Anda di halaman 1dari 15

BAB II

I’JAZ AL-QURAN

A. Keindahan dan Ketelitian Bahasa al-Quran


Dalam bab I’jaz al-Quran ini, penulis lebih berfokus pada i’jaz dari segi
kebahasaan. Penulis berpendapat, i’jaz dari segi bahasa adalah yang paling
mayoritas dibahas oleh para ulama. Sehingga perlu untuk melebihkan dalam
pembahasannya. Diantaranya penulis membagi lagi kedalam beberapa sub-bab:

a. Pendapat Ulama’ tentang Keindahan dan Ketelitian Bahasa al-Quran

Pakar bahasa Abu Al-Hadid (w. 1258 M), seperti dikutip as-Suyuti,
mengibaratkan bahasa sebagai seorang perempuan yang menyandang berbagai
tolak ukur kecantikan, bibirnya merah merekah, kulitnya putih bersinar, matanya
bagai bintang kejora, hidung mancung, dan tinggi yang semampai. Dan ada lagi
wanita yang lebih rendah tolak ukur dalam kecantikannya namun semua mata
tertuju padanya, ini tidak dapat dijelaskan karena menyangkut perasaan. Tolak
ukur dapat membantu tapi perasaanlah yang lebih berperan. Begitu pun dengan
bahasa.

Dari segi ketelitiannya, kita dapat memberi contoh, misalnya huruf waw
yang menghiasi kata futihat/dibuka ketika berbicara tentang dibukanya pintu-pintu
surga untuk menyambut penghuni surga dan tidak disebutnya huruf tersebut ketika
menguraikan tentang dibukanya pintu-pintu neraka bagi penghuni neraka (baca;
QS. Az-Zumar [39]; 71-73). Memang, yang ditunggu-tunggu kehadirannya untuk
disambut dengan meriah telah dibuka baginya pintu masuk jauh sebelum
kehadirannya, sedang yang tidak dihormati atau dilecehkan walau telah ditunggu,
namun pintu baru dibuka setelah kehadirannya. Demikian rahasia peletakan huruf
waw pada uraian tentang penghuni surga dan ketiadaannya pada uraian tentang
penghuni neraka. Hal semacam ini sungguh amat banyak dalam redaksi al-Quran.

Hal lain yang disebut sementara ulama’ tentang keistimewaan bahasa


al-Quran adalah keserasian dan keseimbangan kata-katanya. Kata yaum/hari

1
dalam bentuk tunggal terulang sebanyak 365 kali., sebanyak hari-hari dalam
setahun, sedang kata hari dalam bentuk dual yaumain dan jamak/plural ayyam
hanya ditemukan sebanyak 30 sesuai dengan hari-hari dalam sebulan, dan kata
syahr/bulan terulang 12 kali sebanak bulan-bulan dalam setahun. Dalam buku
Membumikan al-Quran, demikian juga mukjizat al-Quran, hal ini banyak
dikemukakan.

b. Beberapa Kaidah yang Terkait dengan Kebahasaan2


Al-Quran itu berbahasa Arab, penulis cenderung menyebut serumpun
dengan bahasa Arab, maka kaidah-kaidah kebahasan akan dapat membantu
dengan penafsiran al-Quran. Dalam tulisan ini, penulis akan jelaskan beberapa
kaidah yang berhubungan dengan kaidah kebahasaan, namun dalam
menafsirkan al-Quran dan tidak sevalid kaidah-kaidah dasar penafsiran,
karena kaidah-kaidah tersebut menggunakan daya nalar yang akurasi
maknanya.
1. Kaidah Isim dan Fi’il
Dalam al-Quran banyak yang dijumpai kalimat yang diungkapkan
dalam bentuk kalimat nomina (‫ )جمل<ة اال س<مية‬dan kalimat verba (‫)جمل<ة الفعلية‬.
Tentunya penggunaan kedua model tersebut mengandung maksud yang
berbeda. Hal ini disebabkan isim tidak terkait dengan keterangan waktu,
sedangkan fi’il sebaliknya, bahkan ada yang menunjukkan bentuk lampau ,
sekarang, dan akan datang. Sebagai contoh dalam firman Allah swt dalam
surah al-Syuaraa ayat 78:
‫الذى خلقنى فهو يهدين‬
Artinya: yaitu Tuhan yang telah menciptakan aku, maka Dialah
yang menunjuki aku.
Kata kerja pada ayat di atas, khalaqa menunjukkan telah terjadi
dan selesai perbuatan di waktu yang lampau atau madhi sedangkan kata
yahdiy adalah fi’il mudhari’ yang berarti bahwa perbuatan itu berlanjut terus
menerus.
2. Kaidah Amr dan Nahy
2
Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran al-Quran, (Bandung: Mizan, 1997) 57.

2
a. Amr
Amr berarti perintah atau suruhan, secara etimologis amr
berarti tuntutan melakukan perbuatan dari yang lebih tinggi
kedudukannya kepada yang lebih rendah kedudukannya. Adapun
bentuk-bentuk amar dalam al-Quran:
1. Amr menggunakan fi’il seperti kata (‫ )اتوا النساء‬dalam QS. al-
Nisa ayat 4.
2. Amr menggunakan fi’il mudhori’ yang didahului lam al-amr
seperti kata: ‫ ولتكن‬dalam QS. Ali Imron ayat 104.
3. Amr menggunakan isim fi’il amr (kata benda yang bermakna
kerja) seperti kata ‫ عليكم‬dalam QS. al-Maidah ayat 105.
4. Amr menggunakan masdar pengganti fi’il seperti kata ‫احسانا‬
dalam QS. al-Baqarah ayat 83.
b. Nahy
Adapun nahy (larangan) berarti tuntutan atau permintaan
meninggalkan suatu perbuatan dari yang lebih tinggi
kedudukannya kepada yang lebih rendah kedudukannya. Adapun
bentuk-bentuk nahy adalah sebagai berikut:
1. Menggunakan fi’il (kata kerja) nahy, seperti kata ‫ التقتلوا‬dalam
QS. al-Isra’ ayat 31, dan kata ‫ التقربوا‬pada ayat 32.
2. Menggunakan kata ‫ حرم‬seperti dalam firman Allah QS. al-
A’raf ayat 33.
3. Menggunakan kata ‫ نهي‬seperti dalam firman Allah QS. al-
Hasyr ayat 7.
4. Menggunakan kata ‫ دع‬seperti dalam firman Allah QS. al-
Ahzab ayat 48.
5. Menggunakan kata ‫ اترك‬seperti dalam firman Allah QS. al-
Dukhan ayat 24.3

3
Abd. Al-Hamid Hakim, Mabadiy Awwaliyah fi Ushul al-Fiqh wa al-Qawaid Fiqhiyah (Jakarta:
Maktabah Sa’adiyah Putra, t.th.), 8.

3
3. Kaidah-kaidah Istifham
Adapun instrumen (al-adawat istifham) yaitu:
a. Hamzah(‫)ء‬. Hamzah ini ada 3 macam yaitu untuk menentukan satu
dari dua hal dengan kata ‫( ام‬setelahnya) untuk menanyakan tentang
apa atau siapa yang jawabannya memerlukan ya atau tidak, dan untuk
menanyakan tentang apa atau siapa yang masuk kepada kalimat negatif
(al-Nafy) dengan memerlukan jawaban balay (positif) dan na’am
(negatif) salah satu contoh dapat dilihat dalam QS. al-Maidah ayat 116.
b. Hal (‫ )هل‬termasuk kata tanya untuk mengkonfirmasi yang memerlukan
jawaban ya atau tidak. Contoh pada QS. al-Insan ayat 1.
c. Ma (‫ )ما‬digunakan untuk menanyakan sesuatu yang tidak berakal
(selain manusia) seperti dalam firman Allah QS. al-Muddatsir ayat 42
dan 43.
d. Man (‫ )من‬digunakan untuk menanyakan makhluk yang berakal
(manusia) seperti dalam firman Allah QS. al-Baqarah ayat 245.
e. Mata (‫ )متى‬digunakan untuk menanyakan waktu, baik yang
menunjukan masa lampau, sekarang maupun akan datang dapat dilihat
dalam QS. al-Baqarah ayat 214.
f. Ayyana (‫ )ايان‬digunakan untuk menanyakan sesuatu yang berkaitan
dengan waktu akan datang seperti dalam QS. al-Qiyamah ayat 6.
g. Kayfa (‫ )كيف‬digunakan untuk menanyakan kondisi, seperti dalam QS.
Ali Imran ayat 101.
h. Annay (‫ )انى‬untuk menanyakan asal usul seperti dalam QS. Maryam
ayat 8.
i. Kam (‫ )كم‬digunakan untuk menanyakan kuantitas, bilangan atau
jumlah seperti dalam QS. al-Baqarah ayat 259.
j. Ayna (‫ )اين‬untuk menanyakan tempat seperti dalam QS. al-Takwir ayat
26.
k. Ayy (‫ )اي‬untuk menanyakan apa atau siapa, seperti dalam QS. al-An’an
ayat 81.4

4
Fuad Ni’mah, Qawa’id al-Lughah al-Arabiyyah, Juz I (Cet 9; Damaskus: Dar al-Hikmah, t.th), 189.

4
4. Kaidah-kaidah Nakirah dan Ma’rifat
a. Nakirah
Isim Nakirah yaitu isim yang menunjukkan kata benda tak tentu
dan isim ini memiliki beberapa fungsi diantaranya:
1. Untuk menunjukkan isim tunggal seperti kata (‫ )رجل‬dalam QS. al-
Qashash ayat 20.
2. Untuk menunjukkan ragam atau macam al-naw’ (‫ )النوع‬misalnya
kata (‫ )حياة‬dalam QS. an-Nur ayat 45.
3. Untuk mengagungkan atau memuliakan al-ta’dzim seperti kata
dalam QS. al-Baqarah ayat 279. Harb dalam ayat ini maksudnya
peperangan yang dahsyat.
4. Untuk menghinakan atau merendahkan al-tahqir seperti kata dalam
QS. Abasa ayat 19, maksudnya manusia diciptakan Tuhan dari
sesuatu yang hina.
b. Ma’rifah
Adapun isim ma’rifat memiliki fungsi yaitu:
1. Ta’rif dengan isim dhamir (kata ganti) untuk meringkas kalimat
seperti dalam QS. al-Ahzab ayat 35. Dhamir yang terdapat dalam
kalimat tersebut yaitu hum.
2. Ta’rif dengan alamiyah (nama diri). Ta’rif ini berfungsi untuk
menghadirkan pemilik nama itu dalam hati dengan cara
menyebutkan namanya yang khas, seperti dalam QS. al-Ikhlas ayat
1-2.
3. Ta’rif dengan isim maushul (kata sambung) karena beberapa
alasan, pertama karena tidak disukai penyebutan namanya untuk
menutupi atau merendahkannya seperti dalam QS. al-Baqarah ayat
183.
4. Ta’rif dengan alif dan lam. Ta’rif ini memiliki fungsi untuk
menunjukkan sesuatu yang diketahui karena telah disebutkan
terlebih dahulu, seperti dalam QS. an-Nur ayat 35, QS. al-Ma’idah
ayat 2 kata.

5
5. Kaidah-kaidah Soal Jawab
Setiap ada pertanyaan, biasanya ada jawaban sehingga apa yang
dikehendaki penanya dapat terpenuhi. Namun,dalam al-Quran tidak
selamanya yang dipertanyakan jawabannya harus sesuai dengan apa yang
dikehendaki. Adakalanya jawaban yang diberikan lebih luas dibanding
sesuatu yang ditanyakan. Adakalanya jawabannya lebih sempit
cakupannya ketimbang yang ditanyakan.
Dalam al-Quran terdapat beberapa bentuk soal dan jawab,
sebagaimana dikemukakan Khalid al-Rahman:
a. Jawaban yang bersambung dengan pertanyaan, QS. Al-Baqarah: 215.
b. Jawaban yang terpisah, baik dalam satu surat maupun dalam dua surat
yang berbeda, QS. Al-Eurqon ayat 7 dan 60.
c. Dua jawaban dalam satu surat untuk satu pertanyaan, QS. al-Zukhruf
ayat 31-32.
d. Pertanyaan yang jawabannya terhapus atau tidak disebutkan. QS.
Muhammad ayat 14.
e. Jawaban yang disebutkan medahului pertanyaan. QS. Shad ayat 1 dan
4.

6. Kaidah Dhamir, Tadzkir, dan Ta’nits


a. Kaidah dhamir (kata ganti)
Dalam upaya penghematan terhadap penggunaan kalimat termasuk
juga di dalamnya pengefektifan kalimat, maka dhamir merupakan salah
satu alternatif yang tepat (QS. al-Ahzab ayat 35, QS. al-Rahman 26).
b. Kaidah Tadzkir dan Ta’nits
Dalam bahasa Arab dibedakan antara menyebutkan kata berjenis betina
(al-ta’nits) dan berjenis jantan (al-tadzkir). Muannats dibagi kepada dua
yaitu: muannats haqiqi seperti yang terdapat pada QS. al-Nisa’ ayat 12,
dan muannats majasy QS. Yasin ayat 38.

7. Kaidah Syarah dan Hadzf Jawab al-Syarth

6
Salah satu uslub al-Quran yang tidak kalah pentingnya dengan
uslub yaitu syarat-syarat adalah gaya bahwa yang tersusun dari instrumen
syarat yang berkaitan diantara dua kalimat. Kata pertama disebut syarath,
sedangkan yang kedua disebut jawab al-syarat.
Dalam al-Quran dapat dijumpai kalimat-kalimat yang terdiri dari
uslub syarath, misalnya: (‫ )ان‬jika, QS. Al-Baqarah ayat 284, (‫ )اذا‬jika atau
bila, seperti QS. Al-Nashr ayat 1-3.

Dalam kitab kaidah-kaidah penafsiran al-Quran karya Abd. Rahman


Dahlan disebutkan ada tujuh kaidah terkait kebahasaan diantaranya:
1. Redaksi yang Bersifat Umum Mengandung Pengertian Umum yang
Sepadan
Apabila kita menemukan redaksi ayat al-Quran yang bersifat
umum, tidak perlu ragu untuk memahaminya dalam pengertian yang juga
umum.
Dalam konteks ini ibn Mas’ud berkata; “Jika Anda mendengar
firman Allah yang berbunyi, Wahai orang-orang yang beriman..., maka
ingatlah dan perhatikanlah baik-baik, karena kemungkinan besar ayat itu
berkaitan dengan suatu kebaikan, yang memerintahkan Anda untuk
mengerjakannya, atau berkaitan dengan kejahatan, yang melarang Anda
untuk mendekatinya (tetapi Anda mengabaikannya)”
Begitu juga jika kita menemukan ayat-ayat tentang sifat dan nama
Mahasempurna Allah, pastika segala makna kesempurnaan itu pada Allah,
jauhkan segala makna kekurangan dariNya, yang oleh Allah sendiri
dijauhkan dariNya.
Setiap kali ada ayat-ayat yang berbicara tentang para Rasul Allah,
kitab-kitab Allah, hari kiamat, dan semua informasi al-Quran yang
berhubungan dengan masa lalu atau yang akan datang, pastikanlah yang
diinformasikan itu adalah makna hakikinya. Bahkan itulah makna tertinggi
dari bermacam untuk kebenaran.

7
...Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?
(QS. Al-Nisa’ [4]: 87)

2. Alif-lam pada Kata Sifat dan Ism Al-Jins Menunjuk Seluruh Pengertian
yang Tercangkup di dalamnya
Kaidah alif-lam penting kita perhatikan terutama ketika hendak
memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan Al-Asma’ Al-Husna , karena
banyak sekali ditemukan dalam al-Quran.
Allah menginformasikan tentang diriNya, bahwa Dia adalah Al-
Rabb (pemilik, pendidik, dan pemelihara), Al-Hayy (maha hidup), dan Al-
Qayyum (maha aktif). Dia juga Al-Malik, Al-‘Alim, Al-Hakim, Al-‘Aziz, Al-
Rahim, Al-Quddus, Al-Salam, Al-Hamid, dan Al-Majid.
Hanya Allah yang memiliki semua kandungan makna kata Al-
Rabb, yang dengan itu dan sifat-sifat kesempurnaan lainnya Dia berhak
untuk dipertuhankan. Allah saja yang memiliki sifat yang maha sempurna,
sifat utama, berhak mendapat pujian, serta segala sifat yang menunjukkan
kebaikan.

3. Al-Nakirah dalam Konteks Al-Nahy, Al-Nafy, Al-Syarth, atau Al-Istifham


Menunjuk Pengertian Umum
Setiap kali kita menemukan kata berbentuk nakirah dalam konteks
pembicaraan yang menafikan pengertian kata tersebut (al-nafy), maka kata
tersebut menunjuk pengertian bersifat umum.
Contoh kata nakirah yang dinafikan antara lain ketika al-Quran
menyebutkan sifat hari kiamat;
Suatu hari ketika seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk
menolong orang lain... (QS. Al-Iftithar [82]; 19)
Kata al-nafs dalam ayat ini bersifat umum, siapapun orangnya,
berkedudukan sama ditinjau dari segi ketidakmampuan membantu orang
lain.

8
4. Al-Mudhaf Menunjuk Pengertian Umum Sebagai Ism Al-Jam’i
Contoh dalam kaidah ini yaitu, kata ummahat (ibu-ibu) dan banat
(anak-anak perempuan), dan seterusnya, dalam ayat Diharamkan atas
kamu (mengawini) ibu-ibu kamu; anak-anak perempuan kamu... (QS. Al-
Nisa’ [4]: 23), pengertiannya mencakup seluruh ibu yang dinisbahkan
kepada ibu kita, sampai berapapun tingkatan derajatnya ke atas.
Sedabgkan anak mencakup seluruh anak perempuan yang dinisbahkan
kepada kita, berapapun derajat keturunannya ke bawah.

5. Ism yang Disebutkan secara Tersendiri Menunjukkan Pada Pengertian


Umum
Contoh kaidah ini ialah kata iman yang di dalam beberapa ayat
disebutkan secara tersendiri, sedangkan dalam beberapa ayat lain kata
tersebut dikaitkan dengan amal saleh atau sifat-sifat mulia.
Berdasar atas kaidah di atas, maka kata iman yang disebutkan
secara tersendiri menunjukkan semua pengertian iman, baik yang
berhubungan dengan masalah akidah ataupun syari’at, konkret maupun
abstrak. Keimanan dalam pengertian umum inilah yang akan mendapat
pahala dari Allah. Para ulama salaf mendefinisikan keimanan ini dengan
qaulul qalbi wal lisan wa ‘amalu qalbi wal lisani wal jawarih (keyakinan
yang diucapkan oleh lidah, aktif di dalam hati, dan termanifestasi dalam
pembuatan anggota tubuh).
Adapun kata iman yang disertai penyebutan amal saleh, misalnya
terdapat dalam ayat berbunyi innalladzina amanu wa ‘amilushshalihati....
(Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholeh...).
Berdasarkan kaidah ism, maka kata iman disini menunjukkan
pengertian keimanan yang berkaitan dengan pembuatan hati, yaitu
ma’rifah, pembenaran, iktikad, dan keyakinan. Sementara itu, amal shaleh
yang mengiringinya menunjuk pengertian pelaksanaan semua syari’at,
baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.

9
6. Peniadaan Objek Kalimat Menunjuk Pengertian Umum yang Sepadan
Beberapa ayat al-Quran yang ditutup dengan kalimat ....afala
ta’qilun (...agar kamu memikirkan). Objek dalam kalimat ini memang
tidak disebutkan. Hal ini untuk menunjuk pengertian yang umum yaitu
agar kamu memikirkan semua yang mengarahkan dan mengajarkan,
memikirkan semua ayat al-Quran dan hikmah yang terkandung di
dalamnya, dan berpikir tentang Allah beserta semua sifat-Nya.

7. Jawab Al-Syarth yang tidak Disebutkan dalam suatu Ayat Menunjukkan


Penting atau Dahsyatnya yang Dibicarakan
Contoh kaidah ini ada dalam al-Quran surah Sajadah ayat12
menunjukkan hal ini;
Dan sekiranya kamu melihat, ketika orang-orang yang berdosa itu
menundukan kepala mereka dihadapan Tuhan, mereka berkata; “Tuhan,
kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia),
kami akan mengerjakan amal shaleh. Sesunggunya kami sekarang adalah
orang-orang yang yakin”.
Jawab al-syarth kata law tara memang tidak disebutkan, dan yang
disebutkan hanya reaksi orang-orang yang melihat siksaan neraka.
Peniadaan jawab al-syarth adalah untuk menggambarkan betapa dahsyat
siksaan akhirat kelak.

B. Isyarat Ilmiah yang Diketengahkan Alqur’an


Memahami isyarat-isyarat ilmiah Alqur’an harus dikaitkan dengan
perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada masa turunnya Alqur’an.
Sekian banyak isyarat ilmiah alqur’an yang tidak diketahui oleh umat manusia
pada masa turunnya wahyu Ilahi itu. Misalnya, telah membedakan antara cahaya

10
matahari dan bulan. Sinar matahari dinamai dhiya’ dan ini mengisyaratkan bahwa
sinar tersebut bersumber dari dirinya sendiri, sedang sinaar bulan dinyatakannya
sebagai nur untuk mengisyaratkan bahwa sinarnya bukan dari dirinya, tetapi
pantulan dari sumber lain (Baca QS. Yunus [10]: 5). 5
Alqur’an mengisyaratkan tentang cikal bakal manusia. Dijelaskan
dalam QS. an-Najm [53]: 45-46, bahwa:

‫ ِم ْن نُطْ َف ٍة ِإذَاتُ ْمنَى‬. ‫الذ َك َرَواُألْنثَي‬


َّ ‫الزْو َج ْي ِن‬
َّ ‫ َخلَ َق‬,ُ‫واَنَّه‬.
َ
“dan bahwasanya Dia (Allah) menciptakan kedua pasangan, lelaki dan
perempuan, dari nuthfah saat ia dipancarkan/memancarkan.”

Kata nuthfah dalam bahasa arab berarti “setetes yang dapat


membasahi”. Informasi Alqur’an tersebut sejalan dengan penemuan ilmiah pada
abad ke-20 yang menginformasikan bahwa pancaran mani yang menyembur dari
alat kelamin pria mengandung sekitar dua ratus juta benih manusia, sedang yang
berhasil bertemu dengan ovum, hanya satu saja. Itulah yang dimaksud al-Quran
dengan nuthfah dari mani yang memancar.6
Selanjutnya, ayat an-Najm di atas menginformasikan bahwa dari
setetes nuthfah itu, Allah menciptakan kedua jenis manusia, lelaki dan perempuan.
Penelitian ilmiah membuktikan adanya dua macam kandungan sperma, yaitu
kromoson lelaki yang dilambangkan dengan huruf “Y” dan kromosion perempuan
yang dilambangkan dengan huruf “X”. sedankan ovum (indung telur milik
perempuan) hanya satu macam saja, yaitu yang dilambangkan dengan “X”.
apabila yang membuahi ovum, sperma yang memiliki kromoson “Y”, maka anak
yang dikandung adalah lelaki, dan sebaliknya. Jika demikian yang “menentukan”
jenis kelamin adalah nuthfah/sperma yang dituangkan sang ayah itu. 7
Ayat lain yang mengisyaratkan peranan sperma dalam menentukan
jenis kelamin anak adalah firman-Nya dalam QS. al-Baqarah (2): 223;
‫ث لَ ُك ْم فَْأتُوْ ا َحرْ ثَ ُك ْم َأنَّى ِشْئتُ ْم‬
ٌ ْ‫نِسا َ ُء ُك ْم َحر‬

5
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati 2013), 335.
6
ibid
7
ibid

11
“Istri-istri kamu adalah ladang untuk kamu, maka garaplah ladang kamu
(masing-masing) bagaimana kamu kehendaki…”

Apabila petani menanam tomat di ladangnya, maka jangan harapkan yang tumbuh
kecuali tomat juga, karena ladang hanya menerima benih. Hal ini berarti yang
menentukan Janis tanaman yang berbuah adalah petani, bukan ladang-ladang. Jika
demikian bukan dia yang menentukan jenis kelamin anak, yang menentukan
adalah benih yang ditanam ayah di dalam rahimnya.
Lebih lanjut dalam QS. al-Insan [76]: 2, Alqur’an menamai hasil
pertemuan antara sperma dan ovum dengan nuthfah amsyaj.
ْ ُّ‫ِإنَّاخَ لَ ْقنَااِإل ْن َسانَ ِم ْن ن‬
ٍ ‫طفَ ٍة َأ ْم َش‬
‫اج‬
“sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari nuthfah amsyaj
(bercampur)”

Ini sejalan dengan penemuan ilmiah. Van Bender pada tahun 1883
membuktikan bahwa sperma dan ovum memiliki peranan yang sama dalam
pembentukan benih yang telah bertemu itu. Ini sejalan juga dengan penemuan
Thomas Hunt Morgan (1866-1945 M) pada tahun 1912 yang membuktikan
peranan kromoson dalam pembentukan janin.8
Menarik untuk diketahui bahwa kata Amsyaj berbentuk jamak, sedang
bentuk tunggalnya adalah masyaj, sedang nuthfah adalah bentuk tunggal, bentuk
jamaknya adalah nuthaf. Sepintas terlihat bahwa redaksi nuthfah amsyaj tidak
lurus karena ia berkedudukan sebagai ajektif/sifat dari nuthfah, sedang bahasa
arab menyesuaikan sifat dengan yang disifatinya, jika feminism maka sifatnya pun
demikian, jika tunggal sifatnya pun tunggal, dan jika jamak juka jamak. Nah di
sini terlihat bahwa nuthfah berbentuk tunggal, sedangkan kata amsyaj, seperti
yang sudah dikemukakan di atas, berbentuk jamak.9
Pakar-pakar bahasa menyatakan bahwa jika sifat dari satu hal yang
berbentuk tunggal mengambil bentuk jamak, maka itu mengisyaratkan bahwa sifat

8
Ibid
9
Ibid

12
tersebut mencakup seluruh bagian-bagian kecil dari yang disifatinya. Dalam hal
nuthfah, maka sifat amsyaj (bercampur) bukan sekedar bercampurnya dua hal
sehingga menyatu atau terlihat menyatu, tetapi pencampuran itu demikian mantap
sehingga mencakup seluruh bagian dari nuthfah tadi. nuthfah amsyaj itu sendiri
adalah hasil pencampuran sperma dan ovum, yang masing-masing memiliki 46
kromosom. Jika demikian, wajar jika ayat di atas menggunakan bentuk jamak
untuk menyifati nuthfah yang memiliki jumlah yang banyak dari kromoson itu. 10

C. Pemberitaan Ghaib
Secara garis besar, pemberitaan haib yang diinformasikan al-Quran dapat
dibagi dalam dua bagian pokok.
Pertama; Ghaib masa datang yang belum terjadi saat diinformasika al-Quran. ini
ada yang kemudian terbukti dan ada juga yang belum.
Kedua, Ghaib masa lalu yang telah ditelan sejarah, lalu diungkap oleh al-Quran,
dan ternyata kemudian setelah sekian abad/lama terbukti kebenarannya.
Ghaib masa datang yang belum terjadi saat diinformasika al-Quran ada
yang kemudian terbukti, seperti pemberitaan tentang akan menangnya Ramawi
atas Persia setelah bid’ sinin, yakni antara tujuh sampai sembilan tahun dari
kekalahannya, dan ketika itu kaum muslim akan bersuka cita atas kemenangan
yang mereka raih (baca QS. Ar-Rum [30]; 1-5). Sejarah menyatakan bahwa pada
tahun 615 M Kisra Aboriz, putra Hurmuz Penguasa Persia, menyerang penguasa
Bizantium, yaitu Heraclius Muda, yang dikenal dikalangan kaum Arab dengan
Heraql. Ia meyerbu daerah Syam dan Palestina yang merupakan daerah kekuasaan
Romawi.
Adapun ghaib masa datang yang belum terbukti, antara lain, firman Allah
surat an-Nahl [27]; 82;
“Apabila masa kedatangan Hari Kiamat telah sangat dekat, Kami keluarkan
sebagai tanda kedatangannya dabbat dari bumi yang akan bicara kepada mereka
antara lain mengatakan bahwa sesungguhnya manusia yang durhaka terhadap

10
Ibid

13
ayat-ayat kamibyang terbaca dan terhampar di alam raya, senantiasa tidak yakin.

Ghaib masa lalu yang telah ditelan sejarah, lalu diungkap oleh al-Quran,
dan terbukti kebenarannya cukup banyak. Salah satu diantaranya adalah informasi
tentag kesudahan Fir’aun yang mengejar-ngejar Nabi Musa as. Dan akhirnya
Penguasa Mesir yang kejam itu tenggelam di laut merah.
QS. Yunus [10]; 90-92 menguraikan peristiwa pengejaran Fir’aun dan
tentaranya terhadap Nabi Musa dan Bani Israil yang akhirnya ditenggelamkan
Allah. Dalam ayat ini antara lain artinya;
Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh
Fir'aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka);
hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya
bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan
saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". Apakah sekarang
(baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu,
dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini
Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-
orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia
lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.
Yang perlu digaris bawahi dalam konteks pembicaraan kita adalah firmannya;
“hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi
orang-orang yang datang sesudahmu.”
Memang, orang mengetahui bahwa Fir’aun tenggelam di laut merah ketika
mengejar Nabi Musa dan kaumnya, tetapi menyangkut keselamatan badannya dan
yang akan menjadi pelajaran bagi generasi sesudahnya merupakan hal yang tidak
diketahui siapapun pada masa Nabi Muhammad, bahkan tidak disinggung oleh
Perjanjian Lama dan Baru.11

11
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 342.

14
15

Anda mungkin juga menyukai