Anda di halaman 1dari 10

TAFSIR BI MATSUR DAN BI AL-RAY

Rizal Julmi
Prodi Ilmu Hadits Fakultas Ushuludin dan Adab UIN Sultan Maulana Hasanudin
Banten
Rizalzulmi456@gmail.com

Absatrak
Al-Qur’an merupakan kalamullah yang diturunkan oleh Allah SWT
kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibril, dan Nabi
Muhammad SAW menyampaikannya kepada umatnnya. Oleh karena itu para
sahabat yang hidup bersama Nabi tidak kesulitan dalam memahami Al-Qur’an.
Disamping karena Al-Qur’an menggunakan bahasa mereka, juga karena mereka
sering mendapatkan pengajaran dan penjelasan dari Nabi.1Sehingga usaha
menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi
sendiri. Ali ibn Abi Thalib (w. 40 H), Abdullah ibn Abbas (w. 68 H), Abdullah
Ibn Mas’ud (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para
sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan
dengan sahabat-sahabat yang lain2.
Kata Kunci : Al-qur’an, tafsir bi matsur, dan tafsir bi al-ray

Pendahuluan
Pada masa pasca Rasulullah persoalan-persoalan umat menjadi lebih banyak
dan komplek,Setelah nabi wafat, dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an para
sahabat pertama-tama menelitinya dalam Al-Qur’an sendiri, karena ayat-ayat
Al-Qur’an satu sama lain saling menafsirkan; Kedua, merujuk kepada penafsiran
Nabi Muhammad SAW, sesuai dengan fungsi beliau sebagai mubayyin terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an; Ketiga, apabila mereka tidak menemukan keterangan
tentang ayat tertentu dalam Al-Qur’an dan tidak sempat menanyakannya kepada
Rasulullah SAW, para sahabat berijtihad dengan bantuan pengetahuan bahasa

1
Muhammad Zaini, Ulumul Quran Suatu Pengantar ( Banda Aceh:Yayasan PeNA Banda
Aceh,2005), hal.109
2
Yunahar Ilyas “Kuliah Ulumul Qur’an”( Yogyakarta: ITQAN Publishing)Al-Hafizh Jalâl ad-
Din ‘Abd ar-Rahman as-Suyuthi, Al-Itqân fi ‘Ulum Al-Qur’an (Beirut: al-Maktabah al-
Ashriyah, 2003), juz 1 hlm. 187.
Arab, pengenalan terhadap tradisi arab dan keadaan orang-orang Yahudi dan
Nasrani di Arabia pada waktu ayat turun atau latar belakang ayat tersebut
diturunkan, dan dengan menggunakan kekuatan penalaran mereka sendiri3. Baru
yang terakhir, sebagian sahabat ada pula menanyakan beberapa masalah,
khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur’an
kepada tokoh-tokoh Ahlul Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti
‘Abdullah ibn Salam (w. 43 H), Ka’ab Al-Ahbar (w. 32 H).
Dengan memperhatikan semakin maju pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan baik bersifat keagamaan atau umum. Dan disini yang paling pokok
mengenai tafsir Al-qur’an, yang mana bila dikembalikan kepesatnya
perkembangan ilmu pendidikan yang saat ini kita rasakan adalah rasio (akal) lah
yang menjadi tolak ukur terhadap suatu hal. Yang itu dinilai dari
kemaslahatanya, maka kalau dikenakan pada Al-qur’an dengan tujuan Li-tafsir,
maka itu tidak pas. Karena kita masih memiliki hadits nabi dan juga qoul
sahabat dan tabi’in yang menjelaskan atau menerangkan tentang isi kandungan
Al-qur’an dan juga guna mempertegas perbedaan antara Tafsir dengan riwayat
dan juga dengan akal. Maka dari keterangan diatas pemakalah membahas “tafsir
bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi”.
A. Pengertian Tafsir Bil Ma’tsur dan Tafsir Bil Ra’yi
1. Pengertian Tafsir
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan Taf'il, keduanya berasal dari akar
bahasa, yaitu : Pertama : Berasal dari akar kata " al-Fasr " yang artinya Al-
Bayan : penjelasan atau keterangan. Kata kerjanya mengikuti wazan ( dharaba,
yadhribu, dharban ) atau mengikuti wazan ( nashara, yansuru, nasran ), yang
memiliki arti Al-Ibanah : penjelasan. Kedua : Berasal dari akar kata " At-Tafsir "
mengikuti wazan fa'ala ditambah tasydid pada Ain Fi'ilnya, yang mengikuti
wazan ( Fassara, Yufassiru, Tafsiran ) yang mempunyai arti Al-Ibana dan Al-
Kasyfu, yang artinya ; menerangkan atau mengungkap. Dengan demikian, dari
dua kata tafsir tersebut, dapat diartikan juga, bahwa tafsir dari akar Al-Fasr
berarti memiliki kata Kasyful Mughatta', yaitu : mengingkap sesuatu yang
abstrak. Sedangkan yang berasal dari akar kata At-Tafsir, berarti memiliki kata
( Kasyful Murad Anil Lafadz Al-Musykil ), yang artinya : menyingkap suatu
lafazd yang musykil ( pelik ) Istilah Tafsir merujuk kepada Al-Qur’an
َ ‫َواَل َي أۡ تُون‬
sebagaimana tercantum di dalam QS. Al-Furqan : 33 ‫َك ِب َم َث ٍل إِاَّل ِج ئۡ ٰنَ َك ِبٱ ۡل َح ِّق‬

3
Ibid, Hal 271
ً ‫ َوأَ ۡح َس َن فَۡت ِس‬yang artinya “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu
٣٣ ‫يرا‬
membawa sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang
benar dan penjelasan (tafsir) yang terbaik”. Maksudnya : paling baik penjelasan
dan perinciannya4. Pengertian inilah yang dimaksud dalam Lisan al-‘Arab
dengan “Kasyf Al-Mughaththa” (membukakan sesuatu yang tertutup).
Sedangkan tafsir menurur Ibn Manzhur ialah membuka dan menjelaskan
maksud yang sukar dari suatu lafadz5. Sebagian ulama pun banyak yang
mengartikan tafsir sependapat dengan Ibn Manzhur yaitu menjelaskan dan
menerangkan.
2. Pengertian Tafsir Bil Ma’tsur
Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Farmawi, tafsir bil ma’tsur disebut pula
tafsir bi-riwayah dan an-nagl adalah penafsiran yang mendasarkan pada
penjelasan al-qur’an itu sendiri, penjelasan rasul, penjelasan para sahabat
melalui ijtihatnya dan aqwan tabi’in6. Tafsir bil ma’tsur adalah metode
penafsiran dengan cara mengutip atau mengambil rujukan pada Al-Qur’an,
hadist nabi, kutipan sahabat serta tabi’in. Jadi, bila merujuk pada definisi diatas,
ada empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran. Pertama: Al-Quran yang
dipandang sebagai penafsir terbaik terhadap Al-Quran itu sendiri. Kedua:
otoritas hadist nabi yang memang berfungsi sebagai penjelas Al-Quran. Ketiga:
otoritas pejelasan shahabat yang dipandang sebagai orang yang banyak
mengetahui Al-Quran. Keempat: otoritas penjelasan tabii’in yang dianggap
orang yang bertemu langsung dengan sahabat, Metode ini mengharuskan
mufasir menelusuri shahih tidaknya riwayat yang digunakannya. Tafsir Bil
Ma’tsur telah ada sejak zaman sahabat. Pada zamannya Tafsir Bil Ma’tsur
dilakukan dengan cara menukil penafsiran dari Rasulullah SAW, atau dari
sahabat oleh sahabat, serta dari sahabat oleh tabi’in dengan tata cara yang jelas
periwayatannya, cara seperti ini biasanya dilakukan secara lisan. Setelah itu ada
periode dimana penukilannya menggunakan penukilan pada zaman sahabat yang
telah dibukukan dan dikodifikasikan, pada awalnya kodifikasi ini dimasukkan
dalam kitab-kitab hadits, namun setelah tafsir menjadi disiplin ilmu tersendiri,
maka ditulis dan terbitlah buku-buku yang memuat khusus tafsir bil ma’tsur
4
Abdul Qadir Muhamad Shaleh, At-Tafsir Wa Al-Mufassirun Fi Ash Al-Hadits,
( Beirut : Dar Al-Ma'rifah, 1424H/ 2003 M, Cet. Ke-1 h. 80-81.
5
Al- Farmawi, abd Havy, Al Bidayah fi at-tafsir al-Maudhu’I, Maktabah Al-
jumhuriyah, Mesir. Hal 25
6
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an /Tafsir.(Jakarta:Bulan
Bintang, 1980) hlm. 227
lengkap dengan jalur sanad kepada nabi muhammad SAW, para sahabat, tabi’in
al tabi’in.
Sedangkan menurut istilah para ulama mendefinisikan tafsir bil ma’tsur
diantaranya, menurut Manna’ Al-Qaththan, tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang
berdasarkan kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Hadits Nabi yang berfungsi untuk menjelaskan
Kitab Allah, dan juga dengan perkataan sahabat karena merekalah yang lebih
mengetahui kitab Allah atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar
tabi’in karena pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat
Menurut Muhammad Al-Zarqani, tafsir bil ma’tsur adalah penafsiran ayat Al-
Qur’an dengan ayat Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Sunnah Nabi, dan para
sahabat7. Sedangkan menurut Muhammad Husein Adz-Dzahabi, tafsir bil
ma’tsur adalah penafsiran yang bersumber ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-
Quram, dengan Hadits nabi, perkataan sahabat dan juga tabiin, termasuk dalam
kerangka tafsir riwayat meskipun mereka tidak secara langsung menerima tafsir
dari Rasullullah SAW
3. Pengertian Tafsir bil ra’yi
Kata al-Ra’y berarti pemikiran, pendapat dan ijtihad. Sedangkan menurut
definisinya, Tafsir bir-ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an yang didasarkan pada
pendapat pribadi mufassir8. Secara etimologi, ra’yi berarti keyakinan (I’tiqod),
analogi (Qiyas dan Ijtihat.9 Dan ra’yi dalam terminologi tafsir adalah ijtihad.
Dengan demikian, tafsir bil ra’yi (disebut juga tafsir bi al-dirayah) sebagaimana
didefinisikan Husen Adz Dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya diambil
berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah dahulu mengetahui bahasa
arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran
seperti asbabun nuzul, nasikh mansukh, dan sebagainya. Sedangkan menurut Al-
Farmawi adalah mentafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad setelah terlebih dahulu
mengetahui kosa kata bahasa arab ketika digunakan berbicara beserta muatan-
muatan artinya.10 Untuk menafsirkan Al-Qura’an denfan Ijtihat, mufassir pun

Muhammd Al-Zarqani, Manahil Irfan Fi Ulum Al-Qur’an, hal.12


7

8
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an… hlm. 488
9
Basuni faudah, tafsir-tafsir al-qur’an,terj,. Pustaka Bandung,1987, Hlm 62, adz-
dzahabi, At-Tafsir, hlm 254
10
Al- Farmawi, abd Havy, Al Bidayah fi at-tafsir al-Maudhu’I, Maktabah Al-
jumhuriyah, Mesir. Hal 26-27
dibantu oleh syi’ir Jahiliyah, asbabun nuzul, nasikh mansukhsebagaimana
dijelaskan tentang syarat-syarat menjadi mufasir.

B. Perbedaan Tafsir Bil Ma’tsur dan Tafsir Bil Ra’yi


Ilmu tafsir Al-Qur’an terus menerus mengalami perkembangan sesuai
dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Al-
Qur’an dapat bermakna bagi umat Islam di segala waktu dan segala tempat.
Pada perkembangan terbaru mulai diadopsilah metode-metode baru guna
memenuhi tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa metode dalam ilmu
filsafat yang digunakan untuk membaca teks Al-Qur’an maka dihasilkanlah
cara-cara baru dalam memaknai Al-Qur’an. Melihat sejarah awal perkembangan
tafsir, muncul dua jenis penafsiran Al-Qur’an secara estafet, yaitu tafsir bi al-
ma’tsur atau disebut juga dengan tafsir bi al-riwayah dan tafsir bi al-ra’yi atau
tafsir bi al-dirayah. Untuk meminimalisir perdebatan tentang bentuk kedua jenis
tafsir ini, penulis lebih memahami keduanya tidak sebagai sebuah metode
ataupun corak tafsir melainkan jenis-jenis penafsiran yang muncul dalam sejarah
awal usaha pemahaman terhadap Al-Qur’an
1. Tafsir bil ma’tsur
Tafsir ini merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul pertama kali
dalam sejarah khazanah intelaktual Islam. Sedikit sekali terjadi perbedaan
pendapat dalam produk-produk penafsirannya. Sebagian besar perbedaan yang
ditemukan adalah pada aspek pemahaman redaksional terhadap ayat-ayat Al-
Qur’an. Ini disebabkan relativitas kualitas intelektual shahabat dalam memahami
ayat-ayat Al-Qur’an tersebut. sehingga wajar ditemukan perbedaan. Sebagai
sebuah contoh dalam Mabahits fi Ulum al-Qur’an, seorang mufassir pada masa
itu mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi yang berbeda dengan
redaksi mufassir yang lain dan masing-masing redaksi itu menunjuk makna yang
juga berbeda namun maksud semuanya adalah sama. Seperti penafsiran terhadap
kata Shirat Al-Mustaqim, sebagian menafsirkannya sebagai Al-Qur’an dan
sebagian yang lain menafsirkannya dengan Islam. Kedua tafsiran ini berbeda
namun senada karena Islam didasari oleh Al-Qur’an hanya saja masing-masing
penafsiran itu menggunakan sifat yang tidak digunakan oleh yang lain.
2. Tafsir Bir-Ra’yi
Tafsir bir-ra’yi muncul sebagai sebuah jenis tafsir pada periode akhir
pertumbuhan tafsir bil-ma’tsur sebagai periode awal perkembangan tafsir. Pada
masa ini, islam semakin maju dan berkembang, maka berkembanglah berbagai
madzhab dan aliran dikalangan umat Islam. Masing-masing golongan berusaha
meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan paham mereka. Untuk maksud
tersebut mereka mencari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi, lalu mereka
tafsirkan sesuai keyakinan yang mereka anut.
Meskipun telah terdapat upaya sebagian Muslim yang menunjukkan bahwa
mereka telah melakukan penafsiran dengan ijtihad, khususnya pada zaman
shahabat dan tabi’in sebagai tonggak munculnya ijtihad namun tidak menutup
kemungkinan bahwa sejak zaman Nabi, benih-benih tafsir bir-ra’yi telah tumbuh
dikalangan umat Islam. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa sebenarnya
tafsir bir-ra’yi tidak semata-mata didasari penalaran akal, dengan mengabaikan
sumber-sumber riwayat secara mutlak. akan tetapi lebih selektif terhadap
riwayat tersebut. Dalam sumber lain Tafsir bir-ra’yi bukan berarti menafsirkan
ayat dengan menggunakan akal seluas-luasnya, tetapi tafsir yang didasarkan
pada pendapat yang mengikuti kaidah-kaidah bahasa Arab yang bersandar pada
sastra jahiliah berupa syair, prosa, tradisi bangsa Arab, dan ekspresi percakapan
mereka serta pada berbagai peristiwa yang terjadi pada masa Rasul menyangkut
perjuangan, perlawanan, pertikaian, hijrah, dan peperangan yang beliau lakukan
selain itu juga menyangkut berbagai fitnah yang pernah terjadi dan hal-hal yang
terjadi saat itu, yang mengharuskan adanya hukum-hukum dan diturunkannya
ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian, tafsir bir-ra’yi adalah tafsir dengan cara
memahami berbagai kalimat Al-Qur’an melalui pemahaman yang ditunjukkan
oleh berbagai informasi yang dimiliki seorang ahli tafsir seperti bahasa dan
berbagai peristiwa.
C. Pendapat Ulama Tentang Tafsir Bil Ma’tsur Dan Tafsir Bil Ra’yi
Secara garis besar, penafsiran pada masa ini kukuh beracuan pada aspek
riwayat-riwayat yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an karena dianggap sebagai
jalan pengetahuan yang benar dan paling aman untuk tetap terjaga dari
ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami al-Qur’an. Namun bukan berarti
tidak terjadi ijtihad karena hal ini dapat dilihat dari sumber-sumber kajian tafsir
yang digunakan selain al-Qur’an dan Sunnah juga menggunakan Ijtihad
shahabat dalam beberapa hal yang mutlak memerlukan ijtihad.Dalam bahasa
Quraish Shihab disebut sebagai keterpaksaan melakukan ijtihad karena Nabi
telah wafat. Bahkan ditemukan juga riwayat Ahl Kitab Yahudi dan Nashrani
yang telah masuk Islam. Kelemahan Tafsir bil-ma’tsur (1) Banyak ditemukan
riwayat-riwayat yang disisipkan oleh orang-orang yahudi dan persi dengan
tujuan merusak islam melalui informasi yang tidak dipertanggungjawabkan
kebenarannya. (2) Banyak ditemukan usaha-usaha penyusupan kepentingan
yang dilakukan oleh aliran-aliran yang dianggap menyimpang seperti kaum
Syi’ah. (3) Tercampur aduknya riwayat-riwayat yang shahih dengan riwayat-
riwayat hadits yang sanadnya lemah. (4) Banyak ditemukan riwayat Isra’iliyyat
yang mengandung dongeng-dongeng yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
Semua kitab tafsir ini biasanya memuat hanya tentang tafsir bil ma’tsur
kecuali kitab yang dikarang Ibn Jarir yang menyertakan pendapat dan
menganalisannya serta mengambil istinbath yang mungkin ditarik dari ayat Al-
Qur’an. Pada perkembangan selanjutnya, ada banyak tokoh yang
mengkodifikasikan tafsir bil ma’tsur tanpa mengemukakan periwayatan
sanadnya dan hanya mengemukakan pendapat-pendapatnya sendiri serta tidak
membedakan periwayatan yang shahih atau tidak. Karena adanya kecurigaan
pemalsuan, muncullah studi-studi kritis yang berhasil menemukan dan
menyingkap sebagian riwayat palsu sehingga para mufasir dapat berhati-hati.
Hal ini kita temukan ketika menafsirkan Al-Qur’an pada ayat yang mujmal
ditafsirkan oleh ayat lain yang mufasshal, ayat Al-Qur’an yang mutlaq dengan
ayat Al-Qur’an yang muqayyad.
Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H. Dan peradaban Islam semakin
maju dan berkembang, maka berkembanglah berbagai mazhab dan aliran di
kalangan umat Islam. masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat
dalam rangka mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai maksud itu,
mereka mencari ayat-ayat al-Qur'an dan hadis hadis Nabi SAW, lalu mereka
tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Ketika inilah berkembang
apa yang disebut dengan tafsir bir ra'yi ( tafsir melalui pemikiran atau ijtihad).
Pendek kata, berbagai corak tafsir bir ra'yi muncul di kalangan ulama-ulama
mutaakhirin, sehingga di abad modern lahir lagi tafsir menurut tinjauan
sosiologis dan sains seprti tafsir Al-Manar dan Al-Jawahir. melihat
perkembangan tafsir bir ra'yi yang demikian pesat, maka tepatlah apa yang
dikatakan Manna' Al-Qathtan bahwa tafsir bir ra'yi mengalahkan perkembangan
al-ma'tsur.
Meskipun tafsir bir ra'yi berkembang dengan pesat, namun dalam menerimanya
para ulama terbagi dua: ada yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya.
Tapi seletah diteliti, ternyata pendapat yang bertentangn itu hanya bersifat lafzi
(redaksional). maksudnya kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran
yang berdasarkan ra'yi ( pemikiran) semata (hawa nafsu) tanpa mengindahkan
kaedah-kaedah dan cerita yang berlaku. penafsiran inilah yang diharamkan oleh
Ibn Taimiyah. sebaliknya, keduanya sepakat membolehkan penafsiran al-Qur'an
denagn ijtihad yang berdasarkan al-Qur'an dan sunnah rasul serta kaedah-kaedah
yang mu'tabarat (diakui sah secara bersama)
Sedangkan tafsir bi ra’yi terdapat banyak perdebatan (pro dan kontra) mengenai
boleh atau tidaknya menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan Al-Ra’yi (akal).
Diantara sekian banyak ulama yang ada, mayoritas ulama enggan menafsirkan
Al-Qur’an dengan pendekatan Al-Ra’yi. Karena hal ini berdasarkan pada hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Jundab yang artinya : barang siapa yang
menafsirkan Al-Qur’an dengan Ra’yunya kebetulan tepat, niscaya ia telah
melakukan kesalahan.

Kesimpulan
Tafsir bil ma'tsur diartikan sebagai tafsir yang dilakukan dengan jalan riwayat,
yakni tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an, hadits, pendapat sahabat, atau tabi'in. Tafsir bir
ra'yi didefinisikan sebagai upaya menyingkap isi kandungan al-Qur'an dengan ijtihad
yang dilakukan dengan mengapresiasi eksistensi akal.

Dalam tafsir bil ma’tsur, penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an atau haidts dan
sahabat tidak ada beda pendapat tentang kevalidannya di kalangan ulama’, namun tafsir
para tabi'in ada perbedaan pendapat dikalangan ulama'. sebagain ulama' berpendapat,
tafsir itu termasuk ma'tsur karena para tabi'in berjumpa dengan para sahabat.

Ada pula yang berpendapat, tafsir itu sama saja dengan tafsir bir ra'yi (penafsiran
dengan pendapat). Artinya, para tabi'in itu mempunyai kedudukan yang sama dengan
mufassir yang hanya menfsirkan berdasarkan kaidah bahasa Arab. Tafsir bi al-Ra'yi
adalah upaya untuk memahami nash al-Qur'an atas dasar ijtihad seorang ahli tafsir
(mufassir ) yang memahami betul bahasa Arab dari segala sisinya, mengerti betul
lafadz-lafadznya dan dalalahnya, mengerti syair syair Arab sebagai dasar pemaknaan,
mengetahui betul ashab nuzul, mengerti nasikh dan mansukh di dalam al-Qur'an, dan
menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang mufassir.

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Zaini, Ulumul Quran Suatu Pengantar ( Banda Aceh:Yayasan PeNA Banda Aceh,2005),
hal.109

Yunahar Ilyas “Kuliah Ulumul Qur’an”( Yogyakarta: ITQAN Publishing)Al-Hafizh Jalâl ad-Din ‘Abd
ar-Rahman as-Suyuthi, Al-Itqân fi ‘Ulum Al-Qur’an (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah, 2003), juz 1 hlm.
187.

Abdul Qadir Muhamad Shaleh, At-Tafsir Wa Al-Mufassirun Fi Ash Al-Hadits,


( Beirut : Dar Al-Ma'rifah, 1424H/ 2003 M, Cet. Ke-1 h. 80-81.
Al- Farmawi, abd Havy, Al Bidayah fi at-tafsir al-Maudhu’I, Maktabah Al-jumhuriyah,
Mesir. Hal 25
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an /Tafsir.(Jakarta:Bulan
Bintang, 1980) hlm. 227
Muhammd Al-Zarqani, Manahil Irfan Fi Ulum Al-Qur’an, hal.12
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an… hlm. 488
Basuni faudah, tafsir-tafsir al-qur’an,terj,. Pustaka Bandung,1987, Hlm 62, adz-dzahabi,
At-Tafsir, hlm 254
Al- Farmawi, abd Havy, Al Bidayah fi at-tafsir al-Maudhu’I, Maktabah Al-jumhuriyah,
Mesir. Hal 26-27

Anda mungkin juga menyukai