Anda di halaman 1dari 113

BAB I BERGAUL MANFAAT DAN KERUGIANNYA

Mukadimah

Dikatakan manusia adalah makhluk sosial, sangat sulit untuk dapat hidup
sendiri tanpa berinteraksi dengan manusia lainnya. Oleh karena itu kita perlu
mengetahui manfaat dan kerugian bergaul. Kapan dibenarkan untuk mengisolir diri
dari manusia lainnya secara total? Dengan siapa kita harus bargaul? Pergaulan dalam
hal apa yang dituntut oleh syariat Islam. Mana yang lebih utama bergaul atau uzlah
(mengisolir diri dari manusia)?
Dalam bab pertama ini penyusun akan meringkaskan penjelasan dari Al
Imam Ahmad bin Muhammad bin Abdrurrahman Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat
tahun 742 H) dalam bukunya Mukhtashar Minhajil Qashidin mengenai uzlah,
manfaat dan kerugiannya.Setelah itu dilanjutkan dengan ucapan Al Imam Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah dari kitab beliau Madarijus Salikin ketika beliau
menyebutkan lima perkara yang dapat merusak hati manusia diantarannya adalah
banyak bergaul dengan manusia.Terakhir bab ini ditutup dengan kesimpulan yang
kami ambil dari penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Qudamah dan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahumullah tentang mana yang lebih
utama bergaul atau uzlah?

Ucapan Al Imam Ibnu Qudamah rahimahullah tentang bergaul, Manfaat dan


Kerugiannya
Ulama berbeda pendapat tentang uzlah (mengisolasi diri dari manusia) dan
bergaul dengan manusia, manakah yang lebih utama diantara keduanya ?
Mereka yang menganggap uzlah itu lebih utama berhujjah dengan hadits Abi
Sa’id radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
Ada orang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling
utama?”Beliau menjawab,

1
‫س همفن رششره‬ ‫ه‬ ‫ه ه ه ب ه‬ ‫ه ه ه ه ه هه ه ه‬
‫ررججلل جيراَجُهجد ف رسبيِهل الله براَجُله رونَنرفسه قراَجُرل جثل رمفن قراَجُرل جمفؤملن ف شفعب مفن الششرعاَجُب ينرفعبججد اللهر رربلهج رويرردعج النلاَجُ ر‬
“Seorang yang berjihad dengan diri dan hartanya, dan seorang mukmin yang
tinggal di bukit terpencil beribadah kepada Rabbnya dan meninggalkan
manusia dari kejahatannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan dalam hadits Uqbah bin Amir radhiyallahu’anhu, ia berkata :

Aku berkata , “Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?


Beliau menjawab,
‫ك علريِ ه‬ ‫ه‬
‫ك رعرلىَ رخهطيِئرته ر‬
‫ك‬ ‫ك واب ه‬
‫ك بنرفيِتج ر ر ف‬
‫ك رولفيِررسفع ر‬
‫ك لرساَجُنَر ر‬
‫أرفمل ف ر ف ر‬
“Kendalikanlah lidahmu, dan tetaplah tinggal di rumahmu, serta
menangislah atas kesalahanmu!” (HR. Tirmidzi, Ahmad dan lain-lain, syaikh
Ali berkata ia hadits hasan)
Mereka yang menganggap bergaul dengan manusia itu lebih utama berdalil
dengan sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam yang artinya :
‫صهبج رعرلىَ أررذاجهفم‬
‫س رورل ير ف‬ ‫صهبج رعرلىَ أررذاجهفم أرفعظرجم أرفجررا همفن الهذيِ رل جيراَجُله ج‬
‫ط النلاَجُ ر‬ ‫س روير ف‬ ‫الفجمفؤهمجن الهذيِ جيراَجُله ج‬
‫ط النلاَجُ ر‬
Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar menghadapi
gangguan mereka itu lebih besar ganjarannya dari orang mukmin yang tidak
bergaul dengan manusia dan tidak sabar menghadapi gangguan mereka.
(HR. Tirmidzi, Al Bukhari dalam Al Adab Al Mufrad, Ahmad dan Abu
Nuaim. Hadits ini dishahihkan oleh syaikh Al Albani dalam Ashshahihah no
939)

Manfaat Uzlah
1. Dapat berkonsentrasi dan memfokuskan diri untuk beribadah dan bermunajat
kepada Allah, dengan demikian harus memiliki waktu yang lapang untuk itu.
Waktu yang lapang untuk beribadah tidak didapatkan jika ia banyak bergaul
dengan manusia.

2
2. Dengan uzlah dapat menghindarkan diri dari berbagai macam maksiat yang pada
umumnya tidak dapat dihindarkan apabila ia berkumpul dengan manusia,
diantaranya adalah empat macam kemaksiatan :
a. Ghibah (menceritakan kejelekan orang lain, jika berita itu sampai kepadanya,
tentu ia tidak akan suka);
b. Tidak mengajak orang lain melakukan yang ma’ruf (kebaikan) dan tidak
mengingkari kemungkaran;
c. Riya’ (ingin dipuji oleh orang lain ) ; dan
d. Terpengaruh akhlak mereka yang buruk.
3. Terhindar dari fitnah (kekacauan) dan permusuhan, dengan ia tidak ikut
tenggelam di dalamnya, berarti ia memelihara diennya.
4. Terhindar dari kejahatan manusia. Sesungguhnya mereka itu menyakitimu,
terkadang-kadang dengan berbuat ghibah, dengan mengadu domba, berprasangka
buruk, menuduh dengan tuduhan palsu, menzalimi dalam rangka memperoleh
ketamakan-ketamakan mereka yang penuh dengan kepalsuan, dan barang siapa
yang bergaul dengan manusia tidak dapat bebas dari gangguan manusia, pasti ada
orang yang hasad dan memusuhinya dan berbagai macam keburukan yang
diperoleh dari orang-orang yang dikenalnya.
5. Dapat memutuskan ketamakan manusia terhadapmu dan ketamakanmu terhadap
manusia. Manusia menmginginkan banyak hal darimu, dan sesungguhnya
mencari keridhaan manusia merupakan tujuan yang tidak pernah bisa dicapai.
Adapun memutuskan ketamakanmu dari mereka, karena sesugguhnya siapa yang
melihat perhiasan dunia akan terbetik keinginan untuk memperolehnya, semakin
besar keinginan seseoramg maka akan melahirkan ketamakan terhadap dunia, dan
pada umumnya manusia gagal mencapai sesuatu yang ia tamak kepadanya, maka
tinggallah kekecewaan dan kepedihan yang ia rasakan .
Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa Sallam bersabda:
‫انَفظججروا إهرل رمفن جهرو أرفسرفرل همفنجكفم رورل ترنفنظججروا إهرل رمفن جهرو فرنفوقرجكفم فرهنَإلهج أرفجردجر أرفن رل ترنفزردجروا نَهفعرمةر اللهه رعلرفيِجكفم‬

3
“Lihatlah orang yang lebih rendah dari kalian dan janganlah melihat orang
yang lebih tinggi dari kalian, karena yang demikan itu pantas membuat kalian
tidak mengentengkan nikmat Allah, yang diberikan kepada kalian.”
(H.R Muslim, Tirmidzi dan lain-lain) Allah berfirman…”…” Surat Thaha 131
6.Terhindar dari berjumpa dengan orang-orang yang bodoh dan berakhlak buruk.
Jika seseorang disakiti oleh mereka biasanya langsung saja ia akan berbuat
ghibah. Apabila ia dijelekkan, ia akan membalasnya. Hal yang demikian dapat
merusak diennya , maka dengan beruzlah dapat menyelematkan diennya.

Kerugian Uzlah
Ketahuilah diantara tujuan-tujuan dien dan dunia, ada yang hanya didapat
dengan cara meminta bantuan orang lain. Oleh karena itu, mau tidak mau manusia
harus bergaul dengan orang lain. Dan diantara manfaat bergaul dengan manusia
adalah :
1. Belajar dan mengajar. Barangsiapa yang sudah mempelajari ilmu-ilmu yang
hukumnya fadhu’ain bagi dia, dan ia tidak mampu untuk menguasai ilmu-ilmu
lainnya lalu dia berpendapat untuk menyibukkan diri dengan beribadah maka
lakukanlah. Apabila ia mampu untuk mendalami ilmu-ilmu dien lainnya,
disamping yang fardhu’ain, maka janganlah ia beruzlah sebelum ia berusaha
untuk menguasainya agar ia tidak mendapatkan kerugian. Oleh karen itu., Rabi’
bin Khutsaim berkata, “Kuasailah ilmu dien, baru setelah itu uzlahlah. Ilmu itu
pokok ajaran dien, tidak ada kebaikan dalam uzlahnya orang-orang awam.”
Adapun mengajarkan ilmu kepada orang lain, maka padanya pahala yang sangat
besar apabila benar niatnya. Tetapi jika niatnya untuk mencapai kedudukan yang
tinggi di hadapan manusia dan untuk mencari banyak pengikut, maka
kebinasaanlah yang didapat ditinjau dari segi dien. Kebanyakan di zaman
sekarang ini para penuntut ilmu mempunyai tujuan dan niat yang buruk. Hal yang
demikian mengharuskan bagi yang memiliki ilmu untuk meninggalkan mereka,
tetapi jika didapati seorang penuntut ilmu karena Allah dan berniat dengan ilmu-

4
ilmunya itu untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka dia tidak boleh
meninggalkannya, ia tidak boleh menyembunyikan ilmunya.
2. Memberi dan mengambil manfaat. Mengambil manfaat dari manusia dengan cara
bekerja dan bermuamalah. Orang yang membutuhkan pekerjaan dan
bermuamalah dengan manusia terpaksa harus meninggalkan uzlah. Adapun orang
yang berkecukupan untuk memenuhi kebutuhannya, maka uzlah lebih utama bagi
dia, kecuali jika bekerjanya dia dan bermuamalahnya dengan manusia untuk
memberikan kebaikan kepada orang lain, dengan cara bershadaqah dan lain
sebagainya, maka hal yang demikain lebih utama dibandingkan dengan uzlah,
kecuali jika uzlahnya itu lebih bermanfaat bagi dia dalam mengenal Allah, dan
mendapatkan ketentraman denganNya, dengan pengelihatan mata hatinya dan
hujjah, bukan dengan khurafat dan khayalan yang merusak.
Adapun memberi manfaat kepada manusia, bisa dengan hartanya atau tenaganya
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia. Barangsiapa yang mampu
melakukan yang demikian itu dengan tidak keluar dari rel syariat yang teah
digariskan, maka yang demikian itu lebih utama dari uzlah dengan cara
menyibukkan dengan ibadah-ibadah yang sunnah hukumnya.
3. Membina diri dan membina orang lain. Yang dimaksudkan dengan membina diri
adalah melatih jiwa menghadapi kekasaran manusia, dan berupaya menahan diri
terhadap gangguan mereka, mengendalikan nafsu dan mengekang syahwat. Yang
demikian itu lebih utama dari uzlah bagi orang yang belum terlatih jiwanya dan
belum terpuji akhlaknya.
Adapun membina orang lain adalah melatih orang lain untuk menjadi baik.
Memperbaiki sifat-sifat buruknya yang tidak terlihat sebagaimana ia memperbaiki
orang lain dengan menyebarkan ilmu.
4. Menentramkan diri dari kesepian, seperti berkumpul dengan orang yang bertaqwa
sebagai penghibur hati bagi jiwa yang gersang. Hendaklah refreshing tersebut
tidak menyita waktu dan yang dibicarakan adalah hal-hal yang berhubungan
dengan dien.

5
5. Mendapat pahala dan menjadi sebab orang lain mendapat pahala. Mendapat
pahala dengan cara menghadiri jenazah, menengok orang sakit, menghadiri
walimah dan undangan lainnya, dengan begitu ia ikut menyenangkan saudara
seiman. Menjadi sebab orang lain mendapat pahala dengan cara membukakan
pintunya untuk orang lain berta’ziah, menengok, mengucapkan selamat, dengan
sebab itu mereka mendapatkan pahala.
Tetapi haruslah ditimbang antara pahala yang didapat dengan bergaul dengan
kerugian-kerugiannya, mana yang lebih menguntungkannya.
6. Tawadhu’ (rendah hati). Dia tidak akan mempunyai sifat tawadhu’, jika tidak
bersosialisasi dengan manusia

Ucapan Al Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah tentang Bergaul dengan Manusia,


Kerugian dan Batasannya.
Adapun dampak negatif akibat banyak bergaul dengan manusia adalah
penuhnya hati dengan polusi asap dari nafas-nafas Bani Adam sehingga hati menjadi
hitam. Keadaan ini mengharuskan hati dia menjadi kacau-balau, kusut, gelisah dan
gundah gulana, menanggung beban karena memiliki teman-teman dekat yang jahat,
kepentingan-kepentingan dia menjadi terbengkalai karena sibuk mengurusi
kepentingan mereka, pikirannya terbagi untuk selalu memenuhi keinginan-keinginan
mereka, maka apa yang tersisa darinya untuk Allah dan negeri akhirat?!
Betapa banyak bencana, kehinaan dan musibah dihasilkan akibat bergaul
dengan manusia, betapa banyak nikmat dan anugerah terhalangi akibat bergaul
dengan manusia pula!
Bukankah kerugian manusia itu disebabkan oleh manusia?!Bukankah yang
merugikan Abu Thalib menjelang wafatnya adalah teman-teman yang jahat ?! Mereka

6
selalu berada di sisinya menjadi penghalang bagi Abu Thalib untuk mengucapkan
kalimat tauhid yang dapat menjamin dia mendapatkan kebahagiaan yang abadi.
Pergaulan yang seperti ini, yang dilandasi sebagian rasa cinta di dunia dan
untuk memenuhi kepuasan naluri satu terhadap yang lainnya, berbalik menjadi
permusuhan jika terungkap hakekat-hakekat yang ada, dan dia akan menyesali sambil
menggigit kedua tanggannya, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit kedua tangannya,
seraya berkata, “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama
Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan
itu teman akrabku. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an itu
setelah datang kepadaku.” (Surat Al-Furqan : 27 – 29)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian
yang lain, kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (Surat Az-Zukhruf : 67)
Dan khalil Allah Nabi Ibrahim “Alaihis –salam berkata kepada kaummnya dalam
firman Allah,

“Dan berkata Ibrahim, “Sesungguhnya berhala-hala yang kamu sembah selain


Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang diantara kamu dalam
kehidupan dunia ini, kemudian di hari kiamat sebagian kamu mengingkari
sebagian (yang lain) dan sebagian kamu melaknati sebagian (yang lain), dan
tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tidak ada bagimu para
penolongpun.” (Surat Al-Ankabut : 25)

7
Ini merupakan perilaku setiap orang-orang yang ikut serta dakam satu tujuan.
Mereka saling menyayangi satu sama lain selama mereka masih saling bekerja sama
untuk mendapatkannya, maka apabila tujuan itu gagal dicapai, bahkan kegagalan itu
diiringi dengan penyesalan, kesedihan dan kepedihan, lalu berbaliklah kasih sayang
tersebut menjadi kemurkaan dan la’nat serta celaan sebagian terhadap sebagian yang
lain. Ketika tujuan tersebut gagal dicapai dan berbalik menjadi kesedihan dan siksaan
sebagaimana kita saksikan keadaan orang-orang yang ikut serta dalam tujuan yang
sama di dunia ini, lalu mereka itu saling memberi hukuman satu sama lain,
kesimpulannya setiap dua orang yang bekerja sama dalam suatu kebatilan di mana
mereka berdua saling menyayangi dan mencintai satu sama lain sebelumnya, maka
haruslah suatu saat kasih sayangnya berbalik menjadi kebencian dan permusuhan.
Dan batasan yang bermanfaat dalam pergaulan hendaklah ia bergaul dengan
manusia dalam kebaikan, seperti shalat Jum’at, shalat berjamaah, shalat ied, ibadah
haji, menuntut ilmu, jihad, memberi nasehat, dan hendaklah ia menjauhi mereka
dalam keburukan dan berlebihan dalam perkara-perkara mubah, apabila terpaksa
bergaul dengan orang-orang yang jahat dan tidak memungkinkan untuk menjauhi
mereka, maka hati-hati dan hati-hatilah jangan sampai menyetujui mereka. Dan
sabarlah terhadap gangguan mereka, karena sesungguhnya mereka pasti akan
menyakitinya apabila dia tidak memiliki kekuatan dan penolong, tetapi gangguan itu
nantinya akan diikuti dengan kemuliaan, kecintaan, penghormatan, pujian terhadap
orang tersebut dari mereka, dari kaum mu’minin, dan dari Allah Rabbul ‘Alamin,
sebaiknya menyetujui mereka akan diiringi setelah itu dengan kehinaan, kemarahan
terhadapnya, kebencian, celaan dari mereka dan dari kaum mu’minin dan dari Allah
Rabbul ‘Alamin.
Maka sabar atas gangguan mereka lebih baik akibatnya dan lebih terpuji
kesudahannya, apabila terpaksa untuk bergaul dengan mereka dalam berlebihan pada
perkara-perkara yang mubah, maka bersungguh-sungguh untuk mengubah majelis
tersebut menjadi majelis taat kepada Allah sebisa mungkin. Dan hendaklah ia
memotivasi dirinya dan menguatkan hatinya, dan jangan hiraukan bisikan setan yang

8
berusaha untuk mematahkan niatmu mengalihkan pembicaraan berupa ketaatan, ia
membisikan bahwa ini merupakan riya, dan keinginan untuk menampakkan ilmumu
dan keberadaanmu dan yang semisalnya, maka perangilah bisikan setan tersebut, dan
hendaklah minta pertolongan kepada Allah, dan sebisa mungkin pengaruhilah dalam
majelis mereka itu berupa kebaikan.
Apabila tidak memungkinkan melakukan hal itu maka berilah sedikit perhatian
hatimu diantara mereka, seperti jatuhnya satu rambut ke dalam adonan. Jadilah kamu
di sisi mereka sebagai orang yang hadir tetapi ghaib, dekat tetapi jauh, bangun tetapi
tidur, melihat mereka tetapi tidak memahaminya, karena ia telah mengambil hatinya
dari mereka, hatinya telah terbang tinggi ke langit, berenang di sekitar Arsy bersama
ruh-ruh yang suci dan berkedudukan tinggi, betapa berat dan sulitnya hal ini bagi
jiwa-jiwa manusia! Tetapi hal itu sangat mudah bagi orang-orang yang Allah
mudahkan atasnya, hendaknya seorang hamba selalu jujur dengan Allah Subhanahu
wa Ta’ala, selalu kembali kepadaNya, mengahamparkan diri di depan pintuNya
mengetuk, merengek dengan menghinakan diri, dam dibantu juga dengan cinta yang
sejati, dzikir yang langgeng dengan hati dan lisan, dan hal ini bisa dicapai hanya
dengan bekal amal saleh dan kekuatan dari Allah Ta’ala, dan tekad yang bulat serta
tidak bergantung kepada selain Allah, Wallahu Ta’ala A’lam.” (Dinukil dari buku
beliau MADARIJUS SALIKIN)

Kesimpulan
Syakhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :
“Adapun ucapan si penanya, “Manakah yang lebih utama bagi orang yang
berjalan di jalan Allah antara uzlah atau bergaul dengan manusia?”
Masalah ini meskipun ulama berselisih pendapat di dalamnya, baik perselisihan
yang menyeluruh atau perselisihan yang sifatnya kondisional. Maka hakekat perkara
ini bahwa terkadang kita diperintahkan untuk bergaul dengan manusia dan terkadang
kita diperintahkan untuk mengisolir diri dari mereka. Kesimpulannya bahwa bergaul
dengan manusia apabila terdapat di dalamnya kerjasama dalam kebaikan dan taqwa

9
maka hal itu diperintahkan, dan apabila terdapat di dalamnya kerjasama dalam dosa
dan permusuhan maka hal itu dilarang, bergaul dengan kaum muslimin dalam
peribadatan seperti shalat berjamaah yang lima waktu, shalat Jum’at, shalat Idul Fitri
dan Idul Adha, shalat kusuf, shalat istisqa, dan lain sebagainya, hal itu merupakan
amalan-amalan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Begitu pula bergaul dengan kaum muslimin dalam ibadah haji, dan dalam
memerangi orang-orang kafir dan kaum khawarij yang telah keluar dari rel Islam
bersama penguasa dan kaum muslimin lainnya, meskipun mereka adalah orang –
orang yang fajir (banyak melakukan dosa), begitu pula pertemuan-pertemuan dengan
manusia yang dapat menambah iman, baik ia mengambil manfaat dari orang lain
atauupn ia memberi manfaat kepadanya, dan yang semisalnya.
Dan haruslah seorang hamba memiliki waktu-waktu khusus untuk menyendiri
yang ia gunakan untuk berdo’a, berdzikir, mengerjakan shalat-shalat sunnah, tafakkur
(merenung), mengintrospeksi diri, memperbaiki hatinya, dan hal-hal khusus lainnya
dengan tidak menyertakan orang lain, perkara-perkara tadi dibutuhkan dengan cara
menyendiri, bisa dilakukan di rumahnya sebagaimana ucapan Thawus : “Sebaik-baik
tempat peribadatan seseorang adalah rumahnya, ia bisa menahan mata dan
lisannya.”, atau bisa pula dilakukan di selain rumahnya.
Maka memilih bergaul dengan manusia (lebih utama dari beruzlah) secara mutlak
maka hal itu salah, dan memilih menyendiri (lebih utama dari bergaul) secara mutlak
maka hal itu salah juga. Adapun kadar yang dibutuhkan oleh setiap manusia berupa
uzlah dan bergaul, dan apa yang lebih tepat baginya dalam setiap keadaan, hal
tersebut membutuhkan penelitian yang khusus sebagaimana telah disebutkan sebelum
ini. (Dinukil dari MAJMU’ FATAWA juz 10 hal425-426)
Al Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :
“Apabila engkau sudah tahu manfaat-manfaat dan kerugian-kerugian uzlah, maka
tidaklah bisa dihukumi secara mutlak bahwa uzlah itu lebih utama atau bergaul
dengan manusia itu yang lebih utama, tetapi haruslah dilihat individu dan kondisinya,
harus dilihat pula orang yang digaulinya serta kondisi orang tersebut, juga harus

10
dilihat faktor apa yang mendorong untuk berhubungan dengannya? Apa sisi positif
dan negatif akibat berhubungan dengan orang lain, lalu bandingkan antara keduanya,
baru setelah itu menjadi jelas nama yang lebih utama antara keduanya.
Imam Syafi’I rahimahullah berkata,”Tertutup dari manusia memicu permusuhan
dan terbuka kepada mereka mendatangkan keburukan. Jadilah engkau ditengah-
tengah antara keduanya”.
Barangsiapa menyimpulkan selain dari kesimpulan ini maka tidak lengkap, dia
hanya menyimpulkan tentang keadaan dirinya sendiri yang tidak bias diterapkan
untuk orang lain yang kondisinya berbeda. (Dinukil dari MUKHTASHAR
MINHAJIL QASHIDIN hal 150)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata,


“Ketahuilah bahwa yang paling utama adalah seorang mukmin yang bergaul
dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka, orang yang demikian lebih utama
dari seorang mu’min yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas
gangguan mereka. Tetapi terkadang terjadi perkara-perkara yang menjadikan uzlah itu
lebih baik dari bergaul dengan manusia, yang demikian apabila manusia takut fitnah
mengenai dirinya, seperti tinggal di negeri yang diterapkan padanya peraturan-
peraturan yang mengharuskan ia menyimpang dari diennya, atau harus
mendakwahkan bid’ah, atau ia melihat bahwa kemaksiatan telah merajalela ia takut
terimbas dan terjerumus ke lembah dosa dan nista maka dengan kondisi yang ada
uzlah itu lebih baik bagi dia.
Inilah perincian, bahwa uzlah itu lebih baik jika dengan bergaul dapat
menimbulkan keburukan dan kerusakan bagi agamanya, apabila tidak menimbulkan
keburukan dan fitnah maka kembali ke hukum asal bahwa bergaul dengan manusia
itu lebih utama, ia dapat melakukan amar ma’ruf nahi munkar, berdakwah
menyampaikan kebenaran menjelaskan tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
maka hal ini lebih baik baginya. (Dinukil dari SYARAH RIYADHUS SHALIHIN juz
6 hal 198) .

11
BAB II AGAR DICINTAI ALLAH KEMUDIAN DICINTAI MANUSIA

MUKADIMAH
Cita-cita tertinggi seorang muslim, ialah agar dirinya dicintai Allah, menjadi
orang bertakwa. Takwa dapat diperoleh dengan menunaikan hak-hak Allah dan hak-
hak manusia. Diantara tanda-tanda seseorang dicintai Allah, yaitu jika dirinya dicintai
oleh orang-orang shalih, diterima oleh hati mereka. Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda,

‫ه‬ ‫ب فجرلنَنراَجُ فرأرهحبلهج قراَجُرل فرنيِجهحبنهج هج فهبينجل جثلن ينجنرناَجُهديِ هفن اللسنرماَجُهء فرنيِرنجقنوجل إهلن اللنهر جهين ب‬
‫ب فجرلنَنراَجُ فرأرحببوهج‬ ‫ب رعفبردا ردرعاَجُ هج فهبيرل فرنرقاَجُرل إهشن أجهحن ب‬
‫إهلن اللهر إهرذا أررح ل‬
‫ضجع لرهج الفرقجبوجل هف افلرفر ه‬
‫ض‬ ‫ه‬ ‫ه‬
‫فرنيِجحبهج أرفهجل اللسرماَجُء قراَجُرل جثل جيو ر‬
ٍٍSesungguhnya Allah jika mencintai seorang hamba, Ia memanggil
Jibril,”Sesungguhnya Aku mencintai si Fulan, maka cintailah ia.” Lalu Jibril
mencintainya dan menyeru kepada penduduk langit,”Sesungguhnya Allah mencintai
si Fulan, maka cintailah ia.” Maka mereka (penduduk langit) mencintainya,
kemudian ia menjadi orang yang diterima di muka bumi.” (Hadits Bukhari dan
Muslim, dalam Shahih Jami’ush Shaghir no. 283)

Diantara sifat-sifat muslim yang dicintai oleh orang-orang shalih di muka


bumi itu, diantaranya ia mencintai mereka karena Allah, berakhlak kepada manusia
dengan akhlak yang baik, memberi manfaat, melakukan hal-hal yang disukai manusia
dan menghindari dari sikap-sikap yang tidak disukai manusia.
Berikut ini beberapa dalil yang menguatkan keterangan di atas.
Allah berfirman,
‫شرروُرهنن فباِعلممععرروُ ف‬
‫ف‬ ‫موُمعاِ ف‬
Pergaulilah mereka (isteri) dengan baik. (QS. An-Nisa’ 19)
‫موُار يرفحبب اعلرمعح ف‬
‫سفنيِمن‬
Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik. (QS Ali Imran:134)

12
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

‫س هبجلجبق رحرسبن‬ ‫هه‬ ‫اتلهق اللهه رحفيِثجماَجُ جكفن ر ه‬


‫ت روأرتفبهع اللسيِشئرةر افلررسنرةر رتفجحرهاَجُ رورخاَجُلق النلاَجُ ر‬ ‫ر‬
Bertakwalah dimanapun engkau berada. Sertailah keburukan itu dengan kebaikan,
niscaya kebaikan itu akan menghapus keburukan. Dan berakhlaklah kepada manusia
dengan akhlak yang baik. (HR Tirmidzi, ia berkata:Hadits hasan).
‫ك الفجمفؤهمهن جسجرفوررا‬
‫ضجل الرفعرماَجُهل أرفن تجفدهخرل رعرلىَ أرهخفيِ ر‬
‫أرف ر‬
Seutama-utama amal shalih, ialah agar engkau memasukkan kegembiraan kepada
saudaramu yang beriman. (HR Ibnu Abi Ad Dunya dan dihasankan oleh Syaikh Al
Albani dalam Shahih Jami’ush Shaghir 1096).

‫الفجمفسلهجم أرجخو الفجمفسلههم رل يرظفلهجمهج رورل يجفسلهجمهج رورمفن ركاَجُرن هف رحاَجُرجهة أرهخيِهه ركاَجُرن اللهج هف رحاَجُرجتههه رورمفن فرنلررج رعفن جمفسلهبم جكفربرةر فرنلررج اللنهج رعفننهج جكفربنرةر همنفن‬

‫ت ينرفوهم الفهقيِراَجُرمهة رورمفن رسترنرر جمفسلهرماَجُ رسترنررهج اللهج ينرفورم الفهقيِراَجُرمهة‬


‫جكرباَجُ ه‬
‫جر‬
“Seorang muslim saudara muslim lainnya, ia tidak mendzaliminya dan tidak
menelantarkannya, barangsiapa memenuhi kebutuhan saudaranya niscaya Allah akan
memenuhi kebutuhannya, barangsiapa menghilangkan kesulitan seorang muslim
niscaya Allah akan menghilangkan kesulitan-kesulitannya da hari kiamat dan
barangsiapa menutupi aib seorang muslim niscaya Allah akan menutupi aibnya di
hari kiamat” (H.R.Bukhari dan Muslim)

‫الؤمن يألف و يؤلف و ل خي فيِمن ل يألف و ل يؤلف وخي الناَجُس أنَفعهم للناَجُس‬

“Seorang mukmin itu lembut dan diperlakukan dengan lembut oleh orang laini, tidak
ada kebaikan pada orang yang tidak lembut dan tidak diperlakukan dengan lembut
oleh orang lain dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk
manusia lainnya” (H.R. Ad Daruquthni dalam ‘Al Afrad’ dan Ad Dhiya Al Maqdisi
dalam ‘Al Mukhtarah’ hadits ini dihasankan oleh syaikh Al Albani dalam Shahih Al

13
Jamius Shaghir no 6662)

‫إهرذا جكفنتجفم ثررلثرةر فررل يرنترننراَجُرجىَ ررججرلهن جدورن افلرخهر رحلت رتفترلهطجوا بهاَجُلنلاَجُهس من أجل أن ذلك يزنَهج‬

“Jika kalian bertiga maka janganlah dua orang berbisik-bisik tanpa mengikutsertakan
orang yang ketiga sampai kalian berbaur dengan orang banyak karena yang demikian
itu membuat sedih orang yang ketiga” (H.R. Bukhari dan Muslim)

‫و لن أمشي مع أخي السلم ف حاَجُجة أحب إل من أن أعتكف ف السجد شهرا‬

“Sungguh saya berjalan bersama saudaraku muslim dalam suatu keperluan lebih saya
cintai daripada beri’tikaf di masjid ini (masjid Nabawi) selama sebulan” (H.R. Ibnu
Abi Duniya dalam ‘Qadhaul Hawaij’ dan Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir, syaikh
Al Albani menghasankan hadits ini dalam Shahih Al Jamius Shaghir no 176)

Urgensi Pembahasan Adab Bergaul


Adab bergaul dengan manusia merupakan bagian dari akhlakul karimah
(akhlak yang mulia). Akhlak yang mulia itu sendiri merupakan bagian dari Dienul
Islam. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam diutus untuk menyempurnakan
akhlak. Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam adalah seorang manusia yang berakhlak
mulia. Allah berfirman
ٍ ‫ك لععععلىَ لخلل‬
‫ق ععظظيٍِم‬ ‫عوإظنن ع‬
Dan sesungguhnya engkau berada di atas akhlak yang agung. (QS Al Qalam 4)
Dan kita diperintahkan untuk mengikuti beliau, taat kepadanya dan menjadikannya
sebagai teladan dalam hidup. Allah telah menyatakankan dalam firmanNya
‫سنمةة‬ ‫سوفل اف أر ع‬
‫سموةة مح م‬ ‫لنقمعد مكاِمن لمركعم ففيِ مر ر‬
Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu contoh teladan yang baik.(QS Al Ahzab
21)
Dengan mempraktekkan adab-adab dalam bergaul, maka kita akan dapat
memperoleh manfaat, yaitu berupa ukhuwah yang kuat diantara umat Islam, ukhuwah

14
yang kokoh, yang dilandasi iman dan keikhlasan karena Allah semata. Allah
berfirman yang artinya,
“Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah bersama-sama, dan janganlah
kalian bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah yang telah Allah berikan kepada
kalian, ketika kalian dahulu bermusuh-musuhan, lalu Allah lunakkan hati-hati kalian
sehingga dengan nikmatNya, kalian menjadi bersaudara, padahal tadinya kalian
berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian
daripadanyaDemikianlah Allah menjelaskan kepada kalian ayat-ayatNya, supaya
kalian mendapat petunjuk” (Surat Ali Imran 103)
Oleh karena itu, adab-adab bergaul ini sangat perlu dipelajari untuk kita amalkan.
Kita harus mengetahui, bagaimana adab terhadap orang tua kita, adab terhadap
saudara kita, adab terhadap istri kita, adab seorang isteri terhadap suaminya, adab
terhadap teman sekerja atau terhadap atasan dan bawahan. Jika kita seorang da’i atau
guru, maka harus mengetahui bagaimana adab bermuamalah dengan da’i atau guru
lainnya dan dengan mad’u yang didakwahi atau terhadap muridnya. Demikian juga
apabila seorang guru, atau seorang murid atau apapun jabatan dan kedudukannya,
maka kita perlu untuk mengetahui etika atau adab-adab dalam bergaul.
Kurang mempraktekkan adab bergaul, menyebabkan dakwah yang haq dijauhi
oleh manusia. Manusia menjadi lari dari kebenaran disebabkan ahli haq atau
pendukung kebenaran itu sendiri melakukan praktek yang salah dalam bergaul
dengan orang lain. Sebenarnya memang tidaklah dibenarkan seseorang lari dari
kebenaran disebabkan kesalahan yang dilakukan orang lain. Jika inti ajaran yang
dibawa oleh seseorang itu benar, maka kita harus menerimanya dengan tidak
memperdulikan cara penyampaiannya benar atau salah, adabnya baik atau tidak.
Akan tetapi pada kenyataannya, kebanyakan orang melihat dulu kepada adab orang
itu. Oleh karena itu, mengetahui adab bergaul penting bagi kita sebagai muslim yang
punya kewajiban saling menasihati sesama manusia, agar kita mendapatkan ridha
Allah, dicintaiNya kemudian dicintai oleh manusia yang baik.

15
MOTIVASI DALAM BERGAUL
Faktor yang mendorong seorang muslim bergaul dengan baik kepada orang
lain ialah semata-mata mencari ridha Allah. Ketika seorang muslim tersenyum kepada
saudaranya, maka itu semata-mata mencari ridha Allah. Karena tersenyum merupakan
perbuatan baik. Demikian juga ketika seorang muslim membantu temannya atau
ketika mendengarkan kesulitan-kesulitan temannya, ketika menepati janji, berlaku
jujur, tidak mengucapkan kata-kata yang menyakitkan orang lain, maka perbuatan-
perbuatan itu semata-mata untuk mencari ridha Allah. Adapun orang-orang kafir pada
umumnya ketika bermuka manis kepada orang lain, menepati janji, berbicara lemah-
lembut, semua itu dilakukan karena untuk kepentingan dunia. Tingkah laku seperti ini
yang membedakan antara muslim dan non muslim.
Bisa saja seorang muslim bermuamalah dengan sesamanya karena tujuan
keduniaan semata. Seseorang mau akrab, menjalin persahabatan disebabkan adanya
keuntungan yang didapatnya dari orang lain. Manakala keuntungan itu tidak
didapatkan lagi, maka ia berubah menjadi tidak mau kenal akrab lagi. Atau seseorang
senang ketika orang lain memberi sesuatu kepadanya, akan tetapi ketika sudah tidak
diberi, kemudian berubah menjadi benci. Hal seperti itu bisa terjadi pada diri seorang
muslim. Akan tetapi sikap seperti menyalahi Al Quran dan As Sunnah.
Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Zaadul Ma’ad
juz ke-4 hal. 249: Diantara kecintaan terhadap sesama manusia ada yang disebut
mahabbatun linaili gharadlin minal mahbub. Yaitu suatu kecintaan untuk mencapai
tujuan dari yang dicintainya. Bisa jadi tujuan itu ingin ia dapatkan dari kedudukan
orang tersebut, atau dari hartanya, atau ingin mendapatkan manfaat berupa ilmu dan
bimbingan orang tersebut, atau untuk tujuan tertentu; maka yang demikian itu disebut
kecintaan karena tendensi. Atau karena ada tujuan yang ingin dicapai, kemudian
kecintaan ini akan lenyap pula seiring dengan lenyapnya tujuan tadi. Karena
sesungguhnya, siapa saja yang mencintaimu dikarenakan adanya suatu keperluan,
maka ia akan berpaling darimu jika telah tercapai keinginannya.”
Hal seperti ini sering terjadi dalam kehidupan kita. Contohnya seorang

16
karyawan sangat menghormati dan perhatian kepada atasannya di tempat kerja. Tetapi
apabila atasannya itu sudah pensiun atau sudah tidak menjabat lagi, karyawan ini
tidak pernah memikirkan dan memperhatikannya lagi. Begitu juga ketika seseorang
masih menjadi murid, sangat menghormati gurunya. Namun ketika sudah lulus
bahkan sekolahnya sudah lebih tinggi dari gurunya dengan mudahnya ia melecehkan
bahkan mendzalimi gurunya. Banyak orang yang berteman akrab hanya sebatas
ketika ada kepentingannya saja. Yakni ketika menguntungkannya, dia akrab, sering
mengunjungi, berbincang-bincang dan memperhatikannya. Namun ketika sudah tidak
ada keuntungan yang bisa didapatnya, kenal pun tidak mau.
Ada juga seseorang yang hanya hormat kepada orang kaya saja. Adapun
kepada orang miskin, ia tidak menghargainya. Hal semacam ini bukan berasal dari
aturan-aturan Islam. Menilai seseorang hanya dikarenakan hartanya, hanya karena
nasabnya, hanya karena ilmunya, yaitu jika kepada orang yang berilmu dia hormat
dan dia menyepelekan kepada orang yang minim ilmunya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan dalam Majmu’
Fatawa tentang kecintaan yang bukan karena Allah. Dalam kitab Majmu’ Fatawa juz
10 beliau berkata,
“Jiwa manusia itu telah diberi naluri oleh Allah untuk mencintai orang yang
berbuat baik kepadanya,namun pada hakekatnya sesungguhnya hal itu sebagai
kecintaan kepada kebaikan, bukan kepada orang yang telah berbuat baik. Apabila
orang yang berbuat baik itu memutuskan perbuatan baiknya, maka kecintaannya akan
melemah, bahkan bisa berbalik menjadi kebencian. Maka kecintaan yang demikian
itu bukan karena Allah.
Barangsiapa yang mencintai orang lain dikarenakan dia itu memberi sesuatu
kepadanya, maka dia semata-mata cinta kepada pemberian. Dan barangsiapa yang
mengatakan: “Saya cinta kepadanya karena Allah,.” maka dia pendusta. Begitu pula,
barangsiapa yang mencintai orang lain dikarenakan orang itu telah menolongnya,
maka dia semata-mata mencintai pertolongan, bukan cinta kepada orang yang
menolong. Yang demikian itu, semuanya termasuk mengikuti hawa nafsu. Karena

17
pada hakikatnya dia mencintai orang lain untuk mendapatkan manfaat darinya, atau
agar terhindar dari bahaya. Demikianlah umumnya manusia saling mencintai dengan
sesamanya karena kepentingan dunia, yang demikian itu tidak akan diberi pahala di
akhirat dan tidak akan memberi manfaat bagi mereka. Bahkan bisa jadi hal demikian
itu mengakibatkan terjerumus kepada sifat kemunafikan. Di akhirat nanti, mereka
akan menjadi bermusuhan antara satu sama lain, kecuali orang-orang yang bertakwa.
Ucapan Ibnu Taimiyah rahimahullah ini sesuai dengan firman Allah dalam
surat Az Zukhruf ayat 67, artinya: “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya
akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang bertakwa”.
Adapun orang-orang bertakwa, persahabatan mereka akan langgeng sampai di alam
akhirat, karena didasari lillah dan fillah yaitu cinta karena Allah. Sebaliknya, bagi
orang-orang yang tidak bertakwa, di akhirat nanti mereka akan menjadi musuh satu
sama lain. Persahabatan mereka hanya berdasarkan kepentingan dunia. Diantara
motto mereka ialah: Tidak ada teman yang abadi, tidak ada musuh yang abadi, yang
ada hanya kepentingan yang abadi.
Bisa saja hari ini menjadi sahabat, sedangkan besok menjadi musuh karena berbeda
kepentingan.Kemudian lusa menjadi sahabat lagi, dikarenakan ada kepentingan yang
sama. Dasar persahabatan mereka bukan karena dien, tetapi karena kepentingan
dunia berupa ambisi untuk mendapatkan kekuasaan, kedudukan, kehormatan, harta
dan sebagainya dengan tidak memperdulikan, apakah cara yang mereka lakukan
diridhai Allah, sesuai dengan aturan-aturan Islam ataukah tidak.

SIKAP-SIKAP YANG DISUKAI MANUSIA

- Manusia suka kepada orang yang memberi perhatian kepada orang lain.
Diantara bentuk perhatian kepada orang lain, ialah mengucapkan salam,
menanyakan kabarnya, menengoknya ketika sakit, memberi hadiah dan sebagainya.
Manusia itu membutuhkan perhatian orang lain. Maka, selama tidak melewati batas-
batas syar'i, hendaknya kita berusaha menampakkan perhatian kepada orang lain.

18
Seorang anak kecil bisa berperilaku nakal, karena ingin mendapat perhatian
dari orang dewasa. Orang tua kadang lupa, bahwa anak itu tidak cukup hanya diberi
materi saja. Merekapun membutuhkan untuk diperhatikan, ditanya dan mendapat
kasih sayang dari orang tuanya. Apabila kasih- sayang tidak didapatkan dari orang
tuanya, maka anak akan mencarinya dari orang lain.
Seorang anak perempuan –misalnya- karena tidak mendapat perhatian dari
keluarganya, dia mencari perhatian dari laki-laki di luar lingkungan keluarganya. Dia
senang dengan perhatian laki-laki itu karena sering memujinya, merayu dan
sebagainya. Sehingga terjadi perbuatan yang diharamkan. Allah wal 'iyaadzu billah.
Demikian juga anak laki-laki, suami, isteri, saudara dan selainnya, masing-masing
membutuhkan perhatian yang bentuknya bisa berbeda-beda.
Dalam hadits Anas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim beliau memuji
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai orang yang paling baik akhlaknya. Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam suka berkunjung ke rumah ibunya yaitu Ummu Sulaim
yang masih mahram beliau ini salah satu perhatian beliau kepada manusia. Tidak
sampai disitu ketika beliau melihat adik Anas yang biasa dipanggil Abu Umair sedang
murung beliau bertanya kepada keluarganya, “Ada apa gerangan dengan Abu Umair
saya lihat ia sedih dan tidak bergairah?” Allahu akbar, beliau orang yang sangat sibuk
dengan dakwah dan ibadah kepada Allah serta jihad di jalan Allah tapi beliau tetap
penuh perhatian kepada orang lain –terlebih-lebih kepada keluarganya- meskipun
kepada anak kecil. Setelah itu segera Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam
menghiburnya.
Termasuk memberikan perhatian kepada orang lain adalah dengan melakukan
ta’ziyah menghibur orang yang ditinggal mati keluarganya dan mendoakan orang
yang meninggal. Kalau kita tidak sempat bertemu dengan keluarganya karena adanya
udzur bisa dengan telephon, surat, sms atau lainnya. Hal tersebut akan sangat
berkesan dan dapat menambah kokohnya persaudaraan diantara kita. Bukan berarti
jika ada teman kita tidak memberikan ta’ziyah kepada kita lalu cepat-cepat kita
memvonis buruk kepadanya kita harus berhusnudzan kepada teman atau saudara.

19
- Manusia suka kepada orang yang mau mendengar ucapan mereka.
Dalam berbicara dengan orang lain hendaklah beri kesempatan kepadanya
untuk berbicara pula. Termasuk adab Islam jika orang lain sedang bicara kepada kita
hendaklah didengar dan diperhatikan dengan baik-baik.
Seorang suami –misalnya- ketika pulang ke rumah dan bertemu isterinya,
walaupun masih merasa lelah, harus mencoba menyediakan waktu untuk mendengar
isterinya bercerita. Isterinya yang ditinggal sendiri di rumah tentu tak bisa berbicara
dengan orang lain. Sehingga ketika sang suami pulang, ia merasa senang karena ada
teman untuk berbincang-bincang. Oleh karena itu, suami hendaklah mau
mendengarkan perkataan isteri janganlah selalu dipotong atau diminta berhenti
berbicara.. Jika kita belum siap untuk mendengarkannya, jelaskanlah dengan baik
kepadanya, bahwa dia perlu istirahat dulu dan nanti ceritanya dilanjutkan lagi.
Pernah terjadi seorang ibu dan anaknya yang masih dalam usia balita
bercakap-cakap. Si anak dengan lucunya banyak berbicara dan bertanya kepada
ibunya, bukannya dijawab dengan penuh kelembutan dan kesabaran tapi malah
dibentaknya ia merasa risih dengan pertanyaan-pertanyaan anak kandungnya yang
masih kecil padahal orang lain yang mendengarnya merasa terhibur.
Ada seorang ikhwah yang sangat sibuk dengan aktifitas-aktifitas perbaikan
masyarakat meskipun ia bukan penceramah dan tidak dikenal orang –semoga
Allah mencatat amal-amalnya dalam timbangan kebaikannya di hari akhir-
diantara aktifitasnya setiap hari antara maghrib dan isya berkunjung ke rumah
orang tuanya bercengkerama dengan keduanya kecuali kalau beliau keluar kota.
Ini dilakukannya bertahun-tahun padahal dia adalah orang yang sangat sibuk.
Semoga Allah memberkahi waktu-waktu kami, hindarkanlah kami dari menyia-
nyiakan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, tidak ada daya dan upaya
kecuali dengan pertolongan Allah. Bagi anda yang masih memiliki orang tua
bahagiakanlah mereka berdua. Harta yang engkau berikan kepada orang tuamu

20
belum tentu membahagiakannya. Sikapmu yang baik kepada keduanya akan
membahagiakannya. Diantara sikap yang baik adalah meluangkan waktu untuk
mendengarkan segala apa yang ingin dibicarakan kepadamu dan memberikan
respon yang positif, bicaralah kepada orang tua mengenai hal-hal yang disukainya
seperti pengalamannya ketika muda atau tentang tanaman-tanaman yang dirawata
ibu. Jika anda terpaksa harus memotongnya untuk shalat di masjid atau ada
keperluan yang tidak bisa ditangguhkan lagi maka tunggulah sampai koma lalu
segera sampaikan alasanmu dengan baik dan berilah janji untuk melanjutkan
pembicaraan diwaktu yang lain. Jika yang dibicarakan hal yang tidak baik untuk
didengarkan seperti ghibah misalnya maka alihkanlah ke pembicaraan yang
bermanfaat tanpa menyinggung perasaannya dan sampaikanlah kepadanya
keharaman berghibah melalui buku atau kaset atau menyampaikan nasehat sorang
ustadz yang ia dengar.
Contoh lain, yaitu ketika teman kita berbicara hendaklah kita tidak
memotongnya meskipun apa yang ia ucapkan salah, apalagi membantahnya dengan
kasar. Kita dengarkan dahulu pembicaraannya hingga selesai, kemudian kita jelaskan
kesalahannya secara baik.
Mungkin orang lain kurang memperhatikan ucapan kita tidak lain disebabkan
kita sendiri. Ada beberapa saran agar ucapan kita didengarkan secara baik-
baik oleh orang lain:
 Hendaklah yang akan kita bicarakan hal-hal yang bermanfaat.
 Perlu dipilih waktu yang tepat dan situasi yang kondusif
 Hendaklah ucapan kita singkat dan tidak bertele-tele
 Jika kita bermajelis dengan orang yang lebih tua dari kita hendaklah
kita lebih banyak mendengar daripada berbicara

- Manusia suka kepada orang yang menjauhi debat kusir

21
Seringkali ketika menemukan kebenaran yang kita yakini, timbul keinginan
untuk berdebat dengan orang lain yang masih berpemahaman keliru. Bahkan
berusaha memancing orang untuk berdebat ketika mengetahui pemahamannya
berbeda dengan kita. Padahal manusia tidak suka kepada orang yang senang berdebat.
Walaupun memang ada perdebatan yang dibolehkan dalam Islam, yaitu debat dengan
cara yang baik.
Allah berfirman, artinya:
“Serulah kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Surat An Nahl 125)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah dalam kasetnya,
menerangkan tentang ayat: Serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah ……
Beliau berkata,"Manusia tidak suka orang yang berdiskusi dengan hararah (dengan
panas). Karena umumnya orang hidup dengan latar belakang …… dan pemahaman
yang berbeda dengan kita dan itu sudah mendarah daging …… Sehingga para
penuntut ilmu, jika akan berdiskusi dengan orang yang fanatik terhadap madzhabnya,
(maka) sebelum berdiskusi dia harus mengadakan pendahuluan untuk menciptakan
suasana kondusif antara dia dengan dirinya. Target pertama yang kita inginkan ialah
supaya orang itu mengikuti apa yang kita yakini kebenarannya. Tetapi hal ini tidaklah
mudah. Umumnya disebabkan fanatik madzhab, mereka tidak siap mengikuti
kebenaran. Target kedua, minimalnya dia tidak menjadi musuh bagi kita karena
sebelumnya sudah tercipta suasana yang kondusif antara kita dengan dirinya. Hal ini
mudah untuk kita lakukan”.

- Manusia suka kepada orang yang memberikan penghargaan dan


penghormatan kepada orang lain.
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mengatakan,

22
ُ‫صغهرينَراَجُ روينجروقشنفر ركبهرينَراَج‬ ‫لريِ ه‬
‫س منلاَجُ رمفن رلف ينرفررحفم ر‬
‫ف ر‬
“ Bukan dari golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda
dan orang yang tidak menghormati yang lebih tua” (H.R.Tirmidzi dishahihkan oleh
syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jamius Shaghir no 5445)
Ketika kita shalat sunnah di masjid membelakangi seorang berusia lanjut yang
lebih dahulu duduk sebelum kita datang. Ia tersinggung karena selama ini tidak
pernah disapa atau disalamin tiba-tiba datang membelakanginya. Akan berbeda
sikapnya –mungkin- jika orang yang membelakanginya bersikap ramah dan hormat
kepadanya selama ini. Kesalahan seperti ini kadang tidak sengaja kita lakukan. Oleh
karena itu kita harus mengambil pelajaran dari pengalaman diri kita dan orang lain.
Sehingga bisa memperbaiki diri dalam hal menghormati orang lain. Hal-hal yang
membuat diri kita tersinggung, jangan kita lakukan kepada orang lain. Bentuk-bentuk
sikap tidak hormat dan pelecehan, harus kita kenali untuk dihindari.
Misalnya, ketika berjabat tangan tidak melihat wajah orang yang kita salami
Hal itu menyinggung perasaan orang lain. Apabila kita diperlakukan kurang hormat,
maka kita sebisa mungkin memakluminya. Karena –mungkin- orang lain belum
mengerti atau tidak menyadarinya. Ketika kita memberi salam kepada orang lain,
namun orang tersebut tidak menjawab, maka kita jangan langsung menuduh orang itu
menganggap kita ahli bid'ah atau kafir. Bisa jadi, ketika itu dia sedang menghadapi
banyak persoalan sehingga tidak sadar ada yang memberikan salam kepadanya, dan
ada kemungkinan-kemungkinan lainnya. Kalau perlu didatangi dengan baik dan
ditanyakan, agar persoalannya menjadi jelas. Dalam hal ini kita dianjurkannya untuk
banyak memaafkan orang lain.
Allah berfirman,
‫رخفذ اعلمععفمو موُعأرمعر فباِعلرععر ف‬
‫ف موُأمععفر ع‬
‫ض معفن اعلمجاِفهفليِمن‬
artinya: Terimalah apa yang mudah dari akhlaq mereka dan perintahkanlah orang
lain untuk mengerjakan yang ma'ruf serta berpalinglah dari orang- yang bodoh. (QS
Al A'raf 199)

23
Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat khudzil afwa. Ada
tiga pendapat yang berbeda dalam masalah ini.
Diantara mereka ada yang berpendapat, bahwa maksudnya: ambillah yang
mudah dari harta mereka. Ketika itu belum turun ayat yang mewajibkan zakat dan
perincian orang-orang yang berhak menerimanya. Pendapat yang kedua, bahwa Allah
memerintahkan rasulNya untuk memberi maaf dan bersikap lunak terhadap orang
musyrikin selama sepuluh tahun. Kemudian setelah itu, Allah memerintahkan Rasul
Shallallahu Alaihi Wasallam untuk bersikap keras terhadap mereka. Pendapat ini
dipegang oleh Al Imam At Thabari rahimahullah . Pendapat yang ketiga, adalah
pendapat yang lebih masyhur dan lebih kuat. Yaitu ambillah apa yang mudah dari
akhlaq mereka. Al Imam Ibnu Katsir menjelaskan tafsir ayat ini, bahwa pendapat
yang ketiga ini dipegang oleh Mujahid, seorang tabi'in, kemudian Abdullah bin
Jubair, bapaknya yaitu Jubair, Abdullah bin Umar dan 'Aisyah radhiallahu anhum. .
Ibnu Katsir mengatakan, inilah pendapat yang paling masyhur. Bahwa khudzil
afwa, artinya ambillah olehmu apa yang mudah dari akhlak mereka. Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah dalam kitab Syarah Riyadlus
Shalihin mengatakan,” -Dalam ayat ini- yang dimaksud al 'afwa, yaitu apa yang
mudah dari manusia. Karena manusia satu sama lain saling bermu'amalah. Maka
barangsiapa diantara manusia yang ingin agar manusia lainnya memperlakukan dia
menurut apa yang dia sukai dan secara sempurna, maka hal itu akan menyusahkan
dan memberatkan dirinya.
Sedangkan orang yang mengambil pelajaran dari ayat ini, dan mengambil apa
yang mudah dari manusia, apa yang datang dari mereka akan diterimanya, sedangkan
hak dirinya yang disia-siakan mereka tidak dipermasalahkannya, kecuali jika
perbuatan mereka itu telah menodai dienullah yang terhormat.
Ini adalah bimbingan Allah, agar kita mengambil yang mudah dari akhlak dan
muamalah manusia, sedangkan sikap tidak baik mereka, apabila kita tidak ambil
pusing dan meninggalkannya, maka keutamaan tetap milik kita”.
Jadi, jika kita menginginkan orang lain tidak menyakiti kita, bahkan

24
memperlakukan kita menurut apa yang kita sukai dan kita tidak siap untuk menerima
yang sebaliknya, maka kita akan merasa susah dan banyak mengalami kekecewaan.
Dalam kehidupan ini, tidak semua hal berjalan mulus seperti apa yang kita
harapkan. Kita akan menemui orang yang mengghibah kita, menuduh, menipu dan
berbuat jahat terhadap kita. Ada hal-hal yang tidak perlu kita pedulikan terhadapnya.
Hal ini bukan berarti kita menerima saja jika diperlakukan seenaknya oleh orang lain.
Misalnya, jika seseorang memiliki hutang kepada kita, tidak mesti kita bebaskan
begitu saja. Kita boleh menuntut agar hutang itu dilunasi. Karena hal itu merupakan
hak kita, apalagi jika kita membutuhkannya. Namun jika kita bebaskan, maka itu
lebih baik. Misalnya, jika sudah berusaha semaksimal mungkin menagihnya, namun
orang itu tidak membayar juga, maka hal itu jangan membuat kita pusing. Insya
Allah, kita akan diberi ganti yang lebih baik, seperti dihapuskan dosa dan lain
sebagainya. Selain itu kita bisa memfokuskan ke hal-hal lain yang lebih bermanfaat,
daripada berkutat dengan sesuatu yang membuat kita sibuk dan stres.
Kadang-kadang kita sering tidak sabar menerima perlakuan yang tidak
mengenakkan dari orang lain. Kadang tanpa sadar, kita terjerumus ke dalam
perbuatan yang merusak hubungan antar sesama manusia. Seperti dengan melakukan
namimah atau mengadu domba, karena kejahilan kita. Misalnya dengan mengatakan
kepada ustadz A, bahwa ustadz B berlainan pendapat dalam satu masalah dengannya
di depan forum kajian. Atau dengan mengatakan, bahwa ustadz B menjelek-
jelekannya.Mungkin kita melakukan hal itu karena mencintai ustadz A. Padahal bisa
membuat kedua orang itu bermusuhan. Seharusnya kita melakukan hal-hal yang
membuat keadaan menjadi lebih baik. Tidak ada kebaikan pada kebanyakan
perbincangan, kecuali orang yang memerintahkan manusia untuk bershadaqah,
berbuat baik, dan mengadakan perbaikan (ishlah) antar manusia. Termasuk diantara
baiknya keislaman seseorang, yaitu meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat
bagi dirinya.
Al Imam Ibnul Qayim menjelaskan dalam kitabnya Al Fawaid,
“Berkumpulnya manusia dengan temannya itu ada dua macam. Yang pertama,

25
berkumpulnya sebagai hiburan, untuk menghabiskan waktu saja. Maka hal ini
mudharatnya lebih banyak daripada manfaatnya. Minimal menyia-nyiakan waktu
yang sangat berharga, bahkan bisa mengotori hati”. Kita perlu melatih diri untuk
mengisi waktu dengan perbuatan bermanfaat. Kalau jiwa kita tidak terlatih, maka hal
ini akan sangat berat. “Yang kedua, berkumpul dalam rangka nasihat-menasihati
dalam kebenaran dan kesabaran. Yaitu berkumpul dalam rangka untuk meniti jalan
keselamatan. Majelis seperti ini merupakan jenis yang baik. Walaupun begitu, masih
terdapat di dalamnya hal-hal yang bisa membahayakan. Pertama, jika terjadi saling
memuji sebagian kita terhadap lainnya dalam bentuk basa-basi”. Dalam hal ini bisa
membahayakan orang yang dipuji. Jika yang dipuji itu tidak bisa menjaga diri, bisa
jadi dia akan terjerumus ke dalam ujub atau sombong. “Bahaya selanjutnya, yaitu jika
pertemuan tersebut semata-mata hanya merupakan adat kebiasaan saja”. Tujuan
diadakannya majelis tersebut sudah tidak lagi dalam rangka saling-menasihati dalam
kebenaran dan kesabaran. Atau justeru menjadi majelis yang tidak bermanfaat,
bahkan bisa mengotori hati orang yang duduk di dalamnya. Hal ini bukan berarti kita
harus menghindari majelis yang kedua ini sama sekali, akan tetapi hendaklah di
dalamnya dibicarakan hal-hal yang baik dan bermanfaat. Apabila muncul
pembicaraan yang tidak baik dalam majelis tersebut, kita coba alihkan ke
pembicaraan lain yang bermanfaat, sehingga majelis tersebut diberkahi.
Termasuk menghargai orang lain dengan menganggapnya penting bagi kita
dan dibutuhkan oleh kita meskipun tidak ada keuntungan duniawi yang bisa kita raih
darinya tetapi yang paling pokok agar kita dicintai Allah keuntungan lain yang bisa
kita raih doa mereka untuk kita, mereka akan menghargai kita dan lain-lain mungkin
anda lebih tahu.

- Manusia suka kepada orang yang memberi kesempatan orang lain untuk
maju.
Sebagai seorang muslim, seharusnya senang jika saudara kita maju, berhasil
atau mendapatkan kenikmatan, walaupun secara naluri manusia itu tidak suka, jika

26
ada orang lain yang melebihi dirinya. Naluri seperti ini harus kita kekang dan dikikis
habis sedikit demi sedikit. Misalnya, bagi mahasiswa jika di kampus ada teman
muslim yang lebih pandai daripada kita, maka kita harus senang. Jika kita ingin
seperti dia, maka harus berikhtiar dengan rajin belajar dan tidak malas. Berbeda
dengan orang yang dengki, tidak suka jika temannya lebih pandai dari dirinya.
Malahan karena dengkinya dia mencuri buku catatan pelajaran milik temannya.
Contoh lain, misalnya jika kita adalah seorang guru atau pengajar, maka harus
senang jika murid kita maju, lebih pandai dan lebih berhasil daripada kita. Sehingga
tidak dibolehkan menginginkan murid cukup memiliki kepandaian di bawah kita
terus. Hal ini biasanya terjadi pada guru ilmu bela diri. Walaupun dia mengajarkan
banyak jurus kepada murid-muridnya, akan tetapi biasanya ada jurus pamungkas
yang disimpannya, agar tidak dikalahkan oleh muridnya. Adapun dalam mendidik
ilmu dien, terlarang untuk melakukan seperti demikian. Kita harus mengajarkan
semua ilmu yang kita miliki. Dan jika suatu saat murid kita memiliki ilmu yang lebih
dari kita, maka kita tidak merasa gengsi untuk belajar kepadanya.
Apapun kedudukan anda apakah sebagai kepala rumah tangga, kepala
instansi, direktur perusahaan, direktur sebuah lembaga, kepala sekolah dan lain
sebagainya akan disukai oleh manusia jika dia tidak bersifat egois dan menginginkan
kemajuan bawahannya.

- Manusia suka kepada orang yang tahu berterimakasih atau suka membalas
kebaikan.
Hal ini bukan berarti dibolehkan mengharap ucapan terimakasih atau balasan
dari manusia jika kita berbuat kebaikan terhadap mereka. Akan tetapi hendaklah tidak
segan-segan untuk mengucapkan terimakasih dan membalas kebaikan yang diberikan
orang lain kepada kita. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
‫من لم يشكرالناس لم يشكرا‬
“Barangsiapa tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia maka ia
tidak bersyukur kepada Allah” (H.R. Ahmad, Tirmidzi dan dishahihkan oleh syaikh

27
Al Albani dalam Shahih Al Jamius Shaghir no 6541)
‫ه‬ ‫ه‬ ‫ه‬
‫صنررع إهلرفيِجكفم رمفعجروفراَجُ فرركاَجُفجئوهج فرهإفن رلف رتجدوا رماَجُ تجركاَجُفجئونَرهج فراَجُفدعجوا لرهج رحلت ترنررفوا رنَألجكفم قرفد ركاَجُفرأفججتوهج‬
‫رورمفن ر‬
“… Siapa yang telah berbuat baik kepada kalian, maka balaslah kebaikannya.
Apabila kalian tidak mendapatkan sesuatu untuk membalas budi kepadanya, maka
doakanlah(memohon kebaikan) untuknya sehingga kalian berpendapat telah
membalas budinya.(HR.Ahmad 2/68,Abu Daud 1672,Nasa`I 5/82,Bukhari dalam
buku Al-Adab Al-Mufrad 216, Ibnu Hibban 3408, Al Hakim 1/412 dan 2/13, At-
Thayalisi 1895 dan selain mereka dari hadits Abdullah bin Umar bin Khattab
radhiallahu `anhuma.Derajat hadits itu shahih (Syaikh Ali Hasan)

Pernahkah kita mengingat-ingat orang-orang yang telah berjasa kepada kita


selama ini?, orang tua kita yang telah membesarkan dan mendidik kita sejak kecil
dengan penuh kasih sayang, guru-guru kita yang dengan ikhlasnya menginginkan kita
menjadi orang yang baik, teman-teman yang dengan tulus memberikan motivasi dan
selalu memberikan nasehat yang bermanfaat, orang-orang yang telah membiayai kita
sekolah atau belajar menuntut ilmu dien dengan tanpa pamrih termasuk mereka yang
menjadi perantaranya. Pernahkah kita mendoakan memohon kepada Allah agar
memberikan kebaikan kepada mereka? Sudahkah kita berusaha membalas kebaikan
mereka dengan melakukan hal-hal yang menyenangkan mereka selama tidak
menyalahi syariat? Apabila diantara mereka ada yang memiliki pemahaman islam
yang bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah -dengan pemahaman salafus
shalih-, sudahkah kita berusaha semaksimal mungkin untuk meluruskannya dengan
penuh optimisme tanpa putus asa? Lebih-lebih lagi mereka yang secara ushul
memiliki aqidah dan manhaj yang sama yaitu aqidah ahlus sunnah waljamaah, aqidah
salafiyah, mengikuti jejak Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabatnya
radhiallahu anhum lalu ada kerancuan dalam sebagian pemahaman mereka sedangkan
mereka cinta kepada kebenaran dan mencintai ulamanya. Apakah termasuk membalas
kebaikan mereka dengan cara bermuka masam dan membuang muka? Apakah
termasuk membalas kebaikan mereka dengan cara melarang manusia untuk belajar
Islam kepada mereka? Apakah termasuk membalas kebaikan mereka dengan cara
membuat fitnah dan tuduhan yang keji? Menyampaikan berita-berita yang telah usang

28
dan kadaluwarsa serta berita-berita bohong. Sesungguhnya Allah sangat cepat
pembalasannya, doa orang yang teraniaya itu mustajab dan akibat yang baik untuk
orang-orang yang bertakwa. Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba-
hambaNya yang bertakwa dan memberikan kita rasa takut akan adzab dan murkaNya
dan takut untuk mendzalimi orang lain, ya Allah jadikanlah kami bersifat adil dalam
bertindak, ya Allah janganlah jadikan orang-orang yang telah berjasa kepada kami
sebagai penghalang untuk meraih keridhaanMu, ya Allah karuniakanlah keikhlasan
kepada kami dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang tidak mengharapkan
dari orang lain balasan ataupun ucapan terima kasih.

- Manusia suka kepada orang yang menjaga perasaan orang lain


Kita perlu melatih diri untuk menyampaikan ungkapan kata-kata yang tidak
menyakiti perasaan orang lain dan tetap sampai kepada tujuan yang dinginkan.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melarang dua orang berbisik-bisik jika
mereka bertiga dikarenakan membuat sedih orang yang ketiga. Sungguh agama Islam
sangat memperhatikan perasaan manusia.
Orang tua menyuruh anaknya mencuci piring dan gelas di dapur. Ternyata
cuciannya kurang bersih. Ibu yang bijak dia akan memuji jerih payah anaknya baru
setelah itu diajarkan bagaimana cara mencuci yang baik. Pujian dan cara yang baik
ini akan memotivasi anak untuk giat melaksanakan perintah ibu dan memperbaiki
kekurangannya. Lain halnya jika si ibu marah-marah dan mengumpatnya,”Dasar anak
malas, tahunya hanya minta uang dan main saja, mencuci piring saja tidak becus
kalah sama adiknya”. Ungkapan seperti ini dapat membuat si anak menjadi malas dan
kurang hormat terhadap ibunya.
Seorang ibu meminta anaknya untuk sarapan terlebih dahulu sebelum
berangkat ke sekolah atau ke kantor lalu dengan entengnya dijawab bahwa tidak ada
waktu karena dirinya hampir terlambat sambil keloyong keluar rumah. Padahal ada
cara lain untuk tidak mengecewakan orang tua seperti bergegas-gegas sejak pagi
sehingga ada waktu luang untuk sarapan, seandainya sempit waktunya pun masih ada

29
cara untuk menyenangkan ibu dengan menuruti kemauannya dan mengambil sedikit
nasi serta lauk tidak sampai lima menit kita bisa segera keluar rumah dengan perut
berisi tanpa membuat ibu cemberut bahkan memancarkan wajah berseri-seri.
Seorang anak tk yang jelek tulisannya hendaknya tidak dipatahkan
semangatnya dengan mencela dan memarahi anak tersebut.
Seorang guru ditanya oleh siswanya tentang suatu masalah lalu dijawabnya,
“Pertanyaan ini tidak pantas ditanyakan, anak sd saja tahu jawabannya!” Ini bukan
jawaban yang baik karena dapatkan mematahkan semangat belajar anak dan mungkin
siswa tersebut tidak akan bertanya kepada guru tadi seterusnya. Seorang guru harus
menyadari jawaban tadi atau yang sejenisnya tidak sepantasnya dilontarkan karena
tugas guru bukan hanya mentransfer ilmu tapi ia juga bertugas sebagai pendidik.
Dalam sebuah buku diceritakan, ada seorang suami yang memberikan
ceramah dalam suatu majelis dengan bahasa yang terlalu tinggi, sehingga tidak bisa
dipahami oleh orang-orang yang hadir. Ketika pulang, dia menanyakan pendapat
isterinya tentang ceramah tadi. Isterinya menjawab dengan mengatakan, bahwa jika
ceramah tersebut disampaikan di hadapan para dosen, maka tentunya akan tepat
sekali. Ucapan itu merupakan sindiran halus, bahwa ceramah itu tidak tepat
disampaikan di hadapan hadirin saat itu. Hal ini bukan berarti kita harus banyak
berbasa-basi atau bahkan membohongi orang lain. Namun hal ini agar tidak melukai
perasaan orang, tanpa kehilangan maksud untuk memperbaikinya.
Contoh lain, yaitu isteri yang memasak, akan merasa sakit hati jika kita cela
hasil masakannya. Padahal dengan bahasa yang lebih baik, kita bisa membuat dia
tidak tersinggung jika dikritik. Misalnya saja, jika masakannya terlalu asin, kita
mengatakan bahwa masakannya enak, namun jika dikurangi sedikit garamnya, pasti
akan lebih enak. Dia akan paham, bahwa masakannya kebanyakan garam.
Contoh lainnya lagi, yaitu terhadap teman kita yang menyatakan keinginannya
untuk sekolah di Madinah. Janganlah kita mengatakan, bahwa orang seperti dia tidak
pantas untuk sekolah di Madinah. Kalau kita menilai, bahwa dia kurang mampu
untuk mendalami dien, maka kita bisa mengatakan kepadanya, jika dia belajar di

30
sekolah lain tentu akan lebih bermanfaat. Jangan sampai membuat dia merasa terhina
dengan ungkapan kata-kata kita.
Seorang kenalan yang baru memiliki hp terkadang menanyakan kepada anda
“Apakah anda perlu mencatat nomer hp saya?” Seandainya anda tidak butuh
sekalipun –padahal mungkin suatu waktu butuh- apa salahnya untuk menyenangkan
orang lain dan tidak menimbulkan kekecewaannya kita jawab,”Berapa no hp kamu?”
Sambil kita catat.
“Harun bin Abdullah rahimahullah meriwayatkan, “Ahmad bin Hanbal
mendatangiku di malam hari dengan mengetuk pintu, saya tanya,”Siapa?” Beliau
menjawab,”Saya Ahmad” Segera saya keluar menemuinya, beliau mengucapkan
salam dan saya menjawabnya. Saya bertanya,”Apa gerangan keperluan anda wahai
Abu Abdillah?” Beliau menjawab,”Hatiku resah hari ini memikirkanmu”. Mengapa
wahai Abu Abdillah? Beliau menjelaskan,”Saya melewatimu hari ini, anda duduk
menyampaikan pelajaran kepada manusia di tempat yang teduh sedangkan manusia
dibawah terik matahari memegang buku dan pena, jangan anda lakukan sekali lagi,
jika anda duduk duduklah bersama manusia” Imam Ahmad rahimahullah tidak
menegurnya seketika tapi menundanya sampai malam hari dan menegurnya secara
empat mata dengan penuh kelembutan dan perhatian dengan ucapannya “Hatiku
resah hari ini memikirkanmu”.
Pernah Syaikh Masyhur Hasan Al Salman salah seorang murid terkemuka dari
syaikh Al Albani menulis surat pribadi kepada salah seorang ustadz di Indonesia
memberikan motivasi dan taushiyah. Mendengar berita tersebut saya meminta
copiannya untuk dijadikan bahan renungan. Diantara manfaat yang didapat dari surat
tersebut kita tahu betapa lembutnya beliau dalam memberikan nasehat diantaranya
beliau berkata, “…Saudaraku yang saya cintai
Taufik Allah seluruhnya dapat diperoleh dengan (ilmu) disertai (tahan emosi),
Saya dapatkan pada dirimu sifat tahan emosi dan perhatian yang pantas diinginkan
oleh orang lain, maka berilah perhatian dengan sepenuhnya dalam hal (ilmu) dan
upaya untuk menambahnya…”

31
Hendaknya jika kita tidak setuju dengan salah satu pendapat teman kita,
mulailah dengan menyebutkan pendapat-pendapatnya yang kita setujui setelah itu
disebutkan pendapat yang kita kurang setuju.
Saya mendapat pelajaran dari salah seorang ustadz di Jakarta –semoga Allah
memberkahi ilmunya- ketika memberikan teguran kepada khatib jumat jika ada yang
salah atau membawakan hadits-hadits lemah dan maudhu’ beliau tunggu suasana sepi
dan setelah itu mendatanginya sendirian lalu berbicara berdua dengan berbisik-bisik
setelah itu saya lihat khatib dari kejauhan tersenyum dan menjabat tangan ustadz
dengan hangatnya. Kejadian seperti ini saya lihat sendiri tidak satu dua kali di tahun
delapan puluhan. Karena ingin mendapatkan ilmu dari beliau saya penasaran dan
bertanya kepada beliau apa yang dilakukannya berduaan dengan khatib. Beliau
menjawab sedang memberikan masukan atas kesalahan khatib dengan cara pertama
berterimakasih atas isi khutbah yang disampaikannya, banyak manfaat yang bisa
didapat. Setelah itu menanyakan kedudukan satu atau dua hadits yang dibawakan
khatib tadi beserta sumbernya. Terakhir menyampaikan apa yang beliau tahu tentang
kedudukan hadits tersebut berdasarkan keterangan- keterangan pakar hadits.
Termasuk menjaga perasaan orang lain jika kita bertemu di jalan atau di
kantor atau dimana saja dengan dua orang atau lebih satu diantaranya adalah teman
kita hendaklah kita salami semuanya, terkadang kita tidak sadar hal itu dapat
menyinggung perasaan orang lain. Saya pernah diajak oleh teman di Jeddah
berkunjung ke famili mereka setelah bertemu dalam satu majelis yang berjumlah
sekitar lima belas orang tidak semua dikenal oleh teman ini, apa yang dilakukannya
setelah mengucapkan salam dan menyalami mereka satu persatu? Dia menanyakan
keadaan dan keluarga mereka satu persatu tidak ada seorangpun yang luput dari
pertanyaannya.
Jadi kita perlu melatih untuk mengungkapkan kata-kata yang tidak melukai
perasaan orang lain. Manusia punya perasaan, termasuk kita. Kita tidak suka jika
perasaan kita dilukai orang lain. Oleh karena itu, kita berusaha untuk tidak melukai
perasaan orang lain.

32
SIKAP-SIKAP YANG TIDAK DISUKAI MANUSIA
Kita mempelajari sikap-sikap yang tidak disukai manusia agar dapat
menghindarinya. Maksud dari sikap-sikap yang tidak disukai manusia, ialah sikap
yang menyelisihi syari’at baik berdasarkan nash-nash yang khusus maupun umum.
Berkaitan dengan sikap-sikap yang tidak disukai manusia, tetapi Allah ridha, maka
harus kita utamakan keridhaan Allah. Dan sebaliknya, terhadap sikap-sikap yang
dibenci Allah -walaupun manusia menyukainya- maka, tetap harus kita jauhi. Kita
harus mencintai Allah dan RasulNya melebihi cinta kita kepada yang lain.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda,
‫ب إهلنيِمهه همنممماَ هسملوُاكهلماَ لوألنن يِإْكهحم ن‬
‫ب النلممنرءل لل يِإْكهحبمهك إهنل‬ ‫ث لمنن ككنن فهيِهه لولجلد بههنن لحلللولة ا نهليِإْلماَهن لممنن لكماَلن اللنمهك لولركسمموُلكهك أللحم ن‬
‫ثللل ث‬

‫لهلنهه لوألنن يِإْلنكلرله ألنن يِإْلمكعوُلد هفيِ النككنفهر بلمنعلد ألنن ألنَنملقلذهك اللنهك همنهك لكلماَ يِإْلنكلرهك ألنن يِإْكمنقلذ ل‬
‫ف هفيِ النناَهر‬

“Ada tiga perkara, yang apabila terdapat pada diri seseorang perkara-
perkara tersebut, maka ia akan merasakan manisnya iman. (Yaitu) menjadikan Allah
dan RasulNya lebih dicintai daripada yang lain, mencintai orang lain semata-mata
karena Allah, benci kembali kepada kekufuran -setelah Allah menyelamatkannya-
sebagaimana ia benci bila dimasukkan ke dalam neraka”.
Dalam kolom Tanya jawab di salah satu majalah Islam pernah seorang
perempuan bertanya bagaimana sikap yang harus ia lakukan terhadap ‘teman laki-
laki’ di sekolah yang jatuh cinta kepadanya dan mengajaknya untuk berpacaran
sementara dia tidak ingin ‘menyakitinya’ jika ditolak? Menolak ajakan untuk
bermaksiat dicintai Allah sementara menerima ajakannya untuk berjalan berduaan
dan bersentuhan dengannya dimurkai Allah. Manakah yang harus kita utamakan?
Tentu mengutamakan ridha Allah lah yang seharusnya kita pilih meskipun beresiko
orang lain akan sakit hati atau tersinggung.
Jika ada lawan jenis yang bukan mahram kita seperti sespupu, isteri paman,

33
isteri kakak atau adik mengulurkan tangannya dan mengajak kita berjabat tangan
padahal kita tahu hukumnya haram bersasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi
Wasallam, …Tindakan yang benar adalah kita tolak secara halus dan tidak
menjabatnya meskipun orang itu tersinggung. Untuk mengurangi ketersinggungan
orang lain, bisa jadi dia tidak tahu hadits diatas sehingga perlu disampaikan
kepadanya dan fatwa ulama yang menyatakan haram perbuatan tersebut. Kedua kita
bisa mencairkan suasana dengan berbasa-basi kepadanya menanyakan sekedarnya
keadaan dirinya, suaminya, anak-anaknya atau lainnya.
Begitu pula kita tidak boleh ikut hadir dalam acara-acara bid’ah seperti
‘tahlilan’, peringatan maulid Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, nisfu sya’ban, haul
dan lain sebagainya karena kehadiran kita di sana berarti menyetujui perbuatan
bid’ah. Kita tetap diperintahkan untuk berbuat baik kepada kaum muslimin pada
umumnya seperti mengucapkan salam, menengok orang sakit, membantu kesulitan
mereka, menghargai mereka, memberi nasehat dan lain sebagainya. Kalaupun kita
sudah berbuat baik lalu mereka tetap saja memusuhi kita karena kita tidak ikut acara
bid’ah mereka hendaklah kita sabar dan tetap teguh pada pendirian serta berdoalah
kepada Allah agar Allah melunakkan hati mereka, memberi hidayah untuk kita dan
mereka. Ya Allah Yang membolak balikkan hati manusia teguhkanlah hatiku agar
selalu berada diatas agamaMu. Ya Rabb kami janganlah engkau palingkan hati-hati
kami setelah engkau beri hidayah kepada kami dan berilah untuk kami rahmat dari
sisiMu sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.
Adapun perbuatan-perbuatan yang tidak disukai manusia ialah sebagai
berikut.

Pertama. Memberi nasihat kepadanya di hadapan orang lain.


Hal ini telah banyak dibahas oleh para ulama, diantaranya oleh Al Imam Ibnu
Hibban dalam kitab Raudhatul Uqala Wa Nuzhatul Fudhala; dalam penjelasan
mengenai cara memberi nasihat. Yaitu, hendaklah tidak di depan orang lain.
Hendaklah memberi nasihat secara empat mata atau secara rahasia.

34
Begitu pula Al Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitab Al Akhlaqu Wa
Siar Fi Mudawatin Nufus. Beliau juga menjelaskan, bahwasanya kita harus memberi
nasihat kepada manusia, baik manusia itu suka ataupun tidak. Akan tetapi, jika kita
ingin memberi nasihat kepada orang lain, janganlah di hadapan orang banyak.
Hendaklah nasihat itu diberikan secara rahasia.
Begitu pula Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan hal ini dalam
kitab yang berjudul Al Farqu Baina Nashihati Wa Ta’yir, yang intinya sama, bahwa
memberi nasihat itu harus dilakukan secara rahasia. Demikian juga Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan hal ini dalam
kitab Syarh Riyadlus Shalihin.
Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah telah menjelaskan hal ini dalam puisinya,
Sengajalah engkau memberi nasihat kepadaku ketika aku sendirian
Jauhkanlah memberi nasihat kepadaku di hadapan orang banyak
Karena sesungguhnya nasihat yang dilakukan di hadapan manusia
adalah salah satu bentuk menjelek-jelekkan,
aku tidak ridha mendengarnya
Apabila engkau menyelisihiku dan tidak mengikuti ucapanku,
maka janganlah jengkel apabila nasihatmu tidak ditaati

Hal ini menunjukkan, bahwa Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengetahui


kejiwaan manusia. Bahwa, umumnya manusia akan menolak kebenaran, bila diberi
nasihat di hadapan orang banyak. Maka Imam Syafi’i mengatakan: janganlah engkau
jengkel apabila nasihatmu tidak ditaati.
Beliau juga mengatakan: sengajalah engkau memberi nasihat kepadaku
ketika aku sendirian. Bukan berarti jika beliau diberi nasihat di hadapan orang
banyak dan isi nasihat itu benar akan beliau tolak kebenaran itu. Akan tetapi, beliau
ingin mengajarkan kepada kita, bagaimana metoda yang benar dalam memberi
nasihat dan pengajaran kepada orang lain. Karena umumnya manusia tidak mau
menerima nasihat, jika nasihat itu disampaikan di hadapan orang banyak.

35
Namun apakah perkataan ulama-ulama tadi menunjukkan secara mutlak,
bahwa nasihat itu harus disampaikan secara empat mata atau secara rahasia saja?
Tentunya sama sekali tidak demikian. Yang demikian itu hanya menunjukkan
keumuman saja.
Kata nasihat sendiri berasal dari kata nashaha, yang mempunyai arti
khalasha, yaitu murni. Maksudnya, hendaklah yang memberi nasihat itu memurnikan
niatnya semata-mata karena Allah. Selain itu, kata nasihat juga berasal dari kata
khaththa, yang artinya menjahit. Maksudnya, ingin memperbaiki kekurangan orang
lain. Maka secara istilah, nasihat itu artinya keinginan seseorang yang memberi
nasihat agar orang yang diberi nasihat itu menjadi baik. Tentu saja cara yang
dilakukan harus sedemikian rupa, sehingga orang yang diberi nasihat mau menerima
petuah itu; tidak dengan cara-cara yang membuat orang lari meninggalkannya.
Akan tetapi, dalam keadaan-keadaan tertentu, seseorang harus memberi
nasihat di hadapan orang banyak. Ini tidak bertentangan dengan perkataan ulama-
ulama tadi.
Nasihat terkadang harus disampaikan di hadapan orang banyak. Diriwayatkan
dalam Shahih Muslim, ketika Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sedang memberikan
khutbah Jum’at, ada seseorang masuk ke dalam masjid dan langsung duduk. Orang
itu bernama Sulaik Al Ghathafani. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam langsung
bertanya:,“Sudahkah engkau shalat dua rakaat?” Orang itu menjawab,”Belum,”
selanjutnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam berkata,“Bangunlah. Shalatlah dua
rakaat.”
Teguran ini langsung beliau sampaikan di hadapan orang banyak, bukan
dengan maksud menjelek-jelekkan orang tersebut. Hal itu dilakukan karena tidak
mungkin orang itu diberi nasihat untuk melakukan shalat tahiyatul masjid setelah
selesai shalat Jum’at.
Oleh karena itu, apabila nasihat tidak mungkin untuk ditunda, walaupun di
hadapan orang banyak, tetap harus disampaikan. Batasannya ialah
mempertimbangkan maslahat dan mafsadahnya.

36
Pernah suatu ketika Nabi n melihat ada yang makan dengan tangan kirinya.
Nabi n langsung menegurnya,”Makanlah dengan tangan kananmu.” Orang itu
menolak dan mengatakan,“Saya tidak bisa,” lantas Nabi n berkata,“Semoga engkau
tidak bisa.” Akhirnya Allah k menimpakan hukuman kepada orang itu, dengan
membuat tangannya lumpuh karena angkuh dan membangkang perintah Nabi n untuk
makan dengan tangan kanan.
Dari hadits ini, Syaikh Salim Al Hilali dalam kitab Bahjatun Nadzirin
mengambil faidah, bahwa dibolehkan untuk menasihati seseorang di hadapan orang
banyak -apabila terdapat maslahat untuk melakukan hal itu. Jadi memberi nasihat
secara empat mata atau rahasia itu tidak mutlak.
Kalau kita perhatikan, seandainya nasihat tadi mesti disampaikan secara
rahasia saja, maka akan ada mafsadat, berupa tidak tahunya orang lain pada waktu
itu, yang ikut duduk bersama Nabi n . bahwa makan dengan tangan kiri itu terlarang.
Disamping itu, faktor siapa yang menyampaikan nasihat juga perlu diperhatikan.
Artinya, jika nasihat itu diberikan oleh orang yang lebih memiliki wibawa, seperti:
seorang guru kepada muridnya, orang tua kepada anaknya, kakak kepada adiknya,
atau suami kepada isterinya; maka nasihat itu mungkin lebih bisa diterima.
Sebagian orang tua masih kurang menyadari bahayanya menyampaikan
nasihat untuk anak dihadapan orang lain. Ada juga orang tua mengeluhkan atau
menjelek-jelekkan anaknya sendiri kepada orang lain dihadapan si anak. Hal ini akan
membuat malu anak dan merasa dijatuhkan harga dirinya terlepas isi keluhan itu
benar atau tidak dan dimaksudkan untuk mencari solusi misalnya. Hendaknya jangan
disampaikan dihadapan anak dan tidak disampaikan kepada setiap orang. Karena
sebagian orang yang kurang peka terhadap perasaan anak dia akan menyampaikan
aibnya di hadapan anak tersebut dan dihadapan banyak orang dengan maksud untuk
memperolok-oloknya atau bermaksud menasihatinya tetapi belum tahu metode yang
lebih tepat.
Hendaknya suami tidak menyalahkan isteri di hadapan anak-anak mereka agar
isteri lebih mudah untuk menerima nasihat dan agar anak-anak mereka tetap hormat

37
terhadap ibunya. Begitupula sebaliknya agar isteri tidak menegur suaminya
dihadapan anak-anak atau orang tua mereka.

Kedua. Manusia tidak suka diberi nasihat secara langsung.


Bila memungkinkan seseorang memberi nasihat secara sindiran, maka
hendaklah berbuat demikian. Hal ini dijelaskan oleh Al Imam Ibnu Hazm t dalam
kitab Al Akhlaq Was Syiar Fi Mudawatin Nufus. Hendaklah nasihat yang kita berikan
itu disampaikan secara tidak langsung. Tetapi, jika orang yang diberi nasihat itu tidak
mengerti juga, maka dapatlah diberikan secara langsung. Jika tujuan nasihat sudah
tercapai, maka nasihat secara langsung tidak diperlukan lagi.
Bagi orang-orang tertentu, nasihat secara sindiran itu bisa sangat membekas.
Bahkan tidak perlu dengan kata-kata. Misalnya, seseorang yang ingin menegur
seorang petugas kebersihan karena pekerjaannya kurang beres, banyak tempat-tempat
yang masih kotor. Tidak langsung mengatakan: Kenapa kamu tidak membersihkan
tempat ini? Disini masih kotor, dan sebagainya ……, tetapi dia langsung
membersihkan sendiri, menyapu tempat yang masih kotor tadi dan membuang
sampahnya di hadapan sang petugas kebersihan. Demikian ini sudah merupakan
bentuk teguran yang keras bagi pegawai tersebut, yang membuatnya malu. Tetapi
kadang-kadang ada orang yang tidak paham dengan cara seperti ini. Maka orang
seperti itu harus ditegur secara langsung. Hanya saja, jika secara sindiran sudah
cukup, maka tidak perlu ditegur secara langsung. Mengapa? Karena manusia pada
umumnya tidak suka disalahkan, meskipun sudah jelas ia bersalah.
Ada suatu metoda dalam pendidikan, yang dinamakan metoda bimbingan
secara tidak langsung. Semisal sebuah buku yang ditulis Syaikh Shalih bin Humaid,
imam Masjidil Haram, berjudul At Taujihu Ghairul Mubasyir (Bimbingan secara
tidak langsung).
Metoda ini perlu dipraktekkan, walaupun tidak mutlak. Misalnya, ketika
melihat banyak kebid’ahan yang dilakukan oleh seorang ustadz di suatu majelis
pengajian, maka kita tanyakan pendapatnya dengan menyodorkan buku yang

38
menerangkan kebid’ahan-kebid’ahan yang dilakukannya. Nabi Shallallahu Alaihi
Wasallam pun kadang mempraktekkan metoda ini. Diantaranya ketika hendak
menegur, beliau Shallallahu Alaihi Wasallam tidak menyebutkan orangnya langsung,
tetapi hanya mengatakan: Ada suatu kaum …… Hal ini kita praktekkan meskipun
tidak mutlak.
Pada kasus tertentu, mungkin harus menyebutkan orangnya. Akan tetapi, jika
cukup dengan cara tidak langsung, maka kita lakukan yang seperti itu.Dalam shahih
Muslim Nabi Shallallahu Alaihi Wasallamn pernah mengatakan,“Seseorang telah
bershadaqah dengan dinarnya, seseorang telah bershadaqah dengan dirhamnya.“
Kata-kata yang dipakai menggunakan gaya bahasa bentuk lampau, padahal
maksudnya perintah sebagaimana disebutkan oleh As Sindi rahimahullah dalam
penjelasannya atas sunan An Nasa’i. Para shahabat langsung memahami maksudnya
yaitu perintah untuk bershadaqah. Sehingga salah seorang shahabat pulang untuk
mengambil hartanya, dan yang lain pun mengikutinya.
Jika seorang kakak menyuruh kepada adiknya dengan perintah-perintah,“Dik,
bawakan ini, ambilkan itu …… !,” dan lain sebagainya, maka itu bisa membuat
sang adik jengkel, walaupun yang memerintahnya ialah kakaknya. Sang adik bisa
beranggapan, bahwa seolah-olah dirinya sebagai bawahan yang harus selalu menuruti
perintah bosnya, yaitu kakaknya tadi. Jika saja sang kakak mengatakan,“Dik, kakak
tidak kuat mengangkat barang ini sendirian,” atau, “Dik, kakak sedang banyak tugas
dan ibu tidak ada yang mengantar belanja,” maka mungkin sang adik bisa dengan
senang hati membantu. Karena permintaannya menggunakan bahasa tidak langsung
yang halus. Hal itu boleh kita lakukan, selama tidak bertentangan dengan syari’at.
Bisa membuat hubungan yang akrab tetap terjaga. Demikian juga dalam berteman.
Diusahakan jangan ada bahasa-bahasa yang berkesan memaksa, sehingga hubungan
dapat tetap terjaga baik.

Ketiga. Manusia tidak suka kepada orang yang selalu memojokkannya dengan
kesalahan-kesalahannya.

39
Yang dimaksud dengan kesalahan-kesalahan disini, yaitu kesalahan yang tidak
fatal; bukan kesalahan yang besar semisal penyimpangan dalam aqidah. Karena
manusia adalah makhluk yang banyak memiliki kekurangan-kekurangan pada
dirinya.
Dalam menilai seseorang, kita dituntut untuk bersikap adil. Tidak boleh hanya
melihat sisi negatifnya, dan melupakan sisi positifnya, tetapi harus secara
keseluruhan; baik kepada isteri, atasan, orang tua kita, teman dan sebagainya.
Pada kenyataannya, kadang-kadang penilaian kita terhadap seseorang hanya
terfokus pada kesalahannya saja, tidak memandang sisi positifnya. Penilaian seperti
itu membuat kita susah sendiri, karena tidak ada manusia yang bebas dari
kekurangan. Dalam berteman pun kita akan mengalami kesulitan, jika mengharapkan
teman yang sempurna. Hal ini pun merupakan fenomena yang bisa mengotori dakwah
kita.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alus Syaikh menjelaskan dalam ceramahnya,
bahwa ada empat fenomena yang mengotori dakwah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Pertama, memandang sesuatu hanya dari satu sisi. Yang dimaksud oleh beliau, yaitu
dalam perkara-perkara ijtihadiyah. Dalam perkara ini ada keluasan bagi seseorang
untuk mengambil pendapat yang diyakininya. Kita tidak bisa memaksakan pendapat
atau pandangan kita terhadap orang lain, meskipun hal itu kita yakini pendapat yang
benar. Selama itu merupakan perkara ijtihadiyah dan kita yakin, bahwa orang yang
berbeda pendapat itu memiliki dalil -tidak berdasarkan hawa nafsu saja- maka kita
harus menghormati. Biasanya orang yang jahil terhadap ilmu -yang berpendapat
berdasarkan doktrin dari gurunya- tidak mau ada pendapat yang lain dari
pendapatnya. Bahkan akan memusuhi orang yang berbeda pendapat dengannya dalam
masalah ijtihadiyah. Kedua, isti’jal atau terburu-buru. Ketiga, ta’ashub atau fanatik.
Ta’ashub ini bisa kepada madzhabnya, gurunya, maupun kelompoknya; sehingga
menganggap kebenaran itu hanya datang dari golongannya saja, dan tidak mau
menerima pendapat orang lain. Keempat, thalabul kamal atau menuntut
kesempurnaan. Seseorang menuntut kesempurnaan dari orang lain, atau dari lembaga

40
lain, sehingga dia tidak bisa menerima jika ada kekurangan pada orang lain atau
lembaga lain. Jika ada kekurangan pada orang lain, maka akan dianggapnya sebagai
musuh, atau menyimpang dari dakwah yang haq, bahkan memusuhinya.
Syaikh Shalih menjelaskan, bahwa selama seseorang atau suatu kaum berada
di atas aqidah yang benar, atau masih dalam asas Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, maka
kita seharusnya saling nasihat-menasihati, saling mengingatkan antara satu sama lain.
Bukan saling memusuhi. Begitu juga dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam memberi petunjuk tentang hal ini, dengan sabdanya,
artinya: Janganlah seorang mukmin membenci isterinya, karena jika dia tidak suka
dengan satu akhlaqnya yang buruk, dia akan suka akhlaqnya lainnya yang baik.
Syaikh Utsaimin menjelaskan, walaupun dari hadits tersebut disebutkan
kepada isteri, namun pada prakteknya bisa kepada selainnya; kepada teman atau
orang lain.
Kita dituntut untuk tidak menilai seseorang dari sisi negatifnya saja; bahkan
sisi positifnya harus kita pandang dan kita nilai juga. Misalnya kepada seorang ustadz
-sebagai manusia biasa yang tidak lepas dari kekurangan. Jangan sampai ketika
ustadz itu melakukan suatu kesalahan, kemudian menyebabkan kita meninggalkan
halaqahnya, enggan mengambil manfaat dari ilmunya. Tidak mungkin kita
mendapatkan seorang ustadz yang ma’sum di dunia ini. Jika kita mengetahui sisi
positifnya, maka ambil manfaatnya. Sebaliknya, jika ada sisi negatifnya atau
kesalahan, maka kita bisa menegur dengan cara yang baik.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pernah ditanya pendapatnya,
tentang apa yang harus dilakukan seseorang jika mendapatkan gurunya salah dalam
suatu pembahasan dalam masalah dien di kelas. Orang itu merasa yakin, bahwa
gurunya keliru, dan pendapat dirinyalah yang benar.
Maka Syaikh menjawab, bahwa seorang guru itu seharusnya tidak marah jika
dikritik oleh muridnya. Bahkan seharusnya berterima kasih, karena ada yang
mengoreksi kesalahannya. Guru adalah manusia biasa, tidak lepas dari kesalahan.
Akan tetapi perlu diperhatikan, bahwa seharusnya seorang murid memiliki

41
kecerdasan dalam metoda mengkritik gurunya itu. Dia tidak boleh secara langsung
menegur atau menyalahkan gurunya di depan kelas. Akan tetapi hendaklah
mendatangi gurunya tersebut, dan menyampaikan kritik atau koreksinya secara empat
mata dengan cara yang baik. Apabila sang guru menerima kritiknya maka, maka ia
harus meralat kesalahannya di kelas, pada pertemuan berikutnya, walaupun tanpa
menyebutkan bahwa si fulan telah memberikan koreksi. Apabila sang guru bersikeras
dengan pendapatnya, sedangkan sang murid meyakini bahwa pendapat gurunya itu
salah, barulah dia menyampikan kritiknya di hadapan murid-murid yang lain, di
depan kelas.
Sering terjadi di kampus-kampus atau di sekolah-sekolah, seorang murid
langsung mengkritik gurunya di depan kelas, sehingga mengakibatkan gurunya itu
merasa tersinggung atau muncul egonya. Karena khawatir dianggap tidak menguasai
materi yang diajarkannya, sehingga tidak menerima kritik muridnya itu dan tetap
mempertahankan kesalahannya, walaupun dia mengetahui dirinya salah. Hal ini
disebabkan metoda yang salah dalam mengkritik atau menegur. Oleh karena itu kita
harus memperbaiki metoda dalam menegur orang lain, supaya kita tidak menjadi
orang yang membantu syetan dalam menjerumuskan manusia kepada kesalahan,
hanya karena metoda yang salah.
Dalam satu pepatah dikatakan,“Saya menangis disebabkan Amr. Ketika saya
meninggalkannya dan mencoba bergaul dengan orang lain, saya menangisi Amr”.
Maksudnya, seseorang mempunyai teman bernama Amr yang mengecewakan dia
dalam suatu masalah. Lalu dia memutuskan hubungan dengannya dan tidak mau
berteman lagi dengan Amr. Dia meninggalkannya untuk kemudian bergaul dengan
orang lain. Tetapi ia menjadi menyesal, karena telah meninggalkan Amr.
Penyebabnya, karena teman-temannya yang sekarang itu, ternyata jauh lebih jahat
daripada Amr. Dia telah terburu-buru memutuskan hubungan dengan Amr -temannya
itu- disebabkan satu kesalahan yang dilakukan olehnya, tanpa menilai dengan adil.
Dalam kehidupan ini, kita membutuhkan orang lain. Janganlah merasa, bahwa
orang lainlah yang membutuhkan kita. Ingatlah, karena jika sendirian, kita akan

42
lemah. Sebaliknya, kita akan kuat jika ada teman untuk saling menasihati dalam
kebenaran. Tetapi bukan berarti kita boleh berteman dengan sembarang orang. Al
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan dalam kitab Mukhtashar Minhajul
Qashidin, bahwa ada beberapa kriteria yang patut menjadi pedoman dalam memilih
teman. Pertama,
aqidahnya benar. Kedua, akhlaqnya baik. Ketiga, bukan dengan orang yang tolol atau
bodoh dalam hal berperilaku. Karena dapat menimpakan banyak mudharat. Tolol
disini bukan dalam hal IQ-nya, tetapi dalam hal perilaku. Bisa saja seseorang itu
cerdas, tetapi tolol dalam berperilaku dan merugikan orang lain. Keempat, bukan
orang yang ambisius terhadap dunia atau bukan orang yang materialistis. Karena
ambisi terhadap dunia merupakan sikap yang dapat merusak agama seseorang.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menjelaskan, bahwa dua ekor serigala lapar
yang dilepaskan kepada seekor kambing tidaklah lebih besar kerusakannya,
dibandingkan dengan kerusakan yang ditimbulkan akibat ambisi seseorang terhadap
harta dan kemuliaan dunia atas agamanya. Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah telah
menulis sebuah buku yang khusus membahas hadits di atas.

Keempat. Manusia tidak suka kepada orang yang tidak pernah melupakan
kesalahan orang lain.
Sebagai seorang muslim, kita harus bisa memaafkan dan melupakan
kesalahan orang lain atas diri kita. Tidak secara terus-menerus mengungkit-ungkit,
apalagi menyebut-nyebutnya di depan orang itu. Siapa pun orangnya, apakah isteri,
anak kita atau yang lainnya, pasti merasa tidak senang jika diungkit-ungkit atau
diingat-ingat terus kesalahannya.
Banyak kitab yang membahas tentang sikap memaafkan orang lain;
diantaranya dalam kitab Adabul Ishrah Wa Dzikris Shuhbah Wal Ukhuwah. Buku ini
membahas tentang adab pergaulan, persahabatan dan persaudaraan. Juga bagaimana
caranya, supaya mudah memaafkan orang lain yang telah berbuat salah terhadap kita.
Allah l berfirman dalam Al Quran, menyebutkan tentang keutamaan

43
memaafkan orang lain. Diantaranya surat As Syura ayat 39-43, artinya: Dan (bagi)
orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan dhalim, mereka membela
diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa
yang memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.
Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang dhalim. Dan sesungguhnya
orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosa pun atas
mereka. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat dhalim kepada
manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat adzab
yang pedih. Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan)
yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.
Ayat tersebut menunjukkan, bahwa memaafkan itu lebih utama. Walaupun
membalas kejahatan itu dibolehkan asal dengan yang setimpal dan tidak melampaui
batas, tetapi perbuatan memaafkan ini lebih utama. Memang terasa berat untuk
mempraktekkannya.
Terkadang pada kondisi tertentu, membalas kejahatan itu bisa menjadi suatu
keharusan atau lebih utama. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Syarh
Riyadhus Shalihin menjelaskan, bahwa memaafkan dilakukan bila terjadi perbaikan
atau ishlah dengan pemberian maaf itu. Jika tidak demikian, maka tidak memberi
maaf dan membalas kejahatannya itu akan lebih baik.
Seseorang yang berbuat dhalim bukan hanya kepada diri kita saja, tetapi
bahkan juga kepada masyarakat umum, jika diberi maaf, bisa jadi tidak membuatnya
jera dari perilaku dhalimnya itu. Maka orang seperti itu, tidak diberi maaf, namun
diberi balasan oleh orang yang mampu untuk membalasnya itu lebih baik.
Maksudnya, agar orang tersebut mendapat pelajaran dan jera dari perbuatan
dhalimnya.
Misalnya kepada orang yang suka suka ugal-ugalan di jalan. Jika menabrak
orang, maka orang yang ugal-ugalan tersebut seharusnya tidak dimaafkan. Sebab jika
dimaafkan, orang tersebut akan terus bersikap ugal-ugalan. Dalam kasus ini -dengan
tidak dimaafkan- misalnya dengan menuntutnya atau meminta pertanggung-jawaban

44
ganti rugi, diharapkan orang tersebut menjadi jera, tidak mengulangi perbuatannya
lagi.
Jadi, walaupun pada asalnya memberi maaf itu lebih utama, namun bila hal itu
menghasilkan mafsadat yang besar, maka yang paling baik ialah membalas dengan
tidak berlebih-lebihan.
Syaikh Al Albani t menjelaskan dalam muqadimah Silsilah Al Hadits Al
Dhaifah, bahwa terkadang beliau n berlaku keras terhadap yang membantahnya. Hal
itu bukan berarti beliau n tidak suka dibantah atau dikritik. Malahan beliau n senang
dikritik, bila orang yang mengkritiknya dirasa ikhlas dalam mengkritik. Akan tetapi,
jika orang yang mengkritiknya itu mempunyai tendensi lain yang buruk, yang beliau
n ketahui dari adanya indikasi-indikasi ke arah itu, maka beliau n membalas bantahan
orang itu dengan keras. Jadi, walaupun secara umum hendaklah kita mudah
memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain, namun hal itu tetap dilihat dari
kondisi yang ada. Melihatnya secara kasus per kasus.

Kelima. Manusia tidak suka kepada orang yang sombong.


Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda,
‫لل يِإْلندكخكل النلجنةل لمنن لكاَلن هفيِ قلمنلبههه همثِنملقاَكل لذنرةة همنن كهنبةر‬

"Tidak akan masuk surga, barangsiapa yang di dalam hatinya ada sifat
sombong, walau sedikit saja”
Seseorang bertanya,”Bagaimana dengan seorang yang suka pakaiannya baik
dan sandalnya baik pula?” Beliau menjawab,
‫ب النلجلماَلل النهكبنمكر بلطلكر النلحقق لوغلنم ك‬
‫ط النناَ ه‬
‫س‬ ‫إهنن اللنهل لجهميِثل يِإْكهح ب‬

Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan, sombong itu


menolak kebenaran dan merendahkan orang lain." (H.R.Muslim)
Bagi seorang muslim, seharusnya tidak ada sifat sombong. Tetapi sebaliknya,
yang ada yaitu sifat tawadhu dan rendah hati. Seseorang yang sombong, dalam
pergaulan tidak akan disenangi orang lain. Bahkan lebih dari itu, orang yang

45
sombong tidak akan disukai oleh Allah l .
Oleh karena itu, kita harus berusaha menjadi orang yang tawadhu atau rendah
hati. Karena orang yang demikian akan ditinggikan derajatnya oleh Allah l .
Sebaliknya, bagi orang yang sombong, ia diancam akan menempati neraka, dibenci
Allah l , dan juga dibenci manusia.
Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan manusia menjadi sombong.
Pertama, harta atau uang bisa menyebabkan kesombongan bagi pemiliknya. Yaitu
dapat menyebabkan manusia memandang sebelah mata kepada orang yang tidak
berpunya. Mereka juga akan menilai seseorang dari kacamata materi. Tentunya,
pandangan seperti ini tidak dibenarkan oleh dien. Kedua, ilmu, baik berupa ilmu dien
ataupun ilmu umum. Terkadang seseorang yang mempelajari ilmu dien menjadi
sombong, karena merasa memiliki kelebihan dibanding orang lain. Misalnya,
seseorang yang aktif mengikuti ta'lim (kajian) memandang remeh terhadap orang
yang tidak mengaji, dengan tidak mau memberi salam kepadanya, dan hanya
menyalami teman satu pengajiannya saja. Padahal mungkin saja, orang itu lebih baik
dari dia. Oleh karena itu, sikap merasa lebih pintar dari orang lain harus dibuang
jauh-jauh dari diri kita. Ketiga, nasab atau keturunan. Manusia bisa menjadi sombong
karena merasa dirinya lebih tinggi derajatnya atau lebih mulia daripada orang lain.
Dia membangga-banggakan keturunannya dan merendahkan keturunan atau nasab
orang lain. Hal ini termasuk perbuatan jahiliyah yang telah diperingatkan Nabi n .
Sifat sombong merupakan penyakit hati. Bisa menimpa siapa saja. Kita harus
menyadari, bahwa tidak layak seseorang itu berlaku sombong.
Harta seseorang tidak akan bermanfaat di hadapan Allah l . Dalam Al Qur’an
dijelaskan, bahwa di akhirat nanti, harta seseorang sedikitpun tidak bisa bermanfaat
untuk menolak azab Allah k . Oleh karena itu, tidak layak kita sombong dengan
sesuatu yang tidak bisa mengangkat derajat kita di hadapan Allah k .
Demikian pula ilmu yang dipelajari, ibadah dan da'wah kita; bukanlah sesuatu
yang menyebabkan kita layak untuk sombong. Apabila seseorang mempelajari ilmu
bukan dengan ikhlas karena Allah -melainkan semata-mata untuk berdebat dengan

46
orang-orang bodoh atau ingin disejajarkan dengan ulama- maka tempatnya di neraka.
Demikian pula seseorang tidak layak untuk menyombongkan amalan-amalan
ibadahnya. Tidak ada yang bisa menjamin, bahwa dia akan husnul khatimah. Apabila
saat ini rajin beribadah, aktif di masjid, rajin mengaji, belum tentu dia akan sabar dan
tetap teguh sampai akhir hayatnya.
Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah mengatakan bahwa seseorang yang
mengamalkan amalan-amalan ahli jannah sehingga jarak antara dia dengan jannah
sudah sangat dekat lalu ketentuan Allah telah mendahuluinya, sehingga dia
mengamalkan amalan ahli nar, lalu dia masuk neraka. Sebaliknya seseorang yang
mengamalkan amalan-amalan ahli nar sampai jarak anatara dia dengan neraka sudah
dekat lalu ketentuan Allah telah mendahuluinya maka dia mengamalkan amalan-
amalan ahli jannah sehingga dia masuk surga.
Oleh karena itu, kita tidak boleh menganggap remeh dan merendahkan orang
lain. Karena bisa saja, orang yang sebelumnya banyak melakukan maksiat akhirnya
menjadi baik dan taat. Bahkan kita harus takut kepada diri kita sendiri khawatir tidak
istiqamah dan takut meninggal dalam keadaan su’ul khatimah.
Al Imam Ibnul Qayim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Al Jawabul
Kafi Liman sa’ala ‘anid dawa’is syafi’,"… sehingga dosa-dosanya itu akan
menghalanginya dari husnul khatimah. Ketahuilah, bahwa su’ul khatimah itu -semoga
Allah melindungi kita darinya- tidak akan terjadi pada orang yang istiqamah
dhahirnya dan shalih batinnya. Tidak pernah terdengar ada orang yang dhahirnya
istiqamah dan batinnya shalih, kemudian akhir hayatnya su’ul khatimah. Akan tetapi
su’ul khatimah menimpa seseorang yang pada dirinya ada kerusakan aqidah atau
terus-menerus melakukan dosa besar, dan bersegera dalam melakukan dosa-dosa
besar.
Ada diriwayatkan telah terjadi di negeri Mesir. Seseorang yang selalu
mendatangi masjid untuk adzan dan shalat di dalamnya. Pada diri orang tersebut
terlihat tanda-tanda ketaatan dan cahaya ibadah. Suatu ketika, ia menaiki menara
untuk adzan sebagaimana kebiasaanya. Di bawah menara itu ada sebuah rumah yang

47
dihuni oleh keluarga Nasrani. Muadzin tadi melihat di rumah tersebut ada putri dari
pemilik rumah itu, sehingga dia terfitnah olehnya. Dia tidak jadi beradzan, dan turun
memasuki rumah untuk menemui wanita tersebut.
Wanita itu berkata,"Apa keperluanmu dan apa yang engkau inginkan?" Dia
menjawab,"Aku menginginkanmu. Engkau telah menawan hatiku, sehingga aku jatuh
hati kepadamu."
Wanita itu berkata,"Aku tidak akan memenuhi keinginanmu untuk berbuat
jelek selama-lamanya." Laki-laki itu berkata,"Aku akan menikahimu."
Wanita itu menimpali,"Engkau Muslim dan aku Nasrani, dan ayahku tidak
akan mau menikahkanku denganmu." Kemudian laki-laki itu berkata,"Kalau begitu,
aku akan memeluk agama Nasrani."
Wanita itu lalu berkata,"Jika engkau mau melakukan itu, maka lakukanlah."
Maka, laki-laki itu memeluk agama Nasrani dan menikahi perempuan tadi. Laki-laki
itu tinggal bersama keluarga perempuan itu di rumah tersebut.
Pada hari, ketika dilaksanakannya pernikahan, laki-laki itu menaiki atap
rumah, kemudian ia terjatuh dari atap sehingga mati. Dia tidak mendapatkan wanita
tadi, dan juga kehilangan agamanya.”
Jadi, tidak ada yang bisa menjamin seseorang terhindar dari su’ul khatimah.
Seseorang yang tadinya taat dan rajin beribadah, bisa kemudian mati dalam keadaan
kafir. Oleh karena itu, kita harus rajin memohon kepada Allah l yang membolak-
balikkan hati. Yaitu agar hati kita diteguhkan di atas dienNya.

Keenam. Manusia tidak suka kepada orang yang terburu-buru memvonis orang
lain.
Dalam kehidupan ini, kadang-kadang kita terlalu cepat menilai, memvonis
orang lain tanpa mengecek terlebih dahulu keadaan sebenarnya. Perbuatan langsung
memvonis orang lain, bisa menyebabkan seseorang terhalang untuk menerima nasihat
atau menyadari kesalahannya.
Suatu waktu, ketika Nabi n sedang berkhotbah, datang seorang laki-laki

48
masuk masjid dan langsung duduk tanpa shalat sunat terlebih dahulu. Nabi n bertanya
kepada orang itu, apakah ia sudah shalat (tahiyyatul masjid, red.); padahal Nabi n
telah mengetahui, bahwa orang itu belum mengerjakan shalat. Pertanyaan itu
merupakan pembuka untuk memberi nasihat, agar orang itu menerima dan
memahami, bahwa dia salah dan kemudian mau memperbaikinya.
Demikian juga, pada suatu ketika Nabi n telah selesai mengerjakan shalat
berjama’ah. Ketika keluar dari masjid, beliau n melihat dua orang yang tidak ikut
shalat berjama’ah. Beliau n lalu bertanya kepada mereka, yang menjadi penyebab
mereka tidak ikut shalat berjama’ah. Jadi beliau n bertanya terlebih dahulu. Karena –
barangkali- ada sebab atau alasan yang benar. Nabi n tidak langsung memvonis
mereka.
Demikian juga, kalau ada seseorang yang melakukan kesalahan; maka kita
harus mencari kejelasan terlebih dahulu. Apakah dia benar-benar berbuat kesalahan
dan apa alasan yang menjadi penyebabnya. Jika alasan orang itu tidak dapat diterima,
baru kemudian kita menjelaskan kesalahannya dengan cara yang baik.
Dr. Abdullah Al Khatir t menjelaskan, bahwa di masyarakat ada fenomena
yang tidak baik. Yaitu sebagian manusia menyangka, jika menemukan orang yang
melakukan kesalahan, mereka mengganggap, bahwa cara yang benar untuk
memperbaikinya, ialah dengan mencela mereka atau menegur dengan keras.
Misalnya, seseorang berjumpa dengan temannya yang sudah lama tidak
bertemu. Dia itu langsung menyalahkan temannya dengan berkata,"Sudah lebih dari
dua tahun saya tidak melihatmu. Mengapa saya tidak pernah melihatmu ……"
Seseorang ini lupa, bahwa celaan itu –seharusnya- mungkin buat dirinya
sendiri. Bisa jadi, sebenarnya dia yang salah dalam masalah itu. Dia tidak pernah
mencari kabar temannya itu. Orang itu langsung cepat-cepat memvonis, tanpa
menanyakan alasan atau sebab-sebab terjadi demikian. Bisa jadi temannya selama ini
sakit atau punya banyak kesulitan, sehingga tidak bisa menemuinya lagi.
Dalam hal menghukumi sesuatu, Allah l berfirman, artinya: “Dan janganlah
kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”

49
(Surat Al Israa 36)
Para ulama mempunyai kaidah, bahwa hukum seseorang atas sesuatu,
merupakan cabang persepsinya atas sesuatu tersebut. Terkadang persepsi kita
terhadap suatu hal tidak lengkap. Masih banyak data-data lain yang tidak kita ketahui.
Akan tetapi, kita terlalu cepat menyimpulkan dengan data-data yang kurang lengkap
tersebut. Akhirnya menyebabkan kita terjerumus kepada kesalahan, karena terlalu
cepat memvonis orang lain; -sehingga- menuduhnya dengan sesuatu, yang ternyata
orang itu jauh dari anggapan kita.
Allah l berfirman, artinya: “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya
melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (Surat Qaaf 50)
Seorang hamba terkadang tidak menyadari, bahwa ucapannya bisa
menjerumuskannya ke dalam neraka. Dalam Shahih Muslim terdapat riwayat, tentang
seseorang yang mengatakan atau memvonis, bahwa Allah benar-benar tidak akan
mengampuni dosa si Fulan. Maka Allah l murka terhadap orang itu yang bersumpah
atas namaNya, bahwa Dia tidak akan mengampuni si Fulan. Padahal Dia
mengampuninya dan menghapuskan amal shalih orang yang berkata sembarangan
tersebut. Hal itu akibat dari ketergesa-gesaan dan kejahilan menilai seseorang;
sehingga berlaku ceroboh dan mengakibatkan kerugian bagi dirinya.

Ketujuh. Manusia tidak suka kepada orang yang mempertahankan


kesalahannya, atau orang yang berat untuk rujuk kepada kebenaran setelah dia
meyakini kebenaran itu.
Disebabkan kecondongan terhadap hawa nafsu dan ego pribadinya, maka
seseorang bisa menolak kebenaran yang telah jelas. Hal ini bisa terjadi pada diri kita.
Oleh karena itu, kita harus berusaha menahan hawa nafsu dan menundukkannya agar
condong kepada kebenaran. Sehingga lebih mencintai kebenaran daripada ego
pribadi, harga diri di mata manusia dan selainnya.
Salah seorang ulama, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al Mu'allimi t
berkata,"Pintu hawa nafsu itu tidak terhitung banyaknya. Dalam hal ini, saya

50
mempunyai pengalaman pribadi. (Yaitu) ketika saya memperhatikan suatu masalah,
yang saya anggap hawa nafsuku tidak ikut berperan dalam masalah ini. Terlihat
bagiku -dalam masalah itu- suatu pengertian, yang akhirnya saya menetapkannya
dengan satu ketetapan yang saya kagumi. Kemudian, setelah itu tampak bagiku
sesuatu yang membuat cacat ketetapan tadi. Maka saya dapati, diri saya gigih
mempertahankan kesalahan tadi dan jiwaku menyuruhku untuk mengadakan
pembelaan, menutup mata dan menolak untuk mengadakan penelitian lebih lanjut
secara mendalam. Penyebabnya, ketika saya menetapkan pengertian pertama yang
saya kagumi itu, hawa nafsu saya condong untuk membenarkan pendapat pertama.
Padahal pendapat pertama itu belum ada yang mengetahui, belum pernah saya
sampaikan kepada orang lain. Maka, bagaimana seandainya jika hal tersebut sudah
terlanjur saya sebar-luaskan kepada orang banyak (dan) sudah saya sampaikan
pendapat pertama tersebut dalam ceramah-ceramah? Kemudian, setelah itu nampak
bagiku, bahwa pengertian itu salah. Maka bagaimana pula jika kesalahan itu bukan
saya yang mengetahuinya, melainkan orang lain yang menemukannya dan
mengeritiknya. Dan bagaimana pula jika orang yang mengeritikku itu orang yang
saya benci?"
Pada diri seorang ulama saja bisa terjadi hal demikian, apalagi pada diri kita.
Begitu berat untuk menundukkan hawa nafsu kita kepada kebenaran. Oleh karena itu,
kita harus banyak-banyak berdoa: Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami bahwa
kebenaran itu sebagai suatu kebenaran dan berilah kami kemampuan untuk
mengikutinya. Dan perlihatkanlah kepada kami bahwa kebatilan itu sebagai suatu
kebatilan dan berikanlah kami kemampuan untuk menjauhinya.

Kedelapan. Manusia tidak suka kepada orang yang menisbatkan kebaikan


kepada dirinya dan menisbatkan kejelekan kepada orang lain.
Kadang-kadang seseorang suka menisbatkan kebaikan kepada dirinya,
semata-mata karena ujub, sum'ah, riya dan ingin dipuji orang lain. Jika ada suatu
keberhasilan, maka ia mengatakan bahwa keberhasilan itu berkat dirinya. Sebaliknya

51
bila tanpa dirinya, maka tidak akan ada keberhasilan itu.
Padahal seorang muslim, bila memberikan kebaikan kepada orang lain
mestinya tidak bermotif untuk mendapatkan balasan dan ucapan terima kasih dari
manusia. Oleh karena itu, kita harus menghindar dari hal demikian.
Berbeda halnya jika menisbatkan kebaikan itu ditujukan untuk menasihati
orang lain dan menceritakan nikmat Allah l yang diberikan kepada dirinya. Maka, hal
itu dibolehkan. Misalnya, seorang sahabat atau ulama-ulama menisbatkan kebaikan
kepada dirinya. Maka kita tidak bisa mengatakan, bahwa mereka sombong.
Syaikh Utsaimin t dalam kasetnya ketika menjelaskan syarh kitab Hilyatu
Thalibil 'Ilmi, tentang adab menuntut ilmu. Beliau t mengatakan, bahwa jika kita
mendapati atsar dari Salaf yang menisbatkan kebaikan kepada dirinya, maka kita
harus husnudzan. Bahwa hal itu diungkapkan bukan karena kesombongan, tetapi
untuk memberikan nasihat kepada kita.
Misalnya ketika seorang anak bertanya kepada bapaknya,"Wahai Bapakku,
mengapa ketika orang lain memberikan nasihat, manusia tidak menangis? Tetapi
ketika engkau memberi nasihat kepada mereka, banyak manusia terkesan dan
menangis?".
Sang bapak menjawab,"Sesungguhnya, tidaklah sama menangisnya seseorang
yang kehilangan anaknya, dengan menangisnya orang yang diberi upah."
Dia memberikan pelajaran, bahwa orang yang memberi nasihat secara ikhlas
karena Allah, tidaklah sama dengan orang yang tidak ikhlas; yaitu seolah-olah dia
menisbatkan kebaikan, keikhlasan kepada dirinya saja. Kita tidak bisa menyangka,
bahwa dia sombong. Akan tetapi hal itu dalam rangka menceritakan nikmat Allah dan
untuk memberi nasihat.
Oleh karena itu, ketika menceritakan kebaikan kita kepada orang lain, kita
harus bisa mengetahui apakah hal itu dalam rangka ingin didengar dan dipuji?
Ataukah dalam rangka menceritakan nikmat Allah dan memberi nasihat kepada orang
lain? Secara lahiriyah perbuatan kita itu sama dengan para salaf. Akan tetapi niat dan
tujuannya bisa berbeda.

52
Ada orang yang selalu menisbatkan keberhasilan kepada dirinya. Namun
kalau ada kegagalan, ia menyalahkan orang lain. Tidak berani mengakui kesalahan
atau kegagalannya. Begitu juga, jika terjadi perselisihan dengan orang lain, dia akan
menganggap dirinya selalu di pihak yang benar.
Dalam kitab Ighasatul Lahfan, Al Imam Ibnul Qayim t menjelaskan, bahwa
manusia diberi naluri untuk mencintai dirinya sendiri. Sehingga apabila terjadi
perselisihan dengan orang lain, maka akan menganggap dirinyalah yang berada di
pihak yang benar, tidak memiliki kesalahan sama sekali. Sedangkan lawannya, berada
di pihak yang salah. Dia merasa dirinya yang didhalimi dan lawannyalah yang
berbuat dhalim kepadanya. Tetapi, jika dia memperhatikan secara mendalam,
kenyataannya tidaklah demikian.
Dalam suatu perselisihan, disamping ia didhalimi pada satu sisi, pada sisi
yang lain dia pun melakukan kesalahan pada orang lain. Tetapi ketika kecintaan
kepada dirinya sudah sangat kuat, kebaikan lawannya akan dianggap sebagai
keburukan. Adapun keburukan pada dirinya dianggap sebagai kebaikan. Ini karena
syetan menghiasinya, sehingga ia melihat keburukan dirinya sebagai kebaikan. Oleh
karena itu, kita harus terus introspeksi dan hati-hati dalam berbuat. Agar bisa menilai
apakah langkah kita sudah benar, ataukah keliru. Wallahu a’lam.

53
- BAB III ADAB BERGAUL SECARA KHUSUS

Sudah banyak buku-buku terjemah membahas adab bergaul secara khusus seperti
buku ENSIKLOPEDI MUSLIM oleh Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi,
BIMBINGAN ISLAM UNTUK PRIBADI DAN MASYARAKAT oleh Syaikh
Muhammad bin Jamil Zainu, JALAN ORANG-ORANG YANG MENDAPAT
PETUNJUK oleh Imam Ibnu Qudamah dan lain-lain. Didalam buku-buku tersebut
dibahas bagaimana adab anak terhadap orang tua, adab terhadap anak, adab terhadap
isteri atau suami, adab terhadap tetangga, adab terhadap kerabat. Dalam buku ini
bahasan diatas tidak akan dinukil lagi, cukup dari buku-buku lain dan mudah kita
dapatkan insya Allah. Pembahasan diatas akan disinggung dalam buku ini dibab lain
yaitu fatwa-fatwa ulama tentang adab bergaul dengan harapan dapat menambah
pengetahuan kita yang sebelumnya barangkali belum kita ketahui dan kita sedang
membutuhkan informasi tersebut insya Allah. Dalam bab ketiga ini akan dinukilkan
dari tulisan syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’dy rahimahullah mengenai adab
guru dan penuntut ilmu, lalu adab terhadap teman yang akan dinukil dari buku
JALAN ORANG-ORANG YANG MENDAPAT PETUNJUK. Buku tersebut sudah
dicetak sampai cetakan keenam hanya saja masih ada beberapa kesalahan terjemah
yang dapat membingungkan pembaca meskipun jumlahnya sedikit begitu pula yang
terlewatkan sehingga belum diterjemahkan khususnya tentang adab terhadab teman
karena saya membandingkannya dengan buku aslinya. Hal ini wajar saja tidak ada
manusia yang sempurna, kewajiban kita untuk saling menyempurnakan dan nasehat
menasehati. Mudah-mudahan dalam bagian lainnya tidak ada kesalahan terjemah atau
yang tertinggal. Untuk mengetahui mana yang salah dan mana yang tertinggal dalam
bahasan adab terhadap teman dipersilahkan pembaca untuk mencarinya sendiri
dengan cara membandingkan kedua nya. Dalam bab ini dimuat pula adab terhadap
orang kafir dari buku ENSIKLOPEDI MUSLIM. Bab ini akan dimulai dengan
adab terhadap Allah dan adab terhadap Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
yang dinukil dari buku yang sama.

54
ADAB TERHADAP ALLAH TA’ALA

Orang Muslim melihat dalam dirinya nikmat – nikmat Allah Ta’ala yang tidak
bisa dikalkulasikan sejak ia masih berupa sperma diperut ibunya hingga ia
menghadap Allah Ta’ala. Oleh karena itu, ia bersyukur kepadaNya atas nikmat –
nikmat tersebut dengan lisannya dengan memuji dan menyanjung-Nya karena Dia
berhak mendapatkan sanjungan dan ia bersyukur dengan anggota badannya dengan
menggunakannya dalam keadaan taat kepada-Nya. Ini adab muslim terhadap Allah
Ta’ala, sebab bertentangan dengan adab jika ia mengingkari nikmat, menentang
keutamaan Pemberi nikmat, memungkiri-Nya, memungkiri kebaikan-Nya, dan
memungkiri nikmat – nikmat-Nya. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman,
“ Dan apa saja nikmat yang ada pada diri kalian,maka dari Allah.” ( An-
Nahl : 53 ).
Allah Ta’ala berfirman,
“ Dan jika kalian menghitung – hitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak
dapat menentukan jumlahnya.” ( An-Nahl : 18 )
Allah Ta’ala berfirman,
“ Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku niscaya aku ingat kepada kalian,
dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari ( nikmat )-
Ku.” ( Al-Baqarah : 152 ).
Orang muslim mengakui pengetahuan Allah Ta’ala kepadanya, dan
penglihatan-Nya terhadap segala keadaan, kemudian hatinya penuh ketakutan
kepada-Nya, dan mengagungkan-Nya. Ia malu untuk bermaksiat, menentang dan
tidak taat kepada-Nya. Inilah adabnya terhadap Allah Ta’ala, sebab sangat tidak
beradab seorang hamba yang mempertontonkan kemaksiatanyan terhadap Tuhannya,
atau mempersembahkan keburukan kepada-Nya, padahal Dia melihatnya dan
menyaksikannya. Allah Ta’ala berfirman,

55
“ Mengapa kalian tidak percaya akan kebesaran Allah? Padahal Dia
sesungguhnya telah menciptakan kalian dalam beberapa tingkatan
kejadian.” ( Nuh : 13 – 14 ).
Allah Ta’ala berfirman,
“ Dan Allah mengetahui apa yang kalian rahasiakan dan apa yang kalian
lahirkan.” ( An-Nahl : 19 ).
Allah Ta’ala berfirman,
“ Kamu tidak berada dalam satu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari
Al-Qur’an dan kalian tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami
menjadi saksi atas kalian di waktu kalian melakukannya. Tidak luput dari
pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarah ( atom ) dibumi ataupun di
langit.” ( Yunus:61 ).
Orang muslim berpendapat bahwa Allah Maha Kuasa atas dirinya, dan
memegang ubun – ubunnya. Ia tidak mempunyai tempat melarikan diri, atau
tempat menyelamatkan diri, kecuali kepada-Nya, menjatuhkan diri didepan-
Nya, menyerahkan seluruh persoalan kepada-Nya, dan bertawakal kepada-
Nya. Inilah adabnya terhadap Tuhan dan penciptanya.
Sebab tidaklah beradab jika ia lari kepada pihak yang tidak bisa memberikan
perlindungan, bergantung kepada pihak yang tidak mempunyai kekuasaan, dan
menyerahkan diri kepada pihak yang tidak mempunyai daya, dan upaya. Allah Ta’ala
berfirman,
“ Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang
ubun – ubunnya.” ( Huud : 56 )
Allah Azza wa Jalla berfirman,
“ Maka segeralah kembali kepada ( mentaati ) Allah sesungguhnya aku
pemberi peringatan yang nyata dari Allah untuk kalian.” (Adz-Dzariyat: 50 )
Allah Ta’ala berfirman,
“ Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakkal, jika kalian benar
– benar orang yang beriman.” ( Al – Maidah : 23 )

56
Orang muslim melihat kebaikan – kebaikan Allah Ta’ala semua urusannya,
rahmat-Nya kepadanya, kepada semua makhluk-Nya, kemudian ia ingin
mendapatkan tambahan rahmat-Nya, tunduk kepada-Nya dengan ketundukan dan doa
yang ikhlas, bertawassul kepada-Nya dengan perkataan yang baik, dan amal
perbuatan yang shalih. Inilah adabnya terhadap Allah Ta’ala, sebab tidaklah beradab
orang yang putus asa dari mendapatkan tambahan rahmat yang meliputi segala hal,
putus asa dari semua kebaikan Allah yang mencakup semua makhluk, dan putus asa
dari semua kebaikan Allah yang mengatur alam raya. Allah Ta’ala berfirman,
“ Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” ( Al-A’raaf : 156 ).
Allah Ta’ala berfirman,
“ Allah Maha lembut terhadap hamba – hamba-Nya.” ( Asy-Syura : 19 ).
Allah Ta’ala berfirman,
“ Dan jangan kalian berputus asa dari rahmat Allah. “ ( Yusuf : 87 ).
Allah Ta’ala berfirman,
“ Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah.” ( Az-Zumar : 53 ).
Orang muslim melihat kedahsyatan kekuatan Tuhannya, kekuatan
pembalasan-Nya, dan kecepatan penghisaban-Nya, kemudian ia bertawakal
dengan taat, dan tidak bermaksiat kepada-Nya. Ini adabnya terhadap Allah
Ta’ala, sebab tidak dikatakan beradab bagi orang – orang berakal, kalau
hamba yang lemah dan tidak berdaya melakukan kemaksiatan terhadap
Tuhannya Yang Maha Perkasa, Mahakuasa, Mahakuat, dan Mahamenang.
Allah Ta’ala berfirman,
“ Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka
tak ada yang dapat menolaknya dan sekali – kali tak ada perlindungan bagi
mereka selain Dia.” ( Ar-Ra’du : 11 ).
Allah Ta’ala berfirman,
“ Sesungguhnya adzab Tuhanmu benar – benar keras.” ( Al-Buruj : 12 ).
Allah Ta’ala berfirman,
“ Dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan.” ( Ali Imran : 4 )

57
Orang muslim melihat kepada Allah Ta’ala ketika ia bermaksiat dan tidak taat
kepada-Nya. Ia merasa seolah – olah ancaman Allah Ta’ala telah mengenai
dirinya, siksanya telah terjadi padanya, dan hukumannya telah turun padanya.
Ia juga melihat kepada Allah Ta’ala ketika ia taat dan mengikuti syariat-Nya.
Ia merasa seolah – olah Dia telah memberikan janji-Nya kepadanya, dan
pakaian keridhoan telah dikenakan padanya, kemudian ia berbaik sangka
kepada-Nya, sebab tidaklah beradab seseorang yang berlaku buruk terhadap
Allah Ta’ala, kemudian ia bermaksiat dan tidak taat kepada-Nya, serta
berpendapat bahwa Allah Ta’ala tidak melihat dirinya, dan tidak
menghukumnya atas pelanggarannya, padahal Allah Ta’ala berfirman,
“ Namun kalian mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa
yang kalian kerjakan. Dan yang demikian itu adalah prasangka kalian yang
telah kalian sangka terhadap Tuhan kalian, prasangka itu membinasakan
kalian, maka jadilah kalian termasuk orang – orang yang merugi.”
( Fushshilat : 22 – 23 )
Juga tidaklah beradab terhadap Allah Ta’ala, kalau seseorang bertakwa
kepada-Nya dan taat kepada-Nya, kemudian ia berprasangka bahwa Dia tidak
mengganjarnya karena amal perbuatannya yang baik, tidak menerima ketaatan
dan ibadahnya, padahal Allah Ta’ala berfirman,
“ Dan barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah
dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka dalah orang – orang yang
mendapat kemenangan.” ( An-Nuur : 52 )
Allah Ta’ala berfirman,
“ Barang siapa mengerjakan amal shalih, baik laki – laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.”
( An-Nahl : 97 )

58
Allah Ta’ala berfirman,
Barang siapa membawa amal yang baik maka baginya ( pahala ) sepuluh
kali lipat amalnya dan barang siapa yang membawa perbuatan yang jahat
maka dia tidak diberi balasan melainkan seimbang dengan kejahatannya,
sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya ( dirugikan ).” ( Al-An’am : 160 ).
Kesimpulanya, bahwa bersyukurnya seorang muslim kepada Allah Ta’ala atas
nikmat – nikmat-Nya, rasa malunya kepada-Nya jika ia cenderung bermaksiat
kepada-Nya, bertaubat dengan benar, bertawakkal kepada-Nya,
mengharapkan rahmat-Nya, takut akan siksaan-Nya, berbaik sangka bahwa
Allah Ta’ala pasti menetapi janji-Nya, dan berbaik sangka bahwa Allah Ta’ala
pasti melaksanakan ancaman-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya
dari hamba – hamba-Nya adalah adabnya terhadap Allah Ta’ala. Semakin ia
konsisten terhadap etika tersebut dan menjaganya, derajatnya semakin tinggi,
kedudukannya melangit, dan kemuliaannya agung hingga kemudian ia berhak
mendapatkan perlindungan Allah Ta’ala, pemeliharaan-Nya, kucuran rahmat-
Nya, sasaran nikmat-Nya.
Inilah puncak keinginan orang muslim dan yang diidam-idamkan sepanjang
hidupnya.
Ya, Allah berilah kami perlindungan-Mu. Jangan haramkan kami atas
pemeliharaan-Mu. Jadilah kami orang – orang bertakwa disisi-Mu, ya Allah,
wahai Tuhan alam semesta.
(Dinukil dari ENSIKLOPEDI MUSLIM hal 109-112)

ADAB TERHADAP ALLAH DAN ADAB KEPADA MANUSIA


Adab bergaul banyak dipelajari di negeri-negeri barat bahkan diadakan
pelatihan-pelatihan tentang seni bergaul, hanya saja yang mereka pelajari
terbatas bergaul kepada manusia dan hewan, sisi pandang mereka umumnya
hanyalah dari sisi keduniaan saja. Umat Islam pun di barat maupun di timur
semarak mengkaji adab bergaul yang insya Allah sudut pandang mereka

59
sebagai bentuk ibadah kepada Allah untuk kebahagian dunia akhirat. Hanya
sayangnya sedikit sekali dari juru dakwah yang memprioritaskan dakwah
mereka kepada adab kepada Allah khususnya mengenai tauhid kepada Allah.
Orang yang tidak bertauhid kepada Allah alias berbuat syirik tidak akan
masuk surga kendati ia seorang yang sangat beradab kepada manusia. Allah
tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selain syirik bagi
siapa-siapa yang dikehendakiNya sebagaimana disebutkan dalam firman Allah
surat An Nisaa 48 dan 116. Banyak sekali praktek-praktek syirik yang
dilakukan masyarakat yang menjadi kewajiban bagi juru dakwah untuk
menjelaskannya secara detail dan tidak ditutup-tutupi. Sebagian masyarakat
kita masih suka pergi mendatangi dukun atau paranormal untuk berobat atau
ingin naik pangkat atau minta jodoh atau keperluan lainnya padahal Nabi
shallallahu alaihi wasallam melarang keras hal ini dan barangsiapa yang
mendatangi dukun dan membenarkannya beliau nyatakan sebagai orang kafir
atas apa yang diturunkan kepada beliau. Sebagian masyarakat masih
melakukan praktek sihir, guna-guna, teluh yang merupakan kekafiran kepada
Allah. Sebagian masyarakat melakukan kekafiran dengan tidak ridhanya
mereka jika hukum Allah ditegakkan di suatu negara. Sebagian masyarakat
kita masih melakukan penyembelihan hewan untuk dijadikan sebagai tumbal
ketika mengadakan acara pesta laut atau ketika akan membangun sebuah
jembatan misalnya padahal hal ini kekufuran yang nyata kepada Allah. Begitu
pula kepercayaan sebagian masyarakat kepada jimat-jimat, menggunakan
pawang hujan, meyakini kesialan angka tiga belas, kesialan rumah tangga jika
tanggal kelahiran kedua mempelai ‘tidak pas’ juga untuk menentukan hari
pernikahan harus ‘pas’. Mempercayai seekor sapi yang mereka beri nama kyai
Slamet mereka mencari ‘barakah’ dari kotorannya dan masih banyak lagi
fenomena kesyirikan yang tumbuh subur di bumi Indonesia, hal ini menjadi
‘pr’ bagi setiap juru dakwah untuk memprioritaskan dakwah mereka kepada
tauhid.

60
Mungkin diantara sebagian dai enggan menyampaikan yang hak karena
lebih mencintai dunia daripada mencintai Allah –semoga Allah melindungi
kita semua dari hal ini-. Mereka takut kalau menyampaikan masalah tauhid
dengan benar akan ditinggalkan pengikutnya, pondok pesantrennya akan
ditinggalkan para santri atau orang tua mereka akan memulangkannya.
Popularitas mereka akan surut. Kegiatan dakwah mereka tidak akan dibantu
lagi oleh masyarakat. Itu semua sebagian dari bisikan-bisikan iblis untuk
menghalangi para dai dari menyampaikan kebenaran. Semoga Allah
mengaruniai keikhlasan untuk kita, wahai Allah janganlah Engkau palingkan
hati-hati kami setelah Engkau beri hidayah kepada kami, berilah untuk kami
rahmat dari sisiMu sesungguhnya Engkau Maha pemberi.
Mungkin diantara sebagian dai enggan menyampaikan yang hak karena
alasan tidak mau bertentangan dengan masyarakat, takut dicela manusia.
Apakah kita tidak takut dengan celaan Allah karena menyembunyikan ilmu
yang Allah amanatkan kepada kita? Diantara sifat orang-orang beriman yang
dicintai Allah sebagaimana disebutkan dalam surat Al Maidah 54 “mereka
tidak takut celaan orang-orang yang mencela”. Tidakkah kita ingat dengan
sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam,

‫س هر ر‬
‫ضناَجُ النلناَجُهس‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ت‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ن‬ ‫ن‬ ‫م‬‫و‬ ‫ضناَجُ اللنهه بهرسنرخهط النلناَجُهس ركرفناَجُهج اللنهج جمفؤنَرنةر النلناَجُ ه‬
‫س‬ ‫س هر ر‬
‫ر‬ ‫ر‬ ‫ر‬‫ف‬ ‫ف‬ ‫ر‬ ‫ر‬ ‫رمنفن الفتررمن ر‬
‫بهرسرخهط اللهه روركلرهج اللهج إهرل النلاَجُهس‬
“Barangsiapa mencari ridha Allah dengan sesuatu yang membuat manusia
marah niscaya Allah akan mencukupi dia ….. dan barangsiapa mencari ridha
manusia dengan sesuatu yang membuat Allah murka Allah serahkan ia kepada
manusia” H.R. Tirmidzi dan dishahihkan oleh syaikh Al Albani dalam Shahih
Al Jamius Shaghir.
Pengertian “Allah serahkan ia kepada manusia” Allah tidak menjadi pelindung
dan penolongnya. Apakah manusia dapat menjadi pelindung setelah Allah

61
melepaskan perlindunganNya? Sekali-kali tidak! Bahkan manusia akan
menyakiti dan mendzaliminya.
Kepada mereka yang masih dalam keadaan fithrah, memiliki tauhid dan
tidak terkotori noda-noda syirik dukunglah para juru dakwah yang mengajak
manusia kepada tauhid yang benar agar anda mendapatkan kemuliaan di sisi
Allah. Dukunglah salafiyyin (orang-orang yang berpegang teguh kepada Al
Quran dan As Sunnah dengan pemahaman salafus shalih) dengan doa anda,
nasehat anda, fasilitas dan jabatan anda agar dakwah tauhid ini bisa lebih
tersebar luas untuk menyelamatkan manusia dan diri anda dari adzab yang
sangat pedih.
Nasehat untuk pembaca dan diri saya sendiri untuk mengkaji buku-buku
tentang tauhid diantaranya FATHUL MAJID SYARAH KITAB TAUHID, AL
QAULUL MUFID SYARAH KITAB TAUHID oleh syaikh Muhammad bin
Shalih Al Utsaimin, SYARAH AL AQIDAH AL WASITHIYYAH oleh syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, PENJELASAN TIGA LANDASAN
UTAMA dan SYARAH KASYFUS SYUBUHAT oleh syaikh Muhammad bin
Shalih Al Utsaimin, TAUHID PRIORITAS PERTAMA DAN UTAMA oleh
syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, MANHAJ IMAM SYAFI’I
DALAM AQIDAH oleh Doktor Muhammad bin Abdul Wahab Al Aqil,
GOLONGAN YANG SELAMAT oleh syaikh Muhammad bin Jamil Zainu,
TAWASSUL oleh syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, TABARRUK
oleh Doktor Ali bin Nafi’ Al Ulyani, PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS
SUNNAH WAL JAMAAH oleh ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas dan
masih banyak buku-buku lainnya.

62
ADAB TERHADAP RASULULLAH
SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM

Orang Muslim merasa dalam kedalaman hatinya tentang kewajiban bersikap


santun dengan sempurna terhadap Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, karena
alasan – alasan berikut :
1. Sesungguhnya Allah Ta’ala mewajibkan semua kaum Muslimin, laki – laki
dan wanita untuk bersikap santun terhadap Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa
Sallam. Itu dengan ketegasan firman – firman-Nya seperti berikut :
Firman Allah Ta’ala,
“ Hai orang – orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan
Rasul-Nya.” ( Al-Hujurat : 1 )
Firman Allah Ta’ala,
“ Hai orang – orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara
kalian lebih dari suara nabi, dan janganlah kalian berkata kepadanya
dengan suara keras sebagaimana kerasnya ( suara ) sebagian kalian
terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus ( pahala ) amalan kalian
sedangkan kalian tidak menyadari.” ( Al-Hujurat : 2 ).
Firman Allah Ta’ala,
“ Sesungguhnya orang – orang yang merendahkan suaranya disisi
Rasulullah, mereka itulah orang – orang yang telah diuji hati mereka oleh
Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” ( Al-
Hujurat : 3 )
Firman Allah Ta’ala,
“ Sesungguhnya orang – orang yang memanggil kamu dari luar kamar
kebanyakan mereka tidak mengerti. Dan kalau sekiranya mereka bersabar
sampai kamu keluar menemuhi mereka sesungguhnya itu lebih baik bagi
mereka, dan Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.” ( Al-Hujurat :
4–5)

63
Firman Allah Ta’ala,
“ Janganlah kalian jadikan panggilan Rasul diantara kalian seperti
panggilan sebagian kalian kepada sebagian yang lain.” ( An-Nuur : 63 )
Firman Allah Ta’ala,
“ Sesungguhnya yang sebenar – benar orang Mukmin ialah orang – orang
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan apabila mereka berada
bersama – sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan
pertemuan, mereka tIdak meninggalkan ( Rasulullah ) sebelum meminta izin
kepadanya. Sesungguhnya orang – orang yang minta izin kepadamu
( Muhammad ) mereka itulah orang - orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, maka apabila mereka minta izin kepadamu karena sesuatu
keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki diantara mereka.”
( An-Nuur : 62 ).
Firman Allah Ta’ala,
Hai orang – orang beriman, apabila kalian mengadakan pembicaraan khusus
dengan Rasul, hendaklah kalian mengeluarkan sedekah ( kepada orang
miskin ) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian
dan lebih bersih jika kalian tidak memperoleh ( yang akan disedekahkan )
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-
Mujadilah : 12).
2. Sesungguhnya Allah Ta’ala mewajibkan kaum Mukminin taat kepada
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan mencintainya. Firman – firman-
Nya berikut ini :
Firman Allah Ta’ala,
“ Hai orang – orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada
rasul.” ( Muhammad : 33 ).
Firman Allah Ta’ala,
“ Maka hendaklah orang – orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan
ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” ( An-Nuur : 63 ).

64
Firman Allah Ta’ala,
“ Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dia dan yang
dilarang bagi kalian maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” ( Al-Hasyr : 7 ).
Firmman Allah Ta’ala,
“Katakanlah, jika kalian (benar– benar) mencintai Allah ikutilah aku niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa – dosa kalian” (Ali Imran 31 )
Jadi orang yang wajib ditaati, dan tidak boleh ditentang itu harus disikapi
dengan etis ( santun ) dalam semua kondisi.
3. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilih Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam dan menjadikannya sebagai imam ( pemimpin ) dan hakim. Hal ini
terlihat dalam banyak firman – firman-Nya, seperti dalam firman – firman-
Nya berikut :
Firman Allah Ta’ala,
“ Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu.” ( An-Nisa’ : 105 )
Firman Allah Ta’ala,
“ Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka”
( Al – Maidah : 49 )
Firman Allah Ta’ala,
“ Maka demi Tuhanmu, mereka ( pada hakikatnya ) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”
( An – Nisa:65 )
Firman Allah Ta’ala,

65
“ Sesungguhnya telah ada pada Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
( yaitu ) bagi orang yang mengharap ( rahmat ) Allah dan ( kedatangan ) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah” ( Al – Ahzab : 21 )
Jadi beradab yang baik terhadap pemimpin dan hakim itu diwajibkan syariat,
akal dan logika sehat.
4. Allah Ta’ala mewajibkan kaum muslimin mencintai Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Salam melalui sabda – sabda beliau, misalnya sabda beliau,
“ Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, salah seorang dari kalian
tidak beriman hingga aku lebih dicintai daripada anaknya, ayahnya, dan
seluruh manusia.” ( Muttafaq Alaih ).
Jadi, orang yang wajib dicintai itu wajib disikapi dengan adab yang baik.
5. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam diberi pemberian khusus berupa
keindahan fisik, akhlak, kesempurnaan diri, manusia yang paling tampan, dan
paling sempurna sedunia. Orang yang keadaannya seperti itu, bagaimana tidak
diwajibkan beradab yang baik terhadapnya ?
Inilah sebagian alasan kenapa kita harus beradab terhadap Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam ? Adab terhadap beliau seperti apa ? Inilah yang harus
diketahui seluruh kaum Muslimin.
Adab terhadap Rasulullah Shallallahu Alihi wa Salam adalah sebagai berikut :
1. Taat kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam, menapaktilasi jejaknya,
dan meniti jalannya dalam seluruh jalan dunia dan akhirat.
2. Cinta kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam, hormat kepadanya dan
pengagungan kepadanya harus didahulukan daripada cinta kepada yang lain,
hormat kepada yang lain dan pengagungan kepada yang lain, siapa pun
orangnya.
3. Mencintai siapa saja yang dicintai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam,
memusuhi siapa saja yang dimusuhi beliau, ridha dengan apa saja yang
diridhainya, dan marah kepada apa yang membuat beliau marah.

66
4. Mengagungkan nama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam,
menghormatinya ketika namanya disebutkan, mengucapkan shalawat dan
salam untuknya, dan menghormati seluruh keutamaan beliau.
5. Membenarkan apa yang dijelaskan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam
tentang persoalan dunia dan masalah – masalah ghaib di kehidupan dunia dan
kehidupan akhirat.
6. Menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam, memenangkan
syariatnya, menyampaikan dakwahnya, dan melakasanakan wasiat– wasiatnya.
7. Merendahkan suara dikuburannya, dan dimasjidnya bagi orang yang
mendapatkan kehormatan bisa menziarahi kuburannya.
8. Mencintai orang – oarang shalih, loyal kepada mereka karena kecintaan
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam kepada mereka, marah kepada orang –
orang fasik, dan memusuhi mereka, karena lemarahan beliau kepada mereka.
Inilah sebagian bentuk adab terhadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam.
Setiap orang Muslim harus berusaha keras melaksanakan adab-adab tersebut
dengan sempurna dan menjaganya dengan sempurna pula, karena kesempurnaan
dirinya sangat terkait dengan pelaksanaan adab tersebut dan kebahagiaanya sangat
tergantung kepadanya. Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia memberi
bimbingan kepada kita, sehingga kita dapat beradab terhadap Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Salam, menjadikan kita sebagai pengikut – pengikutnya, pembela –
pembelanya, agar kita diberi karunia berupa ketaatan kepadanya, dan kita tidak
diharamkan atas syafa’atnya, ya Allah kabulkanlah!
(Dinukil dari ENSIKLOPEDI MUSLIM hal 117-120)

67
ADAB GURU DAN PENUNTUT ILMU

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’dy rahimahullah berkata,


“Adab utama yang harus dimiliki oleh seorang ahli ilmu dan penuntut ilmu adalah
ikhlas mencari ridha Allah semata dan bermaksud untuk menghidupkan dien ini
dengan mencontoh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam dalam segala tingkah
lakunya. Begitu pula dalam proses belajar mengajar harus berniat mencari ridha Allah
semata agar Allah menghilangkan kebodohan dan kegelapan dari dirinya dengan ilmu
yang bermanfaat.
Seorang pendidik haruslah sabar ketika mengajar dan berusaha sekuat tenaga
untuk memberikan pemahaman kepada setiap siswa sesuai dengan kemampuan
otaknya. Janganlah memberikan tugas yang tidak mampu dipikulnya. Berilah
motivasi kepadanya untuk mengikuti pelajaran secara rutin dan sering-seringlah
memberi pertanyaan dan mengujinya. Selain itu juga hendakalah melatihnya untuk
mengkaji masalah- masalah tertentu agar dapat menangkap dan menguasai
permasalahan, serta dibantu dengan menjelaskan hikmahnya, tempat-tempat
pengambilannya, dari ushul syariat yang mana masalah tersebut diambil. Pengenalan
akan ushul dan kaidah-kaidah, berikut contoh-contoh permasalahannya dengan
berbagai macam ragamnya merupakan salah satu teknik pengajaran yang paling
bermanfaat.
Penuntut ilmu akan bertambah semangat dan bertambah kuat pemahamannya
setiap kali ia merasakan nikmat dalam memahami apa yang ia pelajari dan ketika
mendapatkan kemudahan dalam mencari rujukan.
Begitu pula bagi seorang pendidik hendaknya membuka pemahaman siswa
dengan seringnya diadakan pembahasan dan soal jawab. Menampakkan kegembiraan
apabila ditanya atau ketika siswa mengutarakan hal-hal yang membingungkan atau
apabila siswanya membantah apa yang disampaikan. Semua itu dalam rangka

68
mengambil manfaat dan mencari kebenaran, bukan untuk membela ucapan yang ia
katakan atau untuk mempertahankan pendapat yang ia pegangi.
Apabila ada orang yang dibawah dia dalam segi ilmu memberitahukan
pendapatnya yang salah, hendaklah dia berterimakasih kepadanya dan membahasnya
secara bersama-sama dengan maksud mencapai kebenaran yang sesungguhnya, bukan
untuk mempertahankan jalan yang dia tempuh selama ini.
Rujuknya seorang guru kepada pemahaman siswanya -yang lebih mendekati
kebenaran- lebih menunjukan kepada keutamaannya, ketinggian kedudukannya dan
kebaikan akhlaknya serta kemurnian niatnya yaitu ikhlas mencari ridha Allah Ta`ala.
Apabila dia belum sampai kepada kedudukan seperti ini, maka biasakanlah
dirinya untuk berbuat demikian dan melatihnya, karena dengan kebiasaan akan
menghasilkan kemampuan dan dengan latihan akan meningkatkan derajatnya kepada
kesempurnaan.
Seorang penuntut ilmu haruslah mempunyai adab yang baik terhadap
gurunya, bersyukur kepada Allah yang telah memudahkan baginya mendapatkan
seorang yang mendidiknya dengan ilmu padahal sebelumnya ia berada dalam
kebodohan. Bersyukurlah kepada Allah yang telah berjasa menghidupkannya dari
kematian dan membangunkannya.
Hendaklah ia mempergunakan kesempatan emas ini dengan mengambil ilmu
darinya setiap waktu. Seringlah berdoa kepada Allah memohon kebaikan bagi
gurunya baik saat berjumpa dengannya ataupun pada saat dia tidak ada karena Nabi
shallallhu `alaihi wa sallam bersabda:

‫من صنع اليِكم معروفاَجُ فكاَجُفئونَه فاَجُدعوالحت تروا ا نَكم كاَجُفاَجُتوه‬


“Siapa yang telah berbuat baik kepada kalian, maka balaslah kebaikannya. Apabila
kalian tidak mendapatkan sesuatu untuk membalas budi kepadanya, maka
doakanlah(memohon kebaikan) untuknya sehingga kalian berpendapat telah
membalas budinya” (HR.Ahmad 2/68, Abu Daud 1672, Nasa`I 5/82, Bukhari dalam
buku Al-Adab Al-Mufrad 216, Ibnu Hibban 3408, Al Hakim 1/412 dan 2/13, At-

69
Thayalisi 1895 dan selain mereka dari hadist Abdullah bin Umar bin Khattab
radhiallahu `anhuma. Derajat hadist ini shahih menurut syaikh Ali Hasan)

Kebaikan apakah yang lebih agung kalau bukan kebaikan berupa ilmu dan
setiap kebaikan tidaklah langgeng kecuali kebaikan berupa ilmu, nasehat dan
bimbingan.
Setiap perkara yang bermanfaat bagi manusia -yang sampai kepada seorang
siswa atau yang lainnya- maka hal itu termasuk kebaikan dan amal jariah bagi si
pemiliknya.
Seorang kawan telah memberitakan kepadaku, bahwa dia pernah berfatwa
mengenai satu masalah dalam hal ilmu faraidh (ilmu waris) dan gurunya yang telah
mengajarkan hal tersebut telah meninggal dunia. Lalu dia bermimpi melihat gurunya
sedang membaca di kuburnya dan berkata :”Masalah yang engkau fatwakan itu,
pahalanya telah sampai pula kepadaku”.
Hal ini sebagaimana terdapat dalam sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam,
"Barangsiapa mempelopori jalan yang baik, maka bagi dia pahalanya dan pahala
orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat” (HR.Muslim 1017)
Seorang penuntut ilmu haruslah haruslah bersikap lemah lembut terhadap
gurunya, sopan ketika bertanya dan janganlah bertanya kepada gurunya pada saat dia
sedang gusar atau dalam keadaan penat atau marah. Ini agar dia tidak mempunyai
pemikiran yang menyalahi kebenaran pada saat kacau pikirannya atau paling tidak
nantinya akan memberikan jawaban yang kurang lengkap. Apabila seorang penuntut
ilmu mendapatkan gurunya berbuat kesalahan, maka janganlah menyebutkan
kesalahan tersebut secara terus terang. Tetapi betulkanlah kesalahan dia dengan cara
bertanya dan bersikap sebagai seorang siswa terhadap gurunya. Hendaklah hal itu
dilakukan berulang-ulang sampai terang bagi sang guru mana yang benar, karena
kebanyakan manusia apabila kau tegur langsung kesalahannya, kecil sekali
kemungkinan untuk rujuk, berat bagi dia untuk mengakui kesalahan kecuali orang
yang telah menguasai dirinya dan menghiasinya dengan akhlak yang terpuji. Orang

70
seperti ini tidak akan tersinggung apabila pendapat dia dikritik atau ditegur secara
langsung. Akan tetapi tipe orang seperti ini jarang sekali hanya dengan taufik Allah
lah kemudian dengan melatih jiwa untuk menekan gengsi, barulah orang tersebut
akan mempunyai jiwa besar dengan mengakui kesalahannya dan rujuk kepada
kebenaran.
Seorang guru haruslah memperhatikan kecerdasan dan kemampuan siswanya
dalam menerima pelajaran. Janganlah ia membiarkan siswanya menyibukkan diri
dengan buku yang tidak sesuai untuknya. Jika ia membiarkan saja, berarti dia tidak
memberikan nasehat kepada siswanya. Sesungguhnya ilmu yang sedikit disertai
dengan adanya pemahaman dan pengertian lebih baik daripada ilmu yang banyak
tetapi sulit untuk dipahami dan besar kemungkinannya untuk lupa. Begitu pula ketika
ia menyampaikan pelajarannya hendaklah disertai dengan penjelasan yang
disesuaikan dengan pemahaman dan daya tangkap siswanya. Janganlah
mencampuradukkan masalah antara yang satu dengan yang lainnya. Janganlah pindah
dari masalah satu ke masalah lainnya sebelum materi itu dikuasainya dengan baik.
Karena antara satu materi dengan materi lainnya itu saling berkesinambungan,
sehingga akan memudahkan baginya untuk memahami materi berikutnya. Kalau tidak
demikian, berarti akan menyia-nyiakan yang pertama dan tidak dapat memahami
yang berikutnya. Semakin menumpuk masalah-masalah yang tidak dikuasai membuat
ia bosan dan sempit dadanya untuk mengkaji masalah tersebut. Oleh sebab itu
janganlah perkara ini diremehkan.
Seorang guru hendaklah selalu memberikan nasehat kepada siswa semaksimal
mungkin dan harus bersabar atas kelambanan siswa dalam hal pemahaman. Demikian
pula bersabar atas kelakuan siswanya yang tidak baik atau kurang ajar dengan
dengan penuh perhatian dan pemantauan untuk memperbaiki dan meluruskan
adabnya.
Hendaklah seorang penuntut ilmu duduk dengan sopan dihadapan gurunya,
menampakkan kebutuhannya yang sangat kepada ilmunya dan mendoakan kebaikan
untuknya pada saat bertemu dengannya, ataupun disaat tidak bertemu.

71
Apabila seoarang guru sedang memberikan faidah atau sedang menjelaskan
hal-hal yang membuat bingung siswanya, maka janganlah ia menampakkan bahwa ia
telah mengetahuinya sebelumnya, meskipun sebenarnya ia telah mengetahuinya.
Akan tetapi hendaklah ia mendengarkan keterangan gurunya tersebut dengan
serius.Hal ini apabila dia telah mengetahui sebelumnya, maka bagaimana dengan
keterangan gurunya yang belum ia ketahui?? Adab seperti ini baik sekali untuk
dipraktekkan terhadap setiap orang baik dalam masalah ilmu ataupun percakapan
lainnya, baik dalam masalah dien maupun dalam masalah keduniaan.
Apabila sang guru berbuat kesalahan dalam suatu hal, maka hendaklah
penuntut ilmu menegurnya dengan penuh lemah lembut sambil memperhatikan
situasi dan kondisi. Janganlah mengatakan kepadanya: “Engkau telah berbuat salah!
Sesungguhnya yang benar bukan seperti yang engkau katakan!” Tetapi hendaklah
menegurnya dengan kata-kata yang sopan, menjadikan seorang guru sadar akan
kesalahannya tanpa ada rasa gusar di hatinya. Cara seperti ini merupakan keharusan
dalam bersikap terhadap seorang guru dan lebih mengena untuk sampai kepada
kebenaran. Kritikan yang disertai dengan adab yang buruk akan membuat hati orang
yang dikritik menjadi gusar, sehingga akan menghalanginya untuk dapat menangkap
pemahaman yang benar dan menghalanginya untuk mengetahui maksud baik orang
yang menegurnya.
Sebagaimana hal tadi merupakan keharusan sikap penuntut ilmu terhadap
gurunya, maka haruslah bagi seorang guru apabila berbuat kesalahan agar rujuk
kepada kebenaran.Meskipun sebelumnya ia telah menyampaikan satu pendapat
kemudian terbukti bahwa pendapat tersebut salah, maka ia tidak segan-segan untuk
rujuk kepada kebenaran karena sikap ksatria tadi merupakan tanda keadilan dan
kerendahan hatinya terhadap kebenaran, baik yang datang dari anak kecil maupun
orang dewasa. Termasuk nikmat yang Allah berikan kepada seorang guru, ia
mendapatkan dari para siswanya yang mau menegur kesalahannya, membimbing
kepada kebenaran, sehingga kebodohan yang telah menyelimutinya selama ini
menjadi lenyap.Maka seharusnya ia bersyukur kepada Allah Ta`ala kemudian

72
berterimakasih kepada orang yang menasehatinya, baik ia seorang siswa atau
selainnya, karena melalui sebab orang tadi ia mendapatkan hidayah Allah subhanahu
wa ta`ala. Diantara hal yang paling agung yang harus dimiliki oleh ahli ilmu
(penuntut ilmu) adalah mempraktekan apa yang ia sampaikan berupa akhlak yang
terpuji dan membuang segala akhlak yang hina. Mereka adalah orang-orang yang
paling utama untuk menjalankan segala kewajiban baik lahir maupun yang batin dan
meninggalkan segala hal-hal yang haram, dikarenakan mereka memiliki
keistimewaan berupa ilmu pengetahuan yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Juga
dikarenakan mereka adalah teladan manusia. Manusia pada dasarnya selalu
mencontoh ulama mereka dalam kebanyakan urusan 1, baik diakui atau tidak. Juga
dikarenakan protes dan kecaman atas mereka apabila perbuatan mereka bertentangan
dengan apa yang mereka katakan jauh lebih besar daripada kecaman yang dilontarkan
kepada selain mereka atas perbuatan yang sama. Para salafus shalih dahulu untuk
memperoleh ilmu juga dengan mempraktekkan ilmu tersebut. Apabila ilmu itu
diamalkan akan menempel langsung dan bertambah serta banyak barakahnya.
Sebaliknya apabila ilmu tersebut tidak diamalkan maka akan hilang dan tidak
membawa barakah. Ruh ilmu dan kehidupannya serta tonggaknya hanya dengan
mengamalkannya dengan akhlak yang terpuji, dengan mengajarkannya dan memberi
nasehat. Tidak ada daya serta upaya kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha
Tinggi dan Maha Agung.

(Disarikan dari kitab Al-Mu`in `ala Tahshil Adabil `Ilmi wa Akhlaqil Muta`allimin,
karya Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid yang dikumpulkan dari buku Al-Fatawa As-
Sa`diyah, penerbit Dar As-Shumai`i,Riyadh,Saudi Arabia,cet I th.1413H/1993)

1
Syaik Ali Hasan berkata:”Maka bertakwalah kepada Allah pada diri-diri mereka, orang-orang yang
telah menjadi idola di otak-otak para pemuda. Agar mereka mengetahui bahwa amanat itu
sesungguhnya sangat berat dan kewajiban itu sangat besar.Sesungguhnya tergelincirnya seorang alim
berarti tergelincirnya seisi dunia.Saya katakan—dengan penuh kecintaan dan kejujuran—bahwa
tergelincirnya seorang da`i akan mengakibatkan timbulnya segala kerusakan dan tidak ada yang dapat
memberi jalan keluar kecuali Allah.

73
ADAB TERHADAP TEMAN

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan dalam bukunya:


Sifat-sifat Yang Disyaratkan tentang Orang Yang Dipilih Menjadi Teman
Diriwayatkan dari Nabi Shallalahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

‫الفرمفرءج رعرلىَ هديهن رخلهيِلههه فرنفليِرنفنظجفر أررحجدجكفم رمفن جيراَجُلهفل‬


“Seseorang itu berada pada agama teman karibnya, Maka hendaklah
setiap orang di antara kalian melihat siapa yang menjadi temannya.”
(Diriwayatkan Abu Daud, At-Tirmidzy dan Ahmad dengan sanad yang hasan)
Ketahuilah bahwa tidak semua orang layak dijadikan teman. Karena itu orang
yang dijadikan teman harus memiliki sifat-sifat yang memang menunjang
persahabatan. Masalah ini ada persyaratannya, tergantung pada manfaat yang dituntut
dari persahabatan itu, apakah persahabatan itu berorientasi kepada keduniaan, seperti
pemanfaatan harta dan kedudukan atau hanya sekedar persahabatan biasa dan
berbincang. Tapi bukan ini tujuan kami. Boleh jadi persahabatan itu berorientasi
agama, yang disana berhimpun berbagai tujuan yang beragam, di antaranya mencari
manfaat lewat ilmu dan amal, mecari manfaat lewat kedudukan karena hendak
berjaga-jaga dari gangguan orang yang bisa mengotori hati dan menghalangi untuk
melaksanakan ibadah, mencari dukungan dalam melaksanakan tugas, sehingga
kondisinya menjadi kuat. Ada pula tujuannya untuk mencari manfaat untuk
kepentingan akhirat, sebagaimana yang dikatakan sebagian salaf, “Perbanyaklah
teman, karena seriap orang Mukmin itu mempunyai syafaat.” Inilah di antara
beberapa manfaat itu, yang setiap manfaat menuntut syarat-syarat tertentu.
Secara global, orang yang engkau pilih menjadi teman karib harus mempunyai
lima sifat sebagai berikut :
1. Orang yang berakal. Karena akal (kepandaian) merupakan modal yang utama.
Tidak ada kebaikan bergaul dengan orang yang bodoh, karena bisa saja dia
hendak memberikan manfaat kepadamu tapi justru memberi mudharat. Yang kami

74
maksudkan orang berakal disini ialah orang yang mengetahui segala urusan sesuai
dengan proporsinya. Manfaat bisa diambil dari dirinya atau dari pemahaman yang
diberikannya.
2. Baik akhlaknya. Ini merupakan keharusan. Sebab berapa banyak orang
berakal yang dirinya lebih banyak dikuasai amarah dan nafsu, lalu dia tunduk
kepada nafsunya, sehingga tidak ada manfaatnya bergaul dengannya.
3. Bukan orang fasik. Sebab orang fasik tidak pernah merasa takut kepada Allah.
Orang yang tidak takut kepada Allah, tentu sulit dipercaya dan sewaktu-waktu
orang lain tidak aman dari tipu dayanya.
4. Bukan ahli bid’ah. Persahabatan dengannya harus dihindari karena bid’ah
yang dilakukannya. Umar bin Al-Khatab Radhiyallahu Anhu pernah berkata,
“Hendaklah engkau mencari rekan-rekan yang jujur, niscaya engkau akan hidup
aman dalam lindungannya. Mereka merupakan hiasan pada saat gembira dan
hiburan pada saat berduka. Letakkan urusan saudaramu pada tempat yang paling
baik, hingga dia datang kepadamu untuk mengambil apa yang dititipkan
kepadamu. Hindarilah musuhmu dan waspadailah temanmu kecuali orang yang
bisa dipercaya. Tidak ada orang yang bisa dipercaya kecuali orang yang takut
kpada Allah. Janganlah engkau berteman dengan orang keji, karena engkau bisa
belajar dari kefasikannya. Jangan engkau bocorkan rahasiamu kepadanya dan
mintalah pendapat dalam menghadapi masalahmu kepada orang-orang yang takut
kepada Allah”.
Yahya bin Mu’adz berkata, “Seburuk-buruk teman ialah apabila engkau masih
perlu berkata kepadanya, ‘Sebutlah namaku dalam doamu’, engkau hidup
bersamanya dalam basa basi dan engkau masih perlu meminta maaf kepadanya”.
Sekumpulan orang memasuki tempat Al-Hasan, yang saat itu dia sedang tidur.
Lalu diantara mereka ada yang langsung memakan buah yang ada disana, Maka
setelah bangun Al-Hasan berkata, “Semoga Allah merahmatimu. Begitulah yang
layak dilakukan seorang sahabat.” Abu Ja’far bertanya kepada rekan-rekannya,

75
“Bolehkah salah seorang diantara kalian memasukkan tangannya ke dalam saku
baju temannya, lalu dia mengambil apa pun yang dikehendakinya ?”
Mereka menjawab, “Tidak boleh.”
Abu Ja’far berkata, “Kalau begitu kalian bukanlah sahabat karib seperti yang
kalian katakan”.
Diriwayatkan bahwa Fath Al-Mushily mendatangi seorang rekannya yang
bernama Isa At-Tammar (Isa si penjual korma). Ternyata Isa tidak ada di rumah.
Lalu Fath berkata kepada budak perempuan Isa, “Keluarkan kantong milik
saudaraku !’
Maka budak perempuan itu menuruti perintah Fath, lalu Fath mengambil dua
dirham. Setelah itu ia pergi. Tak seberapa lama kemudian Isa pulang ke rumah,
dan budaknya mengabarkan apa yang telah terjadi. Isa berkata, “Jika kamu
berkata jujur, maka engkau menjadi perempuan merdeka.” Setelah melihat isi
kantongnya, ternyata benar apa yang dikatakannya, lalu Isa memerdekakannya.
5. Tidak rakus terhadap dunia.

Ada beberapa hak sahabat yang harus dipenuhi seseorang karena jalinan persahabatan
dan persaudaraan diantara mereka:

1. Memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, yang bisa dibedakan menurut tiga tingkatan:

 Memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan wajah yang berseri ketika


diminta dan ia mampu memenuhinya.Ini tingkatan yang paling rendah.
 Memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tanpa menunggu dia meminta-minta. Ini
tingkatan pertengahan.
 Mendahulukan kebutuhan sahabatnya daripada kebutuhan dirinya sendiri. Ini
tingkatan yang paling tinggi.

76
Diantara orang salaf ada yang mencari-cari keluarga saudaranya yang telah
meninggal selama empat puluh tahun, setelah menemukannya dia memenuhi
segala kebutuhannya.
2. Pada saat tertentu lidah tidak boleh berbicara, dan pada saat lain berbicara.
Maksudnya diam ialah tidak menyebutkan aibnya saat sahabatnya ada atau saat
dia tidak ada, tidak membantah dan mendebatnya, tidak menanyakan sesuatu
yang sahabatnya itu tidak suka untuk mengatakannya, tidak bertanya saat
bertemu,”Mau kemana?” Karena boleh jadi sahabatnya itu tidak ingin diketahui
kemana dia akan pergi, tetap menjaga rahasianya sekalipun persahabatannya
sudah putus, tidak menjelek-jelekkan siapa pun yang dicintainya atau keluarganya
dan tidak menceritakan kepada teman celaan orang lain mengenainya.
3. Tidak boleh mengatakan apapun yang tidak disukai, kecuali hal-hal yang memang
harus dikatakan karena perkara amar ma`ruf nahi mungkar, yang tidak ada
keringanan untuk diam didalamnya. Cara ini merupakan gambaran berbuat baik
kepadanya.
Ketahuilah jika engkau menuntut teman bebas dari kekurangan engkau tidak akan
dapatkan, barangsiapa kebaikannya lebih dominan dari keburukannya itu sudah
top.
Ibnul Mubarak berkata,”Orang mukmin memaklumi kesalahan teman, orang
munafik mencari-cari kesalahan orang lain”.
Al Fudhail berkata,”Sifat kesatria memaafkan kesalahan teman”.
Engkau harus meninggalkan su`uzh zhan (buruk sangka) terhadap sahabatmu dan
menafsiri perbuatannya dengan husnuzh zhan(baik sangka) sebisa mungkin. Nabi
`alaihis shalatu wassalam bersabda,
‫إهيلاَجُجكم والظللن فرهإلن الظللن أرفكرذب افلهدي ه‬
‫ث‬ ‫ج ر‬ ‫فر‬
“Jauhilah prasangka, karena prasangka itu merupakan perkataan yang paling
dusta” (Bukhari-Muslim)

77
Ketahuilah bahwa su`udz dzan akan mendorong kepada tindakan memata-matai yang
dilarang. Menutupi aib merupakan sifat orang-orang yang taat beragama. Disamping
itu, iman seseorang belum dianggap sempurna sebelum dia mencintai bagi
saudaranya apa-apa yang dia cintai bagi dirinya sendiri. Tingkat persahabatan yang
paling rendah ialah memperlakukan sahabatnya dengan cara yang dia suka jika
diperlakukan seperti itu. Tidak dapat diragukan , engkaupun ingin agar sahabatmu
menutupi aibmu dan tidak membuka keburukan-keburukanmu. Jika dia tidak berbuat
seperti itu, tentu engkau akan meradang. Lalu bagaimana mungkin engkau
menghendaki darinya sesuatu sedangkan engkau melakukan sesuatu yang tidak dia
kehendaki? Jika engkau menginginkan suatu keadilan, padahal engkau sendiri tidak
memberikan keadilan itu, berarti engkau engkau masuk dalam firman Allah,
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,(yaitu) orang-orang yang
apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila
mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” (Al-
Muthaffifin:1-3).
Pangkal keengganan menutupi aib dan keinginan untuk membocorkannya adalah
kedengkian dan iri hati. Diantara sebab paling menonjol yang membangkitkan iri
dan dengki diantara sesama sahabat dan saudara adalah perdebatan. Hal ini
didorong keinginan untuk menonjolkan keutamaan dirinya dan kepandaiannya
serta melecehkan rivalnya. Siapa yang mendebat sahabatnya lalu memvonisnya
sebagai orang yang bodoh, lalai atau telat mikir itu semua bentuk penghinaan
yang membuat dada panas dan mengakibatkan permusuhan bukannya
persaudaraan.
4. Lidah harus berbicara. Sebagaimana tuntutan persahabatan yang tertuju kepada
lidah untuk tidak mengatakan hal-hal yang tidak disukai, maka begitupula
tuntutan terhadap lidah untuk mengatakan hal-hal yang disukai. Bahkan ini bisa
dikatakan sebagai ciri khusus persahabatan. Maksud dari keberadaan sahabat
ialah untuk diambil manfaatnya, bukan untuk dihindari dari kejahatannya. Makna
tidak bicara ini sendiri adalah tidak menyakiti. Karena itu seseorang harus

78
menunjukan kecintaan kepada sahabatnya lewat lidahnya, mencari tahu
keadaannya, menanyakan masalahnya, menampakkan perhatian kepadanya dan
menunjukkan kesenangan saat sahabatnya senang.
Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan,
‫ه‬ ‫إهرذا أررح ل‬
‫ب أررحجدجكفم أررخاَجُهج فرنفليِجنفعلفمهج‬
“Jika salah seorang diantara kalian mencintai saudaranya, maka hendaklah dia
menyatakannya kepadanya” (Diriwayatkan At-Tirmidzi,Abu Daud)
Diantara cara menunjukkan kecintaan kepada teman ialah dengan memanggilnya
dengan sebutan yang paling disukainya. Umar bin Kaththab radhiallahu `anhu
berkata “Tiga perkara engkau bisa menunjukkan cintamu kepadanya: Memberi
salam jika engkau bersua dengannya, memberinya tempat duduk dan
memanggilnya dengan sebutan yang paling dia sukai”. Cara lain ialah dengan
memujinya jika dia melihat kebaikan keadaannya, jika memang pujian itu layak
untuk disampaikan, begitu pula memuji anak-anaknya, keluarganya dan
perbuatannya serta apa pun yang ada pada dirinya, selagi semua itu membuatnya
gembira tanpa berlebih-lebihan dan tidak dusta. Dia juga bisa memuji orang lain
dihadapannya yang memang layak dipuji, tanpa menyembunyikannya
Jika dia berbuat baik kepadamu sesuai dengan hakmu, maka engkau harus
mengucapkan terimakasih kepadanya. Jika ada seseorang yang hendak
menjelek-jelekkannya dibelakang punggungnya, maka engkau harus
menetralisir. Sebab hak persahabatan ialah segera memberi perlindungan dan
pertolongan. Dalam shahihain disebutkan,

‫يسلهمهج ل‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫ه‬


‫الفجمفسلجم أرجخو الفجمفسلهم رل يرظفلجمهج رورل ج ف ج‬
” Orang muslim itu adalah saudara muslim lainnya, dia tidak menzhaliminya dan
tidak menelantarkannya”
Siapa yang tidak tergerak untuk melindungi kehormatan saudaranya, berarti dia
telah menelantarkannya. Dalam hal ini engkau mempunyai dua pertimbangan:

79
 Engkau bisa memperkirakan, jika apa yang dikatakan orang itu tentang diri
sahabatmu juga pernah dikatakannya dihadapan sahabatmu tentang dirimu.
Tentu engkau akan mengatakan seperti apa yang engkau inginkan dari
sahabatmu untuk mengatakannya.
 Engkau bisa memperkirakan bahwa seakan-akan sahabatmu ada dibalik
dinding, sehingga bisa mendengarmu. Maka apa yang terbetik didalam
hatimu untuk membelanya saat sahabatmu hadir, harus dilakukan saat dia
tidak hadir. Seseorang yang tidak tulus dalam masalah ini, berarti dia
mempunyai sifat nifak.
Engkau juga harus mengajari dan menasehati sahabatmu. Kebutuhan sahabat
terhadap ilmu tidak kalah penting dari kebutuhannya terhadap harta. Jika engkau
kaya ilmu, maka ajarilah sahabatmu dan bimbinglah dia. Nasehat ini harus engkau
sampaikan kepadanya secara rahasia. Perbedaan antara nasehat dan menjatuhkan
orang lain dalam hal cara apakah secara rahasia atau secara terang-terangan.
Sebagaimana perbedaan antara mudarah dan mudahanah dalam hal faktor
pendorong atas diamnya seseorang dari kemungkaran. Jika engkau diam untuk
keselamatan dienmu dan terdapat maslahat untuk temanmu maka itu disebut
mudarah tapi jika engkau diam untuk kepentingan pribadimu dan keselamatan
kedudukanmua serta untuk memperoleh nafsu syahwatmu maka engkau
melakukan mudahanah. Maafkanlah kesalahannya, jika kesalahannya dalam
masalah agama, nasehatilah dia secara lemah lembut, jangan menghardiknya
secara langsung atau mencercanya jika ia menolak bersikap keraslah kepadanya.
5.Mendoakan sahabat sewaktu hidupnya dan setelah matinya seperti do`a-do`a yang
engkau ucapkan untuk dirimu sendiri. Diriwayatkan dari hadits Abu Darda, bahwa
Nabi shallalahu `alaihi wassalam bersabda,

‫ك جمرولكنلل جكلرمناَجُ ردرعناَجُ هلرهخيِنهه‬ ‫ردفعنوةج الفمنرهء الفمسنلههم هلرهخيِنهه بهظرفهنهر الفغرفيِن ه‬
‫ب جمفسنتررجاَجُبرةل هعفننرد ررأفهسنهه رملرن ل‬ ‫ر رف ج ف‬
‫ك هبهثفبل‬ ‫ه ه‬ ‫هبرفبي قراَجُرل الفرملر ج‬
‫ك الفجمرولكجل بهه آم ر‬
‫ي رولر ر‬

80
” Doa seorang muslim bagi saudaranya yang jauh adalah dipenuhi. Disisi kepalanya
ada seorang malaikat yang diwakilkan. Setiap kali dia mendoakan suatu kebaikan
bagi saudaranya, maka malaikat yang diwakilkan itu menjawab: “Amin”, dan
bagimu seperti itu pula” (H.R.Muslim)
Abu Darda biasa mendoakan beberapa sahabatnya dengan menyebut nama-nama
mereka. Sedangkan Ahmad bin Hambal biasa berdo`a pada waktu sahur untuk enam
orang diantara sahabatnya.
Adapun doa untuk teman yang sudah meninggal dikatakan oleh Amru bin
Huraits,”Jika seorang hamba mendoakan untuk saudaranya yang telah meninggal,
malaikat akan mendatangi kuburan temannya lalu mengatakan,”Wahai penghuni
kubur yang terasing ini ada hadiah dari saudara yang saying kepadamu””. (Foot note:
Syaikh Ali Hasan mengatakan, “Ucapan tersebut tidak bisa diyakini dan janganlah
dihiraukan karena tidak ada dalam Al Quran dan As Sunnah”)
6.Setia dan tulus. Maksud setia ialah tetap mencintai sahabatnya sekalipun sudah
meninggal dunia, yaitu dengan mencintai anak-anaknya atau rekan-rekannya.
Rasulullah shallalahu `alaihi wassalam memuliakan seorang wanita tua, seraya
bersabda:”Dia biasa membantu kami selagi Khadijah masih hidup.Sesungguhnya
kesetiaan itu termasuk iman” Diantara gambaran kesetiaan ialah tidak mengurangi
rasa tawadhu kepadanya, sekalipun kedudukannya sudah tinggi mapan dan
terpandang. Tapi mengikuti sahabat dalam hal-hal yang bertentangan dengan agama
tidak termasuk kesetiaan. Imam Asy-Syafi`i menjalin persahabatan dengan
Muhammad bin Abdul Hakam. Hubungannya cukup harmonis dan dekat. Saat
menjelang ajalnya, Imam Asy-Syafi`i ditanya orang-orang,”Kepada siapakah kami
harus belajar sepeninggalmu wahai Abu Abdillah?” Muhammad bin Abdul Hakam
mendekati Asy-Syafi`i mengharapkan kehormatan untuk ditunjuk sebagai pengganti
beliau, lalu Imam Syafi’i menjawab,”Kepada Abu Ya`qub Al-Buwaithi”. Muhammad
bin Abdul Hakam merasa terpukul, pada waktu itu Muhammad bin Abdul Hakam
mendukung pendapat madzab Asy-Syafi`i. Tapi Al-Buwaithi sendiri lebih wara’ dan
lebih zuhud. Imam Asy-Syafi`i memberi nasehat kepada kaum muslimin dan tidak

81
mau bersikap mudahanah. Berbaliklah Muhammad bin Abdul Hakam tidak lagi
mendukung pendapat-pendapat Imam Syafi’i dan menjadi pendukung Imam Malik.
Termasuk kesetiaan ialah tidak mau mendengar omongan-omongan yang tidak baik
tentang sahabatnya dan tidak berkawan dengan musuh temannya.
7.Tidak membebani tapi justru memberi keringanan. Tidak membebani temannya
dengan hal-hal yang berat dan sulit. Sebaliknya, seseorang harus mendatangkan
kegembiraan kepada sahabatnya dengan membebaskannya dari beban dan kebutuhan.
Dia juga tidak boleh mengandalkan kedudukan dan harta sahabatnya, harus
memenuhi hak-haknya dan tawadhu kepadanya. Tujuan mencintainya hanya karena
Allah semata, menolong agamanya, bertaqarrub kepada Allah dengan memenuhi hak-
haknya dan menjaga nama baiknya, hendaklah dia tidak merasa malu kepada
temannya sebagaimana dia tidak malu kepada dirinya sendiri. Ja`far bin Muhammad
berkata:” Sahabat yang paling berat bagiku adalah yang membebaniku dan aku
harus mawas diri terhadap dirinya, sedangkan yang paling ringan dihatiku adalah
yang jika aku bersama dia, sama saja seperti ketika aku sedang sendirian”.
Sebagian orang bijak berkata,”Siapa yang tidak membebani, maka persahabatannya
bisa langgeng”. Untuk melengkapi hal ini, engkau harus bisa melihat keutamaan
pada diri sahabatmu atas dirimu, bukan melihat keutamaan dirimu atas dirinya. Kalau
perlu engkau harus bisa menempatkan dirimu seperti pembantunya.
(Dikutip dari Minhajul Qashidin Jalan Orang-Orang Yang Mendapat Petunjuk
oleh Ibnu Qudamah dengan beberapa perbaikan hal …-…)

82
ADAB TERHADAP ORANG KAFIR

Orang Muslim meyakini bahwa seluruh agama adalah batil kecuali agama
Islam yang merupakan agama yang benar, dan bahwa para pemeluk semua agama
adalah kafir, kecuali pemeluk agama Islam, karena mereka orang-orang mukmin, dan
orang-orang Muslim, karena dalil-dalil berikut :

Firman Allah Ta’ala


Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam (Ali Imran : 19)

Firman Allah Ta’ala


“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang
rugi.” (Ali Imran : 85)

Firman Allah Ta’ala


“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-
cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama
bagi kalian “ (Al-Maidah : 3)

Dengan dalil-dalil ilahi yang benar diatas, orang muslim mengetahui bahwa semua
agama sebelum Islam telah dihapus dengan Islam, dan bahwa Islam adalah agama
seluruh manusia. Oleh karena itu, Allah Ta’ala tidak menerima agama selain Islam
dari siapa pun, dan tidak meridhai syariat selain syariat Islam. Dari sinilah, seorang
muslim menyadari bahwa siapa saja yang tidak menyembah Allah Ta’ala dengan
agama Islam, ia orang kafir. Untuk itu, setiap muslim harus menerapkan adab-adab
berikut terhadap orang kafir :
1. Berlepas diri dari kekafirannya, dan tidak meridhainya, karena meridhai
kekafiran adalah kekafiran.

83
2. Benci kepada orang kafir karena kebencian Allah Ta’ala kepadanya, sebab
cinta dan benci itu harus karena-Nya. Oleh karena itu, selagi Allah Azza wa Jalla
membencinya karena kekafirannya, maka orang Muslim pun membenci orang
kafir, karena kebencian-Nya kepadanya.
3. Tidak memberikan loyalitas dan kasih sayang kepadanya, karena dalil-dalil
berikut :
Firman Allah Ta’ala
“Janganlah orang-orang Mukminin mengambil orang-orang kafir menjadi
wali dengan meninggalkan orang-orang Mukminin.” (Ali Imran : 28)
Firman Allah Ta’ala

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan
hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak
atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Al-Mujadilah : 22).
4. Berbuat adil terhadapnya,dan berbuat baik kepadanya jika ia bukan orang
kafir yang harus diperangi, karena Allah Ta’ala berfirman,
“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula)
mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil. (Al-Mumtahanah : 8).
Pada ayat yang mulia di atas, Allah Ta’ala membolehkan berbuat adil, dan
berbuat baik kepada orang-orang kafir, kecuali orang-orang kafir yang wajib
diperangi, karena mereka mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri dalam
ketentuan orang-orang yang wajib diperangi.
5. Menyayangi dengan kasih sayang umum dengan memberinya makan jika ia
lapar, memberinya minum jika ia kehausan, mengobatinya jika ia sakit,
menyelamatkannya dari kebinasaan, dan menjauhkan gangguan daripadanya,
karena dalil-dalil berikut :

84
Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
‫ارحم من ف الرض يرحك من ف السماَجُء‬

ٍٍSayangilah orang yang ada dibumi, niscaya engkau disayangi siapa yang ada
di langit. (Diriwayatkan Ath-Thabrani dan Al-Hakim Hadits ini shahih).
Sabda Rasululllah Shallallahu Alaihi wa Sallam
‫ف كل ذيِ كبد رطبة أجر‬

“Pada setiap orang yang mempunyai hati yang basah terdapat pahala.”
(Diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Majah. Hadits ini shahih)
6. Tidak mengganggu harta, darah, dan kehormatannya, jika ia bukan termasuk
orang yang wajib diperangi, karena dalil-dalil berikut :
Sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam, “Allah berfirman,
‫ت الظبفلرم رعرلىَ نَنرفهسي رورجرعفلتجهج بنرفيِننرجكفم جمرلررماَجُ فررل ترظراَجُلرجموا‬ ‫ه ه‬
‫يراَجُ عبراَجُديِ إهشن رحلرفم ج‬
“ ‘Hai hamba-hambaKu, sesungguhnya Aku haramkan kezhaliman atas Diri-Ku,
dan Aku mengharamkannya terhadap kalian. Oleh karena itu, kalian jangan saling
menzhalimi.” (Diriwayatkan Muslim)
Sabda Rasulullah Shallalallahu Alaihi wa Sallam,
“Barangsiapa menyakiti orang kafir dzimmi, maka aku menjadi lawannya pada
hari kiamat.” (Diriwayatkan Muslim)
7. Ia boleh memberikan hadiah, menerima hadiahnya, dan memakan hadiahnya
jika ia Ahli Kitab orang Yahudi, dan orang Kristen, berdasarkan dalil-dalil berikut
Firman Allah Ta’ala
“Makanan orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian.” (Al-Maidah :
5).
Dikisahkan dalam hadits yang shahih bahwa Rasulullah Shallahu Alaihi wa
Sallam diundang makan oleh orang Yahudi Madinah, kemudian beliau memenuhi
undangannya, dan memakan makanan yang dihidangkan kepada beliau.
8. Tidak menikahkan wanita Mukminah dengannya, dan boleh menikahi wanita-
wanita kafir dari Ahli Kitab, berdasarkan dalil-dalil berikut :

85
Allah Ta’ala melarang pernikahan wanita Mukminah dengan orang kafir secara
mutlak dalam firman-Nya.
“Mereka (wanita-wanita Mukminah) tersebut tidak halal bagi orang-orng kafir itu
dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka.” (Al-Mumtahanah : 10)
Firman Allah Ta’ala
“Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
Mukmin) sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah : 221)
Allah Ta’ala membolehkan seorang Muslim menikahi wanita-wanita Ahli Kitab
dalam firman-Nya.
“(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
diantara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian, bila kalian telah
membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. (Al-Maidah : 5)
9. Mendoakannya bila ia bersin lalu memuji Allah dengan doa, “Semoga Allah
memberi petunjuk kepadamu, dan memperbaiki urusanmu.” Karena Rasulullah
pernah bersin di samping orang-orang Yahudi, karena mengharap mereka berkata,
“Semoga Allah merahmatimu,” kemudian beliau mendoakan balik, “Semoga
Allah memberi petunjuk kepada kalian, dan memperbaiki urusan kalian.” (Perlu
dicek kembali dari buku aslinya, sptnya ada salah terjemah)
10. Tidak memulai ucapan salam kepadanya, dan jika orang kafir mengucapkan
salam kepadanya, ia menjawabnya dengan mengatakan, Wa’alaikum (juga atas
kalian).” Karena Rasulullah bersabda,
“Jika orang-orang Ahli Kitab mengucapkan salam kepada kalian, maka katakan
kepada mereka, Wa ‘alaikum (juga atas kalian).” (Muttafaq Alaih)
11. Menyempitkan ruang geraknya jika bertemu dengannya di salah satu jalan ke
jalan yang paling sempit, karena Rasulullah bersabda,
“Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi
dan orang-orang Kristen. Jika kalian bertemu dengan salah seorang dari mereka

86
di jalan, maka doronglah ke jalan yang paling sempit baginya. “(Diriwayatkan
Abu Daud dan Ath-Thabrani Hadits ini hasan.)
12. Tampil beda dengannya, dan tidak menirunya dalam hal-hal yang tidak
penting(perlu dicek lagi dari kitab aslinya sptnya ada salah terjemah), misalnya
memanjangkan jenggotnya jika ia tidak memanjangkannya, mengecatnya jika ia
tidak mengecatnya, dan berbeda dengannya dalam pakaian, atau kopiah, karena
dalil-dalil berikut :
Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
“Dan barangsiapan meniru satu kaum, ia termasuk mereka” (Muttafaq Alaih)
Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen tidak mengecat,
maka berbedalah dari mereka.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).
Maksudnya mewarnai jenggot, atau rambut dengan warna kuning atau merah.
Sedang mewarnainya dengan warna hitam dilarang Sabda Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam, karena Imam Muslim meriwayatkan, bahwa beliau bersabda,
“Rubahlah ini (rambut putih) dan tinggalkan warna hitam.” (Diriwayatkan
Muslim).
(Dinukil dari buku ENSIKLOPEDI MUSLIM oleh Syaikh Abu Bakar Jabir Al
Jazairi dengan sedikit perbaikan dari halaman 168-172)

Telah disinggung di no 4 adanya penyebutan orang kafir yang harus diperangi


dan di no 6 adanya istilah kafir dzimmi, adakah macam yang lain dari orang
kafir? Untuk menambah wawasan keislaman kita ada baiknya penyusun nukilkan
dari majalah AN NASHIHAH tentang pembagian orang kafir dalamIslam yang
disusun oleh ust. Dzulqarnain.

Pembagian Orang Kafir Dalam Islam

Orang kafir dalam syari’at Islam ada empat macam :

87
Pertama : Kafir Dzimmy, yaitu orang kafir yang membayar jizyah ( upeti )
yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan olehnya mereka tinggal dinegeri kaum
muslim . Kafir seperti ini tidak boleh dibunuh selama ia masih mentaati peraturan –
peraturan yang dikenakan kepada mereka.
Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut diantaranya firman Allah Al –
‘Aziz Al – Hakim :
“Perangilah orang – orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak ( pula
) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama
yang benar ( agama Allah ), ( yaitu orang – orang) yang diberikan Al – kitab
kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan penuh sedang
mereka dalam keadaan shogirun ( hina, rendah, patuh )”. ( QS. At –
Taubah : 29 ).
Dan diterangkan dalam hadist Buraidah riwayat Muslim : “ Adalah Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa sa alihi wa sallam apabila mengangkat amir / pimpinan pasukan
beliau memberikan wasiat khusus untuknya supaya bertakwa kepada Allah dan
( wasiat pada ) orang – orang yang bersamanya dengan kebaikan. Kemudian beliau
berkata : “ berperanglah kalian di jalan Allah dengan nama Allah, berperanglah kalian
dan jangan mencuri harta rampasan perang dan janganlah mengkhianati janji dan
janganlah melakukan tamtsil ( mencincang atau merusak mayat ) dan janganlah
membunuh anak kecil dan apabila engkau berjumpa dengan musuhmu dari kaum
musyrikin dakwailah mereka kepada tiga perkara, apa saja yang mereka jawab dari
tiga perkara, apa saja yang mereka jawab dari tiga perkara itu maka terimalah dari
mereka dan tahanlah ( tangan ) terhadap mereka kepada Islam apabila mereka
menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah ( tangan ) terhadap mereka,
apabila mereka menolak mak mintalah jizyah ( upeti ) dari mereka dan tahanlah
( tangan ) terhadap mereka, apbila mereka menolak mak mintalah pertolongan kepada
Allah kemudian perangilah mereka”.
Dan dalam hadist Al – Mughiroh bin Syu’ban riwayat Bukhary beliau berkata:

88
“ Kami diperintah oleh Rasul Rabb kami shollallahu ‘alaihi wa alihi wa
sallam untuk memerangi kalian sampai kalian menyembah Allah satu – satunya atau
kalian membayar Jizyah”.
Kedua : Kafir Mu’ahad, yaitu orang – orang kafir yang telah terjadi
kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun
waktu yang telah disepakati. Dan kafir seperti ini juga tidak boleh dibunuh sepanjang
mereka menjalankan kesepakatan yang telah dibuat.
Allah Jalla Dzikruhu berfirman :
“ Maka selam mereka nerlaku istiqomah terhadap kalian, hendaklah
kalian berlaku istiqomah ( pula ) terhadap mereka. Sesungguhnya allah
menyukai orang – orang yang bertakwa “. ( QS. At – Taubah : 7 ).
Dan Allah berfirman :
“ kecuali orang – orang musyrikin yang kalian telah mengadakan
perjanjian ( dengan mereka ) dan mereka tidak mengurangi dari kalian
sesuatu pun ( dari isi perjanjian ) dan tidak ( pula ) mereka membantu
seseorang yang memusuhi kalian, maka terhadap mereka itu penuhilah
janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang –
orang yang bertakwa “. ( QS. At – Taubah : 4 ).
Dan senada dengannya ayat 12 dari surah At – Taubah.
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda dalam hadist
‘Abdullah bin ‘Amr riwayat Bukhary :
“ Siapa yang membunuh kafir Mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga dan
sesungguhnya bau surga itu tecium dari perjalanan empat puluh tahun “.
ketiga : Kafir musta’man, yaitu norang kafir yang mendapat jaminan
keamanan dari kaum muslimin atau sebagian kaum muslimin. Kafir jenis ini juga
tidak boleh dibunuh sepanjang masih berada dalam jaminan keamanan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“ Dan jika diantara seseorang kaum musyrikin meminta perlindungan
kepadamu maka lindungilah ia agar ia sempat mendengar firman Allah,

89
kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu
disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui “. ( QS at – Taubah : 6 )
Dan dalam hadist “Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan :
“ Dzimmah ( janji, jaminan keamanan dan tanggung jawab ) kaum muslimin
itu satu, diusahakan oleh orang yang paling bawah ( sekalipun )”. ( HSR.
Bukhary-Muslim ) .
Berkata Imam an – Nawawy rahimahullah : “ Yang diinginkan dengan
dzimmah disini adalah aman ( jaminan keamanan ). Maknanya bahwa Aman kaum
muslimin kepada orang kafir itu adalah sah ( diakui ), maka siapa yang diberikan
kepadanya Aman dari seorang muslim maka haram atas muslim yang lainnya
mengagungkan sepanjang ia masih berada dalam amannya “.
Dan dalam hadist Ummu Hani’ riwayat Bukhary beliau berkata :
“ Wahai rasulullah anak ibuku ( yaitu “ali bin Abi Tholib-pen ) menyangka
bahwa ia boleh membunuh orang yang telah saya lindungi ( yaitu ) si Fulan
bin Hubairah. Maka Rasulullah ‘alaihi wa ‘alihi wa sallam bersabda :
“Kami telah lindungi orang yang engkau lindungi wahai Ummu hani “.
Keempat : kafir Harby, yaitu kafir selain tiga diatas. Kafir jenis inilah yang
disyariatkan untuk diperangi dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam syari’at
Islam.
Demikianlah pembagian orang kafir oleh para ulama seperti Syeikh Muqbil
bin Hadi al – Wadi’iy, Syeikh Ibnu ‘Utsaimin, ‘abdullah Al – Bassam dan lain –
lainnya. Dan bagi yang menelaah buku – buku fiqih dari berbagai madzhab akan
menemukan benarnya pembagiann ini. Wallahul Musta’an.
(Dinukil dari majalah AN NASHIHAH volume 3 hal 2-5)

BAB IV FATWA – FATWA ADAB BERGAUL

90
1. Saya ingin menikahi seorang wanita tapi ibuku tidak menyetujuinya.
S: Saya ingin menikahi seorang janda, ayahku setuju, calon istri
dan keluarganya setuju pula hanya ibuku tidak setuju dan tidak ridha. Apakah
boleh jika saya menikah dengan wanita tersebut tanpa mengindahkan
persetujuan ibuku? Jika saya menikahi wanita tersebut apakah saya tergolong
orang yang durhaka kepada ibuku? Berilah saya jawaban, semoga Allah
memberi balasan kebaikan untukmu.
J: Hak ibu sangat besar sekali dan berbakti kepadanya termasuk
kewajiban yang sangat dipentingkan. Oleh karena itu saya menasehatimu agar
engkau jangan menikahi seorang wanita yang tidak disetujui ibumu, karena
seorang ibu pasti menginginkan kebaikan untukmu. Boleh jadi ibumu
mengetahui ada akhlak yang kurang baik dari wanita tersebut yang dapat
merugikanmu. Masih banyak wanita yang lain, Allah Swt berfirman
“ Barang siapa bertakwa kepada Allah, dia akan memberikan jalan
keluar kepadanya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak ia sangka”. ( At
Thalaq….)
Tidak ragu lagi berbakti kepada ibu termasuk bagian dari
takwa kecuali jika ibu bukan orang yang berpegang teguh kepada agama dan
calon isteri termasuk orang yang yang berpegang teguh kepada agama dan
orang yang bertakwa, jika kenyataannya seperti ini tidak ada kewajiban untuk
taat kepada ibumu berdasarkan Sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam :
“ Bahwasanyan ketaatan itu dalam hal kebaikan”.
Semoga Allah memberi taufiq kepada semua pihak untuk
melakukan tindakan yang diridhai-Nya dan semoga Allah memudahkan
untukmu dalam setiap urusan untuk mendapatkan kebaikan dan keselamatan
bagi agama dan duniamu.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. ( Fatawa Islamiyyah
Juz 4 hal 191 – 192 )

91
2. Saya ingin menikahi seorang wanita tapi ayahku tidak menyetujuinya.
S: Saya telah memilih seorang wanita yang berpegang teguh dengan
agama dan berakhlak mulia untuk dijadikan sebagai isteri tapi ketika saya
beritahukan hal yang demikian kepada ayahku ia menolak, saya berusaha
untuk meyakinkannya tapi ia bersikeras untuk tetap tidak menyetujuinya.
Saya tanyakan apa alasannya ia mengatakan tanpa alasan. Saya dibuatnya
bingung antara taat kepada ayahku dengan resiko kehilangan wanita pilihanku
dan membuat sakit hati dirinya dan keluarganya atau bagaimana?
Saya berharap mendapatkan nasehat untuk mendapatkan jalan yang benar,
semoga Allah memberi balasan kebaikan kepadamu.
J: Pertanyaan ini mengharuskan kami untuk memberi nasehat kepada dua
pihak. Nasehat pertama ditujukan kepada ayahmu yang bersikeras untuk tetap
melarangmu menikahi wanita yang engkau sifatkan berpegang teguh kepada
agama dan berakhlak mulia. Maka wajib bagi sang ayah untuk mengijinkan
kepada anaknya untuk menikahi dengan seorang wanita yang baik agamanya
kecuali jika sang ayah mempunyai alasan-alasan yang sesuai dengan syariat
Islam dalam pelarangannya maka dia harus menjelaskan alasan tersebut
kepada anaknya agar dia yakin dan mantap. Kepada sang ayah dia harus
membayangkan jika seandainya dia sendiri yang akan menikah dengan wanita
yang dia kagumi karena baik agama dan akhlaknya, lalu dilarang oleh
orangtuanya, bukankah dia akan menilai bahwa pelaranganya tersebut berupa
‫ ﻪﻓ اﺿﻔل اﺼ ﺀنﻤ‬dan menekan kebebasannya? Apabila dia tidak mau ditekan
orang tuanya maka apakah tega dia menekan anaknya padahal Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda :
“ Tidaklah sempurna keimanan salah seorang diantara kalian sampai ia
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”.
Tidaklah halal bagi bapakmu melarangmu untuk menikahi wanita
tersebut tanpa alasan syar’i, apabila ada alasan syar’i maka ayahmu harus
menjelaskan kepada dirimu agar engkau dapat menyetujuinya.

92
Adapun nasehat untuk dirimu wahai orang yang bertanya saya katakan
jika memungkinkan bagi dirimu untuk mencari wanita yang lain maka
lakukanlah dalam rangka mencari ridha ayahmu dan anjuran untuk
merekatkan tali kekeluargaan dan untuk menghindari perpecahan.
Jika hal ini tidak mungkin kamu lakukan karena hatimu sudah
tertambat kepada wanita tersebut dan kamu khawatir jika meminang wanita
lain ayahmu akan melarangnya pula karena sebagian orang tua dihatinya
terdapat kecemburuan atau hasad meskipun terhadap anaknya sendiri
sehingga ia selalu menghalang-halangi keinginan anaknya. Saya katakan jika
kamu khawatir hal ini dan kamu tidak dapat menahan diri dari wanita yang
hatimu sudah terpaut kepadanya maka tidaklah berdosa atasmu untuk
menikahinya, mudah-mudahan setelah kamu menikah ayahmu menjadi sadar
dan hilanglah segala ganjalan dihatinya. Kami memohon kepada Allah agar
Dia menentukan untukmu yang terbaik.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaiman
( Fatawa Islamiyyah Juz 4 hal 193 – 194 )

3. Yakinkan ayahmu terlebuh dahulu kemudian nikahilah wanita tersebut.


S: Saya seorang pemuda yang sudah siap untuk menikah, saya
berfikir untuk melamar seorang wanita muslimah yang kupilih berdasarkan
agama dan keilmuannya, tapi ayahku menolak pernikahan dengan si dia
dengan pertimbangan adat yang berlaku pada kami, karena wanita tersebut
tidak bisa berbicara dengan dialek kami, jika saya menyalahi ayah dengan
tetap menikahi wanita tersebut apakah saya telah berbuat durhaka kepada
ayah?
J: Pertama – tama engkau harus meyakinkan ayahmu tentang
baiknya calon isterimu dan dia cocok untukmu, jelaskan pula bahwa engkau
sangat berminat kepadanya dan sisi-sisi positif lainnya yang didapat jika
menikah dengannya. Apabila ayah tetap tidak setuju dan engkau dapatkan

93
wanita lain yang disetujui oleh ayahmu tinggalkanlah wanita yang pertama
selama wanita yang disetujui ayahmu adalah wanita yang salihah pula
berpegang teguh dengan agama dan berilmu pula. Jika tidak engkau dapatkan
wanita yang lain dengan kriteria yang sama dan pernikahan tertunda-tunda
terus dan merugikan dirimu maka nikahilah wanita pilihanmu yang pertama
tadi.
Syaikh bin Jibrin (Fatawa Islamiyyah Juz 4 hal 201)

4. Hadits “ Engkau dan hartamu milik ayahmu”.


S: Saya telah mendengar suatu Hadits yang bersumber dari Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam bahwasanya beliau bersabda,
“ Engkau dan hartamu milik ayahmu “
saya mendengar pula bahwa hadits ini Dhaif. Apakah berita ini benar wahai
syaikh yang kami hormati ?
J: Hadits ini tidak dhaif karena ada syawahidnya, adapun maknanya
apabila seseorang memiliki harta maka bapaknya memiliki hak untuk
mempergunakan harta tersebut menurut apa yang ia kehendaki, tetapi harus
memenuhi beberapa syarat berikut ini :
Syarat pertama : Pengambilan harta tersebut tidak boleh sampai merugikan
anak, seperti mengambil selimut yang biasa dipakai anak untuk menahan
dinginnya cuaca, atau dengan mengambil makanan anaknya mengakibatkan si
anak menjadi lapar karenanya, maka hal yang demikian tidak boleh dilakukan
oleh si bapak.
Syarat kedua : Harta yang diambil tersebut tidak dibutuhkan oleh si anak.
Seandainya si anak memiliki mobil yang ia butuhkan untuk sarana
transportasi, jika mobil itu diambil ayahnya maka ia tidak memiliki uang
untuk membeli mobil yang lain sebagai gantinya. Dalam kondisi seperti ini si
bapak tidak boleh sama sekali mengambil harta anaknya tersebut.

94
Syarat ketiga : Tidak boleh ia mengambil harta dari salah seorang anaknya
untuk ia berikan kepada anak yang lain karena hal itu dapat menimbulkan
permusuhan antar anak. Disamping itu tindakan tersebut merupakan sikap
pilih kasih jika anak yang diberi tidak membutuhkan harta tersebut. Jika anak
yang lain membutuhkan suatu harta sedangkan yang lain tidak
membutuhkannya maka kewajiban si bapak untuk memberinya tanpa harus
memberikan hal yang sama kepada anak-anak lainnya yang tidak
membutuhkan harta tersebut dan dalam kasus seperti ini tidak termasuk pilih
kasih.
Kesimpulannya Hadits ini dipakai sebagai hujjah oleh Ulama tetapi
penerapannya harus dengan syarat-syarat yang telah kami sebutkan yaitu si
bapak tidak boleh mengambil harta yang menimbulkan kerugian kepada
anaknya, tidak boleh mengambil harta yang dibutuhkan oleh anaknya dan
tidak boleh mengambil harta anak untuk ia berikan kepada anak yang lain,
Wallahu A‘lam.
(Syaikh Ibnu Utsaimin, Fatawa Islamiyyah Juz 4 hal 102 – 103).

4. Tidak boleh membantu dalam hal maksiat.


S: Ayahku mengkonsumsi rokok dan menyuruhku ke warung
membelikan rokok untuknya, apakah saya harus taat kepadanya ? apabila saya
mentaatinya apakah saya berdosa ? dan apabila saya tidak mentaatinya bisa
mengakibatkan problem bagi saya, berilah saya jawaban. Semoga Allah
memberikan balasan kebaikan untuk Antum.
J: Wajib atas ayahmu untuk meninggalkan rokok karena mengandung
madharat yang banyak dan rokok termasuk khabaits yang diharamkan Allah
Ta’ala dalam firmanNya tentang NabiNya ShallallahuAlaihi Wasallam ……
(Surat Al A’raaf 157)

95
Allah Azza Wajalla hanya menghalalkan yang baik-baik untuk hamba-
hambaNya sebagaimana dalam ayat yang mulia ini dalam surat Al-A’raf dan
dalam surat Al-Ma’idah………. (Surat Al Maidah…)
Allah Ta’ala menjelaskan bahwa Dia tidak menghalalkan kecuali yang baik-
baik saja, dan rokok tidak termasuk sesuatu yang baik bahkan termasuk
khabaits yang membahayakan, maka wajib atas Ayahmu dan selainnya yang
suka merokok untuk bertaubat kepada Allah Ta’ala dan untuk tidak bermajelis
dengan orang-orang yang merokok. Anda tidak boleh membantu ayahmu dan
selainnya dalam hal maksiat berdasarkan Firman Allah Ta’ala, ….
“Tolong menolonglah kalian atas kebaikan dan takwa dan janganlah kalian tolong
menolong dalam dosa dan permusuhan”
Sudah menjadi keharusan atasmu, saudara-saudaramu dan paman-pamanmu -jika
engkau memiliki saudara dan paman- untuk menasehati dan memperingatkan
ayahmu akan bahaya rokok berdasarkan Firman Allah di atas dan berdasarkan
Sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam :
“Agama itu adalah nasehat “ Dikatakan untuk siapa wahai Rosulullah ? Beliau
menjawab, “ Untuk Allah, Kitabnya, Rasulnya, Pemimpin kaum muslimin
dan kaum muslimin pada umumnya”. Hadits Riwayat Imam Muslim dalam
Shahihnya.
Aku memohon kepada Allah agar memberi taufik kepada ayahmu
untuk berbuat kebaikan dan agar Allah menolongnya untuk bertaubat dari
maksiat merokok dan selainnya dan agar Allah menjadikanmu sebagai orang-
orang yang menolong ayahmu dalam hal kebaikan sesungguhnya Allah Maha
mendengar dan Maha dekat.
(Syaikh bin Baz dari Fatawa Islamiyyah Juz 4 hal 199-200).

6. Hadits “ Sombong terhadap orang yang sombong……………..”


S: Saya telah memperhatikan perilaku salah seorang teman, ia tak mau
menjawab salam dari seseorang bahkan memandang orang tersebut dengan

96
pandangan penuh kesombongan, ketika saya tanyakan hal itu kepadanya ia
beralasan bahwa orang yang memberi salam itu adalah orang yang sombong,
dan ada sebuah Hadits yang berbunyi, “Sombong terhadap orang yang
sombong adalah Shadaqah”. Apakah Hadits ini sahih? apakah tindakan
tersebut dibolehkan ?
J: Sombong terhadap manusia merupakan dosa besar, tidaklah halal
seseorang berbuat sombong terhadap orang lain meskipun orang lain tersebut
sombong terhadapnya, adapun penyembuhan dari sikap sombong yang
menimpa orang lain bukanlah dengan cara berbuat sombong kepadanya tetapi
jalan keluarnya adalah dengan diberikan nasehat dan diingatkan akan murka
Allah agar ia takut, seperti dikatakan kepadanya, “Takutlah engkau kepada
Allah, karena sesungguhnya sombong itu merupakan salah satu dari dosa
besar.
Adapun Hadits yang disebutkan oleh si penanya adalah Hadits yang
batil tidak benar dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
(Syaikh Ibnu Utsaimin, Fatawa Islamiyyah Juz 4 hal 104).

7. Ambil ilmunya dan tinggalkan amalnya.


S: Bagaimana pendapat antum mengenai sebagian da’i yang mengajak
manusia ke jalan Allah, nampak kejujuran dalam tingkah laku dan amal
perbuatan mereka tetapi mereka melakukan sebagian maksiat dan
pelanggaran. Apakah tidak boleh mengambil faedah dari ilmu mereka dan
ceramah mereka?
J: Kesempurnaan bukan merupakan syarat untuk mendengarkan dan
mengambil faedah dari seorang guru atau da’i, ambillah manfaat meskipun
dia memiliki sebagian kekurangan dalam akhlaknya tetapi hal ini tidak
menghalangi untuk menasehati dan meluruskan guru atau da’i dengan ucapan

97
yang baik dan cara yang baik pula. Boleh jadi guru tersebut malas
melaksanakan shalat secara berjama’ah maka hendaklah ia dinasehati, boleh
jadi pula ia termasuk orang yang masih menjulurkan pakaiannya di bawah
mata kaki maka hendaklah ia dinasehati, boleh jadi pula ia termasuk orang
yang mencukur jenggotnya hendaklah ia dinasehati pula dan dijelaskan Sabda
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam :
“Potonglah kumis dan panjangkanlah jenggot dan berbedalah kalian dengan
kaum musyrikin”. (Syaikh bin Baz, Fatawa Islamiyyah Juz 4 hal 275-276 ).

8. Hukum menggunakan harta teman tanpa sepengetahuannya.


S: Apakah boleh bagi saya menggunakan harta saudara seislam untuk
memenuhi kebutuhan saya tanpa sepengetahuan dia apabila saya yakin bahwa
teman saya itu ridha dengan sebenar-benarnya jika ia ada atau mengetahui
setelah itu?
J: Yang lebih utama adalah engkau menghormati harta saudaramu
meskipun engkau yakin bahwa dia ridha dengan tindakanmu menggunakan
hartanya karena pada asalnya harta seorang muslim adalah haram (untuk
diambil) akan tetapi jika engkau membutuhkan untuk menggunakan hartanya
dan engkau tahu dan yakin sepenuhnya bahwa dia ridha dengan perbuatanmu
maka tidak mengapa seperti jika datang seorang tamu ke rumahmu dan
temanmu yang lain memiliki kambing, lalu engkau menginginkan mengambil
seekor kambing untuk menghormati tamu dan engkau yakin sepenuhnya
bahwa pemilik kambing tersebut ridha dengan perbuatanmu maka hal tersebut
tidak mengapa, sedangkan jika kita tidak membutuhkannya maka yang lebih
utama adalah tidak menggunakan harta saudaramu karena meskipun dia ridha
tetap saja dia merasa tidak enak dengan apa yang telah engkau lakukan.
(Syaikh Ibnu Utsaimin, Fatawa Islamiyyah Juz 4 hal 532).

9. Memuji diri sendiri.

98
S: Saya seorang remaja berumur 20 tahun selalu menjaga shalat lima
waktu, rutin membaca Al Qur’an dan taat melaksanakan perintah-perintah
Allah hanya saya menghadapi suatui masalah yaitu pakaian yang biasa saya
kenakan turun sampai ke bawah mata kaki tanpa ada maksud berbuat
kesombongan atau membuat murka Allah, saya sudah mencoba berkali-kali
untuk memendekkannya tetapi saya katakan kepada diri sendiri selama saya
tidak bermaksud untuk kesombongan Insya Allah ini bukan dosa.
Saya berharap dari fadhilatus syaikh untuk memberikan jawaban yang
memuaskan.
J: Pertanyaan ini mencakup dua masalah.
Masalah pertama : Bahwasanya si penanya memuji dirinya sendiri sebagai
orang yang taat kepada Allah, cinta kepada perbuatan yang diridhainya. Saya
berharap pujian terhadap dirinya dari sisi menceritakan nikmat Allah bukan
dari sisi tazkiyyatunnafs ( mensucikan diri sendiri ). Yang demikian itu bahwa
orang yang menceritakan tentang dirinya dengan melakukan ketaatan tidak
lepas dari dua keadaan, keadaan pertama bahwa faktor pendorong bagi
oprang yang memuji dirinya adalah mensucikan diri sendiri dan menunjukan
kepada orang lain tentang ketaatannya kepada Allah, perbuatan ini berbahaya
dapat mengakibatkan batal dan terhapus amal baik yang dia lakukan, Allah
melarang hamba-hambanya mensucikan diri mereka sendiri sebagaimana
dalam firmannya :
“ Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci Dialah yang paling
mengetahui tentang orang yang bertakwa “ ( Surat An-Najm ayat 32 ).
Keadaan kedua faktor pendorong bagi orang yang memuji dirinya adalah
menceritakan nikmat Allah dan agar orang lain dapat meniru kebaikan yang ia
lakukan. Ini merupakan tujuan yang terpuji karena Allah berfirman :
“ Dan terhadap nikmat rabbmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya
( dengan bersyukur ) “ QS. Ad-Dhuha : 11.
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :

99
“ Barang siapa yang mempelopori kebaikan dalam Islam maka baginya
pahala atas kebaikan yang ia lakukan dan pahala karena orang lain yang
mengamalkannya terus mengalir untuk dia sampai hari kiamat “.
Adapun masalah kedua yaitu tentang pertanyaan bahwa dia
memanjangkan pakaiannya sampai ke bawah mata kaki bukan karena
sombong semoga perbuatan tersebut bukanlah dosa. Jawaban atas pertanyaan
ini bahwa perbuatannya adalah haram bahkan nash-nash yang ada secara
dzahir menunjukkan sebagai dosa besar yang demikian itu berdasarkan Hadits
yang sahih :
“ Apa-apa yang di bawah mata kaki dari kain sarung tempatnya adalah di
neraka “ ……Dst.
(Syaikh Ibnu Utsaimin, Nurun ‘Alad Darbi hal 7-8)

10. S : Seseorang bekerja pada orang kafir, apa nasehat anda untuknya ?
J: Kami menasehati saudara yang bekerja pada orang kafir untuk mencari
pekerjaan ditempat yang tidak ada di dalamnya musuh-musuh Allah dan
RasulNya dari orang-orang yang beragama selain Islam. Apabila
memungkinkan maka ini merupakan keharusan jika tidak mudah maka tidak
mengapa bekerja pada orang kafir masing-masing dalam pekerjaannya tetapi
dengan syarat tidak boleh ada rasa cinta dan sayang dihatinya, begitu pula
harus konsisten dengan Syari’at Islam diantaranya yang berkenaan dengan
mengucapkan salam, menjawabnya dan selainnya. Juga tidak boleh
menghadiri jenazahnya, tidak mengantarkannya, tidak menghadiri hari raya
mereka serta tidak mengucapkan selamat berkenaan dengan hari raya mereka.
(Syaikh Ibnu Utsaimin, Al Majmu’ Ats Tsamin Juz 2 hal 95)

11. S : Terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
Shahihnya dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu bahwa Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :

100
“ Janganlah kalian memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani
apabila kalian berjumpa dengan salah satu dari mereka di jalan maka desaklah
maka ia ketempat yang lebih sempit “.
Bukankah perbuatan ini menyebabkan orang kafir lari dari masuk Islam ?
J: Harus kita ketahui bahwa juru da’wah yang paling lurus
da’wahnya adalah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan sebaik-baik
pembimbing adalah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan orang yang paling
tahu tentang perbaikan manusia adalah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Jika
kita sudah mengetahui yang demikian maka pemahaman apapun yang kita
pahami dari ucapan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai pemahaman
yang tidak bijak kita harus menyalahkan pemahaman tersebut, kita harus
mengetahui bahwa pemahaman kitalah yang salah terhadap ucapan Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam tapi bukan berarti kita menilai hadits-hadits Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam dengan akal perbuatan kita karena akal dan
pemahaman kita terbatas tapi ada kaidah-kaidah umum dalam Syariat Islam
yang bisa kita jadikan pedoman dalam menghadapi kasus-kasus yang khusus.
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : “ Janganlah
kalian memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, apabila kalian
berjumpa dengan salah satu dari mereka di jalan maka desaklah dia ketempat
yang lebih sempit”. Maknanya janganlah kalian beri keleluasaan untuk
mereka apabila mereka berpapasan dengan kalian biarlah kalian yang
mendapatkan kelapangan dan bagi mereka kesempitan, teruslah dalam arah
dan perjalanan kalian dan jadikanlah kesempitan untuk mereka jika disana
terdapat kesempitan. Sebagaimana kita ketahui bersama bukanlah merupakan
tuntunan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam jika melihat orang kafir segera
memepetnya sampai menyentuh tembok, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam
tidak pernah melakukan hal yang demikian terhadap orang-orang yang Yahudi
di Madinah begitu pula para sahabatnya tidak pernah melakukan hal yang
demikian setelah kemenangan diberbagai macam negeri. Maknanya

101
sebagaimana kalian tidak memulai mengucapkan salam kepada mereka
janganlah kalian memberikan kelapangan untuk mereka apabila mereka
berpapasan dengan kalian janganlah kalian minggir memberi mereka jalan
untuk lewat tetapi tetaplah jalan, jika jalan itu sempit biarlah mereka yang
mengalah ke pinggir, Hadits ini bukan membuat orang lain lari dari Islam
tetapi menunjukan kemuliaan seseorang muslim yang tidak menghinakan diri
kepada seorangpun kecuali kepada rabbnya.
(Syaikh Ibnu Utsaimin, Al-Majmu Ats Tsamin Juz 2 hal 93-95.

12. Meninggalkan silaturahmi untuk menghindari dosa?


S: Saya memiliki kerabat dan ingin mengunjungi mereka sebagaimana
telah diperintahkan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, tetapi ketika saya
mengunjungi mereka selama ini diantara kerabat wanita yang bukan mahram
saya mendatangi dan mereka mengajak saya bersalaman, mereka belum tahu
bahwa bersalaman antar lain jenis yang bukan mahram adalah haram. Oleh
karena itu saya akhirnya memutuskan kunjungan kepada mereka, apakah saya
berdosa? Perlu diketahui saya belum mampu memberi tahu kepada mereka
bahwa bersalaman dengan lain jenis yang bukan mahram adalah haram.
Seperti anak perempuan bibi atau paman, isteri paman, isteri kakak atau adik.
J: Bahkan wajib atasmu untuk memberi tahu mereka dan memberi tahu
suami-suami mereka bahwa tidak boleh bersalaman dengan lain jenis yang
bukan mahram dan jangan putuskan kunjungan kepada mereka. Kapanpun
wanita-wanita yang bukan mahrom mendatangimu dan mengulurkan
tangannya kepadamu jangan kamu sambut dengan menjabatnya dan
perintahkan kepada mereka untuk berhijab, menutup rambut dan wajah
mereka. Laranglah mereka berjabat tangan dengan lain jenis kecuali kepada
mahrom mereka. Dengan demikian engkau telah melaksanakan silaturahmi
dan mengajak manusia berbuat baik dengan memberikan ilmu dan
menampakkan kebenaran secara terang-terangan dengan berharap agar Allah

102
memberi manfaat kepadamu dan Allah memberi manfaat kepada manusia
melaluimu. Saya tidak setuju caramu untuk memutuskan kunjungan yang
merupakan silaturahmi dikarenakan kemungkaran yang ada. Kesimpulannya
gabungkanlah antara dua perkara yaitu berkunjung dan berda’wah mengajak
mereka kepada kebaikan.
(Syaikh bin Jibrin, Fatawa Islamiyyah Juz 4 hal 198).

13. Nahi mungkar terhadap orang yang bermaksiat tidak secara terang-
terangan.
S: Salah seorang dari tetangga kami melakukan kemungkaran
dirumahnya tetapi dia tidak menampakkannya kepada manusia, apakah wajib
atas kami mengingkarinya meskipun dia melakukannya tidak secara terang-
terangan tetapi kami mengetahuinya dari sumber yang dapat dipercaya.
J: Yang diisyariatkan bagi kalian adalah untuk menasehatinya secara
rahasia dengan empat mata, dan dengan mendo’akannya agar mendapatkan
hidayah dan tidak boleh menggunjingnya berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam :
“ Barang siapa menutupi aib seorang muslim niscaya Allah menutupi aibnya
di dunia dan akhirat.
(Syaikh bin Baz, Fatawa Islamiyyah Juz 4 hal 199)

14. Melaporkan orang yang bermaksiat.


S: Apakah boleh melaporkan tentang kerabat atau teman yang bermaksiat
seperti minum khamer misalnya setelah saya berulangkali menasehatinya,
ataukah hal tersebut berarti menelanjangi harga dirinya padahal orang yang
diam dari kebenaran adalah syetan yang bisu.

103
J: Kewajiban setiap muslim terhadap saudaranya sesama muslim apabila
melihatnya berbuat maksiat adalah menasehatinya, memperingatkannya agar
tidak terus menerus tenggelam dalam maksiat kepada Allah, jelaskan
kepadanya akibat buruk dari dosa terhadap hati, jiwa dan anggota badan dan
dampak negatifnya terhadap pribadi dan masyarakat, semoga dengan
seringnya memberi nasehat menjadikan dia takut dan kembali mengikuti akal
sehatnya. Apabila nasehat tersebut tidak bermanfaat, dia (penasehat) harus
menempuh jalan yang paling dekat agar pelaku maksiat bisa
meninggalkannya baik dengan cara melaporkan kepihak yang berwajib atau
melaporkan kepada orang lain yang lebih disegani dari si penasehat, yang
penting menempuh jalan yang paling dekat untuk sampai kepada tujuan
meskipun harus melaporkan kepada pemerintah agar dapat memberikan
hukuman yang membuat jera pelaku maksiat.
(Syaikh Ibnu Utsaimin, Fatawa Islamiyyah Juz 3 hal 376).

15. Orang-orang yang wajib disambung dengan tali silaturahmi.


S: Siapakah yang dimaksud dengan Al-Arham dan Dzawil Qurba ? Ada
sebagian orang yang mengatakan bahwa kerabat isteri tidak termasuk Al-
Arham ?
J: Al-Arham adalah orang-orang terdekat dari garis nasab ibu dan
ayahmu, mereka adalah orang-orang yang dimaksud dengan firman Allah
Ta’ala dalam Surat Al-Anfal dan Al-Ahzab : ….
Mereka adalah ayah dan ibu, kakek nenek ke atas, anak cucu ke bawah
kemudian saudara dan anak-anak mereka, saudara ayah dan anak-anak
mereka dan saudara ibu dan anak-anak mereka. Dalam hadits yang sahih Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam pernah ditanya oleh seseorang, “ Kepada siapa
saya berbuat baik wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Ibumu”. Orang itu
bertanya lagi,”Kemudian siapa?” Beliau menjawab,”Ibumu”. Orang itu
bertanya lagi,”Kemudian siapa?” Beliau menjawab lagi,”Ibumu”. Orang itu

104
bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ayahmu, kemudian
berikutnya dari orang-orang terdekat”. HR. Muslim dalam shahihnya dan
hadits-hadits yang semakna masih banyak lagi. Adapun kerabat isteri
bukanlah Al-Arham bagi suami jika mereka bukan dari kerabat suami tapi
sebagai Al-Arham bagi anak-anaknya disebabkan hubungan dengan ibu
mereka.
Billahi Attaufik
(Syaikh bin Baz, Fatawa Islamiyyah Juz 4 hal 195)

16. Kedua orang tuaku saling berselisih jika saya berbuat baik kepada salah
satunya maka yang lain marah.
S: Saya pemuda berumur 25 tahun. Ayah dan ibu selalu dalam
pertengkaran setiap harinya, jika saya berbuat baik kepada ayah maka ibuku
merasa ngambek dan jika saya berbuat baik kepada buku maka ayahku marah
juga dan menuduhku berbuat durhaka. Apa yang harus saya lakukan wahai
Syaikh, agar saya dapat berlaku adil kepada keduanya ? Apakah saya
termasuk berbuat durhaka kepada ibuku jika saya berbuat baik kepada ayah
atau sebaliknya? Saya mengharapkan balasan, semoga Allah memberikan
ganjaran kepada Antum.
J: Kami menjawab atas pertanyaan ini bahwa birrul walidain (berbakti
kepada ibu bapak) kewajiban yang paling wajib dilakukan manusia terhadap
manusia berdasarkan firman Allah :
“ Hendaklah kalian beribadah kepada Allah dan janganlah kalian
menyekutukanNya dengan sesuatu apapun dan hendaklah kalian berbuat baik
kepada ibu dan bapak”.
Dan Firmannya :
“ Dan rabbmu telah mewasiatkan, janganlah kalian beribadah kecuali
kepadaNya dan berbuat baiklah kepada ibu dan bapak”.
Dan firmanNya :

105
“ Hendaklah engkau bersyukur kepadaKu dan berterima kasihlah terhadap
kedua orang tuamu, KepadaKulah engkau kembali.”
Dan banyak sekali hadits-hadits yamg semakna dengan ayat-ayat
diatas.
Kewajiban atas setiap orang untuk berbakti kepada kedua orang
tuanya, ibu dan bapak, berbuat baik kepada keduanya dengan harta, tenaga,
kedudukan dan segala bentuk kebaikan yang mampu ia lakukan, sampai-
sampai Allah berfirman:
“ Kami wasiatkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada ibu bapaknya.
Ibunya mengandung dalam keadaan lemah bertambah lemah ……. “. Allah
memerintahkan untuk bergaul dengan ibu bapak yang musyrik dan keduanya
berupaya dengan sungguh-sungguh memerintahkan anaknya untuk berbuat
syirik meskipun demikian Allah memerintahkan untuk bergaul dengan
keduanya di dunia secara baik-baik. Apabila terhadap orang tua yang musyrik
kita wajib berbuat baik kepadanya tentu kepada orang tuamu yang engkau
sebutkan bahwa keduanya selalu bertengkar wajib pula atasmu berbuat baik
kepadanya. Ada dua kewajiban yang harus engkau lakukan.
Pertama, mengenai perselisihan yang terjadi antara kedua orang tuamu wajib
atasmu untuk berusaha sekuat tenaga mendamaikan antara keduanya sehingga
hilanglah permusuhan, kebencian dan perselisihan antara keduanya diganti
dengan suasana yang damai dan tentram sehingga tercipta kehidupan yang
bahagia.
Kedua, Wajib atasmu untuk berbuat baik kepada ibu dan bapak kedua-duanya.
Bisa saja untuk menghindarkan marah salah satu pihak dengan cara
menyembunyikan perbuatan baik kepada pihak lainnya. Engkau berbuat baik
kepada ibumu tanpa diketahui ayahmu dan engkau berbuat baik kepada
ayahmu tanpa diketahui Ibumu, dengan ini engkau dapat menjalankan
kewajiban berbuat baik kepada keduanya. Engkau tidak boleh puas dengan
perselisihan yang terjadi dan tidak boleh diam dengan marahnya salah satu

106
pihak jika engkau berbuat baik kepada pihak lainnya. Wajib atasmu untuk
menjelaskan kepada masing-masing ibu dan ayahmu bahwa berbuat baik
kepada salah satu dari keduanya tidak berarti memutuskan hubungan kepada
yang lain tapi wajib untuk berbuat baik kepada kedua-duanya sesuai dengan
apa yang Allah perintahkan.
(Syaikh Ibnu Utsaimin, Fatawa Islamiyyah Juz 4 hal 196-197)

17. Orang tua melarang anaknya bergaul dengan orang baik – baik

S Jika kedua orang tuaku melarangku bergaul dengan teman – temanku yang
baik, melarangku bepergian bersama mereka untuk menunaikan umroh, sedangkan
saya baru mulai berkonsisten dalam berIslam, apakah wajib atas saya untuk taat
kepada larangan keduanya tersebut ?

J Engkau tidak boleh taat kepada keduanya dalam maksiat kepada Allah, hal itu
merugikanmu berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam :
“ Bahwasanya ketaatan itu dalam hal yang ma’ruf “.
“ Tidak ada taat kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah Pencipta”.
Jangan taati orang yang melarangmu bergaul dengan orang – orang baik dan
jangan taati orang yang menyuruhmu bergaul dengan orang – orang tidak baik
meskipun yang menyuruhmu orang tuamu sendiri, tapi ajaklah bicara kedua orang
tuamu dengan kata – kata yang lembut dan lebih baik lagi seperti engkau katakan, “
wahai ayahku, wahai ibuku engkau mereka itu orang baik – baik, banyak saya dapat
manfaat dengan bergaul bersama mereka, saya dapat menuntut ilmu dan hati saya
menjadi semakin lembut”. Engkau bantah mereka berdua dengan kata – kata yang
lembut dan dengan cara yang baik tidak dengan keras dan kasar. Apabila mereka
berdua tetap melarangmu maka jangan beritahu mereka kalau anda bergaul dan
berhubungan dengan orang – orang baik, jangan anda beritahu kedua orang tua kalau

107
anda pergi dengan teman – temanmu yang baik jika orang tuamu tidak setuju hal ini.
Wajib anda taat kepada orang tuamu dalam hal yang baik tapi jika keduanya
menyuruhmu bergaul dengan orang – orang yang tidak baik, menyuruhmu merokok,
minum khamar, berzina atau maksiat lainnya maka anda tidak boleh mentaatinya
berdasarkan dua hadist yang telah disebutkan sebelum ini, wabillahi taufiq.
( Syaikh bin Baz, Fatwa Islamiyyah juz 4 hal 206 ).

18. Sikap Anak Terhadap Ayah Yang Telah Menelantarkannya.

S Saya bertugas sebagai tentara dan mendapatkan gaji yang cukup lumayan.
Sebagian dari pendapatan saya, kuberikan untuk ibuku sebagai penghargaan
kepadanya atas jasa ibu yang telah membesarkan dan membiayaiku dan saya tidak
pernah memberi apapun untuk ayah yang telah menelantarkan saya sejak kecil,
apakah saya berdosa ?
J Berbakti kepada kedua orang tua termasuk kewajiban yang paling penting
meskipun keduanya tidak pernah membiayaimu ketika kecil berdasarkan firman
Allah :
“ Dan Rabbmu telah mewasiatkan janganlah kalian beribadah kecuali kepadaNya
dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua”.
Dan firman Nya:
Wajib atasmu untuk berbuat baik kepada ayahmu dengan perbuatan dan
ucapan dan apabila dia membutuhkan bantuan materi maka kamu harus membaginya
dan gajimu selama tidak membuat mudharat untukmu dan keluargamu berdasarkan
sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam :
“ Tidak boleh ada mudharat dan tidak boleh membuat mudharat
kepada orang lain “.
Bagi ayahmu berhak untuk meminta kepadamu apa yang ia butuhkan berupa
harta apabila engkau memiliki kelebihan berdasarkan sabda Nabi Shallahu alaihi wa
Sallam :

108
“ Sesungguhnya yang paling baik yang engkau maka adalah hasil dari usahamu,
dan sesungguhnya anak – anakmu adalah hasil dari usahamu”.
Kami berwasiat kepadamu agar berbuat baik kepada ayahmu dan
ibumu dan bersungguh – sungguhlah dalam perbuatan baikmu dan
berupayalah untuk mendapatkan keridhaan keduanya berdasarkan Sabda Nabi
Shallallahu alaihi wa Sallam :
Ridho Allah didapat dengan adanya ridha kedua orang tua, dan murka Allah
diperoleh dengan adanya murka kedua orang tua”.
Semoga Allah memberi taufikq kepada semuanya.
( Syaikh bin baz, ditulios dari “ Fatwa Islamiyyah “ juz 4 hal 209 ).

19. Nasehat Untuk Da’I Yang Selalu Berwajah Cemberut.

S Sebagian orang yang kami anggap berpegang teguh dengan dien Islam
bersikap keras kalau kepada manusia, sebagian dari mereka selalu berwajah
cemberut, apa nasehat antum untuk mereka ? Apa kewajiban muslim terhadap
saudaranya yang melakukan pelanggaran ?

J Berdasarkan Sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa kewajiban


manusia untuk berdakwah kepada Allah dengan hikmah, lemah lembut dan
memudahkan, Allah berfirman,
“ Serulah manusia kepada jalan Rabbmu dengan hikmah, nasehat yang baik
dan berdekatlah dengan mereka cara yang baik “.
Allah berfirman pula,
“ Dengan sebab rahmat dari Allah engkau berlaku keras dan berhati kasar
niscaya mereka kan lari darimu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun
untuk mereka.”
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengabarkan :

109
“ Sesungguhnya Allah memberi ( kepada seseorang ) dengan sebab kelemah
lembutan yang tidak Allah berikan ( kepada orang lain ) dengan sebab
kekasaran “.
Beliau berpesan jika jika mengutus utusan ,
“ Mudahkanlah janganlah mempersulit ( manusia ), berilah kabar gembira
janganlah membuat ( orang lain ) lari, sesungguhnya kalian diutus untuk
mempermudah bukan untuk mempersulit “.
Begitulah seorang Da’I seharusnya ia bersikap lemah lembut, berwajah ceria,
lapang dada sehingga lebih memungkinkan dakwahnya diterima orang lain.
Wajib atas dia menjadikan dakwahnya kepada Allah jadilah ia orang yang ikhlas,
Allah akan memudahkan urusannya dan melalui dia banyak manusia
mendapatkan hidayah Allah. Tapi jika ia menyeru kepada dirinya, seolah – olah
mencari pembenaran untuk dirinya, dan orang lain dianggap sebagai musuhnya
yang hendak membalas dendam, maka dakwahnya tidak lurus, bisa jadi dicabut
berkahnya. Nasihatku kepada saudara – saudaraku para da’I agar mereka
menyeru manusia disertai rasa kasih sayang kepada mereka dan dalam rangka
mengagungkan dien Allah dan membelaNya.
( Syaikh Ibnu utsaimin, fatwa islamiyah juz 4 hal 281 – 282 ).

20. Bergaul dengan orang kafir menghilangkan kecemburuan kepada agamamu


S. Saya tinggal di Yordania menempati rumah di lingkungan yang mayoritas
penghuninya dari saudara-saudara yang beragama Kristen, kami sering makan
dan minum bersama-sama mereka, apakah shalat saya batal, apakah saya tidak
boleh tinggal di lingkungan tersebut?
J. Sebelum menjawab pertanyaanmu saya ingin mengoreksi ucapan yang saya
harapkan tidak sengaja keluar dari lisanmu yaitu ucapanmu,”saudara-saudara
yang beragama Kristen”, sesungguhnya tidak ada persaudaraan antara kaum
muslimin dan nashara selama-lamanya, yang ada adalah ukhuwwah imaniyyah
sebagaimana Allah berfirman yang artinya,

110
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara” (Surat Al Hujuraat 10).
Apabila kekerabatan nasab menghilangkan persaudaraan dengan sebab perbedaan
agama bagaimana bisa menjadi bersaudara dengan adanya perbedaan agama dan
kekerabatan sekaligus? Allah berfirman menyebutkan kisah Nuh dan anaknya
ketika Nuh Alaihis Salam mengatakan,
" Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu,
sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah
kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahuinya.
Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk
orang-orang yang tidak berpengetahuan."(Surat Huud 46)
Tidak ada persaudaraan antara muslim dan kafir selama-lamanya, wajib atas
setiap mukmin untuk tidak menjadikan orang kafir sebagai pelindung
sebagaimana firman Allah,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan


musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka ,
karena rasa kasih sayang …” (Surat Al Mumtahanah 1)
Siapakah musuh-musuh Allah? Mereka adalah orang-orang kafir, Allah
berfirman, “….”
Allah berfirman,”…”
Tidaklah halal bagi seorang muslim untuk mensifatkan orang kafir _siapapun
dia apakah yahudi, nasrani, majusi,ateis atau lainnya- sebagai saudara. Hati-
hatilah wahai saudaraku menggunakan ungkapan seperti ini.
Adapun jawaban atas pertanyaan saya mengatakan anda harus menjauhi
bergaul dengan orang-orang kafir karena bergaul dengan merreka akan
menghilangkan kecemburuanmu terhadap agamamu dari hatimu, bahkan bias
mengakibatkan kecintaan kepada ereka, Allah berfirman, “…”
(Syaikh Ibnu Utsaimin, Fatawa Islamiyyah juz 1 hal 123-124)

111
PENUTUP
Maraji:
1. Fan At Ta’amul Ma’an Nas, Dr. Abdullah Al Khatir rahimahullah
2. Adabul Isyrah Wa Dzikrus Shuhbah Wal Ukhuwwah, Badruddin Muhammad
Al Ghazzy rahimahullah, tahqiq Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid.
3. Al Akhlak Was Siyar Fi Mudawatin Nufus, Imam Ibnu Hazm rahimahullah
4. Raudhatul Uqala Wa Nuzhatul Fudhala, Imam Ibnu Hibban rahimahullah
5. Al Farqu Baina An Nashihah Wat Ta’yir, Imam Ibnu Rajab rahimahullah

112
6. Ad Da’u Wad Dawa / Al Jawabul Kafi, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
7. Al Fawaid, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
8. Zaadul Ma’ad, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
9. Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
10. Shahih Al Jamiush Shaghir, Syaikh Al Albani rahimahullah
11. Syarah Riyadhush Shalihin, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
rahimahullah
12. Kitabul Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah
13. Bahjatun Nadzirin Syarah Riyadhush Shalihin, Syaikh Salim Al Hilali.
14. Fikih Nasehat, Fariq Gasim Anuz.
15. Bengkel Akhlak, Fariq Gasim Anuz.
16. Diwan Imam Syafi’i, Muhammad Afif Az Za’bi.
17. Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi rahimahullah
18. Mukhtashar Minhaj Al Qashidin, Imam Ibnu Qudamah rahimahullah
19. Silsilah Ahadits Dhaifah, Syaikh Al Albani rahimahullah
20. Silsilah Ahadits Shahihah, Syaikh Al Albani rahimahullah
21. Ma La Yasa’u Al Muslimu Jahluhu Min Dharuriyat At Tafakur, Syaikh
Abdurrahman bin Yahya Al Mu’allimi rahimahullah
22. Hilyatu Thalibil Ilmi, Syaikh Bakr Abu Zaid.
23. Ighatsatul Lahafan, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
24. Tafsir Ibnu Katsir.
25. Tafsir Ath Thabari.
26. Al-Mu`in `ala Tahshil Adabil `Ilmi wa Akhlaqil Muta`allimin, Syaikh Ali
Hasan Abdul Hamid yang dikumpulkan dari buku Al-Fatawa As-Sa`diyah
27. Fiqhu At Ta’amul Ma’a An Naas, Hamad Hasan Raqith

113

Anda mungkin juga menyukai