Muhammad Yusuf
إذا قمتم إلى الصلوة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا...
اطهروا اف وإن كنتم جنب,بين كم وأرجلكم إلى الكع برءوس...
“Jika kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah
wajahmu dan tanganmu sampai kedua siku dan usaplah
kepalam dan basuhlah kakimu sampai kedua mata kaki, dan
jika kamu junub maka mandilah”
5) Amr tidak menghendaki kesegeraan
Seperti dalam Q.S. al-Baqarah/2: 184
... فمن كان منكم مريض ا أوعلى س فر فع دة من أي ام أخر... “Maka
barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”
6) Amr menghendaki kesegeraan
Seperti dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 148
"“ ولكل وجهة هوموليها" فاستبقواالخيراتDan bagi tiap-tiap umat
ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya, maka
berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebajikan”
7) Amr yang datang setelah larangan bermakna mubah
Seperti dalam Q.S. Al-Maidah/5:2
...طادوا وإذا حللتم فاص... “Dan apabila kamu
telah menyelesaikan ibadah haji maka bolehlah berburu”.
... وليكتب بينكم ك"""اتب, اكتبوه$$$إذا ت"""داينتم ب"""دين إلى أج"""ل مس"""مى ف
بالعدل... “Apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya
dengan benar.
4) Amr bermakna boleh
Seperti dalam Q.S. al-Baqarah/2: 60
ق""ل إنم""ا ح""رم ربي الف""واحش م""ا ظه""ر منه""ا وم""ا بطن واإلثم والبغي
“ بغ""""يرالحقKatakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan
perbuatan yang keji baik yang nampak atau yang tersembunyi
dan perbuatan dosa melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar”
3) menggunakan kata نهى
Seperti dalam Q.S. al-Hasyr/59: 7
“ …ياأيهاال"""""ذين كفرواالتعت"""""ذروااليومHai
orang-orang kafir,
janganlah kamu mengemukakan udzur pada hari ini “
6) nahiy untuk menentramkan
Seperti dalam Q.S. al-Taubah/9: 40
...“ آلتح""""""زن إن هللا معناjanganlah kamu berduka cita,
sesungguhnya Allah beserta kita”
7) nahiy yang berarti penghinaan
Seperti dalam Q.S. Thaha/20: 131
وإذق""ال" هللا يعيس""ى ابن م""ريم ءأنت قلت للن""اس اتخ""ذوني" وأمي إلهين من
“ دون هللاDan (ingatlah) ketika Allah berfirman, hai Isa putera
Maryam, adakah kamu menyatakan kepada manusia
jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah? “
b. berupa هل
Seperti dalam Q.S. al-Ghosyiyah/88: 1
“ ه""ل أت""اك ح""ديث الغاش""يةSudah datangkah kepadamu berita
(tentang) hari pembalasan?“
c. berupa ما
Seperti dalam Q.S. al-Muddatstsir/74: 42
“ ما سلككم فى سقرApakah yang memasukkan kamu ke dalam
(neraka) saqar ?”
d. berupa من
Seperti dalam Q.S. al-Anbiya’/21: 60
مثل الذين كفروا بربهم أعمالهم كرماداش""تدت ب""ه ال""ريح فى ي""وم عاصف
“Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya , amalan-amalan
mereka seperti abu yang ditiup angina dengan keras pada
suatu hari yang berangin kencang
Sedangkan kata رياح menunjukkan rahmat
Misal dalam Q.S. al-Hijr/15: 22
فويل للذين يكتب"ون الكتب بأي"ديهم ثم يقول"ون ه"ذا من عندهللا ليش"تروا" ب"ه
فويل لهم مما كتبت أيديهم وويل لهم مما يكسبون,ثمنا قليال
“Maka celakalah orang-orang yang menulis Al-Kitab
dengan tangan mereka Sendiri, lalu dikatakannya , ini
dari Allah (dengan maksud) untuk memperoleh
keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka,
celakalah bagi mereka akibat dari apa yang ditulis oleh
tangan mereka sendiri , dan kecelakaan besarlah bagi
mereka akibat dari apa yang mereka kerjakan”
Allah Swt. juga berfirman dalam Q.S. Ali ‘Imran/3: 19
“ إن الدين عند هللا اإلسالمSesungguhnya agama (yang haq) di sisi
Allah adalah Islam”.
Selain itu kaum Yahudi dan Nasrani termasuk golongan
kaum yang musyrik dan kafir, sebagaimana firman Allah SWT.
dalam Q.S. At-Taubah/9: 30
" ذل""ك ق""ولهم,وقالت اليهود عزيرابن هللا وق""الت النص""رى" المس""يح ابن هللا
بأفواههم" يضاهئون قول الذين كفروا من قبل قاتلهم هللا أنى يؤفكون
“Orang-orang Yahudi berkata, Uzair itu putera Allah dan
orang Nasrani berkata Al-Masih itu putera Allah. Itu
adalah ucapan mereka dengan mulut mereka. Mereka
meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu.
Dilaknat Allah-lah mereka, bagaimana mereka sampai
berpaling?”
Oleh karena itu, yang diperintahkan Allah kepada Nabi
Saw. adalah untuk mengakui kitab-kitab suci yang asli yang
tidak dikotori oleh campur tangan manusia. Bukan sembarang
kitab suci. Alangkah dustanya Cak Nur yang menuduh Nabi
Muhammad Saw. diperintah Allah untuk mempercayai kitab
suci manapun (Rasyid, 2006: 55-60). H. Luthfi Bahori
menyatakan di dalam bukunya, Musuh Besar Umat Islam: yang
tergolong orang-orang musyrik adalah kaum majusi
(penyembah api) dan kaum paganis penyembah berhala,
seperti penganut agama Budha, Hindu, Khonghucu, Shinto,
dan sebagainya. Sedangkan menurut mayoritas ulama’ , ahli
kitab (Yahudi dan Nasrani) tidak tergolong kaum musyrikin.
Mereka berpegang teguh pada dhahir Q.S. al-Maidah/5: 5.
Akan tetapi Abdullah bin Umar berpendapat bahwa kaum
Yahudi dan Nasrani adalah termasuk orang-orang
musyrik berdasarkan Q.S. al-Taubah/9: 30, oleh karena itu
beliau mengharamkan secara mutlak perkawinan campur beda
agama. Disamping musyrik, permusuhan abadi zionis Yahudi
dan misionaris Nasrani adalah ancaman yang serius bagi kaum
muslimin (perhatikan Q.S. al-Baqarah/2: 120) (Bashori, 2006:
71-72).
Pendapat Cak Nur tentang Ahli Kitab serta agama
Yahudi dan Nasrani tampaknya berpijak pada subjektifitas
beliau dalam menyimpulkan kandungan Q.S. al-Baqarah/2:
136, Ali ‘Imran/3: 64, al-Nisa/4: 163-165, al-Syura/42: 13 dan
15, dan al-Ankabut/29: 46, yaitu semua agama sama, karena
semuanya mempunyai ajaran yang sama (kalimatun Sawa’).
Kekeliruan dalam menyikapi kaum di luar Islam akan
berdampak besar pada rusaknya aqidah kaum muslimin
sendiri. Apalagi akhir-akhir ini sedang dimunculkan sebuah
gerakan yang berupaya mempersatukan agama-agama sedunia
dalam satu wadah yang misinya adalah memberikan
pemahaman bahwa semua agama pada dasarnya sama, karena
mengajak kepada kebaikan. Pemikiran semacam ini popular
dengan istilah sinkretisme atau wihdatul adyan. Gerakan ini pula
yang menjadi program Jaringan Islam Liberal yang marak
dipasarkan oleh tokoh-tokoh Islam moderat yang bekerja sama
dengan musuh-musuh umat Islam.
E. Kesimpulan
Kaidah tafsir artinya asas, dasar, pedoman atau prinsip
yang digunakan untuk memahami Kitabullah yang diturunkan
kepada Muhammad Saw. menjelaskan makna-maknanya serta
mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
Kaidah tafsir terdiri dari beberapa hal, salah satu
diantaranya adalah kaidah kebahasaan, misalnya kaidah amr
dan nahiy, istifham, mufrad dan jamak serta kaidah kata yang
dikira mutaradif tetapi bukan. Alquran merupakan pedoman
hidup manusia, dikarenakan ayat-ayat Alquran tidak
diturunkan dalam keadaan instant (langsung bisa dipahami
dan diamalkan oleh siapapun) maka Alquran perlu ditafsirkan.
Dalam menafsirkan diperlukan kehati-hatian, tidak seharusnya
seseorang yang belum memenuhi kualifikasi sebagai seorang
mufasir memberanikan diri untuk membuat penafsiran sendiri.
Seharusnya seseorang yang ingin menafsirkan Alquran
menguasai cabang- cabang ilmu yang diperlukan oleh seorang
mufasir serta mematuhi adab-adabnya.
Alquran menceritakan bahwa kitab-kitab suci sebelum
Alquran telah mengalami perubahan, penyelewengan dan pemalsuan
yang dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian
bisa dikatakan bahwa dalam pandangan tauhid, Yahudi dan
Nasrani bukanlah agama yang diakui oleh Islam sebagai agama
Allah Swt.
DAFTAR PUSTAKA
KAIDAH KEBAHASAAN
1. Kaidah Pertama:
Terjemahnya:
(Yaitu) orang-orang yang melaksanakan salat dan yang
menginfakkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada
mereka (Depag RI., 2005: 177).
Kata yuqimuna (mendirikan) dan yunfiquna (berinfak)
menunjukkan bahwa perbuatan tersebut terjadi berulang-
ulang.
b. Q.S. Fathir/35: 3, Allah Swt. berfirman:
……
…..
Terjemahnya:
... adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki
kepadamu dari langit dan bumi? ... (Depag RI., 2005: 434).
Al-Razi (1981: 4) berkomentar mengenai ayat ini, sebagai
berikut:
ب""الرزق إلى
"ِ واألرض) إش""ارةٌ إلى نِع َم"" ِة اإلبق""ا ِء
ِ (ي""ر ُز ُك ُكم" من الس""ما ِء
اإلنتِها ِء
Ayat ini memberi isyarat bahwa pemberian nikmat
secara terus menerus berupa rezki itu sampai akhir.
c. Q.S. Yusuf/12: 16, Allah Swt. berfirman:
Terjemahnya:
Kemudian mereka datang kepada ayah mereka pada petang
hari sambil menangis (Depag RI., 2005: 327).
Kata-kata "yabkun” yang berarti menangis, dalam ayat ini
menunjukkan bahwa setiap kali mereka datang kepada Nabi
Ya'qub, pasti mereka selalu menangis walau hanya dengan
pura-pura menangis, karena memang demikianlah sifat
kebiasaan orang-orang yang suka menipu dan berdusta. Ha;
dikemukakan oleh Ibn ‘Ali al-Andalusi, al-Bahr al’Muhith fi al-
Tafsir pada tafsir Q.S. Yusuf/12 : 16.
4. Kaidah Keempat:
Yang menyatakan :
أفع""ل رُبم""ا ج""اءت لِنفي المع""نى عن َ وحك""و" بعض علمل ِء العربي"" ِة أن
َ
,الشيئي ِن نحو قوله تعالى "أهُم خ""ي ٌر أم ق""وم تُب""ع" أي الَ َخ""ي َر فى الف""رقَين
فعلى ه""ذا,"ير فيهم""ا َ " الش""يطانُ خ""ي ٌر من فُال ٍن أي ال خ:ونحو ق""ول القائ""ل
.فمعنى قولهُ "نحنُ أ َحق بالشك ِمن إبراهيم" الشك عندنا جميعًا
Artinya:
Beberapa pakar bahasa Arab mengemukakan bahwa sigat af’al
kadang-kadang menafikan makna (al-tafill) di antara keduanya.
Contohnya firrnan Allah ta’ala: (apakah mereka lebih baik dari
kaum Tubba'?) maknanya tidak ada yang baik di antara
keduanya. Contoh lain, seseorang berkata, "Syaitan lebih baik
dari si-Fulan," maknanya keduanya, tidak ada yang baik. Oleh
karenanya, sabda Rasulullah Saw. (al-Sabt, 2000: 6).
نحن بالش""ك من إب""راهيم, maknanya kita semua tidak ada
keraguan.
6. Kaidah Keenam:
7. Kaidah Ketujuh:
.
التعقيب بالمصدر" يُفي ُد التعظيم او الدوام
Artinya:
Penggunaan mashdar menunjukkan pengagungan atau celaan
(al-Sabt, 2000: 6).
Contohnya: Q.S. al-Naml/27: 87-88, sebagai berikut:
Terjemahnya:
Dan (ingatlah) pada hari (ketika) sangkakala ditiup, maka
terkejutlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi,
kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Dan semua mereka
datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri. Dan
engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap
di tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan.
(Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala
sesuatu. Sungguh, Dia Maha teliti apa yang kamu kerjakan
(Depag RI., 2005: 384)
Dalam menafsirkan ayat tentang ﷲ ﻊﻨﺻal-Syawkany
mengemukakan bahwa menurut pendapat al-Khafil, Sibawayh
dan lain-lain kata sun'a merupakan mashdar yang di-manshub-
kan, yang maknanya Allah pasti berbuat demikian. Ada juga
yang berpendapat bahwa kata shun'a merupakan mashdar
mu'akkad. Disamping pendapat yang menyatakan bahwa
manshub-nya itu karena ada kata yang tersembunyi yaitu ﷲ ﻊﻨﺻ
( ﺍﻭﺮﻆﻧﺍal-Syaukani, t.th.).
Khalid ibn 'Usman al-Sabt mengutip pernyataan
Sulaiman ibn ‘Abd al-Qawiy al-Sarsariy al-Bagdadiy dari
kitabnya, al-Iksir fi 'Ilm al-Tafsir, bahwa kata shun'a
mengisyaratkan keagungan dan kebesaran Allah Swt. dan
kekuasaanya, berupa tiupan sangkakala sehingga pada waktu
itu segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi ketakutan,
hingga datang menghadap Allah dengan rasa hina, gunung-
gunung berterbangan bagaikan awan yang tertiup angin.
Pandanglah perbuatan Allah, betapa agungnya (al-Sabt, 2000:
264).
Demikian pula mashadir al-mu'akkadah yang lain seperti,
kata shibgatallah dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 138, kata wa'dallah
dalam Q.S. Al-Rum/ 30: 6, kata fithratallah dalam Q.S. Al-
Rum/30: 30 (al-Sabt, 2000: 264)
8. Kaidah Kedelapan:
إذا ضُم إليه""ا مثله""ا ج""از,اإلنسان من أجزاء المفردة ال تتعدد
ِ ما فى جسم
ُ, التثني"ة: الث""انى,ُ وه""و األك""ث ُر واألفص"ح, الجم""ع: األول.فيها ثالثة أوجه
. اإلفراد:الثالث
Artinya:
Organ tunggal manusia tidak dianggap berbilang, bila ia
digabungkan dengan kata berbilang. la boleh berubah kepada
tiga bentuk, yang pertama dalam bentuk jamak yang banyak
terpakai dan dianggap paling fasih. Yang kedua, bentuk al-
tasniyah (dua). Dan yang ketiga, al-ifrad (tunggal) (al-Sabt, 2000:
6).
Contoh kaidah ini dapat diterapkan dalam Q.S. Al-Tahrim/66:
4, sebagai berikut:
.......
Terjemahnya:
Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sungguh, hati
kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan) ,..
(Depag RI., 2005: 560).
Al-Razi mengemukakan bahwa yang dimaksud qulub
(dalam bentuk jamak) pada ayat ini adalah al-tasniyah (al-Razi,
1981: 44; al-Syinqiti, 2003: 2034). Ibnu Hazm (2004: 496)
berkomentar mengenai ayat ini sebagai berikut:
.
وقد" نَقَ َل النحويون هذا الباب,هذا بابٌ محفوظٌ فى الجوار خاصة
Artinya:
Bab ini secara khusus hanya untuk anggota badan saja, para
ahli nahwu telah memberitahukan bab ini.
F. Penegasan
Dari pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
qawa'id al-lughawiyah yang dimaksud adalah kaidah-kaidah
yang terkait dengan bahasa, nahwu, dan sharaf. Kaidah-kaidah
tersebut, antara lain adalah:
1. Menghubungkan suatu ungkapan dengan kata sesudahnya
atau yang sepadan dengannya lebih diprioritaskan karena
hal tersebut lebih mengena dan lebih fasih ditinjau dari sisi
bahasa dan balagah.
2. Fi’il mudhari' yang berada sesudah kata kana itu
menunjukkan bahwa fi’il itu terjadi berulang-ulang dan
terus-menerus.
3. Kalimat dalam bentuk al-jumlah al-Ismiyyah mengandung
makna tetap dan tidak berubah. Sedang kalimat dalam
bentuk al-jumlah al-fi'liyyah mengandung makna berulang.
4. Perbedaan i'rab dari dua kata yang ma'thuf menunjukkan
adanya perbedaan makna.
5. Dalam Alquran dan bahasa Arab ungkapan/shigat al-tafdhil
terhadap sesuatu secara mutlak terkadang menunjukkan al-
Ittishaf (penyifatan), bukan untuk menunjukkan bahwa
diantara salah satunya ada kelebihan.
6. Makna-makna al-af’al (kata-kata kerja tertentu) dapat
dipahami menurut keterangan-keterangan yang
menyertainya, seperti kata raghiba ’an yang berarti “benci”
dan ragiba fi berarti “cinta”.
7. Penegasan pemakain kata dalam bentuk mashdar
mengandung makna al-ta'zhim (pengagungan) atau al-zamm
(celaan).
8. Dalam bahasa Arab, organ tunggal manusia, bila disebut
dalam bentuk jamak tidak menunjukkan bahwa organ
tunggal itu lebih dari satu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdat, Abdul Hakim bin Amir. 2005. al-Masa'il…, Jilid V, Cet.
I; Jakarta: Darus Sunnah Press.
Zarkasyi, Badr al-Din Muhammad ibn 'Abdillah al-. al-Burhan
fi 'Ulum al-Qur'an, Juz II, al-Qahirah: Maktabat Dar al-
Turats.
Shihab, Muhammad Quraish. 2006. Membumikan al-Qur'an:
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat.
Cet. XXIX; Bandung: Penerbit Mizan.
Departemen Agama RI., 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Cet.
X; Bandung: CV Penerbit Diponegoro,
Zamakhsyari, Abu al-Qasim Jarullah Mahmud ibn 'Umar al-.
1418 H./1998 M. al-Kasysyaf 'an Haqa'iq Gawamid al-
Tanzil wa 'Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta'wil. ditahqiq
oleh 'Adil Ahmad 'Abd al-Mawjud, et al., Juz III, Cet. I;
Riyadh: Maktabat al-'Abikan,
Suyuthi, Jalal al-Din al-. al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an. dalam al-
Maktabat al-Syamilah Versi 2 [CD-ROM].
Sabt, Khalid ibn 'Usman al-. 2000. Qawa’idal-Tafsir: Jam’an wa
Dirasatan. Jilid I, Cet. I; t.t. : Dar Ibn 'Affan.
Sabt, Khalid ibn ‘Usman al-. 1417 H./1996 M. Muktasar fi
Qawa’id al-Tafsir. Cet. I; KSA: Dar Ibn ‘Affan.
Thabari, Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir al-. 1424 H./2003 M.
Jami al-Bayan 'an Ta'wil Ayi al-Qur’an. ditahqiq oleh
‘Abdullah ibn 'Abd al-Muhsin al-Turki, Juz VII, Cet. I;
al-Qahirah: Markaz al-Buhuts wa al-'Arabiyyah wa al-
Islamiyyah bi Dar Hijr.
Amin, ‘Ali Jarim dan Mustafa. 1999. al-Nahw al-Wadhih fi
Qawa’id al-Lughat al-‘Arabiyyah. Juz I, Al-Qahirah: Dar
al-Ma’arif.
Razi, Muhammad Fakhr al-Dan ibn Diya’ al-Din ‘Umar al-.
1401 H./1981 M.Tafsir al-Razi aw Tafsir al-Kabir wa
Mafatih al-Gayb, Juz XXVI (Cet. I; Beirut : Dar al-Fikr.
Andulusi, Abu Hayan Muhammad Ibn Yusuf Ibn ‘Ali al-
Andalusi, al-Bahr al’Muhith fi al-Tafsir. dalam al-
Maktabat al-Syamilah Versi 2 [CD-ROM].
Bagawi, Abu Muhammad al-Husyen ibn Mas’ud al-. 1417
H./1997 M. Ma’alim al-Tanzil. ditahqiq oleh
Muhammad ‘Abdullah al’Namr, et al., Juz I, Cet. IV;
T.T.: Dar al-Tayyibah.
Ibn ‘Ali, Abu al-Fadhl Syihab al-Din Ahmad (Ibnu Hajar).
al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Sahihh al-Bukhari. Juz X,
dalam al -Maktabat al-Syamilah Versi 2 [ CD-ROM].
Abd al-Jabbar, Al-Qadi. 1965. al-Mugrni fi Abwab al-Tawhid wa
al-'Adl. Juz IV, al-Qahirah: Dar al-Misriyyah.
Abd al-Jabbar, Al-Qadi. 1969. Mutasyabih al-Qvr'an. Jilid II, al-
Qahirah: Dar al-Turas.
Abd al-Jabbar, al-Qadhi. Tanzih al-Qur'an 'an al-Mata'in. Beirut:
Dar al-Nahdat al-Haditsah.
Abd al-Jabbar, al-Qadhi. 1965. Syarb al-Ushul al-Kbamsab. al-
Qahirah: Maktabat Wahbah.
Syawkani, Muhammad 'Aliy al-. Fath al-Qadir. dalam al-
Maktabat al-Syamilah Versi 2 [CD-ROM].
Syinqiti, Muhammad al-Amin ibn Al-Mukhtar al-. 1424
H./2003 M. Adwa’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Cet. I;
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Zahiri, Abu Muhammad ‘AIi ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm
al-. 1424 H./2004 M. al-Ihkam fi Usul al-Ahkam. Jilid I,
Cet. I: Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.
BAB II
KAIDAH AL-DHAMA’IR
A. Kaidah al-Dhamair
Alquran diturunkan dengan berbahasa Arab. Allah
telah menyebut Alquran dengan “Alquran yang berbahasa
Arab” di dalam Q.S. Yusuf/12: 2 “Sesungguhnya Kami
menurunkannya berupa Alquran dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya” (Depag RI., 1990: 348). Tidak diragukan lagi
bahwa “kearaban” yang dimaksud disini adalah segi
kebahasaannya, bukan ras dan etnik, meski bangsa Arab
merupakan pembawa atau penerima risalah Islam pertama di
dunia ini (al-Gazali, 1991: 233). Bahasa Arab berbeda dengan
bahasa Inggris, bahasa Arab begitu hemat kata-kata dan
singkat, namun jelas maksudnya. Alquran dengan bahasa
Arabnya mudah dipahami oleh masyarakat Arab, tetapi risalah
ini ditujukan untuk semua bangsa, semua orang, tanpa kecuali.
Kendati bangsa-bangsa lain tidak mengerti seluk-beluk bahasa
Arab, namun wajib untuk membaca Alquran dengan bahasa
Arab sekaligus memahaminya sesuai dengan konteks
diturunkannya ‘risalah ini (al-Gazali, 1991: 237).
Karena Alquran diturunkan dengan menggunakan
bahasa Arab, maka seorang tidak mungkin bisa menafsirkan
ayat-ayat Alquran dalam rangka penggalian dengan baik tanpa
mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab. Kaidah-kaidah yang
diperlukan para mufasir dalam memahami Alquran terpusat
pada kaidah-kaidah bahasa, pemahaman dan asas-asasnya,
penghayatan uslub-uslubnya dan penguasaan atasnya (al-
Qaththan, 2005: 260).
Berdasarkan hal itu, Imam Aal-Suyuti dalam al-Itqan
menyebutkan bahwa salah satu ilmu yang harus dikuasai oleh
seorang mufasir adalah mengetahui ilmu bahasa Arab dan
kaidah-kaidahnya yang mencakup ilmu nahwu, sharf, dan ilmu
isytiqaq (al-Suyuti, 2006: 176). Bahkan Imam Malik berkata:
“Tidaklah akan diberikan kepada orang yang tidak mengetahui
bahasa Arab lalu dia menafsirkan Kitab Allah, melainkan
hukuman dan siksa saja”. Imam Mujahid juga berkata: “Tidak
halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir
berkata tentang kalamullah, manakala dia tidak mengetahui
bahasa Arab” (al-Suyuti, 2006: 180).
Salah satu kaidah yang harus dipahami dengan baik
oleh seseorang yang ingin mendalami makna ayat-ayat
Alquran adalah kaidah al-Dhamair. Hal ini sangat penting,
sebab menurut kaidah pokok, kesesuaian semua kata ganti
(dhamir) dengan kata yang ditunjuk (betujuan untuk
menghindari terjadinya kekacauan (tasytit) dalam sebuah
kalimat, sehingga pengetahuan terhadap kaidah “dhamir“ ini
penting untuk dipahami.
B. Pengertian al-Dhamair
Kata al-dhamair merupakan bentuk jamak dan dhamir,
sebagaimana dikutip oleh KhaIid ibn ‘Usman al-Sabt dan kitab
al-Mu‘jam al-Wasith dan kitab Mu jam al-I’rãb wa al-Imlã’,
dikatakan bahwa menurut para ahli nahwu Daruffrada’ah
sesuatu yang menunjuk kepada yang berbicara seperti kata
“saya”, atau lawan bicara seperti kata “kamu” atau menunjuk
orang ketiga seperti kata “dia” (al-Sabt, 2000: 399).
Di dalam buku Antuan al-Dahdah dikatakan bahwa
dhamir adalah kata yang nienggantikan seseorang baik itu
orang ketiga (gaib), atau orang kedua (mukhathab) dan orang
pertama (mutakallim) (al-Dahdhah, 1994: 93). Sedangkan
Ahmad Warson Munawwir menulis bahwa dhamir menurut
bahasa berarti perasaan, angan-angan atau batin seseorang.
“Adhmara al-amra” berarti menyembunyikan sesuatu, al-
mudhmar berarti yang samar atau tersembunyi (Munawwir,
1997: 829). Hal ini senada di dalam Kamus Kontemporer Arab
Indonesia, kata dhamir berarti hati nurani atau suara Sedangkan
dalam pengertian ilmu bahasa, kedua kamus ini
menyimpulkan bahwa dhamir adalah “kata ganti nama” atau
“pronoun” (Mudlor, 1998: 12121).
B. Kaidah-Kaidah al-Dhamair
.ا األصل وضع الضمير لإلختصار
1. Kaidah Pertama
2. Kaidah Kedua:
Terjrmahanya:
Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan
sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu
akan menemuiNya (Depag RI., 1990: 1040).
Dhamir pada ayat فمُالقيهtersebut menurut sebuah
pendapat kembali kepada ربك yaitu “Kamu pasti akan
menemui Tuhanmu”, tetapi menurut pendapat yang lain
kembali pada ك دحاyaitu “kamu akan menemui amal-amal
perbuatanmu”. Kedua pendapat ini benar karena seorang
hamba di akhirat nanti akan menemui Allah dan amal-amal
perbuatannya.
3. kaidah Ketiga:
Terjemahnya:
… Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah
dapat kamu menghinggakannya (Depag RI., 1990: 385).
Terjemahanya:
… Dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya
kepadaNya saja menyembah (Depag RI., 1990: 419).
Dhamir dalam firman Allah إياهkembali kepada هللا, bukan
kepada نعمةberdasarkan qarinah (indikator) yang ada dalam
memahami ayat ini.
3. Kaidah keempat:
كال ذى يفس ره س ياق,ضمير الغائب قد يعود على غير ملفوظ ب ه
.الكالم
Artinya:
Dhamir orang ketiga (al-gaib) kadang-kadang
dikembalikan kepada kata yang tidak terucap
sebelumnya, seperti yang dijelaskan oleh makna atau
isyarat sebuah perkataan (al-Sabt, 2000: 410).
Seperti yang terdapat dalam firman Allah dalam Q.S.
al-Qadr/97: 1.
Terjemahnya:
Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Alquran)
pada malam kemulian .
Terjemahanya:
… Maka barang siapa mendapat suatu pemaafan dan
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti
dengan cara yang baik dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik.
Kata ‘ufiya (dimaafkan) dalam ayat ini meniscayakan
akan adanya orang yang meniru. Kata ‘af’u itulah yang
kernudian secara pasti (iltizam) menjadi marji’-nya dhamir “ha”
dari kata ilayhi.
5. Kaidah Kelima
6. Kaidah Keenam
Kaidah mi merupakan kebalikan dan kaidah
sebelumnya, dengan kata lain keluar dan kaidah asal (al-Sabt,
2000: 419), yaitu:
Terjemahnya:
Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka
sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika
orang-orang kafir (musyrikin Mekkah) mengeluarkanf
lYa (dad Mekkah) sedang dia salah seorang Jan dua orang
yang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia
berkata kepada temannya: janganlah kamu berduka cita,
sesungguhnya Allah beserta kita. Maka Allah
menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan
membantunya dengan tentara yang kainu tidak
melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang
kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang
tinggi. Allah maha Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
(Depag RI., 1990: 285).
Dalam ayat di atas terdapat dua belas dhamir yang semuanya
kembali kepada Nabi Muhammad, kecuali dhamir ( هhi) pada
عليهyang kembali kepada sahabatnya, Abu Bakar al-Siddiq yang
menemani Rasulullah Saw. di dalam gua. Hal itu sesuai yang
diriwayatkan oleh al-Suhaili dan beberapa ulama tafsir. Sebab
Rasulullah Saw. Tidak mungkin kehilangan kenangannya (al-
Hasani, 2004: 89).
Dalam terjemahan Departemen Agama RI, disebutkan
bahwa rujukan dan dhamir ( هhi) pada kata عليهpada ayat ini
adalah Nabi Muhammad saw. seperti yang pemakalah kutip
pada terjernahan ayat di atas, padahal tidak sepatutnya Nabi
kehilangan ketenangannya ketika itu Jadi tidak patut marji’-nya
kembali kepadanya, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh
al-Suhaili dan beberapa ulama tafsir.
7, Kaidah Ketujuh
Terjemahnya
Dan Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih patut
mereka cari keridhaannya jika mereka adalah orang-
orang yang beriman.
Dalam ayat ini dhamir يرضوهberbentuk mufrad, padahal
yang dimaksud adalah Allah dan Rasul-Nya (Al-Zarkasyi,
t.th. :127). Contoh lain firman Allah di dalam Q S al-’An’ãm/6:
141
Terjemahnya:
Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) denga sabar
dan salat. Dan sesungguhnya yang demikian itu
sungguh berat.
8. Kaidah Kedelapan
المرجع الذي يعود اليه ضمير الغيبة يكون ملفوظًا" به سابقًا علي""ه مطابقً"ا
.له
Artinya:
Marji’ (tempat kembali) dhamir gaib adalah lafal yang
telah disebutkan sebelumnya dan harus sesuai
dengannya.
Misalnya firman Allah di dalam Q.S. Hud/11: 42, ونادى
“ نوح انهDan Nuh memanggil putranya”.
Namun ada juga المرجعyang tidak terucap karena yang
mendahuiuinya itu mengandung apa yang dimaksud oleh
dhamir. Misalnya firman Allah di dalam Q.S. al-Mujadilah/5: 8.
Terjemahnya.
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-
orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah,
menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dhamir هوdsni kembali kepada الع دلyang terkandung
dalam lafal .. ّ(إع دلواal-Hasani, 2004: 136). Demikianlah
beberapa kaidah al-dhamair yang kesemuanya itu merupakan
bagian dan kaidah-kaidah bahasa Arab yang menjadi
persyaratan yang harus dikuasai oleh seorang mufasir, agar
bisa menafsirkan dan mengungkap makna-makna ayat sesuai
dengan maksud yang semestinya. Pengetahuan tentang
beberapa ilmu seperti ‘ilmu Balagah ‘ilmu Ma’ani, ‘ilmu Bayãn,
‘ilmu Bad’i, ilmu Ushul al-Fiqh, pengetahuan tentang asbãb al-
nuzul, nasikh dan mansukh, dan ‘ilmu Qira’at kesemuanya itu
merupakan persyaratan utama seorang mufasir (al-Suyuti,
2006: 160).
Menafsirkan al-Qur’an tanpa pengetahuan yang
seharusnya dimiliki oleh seorang mufasir bisa berakibat
terjerumus dalam kesalahan ketika menafsirkan al-Quran,
sebagai contoh ketika menafsirkan firman Allah di dalam Q.S.
al-Rahman/55: 19-20,
Terjemahnya:
Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya
kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang
tidak dilampaui masing-masing.
Ada sebagian orang yang menafsirkan kata )i1 pada
ayat di atas sebagai Au dan Fatimah. Kemudian pada ayat
selanjutnya Q.S. al-Rahman/55: 22.
CATATAN AKHIR
العط""ف ت""ا ب""ع مقص""ود ب""ا لنس""بة م""ع متبوع""ه يتوس"ط" بين""ه وبين
. متبوعه احدحروف العشرة
العط""ف ه""و ت""ابع يتوس "ط" بين""ه وبين متبوع""ه ح""رفُ من أح""رف
."ًأكرمت سعيدًاثمسليما
ُ .ُعلي وجالد
ُّ العطف نحو "جا َء
ِ
1. Kaidah pertama:
وعلى أهمي""ة, عطف العام على الخا ص ي""دل على التعميم
.األول
Artinya:
2. Kaidah Ketiga:
عند عطف صفة على ص""فة لموص""وف واح""د فاألفص "ح" فى كال م
وإذا أريد بالوصف الثانى موصوف اَخر,العرب ترك إدخال الواو
.غير األول أدخلت الواو
Artinya:
Ketika meng-‘athf-kan sifat kepada sifat untuk sesuatu
yang disifati, maka yang dikenal dalam tata bahasa
Arab adalah tidak menggunakan huruf ‘athf ()الواو, dan
apabila yang diinginkan adalah sifat yang lain, yang
disifatkan kepada sifat yang kedua bukan sifat yang
pertama, bukan huruf ‘athf ( )الواوdimasukkan diantara
dua sifat tersebut (al-Sabt, 1997: 431).
5. Kaidah Keenam:
6. Kaidah Ketujuh:
DAFTAR PUSTAKA
Alusi, Syihab al-Din Mahmud ibn ‘Abdillah al-Husaini al-.
Software al-Maktabah al-Syamilah Versi 2.1.
Asmar, Muhammad al-Tarji dan Raji al-. 1993. al-Mu‘jam al-
Mufashshl fi ‘Ulum al-Lugah. Juz I, Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah.
Bagawi, Abu Muhammad al-H{usain ibn Mas‘ud al-. Ma‘alim
al-Tanzil (software al-Maktabah al-Syamilah Versi 2.1.
Dahdah, Antuan al-. 1987. Mu‘jam Qawa‘id al-Lugah
al-‘Arabiyyah fi Jadawil wa al-Lauhat. Cet.III; Beirut:
Maktabah Libanon.
Daqar, ‘Abdul Gani al. Mu‘jam al-Qawa‘id al-‘Arabiyyah. Soft
ware M. SyamilahVersi 2.1.
Dayyab, Hifni Bek & Muhammad Bek Dayyab at.al-. 2004.
Kaedah Tata Bahasa Arab. Cet. IX; Jakarta: Darul Ulum
Press.
Departemen Agama RI. 1990. Al-Qur’an Terjemahannya. Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsiran al-
Qur’an.
Dimasqi, Abu al-Fida Isma‘il ibn ‘Umar ibn Kair al-Quraisyi al-.
1999. Tafsir Ibn Katsir. Juz I, Cet. II; t.tp, Dar al-
Thayyibah.
Galayaini, Muhammad al. Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah. software
Maktabah Syamilah Versi 2.1.
Hamid, ‘Abdullah Hamid al-.1994. Silsilah Ta‘lim al-Lugah
al-‘Arabiyyah. Cet. I; Riyadh: al-Jami‘ah.
Ibn ‘Umar, Jamal al-Din ibn ‘Umar dan ‘Utsman. 1990. Kitab al-
Kafiyat fi al-Nahwi. Juz I, Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah.
Ibn Zakariyya, Abu al-H{usain Ahmad ibn Faris. 1991. Mu‘jam
Maqayis al-Lugah. Juz IV, Cet. I; Beirut: Dar al-Jil.
Ma’luf, Louis. 1986. al Munjid fi al-Lugah wa al-I‘lam. Cet. XXVIII;
Beirut: Dar al-Masyiriq.
Munawwir, A. Warson. 2002. Kamus Arab-Indonesia. Cet. XXV;
Pustaka Progresif.
Al-Musymuni. Syarh al-Asymuni ‘Ala Alfiah ibn Malik. software
Maktabah Syamilah Versi 2.1.
Qaththan, Manna’ Khalil al-. 2004. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an.
Terj. Mudzakir. Studi ilmu-ilmu al-Qur’an. Cet. VIII;
Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.
Qurthubi, Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakar ibn Farah
Abu ‘Abdillah al-. al-Jami‘ li Ahkami al-Qur’an. Soft
ware al-Maktabah al-Syamilah Versi 2.1.
Sabt, Khalid ‘Utsman al-. 1997. Mukhtashar fi Qawa‘id al-Tafsir.
Cet. I; Dar ibn ‘Affan.
Sabt, Khalid ‘Utsman al-. 1997. Qawa‘id al-Tafsir Jama‘an wa
Dirasatan. Cet.I; Dar Ibn ‘Affan.
Al-Suyuti. 1979. al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an al-Karim, Juz II,
Beirut: Dar al-Fikr.
Syihab, Quraish. 1993. Membumikan Alquran. Cet. V; Bandung:
Mizan.
Thabari, Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Katsir ibn Galib al-
Amali, Abu Ja‘far al-. 2000. Jami‘ al-Bayan fi Ta’wil al-
Qur’an. Cet. I; Beirut: Mu’assasah al-Risalah.
BAB V
KAIDAH AL-NAFY
A. Kaidah al-Nafy
Alquran sebagai pegangan hidup umat Islam dapat
dipahami dengan menafsirkannya. Akan tetapi, penafsiran
tidak dapat dilakukan setiap orang kecuali mempunyai
perangkat dasar keilmuan yang cukup dan melibatkan
mauhibah dari Allah Swt., dan orang-orang yang mendapatkan
mauhibah tersebut wajib menjelaskan Alquran kepada manusia,
baik melalui lisan maupun tulisan (Q.S. Ali Imran/3 : 187).
Rasulullah Saw. adalah orang pertama yang memiliki
‘kelebihan’ itu, kemudian diikuti oleh para sahabat di masanya,
tabi’in (orang-orang yang hidup bersama dan sesudah sahabat),
tabi’u al-tabi’in (orang yang hidup bersama dan sesudah tabi’in)
hingga ulama zaman sekarang ini (al-‘Uthaimin, 2008: 75-84).
Demikian halnya dengan urgensi mengetahui Alquran,
kalau mereka yang mendapat petunjuk berkewajiban
menyampaikan dan mengajarkan Alquran maka selain mereka
pun juga diamanahkan memikul tugas yang mulia ini. Namun,
begitu banyak diantara umat ini masih belum menerima
amanah tersebut, padahal setiap umat muslim wajib
mengetahui agamanya yang dimulai dari yang paling dasar
(ushul) agar pondasi yang dibangun tampak kokoh. Untuk itu,
diantara dasar agama khususnya bidang ilmu yang paling
agung dan ushul yang perlu dibangun seperti kokohnya sebuah
bangunan adalah ilmu tafsir atau penjelasan makna kalam Allah
Swt.
Para ulama telah meletakkan dasar-dasar ilmu tafsir,
biasa disebut qawa’id al-tafsir yang tidal lain adalah untuk
meluruskan dan mengarahkan umat ini kepada pemahaman
Alquran yang benar terhadap firman Allah Swt., dan dari
sekian bentuk kaidah-kaidah tafsir, kaidah al-nafyu merupakan
salah satu kaidah penting dalam memahami teks suci,
contohnya ketika Allah berfirman dalam Q.S. al-Kahfi/18: 49,
(49)
Terjemahan:
“Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang pun jua”.
(Depag R.I., 2005: 300).
Terjemahnya :
Dialah yang menurunkan Kitab (Alquran) kepadamu
(Muhammad) diantaranya ada ayat-ayat yang muhkamat,
itulah pokok-pokok Kitab (Alquran) dan yang lainnya
mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang
mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencarikan
takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahuinya kecuali
Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata
“kami beriman kepadanya (Alquran) semuanya dari sisi
Tuhan kami “. Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran
kecuali orang yang berakal” (Depag R.I., 2005: 51).
Muhkam adalah perkataan (wahyu) yang tampak jelas,
terang dan mampu membedakan antara yang benar dan salah,
antara yang jujur dan bohong, juga tidak membutuhkan
penjelasan lanjut. Sedangkan mutasyabih adalah perkataan
(wahyu) yang tampaknya memiliki kesamaan sekalipun pada
hakikatnya berbeda, tidak dapat berdiri sendiri dan
membutuhkan penjelasan (Al-Jurjani, Softwer, t.th.: .67; al-‘Ak,
softwer, 1986): 289; al-Suyuti, al-Maktabat al-Syamilah, ver. 2
softwer, t.th.: 231; Chirzin, 1998: 73).
Pada ayat di atas kalimat ( َو َما يَ ْعلَ ُم تَأْ ِويلَهُ إالَّ هللاpadahal tidak
ada yang mengetahuinya kecuali Allah ) terdapat lafal “”ما
( tidak ada), di sini Allah menegasikan keberadaan siapapun
yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat, kemudian
menyebut kata “( ”إالkecuali) berfungsi sebagai penetapan dan
men-takhshishh (mengkhususkan) bahwa hanya Allah Swt.
semata (satu-satunya) yang mengetahui takwil dari ayat-ayat
mutasyabihat, meskipun terindikasikan ada upaya membuat
fitnah dan mencarikan takwil yang dibuat-buat oleh sebagian
orang yang hatinya kotor. Adapun menurut al-Khaththabi yang
dikutib Khalid Ibn Utsman al-Sabt, kalimat-kalimat َُو َما يَ ْعلَ ُم تَأْ ِويلَه
إالَّ هللاadalah ُ( اِنَّهُ الَ يَعلَ َمهُ إالَّ هُ َو َو َح َدهal-Sabt, 1997: 520) “bahwasanya
tidak ada yang mengetahui - takwil tersebut ayat-ayat
mutasyabihat - kecuali Dia [ Allah ] sendiri)”.
b. Kaidah Kedua:
c. Kaidah Ketiga
.نَفِ ْي ااْل َ ْد نَى أَ ْبلَ َغ ِم ْن نَفِ ِي اأْل َ ْعلَى
Artinya:
Penyebutan nafyu al-‘adna (penegasian sesuatu yang
lebih rendah) lebih memadai dari pada nafyu al-‘a’la
(penegasian sesuatu yang lebih tinggi) (al-Sabt, 1997:
521 – 522).
Aplikasi dari kedah ini dapat dilihat pada firman Allah
pada Q.S. al-A’raf/7: 61.
(61)
Terjemahnya: Dia )Nuh( menjawab, “wahai kaumku!
Aku tidak sesat, tetapi aku ingin seorang Rasul dari
Tuhan seluruh alam” (al-Sabt, 1997: 159).
Firman Allah Swt. Q.S. al-A’raf/7: 60.
(60)
Terjemahnya:
Pemuka-pemuka kaumnya berkata, “sesungguhnya kami
memandang kamu benar-benar dalam kesesatan nyata” (al-Sabt,
1997: 159).
Ayat 61 di atas menjawab ayat 60 tentang kesesatan,
lafal الضاللةlebih rendah kedudukannya dan sedikit dari الضالل,
hanya digunakan untuk perbuatan tunggal, sedangka الض الل
kedudukannya tinggi, dan dipakai pada semua bentuk
perbuatan yang sedikit maupun banyak, namun penggunaan
الضاللةdalam menegasikan sesuatu yang lebih tinggi dianggap
memadai (al-Sabt, 1997: 68).
Allah Swt. juga berfirman dalam Q.S. ali-‘Imran/3: 133,
(133)
Terjemahnya:
Dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan
bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa”.
Lafal (ع رضluas) kedudukannya rendah (al-Zarkasyi,
1931: 403), tapi sengaja dipilih Allah dalam menegasikan
bentuk-bentuk lainnya seperti ( طولpanjang ) karena عرضpasti
memiliki طول, sebaliknya طولtidak memiliki عرض.
d. Kaidah Keempat
.ت بَ ْينَ ْال َكالَ َم ْي ِن بِ َجحْ َد ْي ِن َكا نَ ْالكَاَل ُم إِ ْخبَارًا
ْ العرب إِ َذا َجا َء
Artinya:
Orang-orang Arab memahai bahwa jika ada di antara
dua perkataan yang menyangkali/mengingkari maka
perkataan itu berita (al-Sabt, 1997: 524).
Sudah menjadi kebiasaan Orang Arab jika terdapat dua
ucapan/perkataan yang tampaknya saling mengingkari atau
bertolak belakang maka mereka memahaminya sebagai berita
yang tidak hanya dipahami tekstual semata melainkan
‘sebaliknya’, contoh dalam Q.S. al-‘Anbiya’/21: 8 Allah
berfirman:
.....(8)
Terjemahnya:
Dan kami tidak menjadikan mereka (rasul-rasul) suatu
tubuh yang tidak memakan makanan…(Depag R.I.,
2005: 323).
Secara tekstual ayat ini menerangkan bahwa Allah Swt.
tidak menjadikan tubuh mereka (para rasul) yang tidak butuh
makanan, maksudnya adalah sesungguhnya Allah Swt.
menciptakan mereka dengan tubuh yang butuh makan. Tek-
teks seperti ini redaksi tekstual dan kontekstualnya sepertinya
cukup sulit untuk dipahami, karena harus “ditafsirkan” lebih
dalam lagi, meskipun telah diketahui inti maknanya, ayat-ayat
seperti itu bagi orang Arab hanya dianggap berita semata.
Untuk itu, Menurut ibn al-Jarir al-Tabari (2001: 229).,
takwil yang benar dan ayat ini adalah
ِ ك يَا ْم َح َّمد إِلى األُ َم ِم ْال َم""ا
ض "يَ ِة َ " ِو َما َج َع ْلنَا ال ُر ُس َل ال ِذ ْينَ أَر َس ْلنَاهُ ْم ِم ْن قَ ْبل
َ( َج َس"دًا ال يَ""أْ ُكلُ""ونَ الطَّ َع""ا َم ) لَ ْم نَ َّج َع ْلهُ ْم َماَل ِء َك""ة اَل يَ""أْ ُكلُ""و ن،َ"ل أُ َّمتِ"ك َ "قِ ْب
َولَ ِكنَ َج َع ْلنَا هُم أَجْ َسادًا ِم ْثلُكَ يَأْ ُكلُونَ الطَّ َعا َم،الطَّ َعا َم
Artinya:
Dan tidaklah kami menjadikan rasul-rasul! yang kami
utus sebelum kamu wahai Muhammad kepada kaum-
kaum terdahulu sebelum kaummu tubuh yang tidak
memakan makanan, kami tidak menjadikan mereka
(seperti) malaikat yang tidak memakan makanan akan
tetapi kami jadikan mereka tubuh-tubuh seperti kamu
yang memakan makanan.
e. Kaidah Kelima
ِ َوقَ" ْدي َُرا ُد بِ" ِه نَ ْف ُي اإْل،نَفِ ُي اإْل ِ ْستِطَا َع ِة قَ" ْد يُ" َرا ُد بِ" ِه نَ ْف ُي ْالقَ" ْد َر ِة َواإْل ِ ْم َك"ا ِن
.وف بِ َم َشقَّ ٍة و ُك ْلفَ ٍة
ُ ُ َوقَ ْديُ َرا ُدبِ ِه ْال ُو ق، َاع
ِ ْمتِن
Artinya:
Bentuk nafyu al-‘istitha’ah (penegasian suatu
kemampuan) dimaksudkan adalah nafyu al-qudrah
(penegasian suatu ketentuan) dan nafyu al-imkan
(penegasian suatu kesanggupan), atau dimaksudkan
nafyu al-imtina’ (penegasian suatu yang dihalangi) dan
boleh juga dimaksudkan berhenti (tidak sanggup)
karena masyaqqah (kesulitan) dan beban berat (al-Sabt,
1997: 524).
Adapun apilkasi dan kaidah ini sebagai berikut:
Kaidah pertama; Nafyu al-istitha’ah (penegasian suatu
kemampuan) dimaksudkan Nafyu al-qudrah (penegasian suatu
ketentuan). Dalam kaidah ini Allah Swt. sebagai subyek
menyangsikan kemampuan obyekNya dengan menggunakan
bentuk lafal nafyu “ ”الyang berfungsi menegasikan. Allah Swt.
berfirman dalam Q.S. al-’Anbiya’/21: 40,
(40)
Terjemahnya: maka mereka tidak sanggup menolaknya
(Depag R.I., 2005: 326).
Lafal la yastathi’una secara bahasa berarti tidak sanggup.
Allah menggunakan kata ini kepada orang kafir menunjukkan
ketidak-mampuan mereka ketika datang azab Allah Swt.
Pada dasarnya, azab Allah Swt. diturunkan kepada
semua manusia beriman maupun kafir, orang beriman ketika
azab Allah datang mereka hanya bisa menerima dan
menganggap hal itu merupakan ketentuan Allah, sehingga
tidak ada satu makhluk pun yang sanggup menolak azab itu.
Lain dengan orang kafir, di saat Allah menurunkan azab
mereka selalu mengatakan, kami mampu dan sanggup
menghadapi azab Allah Swt., padahal ketika azab itu datang
mereka sekali-kali tidak sanggup dan mustahil menolak azab
Allah itu.
Logikanya, Allah sudah menjadikan dan menciptakan
laki-laki dengan segala sifat dan kehebatannya yang mampu
dalam semua hal, tapi dengan segala kemampuan ( )إستطاعةlaki-
laki itu Allah sudah menentukan bahwa mereka “tidak
sanggup melahirkan”. Lafal “tidak sanggup” yang digunakan
berbentuk menegasikan kernampuan laki-laki melahirkan,
sebenarnya yang diinginkan adalah “ketentuan laki-laki
mustahil dapat melahirkan”. Jelas bahwa sekalipun yang
digunakan lafal-lafal al-nafyu/negasi “tidak sanggup” tetapi
yang diinginkan adalah ( الق"""درةkesanggupan). lnilah yang
dimaksud dengan نَفِ ُي اإْل ِ ْستِطَا َع ِة قَ ْد ي َُرا ُد بِ ِه نَ ْف ُي ْالقَ ْد َر ِة
Kaidah kedua; nafyu al-istitha’ah (penegasian suatu
kemampuan) dimaksudkan nafyu al-‘Imtana’ (penegasian suatu
yang dihalangi). Contoh kaidah ini dapat dipahami
percakapan antara Isa dan pengikutnya yang setia, ketika itu
mereka bertanya apakah Allah sanggup menurunkan hidangan
dari langit? Kemudian dijawab oleh Isa, bertakwalah ka1ian
kepada Allah jika kamu orang-orang beriman. Hakikatnya,
pengikut Isa sudah tahu bahwa Isa bisa menjawab pertanyaan
mereka dan Allah sanggup menurunkan hidangan dari langit,
tetapi tujuan sesungguhnya dari pertanyaan ini adalah
meminta penjelasan lanjut terkait apakah ada larangan dan
penolakan? Namun, sebagai pengikut Isa yang beriman kepada
Allah Swt. tidak layak bertanya demikian, apalagi meragukan
kekuasanNya (al-Sabt, 1997: 525; ibn Kathir, 1990: 114). Swt.
berfirman dalam Q.S. al-Maidah/5: 12,
(12)
Terjemahnya:
(Ingatlah), ketika pengikut-pengikut Isa yang setia
berkata, “wahai Isa putra Maryam! Bersediakah
tuhanmu menurunkan hidangan dan langit kepada
kami?” Isa menjawab “bertakwalah kepada Allah jika
kamu orang-orang beriman” (ibn Kathir, 1990: 127).
Kaidah ketiga; Nafyu al-istitha’ah dimaksudkan berhenti
(tidak sanggup) karena masyaqqah (kesulitan) dan beban berat.
Contohnya Q.S. al-Kahfi/18: 67 Allah berfirman:
(67)
Terjemahan: Sungguh engkau tidak akan sanggup sabar
bersamaku (Depag R.I., 2005: 302).
f. Kaidah Keenam
.ق بِ َما اَل يَ ُكو نُ فَقَ ْد نَفِ َي َكوْ نُهُ َعلَى أَ ْب َعد ْالو جُو ِه
َ ُِّكلْ أَ ْم ٍر قَ ْد ُعل
Artinya:
Setiap urusan yang dikaitkan dengan apa yang tidak
(akan) terjadi/tidak ada, maka dinegasikan
keberadaannya sejauh mungkin (mustahil) (al-Sabt,
1997: 17).
Contoh, Q.S. al-Zukhruf/43: 81 Allah berfirman:
(81)
Terjemahnya:
Katakanlah (Muhammad) jika benar Tuhan Yang Maha
Pengasih mempunyai anak, maka akulah orang yang
mula-mula memuliakan (anak itu) (al-Sabt, 1997: 496).
Maksud ayat ini adalah menegasikan bahwa Allah Swt.
mustahil memiliki anak, dan ayat ini dipahami sebagai
mubalagah.
g. Kaidah Ketujuh
. ُ ُمبَا لَغَة فِ ْي النَّفِ ْي َوتَأْ ِك ْيدًالَه،قَ ْد يَ ِر ُدنَ ْف ُي ال َّشي ِء ُمقَيّدًا َو ْال ُم َر ا ُد نَ ْفيُهُ ُم ْتلَقًا
Artinya:
Terkadang adanya penegasian sesuatu yang muqayyad
(sesuatu yang terikat dengan sifat atau syarat atau
ketentuan tertentu) dan dimaksudkan menegasikan
yang mzitlaq (sesuatu yang tidak terikat sifat atau syarat
atau ketentuan tertentu), adalah mubalagah dalam
penegasian itu dan ta’kidan (penegasan) untuknya (al-
Sabt, 1997: 17).
Contohnya dalam Q.S. Gafir/40: 18 Allah berfirman:
Artinya:
Me-nafi-kan zat yang disifati adalah nafyu (penegasian)
untuk sifat semata bukan zatnya dan boleh jadi nafyu
terhadap zatnya juga (al-Sabt, 1997: 17).
Kaidah pertama; peniadaan zat yang disifati adalah
peniadaan untuk sifat semata, bukan zatnya. Contoh penerapan
kaidah ini Q.S. al-’Anbiya’/21: 8 Allah Swt. Berfirman,
(8)
Tejemahnya:
Dan tidaklah Kami jadikan mereka tubuh-tubuh yang
tiada memakan makanan, dan tidak pula mereka itu
orang-orang yang kekal (Depag R.I., 2005: 323).
Pada hakikatnya tubuh mereka itu memakan makanan
(Ibn ‘Asyur, t.th.: 129), sedangkan penyebutan “tiada memakan
makanan” hanya ditujukan kepada sifatnya saja bukan zatnya
(tubuh).
Kaidah kedua; peniadaan zat yang disifati adalah
peniadaan untuk sifat dan zatnya. Contoh penerapannya Q.S.
al-Mudatstsir/74: 48 Allah Swt. berfirman:
(48)
Terjemahnya:
Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dan orang-
orang yang membcrikan syafaat (Depag R.I., 2005: 579).
Maksudnya, pada hakikatnya mereka (orang kafir)
memang tidak memiliki syafaat baik sifat maupun zatnya(al-
Bagaqi, 1997: 273) maka kedua-duanya di-nafi-kan oleh Allah
Swt.
m. Kaidah Ketigabelas
َض" ِّمنًا إل ْثب""ا ت َك َم""ا ِل
َ ص"و ُد بِ" ِه ال""د ح اَل بُ" ِّد ِم ْن أَن يَ ُك""و نَ ُمت
ُ الن ْف ُي ال َم ْق
.ضده ِ
Artinya:
Nafyu (negasi) yang bermaksud pujian harus menjadi
penguat dalam menetapkan kesempurnaan antonim.(al-
Sabt, 2000: 17).
Maksudnya, sesuatu yang menjadi objek berupa pujian
harus menjadi penguat fungsinya demi kesempurnaan
antonimnya. Contoh Q.S. al-Kahfi/18: 49 Allah Swt. berfirman:
Terjemahnya:
Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang jua pun (Depag
R.I., 2005: 300).
Lafal la yazhlimu (tidak menzlimi) adalah pujian (al-
Alusi, t.th.: 275) penggunaannya dimaksudkan untuk
menunjukkan kemahaadilan Allah Swt. (antonimnya).
C. Khatimah
Kaidah al-nafyu adalah bentuk peniadaan berupa
keterangan, lafal dan semacamnya dalam Alquran yang
memiliki fungsi beragam. Adapun kaidah-kaidah yang
dimaksud antara lain adalah:
1. Ditegaskan dalam Alquran bahwa sesungguhnya Allah
Swt. jika menegasikan/meniadakan sesuatu dari
makhluk dan menetapkannya untuk diri-Nya sendiri
(maka) tida ada bagi Allah dalam ketetapan itu sekutu.
2. -Nafyu al-‘Amm (penegasian dalam bentuk umum) lebih
baik dari nafyu al-khash (penegasian dalam bentuk
khusus).
-Itsbat al-khash (penetapan dalam bentuk khusus) lebih
baik dari itsbat al-‘amm (penetapan dalam bentuk umum).
3. Penyebutan nafyu al-adna (penegasian sesuatu yang lebih
rendah) lebih memadai dari pada nafyu al-‘a’la
(penegasian sesuatu yang lebih tinggi)
4. Orang-orang Arab memahami bahwa jika ada diantara
dua perkataan yang menyangkali/mengingkari maka
perkataan itu berita.
5. Bentuk nafyu al-istitha’ah (penegasian sesuatu
kemampuan) dimaksudkan adalah nafyu al-qudrah
(penegasian suatu ketentuan) dari nafyu al-imkan
(penegasian suatu kesanggupan), atau dimaksudkan
nafyu al-imtina’ (penegasian suatu yang dihalangi) dan
boleh juga dimakdukan berhenti (tida
k sanggup karena masyaqqah (kesulitan) dan beban berat.
6. Setiap urusan yang dikaitkan dengan apa yang tidak
(akan) terjadi/tidak ada, maka dinegasikan
keberadaannya sejauh mungkin (mustahil)
7. Terkadang adanya penegasan sesuatu yang muqayyad
(sesuatu yang terikat dengan sifat atau syarat atau
ketentuan tertentu) dan dimaksudkan menegasikan yang
muthlaq (sesuatu yang tidak terikat sifat atau syarat atau
ketentuan tertentu), adalah mubalagah dalam penegasian
itu dan penegasan untuk.
8. Menegasikan sesuatu yang diutamakan tidak berarti
menegasikan yang sama.
9. Nafyu al-junah (menegasikan kesulitan) tidak
menunjukkan kewajiban dan tidak mengharuskan
penegasiannya, bentuk negasi prioritas yang dihadapi.
10. nafyu al-hilli (menegasikan sesuatu yang halal)
bermaksud al-tahrim (pengharaman).
11. Terkadang ditiadakan sesuatu yang mendasar dalam
Alquran meski wujudnya ada, disebabkan tidak
sempurnanya sifat sesuatu itu atau untuk membuang
hasilnya.
12. Me-nafi-kan zat yang disifati adalah nafyu (penegasian)
untuk sifat semata bukan zatnya dan boleh jadi nafyu
terhadap zatnya juga.
13. Nafyu (negasi) yang bermaksud pujian harus menjadi
penguat dalam menetapkan kesempurnaan antonim.
Demikian penjelasan dan pemaparan singkat dari
kaidah al-nafyu yang penulis hadirkan dalam makalah ini,
semoga bermanfaat dalam rangka memahami dan
menkonteksualkan teks-teks langit.
DAFTAR PUSTAKA
KAIDAH AL-ISTIFHAM
A. Kaidah Al-Istifham
Alquran yang merupakan bukti kebenaran Nabi
Muhammad Saw. sekaligus sebagai petunjuk urnat manusia.
(Q.S. al-Baqarah/2: 185). Kapan dan di mana pun memiliki
pelbagai macam keistimewaan. Keistimewaan tersebut antara
lain susunan bahasanya yang unik dan mempesona, pada saat
yang sama mengandung makna-makna yang dapat dipahami
oleh siapapun yang memahami bahasanya, walaupun
pemahaman mereka akan berbeda akibat berbagai faktor.
Melihat betapa urgen dan sentralnya posisi sebuah
penafsiran atas kitab suci Alquran, maka upaya untuk
menemukan dan memahami pesan-pesan Alquran dikenal
adanya istilah tafsir. Tafsir didefinisikan sebagai keterangan
dan penjelasan arti dan maksud ayat-ayat al-Qur’an sebatas
kemampuan manusia (al-Zahabi, 1976: 15). Menurut a1-
Zarqani, tafsir merupakan kunci gudang simpanan yang
tertimbun dalam Alquran. Tanpa tafsir, orang tidak akan dapat
membuka gudang simpanan tersebut untuk mendapatkan
mutiara dan permata yang ada di dalamnya. (al-Zarqani, t.th.:
470). Namun, untuk sampai kepada masalah tafsir, diperlukan
ilmu tafsir, merupakan pokok dan segala ilmu agama, sebab ia
diambil dan Alquran, maka ia menjadi ilmu yang saugat
dibutuhkan oleh manusia. (al-Zarqani, t.th.: 4). Salah satu
bagian dan ilmu tafsir adalah qawi’id al-tafsir.
Dalám percakapan sehari-hari, ungkapan yang
berbentuk kata tanya sering digunakan, bahkan merupakan
ungkapan pokok dalam komunikasi yang tidak dan belum jelas
maksudnya. Seperti ungkapan siapa, apa, bagaimana, dan lain-
lain. Kata tanya di atas dalam bahasa Arab disebut istifham.
Ketika seseorang membaca, memahami isi kandungan
Alquran maka ia akan mendapatkan ungkapan-ungkapan yang
banyak menggunakan lafazh istifhâm tersebut yang memiliki
indikasi makaa yang berbeda-beda.
B. Pengertian Istifham
Istifham berasal dan bahasa Arab, mashdar dan kata
istifhama yang berarti istawdhaha (minta penjelasan). Akar
katanya adalah fahima yang berarti paham, mengerti, jelas. Akar
kata ini mendapat tambahan alif; sin dan ta’ di awal kata yang
salah satu fungsinya adalah untuk meminta. Dengan demikian
ia berarti permintaan penjelasan (thalab al-fahm).
Adapun pengertian istifhãm secara istilahi, sebagai
berikut: menurut al-Zarkasyi, istifham adalah mencari
pemahaman tentang suatu hal yang tidak diketahui (al-
Zarkasyi, 1984: 326-327). ‘Azizah Fuwal menjelaskan istifham
adalah mencari pemahaman tentang hakikat, nama, jumlah
serta sifat suatu hal. (Fuwal, 1992: 87). Menurut ‘Ali al-Jarim
dan Mustafa ‘Utsmãn, istifham adalah mencari pengetahuan
tentang segala sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui
(Amin, 1999: 194). Adapun menurut al-Suyuti (t.th: 148),
istifham dengan berbagai maknanya, memiliki suatu maksud
pokok, yaitu mencari pernahaman tentang suatu hal.
Terjemahnya:
D. Kaidah-kaidah Istiham
Terjemahnya:
Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada
orang yang menyeru kepada Allah dan rnengcrjakan
kebajikan dan berkata, “Sungguh, aku termasuk orang-
orang muslim (yang berserah diri)?” (Depag RI., 2005:
480).
Abd al-Rahmãn ibn Nãsir al-Sa’di mengemukakan
bahwa ayat ini adalah istifaham yang bermakna aJ-nafyu
(penegasian, peniadaan) yang tetap, yakni tidak ada orang
yang lebih baik perkataannya atau jalannya dan keadaannya
(al-Sa’di, 2003: 715). Al-Razi (1981 : 124) menyebutkan beberapa
perbedaan penafsiran tentang siapa mereka, (1) Nabi
Muhammad Saw., (2) aI-mu’azzinun, (3) para Nabi, dan (4) para
Ulama.
Contoh kedua, dapat dilihat dalam Q.S. A1-Baqarah/2:
114, sebagai berikut:
Terjemahnya:
Dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang
melarang masjid-masjid Allah untuk menyebut nama-
Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu
tidak pantas memasuknya kecuali dengan rasa takut
(kepada Allah). Mereka mendapat kehinaan di dunia
dan di akhirat mendapat azab yang berat (Depag RI.,
2005: 18).
Pada ayat ini, menurut al-Syaukani (Versi 2 [CD-ROM];
Q.S. A1-Baqarah/2: 114), penggunaan istifham menunjukkan
bahwa kezaliman yang mereka lakukan telah mencapai
puncaknya, dan posisi seperti itu mengandung segala macam
kezaliman. Maknanya, tidak ada yang lebih zalim dan orang
yang melarang orang lain untuk beribadah kepada Allah di
masjid-masjidnya.
Artinya:
Apabila Allah memberi kabar tentang dirinya dengan
meuggunakan lafal “kayfa” maka hal tersebut
merupakan pemberitahuan dengan cara peringatan atau
celaan kepada al-mukhathab.
Contoh kaidah ini, dapat dibaca dalam Q.S. Ali
‘Imran/3: 86, sebagai berikut:
Terjernahnya:
Bagaimana Allah akan memberi petunjuk kepada kaum
yang kafIr setelah mereka beriman, serta mengakui
bahwa Rasul (Muhammad) itu benar-benar (rasul), dan
bukti-bukti yang jelas telah sampai kepada mereka?
Allah tidak memberi petunjuk orang-orang yang zalim
(Depag RI., 2005; 61).
Menurut Ibn ‘Asyur, istifham inkari pada ayat ini
maksudnya mengingkari bahwa mereka akan mendapat
hidayah secara khusus, yaitu hidayah yang timbul dan
pertolongan atau ke-Mahalembut-an Allah kepada hamba-
Nya ..., selanjutnya Ibn ‘Asyur mengemukakan, sebagai
berikut:
إذا دخلت همزةُ اإلستفهام على "رأيتَ " إمتن""ع أن يك""ون من
.ب وصار" بمعنى
ِ البصر أو القل
ِ رؤية
Artinya:
Terjemahnya
Lalu apakah engkau telah melihat orang yang
menginkari ayat-ayat kami dan ia mengatakan, “Pasti
aku akan diberi harta dan anak” (Depag RI., 2005: 311).
Al-Syaukani (versi 2) menjelaskan bahwa kata َأف""رأيت
pada ayat di atas bermakna terangkalah kepadaku. Yaitu
meminta penjelasan tentang kisah orang yang mengingkari
ayat-ayat Tuhan. Contoh kedua dan kaidah ini dapat pula
dilihat dalam Q.S. Al-Syu’ara /26: 205, sebagai berikut:
Terjemahnya:
Maka bagairnana pendapatmu jika kepada mereka kami
berikan kenikmatan hidup beberapa tahun (Depag RI.,
2005: 528).
5. Kaidah Kelima, sebagai berikut:
إذا دخل حرف اإلستفهام على فعل الترجي أفاد تقرير ما
. ٌهو متوفع وأشعر بأنه كائن
Artinya:
Jika huruf istifham masuk pada kata kerja raja’ (harapan)
maka menunjukkan sesuatu hal yang sudah dan pasti
terjadi.
Adapun kata kerja raja (harapan) berupa - عسى – حرى
إخلولقtersebut mengandung makna keinginan kuat pada
perkara yang dicintai. Yaitu keinginan pada kebaikan dan takut
pada keburukan.
Makna raja’ (harapan) pada perkatan manusia atau
makhluk lainnya menunjukkan kepada sebagaimana arti
aslinya, karena keterbatasan ilmu Mereka. Dan jika
dihubungkan dengan atau digunakan dalam firman Allah,
maka penisbahannya mengandung kepastian dan keyakinan.
Oleh karena itu, jika huruf istifham bergandengan dengan kata
kerja raja’ (harapan) berubah makna menjadi yang lebih tinggi
yaitu makna kepastian dan keyakinan. Contoh penerapan
terhadap kaidah kelima, dapat ditelusuri dalam Q.S.Al-
Baqarah/2: 246. Allah Swt. berfirman,
....
Terjemahnya:
Tidakkah kamu perhatikan para pemuka Bani Israil
setelah Musa wafat, ketika mereka berkata kepada
seorang nabi mereka, “Angkatlah seorang raja untuk
kami, niscaya kami berperang di jalan Allah”. Nabi
mcrcka menjawab, “Jangan-jangan jika diwajibkan
atasmu berperang, kamu tidak akan berperang juga?”...
(Depag RI., 2005: 40).
Lafal ( )عسيتمberasal dan kata kerja ( )عسىyang bermakna
raja’ (harapan). Kemudian lafal tersebut disisipkan dengan
huruf istifham yaitu ( )هلmaka tafsiran lafal tersebut
menunjukkan sesuatu hal yang sudah dan pasti terjadi.
Contoh kcdua dan kaidah ini dapat pula dilihat dalam
Q.S. Muhammad/47: 22, sebagai berikut:
Terjemahnya:
Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan
berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan
kekeluargaan? (Depag RI., 2005: 509).
Sebagairnana keterangan pada contoh pertama dan
kaidah kelima, bahwa tafsiran lafal ( )عسيتمmenunjukkan makna
yang lebih tinggi yaitu makna kepastian dan keyakinan.
6. Kaidah Kenam, sebagai berikut:
DAFTAR PUSTAKA
األصل في األمرللذدب
Asal perintah (al-amr) itu untuk al-nadhb (anjuran).
Kelompok ini didominasi oleh ulama-ulama Muktazilah
-walaupun ada di antara ulamanya yang tidak sependapat,
seperti Abu Au al-Jubba’i (w. 303 H.). Mereka beralasan bahwa
sifat amr semestinya sejalan dengan kehendak pihak yang
menurunkan perintah tersebut. Akan tetapi, menurut mereka,
ada perintah Allah Swt. yang sama sekali tidak sesuai dengan
keinginan-Nya. Misalnya, Allah Swt. memerintahkan agar Abu
Jahal (salah seorang pemuka Quraisy) beriman, tetapi sampai ia
wafat perintah dan kehendak Allah Swt. tidak
dilaksanakannya. Oleh sebab itu, apabila amr tidak sejalan
dengan kehendak atau keinginan yang memberi perintah,
maka perintah tersebut menunjukkan ketidakpastian (Dahlan
et. al., 1996: 110). Dengan demikian, menurut mereka lafazh
amr pada hakikatnya menunjuk pada al-nadhb (anjuran), karena
suatu anjuran apabila tidak diikuti, tidak dikenai azab (sanksi).
3. Pengertian Nahy
Kata نهي, nun, ha’, dan ya’, pada dasarnya menunjuk atas
pengertian batas atau akhir dan sampai. Jika dikatakan أنهية الخبر
(saya telah menyampaikan berit kepadanya), artinya hanya
terbatas kepadanya. Kalimat نهاي""ة ك""ل شئartinya batas dan
sesuatu. Apabila dikatakan "( نهيتةdibatasi), maka itu berarti hal
tersebut dilarang untuk dilakukan. Dari kata ini kemudian lahir
kata النهيةyang berarti akal sebab dengan akal seseorang
mengerti akan suatu perbuatan yang buruk dan semua
perbuatan yang dilarang. Tutuntan yang diinginkan dari semua
itu adalah larangan. Oleh karena itu, semua larangan harus
ditinggalkan berhasil atau pun tidak. (al-Sabt, 1997: 508). Yang
dimaksudkan dalam hal ini dari segi kebahasaan al-nahy adalah
األمرضدyakni larangan lawan dan perintah (al-Sabt, 1997: 508).
Menurut istilah, ulama ushul rnendefenisikannya:
Terjemahnya:
Maka Dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa).
Sesungguhnya salat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman (Depag R.I.
1985: 15).
Ayat tersebut dengan jelas dan tegas memerintahkan
kepada orang-orang yang beriman untuk melakasanakan
kewajibannya yaitu salat lima waktu maka perintah wajib
dalam ayat tersebut berarti sebaliknya melarang orang yang
beriman untuk meninggalkan salat lima waktu.
2. ( األم""ر يقتض""ي الف""ور إال لقرينةA1-Sabt, 1996: 15), “Amr itu
menghedaki kesegeraan kecuali ada indikator (qarinah)”.
Apabila amr disandarkan kepada syariat, maka
sesungguhnya amr hendak mengikutkan orang yang
diperintah dengan kelangsungan melaksanakannya,
kecuali ada petunjuk atas melambatkannya (Al-Sabt,
2000: 383-384). Dalam hal ini, ulama fikih berbeda
pendapat tentang kesegeraan melaksanakan perintah.
Hal itu berdasarkan perbedaan kaidah yang digunakan.
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam
beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang
dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan. Maka Itulah
yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu
jika kamu Mengetahui (Depag R.I., 1985: 34-35).
Pada ayat pertama (183) dengan tegas memerintahkan
kepada orang-orang yang beriman untuk mengerjakan puasa
pada bulan Ramadhan tanpa ada penundaan waktunya artinya
belum ada indikator (qarinah). Akan tetapi pada ayat kedua
(184) menunjukkan adanya Indikator (qarinah) yaitu
berangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan maka ia dapat
menggantinya pada hari-hari yang lain.
5. إذا نهي الش""ارع عن ش""ئ’ نهي عن بعض""ه’ وإذا آم""ر بش""ئ ك""ان أم""را بجميعه
(Al-Sabt, 2000: 383-384), “Apabila Syarik melarang dari
sesuatu, [berarti] melarang sebagiannya, dan jika menyuruh
sesuatu itu berarti menyuruh pada keseluruhannya”. Sesuatu
yang diperintahkan syariat dengannya adalah mengambil
kebaikan yang menuntut kesempurnaan dan banyaknya.
Sesungghuhnya tidak menghasilkan manfaat kecuali
dengan kesempurnaannya menggatikan perintah yang
dilarang darinya. Sesungguhnya larangan itu adanya
bersifat umum kepada semua bagian-bagiannya kecuali
tidak ada pengecualian yang datang dan bagian-bagian itu,
seperti kulit bangkai, contoh itu bagian dan pengecualian
yang menunjukkan atasnya syariat yang termasuk bagian
perintah yang diharamkan (Al-Sabt., 1997: 511). Perincian
ini dapat dijabarkan pada contoh, sebagai berikut:
a) Contoh larangan syariat dan mengerjakannya, misalnya
Q.S. Al-Maidah/5 : 3:
...
Terjemahnya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging
babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah .... (Depag R.I., 1985: 142).
Perintah pengharaman yang disebutkan pada ayat di
atas sifatnya adalah haram mutlak termasuk semua
bagian-bagiannya, sedikit ataupun banyak, kecuali jika
tidak ada dalil yang datang terhadap pengecualiannya
seperti kulit (Depag R.I., 1985: 512).
b) Contoh perintah syariat untuk mengerjakannya, misalnya
Q.S. Al-Baqarah/2 : 230,
....
Terjemahnya:
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya
hingga dia kawin dengan suami yang lain.... (Depag R.I.,
1985: 46).
Kalimat ح""""تي تنكح زوج"""ا غ""""يرهperintah yang bersifat
menyeluruh. Keseluruhan itu termasuk di dalamnya aqad
dan bersetubuh (Depag R.I., 1985: 46).
E. Khatimah
Persoalan amr dan nahy adalah suatu hal yang sangat
penting dalam ranah kajian Alquran, terutama untuk menggali
kandungan hukum dan Alquran. Secara bahasa, amr
mempunyai lima arti dasar, yaitu berarti urusan, perintah
(lawan dari nahy), tumbuh dan bertambah, tanda dan
keanehan. Sedangkan menurut istilah adalah suatu tuntutan
(perintah) untuk melakukan suatu perbuatan dari pihak yang
kedudukannya lebih tinggi kepada pihak yang kedudukannya
lebih rendah. Tuntutan ini harus berasal dari pihak yang lebih
tinggi kedudukannya daripada yang diperintah, terutama
dalam hal ini dalah Allah Swt. Sedangkan nahy dan segi bahasa
berarti batas, atau akhir dan sampai. Sedangkan menurut
istilah adalah amr suatu tuntutan meninggalkan sesuatu dan
yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah
kedudukannya.
Para ulama ketika mengkaji masalah ini berpatokan
pada beberapa kaidah yang menyangkut tentang amr dan nahy.
Hal ini didasarkan pada pemahaman mereka terhadap konteks
pembicaraan dan penggunaan keduanya (amr dan nahy). Oleh
sebab itu, kaidah-kaidah yang telah dirumuskan itu bertujuan
sebagai barometer seseorang dalam mereduksi hukum yang
bersumber baik dari Alquran maupun hadis atau sunnah.
Penggunaan amr dan nahy, baik dari segi bentuk (shigat)
dan maknanya dalam Alquran berbeda-beda. Hal ini
mengindikasikan bahwa hukum dan perintah dan larangan
tidak selamanya berarti harus dimaknai sebagai makna asalnya,
terutama, jika ada indikator yang menyertainya. Selain itu, juga
mengindikasikan bahwa hukum syariat tidak selamanya
bersifat kaku atau statis, tetapi lebih bersifat fleksibel dan
dinamis yang tujuan utamanya adalah lebih kepada
kemaslahatan dan menghindari kemudaratan.
DAFTAR PUSTAKA
Terjemahnya:
Kitab (Alquran) itu (Depag RI., 1989: 8).
Maksudnya kitab yang sempurna petunjuknya dan
mencakup semua isi kitab yang diturunkan dengan segala
karakteristiknya.
d. لتع"""ر ي"""ف الم"""ا هي"""ة وا لحقيق"""ة ولجنسUntuk rnenerangkan esensi,
hakikat dan jenis seperti dalarn Q.S. al-Anbiya/21: 30,
Terjemahnya:
Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dan air,
maka sebagian dan hewan itu ada yang berjalan di atas
perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang
sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah
menciptakan apa yan dikehendaki-Nya, sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Depag RI., 1989:
h. 552).
Maksudnya, setiap macam dan segala macam binatang
itu berasal dari suatu macam air dan setiap individu (satu)
binatang itu berasal dan satu nutfah.
3. التعظيمuntuk membesarkan (memuliakan) keadaan(Al-
Zarkasyi, t.th.: 91), seperti dalam Q.S. al-Baqarah/2: 279,
Tenjemahnya:
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dan keadaan
lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah
keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia
menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan
beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya
dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa
(Depag RI., 1989: 649).
Dalam ayat diatas kata terulang sampai tiga kali. ضعف
yang pertama adalah nuthfah (sperma), ضعفyang kedua masa
bayi. Sedang ض""عفyang ketiga adalah masa lanjut usia. Jadi,
yang dimaksud bukan yang pertama yaitu dan ketiga kata ضعف
masing-masing mempunyai makna tersendiri.
فالثانى هو االول حخال على العهد، والثانى معرفة،وان كان األول نكر ة
Artinya:
dan jika yang pertama nakirah dan yang kedua adalah
ma‘rifah maka yang kedua merupakan hakikat yang
pertama, karena itulah yang sudah diketahui. misalnya
dalam Q.S. al-Muzzammil/73: 15-16,
فتارة تقوم، توقف المراد على القرأن، والثانى نكرة،وان كان األول معرفة .3
قرينة على التغاير
Artinya:
dan jika yang pertama ma‘rifah sedang yang kedua
nakirah, maka apa yang dimaksudkan bergantung pada
qarinahnya. Terkadang qarinah menunjukkan pada suatu
perubahan.
Artinya, bahwa terkadang keduanya itu berbeda, dan
terkadang pula ia menunjukkan bahwa keduanya sama.
Adapun contoh keduanya itu seperti pada firman Allah Q.S. al-
Rum/30: 55.
DAFTAR PUSTAKA
BAB IX
KAIDAH TAQDIM DAN TA’KHIR
DAFTAR PUSTAKA
A. Kaidah Taraduf
B. Pengertian Taraduf
Artinya:
C. Kaidah Taraduf
Di dalam kitab “Mukhtashar fi Qawa‘id al-Tafsir” karya
Khalid ibn ‘Utsman al-Sabt, (1992: 14). disebutkan tiga macam
kaidah yang berkenaan dengan lafaz taraduf berikut:
أـ مهما أمكن حمل ألفاظ ألقرأن على عدم ألترادف فهو المطلوب.
ب ـ قد يختلف األلفاظان المبربهما عن شيء الواحد فيصلح ذكرهما ليوجه
التاكيد.
ت ـ المعني الحاصل من مجموع المترادفين اليوجد عند انفراد أحدهما.
Artinya:
a. Selama makna lafaz-lafaz Alquran memungkinkan
untuk menghindari taraduf, maka itulah yang
diinginkan;
b. Terkadang perbedaan dua lafaz menerangkan sesuatu
yang sama,maka sebaiknya keduanya disebutkan
dengan cara memberikan ta’kid;
c. Makna yang dihasilkan dari penggabungan dua
mutaradif, tida didapatkan ketika salah satu dari
keduanya berdiri sendiri.
a. Penjelasan Kaidah Pertama:
مهما أمكن حمل الفاظ القرأن على عدم الترادف فهو المطلوب.
Artinya:
Selama makna lafaz-lafaz Alquran memungkinkan untuk
menghindari taraduf, maka itulah yang diinginkan.
Menurut pendapat Abu Hilal al-‘Askari, sebagaimana
yang dikutip oleh Khalid ibn ‘Utsman bahwa setiap perbedaan
ungkapan dan isim mengharuskan perbedaan pada maknanya
pula, karena setiap isim menunjuk kepada sesuatu yang
diisyaratkan. Oleh karena itu, ketika sudah diisyaratkan satu
kali, maka tidak akan ditemukan lagi pada isyarat yang kedua
dan ketiga sesuatu yang tidak bermanfaat, karena apa yang
diisyaratkan pada yang kedua dan yang kedua masing-masing
berbeda dengan apa yang diisyaratkan pada lafaz pertama
yang telah disebutkan (al-Sabt, 1997: 460-461). Misalnya,
kalimat: ))جاءني يزيد وأب""و عب""د هللا. Apabila yang dimaksud dengan
‘Abu ‘Abdillah’ yang meng-‘athf Yazid adalah si Yazid juga,
maka jelas kalimat tersebut salah.
Khalid ibn ‘Utsman (1997: 463) menegaskan bahwa:
ف""اختال ف المع""اني.إذا ك""ان اختال ف الحرك""ات ي""وجب اختالف المع""اني
.أسسها أولى أن يكون كذلك
Artinya:
Apabila terjadi perbedaan harakat, maka berakibat pula
pada perbedaan makna. Maka pada prinsipnya
perbedaan makna diutamakan untuk menjadikannya
demikian.
Apabila pernyataan di atas dibawa ke dalam konteks
logika, maka dapat diteruskan pernyataan tersebut sebagai
berikut “apabila perbedaan harakat saja berakibat pada
perbedaan makna, maka terlebih lagi dengan perbedaan lafaz
atau terbilangnya lafaz”. Oleh karena itu, seperti yang
dikemukakan sebelumnya, makna taraduf tersebut tidak dapat
diterima apabila dimaknai sebagai makna yang sempurna
(takmili). Taraduf hanya mencakup makna asli-nya.
Diantara contoh ayat-ayat Alquran yang berkaitan
dengan kaidah ini adalah sebagai berikut:
1) Q.S. al-Baqarah/2:157.
Terjemahnya:
Mereka Itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat
dari Tuhannya, dan mereka Itulah orang-orang yang
mendapat petunjuk (Depag RI, t.th.: 24).
Lafaz ‘shalawat’ berasal dari akar kata shilah (hubungan),
sehingga kalimat shalawat min Rabbihim bermakna Tuhan akan
menyambungkan dengan sang hamba. Hubungan (shalawat) di dalam
rredaksi ayat di atas bermakna tsana’u Allah ta‘ala ‘ala ‘abdihi fi al-malai
al-a‘la (pujian Allah atas hamban-Nya di tempat yang tertinggi).
Adapun makna kata ‘rahmah’ adalah belas kasih yang menuntut
kebaikan kepada yang dirahmati (al-Sabt, 1997: 467; Salahuddin,
2007: 810).
Terjemahnya:
Dan kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda
gurau belaka .... (Depag RI, t.th.: 131).
Lafaz la‘ibun dan lahwun di dalam redaksi ayat di atas
tidaklah berarti sama. Lafaz la‘ibun (permainan) bermakna aktivitas
sia-sia tanpa tujuan, sedang lahwun (kelengahan) bermakna aktivitas
yang menyenangkan hati, tetapi tidak atu kurang penting sehingga
melengahkan pelakunya dari hal-hal yang penting atau lebih penting
(Shihab, vol, . 10, 2002: 511.; al-Isfahani, 2001: 454 dan 458).
4) Q.S. al-Humazah/104: 1.
Terjemahnya:
Celakalah bagi Setiap pengumpat lagi pencela (Depag RI,
t.th.: 601).
Lafaz ‘al-humazah’ adalah bentuk jamak dari hummaz
yang terambil dari kata al-hamz, yang pada mulanya berarti
tekanan atau dorongan yang keras. Pengertian ini kemudian
berkembang, sehingga bermakna mendorong orang lain
dengan lidah, atau dengan kata lain mengunjing, mengumpat,
atau mencela orang lain tidak di hadapan yang bersangkutan.
Sedang lafaz lumazah bentuk jamak dari lammaz yang terambil
dari kata akar al-lamz. Kata ini menggambarkan ejekan yang
mengandung tawa. Di kalangan ulama kata ini dipahami
mengejek dengan menggunkan isyarat mata atau tangan yang
disertai dengan kata-kata yang diucapkan secara berbisik, baik
di hadapan orang yang diejek ataupun di belakangnya (Shihab,
Vol. 15, 2002: 511-513).
Terjemahnya:
ia (Saqar itu) tidak meninggalkan dan tidak membiarkan
(Depag RI, t.th.: 576).
Contoh-contoh di atas memberikan pemahaman kepada
setiap orang yang mendengarnya, dan pemahaman yang
diperoleh tersebut sudah dianggap memadai tanpa perlu
menjelaskannya secara panjang lebar, tetapi apabila salah satu
lafaz-lafaz dari contoh di atas berdiri sendiri, maka makna yang
dihasilkan dari penggabungan dua mutaradif tersebut tidak
akan didapatkan ketika salah satu dari keduanya berdiri
sendiri.
D. Khatimah
1. Pemahaman terhadap kasus-kasus mutaradif (sinonim
atau kemiripan lafaz dan makna) sangat menentukan
pemahaman mufasir Alquran dalam memproduksi
makna-makna yang bervariasi dan proporsional.
2. Secara etimologis, taraduf berasal dari kata radifa-yardafu-
radfan (mengikuti di belakang, membonceng) yang terdiri
dari rangkaian huruf ra-dal-fa yang berarti tabi‘ahu
(akibat) atau yadullu ‘ala itba‘ al-syai’ (menunjuk atas
ikutan yang terhadap sesuatu). Sedang taraduf sewazan
dengan tafa‘ul yang bermakna al-tatabu‘ (berurutan) atau
tatabu‘ syai’ khalfa syai’ atau rakiba al-wahid minha khalfa al-
akhar atau tabi‘a ba‘dhuhu ba‘dhan. Sedang radafat li al-
kalimat bermakna tasyabihat fi al-ma‘na (kata-kata yang
serupa maknanya);
3. Taraduf secara terminologi adalah lafaz-lafaz mufrad
menunjuk atas sesuatu yng semakna dan dengan
keterangan yang sama pula, atau sesuatu yang lafaznya
berbilang dan mengandung satu makna;
4. Kaidah-kaidah taraduf di dalam Alquran adalah sebagai
berikut:
a) Selama makna lafaz-lafaz Alquran memungkinkan
untuk menghindari taraduf, maka itulah yang
diinginkan;
b) Terkadang perbedaan dua lafaz menerangkan sesuatu
yang sama, maka sebaiknya keduanya disebutkan
dengan cara memberikan ta’kid;
c) Makna yang dihasilkan dari penggabungan dua
mutaradif, tidak didapatkan keika salah satu dari
keduanya berdiri sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
BAB XI
KAIDAH ZIYADAH, TAQDIR, DAN HADZF
C. Kaidah-Kaidah al-Ziyadah
2. atau ) (قوة اللفظ لقوة امعنى.إذا زيدت فى األلفاظ وجب زيادة المعاني ضرورة
زيادة المبنى تدل على زيادة المعنى
Artinya:
Jika ada penambahan pada lafaz maka dengan sendirinya
wajib adanya penambahan makna (al-Sabt, 1992: 352)..
Atau penambahan konstruksi lafaz menunjukkan adanya
penambahan makna (kekuatan lafaz karena adanya
kekuatan makna) (Al-Zarkasyi, III, 1988: 38).
Suatu lafaz jika dia berada dalam satu bentuk wazn
(formula, timbangan) tertentu kemudian berpindah ke bentuk
wazn yang lain yang lebih tinggi, maka pasti lah lafaz tersebut
mengandung makna yang lebih banyak daripada makna yang
terkandung pada lafaz sebelumnya, karena lafaz adalah
petunjuk atas makna, atau jika terdapat penambahan susunan
kata maka makna yang dikandungnya pun akan bertambah.
Misalnya dalam Q.S. a1-Qamar/54: 42.
(42) فأخذناهم أخذ عزيز مقتدر.…
Terjemahnya:
Lalu Kami azab mereka sebagai azab dari Yang Maha
Perkas lagi Maha Kuasa.
Lafaz " "مقت""""درlebih fasih daripada ." "ق""""ادرKarena
menunjukkan arti penguasa yang memiliki kekuasaan kokoh
dan sempurna, maka ini mengandung arti tidak ada sesuatu
apa pun yang dapat mengubah tuntutan kekuasaannya. Ini
disebut kekuatan lafaz karena kekuatan maknanya (Al-
Zarkasyi, III, 1988: 38).
4. كل حرف زيد في كالم العرب (للتاكيد) فهو قائم مقام إعادة الجملة مرة أخرى
Artinya:
Setiap huruf yang ditambahkan dalam perkataan Arab
(sebagai penegasan) makasama dengan mengulang
kalimat tersebut untuk kedua kalinya (Al-Suyuti, III,
2006: 121).
Diantara bentuk dari al-ta’kid (penegasan/penguatan)
adalah dengan al-takrir (pengulangan). Pada dasarnya suatu
bentuk al-ta’kid tanpa menggunakan pengulangan maka bentuk
penguatan tersebut kembali kepada pengulangan. Al-ta’kid (al-
ziyadah) di sini mencakup huruf-huruf dan kata kerja (al-Sabt,
2000: 360). Jadi, jika ada huruf atau kata kerja yang dimasukkan
atau ditambahkan (sebagai al-ta’kid) ke dalam perkataan orang
Arab, maka tambahan tersebut berperan mengulangi kalimat
sekali lagi. Misalnya, dalam Q.S. Yusuf/l2: 5.
1. . العرب تحذف مأ كفى منه الظ"اهر في الكالم إذا لم ت َُش"ك في معرف"ة الس"امع مك"ان
الحذف
Artinya:
Orang Arab menggugurkan/menghilangkan pada
perkataan yang cukup hanya dengan kata yang
jelas/tampak, jika tidak ragu bahwa si pendengar
mengetahui kata yang dihilangkan tersebut (Al-Thabari,
I, 2001: 71).
Orang-orang Arab sebagaimana dikenal sebagai ahli
Balagah dan fasih dalam hal berkata-kata. Diantara
kefasihannya adalah mereka membatasi/mencukupkan
perkataannya dan meringkasnya jika tidak dikhawatirkan
bahwa hal itu akan menyebabkan adanya makna yang
samar/kabur bagi si pendengar, karena si pendengar
mengetahui letak kata yang dihapus tersebut.
Misalnya, dalam firman Allah Q.S. al-Fatihah/1: 2-4.
Terjemahnya:
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai hari
pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah
dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
Ibnu Jarir dalam tafsirnya mengatakan bahwa:
“Jika ada seseorang bertanya kepada kita: “Apakah arti
dari""الحم""""د هللاapakah Allah sendiri yang memuji diri-Nya
kemudian Dia mengajarkan kita untuk mengucapkannya juga
sebagaimana Dia mengucapkan dan menyifati diri-Nya
sendiri? Jika demikian, jadi apa maksud/tujuan firman Allah:"
"إي""اك نعب""د و إي""اك نس""تعينsedangkan Allah swt adalah sebagai Yang
disembah (ma‘bud) bukan sebaliknya (‘abid)? Apakah itu
merupakan perkataan Jibril a.s, atau Muhammad saw? Karena
salah jika itu perkataan dari Allah Swt. Dikatakan padanya:
bahwa itu semua adalah perkataan Allah swt, tetapi Allah Swt.
memuji diri-Nya sendiri dengan apa yang memang Dia pantas
untuk itu, kemudian Dia mengajarkan itu kepada hamba-
hamba-Nya, dan mewajibkan mereka untuk membacanya
sebagai ujian dan cobaan dari-Nya untuk mereka. Jadi Allah
Swt. berkata kepada mereka: “katakanlah (wahai kamu
sekalian): ""الحمد هلل رب العالمينdan katakanlah (qulu):"إياك نعبد و إي""اك
"نستعين. Maka, firman Allah Swt. " "إياك نعبدtermasuk diantara apa
yang diajarkan oleh Allah Swt. kepada mereka agar mereka
mengucapkannya dan meyakini artinya, dan perkataan Allah
inimaushul (bersambung) dengan firmanAllah Swt. "الحم""د هلل رب
"العالمين. Jadi, seakan-akan Allah berkata: Qulu hadza wa hadza.
Kemudian jika ada yang bertanya: di manakah letak perkataan
Allah: "( " )قولواatau Qulu tersebut? maka jawabannya adalah
telah dikemukakan sebelumnya bahwa sudah menjadi
kebiasaan orang Arab -jika mereka mengetahui letak kata
tersebut, dan mereka tidak khawatir/ragu bahwa si
pendengarnya juga mengetahui kata atau apa yang disamarkan
tersebut, maka mereka menyamarkan/mengaburkan apa yang
tidak perlu (cukup dapat dipahami) dan yang nampak dari
perkataannya. Terlebih lagi jika kata (yang disamarkan)
tersebut merupakan suatu perkataan atau penjelasan dari
perkataan (Al-Thabari, I, 2001: 71).
Artinya:
Mayoritas yang terdapat dalam Alquran dan dalam
perkataan orang-orang Arab bahwa jawaban yang
digugurkankan disebutkan sebelumnya apa yang
menunjukan pada jawaban tersebut. (al-Sabt, 2000: 10).
Pada umumnya, dalam Alquran dan perkataan orang
Arab, jawaban dan sesuatu yang dihilangkan (jawab mahdzuf),
disebutkan sebelumnya apa yang
mengisyaratkan/menunjukkan kepada jawaban tersebut.
Misalnya, dalam Q.S. al-Qashash/28: 10.
(10) إن كادت لتبدى به لوال أن رّبطنا على قلبها لتكون من المؤمنين
Terjemahnya:
Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang
Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya
ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji
Allah).
Perkataan sebelum kata " "لوالmerupakan isyarat yang
menunjukkan jawabannya lawla, maksudnya menjadi: .ل""وال أن
ّربطنا على قلبها لكادت لتبدى به
متى جاءت "بلى" أو "نعم" بعد كالم يتعلق بها تعلق الجواب و ليس قبله""ا م""ا .3
. لفظه لفظ الجواب، فاعلم أن هناك سؤاال مقدرا،يصلح أن يكون جوابا له
Artinya:
Ketika ada kata “bala” atau “na‘am” setelah perkataan
yang berkaitan dengannya (“bala” atau “na‘am”) sebagai
jawaban dari sebelumnya tidak ditemui apa yang sesuai
untuk menjadi jawaban perkataan tersebut, maka
ketahuilah bahwa di sana ada pertanyaan yang
terkandung di dalamnya/tersimpan dengan
menggunakan lafaz jawaban (al-Sabt, 2000: 10).
ٌ
(112)...محسن فله أجره عند ربه بلى من أسلم وجهه هلل وهو
Terjemahnya:
(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang
menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat
kebajikan, maka baginya pahala dari sisi Tuhannya.
Di dalam ayat ini dilihat bahwa si penjawab berkata:""بلى
, pertanyaannyadikembalikan kepadajawabannya, jadi maksud
adalah: أليس من أسلم وجهه هلل وهو محسن له أجره عند ربه؟.
ف""األولى االقتص""ار،إذا كان ثبوت شئ أو نفي""ه ي""دل على ثب""وت آخ""ر أو نفي""ه .4
فإن ذكرا فاألولى تأخير الدالز،على الدال منهما
Artinya:
Jika penetapan sesuatu atau penegasiannya menunjukkan
pada penetapan yang lain atau penegasian yang lain,
maka yang lebih utama adalah mencukupkan/membatasi
penyebutannya hanya pada indikator yang menunjukkan
dari keduanya, tetapi jika disebutkan keduanya maka
yang lebih utama adalah mengakhirkan (menempatkan di
akhir) hal yang menjadi indikator/petunjuk (al-Sabt,
1997: 370).
حذف جواب الشرط يدل على تعظيم األمر و شدته فى مقامات الوعيد. .5
Artinya:
Penghapusan/pengguguran jawab al-syarth
menunjukkan pentingnya dan dahsyatnya hal tersebut
dalam konteks ancaman (al-Sa‘di, 1980: 52).
Jawab al-syarth yang tidak disebutkan dalam suatu ayat
menunjukkan pentingnya atau dahsyatnya hal yang
dibicarakan.
Ayat-ayat Alquran yang mengandung fi‘il al-syarth (kata
kerja bersyarat), tetapi jawab al-syarth (jawaban dari kata
bersyarat)nya tidak disebutkan menunjukkan pentingnya
masalah yang dibicarakan, atau-jika yang dibicarakan adalah
masalah siksa dan ancaman- menunjukkan dahsyatnya
keadaan yang disebutkan.
Misalnya, dalam Q.S. al-Sajdah/32: 12.
Terjemahnya:
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid (monopause)
diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa ‘iddahnya) maka ‘iddah mereka adalah tiga
bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid.
Sebagian ulama mengatakan bahwa ‘iddah perempuan-
perempuan yang tidak haid adalah tiga bulan, dan memang
sebaiknya ditaqdirkan (yang dimaksud) seperti itu, karena
selain lebih ringkas juga ada petunjuk/indikasi atas makna
tersebut sebelumnya (al-Sabt, 1997: 376).
فال وجه لصرفه إلى، إذا كان للكالم وجه مفهوم على اتساقه على كالم واحد. .10
كالمين
Artinya:
Jika suatu perkataan telah dapat dimengerti dengan
menggunakan satu bentuk perkataan yang teratur
(konsisten), maka tidak perlu untuk mengubahnya ke
dalam bentuk perkataan yang lain (al-Sabt, 2000: 10).
DAFTAR PUSTAKA
Andalusi, Abu Hayyan al-. Tafsir al-Bahr al-Muhit.} Juz III dalam
al-Maktabah al-Syamilah, ver. 2 [CD-ROM].
Dahlan, Abd. Rahman. 1990. Kaidah-Kaidah Penafsiran Alquran;
Disusun berdasarkan al-Qawa‘id al-Hisan li Tafsir
Alquran Karya al-Sa‘di. Cet. II; Bandung: Penerbit
Mizan.
Departemen Agama RI. 1990. Alquran dan Terjemahnya. Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir
Alquran.
ibn Faris, Ibn al-Husain Ahmad. 1970. Mu‘jam Maqayis al-Lugah.
Juz III, Cet. II; Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi.
Ibnu Mandzur, Jamal al-Din Muhammad Ibnu Makram. 2000.
Lisan al-‘Arab. Juz XII, Cet.I; Beirut: Dar Shadir.
Mardan. 2009. Alquran; Sebuah Pengantar Memahami Alquran
Secara Utuh. Cet. I; Makassar: CV. Berkah Utami.
Sa‘di, ‘Abd al-Rahman ibnu Nashir al-. 1980. al-Qawa‘id al-Hisan
li Tafsir Alquran. Riyadh: Maktabah al-Ma‘arif.
Sabt, Khalid ibnu ‘Uthman al-. 1997. Qawa‘id aI-Tafsir; Jam‘an
wa Dirasah. Juz I, Cet. I; Saudi Arabia: Dar Ibnu
‘Affan.
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk. 2005. Metodologi Ilmu Tafsir. Cet. I;
Yogyakarta: Penerbit TERAS.
Suyuthi, Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-. 2006. Al-
Itqan fi ‘Ulum Alquran. Juz III, Cet.I; Kairo:
Maktabah al-Shafa.
Thabari, Abi Ja‘far Muhammad ibn Jarir al-. 2001. Jami‘ al-Bayan
‘an Ta’wil Ay Alquran; Tafsir al-Thabari. Juz. III, Cet. I;
Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi.
Zamakhsyari, Abu al-Qasim Mahmud ibn ‘Amru ibn Ahmad
al-. Tafsir al-Kasysyaf. Juz I dalam al-Maktabah al-
Syamilah, ver. 2 [CD-ROM].
Zarkasyi, Bard al-Din MuHammad ibn ‘Abdillah al-. 1988. al-
Burhan fi ‘Ulum Alquran. Juz III, Cet. I; Beirut: Dar
al-Fikr.
BAB XII
KAIDAH MUQABALAH AL-JAM’ BIL JAM’
Artinya:
Artinya:
Pada umumnya ketika pertemuan jamak (plural) dengan
mufrad (tunggal) tidak dimaksudkan untuk menunjukkan
keumuman mufrad tersebut. Namun terkadang juga
menunjukkan keumuman mufrad itu sesuai dengan
keumuman jamak yang bersamanya.
B. Penutup
Al-jam’ dalam pengertian kaedah bahasa adalah ism
(kata benda) yang menunjukkan kepada lebih dari dua. Al-jam’
dalam kaedah bahasa terbagi kepada tiga macam, pertama:
jam‘ al-muzakkar al-salim, yang kedua: al-jam ‘ al-muannats al-
salim, dan yang ketiga: jam‘ al-taksir. Kaedah muqabalah al-jam bi
al-jam’ dibagi kepada tiga macam bentuk: a) pertemuan jamak
dengan jamak terkadang dimaksudkan pertemuan satuan
dengan satuan yang lain. b) pertemuan jamak dengan jamak
terkadang dimaksudkan pertemuan keseluruhan dengan setiap
individu. c) pertemuan jamak dengan jamak terkadang
dimaksudkan kedua hal tersebut, akan tetapi membutuhkan
dalil yang menentukan salah satunya.
DAFTAR PUSTAKA
BAB XIII
KAIDAH AL-TIKRAR
A. Kaidah al-Tikrar
Diantara kekuasaan Allah adalah menjadikan Alquran
sebagai kitab risalah terakhir penutup risalah samawi yang
mengandung fungsi menjelaskan secara terang dan sebagai
tanda i’jaz (mukjizat) dalam melumpuhkan argumen-argumen
para pengingkarnya, agar memudahkan kelangsungan
penyampaian risalah setelah wafatnya Nabi Saw., dan sebagai
sarana dalam memuaskan keingintahuan para penelitinya
sepanjang zaman. Olehnya itu bentuk dari i’jaz Alquran tidak
terbatas pada wujud penjelasannya namun juga melingkupi
dan mengalahkan setiap segi aktivitas kehidupan manusia
dalam segi “keanehan” dan keluarbiasaan.
Salah satu wujud dari mukjizat Alquran dapat ditinjau
dari segi kebahasaan. Ini terlihat dari susunan kata dan
kalimatnya yang sangat unik dan istimewa. Namun ini pun
tidak luput dari kritikan para pengingkarnya yang berpendapat
bahwa tidak jarang ditemukan adanya pengulangan dalam
ayat-ayat Alquran serta adanya kontradiksi-kontradiksi yang
kesemuanya ini menafikan kemukjizatan al-Qur’an.
Menurut M. Quraish Shihab, adapun soal pengulangan
maka perlu digaris bawahi bahwa Alquran adalah sebuah kitab
dakwah dan bukan sebuah kitab yang telah disusun
sebagaimana penyusunan suatu kitab ilmiah atau undang-
undang.
Allah Swt. berfirman Q.S. al-Isra’/17: 9,
C. Kaidah-kaidah Tikrar
1. Kaedah Pertama
Terjemahnya:
2. Kaedah Kedua
Terjemahnya:
Terjemahnya:
4. Kaedah Keempat
Terjemahnya:
5. Kaedah Kelima
Terjemahnya:
Terjemahnya:
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan
lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah
Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia
menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan
beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya
dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa
(Depag R.I., 1985: 57).
Lafazh ( )ضعفpada ayat di atas terulang tiga kali dalam
bentuk nakirah yang menurut kaidah bila terdapat dua ism al-
nakirah yang terulang dua kali maka yang kedua pada
hakekatnya bukanlah yang pertama. Dengan demikian, ketiga
lafazh dha’f memiliki makna yang berbeda-beda.
Menurut al-Qurtubi dalam tafsirnya jami’ li ahkam al-
Qur’an, arti ( )ضعفpertama adalah terbentuknya manusia dari (
“ )نطفت ضعيفةseperma yang lemah dan hina”, kemudian beranjak
ke fase ke dua yaitu (“ )حال""ة الض""عيفت في الطفول""ة والص""غرkeadaan
menusia yang lemah pada masa awal kelahiran”, kemudian
ditutup dengan fase ketiga yaitu ()حال""ة الض""عيفة في اله""ر م والش""يخوخة
“keadaan lemah saat usia senja dan jompo” (al-Qurtubi, XI,
2002: 369).
Untuk kaedah ketiga (ism al-nakirah pertama dan al-
marifah kedua) dalam hal ini memiliki arti yang sama, sebagai
contoh firman Allah dalam Q.S. Muzzammil/73: 15-16,
Terjemahnya:
Terjemahnya:
Terjemahnya:
D. Fungsi Tikrar
Terjemahnya:
Terjemahnya:
Terjemahnya:
DAFTAR PUSTAKA
BAB XIV
KAIDAH RASM ALQURAN
D. Khatimah
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahid, Ramli. 2002. Ulumul Qur’an. Cet. IV; Jakarta; PT.
Raja Grafundo Persada.
Abu Syubah, Muhammad bin Muhammad. 1991. Al-Madkhal
Lidirasati al-Qur’an al-Karim. Maktabah Sunnah.
AF, Hasanuddin. 1995. Anatomi al-Qur’an, Perbedaan Qira’at dan
pengaruhnya Terhadap Istimbath Hukum dalam al-Qur’an.
Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Amal, Taufik Adnan. 2011. Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an. Cet. I;
Yogyakarta: Forum kajian Agama dan Budaya (FkBK).
Ma’ruf, Lois. 1973. Al Munjid al-Lughah wa A’lam. Cet. XXI,
Beirut; Dar al-Misriq.
Mardan. 2009. Al-Qur’an; Sebuah Pengantua Memahami Al-
Qur’an Secara Utuh. Cet.I; Jakarta: Pustaka Mapan.
Munawir, Ahmad Warson. 1997. Kamis al-Munawir Arab
Indonesia. Cet. XIV; Yogyakarta: Pustaka Progesif.
Murzuki, Kamaluddin. 1994. Ulum al-Qur’an. Cet. II; Bandung;
PT. Remaja Rodaskarya.
Qaththan, Manna Khalil al-. 1973. Mabahis fi Ulum al-Qur’an.
Cet. III; Beirut; Mansyuriyat li al-Asr al-Hadits.
Rumi, Fahri bin Abd. Rahman Sulaiman al-. 2002. Khasais al-
Qur’an al-Karim. Riyadh: Mamlukah al-Arabiyah As-
Su’udiyah.
Shalih, Subhi as-. “Mabahis f Ulumil Qur’an”. 1993. Terj. Tim
Pustaka Firdaus. Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an. Cet.
IV; Jakarta: Pustaka Firdaus.
Shiddieqy, M. Hasby ash-. 1992. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-
Qur’an/Tafsir. Cet. XIV; Jakarta: Bulan Bintang.
Shihab, Quraish dkk. 2008. Sejarah dan Ulumul Qur’an. Cet. IV;
Jakarta: Pustaka Firdaus.
Suyuti, Jala al-Din al-. t.th. Al-Itiqan fi Ulum al-Qur’an. Juz II,
Beirut: Darul Fikr.
Watt, W. Montgomery. “Bell’s Introduction to the Qur’an”.
1998. Terj. Lilian D. Tedjasudhana dan Richard Bell.
Pengantar Qur’an. Jakarta: Inis.
Zarqani, Muhammad Abd. Al-Azim al-. 1998. Manahilul Irfan Fi
Ulumil Qur’an. Beirut; Dar Qutaibiyah.
BAB XV
KAIDAH JADAL DALAM ALQURAN
Terjemahannya :
Dan mereka tidak menghormati Allah dengan
penghormatan yang semestinya, di kala mereka
berkata: "Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada
manusia". Katakanlah: "Siapakah yang menurunkan
kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya
dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu
lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu
perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan
sebahagian besarnya, Padahal telah diajarkan
kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu
tidak mengetahui(nya) ?" Katakanlah: "Allah-lah (yang
menurunkannya)", kemudian (sesudah kamu
menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah
mereka bermain-main dalam kesesatannya.
Ayat ini merupakan bantahan terhadap pendirian
orang yahudi
d. Menghimpun dan merinci (al sabr wal taqsim) (Al-
Suyuthi, 4, t.th.: 60-66), yakni menghimpun beberapa
sifat dan menerangkan bahwa sifat-sifat tersebnut
bukanlah illah, alasan hukum, seperti Firman-Nya
dalam Surah al-An’am ayat 143-144
Terjemahannya :
Delapan binatang yang berpasangan, sepasang domba,
sepasang dari kambing. Katakanlah: "Apakah dua
yang jantan yang diharamkan Allah ataukah dua yang
betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua
betinanya?" Terangkanlah kepadaku dengan berdasar
pengetahuan jika kamu memang orang-orang yang
benar. Dan sepasang dari unta dan sepasang dari
lembu. Katakanlah: "Apakah dua yang jantan yang
diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang
ada dalam kandungan dua betinanya? Apakah kamu
menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu?
Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang
yang membuat-buat Dusta terhadap Allah untuk
menyesatkan manusia tanpa pengetahuan ?"
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim.
e. Membungkam lawan dan mematahkan hujjahnya
dengan menjelaskan bahwa pendapat yang
dikemukakannnya itu menimbulkan suatu pendapat
yang tidak diakui oleh siapa pun (Al-Suyuthi, 4, t.th.:
60-66).
Terjemahannya :
Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu
sekutu bagi Allah, Padahal Allah-lah yang
menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong
(dengan mengatakan): "Bahwasanya Allah mempunyai
anak laki-laki dan perempuan", tanpa (berdasar) ilmu
pengetahuan. Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari
sifat-sifat yang mereka berikan. Dia Pencipta langit
dan bumi. bagaimana Dia mempunyai anak Padahal
Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala
sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.
E. Penutup
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zaid, Nasr Hamid. 1996. Mahfum al-Nash. Cet. III; Beirut:
al-Markz al-Tsaqafi al-Arabi.
Departemen Agama RI. 1972. Alqur’an dan Terjemahannya.
Jakarta: Proyek, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/
Penafsir Alqur’an.
Qaththan, Manna Khalil al-. 2007. “Mabahit Fil Ulumil Quran”.
Terj. Muzakkir Ar. Studi Ilmu-ilmu Quran. Cet. X;
Pustaka Liter Antar Nusa.
Setiawan, M. Nur Kholis. 2005. Al-Qur’an Kitab Sastra Tersbesar.
Cet. I; Yogyakarta;eLSAQ.
Shiddiqy, T.M. Hasbi ash-. 2002. Ilmu-ilmu al-Qur’an. Cet. II,
Semarang:Pustaka Rizki Putra.
Suyuthi, Jalaluddin al-. t.th. al-itqan fi ‘’ulum al-Qur’an. Jilid 4,
Kairo: Mawqi’Maktabah al-Madinah al-Raqamiyyah.
Zarkasyi, al-. t.th. al-Burhan di ulum al-Qur’an. Jilid 2, Kairo:
Mawqi Maktabah al-Madinah al-Raqamiyyah.
BAB XVII
KAIDAH MUTHLAQ DAN MUQAYYAD
Terjamahannya:
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh
seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah
(tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang
mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman
serta membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh)
dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara
mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya
(si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang
beriman. barangsiapa yang tidak memperolehnya,
Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada
Allah. Dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana/Q.S. Al-Nisa’/4: 92. (Depag RI, t.th.: 93).
C. Penutup
DAFTAR PUSTAKA
BAB XVIII
KAIDAH ‘AMM DAN KHASH
2. Macam–macam Khashh
Kata nafs dan syai’a dalam ayat ini adalah bentuk nakirah
yang ditegaskan sehingga menujukkan pengertian umum,
siapa pun orangnya tidak mampu memberikan apa pun kepada
orang lain (pada hari kiamat) (Dahlan, 1998: 66).
Contoh nakirah dalam konteks larangan, dalam Q.S. al-
Nisa’/ 4: 36
Terjemahanya :
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.’’
Maksudnya larangan mempersekutuan Allah,dengan
cara bagimanapun.baik berbentuk niat, perkataan, dan
perbuatan sebagaimana juga mencangkup segala macam syirik
besar, kecil, nyata maupun tersembunyi (al–Sabt, Juz III, 1996:
68).
Contoh nakirah dalam konteks syarat, dalam Q.S.
Fushshilat/41: 46
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memasuki rumah- rumah nabi kecuali bila kamu
diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu
waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang
Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah
kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan.
Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu nabi
lalu nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu
keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.
apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada
mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang
tabir. cara yang demikian itu lebih Suci bagi hatimu dan
hati mereka. dan tidak boleh kamu menyakiti (hati)
Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya
selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya
perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.
Kaidah keempat :
ااخطابات العامة في القر ان تشمل الني ص""لى هللا ءلي""ه وس""لم كم""ا
.ان اخطابات الو جهت اليه ااصلة وسالم تشل اال مة االلد ليل
Terjemahnya:
Ucapan-ucapan atau pembicaraan yang bersifat umum
dalam Alquran berlakubagi Nabi Muhammad Saw.
,sebagai mana pembicaraan yang ditunjukan kepada Nabi
Saw.. berlaku juga untuk umat secara umum kecuali ada
yang menujukan pada hal yang demikian (al–Sabt, Juz
III, 1996: 578).
Ucapan atau perkataan yang bersifat umum dalam
Alquran berlaku juga bagi Nabi Muhammad Saw. , karena
Nabi juga mengembangkan taklif sehingga pembicaraan yang
bersifatnya umum bagi umat juga berlak bagi Nabi Saw.. .
Misalnya dalam Q.S.Al-Imbran/3 :200.
Kaidah kelima :
اذ اكان اول الكلالم خاصا واخره بصيخة العموم فان غصوص او
.لهل ال يكو ن ما نعامن ءموم اره
Artinya ;
Jika pada awal perkataan menujukan sesuatu yang
khusus kemudian diakhir perkataan berbentuk umum,
maka bentuk khusus yang ada pada awal perkataan tidak
menghalangi keumuman akhir perkataan tersebut.
Misalnya dalam Q.S. Al-Maidah/5 : 38
.
Terjemahnya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi
apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Kaidah keenam :
.حذف ا لعمول فيه يفيد تعميم النا سب له
Artinya: Peniadaanobjek kalimat menujukan pengertian
umum yan sepadan (al-Sa’id, 1980: 46).
Apabila suatu kata kerja (fi’il) ataupun yang
mengandung arti kata kerja pada kata yang berkaitan akan tapi
jika objek kata kerja ataupun yang. mengandung arti kata kerja
itu dibuang (tidak disebutkan), kata tersebut menujakan
pengertian umum.
Misalnya dalam Q.S. Al-Nur/24 : 61
كذالك يبين هللا لكم االيات لعلكم تعقلون
Objek dalam kalimat ini memang tidak disebutkan . Hal
ini untuk menujkan pengertian umum,yaitu agar kalian
memikirkan Allah yaitu semua yang mengarah,memberi
petunjuk kepada-nya dan yang teelah diajarkan kepada kalian,
serta memikirkan semua yang telah diturunkan kepada kalian
berupa Alquran dan hikah yang terkandung (al–Sabt, Juz III,
1996: 586). Jadi semua makna yang sepadan dalam pengertian
kata berpikir dalah bagian dari pengertian ayat tersebut diatas.
3. Kaidah- Kaidah Khash
اذا وردالشرط" اواالستناء او الخاية او االشارة ب ذلك بعد مف""ادات
اؤجمل متعا طفة عاد الئ جميعها اال بقرينتة
Artinya:
Jika ada syarat-syarat pengecualian (istithna), sifat batas
maksimal (gayah) petunjuk (isyarah) dengan
mengunakan lafazh ‘’itu’’( dhilika), setelah kata-kata
terprinci atau kalimat tersebut,kecuali ada indikator yang
menujukan kebainya kepada selainya.
Contoh dari (syarat) dalam Q.S. Al-Maidah/5 : 89
tentang kafarat melangar sumpah (yamin).
فكفارت"""ه اطعامءش"""رة مس"""ا كبن من اؤس"""ط" م"""ا تطعم"""ون اهليكم
اوكسوو تهم اوتحغر ير رقبة فمن لم يجد فصيام ثالث ثة ايام
Ayat ‘’’’فمن لم غجد kembali kepada ketika perkara yang
sebelumnya.
Contoh dari pengecualian (istitsna), dalam Q.S. Al-
Nisa/4: 43
Ayat ‘’ ’’اال عابري سبيلkembali pada kata ‘’’جنبا.
Contoh dari batas maksimal (gayah),dalam Q.S. Al-
Baqarah/2 :187
‘’kembali kepada makan dan minum” ي""تين ح""تئayat ‘’
Contoh dari sifat, dalam Q.S.Fatir/35 :32-33
Ayat ‘’’’جنا ت ءد ن يد خلوهاkembali kepada tiga pembagian yang
disebutkan pada ayat sebelumnya.
Contoh dari kata petunjuk dengan mengunakan
‘’itu’’( dhalika), dalam Q.S.Al-Furqan /25:68
Maka kata pentunjuk ذلpada ayat tersebut kembali kepada
semuayang disebutkan sebelumnya
PENUTUP
Berdasarkan uraian diatas dapat kita ambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Al-’amm ( )العامadalah yang mencangkup segala apa yang
pantas baginya tampa ada pembatasan.
2. Al-Khashh (khusus), menurut bahasa lawan kata dari
al-’amm yang berati al-munfarid (tidak menangkup atau
tidak meliputi). Sedangkan menurut istlah al-Khashh
berati tidak menghabiskan keseluruhan apa yang pantas
baginya tampa ada pembatasan.
3. Kaidah-kaidah ‘amm dan khashh diantaranya adalah :
a. Setiap isim ma’rifah yang memiliki individu-individu
dan setiap lafazh nakirah dalam konteks nahy
(larangan), nafy ( penegasan ), syarat istiham
(pertanyaan) dan imtinan (ucapan selamat) menujuk
pengertian umum baik dia berupa isim atau fi’il (kata
kerja).
b. Hukum-hukum yang disebutkan dengan
menggunakan bentuk mudzakkarin (jamak jenis laki-
laki) juga disebutkan secara bebas tanpa disertai
dengan bentuk mu’annats (jenis prempuan) maka ia
mencangkup laki-laki dan perempuan.
c. Ucapan suatu pembicaraan yang ditunjukan kepada
salah satu umat mencakup umat yang lainya, kecuali
ada pentunjuk yang mengkususkannya.
d. Ucapan-ucapan pembicaraan yang bersifat umum
dalam Alquran berlaku bagi Nabi Muhammad Saw.
Sebagaimana pembicaraan yang ditunjukan kepada
Nabi Saw.. berlaku juga bagi umat secara umum
kecuali ada dalil yang menujukan pada hal yang tidak
demikian.
e. Jika pada awal perkataan menujukan pada suatu yang
khusus kemudian diakhir perkataan berbentuk umum,
maka bentuk khusus yang ada pada awal perkataan
tidak mengahalangi keumaman akhir perkataan
tersebut.
f. Peniadaan objek kalimat menujukan pengertian umum
yang sepadan.
g. Jika dan syarat pengucualain istithna sifat batas
maksimal gayah petunjuk, isyarah dengan mengunakan
lafazh itu dhika setelah kata-kata terperinci atau
kalimat tersebut kecuali ada indikator yang
menujukan kembalinya kepada selainya.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Yusuf