Anda di halaman 1dari 319

BAHASA ARAB-BAHASA ALQURAN

MEMAHAMI ALQURAN BERDASARKAN KAIDAH BAHASA


ARAB DAN KAIDAH TAFSIR

Muhammad Yusuf

Ismail Suardi Wekke


BAB II
KAIDAH PENAFSIRAN ALQURAN

A. Kaidah-Kaidah Tafsir dan Mufasir


Alquran adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh
Allah Swt. kepada nabi Muhammad Saw. untuk dijadikan
sebagai pedoman hidup bagi manusia. Dengan Alquran, Allah
menghidupkan hati, menerangi pandangan dan mengeluarkan
umat manusia dari kebodohan, kehinaan dan kesyirikan
menuju hidayah, kehidupan yang mulia dan keimanan. Karena
begitu pentingnya posisi Alquran dalam kehidupan umat
manusia, maka usaha untuk menggali isi kandungannya nyaris
tak pernah berhenti, hal itu dilakukan agar Alquran sebagai
kitab suci - yang terakhir diturunkan dan merupakan kitab suci
agama samawi yang paling sempurna- benar-benar selalu
dapat menjawab tantangan zaman.
Alquran secara teks memang tidak berubah, tetapi
penafsiran atas teks selalu berubah sesuai konteks ruang dan
waktu manusia. Karenanya, Alquran selalu membuka diri
untuk dianalisis, dipersepsi, diinterpretasikan (ditafsirkan)
dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak
isi sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan sebagai jalan
untuk membedah makna terdalam dari Alquran itu (Shihab,
2014: 3).
Sungguhpun demikian, tidaklah serta merta bahwa untuk
berdialog dengan (menafsirkan) Alquran, terbentang jalan
lempang yang bisa semua orang menggapainya. Faktanya
adalah, justru noktah-noktah Alquran begitu berat dan pelik
sehingga membutuhkan persyaratan-persyaratan normatif
yang berat dan pelik pula (Shihab, 2014: 5).
Ketika Rasulullah Saw. masih hidup, tidak ada kesulitan
bagi para sahabat untuk memahami Alquran, karena setiap
menemui kesulitan mereka langsung mendapat bimbingan dari
beliau. Tapi ketika beliau wafat, para sahabat harus
mengerahkan tenaga dan pikirannya untuk menggali rahasia
Alquran, karena banyak muncul persoalan baru yang harus
mendapat jawaban dari Alquran. Usaha mereka kemudian
dilanjutkan secara berkesinambungan oleh tabi’in, tabi’it tabi’in
dan generasi-generasi sesudahnya. Usaha yang tak kenal lelah
tersebut ternyata tak sia-sia, karena kemudian bermunculan
produk kitab-kitab tafsir yang banyak jumlahnya dan tak
ternilai harganya.
Akhir-akhir ini usaha untuk membumikan Alquran
begitu gencar dilakukan, diantaranya ada orang-orang  yang
berusaha untuk menyusun kitab tafsir baru, mereka
beranggapan bahwa kitab-kitab tafsir yang ada saat ini sudah
tidak memadai, jumud, tidak aktual, kolot, terlalu dibelenggu
oleh bingkai ushul fiqh, kurang menghargai nilai kemanusiaan
dan kebebasan berpendapat serta ketinggalan zaman (out of
date), oleh karena itu kitab-kitab tafsir yang sudah ada perlu
diadakan penyempurnaan (revisi) secara total, tetapi sayang
ada diantaranya pihak-pihak yang berani menempuh langkah-
langkah penafsiran terhadap ayat suci Alquran, meskipun
sebenarnyalah mereka masih sangat jauh dari level kepantasan
untuk melakukan hal itu karena belum memiliki kualifikasi
sebagai seorang ulama’ mufasir yang professional. Jika
demikian, apa saja yang harus diperhatikan dan dipenuhi oleh
seorang mufasir?
Untuk menjawab persoalan tersebut, para pemerhati
studi Alquran agar mengkaji kaidah-kaidah tafsir, yang
meliputi: pengertian kaidah tafsir, amr dan nahiy, istifham,
mufrad dan jamak, yang dikira mutaradif ternyata bukan,
pertanyaan dan jawaban, syarat dan adab mufasir serta
aktualita.

B. Pengertian Kaidah-kaidah Tafsir    


Kaidah-kaidah tafsir (qawa’id tafsir) merupakan kata
majmuk yang terdiri dari kata qawa’id dan kata al-tafsir. Kata
qawa’id secara etimologis merupakan bentuk jamak dari kata
qa’idah yang berarti asas, dasar, pedoman atau prinsip (Ibn
Zakariya, 1991: 109). Sedangkan tafsir berarti  menerangkan
dan  menjelaskan (al-Zarqani, t.th.: 3). Adapun  pengertian  tafsir
menurut   istilah adalah “Ilmu untuk memahami kitabullah
yang diturunkan kepada Muhammad, menjelaskan makna-
maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya” (al-
Hasani, t.th.: 168).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa qawa’id tafsir
secara istilah berarti “ Asas, dasar, pedoman atau prinsip yang
digunakan untuk memahami kitabullah yang diturunkan
kepada Muhammad Saw., menjelaskan makna-maknanya serta
mengeluarkan hukum dan hikmahnya.”
C. Kaidah Kebahasaan
1. Kaidah Amr
Amr secara etimologis berarti perintah atau suruhan,
sedangkan menurut arti terminologis   adalah
tuntutan untuk melakukan perbuatan dari yang lebih tinggi
kepada yang lebih rendah kedudukannya (Supiana, & M.
Karman, 1999: 287).
a. Bentuk-bentuk Amr dalam Alquran                                        
1) Amr menggunakan fi‘il amr
Seperti kata ‫ أتواالنساء‬dalam Q.S. Al-Nisa’/4: 4.
... ‫وأتواالنساء صدقتهن" نخلة‬
           “Dan    berikanlah   mahar   kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”
2) Amr menggunakan fi‘il mudhari’ yang didahului lam al-
amr
                Seperti kata ‫ ولتكن‬dalam Q.S. Ali ‘Imran/3: 104
...‫ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير‬
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat
yang menyeru kepada kebajikan”
3) Amr menggunakan isim fi‘il amr
               Seperti kata ‫ عليكم‬dalam Q.S. al-Maidah/5: 105,
"…‫يا أيهاالذين أمنواعليكم أنفسكم اليضركم من ضل إذاهتديتم‬
“Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu, tiadalah
orang yang sesat itu akan memberi madharat kepadamu
apabila kamu mendapat petunjuk”
4) Amr menggunakan mashdar pengganti fiil
               Seperti kata ‫ إحسانا‬  dalam Q.S. al-Baqarah/2: 83

... ‫وبالوالدين إحسانا‬...


“Dan berbuat baiklah kepada ibu bapak
…” 
5) Amr menggunakan kalimat  berita yang mengandung
perintah atau permintaan
Seperti kalimat ‫يتربصن بأنفسهن‬  dalam Q.S. al-Baqarah: 228

‫والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلثة ق""روء‬...


“Wanita-wanita   yang   
ditalaq    hendaklah   menahan diri (menunggu) tiga kali’ .
6) Amr dengan menggunakan kata ‫ يأمر‬-‫( أمر‬amara, ya’muru)
Seperti dalam Q.S. al-Nisa/4: 58
‫إن هللا ي""أمركم" أن ت""ؤدوااألمنت" إلى أهلها‬... “Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya “. Kata ya’muru pada ayat tersebut adalah kata
yang eksplisit yang menunjukkan sesuatu yang wajib, yakni
kewajiban menunaikan amanah.
7) Atau menggunakan kata ‫( كتب‬kataba)
Seperti dalam Q.S. al-Baqarah/2: 183
‫ياأيهاالذين أمن واكتب عليكم الص يام‬...   “Hai  orang-orang  yang 
beriman  telah diwajibkan atas kamu berpuasa”. Pada ayat ini
kata kataba (kutiba) menunjukkansesuatu yang wajib, apalagi
diapsankan dengan ‘ala yang juga menunjukkan sesuatu yang
wajib. Kewajiban berpuasa Ramadhan adalah kewajiban atas
setiap umat muslim (beriman).
8) Atau menggunakan kata ‫على الناس‬
          Seperti dalam Q.S. Ali Imran/3: 97

... ‫“وهلل على الن اس حج ال بيت من اس تطاع إلي ه س بيال‬Mengerjakan


haji  adalah kewajiban manusia  terhadap Allah yaitu bagi
yang  sanggup  mengadakan perjalanan ke Baitullah”. Atas
dasar itulah ulama merumuskan hukum bahwa berhajji adalah
kewajiban setiap kuslim yang memiliki kemampuan.

b. Kategori amr dalam Alquran


1) Amr menunjukkan wajib
           Seperti dalam Q.S. al-Nisa’/4: 77

...‫كفواأيديكم وأقيمواالصلوةوأتواالزكوة‬...“Tahanlah  tanganmu  dari 


berperang dirikanlah solat dan tunaikanlah zakat.”
2) Amr menunjukkan sunnah
          Seperti dalam Q.S. al-Kahfi/18: 19

‫“ وليتلطف واليش"""عرن بكم أح"""دا‬Dan   hendaklah dia berlaku   


lemah lembut dan   janganlah sekali-kali menceriterakan halmu
kepada siapapun”
3) Amr tidak menghendaki pengulangan
          Seperti dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 196

‫وأتموا الحج والعمرة هلل‬... “Dan sempurnakanlah haji dan umrah


kerena Allah”
4) Amr menghendaki pengulangan
           Seperti dalam Q.S. al-Maidah/5: 6

‫إذا قمتم إلى الصلوة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا‬...
 ‫اطهروا‬ ‫اف‬ ‫ وإن كنتم جنب‬,‫بين‬ ‫كم وأرجلكم إلى الكع‬ ‫برءوس‬...
“Jika kamu hendak mengerjakan sholat, maka  basuhlah
wajahmu dan tanganmu sampai kedua siku dan usaplah
kepalam dan basuhlah kakimu sampai kedua mata kaki, dan
jika kamu junub maka mandilah”
5) Amr tidak menghendaki kesegeraan
          Seperti dalam Q.S. al-Baqarah/2: 184
... ‫فمن كان منكم مريض ا أوعلى س فر فع دة من أي ام أخر‬... “Maka
barangsiapa diantara kamu ada  yang sakit atau  dalam
perjalanan (lalu  ia  berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak  hari  yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”
6) Amr menghendaki kesegeraan
          Seperti dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 148
"‫“ ولكل وجهة هوموليها" فاستبقواالخيرات‬Dan  bagi  tiap-tiap  umat
ada  kiblatnya  (sendiri)  yang ia  menghadap kepadanya, maka
berlomba-lombalah  kamu  (dalam berbuat) kebajikan”
7) Amr yang datang setelah larangan bermakna mubah
          Seperti dalam Q.S. Al-Maidah/5:2
...‫طادوا‬ ‫وإذا حللتم فاص‬... “Dan apabila kamu
telah menyelesaikan ibadah haji maka bolehlah berburu”.

c. Ragam Makna Amr dalam Alquran


1) Amr bermakna pendustaan
          Seperti dalam Q.S. Al-Baqarah: 111

... ‫“ ق""ل هاتوابره""انكم إن كنتم ص""دقين‬Katakanlah,


tunjukkanlah
bukti kebenaranmu jika kamu (Yahudi   dan Nasrani) orang
yang benar”
2) Amr bermakna I’tibar
           Seperti dalam Q.S. al-An’am/6: 99

... ‫انظروا إلى ثمره إذا أثمر وينعه‬... “Perhatikanlah buahnya di


waktu pohon berbuah, dan perhatikanlah pula
kematangannya”
3) Amr bermakna nasehat
             Seperti dalam Q.S. al-Baqarah: 282

... ‫ وليكتب بينكم ك"""اتب‬, ‫اكتبوه‬$$$‫إذا ت"""داينتم ب"""دين إلى أج"""ل مس"""مى ف‬
‫بالعدل‬... “Apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya
dengan benar.
4) Amr bermakna boleh
          Seperti dalam Q.S. al-Baqarah/2: 60

...‫ربوا من رزق هللا‬$$‫وا واش‬$$‫كل‬... “Makanlah dan minumlah dari


rizqi yang diberikan Allah”
5) Amr bermakna memuliakan
          Seperti dalam Q.S. al-Hijr/: 46
‫(“ ادخلوها بس"""""""الم أم"""""""نين‬dikatakan kepada orang-orang yang
bertaqwa) masuklah ke dalamnya (surga) dengan sejahtera lagi
aman”
6) Amr bermakna melemahkan
          Seperti dalam Q.S. al-Baqarah/2: 23
‫وا‬$$‫أتوا بس""ورة من مثل""ه وادع‬$$‫وإن كنتم فى ريب مم""ا نزلن""ا على عب""دنا ف‬
‫من دون هللا إن كنتم ص"""دقين‬  ‫“ ش"""هداءكم‬Dan jika  kamu  tetap
dalam  keraguan  tentang “Alquran yang telah kami wahyukan
kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surat
saja yang  semisal  Alquran  itu, dan ajaklah para penolongmu
selain Allah jika kamu orang-orang yang benar”
7) Amr bermakna penghinaan
          Seperti dalam Q.S. al-Isra’/17: 50

‫قل كونوا" حجارة أو حديدا‬...  “Katakanlah, jadilah kamu sekalian


batu atau besi”
 
    2. Kaidah Nahiy
Nahiy  secara  etimologis  berarti  larangan, sedangkan
menurut arti terminologi berarti  tuntutan  atau  perintah 
meninggalkan  suatu  perbuatan   dari yang lebih tinggi
kedudukannya kepada yang lebih rendah kedudukannya
(Supiana, 1999: 289).
        a. bentukbentuk nahiy dalam Alquran
            1) menggunakan fiil nahiy    
                Seperti dalam Q.S. al-Isra’/17: 32

‫“ والتقربوا الزنى إنه كان فاحشة وساء سبيال‬Dan   janganlah   kamu   


mendekati  zina, sesungguhnya  zina  itu   adalah sesuatu
perbuatan yang keji”
            2) menggunakan kata ‫( حرم‬harrama)”mengaharamkan”

                 Seperti dalam Q.S. al-A’raf/7: 33 

 ‫ق""ل إنم""ا ح""رم ربي الف""واحش م""ا ظه""ر منه""ا وم""ا بطن واإلثم والبغي‬
‫“ بغ""""يرالحق‬Katakanlah, Tuhanku   hanya  mengharamkan
perbuatan yang keji baik yang nampak atau yang tersembunyi
dan perbuatan dosa melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar”
            3) menggunakan kata ‫نهى‬
                 Seperti dalam Q.S. al-Hasyr/59: 7

..."‫“ وم"""اأتكم" الرس"""ول فخ"""ذوه وم"""انهكم عن"""ه ف"""انتهوا‬Dan apa


yang
diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia, dan Apa
yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah”
            4) menggunakan kata ‫دع‬
                 Seperti dalam Q.S. al-Ahzab/33: 48

‫ والتط"""ع الكف"""رين والمنفقين ودع أذهم‬... “Dan janganlah kamu


menuruti orang-orang kafir dan orang-orang munafiq itu,
janganlah kamu hiraukan gangguan mereka”
            5) menggunakan kata ‫اترك‬
                 Seperti dalam Q.S. ad-Dukhan/44: 24

‫ واترك البحررهواإنهم جن""د مغرق""ون‬... “Dan biarkanlah laut itu  


tetap terbelah. Sesungguhnya  mereka   adalah Tentara yang
akan ditenggelamkan.
         b. Ragam pemakaian nahiy dalam Alquran
             1) nahiy bermakna haram
                  Seperti dalam Q.S. al-Isra’/17: 31
‫“ وال تقتلوا أوالدكم خشية إمالق‬Dan janganlah kamu membunuh
anak-anakmu karena takut miskin”
            2) nahiy bermakna makruh
                 Seperti dalam Q.S. al-Maidah/5: 87

‫“ ال تحرم"""""واطيبت ماأح"""""ل هللا لكم وال تعت"""""دوا‬Janganlah 


kamu
haramkan  apa-apa  yang baik yang telah Allah halalkan bagi
kamu dan janganlah kamu melampaui batas”
             3) nahiy yang mengandung perintah melakukan yang
sebaliknya
                 Seperti dalam Q.S. al-Baqarah/2: 188

‫وال تأكلوا أموالكم بينكم باالباطل‬... “Dan  janganlah sebagian kamu


memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan cara
yang batil”
             4) nahiy yang bermakna bimbingan/nasehat
                 Seperti dalam Q.S. al-Maidah/5: 101

‫“ التس""""ألوا عن أش""""ياء إن تب""""دلكم أو تس""""ؤكم‬Janganlah   kamu 


menanyakan  (kepada nabimu)  hal-hal  yang jika diterangkan
kepadamu akan menyusahkan kamu “
             5) nahiy yang menegaskan keputusasaan
                 Seperti dalam Q.S. al-Tahrim/66: 7

‫“ …ياأيهاال"""""ذين كفرواالتعت"""""ذروااليوم‬Hai
orang-orang kafir,
janganlah  kamu  mengemukakan udzur pada hari ini “
            6) nahiy untuk menentramkan
                 Seperti dalam Q.S. al-Taubah/9: 40
 ...‫“ آلتح""""""زن إن هللا معنا‬janganlah kamu berduka cita,
sesungguhnya Allah  beserta kita”
            7) nahiy yang berarti penghinaan
                 Seperti dalam Q.S. Thaha/20: 131

"‫وال تم"""ودن عيني"""ك إلى مامتعن"""ا ب"""ه أزواج"""ا منهم زهرةالحيوةال"""دنيا‬...


“Dan  janganlah  kamu  tunjukkan  kedua  matamu  kepada 
apa yang telah kami berikan   kepada golongan-golongan dari
mereka sebagai bunga kehidupan dunia “
  
   3. Kaidah istifham
Istifham secara etimologis berarti meminta tahu atau me
minta penjelasan. Adapun arti etimologisnya adalah meminta
penjelasan atau kepastian pendapat atau   mencari
pemahaman   tentang suatu   hal yang tidak diketahui (Supiana,
1999: 290). Instrumen istifham yang lazim digunakan
adalah isim istifham yang terdiri dari 11 macam (Ghalayainiy,
1994: 139).
       Adapun    ragam penggunaan isim   istifham  di   dalam 
Alquran diantarany adalah sebagaimana berikut ini:
        a. berupa ‫ء‬
          Seperti dalam Q.S. al-Maidah/5: 116

‫وإذق""ال" هللا يعيس""ى ابن م""ريم ءأنت قلت للن""اس اتخ""ذوني" وأمي إلهين من‬
‫“ دون هللا‬Dan (ingatlah)  ketika Allah berfirman, hai Isa  putera
Maryam, adakah kamu menyatakan kepada manusia
jadikanlah  aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah? “
      b. berupa  ‫هل‬
          Seperti dalam Q.S. al-Ghosyiyah/88: 1
‫“ ه""ل أت""اك ح""ديث الغاش""ية‬Sudah datangkah kepadamu berita
(tentang) hari pembalasan?“ 
      c. berupa ‫ما‬
          Seperti dalam Q.S. al-Muddatstsir/74: 42
‫“ ما سلككم فى سقر‬Apakah yang memasukkan kamu ke dalam
(neraka) saqar ?”
      d. berupa  ‫من‬
          Seperti dalam Q.S. al-Anbiya’/21: 60

‫“ ق الوا من فع ل ه ذا بألهتنا‬Mereka   berkata: siapakah yang  


melakukan (perbuatan) ini terhadap Tuhan-tuhan  kami?”
       e. berupa ‫أم‬
          Seperti dalam Q.S. al-Baqarah/2: 214
‫“ أم حسبتم أن تدخلواالجنة ولمايأتكم مث""ل ال""ذين خل""وامن قبلكم‬Apakah 
kamu  mengira  bahwa  kamu  akan  masuk  ke surga, padahal
belum datang  kepadamu  cobaan  sebagaimana halnya orang-
orang terdahulu sebelum kamu.”
      f. berupa ‫( أيان‬ayyana) ‘bilakah”
          Seperti dalam Q.S. al-Qiyamah/75: 6
‫“ يسأل أيان يوم القيامة‬Ia bertanya bilakah hari kiamat itu ?”
      g. berupa  ‫( كيف‬kaifa) “bagaimana”
          Seperti dalam Q.S. Ali ‘Imran/3: 101

 ‫“وكي"""ف تكف"""رون وأنتم تتلى عليكم أيت هللا وفيكم رس"""وله‬Bagaimana


kamu (sampai)  menjadi   kafir, padahal ayat-ayat Allah
dibacakan   kepada kamu dan Rasul-Nya pun berada di tengah-
tengah kamu.” 
      h. berua ‫أنى‬
          Seperti dalam Q.S. Maryam/19: 8

‫(“ ق""""ال رب أنى يك""""ون لى غالم وك""""انت ام""""رأتى ع""""اقرا‬Zakariya


berkata) Ya Tuhanku, bagaimana  akan  ada  anak  bagiku, 
padahal isteriku adalah seorang yang mandul? “
       i. berupa ‫كم‬
          Seperti dalam Q.S. al-Baqarah/2: 259

‫ قال لبثت يوم""ا أوبعض ي""وم‬,‫(“ قال كم لبثت‬Allah bertanya) berapa


lama  kamu  tinggal  disini? Ia   menjawab, saya telah tinggal
disini satu atau dua hari.”
       j. berupa ‫أين‬
          Seperti dalam Q.S. al-Takwir/81: 26
‫“ فأين تذهبون‬Maka, kemanakah kamu akan pergi ?”
       k. berupa ‫أي‬
          Seperti dalam Q.S. al-An’am/6: 81

‫فأي الفريقين أحق باألمن إن كنتم تعلمون‬ “Maka, manakah diantara


dua golongan itu “
 
  4. Kaidah mufrad dan jamak
      Sebagian lafadz di dalam Alquran dimufradkan  untuk
suatu makna tertentu dan dijamakkan  untuk   sesuatu   isyarat
khusus, lebih   diutamakan  jamak   daripada mufrad   atau   
sebaliknya. Oleh  karena   itu   di dalam Alquran sering
dijumpai sebagian lafadz yang hanya dipakai dalam bentuk
jamaknya dan ketika diperluka  bentuk   mufradnya   maka   
yang   digunakan   adalah    sinonim   (muradifnya) (Syadali dan
H. Ahmad Rofi’i, 2000: 98). Penggunaan  isim  bentuk  mufrad
dan jamak di dalam Alquran diantaranya bisa dikelompokkan
sebagai berikut:
       a. kata yang selalu disebutkan dalam bentuk mufrad
           1. kata ‫أرض‬
             Seperti dalam Q.S. al-Ankabut/29: 56

‫“ ياعبادي الذين أمنواإن أرضى واس""عة فإي""اى" فاعب""دون‬Hai   hamba-


hambaku  yang  beriman, sesungguhnya  bumiku   luas, maka
sembahlah aku saja”
            2. kata ‫صراط‬
                Seperti dalam Q.S. al-An’am/6: 153

‫“ وأن هذاص""راطى مس""تقيما‬Dan bahwa (yang kami perintahkan


ini) adalah jalan yang lurus “
           3. kata ‫النور‬
               Seperti dalam Q.S. al-Hadid/57: 12

"‫يسعى نورهم" بين أيديهم وبأيمانهم‬


“Sedang cahaya mereka bersinar
di hadapan dan di sebelah kanan mereka”
       b. kata yang selalu disebutkan dalam bentuk jamak
           1. kata ‫ألباب‬
              Seperti dalam Q.S. al-Zumar/39: 21

‫“ إن فى ذل"""ك ل"""ذكرى ألولى األلب"""اب‬Sesungguhnya  pada  yang


demikian itu,  benar-benar  terdapat  pelajaran bagi orang-
orang yang berakal “
            2. kata ‫أكواب‬
               Seperti dalam Q.S. al-Ghosyiyah/88: 14

‫وأكواب موضوعة‬ “Dan gelas-gelas yang terletak (di dekatnya)


       c. kata yang digunakan dalam bentuk mufrad dan jamak
           1. kata  ‫سماء‬  menunjukkan arah atas
               Seperti dalam Q.S. adz-Dzariyat/51: 22

‫“ وفى السماء رزقكم‬Dan di langit terdapat sebab-sebab rizqimu “


             Sedangkan kata ‫ س((موت‬menunjukkan arti bilangan /
luasnya
               Seperti dalam Q.S. al-Hadid/57: 2

‫له ملك السموت واألرض‬ “Kepunyaannyalah kerajaan langit dan


bumi “
           2. kata ‫ ريح‬   menunjukkan adzab
               Seperti dalam Q.S. Ibrahim/14: 18

‫مثل الذين كفروا بربهم أعمالهم كرماداش""تدت ب""ه ال""ريح فى ي""وم عاصف‬
“Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya , amalan-amalan
mereka seperti abu yang ditiup angina dengan keras pada
suatu hari yang berangin kencang
             Sedangkan  kata ‫ رياح‬ menunjukkan rahmat
                Misal dalam Q.S. al-Hijr/15: 22

‫“ وأرسلناالرياح ل""واقح‬Dan kami telah meniupkan angin untuk


mengawinkan (tetumbuhan) “
    5. kaidah kata-kata yang dikira mutaradif tetapi bukan
Di dalam Alquran  terdapat  sejumlah  kata-kata yang
maknanya berdekatan dan sering dikira sebagai  mutaradif
(sinonim)  padahal  bukan. Kata-kata  tersebut diantaranya:
        a. kata ‫ الخوف‬dan ‫الخشية‬
          1. kata ‫الخوف‬
Kata ini terambil dari kata  naqah khaufa yang artinya unta
betina yang berpenyakit  (mengandung kelemahan). Jadi  khauf
adalah  rasa  takut  karena lemahnya  orang  yang  merasa 
takut, sedangkan yang ditakuti itu mungkin lebih lemah,
mungkin juga lebih kuat, misal Q.S. al-Nahl/16: 50
"‫“ يخ""افون ربهم من ف""وقهم‬Mereka takut kepada Tuhan mereka
yang berkuasa atas mereka “
          2. kata ‫الخشية‬
Kata  ini  terambil  dari   kata  syajarah   khasyah yang  
artinya  pohon yang kering. Khasyah  artinya   rasa  takut yang
timbul   karena agungnya pihak yang ditakuti, meskipun pihak
yang takut juga memiliki kekuatan. Di dalam kata ini 
terkandung  totalitas  rasa  takut. Kata  khasyah  biasanya
berkaitan dengan hak Allah, misal Q.S. Fathir/35: 28
 ‫“ إنم"""ا يخش"""ى هللا من عب"""اده العلم"""اء‬Sesungguhnya
 yang  takut
kepada  Allah diantara  para hambanya hanyalah  para ulama’

Demikian juga yang terdapat di dalam Q.S. Al-Maidah/5:
3
‫“ اليوم يئس الذين كف""روا من دينكم فال تخش""وهم واخش""ون‬Orang-orang
kafir telah berputus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab
itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah
kepadaKu”.
Di dalam  ayat  tersebut, penggunaan kata khasyah
ditegaskan secara implisit oleh Allah Swt., bahwa   kaum
muslimin  tidak pantas untuk takut (khasyah)  kepada   orang-
orang   kafir  (yang  sebenarnya  lemah  dan  sedang frustasi).
Seharusnya  takut (khasyah) hanya ditujukan kepada Allah Swt.,
karena Dia  adalah Dzat Yang Maha Sempurna , Maha Agung
dan Maha Kuat
          b. kata ‫ مد‬dan  ‫أمد‬
            1. kata ‫ مد‬  
Kata ini dipakai untuk sesuatu yang tidak disenangi
misal: Q.S.Maryam/19: 79
 ‫“ ونم""""د ل""""ه من الع""""ذاب م""""دا‬Dan benar-benar kami akan
memperpanjang azab untuknya“
              2. kata ‫ أمد‬ 
Kata ini dipakai pada hal-hal yang disenangi, misal: Q.S.
al-Thur/52: 22
 ‫“ وأمددنهم" بفاكهة‬Dan kami berikan mereka dengan tambahan
buah-buahan”
       6. Kaidah Pertanyaan dan Jawaban
Pada dasarnya, jawaban itu harus sesuai dengan
pertanyaan, akan tetapi  dalam Alquran terdapat redaksi
pertanyaan dan jawaban yang bervariasi, diantaranya
sebagaimana berikut ini:
           a. kadang jawaban menyimpang dari pertanyaan
 Hal ini sebenarnyalah mengingatkan bahwa jawaban
itulah yang seharusnya ditanyakan. Jawaban yang seperti ini
disebut Uslub al-Hakim , sebagaimana firman Allah Swt. dalam
Q.S. Al-Baqarah/2: 189
‫“ يسألونك" عن األهلة ق""ل هي م""واقيت" للن""اس والحج‬Mereka bertanya
kepadamu (Muhammad)  tentang bulan sabit,katakanlah itu
adalah (petunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji”.
Dalam ayat  tersebut dikisahkan   ada  seseorang yang
bertanya kepada Nabi Saw. tentang bulan, mengapa  pada
mulanya ia tampak kecil seperti benang kemudian
bertambah   besar sedikit  demi sedikit sehingga purnama, lalu
ia menyusut   sedikit demi sedikit  kemudian menghilang
seperti semula, maka Nabi Saw. justeru memberikan 
penjelasan  mengenai  hikmahnya, jawaban seperti  itu untuk
mengingatkan si penanya bahwa yang lebih penting untuk
ditanyakan  adalah  hal (hikmah)  tersebut, bukan  apa  yang 
ditanyakan itu
d. kadang  sebuah jawaban lebih umum dari apa yang
ditanyakan
 Hal ini dilakukan  jika  memang hal itu dianggap perlu,
sebagaimana firman Allah SWT. dalam Q.S. al-An’am/6: 64

‫“ قل هللا ينجيكم منها ومن كل كرب ثم أنتم تشركون‬Katakanlah: Allah 


menyelamatkan  kamu dari  bencana itu dan dari segala macam
kesusahan, kemudian kamu kembali mempersekutu-kan-Nya” 
Ayat 64 di atas sebagai jawaban dari pertanyaan Q.S. al-
An’am/6: 63
‫ لئن انجين""ا‬,‫قل من ينجيكم من ظلمت البر والبحر تدعونه تضرعا وخفي""ة‬
‫“ من هذه لنك"ونن من الش"اكرين‬Katakanlah: siapakah  yang  dapat
menyelamatkan  kamu  dari  bencana di darat dan di laut, yang
kamu berdoa kepadaNya dengan berendah diri dengan suara
yang  lembut  (dengan mengatakan): sesungguhnya  jika Dia
menyelamatkan  kami  dari  (bencana)  ini, tentulah  kami 
menjadi orang-orang yang bersyukur”.
          c. Kadang sebuah jawaban lebih sempit dari pertanyaan
Hal  ini  terjadi  karena  keadaan  benar-benar  menuntut
yang  demikian itu, sebagaimana firman Allah SWT. dalam Q.S.
Yunus/10: 15
‫ إني‬،‫ إن أتب""ع إال م""ايوحى إلي‬,‫قل ما يك""ون لي أن أبدل""ه من تلق""اء نفس""ي‬
‫“ أخاف إن عصيت ربي ع""ذاب ي""وم عظيم‬Katakanlah:   tidak  patut
bagiku  menggantinya  dari pihak diriku sendiri. Aku tidak
mengikut kecuali apayang diwahyukan kepadaku.
Sesungguhnya Aku takut jika mendurhakai Tuhanku  kepada
siksa hari yang besar (kiamat
Ayat di atas adalah sebagai jawaban dari Q.S. Yunus/10:
15 berikut ini
‫وإذا تتلى عليهم أيتنابينت قال الذين اليرجون لقاءنا ائت بق""رأن غ""ير ه""ذا‬
‫“ أو بدله‬Dan  apabila  dibacakan  kepada mereka ayat-ayat kami
yang nyata, orang-orang yang tidak menghendaki pertemuan
dengan Kami berkata: datangkanlah Alquran yang lain dari ini
atau gantilah dia”.
Dalam ayat di atas terkandung isyarat  mengingatkan
bahwa mengganti (ayat Alquran) lebih  mudah  dari pada
menciptakan. Artinya jika mengganti saja tidak mampu, apa
lagi menciptakan pasti lebih tidak mampu lagi.

D. Syarat dan Adab Mufasir


Para  ulama’ terdahulu telah menetapkan  beberapa
syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi   oleh    seorang  mufasir.
Maka dalam hal ini Hasbi Ash-Shiddieqy  berpendapat bahwa
ilmu yang harus dimiliki oleh seseorang yang ingin menjadi
mufasir ada 7 macam, yaitu: (1) Bahasa Arab: secara umum
(2)undang-undang bahasa Arab: ilmu tashrif dan ilmu nahwu
(3) ilmu ma’ani, bayan dan badi’ (4) dapat menentukan
mubham, dapat menjelaskan yang mujmal dan dapat
mengetahui asbabun nuzul dan nasakh. Penjelasan-penjelasan
ini diambil dari ilmu Hadits (5) mengetahui ijmal, tabyin, ‘am,
khash, ithlaq, taqyid, petunjuk suruhan, petunjuk larangan, dan
sebagainya. Hal ini diambil dari ilmu ushul fiqh (6) ilmu kalam
dan (7) ilmu qira’at (Ash-Shiddieqiy, 1994: 207).
Adapun   Muhammad    Alawi   al-Maliki   al- Hasaniy
menetapkan 15 cabang   ilmu  yang seharusnya dikuasai  oleh
seorang    mufasir,  yaitu    ilmu: (1) nahwi, (2) shorfi,(3) al-
isytiqaq,(4) ma’ani,  (5) bayan,  (6) badi’,  (7)qiraat,   (8) kalam, 
(9)Ushul  fiqh,   (10) asbabun   nuzul,     (11) nasikh, 
(12)mansukh, (13) fiqh,  (14)al-Hadits dan (15) mauhibah (Al-
Hasaniy, 1986: 170-172).
Selain  syarat-syarat  di atas,  maka seorang  mufasir  
juga dituntut untuk mematuhi Syarat-syarat yang lain
sebagaimana yang diungkapkan oleh  Manna Khalil al-Qattan
yaitu memiliki (1)aqidah yang benar, (2) bersih dari hawa
nafsu, (3) menafsirkan lebih dahulu Alquran   dengan Alquran,
(4) kemudian   mencari   penafsiran dari as-Sunnah, (5) jika
tidak didapatkan kemudian meninjau pendapat dari para
sahabat, (6)jika tidak   didapatkan juga, maka dilakukan
pemeriksaan pendapat tabi’in, (7) menguasai bahasa Arab
dengan  segala cabangnya, (8) menguasai pokok-pokok ilmu
yang berkaitan dengan Alquran, (9)pemahaman yang cermat
(al-Qattan, 2002: 462-465).
Adapun  adab-adab   yang   harus dipenuhi seorang  mufasir
yaitu: (1) berniat baik dan bertujuan benar, (2) berakhlaq yang
baik, (3) taat dan beramal, (4) berlaku jujur dan teliti dalam
penukilan riwayat, (5) tawadhu’ dan lemah lembut, (6) berjiwa
mulia, (7) vokal dalam menyampaikan kebenaran, (8)
berpenampilan baik, (9) bersikap tenang dan mantap, (10)
mendahulukan orang yang lebih utama daripada dirinya, (11)
mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran
secara baik.
Berkaitan dengan hal ini, M. Quraish Shihab (2004: 79)
mengingatkan kepada orang yang akan menafsirkan Alquran,
bahwa menafsirkan Alquran berbeda dengan hanya
mendakwahkan Alquran. Di samping itu harus mewaspadai
faktor-faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam menafsirkan,
yaitu: subyektifitas mufasir, kekeliruan dalam menerapkan
kaidah penafsiran, kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat,
kedangkalan pengetahuan tentang materi pembicaraan ayat,
tidak memperhatikan konteks, baik asbabun nuzul, hubungan
antar ayat, maupun kondisi social masyarakat, serta tidak
memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa 
pembicaraan ditujukan.
Penulis berpendapat bahwa ditetapkan syarat-syarat
yang ketat bagi mufasir ditujukan agar Alquran tetap terjaga
orisinalitas dan kesuciannya, karena jika semua orang bebas
menafsirkan Alquran, maka Alquran tidak akan mampu lagi
menjadi kitab Suci yang memuat petunjuk bagi siapapun yang
menginginkan menjadi seorang hamba Allah yang bertaqwa,
bahkan mungkin akan berubah menjadi sebuah ajaran yang
sesat dan menyesatkan. Oleh karena itu seharusnya hanya
orang-orang yang memenuhi kualifikasi sebagai seorang
mufasir sajalah yang berhak menafsirkan Alquran.
Penulis sependapat dengan siapapun yang mengatakan,
bahwa jika kitab-kitab tafsir yang sudah ada dianggap sudah
tidak relefan lagi, maka perlu disusun kitab-kitab tafsir yang
baru, sebab Alquran bukanlah pusaka keramat yang tidak
boleh disentuh apalagi ditafsirkan. Rasulullah SAW. juga tidak
melarang hal tersebut, buktinya salah seorang sahabat yang
bernama Abdullah bin Abbas pernah didoakan oleh Beliau:

‫ “اللهم فقه""""ه في ال""""دين وعلم""""ه التأويل‬Ya


Allah, berilah dia 
kedalaman  pemahaman  mengenai agama dan ajarilah dia
tafsir”
Akan  tetapi tidak  semua  sahabat Nabi Saw. berani
untuk menafsirkan Alquran, sebagaimana  yang  tercermin
dari  perkataan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. “bumi mana  yang
akan  menampungku, dan langit  mana yang akan
melindungiku, bila aku  mengatakan sesuatu  yang  tidak
kuketahui mengenai Kitabullah”. Sikap ini sebenarnya muncul
lantaran Rasulullah Saw. pernah bersabda:
‫“ من ق""ال فى الق""رأن بغ""ير علم فليتب""وأ مقع""ده من الن""ار‬Barangsiapa  
berkomentar   tentang   Alquran  tanpa dilandasi oleh ilmu,
maka hendaklah  ia  mengambil  tempat  duduknya  dari api
neraka” (HR. Tirmidzi dari Ibnu Abbas).
Selain  karena  alasan tersebut, sikap yang sangat  hati-
hati dalam memperlakukan Alquran  adalah  karena
keshalihan para sahabat yang kuatir andai kata apa yang
mereka nyatakan salah (Harun, 2004: 183-184). Melihat
kompleksnya permasalahan Alquran dan ilmu pengetahuan
untuk membuat penafsiran Alquran yang selalu sesuai dengan
perkembangan zaman (up to date) , maka seharusnya usaha
untuk menafsirkan Alquran tidak lagi dimonopoli oleh
seseorang, karena tampaknya mustahil satu orang mampu
menguasai ilmu-ilmu bahasa Arab dengan segala cabangnya,
berbagai cabang ilmu agama serta ilmu pengetahuan sekaligus.
Oleh karena itu hendaklah dijalin kerjasama antar pakar dari
berbagai disiplin ilmu yang diperlukan untuk menafsirkan
Alquran secara kolektif. Penulis yakin, bahwa tafsir yang
dilakukan secara kolektif (tafsir jama’iy) akan lebih valid,
komprehensif dan rajih dibandingkan tafsir yang disusun
secara individual (tafsir fardiy).
 D. Aktualisasi
Diantara sekian ayat-ayat yang sampai hari ini menjadi
penafsiran yang kontroversial sebagai bahan untuk
didiskusikan, yaitu Q.S. Al-maidah: 66 :

‫ول"""و أنهم أق"""امواالتورة واإلنجي"""ل وم"""اأنزل" إليهم من ربهم ألكل"""وامن‬


‫ومن تحت أرجلهم‬ "‫فوقهم‬
Ayat tersebut menurut terjemahan Alquran versi
Departemen Agama RI bunyinya adalah “ Dan    sekiranya   
mereka  sungguh-sungguh menjalankan (hukum)Taurat, Injil
dan  (Alquran) yang diturunkan kepada mereka dari
Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas
mereka dan dari bawah mereka” (Depag RI, 1999: 171).
Berkaitan dengan ayat tersebut, Adian Husaini dan
Nu’im Hidayat dalam bukunya yang berjudul Islam Liberal,
Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya mengungkap
penafsirannya oleh 3 tokoh, yaitu Nurcholis Madjid (Cak Nur),
Ibnu Katsir dan Hamka.
Menurut Cak Nur , ayat tersebut ditafsirkan : “ Sebuah
firman Allah yang ditujukan  kepada para penganut kitab suci
mana saja , menyatakan bahwa kalau mereka benar-benar
beriman dan bertaqwa, Allah akan mengampuni segala
kejahatan mereka dan memasukkan mereka ke dalam surga-
surga kebahagiaan abadi .Kemudian firman-firman lainnya
yang ditujukan kepada kaum Yahudi dan Nasrani yang
langsung atau tidak langsung menunjukkan pengakuan akan
eksistensi agama dan ajaran mereka -menjanjikan kemakmuran
yang melimpah ruah dari atas mereka (langit) dan dari bawah
kaki mereka (bumi) jika mereka benar-benar menegakkan
ajaran Taurat dan Injil serta ajaran yang diturunkan Tuhan
kepada mereka .“
Sedangkan menurut tafsir Ibnu Katsir “ Jika mereka
mengamalkan apa yang terdapat dalam kitab-kitab mereka dari
para Nabi sebagaimana adanya tanpa mengubah, mengganti,
dan membelokkan maksudnya, niscaya pengamalan itu akan
menuntun mereka kepada kepatuhan atas kebenaran dan
pengamalan sesuai dengan tuntunan Alquran yang dibawa
oleh Muhammad SAW. dan kewajiban mengikutinya.
Adapun menurut penafsiran Hamka “ … Tetapi mereka
tidak mau memegang betul isi kitab mereka, lalu mereka
elakkan kepada penafsiran lain kalau akan bertemu dengan
nama Muhammad, bukan lain sebabnya bukan karena
Muhammad tidak benar, melainkan karena politik belaka.
Karena takut hilang pengaruh, karena tidak suka kebesaran
pindah dari tangan bani Israil ke tangan bangsa Arab) (Husaini
dan Nu’im Hidayat, 2002: 72-74).
Cak Nur berpendapat bahwa orang-orang Yahudi dan
Nasrani adalah merupakan Ahlul Kitab yang masih beraqidah
lurus dan harus diakui keberadaannya. Sedangkan Ibnu Katsir
berpendapat bahwa Ahlul Kitab akan memperoleh karunia
Allah dengan syarat masih berpedoman dengan kitab suci
mereka yang masih asli. Adapun Hamka berpendapat bahwa
kaum Yahudi dan Nasrani telah merubah isi kitab suci mereka.
Dalam hal ini penulis sepakat dengan Ibnu Katsir dan
Hamka, bahwa Ahli Kitab sekarang ini sudah tidak ada lagi,
dan penafsiran Cak Nur kurang tepat, dengan alasan karena
beliau kurang memperhatikan sebagian kaidah penafsiran,
diantaranya kurang memperhatikan hubungan antar ayat,
kurang jujur dalam penukilan riwayat dan terlalu subyektif.
Berkaitan dengan hal ini, Dr. Daud Rasyid, MA.
menyatakan, Cak Nur. Memanipulasi ayat-ayat Alquran
khususnya yang berkaitan dengan ahli kitab. Kekeliruan Cak
Nur yang cukup fatal adalah beranggapan bahwa agama
Yahudi dan Nasrani yang ada sekarang adalah agama yang
dibawa oleh Nabi Musa a.s. dan Isa a.s. Demikian pula kitab
suci Taurat dan Injil adalah kitab suci yang masih sah dan
diakui. Padahal sesungguhnya dalam pandangan Islam, kedua
Nabi dan Rasul tersebut- sebagaimana Nabi dan Rasul yang
lainnya-membawa agama Islam. Jadi Islam adalah agama
seluruh Nabi yang datang dari Allah Swt.
Alquran menceritakan bahwa kitab-kitab suci sebelum
Alquran telah mengalami perubahan, penyelewengan dan pemalsuan
yang dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian
bisa dikatakan bahwa dalam pandangan tauhid, Yahudi dan
Nasrani bukanlah agama yang diakui oleh Islam sebagai agama
Allah. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. al-Baqarah/2: 79

‫فويل للذين يكتب"ون الكتب بأي"ديهم ثم يقول"ون ه"ذا من عندهللا ليش"تروا" ب"ه‬
‫ فويل لهم مما كتبت أيديهم وويل لهم مما يكسبون‬,‫ثمنا قليال‬
“Maka  celakalah  orang-orang  yang  menulis  Al-Kitab
dengan  tangan mereka Sendiri, lalu dikatakannya , ini
dari Allah (dengan maksud) untuk memperoleh
keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka,
celakalah bagi mereka akibat dari apa yang ditulis oleh
tangan mereka sendiri , dan kecelakaan besarlah bagi
mereka akibat dari apa yang mereka kerjakan”
Allah  Swt. juga berfirman dalam Q.S. Ali ‘Imran/3: 19
‫“ إن الدين عند هللا اإلسالم‬Sesungguhnya agama (yang haq) di sisi
Allah adalah Islam”.
Selain itu kaum Yahudi dan Nasrani  termasuk golongan
kaum yang musyrik dan kafir, sebagaimana firman Allah SWT.
dalam Q.S. At-Taubah/9: 30

"‫ ذل""ك ق""ولهم‬,‫وقالت اليهود عزيرابن هللا وق""الت النص""رى" المس""يح ابن هللا‬
‫بأفواههم" يضاهئون قول الذين كفروا من قبل قاتلهم هللا أنى يؤفكون‬
“Orang-orang Yahudi berkata, Uzair itu putera Allah dan
orang Nasrani berkata Al-Masih itu putera Allah. Itu
adalah ucapan mereka dengan mulut mereka. Mereka
meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu.
Dilaknat Allah-lah mereka, bagaimana mereka sampai
berpaling?”               
Oleh karena itu, yang diperintahkan Allah kepada Nabi
Saw. adalah untuk mengakui kitab-kitab suci yang asli yang
tidak dikotori oleh campur tangan manusia. Bukan sembarang
kitab suci. Alangkah dustanya Cak Nur yang menuduh Nabi
Muhammad Saw. diperintah Allah untuk mempercayai kitab
suci manapun (Rasyid, 2006: 55-60). H. Luthfi Bahori
menyatakan di dalam bukunya, Musuh Besar Umat Islam: yang
tergolong orang-orang musyrik adalah kaum majusi
(penyembah api) dan kaum paganis penyembah berhala,
seperti penganut agama Budha, Hindu, Khonghucu, Shinto,
dan sebagainya. Sedangkan menurut mayoritas ulama’ , ahli
kitab (Yahudi dan Nasrani) tidak tergolong kaum musyrikin.
Mereka berpegang teguh pada dhahir Q.S. al-Maidah/5: 5.
Akan tetapi Abdullah bin Umar berpendapat bahwa kaum
Yahudi dan Nasrani adalah termasuk orang-orang
musyrik berdasarkan Q.S. al-Taubah/9: 30, oleh karena itu
beliau mengharamkan secara mutlak perkawinan campur beda
agama. Disamping musyrik, permusuhan abadi zionis Yahudi
dan misionaris Nasrani adalah ancaman yang serius bagi kaum
muslimin (perhatikan Q.S. al-Baqarah/2: 120) (Bashori, 2006:
71-72).
Pendapat Cak Nur tentang Ahli Kitab serta agama
Yahudi dan Nasrani tampaknya berpijak pada subjektifitas
beliau dalam menyimpulkan kandungan Q.S. al-Baqarah/2:
136, Ali ‘Imran/3: 64, al-Nisa/4: 163-165, al-Syura/42: 13 dan
15, dan al-Ankabut/29: 46, yaitu semua agama sama, karena
semuanya mempunyai ajaran yang sama (kalimatun Sawa’).
Kekeliruan dalam menyikapi kaum di luar Islam akan
berdampak besar pada rusaknya aqidah kaum muslimin
sendiri. Apalagi akhir-akhir ini sedang dimunculkan sebuah
gerakan yang berupaya mempersatukan agama-agama sedunia
dalam satu wadah yang misinya adalah memberikan
pemahaman bahwa semua agama pada dasarnya sama, karena
mengajak kepada kebaikan. Pemikiran semacam ini popular
dengan istilah sinkretisme atau wihdatul adyan. Gerakan ini pula
yang menjadi program Jaringan Islam Liberal yang marak
dipasarkan oleh tokoh-tokoh Islam moderat yang bekerja sama
dengan musuh-musuh umat Islam.

E. Kesimpulan
Kaidah tafsir artinya asas, dasar, pedoman atau prinsip
yang digunakan untuk memahami Kitabullah yang diturunkan
kepada Muhammad Saw. menjelaskan makna-maknanya serta
mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
Kaidah tafsir terdiri dari beberapa hal, salah satu
diantaranya adalah kaidah kebahasaan, misalnya kaidah amr
dan nahiy, istifham, mufrad dan jamak serta kaidah kata yang
dikira mutaradif tetapi bukan. Alquran merupakan pedoman
hidup manusia, dikarenakan ayat-ayat Alquran tidak
diturunkan dalam keadaan instant (langsung bisa dipahami
dan diamalkan oleh siapapun) maka Alquran perlu ditafsirkan.
Dalam menafsirkan diperlukan kehati-hatian, tidak seharusnya
seseorang yang belum memenuhi kualifikasi sebagai seorang
mufasir memberanikan diri untuk membuat penafsiran sendiri.
Seharusnya seseorang yang ingin menafsirkan Alquran
menguasai cabang- cabang ilmu yang diperlukan oleh seorang
mufasir serta mematuhi adab-adabnya.
Alquran menceritakan bahwa kitab-kitab suci sebelum
Alquran telah mengalami perubahan, penyelewengan dan pemalsuan
yang dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian
bisa dikatakan bahwa dalam pandangan tauhid, Yahudi dan
Nasrani bukanlah agama yang diakui oleh Islam sebagai agama
Allah Swt.

DAFTAR PUSTAKA

Bashori, H. Luthfi. 2006.   Musuh    Besar  Umat  Islam. Jakarta: 


Lembaga Penelitian   dan Pengkajian Islam.
Departemen  Agama. 1999. Alquran   dan Terjemahannya.
Semarang: CV asy-Syifa.
Gholayainiy, Syaikh  Musthafa. 1994. Jami’ud  Durus
al-‘Arabiyyah. Beirut: Al-Maktaba Al-‘Ashriyyah.
Harun, Salman.1999.  Mutiara   Alquran,  Aktualisasi   Pesan
Alquran  dalam Kehidupan. Jakarta: Logos.
Hasaniy, Muhammad   bin  Alawiy   al-Maliki al-. 1986.
Zubdatul  Itqan  fi Ulumil Qur’an. Dar al-Syuruq.
Husaini, Adian dan Nu’im Hidayat. 2002. Islam Liberal, Sejarah,
Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya. Jakarta:
Gema Insani.
Ibn  Zakariya, Ahmad  ibn   Faris. 1991. Mu’jam   Maqayis    al-
Lughah. Beirut: Dar  al-Jail.
Qaththan,  Manna Khalil al-. 2006. Mabahits  fi Ulumil  Qur’an.
Terj. Membahasa Ilmu-ilmu al-Qur’an.  Jakarta:
Pustaka  Litera Antarnusa.
Rasyid, Daud. 2006. Pembaruan   Islam dan Orientalisme Dalam
Sorotan. Bandung: PT Syaamil Cipta Media.
Shihab, M. Quraish. 2004. Membumikan Alquran. Bandung:
Mizan.
Shihab,Umar.2004. Kontekstualitas   Alquran,   Kajian  Tematik
atas  Ayat-ayat Hukum Dalam Alquran. Jakarta:
Penamadani.
Supiana dan M. Karman. Ulumul Qur’an dan Pengenalan
Metodologi Tafsir. Jakarta: Pustaka Islamika.
Syadali, H. Ahmad, MA. dan H. Ahmad  Rofi’i. 2000. Ulumul
Qur’an II. Bandung: Pustaka Setia.
Zarqoniy, Abd  al-‘Adzim al-. Manahil   al-‘Irfan fi Ulum Alquran.
Mesir: Isa al-Bab Al-Halabi.
BAB II

KAIDAH KEBAHASAAN

A. Al-Qawa’id Al-Lugawiyah dalam Kajian Tafsir


Seseorang yang bermaksud menekuni bidang tafsir
memerlukan beberapa ilmu bantu, diantaranya yaitu kaidah-
kaidah tafsir. Kaidah-kaidah ini sangat membantu para mufasir
dalam rangka tadabbur terhadap ayat-ayat Alquran. Alat bantu
lainnya adalah bahasa Arab, karena Alquran diturunkan
dengan menggunakan bahasa tersebut (Q.S. Yusuf /12: 2).
Selain itu seorang mufasir juga harus memahami ilmu ushul al-
fiqh, karena dengan ilmu ini sesorang mufasir akan
memperoleh kemudahan dalam menangkap pesan-pesan
Alquran.
Redaksi ayat-ayat Alquran tidak dapat dijangkau
maksudnya secara pasti, kecuali oleh Allah sendiri. Hal ini
membuahkan keanekaragaman penafsiran. Para sahabat Nabi
pun tidak jarang berbeda pendapat dalam menafsirkan dan
menangkap pesan-pesan firman Allah Swt. (Abdat, 2005: 59).
Ibnu 'Abbas r.a., yang dinilai sebagai sahabat nabi yang paling
mengetahui maksud firman-finnan Allah Swt., menyatakan
bahwa tafsir terdiri dari empat bagian (al-Zarkasyi, t.th: 164),
yaitu:
1. Bagian yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-
orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka.
2. Bagian yang tidak ada alasan bagi seseorang
untuk tidak mengetahuinya.
3. Bagian yang tidak diketahui kecuali oleh ulama.
4. Bagian yang tidak diketahui kecuali oleh Allah Swt., dan
siapa yang membuat pernyataan bahwa ia mengetahui
maka ia pendusta.
M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa ada tiga
komponen yang tercakup dalam kaidah-kaidah tafsir,
sebagai berikut: Pertama, ketentuan-ketentuan yang harus
diperhatikan dalam menafsirkan Alquran. Kedua, sistematika
yang hendaknya ditempuh dalam menguraikan penafsiran.
Ketiga, patokan-patokan khusus yang membantu pemahaman
ayat-ayat Alquran, baik dari ilmu bantu, seperti bahasa dan
ushul al-fiqh, maupun yang ditarik langsung dari penggunaan
Alquran (Shihab, 2006: 154).
Para mufasir mengingatkan agar dalam memahami atau
menafsirkan ayat-ayat Alquran seseorang harus
memperhatikan segi-segi bahasa Alquran serta korelasi antar
surat tanpa mengabaikan kaidah-kaidah kebahasaan. Orang
yang berbicara dan menulis tafsir Alquran tanpa memiliki
pengetahuan yang memadai tentang kaidah dan aturan bahasa
Arab, cenderung melakukan penyimpangan dalam
menafsirkan Alquran dan memberikan etimologis, arti hakiki,
maupuii arti majazi.
Menurut al-Zamakhsyari, salah satu coutoh penafsiran
yang keliru, dalarn hal bahasa adalah penafsiran tentang Q.S.
Al-Isra’/17: 71, Allah Swt. berfirman, sebagai berikut:
        
     
 
Terjemahnya:
“(Ingatlah) pada hari (ketika) Kami panggil setiap umat dengan
pemimpinnya; dan barangsiapa diberikan catatan amalnya di
tangan kanannya mereka akan membaca catatannya (dengan
baik), dan mereka tidak akan dirugikan sedikitpun” (Depag RI,
2005 : 289).
Kata imam dalam ayat tersebut dipahami sebagai bentuk
jamak dari kata umm yang berarti ibu. Dengan demikian ayat
itu berkonotasi bahwa di akhirat kelak setiap orang akan
dipanggil melalui nama ibunya. Hikmahnya untuk
menghormati Nabi Isa, menyatakan kemuliaan Hasan dan
Husain, serta untuk tidak mempermalukan anak zina.
Interpretasi seperti ini adalah tafsiran yang menyimpang,
bahkan menurut al-Zamakhsyari tafsiran semacam ini adalah
mengada-ada (al-Zamakhsyari, 1998: 537; al-Suyuti, t.th.: 443).
Penafsiran yang benar adalah kata "imam" dipahami sebagai
sesuatu yang dijadikan pemimpin oleh orang yang
bersangkutan seperti Nabi, pemimpin agama, kitab, atau
agama (al-Suyuti, t.th.: 443).
Untuk menghindari kesalahan-kesalahan seperti tersebut
di atas, maka para ahli membuat kaidah-kaidah tafsir, salah
satunya adalah al-qawa'id al-lughawiyah sebagaimana yang akan
dibahas dalam makalah ini.
B. Pengertian al-Qawa‘id al-Lughawiyyah
Al-qawa'id al-lughawiyah artinya kaidah-kaidah
kebahasaan, Khalid ibn 'Usman al-Sabt menjelaskan bahwa al-
qawa'id al-lughawiyah yang dimaksud dalam pembahasan ini
adalah kaidah-kaidah yang terkait dengan bahasa, nahwu
(sintaksis) dan sahraf (morfologi) (al-Sabt, 2000: 248).
B. Al-Qawa'id al-Lugawiyyah
Ada delapan kaidah kebahasaan yang akan dibahas
dalam makalah ini, sebagai berikut:

1. Kaidah Pertama:

.‫ أو بنظيره فَهُو" األولى‬,‫الكالم بِ َما يليه‬


ِ ‫َمه َما أمكن إلحاق‬
Artinya:
Hubungan kata baik sesudahnya atau yang sepadan itu lebih
diprioritaskan (al-Sabt, 1996: 6).
Tidak diragukan lagi bahwa bahasa Alquran mencapai
kesempurnaan balagah, dan telah dimaklumi bahwa
menghubungkan antara suatu kalimat dengan kalimat sebelum
atau sesudahnya itu lebih kokoh ditinjau dari sudut kefasihan
dan kebalagahan bahasa membedakan makna-makna kalimat
dan memisah-misahkannya (al-Sabt, 1996: 249).
Contoh penerapan terhadap kaidah ini, dalam Q.S. Al-Nisa’/4 :
127, Allah Swt. berfirman, sebagai berikut:
        
        
      
     
          

Terjemahnya:
“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang perempuan.
Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka,
dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Alquran (juga
memfatwakan) tentang perempuan yatim yang kamu tidak
berikan sesuatu (maskawin) yang ditetapkan untuk mereka,
sedang kamu ingin menikahi mereka dan (tentang) anak-anak
yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu)
agar mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa
pun yang kamu kerjakan, sesungguhnya Allah adalah Maha
mengetahui” (Depag RI, 2005: 98).
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat
wa ma yutla 'alaykum fi al-kitab (dan apa yang dibacakan
kepadamu dalam Alquran), dalam beberapa pendapat (al-
Tabari, 2003 : 531).

a. Pendapat pertama menyatakan bahwa yang dimaksud


apa yang dibacakan kepada mereka adalah ayat tentang
pembagian harta pusaka yaitu Q.S. An-Nisa/4: 11,
       
        
         
          
        
          
        
           
  
Terjemahnya:
Allah mensyari'atkan (mewajibkan) kepadamu tentang
(pembagian warisan untuk) anak-anakmu. (Yaitu) bagian
seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang
jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang
saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan).
Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam
dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal)
mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai
anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal)
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah
(dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar)
hutangnya. (Tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih banyak
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah, Sungguh,
Allah Maha mengetahui, Maha bijaksana (Depag RI, 2005: 78).

b. Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dimaksud


adalah Q.S. An-Nisa’/4: 176, sebagai berikut :
       
         
           
       
       
          
Terjemahnya:
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah),
Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah
(yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak
tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya
(saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi
(seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai
anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika
mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki
dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama
dengan bagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat.
Allah Maha mengetahui segala sesuatu (Depag RI, 2005: 106).

c. Pendapat yang ketiga menyatakan bahwa yang


dimaksud adalah Q.S. Al-Nisa/4: 3,
         
        
         
 
Terjemahnya:
Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak
akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau
hamba sahaya yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim (Depag RI, 2005: 77).
d. Pendapat yang keempat menyatakan bahwa ayat ini
turun kepada Nabi Muhammad Saw. Berkenaan
pertanyaan beberapa orang di kalangan sahabat tentang
masalah perempuan, dan mereka tidak mempersoalkan
apa yang telah mereka lakukan, lalu Allah Swt. memberi
fatwa kepada mereka tentang hal-hal yang mereka
kemukakan dan yang tidak. Menurut sebab turunnya
maka wa ma yutla 'alaykum fi al-kitab ini maksudnya
tentang Q.S. al-Nisa/4: 128. Dan, yang dipertanyakan oleh
sahabat tersebut tentang wanita yatim, maka Allah
berfirman dalam Q.S. al-Nisa/4: 127.
2. Kaidah Kedua:
‫المض"ارع بع"د لفظ"ه ك"ان ت"دل على ك"ثرة التك"رار والمداوم"ة على ذل"ك‬
.‫الفعل‬
Artinya:
Ungkapan mudari’ setelah lafal kana menunjukkan bahwa
perbuatan tersebut sering terulang dan kontinyu (al-Sabt, 2000:
6).
Untuk mempermudah pemahaman terhadap kaidah ini,
dapat dilihat dalam contoh-contoh sebagai berikut:

a. Dalam Q.S. Maryam/19: 55, Allah Swt. berfirman:


……    
Terjemahannya :
Dan dia menyuruh keluarganya untuk (melaksanakan)
salat dan (menunaikan) zakat (Depag RI, 2005: 309).
Kata ya’muru merupakan fi’il mudhari’ yang terletak
sesudah kata kana. Menurut kaidah kedua, ini menunjukkan
bahwa Nabi Ismail a.s. "selalu" memerintahkan keluarganya
agar melaksanakan salat dan mengeluarkan zakat.

b. Q.S. Al-Jinn/72: 6, Allah berfirman:


        
  
Terjemahnya:
Dan sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki dari kalangan
manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-
laki dari jin, tetapi mereka (jin) menjadikan mereka (manusia)
bertambah sesat (Depag RI, 2005: 572).
Kata ya'udzuna (meminta perlindungan) merupakan fi'il
mudhari' yang mengandung damir “hum” yang terletak setelah
kana. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan meminta
perlindungan kepada jin itu sering dilakukan oleh banyak
orang.
c. Q.S. Al-Jinn/72: 4, Allah berfirman:
       
Terjemahnya:
Dan sesungguhnya orang yang bodoh di antara kami dahulu
selalu mengucapkan (perkataan) yang melampaui batas
terhadap Allah (Depag RI., 2005: 572).
Kata yaqulu (dia berkata) dalam ayat ini terletak sesudah
kata kana, ini menunjukkan bahwa perkataan yang melampaui
batas terhadap Allat Swt. itu sering atau dilakukan secara
berulang-ulang oleh orang-orang safih (orang bodoh) di
kalangan mereka.
d. Q.S. Al-Baqarah/2: 61, Allah Swt. berfirman;
     ……
Terjemahnya:
... yang demikian itu karena mereka durhaka dan melampaui
batas (Depag RI., 2005: 9).
Kata ya'tadun (melampaui batas) merupakan fi'il mudari’
terletak sesudah kata kanu. Menurut kaidah kedua, perbuatan
melampaui batas itu menunjukkan seringnya terjadi.
e. Q.S. Al-Anbiya'/21: 90, Allah Swt. berfirman;
……    
  ……
Terjemahnya:
Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan)
kebaikan dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan
cemas (Depag RI., 2005: 329).
Kata yusari'una (bersegera) terletak sesudah kata kanu.
Dapat dipahami bahwa dalam hal-hal yang baik mereka selalu
bersegera.
3. Kaidah Ketiga:

‫ والفعليةُ تدل على التح ُد ِد‬,‫ت‬


ِ ‫الدوام والثبو‬
ِ ‫الجملةُ اإلسميةُ تدل على‬
Artinya:
Al-jumlat al-ismiyah itu menunjukkan makna terus-menerus dan
tetap, dan al-jumlah al-fi'liyyah menunjukkan makna selalu
diperbaharui/ berulang.
Al-Jumlat al-Ismiyah adalah tiap-tiap jumlah yang tersusun
dari mubtada' dan khabar yang dimulai dengan ism. Adapun al-
jumlah al-fi'liyyah, yaitu tiap-tiap jumlah yang tersusun dari fi’il
(vervba) dan fa’il (pelaku) yang dimulai dengan fi’il (Jarim dan
Mustafa Amin, 1999: 40-46).
Penerapan kaidah al-jumlat al-lsmiyyah, contohnya firman
Allah dalam Q.S. Al-Kahfi/ 18: 18, sebagai berikut:
……   …..
Terjemahnya:
…..Sedang anjing mereka membentangkan kedua lengannya di
depan pintu gua…. (Depag RI., 2005: 295).
Kata basith menunjukkan bahwa cara tersebut tidak
berubah. Berbeda bila disebut yabsuthu maka cara anjing itu
membentangkan lengannya di depan pintu gua berubah.
Penerapan kaidah al-jumlah al-fi'liyyah., contohnya antara lain:
a. Q.S. Al-Anfal/8: 3, Allah Swt. berfirman:
     

Terjemahnya:
(Yaitu) orang-orang yang melaksanakan salat dan yang
menginfakkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada
mereka (Depag RI., 2005: 177).
Kata yuqimuna (mendirikan) dan yunfiquna (berinfak)
menunjukkan bahwa perbuatan tersebut terjadi berulang-
ulang.
b. Q.S. Fathir/35: 3, Allah Swt. berfirman:
……       
 …..
Terjemahnya:
... adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki
kepadamu dari langit dan bumi? ... (Depag RI., 2005: 434).
Al-Razi (1981: 4) berkomentar mengenai ayat ini, sebagai
berikut:

‫ب""الرزق إلى‬
"ِ ‫واألرض) إش""ارةٌ إلى نِع َم"" ِة اإلبق""ا ِء‬
ِ ‫(ي""ر ُز ُك ُكم" من الس""ما ِء‬
‫اإلنتِها ِء‬
Ayat ini memberi isyarat bahwa pemberian nikmat
secara terus menerus berupa rezki itu sampai akhir.
c. Q.S. Yusuf/12: 16, Allah Swt. berfirman:
    

Terjemahnya:
Kemudian mereka datang kepada ayah mereka pada petang
hari sambil menangis (Depag RI., 2005: 327).
Kata-kata "yabkun” yang berarti menangis, dalam ayat ini
menunjukkan bahwa setiap kali mereka datang kepada Nabi
Ya'qub, pasti mereka selalu menangis walau hanya dengan
pura-pura menangis, karena memang demikianlah sifat
kebiasaan orang-orang yang suka menipu dan berdusta. Ha;
dikemukakan oleh Ibn ‘Ali al-Andalusi, al-Bahr al’Muhith fi al-
Tafsir pada tafsir Q.S. Yusuf/12 : 16.
4. Kaidah Keempat:

ِ ‫ال ُمخالفةُ بين إعرا‬


‫ب المعطوفِيَنَ يدُل على معنَيَي ِه َما‬
Artinya:
Perbedaan i'rab di antara dua ma'tuf menunjukkan perbedaan
makna keduanya (al-Sabt, 2000: 6).
Adapun contoh penerapan dari kaidah ini, firman Allah
Swt. dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 197, sebagai berikut;
        
      
Terjemahnya:
(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi.
Barang siapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan)
itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat
dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji ... (Depag RI.,
2005: 31).
Ada perbedaan dalam qira'at ayat ini, Ibnu Kasir dan ahl
al-Basrah misalnya membaca ‫ ﻕﻮﺴﻓﻻﻭ ﺚﻓﺭﻼﻓ‬dengan rafa’ tanwin,
sedangkan ‫ ﻝﺍﺪﺟﻻﻭ‬dengan nasab (al-Bagawi, 1997: 226). Ibnu
Kasir dan ahl al-Basrah membaca demikian karena menurutnya
yang pertama bermakna al-nahyu (larangan) untuk melakukan
rafats dan berbagai pelanggaran. Sedang yang kedua bermakna
al-nafyu (penegasian) terhadap percekcokan (al-Sabt, 2000: 256).
Ada juga yang membacanya dengan mem-fathat-kan semua,
alasannya, kalau semua dibaca fathah itu lebih mengena kepada
maksud dan tujuannya karena menafikan segala bentuk rafats
dan fusuq.
Intinya, perbedaan i'rab diantara dua yang ma'thuf
menunjukkan adanya perbedaan makna. Seperti contoh
tersebut bila dibaca dhammatayn maka maknanya berarti
larangan, bila dibaca fathah maka maknanya adalah
menegaskan.
5. Kaidah Kelima:

‫" الَ تفضيل‬,‫القرأن واللغةُ ُمرا ٌد بِها األتصاف‬


ِ ُ ‫صي َغةُ التفضي ِل قًد تطل‬
‫ق فى‬
.‫شيئ‬
ٍ ‫ئ على‬
ٌ ‫شي‬
Artinya:
Shigat al-tafdhil (ungkapan yang berbentuk melebihkan sesuatu
dari yang lain) di dalam Alquran dan bahasa Arab terkadang
secara mutlak ditujukan untuk menyebut sifat sesuatu, tidak
ada kelebihan antara yang satu dari yang lain (al-Sabt, 1996: 6).
Al-Zarkasyi (t.th.: 126) mengemukan kaidah bahwa pada
asalnya af’al al-tafdhil menunjukkan sesuatu yang lebih utama.
Namun bila keutamaan di antara keduanya berbeda sifatnya
maka hal ini menyalahi ketentuan asal.
Kaidah pokok ini biasa terpakai apabila suatu kalimat
bersifat tawqif (ketetapan) dan tawbikh (celaan), akan tetapi bila
suatu kalimat berbentuk khabar, maka al-tafdhil diantara
keduanya terhalangi karena maknanya tidak sesuai. (al-Sabt,
2000: 258).
Dalam hal ini, salah satu contoh yang dapat dikemukakan
adalah penjelasan Ibnu Hajar al-'Atsqalani (t.th.: 155) ketika
mensyarah sabda Rasulullah Saw.

Yang menyatakan :
‫أفع""ل رُبم""ا ج""اءت لِنفي المع""نى عن‬ َ ‫وحك""و" بعض علمل ِء العربي"" ِة أن‬
َ
,‫الشيئي ِن نحو قوله تعالى "أهُم خ""ي ٌر أم ق""وم تُب""ع" أي الَ َخ""ي َر فى الف""رقَين‬
‫ فعلى ه""ذا‬,‫"ير فيهم""ا‬ َ "‫ الش""يطانُ خ""ي ٌر من فُال ٍن أي ال خ‬:‫ونحو ق""ول القائ""ل‬
.‫فمعنى قولهُ "نحنُ أ َحق بالشك ِمن إبراهيم" الشك عندنا جميعًا‬
Artinya:
Beberapa pakar bahasa Arab mengemukakan bahwa sigat af’al
kadang-kadang menafikan makna (al-tafill) di antara keduanya.
Contohnya firrnan Allah ta’ala: (apakah mereka lebih baik dari
kaum Tubba'?) maknanya tidak ada yang baik di antara
keduanya. Contoh lain, seseorang berkata, "Syaitan lebih baik
dari si-Fulan," maknanya keduanya, tidak ada yang baik. Oleh
karenanya, sabda Rasulullah Saw. (al-Sabt, 2000: 6).
‫ نحن بالش""ك من إب""راهيم‬, maknanya kita semua tidak ada
keraguan.
6. Kaidah Keenam:

. ‫تُفه ُم معانى األفعال على ضوء ما تتعدى به‬


Artinya:
Makna af’al dipahami berdasarkan keterangan yang
menyertainya (al-Sabt, 2000: 6).
Kata kerja nazhara ( ‫ )ﺮﻆﻧ‬apabila ia berdiri sendiri berarti
berhenti dan menunggu. Contohnya, Q.S. Al-Hadid/57: 13,
Allah Swt. berfiman:
……   …….
Terjemahnya:
... "Tunggulah kami! Kami ingin mengambil cahayamu" ...
(Depag RI., 2005: 539).
Apabila kata nazhara diiringi dengan ila berarti
menyaksikan sesuatu dengan mata kepala. Sebagaimana dalam
Q.S. Al-Qiyamah/75: 22-23, sebagai berikut:
       
Terjemahnya:
Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
Memandang Tuhannya (Depag RI, 2005: 578).
Makna “melihat Tuhan” dengan mata kepala di akhirat
kelak pada ayat ini tidak disetujui oleh kalangan Muktazilah,
karena menurut mereka Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata
dan tidak dapat dicapai oleh penglihatan bukan karena adanya
hambatan tetapi karena zat-Nya mustahil dilihat (Abd al-
Jabbar, 1965: 139). Mereka berdalil dengan Q.S. Al-An'am/6:
103, sebagai berikut:
      
 
Artinya :
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia
dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah yang Maha
halus, Maha teliti (Depag RI., 2005: 141).
Ayat ini menurut 'Abd al-Jabbar (1969: 255 & t.th.: 135).
secara jelas menunjukkan bahwa Allah Swt. sama sekali tidak
dapat dilihat dengan mata kapan dan di mana saja, mengingat
bahwa penegasian yang terdapat dalam ayat tersebut tidak
terkait dengan waktu dan tempat tertentu.
Q.S. Al-Qiyamah/75: 23 tersebut bahkan tidak
menunjukkan bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata,
dengan alasan bahwa kata al-nazhar (memandang) berbeda
dengan al-ru'yah (melihat). Lagi pula jika Tuhan dapat dilihat
dengan mata berarti Ia menempati tempat tertentu, dengan
demikian Ia termasuk jism, sedang Tuhan bukan jism. Oleh
karena demikian, “memandang Tuhan” mesti dipahami secara
majazi yakni yang dipandang bukan zat-Nya tetapi pahala
yang diberikan-Nya (Abd al-Jabbar, 1965: 245 & t.th.: 573, al-
Zamakhsyari, t.th.: 270).
Apabila kata nazhara diiringi dengan fi berarti berfikir dan
mengambil satu pelajaran. Sebagaimana dalam Q.S. Al-A’raf/7:
185, sebagai berikut:
……     …….
Terjemahnya:
Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan
bumi ... (Depag RI., 2005 : 174).

7. Kaidah Ketujuh:
.
‫التعقيب بالمصدر" يُفي ُد التعظيم او الدوام‬
Artinya:
Penggunaan mashdar menunjukkan pengagungan atau celaan
(al-Sabt, 2000: 6).
Contohnya: Q.S. al-Naml/27: 87-88, sebagai berikut:
          
          
         
        

Terjemahnya:
Dan (ingatlah) pada hari (ketika) sangkakala ditiup, maka
terkejutlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi,
kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Dan semua mereka
datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri. Dan
engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap
di tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan.
(Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala
sesuatu. Sungguh, Dia Maha teliti apa yang kamu kerjakan
(Depag RI., 2005: 384)
Dalam menafsirkan ayat tentang ‫ ﷲ ﻊﻨﺻ‬al-Syawkany
mengemukakan bahwa menurut pendapat al-Khafil, Sibawayh
dan lain-lain kata sun'a merupakan mashdar yang di-manshub-
kan, yang maknanya Allah pasti berbuat demikian. Ada juga
yang berpendapat bahwa kata shun'a merupakan mashdar
mu'akkad. Disamping pendapat yang menyatakan bahwa
manshub-nya itu karena ada kata yang tersembunyi yaitu ‫ﷲ ﻊﻨﺻ‬
‫( ﺍﻭﺮﻆﻧﺍ‬al-Syaukani, t.th.).
Khalid ibn 'Usman al-Sabt mengutip pernyataan
Sulaiman ibn ‘Abd al-Qawiy al-Sarsariy al-Bagdadiy dari
kitabnya, al-Iksir fi 'Ilm al-Tafsir, bahwa kata shun'a
mengisyaratkan keagungan dan kebesaran Allah Swt. dan
kekuasaanya, berupa tiupan sangkakala sehingga pada waktu
itu segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi ketakutan,
hingga datang menghadap Allah dengan rasa hina, gunung-
gunung berterbangan bagaikan awan yang tertiup angin.
Pandanglah perbuatan Allah, betapa agungnya (al-Sabt, 2000:
264).
Demikian pula mashadir al-mu'akkadah yang lain seperti,
kata shibgatallah dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 138, kata wa'dallah
dalam Q.S. Al-Rum/ 30: 6, kata fithratallah dalam Q.S. Al-
Rum/30: 30 (al-Sabt, 2000: 264)
8. Kaidah Kedelapan:
‫ إذا ضُم إليه""ا مثله""ا ج""از‬,‫اإلنسان من أجزاء المفردة ال تتعدد‬
ِ ‫ما فى جسم‬
ُ,‫ التثني"ة‬:‫ الث""انى‬,ُ‫ وه""و األك""ث ُر واألفص"ح‬,‫ الجم""ع‬:‫ األول‬.‫فيها ثالثة أوجه‬
.‫ اإلفراد‬:‫الثالث‬
Artinya:
Organ tunggal manusia tidak dianggap berbilang, bila ia
digabungkan dengan kata berbilang. la boleh berubah kepada
tiga bentuk, yang pertama dalam bentuk jamak yang banyak
terpakai dan dianggap paling fasih. Yang kedua, bentuk al-
tasniyah (dua). Dan yang ketiga, al-ifrad (tunggal) (al-Sabt, 2000:
6).
Contoh kaidah ini dapat diterapkan dalam Q.S. Al-Tahrim/66:
4, sebagai berikut:
 .......   
Terjemahnya:
Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sungguh, hati
kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan) ,..
(Depag RI., 2005: 560).
Al-Razi mengemukakan bahwa yang dimaksud qulub
(dalam bentuk jamak) pada ayat ini adalah al-tasniyah (al-Razi,
1981: 44; al-Syinqiti, 2003: 2034). Ibnu Hazm (2004: 496)
berkomentar mengenai ayat ini sebagai berikut:

.
‫ وقد" نَقَ َل النحويون هذا الباب‬,‫هذا بابٌ محفوظٌ فى الجوار خاصة‬

Artinya:
Bab ini secara khusus hanya untuk anggota badan saja, para
ahli nahwu telah memberitahukan bab ini.
F. Penegasan
Dari pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
qawa'id al-lughawiyah yang dimaksud adalah kaidah-kaidah
yang terkait dengan bahasa, nahwu, dan sharaf. Kaidah-kaidah
tersebut, antara lain adalah:
1. Menghubungkan suatu ungkapan dengan kata sesudahnya
atau yang sepadan dengannya lebih diprioritaskan karena
hal tersebut lebih mengena dan lebih fasih ditinjau dari sisi
bahasa dan balagah.
2. Fi’il mudhari' yang berada sesudah kata kana itu
menunjukkan bahwa fi’il itu terjadi berulang-ulang dan
terus-menerus.
3. Kalimat dalam bentuk al-jumlah al-Ismiyyah mengandung
makna tetap dan tidak berubah. Sedang kalimat dalam
bentuk al-jumlah al-fi'liyyah mengandung makna berulang.
4. Perbedaan i'rab dari dua kata yang ma'thuf menunjukkan
adanya perbedaan makna.
5. Dalam Alquran dan bahasa Arab ungkapan/shigat al-tafdhil
terhadap sesuatu secara mutlak terkadang menunjukkan al-
Ittishaf (penyifatan), bukan untuk menunjukkan bahwa
diantara salah satunya ada kelebihan.
6. Makna-makna al-af’al (kata-kata kerja tertentu) dapat
dipahami menurut keterangan-keterangan yang
menyertainya, seperti kata raghiba ’an yang berarti “benci”
dan ragiba fi berarti “cinta”.
7. Penegasan pemakain kata dalam bentuk mashdar
mengandung makna al-ta'zhim (pengagungan) atau al-zamm
(celaan).
8. Dalam bahasa Arab, organ tunggal manusia, bila disebut
dalam bentuk jamak tidak menunjukkan bahwa organ
tunggal itu lebih dari satu.

DAFTAR PUSTAKA
Abdat, Abdul Hakim bin Amir. 2005. al-Masa'il…, Jilid V, Cet.
I; Jakarta: Darus Sunnah Press.
Zarkasyi, Badr al-Din Muhammad ibn 'Abdillah al-. al-Burhan
fi 'Ulum al-Qur'an, Juz II, al-Qahirah: Maktabat Dar al-
Turats.
Shihab, Muhammad Quraish. 2006. Membumikan al-Qur'an:
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat.
Cet. XXIX; Bandung: Penerbit Mizan.
Departemen Agama RI., 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Cet.
X; Bandung: CV Penerbit Diponegoro,
Zamakhsyari, Abu al-Qasim Jarullah Mahmud ibn 'Umar al-.
1418 H./1998 M. al-Kasysyaf 'an Haqa'iq Gawamid al-
Tanzil wa 'Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta'wil. ditahqiq
oleh 'Adil Ahmad 'Abd al-Mawjud, et al., Juz III, Cet. I;
Riyadh: Maktabat al-'Abikan,
Suyuthi, Jalal al-Din al-. al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an. dalam al-
Maktabat al-Syamilah Versi 2 [CD-ROM].
Sabt, Khalid ibn 'Usman al-. 2000. Qawa’idal-Tafsir: Jam’an wa
Dirasatan. Jilid I, Cet. I; t.t. : Dar Ibn 'Affan.
Sabt, Khalid ibn ‘Usman al-. 1417 H./1996 M. Muktasar fi
Qawa’id al-Tafsir. Cet. I; KSA: Dar Ibn ‘Affan.
Thabari, Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir al-. 1424 H./2003 M.
Jami al-Bayan 'an Ta'wil Ayi al-Qur’an. ditahqiq oleh
‘Abdullah ibn 'Abd al-Muhsin al-Turki, Juz VII, Cet. I;
al-Qahirah: Markaz al-Buhuts wa al-'Arabiyyah wa al-
Islamiyyah bi Dar Hijr.
Amin, ‘Ali Jarim dan Mustafa. 1999. al-Nahw al-Wadhih fi
Qawa’id al-Lughat al-‘Arabiyyah. Juz I, Al-Qahirah: Dar
al-Ma’arif.
Razi, Muhammad Fakhr al-Dan ibn Diya’ al-Din ‘Umar al-.
1401 H./1981 M.Tafsir al-Razi aw Tafsir al-Kabir wa
Mafatih al-Gayb, Juz XXVI (Cet. I; Beirut : Dar al-Fikr.
Andulusi, Abu Hayan Muhammad Ibn Yusuf Ibn ‘Ali al-
Andalusi, al-Bahr al’Muhith fi al-Tafsir. dalam al-
Maktabat al-Syamilah Versi 2 [CD-ROM].
Bagawi, Abu Muhammad al-Husyen ibn Mas’ud al-. 1417
H./1997 M. Ma’alim al-Tanzil. ditahqiq oleh
Muhammad ‘Abdullah al’Namr, et al., Juz I, Cet. IV;
T.T.: Dar al-Tayyibah.
Ibn ‘Ali, Abu al-Fadhl Syihab al-Din Ahmad (Ibnu Hajar).
al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Sahihh al-Bukhari. Juz X,
dalam al -Maktabat al-Syamilah Versi 2 [ CD-ROM].
Abd al-Jabbar, Al-Qadi. 1965. al-Mugrni fi Abwab al-Tawhid wa
al-'Adl. Juz IV, al-Qahirah: Dar al-Misriyyah.
Abd al-Jabbar, Al-Qadi. 1969. Mutasyabih al-Qvr'an. Jilid II, al-
Qahirah: Dar al-Turas.
Abd al-Jabbar, al-Qadhi. Tanzih al-Qur'an 'an al-Mata'in. Beirut:
Dar al-Nahdat al-Haditsah.
Abd al-Jabbar, al-Qadhi. 1965. Syarb al-Ushul al-Kbamsab. al-
Qahirah: Maktabat Wahbah.
Syawkani, Muhammad 'Aliy al-. Fath al-Qadir. dalam al-
Maktabat al-Syamilah Versi 2 [CD-ROM].
Syinqiti, Muhammad al-Amin ibn Al-Mukhtar al-. 1424
H./2003 M. Adwa’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Cet. I;
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Zahiri, Abu Muhammad ‘AIi ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm
al-. 1424 H./2004 M. al-Ihkam fi Usul al-Ahkam. Jilid I,
Cet. I: Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.

BAB II
KAIDAH AL-DHAMA’IR

A. Kaidah al-Dhamair
Alquran diturunkan dengan berbahasa Arab. Allah
telah menyebut Alquran dengan “Alquran yang berbahasa
Arab” di dalam Q.S. Yusuf/12: 2 “Sesungguhnya Kami
menurunkannya berupa Alquran dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya” (Depag RI., 1990: 348). Tidak diragukan lagi
bahwa “kearaban” yang dimaksud disini adalah segi
kebahasaannya, bukan ras dan etnik, meski bangsa Arab
merupakan pembawa atau penerima risalah Islam pertama di
dunia ini (al-Gazali, 1991: 233). Bahasa Arab berbeda dengan
bahasa Inggris, bahasa Arab begitu hemat kata-kata dan
singkat, namun jelas maksudnya. Alquran dengan bahasa
Arabnya mudah dipahami oleh masyarakat Arab, tetapi risalah
ini ditujukan untuk semua bangsa, semua orang, tanpa kecuali.
Kendati bangsa-bangsa lain tidak mengerti seluk-beluk bahasa
Arab, namun wajib untuk membaca Alquran dengan bahasa
Arab sekaligus memahaminya sesuai dengan konteks
diturunkannya ‘risalah ini (al-Gazali, 1991: 237).
Karena Alquran diturunkan dengan menggunakan
bahasa Arab, maka seorang tidak mungkin bisa menafsirkan
ayat-ayat Alquran dalam rangka penggalian dengan baik tanpa
mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab. Kaidah-kaidah yang
diperlukan para mufasir dalam memahami Alquran terpusat
pada kaidah-kaidah bahasa, pemahaman dan asas-asasnya,
penghayatan uslub-uslubnya dan penguasaan atasnya (al-
Qaththan, 2005: 260).
Berdasarkan hal itu, Imam Aal-Suyuti dalam al-Itqan
menyebutkan bahwa salah satu ilmu yang harus dikuasai oleh
seorang mufasir adalah mengetahui ilmu bahasa Arab dan
kaidah-kaidahnya yang mencakup ilmu nahwu, sharf, dan ilmu
isytiqaq (al-Suyuti, 2006: 176). Bahkan Imam Malik berkata:
“Tidaklah akan diberikan kepada orang yang tidak mengetahui
bahasa Arab lalu dia menafsirkan Kitab Allah, melainkan
hukuman dan siksa saja”. Imam Mujahid juga berkata: “Tidak
halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir
berkata tentang kalamullah, manakala dia tidak mengetahui
bahasa Arab” (al-Suyuti, 2006: 180).
Salah satu kaidah yang harus dipahami dengan baik
oleh seseorang yang ingin mendalami makna ayat-ayat
Alquran adalah kaidah al-Dhamair. Hal ini sangat penting,
sebab menurut kaidah pokok, kesesuaian semua kata ganti
(dhamir) dengan kata yang ditunjuk (betujuan untuk
menghindari terjadinya kekacauan (tasytit) dalam sebuah
kalimat, sehingga pengetahuan terhadap kaidah “dhamir“ ini
penting untuk dipahami.

B. Pengertian al-Dhamair
Kata al-dhamair merupakan bentuk jamak dan dhamir,
sebagaimana dikutip oleh KhaIid ibn ‘Usman al-Sabt dan kitab
al-Mu‘jam al-Wasith dan kitab Mu jam al-I’rãb wa al-Imlã’,
dikatakan bahwa menurut para ahli nahwu Daruffrada’ah
sesuatu yang menunjuk kepada yang berbicara seperti kata
“saya”, atau lawan bicara seperti kata “kamu” atau menunjuk
orang ketiga seperti kata “dia” (al-Sabt, 2000: 399).
Di dalam buku Antuan al-Dahdah dikatakan bahwa
dhamir adalah kata yang nienggantikan seseorang baik itu
orang ketiga (gaib), atau orang kedua (mukhathab) dan orang
pertama (mutakallim) (al-Dahdhah, 1994: 93). Sedangkan
Ahmad Warson Munawwir menulis bahwa dhamir menurut
bahasa berarti perasaan, angan-angan atau batin seseorang.
“Adhmara al-amra” berarti menyembunyikan sesuatu, al-
mudhmar berarti yang samar atau tersembunyi (Munawwir,
1997: 829). Hal ini senada di dalam Kamus Kontemporer Arab
Indonesia, kata dhamir berarti hati nurani atau suara Sedangkan
dalam pengertian ilmu bahasa, kedua kamus ini
menyimpulkan bahwa dhamir adalah “kata ganti nama” atau
“pronoun” (Mudlor, 1998: 12121).

B. Kaidah-Kaidah al-Dhamair
.‫ا األصل وضع الضمير لإلختصار‬

1. Kaidah Pertama

Artinya: Asal mula diletakkannya damir adalah untuk


meringkas kalimat (al-Suyuti, 2006: 186).
Sebagai contoh, Firman Allah dalam Q.S. Al-
Ahzäb/33: 35.
Terjemahnya:
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim,
laki-laki-dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan
perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki
dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan
yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk,
laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki
dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan
perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki
dan perempaun yang banyak menyebut (nama) Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan
pahala yang besar.
Dhamir ‫ هم‬pada kata ‫ لهم‬berfungsi sebagai pengganti
puluhan lafal yang terletak sebelumnya dimulai lafaf ‫المس لمين‬
sampai kepada ‫والذاكرات‬. Dengan demikian, tanpa pengulangan
lafal-lafal tersebut, maksud yang dikehendaki dan ayat itu
sudah tercapai. Fungsi utamanya dhamir pada ayat ini adalah
untuk meningkas kalimat.

2. Kaidah Kedua:

‫إذا ك ان فى األي ة ض مير يحتم ل ع ودة إلى أك ثر من م ذكور‬


.‫ حمل عليه‬,‫وأمكن الحمل على الجميع‬

Artinya: Apabila ada damir di dalam satu ayat yang


tempat kembalinya mencakup lebih dan yang
disebutkan dan memang memungkinkan imtuk
mencakup kesemuanya itu, maka bisa dikembalikan
kepada semuanya sesuai cakupannya (al-Sabt, 2000:
400).
Sebagai contoh firman Allah di dalan Q.S. Al-
Insyiqaq/84: 6.

     


  

Terjrmahanya:
Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan
sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu
akan menemuiNya (Depag RI., 1990: 1040).
Dhamir pada ayat ‫ فمُالقيه‬tersebut menurut sebuah
pendapat kembali kepada ‫ربك‬ yaitu “Kamu pasti akan
menemui Tuhanmu”, tetapi menurut pendapat yang lain
kembali pada ‫ك دحا‬yaitu “kamu akan menemui amal-amal
perbuatanmu”. Kedua pendapat ini benar karena seorang
hamba di akhirat nanti akan menemui Allah dan amal-amal
perbuatannya.

3. kaidah Ketiga:

‫ فاألص ل‬,‫إذا ورد مضاف ومض اف إلي ه وج اء بع دهما ض مير‬


.‫عوده المضاف‬
Artinya: Apabila ada mudhaf dan mudhaf ilaih kemudian
terdapat dhamir sesudah keduanya, maka pada dasarnya
dhamir itu kembalinya ke mudhaf (al-Sabt, 2000: 402).
Kaidah pokoknya adalah ketika terdapat mudhaf dan
mudhaf ilaih sebelum dhamir maka dikembalikan ke mudhaf,
kecuali ada petunjuk-petunjuk lain yang mengharuskan
dikembalikan kepada mudhaf ilaih. Contoh pertama: firman
Allah di dalam Q.S. Ibrahim/14: 34.

        .…


   

Terjemahnya:
… Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah
dapat kamu menghinggakannya (Depag RI., 1990: 385).

Dalam ayat ini kaidah dasarnya, dhamir ‫ ها‬pada kata ‫ال‬


‫ تحصوها‬dikembalikan pada mudhaf yaitu ‫ نعمة‬bukan ‫هللا‬. Adapun
contoh kedua yang mengharuskan mengembalikannya kepada
mudhaf ilaih seperti firman Allah dalam Q.S. al-Nahl/l6: 114.

      ..…


 

Terjemahanya:
… Dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya
kepadaNya saja menyembah (Depag RI., 1990: 419).
Dhamir dalam firman Allah ‫ إياه‬kembali kepada ‫هللا‬, bukan
kepada ‫ نعمة‬berdasarkan qarinah (indikator) yang ada dalam
memahami ayat ini.

3. Kaidah keempat:
‫ كال ذى يفس ره س ياق‬,‫ضمير الغائب قد يعود على غير ملفوظ ب ه‬
.‫الكالم‬
Artinya:
Dhamir orang ketiga (al-gaib) kadang-kadang
dikembalikan kepada kata yang tidak terucap
sebelumnya, seperti yang dijelaskan oleh makna atau
isyarat sebuah perkataan (al-Sabt, 2000: 410).
Seperti yang terdapat dalam firman Allah dalam Q.S.
al-Qadr/97: 1.

     

Terjemahnya:
Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Alquran)
pada malam kemulian .

Dhamir yang dimaksud dalam ayat ‫ إن ا أنزلن اه‬adalah


Alquran. sebab, kata al-inzal (turun) menunjukkan secara pasti
(iltizam) bahwa rujukan (marji’ yang dimaksud dalam dhamir itu
adalah Alquran (al-Hasani, 2004: 137).
Contoh lain dan kaidah ini seperti dalam firman Allah
dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 178.

       .…


     
       
    

Terjemahanya:
… Maka barang siapa mendapat suatu pemaafan dan
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti
dengan cara yang baik dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik.
Kata ‘ufiya (dimaafkan) dalam ayat ini meniscayakan
akan adanya orang yang meniru. Kata ‘af’u itulah yang
kernudian secara pasti (iltizam) menjadi marji’-nya dhamir “ha”
dari kata ilayhi.

5. Kaidah Kelima

.‫إذا تعاقبت الضمائر فاألصل أن يتحد مرجعها‬


Artinya:
Apabila terdapat banyak , dhamir, maka pada dasarnya
marji-’nya disamakan. Kaidah ini diperkuat lagi dengan
kaidah yang lain yang maksudnya, jika terdapat banyak
dhamir maka marji’-nya disatukan untuk menghindari
ketercerai-beraian maksudnya (Al-Zarkasyi, t.th.: 35).
Contoh dalam hal ini seperti firman Allah dalam Q.S.
Terjemahnya:
Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkain-
Nya dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan
petang..

Para ahli tafsir berbeda pehdapat tentang marji’ dhamir.


‫ وتع زروه وت ؤقروه‬sekalipun semuanya sepakat bahwa marji’nya
‫ وتع زروه وت ؤقروه‬adalah kembali kepada Allah. Sebagian ulama
berpendapat bahwa marji’nya dhamir adalah Rsulullah (al-Sabt,
2000: 414). Berdasarkan kaidah di atas maka sebaiknya semua
dhamir dikembalikan kepada marji’ yang satu yaitu Allah untuk
menghindari ketercerai-beraian, itulah pendapat yang terkuat
sesuai dengan maksud kaidah ini (al-Sabt, 2000: 415).

6. Kaidah Keenam
Kaidah mi merupakan kebalikan dan kaidah
sebelumnya, dengan kata lain keluar dan kaidah asal (al-Sabt,
2000: 419), yaitu:

.‫المخالفة بين الضمائر فى المرجع حذرا من التنافر‬


Artinya:
Perbedaan marji’ terhadap beberapa dhamir supaya
terhindar dari ketidaksesuaian (tanafur) (al-Sabt, 2000:
419).
Seperti dalam firman Allah Q.S. aI-Kahfi/l8: 22.

 …       


   
Terjemahnya:
… Dan jangan kamu menanyakan tentang mereka
(pemuda-pemuda itu) kepada seorangpun diantara
mereka .
Menurut Sa’lab dan Mubarrad, rujukan dhamir ‫هم‬pada
‫ فيهم‬yang diterjemahkan dengan kata mereka yang pertama
dalam ayat ini adalah pemuda-pernuda Ashab al-Kahfi,
sedangkan marji’ dan dhamair ‫( هم‬mereka yang kedua) adalah
orang-orang Yahudi (al-Hasani, 2004: 88). Dalam tejemahan
Departemen Agama RI tidak dijelaskan marji’ dan dahmir hanya
diterjemahkan “mereka”, padahal yang dimaksud ayat itu
adalah orang-orang Yahudi.
.Contoh lain seperti firman Allah dalam Q.S. al-Taubah/9: 40
      
      
       
      
     
       
   

Terjemahnya:
Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka
sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika
orang-orang kafir (musyrikin Mekkah) mengeluarkanf
lYa (dad Mekkah) sedang dia salah seorang Jan dua orang
yang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia
berkata kepada temannya: janganlah kamu berduka cita,
sesungguhnya Allah beserta kita. Maka Allah
menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan
membantunya dengan tentara yang kainu tidak
melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang
kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang
tinggi. Allah maha Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
(Depag RI., 1990: 285).
Dalam ayat di atas terdapat dua belas dhamir yang semuanya
kembali kepada Nabi Muhammad, kecuali dhamir ‫( ه‬hi) pada
‫ عليه‬yang kembali kepada sahabatnya, Abu Bakar al-Siddiq yang
menemani Rasulullah Saw. di dalam gua. Hal itu sesuai yang
diriwayatkan oleh al-Suhaili dan beberapa ulama tafsir. Sebab
Rasulullah Saw. Tidak mungkin kehilangan kenangannya (al-
Hasani, 2004: 89).
Dalam terjemahan Departemen Agama RI, disebutkan
bahwa rujukan dan dhamir ‫( ه‬hi) pada kata ‫ عليه‬pada ayat ini
adalah Nabi Muhammad saw. seperti yang pemakalah kutip
pada terjernahan ayat di atas, padahal tidak sepatutnya Nabi
kehilangan ketenangannya ketika itu Jadi tidak patut marji’-nya
kembali kepadanya, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh
al-Suhaili dan beberapa ulama tafsir.

7, Kaidah Ketujuh

,‫سيئان ويعود الضمير على أحدهما إكتفاء بذكره عن األخر‬


ِ ‫قد يذكر‬
.‫مع كون الجميع مقصودا‬

Artipya: Kadang ada dua sesuatu yang disebutkan


kemudian dhamir-nya hanya kembali kepada salah
satunya saja karena sudah cukup meliputi yang lainnya,
sekalipun yang dimaksud adalah kedua-duanya (al-
Sabt, 2000: 407).
Contoh dan firman Allah di dalam Q.S. aI-Taubah/9:
62.
       .…
 

Terjemahnya
Dan Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih patut
mereka cari keridhaannya jika mereka adalah orang-
orang yang beriman.
Dalam ayat ini dhamir ‫يرضوه‬berbentuk mufrad, padahal
yang dimaksud adalah Allah dan Rasul-Nya (Al-Zarkasyi,
t.th. :127). Contoh lain firman Allah di dalam Q S al-’An’ãm/6:
141

… …   


Terjemahnya
… Dan pohon kurma serta tanam-tanaman yang
bermacam-macam buahnya….
Dengan firman Allah di dalam Q.S. al-Baqarah/2: 45.

    


    

Terjemahnya:
Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) denga sabar
dan salat. Dan sesungguhnya yang demikian itu
sungguh berat.

Ayat diatas menunjukkan bahwa dhamir pada kata ‫أكله‬


dan ‫وإنها‬, berbentuk mufrad tetapi yang dimaksud adalah dua
kata sebelumnya (Al-Zarkasyi, t.th.: 128).

8. Kaidah Kedelapan

.‫بشيئ وهو لغيره‬


ٍ ‫قد يجيئ الضمير متصال‬
Artinya:

Kadang-kadang dhamir bersambungan dengan sesuatu


tetapi dia (dhamir) diperuntukkan untuk yang lainnya
(al-Suyuti, 2006: 282).

Contoh dalam firman Allah di dalam Q.S. Yasin/36: 81.


    
.…      
Terjemahnya:
Dan tidaklah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi
itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu?
benar, Dia berkuasa. Dan Dialah Maha Pencipta lagi
Maha mengetahui.

Firman Allah ‫مثلهم‬bukan kembali kepada ‫الس موات‬


‫واألرض‬akan tetapi kembali kepada orang-orang kafir yang
mengingkari hari kebangkitan. Dengan dalil bahwa orang-
orang kafir itu tidak mengingkari penciptaan langit dan bumi,
yang mereka ingkari adalah hari kebangkitan (Al-Zarkasyi,
t.th.: 34).
9. Kaidah Kesembilan
‫إذا اجتم ع فى الض مائر مراع اة اللف ظ والمع نى ب ديئ باللف ظ ثم‬
.‫بالمعنى‬
Artinya: Apabila dalam beberapa dhamir terhimpun
maksud untuk menjaga kesesuaian kata dan kesesuaian
makna, maka sebaiknya dimulai dengan menjaga
kesesuaian kata baru kemudian kesesuaian makna (al-
Suyuti, 20006: 288).
Contohnya di dalam firman Allah Q.S. al-Baqarah/2: 8.

      


    
Terjemahnya:
Diantara manusia ada yang mengatakan “kami beriman
kepada Allah dan hari kemudian”, padahal mereka itu
sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.
Kalimat pertama ‫ من يقول‬ini menggunakan dhamir mufrad
karena mengikuti tuntutan kata, sedangkan pada kalimat
kedua ‫ وم ا هم بمؤم نين‬menggunakan dhamir jamak karena
mengikuti tuntutan makna dalam ayat tersebut (al-Hasani,
2004: 92).
10. Kaidah Kesepuluh

.‫األصل عود الضمير على أقرب مذكور‬


Artinya: Pada dasarnya dhamir itu kembali kepada kata
yang lebih dekat darinya.
Misalnya, dalam Q.S. al-An’am/6; 112.

     


     
.…   
Terjemahnya:

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu


musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan
(dan jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada
sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-
indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu
menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya,
maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-
adakan….

Objek pertama atau al-maf’ul al-awwal dalam ayat ini


yaitu ( ‫ )شياطبن اإلنس والجن‬diakhirkan supaya dhamir ‫هم‬pada kata
‫ ”بعض هم‬dapat dikembalikan padanya secara dekat (al-Suyuti,
2006: 182).

11. Kaidah Kesebelas

‫المرجع الذي يعود اليه ضمير الغيبة يكون ملفوظًا" به سابقًا علي""ه مطابقً"ا‬
.‫له‬
Artinya:
Marji’ (tempat kembali) dhamir gaib adalah lafal yang
telah disebutkan sebelumnya dan harus sesuai
dengannya.
Misalnya firman Allah di dalam Q.S. Hud/11: 42, ‫ونادى‬
‫“ نوح انه‬Dan Nuh memanggil putranya”.
Namun ada juga ‫ المرجع‬yang tidak terucap karena yang
mendahuiuinya itu mengandung apa yang dimaksud oleh
dhamir. Misalnya firman Allah di dalam Q.S. al-Mujadilah/5: 8.
     
     
       
        
 
Terjemahnya.
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-
orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah,
menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dhamir ‫ هو‬dsni kembali kepada ‫ الع دل‬yang terkandung
dalam lafal .. ّ‫(إع دلوا‬al-Hasani, 2004: 136). Demikianlah
beberapa kaidah al-dhamair yang kesemuanya itu merupakan
bagian dan kaidah-kaidah bahasa Arab yang menjadi
persyaratan yang harus dikuasai oleh seorang mufasir, agar
bisa menafsirkan dan mengungkap makna-makna ayat sesuai
dengan maksud yang semestinya. Pengetahuan tentang
beberapa ilmu seperti ‘ilmu Balagah ‘ilmu Ma’ani, ‘ilmu Bayãn,
‘ilmu Bad’i, ilmu Ushul al-Fiqh, pengetahuan tentang asbãb al-
nuzul, nasikh dan mansukh, dan ‘ilmu Qira’at kesemuanya itu
merupakan persyaratan utama seorang mufasir (al-Suyuti,
2006: 160).
Menafsirkan al-Qur’an tanpa pengetahuan yang
seharusnya dimiliki oleh seorang mufasir bisa berakibat
terjerumus dalam kesalahan ketika menafsirkan al-Quran,
sebagai contoh ketika menafsirkan firman Allah di dalam Q.S.
al-Rahman/55: 19-20,
    
   
Terjemahnya:
Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya
kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang
tidak dilampaui masing-masing.
Ada sebagian orang yang menafsirkan kata )i1 pada
ayat di atas sebagai Au dan Fatimah. Kemudian pada ayat
selanjutnya Q.S. al-Rahman/55: 22.

    


Terjemahnya:
Keluar dan keduanya mutiara dan marjan
Kata ‫ الل ؤأو‬dan , ‫المرج ان‬ditafsirkan sebagai Hasan dan
Husain (al-Qurthubi, 1969: 33). Ini merupakan suatu kesalahan
fatal menurut al-Qurtubi.
Demikianlah penjelasan mengenai kaidah al-dhamir di
dalam Alquran, semoga manfaat untuk pengembangan
keilmuan khususnya (Ulum al-Qur’an). Dengan mengetahui
kaidah-kaidah dhamir ini diharapkan pemahaman terhadap
ayat-ayat Alquran sesuai dengan maksudnya yang
sesungguhnya, menjauhkan kekeliruan dalam memahami teks-
teks Alquran yang berbahasa Arab itu.

CATATAN AKHIR

4. Kaidah-kaidah al-dahamair diantaranya:


1) Asal mula diletakkannya çfam?ra dalah untuk meringkas
kalimat.
2) Apabila ada dhamir di dalam suatu ayat yang tempat
kembalinya mencakup lebih dari yang disebutkan dan
memang memungkinkan untuk mencakup kesemuanya itu
maka bisa dikembalikan kepada semuanya sesuai
cakupannya.
3) Apabila ada mudhaf dan mudhaf ilaih kemudian terdapat
çkimir sesudah keduanya, maka pada dasamya dhamir itu
kembalinya ke mudhaf
4) Dhamir orang ketiga (al-gaib) kadang-kadang dikembalikan
kepada kata yang tidak terucap sebelumnya, seperti yang
dijelaskan oleh makna atau isyarat sebuah perkataan.
5) Apabila terdapat banyak dhamir, maka pada dasarnya marj i-
‘nya disarnakan.
6) Perbedaan marji’ terhadap beberapa dhamir supaya
terhindar dari ketidaksesuaian (tanafur).
7) Kadang ada dua sesuatu yang disebutkan kemudian dhamir-
nya hanya kembali kepada salah satunya saja karena sudah
cukup meliputi yang lainnya, sekalipun yang dimakaud
adalah kedua-duanya.) Kadang-kadang dhamir
bersambungan dengan sesuatu tetapi dia (dhamir)
diperuntukkan untuk yang lainnya). Apabila dalam
beberapa dhamir terhimpun maksud untuk menjaga
kesesuaian kata dan kesesuaian makna, maka sebaiknya
dimulai dengan menjaga kesesuaian kata baru kemudian
kesesuaian makna. Pada dasarnya dhamir itu kembali kepada
kata yang lebih dekat 1J) Marji’ (tempat kembali) dhamir gaib
adalah lafal yang telah disebutkan sebelumnya dan harus
sesuai dengannya.
DAFTAR PUSTAKA
al-Gazali, Muhammad. 1991. Kaifa Nata’amal ma’a al-Qur’an.
Cet. I; Kairo: al-Ma’had al-Alami li al-Fikr al-Islami,
1991.
Al-Zarkasyi. al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an. Juz IV, Cet. I; Kairo:
Dar al-Turats.
Dahdhah, Anthudin al-. 1994. Mu‘jam Qaw‘id al-Lugat
al-‘Arabiyyah fi Jadawil wa Laihat. Cet. IV; Lebanon:
Maktabah Libnan Nasyirun.
Departemen Agama RI. 1990. Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemahan/
Penafsiran Al-Qur’an.
Hasani, Muhammad ibn ‘Alawi al-Maliki al-. 2004. “Zuhdah al-
Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an”, Terj. Tarmana ‘Abdul
Qasim, Samudra Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Cet. I;
Bandung: Mizan Pustaka.
Mudhlor, Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi. 1998. Kamus
Kontemporer Arab-Indonesia (Cet VIII; Yogyakarta:
Multi Karya Grafika.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawwir Kamus Arab
Indonesia. Cet. XIV; Surabaya: Pustaka Progresif.
Qaththan, Manna’ al-. 2005. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an. Cet. II;
Kairo: Dar al-Taufiq.
Qurthubi, Abu ‘Abdillah Muhammad al-Anshari al-. 1969.
Tafsir al-Qurthubi. Juz I, Cet. I; Kairo: Dar al-Kutub
al-‘Urbah.
Sabt, Khalid bin Utsman al-. 1421 H. Qawa‘id al-Tafsir: Jam‘an
wa Dirasatan. Jilid I, Cet. I; Saudi ‘Arabiyyah: Dar
Ibn ‘Affan, 1421 H.
Suyuti, Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-. 2006. al-
Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Juz II, Cet. I; Kairo:
Maktabah al-Shafa’.
BAB IV
KAIDAH ‘ATHF ALQURAN
A. Kaidah Al-‘Athf
Seperti dimaklumi, Alquran diturunkan sebagai sumber
hukum, di dalamnya terkandung hal-hal yang muhkamat
(terang dan jelas) dan yang mutasyabihat (yang memerlukan
penafsiran atau penakwilan), ayat-ayat yang bermakna khusus
dan umum, dan ayat-ayat yang bersifat mujmal (global) dan
mufashshal (terinci). Disamping itu, ada susunan kalimat yang
realistis dan ada pula yang kiasan.
Rasulullah Saw., sudah barang tentu memahami
Alquran secara global maupun terperinci setelah diberi
kemampuan oleh Allah Swt. untuk menghapal dan
menjelaskannya dalam kedudukannya sebagai seorang utusan
dan pemberi petunjuk (Shihab, 1993: 71). Oleh karena itu,
Rasulullah Saw. berfungsi sebagai mubayyin (pemberi
penjelasan dan keterangan) kepada sahabat-sahabatnya
terntang arti dan kandungan ayat-ayat Alquran, khususnya
menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya.
Setelah Rasulullah Saw., wafat tibullah perbedaan para
sahabat terhadap Alquran yang sangat beragam meskipun
pada dasarnya mereka memahami Alquran secara global
perbedaan itu timbul karena perbedaan nalar dan pengetahuan
mereka, baik penguasaan mereka terhadap bahasa, kedekatan
mereka dengan Rasulullah Saw. Bahkan, generasi yang datang
setelah sahabat, pemahaman mereka dari segi bahasa atau
makna tidak sepenuhnya dengan pemahaman para sahabat
yang kesehariannya menyertai Rasulullah Saw. meskipun
diakui bahwa mereka juga memahami pesan-pesan Alquran.
Salah satu syarat mutlak dan perlu dalam menafsirkan
Alquran adalah penguasaan ilmu nahwu karena ilmu nahwu
adalah salah satu bagian dari ilmu bahasa Arab yang
mempelajari kedudukan kalimat dalam bahasa Arab. Al-
Suyuthi (1979: 180) menyebutkan ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi oleh orang mufasir jika ingin menafsirkan
Alquran antara lain: penguasaan bahasa Arab, ilmu nahwu,
ilmu sharf dan ilmu balaghah yang meliputi ilmu ma‘ani, bayan
dan bad‘i. Disebutkan pula oleh Mudzakir dalam bukunya,
untuk memahami Alquran diperlukan penguasaan bahasa
Alquran dalam kah ini bahasa arab yang meliputi kaedah-
kaedahnya, pahaman asas-asasnya, penghayatan uslub-
uslubnya dan penguasaan rahasia-rahasianya (al-Qaththan,
2004: 278). Dengan demikian ilmu nahwu mempunyai peranan
penting dalam menafsirkan Alquran sebab dengan ilmu ini
seorang mufassir akan mengetahui setiap kedudukan kata atau
kalimat dalam Alquran yang akan membantunya dalam
memahami makna kata atau kalimat tersebut. Oleh karenanya ,
erat kaitanya dengan penguasaan kaidah nahwu dalam Alquran
dan salah satunya adalah kaidah ‘athf, maka kesempatan ini
pemakalah akan membahas tentang bagaimana kaidah ‘athf
dalam Alquran.
B. Pengertian al-‘Athf
Secara etimologis kata al-‘athf adalah mashdar dari fi‘il
‫عطفوعطوفا‬-‫ عطف–يعطف‬yang bermakna cenderung kepadanya atau
berarti kembali kepada sesuatu yang dibenci awalnya lalu
diinginkan kembali (Ma’luf, 1986: 512). Dalam buku Qawa‘id al-
Tafsir karya al-Sabt (1997: 428) juga dijelaskan, ‘athf secara
etimologis adalah meng-’athf-kan lafaz kepada yang
sebelumnya, yakni mengikutkan kepadanya dengan perantara
huruf al-’athf. Adapun Ibn Zakariyya (1991: 28) dalam Mu‘jam
Maqayis al-Lugah, al-’athf diartikan kecenderungan, ‫ عطفت‬:‫يق""ال‬
‫إذاأملته‬،‫ الشيء‬. Munawwir (2002: 944). Dalam Kamus al-Munawwir
juga disebutkan kata ‫ عطف‬adalah mashdar dari kata yang artinya
kecondongan, kedoyongan, kemiringan.
Secara terminologis (isthilahi) terdapat perbedaan
pengertian karena perbedaan hakikat keduanya, ‘athf al-bayan
dan ‘athf al-nasaq.

1. ‘athf al-Bayan adalah: ‫ حاءص"احبك" زيد‬seperti ‫ت"ابع أش"هر من‬


‫متبوعه‬kata ‫ زيد‬menjadi ‘athf bayan ‫ صاحبك‬karena dia lebih
terkenal dan fungsinya menjelaskan matbu‘nya jika
ma‘rifah dan mentakhshishnya jika nakirah, seperti ‫لبئت‬
‫ ثوبا حبة‬kata ‫ جبة‬lebih khusus dari ‫ثوب‬. (al-Dahdah, 1987:
224).
2. ‘Athf al-Bayan adalah:

‫التابع احا مد المثبه للصفةفى إيض""ا ح متب""و ع""ه إن ك""ان مع""ر‬


. ‫بنفسه‬ ‫وتخصيصه إن كان نكرة‬،‫فة‬

Contohnya: apabila ma‘rifah, ‫أقسم با هلل أبوحفص عمر‬


Apabila nakirah ,‫طفًا‬َ ‫لبس""ت ثَوبًا ِم ْع‬
ُ dan juga disebutkan dalam
Alquran ‫( كف"""""ارة طع"""""ام مس"""""اكين‬al-Daqar, Soft ware M.
SyamilahVersi 2.1: 16).

3. ‘Athf al-Nasaq, secara etimologis al-nasaq terdiri dari


huruf ‫ ق‬،‫ س‬،‫ ن‬yang artinya menunjukkan dan
mengikuti sesuatu, ‫ وكالم نسق‬: kalam yang ditandai
dengan aturan yang sama dengan meng-’athf-kan
kepada yang satu dengan yang lainnya, seperti yang
dicontohkan ‫ ثغر نسق‬, apabila gigi tersebut rata (sama)
atau tersusun (Ibn Zakariyya, 1991: 420).
Secara terminologi (istilah) ‘Athf al-Nasaq terdapat
beberapa definisi, namun definisi tersebut terdapat kesamaan,
diantaranya:

1. Menurut Jamal al-Din ibn ‘Umar dan ‘Utsman ibn


‘Umar (1990: 318).

‫العط""ف ت""ا ب""ع مقص""ود ب""ا لنس""بة م""ع متبوع""ه يتوس"ط" بين""ه وبين‬
. ‫متبوعه احدحروف العشرة‬

2. Menurut Mushthafa Gulayaini: (software Maktabah


Syamilah Versi 2.1: 77).

‫العط""ف ه""و ت""ابع يتوس "ط" بين""ه وبين متبوع""ه ح""رفُ من أح""رف‬
."ً‫أكرمت سعيدًاثمسليما‬
ُ .ُ‫علي وجالد‬
ُّ ‫العطف نحو "جا َء‬
ِ

‘Athf adalah tabi‘ yang dipisahkan dari matbu‘nya


dengan salah satu huruf ‘athf.
3. Menurut Muhammad al-Turji dan Raji al-Asmar (1993:
409).
‫العط"""ف ه"""و ت"""ابع يتوس"""ط" بين"""ه وبين متبوع"""ه أح"""دحروف‬
‫فيرب""ط م""ا بع""د ح""روف العط""ف عباقبل"ه وف العط""ف هى‬,‫العطف‬
.‫ ولكن‬,‫" وال‬,‫وبل‬,‫ واًم‬,‫ واًو‬,‫ حتى‬,‫ثم‬,‫ الفاء‬,‫الواو‬
Kata tabi’ yang dimaksud dalam beberapa definisi ini
adalah yang mengikuti atau ma’tuf dan matbu’ adalah
ma’tuf’alaihi atau yang diikuti.
Dari definisi ‘athf yang dikemukakan diatas dapat
disimpulkan ada 3 rukun ‘Athf, yaitu:
1. ‫( المعطوف‬yang di’athf-kan atau yang datang setelah huruf
‘athf)
2. ‫( حرف العطف‬huruf ‘athf)
3. ‫( المعطوف عليه‬yang di ‘athf-nya atau yang datang sebelum
huruf ‘athf) adapun yang termasuk huruf ‘athf adalah:
a. Menurut Abdullah al-Hamid (1994: 75), ada 7 huruf
‘athf, yaitu: ‫ لكن‬,‫ ال‬,‫ أو‬,‫ بل‬,‫ثم‬, ‫ الفاء‬,‫ الواو‬.

Menurut Mushthafa al-Gulayaini (software Maktabah


Syamilah Versi 2.1: 77).
b. ada 9 huruf ‘athf , yaitu ,‫ أم‬,‫ لكن‬,‫ ال‬,‫ أو‬,‫ بل‬,‫ ثم‬,‫ الفاء‬,‫الوا و‬
‫حتى‬.
c. Menurut ‘Abd al-Gani al-Daqar (Sofware, h. 20), ada 10
huruf ‘athf , yaitu: ‫ ليس‬,‫ حتى‬,‫ أم‬,‫ لكن‬,‫ ال‬,‫ أو‬,‫ بل‬,‫ ثم‬,‫ الفاء‬,‫الوا و‬.

Dari beberapa litertur, kebanyakan menyebutkan ada 9


huruf ‘athf. Adapun makna huruf-huruf ‘athf (Dayyab at.al.,
2004: 305-306), beserta contohnya dalam Alquran adalah
sebagai berikut:

1. Huruf ‫ الواو‬untuk menggabungkan (dan), contoh: ‫يسود الرجل‬


‫بالعلم واألدب‬
Contoh dalam Alquran:‫فيهما فاكهة ورمان‬
2. Huruf ‫ الف""اء‬kemudian, lalu (berturut-turut tanpa antara),
contoh: ‫دخل عند الخليفة العلماء فا ألمراء‬
Contohnya dalam Alquran: ‫ أمات""ه ف""أ ق""بره‬, ‫( أهلكناه""ا فجاءهاب""أ س""نا‬al-
Musymuni, software Maktabah Syamilah Versi 2.1: 211).
3. Huruf ‫ ثم‬kemudian, (berturut-turut ada antara), contoh:
‫خرج الشبان ثم السيوخ‬
Contoh dalam Alquran: ‫فأقبره ثم إذا شاءأنشره‬
4. Huruf ‫ أم‬atau (memilih atau membandingkan), contoh:‫أقريب‬
‫أم بعيد‬
Contoh dalam Alquran:‫سوا ُءعليهم أَأَنذ رتَهُم أَم لم تُن ِذرهم‬
5. Huruf ‫ أو‬atau (memilih salah satu): ‫ذهب سعي ُد أَو خال ُد أوعل ِّي‬
Contoh dalam Alquran: ُ‫ قالوا ساح ُر أومجنون‬,‫أتاها أمرنا ليالً أو ها رًا‬
6. Huruf ‫ لكن‬tetapi, contoh: ‫التكرم خالدا لكن محمدا‬
7. Huruf ‫ ال‬bukan, tidak, contoh:‫اكرم الصاح ال الطا ح‬
Contoh dalam Alquran:‫ ماأشركناوال‬,‫مام تعلموا أنتم وال اباؤكم‬
8. Huruf ‫ بل‬tetapi, bahkan, contoh: ‫ما سا فرعلي بل محمود‬
Contoh dalam Alquran: Huruf‫ ح"""تى‬sehingga, bahkan,
contoh:‫قد م احجا ج حتى المشاة‬

C. Kaedah-Kaedah‘Athf dalam Alquran

1. Kaidah pertama:
‫ وعلى أهمي""ة‬, ‫عطف العام على الخا ص ي""دل على التعميم‬
.‫األول‬
Artinya:

Meng-‘athaf-kan yang umum kepada yang khusus


menunjukkan keumuman, namun makna yang khusus lebih
diutamakan (al-Sabt, 1997: 12).
Sebagaiman yang kita ketahui bahwasanya khusus
itu bagian dari yang umum, maka apabila salah satu
bagian dari makna umum itu disebutkan kemudian di
‘athaf-kan kemakna yang khusus, maka itu menunjukkan
keutamaannya dan kemuliaannya (al-Sabt, 1997: 429).
Contohnyam firman Allah Swt., di dalam Q.S. al-
An‘am/6: 162,

.‫قل إن صالتى و نسكى‬


Nusuk dalam ayat ini diartikan sebagai ibadah, al-Bagawi
dalam tafsirnya, nusuk yaitu hewan sembelihan ketika melaksanakan
haji dan umrah, ada yang mengatakan haji saja dan juga yang
mengatakan agama (al-Bagawi, software al-Maktabah al-
Syamilah Versi 2.1: 211). Salat merupakan bagian dari pada ibadah,
maka itu menunjukkan akan pentingnya dan agungnya kedudukan
sholat tersebut.
Dan juga yang disebutkan dalam Q.S. Nuh/71: 28,

‫رب اغف"""ر لى ولوال"""دي ولمن دخ"""ل بي"""تى مؤمن"""ا وللم"""ؤ م"""نين‬


. ‫والمؤمنين" والمؤمنات‬

dalam ayat ini Allah menyebutkan makna umum yang


dikhususkan yaitu kata .(‫)ولوالدي‬
1. Kaidah Kedua:
‫ ح""تى ك""أ ن""ه‬,‫عطف الخاص على العام منب""ه على فض""له أهميت""ه‬
.‫الذات‬ "‫ تتريال فى الوصف مترلة التغايرفى‬,‫ليس من جنس العام‬
Artinya:
Meng-‘athaf-kan yang khusus kepada yang umum
menunjukkan kemuliaannya dan keutamaannya,
seakan-akan yang khusus itu bukan bagian dari
umum, sehingga dapat merubah yang abstrak menjadi
konkret (al-Sabt, 1997: 430).

Yang dimaksud dengan umum dan khusus disini


adalah yang pertama mencakup yang kedua, atau yang dikenal
dalam ungkapan orang Arab pada umumnya, yaitu ketika
orang Arab menyebutkan sesuatu yang umum kemudian
mengkhususkan yang umum tersebut kepada yang utama dari
yang paling utama. Contohnya dari kaidah ini, firman Allah
Swt., di dalam Q.S. al-Baqarah/2: 238,

"‫حا فظواعلى الصلوات والصالة الوسطى‬


Dan juga firman Aliah Swt., dalam Q.S. al-Rahman/55: 68,

‫فيهما فاكهة ونخل ورمان‬


Penyebutan ‫الص""الة الوس""طى‬dalam ayat ini menunjukkan
pengkhususan dari kata‫ الصلوات‬yang bermakna umum, terdapat
beberapa pandangan tentang maksud dari‫الص""""الة الوس""""طى‬
diantara adalah salat subuh sebagaimana yang dikemukakan
oleh imam Malik dalam kitabnya al-Muwaththa’, dan ada yang
mengatakan salat ashar sebagaimana yang diriwayatkan ibn
Jarir dari ibn ‘Abbas, menurut al-Tirmidzi dan al-Bagawi ini
pendapat kebanyakan para sahabat dan tabi‘in dan kebanyakan
para ulama. Ada juga yang berpendapat salat zhuhur
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hanifah dari ibn
Umar, Abu Sa‘id dan Aiysah, r.a. (ibn Katsir, 1999: 648).
Begitupun dengan ayat yang kedua‫( نخ"""ل ورم"""ان‬kurma dan
delima) dikhususkan setelah penyebutan‫( فا كهة‬buah-buahan)
yang bermakna umum.

2. Kaidah Ketiga:

‫عند عطف صفة على ص""فة لموص""وف واح""د فاألفص "ح" فى كال م‬
‫ وإذا أريد بالوصف الثانى موصوف اَخر‬,‫العرب ترك إدخال الواو‬
.‫غير األول أدخلت الواو‬
Artinya:
Ketika meng-‘athf-kan sifat kepada sifat untuk sesuatu
yang disifati, maka yang dikenal dalam tata bahasa
Arab adalah tidak menggunakan huruf ‘athf (‫)الواو‬, dan
apabila yang diinginkan adalah sifat yang lain, yang
disifatkan kepada sifat yang kedua bukan sifat yang
pertama, bukan huruf ‘athf (‫ )الواو‬dimasukkan diantara
dua sifat tersebut (al-Sabt, 1997: 431).

Contoh firman Allah Swt., dalam Q.S. al-Nisa/4: 37-38,


     
       
      
        
      
Terjemahnya:
(Yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang
lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia
Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan
Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir
siksa yang menghinakan. Dan (juga) orang-orang yang
menafkahkan harta-harta mereka karena riya kepada
manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada
Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang
mengambil syaitan itu menjadi temannya, maka
syaitan itu adalah teman yang seburuk-buruknya.

Dari kedua ayat di atas, Allah Swt. memisahkan antara


sifat orang-orang yang disebutkan sebelumnya, yaitu dengan
menggunakan huruf ‘athf (‫ )الواو‬untuk memisahkan kedua sifat
tersebut, yaitu kedua sifat itu menunjukkan sifat dari manusia
yang berbeda makna. Jika seandainya kedua sifat tersebut
mempunyai makna yang sama, maka bentuk redaksi ayat
tersebut adalah:

‫ ال"""ذين ينفق"""ون أم"""والهم‬.‫ وأعت"""دنا للك"""افرين ع"""ذابا مهين"""ا‬....


‫ االية‬....‫رئاءالناس‬

Karena kedua sifat itu berbeda, maka dipisahkan


dengan huruf ‘athf (‫)الواو‬.
3. Kaidah Keempat:
‫الشئ الواحد إذا ذكر بص""فتين مختلف""تين ج""ازعطف إح""داهما على‬
.‫ تتريال لتغايرالصفات" مترلة تغايرالذات‬,‫األخرى‬
Sesuatu yang tunggal apabila disebutkan dengan dua
sifat yang berbeda, maka boleh meng-‘athf-kan salah
satu dari sifat tersebut kepada yang lain, sehingga
merubah yang abstrak mengjadi kongkret (al-Sabt,
1997: 13).

Apabila sifat itu berulang-ulang kepada sesuatu yang


tunggal, maka terkadang tidak dimasukkan huruf ‘athf dan juga
memasukkannya, namun tidak meng-’athf-kannya lebih
kedepankan oleh kalangan Arab- sebagaimana disebutkan
pada kaidah sebelumnya- ini menjadikan sebagian orang
mengira dengan memasukkan huruf ‘athf (‫ )الواو‬menandakan
yang disifati itu banyak, sementara setiap sifat itu kembali
kepada maushufnya yang terakhir, tetapi ini tidak mesti, boleh
di-‘athf-kan sifat kepada sifat yang lain dengan huruf ‘athf
sementara yang disifati itu satu.
Contoh beberapa sifat dengan menyebutkan satu
maushuf, firman Allah Swt., dalam Q.S. al-A‘la/87: 1-4.
        
       
Contoh tidak menggunakan huruf ‘athf, firman Allah Swt.
dalam Q.S. al-Qalam/68: 10-11.
‫ األ ية‬....       
Contoh sifat yang maknanya jauh berbeda, maka lebih
baik di-‘athf-kan, firman Allah Swt., dalam Q.S. al-Qalam/68:
10-11 (al-Sabt, 1997: 432-433),

. ‫هو األ ول واألخروالظاهروالباطن وهوبكل شئ عليم‬


4. Kaidah Kelima:
‫ م""ع‬,‫العط""ف يقتض""ى المغ""ايرة بين المط""وف والومعط""وف" علي""ه‬
.‫اشتراكهمافى" ااحكم الذى ذكراهما‬
Artinya:
Huruf al-‘athf menghendaki pemisahan makna antara
ma‘athuf dan ma‘thuf ‘alaih, walaupun mempunyai
kesamaan hukum yang disebutkan untuk keduanya
(al-Sabt, 1997: 13).

Al-‘Athf dalam Alquran bukan hanya pemisahan lafaz,


akan tetapi juga dengan pemisahan makna, namun pemisahan
tersebut terdiri dari beberapa tingkatan:
Pertama, keduanya adalah lafaz yang berlawanan
makna, maka yang satu bukan bagian dari makna yang lain,
jenis ini umumnya terjadi pada kalimat yang saling meng-‘athfi
dan paling banyak ditemukan dalam Alquran.

Contohnya, firman Allah Swt., dalam Q.S. al-Furqan/59


dan Q.S. Ali-‘Imran/3,

‫ أيام‬      


Kata‫ ات‬dan‫ األرض‬, ‫ التوراة‬dan ‫اإلنخيل‬, mempunyai makna
yang berbeda dan makna yang satu bukan bagian dari makna
yang lainnya.
Kedua, menyamakan makna dari kedua lafaz yang saling
men-‘athfi Contohnya, Allah Swt. dalam Q.S. al-Baqarah/2: 42
dan Q.S. al-Nisa/4: 136.
     
  
Makna kata‫( تلبس""وا‬mencampur adukan yang haqq dan
yang bathil), dan‫كتم"""""وا‬ (menyembunyikan yang haqq),
mempunyai makna yang sama, dan juga kafir kepada malaikat,
para rasul, dan kitab, sama halnya kafir kepada Allah.
Ketiga, meng-‘athf-kan bagian sesatu kebagian yang
lainnya. Contohnya, firman Allah Swt. dalam Q.S. al-
Baqarah/2: 238) dan Q.S. al-Ahzab/33: 7,
    
   
Peliharalah semua salat(mu), dan (peliharalah) shalat
wusthaa’. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu)
dengan khusyuk.
      
      
    
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari
nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim,
Musa, dan Isa putra Maryam, dan Kami telah
mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.

Kata (‫ )منك‬yaitu Muhammad sebagaimana yang


dikemukakan tafsir al-Alusi, mereka itu adalah ulu al-‘azmi min
al-Rusul dan mereka anak-anak pilihan dari Adam. Disamping
itu, mengedepankan nama Muhammad dalam ayat ini
menunjukkan kemuliaannya karena dari dirinyalah dimulai
penciptaan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ubay ibn
Ka‘ab dalam hadisnya (‫ ) بدىءبي الخلق وكنت آخ""رهم في البعث‬dan juga
yang diriwayatkan oleh Jamaah dari H{asan dari Abi Hurairah
bahwasanya Nabi Saw. bersabda: ‫كنت أول اانب""يين في لخل""ق وآخ""رهم في‬
‫ اليعث‬dan Nuh Ibrahim, Musa, Isa ibn Maryam adalah bagian
dari pada nabi (al-Alusi, Software al-Maktabah al-Syamilah
Versi 2.1: 46).
Keempat, meng-‘athf-kan sesuatu kepada sesuatu yang
berbeda makna Contohnya, firman Allah Swt. dalam Q.S. al-
A‘la/87: 1-4 (al-Sabt, 1997: 434-435).

‫ وال""ذى‬. ‫ والذى قدرفهدى‬. "‫الذى خلق فسوى‬.‫سبح اسم ربك األعلى‬


."‫أخرجالمرعى‬
Keseluruhan sifat yang ada dalam ayat ini mempunyai
makna yang berbeda‫( األعلى‬yang Maha tinggi)‫ال"""ذى خل"""ق فس"""وى‬
(Pencipta dan Penyempurna) ‫( قدرفه"""دى‬Penentu kadar dan
Pemberi petunjuk)‫( أج"""رج الم"""رعى‬Penumbuh rumput-ruputan)
(Depag RI., 1990: 1051).

5. Kaidah Keenam:

.‫والشبات‬ ‫غطف الجملة اإل سمية على الفعيد الدوام‬


Artinya:
Meng-‘athf-kan jumlah ismiyyah ke jumlah fi‘liyah
menunjukkan sesuatu yang tetap (al-Sabt, 1997: 436).

Ketika isim menunjukkan sesuatu yang tetap dan fi‘il


menunjukkan sesuatu yang baru, maka meng-‘athf-kan jumlah
ismiyyah kepada jumlah fi‘liyyah menunjukkan ketetapan dan
kekuatan. Contohnya, firman Allah Swt. dalam Q.S. al-
An‘am/6: 59.

‫قل الأتبع أهوائكم قدضللت إذا وماانا من المهتد ين‬


Penggalan‫ ق""""""د ض""""""للت إذا‬merupakan jumlah fi‘liyyah
menunjukkan sesuatu yang baru dan ayat ‫وماان"""""امن‬
‫المهتدين‬merupakan jumlah ismiyyah yang menunjukkan ketetapan
dan kekekalan, jadi ketika ayat ‫ وماان"""امن المهت"""دين‬di-‘athf-kan
kepada ayat‫ قدضللت‬maka artinya, apabila dia mengikuti hawa
nafsunya maka dia akan tetap dalam kesesatan dan selamanya
tidak akan mendapatkan petunjuk, karena mereka tidak akan
mendatangkan kebaikan (al-Sabt, 1997: 436).

6. Kaidah Ketujuh:

‫ وإن خا ل""ف‬,‫من شأن العطف بالكالم على معنى نظير له قد تقدمه‬


. ‫افظه لفظَه‬
Artinya:
Diantara kebiasaan orang Arab meng-‘athf-kan kalimat
kepada makna sebanding dengannya yang
mendahuluinya, walaupun lafaznya berbeda (ma‘thuf
dan ma‘thuf ‘alaih) (al-Sabt, 1997: 13).

Contohnya firman Allah Swt. dalam Q.S. al-Baqarah/2:


259 (‫ )أوكالذى مرّعلى قرية‬ma‘thuf kepada ayat “apakah kamu tidak
memperhatikan orang yang melalui suatu negeri, yang
dimaksud orang disini terdapat beberapa pendapat, akan tetapi
kebanyakan pendapat tersebut mengatakan bahwa yang
dimaksudkan adalah ‘Uzair, namun tidak penting mengetahui
siapa yang dimaksud, karena bukan itu yang diinginkan oleh
ayat ini. Adapun yang diinginkan oleh ayat ini adalah
menunjukkan kekuasaan Allah Swt. terhadap orang-orang
yang mengingkari akan kekuasaannya, bahwasanya Allah Swt.
mampu menghidupkan kembali makhluk-Nya yang sudah
mati, dan mengembalikannya setelah ketiadaannya dan hanya
dialah yang dapat menghidupkan dan mematikan.”

)‫(ألم ترإلى الذي حا ّج إبراهي َم فى ربّه‬


“Apakah kamu tidak memperhatikan orang (Namrudz
ibn Kausy ibn Kan’am ibn Sam ibn Nuh raja Babilonia dan
dikatakan dia adalah raja pertama yang paling angkuh dan
sombong dimuka bumi, pendapat ini dikemukakan oleh ibn
‘Abbas, Mujahid, Qatadah (al-Qurthubi, Soft ware al-Maktabah
al-Syamilah Versi 2.1: 271). yang mendebat Ibrahim tentang
Tuhannya” ayat ini ditunjukkan kepada Muhammad Saw.,
yaitu " ‫ يا محمد‬,‫هل رأيت‬:‫بمعنى‬,"‫ألم إلى الذي حاج إبر اهيم في ربه‬.
Walaupun terdapat perbedaan lafaz, namun makna
keduanya sama, karena kedua ayat diatas menunjukkan
ketakjuban Muhammad Saw. terhadap dua peristiwa tersebut.
Para pakar nahwu dari Bashrah mengatakan bahwasanya huruf
kaf dalam ayat ini adalah huruf tambahan dan menjadi ‫ألم ترى‬
‫ أو ال""ذي م""ر على قرية‬،‫ إلى ال""ذي ح""اج إب""راهيم‬namun sudah dijelaskan,
bahwasanya tidak ada sesuatu yang tercantum dalam Alquran
tidak mempunyai arti (al-Thabari, 2000: 438-442).
D. Beberapa Catatan Akhir
Dari pembahasan makalah diatas dapat disimpulkan:
1. Ada beberapa definisi al-‘athf secara etiologis: a) Al-‘Athf
adalah bentuk mashdar dari fi‘il‫ يعطف – عطف – وعطوفا‬- ‫عطف‬
‫ إليه‬yang bermakna cenderung kepadanya atau berarti
kembali kepada sesuatu yang dibenci awalnya lalu
diinginkan kembali. b) Dalam perspektif kaidah tafsir
al-‘athf adalah meng-‘athf-kan lafaz kepada yang
sebelumnya, yakni mengikuti kepadanya dengan
perantara huruf ‘athf. c) Berdasar Maqayis al-Lughah
al-‘athf diartikan kecenderungan‫ إذأملته‬،‫الش"يء‬ َ ‫ت‬ ُ ‫ َعطَ ْف‬:‫ يق""ال‬. d)
Dalam Kamus al-Munawwir, kata ‫ العطف‬adalah mashdar dari
kata‫عطف‬ yang artinya kecondongan, kedoyongan,
kemiringan.
Terdapat dua macam al-‘athf, yaitu ‘athf al-Bayan dan ‘athf
al-Nasaq adalah tabi’ yang menyerupai sifat dalam
menjelaskan matbu‘nya apabila matbu’nya ma‘rifah dan
mentakhshishnya apabila nakirah.
‘Athf al-Nasaq adalah taba yang dipisahkan dari matbu‘nya
dengan salah satu huruf ‘athf
2. Ada tiga rukun ‘athf, yaitu:‫ المعطوف عليه‬,‫ حرف العطف‬,‫المعطو‬
3. Huruf-huruf ‘athf, yaitu:,‫ وال‬,‫ وب""ل‬,‫وأم‬, ‫ وأو‬,‫ح""تى‬, ‫ ثم‬,‫ الف""اء‬,‫ال""واو‬
‫ولكن‬
4. Kaidah-kaidah ‘athf diantaranya:
a. Meng-‘athf-kan yang umum kepada yang khusus
menunjukkan keumuman, namun makna yang khusus
lebih diutamakan.
b. Meng-‘athf-kan yang khusus kepada yang umum
menunjukkan kemuliaannya dan keutamaannya.
c. Ketika meng-‘athf-kan sifat kepada sifat untuk sesuatu
yang disifati, maka yang diikenal dalam tata bahasa
Arab adalah tidak menggunakan huruf ‘athf (‫)الواو‬, dan
apabila yang diinginkan adalah sifat yang lain, yang
disifatkan kepada sifat yang kedua bukan sifat yang
pertama, maka huruf ‘athf (‫ )الواو‬dimasukkan diantara
dua siaft tersebut.
d. Sesuatu yang tunggal apabila disebutkan dengan dua
sifat yang berbeda, maka boleh meng-‘athf-kan salah
satu dari sifat tersebut kepada yang lain.
e. Huruf ‘athf menghendaki pemisahan makna antara
ma‘thuf dan ma‘thuf ‘alaih, walaupun mempunyai
kesamaan hukum yang disebutkan untuk keduanya.
f. Meng-‘athf-kan jumlah ismiyyah kepada jumlah fi‘liyyah
menunjukkan sesuatu yang tetap.
g. Diantara kebiasaan orang Arab meng-‘athf-kan kalimat
kepada makna sebanding dengan yang
mendahuluinya, walaupun lafaz-nya berbeda (ma‘thuf
dan ma‘thuf ‘alaih).

DAFTAR PUSTAKA
Alusi, Syihab al-Din Mahmud ibn ‘Abdillah al-Husaini al-.
Software al-Maktabah al-Syamilah Versi 2.1.
Asmar, Muhammad al-Tarji dan Raji al-. 1993. al-Mu‘jam al-
Mufashshl fi ‘Ulum al-Lugah. Juz I, Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah.
Bagawi, Abu Muhammad al-H{usain ibn Mas‘ud al-. Ma‘alim
al-Tanzil (software al-Maktabah al-Syamilah Versi 2.1.
Dahdah, Antuan al-. 1987. Mu‘jam Qawa‘id al-Lugah
al-‘Arabiyyah fi Jadawil wa al-Lauhat. Cet.III; Beirut:
Maktabah Libanon.
Daqar, ‘Abdul Gani al. Mu‘jam al-Qawa‘id al-‘Arabiyyah. Soft
ware M. SyamilahVersi 2.1.
Dayyab, Hifni Bek & Muhammad Bek Dayyab at.al-. 2004.
Kaedah Tata Bahasa Arab. Cet. IX; Jakarta: Darul Ulum
Press.
Departemen Agama RI. 1990. Al-Qur’an Terjemahannya. Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsiran al-
Qur’an.
Dimasqi, Abu al-Fida Isma‘il ibn ‘Umar ibn Kair al-Quraisyi al-.
1999. Tafsir Ibn Katsir. Juz I, Cet. II; t.tp, Dar al-
Thayyibah.
Galayaini, Muhammad al. Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah. software
Maktabah Syamilah Versi 2.1.
Hamid, ‘Abdullah Hamid al-.1994. Silsilah Ta‘lim al-Lugah
al-‘Arabiyyah. Cet. I; Riyadh: al-Jami‘ah.
Ibn ‘Umar, Jamal al-Din ibn ‘Umar dan ‘Utsman. 1990. Kitab al-
Kafiyat fi al-Nahwi. Juz I, Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah.
Ibn Zakariyya, Abu al-H{usain Ahmad ibn Faris. 1991. Mu‘jam
Maqayis al-Lugah. Juz IV, Cet. I; Beirut: Dar al-Jil.
Ma’luf, Louis. 1986. al Munjid fi al-Lugah wa al-I‘lam. Cet. XXVIII;
Beirut: Dar al-Masyiriq.
Munawwir, A. Warson. 2002. Kamus Arab-Indonesia. Cet. XXV;
Pustaka Progresif.
Al-Musymuni. Syarh al-Asymuni ‘Ala Alfiah ibn Malik. software
Maktabah Syamilah Versi 2.1.
Qaththan, Manna’ Khalil al-. 2004. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an.
Terj. Mudzakir. Studi ilmu-ilmu al-Qur’an. Cet. VIII;
Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.
Qurthubi, Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakar ibn Farah
Abu ‘Abdillah al-. al-Jami‘ li Ahkami al-Qur’an. Soft
ware al-Maktabah al-Syamilah Versi 2.1.
Sabt, Khalid ‘Utsman al-. 1997. Mukhtashar fi Qawa‘id al-Tafsir.
Cet. I; Dar ibn ‘Affan.
Sabt, Khalid ‘Utsman al-. 1997. Qawa‘id al-Tafsir Jama‘an wa
Dirasatan. Cet.I; Dar Ibn ‘Affan.
Al-Suyuti. 1979. al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an al-Karim, Juz II,
Beirut: Dar al-Fikr.
Syihab, Quraish. 1993. Membumikan Alquran. Cet. V; Bandung:
Mizan.
Thabari, Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Katsir ibn Galib al-
Amali, Abu Ja‘far al-. 2000. Jami‘ al-Bayan fi Ta’wil al-
Qur’an. Cet. I; Beirut: Mu’assasah al-Risalah.

BAB V
KAIDAH AL-NAFY
A. Kaidah al-Nafy
Alquran sebagai pegangan hidup umat Islam dapat
dipahami dengan menafsirkannya. Akan tetapi, penafsiran
tidak dapat dilakukan setiap orang kecuali mempunyai
perangkat dasar keilmuan yang cukup dan melibatkan
mauhibah dari Allah Swt., dan orang-orang yang mendapatkan
mauhibah tersebut wajib menjelaskan Alquran kepada manusia,
baik melalui lisan maupun tulisan (Q.S. Ali Imran/3 : 187).
Rasulullah Saw. adalah orang pertama yang memiliki
‘kelebihan’ itu, kemudian diikuti oleh para sahabat di masanya,
tabi’in (orang-orang yang hidup bersama dan sesudah sahabat),
tabi’u al-tabi’in (orang yang hidup bersama dan sesudah tabi’in)
hingga ulama zaman sekarang ini (al-‘Uthaimin, 2008: 75-84).
Demikian halnya dengan urgensi mengetahui Alquran,
kalau mereka yang mendapat petunjuk berkewajiban
menyampaikan dan mengajarkan Alquran maka selain mereka
pun juga diamanahkan memikul tugas yang mulia ini. Namun,
begitu banyak diantara umat ini masih belum menerima
amanah tersebut, padahal setiap umat muslim wajib
mengetahui agamanya yang dimulai dari yang paling dasar
(ushul) agar pondasi yang dibangun tampak kokoh. Untuk itu,
diantara dasar agama khususnya bidang ilmu yang paling
agung dan ushul yang perlu dibangun seperti kokohnya sebuah
bangunan adalah ilmu tafsir atau penjelasan makna kalam Allah
Swt.
Para ulama telah meletakkan dasar-dasar ilmu tafsir,
biasa disebut qawa’id al-tafsir yang tidal lain adalah untuk
meluruskan dan mengarahkan umat ini kepada pemahaman
Alquran yang benar terhadap firman Allah Swt., dan dari
sekian bentuk kaidah-kaidah tafsir, kaidah al-nafyu merupakan
salah satu kaidah penting dalam memahami teks suci,
contohnya ketika Allah berfirman dalam Q.S. al-Kahfi/18: 49,
    (49)
Terjemahan:
“Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang pun jua”.
(Depag R.I., 2005: 300).

Secara tekstual, siapa pun mengira bahwa Allah mutlak


tidak menzalimi makhluk-Nya, padahal Allah sendiri
sempurna dan memiliki semua sifat itu sekalipun tidak
mendominasi sifat-sifat “baik” Allah, tentunya kedua hal itu
sangat kontradiksi, sebab di satu sisi Allah mengatakan tidak
menzalimi seorang pun, tetapi di sisi lain ketika Allah Swt.
menurunkan azab dan menghancurkan kaum penentang
“risalah langit”, ini mengindikasikan sifat tersebut juga dimiliki
Allah dengan segala kesempurnaan-Nya, untuk itu bagaimana
menyelesaikan “konflik” ini? Atau, cara memahami ayat itu
adalah dengan menganggap bahwa sunnatullah “bekerja”
untuk orang zalim maka akibat kezaliman itu akan kembali
menimpa dirinya sendiri.
Dalam tafsir dikenal kaidah : َ‫ص ُو ُد ِب ِه المد ح الَ بُ ِّد ِم ْن أَ ْن يَ ُكو ن‬
ُ ‫الن ْف ُي ال َم ْق‬
‫ضده‬ ‫ال‬
ِ ِ َ‫م‬‫ك‬َ ‫بات‬ ْ
‫إلاث‬ ‫ا‬ً ‫ن‬‫م‬ ‫َض‬
َ
ِّ ُ ‫ت‬‫م‬”nafyu (negasi) yang dimaksud adalah pujian
harus menjadi penguat dalam menetapkan kesempurnaan
antonimnya”, dari kaidah ini dipahami bahwa penyebutan lafal
pujian pada Q.S. al-Kahfi/18: 49 “tidak menzalimi seorangpun jua”
dimaksudkan untuk kesempurnaan sifat Allah, yaitu Maha Adil(al-
Sabt, 2000: 537), di sini sekalipun Allah “memiliki sifat zalim”, tetapi
Maha Adilnya Allah lebih ditonjolkan. (Q.S. al-Nisa’/4: 135).
     
      
        
        
       
 (135)
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah
biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum
kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang
kamu kerjakan”.
Demikian penjelasan singkat urgensi qawa’id al-tafsir,
yang mana keberadaannya sangat diharapkan dan diperlukan
dalam memahami tek-teks langit sebagai pedoman hidup
manusia. Dalam banyak kesempatan ulama tafsir telah banyak
menyusun kitab-kitab khusus tafsir dan kaidah-kaidahnya.
Pembahasan yang seringkali menjadi wilayah garapannya
antara ilmu tafsir, bahasa dan ilmu ushul al-fiqh adalah al-nafyu
(negasi). Bahasan ketiga disiplin ilmu ini sedikit banyaknya
memiliki kemiripan meskipun tidak sama, maksudnya jika
ilmu bahasa menfokuskan pada kajian bahasa semata,
kemudian ilmu ushul al-fiqh pada kajian-kajian syariat,
sementara ilmu tafsir lebih luas dari keduanya, terfokus pada
kandungan bahasa, hukum, dan sebagainya yang menjadikan
Alquran sebagai pijakan. Terkait al-nafyu, secara umum ketiga
disiplin ilmu ini menjadikan kaidah al-nafy secara etimologis
sama-sama berfungsi menegasikan atau meniadakan.
B. Kaidah al-Nafy dalam Alquran
1. Pengertian al-Nafy
Secara etimologis, al-nafy atau nafyun dari , ‫ ف‬,‫ ن‬dan (
‫ ي )الح"""رف العتل‬jika dirangakai menjadi ‫ نفي"""ا ونفيا‬-‫ ينفي‬-‫ نفى‬artinya
meniadakan, menegasikan, membuang dan mengeluarkan, pada
asalnya yaitu upaya meniadakan sesuatu dari yang lain dan
berusaha menjauhkannya (al-Sabt, 2000: 519) ‫ص ْن اَن‬ ِ ْ‫نَ ْف ُي الزَ انِي لَ ْم يُح‬
َّ
‫ “ يُ ْنفِي من بَلَ ِد ِه الذ ي هُ َو بِ ِه إِلَى بَلَ ٍد اَ َخ" ر َس"نَة‬Dikatakan (bentuk hukuman)
mengeluarkan pezina yang tidak terpelihara (dari kejahatan)
adalah dibuang/diusir dari negerinya ke negeri lain selama
setahun” (ibn Mandzur, t.th.: 336).
Sedangkan secara terminologis menurut al-Jurjani (t.th:
81), al-nafyu merupakan keterangan yang menunjukkan sesuatu
itu tidak dilakukan. Singkatnya, ibarat seseorang yang dengan
yakinnya mengklaim bahwa dialah pelaku dari suatu
perbuatan, tetapi kemudian datang berita benar me-nafi-kan
(menegasikan) klaim pelaku tersebut dengan bukti-bukti yang
jelas, sehingga menjadikan perbuatan itu sebenarnya tidak
dilakukan. Inilah yang kemudian dijelaskan al-Jurjani dengan
peniadaan suatu perbuatan dari seseorang (al-Jurjani, t.th: 81).
Bentuk penegasian tersebut sering menggunakan lafal “‫ “ال‬dan
sejenisnya yang fungsinya serupa, meskipun tidak selamanya
menggunakan huruf-huruf tersebut dalam al-nafyu, sebab
dalam ilmu kaidah tafsir tidak ditentukan secara spesifik
tentang macam dan jenis huruf al-nafyu, ini berarti tidak ada
huruf khusus al-nafyu. Tegasnya, al-nafyu adalah bentuk
penegasian berupa keterangan, lafal dan semacamnya dalam
Alquran yang memiliki fungsi beragam .
2. Kaidah-Kaidah al-Nafyu dalam Alquran
a. Kaidah Pertama:

ِ "‫"ال إِ َذا نَفَى ع َْن الخَ ْل‬


‫"ق‬ َ "‫ان َعلَ َى أَ َّن هللا تَ َع‬
ِ ْ‫اإل ْس"تِ ْق َراء فِ ْي القُ""ر‬ ِ ‫َد َّل‬
ٌ ‫ أَ َّن ُه الَ يَ ُكونُ لَهُ فِ ْي َذلِكَ اإِل ْثبَا ت َش ِر ْي‬،‫َش ْي ًءا َوأَ ْثبَتَهُ لِنَ ْف ِس ِه‬
.‫ك‬
Artinya :
Ditegaskan dalam Alquran bahwa sesungguhnya Allah
Swt. jika menegasikan/meniadakan sesuatu dari
mahluk dan menetapkannya untuk diriNya sendiri
(maka) tidak ada bagi Allah dalam ketetapan itu sekutu
(al-Sabt, 1997: 16).
Dalam kaidah ini dapat dipahami bahwa dalam
Alquran terdapat ayat-ayat yang mana Allah Swt. menegasikan
keterlibatan mahluk dan kemudian menunjuk diriNya sendiri
sebagai Maha Menetapkan. Ketika Allah Swt. menetapkan
sesuatu, maka mahluk tidak terlibat dalam urusan atau
ketetapan itu, sehingga yang tampak adalah hanya Allah Swt.
semata, Sang Penguasa Tunggal. Aplikasi dari kaidah ini antara
lain, Q.S. Ali ‘Imran/3: 7.

      


       
       
     
       
         
   (7)

Terjemahnya :
Dialah yang menurunkan Kitab (Alquran) kepadamu
(Muhammad) diantaranya ada ayat-ayat yang muhkamat,
itulah pokok-pokok Kitab (Alquran) dan yang lainnya
mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang
mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencarikan
takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahuinya kecuali
Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata
“kami beriman kepadanya (Alquran) semuanya dari sisi
Tuhan kami “. Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran
kecuali orang yang berakal” (Depag R.I., 2005: 51).
Muhkam adalah perkataan (wahyu) yang tampak jelas,
terang dan mampu membedakan antara yang benar dan salah,
antara yang jujur dan bohong, juga tidak membutuhkan
penjelasan lanjut. Sedangkan mutasyabih adalah perkataan
(wahyu) yang tampaknya memiliki kesamaan sekalipun pada
hakikatnya berbeda, tidak dapat berdiri sendiri dan
membutuhkan penjelasan (Al-Jurjani, Softwer, t.th.: .67; al-‘Ak,
softwer, 1986): 289; al-Suyuti, al-Maktabat al-Syamilah, ver. 2
softwer, t.th.: 231; Chirzin, 1998: 73).
Pada ayat di atas kalimat ‫( َو َما يَ ْعلَ ُم تَأْ ِويلَهُ إالَّ هللا‬padahal tidak
ada yang mengetahuinya kecuali Allah ) terdapat lafal “‫”ما‬
( tidak ada), di sini Allah menegasikan keberadaan siapapun
yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat, kemudian
menyebut kata “‫( ”إال‬kecuali) berfungsi sebagai penetapan dan
men-takhshishh (mengkhususkan) bahwa hanya Allah Swt.
semata (satu-satunya) yang mengetahui takwil dari ayat-ayat
mutasyabihat, meskipun terindikasikan ada upaya membuat
fitnah dan mencarikan takwil yang dibuat-buat oleh sebagian
orang yang hatinya kotor. Adapun menurut al-Khaththabi yang
dikutib Khalid Ibn Utsman al-Sabt, kalimat-kalimat ُ‫َو َما يَ ْعلَ ُم تَأْ ِويلَه‬
‫ إالَّ هللا‬adalah ُ‫( اِنَّهُ الَ يَعلَ َمهُ إالَّ هُ َو َو َح َده‬al-Sabt, 1997: 520) “bahwasanya
tidak ada yang mengetahui - takwil tersebut ayat-ayat
mutasyabihat - kecuali Dia [ Allah ] sendiri)”.
b. Kaidah Kedua:

‫ص اَحْ َس"ن ِم ْن إِ ْثبَ""ا ت‬


ِ ‫ت ْالخَ""ا‬
ُ ‫) َواِ ْثبَ""ا‬2( ‫ص‬
ِ ‫) نَفِ ُي ال َعام أَحْ َس ْن ِم ْن نَ ْف ِي ْالخَا‬1(
.‫ال َع ِام‬
Artinya:
(1) Nafyu al-’ammm (penegasian dalam bentuk umum)
lebih baik dari nafyu al-khashh (penegasian dalam
bentuk khusus)
(2) ‘Itsbat al-khashh (penetapan dalam bentuk khusus)
lebih baik dari ‘itsbat al-’ammm (penetapan dalam
bentuk umum) (al-Sabt, 1997: 17).
Menurut Khalid, ‘amm disini sesuai dengan penggunaannya
pada ilmu bahasa, yang berarti syamil (luas/merata) bukan yang biasa
dipakai para ahli ushul yang membatasi pada suatu perkataan
menyangkut segala sesuatu dari satu macam jenis (golongan).
Menurut Abdul Qadir Hassan t.th.: 41-44), pada kalimat ’amm
(dalam ilmu ushul) biasanya ditandai dengan beberapa lafal
seperti ‫ جميع‬,‫ كل‬,‫ ما‬,‫ من‬dan semacamnya. Seperti kalimat “siapa-
siapa saja” (Q.S. al-Nisa’/4: 123) Allah swt. berfirman:
    
Terjemahnya:
Siapa saja yang mengerjakan kejehatan akan dibalas
dengan kejehatan itu (Depag R.I., 2005: 98).
Sedangkan khash yang dimaksud dalam kaidah ini adalah
sesuatu yang menjadi bagian dari ‘amm, seperti dalam Q.S. Al-
Baqarah/2: 17 Allah menyebutkan lafal ‫(ن"""ور‬cahaya) lebih luas
cakupannya dari pada ‫( ضوء‬sinar) semata, sehingga sinar posisinya
khash, menjadi bagian dari cahaya.
Disebutkan pada kaidah pertama ‘amm dan khash (‫أَحْ َسن‬
‫ ) ِم ْن نَفِي ْالخَ " ا ص الع""ام نَف ُي‬ketika Allah menyebutkan sesuatu yang
ْ
khusus kemudian dilanjutkan penyebutan sesuatu yang umum
di dalam menegasikan sesuatu itu, maka cukuplah
peneyebutan sesuatu yang umum mencakup yang khusus
tersebut. Itulah sehingga ‫ نفي الع"""ام‬menjadi lebih baik dalam
penyebutannya daripada menyebutkan yang khusus saja.
Penjelasan lebih lanjut bisa dilihat pada contoh di bawah ini,
dalam Q.S. Al-Baqarah/ 2: 17 Allah Swt. berfirman:
      
        
 (17)
Terjemahnya:
Perumpamaan mereka seperti orang-orang yang
menyalakan api, setelah menerangi sekelilingnya, Allah
melenyapkan cahaya (yang menyinari) mereka dan
membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat
melihat (Depag R.I., 2005: 5).
Kalimat ‫ت م""""""""ا َ حَوْ لَه‬ َ َ‫( فَلَ َّما أ‬setelah
ْ ‫ض""""""""ا َء‬ menerangi
sekelilingnya) yang berbentuk khusus diakhiri dengan kalimat
‫َب هللا بِنُ"""و ِر ِه ْم‬
َ ‫( َذه‬Allah melenyapkan cahaya [yang menyinari]
mereka) berbentuk umum. Di sini Allah sengaja menggunakan
lafal ‫( نور‬cahaya) setelah menyebutkan kalimat khusus (al-Sabt,
1997: 521 – 522), karena penyebutannya mencakup segala
bentuk dan bagian-bagian ‫ نُوْ ٌر‬seperti ‫ضوْ ٌء‬ َ (sinar) dan sejenisnya.
Selanjutnya kaidah kedua dari ‘amm dan khash ( ‫ت ْالخَا‬ ِ ‫إِ ْثبَا‬
ْ ْ َ
ِ ‫)ص أ حْ َس "ن ِم ْن إِثبَ""ا‬
‫ت ال َع""ا ِم‬ ِ menerangkan bahwa ketika Allah Swt.
menetapkan yang khusus – secara tidak langsung - sudah
mencakupi yang umum, contohnya Allah berfirman Q.S. al-
Fath/48: 29,
   (29)
Terjemahnya:
Muhammad itu adalah rasul (utusan) Allah (Depag R.I.,
2005: 516).
Ayat ini menyebutkan bahwa Muhammad adalah ‫َر ُس ُو ُل‬
ِ‫ هللا‬seorang Rasul Allah Swt. (berbentuk khusus) memiliki
derajat tinggi dan mulia di hadapan Allah. Lafal Rasulullah
adalah khusus, tidak seperti nabi (bentuk umum) meskipun
sama-sama adalah utusan Allah Swt. logikanya seseorang tidak
akan menjadi rasul kalau bukan nabi, sebaliknya nabi belum
tentu rasul, karena rasul hanyalah dari kalangan nabi dan
diberikan amanah tambahan untuk mendakwahkan risalat al-
tawhid (ajaran meng-esakan Allah Swt. dan tidak
menyekutukanNya dengan yang lain) kepada kaumnya dan
semua manusia, sedangkan “nabi” hanya sebatas kaumnya dan
sebatas memperbarui ajaran yang sudah ada sebelumnya,
untuk it ulah Allah menyebutkan “rasulullah” (bentuk khusus)
kepada Muhammad daripada menyebutkan “nabyullah” saja
(bentuk umum).

c. Kaidah Ketiga
.‫نَفِ ْي ااْل َ ْد نَى أَ ْبلَ َغ ِم ْن نَفِ ِي اأْل َ ْعلَى‬
Artinya:
Penyebutan nafyu al-‘adna (penegasian sesuatu yang
lebih rendah) lebih memadai dari pada nafyu al-‘a’la
(penegasian sesuatu yang lebih tinggi) (al-Sabt, 1997:
521 – 522).
Aplikasi dari kedah ini dapat dilihat pada firman Allah
pada Q.S. al-A’raf/7: 61.
        
 (61)
Terjemahnya: Dia )Nuh( menjawab, “wahai kaumku!
Aku tidak sesat, tetapi aku ingin seorang Rasul dari
Tuhan seluruh alam” (al-Sabt, 1997: 159).
Firman Allah Swt. Q.S. al-A’raf/7: 60.
        (60)
Terjemahnya:
Pemuka-pemuka kaumnya berkata, “sesungguhnya kami
memandang kamu benar-benar dalam kesesatan nyata” (al-Sabt,
1997: 159).
Ayat 61 di atas menjawab ayat 60 tentang kesesatan,
lafal ‫ الضاللة‬lebih rendah kedudukannya dan sedikit dari ‫الضالل‬,
hanya digunakan untuk perbuatan tunggal, sedangka ‫الض الل‬
kedudukannya tinggi, dan dipakai pada semua bentuk
perbuatan yang sedikit maupun banyak, namun penggunaan
‫ الضاللة‬dalam menegasikan sesuatu yang lebih tinggi dianggap
memadai (al-Sabt, 1997: 68).
Allah Swt. juga berfirman dalam Q.S. ali-‘Imran/3: 133,
     
(133)
Terjemahnya:
Dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan
bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa”.
Lafal ‫(ع رض‬luas) kedudukannya rendah (al-Zarkasyi,
1931: 403), tapi sengaja dipilih Allah dalam menegasikan
bentuk-bentuk lainnya seperti ‫( طول‬panjang ) karena ‫عرض‬pasti
memiliki ‫طول‬, sebaliknya ‫ طول‬tidak memiliki ‫ عرض‬.

d. Kaidah Keempat
.‫ت بَ ْينَ ْال َكالَ َم ْي ِن بِ َجحْ َد ْي ِن َكا نَ ْالكَاَل ُم إِ ْخبَارًا‬
ْ ‫العرب إِ َذا َجا َء‬
Artinya:
Orang-orang Arab memahai bahwa jika ada di antara
dua perkataan yang menyangkali/mengingkari maka
perkataan itu berita (al-Sabt, 1997: 524).
Sudah menjadi kebiasaan Orang Arab jika terdapat dua
ucapan/perkataan yang tampaknya saling mengingkari atau
bertolak belakang maka mereka memahaminya sebagai berita
yang tidak hanya dipahami tekstual semata melainkan
‘sebaliknya’, contoh dalam Q.S. al-‘Anbiya’/21: 8 Allah
berfirman:
      .....(8)

Terjemahnya:
Dan kami tidak menjadikan mereka (rasul-rasul) suatu
tubuh yang tidak memakan makanan…(Depag R.I.,
2005: 323).
Secara tekstual ayat ini menerangkan bahwa Allah Swt.
tidak menjadikan tubuh mereka (para rasul) yang tidak butuh
makanan, maksudnya adalah sesungguhnya Allah Swt.
menciptakan mereka dengan tubuh yang butuh makan. Tek-
teks seperti ini redaksi tekstual dan kontekstualnya sepertinya
cukup sulit untuk dipahami, karena harus “ditafsirkan” lebih
dalam lagi, meskipun telah diketahui inti maknanya, ayat-ayat
seperti itu bagi orang Arab hanya dianggap berita semata.
Untuk itu, Menurut ibn al-Jarir al-Tabari (2001: 229).,
takwil yang benar dan ayat ini adalah
ِ ‫ك يَا ْم َح َّمد إِلى األُ َم ِم ْال َم""ا‬
‫ض "يَ ِة‬ َ " ِ‫و َما َج َع ْلنَا ال ُر ُس َل ال ِذ ْينَ أَر َس ْلنَاهُ ْم ِم ْن قَ ْبل‬
َ‫( َج َس"دًا ال يَ""أْ ُكلُ""ونَ الطَّ َع""ا َم ) لَ ْم نَ َّج َع ْلهُ ْم َماَل ِء َك""ة اَل يَ""أْ ُكلُ""و ن‬،َ‫"ل أُ َّمتِ"ك‬ َ "‫قِ ْب‬
‫ َولَ ِكنَ َج َع ْلنَا هُم أَجْ َسادًا ِم ْثلُكَ يَأْ ُكلُونَ الطَّ َعا َم‬،‫الطَّ َعا َم‬
Artinya:
Dan tidaklah kami menjadikan rasul-rasul! yang kami
utus sebelum kamu wahai Muhammad kepada kaum-
kaum terdahulu sebelum kaummu tubuh yang tidak
memakan makanan, kami tidak menjadikan mereka
(seperti) malaikat yang tidak memakan makanan akan
tetapi kami jadikan mereka tubuh-tubuh seperti kamu
yang memakan makanan.

e. Kaidah Kelima

ِ ‫ َوقَ" ْدي َُرا ُد بِ" ِه نَ ْف ُي اإْل‬،‫نَفِ ُي اإْل ِ ْستِطَا َع ِة قَ" ْد يُ" َرا ُد بِ" ِه نَ ْف ُي ْالقَ" ْد َر ِة َواإْل ِ ْم َك"ا ِن‬
.‫وف بِ َم َشقَّ ٍة و ُك ْلفَ ٍة‬
ُ ُ‫ َوقَ ْديُ َرا ُدبِ ِه ْال ُو ق‬، ‫َاع‬
ِ ‫ْمتِن‬
Artinya:
Bentuk nafyu al-‘istitha’ah (penegasian suatu
kemampuan) dimaksudkan adalah nafyu al-qudrah
(penegasian suatu ketentuan) dan nafyu al-imkan
(penegasian suatu kesanggupan), atau dimaksudkan
nafyu al-imtina’ (penegasian suatu yang dihalangi) dan
boleh juga dimaksudkan berhenti (tidak sanggup)
karena masyaqqah (kesulitan) dan beban berat (al-Sabt,
1997: 524).
Adapun apilkasi dan kaidah ini sebagai berikut:
Kaidah pertama; Nafyu al-istitha’ah (penegasian suatu
kemampuan) dimaksudkan Nafyu al-qudrah (penegasian suatu
ketentuan). Dalam kaidah ini Allah Swt. sebagai subyek
menyangsikan kemampuan obyekNya dengan menggunakan
bentuk lafal nafyu “‫ ”ال‬yang berfungsi menegasikan. Allah Swt.
berfirman dalam Q.S. al-’Anbiya’/21: 40,
   (40)
Terjemahnya: maka mereka tidak sanggup menolaknya
(Depag R.I., 2005: 326).
Lafal la yastathi’una secara bahasa berarti tidak sanggup.
Allah menggunakan kata ini kepada orang kafir menunjukkan
ketidak-mampuan mereka ketika datang azab Allah Swt.
Pada dasarnya, azab Allah Swt. diturunkan kepada
semua manusia beriman maupun kafir, orang beriman ketika
azab Allah datang mereka hanya bisa menerima dan
menganggap hal itu merupakan ketentuan Allah, sehingga
tidak ada satu makhluk pun yang sanggup menolak azab itu.
Lain dengan orang kafir, di saat Allah menurunkan azab
mereka selalu mengatakan, kami mampu dan sanggup
menghadapi azab Allah Swt., padahal ketika azab itu datang
mereka sekali-kali tidak sanggup dan mustahil menolak azab
Allah itu.
Logikanya, Allah sudah menjadikan dan menciptakan
laki-laki dengan segala sifat dan kehebatannya yang mampu
dalam semua hal, tapi dengan segala kemampuan (‫ )إستطاعة‬laki-
laki itu Allah sudah menentukan bahwa mereka “tidak
sanggup melahirkan”. Lafal “tidak sanggup” yang digunakan
berbentuk menegasikan kernampuan laki-laki melahirkan,
sebenarnya yang diinginkan adalah “ketentuan laki-laki
mustahil dapat melahirkan”. Jelas bahwa sekalipun yang
digunakan lafal-lafal al-nafyu/negasi “tidak sanggup” tetapi
yang diinginkan adalah ‫( الق"""درة‬kesanggupan). lnilah yang
dimaksud dengan ‫نَفِ ُي اإْل ِ ْستِطَا َع ِة قَ ْد ي َُرا ُد بِ ِه نَ ْف ُي ْالقَ ْد َر ِة‬
Kaidah kedua; nafyu al-istitha’ah (penegasian suatu
kemampuan) dimaksudkan nafyu al-‘Imtana’ (penegasian suatu
yang dihalangi). Contoh kaidah ini dapat dipahami
percakapan antara Isa dan pengikutnya yang setia, ketika itu
mereka bertanya apakah Allah sanggup menurunkan hidangan
dari langit? Kemudian dijawab oleh Isa, bertakwalah ka1ian
kepada Allah jika kamu orang-orang beriman. Hakikatnya,
pengikut Isa sudah tahu bahwa Isa bisa menjawab pertanyaan
mereka dan Allah sanggup menurunkan hidangan dari langit,
tetapi tujuan sesungguhnya dari pertanyaan ini adalah
meminta penjelasan lanjut terkait apakah ada larangan dan
penolakan? Namun, sebagai pengikut Isa yang beriman kepada
Allah Swt. tidak layak bertanya demikian, apalagi meragukan
kekuasanNya (al-Sabt, 1997: 525; ibn Kathir, 1990: 114). Swt.
berfirman dalam Q.S. al-Maidah/5: 12,
      
      
        (12)
Terjemahnya:
(Ingatlah), ketika pengikut-pengikut Isa yang setia
berkata, “wahai Isa putra Maryam! Bersediakah
tuhanmu menurunkan hidangan dan langit kepada
kami?” Isa menjawab “bertakwalah kepada Allah jika
kamu orang-orang beriman” (ibn Kathir, 1990: 127).
Kaidah ketiga; Nafyu al-istitha’ah dimaksudkan berhenti
(tidak sanggup) karena masyaqqah (kesulitan) dan beban berat.
Contohnya Q.S. al-Kahfi/18: 67 Allah berfirman:
     (67)
Terjemahan: Sungguh engkau tidak akan sanggup sabar
bersamaku (Depag R.I., 2005: 302).
f. Kaidah Keenam

.‫ق بِ َما اَل يَ ُكو نُ فَقَ ْد نَفِ َي َكوْ نُهُ َعلَى أَ ْب َعد ْالو جُو ِه‬
َ ِّ‫ُكلْ أَ ْم ٍر قَ ْد ُعل‬
Artinya:
Setiap urusan yang dikaitkan dengan apa yang tidak
(akan) terjadi/tidak ada, maka dinegasikan
keberadaannya sejauh mungkin (mustahil) (al-Sabt,
1997: 17).
Contoh, Q.S. al-Zukhruf/43: 81 Allah berfirman:
      
 (81)
Terjemahnya:
Katakanlah (Muhammad) jika benar Tuhan Yang Maha
Pengasih mempunyai anak, maka akulah orang yang
mula-mula memuliakan (anak itu) (al-Sabt, 1997: 496).
Maksud ayat ini adalah menegasikan bahwa Allah Swt.
mustahil memiliki anak, dan ayat ini dipahami sebagai
mubalagah.
g. Kaidah Ketujuh

. ُ‫ ُمبَا لَغَة فِ ْي النَّفِ ْي َوتَأْ ِك ْيدًالَه‬،‫قَ ْد يَ ِر ُدنَ ْف ُي ال َّشي ِء ُمقَيّدًا َو ْال ُم َر ا ُد نَ ْفيُهُ ُم ْتلَقًا‬
Artinya:
Terkadang adanya penegasian sesuatu yang muqayyad
(sesuatu yang terikat dengan sifat atau syarat atau
ketentuan tertentu) dan dimaksudkan menegasikan
yang mzitlaq (sesuatu yang tidak terikat sifat atau syarat
atau ketentuan tertentu), adalah mubalagah dalam
penegasian itu dan ta’kidan (penegasan) untuknya (al-
Sabt, 1997: 17).
Contohnya dalam Q.S. Gafir/40: 18 Allah berfirman:

ِ ِ‫َما لِلظِّينَ ِم ّن َح ِم ِيم َو اَل َشف‬


ُ ‫يع يَطَا‬
)18 ( ‫ع‬
Terjemahnya:
Tidak ada seorang pun teman setia bagi orang yang
zalim dan tidak ada baginya seorang penolong yang
diterima (pertolongannya) (Depag R.I., 2005: 470).
Dipahami dan ayat ini bahwa bukanlah maksud
menegasikan (penolong) dengan adanya qyad (keterkaitan)
dengan ‫( الطاعة‬ketaatan), tapi disini posisinya ‫( مطلق‬sesuatu
yang tidak terikat sifat atau syarat atau ketentuan tertentu) (al-
Maliki, t.th.: 142). Ayat ini tidak diperuntukkan kepada semua
pelaku zalim baik muslim maupun kafir, tetapi zalim disini
mutlak kepada orang kafir saja, sebab mereka tidak akan
mendapatkan syafaat dan siapapun dan Allah juga tidak butuh
ketaatan mereka (al-Qurthubi, t.th.: 39). Sedangkan muslim
pasti mendapatkan syafaat -ketika mereka taat - dari Allah,
Rasul dan orang-orang yang beriman lainnya (al- Hanafi, 2005:
205-207).
h. Kaidah Kedelapan
.‫َلز ُم نَفِ ْي ْال ُم َسا َوا ِة‬ ِ ‫نَ ْف ُي ْالتَ ْف‬
ِ ‫ض ْي ِل الَ يَ ْست‬
Artinya:
Menegasikan sesuatu yang diutamakan tidak berarti
menegasikan yang sama (al-Sabt, 1997: 17).
Kaidah ini menerangkan bahwa ketika Allah
menyebutkan suatu perkara penting yang sepertinya sama,
kemudian Allah mempertanyakan hal itu dengan lafal ‫تقضل‬
(yang lebih....) seperti “siapakah yang lebih zalim”, dan
semacamnya seakan-akan ingin memnadingkan segala
perbuatan yang sama itu, padahal fungsi penyebutan itu
adalah ingin menegaskan bahwa tidak ada lagi perbuatan yang
lebih zalim daripada apa yang dilakukan sebagian makhluk-
Nya dalam perkara tertentu (al-Sabt, 1997: 529).
Contohnya dalam Q.S. al-Baqarah/2: 114, Allah Swt.
berfirman,
        
(114) 
Terjemahnya:
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang
melarang di dalam masjid - masjid Allah untuk
menyebut namaNya (Depag R.I., 2005: 19).
Maksudnya, begitu banyak perbuatan zalim, tetapi
untuk yang satu ini sudah tidak ada lagi perbuatan yang lebih
zalim di kalangan makhluk-Nya dan kezaliman seseorang yang
melarang nama Allah disebut (beribadah) dalam masjid-Nya.
i. Kaidah Kesembilan
.‫ َواَل يَل َز ُم ِم ْن نَ ْفيِ ِه نَ ْف ِي اأْل َ وْ لَ ِويَّ ِة ُمقَا بَلَة‬،‫ح اَل يَ ُد ُل َعلَى ْال َع ِز ْي َم ِة‬
ِ ‫نفي ال ُجنَا‬
Artinya:
Nafyu al-junah (menegasikan kesulitan) tidak
menunjukkan kewajiban dan tidak mengharuskan
penegasiannya, bentuk negasi prioritas yang dihadapi
(al-Sabt, 1997: 17).
Contohnya, Q.S. al-Nisa/4: 101 Allah Swt. berfirman:
       
......   (101)
Terjemahnya:
Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa
kamu meng-qashar salat(Depag R.I., 2005: 95).
Menurut Khalid, ayat ini dilihat dan lafazhnya hanya
menunjukkan jika seseorang melakukan perjalanan dan ingin
terbebas dan kesulitan (perjalanan) itu maka perlu melaksanakan
salat qashar, artinya ayat ini tidak mutlak mewajibkan seseorang
meng-qasar salat pada semua perjalanan. Adapun mencari keterangan
detail melebihi pesan ayat ini, seperti dalil kewajiban salat qashar,
maka perlu mencari dalil lain (al-Sabt, 1997: 529-530; al-Tuwayjiri,
2005: 526-530).
j. Kaidah Kesepuluh
‫نَفِ ُي ْال ِح ِّل يَ ْست َْلز ُم التَّحْ ِر يْم‬
Artinya:
Nafyu al-hilli (menegasikan sesuatu yang halal) bermaksud al-
tahrim (penghargaan) (al-Sabt, 1997: 17).
Contoh Q.S. al-Baqarah/2: 230 Allah Swt. berfirman:
        
   (230)
Terjemahnya:
Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak
kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya
sebelum dia menikah dengan sumi yang lain (Depag
R.I., 2005: 37).
Istri pada dasarnya halal bagi suami, tetapi akan
menjadi tidak halal karena talak (perceraian). Untuk itu, syarat
Islam sudah menjelaskan meskipun talak dibolehkan Allah
tetapi secara tidak langsung menjadikan istri yang ditalak
haram bagi suaminya, kecuali jika mantan istrinya itu telah
menikah sah dengan laki-laki lain dan ditalak sah (legal tanpa
rekayasa), inilah yang dimaksud kaidah di atas ‫نَفِ ُي ْال ِح" لِّ يَ ْس"ت َْلز ُم‬
‫( التَّحْ"""""" ِر يْم‬menegasikan sesuatu yang halal bermaksud
pengharaman)
k. Kaidah Kesebelas
ْ ‫قَ ْد يُ ْنفَي ال َّشى ُء فِ ْي ْالقُر ا ِن َر ْأ سًا َوإِ ْن َكا ن‬
‫ ِل َع" د َِم‬،ً‫َت ضُو َرتُ"هُ َم""و ُج""و َدة‬
.‫ أَوْ اِل ْنتِفَا ِء ثَ َم َرتِ ِه‬،‫َك َما ِل َوصْ فِ ِه‬
Artinya:
Terkadang ditiadakan sesuatu yang mendasar dalam
Alquran meski wujudnya ada, disebabkan tidak
sempurnanya sifat sesuatu itu atau untuk membuang
hasilnya (al-Sabt, 1997: 17).
Maksud dari kaidah ini, ketika Allah Swt. menegasikan
sesuatu maka sesuatu itu sekalipun memiliki kesamaan wujud
dianggap tidak sempurna dan tidak bermanfaat, karena
kesempurnaan sesuatu hanyalah Allah Swt. yang mengetahui,
dan Dia semata yang menentukannya. Contoh aplikasinya Q.S.
Thaha/20: 74 Allah Swt. berfirman:
     (74)
Terjemahnya:
Dia tidak mati (terus merasakan azab) di dalamnya dan
tidak (pula) hidup (Depag R.I., 2005: 317).
Kematian di mata manusia adalah ketika seseorang
sudah dikuburkan, padahal di mata Allah itu bukanlah
kematian, melainkan pindah dari alam dunia ke alam kubur,
maka benar jika Allah mengatakan “dia tidak mati” karena
hakikatnya dia hidup dan merasakan azab pedih dalam kubur.
Sedangkan kematian sebenarnya menurut Allah Swt. adalah
menuju peristirahatan yang damai bukan
hilangnya/terputusnya ruh dan jasad manusia.
l. Kaidah Keduabelas
ِّ ِ‫ت ْال َمو صُو فَة قد يَ ُكو نُ نَ ْفيً"ا ل‬
ُ‫ َوقَ"د يَ ُك"و ن‬، ‫لص"فة ُدوْ نَ ال" ِّذ ات‬ ِ ‫نفي ال َذ ا‬
َّ ‫نَ ْفيًا‬
. َ‫للذ ا ت َك َذالِك‬

Artinya:
Me-nafi-kan zat yang disifati adalah nafyu (penegasian)
untuk sifat semata bukan zatnya dan boleh jadi nafyu
terhadap zatnya juga (al-Sabt, 1997: 17).
Kaidah pertama; peniadaan zat yang disifati adalah
peniadaan untuk sifat semata, bukan zatnya. Contoh penerapan
kaidah ini Q.S. al-’Anbiya’/21: 8 Allah Swt. Berfirman,
      
  (8)
Tejemahnya:
Dan tidaklah Kami jadikan mereka tubuh-tubuh yang
tiada memakan makanan, dan tidak pula mereka itu
orang-orang yang kekal (Depag R.I., 2005: 323).
Pada hakikatnya tubuh mereka itu memakan makanan
(Ibn ‘Asyur, t.th.: 129), sedangkan penyebutan “tiada memakan
makanan” hanya ditujukan kepada sifatnya saja bukan zatnya
(tubuh).
Kaidah kedua; peniadaan zat yang disifati adalah
peniadaan untuk sifat dan zatnya. Contoh penerapannya Q.S.
al-Mudatstsir/74: 48 Allah Swt. berfirman:
    (48)
Terjemahnya:
Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dan orang-
orang yang membcrikan syafaat (Depag R.I., 2005: 579).
Maksudnya, pada hakikatnya mereka (orang kafir)
memang tidak memiliki syafaat baik sifat maupun zatnya(al-
Bagaqi, 1997: 273) maka kedua-duanya di-nafi-kan oleh Allah
Swt.

m. Kaidah Ketigabelas
‫َض" ِّمنًا إل ْثب""ا ت َك َم""ا ِل‬
َ ‫ص"و ُد بِ" ِه ال""د ح اَل بُ" ِّد ِم ْن أَن يَ ُك""و نَ ُمت‬
ُ ‫الن ْف ُي ال َم ْق‬
.‫ضده‬ ِ
Artinya:
Nafyu (negasi) yang bermaksud pujian harus menjadi
penguat dalam menetapkan kesempurnaan antonim.(al-
Sabt, 2000: 17).
Maksudnya, sesuatu yang menjadi objek berupa pujian
harus menjadi penguat fungsinya demi kesempurnaan
antonimnya. Contoh Q.S. al-Kahfi/18: 49 Allah Swt. berfirman:
    
Terjemahnya:
Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang jua pun (Depag
R.I., 2005: 300).
Lafal la yazhlimu (tidak menzlimi) adalah pujian (al-
Alusi, t.th.: 275) penggunaannya dimaksudkan untuk
menunjukkan kemahaadilan Allah Swt. (antonimnya).

C. Khatimah
Kaidah al-nafyu adalah bentuk peniadaan berupa
keterangan, lafal dan semacamnya dalam Alquran yang
memiliki fungsi beragam. Adapun kaidah-kaidah yang
dimaksud antara lain adalah:
1. Ditegaskan dalam Alquran bahwa sesungguhnya Allah
Swt. jika menegasikan/meniadakan sesuatu dari
makhluk dan menetapkannya untuk diri-Nya sendiri
(maka) tida ada bagi Allah dalam ketetapan itu sekutu.
2. -Nafyu al-‘Amm (penegasian dalam bentuk umum) lebih
baik dari nafyu al-khash (penegasian dalam bentuk
khusus).
-Itsbat al-khash (penetapan dalam bentuk khusus) lebih
baik dari itsbat al-‘amm (penetapan dalam bentuk umum).
3. Penyebutan nafyu al-adna (penegasian sesuatu yang lebih
rendah) lebih memadai dari pada nafyu al-‘a’la
(penegasian sesuatu yang lebih tinggi)
4. Orang-orang Arab memahami bahwa jika ada diantara
dua perkataan yang menyangkali/mengingkari maka
perkataan itu berita.
5. Bentuk nafyu al-istitha’ah (penegasian sesuatu
kemampuan) dimaksudkan adalah nafyu al-qudrah
(penegasian suatu ketentuan) dari nafyu al-imkan
(penegasian suatu kesanggupan), atau dimaksudkan
nafyu al-imtina’ (penegasian suatu yang dihalangi) dan
boleh juga dimakdukan berhenti (tida
k sanggup karena masyaqqah (kesulitan) dan beban berat.
6. Setiap urusan yang dikaitkan dengan apa yang tidak
(akan) terjadi/tidak ada, maka dinegasikan
keberadaannya sejauh mungkin (mustahil)
7. Terkadang adanya penegasan sesuatu yang muqayyad
(sesuatu yang terikat dengan sifat atau syarat atau
ketentuan tertentu) dan dimaksudkan menegasikan yang
muthlaq (sesuatu yang tidak terikat sifat atau syarat atau
ketentuan tertentu), adalah mubalagah dalam penegasian
itu dan penegasan untuk.
8. Menegasikan sesuatu yang diutamakan tidak berarti
menegasikan yang sama.
9. Nafyu al-junah (menegasikan kesulitan) tidak
menunjukkan kewajiban dan tidak mengharuskan
penegasiannya, bentuk negasi prioritas yang dihadapi.
10. nafyu al-hilli (menegasikan sesuatu yang halal)
bermaksud al-tahrim (pengharaman).
11. Terkadang ditiadakan sesuatu yang mendasar dalam
Alquran meski wujudnya ada, disebabkan tidak
sempurnanya sifat sesuatu itu atau untuk membuang
hasilnya.
12. Me-nafi-kan zat yang disifati adalah nafyu (penegasian)
untuk sifat semata bukan zatnya dan boleh jadi nafyu
terhadap zatnya juga.
13. Nafyu (negasi) yang bermaksud pujian harus menjadi
penguat dalam menetapkan kesempurnaan antonim.
Demikian penjelasan dan pemaparan singkat dari
kaidah al-nafyu yang penulis hadirkan dalam makalah ini,
semoga bermanfaat dalam rangka memahami dan
menkonteksualkan teks-teks langit.

DAFTAR PUSTAKA

‘Ak, Khalid Abd al-Rahman al-. 1986. Usul al-Tafsir wa


Qawa’iduhu. Cet. II; Bairut: Dar al-Nafa’is [softwer].
‘Uthaimin, Muhammad ibn Salih al-. 2008. “Ushulun fi al-
Tafsir”. Terj. Abu Abdillah Ibnu Rasto, Kaedah
Menafsirkan al-Qur’an. Cet. I; Sidodadi: Pustaka Ar-
Rayyan.
Alusi, Syihabuddin Mahmud ibn ‘Abdillah al-Husayni al-. Ruh
al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-Azim wa al-Sab’ul al-
Matsani. dalam al-Maktabat al-Syamilah, ver. 2
[software].
Bagaqi, Abu Muhammad al-Husayn ibn as’ud al-. t.th. Ma’alim
al-Tanzil. Juz VIII, Dar al-Nasyr wa al-Tauzi’ dalam al-
Maktabat al-Syamilah, ver. 2 [software].
Chirzin, Muhammad. 1998. al-Qur’an dan Ulumul Qur’an.
Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
Departemen Agama R.I. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Qur’an,
al-Huda Kelompok Gema Insani.
Hanafi, Ibnu Abi al-‘Izz al-. 2005. Sharh al-‘Aqidah al-
Tahawiyyah. Chairo: Dar al-‘Aqidah.
Hassan, Abdul Qadir. t.th. Ushul Fiqih. Bangil: Yayasan al-
Muslimun.
Ibn ‘Asyur, Thahir. al-Tahrir wa al-Tanwir dalam al-Muktabat al-
Syamilah ver. 2 [software].
Jurjani, al-. al-Ta’rifat. dalam al-Maktabat al-Syamilah, ver. 2
[softwer].
Maliki, al-Sayyid ‘Alwi ibn Sayyid’Abbas al-. t.th. Faidu al-
Khabir wa Khulasatu al-Taqrir ‘ala Nahji al-Tasyir: Syarh
Manzumat al-Tafsir. Surabaya: Muktabat al-Hidayah. 
Mishri, Muhammad ibn Mukarram ibn Mandzur al-Afriqi al-.
t.th. Lisan al-Arab. Juz XV, Cet. I; Beirut: dar Sadir,
dalam al-Maktabat al-Syamilah, ver. 2 [softwer]. 
Quraisyi, Abu al-Fida’ ‘Isma’il ibn ‘Umar ibn Kathir al-. 1990.
Tafsir Ibn Katsir. Juz III, Cet. II; t.t.: Dar al-Thayyibah li
al-Nasyr wa al-Tauzi’ dalam al-Maktabat al-Syamilah
ver. 2 [software].
Qurthubi, Syamsuddin al-. t.th. Tafsir al-Qurthubi. Juz I, Cet. I;
Beirut: Dar Shadir dalam a-Maktabat al-Samilah, ver. 2
[software]. 
Sabt, Kahlid ibn ‘Uthman al-. 1997. Mukhtasar fi Qawa’id al-
Tafsir. Cet. I; al-Mamlakah al- ‘Arabiyyah al-
Sa’udiyyah: Dar ibn ‘Affan.
Sabt, Khalid ibn ‘Uthman al-. 1421 H. Qawa’id al-Tafsir Jam’an
wa Dirasatan. Jilid II, Cet. I; t.t.: Dar ibn ‘Affan.
Suyti, Jalal al-Din al-. al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. dalam al-
Maktabat al-Syamilah, ver. 2 [softwer]
Thabari, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-. 2001. Tafsir al-
Tabari: Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an. Juz XVI,
Cet. I; Cairo: Markaz al-Buhuth wa al-Dirasat
al-‘Arabiyyat al-Islamiyyah.
Tuwayjiri, Muhammad Ibrahim ibn ‘Abdullah al-. 2005.
Mukhtasar al-Fiqhi al-Islami. Cet. I; Riyadh: Bayt al-
Afkar al-Duliyyah.
Zarkasyi, Muhammad ibn Bahadur ibn ‘Abdillah al-. 1931. al-
Burhan fi ‘Ulum al-Quran. Juz 3, Beirut: Dar al-Ma’rifah,
dalam al-Maktabat al-Syamilah, ver. 2 [software]. 
BAB VI

KAIDAH AL-ISTIFHAM

A. Kaidah Al-Istifham
Alquran yang merupakan bukti kebenaran Nabi
Muhammad Saw. sekaligus sebagai petunjuk urnat manusia.
(Q.S. al-Baqarah/2: 185). Kapan dan di mana pun memiliki
pelbagai macam keistimewaan. Keistimewaan tersebut antara
lain susunan bahasanya yang unik dan mempesona, pada saat
yang sama mengandung makna-makna yang dapat dipahami
oleh siapapun yang memahami bahasanya, walaupun
pemahaman mereka akan berbeda akibat berbagai faktor.
Melihat betapa urgen dan sentralnya posisi sebuah
penafsiran atas kitab suci Alquran, maka upaya untuk
menemukan dan memahami pesan-pesan Alquran dikenal
adanya istilah tafsir. Tafsir didefinisikan sebagai keterangan
dan penjelasan arti dan maksud ayat-ayat al-Qur’an sebatas
kemampuan manusia (al-Zahabi, 1976: 15). Menurut a1-
Zarqani, tafsir merupakan kunci gudang simpanan yang
tertimbun dalam Alquran. Tanpa tafsir, orang tidak akan dapat
membuka gudang simpanan tersebut untuk mendapatkan
mutiara dan permata yang ada di dalamnya. (al-Zarqani, t.th.:
470). Namun, untuk sampai kepada masalah tafsir, diperlukan
ilmu tafsir, merupakan pokok dan segala ilmu agama, sebab ia
diambil dan Alquran, maka ia menjadi ilmu yang saugat
dibutuhkan oleh manusia. (al-Zarqani, t.th.: 4). Salah satu
bagian dan ilmu tafsir adalah qawi’id al-tafsir.
Dalám percakapan sehari-hari, ungkapan yang
berbentuk kata tanya sering digunakan, bahkan merupakan
ungkapan pokok dalam komunikasi yang tidak dan belum jelas
maksudnya. Seperti ungkapan siapa, apa, bagaimana, dan lain-
lain. Kata tanya di atas dalam bahasa Arab disebut istifham.
Ketika seseorang membaca, memahami isi kandungan
Alquran maka ia akan mendapatkan ungkapan-ungkapan yang
banyak menggunakan lafazh istifhâm tersebut yang memiliki
indikasi makaa yang berbeda-beda.
B. Pengertian Istifham
Istifham berasal dan bahasa Arab, mashdar dan kata
istifhama yang berarti istawdhaha (minta penjelasan). Akar
katanya adalah fahima yang berarti paham, mengerti, jelas. Akar
kata ini mendapat tambahan alif; sin dan ta’ di awal kata yang
salah satu fungsinya adalah untuk meminta. Dengan demikian
ia berarti permintaan penjelasan (thalab al-fahm).
Adapun pengertian istifhãm secara istilahi, sebagai
berikut: menurut al-Zarkasyi, istifham adalah mencari
pemahaman tentang suatu hal yang tidak diketahui (al-
Zarkasyi, 1984: 326-327). ‘Azizah Fuwal menjelaskan istifham
adalah mencari pemahaman tentang hakikat, nama, jumlah
serta sifat suatu hal. (Fuwal, 1992: 87). Menurut ‘Ali al-Jarim
dan Mustafa ‘Utsmãn, istifham adalah mencari pengetahuan
tentang segala sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui
(Amin, 1999: 194). Adapun menurut al-Suyuti (t.th: 148),
istifham dengan berbagai maknanya, memiliki suatu maksud
pokok, yaitu mencari pernahaman tentang suatu hal.

C. Adawat al-Istifham (Kata Tanya)


Adawat al-istifham (kata tanya) terbagi dalarn dua
kategori; (1) huruf istifham, berupa hamzah dan hal yang artinya
apakah, (2) isim istifham, yaitu semua adat al-istifham selain yang
pertama, yakni ma (apa), man (siapa), kayfa (bagaimana), mata
(kapan), ayyãna (bilamana), anna (dan mana), kam (berapa), ayna
(di mana), ayyu (apa, siapa). Adapun kegunaan masing-masing,
sehagai herikut:

1. Huruf hamzah digunakan untuk menanyakan tentang apa


atau siapa yang jawabannya memerlukan ya atau tidak.
Contohnya, Q.S. A1-Maidah/5: 116, Allah Swt. sebagal
berikut:
        
        
           
         
        
Terjemahnya
Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putera
Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia:
"Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah?". Isa
menjawab: "Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku
mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku
pernah mengatakan maka tentulah Engkau mengetahui apa
yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada
pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui
perkara yang gaib-gaib" (Depag R.I., 2005: 127).
Seorang tokoh tafsir Tunisia, Muhammad Táhir ibn
‘Asyur, berpandangan bahwa penggunaan al-istifham yang
ditujukan kepada Nabi ‘Isa a.s. yakni, apakah dia yang
mengatakan hal itu sebagai intimidasi dan ancaman yang
mengarah kepada siapapun yang mengatakan perkataan
tersebut. Para pendeta itu mengerti bahwa sesungguhnya
ancaman itu tertuju pada mereka, karena merekalah yang
mengada-adakan ucapan itu. Sedangkan Nabi ‘Isa berada di
luar ancaman itu (ibn ‘Asyur, 1984: 402).
Ibn al-Jawzi mengatakan bahwa penggunaan istifham pada
ayat ini merupakan celaan kepada mereka yang mengatakan
bahwa Nabi ‘Isa itu Tuhan (al-Jawzi, 1984: 463).
2. Lafal hal adalah kata tanya untuk konfirmasi, yang
memerlukan jawaban ya atau tidak. Contohnya, Q.S. Al-
Insãn/76: 1, Allah Swt. sebagai berikut:
         
 
Terjemahnya:
Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari
masa, sedang Dia ketika itu belum merupakan sesuatu
yang dapat disebut? (Depag RI., 2005: 578).

3. Lafal ma, digunakan untuk menanyakan sesuatu yang tak


berakal. Contohnya, Q.S. Al-Muddatstsir/74: 42-43, Allah
Swt. sebagai berikut:
        
 

Terjemahnya:

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar


(neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak
termasuk orang-orang yang mengerjakan salat (Depag
RI., 2005: 576).
Maksud ayat ini untuk rnenambah celaan dan rasa malu
mereka. Maknanya, apa yang menyebabkan kamu masuk
neraka? Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk
orang-orang yang mengerjakan salat, dan kami tidak (pula)
memberi makan orang miskin, dan adalah kami
membicarakan yang hathil, bersama dengan orang-orang
yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari
pembalasan, hingga datang kepada kami kematian” (al-Razi,
1981: 211).
4. Lafal man, untuk menanyakan makhluk berakal, Contohnya,
Q.S. Al-Baqarah/2: 245, Allah Swt. sebagai berikut:
        
...  
Terjemahnya:
Barangsiapa menjamin Allah dengan pinjaman yang baik
maka Allah melipatgandakan ganti kepadanya dengan
banyak... (Depag RI., 2005: 39).
5. Lafal matâ, digunakan untuk menanyakan waktu, baik yang
lampau maupun yang akan datang. Contohnya, Q.S. Al-
Baqarah/2: 214, Allah Swt. sebagai berikut:
.......        
Terjemahnya:

“Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah,


sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat (Depag RI.,
2005: 33).
6. Lafal ayyana, digunakan untuk menanyakan sesuatu
berkenaan dengan waktu mendatang. Contohnya, Q.S. Al-
Qiyamah/75: 6, Allah Swt. sebagai berikut:
   

Terjemahnya: Dia bertanya, “Kapankah han kiamat


itu?” (Depag RI., 2005: 577).
7. Lafal kayfa, untuk menanyakan keadaan sesuatu. Contohnya,
Q.S. Alu ‘Imran/3: 101, Allah Swt. sebagai berikut:
      
        
  
Terjemahnya:
Dan bagaimana kamu (sampai) menjadi kafir, padahal
ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya
(Muhammad) pun berada di tengah-tengah kamu?
Barangsiapa berpegang teguh kepada (agama) Allah,
maka sungguh, dia telah diberi petunjuk kepada jalan
yang lurus’ (Depag RI., 2005: 63).
8. Lafal anna, untuk menanyakan asal usul. Contohnya, Q.S.
Maryam/19: 8, Allah Swt. sebagai berikut:
        
    
Terjemahnya:
Dia (Zakaria) beikata, “Ya Tuhanku, bagaimana aku
akan mempunyai anak, padahal isteriku seorang yang
mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah
mencapai usia yang sangat tua” (Depag RI., 2005: 305).
9. Lafal kam, digunakan untuk menanyakan jumlah atau
bilangan. Contohnya, Q.S. Al-Baqarah/2: 259, Allah Swt.
sebagai berikut:
....        
....        
Terjemahnya:
..... Lalu Allah mematikannya (orang itu) selama
seratus tahun, kemudian membangkitkannya
(menghidupkannya) kembali. Dan (Allah) bertanya,
“Berapa lama engkau tinggal (di sini)?” Dia (orang itu)
menjawab, “Aku tinggal (di sini) sehari atau setengah
hari...” (Depag RI., 2005: 43).
10. Lafal ayna, digunakan untuk menanyakan tempat.
Contohnya, Q.S. Al-Takwir/81: 26, Allah Swt. sebagai
berikut:
  
Terjemahnya: Maka ke manakah kamu akan pergi?
(Depag RI., 2005: 586).
11. Lafal ayyu, untuk menanyakan apa atau siapa. Contohnya,
Q.S. Al-An’am/6: 81, Allah Swt. sebagai berikut:
       


Terjemahnya: .....manakah dari kedua golongan itu


yang lebih berhak mendapatkan keamanan (dan
malapetaka), jika kamu mengetahui? (Depag RI., 2005:
137).

D. Kaidah-kaidah Istiham

1. Kaidah pertama, sebagai berikut:

.‫اإلستفهام عقيب ذكر المعايب أبلغ من األمر بتركها‬


Artinya:

Ungkapan aI-istifham merupakan penekanan agar


meninggalkan hal-hal yang tercela lebih fasih dan
ungkapan al-amr (perintah) (al-Sabt, 1996: 17; al-Sabt, 2005:
541).
Contoh penerapan terhadap kaidah pertama, dapat
ditelusuri dalam Q.S. AI-M’idah/5: 91 Allah Swt. berfirman,
sebagi berikut:
      
     
       
Terjamahnya:
Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah
bemaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian
di antara kamu, dan menghalangi kamu dari
mengingat Allah dan melaksanakan salat, maka
tidakkah kamu mau berhenti? (Depag RI., 2005; 123).
Pada ayat sebelumnya (Q.S. Al-Maidah/5: 90) Allah
Swt. mcmerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar
meninggalkan hal-hal yang memabukkan, perjudian, berkorban
untuk berhala, mengundi nasib, karena semua itu adalah
perbuatan kotor setan.
Pada Q.S. Al-Maidah/5: 91 ini, menunjukkan bahwa
perbuatan tercela itu rnengakibatkan permusuhan dan
kebencian serta menghalangi mengingat Allah Swt. dan
sembahyang. Ayat ini diakhiri dengan ungkapan istifham (‫فهل أنتم‬
‫“ )منتهون؟‬Hal’ merupakan salah satu huruf Istifham.
Menurut al-Syinqiti (2003: 479), larangan terhadap hal-
hal tercela tersebut dipertegas dengan memakai sighat
(ungkapan) Istifham, sebab ungkapan Istfham lebih tegas dan
ungkapan perintah yaitu (‫)انتهوا‬.
Contoh yang kedua dan kaidah pertama dapat dilihat
dalam Q.S. Ali ‘Imran/3: 20, Allah Swt.
        
     
        
     
Terjemahnya:
Kemudian jika mereka rnembantah engkau
(Muhammad) katakanlah, “Aku berserah diri kepada
Allah (dan demikian pula) orang-orang yang
mengikutiku.” Dan katakanlah kepada orang-orang
yang telah diberi Kitab dan kepada orang-orang yang
buta huruf “Sudahkah kamu masuk Islam?” Jika
mereka masuk Islam, berarti mereka telah mendapat
petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka
kewajibanmu hanyalah menyampaikan. Dan Allah
Maha melihat akan hamba-hamba-Nya (Depag RI.,
2005; 52).
Pada ayat tersebut terdapat ungkapan ‫أأسلمتم‬yang secara
harfiah diartikan apakah kalian mau masuk Islam. Dalam hal
ini Abu Bakar aI-Jaza’iri memberi penjelasan, sebagai berikut:
Pada kata ‫أأس""لمتم‬, “hamzah yang pertama untuk al-
istifham dan tujuannya adalah perintah yaitu masuk
Islam, (hal itu) lebih baik untuk kalian agar kebenaran
itu nampak dan cahayanya terang benderang di antara
kalian dengan perantaraan kitab Allah dan utusan-Nya”
(al-Jaza’iri, Versi 2 [CD-ROM]; Q.S. Ali ‘Imran/3: 20).
Ketika al-Zamakhsyari menafsirkan Q.S. Ali ‘lmran/3:
20, ia menerangkan sebagai benikut:
        
     
        
      
Terjemahnya:
Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang
kebenaran Islam), maka katakanlah: "aku menyerahkan
diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang
yang mengikutiku". dan katakanlah kepada orang-orang
yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang
ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam". Jika mereka
masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat
petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban
kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan
Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.
Pada kata ‫أأس""""لمتم‬, al-Zamakhsayariy menjelaskan:
“Sungguh dia telah memberikan kalian keterangan
tentang hal-hal yang diwajibkan oleh Islam dan
menuntut buktinya, la mahalah (tidak boleh tidak); maka
sudahkah kalian ber-Islam atau kalian tetap kufur
sesudah menerima keterangan’? Dan ungkapan a
aslamtum? (‫ )أأسلمتم‬ini seperti ucapan anda terbadap orang
yang anda beri suatu kesimpulan mengenai
permasalahan tertentu dan tidak ada lagi cara lain
dalam memberi keterangan dan peujelasan kecuali anda
menempuh cara itu. Kamu sudah paham belum?
Contob lain adalah firman Allah ‘azza wa ‘ala (‫فه ل أنتم‬
‫ )منته ون؟‬sesudah menyebut tentang pelarangan hal-hal
yang memabukkan dan perjudian. Dalam ungkapan
istifham ini pun merupakan ringkasan serta celaan sebab
penentangan dan ketidakadilan, karena orang yang adil
itu apabila sudah jelas baginya suatu hujjah
(alasan/bukti) dia tidak akan berhenti tunduk kepada
kebenaran itu, dan orang yang menentang itu walaupun
alasan atau bukti sudah jelas tetap saja tidak akan mau
membuka sumbatan-sumbatan antara dia dengan
ketundukan itu. Demikian pula ungkapan “Sudahkah
engkau memahaminya? merupakan celaan yang keras
terhadap kebodohan dan kedunguan
tabiat/pembawaan.
2. Kaidah kedua, sebagai berikut:

‫إستفهام اإلنكار يكون مضمنا معنى النفي‬


Artinya:
Al-Istifham al-inkari mengandung makna meniadakan.
Contoh pertama dan kaidah ini, dapat dilihat pada Q.S.
Fushshilat/41: 33, sebagai berikut:
        
    

Terjemahnya:
Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada
orang yang menyeru kepada Allah dan rnengcrjakan
kebajikan dan berkata, “Sungguh, aku termasuk orang-
orang muslim (yang berserah diri)?” (Depag RI., 2005:
480).
Abd al-Rahmãn ibn Nãsir al-Sa’di mengemukakan
bahwa ayat ini adalah istifaham yang bermakna aJ-nafyu
(penegasian, peniadaan) yang tetap, yakni tidak ada orang
yang lebih baik perkataannya atau jalannya dan keadaannya
(al-Sa’di, 2003: 715). Al-Razi (1981 : 124) menyebutkan beberapa
perbedaan penafsiran tentang siapa mereka, (1) Nabi
Muhammad Saw., (2) aI-mu’azzinun, (3) para Nabi, dan (4) para
Ulama.
Contoh kedua, dapat dilihat dalam Q.S. A1-Baqarah/2:
114, sebagai berikut:
        
         
       
    

Terjemahnya:
Dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang
melarang masjid-masjid Allah untuk menyebut nama-
Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu
tidak pantas memasuknya kecuali dengan rasa takut
(kepada Allah). Mereka mendapat kehinaan di dunia
dan di akhirat mendapat azab yang berat (Depag RI.,
2005: 18).
Pada ayat ini, menurut al-Syaukani (Versi 2 [CD-ROM];
Q.S. A1-Baqarah/2: 114), penggunaan istifham menunjukkan
bahwa kezaliman yang mereka lakukan telah mencapai
puncaknya, dan posisi seperti itu mengandung segala macam
kezaliman. Maknanya, tidak ada yang lebih zalim dan orang
yang melarang orang lain untuk beribadah kepada Allah di
masjid-masjidnya.

3. Kaidah ketiga, sebagai berikut:


‫إذا أخبر هللاُ تعالى عن تفسه بلفظ "كي ف" فه و إس تخبار‬
.‫على طريق التنثيه للمخاطب أو الوبيخ‬

Artinya:
Apabila Allah memberi kabar tentang dirinya dengan
meuggunakan lafal “kayfa” maka hal tersebut
merupakan pemberitahuan dengan cara peringatan atau
celaan kepada al-mukhathab.
Contoh kaidah ini, dapat dibaca dalam Q.S. Ali
‘Imran/3: 86, sebagai berikut:
      
      
    
Terjernahnya:
Bagaimana Allah akan memberi petunjuk kepada kaum
yang kafIr setelah mereka beriman, serta mengakui
bahwa Rasul (Muhammad) itu benar-benar (rasul), dan
bukti-bukti yang jelas telah sampai kepada mereka?
Allah tidak memberi petunjuk orang-orang yang zalim
(Depag RI., 2005; 61).
Menurut Ibn ‘Asyur, istifham inkari pada ayat ini
maksudnya mengingkari bahwa mereka akan mendapat
hidayah secara khusus, yaitu hidayah yang timbul dan
pertolongan atau ke-Mahalembut-an Allah kepada hamba-
Nya ..., selanjutnya Ibn ‘Asyur mengemukakan, sebagai
berikut:

.‫ويجوز أن يكون اإلستفها ُم مستعمال فى اإلستبعاد‬


Artinya:
Boleh menggunakan istifham untuk menunjukan hal
yang tidak mungkin (terjadi) (ibn ‘Asyur, 1981: 303; al-
Sa’di, 2003: 212).
Contoh kedua dari kaidaha ini dapat pula dilihat dalam
Q.S. Al-Taubah/9: 7, sebagai berikut:

       


      
       

Terjemahnya:
Bagaimana mungkin ada perjanjian (aman) di sisi Allah
dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrik, kecuali dengan
orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan
mereka) di dekat Masjidil Haram (Hudaibiyah), maka selama
mereka berlaku jujur terhadapmu, hendaklah kamu berlaku
jujur (pula) terhadap mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-
orang yang bertakwa (Depag RI., 2005: 188).
Al-Zamakhsyari (t.th.: 15). mengemukan bahwa kata
“kayfa” pada ayat ini bermakna al-istinkar wa al-istib‘ad terhadap
janji kaum musyrikin terhadap Rasulullah Saw. Mereka adalah
lawan dan membohongi hati mereka sendiri.
4. Kaidah keempat, sebagai berikut:

‫إذا دخلت همزةُ اإلستفهام على "رأيتَ " إمتن""ع أن يك""ون من‬
.‫ب وصار" بمعنى‬
ِ ‫البصر أو القل‬
ِ ‫رؤية‬

Artinya:

Jika hamzah istifham masuk pada kata " َ‫ "رأيت‬maka


artinya berubah menjadi “beritakanlah padaku”.
Contoh penerapan terhadap kaidah keempat ini, dapat
ditelusuri dalam Q.S. Maryam/19: 77 Allah Swt. berfirman,
sebagai berikut:
      


Terjemahnya
Lalu apakah engkau telah melihat orang yang
menginkari ayat-ayat kami dan ia mengatakan, “Pasti
aku akan diberi harta dan anak” (Depag RI., 2005: 311).
Al-Syaukani (versi 2) menjelaskan bahwa kata َ‫أف""رأيت‬
pada ayat di atas bermakna terangkalah kepadaku. Yaitu
meminta penjelasan tentang kisah orang yang mengingkari
ayat-ayat Tuhan. Contoh kedua dan kaidah ini dapat pula
dilihat dalam Q.S. Al-Syu’ara /26: 205, sebagai berikut:
   
Terjemahnya:
Maka bagairnana pendapatmu jika kepada mereka kami
berikan kenikmatan hidup beberapa tahun (Depag RI.,
2005: 528).
5. Kaidah Kelima, sebagai berikut:

‫إذا دخل حرف اإلستفهام على فعل الترجي أفاد تقرير ما‬
. ٌ‫هو متوفع وأشعر بأنه كائن‬

Artinya:
Jika huruf istifham masuk pada kata kerja raja’ (harapan)
maka menunjukkan sesuatu hal yang sudah dan pasti
terjadi.
Adapun kata kerja raja (harapan) berupa - ‫عسى – حرى‬
‫ إخلولق‬tersebut mengandung makna keinginan kuat pada
perkara yang dicintai. Yaitu keinginan pada kebaikan dan takut
pada keburukan.
Makna raja’ (harapan) pada perkatan manusia atau
makhluk lainnya menunjukkan kepada sebagaimana arti
aslinya, karena keterbatasan ilmu Mereka. Dan jika
dihubungkan dengan atau digunakan dalam firman Allah,
maka penisbahannya mengandung kepastian dan keyakinan.
Oleh karena itu, jika huruf istifham bergandengan dengan kata
kerja raja’ (harapan) berubah makna menjadi yang lebih tinggi
yaitu makna kepastian dan keyakinan. Contoh penerapan
terhadap kaidah kelima, dapat ditelusuri dalam Q.S.Al-
Baqarah/2: 246. Allah Swt. berfirman,
        
       
         
....   
Terjemahnya:
Tidakkah kamu perhatikan para pemuka Bani Israil
setelah Musa wafat, ketika mereka berkata kepada
seorang nabi mereka, “Angkatlah seorang raja untuk
kami, niscaya kami berperang di jalan Allah”. Nabi
mcrcka menjawab, “Jangan-jangan jika diwajibkan
atasmu berperang, kamu tidak akan berperang juga?”...
(Depag RI., 2005: 40).
Lafal (‫ )عسيتم‬berasal dan kata kerja (‫ )عسى‬yang bermakna
raja’ (harapan). Kemudian lafal tersebut disisipkan dengan
huruf istifham yaitu (‫ )هل‬maka tafsiran lafal tersebut
menunjukkan sesuatu hal yang sudah dan pasti terjadi.
Contoh kcdua dan kaidah ini dapat pula dilihat dalam
Q.S. Muhammad/47: 22, sebagai berikut:
       
 
Terjemahnya:
Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan
berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan
kekeluargaan? (Depag RI., 2005: 509).
Sebagairnana keterangan pada contoh pertama dan
kaidah kelima, bahwa tafsiran lafal (‫ )عسيتم‬menunjukkan makna
yang lebih tinggi yaitu makna kepastian dan keyakinan.
6. Kaidah Kenam, sebagai berikut:

.‫جميع األسئلة المتعلقة بتوحيد الربوبية إستفهامات تقرير‬


Artinya:
Seluruh pertanyaan yang ada kaitannya dengan tauhid
rububiah adalah pertanyaan bersifat statemen.
Pembicaraan tauhid yang menekankan tinjauan bahwa
hanya Allah yang memberi segala nikmat dan rahmat kepada
hamba-hamba-Nya disebut tauhid rububiyah. Tauhid ini tidak
menjadi soal di kalangan bangsa Arab ketika Muhammad
diutus. Oleh karena itu, Allah tidak menempatkannya pada
wilayah perdebatan dan mendasarkan pada dalil dan bukti.
Berbeda pada bidang tauhid uluhiyyah yang
menekankan sisi keesaan Allah Swt. Tauhid ini mendasarkan
pada dalil dan bukti bagi orang yang menentang dan
mengingkari predikat zat yang satu-satunya yang wajib
diyakini. Dengan demikian, tauhid rububiyyah mengharuskan
pada tauhid uluhiyyah. Oleh kareria itu, Allah men-khatab
(berbicara) pada orang-orang musyrik tentang tauhid
rububiyyah dengan pertanyaan bersifat statemen. Contoh
penerapan terhadap kaidah keenam, dapat ditelusuri dalam
Q.S. Yunus/10: 31, sebagai berikut:
       
      
       
…      
Terjemahnya:
Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang memberi
rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah
yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang
hidup dan yang mati dan mengeluarkan yang mati dan
yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala
urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah”. Maka
katakanlah, “Mangapa kamu tidak bertakwa (kepada-
Nya)?” …. (Depag RI., 2005: 212).
Istifham pada ayat ini merupakakan statemen karena
membahas rububiyyah Allah sebagai pemberi rezeki kepadamu
dari langit dan bumi, dan seterusnya sebagaimana apa yang
disebutkan pada ayat tersebut.
.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agarna RI. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Cet.


X; Bandung: CV Penerbit Diponegoro.
Fuwal, Azizah. 1992. al-Mu’jam al-Mufassal. Juz I, Beirut: Dar al-
Kutub al-’Ilmiyyah.
Ibnu Asyur, Muhammad a1-Tahir. 1984. Tafsir al-Tahrir wa al-
Tanwir. Juz I, t.t.: Dar al-Tunisiyah li al-Nasyr.
Jarim, ’Afi al- dan Mustafa Amin. 1999. al-Balagat al-Wadhih. t.t.:
Dar al-Ma ‘arif.
Jawzi, Abu aI-Faraj Jamal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn ‘Ali ibn
Muhammad al-. 1984. Zad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir. Juz
II, Cet. III; Beirut: al-Maktab a1-Islami.
Jaza’iri, Abu Bakar al-. Aysar al-Tafsir. dalam al-Maktabat al-
Syamilah Versi 2 [CD-ROM].
Razi, Muhammad Fakhr al-Din ibn Diya’ al-Din ‘Umar al-.
1981. Tafsir I-Fakbr al-Razi /Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-
Gayb. Juz XXX, Cet. I; Beirut: Dar al-Fikr.
Sa’di, ‘Abd al-Rahmn ibn Nsir al-. 2003. Taysir al-Karim al-
Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan. Cet. 1; Beirut: Dar
Ibn Hazm.
Sabt, Kah1id ibn ‘Usman al-. 2000. Qawa’id al-Tafsir: Jam’ an wa
Dirisatan. Jilid II (Cet. I; t.t.: Dar Ibn ‘Affan.
Sabt, Kha1id ibn ‘Usman al-. 1996. Mukhtasar fi Qawa’id al-Tafsir.
Cet. I; KSA: Dar Ibn ‘Affan.
Sinqiti, Muhammad al-Amin ibn Al-Mukhtar al-. 2003. Adwa’
a1-Bayan fi Tafsir.’al-Qur’an bi al-Qur’an. Cet.I; Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Suyuti, Jalal al-Din al-. t.th. al-Itqan fi ‘Ulum aI-Qur’an. Juz I,
Beirut: Dar al- Fikr.
Syaukani, Muhammad ibn ‘Ali al-. Tafsir Fath al-Qadir. dalam
al-Maktabat al-Syamilah Versi 2 [CD-ROM].
Zahabi, Muhammad Husayn al-. 1976. al-Tafsir wa al-
Mufassirun. Jilid I, Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah.
Zarkasyi, Badr al-Din Muhammad ibn ‘Abdilah al-. 1984. al-
Burhan fi’ ulum al-Qur’an. Juz II, Cet. III; al-Qahirah:
Maktab Dar al-Turats.
Zarqani, Muhammad ‘Abd al-Azhim al-. t.th. Manahil al-
‘Irfan. Juz I, Mesir: Dãr Ihyã’ al-Kutub al-’Arabiyyah.
BAB VII
KAIDAH AMR DAN NAHY

Catatan: Ada kesalahan nomor ayat dan surah…


A. Kaidah Amr dan Nahy
Alquran merupakan firman Allah (verbum dei, kalam
Allah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw.
melalui Ruh al-Amin, malaikat Jibril untuk dijadikan sebagai
pedoman hidup (way of lfe) bagi makhluk-makhluk-Nya
disetiap ruang dan waktu. Alquran juga telah memperkenalkan
dirinya sebagai kitab petunjuk bagi umat manusia (Q.S. Al-
Baqarah/2: 185), yang akan mengantarkan dan mengarahkan
mereka kepada jalan yang paling lurus (Q.S. Al-Isra’/ 17: 9),
(Arkoun, 1997: 9) serta Allah menjamin keotentikannya
sepanjang masa (Q.S. Al-Hijr/15: 9). Hukum-hukumnya
berlaku sepanjang kehidupan manusia, tidak bersifat temporal
dan statis, tetapi berlaku untuk semua zaman, semua masa, dan
setiap generasi. Hal ini, menurut Thabathaba’i begitu juga
Yusuf al-Qardhawi (Thabathab’i, 2003: 62; Qardawi, 2000: 56),
merupakan sebagian dari kekhususan yang dimiliki oleh
Alquran.
Sebagai pedoman hidup, Alquran dapat dikategorikan -
secara parsial - sebagai kitab hukum yang berisi perintah dan
larangan serta aturan-aturan lain yang berkaitan dengan
hukum. Dalam kajian yuridis Islam, setiap perbuatan mukallaf
harus sejalan dengan hukum syarak (syariat). Adapun hukum
syarak menurut para ahli yurisprudensi Islam (fiqh) ialah efek
yang dikehendaki oleh khitab syari’ dalam perbuatan, seperti
wajib, haram, dan mubah (Khallaf, 1996: 154). Misalnya, firman
Allah Swt. yang terdapat pada Q.S. Al-Baqarah/5: 1:
      
        
         
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
dihalalkan bagirnu binatang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan
haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya (Depag R.I., 1985: 141).
Aqad (perjanjian) yang dimaksud dalam ayat ini,
mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian
yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya
(Khallaf, 1996: 155). Kalimat ‫أوفوا بالعقود‬pada ayat di atas adalah
perintah untuk memenuhi janji. Menurut ulama ushul bahwa
setiap dalil syarak yang berkaitan dengan perbuatan diantara
perbuatan-perbuatan mukallaf secara perintah, baik berupa
pilihan atau ketetapan adalah hukum syarak (Khallaf, 1996:
155). Jadi, jika terdapat sebuah lafazh yang berbentuk perintah,
maka memberi pengertian mewajibkan yang diperintahkan,
selama tidak ada dalil yang memalingkan perintah itu dan
kewajiban. Begitu pun sebaliknya, jika lafazh itu berbentuk
larangan, memberi pengertian mewajibkan untuk
meninggalkan yang dilarang, selarna tidak ada dalil yang
memalingkan dari keharamannya.
Alquran sebagai kitab yang paling banyak dirujuk
untuk mereduksi hukum syar’i oleh para ulama pengkaji
Alquran telah merumuskan berbagai kaidah yang berkaitan
dengan persoalan perintah dan larangan yang tertuang dalarn
Alquran agar perintah dan larangan itu dapat
diimplementasikan dalam kehidupan. Pada dasarnya persoalan
perintah (amr) dan larangan (nahy) merupakan sebuah kajian
yang berangkat dari persoalan ushuliyah yang selanjutnya
diadopsi ke dalam kajian Alquran. Hal ini tidak
rnengherankan, mengingat pada masa awal perkembangan
penafsiran dan pembentukan hukum Islam, persoalan
memahami ayat tidak terlepas dari persoalan hukum yang
terkait di dalamnya terutama pada abad II dan III H. ditandai
corak penafsiran fikih lebih mendominasi penafsiran Alquran
(al-Syirbashi, 1994: 71-89). Pada periode perkembangan tafsir,
abad II sampai abad III H. yaitu ketika hadis-hadis telah
menyebar ke berbagai wilayah, periode ini disebut periode
kedua dalam periodesasi perkembangan tafsir yang diperoleh
Departemen Agama disebut sebagai periode mutaakhirin,
periode ini ditandai dengan munculnya beragam corak
penafsiran, termasuk corak fikih terasa lebih kental karena
sejak awal memang telah berkembang subur pada masa
sahabat (Hakim dan Jaih Mubarok, 2002: 79-80).

B. Pengertian Amr dan Nahy


1. Pengertian Amr

Kata ‫ امر‬yang terdiri dan huruf hamzah, mim, dan ra’,


asalnya mempunyai lima pengertian, yaitu amr yang berarti
urusan, perintah (lawan dan nahy), tumbuh dan bertambah,
tanda dan keanehan (Ibn Zakariya, 1972: 135). Pengertian yang
dimaksud, secara bahasa, adalah pengertian amr dalam arti
perintah, antonim dari al-nahy, dan ia bermakna tuntutan.
Jumhur ulama sepakat -terutama ulama ushul- memberikan
definisi amr sebagai:

‫طلب الفعل من األعلى الي األدني‬


(suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan suatu perbuatan
dan pihak yang kedudukannya lebih tinggi kepada pihak yang
kedudukannya lebih rendah). (A. Djazuli dan I. Nurul Aen,
2000: 377). Dengan versi agak berbeda namun bermakna sama
sebagian ulama mengemukakan pengertian amr dengan
‫( استدعاءالفعل با ل علي وجه االستعل‬al-Sabt, 1997: 378)
Defenisi di atas memberikan pengertian bahwa wujud
perintah itu datang dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya. Sedangkan, apabila perintah datang dari pihak
yang di bawah kepada pihak yang di atas, maka ia disebut doa.
Jika perintah berasal dan pihak yang kedudukannya sama,
maka ia disebut sentuhan atau permintaan karena adanya
persamaan (solidarity dan rasa kasih sayang) (al-Asmir, 1993:
120). Menurut Raji al-Asmir (1997: 120) dari segi kebahasaan
amr mempunyai empat shigat (bentuk), yaitu: (1) bentuk fi’il
disebut fl’il amr; (2) bentuk fi’il mudhari’ yang bersambung
dengan lam al-amr; (3) bentuk ism fi’il al-amr; dan (4) bentuk
mashdar pengganti dari fi’il al-amr).

2. Hakikat Makna Amr


Ditinjau dan kebahasaan, bahwa amr adalah perintah
yang bermuatan keharusan untuk mengerjakannya. Namun,
pengertian ini akan berbeda jika dilihat dari segi hukum. Para
ulama berbeda pendapat menetapkan inti pengartian amr.
Sebagian mereka berpendapat bahwa arti amr sebagai perintah
yang berarti wajib (al-wujub), sedangkan sebagian yang lain
berpendapat bahwa arti amr diperuntukkan sebagai sekedar
anjuran (al-nadhb/mandhub) (Djazuli, 2000: 380).
Perbedaan pendapat ini disebabkan cara pandang
mereka yang berbeda melihat hakikat makna amr. Kelompok
pertama, beralasan bahwa hakikat amr hanyalah diperuntukkan
bagi pengertian wajib selama lafazh amr itu tetap dalam
kemutlakannya, artinya, tidak ada indikator (qarinah) yang
memalingkan makna amr, sehingga dari kelompok pertama ini
lahir kaidah:

.‫األصل في األمر للوجوب‬


Asal perintah (al-amr) itu adalah wajib
Pemikiran mereka didasarkan pada firman Allah Swt.
dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 34:
      
      
Terjemahnya:
Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para
malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah
mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia
termasuk golongan orang-orang yang kafir (Depag R. I.,
1985: 7).
Perintah Allah pada ayat di atas bersifat wajib. Hal itu
terbukti dengan adanya celaan Allah kepada Iblis yang tidak
mau bersujud kepada Adam, sebagaimana firman-Nya dalam
Q.S. Al-A’raf/7: 12:
          
      
Terjemahnya:
Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk
bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?”
menjawab Iblis “Saya lebih baik daripadanya: Engkau
ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari
tanah” (Depag R. I., 1985: 204). Kelompok ini juga
mendasarkan pendapat mereka pada firman Allah dalam
Q.S. Al-Nur/24 : 63:
...       
     
Terjemahnya:
... Maka hendakiah orang-orang yang menyalahi
perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa
azab yang pedih (Depag R. I., 1985: 501).
Pendapat kelompok ini, mendapat persetujuan dan ahli
tata bahasa Arab (Nuhat/ ‫ ) النح"""اة‬-seperti yang dijelaskan
sebelumnya. Ahli menetapkan bahwa hakikat perintah itu
mengandung arti wajib (Depag R. I., 1985: 380-382).
Kelompok kedua berpendapat, bahwa hakikat arti amr
tidak mengandung arti wajib, akan tetapi hanya mengandung
arti anjuran (nadhb). Menurut mereka, bahwa amr kadang-
kadang mengandung arti wajib, seperti salat lima waktu, dan
kadang-kadang juga mengandung arti nadhb (anjuran), seperti
salat dhuha. Antara wujub dan nadhb yang paling diyakini
adalah nadhb dengan pertimbangan bahwa manusia pada
dasarnya, sejak semula, sejak dilahirkan, babas dari tuntutan (
‫)ب""راءة الدمة‬, Sedangkan tuntutan itu baru datang kemudian
(Depag R. I., 1985: 380-382).
Dari kelompok ini, kemudian lahirlah kaidah yang
mengatakan:

‫األصل في األمرللذدب‬
Asal perintah (al-amr) itu untuk al-nadhb (anjuran).
Kelompok ini didominasi oleh ulama-ulama Muktazilah
-walaupun ada di antara ulamanya yang tidak sependapat,
seperti Abu Au al-Jubba’i (w. 303 H.). Mereka beralasan bahwa
sifat amr semestinya sejalan dengan kehendak pihak yang
menurunkan perintah tersebut. Akan tetapi, menurut mereka,
ada perintah Allah Swt. yang sama sekali tidak sesuai dengan
keinginan-Nya. Misalnya, Allah Swt. memerintahkan agar Abu
Jahal (salah seorang pemuka Quraisy) beriman, tetapi sampai ia
wafat perintah dan kehendak Allah Swt. tidak
dilaksanakannya. Oleh sebab itu, apabila amr tidak sejalan
dengan kehendak atau keinginan yang memberi perintah,
maka perintah tersebut menunjukkan ketidakpastian (Dahlan
et. al., 1996: 110). Dengan demikian, menurut mereka lafazh
amr pada hakikatnya menunjuk pada al-nadhb (anjuran), karena
suatu anjuran apabila tidak diikuti, tidak dikenai azab (sanksi).

3. Pengertian Nahy
Kata ‫نهي‬, nun, ha’, dan ya’, pada dasarnya menunjuk atas
pengertian batas atau akhir dan sampai. Jika dikatakan ‫أنهية الخبر‬
(saya telah menyampaikan berit kepadanya), artinya hanya
terbatas kepadanya. Kalimat ‫ نهاي""ة ك""ل شئ‬artinya batas dan
sesuatu. Apabila dikatakan "‫( نهيتة‬dibatasi), maka itu berarti hal
tersebut dilarang untuk dilakukan. Dari kata ini kemudian lahir
kata ‫ النهية‬yang berarti akal sebab dengan akal seseorang
mengerti akan suatu perbuatan yang buruk dan semua
perbuatan yang dilarang. Tutuntan yang diinginkan dari semua
itu adalah larangan. Oleh karena itu, semua larangan harus
ditinggalkan berhasil atau pun tidak. (al-Sabt, 1997: 508). Yang
dimaksudkan dalam hal ini dari segi kebahasaan al-nahy adalah
‫ األمرضد‬yakni larangan lawan dan perintah (al-Sabt, 1997: 508).
Menurut istilah, ulama ushul rnendefenisikannya:

.‫ لفظ يطلب به األعلي كف من هو أدني منه‬:‫النهي‬


Larangan adalah suatu lafaz yang menuntut larangan
oleh orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada yang
lebih rendah darinya (A. Djazuli, 2000: 409).
Ada juga yang mendefenisikan al-nahy dengan:

‫طلب الترك من األعلي إلي األدني‬


Suatu tuntutan meninggalkan sesuatu dan yang lebih
tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah
kedudukannya.
Kedudukan yang lebih tinggi yang dimaksud di atas,
dalam Alquran, adalah Allah Swt. Seperti halnya amr, nahy
daam arti perintah (larangan) meninggalkan sesuatu, juga
harus datang dari pihak yang Iebih tinggi. Jika datang dari
bawah maka Ia berarti doa (Dahlan, 1996: 1285).
4. Hakikat Makna Nahy
Seperti halnya amr, para ulama juga berbeda dalarn
menentukan hakikat makna nahy. Perbedaan itu terbagi dua,
yaitu:

a. Pendapat yang mengatakan bahwa al-nahy dalam arti


larangan, menunjukkan kepada haram. Hal ini
melahirkan kaidah:

‫األصل في النهي للتحر يم‬


Asal dari larangan itu berarti untuk mengharamkan.
Kelompok ini berdasarkan pertimbangannya pada
alasan bahwa jika tidak ada indikator (qarinah) yang
mengalihkan kepada arti lain, maka secara pasti nahy itu
mengharuskan untuk meninggalkan suatu perbuatan yang
terkandung dalam lafazh nahy tersebut. Adapun qarinah yang
dimaksud adalah kata yang menyertai kata larangan dan
menyebabkan larangan itu tidak menunjukkan kepada haram
(A.Djazuli, 2000: 416-417). Pandangan ini dianut oleh jumhur
ulama. Mereka berpendapat bahwa hakikat makna al-nahy
adalah al-tahrim, selain makna itu (yang akan disebutkan nanti)
sifatnya adalah majazi. Apabila ungkapan al-nahy bersifat
zhanni (tidak pasti) dan mengandung qarinah (indikator) yang
mengalihkan makna dari larangan yang pasti, maka ia berarti
al-karahah (mengandung hukum yang dibenci) (Dahlan, 1996:
1286). Oleh karena itu, menurut mereka ungkapan al-nahy
mengandung perbuatan yang dilarang dan perbuatan itu mesti
dihentikan. Pendapat kelompok ini didasarkan pada firman
Allah Q.S. Al-Hasyr/59: 7
....        
 ....
Terjemahnya:
... Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah
dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah...
(Depag R.I., 1985: 797).

b. Pendapat yang mengatakan bahwa al-nahy dalam arti


menunjukkan kepada makruh. Dari pendapat ini maka
dikenal kaidah.

‫األصل في النهي للكراهة‬


Pada dasarnya larangan itu berarti makruh.
Yang menjadi dasar dan pendapat ini adalah bahwa
larangan itu sesungguhnya hanya menunjukkan buruknya
perbuatan yang dilarang, dan keburukan itu tidak berarti
haram. Sesuatu yang dilarang itu adakalanya haram dan
adakalanya hanya makruh saja. Diantara keduanya yang paling
diyakini adalah makruh bukan haram. Karena orang yang
melarang itu tidak berarti, paling, tidak menyukai perbuatan
itu dilakukan, dan ketidak-sukaan itu bukan berarti
mengharamkan. Disamping itu, mereka berpendapat bahwa
pada dasarya segala perbuatan itu boleh dikerjakan, bukan
haram dikerjakan. Ungkapan ini didukung oleh kaidah yang
mengatakan:

‫األصل في األشياء األبا حة حتي التحريم‬


Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh, hingga ada dalil yang
menunjukkan atas keharamannya (A. Djzuli, 2000: 1286).
C. Kaidah-Kaidah yang Berkaitan dengan Amr dan Nahy
Para ulama ushuluddin telah merumuskan beberapa
kaidah yang berkaitan dengan persoalan amr dan nahy,
diantaranya adalah:

1. ‫ األ م""ر بالش""ئ يس""لتزم النهي عن ض""ده‬: “Perintah pada sesuatu


(berarti) melarang atas kebalikannya” (Al-Sabt, 1997: 482).
Kaedah ini rnenjelaskan bahwa ketika sesuatu
diperintahkan, maka sesungguhnya perintah itu adalah
larangan terhadap sebaliknya. Misalnya, ketika
dikatakan “diamlah”, itu berarti jangan berbuat
sebaliknya, yakni tidak boleh bergerak atau ribut.
Dalam hukurn agama, jika ada perintah yang berkaitan
dengan suatu perbuatan, maka hal itu berarti juga
melarang kebalikannya. Misalnya, perintah untuk
beriman, salat, zakat, puasa, haji, berbuat baik kepada
orangtua, menyambung silaturrahmi, dan sebagainya,
berarti melarang untuk kafir, meninggalkan salat, zakat,
puasa, haji, durhaka kepada orangtua, memutuskan
silaturrahim (Al-Sabt, 1997: 383; Usman, 2002: 22).
Sebagai contoh pada Q.S. Al-Baqarah/2: 103
       
 

Terjemahnya:
Maka Dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa).
Sesungguhnya salat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman (Depag R.I.
1985: 15).
Ayat tersebut dengan jelas dan tegas memerintahkan
kepada orang-orang yang beriman untuk melakasanakan
kewajibannya yaitu salat lima waktu maka perintah wajib
dalam ayat tersebut berarti sebaliknya melarang orang yang
beriman untuk meninggalkan salat lima waktu.
2. ‫( األم""ر يقتض""ي الف""ور إال لقرينة‬A1-Sabt, 1996: 15), “Amr itu
menghedaki kesegeraan kecuali ada indikator (qarinah)”.
Apabila amr disandarkan kepada syariat, maka
sesungguhnya amr hendak mengikutkan orang yang
diperintah dengan kelangsungan melaksanakannya,
kecuali ada petunjuk atas melambatkannya (Al-Sabt,
2000: 383-384). Dalam hal ini, ulama fikih berbeda
pendapat tentang kesegeraan melaksanakan perintah.
Hal itu berdasarkan perbedaan kaidah yang digunakan.
      
       
         
        
          
       
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam
beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang
dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan. Maka Itulah
yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu
jika kamu Mengetahui (Depag R.I., 1985: 34-35).
Pada ayat pertama (183) dengan tegas memerintahkan
kepada orang-orang yang beriman untuk mengerjakan puasa
pada bulan Ramadhan tanpa ada penundaan waktunya artinya
belum ada indikator (qarinah). Akan tetapi pada ayat kedua
(184) menunjukkan adanya Indikator (qarinah) yaitu
berangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan maka ia dapat
menggantinya pada hari-hari yang lain.

a) Sebagian ulama mendasarkan pendapatnya pada kaidah:

‫" األص"""ل في األم"""ر ال يقتض"""ي الف"""ور‬Asal perintah itu tidak


menghendaki kesegeraan". Alasan mereka bahwa shighat
amr diciptakan hanyalah semata-mata untuk menuntut
dilakukannya suatu perbuatan. Namun menurut rnereka,
tidak ada petunjuk untuk segera dikerjakan atau ditunda.
Pemahaman untuk menyegerakan atau menunda
haruslah ada qarinah dari luar, bukan shighat amr itu
sendiri. Oleh sebab itu, jika ada yang mengatakan
“Kerjakan ini sekarang!” atau “Kerjakanlah ini besok!”,
hal itu tidaklah bertentangan. Sebab jika kesegeraan
melakukan perbuatan timbul dari amr itu sendiri, niscaya
perkataan ‘sekarang’ tidak ada artinya dan perkataan
‘besok’ adalah bertentangan dengan rnakna segera yang
terkandung dalam shighat arnr itu sendiri (A.Djazuli,
2000: 403). Selain itu, menurut mereka, pemenuhan
perintah itu bukan diletakkan pada kesegeraannya, tetapi
pada kesempurnaan atas pemenuhan perintah, kecuali
ada qarinah yang menyertainya (Usman, 2002: 20). Contoh
perintah yang wajib dikerjakan namun tidak
menghendaki kesegerahan adalah tentang ibadah haji.
Hal ini dapat dilihat Q.S. Ali ‘Imran/3: 97
        
         
         
Terjemahnya:
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (diantaranya)
maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu)
menjadi amanlah Dia; mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah barangsiapa
mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah
Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dan semesta
alam.
Ayat tersebut menjelaskan tentang kewajiban
melaksanakan haji bagi yang sudah mampu hal ini
menunjukkan adanya penundaan waktu dalam
melaksanakannya hingga adanya kesanggupan untuk
melaksanakannya tanpa menunjukkan adanya batasan
waktu selama masih hidup dan sahat jasmani dan rohani.

b) Sebagian ulama yang lain mendasarkan pendapatnya


pada kaidah:

‫“ األص"""ل في األم"""ر يقتض"""ي الف"""ور‬Asal pada perintah menghendaki


kesegeraan”. Alasan mereka, shighat amr di-qiyas-kan dengan
shighat nahy yang mengandung arti kesegeraan ditinggalkan.
Karena amr dan nahy sama-sama merupakan tuntutan. Para
ulama tersebut sepakat apabila lafazh amr diberi qayyid dengan
waktu tertentu, kewajiban melaksanakan secara ada‘an
(tunai/tepat waktu) habislah waktunya dengan habisnya
waktu tersebut. Misalnya, perintah melaksanakan salat wajib
(lima waktu), maka kewajiban melaksanakannya secara ada‘an
terbatas pada waktu yang telah ditentukan (Usman, 2002: 403-
404).
Sebagai contoh pada Q.S. Al-Baqarah 4:5 ayat 104?
       
  
Terjemahnya:
Maka Dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa).
Sesunggulmya salat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman (Depag R.I,
2002: 34-35).
3. ‫ إذا كان األمر واردا علي السؤال عن الجواز فهولإلباحة‬: “Apabila al-amr
datang atas permintaan tentang kebolehan maka ia untuk
al-ibahah (mubah/membolehkan). (Al-Sabt, 2000: 383-384).
Masalah ini dikenal dalam ushul fiqh dengan al-amr ba‘da
al-isti‘dzan (perintah setelah ada izin/kebolehan). Yang
lebih dekat dengan persoalan ini adalah seperti persoalan
amr ba‘da al-hadzr (perintah setelah larangan), yaitu tidak
berarti hukum wajib dalam keadaan darurat, karena
sesungguhnya al-isti‘dzan dan al-hadzr adalah dua kata
yang menjadi qarinah atas memalingkan makna amr dan
wajib kepada makna selainnya yang mendekati (Al-Sabt,
1997: 488). Seperti firman Allah dalam Q.S. Al-Maidah/5: 4:

         


      
       
          

Terjemahnya:
Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang
dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan
bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh
binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya
untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang
telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dan apa
yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah
atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). Dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat
cepat hisab-Nya (Depag R.I., 1985: 143).
Ayat di atas dengan jelas menjawab pertanyaan, hal
seperti ini juga didapatkan dalam persoalan asbab al-
nuzul. Jawaban yang dimaksud pada ayat di atas adalah
kalimat ‫فكلوامماآمسكن عليكم‬

c) ‫( النهي يقتض"ي التح""ريم والف"ور وال""دوام إال لقرينة‬Al-Sabt, 2002: 383-


384), “Larangan itu menghendaki keharaman, pengulangan
[tidak mengerjakannya], dan kelanggengan [selama-lamanya]
kecuali ada qarinah”. Setiap larangan pada dasarnya harus
ditinggalkan, karena setiap larangan pada dasarnya
adalah haram, dilihat dari segi riwayat dan bahasa (Al-
sabt, 1997: 509). Setiap yang dilarang harus ditinggalkan
secara mutlak dan tidak boleh dikerjakan selama-
lamanya, karena setiap yang dilarang pasti mengandung
keburukan, dan keburukan tidak akan hilang jika tidak
ditinggalkan, kecuali ada qarinah (indikator) yang
memalingkannya. Terkait dengan hal ini, para ulama
membagi larangan kepada dua hal, yaitu larangan yang
mutlak (‫ )النهي المطلق‬dan larangan yang terbatas ( ‫النهي‬
‫)المقيد‬. Larangan yang mutlak adalah larangan yang tidak
terbatas kepada hal-hal tertentu, seperti waktu, ia berlaku
selama-lamanya. Para ulama telah bersepakat atas
kehujjahan yang mutlak karena dalam larangan tersebut
ada keburukan-keburukan yang harus dihindari selama-
lamanya. Misalnya firman Allah Swt.. dalam Q.S. Al-
Isra’/17: 33

        


Terjemahnya:
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan)
yang benar (Depag R.I., 1985: 388).
Atau firman Allah Swt. dalam ayat sebelumnya (Q.S.
Al-Isra/ 17): 32:
        

Terjemahnya:
Dan janganlah karnu mendekati zina; Sesungguhnya zina
itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan
yang buruk (Depag R.I., 1985: 388).
Sedangkan larangan yang terbatas adalah larangan yang
hanya berlaku dalam atau selama waktu yang disebutkan.
Misalnya, Q.S. A1-Maidah/5: 95
      
 
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
membunuh binatang buruan, ketika karnu sedang ihram
(Depag R.I., 1985: 164).
Larangan membunuh binatang buruan dalam ayat di
atas hanya terbatas ketika seseorang dalam keadaan
sedang berihram dan di luar dari itu, larangan ini tidak
berlaku (A. Djazuli, 2000: 422-423).

5. ‫إذا نهي الش""ارع عن ش""ئ’ نهي عن بعض""ه’ وإذا آم""ر بش""ئ ك""ان أم""را بجميعه‬
(Al-Sabt, 2000: 383-384), “Apabila Syarik melarang dari
sesuatu, [berarti] melarang sebagiannya, dan jika menyuruh
sesuatu itu berarti menyuruh pada keseluruhannya”. Sesuatu
yang diperintahkan syariat dengannya adalah mengambil
kebaikan yang menuntut kesempurnaan dan banyaknya.
Sesungghuhnya tidak menghasilkan manfaat kecuali
dengan kesempurnaannya menggatikan perintah yang
dilarang darinya. Sesungguhnya larangan itu adanya
bersifat umum kepada semua bagian-bagiannya kecuali
tidak ada pengecualian yang datang dan bagian-bagian itu,
seperti kulit bangkai, contoh itu bagian dan pengecualian
yang menunjukkan atasnya syariat yang termasuk bagian
perintah yang diharamkan (Al-Sabt., 1997: 511). Perincian
ini dapat dijabarkan pada contoh, sebagai berikut:
a) Contoh larangan syariat dan mengerjakannya, misalnya
Q.S. Al-Maidah/5 : 3:
     
...     
Terjemahnya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging
babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah .... (Depag R.I., 1985: 142).
Perintah pengharaman yang disebutkan pada ayat di
atas sifatnya adalah haram mutlak termasuk semua
bagian-bagiannya, sedikit ataupun banyak, kecuali jika
tidak ada dalil yang datang terhadap pengecualiannya
seperti kulit (Depag R.I., 1985: 512).
b) Contoh perintah syariat untuk mengerjakannya, misalnya
Q.S. Al-Baqarah/2 : 230,
         
 ....
Terjemahnya:
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya
hingga dia kawin dengan suami yang lain.... (Depag R.I.,
1985: 46).
Kalimat ‫ ح""""تي تنكح زوج"""ا غ""""يره‬perintah yang bersifat
menyeluruh. Keseluruhan itu termasuk di dalamnya aqad
dan bersetubuh (Depag R.I., 1985: 46).

D. Bentuk-Bentuk dan Makna Amr dan Nahy dalam Alquran


1. Bentuk-Bentuk Amr dan Nahy dalam Alquran
Penggunaan amr dalam Alquran terlihat pada beberapa
bentuk, yaitu:

a. Menggunakan fi‘il amr. Misalnya, menggunakan lafazh ‫آقيموا‬


(Q.S Al-Baqarah/2: 43) dan sebagainya.
b. Menggunakan fi‘il mudhari’ yang didahului lam al-amr.
Misalnya, lafazh ‫(ولتكن منكم‬Q.S. Ali Imran/3: 104), dan
sebagainya.
c. Bentuk ism fi’il amr. Misalnya ‫ عليكم أنفس""كم‬dalam (Q.S. Al-
Maidah/5: 105).
d. Bentuk mashdar. Misalnya ‫( وبالوالدين إحسانا‬Q.S. Al-Baqarah/2:
83, dan sebagianya.
e. Jumlah khabariyah (kalimat berita), yang diartikan selaku
jumlah insya‘iyah (kalimat yang mengandung tuntutan).
Misalnya ‫( والمطللقات يتربصن بآنفسهن ثالثة قرؤ‬Q.S. Al-Baqarah/2:
228.
f. Kata-kata yang mengandung perintah seperti, amar, fardhu,
kutiba, ‘ala, dan jawab al-syarthy. Misalnya kata amar, ‫إن هللا‬
‫ي""أمركم‬... , kata fardh ‫مافرض""نا عليهم في ق""دعلمنا أزواجهم‬... , kata
kutiba, ‫كتب علبكم الص""يام‬... , kata ‘ala ‫وهلل علي الن""اس حج ال""بيت‬...,
jawab al.-syarthy ‫فإن أحصرتم فما استيسر‬... (Chirzin, 1998: 165-168;
A. Djazuli, 2000: 377-380.

Sedangkan penggunaan bentuk nahy dalam Alquran


terlihat dalam beberapa bentuk, (A. Djazuli, 2000: 410-412);
Chirzin, 1998: 72-173), sebagai berikut:

a. Menggunakan fi‘il mudhari’. Misalnya ‫التفسد في األرض‬... (Q.S.


A1-Baqarah/2: 11.
b. Jumlah khabariyah yang diartikan jumlah insya‘iyah. Misalnya
‫واليحل لكم أن تأخذوا مما أتيتموهن شيئا‬... (Q.S. Al-Baqarah (2): 229.
c. Menggunakan kata harrama, utruk da’, naha. Misalnya
harrama; ‫( قل إنماحرم ربي‬Q.S. Al-A’raf/7: 33), kata utruk; ‫واترك‬
‫البحررهوا‬... (Q.S. A1-Dukhan/44: 24, kata da’; ...‫ودع أذاهم‬... (Q.S.
Al-Ahzab/33 : 48, kata naha; ...‫ومانهاكم عنه ف""انتهوا‬... (Q.S. Al-
Hasyr/59: 7.
d. Menggunakan kalimat “tidak halal”. Misalnya ‫اليح""ل أكم أن‬
‫ترثواالنسأء‬... (Q.S. Al-Nisa’/4: 19).
e. Meniadakan suatu perbuatan. Misalnya ‫فإن انتهوا فال ع"دوان إال‬
‫( علي الظالمين‬Q.S. Al-Baqarah/2: 193.
f. Mensifati bahwa perbuatan itu jelek. Misalnya Q.S. Ali
Imran/3: 180
       
...          
Terjemahnya:
Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan
harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-
Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka.
Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka....
(Depag R.I, 1985: 94).

g. Menjadikan suatu perbuatan itu sebagai sebab memperoleh


dosa. Misalnya Q.S. Al-Baqarah/20: 181:
       
      
Terjemahnya:
Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia
mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi
orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

h. Menyatakan ancaman siksa. Misalnya Q.S. Al-Taubah/9: 34


....      
      
Terjemahnya:
.... Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak
dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwamereka akan
mendapat) siksa yang pedih.
2. Ragam Makna Amr dalam Alquran
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, asal dari amr
berarti mengandung arti wajib, namun jika ada qarinah yang
rnenyertainya, maka ia dapat berubah makna dari makna
asalnya. Menurut Muhammad Adib Salih, amr dapat
digunakan dalam berbagai pengertian, yaitu (1) menunjukkan
bahwa perintah itu wajib; (2) menunjukkan bahwa sesuatu itu
boleh; (3)Menunjukkan perintah itu bersifat menganjurkan; (4)
melemahkan; dan (5) mengejek dan menghina (Abdullah, et.
al., t.th.: 280). Pengertian ini juga dikemukakan Muhammad
Chirzin (1998: 170-171).
Sedangkan Muhammad Said Ramadan al-Buthi, agak berbeda
pada dua poin terakhir, yaitu dengan memasukkan pengertian
irsyad (petunjuk) dan al-du‘a (doa) (Dahlan, 1996: 108-109).
Makna amr, selain bermakna wajib, dalam Alquran ditemukan
pula makna lain, (A. Djazuli, 2000: 383-392; Usman, 2002: 17-18,
secara lengkap sebagai berikut:

a. Al-Nadhb (anjuran), misalnya firman Allah, Q.S. Al-Nur/24:


33
.... ....    
Terjemahnya:
.... hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika
kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka .... (Depag
R.I., 1985: 494).
Mukatab adalah usaha memerdekakan diri bagi seorang
budak dengan membayar sejumlah harta, dengan cara
cicilan, kepada tuannya. Dalam mukatab ini terdapat
perjanjian, namun perjanjian di sini bukan kewajiban tetapi
hanya berupa anjuran saja (A. Djazuli, 2000: 383).

b. Al-Irsyad (petunjuk/pengarahan). Misalnya Q.S. A1-


Baqarah/2: 282
      
   ....
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.... (Depag
R.I., 1985: 59).
Perintah mencatat utang dalam ayat di atas tidak wajib
hukumnya tetapi hanya merupakan arahan, karena tanpa
dicatat pun utang piutang dapat tercapai dan sah
hukumnya. Namun, jika dicatat akan lebih terpercaya dan
dapat menghindarkan pertentangan di kemudian hari.

c. Al-Ibahah (kebolehan). Misalnya Q.S. A1-Baqarah/2: 60:


       ...
....       ...
Terjemahnya:
.... Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang
putih dan benang hitam, yaitu fajar .... (Depag R.I., 1985:
11).
Perintah “makan dan minum sampai terbit fajar”
tidak mengandung pengertian wajib bagi orang berpuasa,
tetapi boleh, karena makan dan minum hukum asalnya adalah
boleh, baik orang yang berpuasa ataupun bukan (Depag R.I.,
1985: 59).

d. Al-Tahdid (ancaman). Misalnya Q.S. Fushshilat/41 : 40:


....         
Terjemahnya:
... Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya
dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan (Depag R.I., 1985:
689).

e. Al-Ta’jiz (melemahkan). Q.S. Al-Baqarah/2 : 23:


... ...   
Terjemahnya:
... Buatlah satu surat (saja) yang semisal Alquran itu ...
(Depag R.I., 1985: 5).
Perintah untuk “membuat satu surat yang semisal
dengan Alquran” adalah untuk memperlihatkan kelemahan
orang-orang yang tidak percaya terhadap Alquran.

f. A1-Indzar (peringatan). Misalnya Q.S. Ibrahim/14: 30


        
    
Terjemahnya:
Orang-orang kafir itu telah menjadikan sekutu-.sekutu
bagi Allah supaya mereka menyesatkan (manusia) dan
jalan-Nya. Katakanlah: Bersenang-senanglah kamu,
karena Sesungguhnya tempat kembalimu ialah neraka
(Depag R.I., 1985: 350) .
Perintah “untuk bersenang-senang” adalah sebuah
peringatan Allah kepada orang-orang kafir.

g. Al-Imtinan (pemberian nikmat). Misalnya Q.S. Al-Nahl/16:


114
       
    
Terjemahnya:
Maka makanlah yang halal lagi baik dan rezki yang
telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah,
jika kamu hanya kepada-Nya saja rnenyembah (Depag R.I.,
1985: 381).
Perintah makan dan minum di atas bukan berarti wajib,
tetapi ia berupa pemberian nikmat oleh Allah Swt..

h. Al-Ikram (penghormatan). Misalnya Q.S. Al-Hijr/15: 46


   
Terjemahnya:
(Dikatakan kepada mereka): “Masuklah ke dalamnya
dengan sejahtera lagi aman (Depag R.I., 1985: 358).
Ayat di atas menunjukkan penghormatan kepada ahli
surga. Sekalipun tidak ada perintah masuk ke dalam surga,
mereka pasti akan masuk surga karena mereka ahlinya. Jadi
perintah di atas adalah menunjukkan penghormatan.

i. Al-Ihanah (penghinaan). Misalnya Q.S. Al-Dukhan/44: 49


     
Terjemahnya:
Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang Perkasa lagi
mulia (Depag R.I., 1985:717).
Perintah di atas bermakna merendahkan, konteks ayat
ini berisi perintah untuk menjadi kera, karena kemanusiaan
mereka begitu rendah seolah-olah mereka tak ubahnya
seperti kera.

j. Al-taswiyat (persamaan). Misalnya Q.S. Al-Thur/52: 16


... ...      
Terjemahnya:
... Maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu
... (Depag R.I., 1985: 759).

k. Al-Du‘a (doa). Misalnya Q.S. A1-Baqarah/2: 201


 ....       
   
Terjemahnya:
“.... Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa
nerak” (Depag R.I., 1985: 39).

l. Al-Takwin (mengadakan sesuatu). Misalnya Q.S. Yasin/36:


82
        
 
Terjemahnya:
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila dia menghendaki
sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: “Jadilah!” Maka
terjadilah ia (Depag R.I., 1985: 633).
Kalimat ‫ كن فيك"""""ون‬pada ayat di atas, bermakna
mengadakan sesuatu, sebab walaupun tidak menggunakan
kata atau kalimat itu, jika Allah telah berkehendak, maka
pasti terjadi (Depag R.I., 1985: 388-389).

m. Al-Khabar (berita). Misalnya Q.S. A1-Taubah/9: 82


      
 
Terjemahnya:
Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis
banyak, sebagai pembalasan dan apa yang selalu mereka
kerjakan (Depag R.I., 1985: 368).
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah memberi kabar
bahwa orang yang tidak ikut berperang ketawanya sedikit
dan menangisnya banyak karena menyesal bermalas-
malasan tidak ikut berperang.

n. Al-Tafwid (penyerahan perkara). Misalnya Q.S. Thaha/20: 72:


....         
 
Terjemahnya:
“.... Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan.
Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan
pada kehidupan di dunia ini saja (Depag R.I., 1985: 438).

o. Al-Masyurah (permintaan musyawarah). Misalnya Q.S. Al-


Shaffat/ 37: 102:
... ...   
Terjemahnya:
“... Maka pikirkanlah apa pendapatmu!”.... (Depag R.I.,
1985: 641).
Ayat ini menjelaskan bahwa nabi Ibrahim meminta
musyawarah (meminta pendapat) kepada anaknya Ismail
tentang perintah Tuhan untuk menyembelihnya.

p. Al-I’tibar (mengambil ibarat/pelajaran). Misalnya Q.S. Al-


An’am/6: 99
          ...
    
Terjemahnya:
.... Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah
dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi orang-orang yang beriman (Depag R.I., 1985:
189).
Ayat ini menjelaskan bahwa perintah tersebut
menunjukkan manusia agar dapat mengambil pelajaran,
sehingga mereka dapat lebih mengenal Tuhannya.

q. Al-Takdzib (kebohongan). Misalnya Q.S. A1-Baqarah/2: 111:


...       
Terjemahnya:
... Katakanlah: “Tunjukkanlah, bukti kebenaranmu jika
kamu adalah orang yang benar” (Depag R.I., 1985: 21).
Ayat ini menjelaskan dan menunjukkan kebohongan
orang-orang Yahudi dan Nasrani di Madinah yang tidak
dapat menunjukkan bukti rnengenai pernyataan mereka.

r. Al-Tashbir (bersabar). Misalnya Q.S. A1-Zukhruf/43: 83


      
 
Terjemahnya:
Maka biarlah mereka tenggelarn (dalarn kesesatan) dan
bermain-main sarnpai mereka menemui hari yang
dijanjikan kepada mereka (Depag R.I., 1985: 712).

3. Ragam Makna Nahy dalam Alquran


Menurut al-Gazhali dan al-Amidi, ada tujuh pengertian
yang dapat ditunjukkan sebagai ungkapan yang bermakna al-
nahy, selain dan makna asalnya yakni haram. Penjelasan ini
temasuk di dalamnya hadis Nabi Saw. makna ini tergantung
pada qarinah menyertainya (Dahlan, 1996: 1285-1286).
Pengertian yang dimaksud, sebagai berikut:

a. Al-Karahah (makruh). Pengertian ini banyak didapatkan


dalam sabda Nabi Saw. Misalnya, larangan salat di kandang
unta, atau misalnya larangan Nabi Saw. memegang
kemaluan dengan tangan kanan ketika buang air kecil, dan
sebagainya.
b. Al-Du‘a (doa). Seperti halnya amr, pengertian ini banyak
ditemukan di dalam Alquran, misalnya doa yang telah
dicontohkan sebelumya Q.S. Al-Baqarah/2: 201, atau 286.
c. Al-Irsyad (petunjuk). Misalnya Q.S. Al-Maidah/5: 101:
       
...   
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang berirnan, janganlah kamu
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu ...
(Depag R.I., 1985: 165).
Larangan bertanya dalam ayat ini tidak berarti
menunjukkan keharamannya, sebab ada keterangan lain
yang menyebutkan untuk bertanya kepada ahlinya. Hanya
saja larangan ini bersifat arahan kepada orang-orang yang
berirnan untuk tidak banyak bertanya sesuatu yang
nantinya akan memberatkan mereka.

d. Al-dawam (kelanggengan). Misalnya Q.S. Ibrabim/14: 42,


....        
Terjemahnya:
Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira,
bahwa Allah lalai dan apa yang diperbuat oleh orang-
orang yang zalim ... (Depag R.I., 1985: 352).

e. Bayan al-‘Aqibah (penjelasan akibat). Misalnya Q.S. Ali


Imran/3: 169,
         
    
Terjemahnya:
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur
di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi
Tuhannya dengan mendapat rezki (Depag R.I., 1985: 92).

f. Al-Ta‘yis (membuat putus asa). Misalnya Q.S. Al-Tahrim/66:


7
       
    
Terjemahnya:
Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan
uzur pada han ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi
balasan menurut apa yang kamu kerjakan (Depag R.I.,
1985: 820).

g. Al-I’tinas (menghibur atau menyenangkan hati). Misalnya


Q.S. Al-Taubah/9: 40
... ...     
Terjemahnya:
“....Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah
beserta kita.” .... (Depag R.I., 1985: 260).
Penggunaan amr dan nahy, baik dari segi bentuk (shigat)
dan maknanya dalam Alquran berbeda-beda. Hal ini
mengindikasikan bahwa hukum dan perintah dan larangan
tidak selamanya berarti harus dimaknai sebagai makna asalnya,
terutama, jika ada indikator (qarinah) yang menyertainya.

E. Khatimah
Persoalan amr dan nahy adalah suatu hal yang sangat
penting dalam ranah kajian Alquran, terutama untuk menggali
kandungan hukum dan Alquran. Secara bahasa, amr
mempunyai lima arti dasar, yaitu berarti urusan, perintah
(lawan dari nahy), tumbuh dan bertambah, tanda dan
keanehan. Sedangkan menurut istilah adalah suatu tuntutan
(perintah) untuk melakukan suatu perbuatan dari pihak yang
kedudukannya lebih tinggi kepada pihak yang kedudukannya
lebih rendah. Tuntutan ini harus berasal dari pihak yang lebih
tinggi kedudukannya daripada yang diperintah, terutama
dalam hal ini dalah Allah Swt. Sedangkan nahy dan segi bahasa
berarti batas, atau akhir dan sampai. Sedangkan menurut
istilah adalah amr suatu tuntutan meninggalkan sesuatu dan
yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah
kedudukannya.
Para ulama ketika mengkaji masalah ini berpatokan
pada beberapa kaidah yang menyangkut tentang amr dan nahy.
Hal ini didasarkan pada pemahaman mereka terhadap konteks
pembicaraan dan penggunaan keduanya (amr dan nahy). Oleh
sebab itu, kaidah-kaidah yang telah dirumuskan itu bertujuan
sebagai barometer seseorang dalam mereduksi hukum yang
bersumber baik dari Alquran maupun hadis atau sunnah.
Penggunaan amr dan nahy, baik dari segi bentuk (shigat)
dan maknanya dalam Alquran berbeda-beda. Hal ini
mengindikasikan bahwa hukum dan perintah dan larangan
tidak selamanya berarti harus dimaknai sebagai makna asalnya,
terutama, jika ada indikator yang menyertainya. Selain itu, juga
mengindikasikan bahwa hukum syariat tidak selamanya
bersifat kaku atau statis, tetapi lebih bersifat fleksibel dan
dinamis yang tujuan utamanya adalah lebih kepada
kemaslahatan dan menghindari kemudaratan.

DAFTAR PUSTAKA

A. Djazuli dan I. Nurul Aen. 2000. Ushul Fiqih; Metodologi


Hukum Islam. Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo persada.
Abd. Hakim, Atang dan Jaih Mubarok. 2002. Metodologi Studi
Islam. Cet. V; Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya.
Abdullah, Taufik (et. al.). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jilid
III, Cet. 1; Jakarta: PT. lehtiar Baru Van Hoeve.
Arkoun, Muharnmad. 1997. Berbagai Pembacaan Al-Qur’an. Terj.
Machasin, Cet. I; Jakarta: lNIS.
Asmir, Raji al-. 1993. al-Mu ‘jam al-Mufashshal fi ‘Ilm al-Sharf.
Cet. I; Beirut; Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Chirzin, Muhammad. 1998. Al-Qur‘an dan Ulumul Qur‘an. Cet.
1; Jakarta: Dana Bakti Prima Yasa.
Chirzin, Muhammad. 1998. Al-Qur‘an dan Ulumul Qur‘an. Cet. I;
Jakarta: Dana Bakti Prima Yasa., 1998.
Dahlan, Abdul Aziz (et. al.). 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid
II (Cet. 1; Jakarta: PT. lchtiar Baru Van Hoeve.
Departemen Agama R.I. 1985. Al-Qur‘an dan Terjemahannya.
Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an
Departemen Agama R.l Pelita IV.
Ibn Zakaiya, Abi al-Husain Ahmad bin Faris. 1972. Mu’jam
Maqayis al-Lughah. Juz I, Cet. 1; t.tp: Dar al-Fikr.
Khallaf, Abdul Wahab. 1996. “‘Ilmu Ushul al-Fiqh”. Terj. Noer
Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer.
Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Cet. VI; Jakarta: PT. Raja
Grafmdo Persada.
Qardhawi, Yusuf. 2000. “Kaifa Nata’amal Ma‘a Al-Qur‘an”.
Terj. Kathur Suhardi. Bagaimana berinteraksi dengan Al-
Qur’an. Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Sabt, KhaIid bin Usman al-. 1997. Qawa‘id al-Tafsir; Jam’an wa
Dirasatah. Jilid II, Cet. I; al-‘Arabiyah al-Sa’udiyah: Dar
ibn ‘Affan Li aI-Nusyur wa al-Tauzi’.
Sabt, Khalid bin Usman al-. 1997. Qawa‘id al-Tafsir Jam‘an wa
Dirasah. Jilid II, Cet. I; al-‘Arabiyah al-Su’diyah: al-
Aqrabiyah.
Sabt, Khalid ibn Utsman al-. 1996. Mukhtasar fi Qawa’id al-
Tafsir. Cet. I; al-‘Arabiyah al-Sa’udiyah: Dar ibn ‘Affan
Li al-Nusyur wa al-Tauzi’.
Syirbashi, Ahmad al-. 1984. Sejarah Tafsir Al-Qur‘an. (Terj.), Cet.
III; Jakarta: Pustaka Firdaus
Thabathaba’i Muhammad Husein. 2003. “Al-Qur‘an fi Al-
Islam”. Terj. Idrus Alkaf. Memahami Esensi A1-Qur’an.
Cet. III; Jakarta: Lentera.
Usman, Mukhlis 2002. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah.
Cet. IV; Jakarta: PT. Raja Grafmdo Persada.
BAB VIII
KAIDAH TA’RIF DAN TANKIR

A. Kaidah Ta’rif dan Tankir


Seseorang yang hendak menafsirkan Alquran
hendaknya terlebih dahulu mengetahui dan menyakini dengan
baik bahwa Alquran berisi berbagai informasi keilmuan dan
mengayoini segala bentuk kemaslahatan manusia, yaitu
dengan cara menguraikan ilmu dan merangsang orang untuk
meraih kemaslahatan. Selanjutnya, hendaknya ia jadikan
tatacara dan aturan penafsiran Alquran sebagai suluh
pandangan dan pemikiran, serta mempergunakannya untuk
mengamati berbagai peristiwa yang telah lalu maupun yang
akan datang (al-Sa‘adi, 1998: 21).
Salah satu upaya meraih kebenaran teks dan konteks
sebuah ayat - dalam artian untuk menggapai sebuah penafsiran
yang baik - maka dibutuhkan ilmu alat. Dengan ilmu alat, bisa
lebih mudah mengaplikasikan makna-makna Alquran dalam
kehidupan sosial, apalagi mengenai ayat-ayat Alquran yang
berkategori mutasyabih, tentu kian rumit dan pelik. Dengan
demikian, dalam menafsirkan Alquran, al-Dzahabi
menyebutkan pengetahuan-pengetahuan tertentu yang
diperlukan berkaitan dengan ayat-ayat Alquran yang
ditafsirkan (Shihab, 2005: 5). Pengetahuan-pengetahuan
tertentu yang dimaksud, al-Dzahabi (t.th.: 53-54) menyebutkan
lima belas macam ilmu yang harus diiniliki oleh seorang yang
ingin menafsirkan Alquran diantaranya: al-Lughah, nahwu,
sharaf, al-Isytiqaq, al-Ma‘ani, a1-Bayan, al-Badi’, al-Qiraah, Ushul
al-Din, Ushul al-Fiqh, al-Fiqh, Asbab al-Nuzul, Nasikh wa al-
Mansukh, al-Hadits, dan Munasabah.
Persoalannya adalah bagaimana merumuskan sebuah
metode tafsir yang mampu menjadi alat untuk menafsirkan
Alquran secara baik, dialektis, reformatif, komunikatif, serta
mampu menjawab perubahan dan perkembangan problem
kontemporer yang dihadapi umat manusia. Untuk mencapai
tujuan tersebut perlu adanya penelusuran sejarah tentang
berbagai upaya ulama dalam mengembangkan kaidah-kaidah
penafsiran. Tujuannya adalah untuk mengetahui prosedur
kerja para ulama tafsir dalam menafsirkan Alquran sehingga
penafsiran tersebut dapat digunakan secara fungsional oleh
masyarakat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan
kehidupan.
Kaidah-kaidah ini kemudian dapat digunakan sebagai
referensi bagi pemikir Islam kontemporer untuk
mengembangkan kaidah penafsiran yang sesuai dengan
perkembangan zaman. Akan tetapi, kaidah-kaidah penafsiran
dalam hal ini tidak berperan sebagai alat justifikasi ‘benar-
salah’ terhadap suatu penafsiran Alquran. Kaidah-kaidah ini
lebih berfungsi sebagai pengawal metodologis agar tafsir yang
dihasilkan secara objektif dan ilmiah serta dapat
dipertanggungjawabkan, sebab produk tafsir pada dasarnya
merupakan produk pemikiran manusia yang dibatasi oleh
ruang dan waktu. Untuk itu, salah satu kaidah penafsiran yang
akan dibahas lebih jauh adalah kaidah al-ta‘rif dan al-tankir
dalam Alquran.
B. Pengertian al-Ta‘rif dan al-Tankir
Al-Ism (kata benda) dan segi diketahui dan tidak
diketahui terbagi dua yaitu ism ta‘rif (ma‘rifah) dan ism tankir
(nakirah). Ma‘rifah berarti sesuatu yang dicapai dan padanya
(Ma’luf, t.th.: 500). Dalam Mu‘jam Maqayis al-Lugah, al-ma‘rifah
diartikan sesuatu yang dikenal (ibn Zakariyaa, 1991: 281). Jadi
yang dimaksud ism ta‘rif (ma‘rifah) adalah al-ism (kata benda)
konkret atau abstrak yang menunjuk kepada benda tertentu.
Al-Ism al-ma‘rifah dalam bahasa Arab terdiri atas: al-dhamair, ism
al-‘alam, ism al-isyarat, ism al-maushul, ism yang dima‘rifatkan
dengan alif dan lam (‫)أ ل‬, ism yang disandarkan kepada ism yang
berbentuk ma‘rifah (pasti dan jelas) maka ism tersebut menjadi
ma‘rifah meskipun sesungguhnya berbentuk al-nakirah, dan
berbentuk munada’ yang ditentukan artinya ism nakirah yang
dikhususkan dengan huruf nida’ sehingga statusnya berubah
menjadi ma‘rifah (Ni‘mah, t.th.: 20; ibn al-Anshafi, 1979:
Software Maktabah Syamilah).
Sedangkan tankir (ism al-nakirah) secara bahasa tidak
tahu, kata benda indefinite (Atabilc Ini dan Muhdlor, 2003:
1944), sedangkan dalam Qamus al-Munjid, nakirah diartikan
mengingkari sesuatu lawan dari ma‘rifah (Ma’luf, t.th.: 836). Jadi
tankir (ism al-nakirah) adalah ism (kata benda) yang tidak
dikenal/tidak tentu atau yang tidak menunjukkan kepada
sesuatu atau seseorang tertentu. Sementar Mustafa al-Gulayaini
memberikan defenisi bahwa tankir adalah ism yang tidak
memiliki makna tertentu (al-Gulàyaini, t. th.: 113). Adapun ciri-
ciri nakirah adalah semua ism yang tidak beralif lam dan bukan
termasuk dalam salah-satu cabang ism ma‘rifah (al-Gulàyaini, t.
th.: 113). Demikian pula pandangan para pakar bahasa Arab
yang lainnya.
C. Penggunaan Ism al-Ta‘rif
Penggunaan ism ma‘rifah mempunyai beberapa fungsi
yang berbeda sesuai dengan macamnya” (al-Qaththan, t.th.:
189).
Ta‘rif dengan ism dhamir (kata ganti nama benda) karena
keadaan menghendaki demikian, baik dhamir mutakallim
(pembicara, pihak pertama), dhamir mukhathab (pihak kedua,
pihak yang diajak bicara, partner bicara) maupun dhamir gaib
(pihak ketiga, yang dibicarakan) (al-Suyuthi, 1996: 557; A1-
Qaththan, t.th.: 189).
1. Ta‘rif dengan ism al-‘alam (nama) berfungsi untuk :
a. ‫ اال حضارة بعىنه فى السا مع ابت""داء باس""م مختص به‬: menghadirkan
pemilik nama itu dalam hati pendengar dengan cara
menyebutkan namanya yang khas(A1-Suyuthi, 1996:
557; al-Qaththan, t.th.: 190) seperti (Q.S. al-Fath/48:
29)
   
Terjemahnya:
Muhammad itu adalah utusan Allah (Depag RI., 1989:
843).

Nama Nabi Muhammad yang disebutkan pada awal ayat


diatas merupakan bentuk ism ‘alam (ma‘rifah) sehingga
menjadikan kehadirannya sangat melekat dalam hati
pendengar
b. ‫ لتحض"""""يمه‬untuk mengagungkan, memuliakan seperti
penyebutan nama ‘Ya‘kub’ dengan nama laqab (gelar)nya
‘Israil’ yang berfungsi sebagai pujian dan keagungannya
c. ‫ اه"""""""ا نته‬menghinakan/merendahkan seperti (Q.S al-
Lahab/111: 1)
    
Terjemahnya:
Binasalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya
dia akan binasa (Depag RI., 1989: 1116).
Kata ‘Abu Lahab’ dalam ayat ini ditujukan untuk
menghina dan merendahkan Abu Lahab sekaligus juga
berfungsi sebagai kinayah (sindiran) terhadap dirinya
2. Ta‘rif dengan ism isyarah (kata tunjuk) berfungsi untuk:
a. ‫ لبي"ان حال"ه فى الق"ريب‬menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk
itu dekat(Depag RI., 1989: 190)., seperti Q. S. Luqman/31: 11,
          
   
Terjemahnya:
Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu
kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-
sembahan (mu) selain Allah sebenarnya orang-orang
yang dzalim itu berada di dalam kesesatan yang nyata)
(Depag RI., 1989: 654).
Kata ‫ ه""ذا‬dalam ayat ini menunjukkan bahwa sesuatu
yang ditunjuk itu dekat sehingga untuk memahaini hal yang
dimaksud menjadi mudah.
b. ‫ لبي""""""""ا ن حال""""""""ه فى البعد‬Menjelaskan keadaannya dengan
menggunakan “kata tunjuk jauh” seperti Q.S. al-Baqarah/2:
5
       

Terjemahnya:
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dan Tuhan
mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung
(Depag RI., 1989: 9).

c. ‫ لقصد تحقيره بالقر ب‬Menghinakan dengan memakai kata tunjuk


dekat, seperti ; Q.S. al-Anbiya/21: 36
   
Terjemahnya:
Apakah ini orang yang mencela tuhan-tuhanmu? (Depag
RI., 1989: 500).
Contoh lain (Q.S. al-Ankabut/29: 64)

       


      
 
Terjemahnya:
Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau
dan main- main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang
sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui (Depag
RI., 1989: 638).
d. ‫لقص""د تحق""يره بالبعد‬, memuliakan dengan memakai kata tunjuk
jauh, seperti Q.S. al-Baqarah/2: 2,

        


Terjemahnya:
Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya;
petunjuk bagi mereka yang bertakwa (Depag RI., 1989:
9)
e. ‫ للتنبيه‬untuk mengingatkan bahwa sesuatu yang ditunjuk
yang diberi beberapa sifat itu sangat layak dengan sifat yang
disebutkan sesudah ism isyarah tersebut. Misalnya, dalam
Q.S. al-Baqarahl/2: 5,
       

Terjemahnya:
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dan Tuhan
mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung
(Depag RI., 1989: 9).
3. Ta‘rif dengan ism maushul (kata ganti penghubung)
berfungsi untuk
a. ‫ او اها بة له او لغير ذل‬,‫ اما سترا عليه‬,‫لكراهة ذكره نجاص اسمه‬
Karena tidak disukainya menyebutkan nama
sebenarnya untuk menutupinya atau menghina atau
disebabkan hal lain (al-Suyuthi, 1996: 557; al-Qaththan, t.th:,
190., seperti pada firman Allah Q.S. al-Ahqaf/46: 17,
    
Terjemahnya:
Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya
(Depag RI., 1989: 825).

b. ‫ الءرادة العم"""وم‬untuk menunjukkan arti urnum, seperti Q.S.


al-‘Ankabut/29: 69

       


 
Terjemahnya:
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan)
Kami, benar benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami. Dan sesunguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik (Depag RI., 1989:
628).
Kata ‫ الذين‬dalam ayat ini menunjukkan arti yang umum

c. ‫ لإل ختص""""ار‬untuk meringkas kalimat, seperti Q.S. al-


Ahzab/33: 69,

      


     
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi
seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah
membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka
katakan (Depag RI., 1989: 680).
Kata ‫ ك"""ا ل"""ذين‬dalam ayat ini menunjukkan sebuah
ringkasan kalimat artinya andai kata nama-nama orang yang
mengatakan itu disebutkan tentulah pembicaraan (kalimat) itu
menjadi panjang.
4. Ta‘rif dengan alif lam berfungsi untuk :
a. ‫ معه""""ود ذك""""رى‬untuk menunjukkan sesuatu yang sudah
diketahui karena telah disebutkan (Al-Qaththan, t.th.: 190-
191; al-Zarkasyi, t.th.: 87)), seperti Q.S. al-Nur/24: 35,
       
       
   
Terjemahnya:
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.
Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah
lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita
besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan
bintang (yang bercahaya) seperti mutiara (Depag RI.,
1989: 550).
‫ معه"""ود" ذه"""نى‬untuk menunjukkan sesuatu yang sudah
diketahui bagi pendengar (Al-Zarkasyi, t.th.: 88), seperti Q. S.
al-Fath/48: 18,
       
 
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang
mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah
pohon (Depag RI., 1989: 840).
b. ‫ معحود حضورى‬Sesuatu yang sudah diketahui karena ia hadir
saat itu (Al-Zarkasyi, t.th.: 88), seperti Q. S. al-Maidah/5: 3,
   
Terjemahnya:
Pada hari ini telah kusempumakan untukimu
agamamu(Depag RI., 1989: 157).
c. ‫( إلستغراق اإلفراد‬Al-Zarkasyi, t.th.: 157) untuk mencakup semua
satuannya seperti Q.S. al-‘Ashr/103: 2. Ini diketahui karena
ada pengecualian sesudahnya

   


Terjemahnya:
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam
kerugian (Depag RI., 1989: 1099).

‫ إلس"""تغراق خص"""ائص اإلف"""راد‬untuk mencakup segala


karakteristik jenis seperti Q.S. al-Baqarah/2: 3,

 
Terjemahnya:
Kitab (Alquran) itu (Depag RI., 1989: 8).
Maksudnya kitab yang sempurna petunjuknya dan
mencakup semua isi kitab yang diturunkan dengan segala
karakteristiknya.
d. ‫ لتع"""ر ي"""ف الم"""ا هي"""ة وا لحقيق"""ة ولجنس‬Untuk rnenerangkan esensi,
hakikat dan jenis seperti dalarn Q.S. al-Anbiya/21: 30,

     


Terjemahnya:
Dan air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup (Depag
RI., 1989: 499).
D. Penggunaafl Ism Nakirah

Penggunaan isim nakirah ini mempunyai beberapa


fungsi, diantaranya:
‫( الرة الو حد ة‬Untuk menunjukkan satu), (al-Suyuthi, 1996:
556; al-Qaththan, t.th.: 189; A1-Zarkasyi, t.th.: 91).
1. contoh dalam Q.S. Yasin/36: 20 dan Q.S. al-
Qashash/28: 20,

     ,  


   
Terjemahnya:
Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki (Habib
al-Najjar) dengan bergegas-gegas, dan datanglah seorang
laki-laki dan ujung kota bergegas-gegas (Depag RI., 1989:
612).
Kata “‫ ”رجل‬maksudnya adalah seorang laki-laki
2. ‫( ارادةالن""و ع‬al-Suyuthi, 1996: 556; al-Zarkasyi, t.th.: 91)
(Untuk menunjukkan jenis/macam), seperti dalam Q.S.
al-Baqarah/2: 7.
       
     
Terjemahnya:
Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka,
dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa
yang amat berat (Depag RI., 1989: 9).
Kata ‫ غشاوة‬yang dimaksud dalam ayat ini adalah jenis
tutup yang belum dikenal oleh manusia, karena dapat
menutupi apa yang tidak dapat ditutupi oleh penutup lainnya.
Contoh yang lain dalam Q.S. al- Baqarah/2: 96,

    


Terjemahnya
Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia
yang paling loba kepada kehidupan (di dunia) (Depag
RI., 1989: 27).
Kata "‫ "حياة‬dalam ayat diatas diartikan sesuatu macam
dan kehidupan, yaitu mencari tambahan untuk masa depan,
sebab keinginan itu bukan terhadap masa lalu atau masa
sekarang.
‫( الوح"""دة والنوعي"""ة معا‬al-Suyuthi, 1996: 556), yaitu untuk
menunjukkan “satu” dan “jenis/macam” sekaligus) misalnya
dalam Q.S. al-Nur/24: 45.

          
        
           
 
Terjemahnya:
Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dan air,
maka sebagian dan hewan itu ada yang berjalan di atas
perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang
sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah
menciptakan apa yan dikehendaki-Nya, sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Depag RI., 1989:
h. 552).
Maksudnya, setiap macam dan segala macam binatang
itu berasal dari suatu macam air dan setiap individu (satu)
binatang itu berasal dan satu nutfah.
3. ‫ التعظيم‬untuk membesarkan (memuliakan) keadaan(Al-
Zarkasyi, t.th.: 91), seperti dalam Q.S. al-Baqarah/2: 279,

       


Terjemahnya:
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu (Depag RI., 1989: 70).
Maksud “ ‫ “ح"""رب‬ialah peperangan yang besar atau
dahsyat.

4. ‫ التكثير‬untuk menunjukkan arti banyak) seperti dalam


Q.S. al-Syu‘ara/26: 41, Al-Zarkasyi, t.th.: 91; al-Suyuthi,
1996: 556).

        


  
Terjemahnya:
Maka tatkala ahli-ahli sihir datang, mereka bertanya
kepada Fir’aun: “Apakah kami sungguh-sungguh
mendapat upah yang besar jika kami adalah orang-orang
yang menang?” (Depag RI., 1989: 576).
Maksud kata "‫ "أج""را‬adalah pahala yang banyak ‫التعظيم‬
‫( والتكث""""ير معا‬Al-Zakasyi, t.th.: 91) untuk membesarkan dan
menunjukkan banyak (gabungan no 4 dan 5) misalnya dalam
Q.S. Fathir/35: 4,
         
 
Terjemahnya:
Dan jika mereka mendustakan kamu (sesudah kamu ben
peringatan), maka sungguh telah didustakan pula rasul-
rasul sebelum kamu. Dan hanya kepada Allah-lah
dikembalikan segala urusan (Depag RI., 1989: 695).
Maksudnya rasul-rasul yang mulia dan banyak
jumlahnya.
5. ‫ التحق"""""ير‬untuk meremehkan, misalnya dalam Q.S.
‘Abasa/8O: 18 (Al-Zarkasyi,t.th.: 91; al-Suyuthi, 1996:
557).

   


Terjemahnya:
Dan apakah Allah menciptakannya? (Depag RI., 1989:
1025).
Yakni Allah menciptakan dan sesuatu yang hina,
rendah dan teramat remeh.
6. ‫ التقليل‬untuk menyatakan sedikit, seperti Q.S. al-
Taubah/9: 72. (Al-Zarkasyi,t.th.: 91; al-Suyuthi, 1996:
557).

      


      
  )     )  
 
Terjemahnya:
Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mukmin
lelaki dan perempuan, (akan mendapat) syurga yang di
bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di
dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di
surga ‘Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar itu
adalah keberuntungan yang besar (Depag RI., 1989: 291).
Maksud dari ayat diatas adalah keridhaan yang sedikit
dan Allah itu lebih besar dan pada syurga, karena keridahaan
itu pangkal dan segala kebahagiaan.
Selain itu ibn Nair al-Sa’dfi mengatakan bahwa apabila
menemukan kata berbentuk nakirah dalam konteks
pembicaraan yang menafikan (al-Nafy) perngertian kata
tersebut, mengandung larangan (al-Nahy), atau kata itu
dipersyaratkan (al-syarth) atau pengertiannya dipertanhankan
(istifham) maka semua pergertian kata nakirah tersebut
menunjuk pada pengertian yang bersifat umum (al-Sa‘di, 1998:
66; Mardan, 2009: 257).
Contoh kata nakirah yang dinafikan antara lain ketika
Alquran menyebutkan sifat hari kiamat (Q.S. al-Infithar/82: 19)

         


Terjemahnya:
(Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikit pun
untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari
itu dalam kekuasaan Allah (Depag RI., 1989: 1033).
Kata “al-Nafs” dalam ayat ini bersifat umum, siapa pun
orangnya, berkedudukan sama ditinjau dari segi
ketidakmampuan membantu orang lain. Demikian juga
pengertian kata “syay’an” yang terdapat dalam ayat di atas
menunjukkan pengertian umum, yaitu pada hari kiamat
apapun tidak dapat diberikan kepada orang lain, baik sesuatu
yang berguna ataupun dapat menghindarkan bahaya siksa
yang akan menimpa orang lain.
Adapun contoh kata nakirah dalam konteks larangan
seperti dalam Q.S. al-Nisa/4: 36,
        
    
     
        
     
Terjemahnya:
Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-
anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan
diri (Depag RI., 1989: 123).
Larangan mempersekutukan Allah dalarn ayat diatas
bersifat umum mencakup segala sesuatu yang mengandung
unsur syirik baik berbentuk niat, perkataan dan perbuatan
maupun syirik besar, kecil, nyata (al-jali), maupun tersembunyi
(al-Khafi).
E. Kaidah yang Berhubungan dengan Ma‘rifah dan Nakirah
Apabila sebuah ism disebutkan dua kali maka dalam hal
ini ada empat kemungkinan: kedua-duanya ma‘rifah, kedua-
duanya nakirah, yang pertama nakirah sedang yang kedua
ma‘rifah, dan yang pertama ma‘rifah sedang yang kedua nakirah
(al-Suyuthi, 1996: 257).
1. ‫فا ن كانا معرفتين فالثاني هو األول غالبا‬
Artinya:
apabila kedua-duanya ma‘rifah maka pada umumnya
yang kedua merupakan hakikat yang pertama. misalnya
Q. S. al-Fatihah/l: 6-7.

      


      
Terjemahnya:
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-
orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada
mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan
(pula jalan) mereka yang sesat (Depag RI., 1989: 6).
Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa lafaz ‫”"الصراط‬
dima’rifahkan dengan “"‫ ال‬sementara lafaz “"‫ صراط‬dima’rifahkan
dengan idhafah kepada ism maushul. dari kedua lafaz ini
mempunyai makna yang sama yaitu berarti jalan. Contoh lain
dalam Q.S. al-Rahman/55: 60,

    


Terjernahnya:
Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)
(Depag RI., 1989: 889).
Ayat diatas dapat dipahaini bahwa lafadz "‫ "اإل حسان‬yang
pertama adalah ma‘rifah dan lafadz "‫ "اإل حسان‬yang kedua juga
ma‘rifah, dan keduanya bermakna kebaikan, sekalipun kebaikan
yang dimaksud yang pertama adalah kebaikan dari sisi
perbuatannya, sementara yang kedua adalah kebaikan dan sisi
pahalanya.
2. ‫وان كانا نكرتين فالثانى غير األول غالبا‬
Artinya:
dan jika kedua-duanya nakirah, maka yang kedua
biasanya bukan yang pertama. Misalnya Q.S. al-Rum/30:
54,

          
          
   
Tenjemahnya:
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dan keadaan
lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah
keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia
menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan
beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya
dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa
(Depag RI., 1989: 649).
Dalam ayat diatas kata terulang sampai tiga kali. ‫ضعف‬
yang pertama adalah nuthfah (sperma), ‫ضعف‬yang kedua masa
bayi. Sedang ‫ ض""عف‬yang ketiga adalah masa lanjut usia. Jadi,
yang dimaksud bukan yang pertama yaitu dan ketiga kata ‫ضعف‬
masing-masing mempunyai makna tersendiri.

‫ فالثانى هو االول حخال على العهد‬،‫ والثانى معرفة‬،‫وان كان األول نكر ة‬
Artinya:
dan jika yang pertama nakirah dan yang kedua adalah
ma‘rifah maka yang kedua merupakan hakikat yang
pertama, karena itulah yang sudah diketahui. misalnya
dalam Q.S. al-Muzzammil/73: 15-16,

    (15)  


. . . . .  (16)
Terjernahnya
Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai
orang kafir Mekah) seorang Rasul, yang menjadi saksi
terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu)
seorang Rasul kepada Fir‘aun (Depag RI., 1989: 989).
Pada ayat diatas lafaz ‫ رس"""ول‬yang pertama adalah
nakirah sedangkan lafaz ‫ رسول‬yang kedua adalah ma‘rifah. Jadi
dari kedua lafaz diatas mempunyai pengertian yang sama yaitu
nabi Musa. Contoh lain dalam Q. S. al-Nur/24: 35,

       


   
Terjemahnya:
Seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di
dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dari)
kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti
mutiara (Depag RI., 1989: 550).
Pada ayat diatas lafaz "‫ "مص""ياح‬yang pertama adalah
nakirah dan lafaz yang kedua adalah ma‘rifah dan keduanya
bermakna sama.

‫ فتارة تقوم‬،‫ توقف المراد على القرأن‬،‫ والثانى نكرة‬،‫وان كان األول معرفة‬ .3
‫قرينة على التغاير‬

Artinya:
dan jika yang pertama ma‘rifah sedang yang kedua
nakirah, maka apa yang dimaksudkan bergantung pada
qarinahnya. Terkadang qarinah menunjukkan pada suatu
perubahan.
Artinya, bahwa terkadang keduanya itu berbeda, dan
terkadang pula ia menunjukkan bahwa keduanya sama.
Adapun contoh keduanya itu seperti pada firman Allah Q.S. al-
Rum/30: 55.

       


    
Terjemahnya:
Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-
orang yang berdosa; “Mereka tidak berdiam (dalam
kubur) melainkan sesaat (saja)’. Seperti demikianlah
mereka selalu dipalingkan (dan kebenaran) (Depag RI.,
1989: 650).
Kata "‫ "الس""اعة‬yang terulang pada ayat diatas memiliki
konotasi makna yang berbeda. Kata "‫ "الس""اعة‬yang pertama
diartikan dengan kiamat, sementara "‫ "الس"""اعة‬yang kedua
diartikan dengan sesaat (bukan kiamat) Adapun contoh yang
menunjukkan bahwa keduanya sama, seperti Q.S. a-
Mu’min/40: 53-54,

      


   
Terjemahnya:
Dan sesungguhnya telah Kami berikan petunjuk kepada
Musa; dan Kami wariskan Taurat kepada Bani Israel.
Untuk menjadi petunjuk dan peringatan (Depag RI., 1989:
766).
Kedua ayat diatas menunjukkan bahwa lafal "‫ "الهدى‬yang
pertama berbentuk ma‘rifah diartikan dengan petunjuk
sementara "‫ "هدى‬yang kedua berbentuk nakirah dan diartikan
dengan petunjuk pula.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. 1989. Al-Qur‘an dan Terjemahannya.


Jakarta: Yayasan Penterjemah dan Penafsir Al-
Qur’an.
Dzahabi, Muhammad Husain al-. t.th. al-Burhan fi Tafsir al-
Qur’an. Qahirah: Dar a1-Ma‘arif.
Gulayaini, Mushthafa al-. t.th. Jami‘ aI-Durus al-‘Arabiyah.
Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah.
Ibn al-Anshafi, Abu Muhammad ‘Abdillah Jamal al-Din ibn
Yusuf ibn Ahmad ibn ‘Abdillah ibn Hisyam. 1979.
Awdhahu al-Masaliki al-Fijyah Ibn Imik. Juz IV, Beirut:
Dar al-Jil (Software Maktabah Syamilah).
Ibn Zakariya, Abu al-H{usain Ahmad ibn Faris. 1991. Mu‘jam
Maqayis aI-Lugah. Jilid V, Cet. I; Beirut: Dar al-Jil.
Ma’luf, Louis. t.th. al-Munjid fi al-Lugah wa al-I‘lam. Cet. XXIX;
Beirut: Dar al-Masyriq.
Mardan. 2009. Sebuah Pengantar Memahami al-Qur’an secara
Utuh. Cet. 1; Makassar: CV. Berkah Utami.
Muhdlor, Atabilc Ini dan Ahmad Zuhdi. 2003. Kamus Kariblyik
al-Ashri. Cet. VIII; Yogykarta: Multi Karya Grafika.
Ni‘mah, Fuad. Qawa‘id al-Lugah al-‘Arabiyyah. t.th. Beirut: Dar
al-Saqafiyyah al-Islamiyyah.
Qaththan, Mannä’u Khalil al-. t.th. Mabahis fi ‘Ulurn al-Qur’an.
Qahirah: Maktabah Wahbah.
Sa‘di, ‘Abd al-Rahman ibn Nashir al-. 1998. Kaidah-Kaidah
Penafsiran Alquran. Terj. Abd Rahman Dahlan. Cet.
II; Bandung: Mizan.
Shihab, Umar. 2005. Kontekstualitas Alquran, Kajian Tematik atas
Aya-ayat Hukurn dalam Alquran. Cet. III; Jakarta: PT.
Paramadina.
Syafi‘i, Jalàl al-Din al-Suyuthi al-. 1996. al-Itqan fi al-Qur’an. Juz
I, Cet. I; Beirut: Dar al-Saqafiyyah, 1996.
Zarkasyi, Badaruddin Muhammad ibn ‘Abdilláh al-. t.th. al-
Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an. Juz IV, Qahirah, Dar al-
Turats.

BAB IX
KAIDAH TAQDIM DAN TA’KHIR

A. Kaidah Taqdim dan Ta’khir


Alquran memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri
dan sifat. Salah satu diantaranya adalah ia merupakan kitab
yang keotentikannya dijamin oleh Allah Swt. (Shihab, 1999:
21).Sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. al-Hijr/15: 9
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran dan sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya.”
Kegiatan menafsirkan Alquran berarti berupaya untuk
menjelaskan dan mengungkapkan isi ayat-ayat Alquran. Seseorang
yang hendak menafsirkan Alquran (calon mufasir) hendaknya
terlebih dahulu mengetahui dan meyakini dengan baik bahwa
Alquran berisi berbagai informasi keilmuan dan mengayomi
segala bentuk kemaslahatan manusia, yaitu dengan cara
menguraikan ilmu dan merangsang orang untuk meraih
kemaslahatan tersebut, serta mencegah segala bentuk bahaya
dan kemudaratan yang akan menimpa manusia (Dahlan, 1998:
21). Oleh karena objek tafsir adalah Alquran, yang merupakan
sumber pertama ajaran Islam sekaligus menjadi petunjuk dan rahmat
bagi manusia, baik selaku individu maupun sebagai kelompok
masyarakat, maka penafsiran terhadap Alquran bukan hanya
merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan lebih dari itu merupakan
suatu keharusan bagi orang-orang yang memenuhi kualifikasi untuk
melakukan itu (Q.S. al-Nisa/4: 82 dan Q.S. Muhammad/47: 24).
Sebagaimana telah diketahui bahwa Alquran turun berbahasa
Arab sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.S. Yusuf/12: 2,
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Alquran dengan
berbahasa Arab, agar kamu memenuhinya.” Untuk itu, dalam
memahami isi kandungan Alquran di perlukan penguasaan bahasa
Alquran dalam hal ini bahasa Arab itu sendiri yang terkandung di
dalamnya kaidah-kaidah, pemahaman asas-asasnya, penghayatan
uslub-uslubnya dan penguasaan rahasia-rahasianya.
Salah satu ilmu yang mengkaji makna-makna Alquran
adalah kaidah-kaidah tafsir. Karena itu, orang yang hendak
menafsirkan ayat-ayat Alquran terlebih dahulu harus
memahami kaidah-kaidah yang erat kaitannya dengan kalimat
yang hendak ditafsirkannya, karena kaidah-kaidah tersebut
adalah kunci utama dan mempunyai peranan yang sangat
besar dalam mengkaji makna suatu ayat Alquran.
Telah dimaklumi bahwa tidak mungkin mengucapkan
bagian-bagian pembicaraan (kalimat) sekaligus, tetapi mesti
ada bagian yang didahulukan dan ada yang diakhirkan, dan
pada dasarnya tidak ada suatu kata lebih utama didahulukan
daripada yang lain. Karena semua kata-kata itu berkedudukan
sama penting dan diperlukan, maka untuk mendahulukan
suatu kata terhadap yang lain harus ada faktor yang
mengharuskannya (Bekdayyab et.al, 2004: 448). Oleh karena itu,
salah satu pembahasan kaidah pada kaidah-kaidah tafsir
Alquran adalah kaidah taqdim dan ta’khir.
B. Pengertian Kaidah Taqdim dan Ta’khir.
Kata kaidah telah menjadi kosakata bahasa Indonesia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kaidah adalah rumusan
asas-asas yang menjadi hukum, aturan yang pasti, patokan, dan
dalil-dalil (Depdikbud, 1995: 430). Kata tersebut berasal dari
bahasa arab, yaitu ‫يقعد‬-‫قعد‬, yang dalam perubahan kalimatnya
menjadi ‫( قاع""دة‬qa‘idah) makna leksikal mengandung beberapa
arti antara lain ‫( اآلسس‬dasar, pedoman, dan pondamen),‫الق""انون‬
(undang-undang), ‫( المبدأ‬prinsip dasar), ‫(النتسق‬metode atau cara)
(Munawwir, 1989: 375). Oleh karena itu, kaidah dasar biasa
diartikan sebagai dasar yang dipahami untuk menghasilkan
atau menyuarakan sesuatu Dipdikbud, 1995: 376).
Kata taqdim dalam Mu‘jam Maqayis al-Lugah berakal
dari kata ‫ م‬,‫ د‬,‫ق‬, akar kata ini berarti menunjukan kepada apa yang
terdahulu atau apa yang telah berlalu. Dikatakan al-qidam yang
bermakna lawan kata dari huduts atau baru. Kalau dikatakan ‫شيء قديم‬
jika waktunya telah berlalu atau sesuatu yang telah lampau (ibn
Faris Zakariya, t.th.: 65). Dalam al-Qamus al-Ashri kata ‫تقديم ضد تاخير‬
yang berarti lawan kata dari taqdim (Muhdlor, t.th.: 541). Taqdim
yang dimaksud dalam kaidah ini adalah mendahulukan satu lafaz
atau ayat yang satu dari lafaz atau ayat yang lain.
Kata ta‘khir barakar dari kata ‫ر‬, ‫ خ‬,‫أ‬, yaitu lawan kata
‫ المتقدم‬atau yang terdahulu (ibn Faris Zakariya,t.th.: 70). Dalam
Kamus al-Ashri kata ‫ تاخير‬bermakna penundaan, penangguhan,
dan perlambatan (Muhdlor, t.th.: 383). Akan tetapi, ta’khir yang
dimaksud pada kaidah ini ialah mengakhirkan satu kata atau
ayat yang satu dari ayat atau kata yang lain.
Dari beberapa pengertian di atas penulis menyimpulkan
bahwa kaidah taqdim dan ta’khir adalah suatu dasar atau
patokan untuk mengetahui suatu lafaz, atau ayat itu
didahulukan dan diakhirkan untuk memperlihatkan
kekhususan, keutamaan, dan ketika dibutuhkan.
C. Sebab-sebab taqdim dan ta’khir dalam Alquran
Sebelum menjelaskan kaidah taqdim dan ta’khir maka
perlu diketahui sebab-sebab satu kata itu didahulukan
sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Suyuti (2004: 34-38).
dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, bahwa sebab taqdim
yang ada dalam Alquran itu sebanyak sepuluh macam,
diantaranya:
Al-Tabarruk seperti mendahulukan nama Allah pada
segala urusan yang berkenaan tentang zat, seperti dalam Q.S.
Ali-‘Imran/3: 18 sebagai berikut:
        
        
 
Terjemahnya:
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan
melainkan Dia (yang berhak disembah), yang
menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang
yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu).
Tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Al-Ta’zhim, ialah suatu bentuk pujian (keagungan) yang
khusus ditujukan kepada Allah Swt. Seperti mendahulukan
ketaatan kepada Allah sebagai pencipta dan pemberi nikmat
dalam Q.S. al-Nisa’/4: 69 sebagai berikut:

       


     
     
Terjemahnya:
Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-(Nya),
mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang
yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi,
para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang
sebaik-baiknya.

Mendahulukan nama Allah pada ayat ini, menunjukan


keagungan Allah Swt. dari makhluknya, dan sepatutnya
manusia lebih mendahulukan ketaatan kepada-Nya dan
kepada Rasul-Nya dibandingkan dengan yang lainya.
Al-Tasyrif ialah suatu bentuk pujian (kemuliaan) yang
ditunjukan kepada sesama mahluk. Seperti mendahulukan laki-
laki atas perempuan pada Q.S. al-Ahzab/35: 35 sebagai berikut:
   …. 
Terjemahnya:
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslimah….

Pada ayat ini menunjukan bahwa laki-laki lebih mulia


oleh karena lebih memiliki tanggung jawab yang besar
dibanding perempuan.
a. Al-Munasabah yaitu baik yang berhubungan dengan yang
lebih dulu pada teks kalimat seperti Q.S. al-Furqan/25: 67.
       
   
Terjemahannya:
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta),
mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan
adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian

Mendahulukan peniadaan dalam berlebih-lebihan oleh


karena persoalan berlebihan terjadi juga pada persoalan
infaq. Pada teks tersebut tampak lebih dulu disebutkan (al-
Suyuti, 2004: 36), baik yang berhubungan dengan lafaz
seperti dalam Q.S. al-Hadid/57: 3,
       
  
Terjemahnya:
Dialah yang Awal dan yang akhir yang zahir dan yang
Bathin dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.
Pada ayat ini, jelas menunjukan bahwa pada lafaz awal
lebih dahulu daripada lafaz yang lain pada urutannya.

b. Didahulukan oleh karena anjuran pada perbuatan itu dan


seruan untuk melaksanakannya seperti pendahuluan kata
wasiat atas utang dalam Q.S. al-Nisa/4: 11. Sementara
utang lebih didahulukan dalam syarak.

       ….. 


Terjemahnya:
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya.
Diketahui bahwa persoalan utang lebih utama daripada
wasiat, akan tetapi persoalan wasiat didahulukan pada
penyebutan, hal ini menunjukan kepada anjuran untuk
melaksanakannya.
c. Al-Sabqun yang menunjukan kepada realitas keberadaan
maka dia didahulukan, seperti lebih dahulunya penyebutan
malam atas siang, kegelapan atas cahaya Adam atas Nuh,
Nuh atas Ibrahim, Malaikat atas Manusia.
contoh dalam Q.S al-Hajj ayat 75,
         
  
Terjemahnya:
Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari Malaikat dan
dari manusia; Sesungguhnya Allah Maha mendengar
lagi Maha melihat.
Pada ayat ini menunjukan bahwa malaikat dari sisi
keberadaannya lebih dahulu daripada manusia, tampak
sejalan dengan Q.S. al-Baqarah/2: 30. Realitas pembebanan
untuk melaksanakan kewajiban juga ditunjukkan Q.S al-Hajj
ayat 77 sebagai berikut:
     
      
Terjemahanya:
Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu,
sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah
kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.

Dalam pelaksanaan shalat, urutan rukuk lebih


didahulukan daripada sujud, untuk itu lebih didahulukan
pada penyebutannya (al-Suyuti, 2004: 36).
d. Al-Sababiyyah seperti mendahulukan aziz atas hakim, atau
mendahulukan taubat daripada t}aharah dalam Q.S al-
Baqarah/2: 222 sebagai berikut:

       


Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri.
Ayat ini menunjukkan bahwa penyebutan taubat lebih
didahulukan karena taubat adalah sebab adanya thaharah (kesucian)
(al-Suyuti, 2004: 37).
e. Didahulukan karena lebih banyak, seperti dalam Q.S al-
Thagabun/64: 2 sebagai berikut:

        


   
Terjemahnya:
Dia-lah yang menciptakan kamu maka diantara kamu
ada yang kafir dan diantaramu ada yang mukmin. Dan
Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Pada ayat ini penyebutan kafir lebih dahulu oleh karena
orang kafir lebih banyak dari segi kuantitasnya (al-Suyuti, 2004: 38).
f. Meningkatnya dari bawah ke atas seperti pada Q.S al-
A‘raf/7: 195 sebagai berikut:
        
          
        
 
Terjemahnya:
Apakah berhala-berhala mempunyai kaki yang dengan
itu ia dapat berjalan, atau mempunyai tangan yang
dengan itu ia dapat memegang dengan keras, atau
mempunyai mata yang dengan itu ia dapat melihat,
atau mempunyai telinga yang dengan itu ia dapat
mendengar? Katakanlah: "Panggillah berhala-berhalamu
yang kamu jadikan sekutu Allah, kemudian lakukanlah
tipu daya (untuk mencelakakan)-ku. tanpa memberi
tangguh (kepada-ku).

Dimulai dengan yang paling rendah oleh karena


tingkatannya, karena tangan lebih mulia daripada kaki, mata
lebih mulia daripada tangan, dan pendengaran lebih mulia
daripada penglihatan.
Dalam ayat ini menunjukan didahulukannya beberapa
anggota tubuh, oleh karena fungsi penggunaannya dan
tingkat penggunaanya yang lebih sering dipergunakan.
g. Menurunkan dari atas ke bawah, seperti pada Q.S al-
Baqarah/2: 255

…      … 


Terjemahnya: … tidak mengantuk dan tidak tidur….
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak pernah
mengantuk apalagi sampai tertidur. Persoalan mengantuk
menunjukkan bahwa hal-hal yang lebih didahulukan karena
sebelum tidur, manusia akan mengalami rasa kantuk.
D. Kaedah-kaedah taqdim dan ta’khir
Adapun kaedah-kaedah taqdim dan ta’khir sebagai
berikut:
1. Kaedah Pertama:
‫التقدم في الذكر ال يعني التقدم في الو قو ع و الحكم‬
Maksud kaidah ini ialah mendahulukan penyebutan pada
satu kata atau pada satu ayat bukan berarti lebih dulu terjadi dalam
realitas dan hukumnya (al-Sabt, 1996: 10). Kaidah ini perlu
dijelaskan karena taqdim dan ta’khir yang terjadi dalam Alquran.
Mempunyai beberapa arti. Kadang didahulukan karena beberapa
alasan, didahulukan oleh karena realitasnya yang memang lebih
dahulu ada, kadang didahulukan oleh karena kemuliaannya, dan
kadang didahulukan oleh karena sulit untuk diberi penjelasan.
Didahulukan bersama maknanya, atau didahulukan kemudian
maknanya dijelaskan setelahnya atau sebaliknya (al-Zarkasyi,
2006: 774). Oleh karena itu, tidak selamanya satu kata itu
didahulukan karena lebih dahulu ada pada realitas.
Untuk mempermudah pemahaman pada kaidah ini
dapat dilihat pada contoh sebagai berikut:
a. Dalam Q.S. al-Baqarah/2: 67 dan 73,
        
         
   
Terjemahnya:
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih
seekor sapi betina." Mereka berkata: "Apakah kamu
hendak menjadikan Kami buah ejekan?" Musa
menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak
menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".
        
  
Terjemahnya:
Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang
manusia lalu kamu saling tuduh-menuduh tentang itu.
Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini
kamu sembunyikan.
Sebagaimana diketahui bahwa perselisihan dan tuduh-
menuduh pada pembunuhan itu terjadi sebelum Musa a.s.
mengatakan kepada mereka perkataan itu (al-Sabt, 1997: 379).
Al-Imam al-Syaukani dalam tafsirnya menjelaskan pada Q.S.
al-Baqarah/2: 67 bahwa sesungguhnya kisah penyembelihan sapi
disebutkan lebih dulu tilawahnya dan diakhirkan pada maknanya
yang berhubungan dengan Q.S. al-Baqarah/2: 73, dan boleh
dikatakan bahwa ayat kasus pembunuhan lebih dahulu turun,
sementara perintah penyembelihan sapi diakhirkan (al-Sabt, 1997:
379). Kandungan Q.S. al-Baqarah/2:73, ini merupakan latar belakang
dari kisah sapi yang dikemukakan sebelum ayat ini. Namun, latar
belakang ini diletakkan setelah menjelaskan kisah sapi. Hal itu
mungkin disebabkan (karena) konteks kelompok ayat ini adalah
gambaran tentang suka batin dan keculasan orang-orang Yahudi.
Sedangkan hal tersebut lebih jelas bila kisah sapi dikemukakan
terlebih dahulu (al-Syaukani, 2000: 227. Al-Imam al-Bagawi
mengatakan bahwa ayat ini merupakan awal kisah walaupun
diakhirkan pada penyebutannya (al-Suyuti, 2004: 34).
b. Q.S al-Ahzab/33: 7 sebagai berikut:
       
       
  
Terjemahnya:
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari
nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim,
Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah
mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.

Pada ayat ini disebutkan nabi Muhammad Saw. lebih


dahulu daripada nabi-nabi yang lain, padahal beliau diutus
setelah nabi Nuh, Ibrahim, dan Isa (al-Sabt, 1997: 380).
Al-Imam al-T{abari menjelaskan dalam tafsirnya bahwa
sebagaimana diriwayatkan oleh Qatadah setelah menyebutkan
ayat ini, al-Baqarah/2: 73 pernah bersabda bahwa
“sesungguhnya saya adalah nabi permulaan pada penciptaan
dan nabi yang terakhir pada pengutusan (al-Thabari, al-
Maktabat al-Syamilah, Ver. 2 [CD-ROM]).
Dalam Tafsir Khanzin dijelaskan bahwa Allah Swt.
menyebutkan kekhususan pada 5 nabi yang mulia oleh karena
mereka adalah Ulu al-‘Azmi yang mempunyai kitab syariat yang
diberikan oleh Allah Swt., dan Allah Swt. menyebutkan nama Nabi
Saw. lebih dahulu oleh karena kemuliaan dan keutamaan beliau (al-
Khazin, al-Maktabat al-Syamilah, Ver.2 [CD-ROM]).
c. Q.S. al-Fatihah/1: 2 dan Q.S. al-Jatsiyah/45: 36 sebagai
berikut:
    
Terjemahnya: Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta
alam.
Pada akhir surat al-Jatsiyah/45: 36 sebagai berikut:

       


Terjemahnya:
Maka bagi Allah-lah segala puji, Tuhan langit dan
Tuhan bumi, Tuhan semesta alam.

Pada surat al-Fatihah didahulukan dengan kata alhamdu


pada awal kalimat karena berada pada bentuk aslinya,
sementara pada surah al-Jatsiyah merupakan taqdir al-jawab
seakan-akan dikatakan bahwa untuk siapa pujian itu? Maka
jawablah Allah (al-Zarkasyi, III, 2006: 329.
2. Kaedah kedua
‫العرب اليقد مون إال ما يعتنون به غالبا‬
Maksud dari kaidah ini ialah "Orang Arab tidak akan
mendahulukan satu kata kecuali apa yang telah menjadi
perhatiannya.”
Kebiasaan orang Arab dari kalangan ahli bahasa jika
memberitakan suatu kabar yang meliputi suatu hukum dan
orang lain juga turut terlibat dalam hukum tersebut atau pada
apa yang dikabarakan itu, kemudian meng-at}afkan salah satu
diantaranya dengan wawu yang ditetapkan. Mereka memulai
atau mendahulukan dengan sesuatu yang lebih penting dan
lebih diprioritaskan (al-Sabt, 1997: 380).
Penjelasan dari kaidah ini ialah pada perkataan ‫العرب ال‬
‫ يق""""دمون إال م""""ا يعتن""""ون به‬bermakna sesuatu yang dudahulukan
disebabkan oleh kemuliaan, keagungan, atau apa yang menjadi
perhatian padaya. kemudian kata “‫ ”غالبا‬ini menunjukan
batasan yang diperlukan sebagaimana diketahui pada kaidah
sebelumnya (al-Sabt, 1997: 380).
Untuk memahami lebih jauh tentang kaidah ini, maka
dapat dilihat beberapa contoh:
a. Q.S. al-Baqarah/2: 43

     


 
Terjemahnya:
Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah
beserta orang-orang yang rukuk.
Pada ayat ini didahulukan dengan kata “salat” karena lebih
diprioritaskan (al-Sabt, 1997: 381). Al-Imam Fakhru al-Razi
menjelaskan bahwa didahulukan “salat” pada ayat ini oleh karena
ibadah badaniyah yang paling mulia ialah salat, dan zakat merupakan
ibadah yang paling mulia berkenaan dengan harta. (al-Razi, al-
Maktabat al-Syamilah, Ver. 2 [CD-ROM]). M. Quraish Shihab
(Vol. I, 1999: 227) menjelaskan bahwa dua kewajiban pokok itu
merupakan pertanda hubungan harmonis dengan sesama manusia.
b. Q.S al-Thagabun/64: 12,
       
    
Terjemahnya:
Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-
Nya, jika kamu berpaling, sesungguhnya kewajiban
Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah)
dengan terang.
Pada ayat ini juga didahului dengan sesuatu yang paling
mulia yaitu ketaatan kepada Allah (al-Sabt, 1997: 381).
Al-Imam al-Samarkhandi menjelaskan dalam tafsirnya
bahwa ‫ واطيعواهللا‬yaitu ketatan pada hal-hal yang difardhukan
oleh Allah Swt., sementara ‫ واطيعواالرسول‬bermakna ketaatan pada
sunnah-sunnah Rasulullah Saw. Dikatakan bahwa ketaatan
pada Allah adalah menerima dengan tulus segala musibah
yang diperintahkan dengan penuh kesebaran dan
meninggalkan keraguan (al-Samarkhandi, al-Maktabat al-
Syamilah, Ver.2 [CD-ROM]).
E. Khatimah
1. Kaidah adalah rumusan asas-asas yang menjadihukum,
aturan, yang pasti, patokan, dan dalil-dalil. Taqdim adalah
mendahulukan satu lafaz atau ayat yang satu dari lafaz
atau ayat yang lain. Adapun ta’khir ialah mengakhirkan
satu kata atau ayat yang satu dari ayat atau kata yang
lain.
Kaidah taqdim dan ta’khir adalah suatu dasar ataupun
patokan untuk mengetahui suatu lafaz, atau ayat itu
didahulukan dan diakhirkan untuk memperlihatkan
kekhususan, keutamaan dan ketika dibutuh-kan.
2. Al-Imam al-Suyut}i dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-
Qur’an, menjelaskan bahwa sebab taqdim yang ada dalam
Alquran itu sebanyak sepuluh macam yaitu al-tabarruk,
al-ta‘z}im, al-tasyrif, al-munasabah, Didahulukan oleh
karena anjuran pada perbuatan itu dan seruan untuk
melaksanakannya, al-sabqun, al-sababiyah, didahulukan
karena lebih banyak, meningkat dari bawah ke atas, dan
menurunkan dari atas ke bawah.
3. Kaidah Taqdim dan Ta’khir yaitu :
a. Mendahulukan penyebutan pada satu kata atau pada
satu ayat, bukan berarti lebih dulu terjadi dalam
realitas dan hukumnya.
b. Orang Arab tidak akan mendahulukan satu kata
kecuali apa yang telah menjadi perhatiannya.

DAFTAR PUSTAKA

Bekdayyab, Hafni et.al. 2004. Qawa‘id al-Lugah al-‘Arabiyyah,


Terj. Chatibul Umam et.al. Kaidah-Kaidah Bahasa Arab.
Cet. IX; Jakarta: Dar al-‘Ulum Press.
Dahlan, Abd. Rahman. 1998. Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur’an;
Disusun Berdasarkan al-Qawa‘id al-Hisan li Tafsir al-
Qur’an. Cet. II; Bandung: Mizan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka.
Khazin, ‘Ala al-Din ‘Ali ibn Muhammad ibn Ibrahim al-
Bagdadi al-. Tafsir Khazin; Lubab al-Ta’wil fi Ma‘ani al-
Tanzil. dalam al-Maktabat al-Syamilah, Ver.2 [CD-
ROM].
Muhdlor, Atabik Ali Ahmad Zuhdi. t.th. Kamus al-‘Ashri. Cet.
VIII; Yogyakarta: Multi Karya Grafika.
Munawwir, Ahmad Wason. 1989. Kamus al-Munawir. Cet. I;
Semarang: Ponpes.
Razi, Fakhr al-Din al-. Mafatih al-Gayb. dalam al-Maktabat al-
Syamilah, Ver. 2 [CD-ROM].
Sabt, Khalid ibn ‘Utsman al-. 1996. Mukhtashar fi Qawa‘id al-
Tafsir. Cet. I; Saudi Sarabiyyah: Dar Ibn ‘Affan.
Sabt, Khalid ibn ‘Utsman al-. 1997. Qawa‘id al-Tafsir, Jam‘an wa
Dirasatan. Juz I, Saudi Arabia: Dar ibn ‘Affan.
Samarkhandi, Nasr ibn Muhammad ibn Ibrahim al-. Bahr
al-‘Ulum li Samarkhandi. dalam al-Maktabat al-
Syamilah, Ver.2 [CD-ROM].
Shihab, M. Quraish. 1999. Membumikan Alquran. Cet.XIX;
Bandung: Mizan.
Suyuti, Jalaluddin ‘Abd al-Rahman al-. 2004. al-Itqan fi ‘Ulum al-
Qur’an. Jilid II, Cairo: Dar al-Hadits.
Syaukani, Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-. 2000. Fath
al-Qadir. Juz I, Cet, I; Jakarta: Lentera hati.
Thabari, Abu Ja‘far Muhammad ibn Jarir al-. Tafsir al-T{abari;
Jami‘ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an. dalam al-Maktabat
al-Syamilah, Ver. 2 [CD-ROM].
Zakariya, Abu al-Husain Ahmad ibn Faris. t.th. Mu‘jam Maqayis
al-Lugah. Juz V, Cet.I; Beirut: Dar al-Fikr.
Zarkasyi, Badaruddin Muhammad ibn Abdullah al-. 2006. al-
Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an. Cairo: Dar al-Hadits.
BAB X
KAIDAH TARADUF

A. Kaidah Taraduf

Bahasa Arab bagi orang muslim memiliki arti penting,


karena disamping diyakini sebagai bahasa yang dipilih oleh
Allah, bahasa Arab juga merupakan bahasa peribadatan.
Dikatakan demikian, karena Alquran merupakan kumpulan
firman Tuhan, sehingga huruf-huruf, lafaz, dan stuktur bahasa
yang terdapat di dalam Alquran juga dinilai sebagai bagian
dari ajaran agama (Muchoyyar, 2002: x). Hal tidak dapat
dinafikan sebagai wahyu sebagai sumber ajaran Islam
berwujud teks.
Landasan logika berpikir di atas yang memosisikan
bahasa Arab sebagai “bahasa pilihan Tuhan” dan sebagai
“bahasa peribadatan”, dengan sendirinya menjadikannya
sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari ‘wilayah’
agama. Karena posisi yang demikian penting, sehingga salah
seorang penafsir dari kalangan tabi’in sebagaimana yang
dikutip oleh Muhammad Husain al-Dzahabi dalam kitabnya
‘al-Tafsir wa al-Mufassirun, yaitu Mujahid, menyatakan bahwa
tidak wajar orang beriman kepada Allah dan hari akhir
membicarakan sesuatu tentang kandungan kitab Allah sebelum
mendalami bahasa Arab (al-Dzahabi, 2000: 190). Bahasa Arab
merupakan salah satu pendekatan utama dalam memahami
teks Alquran meskipun keduanya tidak persis sama secara
utuh.
Meskipun pendapat Mujahid di atas dari sisi tekstualitas
mungkin bercita rasa ekstrim, namun disisi lain secara tersirat
Mujahid seolah ingin menyatakan secara tegas keunggulan
yang dimiliki oleh bahasa Arab yang menjadi sebab atau paling
tidak hikmah terpilihnya dibandingkan dengan bahasa
selainnya. Di kalangan para ulama tafsir pun pemahaman
bahasa Arab telah dijadikan sebagai salah satu syarat mutlak
yang harus dipenuhi oleh setiap penafsir. Secara umum, syarat
seorang penafsir sebagaimana yang disimpulkan oleh M.
Quraish Shihab dari pandangan para ulama adalah sebagai
berikut: pertama, pengetahuan tentang bahasa Arab dalam
berbagai bidangnya; kedua, pengetahuan tentang ilmu-ilmu
Alquran, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi saw., dan ushul al-
fiqh; ketiga, pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok
keagamaan; dan keempat, pengatahuan tentang disiplin ilmu
yang menjadi materi bahasan ayat (Shihab, 2003: 79; Izzan,
2007: 27-42).
Meskipun sangat masyhur telah diketahui bahwa mereka
yang mempunyai kemampuan yang mendalam tentang bahasa Arab
akan terkagum-kagum ketika memperhatikan dan merenungi
kecermatan dan ketelitian redaksi ayat-ayat Alquran. Dengan alasan
bahwa Alquran tidak berbicara dengan menggunakan suatu kata,
kecuali kata tersebut sejalan dengan makna yang dikehendakinya
pada tingkat yang paling tinggi, bahkan sampai pada keseimbangan
jumlah penggunaannya di dalam Alquran, namun penguasaan
terhadap kaidah-kaidah bahasa Arab saja belumlah cukup untuk
mendapatkan pemahaman yang benar terhadap Alquran, melainkan
juga perlu dibarengi dengan penguasaan-penguasaan kaidah yang
khusus berkaitan dengan kegiatan penafsiran, sebagaimana yang
tergambar di dalam syarat penafsir di atas (al-Munawwar, 2004:
33; Shihab, 2002: 141-142; Baidan, 2005: 321).
Diantara keunggulan bahasa Arab adalah kekayaan
kosakata dan bentuk taraduf-nya (yang mirip dengan sinonim
dalam bahasa Indonesia). Terbukti bahwa Alquran telah
menggunakan kekayaan bahasa Arab tersebut dengan sangat
teliti dalam memberikan gambaran tentang sesuatu (M.
Quraish Shihab, 2002: 97).
Berfokus tentang masalah taraduf yang keberadaannya
dikalangan para ulama masih menjadi polemik yang terus
diperdebatkan, sebagaimana yang dikabarkan oleh Khalid bin
‘Utsman bahwa pendapat yang paling dapat dipertanggungjawabkan
adalah taraduf itu bagian dari bahasa Arab, sekaligus penggunaannya
terdapat di dalam Alquran. Taraduf yang ia maksud adalah lafaz-lafaz
yang mempunyai kemiripan makna, bukan makna yang sama (al-
Sabt, 2000: 460).
Dalam kaitan itu, kajian tentang taraduf ini dan kaidah
yang berkaitan dengannya mutlak diperlukan dalam
memahami Alquran secara lebih mendalam. Tanpa
pemahaman perangkat dalam kajian ini (kaidah taraduf) akan
membuka peluang bagi para pengkaji Alquran untuk jatuh ke
dalam “perangkap” penafsiran yang keliru, yang akibatnya
tidak hanya berdampak negatif kepada pemahaman si pengkaji
(penafsir) sendiri, tetapi juga bagi umat yang mengikuti alur
hasil penafsiran tersebut.

B. Pengertian Taraduf

Secara etimologi, taraduf berasal dari kata radifa-yardafu-radfan


(mengikuti di belakang, membonceng) yang terdiri dari rangkaian
huruf ra-dal-fa yang berarti tabi‘ahu (, mengikutinya, akibat) atau
yadullu ‘ala al-ittiba’ al-syay’ (menunjuk atas ikutan yang terhadap
sesuatu). Sedang taraduf sewazan dengan tafa‘ul yang bermakna al-
tatabu‘ (berurutan) atau tatabu‘ syai’ khalfa syai’ atau rakiba al-wahid
minha khalfa al-akhar atau tabi‘a ba’dhuhu ba‘dan. Sedang radafat li al-
kalimat bermakna tasyabihat fi al-ma‘na (kata-kata yang serupa
maknanya) (ibn Manzur 2000: 136; al-Isfahani, 2001: 199;
Warson, 1997: 448; Shihab, 2002: 267; al-Sabt, 1997: 459).
Sedangkan secara terminologi, taraduf adalah :
‫أـ أأللفاظ المفردة الدالة على شيء واحد باءاعتبار واحد‬.

Artinya:

Lafaz-lafaz mufrad yang menunjuk atas sesuatu yang


semakna dan dengan keterangan yang sama pula (al-
Sabt, 1997: 459).

‫ب ـ ما تعدد ألفاظه واتحاد معناه‬.


Artinya:
sesuatu yang lafaznya berbilang dan mengandung satu
makna (al-Sabt, 1997: 459).
Yang dinaksud dengan istilah “satu makna” dalam
pengertian taraduf di atas adalah makna aslinya (al-ashli) bukan
makna yang sempurna (al-takmili), sebab setiap lafaz masing-
masing mempunyai makna khusus yang membedakannya
dengan lafaz yang lainnya (al-Sabt, 1997: 459).
Di dalam Alquran penggunaan lafaz ‘taraduf’ seperti
pengertian di atas sangat banyak ditemukan, yang secara
lahiriah tampak sama atau bersinonim, tetapi setelah ditelaah
lebih jauh maka ditemukan lafaz yang berkonotasi secara
mandiri yang maknanya tidak terdapat pada lafaz lain yang
terkesan bersinonim dengannya. Untuk itulah, para ulama
tafsir membuat kaidah taraduf sebagai landasan teoretis yang
menuntun para pengkaji Alquran dalam memahami
penggunaan lafaz-lafaz dari ayat-ayat Alquran yang terkesan
sama.

C. Kaidah Taraduf
Di dalam kitab “Mukhtashar fi Qawa‘id al-Tafsir” karya
Khalid ibn ‘Utsman al-Sabt, (1992: 14). disebutkan tiga macam
kaidah yang berkenaan dengan lafaz taraduf berikut:
‫أـ مهما أمكن حمل ألفاظ ألقرأن على عدم ألترادف فهو المطلوب‬.
‫ب ـ قد يختلف األلفاظان المبربهما عن شيء الواحد فيصلح ذكرهما ليوجه‬
‫التاكيد‬.
‫ت ـ المعني الحاصل من مجموع المترادفين اليوجد عند انفراد أحدهما‬.
Artinya:
a. Selama makna lafaz-lafaz Alquran memungkinkan
untuk menghindari taraduf, maka itulah yang
diinginkan;
b. Terkadang perbedaan dua lafaz menerangkan sesuatu
yang sama,maka sebaiknya keduanya disebutkan
dengan cara memberikan ta’kid;
c. Makna yang dihasilkan dari penggabungan dua
mutaradif, tida didapatkan ketika salah satu dari
keduanya berdiri sendiri.
a. Penjelasan Kaidah Pertama:
‫مهما أمكن حمل الفاظ القرأن على عدم الترادف فهو المطلوب‬.
Artinya:
Selama makna lafaz-lafaz Alquran memungkinkan untuk
menghindari taraduf, maka itulah yang diinginkan.
Menurut pendapat Abu Hilal al-‘Askari, sebagaimana
yang dikutip oleh Khalid ibn ‘Utsman bahwa setiap perbedaan
ungkapan dan isim mengharuskan perbedaan pada maknanya
pula, karena setiap isim menunjuk kepada sesuatu yang
diisyaratkan. Oleh karena itu, ketika sudah diisyaratkan satu
kali, maka tidak akan ditemukan lagi pada isyarat yang kedua
dan ketiga sesuatu yang tidak bermanfaat, karena apa yang
diisyaratkan pada yang kedua dan yang kedua masing-masing
berbeda dengan apa yang diisyaratkan pada lafaz pertama
yang telah disebutkan (al-Sabt, 1997: 460-461). Misalnya,
kalimat: ‫))جاءني يزيد وأب""و عب""د هللا‬. Apabila yang dimaksud dengan
‘Abu ‘Abdillah’ yang meng-‘athf Yazid adalah si Yazid juga,
maka jelas kalimat tersebut salah.
Khalid ibn ‘Utsman (1997: 463) menegaskan bahwa:
‫ ف""اختال ف المع""اني‬.‫إذا ك""ان اختال ف الحرك""ات ي""وجب اختالف المع""اني‬
.‫أسسها أولى أن يكون كذلك‬
Artinya:
Apabila terjadi perbedaan harakat, maka berakibat pula
pada perbedaan makna. Maka pada prinsipnya
perbedaan makna diutamakan untuk menjadikannya
demikian.
Apabila pernyataan di atas dibawa ke dalam konteks
logika, maka dapat diteruskan pernyataan tersebut sebagai
berikut “apabila perbedaan harakat saja berakibat pada
perbedaan makna, maka terlebih lagi dengan perbedaan lafaz
atau terbilangnya lafaz”. Oleh karena itu, seperti yang
dikemukakan sebelumnya, makna taraduf tersebut tidak dapat
diterima apabila dimaknai sebagai makna yang sempurna
(takmili). Taraduf hanya mencakup makna asli-nya.
Diantara contoh ayat-ayat Alquran yang berkaitan
dengan kaidah ini adalah sebagai berikut:

1) Q.S. al-Baqarah/2:157.
      
   
Terjemahnya:
Mereka Itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat
dari Tuhannya, dan mereka Itulah orang-orang yang
mendapat petunjuk (Depag RI, t.th.: 24).
Lafaz ‘shalawat’ berasal dari akar kata shilah (hubungan),
sehingga kalimat shalawat min Rabbihim bermakna Tuhan akan
menyambungkan dengan sang hamba. Hubungan (shalawat) di dalam
rredaksi ayat di atas bermakna tsana’u Allah ta‘ala ‘ala ‘abdihi fi al-malai
al-a‘la (pujian Allah atas hamban-Nya di tempat yang tertinggi).
Adapun makna kata ‘rahmah’ adalah belas kasih yang menuntut
kebaikan kepada yang dirahmati (al-Sabt, 1997: 467; Salahuddin,
2007: 810).

2) Q.S. Ali ‘Imran/3:146.


       
        
     
Terjemahnya:
Dan berapa banyaknya nabi yang berperang didampingi
sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa.
mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang
menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak tidak patah
semangat dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh).
Allah mencintai orang-orang yang bersabar (Depg RI,
t.th: 86).
Lafaz al-dha‘fu bermakna kekuatan yang lemah atau berkurang,
sedangkan lafaz al-istakanah bermakna kelemahan yang tampak
(al-Sabt, 1997: 467).

3) Q.S. al-An‘am/6: 32.


      ... 

Terjemahnya:
Dan kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda
gurau belaka .... (Depag RI, t.th.: 131).
Lafaz la‘ibun dan lahwun di dalam redaksi ayat di atas
tidaklah berarti sama. Lafaz la‘ibun (permainan) bermakna aktivitas
sia-sia tanpa tujuan, sedang lahwun (kelengahan) bermakna aktivitas
yang menyenangkan hati, tetapi tidak atu kurang penting sehingga
melengahkan pelakunya dari hal-hal yang penting atau lebih penting
(Shihab, vol, . 10, 2002: 511.; al-Isfahani, 2001: 454 dan 458).

4) Q.S. al-Humazah/104: 1.
    
Terjemahnya:
Celakalah bagi Setiap pengumpat lagi pencela (Depag RI,
t.th.: 601).
Lafaz ‘al-humazah’ adalah bentuk jamak dari hummaz
yang terambil dari kata al-hamz, yang pada mulanya berarti
tekanan atau dorongan yang keras. Pengertian ini kemudian
berkembang, sehingga bermakna mendorong orang lain
dengan lidah, atau dengan kata lain mengunjing, mengumpat,
atau mencela orang lain tidak di hadapan yang bersangkutan.
Sedang lafaz lumazah bentuk jamak dari lammaz yang terambil
dari kata akar al-lamz. Kata ini menggambarkan ejekan yang
mengandung tawa. Di kalangan ulama kata ini dipahami
mengejek dengan menggunkan isyarat mata atau tangan yang
disertai dengan kata-kata yang diucapkan secara berbisik, baik
di hadapan orang yang diejek ataupun di belakangnya (Shihab,
Vol. 15, 2002: 511-513).

5) Q.S. al-Hajj/22: 60.

    


Terjemahnya:
. . . Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi
Maha Pengampun Depag RI., t.th.: 339).
Makna lafaz al-‘afwu lebih tinggi daripada al-gafur, sebab
al-‘afwu mengandung makna menghapus, mencabut akar
sesuatu, membinasakan dan sebagainya. Sedang lafaz al-gafur
terambil dari akar kata gafara yang bermakna menutupi
(Shihab, 2001: 364-368 dan 170-173).
Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa taraduf
(yaitu lafaz-lafaz yang mempuyai kemiripan makna, bukan
makna yang sama) adalah bagian dari bahasa Arab, sekaligus
penggunaannya terdapat di dalam Alquran.

b. Penjelasan Kaidah Kedua


‫قد يختلف األلفظان المعبر بهما عن الشيء الواحد فيصلح ذكرهما على وجة‬
‫ التاكيد‬.
Artinya:
Terkadang perbedaan dua lafaz menerangkan sesuatu
yang sama, maka sebaiknya keduanya disebutkan dengan
cara memberikan ta’kid.
Keberadaan kaidah taraduf yang kedua ini sering
digunakan dalam berbagai kalimat (al-kalam) bahasa Arab,
termasuk dalam wilayah balagah dan fashahah. Di dalam
Alquran pun dapat kita temukan. Seperti ungkapan haram dan
haraj, halal dan thayyib.
Pembahasan kaidah kedua ini meliputi ta’kid dan
ziyadah. Hal ini terjadi karena setiap lafaz yang di-takhshish
dengan makna tambahan atas apa yang terdapat pada lafaz
sesudahnya. Disamping itu, di dalam kaidah ini juga
didapatkan hasil yang diperoleh dari penggabungan dua
mutaradif. Misalnya:

1) Q.S. al-Hijr/15: 30.


    
Terjemahnya:
Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-
sama (Depag RI, t.th.: 263).
Lafaz kulluhum dalam penggunaannya selalu disandarkan
pada kumpulan sesuatu yang ber-alif lam. lafaz ‘kullu’ mencakup
semuanya, baik yang hadir maupun yang tidak hadir. Sedang makna
lafaz ajma‘un hanya mencakup pada semua yang hadir. Dan lafaz
ajma’un di dalam ayat di atas menfungsi untuk men-ta’kid (al-
Isfahani, 2001: 493 dan 104), yakni menegaskan dan
menguatkan.

2) Q.S. Fathir/ 35: 27.


       
      
     
  
Terjmahnya:
Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan
hujan dari langit lalu kami hasilkan dengan hujan itu
buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. dan di
antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan
merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula)
yang hitam pekat (Depag, t.th.: 437).
Lafaz garabib mempunyai makna seperti orang-orang
Arab yang hitam. Sedang lafaz sud bermakna lawan kata dari
putih. Penggabungan dua lafaz garabib dan lafaz sud tersebut
menghasilkan makna hitam pekat (al-Isfahani, 2001: 361 dan
254).

3) Q.S. al-Nisa/4: 30.


      
       
Terjemahnya:
Dan barang siapa berbuat demikian dengan cara
melanggar hukum dan zalim, akan Kami masukkan dia
ke dalam neraka. Yang demikian itu mudah bagi Allah
(Depag RI, t.th.: 83).
Lafaz ‘udwan adalah jalan yang dilampaui batas dan
membenarakan perbuatan tersebut. Sedang zhulm bermakna
kegalapan (antonim dari kata nur, cahaya) dan menempatkan
sesuatu tidak pada tempatnya (al-Isfahani, 2001: 328;
Damopoli, 1133-1134).
Menurut Khalid ibn ‘Utsman, lafaz-lafaz taraduf yang
terdapat dalam contoh-contoh di atas, memberikan tiga
kesimpulan, yaitu: ta’kid, makna yang sedikit yang bertambah
yang menunujuk salah satu dari dua lafaz selain yang terakhir,
dan kesimpulan yang yang dihasikan dari penggabungan dua
lafaz (al-Sabt, 1997: 470).

Penjelasan Kaidah Ketiga:

‫المعنى الحامل من مجموع المترادفين اليوجد عند انفراد احداهما‬


Artinya:
Makna yang dihasilkan dari penggabungan dua
mutaradif, tidak didapatkan ketika salah satu dari
keduanya berdiri sendiri.

Kaidah ini berkenaan dengan penjelasan yang mengulang


sesuatu lewat ‘athaf terhadap salah satu dari dua mutaradif
terhadap yang terakhir. Apabila banyaknya huruf berpengaruh
pada pertambahan makna, maka yang demikian itu
menunjukkan terbilangnya lafaz. Misalnya:

1) Q.S. Fathir/35: 25.


      
   
  
Terjemahnya:
Dan jika mereka mendustakanmu, maka sungguh orang-
orang yang sebelum mereka pun telah mendustakan
(rasul-rasul); ketika rasul-rasulnya datang dengan
membawa keterangan yang nyata (mukjizat), Zubur dan
kitab yang memberi penjelasan yang sempurna (Depag
RI, t.th.: 437).

2) Q.S. Fathir/35: 35.


       
      
Terjemahnya:
Yang dengan karunia-Nya menempatkan kami dalam
tempat yang kekal (surga); didalamnya Kami tidak
merasa lelah dan tiada pula merasa lesu (Depag RI, t.th.:
358).

3) Q.S. al-Muddatstsir/74: 28.


    

Terjemahnya:
ia (Saqar itu) tidak meninggalkan dan tidak membiarkan
(Depag RI, t.th.: 576).
Contoh-contoh di atas memberikan pemahaman kepada
setiap orang yang mendengarnya, dan pemahaman yang
diperoleh tersebut sudah dianggap memadai tanpa perlu
menjelaskannya secara panjang lebar, tetapi apabila salah satu
lafaz-lafaz dari contoh di atas berdiri sendiri, maka makna yang
dihasilkan dari penggabungan dua mutaradif tersebut tidak
akan didapatkan ketika salah satu dari keduanya berdiri
sendiri.

D. Khatimah
1. Pemahaman terhadap kasus-kasus mutaradif (sinonim
atau kemiripan lafaz dan makna) sangat menentukan
pemahaman mufasir Alquran dalam memproduksi
makna-makna yang bervariasi dan proporsional.
2. Secara etimologis, taraduf berasal dari kata radifa-yardafu-
radfan (mengikuti di belakang, membonceng) yang terdiri
dari rangkaian huruf ra-dal-fa yang berarti tabi‘ahu
(akibat) atau yadullu ‘ala itba‘ al-syai’ (menunjuk atas
ikutan yang terhadap sesuatu). Sedang taraduf sewazan
dengan tafa‘ul yang bermakna al-tatabu‘ (berurutan) atau
tatabu‘ syai’ khalfa syai’ atau rakiba al-wahid minha khalfa al-
akhar atau tabi‘a ba‘dhuhu ba‘dhan. Sedang radafat li al-
kalimat bermakna tasyabihat fi al-ma‘na (kata-kata yang
serupa maknanya);
3. Taraduf secara terminologi adalah lafaz-lafaz mufrad
menunjuk atas sesuatu yng semakna dan dengan
keterangan yang sama pula, atau sesuatu yang lafaznya
berbilang dan mengandung satu makna;
4. Kaidah-kaidah taraduf di dalam Alquran adalah sebagai
berikut:
a) Selama makna lafaz-lafaz Alquran memungkinkan
untuk menghindari taraduf, maka itulah yang
diinginkan;
b) Terkadang perbedaan dua lafaz menerangkan sesuatu
yang sama, maka sebaiknya keduanya disebutkan
dengan cara memberikan ta’kid;
c) Makna yang dihasilkan dari penggabungan dua
mutaradif, tidak didapatkan keika salah satu dari
keduanya berdiri sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Baidan, Nasaruddin. 2005. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Cet. I;


Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Departemen Agama RI. t.th. Alquran dan Terjemahnya. Bandung:
PT Syaamsil Cipta Media.
Dzahabi, Muhammad Husain al-. 2000. al-Tafsir wa al-
Mufassirun. Juz I, Cet. VII; Maktabah Wahbah.
Ibn Mandzur, al-Imam al-‘Allamah Ibn al-Fadl Jamal al-Din
Muhammad ibn Mukram. 2000. Lisan al-‘Arab. Cet. I;
Beirut: Dar Sadr.
Ishfahani, Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad al-Ma’ruf
al-Ragib al-. 2001. al-Mufradat fi Garib al-Qur’an. Cet.
III; Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Izzan, Ahmad. 2007. Metodologi Ilmu Tafsir. Cet. I; Bandung :
Tafakur.
M. Muchoyyar, “Pengantar” dalam Mohammad Nor Ichwan.
2002. Memahami Bahasa Alquran; Refleksi atas Persoalan
Linguistik. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Munawwar, Said Agil Husin al-. 2004. Alquran Membangun
Tradisi Kesalehan Hakiki. Cet. III; Jakarta: Ciputat Press.
Sabt, Khalid bin ‘Utsman al-. 1992. Mukhtasar fi Qawa’id al-
Tafsir. Cet.I; Madinah: Dar al-‘Affan.
Sabt, Khalid bin ‘Utsman al-. 2000. Qawaid al-Tafsir Jum’an wa
Dirasah. Cet. I; Madinah: Dar al-‘Afian.
Salahuddin, “Rahmah” dalam M. Quraish Shihab et. al. (ed).
2007. Ensiklopedi Alquran; Kajian Kosa Kata. Cet. I;
Jakarta: Lentera Hati, PSQ dan Yayasan Paguyuban.
Shihab, M. Quraish. 2001. Menyingkap Tabir Ilahi; Asma al-
Husna dalam Persepektif Alquran. Cet. IV; Ciputat:
Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2002. Mukjizat Alquran; Ditinjau dari Aspek
Kebahasaan, Isyarat Ilmiyah dan Pemberitaan Gaib. Cet. XI;
Bandung: Mizan.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir al-Mishbah. Vol. 10, Cet. IV;
Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2003. Membumikan Alquran. Cet. XXV;
Bandung: Mizan.
Warson, Ahmad. 1997. al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia. Cet.
XIV; Surabaya :Pustaka Progressif.

BAB XI
KAIDAH ZIYADAH, TAQDIR, DAN HADZF

A. Kaidah Ziyadah, Taqdir, dan Hadzf


Kaidah-kaidah tafsir adalah kaidah-kaidah dan
pedoman-pedoman umum yang dihasilkan dari kajian
mendalam para ulama, sehingga dengan kaidah-kaidah
tersebut kita mampu memahami makna yang dimaksud oleh
Alquran, hukum-hukum dan petunjuk-petunjuk yang
terkandung di dalamnya (Suryadilaga, dkk, 2005: 55). Dengan
memperhatikan dan menerapkan kaidah-kaidah tersebut dalam
menafsirkan Alquran, maka seorang mufasir akan memperoleh
pengetahuan yang dapat membantunya dalam memahami
ayat-ayat suci Alquran dengan baik dan benar serta
menghindari kesalahan yang fatal ketika menafsirkan ayat-ayat
Alquran tersebut.
Kedudukan kaidah-kaidah tafsir bagi tafsir Alquran
bagaikan ilmu Nahwu bagi bahasa Arab. Sebagaimana ilmu
Nahwu yang bertugas mengatur dan membetulkan lisan dan
tulisan Arab serta mencegahnya dan kesalahan pengucapan
dan penulisan, begitu pun kaidah-kaidah tafsir yang bertugas
sebagai dasar dan timbangan yang membetulkan pemahaman
terhadap kalamullah dan mencegah kesalahan dan kerancuan
dalarn penafsiran (al-Sabt, 1997: 33). Tanpa pengetahuan
tentang kaidah-kaidah tafsir, seorang mufasir tidak memiliki
standar validitas penafsiran.
Karena Alquran diturunkan dalarn bahasa Arab,
sehingga kaidah-kaidah bahasa Arab merupakan salah satu
jalan selain kaidah Qurani, Sunnah, Ushul al-Fiqh dan kaidah-
kaidah yang lain untuk memahami makna Alquran (Mardan,
2009: 254).
Keistimewaan dan kemukjizatan Alquran dari segi
bahasa merupakan kemukjizatan utama dan bentuk i‘jaz yang
pertama yang ditujukan kepada masyarakat Arab masa
turunnya Alquran. Karena Alquran diturunkan dengan
menggunakan bahasa Arab yang memiliki tingkat kefasihan
paling tinggi, sehingga meskipun bangsa Arab saat itu sangat
ahli dalam bidang kebahasaan dilihat dari keunggulan mereka
dalam membuat syair-syair, tetap tidak mampu membuat yang
serupa dengan Alquran. Keunggulan gaya penuturan Alquran,
langgam dan uslubnya itulah yang banyak merebut perhatian
orang Arab ketika mendengarkan Alquran dibacakan kepada
mereka, yang kita kenal dengan balagat Alquran.
Dalam ilmu Balagah dikenal istilah i‘jaz dan itnab yang
merupakan bagian dari‘ilm al-ma‘ani. Menurut al-Zamakhsyari,
seseorang yang fasih mampu meringkas dan memadatkan
perkataannya di saat yang dibutuhkan hanya penjelasan
globalnya, dan mampu memberikan penjelasan panjang lebar
dan memuaskan ketika yang dibutuhkan penjelasan yang lebih
rinci (al-Suyuthi, 2006: 96).
Telah tampak jelas bahwa Alquran telah mencapai
tingkat kefasihan dan balagah yang sangat tinggi, dan aspek ini
merupakan kemukjizatan Alquran yang paling tinggi. Oleh
karena itu, Alquran terbebas dari sisipan atau pemanjangan
tanpa faedah, karena akan bertentangan dengan balagah,
bahkan termasuk kelemahan dalam berkata (al-Sabt, 1997: 340).
Di dalam pembahasan i‘jaz dan itnab terdapat istilah-
istilah al-ziyadah, al-taqdir dan al-hadzf. Istilah-istilah ini ketika
digunakan untuk Alquran tanpa pemahaman kaidah-kaidah
yang benar dapat menimbulkan kesalahpahaman terhadap
maksud ayat-ayat Alquran. Untuk menghindarinya, diperlukan
pengetahuan dan pemahaman terhadap kaidah-kaidah yang
berhubungan dengan hal-hal tersebut, yang dikenal dengan
kaidah al-ziyadah, al-taqdir dan al-hadzf.
B. Pengertian al-Ziyadah
Al-Ziyadah secara etimologi menurut Ibnu Faris dilihat
dari asal zai, ya dan dal, artinya tambahan/kelebihan. Mereka
berkata: Zada al-syai’ yazidu fahuwa zaid (ibn Faris, 1970: 40).
Secara terminologi,seperti yang dikutip oleh Khalid
ibnu ‘Utsman al-Sabt dari buku ‘Kasysyaf Istlahat al-Funun, yang
disebut al-ziyadah menurut ahli bahasa Arab adalah huruf yang
tidak asli. Adakalanya juga yang disebut al-zaid adalah sesuatu
yang tidak memiliki faedah dan manfaat. Sebagaimana juga
diberikan kepada kata yang wujud dan ketiadaannya tidak
mengganggu makna aslinya, meskipun memiliki faedah yang
lain (al-Sabt, 1997: 348).
Penamaan al-ziyadah atas huruf yang bukan asli, ada
dua macam: Pertama, huruf tersebut berada di dalam kata itu
juga. Ini merupakan pembahasan ilmu Sharf. Kedua, huruf
tersebut terletak diantara dua lafaz baik bersambung dengan
salah satu lafaz tersebut maupun berpisah dan berdiri sendiri.
Inilah yang disebut al-shilah. Istilah al-ziyadah dan al-lagw
merupakan ungkapan orang-orang Basrah, sedangkan al-silah
dan al-hasyw merupakan istilah orang-orang Kufi (al-Zarkasyi,
1988: 80). Bentuk kedua inilah yang sesuai dengan pembahasan
ini (al-Sabt, 1997: 348).
Sedangkan pengertian al-ziyadah atas sesuatu yang tidak
memiliki arti atau faedah termasuk yang tidak layak bagi
Alquran, karena sama sekali tidak ada hasyw (tambahan yang
tidak berfaedah) dalam Alquran. Sedangkan penyebutannnya
terhadap kata yang tidak mempengaruhi makna aslinya
dengan kehadiran atau ketidak-hadirannya meskipun memiliki
faedah yang lain, penyebutan ini sesuai dari segi makna, tetapi
sebaiknya tidak melepaskan lafaz “al-ziyadah” karena bisa
menimbulkan kesalahpahaman dan keluar dari adab terhadap
kalamulllah (al-Sabt, 1997: 349).

C. Kaidah-Kaidah al-Ziyadah

1. ‫ الزائ""د فى الق""رآن‬Artinya: Tidak ada (ziyadah) penambahan


dalam Alquran (al-Sabt, 1997: 9).
Dalam kaidah ini, al-nafyu (peniadaan) mencakup dua
bentuk: Petama, sesuatu yang tidak memiliki makna (Al-
Zarkasyi, t.th.: 305). Karena berkata tanpa faedah atau tanpa
makna dianggap mengigau/berkata di luar kesadaran. Ini
termasuk kekurangan,sedangkan Allah telah memberi sifat
bagi Alquran sebagai petunjuk (hudan), penyembuh (syifa’) dan
penjelasan (bayan), dan kesemuanya itu tidak mungkin terdapat
dalam perkataan yang tidak bermakna. Pada bentuk ini jelas
tidak sesuai dengan sifat Alquran sehingga tidak
diperbolehkan sesuai kesepakatan ulama.
Kedua, sesuatu yang tidak merusak makna aslinya atau
tidak mengubah keaslian maknanya meskipun tambahan
(ziyadah) tersebut dihilangkan. Padahal, diketahui bahwa ketika
ada penambahan akan menghasilkan makna yang bertambah
pula (al-Sabt, 1997: 350-351). Pada bentuk ini umumnya ulama
memperbolehkan penggunaan istilah ini secara mutlak, dengan
pertimbangan bahwa Alquran diturunkan dalam bahasa orang
Arab dan sesuai dengan kebiasaan mereka, dan bentuk ziyadah
banyak ditemukan dalam perkataan mereka. Akan tetapi, ada
pula yang tidak memperbolehkan penggunaan istilah ini pada
Alquran. Dengan alasan bahwa lafaz-lafaz yang dianggap
sebagai ziyadah (penambahan) ini dihadirkan karena adanya
faedah-faedah khusus yang terkait dengannya, sehingga tidak
dihukumi sebagai ziyadah. Diantara yang menging karinya
adalah al-Imam Dawud al-Zhahiri, al-Mubarrid, Tha’lab dan
Ibnu al-Siraj (al-Sabt, 1997: 353-354).

Menurut al-Zarkasyi (I, 1988: 80)., perkataan ulama


mengenai huruf-huruf ziyadah (mis."‫)م"""ا" زائ"""دة و "الب"""اء" زائ"""دة‬,
maksudnya adalah bahwa perkataan tersebut tidak
kacau/cacatartinya tanpa kehadiran huruf ziyadah tersebut,
bukan berarti tidak memiliki faedah sama sekali. Karena yang
demikian itu tidak diperbolehkan dari segi perkataan/bahasa,
terlebih lagi dalam perkataan Allah Swt. Karena adanya
penambahan dalam perkataan tersebut karena ada unsur
kesengajaan atau ada maksud tertentu.
Kebanyakan ulama mengingkari penyebutan
ungkapan/ istilah al-ziyadah secara mutlak terhadap Alquran,
tetapi mereka menyebutnya al-ta’kid, diantara mereka ada yang
menyebutmya al-shilah dan al-muqham (yang disisipkan).
Menurut al-Zarkasyi (I, 1988: 80). sebaiknya menghindari
pemutlakan ungkapan al-ziyadah dalam Alquran, tetapi harus
disertai penjelasan tentang maksud ungkapan tersebut.
Al-Zarkasyi juga beranggapan bahwa al-zaid bukan
sesuatu yang muhmal (terlalaikan/yang ditinggalkan/tidak
terpakai) sebagaimana istilah yang digunakan oleh Fakhr al-
Din al-Razi, karena maksud al-ziyadah tidak seperti itu, karena
wujud al-ziyadah bertujuan sebagai penguat (al-taqwiyah wa al-
taukid). Maksudnya, makna asli telah dihasilkan tanpa zaid
tersebut meskipun tanpa ada unsur penguatan, tetapi dengan
kehadiran zaid maknanya menjadi lebih kuat (Al-Zarkasyi, III,
1988: 81). Jadi, dengan adanya penambahan ini maknanya pun
bertambah melebihi makna jika tidak ada ziyadah di dalamnya.
Yang dimaksud oleh ahli Nahwu dengan kata
ziyadah/zaid adalah dari segi i‘rab bukan dari segi makna (Al-
Zarkasyi, II, 1988: 80). Seperti dalam firman Allah Q.S. Ali
‘Imran/3: 159.

(159)... ‫فبما رحمة من هللا لنت‬


‫لهم‬
Terjemahnya:
Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu
benlaku lemah lembut terhadap mereka (Depag RI, 1990:
103).

Para ahli Nahwu mengatakan bahwa "‫ "ما‬dalam ayat di


atas adalah zaidah (tambahan) dari segi i‘rab, kebanyakan orang
yang tidak mengetahui menganggap bahwa itu adalah
tambahan dari segi konstruksi lafaz, padahal ziyadah ini
merupakan satu bentuk penggambaran yang jika
dihilangkan/dihapus maka akan mengurangi unsur-unsur
keindahannya. Maksud dari ayat tersebut di atas adalah
deskripsi dari kelemah lembutan nabi Muhammad saw
terhadap kaumnya. Hal ini merupakan rahmat dari Allah,
kemudian dihadirkan huruf "‫ "ما‬sebagai bentuk pensifatan
secara lafaz yang menguatkan dan memberi tekanan pada
makna al-lin (lemah lembut), lebih dari itu, langgam
pengucapannya juga menimbulkan rasa simpati dan rasa
terlindungi. Kemudian pemisahan antar huruf ba’ sebagai huruf
jar dengan majrurnya (yaitu lafaz rahmah) diantara yang
menarik jiwa manusia untuk melakukan perenungan makna
dan memalingkan pikiran pada besarnya nilai rahmat dan
kasih sayang yang terkandung di dalamnya. Ini merupakan
bukti kefasihan bahasa Alquran (al-Sabt, 1997: 352).
Contoh dari penerapan kaidah ini, sebagaimana dalam
firman Allah Q.S. al-Baqarah/2: 259.

(259)...‫أوكاالذي مر على قرية‬


Terjemahnya:
Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang
melalui suatu negeri...
Menurut Ibnu Jarir, ayat di atas adalah‘athf (sambungan)
dari ayat sebelumnya, meskipun berbeda lafaz keduanya tetapi
memiliki kemiripan makna, yaitu Q.S. al-Baqarah/2: 258

(258)...‫ألم تر إلى الذي حاجّ إبراهيم‬


Terjemahnya:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang
mendebat Ibrahim...
Sebahagian ahli Nahwu dari Basrah beranggapan
bahwa “al-kaf” di dalam ayat tersebut di atas merupakan
penambahan (ziyadah), dan artinya:

‫ أو الذي مر على قرية‬، ‫ألم تر إلى الذي حا ّج إبرهيم‬.


Tenjemahnya:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang
mendebat Ibrahim, atau apakah (kamu tidak
memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri.
Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tidak boleh ada di
dalam Alquran sesuatu yang tidak memiliki makna (al-Thabari,
III, 2001: 35).
Menurut jumhur mufasirin bahwa ayat “aw ka al-ladzi
marra ‘ala qaryatin…” adalah ma‘thuf ‘ala “alam tara ila al-ladzi
hajja...” dari segi makna. Makna ‫الدى؟`~~ ألم تر إلى‬adalah “‫أرأيت‬
‫“كالذي حاجّ؟‬. Maka ayat “‫ ”أو كالذي ر‬di ‘athf- kan atas makna ini.
Menurut al-Zamakhsyari (I, t.th; 229., al-Maktabah al-
Syamilah, ver. 2 [CD-ROM]). “‫ ”أوكال"ذي‬artinya ‫أورأيت مث"ل ال"ذي م" ّر‬
maka digugurkan penyebutannya karena ada petunjuk atasnya
dengan menggunakan “‫ ”ألم تر‬pada ayat sebelumnya, dan
keduanya merupakan kata yang menggambarkan ketakjuban.
Kemungkinan pula bahwa huruf kaf di sini adalah
merupakan isim sebagaimana menurut pandangan Abu al-
Hasan. Maka kaf ini menempati kedudukan jarr yang di-‘athf-
kan kepada “al-ladzi”, maksudnya menjadi “‫أو إلى{ ألم ت"ر إلى ال"ذي‬
‫حا ّج إبرهيم } ؟{ الذي م ّر على قرية } مثل‬. Menurut Abu Hayyan (III, t.th.:
26, al-Maktabah al-Syamilah, ver. 2 [CD-ROM]), yang benar
adalah pendapat Abu al-Hasan.

2. atau )‫ (قوة اللفظ لقوة امعنى‬.‫إذا زيدت فى األلفاظ وجب زيادة المعاني ضرورة‬
‫زيادة المبنى تدل على زيادة المعنى‬
Artinya:
Jika ada penambahan pada lafaz maka dengan sendirinya
wajib adanya penambahan makna (al-Sabt, 1992: 352)..
Atau penambahan konstruksi lafaz menunjukkan adanya
penambahan makna (kekuatan lafaz karena adanya
kekuatan makna) (Al-Zarkasyi, III, 1988: 38).
Suatu lafaz jika dia berada dalam satu bentuk wazn
(formula, timbangan) tertentu kemudian berpindah ke bentuk
wazn yang lain yang lebih tinggi, maka pasti lah lafaz tersebut
mengandung makna yang lebih banyak daripada makna yang
terkandung pada lafaz sebelumnya, karena lafaz adalah
petunjuk atas makna, atau jika terdapat penambahan susunan
kata maka makna yang dikandungnya pun akan bertambah.
Misalnya dalam Q.S. a1-Qamar/54: 42.
(42) ‫فأخذناهم أخذ عزيز مقتدر‬.…
Terjemahnya:
Lalu Kami azab mereka sebagai azab dari Yang Maha
Perkas lagi Maha Kuasa.
Lafaz "‫ "مقت""""در‬lebih fasih daripada ."‫ "ق""""ادر‬Karena
menunjukkan arti penguasa yang memiliki kekuasaan kokoh
dan sempurna, maka ini mengandung arti tidak ada sesuatu
apa pun yang dapat mengubah tuntutan kekuasaannya. Ini
disebut kekuatan lafaz karena kekuatan maknanya (Al-
Zarkasyi, III, 1988: 38).

3. ‫يحصل بمجموع المترادفين معنى ال يوجد عند انفرادهما‬


Artinya:
Penggabungan antara dua kata yang memiliki arti
serupa menghasilkan maknayang tidak didapatkan ketika
terpisah/ disebutkan sendiri (al-Sabt, 1997: 352).
Kaidah ini menunjukkan bahwa dengan
menggabungkan dua lafaz yang memiliki arti serupa, akan
menghasilkan makna yang tidak didapatkan ketika disebutkan
sendiri (tanpa sinonimnya). Misalnya dalam Q.S. Yusuf/12: 86,
yang mengabarkan tentang nabi Ya‘qub a.s.

(86) …‫قال إنما أشكوا بثى وحزنى إلى هللا‬


Terjemahnya:
Ya‘qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada
Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.
Misalnyajuga dalam (Q.S. a1-Baqarah/2: 171).

(171)...‫إال دعا ًء وندا ًء‬


Terjemahnya: Selain panggilan dan seruan saja.
Dengan meletakkan sinonimnya setelah lafaz tersebut,
akan memberi kesempurnaan makna yang lebih mendalam
dibanding makna ketika masing-masing lafaz berdiri sendiri
(al-Sabt, 1997: 359).

4. ‫كل حرف زيد في كالم العرب (للتاكيد) فهو قائم مقام إعادة الجملة مرة أخرى‬
Artinya:
Setiap huruf yang ditambahkan dalam perkataan Arab
(sebagai penegasan) makasama dengan mengulang
kalimat tersebut untuk kedua kalinya (Al-Suyuti, III,
2006: 121).
Diantara bentuk dari al-ta’kid (penegasan/penguatan)
adalah dengan al-takrir (pengulangan). Pada dasarnya suatu
bentuk al-ta’kid tanpa menggunakan pengulangan maka bentuk
penguatan tersebut kembali kepada pengulangan. Al-ta’kid (al-
ziyadah) di sini mencakup huruf-huruf dan kata kerja (al-Sabt,
2000: 360). Jadi, jika ada huruf atau kata kerja yang dimasukkan
atau ditambahkan (sebagai al-ta’kid) ke dalam perkataan orang
Arab, maka tambahan tersebut berperan mengulangi kalimat
sekali lagi. Misalnya, dalam Q.S. Yusuf/l2: 5.

(5) …‫فيكيدوا لك كيدا‬


Terjemahnya: Maka mereka membuat makar (untuk
membinasakan)mu.

Lafaz kaida berkedudukan mengulangi kalimat,


menjadi:.‫فيكيدوا لك فيكيدوا لك‬

D. Pengertian al-Taqdir dan al-Hadzf


Pengertian al-taqdir secara bahasa memiliki banyak arti,
yang paling sesuai dengan pembahasan ini adalah meniatkan
sesuatu dengan kemantapan dan keteguhan. Sebagairnana
dalam kamus Lisan al-‘Arab (ibnu Mandzur, 2000: 37) makna al-
taqdir‫ نويتُه و عقدت عليه‬:‫ أي‬،‫ أمر كذا و كذا‬. ‫تقول‬.‫أن تنوي الشئ بعقدك‬:‫قدرت‬
Menurut terminologi, al-taqdir sesuai pembahasan ini
adalah lafaz yang diniatkan atau diinginkan dengan ketetapan
hati si pembicara, yang tidak diutarakan secara terbuka (jelas).
Jika apa yang diniatkan telah dijelaskan (diutarakan) agar
diketahui dan dipahami, berarti telah jelas apa yang diinginkan
atau yang dimaksudkan (al-Sabt, 2000: 361).
Adapun pengertian al-hadzf secara etimologis adalah
penghapusan, pembuangan atau pengguguran. Sedangkan
secara terminologis al-hadzf menurut para ahli Nahwu dan ahli
Balagah adalah pengguguran harakat (syakal) atau pun kata,
baik jumlahnya banyak atau sedikit (al-Sabt, 2000: 361).
Sebagian ada yang mengartikannya, menggugurkan sebagian
dari kalimat atau keseluruhannya karena adanya dalil tertentu
(Al-Zarkasyi, III, 1988: 115).

E. Kaidah-Kaidah al-Taqdir dan al-Hadzf

1. . ‫العرب تحذف مأ كفى منه الظ"اهر في الكالم إذا لم ت َُش"ك في معرف"ة الس"امع مك"ان‬
‫الحذف‬
Artinya:
Orang Arab menggugurkan/menghilangkan pada
perkataan yang cukup hanya dengan kata yang
jelas/tampak, jika tidak ragu bahwa si pendengar
mengetahui kata yang dihilangkan tersebut (Al-Thabari,
I, 2001: 71).
Orang-orang Arab sebagaimana dikenal sebagai ahli
Balagah dan fasih dalam hal berkata-kata. Diantara
kefasihannya adalah mereka membatasi/mencukupkan
perkataannya dan meringkasnya jika tidak dikhawatirkan
bahwa hal itu akan menyebabkan adanya makna yang
samar/kabur bagi si pendengar, karena si pendengar
mengetahui letak kata yang dihapus tersebut.
Misalnya, dalam firman Allah Q.S. al-Fatihah/1: 2-4.

(5)( ‫)الرحمن الرحيم‬3( ‫)ملك يوم الدين‬4(‫إياك نعبد" و إياك نستعين‬


‫)الحمد هلل رب العالمين‬2

Terjemahnya:
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai hari
pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah
dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
Ibnu Jarir dalam tafsirnya mengatakan bahwa:
“Jika ada seseorang bertanya kepada kita: “Apakah arti
dari"‫"الحم""""د هللا‬apakah Allah sendiri yang memuji diri-Nya
kemudian Dia mengajarkan kita untuk mengucapkannya juga
sebagaimana Dia mengucapkan dan menyifati diri-Nya
sendiri? Jika demikian, jadi apa maksud/tujuan firman Allah:"
‫"إي""اك نعب""د و إي""اك نس""تعين‬sedangkan Allah swt adalah sebagai Yang
disembah (ma‘bud) bukan sebaliknya (‘abid)? Apakah itu
merupakan perkataan Jibril a.s, atau Muhammad saw? Karena
salah jika itu perkataan dari Allah Swt. Dikatakan padanya:
bahwa itu semua adalah perkataan Allah swt, tetapi Allah Swt.
memuji diri-Nya sendiri dengan apa yang memang Dia pantas
untuk itu, kemudian Dia mengajarkan itu kepada hamba-
hamba-Nya, dan mewajibkan mereka untuk membacanya
sebagai ujian dan cobaan dari-Nya untuk mereka. Jadi Allah
Swt. berkata kepada mereka: “katakanlah (wahai kamu
sekalian): "‫"الحمد هلل رب العالمين‬dan katakanlah (qulu):"‫إياك نعبد و إي""اك‬
‫"نستعين‬. Maka, firman Allah Swt. "‫ "إياك نعبد‬termasuk diantara apa
yang diajarkan oleh Allah Swt. kepada mereka agar mereka
mengucapkannya dan meyakini artinya, dan perkataan Allah
inimaushul (bersambung) dengan firmanAllah Swt. "‫الحم""د هلل رب‬
‫"العالمين‬. Jadi, seakan-akan Allah berkata: Qulu hadza wa hadza.
Kemudian jika ada yang bertanya: di manakah letak perkataan
Allah: "(‫ " )قولوا‬atau Qulu tersebut? maka jawabannya adalah
telah dikemukakan sebelumnya bahwa sudah menjadi
kebiasaan orang Arab -jika mereka mengetahui letak kata
tersebut, dan mereka tidak khawatir/ragu bahwa si
pendengarnya juga mengetahui kata atau apa yang disamarkan
tersebut, maka mereka menyamarkan/mengaburkan apa yang
tidak perlu (cukup dapat dipahami) dan yang nampak dari
perkataannya. Terlebih lagi jika kata (yang disamarkan)
tersebut merupakan suatu perkataan atau penjelasan dari
perkataan (Al-Thabari, I, 2001: 71).

‫ الغالب في القرآن وفي كالم العرب المح"ذوف ان الج""واب المح"ذوف ي""ذكر‬. .2


‫قبله ما يدل عليه‬

Artinya:
Mayoritas yang terdapat dalam Alquran dan dalam
perkataan orang-orang Arab bahwa jawaban yang
digugurkankan disebutkan sebelumnya apa yang
menunjukan pada jawaban tersebut. (al-Sabt, 2000: 10).
Pada umumnya, dalam Alquran dan perkataan orang
Arab, jawaban dan sesuatu yang dihilangkan (jawab mahdzuf),
disebutkan sebelumnya apa yang
mengisyaratkan/menunjukkan kepada jawaban tersebut.
Misalnya, dalam Q.S. al-Qashash/28: 10.

(10) ‫إن كادت لتبدى به لوال أن رّبطنا على قلبها لتكون من المؤمنين‬
Terjemahnya:
Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang
Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya
ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji
Allah).
Perkataan sebelum kata "‫ "لوال‬merupakan isyarat yang
menunjukkan jawabannya lawla, maksudnya menjadi: .‫ل""وال أن‬
‫ّربطنا على قلبها لكادت لتبدى به‬

‫متى جاءت "بلى" أو "نعم" بعد كالم يتعلق بها تعلق الجواب و ليس قبله""ا م""ا‬ .3
.‫ لفظه لفظ الجواب‬،‫ فاعلم أن هناك سؤاال مقدرا‬،‫يصلح أن يكون جوابا له‬

Artinya:
Ketika ada kata “bala” atau “na‘am” setelah perkataan
yang berkaitan dengannya (“bala” atau “na‘am”) sebagai
jawaban dari sebelumnya tidak ditemui apa yang sesuai
untuk menjadi jawaban perkataan tersebut, maka
ketahuilah bahwa di sana ada pertanyaan yang
terkandung di dalamnya/tersimpan dengan
menggunakan lafaz jawaban (al-Sabt, 2000: 10).

Maksudnya bahwa sengaja diringkas dan


penyebutannya secara fleksibel saja karena telah diketahui
maknanya. Misalnya, dalam Q.S. al-Baqarah/2: 112.

ٌ
(112)...‫محسن فله أجره عند ربه‬ ‫بلى من أسلم وجهه هلل وهو‬
Terjemahnya:
(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang
menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat
kebajikan, maka baginya pahala dari sisi Tuhannya.
Di dalam ayat ini dilihat bahwa si penjawab berkata:"‫"بلى‬
, pertanyaannyadikembalikan kepadajawabannya, jadi maksud
adalah: ‫أليس من أسلم وجهه هلل وهو محسن له أجره عند ربه؟‬.

‫ ف""األولى االقتص""ار‬،‫إذا كان ثبوت شئ أو نفي""ه ي""دل على ثب""وت آخ""ر أو نفي""ه‬ .4
‫ فإن ذكرا فاألولى تأخير الدالز‬،‫على الدال منهما‬

Artinya:
Jika penetapan sesuatu atau penegasiannya menunjukkan
pada penetapan yang lain atau penegasian yang lain,
maka yang lebih utama adalah mencukupkan/membatasi
penyebutannya hanya pada indikator yang menunjukkan
dari keduanya, tetapi jika disebutkan keduanya maka
yang lebih utama adalah mengakhirkan (menempatkan di
akhir) hal yang menjadi indikator/petunjuk (al-Sabt,
1997: 370).

Misalnya, jika sesuatu memiliki dua sifat, dan salah satu


sifatnya megindikasikan/menunjukkan sifat yang lainnya,
maka lebih diutamakan membatasi penyebutan pada sifat yang
menunjukkan sifat yang lainnya, untuk menghindari
pengulangan yang membosankan. Akan tetapi, jika disebutkan
keduanya, maka sebaiknya sifat yang menunjukkan sifat yang
lainnya diletakkan di akhir/diakhirkan. Misalnya, dalam Q.S.
Ali-‘Imran/3: 133.

(133)...‫وسارعوا إلى مغفرة من ربكم و جنة عرضها السماوات‬


‫واألرض‬
Terjemahnya:
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu
dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan humi.

Sebagaimana dimaklumi, setiap yang mempunyai luas


mempunyai panjang, maka ketika al-‘ardh (luas)
menunjukkan/mengindikasikan al-thul (panjang), maka
membatasi penyebutan sifatnya dengan al-‘ard} saja menjadi
lebih utama (al-Sabt,1997: 371)

‫ حذف جواب الشرط يدل على تعظيم األمر و شدته فى مقامات الوعيد‬. .5
Artinya:
Penghapusan/pengguguran jawab al-syarth
menunjukkan pentingnya dan dahsyatnya hal tersebut
dalam konteks ancaman (al-Sa‘di, 1980: 52).
Jawab al-syarth yang tidak disebutkan dalam suatu ayat
menunjukkan pentingnya atau dahsyatnya hal yang
dibicarakan.
Ayat-ayat Alquran yang mengandung fi‘il al-syarth (kata
kerja bersyarat), tetapi jawab al-syarth (jawaban dari kata
bersyarat)nya tidak disebutkan menunjukkan pentingnya
masalah yang dibicarakan, atau-jika yang dibicarakan adalah
masalah siksa dan ancaman- menunjukkan dahsyatnya
keadaan yang disebutkan.
Misalnya, dalam Q.S. al-Sajdah/32: 12.

(12)...‫ولو ترى إذالمجرمون ناكسوا رؤُو ِسهم عند ربهم‬


Terjemahnya:
Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat
ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan
kepalanya di hadapan Tuhannya.
Jawab al-syarth kata law tara memang tidak disebutkan,
dan yang disebutkanhanya reaksi orang-orang yang melihat
siksaan neraka (Dahlan, 1998: 86).

‫ قد يقتضي الكالم ذكر شيئين فيقتصر على أحدهماألنه المقصود‬. .6


Artinya:
Sebuah perkataan terkadang perlu untuk menyebutkan
dua hal tetapi dicukupkan penyebutannya pada satu hal
saja karena hal tersebut lah yang dimaksudkan (al-Sabt,
2000: 10).
Terkadang di dalam suatu perkataan yang disebutkan
hanya satu dari dua yang harus disebutkan dikarenakan hal
yang dimaksudkan terbatas pada yang disebutkan saja.
Misalnya dalam Q.S. Taha/20: 49.

(49)‫قال فمن ربكما يا موسى‬


Terjemahnya: Berkata Fir’aun: “Maka siapakah Tuhanmu
berdua, hai Musa?

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa setelah nabi Musa a.s.


dan nabi Harun a.s. mendapat perintah Allah swt, pergilah
mereka kepada Fir’aun dan terjadilah soal jawab seperti yang
disebutkan pada ayat ini dan ayat berikutnya (Depag RI, 1990:
481). Dalam ayat ini tidak disebutkan "‫ "و هارون‬padahal yang
digunakan adalah bentuk mutsanna (dua orang), dikarenakan
Musa lah yang dimaksud kan (lebih penting) karena dialah
yang mengemban tanggungjawab misi kenabian (al-Sabt, 1997:
373).

‫ قد يقتضي المقام ذكر شيئين بينهم"ا تالزم وارتب"اط فيكتفى بأح"دهما‬. .7


‫عن اآلخر‬
Artinya:
Terkadang dalam suatu konteks perkataan menyebutkan
dua hal yang di antara keduanya memiliki keterikatan
antara satu dengan yang lain (inherensi), maka cukup
menyebutkan salah satunya saja (al-Sabt, 2000: 10).
Yang dimaksud di sini adalah membatasi penyebutan
pada salah satu dan dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan
memiliki ketergantungan antara satu dengan yang lain
(inherensi), karena jika salah satunya disebut akan
mengingatkan yang lainnya. Pembatasan di sini dikarenakan
adanya maksud tertentu yang menuntut agar dibatasi pada
salah satunya saja. Misalnya, dalam Q.S. al-Nahl/16: 81.

(81)...‫وجعل لكم سرابيل تقيكم الح ّر‬


Terjemahnya: Dan Diajadikan bagimu pakaian yang
memeliharamu dari panas.
Maksud ayat ini adalah pakaian yang memeliharamu
dari panas atau pun dingin. Akan tetapi, dibatasi hanya pada
penyebutan al-harr karena yang diajak bicara adalah kaum Arab
yang mana negeri mereka beriklim panas, sehingga berlindung
dari panas lebih penting bagi mereka, karena panas lebih
menyiksa bagi mereka daripada dingin.

‫ال يق َّدر من المحذوفات إالّ أفصحها و أشدها موافقة للغرض‬ .8


Artinya:
Sesuatu yang digugurkan tidak dikembalikan
pemahamannya kecuali dengan sesuatu yang paling fasih
dan yang paling sesuai dengan tujuan yang dimaksud
(Al-Suyuti, III, 2006: 109)
Diantara kebiasaan berbahasa orang-orang Arab,
mereka tidak menilai/memperkirakan maksud dari sesuatu
yang mahdzuf (yang tidak disebutkan)kecuali dengan penilaian
yang paling sesuai dan paling tepat dengan maksud yang
diinginkan. Misalnya, dalam Q.S. Al-Maidah/5: 97.

(97)...‫جعل هللا الكعبة البيت الحرام قياما للناس‬


Terjemahnya:
Allah telah menjadikan Ka‘bah, rumah suci itu sebagai
pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia.
Ayat " ‫ "جعل هللا الكعبة‬terdapat taqdir di dalamnya, ada
yang mengatakan taqdirnya adalah nusb/nasb al-ka‘bah
(sesuatu yang ditegakkan /dipasang) pada Ka‘bah,
sebagian yang lain mengatakan yang dimaksud adalah
hurmah al-Ka‘bah (kesucian Ka‘bah), dan yang paling utama
adalah yang kedua, karena taqdir al-Hurmah (kesucian)
dalam hal yang berkaitan dengan al-hadya, al-qala’id dan al-
syahr al-haram tidak diragukan lagi kefasihannya.
Sedangkan taqdir nasb/nusb jauh dari sifat kefasihan
Alquran (al-Sabt, 1997: 375). Al-Hadya ialah binatang (unta,
lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke Ka’bah untuk
mendekatkan diri kepada Allah, disembelih di tanah
haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin
dalam rangka ibadah haji (Depag RI, 1990: 156). Sedangkan
Al-Qala’id ialah binatang hadya yang diberi kalung, supaya
diketahui orang bahwa binatang itu telah diperuntukkan
untuk dibawa ke Ka‘bah (Depag RI, 1990: 156).

‫ ينبغي تقليل المقدر مهما أمكن لتقل مخالفة ااألصل‬. .9


Artinya:
Harus meminimalisir al-muqaddar (sesuatu yang
dikandung/ tersimpan) sebisa mungkin untuk
meminimalisir perbedaan dengan aslinya (Al-Suyuti, III,
2006: 109).
Maksud kaidah ini adalah, pada dasarnya tidak ada
taqdir, jadi sebisa mungkin meminimkan sesuatu yang
disamarkan (yang tersirat) untuk meminimalisir perbedaan
dari aslinya/pokok pegangannya. Misalnya, dalam Q.S. al-
Thalaq/65: 4.

(65)...‫والّئ يئسن من المحيض من نسائكم إن ارتبتم فعدتهن" ثالثة‬


‫أشهر و الّئ لم يحضن‬

Terjemahnya:
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid (monopause)
diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa ‘iddahnya) maka ‘iddah mereka adalah tiga
bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid.
Sebagian ulama mengatakan bahwa ‘iddah perempuan-
perempuan yang tidak haid adalah tiga bulan, dan memang
sebaiknya ditaqdirkan (yang dimaksud) seperti itu, karena
selain lebih ringkas juga ada petunjuk/indikasi atas makna
tersebut sebelumnya (al-Sabt, 1997: 376).

‫ فال وجه لصرفه إلى‬،‫ إذا كان للكالم وجه مفهوم على اتساقه على كالم واحد‬. .10
‫كالمين‬
Artinya:
Jika suatu perkataan telah dapat dimengerti dengan
menggunakan satu bentuk perkataan yang teratur
(konsisten), maka tidak perlu untuk mengubahnya ke
dalam bentuk perkataan yang lain (al-Sabt, 2000: 10).

Misalnya dalam Q.S. al-Baqarah/2: 83.

(83)...‫وإذ أخذنا ميثاق بنى إسراءي َل ال تعبدون إالّ هللاَ و بالوالدين‬


‫إحسانًا‬
Terjemahnya:
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani
Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah,
dan berbuat baiklah kepada ibu bapak.
Di dalam tafsir Ibnu Jarir dikatakan bahwa al-ihsan
bentuknya mansub dikarenakan oleh fi‘il mud}mar (kata kerja
yang tersembunyi) yang notabene kata kerja tersebut digantikan
tugasnya oleh kata wa bi al-walidayni, sehingga maknanya dapat
dipahami. Adapun makna perkataan tersebut jika diperjelas
menjadi:

‫ وبأن تحسنوا إلى الوالدين‬،‫ بأن التعبدوا إالّ هللا‬،‫إسراءيل‬


َ ‫وإذ اخذنا ميثاق بنى‬
‫إحسانأ‬.
Maka cukup mengatakan " ‫" و بالوالدين‬daripada: ‫و بأن تحسنوا‬
‫إلى الوالدين إحسانًا‬،karena darikalimat yang diucapkan sudah
tampak jelas maknanya (Al-Thabari, I, 2001: 339). Kata
ihsanan juga dapat menjadi manf’ul bih dari kata kerja
yang terbuang diduga “ahsin” yang berarti “berbuat
baiklah”.
F. Khatimah
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan:
1. Al-Ziyadah secara etimologi artinya tambahan/kelebihan.
Secara terminologis, al-ziyadah memiliki beragam arti,
menurut ahli bahasa Arab adalah huruf yang tidak asli,
ada yang mengartikan sesuatu yang tidak memiliki
faedah dan manfaat. Sebagaimana juga diberikan kepada
kata yang wujud dan ketiadaannya tidak mengganggu
makna aslinya, meski pun memiliki faedah yang lain.
2. Kaidah-kaidah al-ziyadah, diantaranya adalah:
a) Tidak ada ziyadah (penambahan) di dalam Alquran.
Terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai halini.
Menurut kesepakatan, jika yang dimaksudkan ziyadah
adalah sesuatu yang tidak memiliki arti, faedah, dan
manfaat maka tidak ada ziyadah dalam Alquran, tetapi
jika yang dimaksud ziyadah adalah sesuatu yang
dianggap tidak menimbulkan cacat pada makna asli
dengan kehadiran atau pun ketidakhadirannya,
meskipun memiliki faedah tertentu, terdapat ikhtilaf
ulama dalam masalah ini, ada yang membolehkan dan
ada yang tidak memperbolehkan. Sebaiknya
menghindari dari penyebutan ziyadah secara mutlak
bagi Alquran tanpa menjelaskan maksudnya (sebagai
ta’kid) agar tidak terjadi kesalahpahaman.
b) Jika ada penambahan pada lafaz maka dengan
sendirinya wajib adanya penambahan makna.
c) Penggabungan antara dua kata yang memiliki arti
serupa menghasilkan makna yang tidak didapatkan
ketika terpisah/disebutkan sendiri.
d) Setiap huruf yang ditambahkan dalam perkataan Arab
(sebagai penegasan) maka sama dengan mengulang
kalimat tersebut untuk kedua kalinya.
3. Al-Taqdir secara bahasa yang paling sesuai dengan
pembahasan ini adalah meniatkan sesuatu dengan
kemantapan dan keteguhan. Secara terminologis, al-taqdir
sesuai pembahasan ini adalah lafaz yang diniatkan atau
diinginkan dengan ketetapan hati si pembicara, yang
tidak diutarakan secara terbuka (jelas).
Adapun pengertian al-hadzf secara etimologis adalah
penghapusan, pembuangan atau pengguguran.
Sedangkan secara terminologi al-hadzf menurut para ahli
Nahwu dan ahli Balagah adalah pengguguran harakat
(syakal) atau pun kata, ada yang mengartikan
pengguguran sebagian dari kalimat atau keseluruhannya
karena adanya dalil tertentu.
4. Diantara kaidah-kaidah al-taqdir dan al-hadzf adalah:
a) Orang Arab menggugurkan/menghilangkan pada
perkataan yang cukup hanya dengan kata yang
jelas/tampak, jika tidak ragu bahwa si pendengar
mengetahui kata yang dihilangkan tersebut.
b) Mayoritas yang terdapat dalam Alquran dan dalam
perkataan orang-orang Arab bahwa jawaban yang
digugurkankan disebutkan sebelumnya apa yang
menunjukan pada jawaban tersebut.
c) Ketika ada kata “bala” atau “na‘am” setelah perkataan
yang berkaitan dengannya (“bala” atau “na‘am”)
sebagai jawaban dan sebelumnya tidak ditemui apa
yang sesuai untuk menjadi jawaban perkataan
tersebut, maka ketahuilah bahwa di sana ada
pertanyaan yang terkandung di dalamnya/tersimpan
dengan menggunakan lafaz jawaban.
d) Jika penetapan sesuatu atau penegasiannya
menunjukkan pada penetapan yang lain atau
penegasian yang lain, maka yang lebih utama adalah
mencukupkan/membatasi penyebutannya hanya pada
indikator yang menunjukkan dari keduanya, tetapi
jika disebutkan keduanya maka yang lebih utama
adalah mengakhirkan (menempatkan di akhir) hal
yang menjadi indikator/petunjuk.
e) Penghapusan/pengguguran jawab al-syarth
menunjukkan pentingnya dan dahsyatnya hal tersebut
dalam konteks ancaman.
f) Sebuah perkataan terkadang perlu untuk
menyebutkan dua hal, tetapi dicukupkan
penyebutannya pada satu hal saja karena hal
tersebutlah yang dimaksudkan.
g) Terkadang dalam suatu konteks perkataan
menyebutkan dua hal yang diantara keduanya
memiliki keterikatan antara satu dengan yang lain
(inherensi), maka cukup menyebutkan salah satunya
saja.
h) Sesuatu yang digugurkan/dihapuskan tidak
dikembalikan pemahamannya kecuali dengan sesuatu
yang paling fasih dan yang paling sesuai dengan
tujuan yang dimaksud.
i) Harus meminimalisir al-muqaddar (sesuatu yang
dikandung/tersimpan) sebisa rnungkin untuk
meminimalisir perbedaan dengan aslinya.
j) Jika suatu perkataan telah dapat dimengerti dengan
menggunakan satu bentuk perkataan yang teratur
(konsisten), maka tidak perlu untuk mengubahnya ke
dalam bentukperkataan yang lain.

DAFTAR PUSTAKA
Andalusi, Abu Hayyan al-. Tafsir al-Bahr al-Muhit.} Juz III dalam
al-Maktabah al-Syamilah, ver. 2 [CD-ROM].
Dahlan, Abd. Rahman. 1990. Kaidah-Kaidah Penafsiran Alquran;
Disusun berdasarkan al-Qawa‘id al-Hisan li Tafsir
Alquran Karya al-Sa‘di. Cet. II; Bandung: Penerbit
Mizan.
Departemen Agama RI. 1990. Alquran dan Terjemahnya. Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir
Alquran.
ibn Faris, Ibn al-Husain Ahmad. 1970. Mu‘jam Maqayis al-Lugah.
Juz III, Cet. II; Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi.
Ibnu Mandzur, Jamal al-Din Muhammad Ibnu Makram. 2000.
Lisan al-‘Arab. Juz XII, Cet.I; Beirut: Dar Shadir.
Mardan. 2009. Alquran; Sebuah Pengantar Memahami Alquran
Secara Utuh. Cet. I; Makassar: CV. Berkah Utami.
Sa‘di, ‘Abd al-Rahman ibnu Nashir al-. 1980. al-Qawa‘id al-Hisan
li Tafsir Alquran. Riyadh: Maktabah al-Ma‘arif.
Sabt, Khalid ibnu ‘Uthman al-. 1997. Qawa‘id aI-Tafsir; Jam‘an
wa Dirasah. Juz I, Cet. I; Saudi Arabia: Dar Ibnu
‘Affan.
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk. 2005. Metodologi Ilmu Tafsir. Cet. I;
Yogyakarta: Penerbit TERAS.
Suyuthi, Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-. 2006. Al-
Itqan fi ‘Ulum Alquran. Juz III, Cet.I; Kairo:
Maktabah al-Shafa.
Thabari, Abi Ja‘far Muhammad ibn Jarir al-. 2001. Jami‘ al-Bayan
‘an Ta’wil Ay Alquran; Tafsir al-Thabari. Juz. III, Cet. I;
Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi.
Zamakhsyari, Abu al-Qasim Mahmud ibn ‘Amru ibn Ahmad
al-. Tafsir al-Kasysyaf. Juz I dalam al-Maktabah al-
Syamilah, ver. 2 [CD-ROM].
Zarkasyi, Bard al-Din MuHammad ibn ‘Abdillah al-. 1988. al-
Burhan fi ‘Ulum Alquran. Juz III, Cet. I; Beirut: Dar
al-Fikr.
BAB XII
KAIDAH MUQABALAH AL-JAM’ BIL JAM’

A. Kaidah Muqabalah Al-Jam‘ bi Al-Jam‘

Sudah menjadi hal yang umum bahwa Alquran


diturunkan dengan bahasa Arab Allah telah menyebut Alquran
dengan Alquran yang berbahasa Arab di dalam Q.S. Yusuf/12:
2
    
 
Terjemahnya:
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran
dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”
(Depag RI, 1990: 348).

Tidak diragukan lagi bahwa “kearaban” yang dimaksud


di sini adalah segi kebahasaanya, bukan ras dan etnik, meski
bangsa Arab merupakan pembawa atau penerima risalah islam
pertama di dunia ini (Al-Gazali, 2009: 254). Oleh kerena
Alquran diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, maka
seseorang tidak mungkin bisa menafsirkan ayat-ayat Alquran
dalam rangka penggalian kandungannya dengan baik tanpa
mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab (Mardan, 2009: 254).
Imam Al-Suyuti dalam Al-Itqan menyebutkan bahwa
salah satu ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir
adalah mengetahui ilmu bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya
yang mencangkup ilmu nahwu, sharaf, dan ilmu isytiqaq (al-
Sayuti , 2006: 176). Bahkan Imam Malik berkata: “Tidaklah akan
diberikan kepada orang yang tidak mengetahui bahasa Arab
lalu dia menafsirkan Kitab Allah, melainkan hukuman dan
siksa saja”. Imam Mujahid juga berkata: “Tidak halal bagi
seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkata
tentang kalamullah, manakala dia tidak mengetahui bahasa
Arab (al-Sayuti, II, 2006: 180). Artinya, ketidaktahuan terhadap
bahasa Arab dapat mengakibatkan pemahaman Alquran yang
berdasarkan hawa nafsu dan menyesatkan, sehingga hal itu
tidak layak dilakukan.
Salah satu kaidah yang harus dipahami dengan baik
oleh seseorang yang ingin mendalami makna ayat-ayat
Alquran adalah kaidah Muqabalah al-Jam’ bi al-Jam’ (pertemuan
bentuk plural dengan bentuk plural). Hal ini sangat penting
untuk diketahui sebab dalam memahami Alquran terpusat
pada kaidah-kaidah bahasa, pemahaman dan asas-asasnya,
penghayatan uslub-uslubnya dan penguasaan rahasia-
rahasianya (al-Qattan, 2005: 260). Pengertahuan terhadap
kaidah ini merupakan satu kemestian bagi mufasir untuk
mendapatkan pemahaman yang akurat, apalagi jika hal itu
merujuk kepada kaidah bahasa Arab dan bahasa Alquran.

A. Pengertian Muqabalah al-Jam’ bi al-Jam’


Secara etimologis, al-jam‘u berarti pengumpulan atau
penghimpunan. (Munawwir, 1997: 209). Namun secara umum
dalam ilmu bahasa/nahwu, al-jam‘u berarti ism (kata benda)
yang menunjukkan kepada lebih dari dua (al-Dahdah, 1994:
57). Al-Jam’ dalam ilmu bahasa terbagi kepada tiga macam,
pertama: jama’ al-muzakkar al-salim adalah al-jam’ yang berasal
dari kata-kata benda yang berbentuk laki-laki yang berakal
begitupun sifat-sifatnya, misalnya kata ‫مرس""لون‬, juga kata-kata
benda yang di serupakan dengan al-Jam’muzakkar al-salim
seperti kata ‫ عش رون‬,‫ عالمون‬dan lain-lain. Yang kedua: jam‘ al-
muannats al-salim ‫ ـ‬seperti ‫ مسلمات‬,‫ ÷مهات‬,‫ وردات‬dan lain-lain. Dan
yang ketiga: al-jam‘ al-taksir seperti ‫ جب ال‬,‫ أنبي اء‬,‫ رس ل‬dan
sebagainya (al-Dahdah, 1994: 58-59).
Adapun Muqabalah berarti pertemuan atau hal
berhadapan (Munawwir, 1997: 1089), sehingga Muqabalah al-
Jam’ bi al-Jam’ dapat diartikan bertemunya bentuk al-jam’
dengan al-Jam’ dalam sebuah rangkaian kalimat dalam hal ini
kaitannya dengan ayat Alquran. Hal ini penting untuk
diperhatikan sebab dalam ayat-ayat Alquran banyak terdapat
Muqabalah al-Jam’ bi al-Jam’.
Apabila dalam ayat Alquran terdapat Khitab yang
mempergunakan lafal yang tidak berarti umum terhadap
keseluruhan maka tentunya akan berarti sebagaian saja,
misalnya firman Allah dalam QS. Ali Imran/3: 104.
     
   
     
Terjemahnya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat
yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah
orang-orang yang beruntung (Depag RI, 1990: 93).

Begitupun firman Allah dalam QS. al-Taubah/9:122.


     
      
    
     
Terjemahnya:
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke
medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu
dapat menjaga dirinya (Depag RI, 1990: 301.93).
Dari kedua ayat di atas masing-masing kata Öiã dan
ÖzyäÊ berarti sebagaian, karena kedua kata itu bukan al-Jam’.
Hal itu akan berbeda ketika terjadi pertemuan antara dua al-
Jam’ dalam sebuah ayat Alquran seperti yang akan ditampilkan
dalam kaidah Muqabalah al-Jam’ bi al-Jam’ sebagai berikut.
A. Kaidah Muqabalah al-Jam’ bi al-Jam’
Dalam kitab Qawaid al-Tafsir Jam’an Dirasatan karya
Khalid ibn ‘Usman al-Sabt hanya menyebutkan satu kaidah saja
yang berkaitan dengan Muqabalah al-Jam’bi al-Jam’, kaidah itu
berbunyi:
  ‫ وتارة‬,‫مقابلة الجمع بالجمع تارة تقتضى مقابلة األحاد باألحاد‬
‫ وتارة تحتمل األمرين فيفتقر إلى‬.‫تقتضى مقابلة الكل لكل فرد‬
‫دليل بعين أحدههما‬.

Artinya:

Pertemuan jamak dengan jamak terkadang


dimaksudkan mengimbangi satuan dengan satuan yang
lain, dan terkadang juga dimaksudkan pertemuan
keseluruhan dengan setiap individu, dan kadang-
kadang juga kedua maksud tersebut dapat diterima,
akan tetapi membutuhkan dalil yang menentukan salah
satunya (al-Sabt, I, 2000: 58.).

Penjelasan bagian yang pertama:

  ‫مقابلة الجمع بالجمع تارة تقتضى مقابلة األحاد باألحاد‬


Pertemuan jamak dengan jamak terkadang
dimaksudkan pertemuan satuan dengan satuan yang lain),
maksudnya setiap satuan bertemu dan saling berkaitan dengan
satuan yang lain tanpa adanya kaitan dengan keseluruhannya.
Seperti dalam firman Allah QS. Nuh/71: 7.
  
  
Terjemahnya:
dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap
(mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat
(Depag RI,1990: 978).
Maksudnya setiap orang dari mereka menutupi
wajahnya dengan bajunya masing-masing (al-Qattan, 2005:
203). Seperti juga firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2:233.
   
 
Terjemahnya:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama
dua tahun penuh (Depag RI, 1990: 57).

Maksudnya setiap ibu itu menyusukan anak-anaknya


sendiri, tidak berarti setiap ibu menyusukan anak-anak orang
lain juga. Begitupun juga dengan firman Allah dalam QS. al-
Nisa/4: 23.
   
  
Terjemahnya:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-
anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan.

Maksudnya adalah, tidak diharamkan setiap dari


individu yang diseru itu semua ibu-ibu dari individu tersebut,
akan tetapi yang diharamkan hanyalah ibunya sendiri setiap
individu itu (al-Sabt, 2000: 589). Contoh lain dari firman Allah
dalam QS. al-Nisa/4: 12.
       
  
Terjemahnya:
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak.

Maksudnya setiap suami hanya mendapatkan seperdua


dari istrinya sendiri, bukan dari istri-istri orang lain.
Penjelasan bagian yang kedua:

‫وتارة تقتضى مقابلة الكل لكل فرد‬.


Dan terkadang pertemuan jamak dengan jamak
dimaksudkan pertemuan keseluruhan dengan setiap individu).
Maksudnya, terkadang dimaksudkan bahwa isi jamak itu
ditetapkan atau diberlakukan bagi setiap individu yang terkena
seruan (al-Qattan, 2005: 204). Sebagai contoh firman Allah
dalam QS. al-Baqarah/2: 238.

    


   
Terjemahnya:
Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat
wusthaa, Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu)
dengan khusyu'.

Dan firman Allah dalam QS. al-Maidah/5: 48.


     
     

Terjemahnya:
Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya
kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu,

Kedua kata ‫ الصلوات‬dan ‫ الخيرات‬adalah berbentuk jamak,


maka ditetapkanlah bahwa setiap individu atau person
diperintahkan untuk mendirikan semua shalat yang diwajibkan
(shalat lima waktu), semua person juga diperintahkan untuk
berlomba-lomba dalam semua hal yang kaitanya dengan
kebaikan (al-Sabt, 2000: 590). Hal yang serupa juga dalam
firman Allah QS. al-Nur/24: 4.
     
   
      
   
Terjemahan:
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan
janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-
lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik
(Depag RI, 1990: 543).

Maksudnya, deralah setiap orang dari mereka sebanyak


bilangan tersebut (al-Qattan, 2005: 204). Terakhir penjelasan
bagian yang ketiga , sebagaimana al-Sabt pada jilis I (2000: 588).:

‫وتارة تحتمل األمرين فيفتقر إلى دليل بعين أحدههما‬.


Dan terkadang juga, pertemuan jamak dengan jamak
dimaksudkan kedua maksud tersebut dapat diterima, akan tetapi
membutuhkan dalil yang menentukan salah satunya) (al-Sayuti,
2005: 305-306; Al-Zarkasyi, t.th.: 3-5). Seperti dalam firman Allah
QS. Al-Taubah/9: 60.

   



Terjemahnya:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-
orang fakir, orang-orang miskin.......

Sudah diketahui bersama bahwa ada beberapa macam


barang-barang yang dikeluarkan zakatnya, seperti hewan ternak, biji-
bijian dan buah-buahan, emas, perak dan sebagainya. Sedangkan
orang-orang yang berhak menerima zakat juga bermacam-macam,
mulai dari fakir, miskin, para mu’allaf dan lain sebagainya, maka ada
dua hal yang bisa dimengerti dari ayat ini. Pertama yaitu
membagikan semua macam zakat tersebut kepada semua golongan
penerima zakat, tentunya ini sesuai bagian kaidah yang pertama.
Kedua yaitu membagikan satu macam zakat kepada semua golongan
penerima zakat, ini sesuai dengan bagian kaidah yang kedua (al-
Sabt, 2000: 590).

Kedua pengertian ini memerlukan dalil yang bisa


mengantar kepada pemahaman yang syar’i.
Demikian penjelasan singkat mengenai kaidah
Muqabalah al-Jam’ bi al-Jam’. Sebagai perbandingan dengan
kaidah ini maka akan dikemukakan juga mengenai kaidah
ketika terjadi Muqabalah al-Jam’ bi al-Mufrad (bertemunya jamak
dengan mufrad) dalam sebuah ayat.
Disebutkan oleh Al-Sayuti (II, 2000: 306; Al- Zarkasyi, t.th.
5) bahwa:

‫ وق""د‬,‫الغالب عند مقالة الجمع بالمفرد أنه اليقتض"ى" تعميم المف""رد‬


.‫يقتضيه بحسب عموم الجمع المقابل له‬

Artinya:
Pada umumnya ketika pertemuan jamak (plural) dengan
mufrad (tunggal) tidak dimaksudkan untuk menunjukkan
keumuman mufrad tersebut. Namun terkadang juga
menunjukkan keumuman mufrad itu sesuai dengan
keumuman jamak yang bersamanya.

Sebagai contoh dari bagian yang pertama: firman Allah


dalam QS. Yunus/10: 26.
     
      
      
Terjemahnya:
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang
terbaik (surga) dan tambahannya dan muka mereka tidak
ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan, mereka
Itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya
(Depag RI, 1990: 310).

Dalam ayat ini ‫الحسنى‬yang berarti surga tetap mufrad


sekalipun di depannya ada jamak. Semua orang-orang baik
akan memasuki surga al-Sabt, 2000: 291). Adapun contoh dari
bagian yang kedua seperti firman Allah dalam QS. Al-
Baqarah/2: 184.
       
       
     

Terjemahnya:
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka
Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-
hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin.

Maksudnya setiap orang dari mereka (yang tidak


berpuasa karena berat) harus memberi makan kepada seorang
miskin setiap harinya (al-Qattan, 2005: 205). Itu menunjukkan
bahwa agama Islam mengajarkan sebuah pengabdian kepada
Allah melalui bantuan sosial kemanusiaan berupa memberi
makan kepada fakir miskin sebagai pengganti kesalehan puasa.
Artinya, ibadah puasa harus berimplikasi sosial serta
menghilangkan kesenjangan sosial.

B. Penutup
Al-jam’ dalam pengertian kaedah bahasa adalah ism
(kata benda) yang menunjukkan kepada lebih dari dua. Al-jam’
dalam kaedah bahasa terbagi kepada tiga macam, pertama:
jam‘ al-muzakkar al-salim, yang kedua: al-jam ‘ al-muannats al-
salim, dan yang ketiga: jam‘ al-taksir. Kaedah muqabalah al-jam bi
al-jam’ dibagi kepada tiga macam bentuk: a) pertemuan jamak
dengan jamak terkadang dimaksudkan pertemuan satuan
dengan satuan yang lain. b) pertemuan jamak dengan jamak
terkadang dimaksudkan pertemuan keseluruhan dengan setiap
individu. c) pertemuan jamak dengan jamak terkadang
dimaksudkan kedua hal tersebut, akan tetapi membutuhkan
dalil yang menentukan salah satunya.

DAFTAR PUSTAKA

Dahdah, Antuan al-. 1994. Mu’jam Qawaid al-Lugah


al-‘Arabiyyah fi Jadawil wa Laubat. Cet. IV; Lebanon
Maktabah Libnan Nasyirun.
Departemen Agama RI. 1990. Alquran dan Terjemahannya.
Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/
Pentafsir Alquran.
Gazali, Muhammad al-. 2009. Kaifa Nata’amal Ma’a Alquran. Cet.
I; Kairo: Al-Ma’had Al-Alami li Al-Fikr Al-Islami.
Mardan. 2009. Alquran; Sebuah Pengantar Memahami Alquran
Secara Utuh (Cet. I; Makassar: CV. Berkah Utami.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawwir Kamus Arab
Indonesia. Cet. Ke-14; Surabaya: Penerbit Pustaka
Progresif.
Qaththan, Manna’ al-. 2005. Mabahis Fi ‘Ulum Alquran. Cet. II;
Kairo: Dar al-Taufiq.
Sabt, Khalid ibn ‘Usman al-. 2000. Qawaid al-Tafsir: Jam’an wa
Dirasatan. Jilid I, Cet. I; Saudi Arabiah: Dar Ibn Affaan.
Suyuti, Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-. 2006. Al-
Itqan Fi ‘Ulum Alquran. Juz II, Cet. I; Kairo: Maktabah
al-Shafa.
Zarkasyi, Al-. t.th. Al-Burhan Fi ‘Ulum Alquran. Juz IV, Cet. I;
Kairo: Dar al-Turas.

BAB XIII
KAIDAH AL-TIKRAR

A. Kaidah al-Tikrar
Diantara kekuasaan Allah adalah menjadikan Alquran
sebagai kitab risalah terakhir penutup risalah samawi yang
mengandung fungsi menjelaskan secara terang dan sebagai
tanda i’jaz (mukjizat) dalam melumpuhkan argumen-argumen
para pengingkarnya, agar memudahkan kelangsungan
penyampaian risalah setelah wafatnya Nabi Saw., dan sebagai
sarana dalam memuaskan keingintahuan para penelitinya
sepanjang zaman. Olehnya itu bentuk dari i’jaz Alquran tidak
terbatas pada wujud penjelasannya namun juga melingkupi
dan mengalahkan setiap segi aktivitas kehidupan manusia
dalam segi “keanehan” dan keluarbiasaan.
Salah satu wujud dari mukjizat Alquran dapat ditinjau
dari segi kebahasaan. Ini terlihat dari susunan kata dan
kalimatnya yang sangat unik dan istimewa. Namun ini pun
tidak luput dari kritikan para pengingkarnya yang berpendapat
bahwa tidak jarang ditemukan adanya pengulangan dalam
ayat-ayat Alquran serta adanya kontradiksi-kontradiksi yang
kesemuanya ini menafikan kemukjizatan al-Qur’an.
Menurut M. Quraish Shihab, adapun soal pengulangan
maka perlu digaris bawahi bahwa Alquran adalah sebuah kitab
dakwah dan bukan sebuah kitab yang telah disusun
sebagaimana penyusunan suatu kitab ilmiah atau undang-
undang.
Allah Swt. berfirman Q.S. al-Isra’/17: 9,

       


      
 
Terjemahnya:

Sesungguhnya Alquran ini memberikan petunjuk kepada


(jalan) yanglebih lurus (terbaik) (Depag R.I., 1985: 385).

Dalam konteks dakwah, tentu saja pengulangan tidak


dapat dihindari apa lagi patut disadari bahwa sikap manusia
dalam menerima petunjuk sangat beraneka ragam. Ada yang
menerima secara langsung, ada yang membutuhkan peringatan
dan penjelasan demi penjelasan, sampai ia dapat yakin dan
mengamalkannya kemudian ada juga yang perlu dibujuk dan
dirayu, ada pula yang harus digertak dan diancam, ada yang
hanya disentuh batinnya, dan ada juga yang memerlukan
pengerahan otak dalam membuktikan logika. Alquran dalam
hal ini berusaha mengajak dan melayani semua pihak, karena
itu terjadi apa yang dinamakan (‫“ )تكرار‬pengulangan” (Shihab,
2004: 260).
Namun jika ditelusuri lebih mendalam lagi tujuan
dibalik pengulangan tersebut adalah ujian bagi manusia untuk
menerima pesan-pesan Alquran seutuhnya. Alquran dalam hal
ini enggan memilah-milah pesan-pesannya agar tidak timbul
kesan bahwa satu pesan lebih penting dari pesan lainnya.

B. Pengertian Tikrar dalam Alquran

Istilah tikrar berasal dari perkataan bahasa Arab. Dilihat


dari bentuknya kata tersebut adalah masdar (verbal noun) dari
kata kerja ‫ كر ر‬yang berakar kata dengan huruf . ‫ ر‬, ‫ ر‬, ‫ك‬
Akar kata ini jika ditinjau lebih mendalam memiliki arti dasar
( ‫) ردد وأعاد‬. Ibn Faris menambahkan dalam bukunya yaitu pengertian
kata “‫ ”ردد‬yaitu: “‫( ”رجعت الش"""يء أي رددت الش"""ي إدا أرده ردا‬mengembalikan
sesuatu dan mengulanginya” (Ibn Zakariya, Juz IV, 1991: 386).
Kemudian kata (‫ )كر ر‬lebih umum dari (‫ )أعاد‬dalam hal pemakaian.
Menurut para ahli bahasa kata ‫ ك ر ر‬dapat dipakai untuk
menggambarkan pengulangan yang terjadi sekali atau pun
berkali-kali.
Sedangkan dari segi istilah tikrar memiliki arti “‫إعادة اللفظ‬
‫ لتقري"""ر المع"""ني‬pengulangan terhadap lafaz untuk menetapkan
(taqrir) maknanya” juga bermakna ‫ذك"""ر الش"""يء م"""رتين فص"""اعدا‬
menyebutkan sesuatu dua kali atau lebih” (Zaq-zuq, 2004: 78).
Dari definisi-definisi ulama tentang istilah tikrar di atas
dapat ditarik simpulan bahwa tikrar dalam Alquran adalah
adanya beberapa ayat yang mengalami pengulangan dalam
penyebutan sebanyak dua kali atau lebih yang memiliki
kesamaan isi (subtansi).

C. Kaidah-kaidah Tikrar

Dalam penggunaan tikrar terdapat beberapa kaidah


yang kesemuanya memiliki perbedaan dalam segi
operasionalnya satusama lain. Olehnya itu dalam
memahaminya, kalangan ilmuwan kemudian membaginya
kedalam beberapa kaedah, (al-Sabat, 1996: 700), yaitu:

1. Kaedah Pertama

‫قد يرد التكرار" لتعدد المتعلق‬.


Artinya: ‘Terkadang adanya pengulangan karena
banyaknya maksud yang ingin disampaikan” (al-Sabt,
1996: 22).
Adanya pengulangan ayat atau kalimat dalam surah Alquran
ditempat yang berbeda-beda menimbulkan pertanyaan dibenak para
ilmuan sekaligus bahan perdebatan dikalangan mereka. Hal ini
bertolak belakang dari realitas metode Alquran sendiri yang dalam
penjelasannya terkesan singkat padat dalam mendeskripsikan
sesuatu. Oleh karena itu Alquran oleh sementara orang dinilai kacau
dalam sistematikanya (Shihab, 2004: 239). Namun, hal ini telah
dijawab oleh para ilmuan Islam bahwa bentuk pengulangan dalam
Alquran adalah bukan hal yang sia-sia dan tidak memiliki arti.
Bahkan menurut mereka setiap lafaz yang berulang tadi memiliki
kaitan erat dengan lafaz sebelumnya. Contoh dalam surah Q.S. al-
Rahman/55: 22-27,
      
      
      
         
  

Terjemahnya:

“Dari keduanya keluar mutiara dan marjan. Maka nikmat


Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Dan
kepunyaanNya lah bahtera-bahtera yang Tinggi layarnya
di lautan laksana gunung-gunung. Maka nikmat Tuhan
kamu yang manakah yang kamu dustakan?. Semua yang
ada di bumi itu akan binasa. dan tetap kekal Dzat
Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Maka nikmat tuhan kamu yang manakah yang kamu
dustakan?” (Depag R.I., 1985: 774).

Dalam surah di atas terdapat ayat yang berulang 30 kali


lebih dimana Allah menjelaskan berbagai macam nikmat yang
ia berikan kepada hambanya yang kesemuanya menuntut
adanya ikrar dan pernyataan rasa syukur manusia atas nikmat-
nikmat tersebut . Hal ini kemudian menuntut terjadinya
pengulangan dalam pengikraran atas berbagai nikmat tadi.
Dan masih banyak lagi contoh surah yang demikian,
seperti surah (‫ )المرس""للت‬yang memiliki ayat (‫)وي""ل يومئ""ذ للمك""ذبين‬
berulang 10 kali, dimana Allah menjelaskan beberapa kisah
yang berbeda-beda, kesemuanya diakhiri dengan redaksi
ancaman bagi-bagi orang-orang yang mendustai akan
kebenaran kisah tersebut.

2. Kaedah Kedua

‫اليخالف بين إل إلختل ف المعاني‬


Artinya: “tidak ada perbedaan lafaz kecuali adanya
perbedaan makna” (al-Sabt, 1996: 22).
Contoh aplikasinya Firman Allah Swt. Dalam Q.S. al-
Kafirun/109: 2-4,

          
     

Terjemahnya:

Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan


kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, Dan
aku tidak pernah menjadi penyembah apayang kamu
sembah (Depag R.I., 1985: 111).

Lafaz ‫ الأعبد ما تعبدون‬sepintas tidak berbeda dengan lafal ‫وال‬


‫ أنا عابد ما عبدتم‬, pada hakikatnya memiliki perbedaan makna yang
mendalam. Dikatakan bahwa ‫ آل ان"""ا عابد‬mengandung unsur
kemustahilan –selalu dan selamanya- Muhammad tidak akan
menyembah tuhan quraisy (berhala), dan Muhammad Saw..
memposisikan diri sebagai ‫( عابد‬hamba) kepada Allah saja.
Sedangkan lafaz ‫ آل عابد‬hanya me-nafi-kan/menegasikan bahwa
Muhammad Saw.. tidak akan pernah menyembah berhala
mereka tanpa memposisikan diri sebagai ‫( عابد هللا‬hamba Allah)
(Al-Tabari, XVI, 2001: 661).
Dalam penjabaran kaedah ini terlihat kesatuan makna
logis dan keserasian yang mengagumkan dalam paparan
Alquran menyangkut kisah-kisah tentang umat
terdahulu.banyaknya pengulangan kisah-kisah yang terdapat
dalam berbagai surah mengindikasikan pentingnya hal tersebut
agar manusia dapat mengambil pelajaran dan ibrah dalam
mengurangi kehidupan di dunia ini.
Sebagai sebuah pemisalan, kisah tentang Nabi Musa a.s.
dan penentangnya Fir’aun, terdapat dalam Alquran diberbagai
surah. Pengulangan terjadi sebagai ta’kid (mempertegas)
adanya kisah tersebut, dan jika terkait dengan hukum-hukum
pada kisah-kisah tersebut tentunya ada perbedaan makna dari
segi subtansinya (isi) cerita. Semuanya terlihat serasi dan
walaupun berbeda dalam penetapan lafaznya.
3. Kaedah Ketiga

.‫العرب تكرر الشيء في اإل ستبعا دا له‬


Artinya:Kaum Arab mengulangi dalam bentuk
pertanyaan agar menjauhkan terjadinya hal tersebut (al-
Sabt, 1996: 22).

Sudah menjadi kebiasaan dikalangan bangsa Arab


dalam mennyampaikan suatu hal yang mustahil atau
kemungkinan kecil akan terjadi pada diri seseorang. Maka
bangsa Arab mempergunakan bentuk (‫“ )إس""تفهام‬pertanyaan”
tanpa menyebutkan maksudnya secara langsung. Maka
dipergunakan pengulangan guna menolak dan menjauhkan
terjadinya hal itu. Contohnya jika si A ragu dan tidak percaya
bahwa si B akan pergi berperang (‫ أأنت تجاه""د؟‬.‫( )أنت تجاه""د‬Syarf,
t.th.: 151), seperti halnya yang telah dicontohkan dalam Q.S. al-
Mu’minun/23: 35, yaitu:

       


       

Terjemahnya:

Apakah ia menjanjikan kepada kamu sekalian, bahwa bila


kamu telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang
belulang, kamu sesungguhnya akan dikeluarkan (dari
kuburmu)?.Jauh, jauh sekali (dari kebenaran) apa yang
diancamkan pada kamu itu (Depag R.I., 1985: 478).

Lafaz ‫هيه""ات هيه""ات‬, (jauh, jauh sekali) yang disebutkan


setelah lafaz yang berbentuk pertanyaan maenjadikannya hal
itu jauh sekali terjadi (tidak mungkin).

4. Kaedah Keempat

.‫التكرار يدل علي اإل عتناء‬


Artinya: Pengulangan penunjukan perhatian atas hal
tersebut (al-Sabt, 1996: 23).
Tidak diragukan lagi setiap hal yang mengalami
pengulangan berarti memiliki nilai tambah dan mutu tinggi
hingga membuatnya diperhatikan dan terus disebut-sebut.
Sebagai ilustrasi, buku yang bermutu dari segi penyampaian isi
akan digemari dan diperhatikan para pembaca hingga
berpengaruh pada jumlah pengulangan dalam pencetakannya
guna memenuhi kebutuhan dan tuntutan pembaca.
Begitu pula dengan sifat-sifat Allah Swt. Yang tertera
berulang kali dalam penulisan Alquran pada setiap surah,
kisah-kisah yang menggambarkan nikmat dan azab yang
ditimpakan kepada kaum terdahulu, dan janji-janji manis bagi
orang yang beriman. Kesemuanya itu harus mendapatkan
perhatian lebih dari manusia sebagai makhluknya guna
menggapai kabahagiaan di dunia dan akhirat (Syarf, t.th.: 709).
Allah berfirman dalam Q.S. al-Naba/78: 1-5,

         
        

Terjemahnya:

Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?. Tentang


berita yang besar. Yang mereka perselisihkan tentang ini.
Sekali-kali tidakkelak meraka akan mengetahui,.
Kemudian sekali-kali tidak; kelak mereka mengetahui
(Depag R.I., 1985: 864).

5. Kaedah Kelima

‫ بخل ف المعر فة‬,‫النكرة إذا تكررت دلت علي التعد د‬


Artinya: Jika nakirah (umum/tidak diketahui) mengalami
pengulangan maka ia menunjukkan berbilang, dan
sebaliknya ma’rifah (khusus/diketahui) (al-Sabt, 1996: 23).
Dalam kaedah bahasa Arab apabila isim (kata benda) disebut
dua kali, maka dalam hal ini ada empat kemungkinan, yaitu: (1)
keduanya adalah isim al-ma’rifah, (2) keduanya ism al-nakirah, (3)
pertama ism al-nakirah dan kedua ism al-ma’rifah, serta (4) pertama ism
al-ma’rifah dan kedua ism al-nakirah (Ichsan, 2002: 19).
Untuk jenis yang disebut pertama (kedua-duanya isim
ma’rifah) maka pada umumnya kaedah yang berlaku adalah
bahwa yang kedua pada hakekatnya adalah yang pertama
kecuali terdapat qarinah yang menghendaki makna selainnya,
Seperti firman Allah dalam Q.S. al-Fatihah/1: 6-7,

      


      

Terjemahnya:

Tunjukilah Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-


orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka;
bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat (Depag R.I., 1985: 1).

Lafaz sirat yang terdapat pada ayat di atas terulang dua


kali, pertama dalam bentuk ism al-marifah yang ditandai dengan
memberi kata sandang alif lam (‫ ;)الص""راط‬dan kedua dalam
bentuk marifah juga, yang ditandai dengan susunan idafah (‫صراط‬
‫)الذين‬. berdasarkan kaidah pertama berarti yang disebut kedua
sama dengan pertama.
Untuk jenis yang disebutkan kedua, (kedua-duanya
isim nakirah) maka kaidah yang berlaku adalah bahwa yang
kedua bukanlah yang pertama, seperti firman Allah dalam Q.S.
al-Rum/30: 54,

           
           
   

Terjemahnya:
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan
lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah
Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia
menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan
beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya
dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa
(Depag R.I., 1985: 57).
Lafazh (‫ )ضعف‬pada ayat di atas terulang tiga kali dalam
bentuk nakirah yang menurut kaidah bila terdapat dua ism al-
nakirah yang terulang dua kali maka yang kedua pada
hakekatnya bukanlah yang pertama. Dengan demikian, ketiga
lafazh dha’f memiliki makna yang berbeda-beda.
Menurut al-Qurtubi dalam tafsirnya jami’ li ahkam al-
Qur’an, arti (‫ )ضعف‬pertama adalah terbentuknya manusia dari (
‫“ )نطفت ضعيفة‬seperma yang lemah dan hina”, kemudian beranjak
ke fase ke dua yaitu (‫“ )حال""ة الض""عيفت في الطفول""ة والص""غر‬keadaan
menusia yang lemah pada masa awal kelahiran”, kemudian
ditutup dengan fase ketiga yaitu (‫)حال""ة الض""عيفة في اله""ر م والش""يخوخة‬
“keadaan lemah saat usia senja dan jompo” (al-Qurtubi, XI,
2002: 369).
Untuk kaedah ketiga (ism al-nakirah pertama dan al-
marifah kedua) dalam hal ini memiliki arti yang sama, sebagai
contoh firman Allah dalam Q.S. Muzzammil/73: 15-16,

      


       
   

Terjemahnya:

Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai


orang kafir Mekah) seorang rasul, yang menjadi saksi
terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus
(dahulu) seorang Rasul kepada Fir'aun. Maka Fir'aun
mendurhakai Rasul itu, lalu Kami siksa Dia dengan
siksaan yang berat (Depag R.I., 1985: 847).
Menurut M. Quraish Shihab, dalam ayat ini Allah
memberitahukan kepada kaum Quraish bahwa ia telah
mengutus (Muhammad) untuk menjadi saksi atas mereka
sebagai mana Allah mengutus kepada Fir’aun seorang rasul
yaitu nabi Musa as. kemudian mereka ingkar dan mendurhakai
nabi Musa as. dan menjadikan patung sapi menjadi
sembahannya. Berdasarkan kaidah yang ketiga ini, maka yang
dimaksud dengan rasul pada penyebutan kedua adalah sama
dengan yang pertama, yaitu nabi Musa. Jadi makna nabi pada
ayat 15 yang diutus kepada Fir’aun adalah juga nabi yang
diingkarinya pada ayat setelahnya (Shihab, 2007: 529).
Sementara itu untuk jenis yang disebutkan terakhir
(pertama isim ma’rifah dan kedua isim nakirah) maka kaidah
yang berlaku tergantung pada indikatornya (qarinah). Olehnya
itu terbagi ke dalam dua:

a. Adakalanya indikator menunjukkan bahwa keduanya


memiliki makna yang berbeda. Hal ini seperti yang
ditunjukkan oleh firman Allah dalam Q.S. al-Rum/30:
55,

       


     

Terjemahnya:

Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-


orang yang berdosa; "Mereka tidak berdiam (dalam
kubur) melainkan sesaat (saja)". seperti Demikianlah
mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran) (Depag R.I.,
1985: 847).

Lafaz (‫ )السا عة‬pada ayat di atas terulang sebanyak dua


kali, yang pertama menunjukkan isim ma’rifa sedang kedua
menunjukkan isim al-nakirah.
Dalam kasus ini lafaz yang disebutkan kedua pada
hakikatnya bukanlah yang pertama. Pengertian ini dapat
diketahui dari siyaq al-kalam dimana yang pertama berarti (‫يوم‬
‫“ )الحس""اب‬hari kiamat” sedangkan yang kedua lebih terkait
dengan waktu.

b. Disisi lain ada indikator yang menyatakan bahwa


keduanya adalah sama, contohnya firman Allah dalam
Q.S. al-Zumar/39: 27-28,

        


       
  

Terjemahnya:

Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam


Al Quran ini Setiap macam perumpamaan supaya
mereka dapat pelajaran. (ialah) Al Quran dalam bahasa
Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya
mereka bertakwa (Depag R.I., 1985: 663).

Lafaz (‫ )القرأن‬pada ayat di atas juga terulang sebanyak


dua kali, yaitu pertama dalam bentuk ism al-marifah dan yang
kedua dalam bentuk isim al-nakirah. Dalam kasus ini yang
dimaksud dengan Alquran yang disebut kedua hakikatnya
sama dengan Alquran yang disebutkan pertama (al-Sabat, 1996:
714). Hal ini memerlukan pengetahuan yang tepat tentangnya
untuk menempatkan pada makna yang proporsional.

D. Fungsi Tikrar

Dalam buku al-itqan fi ‘ulum Alquran karya Jalaluddin


Abdurrahman al-Suyuthi diuraikan dengan jelas tentang fungsi
dari penggunaan tikrar dalam al-Qur’an. Diantaranya fungsi-
fungsinya, yaitu seperti kata al-Suyuthi (II, t.th.: 153).

1. Ucapan jika terulang berfungsi menetapkan (‫الكلل م إذا تكرر‬


‫)تقرر‬
Telah dijelaskan di atas bahwa banyak ayat yang
berulang kali menuntut tikrar akan keberadaan nikmat, azab,
kisah, yang dijelaskan Allah dalam al-Qul’an. Ini sejalan
dengan fungsi dasar dari kaedah tikrar bahwa setiap perkataan
yang terulang membutuhkan iqrar (ketetapan) atas hal tersebut.
Contoh Allah berfirman Q.S. al-An’am/7: 19,

          


        
           
         
 

Terjemahnya:

Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?"


Katakanlah: "Allah". Dia menjadi saksi antara aku dan
kamu. dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya
dengan Dia aku memberi peringatan kepadamu dan
kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya).
Apakah Sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada
tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku
tidak mengakui." Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah
Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku berlepas
diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)"
(Depag R.I., 1985: 174).

2. Ta’kid (penegasan) dan menuntut perhatian lebih (


‫)تأكيدوزيادة التنبيه‬

Agar pembicaraan seorang dapat diperhatikan secara


maksimal maka dipakailah pengulangan tikrar agar si obyek
yang ditemani berbicara memberikan perhatian lebih
ataspembicaraan tadi (Depag R.I., 1985: 154). Contohnya Allah
berfirman dalam Q.S. al-Mu’min/40: 38-39,
       
       
    

Terjemahnya:

Orang yang beriman itu berkata: "Hai kaumku, ikutilah


Aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar.
Hai kaumku, Sesungguhnya kehidupan dunia ini
hanyalah kesenangan (sementara) dan Sesungguhnya
akhirat Itulah negeri yang kekal (Depag R.I., 1985: 667).

3. Pembaharuan terhadap penyampaian yang telah lalu (


‫)التجديد لعهده‬
Jika ditakutkan poin-poin inti yang disampaikan hilang
atau dilipakan akibat terlalu panjang lebarnya pembicaraan
yang berlalu maka, diulangilah untuk kedua kalinya atau lebih
guna menyegarkan kembali ingatan para pendengar.
Contohnya dalam Alquran Allah berfirman dalam Q.S. al-
Baqarah/2: 89,

        


       
        
 

Terjemahnya:

Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah


yang membenarkan apa yang ada pada mereka, Padahal
sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi)
untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir,
Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah
mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka
la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu (Depag
R.I., 1985: 17).
Pada ayat tersebut pengulangan dimaksudkan untuk
menghubungkan kembali pembicaraan awal yang sudah
panjang. Hal ini bertujuan untuk menyegarkan ingatan
pendengar mengenai pokok pembicaraan awal. Pembicaraan
yang panjang seharusnya tidak mengacauakan ingatan
audience.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama R.I. 1985. Al-Qur’an dan Terjemahannya


(Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an
Departemen Agama R.I. Pelita IV.
Ibnu Zakariya, Ahmad Ibn Faris. 1991. Mu’jam Maqayis al-
Lughah. Juz IV, Baerut: Dar al-Jail.
Ichsan, Nor. 2002. Memahami Bahasa al-Qur’an. Cet. I;
Semarang; Pustaka Belajar.
Qurthubi, Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-. 2002. Jami’ li
ahkam al-Qur’an. Juz XI, Kairo; Dar al-Hadits.
Sabt, Khalid ibn Uthman al-. 1996. Mukhtasar fi Qawa‘id al-
Tafsir. Cet. I; Saudi Arabia: Dar ibn ‘Affan.
Sabt, Khalid Uthman al-. 1996. Qawa‘id al-Tafsir. Cet. I; Saudi
Arabia: Dar ibn ‘Affan.
Shihab, M. Quraish. 2007. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Qur’an. Juz XIV, (Cet. VII; Tanggerang:
Lentera Hati.
Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman al-. t.th. al-Itqan fi Ulum al-
Qur’an. Juz II, (airo: Maktabah Taufiqiyyah.
Syarf, Hafni Muhammad. t.th. Syarh badi al-Qur’an li’ibn Abi al-
Isba al-Anshari. Cet. II; Kairo: Dar Nahdah.
Thabari, Abu Ja‘far Muhammad ibn Jarir Al-. 2001. Tafsir al-
Tabari: Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an. Juz XVI,
Cet. I; Cairo: Markaz al-Buhuth wa al-Dirasat al-
Arabiyyat al-Islamiyyah, al-Maktabat al-Syamilah, ver.
2 [softwere].
Zaq-zuq, Hamdi. 2004. Mausu‘ah ‘Ulum al-Qur’an al-
Mutakhassisah. Kairo: Majlis al-A’la li Syu‘un al-
Islamiyah, 2004.

BAB XIV
KAIDAH RASM ALQURAN

A. Kaidah Rasm al-Qur’an


Alquran sebagai Kalam atau Firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan pembacanya
merupakan suatu ibadah (al-Qattan, 1973: 21), telah melahirkan
keyakinan bagi umat Islam bahwasanya keautentikan Alquran
tidak saja didukung oleh fakta-fakta sejarah, tetapi juga karena
adanya jaminan dari Allah Swt. (Qs. Al-Hijr/15: 9).
Sejarah menunjukkan bahwa Alquran secara berangsur-
angsur dalam kurun waktu yang panjang dengan ragam situasi
yang berbeda-beda, yaitu selama kurang lebih 23 tahun sampai
akhir hidup Rasulullah (as-Shalih, 1993: 54). Pada saat itu,
upaya pelestarian Alquran selain dihafal oleh para sahabat,
juga dicatat dan ditulis oleh para juru tulis wahyu yang
ditunjuk oleh beliau diantaranya Abu Bakar ash-Shiddieq,
Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Thalib,
Mu’awiyah, Khalil bin Walid, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin
Tsabit, dengan cara menertibkan ayat-ayatnya dan surah-surah
tertentu sesuai dengan petunjuk beliau. Ayat-ayat Alquran
tersebut ditulis secara terpisah-pisah pada kepingan-kepingan
tulang, pelepah-pelepah kurma, serta batu-batuan (Hasanuddin
AF, 1995: 49).
Setelah Nabi Saw. wafat, Abu Bakar diangkat menjadi
khalifah. Kekhawatiran akan adanya kemungkinan hilangnya sesuatu
dari Alquran setelah gugurnya sahabat penghafal Alquran pada
perang Yamamah, memotivasi beliau untuk mengumpulkannya
dalam satu mushaf, yaitu menghimpun dan menyalin kembali
catatan-catatan dan tulisan-tulisan Alquran berdasarkan tertib surat-
suratnya menurut urutan turunnya wahyu (Hasanuddin AF, 1995:
59).
Perbedaan bacaan (qira’ah) terjadi dan mencapai
puncaknya pada masa Khalifah Utsman bin Affan, di mana
dunia Islam telah mengalami banyak perkembangan. Wilayah
Islam semakin luas dan kebutuhan umat mengkaji Alquran
semakin meningkat. Untuk mengatasi persoalan tersebut,
Khalifah Utsman pun mengambil kebijakan berdasarkan
kesepakatan yaitu menyalin kembali mushaf yang ditulis pada
masa Abu Bakar menjadi beberapa mushaf. Kemudian mushaf
tersebut dikirim ke beberapa kota atau daerah (Shihab dkk,
2008): 29-30).
Penyebarluasan teks pada masa Utsman merupakan
kemajuan besar dalam upaya penyeragaman (Watt, 1998: 40),
namun dengan semakin luasnya wilayah Islam yang mencapai
hampir keseluruh dunia dan ketika itu pula bahasa Arab mulai
bercampur dengan bahasa non Arab, maka penguasa
(baca:Khalifah) merasa pentingnya perbaikan penulisan mushaf
dengan syakal, titik dan lain-lain (al-Qattan, 1973: 150).

B. Pengertian dan Kaidah-kaidah Rasm Alquran


1. Pengertian Rasm Alquran

Kata rasm terdiri dari tiga huruf ‫س م ر‬adalah bentuk


masdar dari fi’il‫ رسم‬, yang berarti digambar atau dilukis.
(Munawir, 1997: . 439). Dapat juga diartikan bekas atau tulisan
(Ma’ruf, 1973: 259). Sedang pengertian secara terminologi adalah
sebagai berikut:
Muhammad Abd. Azim al-Zarqaniy: “Tata cara
menuliskan Alquran yang ditetapkan pada masa Khalifah
Utsman bin Affan yang ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu
(al-Zarqaniy, 1998: 438).
Majma al-Buhus al-Ismiyyah: “Ketentuan atau pola yang
digunakan Utsman bin Affan bersama sahabat-sahabat lainnya
dalam penulisan Alquran, berkaitan dengan huruf-hurufnya,
yang terdapat dalam mushaf-mushaf yang dikirim ke berbagai
daerah dan kota, serta mushaf yang berada ditangan Utsman
sendiri” ( Hasanuddin AF, 1995: 79).
Manna Khalil al-Qattan: “Rasm Alquran diidentikan dengan
nama rasm Utsmani yaitu metode khusus penulisan Alquran yang
dilakukan oleh Zaid bin Tsabit yang mendapat persetujuan Utsman”
(al-Qattan, 1973: 146).
Berdasarkan pengertian diatas, maka jelaslah bahwa
rasm Alquran atau rasm al-Mushaf adalah suatu metode atau
cara penulisan Alquran berdasarkan kaidah-kaidah atau pola
penulisan Alquran yang dipergunakan oleh khalifah Utsman
bin Affan dan sahabat-sahabatnya dalam menulis dan
membukukan Alquran.

2. Kaidah-kaidah Rasm Alquran

Para ulama menjelaskan beberapa kaidah yang berlaku


pada penulisan Alquran dalam Mushaf Utsmani yang meliputi
6 hal yaitu:

1. Penghapusan (al-hadz), seperti penghapusan huruf-


huruf berikut:
a) Huruf alif yang terdapat pada‫( ي"""ا ء الن"""دااء‬ya’ seruan)
sebagaimana yang tercantum dalam bunyi ayat (‫)ياايهااالن""اس‬,
dari ha-al tanbih (peringatan) sebagaimana yang tercantum
dalam bunyi ayat ( ‫) هانتم هؤالء‬, huruf alif yang terdapat pada (
‫ ) نا‬apabila diikuti oleh suatu damir (kata ganti), seperti (
‫ )انجينكم‬dan ( ‫) واتينه‬, huruf alif yang terdapat pada setiap
bentuk jamak sahih, baik untuk jamak muanants orang
perempuan yang banyak), seperti lafazh ‫ القانتات‬dan lainnya,
serta huruf alif yang terdapat pada setiap bentuk jamak yang
menyerupai wazan ‫ مفاعل‬dan yang serupa dengannya, seperti
lafazh ‫ مس"""جد‬,‫ النص"""ري‬selain lafazh-lafazh yang memiliki
kekecualian.
b) Menghilangkan huruf ya’ yaitu huruf ya’ dibuang dari
manqush munawwan (bertanwin) baik berharakat rafa’
maupun jarr ( ‫)والعاد غيرب"اغ‬, menghilangkan huruf ya’ pada
kata (‫ )وأطيع""ون‬dan ( ‫ )اتق""ون‬selain yang dikecualikan seperti
dalam surah Yasin ( ‫)واخشون‬, surah al-Baqarah (‫ ) كي""دون‬dan
sebagainnya.
c) Menghilangkan huruf waw, yaitu yang terletak
bergandengan (‫ )اليستون‬dan ( ‫) الكهف فأواإلي‬.
d) Menghilangkan huruf lam, jika keadaan idgham ( ‫ ) اليل‬dan (
‫ ) الذي‬kecuali yang dianggap eksepsi.

Disamping itu, ada beberapa penghilangan huruf yang


tidak termasuk kaidah, misalnya penghilangan huruf alif pada
kata (‫ )مالك‬dan menghilangkan huruf ya’ dari kata (‫ )ابراهيم‬serta
menghilangkan huruf waw dari empat kata kerja ‫ ويدع‬,‫الزبانية و‬
‫ سندع‬,‫ يوميدع الدال‬,‫ ويمح هللا البا طل‬,‫االنسانن‬

2. Penambahan huruf (‫)الزيادة‬

Penambahan ini yaitu alif setelah waw pada akhir setiap


isim jamak atau yang mempunyai hukum jamak, misalnya ‫اولوا‬
‫ ملق""وا ربهم‬,‫ الالبب‬disamping itu menambah alif setelah hamzah
marsumah waw (hamzah yang terletak diatas tulisan waw)
misalnya ‫ تاهللا تفتؤا‬asalnya ditulis ‫ تاهللا تفتاء‬. Demikian pula (‫) الرسوال‬
dalam ayat (‫ ) واطعناالرس""وال‬dan ( ‫) فاءضلوناالس""بال‬. Demikian juga
penambahan huruf ya’ pada ayat ( ‫ ) ب"""آييكم المفقت"""ون‬atau
penambahan waw pada kata ‫ اوالء‬, ‫ آولوا‬dan ‫ اوالت‬serta ‫اولئك‬
dan sebagainya.

3. Kaidah hamzah ( ‫) الهمزة‬


a) Al-Hamzah as-Sakinah yang aslinya ditulis diatas yang sesuai
dengan harakah sebelumnya, baik diawal , tengah maupun
akhir: ‫ ائ"ذ ن‬,‫ الباس""اء‬dan lain-lain, kecuali kata-kata tertentu (
‫ ) ورء يا‬huruf dihilangkan, dan dhammah ditulis menyendiri.
b) Al-Hamzah al-Mutaharrika, apabila berada diawal kata atau
digabungkan dengan huruf tambahan, hamzah tersebut
ditulis dengan alif secara mutlak, baik berharakat fathah,
dhammah maupun kasrah. Misalnya: ‫ فب"""ائ‬,‫اول"""وا‬. Kecuali
ditempat-tempat tertentu seperti (‫ ) قل ائنكم لتكفرون‬dalam surat
fus}s}ilat dll.
4. Menggantikan huruf dengan huruf lain ( ‫) البدل‬
a) Huruf alif diganti dengan huruf waw. Misalnya ‫الص"""الة‬
menjadi ‫الصلوة‬
b) Huruf ya’ menggantikan huruf alif, contoh "‫ يتوفاكم‬menjadi
‫يتوفيكم‬
c) Huruf ta ta’nis diganti dengan huruf ta’ mafthuhah, contoh
kata ‫ رحمة‬menjadi ‫رحمت‬
d) Huruf alif diganti dengan nun tajwid pada kata ‫ اذا‬. Misalnya
‫اذن‬
5. Menyambung dan memisahkan huruf ( ‫) الوصل والفصل‬

Penggabungan kata dalam penulisan mushaf dengan


metode rasm Utsmani bisa dilihat dalam penulisan kata ‫ ان‬yang
bertemu dengan kata ‫ ال‬menjadi ‫ اال‬dan kata ‫ من‬menjadi ‫مما‬
dan juga kata-kata ‫ كل‬, ‫ ان‬, ‫عن‬ apabila bertemu dengan ‫م‬
maka akan menjadi ‫ اما‬، ‫ عن‬، ‫ كلم""ا‬kecuali pada firman Allah
yang berbunyi: ‫ من كل ما سا ء التموه‬pada QS. Al Ibrahim: 34 dan
‫ كل ما ردواالى الفتنة‬yang harus dipisahkan.

6. Kata yang bisa dibaca dua bunyi ( ‫) ما فيه قرا ءتانن‬

Suatu kata yang boleh dibaca dua bunyi, penulisannya


disesuaikan dengan salah satu bunyinya, misalnya dalam
firman: ‫ ملك يوم الدين‬, lafadz tersebut bisa ditulis ‫ما ل""ك ي"وم ال""دين‬
(Abu Syubah, 1991: 303-307; Al-Suyuti, t.th.: 166-170; al-
Zarqaniy, 1998: 446-444).
C. Sejarah Perkembangan Rasm Alquran
Ketika pasukan Syam bersama pasukan Irak berperang
membela dakwah agama Islam di Armenia dan Adzerbaijan,
Hudzaifah bi al-Yaman datang menghadap khalifah Ustman.
Hudzaifah mengutarakan kekhawatirannya tentang perbedaan
bacaan Alquran dikalangan muslimin. Kepada Utsman,
Khudzaifah berkata: “Ya Amirul Mukminin, persatukan segera
umat ini sebelum mereka berselisih mengenai Kitabullah
sebagaimana yang terjadi di kalangan Yahudi dan Nasrani” (as-
Shalih, 1993: 99). Khalifah Utsman kemudian meminta Hafsah
untuk mengirimkan kepadanya mushaf yang disimpan untuk
disalin menjadi beberapa naskah. Hafsah lalu mengirimkan
mushaf yang disimpannya kepada Utsman. Khalifah kemudian
memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin
al-Ash dan Abdurahman bin al-Harits bin Hisyam supaya
bekerja bersama sama menyalin mushaf menjadi beberapa
naskah. Kepada tiga orang Quraisy diantara mereka itu Ustman
berpesan: “kalau terjadi perbedaan antara kalian dan Zaid bin
Tsabit mengenai sesuatu tentang Alquran, maka tulislah
menurut dialek Quraisy, karena Alquran diturunkan dalam
bahasa mereka” (as-Shalih, 1993: 99). Setelah tim selesai
menyalin mushaf menjadi beberapa naskah, kemudian naskah
tersebut dikirim ke beberapa daerah. Sedangkan mushaf yang
asli dikembalikan kepada Hafsah. Bersamaan dengan itu,
khalifah Usman memerintahkan supaya catatan tentang ayat-
ayat Alquran atau mushaf-mushaf lain yang bertebaran
dikalangan muslimin, segera dibakar (Wahid, 2002: 30).
Dalam pada itu, latar belakang dibukukannya pada
periode itu, karena Utsman bin Affan melihat banyak
perbedaan cara-cara membaca Alquran. Sebagian bacaan itu
bercampur dengan kesalahan; tetapi masing-masing
mempertahankan dan berpegang pada bacanya, serta
menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan
bahkan mereka saling mengkafirkan. Para sahabat amat
memprihatinkan kenyataan ini karena khawatir jika seandainya
perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan
perubahan. Mereka sepakat untuk menyatukan umat Islam
pada mushaf itu dengan bacaan yang tetap pada suatu bahasa,
yakni bahasa Quraisy (Mardan, 2009: 71-72).
Sebenarnya perbedaan bacaan maupun penulisan pada
awal pemerintahan Utsman semakin mencolok, menyebabkan
perselisihan dikalangan umat Islam pada saat itu, salah satu
contohnya dalam QS. al-Baqarah ayat 248, Zaid berpendapat
kata ‫( تب""وة‬ditulis dengan huruf ‫ ) ه‬sementara panitia lain
berpendapat ditulis ‫( تابوت‬dengan huruf ‫) ت‬. Namun Utsman
menginstruksikan mengikuti pendapat kedua yaitu mengikuti
dialeg Quraisy. Oleh karena itu penyeragaman teks yang
dilakukan oleh khalifah ketika Utsman bin Affan wafat lewat
pengumpulan resmi Alquran merupakan tonggak awal upaya
standarisasi teks maupun bacaan Alquran (Amal, 2011: 273)
dan pemeliharaan rasm Utsmani adalah jaminan kuat bagi
penjagaan Qur,an dari perubahan dan pergantian huruf-
hurufnya (al-Qattan, 1995; 149).
Sejarah menunjukkan bahwa mushaf Utsmani yang ditulis
oleh panitia empat yaitu Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-Ash, Abd.
Al-Rahman bin al-Harits, dan Zaid bin Tsabit (riwayat Ibn Abi Daud
berpendapat 12 orang), (ash Shiddieqy, 1992: 88) belum bertitik dan
bersyakl (harakat) dan tanda-tanda tersebut belumlah dikenal pada
waktu itu. Namun para sahabat Nabi dan kaum Muslimin dapat
membaca Alquran dengan benar (Hasanuddin AF, 1993: 93). Hal
ini telah dilakukan selama 40 tahun (al-Qattan, 1995: 151).
Seiring dengan semakin luasnya wilayah Islam yang
mencapai hampir keseluruh dunia dan ketika itu pula bahasa
Arab mulai bercampur dengan bahasa non Arab, maka
penguasa pada saat itu merasa perlu adanya pembubuhan
tanda-tanda baca (syakl) dan tanda-tanda huruf dalam
penulisan Alquran (Hasanuddin AF, 1995: 93).
Upaya pemberian tanda-tanda baca (syakl) yaitu pada
saat khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan (661-680). Gubernur
Basrah pada saat itu Ziyad bin Samiyah (w. 673) meminta
kepada Abu al-Aswad al-ADu’ali (c. 605-658) agar menciptakan
tanda-tanda baca. Namun, al-Du’ali tidak langsung
mengabulkan permintaan Ziyad, namun setelah menemukan
kekeliruan yang terjadi, ketika itu seseorang membaca ayat 3
surah al-Taubah. Ayat itu dibaca:‫ان هللا ب""ريئ من المش""ركين ورس""وله‬,
padahal seharusnya bunyi potongan ayat itu adalah ‫من المشركين‬
‫ ورس""لة ان هللا ب""ريئ‬. Abu Aswad terkejut. Ia langsung berucap:
“Maha besar Allah; bagaimana mungkin Allah melepas diri
dari Rasul-Nya” (Marzuku, 1994: 83). Abu As-Wad al-Du’ali
lalu menemui Ziyad dan menyanggupi permintaan
penyempurnaan terhadap rasm Alquran. Ia kemudian
memperkenalkan tanda-tanda vocal penting, yakni titik di atas
huruf untuk vocal fathah, titik di bawah huruf untuk vocal
kasrah dan titik dengan huruf untuk vocal dhammah, dan untuk
sukun berupa dua titik (Shihab dkk, 2008: 34).
Dalam proses perbaikan itu, sebagian para ahli riwayat
berpendapat, orang pertama yang meletakkan tanda baca
berupa titik-titik pada mushaf adalah Yahya bin Yamar. Sampai
saat ini tidak ada bukti ditangan kita yang mengatakan bahwa
Yahya bin Ta’mar adalah benar orang pertama yang
meletakkan tanda baca itu, kecuali jika yang dmaksudkan
bahwa Yahya bin ‘Amr yang mulai meletakkan tanda baca
pada mushaf itu di kota Muruw. Kisah peranan Yahya bin ‘Amr
mencapai puncak kemasyhurannya ketika Ibnu Khalkan
mengatakan, Ibnu Sirin mempiunyai mushaf yang huruf-
hurufnya sudah bertitik sebagai tanda baca yang diletakkan
oleh Yahya bin ‘Amr. Sebagaimana diketahui, Ibnu Sirin
meninggal tahun 110 Hijriyah. Dengan demikian ia tentu saja
sudah mengenal mushaf yang penulisannya dilengkapi dengan
huruf-huruf bertitik dan disempurnakan dengan syakl sebagai
tanda bunyi suara. Jadi hal tersebut di atas memang
merupakan soal besar, dsan tidak mudah diterima begitu saja
oleh semua orang (as-Shalih, 1993: 119).
Seperti diketahui bahwa aksara yang asli digunakan
untuk menulis Alquran (scripto defectiva) masih memberikan
peluang terjadinya perbedan dalam membaca Alquran bagi
umat Islam pada saat itu. Selain non-eksitensi tanda-tanda
vocal, sejumlah konsonan yang berbeda dalam aksara ini
dilambangkan dengan simbol-simbol yang sama. Misalnya
dalam surah al-Baqarah: 259 kerangka consonantal ( ‫ ) سس""رها‬,
dibaca dalam mushaf resmi ( ‫) ننش""ج ها‬, sedangkan Ubay bin
Ka’ab membacanya ( ‫ ) ننشر ها‬serta contoh-contoh lainnya (as-
Shalih, 1993: 273-274).
Pertumbuhan tanda baca (syakl) selanjutnya
dikembangkan lagi pada masa kekhalifahan Abbasiyah oleh
murid al-Du’ali yaitu al-Khalil bin Ahmad (c. 718-786). Ia
membubuhkan huruf alif ( ‫ )ا‬kecil di atas untuk vocal a, huruf
ya ( ‫ ) ي‬kecil di bawah huruf vocal i, huruf waw ( ‫ )و‬kecil di
depan huruf untuk tanda vocal u, serta menggandakan tanda-
tanda vocal ini untuk melambangkan vocal rangkap (tanwin).
Adapun tanda sukun (mati) yaitu dengan membubuhkan
kepala huruf ha ( ‫ ) ح‬yang terletak di atas huruf dan tanda
tasydid dengan membubuhkan tanda kepala huruf sin (‫ ) س‬yang
terletak diatas huruf (as-Shalih, 1993: 273-274).
Perbaikan bentuk tulisan (scripto plena) tidak terjadi
sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur dari generasi ke
geneasi hingga mencapai puncak keindahannya sampai akhir
abad ke-13 Hijriyah dan kaum Muslimin pada saat itu
berlomba-lomba menulis mushaf dengan tulisan (khat) seindah
mungkin. Begitu juga tanda baca yang istimewa seperti tanda
huruf bertasdid dengan membubuhkan garis setengah
lingkaran di atasnya, membuat tanda alif mashal (huruf alif
penghubung di depan nama benda dan tidak dibaca) dengan
membubuhkan garis tarik diatas, dibawah atau ditengah
tergantung pada bunyi suara huruf sebelumnya; fathah, kasrah
atau dhammah (al-Zarqaniy, 1998: 40).
Berbagai usaha penyempurnaan dengan memakan
waktu yang sangat lama dan tidak berlangsung mulus karena
banyak kontroversi dikalangan Ulama dan sarjana Muslim,
akhirnya ragam penulisan (rasm) inipun mendapat justifikasi
hingga mencapai bentuk yang klita kenal dan kita gunakan
sampai saat ini.
D. Perbedaan Pandangan Ulama tentang Rasm Alquran
Terkait dengan ragam penulisan (rasm) Alquran, terjadi
perbedaan pendapat dikalangan para Ulama, yaitu:
1. Sebagian Ulama berpendapat bahwa rasm dalam Mushaf
Utsmani bersifat tauqifi yang wajib dipakai dalam penulisan
Alquran dan harus sungguh disucikan. Mereka
menisbahkan kepada Nabi (al-Qattan, 1995: 151).

،‫ أل""ق ال""دواة‬:‫ أحدالكتب""ة ال""وحى‬،‫فذكرواان""ه ق""ل لمعاوي""ة‬


‫ والتع""رون‬،‫ وف""رق" الس""ين‬،‫ وانص""ب الي""اء‬،‫وحرف "ف" القلم‬
‫ وضع قلم""ك‬،‫ وجودالرحيم‬،‫ ومد الر حمن‬،‫ وحسن هللا‬،‫الميم‬
‫ فا نه ادكرلك‬،‫على ادنك اليسرى‬

“Mereka mengatakan bahwa Nabi pernah mengatakan


kepada Mu’awiyah, salah seorang penulis wahyu;
“letakkanlah tinta, pergunakan pena, tegakkan ”ya”,
bedakan “sin”, jangan kamu miringkan “mim”, baguskan
tulisan lafal “Allah”, panjangkan “Ar-Rahman”, baguskan
“Ár-Rahim” dan letakkan penamu pada telinga kirimu
karena yang demikian akan lebih dapat mengingat kamu”.
Pendapat ini juga dipegang oleh Imam Ahmad bin Hambal,
bahwa haram hukumnya menyalahi rasm Utsmani (al-Rumi,
2002: 185; as- Shiddieqy, 1992: 95-96). Adapun alasan yang
dikemukakan oleh mereka bahwa rasm Utsmani bisa
dikatakan mendapat persetujuan Nabi, karena para sahabat
menggunakan tulisan ini pada saat kehadirannya dan
dibawah supervisinya (Amal, 2011: 286), dalam arti kata
bahwa penulisan rasm Utsmani dilakukan oleh para juru tulis
wahyu dihadapan Nabi Saw. dan apa yang dilakukan oleh
mereka telah di-takrir-kan oleh beliau (Hasanuddin AF, 1995:
86).
2. Jumhur Ulama berpendapat bahwa rasm Ustmani bukan
taufiqy dari Nabi, tetapi hanya merupakan satu cara
penulisan yang disetujui Utsman dan diterima umat dengan
baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib
dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar (al-Qattan,
1995: 147). Lebih lanjut Subhi al-Shalih mengatakan tidak
logis mengatakan bahwa rasm Ustmani adalah tauqify
(petunjuk dari Nabi). Tetapi yang benar adalah bahwa para
penulis mushaf pada zaman Utsman sepakat menggunakan
istilah ”Rasm Alquran” dan itu disetujui oleh Khalifah.
Bahkan Khalifah sempat mengatakan bahwa jika kalian
berbeda pendapat tulislah menurut bahasa Quraisy karena
Alquran diturunkan dengan bahasa mereka (as-Shalih, 1993:
365).
3. Sebagian orang berpendapat bahwa rasm Utsman hanya
sebuah istilah, tata cara, sehingga tidak ada salahnya jika
menyalahi bila orang telah mempergunakan satu rasm
tertentu untuk ilma’ dan rasm tersiar luas diantara mereka
(al-Qattan, 1995: 148).
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, menurut
Hasanuddin bahwa penulisan Alquran secara utuh sebagai
kitab suci umat Islam mesti mengikuti dan berpedoman kepada
rasm Alquran. Hal ini dengan pertimbangan-pertimbangan
sebagai berikut:
1. Agar umat di seluruh dunia memiliki kitab suci yang
seragam dalam pola penulisannya, sesuai dengan pedoman
aslinya.
2. Pola penulisan Alquran dengan rasm Utsmani, kalau pun
jika tidak bersifat tauqify, minimal merupakan ijma’ atau
kesepakatan para sahabat Nabi. Ijma’ sahabat memiliki
kekuatan hukum tersendiri yang wajib diikuti, termaksud
dalam pola penulisan Alquran dengan rasm Utsmani (bila
dimaksud sebagai kitab suci secara utuh).
3. Pola penulisan Alquran berdasarkan rasm Utsmani boleh
dikatakan sebagian besar sesuai dengan kaidah-kaidah rasm
imla’, dan hanya sebagian kecil saja yang menyalahi atau
berbeda dengan rasm imla’i (Hasanuddin AF, 1995: 90-91).
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, penulis
sepakat bahwa penulisan Alquran (rasm Alquran) sangat
diperlukan oleh umat Islam pada umumnya dan kembali pada
motovasi atau tujuan awal adalah mencapai kemaslahatan
bahwa adanya rasm Alquran sebagai upaya menghindari
perbedaan bacaan dan penulisan Alquran yang dapat
menyebabkan perselisihan bahkan antar umat Islam.
E. Manfaat Rasm Alquran
Mengikuti rasm Utsmani memberikan manfaat
diantaranya sebagai berikut:
1. Memelihara dan melestarikan penulisan Alquran pada awal
penulisan pembukuannya.
2. Memberi kemungkinan pada lafadz yang sama untuk
dengan versi qira’at yang berbeda, seperti firman Allah
berikut ini:
)‫ومايخدعون االانفسهمم (البقرة‬
Lafadz ( ‫ ) يخدعون‬dalam ayat diatas, bisa dibaca menurut
versi qira’at lainnya yaitu ( ‫) يخ""ادعون‬. Sementara kalau
ditulis ( ‫ ) يخ""ادعون‬tidak memberi kemungkinan dibaca
‫يخدعون‬
3. Kemungkinan dapat menunjukkan makna atau maksud
yang tersembunyi, dalam ayat-ayat tertentu yang
penulisannya menyalahi rasm imla”, seperti dalam firman
Allah sebagai berikut:
)‫والسماءبنيناهابأايدوإنالموسعون (الذاريات‬
Menurut Ulama’, lafadz ( ‫ ) باييد‬ditulis dengan huruf ganda ‫ى‬
) ‫( الي""اء‬, karena memberi isyarat akan kebesaran kekuasaan
Allah Swt. khususnya dalam penciptaan langit dan alam
semesta.
4. Kemungkinan dapat menunjukkan keaslian harakat (syakl)
suatu lafadz, seperti penambahan huruf ) ‫ و ( الواو‬pada ayat (
‫) سأوريكم دارالفاسقون‬, dan penambahan huruf ) ‫ ى ( الياء‬pada ayat
( ‫( )وإيت""اءذ الق""ربى‬Abu Syubbah, 1991:  143-144). Pakar bahasa
Alquran berbeda tentangnya.

D. Khatimah

Berdasarkan uraian tentang rasm Alquran dan


perkembangannya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Rasm Alquran adalah suatu metode penulisan dengan


berpedoman kepada kaidah-kaidah atau pola penulisan
Alquran yang dipergunakan oleh khalifah Utsman bin Affan
dan sahaabat-sahabatnya dalam menulis dan membukukan
Alquran. Adapun kaidah yang dimaksud adalah; al-Hazf, al-
Ziyadah, al-Hamz, al-Badl, al-Fashl, Ma fi Qiraataini (Kata yang
bisa dibaca dua bunyi).
2. Penyerangan teks yang dilakukan oleh khalifah Utsman bin
Affan lewat pengumpulan resmi Alquran yang dipimpin
oleh Zaid bin Tsabit, kenudian dilanjutkan pada masa
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, pemberian tanda-tanda vocal
(titik diakritis), atas perintah Ziyad bin Samiyah (Gubernur
Basrah) kepada Abu Aswad al-Du’ali. Selanjutnya tanda
baca (syakl) dikembangkan lagi pada masa kekhalifah
Abbasiyah oleh murid al-Du’ali yaitu al-Khalil bin Ahmad
dan mencapai puncak keindahannya sampai akhir abad ke-3
Hijriyah.
3. Sebagian Ulama berpendapat rasm Alquran tauqifi tetapi
kesepakatan para sahabat, sebagian lagi mengatakan hanya
istilah dari tata cara penulisan Alquran.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahid, Ramli. 2002. Ulumul Qur’an. Cet. IV; Jakarta; PT.
Raja Grafundo Persada.
Abu Syubah, Muhammad bin Muhammad. 1991. Al-Madkhal
Lidirasati al-Qur’an al-Karim. Maktabah Sunnah.
AF, Hasanuddin. 1995. Anatomi al-Qur’an, Perbedaan Qira’at dan
pengaruhnya Terhadap Istimbath Hukum dalam al-Qur’an.
Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Amal, Taufik Adnan. 2011. Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an. Cet. I;
Yogyakarta: Forum kajian Agama dan Budaya (FkBK).
Ma’ruf, Lois. 1973. Al Munjid al-Lughah wa A’lam. Cet. XXI,
Beirut; Dar al-Misriq.
Mardan. 2009. Al-Qur’an; Sebuah Pengantua Memahami Al-
Qur’an Secara Utuh. Cet.I; Jakarta: Pustaka Mapan.
Munawir, Ahmad Warson. 1997. Kamis al-Munawir Arab
Indonesia. Cet. XIV; Yogyakarta: Pustaka Progesif.
Murzuki, Kamaluddin. 1994. Ulum al-Qur’an. Cet. II; Bandung;
PT. Remaja Rodaskarya.
Qaththan, Manna Khalil al-. 1973. Mabahis fi Ulum al-Qur’an.
Cet. III; Beirut; Mansyuriyat li al-Asr al-Hadits.
Rumi, Fahri bin Abd. Rahman Sulaiman al-. 2002. Khasais al-
Qur’an al-Karim. Riyadh: Mamlukah al-Arabiyah As-
Su’udiyah.
Shalih, Subhi as-. “Mabahis f Ulumil Qur’an”. 1993. Terj. Tim
Pustaka Firdaus. Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an. Cet.
IV; Jakarta: Pustaka Firdaus.
Shiddieqy, M. Hasby ash-. 1992. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-
Qur’an/Tafsir. Cet. XIV; Jakarta: Bulan Bintang.
Shihab, Quraish dkk. 2008. Sejarah dan Ulumul Qur’an. Cet. IV;
Jakarta: Pustaka Firdaus.
Suyuti, Jala al-Din al-. t.th. Al-Itiqan fi Ulum al-Qur’an. Juz II,
Beirut: Darul Fikr.
Watt, W. Montgomery. “Bell’s Introduction to the Qur’an”.
1998. Terj. Lilian D. Tedjasudhana dan Richard Bell.
Pengantar Qur’an. Jakarta: Inis.
Zarqani, Muhammad Abd. Al-Azim al-. 1998. Manahilul Irfan Fi
Ulumil Qur’an. Beirut; Dar Qutaibiyah.
BAB XV
KAIDAH JADAL DALAM ALQURAN

A. Jadal dalam Alquran


Alquran sebagai kitab suci terbesar setelah menyedot
perhatian banyak orang. Dalam pandangan umat islam,
Alquran merupakan teks yang diwahyukan oleh Allah Swt.
kepada Nabi Muhammad sebagai pedoman dan petunjuk bagi
manusia. Berkali-kali menyebut dirinya sebagai hudan
(petunjuk). Misalnya saja, ayat kedua surat al-Baqarah
berbunyi: “Kitab (al-Qur’an) tidak ada keraguan padanya;petunjuk
bagi mereka yang bertaqwa”. Selama dua puluh tiga tahun, kitab
suci ini diturunkan untuk menjawab persoalan-persoalan nyata
yang muncul di tengah kehidupan manusia. ia adalah kita
bacaan yang mendapatkan kedudukan istimewa.
Kini, Alquran sebagai teks wahyu sudah berhenti
seiring dengan meninggalnya nabi Muhammad Saw. Umat
Islam tidak bisa menyapa lagi beliau sebagai pembawa Alquran
sebagai teks bahasa (mushaf utsmani) dengan tanpa bisa
bertanya langsung kepada nabi Muhammad sebagai penjelas
paling otoritatif.
Ada sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, yaitu
Alquran telah menjadi teks bahasa yang hidup. Proses
berdialog dengan Alquran, yang dilakukan oleh umat islam
pasca meninggalnya nabi Muhammad sampai sekarang, benar-
benar telah menjadikan eksistensi Alquran itu sendiri maujud
dari waktu ke waktu. Alquran menjadi teks bacaan yang
dinamis dan kaya akan makna. Hal itu adapat dilihat dengan
jelas melalui berbagai ragam tafsir yang ditorehkan oleh para
ilmuan muslim.
Bagi umat Islam, kegiatan interprestasi terhadap
Alquran adalah menjadi tugas yang tak kenal henti. Karena ia
meerupakan usaha untuk memahami pesan ilahi. Namun
demikian, sehebat apapun manusia, ia hanya bis sampai pada
derajat pemahaman yag relatif, dengan kebenarannya pun
tidak dapat mencapai drajat absolut. Wahyu Tuhan dipahami
secara variatif dari waktu ke waktu yang lain. Ini berarti
kegiatan menafsirkan wahyu Tuhan (exegesis) telah menjadi
disiplin keilmuan yang selalu hidup seiring dengan
perkembangan teori pengetahuan para pengimannya
(Setiawan, 2005: 1).
Mengingat Alquran sebagai teks bahasa memiliki peran nyata
dalam terbentuknya peradaban umat islam, maka tak mengherankan
jika Nasr Hamid Abu Zaid menyebut peradaban islam-Arab sebagai
hadlarah al-nash (peradaban teks). Teks Alquran itu sendiri tidak bisa
membangun dan melahirkan peradaban. Tetapi, peradaban itu
terbangun melalui dialog yang dilakukan oleh manusia dengan teks
pada pada satu sisi, dan berinteraksi dengan realitas di sisi lain (Abu
Zaid, 1996: 9)
Studi-studi mengenai Alquran di era sekarang ini
semakin menemukan urgensitasnya. Dalam sejarah
kemanusiaan, keyakinan para pemeluk islam dan persepsi
etisnya tentu semakin berarti. Ketika islam semakin penting
dalam kerangka dunia agama-agama, maka peran Alquran
sebagai dokumen relegius semakin tak terbentahkan.
Karena masyarakat Arab mengklaim Alquran bukan
merupakan firman Allah, dan pada saat yang sama, mereka memiliki
keahlian dalam bidang bahasa, maka tidak mengherankan jika
tantangan pertama dilontarkan oleh Alquran kepada mereka yang
ragu, adalah menyusun kalimat semacam Alquran: minimal dari segi
keindahan dan ketelitiannya. Hal itu dapat dilihat misalnya dalam
“Katakanlah: sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan
dapat membuat yang serupa dengan Dia, sekalipun sebagian mereka
menjadi pembantu bagi sebagian yang lain” (QS.Al-Isra/17 : 88).
Atau sanggahan al-Qur’an ‘Dan Al-Qur’an itu bukanlah
perkataan seorang penyair, sedikit sekali kamu beriman
kepadanya” (QS.Al-Haqqah/69 : 41).
Sebagai kitab petunjuk, Alquran sejatinya ditelusuri dan
dikaji untuk dapat menguak misteri kebesaran yang
terselubung di dalamnya, dengan tetap membiarkan Alquran
berbicara dengan sendirinya. Karena dengan membiarkan
Alquran berbicara sendiri, maka akan didapatkan gambaran
mengenai kebesaran dan keagungan Alquran yang
sesungguhnya. Mengkaji Alquran dengan membiarkan dirinya
untuk berbicara sendiri, berarti mengembalikan Alquran ke
watak aslinya sebagai teks bahasa, bukan diseret ke dalam
perspektif teologis, sufistik politik atau yang lainnya.
B. Pengertian Jadal
Jadal atau jidal bermakna bertukar pikiran dengan cara
bersaing dan berlomba untuk mengalahkan lawan. Pengertian
ini berasal dari kata yakni (aku kokohkan jalinan itu, mengikat
kedua belah pihak yang berdebah itu mengokohkan
pendapatnya masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan
dari pendirian yang dipegangnya (Al-Qattan, 2007: 426).
Debat sesungguhnya adalah merupakan salah satu
tabiat manusia sejak dari dulu. Karena sudah menjadi tabiat
manusia, maka Alquran pun telah mengabdikannya, misalnya:
 .....     
Terjemahnya :
.... manusia dalam Al Quran ini bermacam-macam
perumpamaan. dan manusia adalah makhluk yang
paling banyak membantah (Depag RI., 1972: 452).

Rasulullah saw juga diperintahkan agar berdebat


dengan kaum musyrikin dengan cara yang baik yang dapat
meredam keberingisan mereka dengan firman Allah dalam
surah Al-Nahl, 125:
       
           
     
Terjemahan :
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”
(Depag RI, 1972: 421).

Model lain yang diperkenalkan Alquran adalah ber-


munazarah (berdiskusi) dengan ahli kitab dengan memakai
cara yang baik. Sebagaimana firman Allah swt. dalam Q.S.
al-Ankabut/29: 46

         


       
      
  
Terjemahnya:
Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan
dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di
antara mereka[1154], dan Katakanlah: "Kami telah beriman kepada
(kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan
kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya
kepada-Nya berserah diri" (Depag RI, 1972: 421)
Yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim pada
ayat tersebut ialah orang-orang yang setelah diberikan
kepadanya keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan
dengan cara yang paling baik, mereka tetap membangkan dan
tetap menyatakan permusuhan. Sesungguhnya Munazarah
bertujuan untuk memperkenalkan dan menyampaikan suatu
kebenaran dengan memakai model hujjah (rasionalisasi) yang jitu,
tepat dan memilik validitas yang tinggi. Sesungguhnya inilah esensi
metode Alquran dengan memakai istilah jadal dalam member model
petunjuk pada orang kafir dan mengalhkan para penentang Alquran.
Tentu sangat berbeda dengan perdebatan dalam sesuatu
permasalahan yang cenderung dipengaruhi oleh hawa nafsu yang
hanya persaingan subyektif dengan cara-cara yang batil dengan tidak
mau menerima kebenaran, walaupun itu sudah jelas kebenarannya
dengan memakai nalar yang tinggi dan dapat secara ilmiah yang
tidak bertentangan dengan akal sehat.
Dalam hal ini, Alquran memberikannya istilah dalam
Q.S. al-Kahfi/18: 56.

       


       
    
Terjemahnya:

Dan tidaklah Kami mengutus Rasul-rasul hanyalah


sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah
dengan yang batil agar dengan demikian mereka
dapat melenyap kan yang hak, dan mereka
menganggap ayat-ayat Kami dan peringatan-
peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan
(Depag R.I., 1972: 452).

C. Metode Jadal dalam Alquran


Alquran al-karim memberikan isyarat tentang jadal
(berdebat). Walaupun itu terhadap orang-orang kafir para
penentang kebenaran dengan mengemukakan dalil-dalil serta
bukti-bukti yang jelas dapat dimengeti kalangan awam dan
orang ahli. Alquran tidak menerima kerancuan vulgar dan
mematahkannya dengan perlawanan dan pertahanan dalam
uslub yang konkrit hasilnya, indah sususnannya dan tidak
memerlukan pemikiran yang terlalu berlebihan maupun
penyelidikan yang bentuknya sia-sia belaka (Al-Qattan, 2007:
426).
Alquran tidaak memakai cara yang telah diperintahkan
oleh para ahli kalam yang menggunakan metode yang
memerlukan adanya muqaddimah (premis) dan natijah
(konklusi). Misaalnya, cara ber-istiadal (infrensi) dengan
sesuatu yang sifatnya kully (Univerasal) terhadap juz’iy
(parsial) dalam qiyas syumul, atau mengambil dalil dengan
salah satu dalil juz’iy terhadap kully dalam qiyas istiqra’ (al-
Shiddiqy, 2002: 196). Manna’al-Qaththan (2007: 427)
memberikan 3 alasan tentang hal ini sebagai berikut:
1. Alquran turun dalam bahasa Arab yang mengajak
dengan bahasa yang mereka pahami.
2. Bersandar pada fitrah jiwa, yang meyakini pada apa yang
disaksikan dan dirasakan, tanpaperlu pemikiran
mendalam dalam ber-istidal lebih kuat pengaruhnya dan
lebih efektif hajjah-nya.
3. Meninggalkan pembicaraan yang jelas, dan
mempergunakan tutur kata yang sukar dan pelik, adalah
merupakan kerancuan dan teka-teki yang hanya dapat
dimengerti oleh kalangan ahli (khas). Cara ini sering
dipakai oleh para ahli mantiq (logika), walaupun tidak
sepenuhnya benar. Dalil-dalil tentang tauhid serta
kehidupan akhirat yang terungkap dalam Alquran adalah
sesuatu tertentu yang dapat memberikan makna yang
ditunjukkan secara langsung tanpa memasukkannya
dalam qadliyah kulliyah (universal proposition) (Al-Qattan,
2007: 427).
Ibnu Taimiyah menyatakan dalam kitabnya al-radd ‘ala
al-manthiqiyyin; (Al-Qattan, 2007: 427).
“Dalil-dalil yang dikemukan oleh para ahli debat, yang
mereka namakan “bukti-bukti” (barahin) untuk menetapkan
adanya Tuhan, sang pencipta yang maha suci dan maha tinggi
itu, sedikit pun tidak dapat menunjukkan essensi zat-Nya.
Tetapi hanya menunjukkan sesuatu yang mutlak dan universal
yang konsepnya itu sendiri tidak bebas dari kemusyrikan.
Ketika kita mengatakan, ini adalah muhdats (baru) dan setiap
muhdats pasti mempunyai muhadits (pencipta); atau ini adalah
sesuatu yang mungkin dan setiap yang mungkin harus
mempunyai yang wajib. Pernyataan seperti ini hanya
menunjukkan muhdits mutlak atau wajib mutlak... konsepnya
tidak bebas dari kemusyrikan” ... selanjutnya ia mengatakan:
“Argumentasi mereka ini tidak menunjuk kepada sesuatu
tertentu secara pasti dan spesifik, tidak menunjukkan wajib al-
wujud atau yang lain. Tetapi ia hanya menunjuk kepada
sesuatu yang kully, padahal sesuatu yang kully itu konsepnya
yang tidak terlepas dari kemusyrikan (Al-Qattan, 2007: 427).
Hal ini berbeda, sebagaimana ayat-ayat yang dikemukakan
seperti: dalam Surah al-Baqarah (2:164) disebutkan:
       
        
         
       
      
 
Terjemahannya :
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar
di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan
apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu
dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati
(kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis
hewan, dan pengisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh
(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah)
bagi kaum yang memikirkan.
Disebutkan juga dalam Surah al-Isra (17:12);

      


      
       
   
Terjemahannya :
“Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua
tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami
jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari
kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui
bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan segala
sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.

Az-Zarkasyi menyatakan; ‘ketahuilah bahwa Alquran


telaj mencakup segala macam dalil dan bukti. Tidak ada satu
dalil pun, definisi mengenai sesuatu berupa persepsi akal juga
dalil naqli yang menyeluruh kecuali telah di muat dalam
kitabullah. Akan tetapi, dikemukakan dengan menurut adab
dan kebiasaan bangsa Arab. Dan tidak seperti yang diuraikan
oleh para ahli Ilmu Kalam” (Al-Zarkasyi, 2, t.th.: 24-27). Hal ini
disebabkan oleh dua alasan (Al-Qattan, 2007; 427):

Pertama, mengingat firman Allah dalam surah Ibrahim


(14:4)
        

Terjemahnya Kami tidak mengutus seorang rasulpun,


melainkan dengan bahasa kaumnya

Kedua, bahwa orang yang cenderung menggunakan


argumentasi yang sukar dan pelik itu sebenarnya ia tidak
sanggup menegakkan hujjah dengan kalam agung. Sebab. Orang
yang mampu memberikan pengertian (persepsi) tentang
sesuatu dengan cara yang lebih jelas yang bisa dipahami
sebagian besar orang. Olen karena itu, Allah memaparkan
seruan-Nya dalam bentuk argumentasi paling agung yang
meliputi juga bentuk paling pelik, agar orang awam dapat
memahami hujjah yang jelas dalam Alquran itu, begitu juga sisi
sulitnya dapat dipahami oleh pemahaman para sastrawan.

D. Macam-macam Jadal Alquran

Ada beberapa macam jadal yang terdapat dalam


Alquran, yaitu:
1. Menyebutkan ayat-ayat kauniah yang disertai perintah
melakukan perhatian dan pemikiran untuk dijadikan
dalil bagi penetapan dasar-dasar akidah, seperti
ketahidan Allah dalam Uluhiyah-Nya dan keimanan
kepada malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul-Nya
dan hari kemudian. Perdebatan macam ini banyak
diungkapkan dalam Alquran (Al-Suyuthi, 4, t.th.: 60-66).
Misalnya Firman Allah Surah al-Baqarah ayat 21-22
       
       
       
         
  
Terjemahannya :
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah
menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu,
agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi
sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan
Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia
menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan
sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu
Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, Padahal kamu
mengetahui”.

2. Membantah pendapat penentang dan lawan, serta


mematahkan argumentasi mereka. Perdebatan ini
memiliki beberapa bentuk, yaitu;
a. Membunkgkam lawan bicara dengan mengajukan
pertanyaan tentang hal-hal yang telah diakui dan
diterima baik oleh akal, agar ia mengakui apa yang
tadinya diingkari, seperti penggunaan dalil dengan
makhluk untuk menetapkan adanya khalik (Al-
Suyuthi, 4, t.th.: 60-66). Seperti yang terdapat dalam
Surah at-Thur, ayat 35-43
         
         
        
       
        
        
        
          
 
Terjemahannya :
Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah
mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?.
ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi
itu?; sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang
mereka katakan). ataukah di sisi mereka ada
perbendaharaan Tuhanmu atau merekakah yang
berkuasa? ataukah mereka mempunyai tangga (ke
langit) untuk mendengarkan pada tangga itu (hal-hal
yang gaib)? Maka hendaklah orang yang
mendengarkan di antara mereka mendatangkan suatu
keterangan yang nyata. ataukah untuk Allah anak-
anak perempuan dan untuk kamu anak-anak laki-
laki?. ataukah kamu meminta upah kepada mereka
sehingga mereka dibebani dengan hutang?. Apakah
ada pada sisi mereka pengetahuan tentang yang gaib
lalu mereka menuliskannya?. ataukah mereka hendak
melakukan tipu daya? Maka orang-orang yang kafir
itu merekalah yang kena tipu daya. ataukah mereka
mempunyai Tuhan selain Allah. Maha suci Allah dari
apa yang mereka persekutukan.

b. Mengambil dalil dengan mabda’ (asal-usul kejadian)


untuk menentukan Ma’ad (hari kebangkitan) (Al-
Suyuthi, 4, t.th.: 60-66). Misalnya dalam Alquran
Surah Qaf ayat 15 :

         


 
Terjemahannya :
Maka Apakah Kami letih dengan penciptaan yang
pertama? sebenarnya mereka dalam Keadaan ragu-
ragu tentang penciptaan yang baru.

Termasuk diantaranya beristidal dengan kehidupan bumi


sesudah matinya
(kering) untuk menetapkan kahidupan sesudah mati
untuk dihisab.

Misalnya ayat 31 yang terdapat dalam Surah Fushishilat


       
         
Terjemahannya :
Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan
dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh
apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di
dalamnya apa yang kamu minta.

c. Membatalkan pandapat laawan dengan


membuktikan (kebenaran) kebalikannya, seperti;
Surah an-An’am ayat 91
          
          
       
        
          

Terjemahannya :
Dan mereka tidak menghormati Allah dengan
penghormatan yang semestinya, di kala mereka
berkata: "Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada
manusia". Katakanlah: "Siapakah yang menurunkan
kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya
dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu
lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu
perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan
sebahagian besarnya, Padahal telah diajarkan
kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu
tidak mengetahui(nya) ?" Katakanlah: "Allah-lah (yang
menurunkannya)", kemudian (sesudah kamu
menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah
mereka bermain-main dalam kesesatannya.
Ayat ini merupakan bantahan terhadap pendirian
orang yahudi
d. Menghimpun dan merinci (al sabr wal taqsim) (Al-
Suyuthi, 4, t.th.: 60-66), yakni menghimpun beberapa
sifat dan menerangkan bahwa sifat-sifat tersebnut
bukanlah illah, alasan hukum, seperti Firman-Nya
dalam Surah al-An’am ayat 143-144
       
       
       
       
       
        
         
          
 

Terjemahannya :
Delapan binatang yang berpasangan, sepasang domba,
sepasang dari kambing. Katakanlah: "Apakah dua
yang jantan yang diharamkan Allah ataukah dua yang
betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua
betinanya?" Terangkanlah kepadaku dengan berdasar
pengetahuan jika kamu memang orang-orang yang
benar. Dan sepasang dari unta dan sepasang dari
lembu. Katakanlah: "Apakah dua yang jantan yang
diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang
ada dalam kandungan dua betinanya? Apakah kamu
menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu?
Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang
yang membuat-buat Dusta terhadap Allah untuk
menyesatkan manusia tanpa pengetahuan ?"
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim.
e. Membungkam lawan dan mematahkan hujjahnya
dengan menjelaskan bahwa pendapat yang
dikemukakannnya itu menimbulkan suatu pendapat
yang tidak diakui oleh siapa pun (Al-Suyuthi, 4, t.th.:
60-66).
        
        
         
           
Terjemahannya :
Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu
sekutu bagi Allah, Padahal Allah-lah yang
menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong
(dengan mengatakan): "Bahwasanya Allah mempunyai
anak laki-laki dan perempuan", tanpa (berdasar) ilmu
pengetahuan. Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari
sifat-sifat yang mereka berikan. Dia Pencipta langit
dan bumi. bagaimana Dia mempunyai anak Padahal
Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala
sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.

Dalam ayat ini ditegaaskan bahwa Allah tidak


mempunyai anak, hal ini karena proses kelahiran anak itu tidak
mungkin terjadi dari sesuatu yang satu. Proses tersebut bisa
terjadi dari dua pribadi. Padahal Allah tidak mempunyai istri,
disamping itu Dia menciptakan segala sesuatu dan penciptaan-
Nya terhadap segala sesuatu ini sungguh kontradiktif bila
dinyatakan bahwa dia melahirkan sesuatu. Dia maha
mengetahui segala sesuatu dan pengetahuan-Nya ini
membawa pada suatu konklusi pasti bahwa Dia berbuat atas
kehendak-Nya sendiri. Perasaan pun dapat membedakan
antara yang berbuat menurut kehendak sendiri dengan berbuat
karena hukum alam. Dengan kemahatahuan-Nya akan segala
sesuatu itu, maka mustahil Dia sama dengan benda-benda fisik
alami yang melhirkan sesuatu tanpa disadari, seperti panas dan
dingin. Dengan demikian maka tidak benar menisbahkan anak
kepada-Nya.

E. Penutup

Jadal adalah bertukar fikiran untuk mengalahkan


lawan. Dalam Alquran, jadal ditujukan sebagai hujjah bagi
penolaknya. Jalan-jalan yang ditempuh Alquran dalam
munazharah (jadal) bukan seperti metode yang digunakan oleh
para ahli kalam, diantara sebab-sebabnya:
1. Karena Alquran menghadapi orang Arab dengan
bahasa yang diketahui mereka;
2. Karena berpegang kepada yang mudah ditanggapi
yaitu beriman kepada apa yang dapat dirasakan tanpa
memerlukan pemikiran yang dalam dan lebih kuat
oengaruhnya;
3. Karena mempergunakan tutur kata yang tidak mudah
dapat dipahami, merupakan teka-teki yang hanya dapat
dipahami oleh orang-orang tertentu.
Beberapa macam munazarah Alquran dan dalil-dalilnya:
1. Menyebutkan ayat-ayat yang memerintahkan kita
melakukan nazhar dan tadabbur, memperhatikan
keadaan alam untuk menjadi dalil buat menetapkan
dasar-dasar akidah, seperti keesan Allah dalam ke-
uluhiyah-an-Nya, iman akan malaikat, akan kitab, akan
Rasul dan hari Akhir.
2. Membantah pendapat-pendapat kaum penentang
mematahkan hujjah-hujjah mereka.

Untuk ini, ada beberapa macam metode yang


digunakan Alquran, diantaranya:
1. Menanyakan tentang urusan-urusan yang diterima baik
oleh akal agar orang yang dihadapi itu membenarkan
apa yang tadinya diingkari, seperti mengambil dalil
adanya makhluk ini tentang adanya khalik.
2. Mengambil dalil dengan asal kejadian untuk
menetapkan adanya hari bangkit.
3. Membatalkan pendapat lawan dengan membuktikan
kebenaran sesuatu yang berlawanan dengan pendapat
lawan.
4. Mengumpulkan beberapa sift dan menerangkan bahwa
sifat-sifat itu bukanlah illat yang di dalam istilah
dinamakan sabr dan taqsim
5. Menundukkan lawan dan mematahkan hujjahnya yang
tidak dibenarkan oleh seorangpun.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zaid, Nasr Hamid. 1996. Mahfum al-Nash. Cet. III; Beirut:
al-Markz al-Tsaqafi al-Arabi.
Departemen Agama RI. 1972. Alqur’an dan Terjemahannya.
Jakarta: Proyek, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/
Penafsir Alqur’an.
Qaththan, Manna Khalil al-. 2007. “Mabahit Fil Ulumil Quran”.
Terj. Muzakkir Ar. Studi Ilmu-ilmu Quran. Cet. X;
Pustaka Liter Antar Nusa.
Setiawan, M. Nur Kholis. 2005. Al-Qur’an Kitab Sastra Tersbesar.
Cet. I; Yogyakarta;eLSAQ.
Shiddiqy, T.M. Hasbi ash-. 2002. Ilmu-ilmu al-Qur’an. Cet. II,
Semarang:Pustaka Rizki Putra.
Suyuthi, Jalaluddin al-. t.th. al-itqan fi ‘’ulum al-Qur’an. Jilid 4,
Kairo: Mawqi’Maktabah al-Madinah al-Raqamiyyah.
Zarkasyi, al-. t.th. al-Burhan di ulum al-Qur’an. Jilid 2, Kairo:
Mawqi Maktabah al-Madinah al-Raqamiyyah.
BAB XVII
KAIDAH MUTHLAQ DAN MUQAYYAD

A. Kaidah Muthlaq dan Muqayyad

Fakta yang tak bisa dipungkiri bahwa ummat Islam


telah mengaktualisasikan rasa antusias yang tinggi terhadap
kajian Alquran di sepanjang sejarahnya. Ribuan kitab telah
lahir dari goresan tangan para ulama yang diwariskan dan
dikembangkan dari generasi kegenerasi. Meskipun gerakan
tersebut telah lama dillakukan, sedikitpun rasa bosan tidak
menghinggapi para pengkajinya. Bahkan di sepanjang sejarah
kajian tersebut tetap dianggap aktualdan mampumemberikan
inspirasi yang tinggi bagi banyak kalangan. Sungguh dangkal
peikiran para pengkaji Alquran yang menganggap biasa
fenomena sejarah ini, terlebih terhadap pandangan yang lebih
rendah dari anggapan biasa ini.
Fenomana luar biasa ini menunjukan bahwa Alquran
bukanlah hasil karya manusia, tetapi Aquran adalah kalam
Tuhanyang menjadi panduan bagi hambah-Nya yang ingin
mendapatkan anugerah keselamatan, kebahagiaan dan
ketenangan hidup dari Allah. Karena kedudukannya sebagai
panduan hidup, sehingga di dalam terdapat seperangkat
aturan yan mengikat yang harus dipatuhi (hukum tasyri)
Dalam Alquran, Allah menyapa hamba-Nya dengan
retorika keindahan bahasa yang tidak tertandingi. Terkadang
hokum tasyri tersebut disampaikan dalam bentuk keadaan
yang berbeda-beda, dan terkadang pula disampaikan dalam
bentuk kalimat yang bersyarat. Dikalangan para ulama tema
tersebut dikenal dengan istilah muthlaq dan muqayyad.
Kajian muthlaq dan muqayyad dalam kajian Alquran
memiliki hubungan sangat erat dengan am dan khas. Hal ini
dapat diperhatikan dari beberapa tulisan para ulama yang
mengelompokan tema muthlaq dan muqayyad ini kedalam sub
pembahasan am dan khas, di antaranya; Nasr Hamid Abu Zaid
dalam kitabnya Mafhum al-Nasr Dirasah fi ‘ Ulum al-Quran (Abu
Zaid, 2002: xxi), begitu juga dengan Muthtar Yahya dalam
karyanya Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqhi Islam (Ichwan,
2002: 205).
Meskipun kajian muthlaq dan muqayyad memiliki
hubungan yang sangat erat dengan am dan khas, namun
bukanlah berarti kajian tersebut dapat dipersamakan.
Muhammad Baqir al-Sadr, mengemukakan pendapat dari
kedua tema tersebut, beliau menjelaskan bahwa kajian am dan
khas adalah menyangkut suatu tatanan yang biasanya meliputi
segala bentuk penerapan hukum yang berbeda-beda, yang
sebagiannya kerena alasan tertentu merupakan pengecualian
dari yang umum. am dan khas berkaitan dengan penerapan
hokum. Sendangkan muthlaq dan muqayyad, menurut beliau,
berhubungan dengan hakikat dan watak dari kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh si pemikul kewajibantersebut. muthlaq
dan muqayyad berhubungan dengan keadaan yang berbeda-
beda dan sifat sifat hukum itu sendiri (al-Sadr dan Murtada
Mutahhari, 1993: 160).
Lantas bagimana keberadaan kajian tema muthlaq dan
muqayyad tersebut dalam kajian Alquran, khususnya
pembahasan kaidah-kaidah tafsir? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, tulisan ini akan menbahas tema muthlaq
dan muqayyad tersebut, meskipun dalam wadah yang
sederhana.

B. Pengertian Muthlaq dan Muqayyad


1. Pengertian Muthlaq

Kata muthlaq (‫ )مطلق‬berasal dari akar kata ‫ طلق‬yang


terdiri dari huruf ‫ط‬, ‫ ل‬dan ‫ ق‬asal keumuman hokumnya satu,
yaitu menunjukan pada peninggalkan (menbiarkan kosong)
dan menyuruh (dengan mengutus utusan) (Ibn Zakariyya,
1972: 420; Munawir, 1997: 239).
Sendangkan pengertian muthlaq menurut istilah para
ulama adalah sebagai berikut:
a) Menurut al-Amidi, sebagaimana yang dikutip oleh
Mohammad Nor Ichwan, (2002: 217) muthlaq adalah suatu
lafazh yang menunjukkan atas dalil-dalil yang mencangkup
seluruh jenis (Ichwan, 2002: 206).
b) Menurut ‘Abd al-Rahman bin Judillah al-Banani al-Maliki,
sebagaimana yang dikutip oleh Mohammad Nor Ichwan,
muthlaq adalah suatu lafazh yang menunjukan kepada
sesuatu yang maknanya tidak terikat oleh batasan tertentu
(Ichwan, 2002: 206).
c) Menurut Manna’ al-Qaththan, muthlaq adalah suatu lafazh
yang menunjukan atas suatu hakikat tanpa ada batasan (al-
Qaththan, 2004: 350).
d) Menurut ‘Abd al-wahhab Khalaf, muthlaq adalah lafazh yang
menunjukan kapada satuan yang tidak dibatasi secara lafazh
dengan batasan apa saja (Khalaf, 1994: 319).
e) Menurut Muhammad jawad Mugniyyah, sebagaimana yang
dikutip oleh Romli SA, muthlaq adalah suatu lafazh yang
menunjukan kepada sesuatu pengertian tanpa diikat oleh
batasan tertentu (Romli SA, 1999: 215).
f) Menurut Khalad bin ‘Usman, muthlaq lafazh yang diterima
untuk satuan yang tidak ditetapkan gambaran hakikat
sempurna untuk jenisnya (al-Sabt, 2000: 619).
Dari pengertian yang dikemukakan oleh para ulama di
atas, dapat ditarik satu benang merah bahwa yang dimaksud
dengan muthlaq adalah suatu lafazh yang menunjukan kepada
satu satuan tertentu tetapi dan tidak memiliki pembatasan.
Contohnya:
     
      
       
  
Terjamahanya:
Dan mereka yang menzhihar isterinya, Kemudian
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka
(mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak
sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan/Q.S. Al-
Mujadilah/ 58: 3 (Depag RI, t. th.: 542).
Lafazh ‫ رقبة‬di dalam ayat di atas termasuk kategori
muthlaq, sebab tidak adanya batasan baik berupa sifat tertentu,
atau keadaan yang lainnya. Sehingga makna mudak yang
dimaksud mencangkup budak yang beriman dan budak yang
kafir.
a. Pengertian Muqayyad

Kata muqayyad (‫ )مقيد‬barasal dari akar kata ‫قيد‬terdiri dari


huruf ‫ق‬, ‫ ي‬dan‫ د‬, yang berarti sesuatu yang dikenal atau
diketahui. Istilah ini kemudian digunakan untuk segala sesuatu
yang terikat. Jadi pada wilayah ini, muqayyad (sesuatu yang
terikat) adalah antonym dari mutlak (sesuatu yang tidak
terikat) (Ibn Faris, III, 1972: 44; Khalaf, 1994: 319).
Sendangkan muqayyad menurut istilah adalah sebagai
berikut:
1) Menurut Khalid bin ‘Usman, muqayyad adalah lafazh yang
diberikan kepada sesuatu yang telah ditentukan atau kepada
sesuatu yang tida ditentuukan yang disifatkan dengan
perintah tambahan atas hakikat yang melengapi jenisnya (al-
Sabt, 2000: 2002: 620).
2) Menurut ‘Abd al-wahinab Khalaf, muqayyad adalah lafazh
yang menunjukan kepada satuan yang dibatasi secara lafazh
dengan batasan apa saja (Khalaf, 1994: 319).
3) Menurut Syaikh Khudari Beik, sebagaimana yang dikutip
oleh Romli SA, muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan
kepada suatu objek atau beberapa objek ( ‫ فرد‬atau‫ ) أفراد‬yang
dibatasi oleh lafazh tertentu (Romli SA, 1999: 216).
4) Menurut Manna’ al-Qaththan, muqayyad adalah lafazh yang
menunjukkan atas suatu hakikat dengan adanya batasan (al-
Qaththan, 2004: 350).

Sebagai contoh ayat Alquran sebagai berikut:

          
       
           
         
       
        
       

Terjamahannya:
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh
seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah
(tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang
mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman
serta membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh)
dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara
mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya
(si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang
beriman. barangsiapa yang tidak memperolehnya,
Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada
Allah. Dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana/Q.S. Al-Nisa’/4: 92. (Depag RI, t.th.: 93).

Pada ayat di atas terdapat beberapa lafazh yang


muqayyad, yaitu:
1). Lafazh ‫( قتل‬membunuh) di-taqyid-kan dengan lafazh ‫خطا‬
(kewajiban salah), sehingga kewajiban membayar kafarat
hanya berlaku pada kasus pembunuhan secara tidak
sengaja atau lalai, bukan yang lainnya;
2). Lafazh ‫( قبة ر‬hamba sahaya) di-taqyad-kan dengan lafazh ‫منة‬
‫( مؤ‬yang beriman), sehingga budak yang selain mukmin
tidak termasuk di dalamnya;
3). Lafazh ‫( ية د‬denda) di-taqyid-kan dengan lafazh ‫( مسلمة‬yang
diserahkan). Maksudnya denda itu harus diserahkan
langsung kepada keluarga yang terbunuh.

2. Kaidah-Kaidah Muthlaq dan Muqayyad dalam


Pembahasn Tafsir

Di dalam kitab Qawa’id al-Tafsir Jam’an wa Dirasa”


karya Khalib bin’Usman (2000: 621-625), disebutkan empat
macam kaidah yang berkenaan dengan muthlaq dan muqayyad,
yaitu:
‫األ صل ا بقاء المطلق ءلى ا طال قه حتى ير د ما يقيده‬
‫المطلقيحملءلىالكامل‬
‫ وأمكنترجيح‬,‫ اذا ورد ءلى المطلق قيدان مختلفتان‬-‫ت‬
‫وجب‬,‫أحدهماءلىاألخر‬
‫حماللمطلقءلىأرجحهما‬
‫ االءطالقيقتضيالمساوة‬-‫ب‬
Terjemahannya:
a. Pada asalnya yang muntak di tetapkan atas
kemutlakkannya, sehingga ada yang memuqayyad-
kannya;
b. yang muthlaq itu mengantarkan pada (makna)
sempurna;
c. apabila pada yang muthlaq terdapat dua taqyid yang
berbeda, dan memungkinkan mentarjih salah satu dari
keduanya, maka yang paling rajih harus diambil;
d. yang muthlaq itu menetapkan peramaan.
Berikut penjelasan kaidah-kaidah yang dimaksud:
a. Kaidah pertama

‫اال صل ابقاء المطلق ءلى اطالقه حتى يرد ما يقيده‬


Artinya: Pada asalnya yang muthlaq ditetapkan atas
kemutlakannya, hingga ada yang me-muqayyad-
kannya.
Dari kaida di atas dipahami bahwa setiap lafazh yang
dikehendaki oleh nas-nas muthlaq, makapengmalannya
didasarkan pada kemutlakannya, kecuali terdapat dalil yang
menunjukan muqayyad-nya. Misalnya:
       
       
         
          
      
   
Terjemahannya:
Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena
itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah
kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah
kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur/Q.S. al-
Baqarah/2: 185 (Depag R., t.th.: 28).
‫ من أيا‬Di dalam ayat di atas adalah muthlaq, dan tidak
ada muqayyad di dalamnya yang menunjukan harus dilakukan
secara qad}a>, puasanya hanyalah mencukupkan jumlah
harinya saja, dan tidak ada nash lain yang menunjukan ke-
muqayyad-annya. Sedang untuk contoh sebaliknya, yaitu
muqayyad, dapat dilihat pada halaman sebelumnya (al-Sabt,
2000: 622).
b. Kaidah kedua

‫المطلق يحمل إلى الكامل‬ “Yang muthlaq itu mengantarkan


pada (makna) sempurna” Kaidah ini sering kita jumpai dalam
wilayah hadis dan Alquran, yaitu sesuatu lafazh yang mutlak,
tetapi dipahami dengan makna yang jalas lagi sempurna (al-
Sabt, 2000: 622-623). Seperti lafazh ‫ النداء‬yang dipahami sebagai
seruan mu’azin, seperti yang disebutkan dalam hadis berikut,
(Bukhari, Nomor hadis: 579).

‫ح""دثنا ءلي بن ءي""اش ق""ال ح""دثنا ش""حيب بن أبي حم""ز ة ءن محم""د‬


‫ من ق""ال حينن‬:‫ ق""ال‬.‫المذكدر" ءن جابر ءن ءبد هللا أن رسول هللا صعم‬
‫يسمع الذداء "أللهم رب هذه الدءوةالتام""ة والص""الة القائم""ة أت محم""دا‬
‫الوسيلة والفضيلة وابعثه مقاما محودا الذى وءدت""ه" حلن ل""ه ش""فا ءتي‬
.‫يوم القيامة‬
Sedangkan dalam Alquran misalnya:
        
         
Terjemahannya:
Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan
negeri ini (Mekah) yang telah menjadikan-nya suci dan
kepunyaan-Nya-lah segala sesuatu, dan aku
diperintahkan supaya aku Termasuk orang-orang yang
berserah diri/Q.S. Al-Naml/27:91 (Depag RI, t.th.: 385).
Yang dimaksud dengan lafazh ‫ البلدة‬dalam ayat di atas
adalah Makkah al- Mukarramah. Hal ini dipahami dari kalimat (
‫)رب هذه البلدةانما أمرت أن أءبد‬.
c. Kaidah ketiga
,‫ وأمكن ترجيح أحدهما ءلى األخ""ر‬,‫اذاورد" ءلى الملق قيدان مختلفتان‬
‫وجب حمل الملق إلى أرجحهما‬
Artinya: Apabila pada yang muthlaq terdapat dua taqyid
yang berbeda, dan memungkinkan mentarjih salah satu
dari keduanya, maka yang paling rajah harus diambil.
Maksud kaidah ini adalah apabila terdapat dua taqyid
yang berbeda, maka terdapat dua alternatif yang biasa
ditempuh, yaitu; pertama, kedua taqyid tersebut ditarjih, dan
taqyid yang lebih dekat kepada yang muthlaq-lah yang diambil.
Kedua, apabila keduanya mempunyai kedudukan yang sama
(tidak ada yang lebih rajah), maka keduanya tidak ada yang
ditetapkan kepada yang muthlaq (al-Sabt, 2000: 623-624).
Contoh:
1) Memilih salah satu dari dua taqyid yang lebih dekat kepada
yang muthlaq

Kafarat sumpah yang memberikan muqqayyad dalam


firman Allah dalam Q.S.al-Maidah/ 5: 89 (Depag RI, t.th.: 122). (
( ‫فصيام ثالثة أي""ام‬.dan kafarat zihar dalam Q.S. Al-Mujadilah/58:4
(Depag RI, t.th.: 542). (‫)فمن لم يجد فص"يام ش"هرين متت"ابعين‬. Dalam ayat
lain dibicarakan pula tentang puasa dalam masalah haji
tamattu’ yang me-muqayyad-kan secara berbeda, yaitu Q.S.al-
Baqarah/2: 196 (Depag RI, t.th.: 30) (‫فصيام ثالث""ة أي""ام فى الحج و س""بعة‬
‫( ) ادارجعتم‬al-Sabt, 2000: 623-624).
Dalam kasus di atas, tidak diragukan lagi bahwa kafarat
sumpah lebih dekat kepada kafarat zihar dibandingkan dengan
masalah haji tamattu’, karena keduanya sama-sama kafarat.
Sehingga puasa kafarat sumpah harus dilakukan dengan cara
berurutan (‫ )بالتت""ابع‬karena di-muqayyad-kan oleh kafarat zihar
yang di-muqayyad-kan dengan cara berurutan (‫( )بالتتابع‬al-Sabt,
2000: 623-624).
2) Dua taqyid yang mempunyai kedudukan sama (tidak ada
yang lebih rajih), maka keduanya tidak ada yang ditetapkan
kepada muthlaq.

Sendangkan dalam kasus yang kedua ini dapat kita lihat


dalam kasus meng-qada’ puasa ramadhan dari apek
kemutlakannya dalam firmanAllah Q.S.al-Baqarah/ 2: 185 ( ‫فعدة‬
‫ ) من أي""ام أخر‬dengan taqyid puasa kafarat zihar yang dilakukan
secara berurutan dalam Q.S. Al-Mujadilah/ 58: 4 (‫فمن لم يجد فصيام‬
‫)شهرين متتابعين‬. Begitu pula dengan taqyid puasa haji tamattu yang
secara terpisah Q.S. AL-Baqarah/ 2: 196 (‫فصيام ثالثة أيأم في الحج وسبعة‬
‫( )اذا رجعتم‬al-Sabt, 2000: 623-624).
Dalam masalah meng-qada puasa Ramadhan di atas
sedikitpun tidak mempunyai hubungan yang dekat dengan
salah satu dari dua taqyid di atas. Olehnya itu, pelaksanaan
puasa qada’ tersebut tetap pada kedudukan muthlaq-nya, dan
terserah kepada orang yang berpuasa untuk melakukannya
secara berurutan ataukah secarah terpisah (al-Sabt, 2000: 623-
624).
d. Kaidah keempat
‫اإلطالق يقتض"""""""ي‬
‫المساوة‬
“Yang muthlaq itu menetapkan persamaan”.
Kaidah ini menjelaskan bahwa sesuatu yang muthlaq itu
menetapkan persamaan, atau tidak membeda-bedakan.
Contoh:
1) Firman Allah tentang kafarat sumpah dalam Q.S. Al-
Maidah/ 5:89 (‫)فيصام ثالثة أيام‬. Waktu pelaksanaannya baik itu
di awal bulan, di pertengahan ataupun di akhirnya sama
saja tanpa ada perbedaan.
2) Dalam Q.S. al-Mujadilah/58: 4 disebutkan (‫)فاءطعام" ستين مسكينا‬.
Persamaan di dalam ayat ini Nampak dari tidak di
bedakannya jenis antara laki-laki dan wanita, besar dan
kecilnya.

C. Penutup

Dari pembahasan di atas, maka penulis dapat menarik


kesimpulan sebagai berrikut:
a. Kata muthlaq (‫ )مطلق‬berasal dari akar kata ‫ طلق‬yang terdiri
dari huruf‫ط‬, ‫ ل‬dan ‫ق‬asal keumuman hukumnya satu, yaitu
menunjuk pada meninggalkan (membiarkan kosong) dan
menyuruh (dengan mengutus utusan). Sendangkan
pengertian muthlaq menurut istilah adalah suatu lafazh
yang menunjukkan kepada satu satuan tertentu tetapi dan
tidak memiliki pembatas.
b. Kata muqayyad(‫ )مقيد‬berasal dari akar kata ‫ قيد‬terdiri dari
huruf ‫ق‬, ‫ ي‬dan ‫د‬, yang berarti sesuatu yang dikenal atau
diketahui. Istilah ini kemudian digunakan untuk segala
sesuatu yang terikat. Jadi pada wilayah ini, muqayyad
(sesuatu yang terikat) adalah antonym dari mutlak (sesuatu
yang tidak terikat). Sendangkan muqayyad menurut istilah
adalah lafazh yang menunjukkan kepada satuan yang
dibatasi secara lafazh dengan batasan apa saja.
c. Di dalam kitab “Qawa’id al-Tafsir Jam’an wa Dirasah” karya
Khalid bin ‘Usman, disebutkan empat macam kaidah yang
berkenaan dengan muthlaq dan muqayyad, yaitu: pertama,
pada asalnya yang muthlaq di tetapkan atas kemutlakannya,
sehingga ada yang me-muqayyad-kannya; kedua, yang
muthlaq itu mengantarkan pada (makna) sempurna; ketiga,
apabila pada yang muthlaq terdapat dua taqyid yang
berbeda, dan memungkinkan me-tarjih salah salah satudari
keduanya, maka yang paling rajih harus diambil; dan
keempat, yang muthlaq itu menetapkan persamaan.
d. Demikianlah apa yang dapat penulis tuangkan dalam
tulisan ini, kritik dan saran yang bersifatnya membangun
tetap penulis nantikan, utamanya dari Bapak Dosen
Pembina Mata Kuliah Qawa’id al-Tafsir, untuk perbaikan di
waktu mendatang. Semoga tulisan ini membawa manfaat,
dan kesempurnaan hanya milik Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zaid, Nasr Hamid. 2002. “Mafhum al-Nas Dirasah fi


‘Ulum al-Qur’an”. Terj. Khoiron Nahdliyyin.
Tekstualitas Alquran; Kritik terhadap Ulumul Quran. Cet.
II: Yogyakarta: LKiS.
AS, Romli. 1999. Muqaranah Mazahib fi al-Ushul. Cet. I; Jakarta:
Gaya Media Pratama.
Bukhari. t.th. Sahih Bukhari. Nomor hadis: 579, Mausu’ah al-
Hadis al- Syarif.
Departemen Agama RI. t.th. Alquran dan Terjemahannya.
Bandung: PT Syaamil Cipta Media.
Ibn Zakariya, Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris. 1972. Mu’jam
Maqayis al-Lugah. Juz VI, Cet. III; t.tp.: Dar al-Fikr.
Ichwan, Mohammad Nor. 2002. Memahami Bahasa Alquran;
Refelksi atas Persoalan Linguistik. Cet. I; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Khallaf, Abd al-Wahhab. 1994. “‘Ilm Usul al-Fiqh”. Terj. Noer
Iskandar al-Barsany dan Muh. ToIchac Mansoer.
Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul Fiqh. Cet. IV;
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Munawir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawwir; Kamus Arab-
Indonesia. Cet. 14; Surabaya: Pustaka Progressif.
Qaththan, Manna’ al-. 2004. “Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an”.
Terj. Mudzakkir AS. Studi Ilmu-Ilmu Alquran. Cet. VIII;
Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
Sabt, Khalid bin ’Utsman al-. 2000. Qawa’id al-Tafsir Jam’an wa
Dirasah. Cet. I; Madinah: Dar al-‘Affan.
Sadr, Muhammad Baqir al-. dan Murtada Mutahhari. 1993. “A
History of ‘ilmul Ushul” & ‘’Jurispudence and its
Principles’’. Terj. Satrio Pinandito dan Ahsin
Muhammad. Pengantar Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh
Perbandingan. Cet. I; Jakarta: Pustaka Hidayah.

BAB XVIII
KAIDAH ‘AMM DAN KHASH

A. Kaidah ‘Amm dan Khash

Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk


umatnya, disamping sebagai pelita, petunjuk dan pedoman
dalam mencapai kebahagian dan keridhaan Allah Swt .di dunia
dan di akhirat, juga sebagai mukjizat untuk membuktikan
kerasulannya, Alquran diturunkan oleh Allah Swt. dalam
bahasa Arab yang amat tinggi dengan gaya sastra yang
menajubkan sehinnga tidak seorangpun yang dapat
mendanginya (Harjum, Vol III, 2002: 364 – 374) dan telah
terbukti dalam perjalanan sejarahnya, sejak pewahyuan hingga
hari ini.
Secara umum Alquran terdiri dari gagasan-gagasan
moral dan hukum, perintah dan larangan,yang mengacu kepad
ahal–hal yang di benarkan dan yang dilarang.Janji akan surga
bagi yang beriman dan acaman neraka bagi orang yang zhalim,
ia juga berisi laporan mengenai Berbagai Nabi serta umatnya
yang terdahulu,ungkapan–ungkapan dan peringatan–
peringatan. Akhirnya ia menetapkan bagi yang bertakwa,
kewajiban shalat, puasa, zakat, haji dan berperang di jalan
Allah (Ayub, 1992: 28) serta berbagai ibadah lainnya dalam
Islam.
Sistem tasyri-‘ dan hukum keagamaan mempunyai
sasaran yang jelas. Terkadang suatu hukum mengandung
sejumlah karateristik yang menjadikannya bersifat umum,
Meliputi setiap indufidu dan relevan untuk semua keadaan.
Dan terkadang pula sasaran itu terbatas dan bersifat kusus
maka penjelasan hukum yang bersifat umum, biasanya
Kemudian diikuti ucpan lain yang menjelaskan batasanya atau
mempersempit cakupanya .Kemampuan tertorika bahasa arab
dalam meragamkan seruan serta menjelaskan sasaran dan
tujuan Merupakan salah satu manifestasi kekuatan bahasa
tersebut dan kekayaan khazanahnya. Apabila dihubungkan
dengan kalam allah maka pengaruhnya dalam jiwa menjadi
tanda kemukjizatan sendiri, yakni kemukjizatan tasri-‘
Disamping kemukjizatan bahasa (al–Qaththan, 2004: 272).
Dan terkadang terjadi kemiripan antara’amm (umum )
dan khash ( khusus ) sehingga Menimbulkan perselisihan
dikalangan ulama, tetapi kebanyakan perselisihan inia dalah
lafziyah ( secara lafazh dalam Alquran ). Fenomena lafazh ‘amm
dan khash dalam Alquran kalau ada qarinahnya tidak
menimbulkan khilaf (Ismail, 1991).

B. Pengertian ‘amm, Bentuk – bentuk dan macam – macam


nya
1. Pengertian Al-’amm

Yang di maksud dengan al-’amm menurut bahasa berati


‫ (هوالشامال‬yang meliputi) (al–Sabt, Juz III, 1996: 547) sedangkan
menurut istilah, terdapat beberapa pengertian yang diurutkan
oleh para ulam diantaranya adalah :
Manna’ al –qattan : definisi am (‫ ) رجل‬adalah lafazh yang
mencangkup segala apa yang pantas tampa ada pembatas
(Ismail, 1991).
a) Ar- razi : ‘amm ( ‫ ) الع""ام‬adalah lafazh yang mencangkup
segala apa yang pantas baginya sesuai dengan satu tujuan
(Ismail, 1991).
b) Subhi as- saleh :’ Am (‫ ) العام‬adalah lafazh yang menujukan
padanya dalil, asal bentukan bahasanya mencangkup semua
person( jiwa) yang biasa dipercayai maknanya tampa batas
kualitas dan kuantitas. Contoh dalam Q.S. Yasin/36:20
)20( ‫وجاء من اقصى امدينةلرجال يسي‬

Maka lafazh ‫رجل‬bukan lafazh am karena ia menujukan


seorang tertentu. Maka lafazhnya ‫ رجل‬bukan lafazh ‘amm
karena menujukan dua orang dua orang tertentu (al-Shahih,
1988: 304). Dari sekian banyak definisi diatas, maka penulis
lebih cenderung kepada pendapat Manna‘ al-Qaththaan ,karena
dapat di pahami bahwa itu merupakan umum
2. Bentuk –Bentuk ( Sighat) Lafazh

Lafazh ‘ am mempunyai tanda-tanda (bentuk–bentuk)


agar mudah mengetahuinya adapun lafazh tersebut ,di
antaranya :
a) Kull ( ‫)كل‬, seperti Q.S. Alimron/3 : 185.
       
        
        
Terjemahanya :
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan
sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan
pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah
beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah
kesenangan yang memperdayakan (Depag R.I., 1990:
109).
Lafazh kull ( ‫ ) كل‬mubtada; (al-Suyuti, Jilid II, 1996: 41)
sebagaimana firman allah dalam
Q.S. Al-Rahman/55 :26
   
Terjemahanya: . Semua yang ada di bumi itu akan
binasa.

b) Lafazh- lafazh yang dimakrifatkan dengan al- (alif lam)


sebagai mufrad sebagai mana firman Allah Swt.. Q.S. Al-
Maidah /5 :(38)
     
       
Terjemahanya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi
apa yang merekkerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Atau sebagai jamak , (al-Shalih, 1988: 305) sebagaimana


firman Allah Swt.. dalam Q.S. al-Mu’minun /40: 1
   
Terjemahanya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang
yang beriman,

c) Isim nakirah dalam konteks nafi dan nahi (al–Qaththan,


2004: 27). Seperti dalam Q.S.Al-Baqarah/2:197
        
          
        
   

Dan sebagai mana firma-Nya dalam Q.S. Al- Isra/17:23.


      
       
        
 
Terjemahanya:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik
pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah
seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan
"ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.
d) Alladzi (‫ ) الل""دئ‬dan allati (‫ )ال""ثي‬serta cabang – cabangnya.
Misalnya dalam firman Allah Swt... Q.S. Al –Ahqaf/46 :17
      
       
          
 
Terjemahnya:
Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya:
"Cis bagi kamu keduanya, Apakah kamu keduanya
memperingatkan kepadaku bahwa aku akan
dibangkitkan, Padahal sungguh telah berlalu beberapa
umat sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon
pertolongan kepada Allah seraya mengatakan: "Celaka
kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah
benar". lalu Dia berkata: "Ini tidak lain hanyalah
dongengan orang-orang dahulu belaka"..

Maksudnya ,tiap orang yang mengatakan seperti. Itu


berdasarkan pada ayat sesudahnya dalam bentuk jamak, yaitu
firman Allah Swt... Q.S.Al- Ahqaf/46 : 18
        
        
Terjemahanya:
Mereka Itulah orang-orang yang telah pasti ketetapan
(azab) atas mereka bersama umat-umat yang telah berlalu
sebelum mereka dari jin dan manusia. Sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang merugi.
e) Semua isin syrat . Misalnya dalam Q.S. Al-Baqarah/2 : 158.
         
         
      
Terjemahnya:
Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari
syi'ar Allah. Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke
Baitullah atau ber-'umrah, Maka tidak ada dosa baginya
mengerjakan sa'i antara keduanya. dan Barangsiapa yang
mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka
Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi
Maha mengetahui.

Ini untuk menujukan umum bagi semua yang berakal (al–


Qaththan, 2004: 27).
1. Macam –Macam Lafazh ‘amm

Lafazh yang bersifat umum (‫ ) العام‬terbagi menjadi tiga


macam,yaitu:
a. Umum yang tetap dalam dalam
keutamaanya.Al-Qadhi Jalaludin al-Balqini
mengatakan, umum yang seperti ini jarang ditemukan
,sebab tidak ada satupun Lafazh ,am (umum) kecuali di
dalamnya terdapat taksis (pengkususan) (al–Qaththan,
2004: 276). Sebagai mana firman Allah Swt.. dalam Q.S.
Al- Hajj/22 :1.

       


 
Terjemahnya:
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu;
Sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu
kejadian yang sangat besar (dahsyat).

Kekususan ini tampa ada mukllaf ( beban padanya) (al-


Suyuti, 1996: 42) dan Dr.Sayyid Abdul Gaffar (1990)
berpendapat bahwa, keutamaan disini tidak boleh ditakhsis.
Sebagai mana firman Allah Swt. ‘’ wa ma khalaqu al – jinna wa al
– insa iliaya’budun. Tetapi Al-Zarkasyi dalam al-Burhan
mengemukakan ,umum yang demikian banyak terdapat dalam
Alquran .lalu ia mengjukan berapa contoh (al–Qaththan, 2004:
276), antara lain dalam Q.S. Al- Nisah /4 :176

        


          
         
       
       
         
Terjemahnya:
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia
tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak;
tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh
yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri
dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian
dua orang saudara perempuan.

Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya


kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Dalam Q.S Al-khafi/18:49
      
      
        
     
Terjemahnya:
Dan diletakkanlah Kitab, lalu kamu akan melihat orang-
orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di
dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka Kami,
kitab Apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan
tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya;
dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada
(tertulis). dan Tuhanmu tidak Menganiaya seorang
juapun".

Umum dalam kedua ayat ini tidak mengandung


kekhususan.
Kedua, umum tetapi yang dimaksud adalah
khusus.misalnya dalam firman Allah Swt... Q.S. Ali
‘Irman/3:173

        


      

Terjemahnya:
(yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang
kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan:
"Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan
untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada
mereka", Maka Perkataan itu menambah keimanan
mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi
penolong Kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung".

Yang dimaksud dengan “al-nas” yang pertama adalah


nuaim bin Mas’ud,dan “al-nas”
Yang kedua adalah abu sufyan.kedua lafazh tersebut tidak
dimaksudkan untuk mkna umum.
Ketiga, umum yang dikhususkan. umum seperti ini
banyak ditemukan dalam Alquran (al–Qaththan, 2004: 277) di
antaranya adalah Q.S al-baqarah/2:187.
        
         
      
        
      
        
        
        
   
Terjemahan:
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa
bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah
pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi
mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu
dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang
campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu
fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka
itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan
Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa.

Dan Q.S. Ali ‘imbran/3 : 97


        
         
        
Terjemahan :
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya)
maqam Ibrahim Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu)
menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup
Mengadakan perjalanan ke Baitullah[216]. Barangsiapa
mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah
Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta
alam.

Adapun perbedaan antara lafazh umum yang bermakna


khusus dengan lafazh umum yang dikhususkan dapat dilihat
dari berbagai sisi,yang terpenting antara lain: Umum tetapi
dimaksudkan adala khusus (al- am, al-murad, bi al khushush),
tidak dimaksudkan untuk mencangkup semua satuan atau
indifidu yang dicangkupnya sejak semula dari segi cakupan
makna lafazh maupun dari hukumnya. Lafazh tersebut
memang mempunyai individu-individu namun ia digunakan
hanya untuk satu atau lebih. Sedang yang kedua dimaksudkan
untuk menujukan makna umum, meliputi semua
individunyadari segi cangkupan makna lafazh dari hukumnya.
Maka lafazh ‘’al-nas’’ dalam firman Allah ‫ا الناس‬$$‫ذين قللهم‬$$‫’’ال‬
meksipun bermakna umum tetapi yang dimaksud oleh lafazh
dan hukumnya adalah satu orang.
Adapun lafazh ‘’al-nas ‘’ dalam ayat ‘‫وهللا على الناس حج‬
‫بيت‬$$‫ال‬.’’, maka ia adalah lafah umum tetapi yang dimaksud
adalah semua individu yang bisa dicangkup oleh lafazh.
Meksipun kewajiban haji hanya meliputi orang yang mampu
saja diantara mereka secara khsus.
C. Pengertian Khash dan Macam – macamnya
1. Pengertian Khash

Adapun yang dimaksud dengan al-khash (khus),


menurut bahasa lawan kata dari al-’amm yang berati al-
munfarid (tidak mencangkup, tidak meliputi) (al–Sabt, Juz, 1996:
610) Sedang menurut istilah terdapat beberapa pengertian
diantaranya adalah:
a. Al-khash berati tidak menghabiskan keseluruhan apa
yang pantas baginya tampa batasan (Khallaf, 1994: 299).
b. Menurut Al-Amidi dalam ushul fiqih, khash ialah lafazh
yang tidak patut digunakan bersama oleh jumlah yang
banyak (Sayifudin, 2008: 172).
c. Al-khudari Bik mendifinisikan kata khash sebagai lafazh
‘amm kepada afradatnya dengan dalil yang menujukan
demikian . Ibnu Subki memberikan definisi Al-khash,
adalah membatasi lafazh ‘amm kepada satuan
pengantinya. (afradatnya) (Bik, 1988: 172).

Adapun al-takhshish adalah membatasi lafazh ‘amm


kepada afradatya dengan dalil yang menujukkan demikian,
Ibnu Subki memberikan definisi, al-khash adalah membatasi
lafazh ‘amm kepada satu pengertianya (afradatnya) (Sayfudin,
2008: 38) Menurut Manna’ al–Qaththan (2004: 277) bahwa
takhshish adalah pengeluaran sebagian apa yang dicakup lafazh
‘amm.

2. Macam–macam Khashh

a. Takhsis Alquran dapat mentakhshish Alquran.

Mereka beragumen dengan dalil naqli (Sayfudin, 2008:


94). Dalil naqli yang dikemukan kebanyakan ayat Alquran
yang memtaksiskan lafazh ‘amm dalam Alquran. sebagaimana
dalam Q.S. Al-Baqarah/2:228, sebagai berikut.
    
Terjemahnya :
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'

Keharusan perempuan bercerai dari suaminya untuk ber’iddah


tiga guru itu berlaku umum untuk semua dengan tidak melihat
keadaan dan sifat perempuaan itu saat bercerai.pengertian
‘amm ayat ini ditakhsis oleh firman Allah Swt.. dalam Q.S. Al-
Ahzab/33 : 49 sebagai berikut :
      
        
      
Terjemahnya :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu
ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka
mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang
sebaik- baiknya

Dengan adanya ayat khusus tentang perempuan yang


terpisah dengan suaminya karena kematian harus ber’iddah
selama empat bulan sepuluh hari,maka hukum ‘amm yang
mengharuskan ber’iddah tiga guru tidak lagi mencup
perempuag yang ditalak dalam keadaan belum pernah
digauli.r ulama
Adapun dalil naqli dari Jamhur ulama adalah bila dua
nas Alquran bertemu, satu diantaranya umum dan yang
satunya lagi khusus, dan tidak mungkin dikumpulkan, maka
tentu harus beramal dengan salah satu diantaranya,yaitu :
umum atau khusus.
b. Takhshish Alquran dengan Sunnah
Untuk sunnah yang kekuasanya mutawatir,para ulama
tidak berbeda pendapat tentang kebolehanya sunnah itu
mentakhsis Alquran .tetapi untuk sunnah yang kekuatanya
ahad,para ulama pendapat tentang boleh tidaknya mentakhsis
Alquran (Sayfudin, 2008: 96). Contoh pada Q.S. An-Nisah /4:24
        
        
Terjemahnya:.
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang
bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah
telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas
kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian

Ayat ini mengandung arti, Am boleh mengawini siapa


saja perempuan yang tidak disebutkan sebelumnya (dalam Q.S.
Al-Nisah /4 :22-24). Ayat tersebut di takhsis oleh hadis dari
Abu Hurairah yang mengatan bahwa :
‫ءناايي هريرةقال قالسول هللا صاى هللا ءليه وس""لم تنكح الم""راهءلي‬
‫خالتحا‬
Artinya :
Tidak boleh menikahi seorang perempuandengan
saudarah ayahnya dan tidak boleh dengan saudara
ibunya.’’

Ketentuan ayat diatas berlaku umum yang kemudian


ditakshsish dengan sabda Rasulullah Saw. Yang menerangkan
bahwa poligami dengan saudara perempuan bapak dan ibu istrinya
juga dilarang. (Muslim, Juz II, 1993: 439).
c. Takhshish Sunnah dengan Sunnah Alquran (al–Qaththan,
2004: 280).
Terkadang ayat Alquran menguhsuskan keutamaan para
ulama mengumukakan contoh hadis riayat Abu Waqiah Al-
Laits r.a.berkata Nabi Salallahu’ Alaihi Wasallam bersabda
yang artinya’’ bagian apa yang dipotong dari hewan ternak
hidup maka ia adalah bangkai.hadis ini ditaksis oleh
quaran.Q.s an-nahal/16:60 yang artinya: dan(dijadikannya
pula) dari bulu domba,bulu unta,dan bulu kambing.alat-alat
rumah tangga dan perhiasan yang kamu pakai sampai waktu
tertentu.
d. Takhshish Sunnah dengan Sunnah (Sayfudin, 2008: 99)
Jamhur ulama berpendapat bahwa boleh takhsis sunnsh
dengan sunnah,baik sunnsh itu dalam bentuk ucapan,perbuatan atau
keputusan.misalnya hadis riwayat dari said bin abdullah riwayat
bukhari (al–Sabt, Juz III, 1996: 548),
‫قال فيما اسماءوالعيو" ن اؤكان ءسرياالعشر‬
Artinya: Tanaman yang dialiri oleh hujan ,matahari dan
sungai,zakatnya seper sepuluh.

Hadis ini secara Am menjelaskan kewajiban zakat atas


tanaman yang di aliri oleh hujan ,mata air atau sungai sebanyak
seper sepuluh,baik sudah sampai satu nasab atau
belum.keumuman hadis ini ditakhsis oleh hadis Nabi Saw.
dari Said Al-Kudhri yang mengatakan bahwa :
‫ابي سعيدالخدري" قالرق""ال" قالرس""ول اللهص""الئ" هللاءلي""ه وس""م ليس‬
.‫فيمادون خمسة اؤساقا من تمر وللغب صدقة‬
Artinya;
buah-buahan dan biji-bijian yang kurang dari lima wasak
tidak diwajibkan zakat (Muslim, Jilid II, 1993: 284).

D. Kaidah-kaidah Am san Khash


Kaidah pertama :
‫االلفاظ معارف ونكرات فكل اسم معرفة ذي افراد يفيدالعموم وكل‬
‫لفظ لكر ة في اوولنفي" اوالنهيااوالشرط اواالستفهام اراالمتنان فانه‬
."‫يفيداءكانااسءاوفعل‬
Artinya:
Lafazh terdiri dari ma’rifa dan nakirah.Setiap isim ma’rifa
yang memilki individu-individu,dan tiap lafazh nakira
dalam konteks nahi (larangan) nafi (pengasihan),
syararat, istiham (pertanyaan) dan imtinan (ucapan
selamat) menujukan pengertian umum baik dia berupa
isim atau fi’il (kata kerja) (al–Sabt, Juz III, 1996: 548).

Kaidah ini sanggat luas, mencangkup singah-singah


bentuk-bentuk keumuman secara lafazh.setiap isim Ma’rifa
yang memiliki satuan (indivi-individu) mengandung arti
umum.maksudnya sesuatu yang tidak memiliki satuan-satuan
seperti nama orang misalnya: Muhammad adalah nama khusus
yang tidak tercakup dalm kaidah ini.
Yang termaksud dalam isim ma’rifah yang memiliki
satuan-satuan (individu-individu) adalah :

Pertama, Asma’ Mausulah (kata sambung). Isim mausul


menunjukan keumuman baik bentuknya mufrad, mutsanna, atau
jamak yang termaksud asma’ mausulah adalah:
a. ‫ الزي‬Dan serta cabang-cabangnya.terkadang‫ الذي‬berarti
‫الذين‬

Sebaimana dalam Q.S al-Baqarah /2:17


‫مثلهم كمثل الذي استو قدنار‬
b. ‫ من‬mencakup bentuk mudzakkar, muannats, mufrad,
mutsanna dan jamak. kebanyakan-kebanyakan
digunakan untukallim (yang mengetahui/berakal).
Misalnya, dalam Q.S. al-Rahman/55: 46
‫ولمن خاف مقا م ربه جنتان‬
c. ‫ما‬kebanyakan digunakan untuk yang tidak
berilmu/berakal, meskipun terkadang juga digunakan
untuk yang beakal. Misalnya dalam Q.S. al-Baqarah/2:
229
‫فالجنا ح ليهما فيما افتدان‬
d. ‫ االلفا‬digunakan untuk yang berakal dan yang selainnya.
Misalnya dalam Q.S. al-Nur/24: 2.
‫الزانية والزالي فا جالدوا‬
e. ‫ اذ‬digunakan untuk yang berakal dan yang selainya,dan
syarat digunakannya sebagai mausula adalah dengan
didahului oleh atau yang bersifat pertanyaan. Misalnya
Q.S. al-Baqarah/2: 255.
‫من ذاا لذي يشفح ءنده االبا ذنه‬
f. ‫ اي‬Sebaimana dalam Q.S. Maryam/19: 69
‫ثم لنو ءن من كل شيعة الرحمن ءتيا‬
1. Jamak secara umum, baik yng dita’rif dengan menggunakan
al-lam atau dengan al-idhafah dengan syarat bukan hal
tertentu yang diketahui (al–Sabt, Juz III, 1996: 552).

Maksud dari jamak secara mutlak menujukan pengertian


umum adalah baik yang berbentuk nudharkkar atau
mu’annath,baik berupa jamakyang berturan ( salim ) dan yang
tidak beraturan ( taksir) baik berupa jamak qillah ataupun
jamak kathrah dan begitu pula isim jamak. Misalnya dalam
Q.S. Al-Baqarah/2 :210.
"‫الى هللا ترجع االمور‬
Terjemahnya : dan hanya kepada allah dikembalikan
segala urusan.
Misalnya, yang dita’rif dengan idhafah, sebagaimana
dalam Q.S. Al-Nisah/4: 11
‫يو صيكم اهللا في اوالكم‬
Kata “al-Awlad” mencangkup semua anak secara umum.
2. Jika bentuk tunggal (mufrad) merupakan isim jenis
kebanyakan penyebutanya dimaksudkan sebagai jamak baik
dalam bentuk nakirah atau Ma’rifa lam ataupun
idahfah,dengan syarat tidak didapati adanya hal tertentu
yang diketehui (al–Sabt, Juz III, 1996: 553).
Contoh bentuk tunggal yang diidafahkan yang
menujukan jamak adalah Q.S. Al-Hajj/22 :5
‫ثم نخم جكم طفال‬
Contoh bentuk tunggal yang diidafpahkan yang
menujukan jamak adalah Q.S. Al-Nur/24 :61.
Contoh bentuk tunggal yang yang dita’arif dengan
mengunakan alif dan lam yang menujukan jamak adalah Q.S.
Ali ’Imran/3: 119
‫و تؤ منو با لكتا ب كله‬
3. Nakirah dalam konteks nahi (larangan), nafi (penegasan),
syarat, istiham (pertayaan), dan imtinan (pembicaraan,
anugerah/ nukmat) menujukan pengertian umum.
Contoh nakirah dalam konteks penegassan dalam Q.S.
Al- infitar/ 82 : 19
         
Terjemahnya :
Yaitu hari ketika seorangtidak beerdaya sedikitpun
untuk menolong orang lain.dan segala urusan pada hari
itu kekuasaan Allah.

Kata nafs dan syai’a dalam ayat ini adalah bentuk nakirah
yang ditegaskan sehingga menujukkan pengertian umum,
siapa pun orangnya tidak mampu memberikan apa pun kepada
orang lain (pada hari kiamat) (Dahlan, 1998: 66).
Contoh nakirah dalam konteks larangan, dalam Q.S. al-
Nisa’/ 4: 36
      
        
  

Terjemahanya :
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.’’
Maksudnya larangan mempersekutuan Allah,dengan
cara bagimanapun.baik berbentuk niat, perkataan, dan
perbuatan sebagaimana juga mencangkup segala macam syirik
besar, kecil, nyata maupun tersembunyi (al–Sabt, Juz III, 1996:
68).
Contoh nakirah dalam konteks syarat, dalam Q.S.
Fushshilat/41: 46

         


  
Ayat ini mencangkup seluruh amal sahih besar atau
pun kecil, tersembunyi ataupun terang-terangan.
Contoh nakirah dalam konteks pertanyaan, dalam Q.S.
Fathir/35: 3

        


         
    
Terjemahnya :Adakah pencipta selain Allah yang dapat
memberi rizki kepada kamu dari langit dam di bumi?
Tidak ada tuhan seain dia.

Dalam kaidah ini dapat pula ditambahkan jika kata min


(‫ )من‬dihubungkan dengan nakirah,maka kata itu merupakan
petunjuk untuk menetapkan pengertian umum (Dahlan, 1998:
68).
Contoh nakirah dalam konteks pemberian
anugerah/nikmat (imtinan) dalam Q.S. al-Furqan/25: 48.

        


    

Terjemahanya : Maka setiap air yang diturunkan dari


lamgit merupakan air yang bersih.
Kaidah kedua:
‫قداس""تقر في ءر ف الش""ارع ان اال حك""ام االلمزك""ورة بص""يعةاذا‬
.‫اطلقت و لم تقترن با لؤنت فاها تتناو ل الرجا ل والنساء‬
Terjemahnya :
Telah menjadi ketetapan syari ( Allah Swt.. ) bahwa
hukum–hukum yang disebutkan dengan mengunakan
bentuk mudhakkarin (jamak jenis laki-laki) jika
disebutkan secara bebas tampa disertai dengan bentuk
mu’annath( jenis perempuan),maka ia (mencangkup laki-
laki dan perempuan) (al–Sabt, Juz III, 1996: 571).
Misalnya dalam Q.S.Al-Nisa/4: 11.

        


          
        
          
        
         
        
           

Terjemahnya:
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki
sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;
jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Kata ikhwah disini mencangkup semua saudara baik itu


laki-laki tapun perempuan.
Kaidah ketiga:

.‫اخطاب لواحدمناالمة يعمءيره االلد لبل حيصصه به‬


Artinya :
Ucapan /suatu pembicaraan yang ditunjukan kepada
salah satu umat mencangkup secara umat yang
lainya,kecali ada petunjuk yang mengkhusukanya (al–
Sabt, Juz III, 1996: 573).
Kaidah ini sangat penting sebagai mana telah
diungkapkan dengan perkataanya bahwa.’’tiap
dalil/petunjuksya’i bisa diubah menjadi yang umum/tidak
terbatas,baik itu bagi kita umum ataupun hal yang terbagi-
bagi,kecuali ada dalil yang mengkhususkanya. Misalnya dalam
Q.S. Al-Ahzab/33 : 53

       


        
      
       
         
       
        
         
     

Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memasuki rumah- rumah nabi kecuali bila kamu
diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu
waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang
Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah
kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan.
Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu nabi
lalu nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu
keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.
apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada
mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang
tabir. cara yang demikian itu lebih Suci bagi hatimu dan
hati mereka. dan tidak boleh kamu menyakiti (hati)
Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya
selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya
perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.

Ayat ini merupakan dalil yang jelas bahwa kewajiban


berhijab merupakan hal yang umum, mencangkup seluruh
wanita, tidak dikhususkan pada istri-istri Nabi Saw. saja.
Mekispun lafazh aslinya khusus untuk mereka (istri Nabi)
karena keumuman ’illah (factor penyebab) merupakan petunjuk
atas keutamaaan hukum didalamnya. Adanya ‘illah ( sebab)
hukum dalam ayat ini merupakan indikasi yang jelas mengenai
keutamaan hukum ayat ini,sebagai’illahnya’dalah firman Allah
Swt.. dalam ayat ini’’‫ ذلكم اطه""ر لقل""و بكم وقل""و هن‬karena tidak ada
seorangpun yang mengatakan bahwa selain dari istri-istri Nabi
Saw.. tidak membutuhkan kesucian hati mereka dan kesucian
hati kaum laki-laki kegelisahan/kecemasan.terhadap
mereka(perempuan)telah menjadi ketetapan dalam ilmu Ushul
Fiqih bahwa’illah (sebab) mencangkup/ meliputi seluruh
ma’lumnya(akibatnya) (al–Sabt, Juz III, 1996: 574).

Kaidah keempat :

‫ااخطابات العامة في القر ان تشمل الني ص""لى هللا ءلي""ه وس""لم كم""ا‬
.‫ان اخطابات الو جهت اليه ااصلة وسالم تشل اال مة االلد ليل‬
Terjemahnya:
Ucapan-ucapan atau pembicaraan yang bersifat umum
dalam Alquran berlakubagi Nabi Muhammad Saw.
,sebagai mana pembicaraan yang ditunjukan kepada Nabi
Saw.. berlaku juga untuk umat secara umum kecuali ada
yang menujukan pada hal yang demikian (al–Sabt, Juz
III, 1996: 578).
Ucapan atau perkataan yang bersifat umum dalam
Alquran berlaku juga bagi Nabi Muhammad Saw. , karena
Nabi juga mengembangkan taklif sehingga pembicaraan yang
bersifatnya umum bagi umat juga berlak bagi Nabi Saw.. .
Misalnya dalam Q.S.Al-Imbran/3 :200.

     


   
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, Bersabarlah kamu dan
kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di
perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah,
supaya kamu beruntung.

Sedangkan ucapan-ucap yang diarahkan kepada


Rasulullah Saw. ,berlaku juga bagi umat secara umum kecuali
ada dalil yang lain. Hal ini dikarenakan Nabi Saw. merupakan
suri tauladan bagi umatnya.sehingga pembicaraan atau
ucapan, tersebut diarahkan kepada siapa yang menjadi
panutan atau tauladan,umat bukan berati menghususkan pada
beliau saja hukumnya,tetapi perkataan terebut berlaku juga
bagi umat secara keseluruhan yang terwakili oleh pribadi Nabi
Saw.. .sebagai mana telah diketahui bahwa dasarnya,
Ucapan yang disampaikan kepada seorang tokoh yang
dijadikan tauladan juga merupakan perkataan para
pengikutinya. Hal ini dilihat dari sudut pandang hukumnya
bukan dari segi lafazh nya,maka keumuman bersyifat syar’i
(al–Sabt, Juz III, 1996: 578-579). Misalnya dalam Q.S.Al-
Talaq/65:1
     
        
       
         
          
 
Terjemahnya:
Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka
dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan
hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada
Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari
rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar
kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.
Itulah hukum-hukum Allah, maka Sesungguhnya dia
telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak
mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu
sesuatu hal yang baru.

Pada ayat ini yang diajak berbicara adalah Nabi


Muhammad Saw. kemudian Allah Swt.. berfirman setelahnya’’
‫ ’‘فطلقو هن‬dengn mengunakan bentuk jamak inilah merupakan
indikantor atau keterangan dalam ayat yang menujikan bahwa
pembicaraan tersebut diarahkan kepada seluruh umat secara
umum (al–Sabt, Juz III, 1996: 580).

Kaidah kelima :

‫اذ اكان اول الكلالم خاصا واخره بصيخة العموم فان غصوص او‬
.‫لهل ال يكو ن ما نعامن ءموم اره‬
Artinya ;
Jika pada awal perkataan menujukan sesuatu yang
khusus kemudian diakhir perkataan berbentuk umum,
maka bentuk khusus yang ada pada awal perkataan tidak
menghalangi keumuman akhir perkataan tersebut.
Misalnya dalam Q.S. Al-Maidah/5 : 38
     
.        
Terjemahnya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi
apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Kemudian pada ayat setelahnya Q.S. al-Maidah 5 : 39


         
    
Terjemahnya:
Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri
itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki
diri, Maka Sesungguhnya Allah menerima taubatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.

Pada ayat pertama hanya terbatas pada salah satu sifat


khusus dari orang-orang yang zalim yaitu mencuri.sedangkan
pada ayat setelahnya dijelaskan taubat setelah melakukan
kezaliman atau kejahatan dan memperbaiki diri bagi semua
orang zalim (apapun bentuk kezalimanya).jadi tidak dapat
dikatakan bahwa ayat yang kedua hanya dikhususkan terbatas
pada salah satu sifat khusus dari orang-orang yang berbuat
zalim,tetapi ayat kedua tetap bersifat umum.

Kaidah keenam :
.‫حذف ا لعمول فيه يفيد تعميم النا سب له‬
Artinya: Peniadaanobjek kalimat menujukan pengertian
umum yan sepadan (al-Sa’id, 1980: 46).
Apabila suatu kata kerja (fi’il) ataupun yang
mengandung arti kata kerja pada kata yang berkaitan akan tapi
jika objek kata kerja ataupun yang. mengandung arti kata kerja
itu dibuang (tidak disebutkan), kata tersebut menujakan
pengertian umum.
Misalnya dalam Q.S. Al-Nur/24 : 61
‫كذالك يبين هللا لكم االيات لعلكم تعقلون‬
Objek dalam kalimat ini memang tidak disebutkan . Hal
ini untuk menujkan pengertian umum,yaitu agar kalian
memikirkan Allah yaitu semua yang mengarah,memberi
petunjuk kepada-nya dan yang teelah diajarkan kepada kalian,
serta memikirkan semua yang telah diturunkan kepada kalian
berupa Alquran dan hikah yang terkandung (al–Sabt, Juz III,
1996: 586). Jadi semua makna yang sepadan dalam pengertian
kata berpikir dalah bagian dari pengertian ayat tersebut diatas.
3. Kaidah- Kaidah Khash
‫اذا وردالشرط" اواالستناء او الخاية او االشارة ب ذلك بعد مف""ادات‬
‫اؤجمل متعا طفة عاد الئ جميعها اال بقرينتة‬
Artinya:
Jika ada syarat-syarat pengecualian (istithna), sifat batas
maksimal (gayah) petunjuk (isyarah) dengan
mengunakan lafazh ‘’itu’’( dhilika), setelah kata-kata
terprinci atau kalimat tersebut,kecuali ada indikator yang
menujukan kebainya kepada selainya.
Contoh dari (syarat) dalam Q.S. Al-Maidah/5 : 89
tentang kafarat melangar sumpah (yamin).
‫فكفارت"""ه اطعامءش"""رة مس"""ا كبن من اؤس"""ط" م"""ا تطعم"""ون اهليكم‬
‫اوكسوو تهم اوتحغر ير رقبة فمن لم يجد فصيام ثالث ثة ايام‬
Ayat ‘’‫’’فمن لم غجد‬ kembali kepada ketika perkara yang
sebelumnya.
Contoh dari pengecualian (istitsna), dalam Q.S. Al-
Nisa/4: 43
      
        
         
       
      
       

Ayat ‘’ ‫’’اال عابري سبيل‬kembali pada kata ‘’‫’جنبا‬.
Contoh dari batas maksimal (gayah),dalam Q.S. Al-
Baqarah/2 :187
      
      
        
       
        
‘’kembali kepada makan dan minum” ‫ي""تين‬ ‫ ح""تئ‬ayat ‘’
Contoh dari sifat, dalam Q.S.Fatir/35 :32-33
       
      
        
        
     
Ayat ‘’‫’’جنا ت ءد ن يد خلوها‬kembali kepada tiga pembagian yang
disebutkan pada ayat sebelumnya.
Contoh dari kata petunjuk dengan mengunakan
‘’itu’’( dhalika), dalam Q.S.Al-Furqan /25:68
        
         
    
Maka kata pentunjuk ‫ ذل‬pada ayat tersebut kembali kepada
semuayang disebutkan sebelumnya
PENUTUP
Berdasarkan uraian diatas dapat kita ambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Al-’amm (‫ )العام‬adalah yang mencangkup segala apa yang
pantas baginya tampa ada pembatasan.
2. Al-Khashh (khusus), menurut bahasa lawan kata dari
al-’amm yang berati al-munfarid (tidak menangkup atau
tidak meliputi). Sedangkan menurut istlah al-Khashh
berati tidak menghabiskan keseluruhan apa yang pantas
baginya tampa ada pembatasan.
3. Kaidah-kaidah ‘amm dan khashh diantaranya adalah :
a. Setiap isim ma’rifah yang memiliki individu-individu
dan setiap lafazh nakirah dalam konteks nahy
(larangan), nafy ( penegasan ), syarat istiham
(pertanyaan) dan imtinan (ucapan selamat) menujuk
pengertian umum baik dia berupa isim atau fi’il (kata
kerja).
b. Hukum-hukum yang disebutkan dengan
menggunakan bentuk mudzakkarin (jamak jenis laki-
laki) juga disebutkan secara bebas tanpa disertai
dengan bentuk mu’annats (jenis prempuan) maka ia
mencangkup laki-laki dan perempuan.
c. Ucapan suatu pembicaraan yang ditunjukan kepada
salah satu umat mencakup umat yang lainya, kecuali
ada pentunjuk yang mengkususkannya.
d. Ucapan-ucapan pembicaraan yang bersifat umum
dalam Alquran berlaku bagi Nabi Muhammad Saw.
Sebagaimana pembicaraan yang ditunjukan kepada
Nabi Saw.. berlaku juga bagi umat secara umum
kecuali ada dalil yang menujukan pada hal yang tidak
demikian.
e. Jika pada awal perkataan menujukan pada suatu yang
khusus kemudian diakhir perkataan berbentuk umum,
maka bentuk khusus yang ada pada awal perkataan
tidak mengahalangi keumaman akhir perkataan
tersebut.
f. Peniadaan objek kalimat menujukan pengertian umum
yang sepadan.
g. Jika dan syarat pengucualain istithna sifat batas
maksimal gayah petunjuk, isyarah dengan mengunakan
lafazh itu dhika setelah kata-kata terperinci atau
kalimat tersebut kecuali ada indikator yang
menujukan kembalinya kepada selainya.
DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Gaffar, Ahmad. 1990. Qadhayah fi Ulum al-Qur’an,


Tu’inu’ ‘ala Fahmihi. Iskandariah: Dar al- Ma ‘rifah al-
Jamiah.
Ayyub, Mahmud. 1992. “The Quran and its Interpreters”. Terj.
Nich G, Dharma Putra. Al-Qur’an dan Penafsirannya.
Cet. I; Jakarta Pustaka Firdaus.
Bik, Khudari. 1988. Ushul al-Fiqh. Birut: Dar Fikr.
Dahlan, Abd. Rahman. 1998. Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qur’an;
Disusun Berdasarkan al-Qawa’id al-Lisan al-Qur’an Karya
al-Sai’di. Cet. II; Bandung: Penerbit Mizan.
Depertemen Agama R.I. 1990. Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Jakarta: Yayasan Penyelengara Penterjemahan/
Penafsiran Al-Quran.
Harjum, Muhammad. “Keunikan Bahasa Al-Qur’an
Menyingkapi dan Keistimewaaan Gaya Bahasa”. 2002.
Jurnal Al-Hikmah. Vol III, Makassar PPIM IAIN
Alauddin.
Ismail, Muhammad Bakr. 1991. Dirasat fi ‘Ulum al- Qur’an. Cet I;
Kairo : Dar al–Manar.
Khallaf, Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqih. Terj. Moh. Zubri
dan Ahmad Qarib, Cet,I ; Semarang: Dina Utama
Semmarang.
Naizaburi, Abu Husain Muslim Bin al-Hajjaj al-Qurais al-.1993.
Shahih Muslim. Juz II, Kairo: al-Mathaba’ah al-
Mishriyah.
Qaththan, Manna al–. 2004. Mabahith fi’ Ulum al-Qur’an. Cet XII;
Cairo: Maktabah Wahbah.
Sabt, Khalid Ibn ‘Uthman al–. 1996. Qawa’id al-Tafsir ,Jam’an
Dirasatan. Juz III, Saudi Arabia: Dar Ibn ‘ Affan.
Sai’id, Abd Al-Rahman Ibnu Nasir al-. 1980. Al-Qawa’id Al-
Hisan li Tafsir Al-Qur’an. Riyadh: Maktabah al-Ma’arif.
Saifuddin, Amir. 2008. Ushul al-Fiqih. Jilid II, Cet. IV; Jakarta:
Kencana.
Shalih, Subhi al-. 1988. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an. Cet. XVII;
Bairut: Dar al- Ilm al-Malayani.
Suyuti, Jalaludin al-. 1996. Al-Itiqan Fi Ulum al-Qur’an. Jilid II,
Cet. I; al- Thaqafiyah.
PENGANTAR PENULIS
Alhamdulillah, segala puji hanya Allah semata. Hadirnya
tulisan ini adalah ketetapan Allah yang dinisbatkan kepada
penulis, maka pujian hanyalah milik Allah yang telah
menisbatkan perbuatan ini kepada penulis, sehingga terwujud
menjadi suatu bacaan, khususnya bagi penggiat studi bahasa
Arab dan studi Alquran. Shalawat dan salam tertuju kepada
Baginda yang mulia, Rasulullah Saw., para keluarga dan
sahabat beliau.
Pemahaman terhadap Alquran tanpa disertai perangkat
metodologis sering menimbulkan pemahaman yang kaku
sampai pada pemahaman yang ekstrim. Pemahaman yang
ekstrim seringkali hanya memberikan satu ruang kebenaran.
Akibatnya, tidak ada ruang yang terbuka lagi untuk
mendiskusikan kemungkinan lain dari makna yang
dikehendaki oleh teks Alquran. Dampak lebih jauh yang
ditimbulkan melebar pada interaksi sosial keagamaan.
Pemahaman yang ekstrim hanya mengakui kebenaran tunggal
untuk semua konteks. Pemahaman seperti itu seringkali
menimbulkan konflik sosial hingga perpecahan. Padahal,
diantara ajaran mendasar Alquran adalah memelihara tatanan
sosial, keteraturan, harmoni, dan persaudaraan. Oleh karena
itu, memahami dan mengamalkan Alquran tidak cukup dengan
semangat dan sangkaan semata. Pemahaman dan
pengamalannya harus didasarkan pada ilmu yang benar.
Karena itulah, dibutuhkan pula perangkat ilmu yang memadai
untuk menghindari jebakan-jebakan ekstrimitas yang tidak
penting itu.
Naskah buku yang kami himpun dan menulisnya ini, awalnya
menjadi bahan ajar ketika mengajarkan matakuliah qawa’id al-
tafsir, yaitu salah satu matakuliah yang membahas tentang
kaidah-kaidah tafsir dengan menekankan pada pola-pola atau
patron bahasa Alquran. Matakuliah ini menuntun para
mahasiswa, khususnya mereka yang mengambil jurusan tafsir
Alquran, agar menjadi bekal untuk memahami pola-pola atau
struktur bahasa Arab yang berhubungan dengan bahasa
Alquran. Meskipun tidak sama persis antara pola bahasa Arab
yang umum dengan pola bahasa Alquran, namun terdapat
begitu banyak kesamaan, sehingga memahami bahasa Arab
merupakan salah satu kunci utama untuk memahami bahasa
Alquran serta kandungannya.
Buku ini memuat beragam tema yang diharapkan menjadi
bacaan serta objek kajian dalam rangka menambah wawasan
dalam studi Alquran. Naskah bukuini sengaja kami upayakan
untuk diterbitkan, sebab materi yang ada di dalamnya menjadi
keharusan bagi setiap penggiat studi ilmu Alquran dan
pengkaji kaidah tafsir. Mengabaikan materi ini, dapat
berdampak buruk bagi terjadinya kekeliruan yang fatal dalam
memahami kandungan Alquran. Bahkan, memproduksi
pemahaman yang tekstual semata tanpa melihat sisi
kontektualnya, dan dapat menimbulkan sikap eksrim dan
fanatik, yang bahayanya tidak kurang dari ketidakpahaman
terhadap Alquran. Ketidakpahaman terhadap kaidah-kaidah
bahasa Arab dan kaidah-kaidah tafsir dapat mengakibatkan
penafsiran Alquran berdasarkan “sangkaan dan selera” untuk
memenuhi syahwat. Sedangkan Nabi Sa. Memberikan warning,
“Barangsiapa yang menafsirkan Alquran menurut kecenderungan
hawa nafsunya maka hendaklah mengambil tempat duduknya dari
neraka”. Artinya, penafsiran terhadap Alquran tidak boleh
berdasarkan sangkaan dan selera, melainkan harus dengan
ilmu. Mufassir harus memiliki kompetensi personal (saleh) dan
kompetensi intelektual (alim).
Masih terbilang minimnya buku serupa ini mendorong kami
untuk merealisir adanya buku ini. Tentu, dengan keterbatasan
yang ada membuka peluang bagi pembaca yang budiman
untuk memberikan saran perbaikan dan kritik yang ada.
Akhirnya, segala upaya kami, semoga Allah meridhai dan
mendatangkan manfaat bagi para pembaca, terutama bagi para
mahasiswa kami. Aamiin.
Gowa, Sulsel, 30 November 2017
Penulis

Muhammad Yusuf

Anda mungkin juga menyukai