatkala pemiliknya melakukan

pelancongan di planet bumi ini hingga dia bersua dengan Allah. Keimanan

membuatnya lupa akan segala yang ada disekitarnya; membuatnya gandrung akan

Allah Yang telah menciptakan dirinya dan Yang menciptakan wujud ini; serta

membuat dirinya merasa bernilai dan mulia. Juga memberinya rasa mampu untuk

menjalankan peran di bawah naungan keridhaan Allah, dan kemampuan untuk

mewujudkana kebaikan di alam nyata ini dengan segala potensi yang tersedia dan

manusia yang ada di alam ini.

Melalui gambaran yang lapang ini, seseorang dapat keluar dari wilayah

dirinya yang terkungkungoleh waktu dan tempat, alam mikro, dan keterbatasan

daya menuju seluruh lautan wujud dengan segala potensinya yang terpendam dan
233

aneka rahasianya yang tersimpan. Dia keluar tanpa terhambat oleh batas dan

ikatan apa pun sepanjang mata memandang.

Jika dikaitkan dengan jenisnya, manusia meruakan bagian dari

kemanusiaannya yang berasal dari satu pangkal. Pangkal ini meraih

kemanusiaannya untuk pertama kali dari ruh Allah. Yaitu, melalui tiupan

adiluhung yang mempertautkan alam tanah ini dengan nur Ilahiah. Maksudnya,

cahaya yang bebas merambat, yang tidak terhambat oleh langit dan bumi.

Rambatan cahaya ini tidak bermula dan tidak berujung serta tidak terbatas oleh

tempat dan waktu.

Unsur yang bebas inilah yang menjadikan makhluk manusia ini sebagai

insan. Jika cahaya ini mengendap dalam kalbu insan, dia pun memandang dirinya

mulia, merasa terhormat, dan merasa keelokan dan kebebasan. Kedua kakinya

tetap melangkah di bumi, tetapi kalbunya mengepakkan sayap cahaya menuju

sumber cahaya utama yang telah menganugerahkan jenis kehidupan ini

kepadanya.

Jika dikaitkan dengan kelompoknya, manusia merupakan bagian dari umat

mukmin, umat yang satu, umat yang merentang sepanjang zaman, yang berjalan

bersama rombongan yang mulia dibawah piminan Nuh, Ibrahim, Musa, Isa,

Muhammad, dan para nabi lainnya. Semoga rahmat Allah dilimpahkan atas

mereka. Jika gambaran ini mengendap dalam kalbu manusia, dia merasa bahwa

dirinya merupakan cabang dari pohon yang baik, rimbun, menjulang, akarnya

menghunjam, dahannya rindang, dan menyentuh langit karena usianya yang

panjang.
234

Jika gambaran ini mengendap dalam kalbunya, niscaya orang itu

mengecap kehidupan ini bercitarasa lain. Kehidupan ini dirasakannya dengan cita

rasa yang baru. Dia merasakan kehidupan yang berlipatganda yang diraihnya dari

ikatan keturunannya.

Kemudian gambarannya semakin meluas dan melebar. Sehingga, manusia

itu melampaui dirinya sendiri, umatnya, dan jenisnya yang lain. Manusia itu

melihat seluruh wujud ini sebagai wujud yang bersumber dari Allah, yang berasal

dari Dia, dari tiupan ruh-Nya, lalu menjadi manusia. Keimanannya

memberitahukan bahwa seluruh wujud ini ada dan hidup serta tersusun dari

wujud-wujud yang hidup pula; setiap perkara mengandung ruh; dan seluruh alam

semesta ini merupakan ruh.

Ruh segala perkara dan ruh alam yang besar ini menuju kepada

Penciptanya Yang Agung, demikian pula ruh dirinya melalui doa dan tsbih yang

bertaut dengan pujian dan ketaatan. Lalu, berakhir dalam pengakuan dan

kepasrahan.

Tiba-tiba dia berada di ala mini sebagai bagian dari keseluruhannya yang

tak dapat dipisahkan, yang bersumber dari Penciptanya, yang menuju kepada-Nya

dengan ruhnya, dan yang menjadi pelabuhan terakhir. Tiba-tiba dia menjadi lebih

besar daripada dirinya yang terbatas dan lebih besar daripada gambarnya sendiri

tentang wujud raksasa yang mengharukan ini. Tiba-tiba dia menjadi familiar

dengan ruh segala benda yang ada di sekitarnya.

Setelah itu semua, dia menjadi familiar dengan ruh Allah yang

memeliharanya. Pada saat itulah dia merasa mampu untuk berkomunikasi dengan

seluruh wujud ini; merambah ke bidang panjang dan lebarnya alam; membuat
235

banyak hal dan menciptakan aneka peristiwa yang besar; dan mempengaruhi

segala sesuatu dari menerima pengaruh dirinya. Juga mampu untuk mengambil

secara langsung dari kekuatan besar yang telah membebaskannya serta yang telah

membebaskan segala daya dan potensi dari seluruh perkara yang ada di alam ini.

Yaitu, daya raksasa yang tidak berkurang, melemah, dan sirna.

Dari gambaran yang luas dan lapang ini, diambilah timangan-timbangan

yang baru lagi benar untuk menimbang segala perkara, aneka peristiwa, individu,

nilai, kepentingan dan tujuan. Dia melihat perannya yang hakiki di alam nyata ini

dan tugasnya yang hakiki dalam kehidupan ini sebagai salah satu bagian dari

takdir Allah di alam semesta. Allah mengarahkannya agar dia menjadi sarana bagi

terwujudnya kebenaran-Nya di ala mini. Lalu, dia meneruskan perjalanannya di

palanet bumi ini dengan langkah yang kokoh, mata terbuka, dan kalbu yang

antusias.

Melalui pengetahuan akan hakikat wujud yang ada disekitarnya, hakikat

peran yang diembannya, dan hakikat daya yang disiapkan untuknya agar dapat

melaksanakan peran ini, dia meraih ketenanga, ketentraman, dan kenyamanan

terhadap apa yang terjadi dan berlangsung disekitarnya. Dia mengetahui darimana

ia datang? Mengapa dia datang? Keman dia pergi? Apa yang dia temukan disana?

Tiba-tiba dia mengetahui bahwa dia berada disana untuk suatu urusan.

Juga mengetahui bahwa segala sesuatu yang terjadi memiliki takdir guna

menuntaskan urusan itu. Dia mengetahui bahwa dunia itu merupakan lading

akhirat. Dia akan mendapat balasan atas erbuatannya, baik kecil maupun besar.

Dia tidak diciptakan untuk main-main, tidak dibiarkannya terlunta-lunta, dan tidak

melintas sendirian.
236

Karena adanya engetahuan ini, memudarlah rasa gamang, ragu-ragu dan

bingung yang muncul dari ketidak tahuan akan permulaan dan akhir kejadian, dari

ketidak jelasan dalam melihat jalan , dan dari ketidak percayaan akan hikmah

yang tersembunyi di balik kedatangan dan kepergian dirinya serta di balik

penelusurannya dijalan itu. Memudarlah aneka perasaan seperti perasaan Umar

Khayyam berikut ini.

“Kukenakan busana usia yang tak kuperintahkan, dalam busana itu, aku

etrombang ambing dalam aneka pikiran. Busanaku kelak ‘kan using dan terlepas

Aku tidak tahu, mengapa aku datang dan kemana aku pulang.”

Orang beriman mengetahui bahwa dia mengenakan pakaian usia dengan

takdir Allah yang mengatur seluruh wujud melalui pengaturan yang

Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui. Dia (orang beriman tadi) mengetahui

bahwa tangan yang memakaikan pakaian kepadanya lebih bijaksana dari pada dia

dan lebih menyayanginya sehingga tidak perlu meminta pendapatnya. Sebab,

tangan tidak dimaksudkan untuk emmberikan pendapat sebagaimana yang

diberikan oleh pemilik tangan, yaitu yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat.

Allah mengenakan pakaian kepadanya untuk melaksanakan peran tertentu

di alam semesta ini. Sehingga, dia menerima pengaruh dari segala hal yang ada di

dalamnya dan memberinya pengaruh kepada semuanya. Peran ini sejalan dengan

seluruh peran yang dilaksanakan oleh setiap perkara dan makhluk hidup sejak

awal hingga dikembalikan.

Dengan demikian, orang beriman mengetahui mengapa dia datang

sebagaimana dia mengetahui dimana dia menetap. Dia tidak merasa bimbang

diantara berbagai gagasan. Tetapi, dia melangkah dengan pasti dan melaksanakan
237

perannya dengan tenang, penuh kepercayaan, dan penuh keyakinan. Kadang-

kadang pengetahuan keimanannya itu meningkat. Sehingga, dia dapat menempuh

jarak dan melaksanakan peran dengan ceria, bebas, dan penuh dengan suka cita

disertai perasan indahnya anugerah dan agungnya karunia. Yaitu, anugerah usia

atau pakaian yang diberikan kepadanya dari tangan yang Maha Pemurah, Maha

Pemberi Karunia, Mahaindah, Mahalembut, Maha Menyayangi, dan Maha

Mengasihi. Anugerah peran yang dimainkan nya, betapapun sulitnya peran itu

sehingga dengan peran itu dia sampai kepada Rabbnya dalam kerinduan cinta.

Memudarlah aneka rasa yang pernah dialaminya di masa ketercampakan

dan kegalauan sebelum Allah memberinya kehidupan dibawah anugerah Al-

Qur’an dan sebelumAllah menuntunya kenaungan-Nya yang mulia. Perasaan

itulah yang telah merengaut jiwaku yang penat dalam mengahadapi seluruh

smesta ini, lalu aku ungkapkan dengan,

“Semesta terpadu bingung, ke mana dia hendak berlalu?


Kalaulah mamu, bagaimana dan mengapa dia berlalu?
Dia adalah permainan yang terlantar dan upaya sis-sia
Tempat kembali yang memuaskan tidak lah disukai.”
Kini aku tahu, segala puji dan karunia hanya kepunyaan Allah bahwa di

sana tidak ada upaya yang sia-sia. Seluruh upaya pasti terbalas. Disana tidak ada

kepenatan yang disepelekan, sebab setiap kepenatan membuahkan hasil. Tempat

kembali itu laksana penyakit, sedang si sakit berada di tangan yang Maha Adil

lagi Maha Penyayang.

Kini aku merasa bahwa alam semesta tida terhenti dalam satu nestapa

untuk selamanya. Nyawa semesta beriman kepada Rabbnya, menuju kepadaNya,

dan bertasbih memuji-Nya. Alam semesta berlalu selaras dengan prinsip yang

dipilihkan Allah untuknya dalam ketaatan, keridhaan, dan kepasrahan.


238

Inilah upaya raksasa di dunia rasa dan di dunia perenungan. Ia pun

merupakan upaya raksasa di alam raga dan saraf yang melebihi upaya raksasa

manapun dalam keindahan kerja, aktivitas, penerimaan pengaruh, dan pemberian

pengaruh.

Jadi, keimanan merupakan daya pendorong dan kekuatan penyatu. Begitu

hakikat keimanan mengendap dalam kalbu, ia un bergerak untuk berkarya dan

merealisasikan esensinya dalam realita agar tercipta keserasian antara sosok

keimanan yang tersembunyi dengan sosok keimanan yang nyata. Hakikat

keimanan itu pun menatap sumber-sumber gerakan diseluruh alam manusia dan

mendorongnya agar berjalan.

Itulah rahasia kekuatan akidah di dalam diri dan rahasia kekuatan diri

dengan adanya akidah. Rahsia yang luar biasa itulah yang telah dilakukan akidah

dibumi ini dan yang senantiasa dilakukannya setiap hari. Yaitu, keluar biasaan

yang mengubah wajah kehidupan dari hari ke hari dan mendorong individu serta

mendorong jamaah untuk mengorbankan usianya yang fana lagi terbatas itu dalam

lapangan kehidupan yang besar dan tidak fana. Rahsia yang luar biasa itu

menempatkan individu yang minoritas dan sedikit di depan kekuatan penguasa,

kekuatan harta, dan kekuatan besi dan api.

Tiba-tiba keluruh kekuatan tersebut kalah dalam menghadapi akidah yang

meletup dalam spirit individu yang beriman. Buanlah individu yang fana lagi

terbatas itu yang mengalahkan seluruh kekuatan tersebut. Namun, kekuatan yang

besar dan mencengangkan, yang diambil oleh run itu sebagai sumber yang

memancar, yang tidak pernah kering, yang tidak pernah berkurang, dan yang tidak

pernah melemah … itulah yang mengalahkan individu yang fana tersebut.


239

Daya luar biasa yang dibawa oleh akidah agama dalam kehidupan individu

dan kehidupan kelompok itu tidakah tegak di atas khurafah yang rumit dan tidak

bertopang pada ketakutan dan pikiran. Namun, ia bertopang pada sarana yang

nyata dan pondasi yang kokoh. Aidah agama merupakan gagasan universal yang

mengikatkan manusia dengan kekuatan alam semesta, baik yang nyata maupun

yang tersembunyi. Gagasan yang universal yang mengokohkan ruh nya dengan

kepercayaan dan ketenangan. Juga yang menganugerahinya kemampuan untuk

menghadapi kekuatan palsu dan situasi yang batil dengan kuatnya keyakinan

untuk menang dan kuatnya kepercayaan kepada Allah.

Akidah itulah yang menujelaskan kepada individu yang ihhwal

hubungannya dengan manusia, peristiwa, dan perkara yang ada disekitarnya. Juga

menjelaskan tujuan, arah, dan jalan manusia; menghimpun kekuatannya dan

seluruh kekuatan yang lainnya; dan mendorong kekuatan itu hingga terarah. Dari

sana pun muncul kekuatan akidah yang lain. Yaitu, kekuatan yang menghimpun

segala daya dan upaya yang memiliki satu pusat dan mengarahkannya kearah

yang satu. Kemudian kekuatan itu membawanya kesasaran yang jelas dengan

penuh kekuatan, kepercayaan, dan keyakinan.

Kekuatan akidah it uterus bertambah. Emudian bergerak dengan langkah


mantap dan juga dimiliki oleh seluruh alam semesta, baik yang zahir maupun
yang samar. Seluruh kekuatan yang tersimpan diseluruh bagian alam ini bergerak
dengan keimanan. Lalu, diperjalanan bertemu dengan kekuatan akidah seorang
mukmin. Maka dia bergabung dengan rombongan alam yang menabjubkan agar
kebenaran dapat mengalahkan kebatilan, meskipun kebatilan itu memiliki
kekuatan nyata dengan mata yang berkilat.
Mahabenar Allah yang berfirman, “Mereka merasa telah member nikmat
kepadamu dengan keIslaman mereka. Katakanlah, ‘Janganlah kamu merasa telah
member nikmat kepadaku dengan keIslamanmu, sebenarnya Allah Dialah yang
240

melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjiki kamu kepada keimanan jika


kamu adalah orang-orang yang benar.” 151
Itu karunia terbesar yang tida dapat dimiliki dan diberikan kecuali oleh

Allah Yang Maha Pemurah kepada orang yang diketahuai-Nya bahwa dia memang

berhak menerima anugerah yang besar ini.

Maha Benar Allah yang Mahaagung. Apa yang dialami oleh orang yang

telah menemukan keakraban dengan aneka hakikat, pemahaman, makna, dan

perasaan tersebut, lalu dia hidup dengan dan bersama semua itu serta menempuh

perjalanan di planet ini di bawah anugerah dan petunjuk hakikat tersebut?

Bagaimana dengan orang yang kehilangan hakikat, walaupun dia bergelimang

dalam limpahan nikmat, sedang dia bersenang-senang dan bersantap seperti

halnya binatang? Sebenarnya binatang itu lebih lurus. Sebab, denga fitrahnya, ia

mengetahui keimanan dan beroleh petunjuk menuju penciptanya yang Maha

Pemurah.

“Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi.


Dan, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-Hujurat : 18) 152
Zat yang mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi, beartti Dia

mengetahui apa yang Ghaib di dalam diri, yang etrsimpan dalam hati, dan

mengetahui hakikat perasaan. Dia melihat apa yang diketahui manusia.

Pengetahuan-Nya tentang mereka tidak bersumber dari kata-kata yang dilontarkan

lidah mereka. Tetapi, dari perasaan yang bergejolak dalam kalbu mereka dan dari

aktivitas yang membuktikan apa yang bergejolak dalam kalbu tersebut.

Waba’du. Inilah surah yang agung. Setiap ayat yang berjumlah 18 ini

nyaris melukiskan tanda-tanda ilmuan yang mulai bersih tinggi, dan sehat secara

151 Ibid. hlm. 424-427


152 Ibid. hlm. 427-428
241

mandiri. Di samping itu, masing-masing ayat pun menyingkapkan aneka hakikat

yang besar dan mengokohkan pangkalnya di lubuk kalbu. 153

153 Ibid. hlm. 428

Anda mungkin juga menyukai