Anda di halaman 1dari 23

HAQĀ’IQ AL-TAFSĪR KARYA AL-SULAMĪ

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah

Studi Tafsir Sufi

Oleh:

Tsamrotul Ishlahiyah (E93216088)

M. Ubaidillah Mauluddin (E93216146)

Dosen Pengampu:

MOH. YARDHO, M.Th.I

PRODI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur selalu dihaturkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmatNya

kami dapat menyelesaikan tugas makalah.

Untaian shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw

sebagai uswatun hasanah yang telah membawa agama Islam sebagai pencerah umat dan

menjadikan sebuah kebenaran.

Ungkapan rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah bersedia untuk

membantu kami dalam segala hal dari awal hingga akhir. Dengan segala keterbatasan dan

kekurangan yang ada, kami berusaha semampunya untuk menyusun makalah yang berjudul

“Tafsir Haqā‟iq al-Tafsīr Karya al-Sulami”.

Akhirnya, hanya kepada Allah SWT kami kembalikan segala sesuatunya. Semoga

apa yang kami hasilkan dapat bermanfaat bagi penulis dan juga bagi para pembaca.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Semakin berkembangnya zaman, model penafsiran Quran pun ikut berkembang.
Kadang dalam hal ini, berkembangnya tafsir yang masih dalam sebuah batasan masih dapat
diterima oleh masyarakat umum. Tetapi penafsiran yang melewati batas, ini akan
menimbulkan kontra dari orang-orang sekitar, terutama para mufassir.
Tidak terkecuali dengan kitab Haqā‟iq al-Tafsīr karya al-Sulami dimana banyak pro
dan kontra mengenai kitab tersebut. Tidak sedikit ulama yang berkomentar mengenai kitab
tersebut. Mereka berkomentar tentang kitab tafsir ini yang intinya tidak sesuai atau tidak
cocok untuk dikonsumsi masyarakat pada umumnya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup al-Sulami?
2. Bagaimana pemikiran sufi al-Sulami?
3. Bagaimana corak dan pendekatan sufistik dalam penafsiran al-Sulami?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui riwayat hidup al-Sulami
2. Untuk mengetahui pemikiran sufi al-Sulami
3. Untuk mengetahui Bagaiman corak dan pendekatan sufistik dalam penafsiran al-
Sulami
BAB II

HAQĀIQ AL-TAFSĪR KARYA AL-SULAMĪ

A. Biografi al-Sulami

1. Riwayat Hidup Al-Sulami


Nama lengkapnya adalah Abū Abdul al-Rahman Muhammad Ibn al-Husaīn Ibn

Mūsa al-Ażḍī al-Sulamī.1 Sedangkan menurut Mahjuddin nama lengkap al-Sulami adalah

Abi Abdi al-Rahman Muhammad bin Husayn bin Muhammad bin Musa al-Sulami al-Azdi,

lahir di Khurasan Iran lahir pada 16 April tahun 325 H/937 M dan wafat pada bulan Sya'ban

pada 3 november 412 H/1012 M.2

Al-Sulamī termasuk keturunan suku Arab suku Azd bin Ghawts dari garis ayahnya,

dan Sulaym bin Mansur dari garis ibu. Beberapa ulama terkenal yang termasuk dalam garis

keturunan ibunya adalah Ahmad bin Yusuf bin Khalid al-Naisaburi, seorang ahli hadis; dan

Abu Amr Isma'il bin Nujayd (w.360 H/971 M) yang selain ahli hadis juga seorang tokoh

sufi abad ke-4 H.3

Ibn Nujayd inilah yang pertama kali menanamkan pengaruhnya di dalam

perkembangan intelektual al-Sulamī. Memulai periwayatan hadis dari Ibn Nujayd, al-Sulami

dikenal sebagai seorang yang tsiqat yang menjadi sumber bagi Hakim al-Naisaburi
(w.405/1014), al-Qusyairi, Abu Bakr al-Bayhaqi (w.458/1066) dan Abu Nu'aym al-

Isfahani.4

Sejak usia delapan tahun ia sudah mendalami hadis bahkan kemudian

meriwayatkannya. Ia mempelajari hadis dari beberapa guru seperti Syekh Abu Bakar As-

1
Taqiy al-Din Ibn Shalah, Fatawa, Kairo: Idara Thaba'a al-Muniriyya,1438 H, h.29
2
Mahjuddin. Akhlak Tasawuf II (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), h. 41.
3
4
Ibid
M. Anwar Syarifuddin. “Menimbang Otoritas Sufi dalam menafsirkan al-Qur‟an” Jurnal Studi AGAMA DAN
MASYARAKAT vol. 1, no.2 Desember 2004, Jurnal ini dikelola oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
(P3M) STAIN Palangka Raya Kalimantan Tengah.
Sibhghi dan Imam Abu Nua‟im al-Isbahani, pengarang kitab mengenai tasawuf, “Hilyatul

Awliya”. Kepiawaiannya dalam ilmu hadis menjadikan imam al-Sulami sebagai rujukan

banyak ulama. Oleh karena itu al-Sulami terkenal sebagai seorang pakar hadis, guru para

sufi, dan pakar sejarah. Dia seorang syekh tariqah yang telah dianugerahi penguasaan dalam

berbagai ilmu hakikat dan perjalanan tasawuf. 5

Pada abad ke-3 dan ke-4 H, mengalami puncak kemajuan ilmu tasawuf . Tasawuf

berfungsi sebagai jalan mengenal Allah Swt., (ma'rifah) yang tadinya hanya sebagai jalan

beribadah. Tasawuf pada masa itu merupakan pengejawantahan tasawuf teoritis.6 Al-Sulami

yang lahir dan masuk kelompok sufi pada masa itu, terkenal sebagai penulis sejarah biografi

kaum sufi masyhur yang semasa dengannya yaitu dalam kitabnya Adab al-Mutasawwafah.7

Selain itu, dia juga terkenal dengan kitabnya Thabaqah al-Sufiyin yang juga memaparkan

biografi-biografi para sufi.8 Al-Sulami menitik tekankan tasawuf pada ketaatan terhadap al-

Qur'an, meninggalkan perkara bid'ah dan nafsu syahwat, ta'dzim pada guru/syekh, serta

bersifat pemaaf.

2. Karya-karya al-Sulami
Di antara karyanya yakni: Al-Farq Bayna al-Shari‟ah wa-al Haqiqah, Al-

Hadithu al-Arba‟un, Adab As-Sufiyya, Adab Al-Suhba wa Husn al-Ushra, Amthal al-
Qur‟an, Al-Arbain fi al-Hadis, Bayan fi Al-Sufiyya, Darajat al-Muamalat, Darajat As-

Shiddiqin, kitab Al-Futuwwa9, Ghalatat al-Sufiyya, Al-Ikhwah wal Akhwa min al-Sufiyya,

al-Istishadat, Juwami, al-Malamatiyya, Manahij al-Arifin, Maqamat al-Awliya, Masail

Waradat min Makkah, Mihan Al-Sufiyya, Al-Muqaddimah fi at-Tasawuf wa Haqiqatih al-

5
6
Sara Saviri. Demikianlah Kaum Sufi Berbicara, Terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), .23.
Asmaran, MA. Pengantar Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 258.
7
Gafna Raizha Wahyudi. Warisan Sufi, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002), 73.
8
A. J. al-Berry. Tasawuf Versus Syari'at, Terj. Bambang Herawan, (Jakarta: Hikmah, 2000), 94.
9
Media Zainul Bahri. Tasawuf Mendamaikan Dunia, (Jakarta: Erlangga, 2010), 64.
Radd „ala ahl al-Kalam, Al-Sama, Al-Sualat Suluk al-Arifin, Sunnah al-Sufiyya, al-

Mutasawwafah, tarikh al-sufiyyah.10


3.
Corak Pemikiran al-Sulami
Al-Sulamī mengambil beberapa tasawuf dari para syekh yang masyhur, misalnya

Ibn Manazil (W 320 H/932 M), Abu Ali al-Thaqafi, dan ia juga pernah belajar ilmu

tasawuf pada Abu Nashr al-Sarraj (pengarang kitab al-Luma' fi al-Tasawuf) (W. 369 H/979

M), Abu Qasim al-Nasrabadzi dan banyak yang lainnya. Oleh karena itu otomatis corak

pemikiran tasawuf al-Sulamī sedikit banyak dipengaruhi oleh tasawuf mereka. Ia termasuk

sufi yang beraliran sunni, yang selalu berusaha menyebarkan tasawuf sunni di masa

hidupnya.11

B. Gambaran Umum Haqāiq al-Tafsīr

1. Sekilas Kitab Haqāiq al-Tafsīr

Kitab Haqā‟iq al-Tafsīr atau yang lebih dikenal dengan tafsir al-Sulami hanya ada

satu jilid besar, dan terdapat dua salinan yang ada di perpustakaan al-Azhar, Mesir. Kitab ini

diterbitkan pada tahun 1986 di Beirut, Libanon. Manuskrip dari Haqā‟iq al-Tafsīr termasuk

yang di lindungi di Gazi Hursrev-Borgova Bibioleteka di Sarajevo, Bosnia. Manuskrip kitab

ini masih menunggu publikasi.12

Kira-kira ada 50 manuskrip yang telah di salin pada pertengahan abad ke 6, sekitar

150 tahun setelah al-Sulami wafat. Pada abad 7 terdapat manuskrip dalam dua versi, yaitu

10
Muhammad Hisyam Kabbani.Tasawuf dan Ikhsan Antivirus Kebatilan dan Kedzaliman (Jakarta: PT Serambi Ilmu
semesta, 2007), 94.

11
Jamaluddin Kafi. Tasawuf Kontemporer, (Prenduan: al-Amin, 2003), 10.
12
Hilman Mulyana. “Kematian Perspektif Haqaiq al-Tafsir” Skripsi Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir Fakultas
Ushuluddin 2018, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
versi panjang dan pendek. Sedangkan pada abad 9 terdapat juga manuskrip dalam bentuk

tradisional.13

Kitab Haqā‟iq al-Tafsīr mencantumkan anggapan baru dan sumber asli materi

tentang sejarah sufi yang tidak ditemukan dalam kitab manapun. Selain itu kitab ini adalah

sebagai sebuah pendapat, maka al-Sulami banyak menggunakanm pendapat para ulama

sufi diataranya Ja‟far Ibn Muhammad al-Shadiq, Ibnu Atho‟illah al-Sukandari, Sahal bin

Abdillah. Dan pendapat-pendapat yang digunakan al-Sulami adalah pendapat para ulama

adab 2-4.14

2. Pendapat Ulama Mengenai Haqāiq al-Tafsīr

Kitab Haqā‟iq al-Tafsīr merupakan kitab yang secara umum sulit dipahami oleh

publik sebagaimana yang di utarakan oleh penulisnya di dalam muqadimmah. al-Sulami

bermaksud mengumpulkan pandangan para tokoh yang termasuk ahli al-haqiqa tentang al-

Qur'an. Sebagaimana orang lain telah menyusun banyak karya yang menampilkan ilmu-

ilmu yang termasuk dalam dimensi zhahir al-Qur'an seperti fawa'id, musykilat, ahkam,

i'rab, lughah, mujmal dan mufassar, nasikh mansukh dan lainnya.15

Hal ini menjadikan Haqā‟iq al-Tafsīr sebagai kitab yang berisi penjelasan makna

ayat-ayat al-Qur'an di luar kategori proses pengambilan makna secara i'tibari seperti yang

berlaku dalam tafsir. Belum lagi, penilaian yang beragam terhadap figur-figur sufi yang

dimuat pandangan-pandangannya di dalam penilaian terhadap metode penafsiran yang

dilakukan oleh para sufi itu, di mana setiap individu memiliki keunikannya sendiri, tetapi

juga menyertakan penilaian terhadap aspek kepribadian mereka dari yang paling taat dan

13
Ibid
14
Ibid
15
Ibid
salih sampai kepada beberapa pribadi yang dianggap nyeleneh karena pernyataan-

pernyataannya yang samar-samar (syathahiyyat).16

Dalam hal ini selain memuat padangan Ja'far al-Sadiq, Dhu al-Nun al-Misri,

Junayd, Sahl al-Tustari, Ibn Atha al-Baghdadi, Abu Bakr al-Wasiti, Fudhayl bin Iyadh,

serta Shibli, tuduhan yang memberatkan kitab ini adalah ketika al-Sulami juga memuat

pandangan-pandangan Abu Manshur al-Hallaj, seorang sufi martir yang mati digantung di

tiang salib karena pandangan-pandangan wahdat al-syuhud, dan aktivitas dakwahnya yang

mendukung pemberontakan Qaramithah terhadap kekhalifahan Abbasiah.17

Meskipun begitu, adalah sangat mungkin bila kritik pedas al-Wahdidi dan Ibn

Shalah ditujukan bukan untuk mengahakimi penafsiran sufi yang telah dikumpulkan oleh

al-Sulami, tetapi lebih sebagai peringatan keras kepada teman sejawat yang masih sesama

penganut mazhab Syafi'i untuk tidak memasukkan karyanya sebagai sebuah tafsir, yang

nampaknya telah mengalami penyempitan makna seperti yang diungkap di muka.18

Bahwa metode periwayatan tanpa menyertakan sanad lengkap sebenarnya baru

dianggap sebagai kesalahan prosedur ketika isi matan hadis yang dikandungnya memang

berkaitan dengan aspek ibadah yang mengandung unsur legalitas atau teologis yang

memerlukan argumentasi naqli yang didukung oleh kesahihan riwayat.19

Sementara pesan-pesan moral yang menyangkut aspek adab atau etika, seperti

juga halnya mau'idhah yang baik, tidak begitu mensyaratkan kesahihan sanad karena

banyak hadis yang berisi mau'idhah hasanah tetap bisa ditrima dan diamalkan meskipun

diriwayatkan melalui sanad yang lemah (dhaif). Oleh karenanya, sebagaimana Khatib al-

Baghdadi dan Subki yang menilai al-Sulami sebagai perawi yang tsiqat, persoalan

16
Ibid
17
Ibid
18
Ibid
19
Ibid
penghilangan sanad dalam proses penukilan pandangan-pandangan yang berkaitan dengan

konsepsi etika para sufi dalam memahami al-Qur'an bukan menjadi problematika utama

yang menjadikan penafisrannya dikritik pedas oleh kalangan muhadditsun, seperti diwakili

oleh al-Wahidi dan Ibn Shalah.20

Sebagaimana al-Sulami juga tidak meyakini pandangan yang dinukilkannya

sebagai tafsir dalam arti penjelasan tentang makna yang dikehendaki Allah Swt., dari ayat-

ayat al-Qur'an, Ibn Shalah memberikan jawaban dalam fatwanya, "...Imam Abu al-Hasan

al-Wahidi, seorang mufassir al-Qur'an, menyatakan bahwa Abu Abd al-Rahman al-Sulami

telah menyusun Haqā‟iq al-Tafsīr. Jika dia meyakininya sebagai tafsir, maka dia telah

kafir. Saya berpendapat bahwa ini sangat diragukan datang dari orang yang dianggap tsiqat

dalam kalangan ahli hadis”.21

Jika ia mengungkapkan penjelasan semacam itu, maka dia semestinya tidak

memasukkannya sebagai tafsir, atau penjelasan apapun yang berkaitan dengan ayat-ayat al-

Qur'an, karena hal itu sama saja dengan cara yang ditempuh oleh kelompok Bathiniyyah..."

Oleh karena itu, kenyataan bahwa al-Sulami sendiri tidak meyakini apa yang

diungkapkannya di dalam Haqā‟iq sebagai tafsir cukup memberi excuse baginya dari

tuduhan bahwa ia telah bertindak melampui batas keimanan. Tuduhan kufur baru

dikenakan bila ternyata ia memang menjalankan metode yang ditempuh kelompok

Bathiniyyah. Sa'd al-Din al-Taftazani (w.722/1390) memberikan penjelasan dalam syarh

Aqa'id al-Nasafiyah, "Kaum Bathiniyyah dijuluki dengan sebutan itu karena mereka

menyandarkan interpretasi terhadap teks al-Qur'an bukan melalui indikasi yang tertuang

20
Ibid
21
Ibid
dalam makna zhahir, tetapi dengan mengambil makan batin yang hanya diketahui oleh

imam Shi'ah yang digelari dengan julukan para mu'allim."22

Tindakan yang memalingkan makna zhahir kepada makna batin yang dilakukan

kalangan Bathiniyyah ini, menurut Taftazani, dianggap sebagai tindak kekufuran karena

maksud mereka sebenarnya adalah menolak syariah secara keseluruhan. Sebuah penjelasan

yang sangat gamblang, yang sasaran sebenarnya berada di luar kelompok sunni, terutama

karena kelompok Bathiniyyah memiliki anutan ideologis yang berbeda untuk menolak

syari'ah dengan bersembunyi di balik penafsiran batin.23

3. Metode Kitab Haqāiq al-Tafsīr


Garis besar Al-Sulami yang jelas tentang metode penafsiran mistiknya adalah

berdasarkan pada dasar argumen yang kuat dalam pemikiran tradisional Islam. Pertanyaan

paling mendasar yang ia coba jawab adalah apakah Nabi telah menerima wahyu dalam

bentuk lain selain Al-Qur'an. Dia menjawab dengan mengutip yang berasal dari „Ali bin

Abi Thalib, yang telah ditanyai pertanyaan serupa. 'Ali berkata, "Tidak, oleh Tuhan yang

membelah benih dan menciptakan makhluk hidup, [ini akan terjadi] hanya jika Tuhan akan

memberikan umat manusia pemahaman akan Kitab-Nya.". Ini dengan jelas menyebutkan

kemungkinan bahwa Allah sedang memberikan pemahaman Al-Qur'an melalui beberapa


jenis inspirasi. Atas dasar kisah tradisional tentang kemungkinan menerima "pengetahuan

ilahi yang diilhami", kita dapat mengklasifikasikan pengetahuan semacam ini sebagai

pemahaman batin. Al-Sulami juga menyebutkan tradisi lain untuk membingkai

kemungkinan memiliki makna empat kali lipat dari ayat-ayat al-Qur'an yang dikutip dari

Ibn Mas„ud. Menurut tradisi ini, Nabi berkata, "Al-Qur'an diturunkan pada tujuh huruf,

22
Ibid
23
Ibid
untuk setiap ayat ada bagian luar dan bagian dalam sedangkan setiap huruf memiliki batas

tambahkan dan titik pendakian.24

Dua catatan riwayat di atas sangat mendasar untuk dibenarkan apa yang

dikumpulkan al-Sulami di tengah-tengah tradisi “orang-orang yang terkemuka ”. Dalam

pandangan al-Sulami, orang-orang ini adalah yang dipilih spesial. Mereka adalah

sekelompok orang yang menerima pengertian ilahi wacana, karena mereka diberikan

pengetahuan tentang seluk beluk penahanan yang dipercayakan Tuhan. Al- Sulami

diklasifikasikan dua kesempatan di mana ahl al-haqa 'iq menerima ilahi pengetahuan:

pertama, bahwa Allah menunjukkan kepada mereka bagian dari kehalusan tentang rahasia

ilahi dan makna esoteris. Kedua, Tuhan juga dapat membuat muncul kepada mereka

bagian dari keajaiban Kitab-Nya. Namun, tidak ada yang bisa berbicara tentang esensi dari

kedalaman-Nya. Masing-masing dari mereka hanya bisa tahu tentang sebagian kecil itu

seperti yang pantas bagi mereka untuk mengerti. Demikianlah, kearifan diturunkan kepada

para Sufi, menurut al-Sulami, tidak dapat menutupi keseluruhan pemahaman.25

Untuk pendapat mistisnya, al-Sulami telah mengesampingkan setiap interpretasi

kategoris yang menggunakan metode „ibara. Dia mungkin meninggalkan "ilmu luar",

karena koleksi tradisi-tradisi profetik dari tipe interpretasi ini sudah menjadi perhatian dari

banyak tradisi lain di antara pendahulu dan banyak dari orang sezaman juga. Apa-apa
koleksinya yang sulit ditangkap oleh pikiran awam tentu sejak dulu dihapus dari kebutuhan

komunitas Muslim yang lebih besar. Itu tentu saja unik untuk kalangan pembaca tertentu

yang dapat memahami. Ini hanya terdiri dari tradisi pemahaman al-Qur'an atas dasar

tingkat pemahaman terdalam, yaitu tingkat haqa‟iq, tingkat signifikansi spiritual tertinggi

yang berasal dari puncak pengalaman mistis.26

24
Mohammad Anwar Syarifuddin, Measuring the Haqa’iq al-Tafsir: From its Contentious Nature to the Formation
of Sunnite Sufism, Journal of Qur‟an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 2, 2013, 231.
25
Ibid.
26
Ibid.
C. Contoh Tafsir Haqaiq al-Tafsir

Agama sudah menjelaskan bahwa manusia mengalami suatu hal yang serupa

dengan kematian, yakni tidur. Salah satu konsentrasi kematian dalam Haqaiq al-Tafsir

adalah mengenai tidur menjadi bagian dari kematian. Tidur dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, tidur berarti keadaan berhenti badan dan kesadarannya (biasanya dengan

memejamkan mata). Sedangkan dalam ilmu kesehatan, tidur merupakan proses fisiologis12

normal yang bersifat aktif, teratur, berulang,kehilangan tingkah laku yang reversible, dan

tidak berespons terhadap lingkungan. Tidur dibutuhkan otak untuk menunjang proses

fisiologis. Tidur adalah suatu fenomena kehidupan yang berlangsung dalam suatu siklus

sirkadian yang memengaruhi siklus endokrin dan pola sikap (behavior) secara langsung atau

tak langsung.

Adapun ayatnya adalah Q.S. al-Zumar ayat 42, sebagai berikut:

َِ ُْ َّ‫عهًَ َانه‬
َََۖ ‫م‬ َِ ‫عهًَ َانَُّ َه‬
ََ ‫از َ َوَُ َك ّ ِى َُز َانَُّ َه‬
َ َ ‫از‬ َ َ‫م‬ َِّ ‫ض َ ِت ْان َح‬
ََ ُْ َّ‫ق ََۖ ََُ َك ّ ِى َُز َانه‬ ََ ‫خ َ َو ْاْل َ ْز‬ َّ ‫َخهَقََ َان‬
َِ ‫س ًَ َاوا‬

ُ َّ‫َصَ ْانغَف‬
َ‫از‬ َُ ‫لَ ُه ََىَ ْان َع ِص‬ َ ‫سَ َو ْانقَ ًَ ََسَََۖ ُكمََ ََ ْج ِسٌَ ِْل َ َجمََ ُي‬
َ َ َ ‫سًًََََۖأ‬ َّ ‫س َّخ ََسَان‬
ََ ًْ ‫ش‬ َ ‫َو‬

“Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan

malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan,

masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah Dialah Yang Maha

Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Sedangkan penafsiran Imam al-Sulami dalam kitabnya Haqaiq al-Tafsir diuraikan sebagai

berikut:

......‫هللاََرىفٍَالَفس‬
َ‫َاٌ َهللا َاذا َذىفٍ َالَفس َاخسج َانسح َانُىزيٍ َنطُف ََفس َانطثع َانكثف َفهري‬:َ ‫قم َسهم‬

ٌَ‫َرىفٍَانُىوَانُىزيٍَنطُفََفسَانطثعَانسحَفانُاَئىََرُفسََفسَنطُفاَوهىََفسَانسحَانر‬
َ‫اذاَشالَنىََكٍَنهعثدحسكحَوكاٌَيُراَوقالَحُاجَانُفسَانطثُعٍَبََىزَنطُفَوَحُاجَنطُف‬
ٌَ‫َانسوحَذقىوَتهطُفحَفٍَذاذهاَتغُسََفسَانطثعَالَذس‬:َ‫َوقالَاَضا‬.َ‫َفسَانسوحَتانركسهللا‬
.................ٍ‫اٌَهللاَخاَطةَانكمَف‬

Mati mempunyai dua makna, yaitu tidur sebagai mati ringan (al-mawt-khafif) dan

mati dalam arti yang sebenarnya (al-mawt al-tsaqil). Mati dalam arti tidur digambarkan

dalam Q.S. al-Zumar ayat 42.27

Maksud dari penafsiran yang digunakan oleh al-Sulami adalah sebagaimana

kutipan dari Imam Sahal bahwa dalam jiwa itu terdapat Nafs yakni tempat atau jasad

seseorang, jadi apabila seseorang mengalami kematian bukan berarti ruh nya yang mati tetpi

ada komponen Jasad yang mempunyai tanda-tanda seperti berhentinya detak jatung, atau

keluar masuknya udara melalui hidung.

Sebagaimana dengan yang dipaparkan Imam al-Sulami, al-Maraghi dalam

kitabnya menyatakan bahwa: sesungguhnya pada anak Adam terdapat jiwa dan ruh yang

dihubungkan antara keduanya oleh semacam cahaya matahari, Jiwa adalah tempat akal dan

pikiran, sedangkan ruh adalah yang menyebabkan adanya nafas dan gerakan, keduanya

diwafatkan saat terjadi kematian, adapun saat tidur hanya jiwa yang di wafatkan. Ayat ini

menjelaskan bahwa Allah menahan (memegang) nafs (jiwa atau ruh) manusia dari dunia

fana ketika telah tiba ajal manusia tersebut, dan kematian yang seperti ini merupakan

kematian jasad-jasad (kematian sebenarnya). Sedangkan (jiwa atau ruh) yang dimatikan

Allah SWT., ketika tidur adalah jiwa yang berhubungan dengan akal pikiran. Karena

27
Hilman Mulyana, 35.
sebenarnya manusia itu mempunyai dua jiwa, yakni jiwa yang berhubungan dengan

kehidupan dan akan terpisah ketika datangnya maut dan akan hilang seiring dengan

hilangnya kehidupan manusia tersebut dari dunia.28

Jiwa yang kedua adalah jiwa yang berhubungan dengan akal pikiran, yang terpisah

ketika tidur dan tidak akan hilang dengan hilangnya jiwa-jiwa (ruh-ruh). Maka ketika Allah

SWT menetapkan kematian seseorang, maka Dia akan menahan ruh-ruh tersebut untuk

tidak kembali kepada jasadnya. Dalam kondisi yang lain Allah SWT akan melepaskan ruh-

ruh tersebut kembali kepada jasadnya, ketika kematian tidak ditetapkan atasnya, hingga

datang saat ajal kematiannya. Dikatakan juga bahwa sesungguhnya manusia itu mempunyai

nafs pada jasad. Kemudian, ketika manusia terbangun dari tidurnya, kembali ruh tersebut ke

dalam jasad dengan segera.

Ruh terdiri dari ruh yang hidup dan ruh yang mati, keduanya akan bertemu ketika

tidur, maka keduanya akan mengetahui apa yang dikehendaki Allah swt yakni ketika ruh

tersebut ingin kembali pada jasad, maka Allah swt akan menahan ruh-ruh yang mati di sisi-

Nya, dan melepaskan ruh-ruh yang hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.29

Kehidupan setelah kematian itu sendiri, menempati suatu dimensi lain yang

berbeda dengan dunia. Manusia yang dimatikan dari dunia, sesungguhnya hidup dalam

dunia yang berbeda dengan kita. Mereka akan mendapatkan kenikmatan-kenikmatan dari

Allah swt sebagai balasan atas amal baik yang mereka lakukan di dunia. Tentang bagaimana

keadaan kehidupan tersebut, hanya Allah Swt., yang mengetahuinya. Selain itu bagi Fakhr

al-Din al-Râzî, antara tidur dan mati adalah satu jenis yang sama, hanya saja jikalau tidur itu

terputusnya ruh secara tidak sempurna, sedangkan mati terputusnya ruh secara sempurna.

Beliau juga menjelaskan rûh itu ibarat jauhar (intan) yang bercahaya, ketika dalam keadaan

tidur putuslah cahaya tersebut, dan cahaya tersebut akan bersinar ketika seseorang terbangun
28
Ibid, 36.
29
Ibid, 37.
dari tidurnya. Dalam ayat ini dijelaskan tiga hubungan antara ruh dengan badan. Pertama,

rûh bercahaya ketika menyatu dengan badan, kedua, meskipun antara tidur dan mati adalah

satu jenis yang sama akan tetapi keadaan tidur tidak sepenuhnya mati, masih memiliki sifat

kehidupan seperti bernafas dan sebagainya, ketiga, kematian adalah terputusnya ruh secara

sempurna. Yang demikian itu adalah salah satu keagungan Allah Swt., bahwa Allah Swt.,

berhak atas semuanya, dan agar kalian semua berpikir.30

Sementara ulama berkata; nafs/nyawa berpisah dengan jasmani manusia pada saat

kematiannya dengan pemisahan yang sempurna, sedang pada saat tidur, pemisahannya tidak

sempurna. Karena itu, nafs bagi yang tidur kembali ke wadah yang menampungnya sampai

tiba masa pemisahannya yang sempurna, yakni kematiannya. Itu sebabnya bila kematian

tiba, hilanglah dari tubuh mahluk hidup gerak, rasa, dan kesadaran, akibat perpisahan

sempurna itu. Ini karena potensi yang memerintahkan bergerak, demikian juga pada saat

tidur, karena perpisahan nafs dengan badan belumsempurna, maka yang hilang darinya

hanya unsur kesadaran itu saja. Sebagian gerak, yakni yang bukan lahir dari kehendak dan

kontrolnya, demikian juga sebagian rasa, masih menyertai yang tidur.

Sebagaimana disinggung pada pembahasan sebelumnya bahwa salah satu

konsentrasi dalam kitab Haqaiq al-Tafsir adalah mengenai tidur menjadi bagian dari
kematian. adapun ayatnya adalah Qs al-Zumar/39: 42 sebagai berikut:

ْ ‫عهَ ُْ َه‬
َََ‫اَان ًَ ْىخ‬ َ َ‫َاي َهاَََۖفَُ ًُْسِكََُانَّ ِرٍَق‬
َ ًََ‫ض‬ ْ ًُ َ ‫اَوانَّ ِرٍَنَ ْىََذ‬
ِ ُ‫دََ ِفٍَ َي‬ َ ‫ََحٍَََُ َي ْى ِذ َه‬
ِ ‫س‬َ ُ‫ًَاْل َ َْف‬
ْ َّ‫ّللاََُ ََر ََىف‬
َّ

ٌَََ‫كَََِ ََاخََ ِنقَ ْىوََ ََرَفَ َّك ُسو‬ َ ‫ََاْل ُ ْخ َسيََ ِإنًَََأ َ َجمََ ُي‬
َ ‫سًًَََۖ ِإ ٌَََّ ِفٍَذَ ِن‬ ْ ‫َوَ ُْس ِس ُم‬

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang

belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan

kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan.

30
Ibid, 38.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum

yang berfikir.”31

Kata ( ) yatawaffa terdiri dari kata wafa yang pada mulanya berarti
menyempurnakan atau mencapai batas akhir, Kematian dinamai wafah karena usia
seseorang telah mencapai batas akhir.

Kata anfus adalah bentuk jamak dari kata Nafs, dalam hal ini al-Qur‟an
menggunakan diksi kata Nafs dalam berbagai makna, di antaranya adalah bermakna jiwa,
nyawa, diri manusia, yang ditunjukan dengan kata saya, yakni totalitas jiwa dan raganya
serta sisi dalam manusia yang merupakan potensi batiniah untuk memahami dan
mendorong serta motivator kegiatan-kegiatan.

Mati mempunyai dua makna, yaitu tidur sebagai mati ringan (al-mawt al-khafif) dan
mati dalam arti yang sebenarnya (al-mawt al-tsaqil). Mati dalam arti tidur digambarkan
dalam ayat QS al-Zumar 42.

Maksud dari penafsiran yang digunakan oleh al-Sulami dalam penafsirannya adalah
sebagaimana kutipan dari Imam Sahal bahwa dalam jiwa itu terdapat Nafs yakni tempat
atau jasad seseorang, jadi apabila seseorang mengalami kematian bukan berarti ruh nya
yang mati tetpi ada komponen Jasad yang mempunyai tanda-tanda seperti berhentinya
detak jatung, atau keluar masuknya udara melalui hidung.32

Senada dengan Imam al-Sulami, mufassir al-Maraghi dalam kitabnya menyatakan


bahwa: sesungguhnya pada anak Adam terdapat jiwa dan ruh yang dihubungkan antara
keduanya oleh semacam cahaya matahari, Jiwa adalah tempat akal dan pikiran, sedangkan

31
Qsoft, add-Ins, 11:34, 28 Mei 2019.
32
Ibid.
ruh adalah yang menyebabkan adanya nafas dan gerakan, keduanya di wafatkan saat terjadi
kematian, adapun saat tidur hanya jiwa yang di wafatkan.

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menahan (memegang) nafs (jiwa atau ruh)
manusia dari dunia fana ketika telah tiba ajal manusia tersebut, dan kematian yang seperti
ini merupakan kematian jasad-jasad (kematian sebenarnya). Sedangkan (jiwa atau ruh)
yang dimatikan Allah Swt., ketika tidur adalah jiwa yang berhubungan dengan akal
pikiran. Karena sebenarnya manusia itu mempunyai dua jiwa, yakni jiwa yang
berhubungan dengan kehidupan dan akan terpisah ketika datangnya mawt dan akan hilang
seiring dengan hilangnya kehidupan manusia tersebut dari dunia.33

Jiwa yang kedua adalah jiwa yang berhubungan dengan akal pikiran, yang terpisah
ketika tidur dan tidak akan hilang dengan hilangnya jiwa-jiwa (ruh-ruh). Maka ketika
Allah Swt., menetapkan kematian seseorang, maka Dia akan menahan ruh-ruh tersebut
untuk tidak kembali kepada jasadnya. Dan dalam kondisi yang lain Allah Swt., akan
melepaskan ruh-ruh tersebut kemabali kepada jasadnya, ketika kematian tidak ditetapkan
atasnya, hingga datang saat ajal kematiannya.

Dikatakan juga bahwa sesungguhnya manusia itu mempunyai nafs pada jasad.
Kemudian, ketika manusia terbangun dari tidurnya, kembali ruh tersebut kedalam jasad
dengan segera.

Ruh terdiri dari ruh yang hidup dan ruh yang mati, keduanya akan bertemu ketika tidur,
maka keduanya akan mengetahui apa yang dikehendaki Allah swt yakni ketika ruh tersebut

33
Ibid.
ingin kembali pada jasad, maka Allah swt akan menahan ruh-ruh yang mati di sisi-Nya,
dan melepaskan ruh-ruh yang hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.34

Kehidupan setelah kematian itu sendiri, menempati suatu dimensi lain yang berbeda
dengan dunia. Manusia yang dimatikan dari dunia, sesungguhnya hidup dalam dunia yang
berbeda dengan kita. Mereka akan mendapatkan kenikmatan-kenikmatan dari Allah swt
sebagai balasan atas amal baik yang mereka lakukan di dunia. Tentang bagaimana keadaan
kehidupan tersebut, hanya Allah Swt., yang mengetahuinya.

Selain itu bagi Fakhr al-Din al-Râzî, antara tidur dan mati adalah satu jenis yang sama,
hanya saja jikalau tidur itu terputusnya ruh secara tidak sempurna, sedangkan mati
terputusnya ruh secara sempurna. Beliau juga menjelaskan rûh itu ibarat jauhar (intan)
yang bercahaya, ketika dalam keadaan tidur putuslah cahaya tersebut, dan cahaya tersebut
akan bersinar ketika seseorang terbangun dari tidurnya. Dalam ayat ini dijelaskan tiga
hubungan antara ruh dengan badan. Pertama, rûh bercahaya ketika menyatu dengan badan,
kedua, meskipun antara tidur dan mati adalah satu jenis yang sama akan tetapi keadaan
tidur tidak sepenuhnya mati, masih memiliki sifat kehidupan seperti bernafas dan
sebagainya, ketiga, kematian adalah terputusnya ruh secara sempurna. Yang demikian itu
adalah salah satu keagungan Allah Swt., bahwa Allah Swt., berhak atas semuanya, dan
agar kalian semua berpikir.35

Menurut sementara ulama, nafs/nyawa ditempatkan Allah Swt., dalam satu wadah,
yaitu jasmani, tetapi penempatan yang bersipat sementara dan bila saatnya, cepat atau
lambat, akibat kerusakan organ maupun peruskana (pembunuhan), Allah

Swt., memisahkan nafs itu dengan pemisahan sempurna dan menempatkannya di tempat
yang dikehendaki-Nya. Jika demikian, nafs tetap ada setelah kerusakan wadahnya yang
34
Ibid.
35
Ibid.
bersipat sementara itu. Ini berarti setelah maut datang, nafs yang dalam hal ini adalah
potensi batiniah itu, masih tetap berfungsi dalam arti masih dapat bergerak, merasa dan
mengetahui.

Sementara ulama berkata; nafs/nyawa berpisah dengan jasmani manusia pada saat
kematiannya dengan pemisahan yang sempurna, sedang pada saat tidur, pemisahannya
tidak sempurna. Karena itu, nafs bagi yang tidur kembali ke wadah yang menampungnya
sampai tiba masa pemisahannya yang sempurna, yakni kematiannya. Itu sebabnya bila
kematian tiba, hilanglah dari tubuh mahluk hidup gerak, rasa, dan kesadaran, akibat
perpisahan sempurna itu. Ini karena potensi yang memerintahkan bergerak, demikian juga
pada saat tidur, karena perpisahan nafs dengan badan belum sempurna, maka yang hilang
darinya hanya unsur kesadaran itu saja. Sebagian gerak, yakni yang bukan lahir dari
kehendak dan kontrolnya, demikian juga sebagian rasa, masih menyertai yang tidur.36

Dalam buku Perjalanan Menuju Keabadian, “Seseorang yang tidur diibaratkan


sebagai layangan terbang jauh ke angkasa, tetapi talinya tetap dipegang oleh pemain,
sedang yang mati adalah layangan yang telah putus talinya, sehingga ia terbang tidak
kembali tetapi terbang menuju arah yang dikehendaki oleh angin. Otak manusia pun saat
tidur masih berfungsi, bahkan dia mampu memisahkan hal-hal yang dianggap perlu bagi
sosok yang tidur dan mengabaikan yang lain. Ada yang dapat tidur dengan nyenyak
betapapun bisingnya suasana, namun demikian ada suara-suara tertentu yang didengarnya
seperti halnya ibu yang tidur namun mendengar gerak atau tangis bayinya karena itulah
yang diprogram oleh otaknya berdasarkan keinginan Ibu. Ini berbeda dengan bapak yang
merasa bahwa ibulah yang bertugas bangun bukan dia. Ingatan orang yang tidur pun
demikian. Buktinya tidak jarang orang yang mampu menceritakan mimpinya secara detail.
Demikian, tidur serupa dengan mati dan mati serupa dengan tidur dalam sekian banyak
36
Ibid.
aspeknya. Nabi Muhammad Saw., pun mengisyaratkan tentang keserupaan mati dengan
tidur. Beliau mengajarkan doa ketika tidur:

“Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami setelah mematikan kami dan
hanya kepada-Nya kebangkitan akan menuju.”

Yang beliau maksud dengan “menghidupkan” adalah membangunkan dari tidur


sedang “mematikan” adalah menidurkan. Pada saat yang lain beliau ditanya: “Di surga
apakah ada tidur?.” Beliau menjawab:

“Tidur adalah saudaranya mati, sedang di surga tidak ada kematian”37

Sementara orang berkata, jika mati sama dengan tidur, maka pastilah mati terasa
nyaman. “mengantuk itu nyaman dan lebih nyaman daripada mengantuk adalah tidur, dan
yang lebih nyaman dari tidur adalah mati. Filosof Jerman, Schopenhauer, yang
berpandangan pesimistis tentang hidup melanjutkan, bahwa “Yang lebih nyaman dari mati
adalah tidak wujud sama sekali.”38

37
Ibid.
38
Ibid, 41.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Nama lengkap Al-Sulami adalah Abū Abdul al-Rahman Muhammad Ibn al-Husaīn

Ibn Mūsa al-Ażḍī al-Sulamī. Lahir pada 16 April tahun 325 H/937 M dan wafat pada bulan

Sya'ban pada 3 november 412 H/1012 M. Al-Sulamī termasuk keturunan suku Arab suku

Azd bin Ghawts dari garis ayahnya, dan Sulaym bin Mansur dari garis ibu.

Corak pemikiran tasawuf al-Sulamī sedikit banyak dipengaruhi oleh para gurunya.

Ia termasuk sufi yang yang beraliran sunni, yang selalu berusaha menyebarkan tasawuf

sunni di masa hidupnya.

Kitab Haqā‟iq al-Tafsīr atau yang lebih dikenal dengan tafsir al-Sulami hanya ada

satu jilid besar, dan terdapat dua salinan yang ada di perpustakaan al-Azhar, Mesir. Kitab ini

diterbitkan pada tahun 1986 di Beirut, Libanon. Manuskrip dari Haqā‟iq al-Tafsīr termasuk

yang di lindungi di Gazi Hursrev-Borgova Bibioleteka di Sarajevo, Bosnia. Manuskrip kitab

ini masih menunggu publikasi.

Contoh dari tafsirnya ialah tafsir tentangn kematian. Mati mempunyai dua makna,

yaitu tidur sebagai mati ringan (al-mawt-khafif) dan mati dalam arti yang sebenarnya (al-
mawt al-tsaqil). Mati dalam arti tidur digambarkan dalam Q.S. al-Zumar ayat 42. Maksud

dari penafsiran yang digunakan oleh al-Sulami adalah sebagaimana kutipan dari Imam Sahal

bahwa dalam jiwa itu terdapat Nafs yakni tempat atau jasad seseorang, jadi apabila

seseorang mengalami kematian bukan berarti ruh nya yang mati tetpi ada komponen Jasad

yang mempunyai tanda-tanda seperti berhentinya detak jatung, atau keluar masuknya udara

melalui hidung.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Berry, A. J. 2000. Tasawuf Versus Syari'at, Terj. Bambang Herawan, Jakarta: Hikmah
Asmaran. 2003. Pengantar Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Bahri. Media Zainul Tasawuf. 2010. Mendamaikan Dunia, Jakarta: Erlangga

Ibn Shalah, Taqiy al-Din. Fatawa. 1438. Kairo: Idara Thaba'a al-Muniriyya

Kafi, Jamaluddin. 2003. Tasawuf Kontemporer, Prenduan: al-Amin

Kabbani, Muhammad Hisyam 2007. Tasawuf dan Ikhsan Antivirus Kebatilan dan
Kedzaliman. Jakarta: PT Serambi Ilmu semesta

Mahjuddin. 2010. Akhlak Tasawuf II Jakarta: Kalam Mulia,

Mulyana, Hilman 2018. “Kematian Perspektif Haqa‟iq al-Tafsir” Jakarta: Skripsi Prodi
Ilmu al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah

Saviri, Sara. 2002. Demikianlah Kaum Sufi Berbicara, Terj. Ilyas Hasan. Bandung:
Pustaka Hidayah

Syarifuddin, M. Anwar. 2004. “Menimbang Otoritas Sufi dalam menafsirkan al-Qur‟an”


Kalimantan Tengah: Jurnal Studi agama dan masyarakat vol. 1

Syarifuddin, Mohammad Anwar. 2013. Measuring the Haqa’iq al-Tafsir: From its
Contentious Nature to the Formation of Sunnite Sufism, Journal of Qur‟an and Hadith
Studies – Vol. 2, No. 2.

Wahyudi, Gafna Raizha. 2002. Warisan Sufi. Yogyakarta: Pustaka Sufi.

22
23

Anda mungkin juga menyukai