Anda di halaman 1dari 144

2

MY HAPPINESS
Karya Rhea Ilham Nurjanah, dkk
ISBN: 978-623-6932-22-3

Copyright © 2020, Rhea Ilham Nurjanah, dkk


Hak cipta dilindungi undang-undang (All right reserved)

Editor: Nurjanah Mulyawati


Layout: Abu Naufal
Desain Cover: Alfafa Art Design

Cetakan I: Januari 2021


Kategori: Bunga Rampai
Perpustakaan Nasional RI:
Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Diterbitkan oleh:
RUMAH MEDIA
Jalan Swadaya 1 - Pejaten Timur
Pasar Minggu - Jakarta Selatan
rumahmediagrup@gmail.com
www.rumahmediagrup.com

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


3

Kata Pengantar

Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamualaikum wr wb.
Alhamdulillah, kami panjatkan syukur ke hadirat-Nya karena
atas berkat rahmat dan kasih sayang-Nya, antologi ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya. Salawat dan salam bagi
junjungan kita semua, Rasulullah Muhammad SAW. Terima
kasih kami haturkan kepada keluarga yang senantiasa
mendukung aktivitas menulis sehingga buku ini dapat
terwujud dan kepada Pak Ilham Alfafa selaku Founder Nubar
Rumah Media Grup yang sudah berupaya memfasilitasi
kreativitas para penulis dalam rangka meramaikan dunia
literasi Indonesia.
Pernah mendengar ungkapan “setiap orang berhak untuk
bahagia”? Sebenarnya apakah hakikat bahagia itu? Bagaimana
efek bahagia bagi kehidupan kita? Apakah arti bahagia pada

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
4
setiap orang itu sama? Apa sajakah hal-hal yang membuat kita
merasa bahagia? Sudahkah kita mencapai bahagia di dalam
hidup saat ini?
Ke-17 penulis di dalam antologi ini akan mengupas
tuntas akan keinginan, perjuangan dari menciptakan, dan
mendapatkan rasa bahagia. Bagaimanakah kisah-kisahnya?
Adakah definisi bahagia mereka sama dengan yang kita miliki
saat ini?
Semoga bisa menginspirasi, memotivasi dan memberikan
pencerahan kepada para pembaca buku ini. Selamat menikmati
sajian istimewa dari kami. Semoga bermanfaat. Barakallahu
fiiq. Wassalamualaikun wr wb.

Cimahi, Januari 2020


PJ. Rhea Ilham Nurjanah

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


5

Daftar Isi

Kata Pengantar – 3
Kunci Bahagia (Rhea Ilham Nurjanah) – 7
Takhayul Bahagia Bak Hisap Mariyuana (Vethria Rahmi) – 13
Ikhlas Tak Bertepi (Sartina Manik) – 23
Ada Cinta di Pasar “Becek” (Dian Munasir) – 31
Darkside “Pulang” (Sarah Nurul Fadillah) – 39
Meramu Bahagia dengan Mendamaikan Jiwa (Nur Alfi
Yuliati) – 45
Travelling is My Happiness (Ibrasia) – 53
Blessing You with Smile (Ery Prasetyo) – 59
Yakini, Amini, Rasai (Imma Nur Faida) – 67
My Happiness (Meyda Sultan Darusman) – 75
Bahagia itu Sederhana (Farikhah) – 83
Jangan Lupa Tersenyum (Lucia Tutut Widiati) – 91
Kan Kutemukan Bintangku (Iffa Khaira) – 99

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
6
Bahagiaku (Nurul Fiqriyah) – 105
Bahagia Beda Bahagia (Riko Anjuja) – 113
Bahagia Itu …? (Arieska S.) – 119
Buku Kebahagiaan (Frida Aulia) – 123
Tentang Penulis - 133

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


7

KUNCI BAHAGIA
(Rhea Ilham Nurjanah)

Apa yang dilakukan oleh Abdurrahman bin Auf radhiyallahu


anhu saat diperdengarkan perkataan Rasulullah Muhammad
SAW melalui lisan Bunda Aisyah radhiyallahu anha bahwa
kelak dirinya akan mencapai surga kelak dengan perlahan-
lahan? Hal tersebut dikarenakan harta yang dimilikinya sangat
berlimpah sehingga akan menjadi pemberat hisabnya di akhirat
kelak.
Saat teringat akan perkataan Rasulullah SAW itu,
Abdurrahman bin Auf radhiyallahu anhu seketika merasa
sedih tetapi sekaligus bersemangat. Tanpa menunggu lama,
lelaki yang menjadi salah satu yang termasuk ke dalam
“Assabiqunal Awwalun” atau sepuluh orang yang pertama
kali masuk Islam tersebut segera menyedekahkan seluruh harta
yang dimilikinya tanpa tersisa sedikit pun. Semua di-
lakukannya semata untuk mendapatkan rida Tuhannya. Ia
merasa bahagia karena Allah SWT memperkenankannya

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
8
menjadi salah satu ahli surga, sehingga tak ingin merusak
kebahagiaan akan takdir baik tersebut. Abdurrahman bin Auf
menunjukkan rasa syukurnya dengan berbuat apa pun yang
akan membuat Allah SWT rida padanya.
Pun saat saudagar kaya raya di Madinah itu dengan
sukacita memborong semua hasil panen kurma kaum muslimin
yang gagal dan sudah membusuk akibat terlalu lama ditinggal
berperang. Ketika tiada sepeser pun uang di tangannya,
Abdurrahman bin Auf radhiyallahu anhu justru merasa
bahagia. Ia bahagia karena seluruh kaum muslimin yang
semula bersedih kemudian bersyukur dan bergembira.
Apa yang dirasakan salah seorang panglima perang
gagah dan tangguh yang merupakan salah satu dari 60 sahabat
Rasulullah SAW yang dijamin masuk surga Ketika ditakdirkan
Allah SWT menemui ajal di atas pembaringannya? Padahal di
setiap peperangan yang dipimpinnya, Khalid bin Walid
radhiyallahu anhu tak pernah merasa gentar jikalau tak dapat
kembali pulang dengan selamat karena menemui syahid. Justru
syahidlah yang teramat dirindukannya. Ia sungguh rindu
memberikan bukti cinta pada Rabbnya lewat pengorbanan
nyawanya. Sebab mati syahid adalah cara terindah dan terbaik
bagi seorang hamba untuk menghadap Rabbnya kelak.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


9
Khalid bin Walid radhiyallahu anhu sungguh bersedih
sebab Allah SWT tak mengizinkannya menjemput kematian
lewat syahid seperti para sahabatnya yang mendahuluinya. Ia
sungguh-sungguh berharap dan akan tersenyum dengan
sangat bahagia jika memperoleh syahid. Bukankah sering kita
melihat wajah-wajah para syuhada tersenyum dalam tidur
panjangnya. Seolah mereka tengah merasakan sebuah ke-
bahagiaan yang tak terbayangkan oleh manusia yang masih
hidup.
Apa yang membuat para tentara dan pemimpin pasukan
Salibis seolah terpaku tak berdaya di hadapan armada perang
pimpinan Sultan Muhammad Al Fatih? Setiap peperangan
yang dihadapi oleh bala tentara Sultan Muhammad Al Fatih
seolah-olah adalah sebuah taman yang dipenuhi dengan
kesenangan. Kesenangan karena dekat dengan cita-cita ter-
tinggi mereka yaitu syahid. Tiada kata takut mati. Yang ada
rasa bahagia jika Allah SWT menakdirkan mereka memperoleh
syahid.
Hal ini yang membuat musuh mereka mendadak gentar
dan hilang semangat sekali pun perang yang sesungguhnya
bahkan belum juga dimulai. Sebab nyali mereka mendadak ciut
melihat performa para prajurit kesultanan Turki, yang seolah
tiada mengenal kata takut mati atau pun gentar. Tiada yang

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
10
lebih mencintai kematian dengan cara syahid kecuali para
perindu-Nya. Syahid adalah puncak kebahagiaan tertinggi
sebagai tiket utama menuju surga-Nya.
Pernah mendengar nama Uwais Al Qarni radhiyallahu
anhu? Dia adalah pemuda miskin yang hidup sezaman dengan
Rasulullah SAW. Semula dirinya bukan siapa-siapa. Tak
terkenal. Tidak pula kaya raya. Wajahnya juga biasa saja,
bahkan dikatakan bahwa Uwais Al Qarni radhiyallahu anhu
menderita semacam penyakit kulit. Penyakit sopak yang
membuat warna kulitnya belang-belang dan kurang sedap
dipandang mata.
Dia mendapatkan salam dan keberkahan dari seluruh
penghuni langit hanya karena sanggup menunjukkan bakti
kepada sang ibunda dengan caranya sendiri. Cara yang unik,
yang sempat mendapat cibiran dari orang-orang sekitarnya.
Tak terbayang pula pada awalnya, bagaimanakah ia dapat
memenuhi permintaan sang ibu sementara kondisi mereka
sangat miskin dan kekurangan?
Bagi Uwais, kebahagiaannya adalah ketika melihat
dirinya sanggup memenuhi permintaan sang ibu untuk dapat
berhaji. Sekalipun ia harus memikirkan bagaimana caranya.
Tak sedikit pun ia mengeluh ketika menjalani strategi yang
sudah dibuatnya sejak jauh-jauh hari untuk sang ibu. Rasa

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


11
bahagia itu tak terlukiskan dengan kata-kata ketika akhirnya ia
mampu dan melihat rona kebahagiaan dan rasa syukur
terpancar dari wajah tua sang ibunda.
Satu keyakinan di dalam diri Uwais Al Qarni
radhiyallahu anhu bahwa jika ibunya merasa bahagia dan rida
kepadanya maka segala kebaikan dari Allah SWT pasti akan
tercurah kepadanya. Pemuda salihah itu telah memilih caranya
sendiri untuk bisa menggapai hidup bahagia di dunia dan di
akhirat kelak. Hal ini yang membuat Rasulullah SAW me-
mujinya sekalipun mereka belum pernah bersua.
Apa pula yang dirasakan Fatimah Az Zahra radhiyallahu
anha Ketika sang ayah membisikkan kata bahwa beliau akan
segera menjumpai Rabbnya? Wanita salihah itu menangis
sedih. Sedih karena ayah yang sangat dicintainya akan pergi
meninggalkannya. Tetapi kesedihannya segera sirna ketika
sang ayah kembali membisikkan kata-kata yang membuatnya
tertawa dan tersenyum bahagia.
Ketika Aisyah radhiyallahu anha menanyakan apa yang
menyebabkannya tertawa, maka Fatimah membacakan sabda
Rasulullah SAW, “Dan engkau adalah orang pertama dari
keluargaku yang menyusulku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Apa yang bisa kita ambil dari beberapa contoh kisah
orang-orang hebat di atas? Apa arti bahagia lewat kacamata

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
12
Allah SWT? Bahagia tatkala kita telah berhasil menjadi hamba-
Nya yang terbaik dengan memperoleh rida-Nya. Lewat cara
yang diinginkan-Nya. Dengan perjuangan yang sanggup kita
lakukan. Wallahu alam bishowab.

***

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


13

TAKHAYUL BAHAGIA
BAK HISAP MARIYUANA
(Vethria Rahmi)

Bahagia memang menyenangkan dan manusiawi. Padahal


antara perasaan bahagia dan cara hidup benar, 2 hal yang
berbeda. Bahagia itu sebagai keadaan senang dan tentram, tapi
dalam arti bebas dari segala yang menyusahkan. Sebagaimana
tertera dalam KBBI. Sedangkan cara yang benar tidak bebas
dari segala yang menyusahkan melainkan harus siap
menghadapi kesusahan demi kesusahan.
Menurut Franz Magnis-Suseno, Hedonisme adalah
pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan
menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak
mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-
perasaan yang menyakitkan. Sedangkan menurut Lorens
Bagus, Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa
kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan
tindakan manusia.

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
14
“Abi! Kenapa keinginan bebas dari segala yang
menyusahkan, itu berbahaya?” tanyaku menelisik perspektif
suamiku.
Dia sedikit tersentak. Seakan heran dengan apa yang
kutanyakan. Dilihatnya mataku seolah ingin tahu apa motif
pertanyaanku itu.
“Keinginan begitu biasanya ilusi. Hidup ini tidak pernah
berhenti dari segala yang menyusahkan, kesulitan, kesedihan,
kecuali mati,” jawabnya pendek saja sehingga aku belum puas.
“Kenapa orang terlihat senang secara duniawi, tapi bisa
depresi berat dan bunuh diri?”
“Karena kita sering melihat apa yang tampak, tapi kurang
melihat yang tersembunyi.”
“Yang tersembunyi maksudnya: perasaan, pikiran, dan
ilmu, bukan, Bi?” tanyaku.
“Iya, Bunda. Tapi kita biasanya kurang menyadari
perasaan sendiri itu tergantung jalan pikiran kita. Makanya
bagaimana memastikan pikiran dapat berjalan sesuai jalan
pikiran yang Allah ridai. Sampai kita jadi merasa tidak punya
ilmu dan merasa selalu bersalah,” jawabnya lebih panjang,
membuatku berpikir keras.
“Hmm … tujuannya supaya kita terus membina diri,
kan? Apakah manusia tidak berhak merasa bahagia, Bi?”

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


15
cecarku kemudian, sebagaimana banyak orang berpikir
demikian.
“Hak yang diberikan Allah hanya 2. Bertujuan hidup
bahagia tapi Allah tak rida dan atau bertujuan yang Allah rida,
tapi kita tak bahagia,” jawabnya singkat saja.
Tapi aku ragu. “Mengapa tidak ada pilihan, bertujuan
hidup bahagia yang Allah rida?”
“Bahagia itu konotasinya negatif. Sedangkan yang Allah
rida konotasinya positif. Semua yang negatif, bila dicampur
dengan positif, pasti hasilnya negatif. Contoh lain, melacur itu
negatif. Sedangkan yang Allah rida itu positif. Tidak pernah
positif hasilnya kalau melacurkan yang Allah rida, bukan?
Begitu juga bahagia yang Allah rida tidak mungkin itu bisa
positif. Karena bahagia itu artinya hidup bebas dari segala
kesusahan. Tentu hayalan itu tidak ada yang Allah ridai. Itulah
takhayul bahagia bak menghisap mariyuana,” katanya.
Aku masih tak terima. Batinku menolak. Mosok Allah
setega itu.
“Kenapa Allah tak rida melihat kita ingin bebas dari
segala kesusahan. Bukankah Allah itu Maha Kuasa? Bahkan
semua pencipta karya terbaik apapun pasti sayang pada
karyanya?” tanyaku membandingkan.
Menurut suamiku hakikat penciptaan manusia oleh
Allah adalah untuk menguji dan menyaring siapa gerangan

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
16
manusia yang mau bertujuan berbuat tepat. Saleh, sesuai Al
Quran. Aku berpikir apa ujian Allah mudah, ternyata ujian
Allah itu susah sebagaimana QS. Al Baqarah: 214. Tapi Allah
tidak memaksa.kan pada manusia hak memilih keyakinan
sesuai upaya pembelajarannya, tanpa pandang bulu asal tahu
aja akibatnya.
Kenyataannya banyak orang tidak mau tahu apa saja
pilihannya (alternatifnya) dan akibatnya berdasarkan Al-
Quran, sehingga kurang kritis apa maunya Allah. Manusia
terlalu sibuk memikirkan maunya sendiri dan banyak meminta
kepada Allah seakan kedudukan Allah sebagai stafnya yang
harus mengabulkan semua keinginan duniawinya.
Bukankah Allah hanya menyayangi yang mau berakal
dan mematuhi-Nya? Sebaliknya, Allah tentu benci pada yang
melawan perintah-Nya dan hidup semaunya. Manusia men-
ciptakan apapun pasti benci melihat karyanya yang melawan
harapannya. Misalnya, kita bikin rumah tapi rumahnya
ambruk dan menimpa anak kita, Apa kita suka? Begitu juga
manusia yang merusak pikirannya dan pikiran orang lain
dengan hayalan bahagia. Apakah Allah Sang Maha Pencipta,
suka?
“Kalau hidup ini sebagai ujian, berarti yang kita
butuhkan soal-soal pokok dan kunci jawabannya dari Allah.
Bukan begitu, Bi?” tanyaku mencoba menyimpulkan.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


17
“Iya, tapi soal-soal dan kunci jawabannya ada dalam Al
Quran. Dalam rangka itulah Allah kurniai kita mata, telinga
dan kalbu. Bukan untuk permainan dan senda gurau.
Meskipun demikian, Allah menyayangi orang-orang bertaubat
yaitu yang membersihkan (QS. Al Baqarah,2: 222),” jawabnya
meluruskan.
“Membersihkan apriori, fitnah, mitos dan modus jahat
sesuai Al Quran yang Allah ridai?”
Suamiku menarik napas dalam, “Bahkan bukan hanya
sami’naa tapi juga atha’naa. Sebagaimana Rasulullah pertama
kali menelaah wahyu dari QS. Al-Alaq:1-5 dan surat Al-Qalam
dan seterusnya satu persatu diamalkan sampai menjadi
khuluqin adzhiem,” terangnya.
“Susah juga, Bi, mengikuti jejak langkah Rasulullah.
Tidak ada pilihan mudah?” Aku mencoba menawar.
“Cita-cita harus tinggi, hasil bukan urusan kita. Asal
bukan khayalan duniawi yang tinggi apalagi untuk tinggi hati.
Tinggi menurut Allah, jadilah ‘aliman (ilmuwan Islam) au
muta’alliman (atau pembelajar Islam) au mustami’an (atau
pendengar islam) au muhibban (atau simpatisan Islam) wa laa
takun khamisan (jangan jadi golongan yang ke-5). Yang ke-5
inilah golongan jaahilan (golongan dungu),” Urainya mem-
berikan pilihan.

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
18
Ternyata itu maksud Allah tidak membebani manusia,
selain sesuai kemampuannya. Intinya kita wajib meningkatkan
kemampuan kita, agar hari esok bisa lebih baik dari hari ini.
Meningkatkan kemampuan pun butuh kesungguhan. Siapa
saja yang sepenuh hati berjuang menurut jalan Allah, niscaya
Allah bimbing ke jalan hidup Allah. Jalan hidup Allah itu Islam
yang memberdayakan kita. Bukan yang melemahkan, apalagi
yang memperdaya.
“Menerima hasil penafsiran guru, apa tidak cukup, Bi?”
tanyaku mengujinya.
Kali ini jawabannya di luar dugaanku, “Terima sebagai
perbandingan. Kita bisa menilai mana yang baik dan buruk
tentunya setelah diketahui seberapa banyak perbandingan
yang kita terima. Setelah itu dipilah-pilah dan dipilih. Semua
guru agama Islam kan mengakui sumber ajarannya dari Al
Quran. Ada baiknya mempelajari ilmu tafsir Al Quran dari
berbagai kaca mata. Intinya bagaimana agar kita benar-benar
yakin bahwa tiada keraguan pada Al Kitab. Karena keyakinan
itulah yang membuat kita lepas dari hayalan semu bahagia,”
ulasnya.
“Kenapa yang terbayang menjadikan Al Quran langsung
sebagai pedoman, begitu rumit?”
“Iya sulit kalau keinginan kita kayak mau naik tangga
tapi maunya sekaligus 6 anak tangga dilompati. Tapi mudah

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


19
kalau kita tahu tahapannya dan memulainya hanya selangkah
saja. Kemudian selangkah lagi dan selanjutnya selangkah lagi.
Begitu saja seterusnya dengan istikamah. Allah juga melarang
melangkah dengan cara yang berlebihan,” jawabnya, mengena
ulu hati.
“Bukankah hanya Allah yang tahu mana penafsiran yang
benar, Bi?” pancingku lagi.
“Allah bukan hanya Maha Tahu, tapi lebih dari itu. Yang
paling memberi tahu, tapi kebanyakan manusia kan tidak mau
tahu!” ketus suamiku mantap.
“Kalau begitu, bagaimana Allah memberi tahu penaf-
siran surat Al Alaq mulai dari ayat ke 1 itu?” ujiku.
Menurutnya surat-surat dalam Al Quran itu, ayat-
ayatnya sudah saling menafsirkan atau menerangkan. Se-
mentara ini yang perlu diperkuat justru azzam, kemauan yang
kuat untuk mengetahui linguistik Al Kitab. Baik deskripsinya
maupun enkripsinya. Kemauan mempelajari bahasa Al Quran,
tentu lebih memudahkan memahami kandungan Al Quran.
Akhirnya kusimpulkan, mempelajari kandungan Al
Quran bukan untuk bahagia. Tapi untuk meyakinkan diri
dalam rangka menegakkan yang benar itu benar dan yang
salah itu salah, sekalipun bersusah-susah dahulu. Dari ke-
yakinan adanya perbedaan benar dan salah, maka akhirnya
untuk memilih mau benar dan atau mau salah dengan segala

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
20
akibatnya. Asal jelas dulu apa saja pilihannya. Kini aku ragu
dengan propaganda hidup bahagia. Tapi aku jadi yakin, bila
tujuanku mempelajari Al Quran dan mengamalkannya dengan
benar, pasti aku merasakan kehidupan yang indah, puas, dan
menggembirakan.
Tujuan hidupku mencari Ilmul yaqin agar bisa mencapai
ainul yaqin dan haqqul yaqin. keyakinan yang benar bukan hasil
dugaan subyektif. Tapi harus dengan ilmu yang meyakinkan,
yang dapat kita verifikasi dengan kitab Allah oleh mata kepala
kita sendiri. Itulah keyakinan yang benar.
Karena manusia itu ciptaan Allah, maka sudah barang
tentu Allahlah yang paling tahu apa yang dibutuhkan manusia.
Harapan dan tujuan apa yang dibutuhkan manusia. Harapan
bahagia atau harapan berbuat selaras dengan kitab-Nya. Itu
sebabnya jika kita tidak tahu apa makna di dalam kitab pasti
tidak ada iman. Kalau tidak ada iman pasti hidupnya selalu
gundah gulana. Pasti tidak ada sejenis ruh pembangkit
semangat menurut perintah Allah. Kecuali semangat hedonis.
Kini tergambar bagiku betapa menakjubkan hidup yang
benar-benar mukmin itu. Karena segala keadaannya membawa
kebaikan. Dan itu hanya berlaku bagi mukmin. Jika mendapat
kesenangan, maka ia bersyukur dan bil mendapatkan ke-
susahan, maka ia bersabar. Ternyata tujuan hidup bahagia itu
hanyalah tipu daya setan. Maka para Rasul dan sahabatnya

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


21
meninggalkan segala bentuk kenyamanan duniawi demi
tegaknya kebenaran dan keadilan menurut Islam sekalipun
sangat sulit, tapi merelah yang beruntung di sisi Allah.
Demi tujuan bahagia, banyak orang fokus pada tujuan
membebaskan dari segala hal yang menyusahkan dengan cara
judi, mencuri, mabuk-mabukan, melacur, mengkonsumsi
narkoba, sampai bunuh diri. Dianggapnya orang bahagia itu
yang beruntung karena bebas dari kesusahan. Memang kata
“beruntung” adalah sebagai arti kedua dari kata bahagia, jika
ditinjau dari KBBI. Kalau bahagia itu beruntung maka yang
benar-benar berimanlah yang beruntung dalam arti mereka
berbuat saleh (tepat) dimana mereka saling menasihati dengan
kebenaran Al Quran secara konsisten. Beruntung karena
memenangkan dari perjuangan melawan nafsu sampai akhir
hayat.
Allah mempertemukan mereka yang bersih jiwanya di
dunia menjadi hasanah yang berakibat di akhirat juga hasanah.
Hasanah itulah harmoni. Dalam arti keselarasan antara pikiran,
perkataan dan tindakan sesuai Al Quran. Sebagaimana doa dan
tujuan mukmin dalam QS. Al Baqarah: 201.
Sampai sini bisa dipahami bahwa kesusahan itu asyik,
kalau disertai dengan kemudahan ilmu dari Allah. Selama kita
bertekad terus belajar dan berlatih menaklukkan kesulitan.
Proses hijrah di jalan Allah itulah kepuasan. Jadi bukan pada

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
22
hasil akhirnya. Tapi pada proses mempelajari Al Quran seraya
mendakwahkan dan meng-Qurankan kelakuan dan saudara
seiman. Laksana pohon yang tidak butuh memakan buahnya
(hasil) tapi hanya butuh tumbuh berkembang sesuai aturannya.

***

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


23

IKHLAS TAK BERTEPI


(Sartina Manik)

Pagi ini aku mendapat sebuah kejutan kecil dari muridku.


Seorang anak perempuan yang banyak dibenci oleh teman-
temannya karena dia suka usil dan punya kebiasaan suka sekali
mengambil barang milik temannya tanpa permisi, bukan hanya
kepada temannya melainkan kepada Guru dia juga begitu.
Kebetulan hari ini aku hanya masuk di jam terakhir yaitu
pukul 10.50 pagi hingga pukul 12.05 siang. Biasanya aku
berangkat dari rumah pukul 10.15 pagi agar tidak terlalu
terburu-buru saat masuk kelas. Tapi hari ini aku sengaja datang
setengah jam lebih cepat dari biasanya karena ada tugas yang
mau di print di sekolah.
Saat tiba di sekolah, kudapati lapangan sekolah masih
sepi, maklum karena proses KBM masih berlangsung. Masih
ada waktu 20 menit untuk istirahat. Setelah memarkirkan
sepeda motor, aku langsung bergegas menuju kantor sekolah
untuk menyelesaikan beberapa tugas. Saat yang bersamaan,
aku mampir ke kelas satu karena ada buku yang harus kuambil

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
24
dari meja guru. Suasana di kelas satu memang setiap hari ricuh,
jarang sekali mereka bisa tenang saat belajar. Oleh karenanya,
guru wali kelas maupun guru lainnya yang mengimpal di kelas
satu harus ekstra sabar dalam mengajari mereka, termasuk aku
salah satunya.
Saat itulah aku dihampiri oleh muridku yang sangat aktif
itu. Aku tak bisa mengatakan bahwa dia nakal, meskipun
kenyataannya memang begitu. Tapi, ada banyak istilah yang
seringkali kudengar bahwa “tak ada murid yang nakal
melainkan murid yang belum bertemu dengan guru yang
cocok dengannya”. Istilah ini juga yang seringkali kusugesti-
kan pada diriku sendiri bahwa mereka semua adalah anak baik
dan pintar. Mereka semua adalah bintang yang akan bersinar
bila ditempa sejak dini seperti yang dikatakan oleh pak Munif
Chatib, seorang pakar pendidikan yang menuliskan buku-buku
best seller bagi dunia pendidikan. Salah satunya yaitu “Gurunya
Manusia”. Buku itu sendiri telah kujadikan refleksi bagi diriku
sendiri agar lebih baik dalam mengajar, lebih ikhlas saat
mengajarkan ilmu pengetahuan.
“Ustazah, sinilah!” katanya padaku saat aku masuk ke
kelas mereka.
Dia tersenyum padaku dengan sumringah sembari
mengarahkanku ke bangkunya. Dia membuka isi tasnya dan
dengan senangnya ia menyerahkan padaku selembar kertas

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


25
yang berisikan gambar dua orang perempuan yang sedang
bergandengan tangan yang bertuliskan “Ustazah Tina” dan
“Dinda”. Dia tersenyum lebar manis sekali. Kalian tahu
bagaimana perasaanku saat membacanya? I feel over the moon,
bahagia sekali. Aku merasa terharu dan juga merasa sedikit
terenyuh. Bagaimana tidak?
Saat menyerahkanku gambar itu dia bilang padaku,
“Dinda sayang Ustadzah.”
Lalu teman-temannya sedikit menertawakannya tapi dia
bersikap acuh tak peduli. Seketika aku langsung memeluknya
dan membisikkan bahwa aku juga sayang padanya.
Kalian tahu mengapa aku sedikit terharu? Saat dia
menyerahkan kertas itu, aku merasa jadi guru paling
beruntung. Dalam hati terbersit sedikit penyesalan. Ya Allah,
apa pantas aku mendapat cinta darinya, padahal aku pernah
membencinya dan sedikit mengabaikannya? Karena dia, aku
menjadi lebih sabar dan lebih pintar meredam amarah.
Aku masih ingat saat pertama kali masuk ajaran baru, dia
tidak mau melakukan apapun. Tak ingin menulis, belajar atau
apapun yang berhubungan dengan belajar. Yang dia tahu
hanya usil menggangu temannya dan membuat temannya
menangis. Dia juga mau melakukan kontak fisik pada
temannya. Tak jarang temannya mengadu padaku akibat
pukulannya dan itu melelahkan sekali. Dia banyak dijauhi

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
26
temannya karena keusilannya tadi. Dia adalah muridku yang
paling nakal di kelas.
Butuh waktu lama bagiku mengambil hatinya dan butuh
banyak cara agar ia mampu mengikuti cara belajarku. Sadar
atau tidak, diam-diam aku menanam rasa kesal di hati
kepadanya, karena sikapnya yang menguji batas sabarku. Saat
aku menerangkan materi atau saat dia suka mengganggu
temannya yang sedang belajar. Hal itu memang benar-benar
membuaku bisa kalap dan berbuat hal di luar kendali, seperti
memarahinya bahkan membentaknya. Tak jarang aku
menyentil telinganya saat sudah lelah karena ulahnya.
Setiap kali aku marah kepadanya dia pasti men-
diamkanku sebentar dan semakin enggan untuk menulis. Tapi
dia tak pernah sekalipun benci kepadaku. Mungkin dia adalah
murid paling nakal yang kukenal dan membuatku sering kesal
kepadanya. Tetapi dia unik. Punya jiwa berbagi yang kuat. Dia
suka sekali meminjamkan pensilnya pada temannya yang
kelupaan atau membagi makanan miliknya meskipun yang dia
punya pas-pasan. Dia tak pernah sekalipun membenciku
meskipun aku seringkali marah kepadanya jika dia tak menulis
PR atau malas belajar. Hanya saja dia kadang mengabaikanku
sedikit dan aku harus pintar dalam membujuknya suapaya dia
mau belajar.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


27
Sebenarnya jauh dalam lubuk hati, aku sangat
menyayanginya dengan tulus. Jika dia tidak hadir di sekolah,
aku pasti mencarinya dan rindu. Setelah satu semester, dia
banyak berubah. Mulai dari mau menulis, tidak membentak,
dan suka meminta maaf saat dia berbuat salah. Dia banyak
berubah dan temannya mulai menyukainya. Menyadari
perubahannya itu bukan main senangnya.
Prinsip yang kupegang teguh hingga saat ini adalah
“ikhlas”. Apapun pekerjaan kita, maka harus ikhlas men-
jalankannya. Dalam mengajar, seringkali kesabaran diuji.
Mulai dari tenaga, pikiran, bahkan salary yang pas-pasan.
Semua terkadang menjadi pemicu. Bahkan tak jarang dari kita
yang mengeluhkannya, termasuk aku. Tapi, di balik itu semua
ada iktibar yang dapat kita pelajari. Ada kebahagiaan yang
dapat kita rasakan. Buah hasil dari kerja ikhlas kita selama ini
dapat kita cicipi.
Saat mereka memasuki semester pertama, saat menerima
rapor mereka, saat tiba-tiba ada wali murid yang kirim pesan
pribadi yang berisikan ungkapan terima kasih yang begitu
dalam karena telah mengajari anaknya dengan ikhlas—padahal
kadang diri sendiri lebih tahu bagaimana kondisi di kelas,
ikhlas atau tidak. Saat hari guru tiba-tiba ada yang memberi
hadiah. Pagi hari saat para murid tiba-tiba memberi salam

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
28
dengan mencium tangan dengan khidmat. Rasanya itu bahagia
sekali.
Aku pernah hampir menangis di hadapan murid-
muridku. Kalau tidak karena malu, pasti jilbabku sudah basah
semuanya. Saat itu aku ingat betul, ada muridku yang sangat
nakal, laki-laki dan juga murid pindahan. Sebut saja namanya
Dean. Tingkah lakunya tak jauh berbeda dengan muridku
yang perempuan ini, suka usil pada temannya, malas belajar.
Kala itu kami sedang belajar tentang mengenal kepribadian
santun. Lalu aku menyuruh semua siswaku untuk menuliskan
ciri-ciri bagaimana pribadi yang santun dan disenangi banyak
orang. Rata-rata mereka punya jawaban yang sama karena
materi ini sebenarnya sudah dibahas di hari sebelumnya.
Namun ada satu orang yang paling membuat hatiku kagum.
Anak laki-laki yang sering membuatku kesal jika sudah masuk
ke kelas mereka, anak yang hampir setiap hari kumarahi hanya
karena dia tidak mampu mengikuti gaya belajarku.
Dia menuliskan pada bukunya, “Aku anak baik. Aku tak
nakal hanya saja aku tidak suka dipermalukan jika salah dan teman-
teman suka sekali menertawakan Dean.”
Terenyuh hatiku seketika melihat isi tulisannya. Dalam
hati aku bertanya, benarkah aku telah mempermalukan dia di
depan temannya? Apakah aku telah benar dalam mendidik
mereka?

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


29
Banyak sekali pelajaran hidup yang kuambil dari mereka.
Tak jarang mereka berusaha merebut hatiku saat mood lagi
berantakan. Sering juga aku mengabaikan mereka saat aku
benar-benar kecewa jika mereka tak merespon materi yang
diberikan. Tapi, satu hal yang menjadi pelajaran berharga
bagiku. Mereka tak pernah membenciku meskipun aku sering
memarahi mereka. Dari mereka kudapatkan pelajaran berharga
bahwa dalam pekerjaan apapun, kita harus ikhlas. Barangkali
berkat mereka urusanku jadi dipermudah, barangkali karena
satu huruf yang mereka tahu menjadi penyebab mengalirnya
doa itu.
Kebahagiaanku saat aku ikhlas mengajari mereka dan
mereka jadi serba “tahu”. Bahagia itu saat mereka datang
menghampiriku, mencium tanganku, dan memberikan
senyuman tulus. Bahagiaku saat mereka yang seringkali
kumarahi namun mereka tetap mengatakan aku adalah guru
kesayangannya. Bahagiaku, saat di hari guru mereka
memilihku sebagai guru favorit mereka. Bahagiaku saat ada
wali murid yang mengucapkan terima kasih dengan
bangganya karena melihat perubahan yang meningkat baik,
dari yang tidak tahu baca sama sekali menjadi bisa baca, saat
anak mereka yang dulunya nakal jadi penurut, saat anak
mereka yang malas salat jadi rajin. Bahagiaku saat aku sedang
kalap lalu mereka datang memelukku dari belakang dan

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
30
mencium pipiku. Ah, anak-anakku memang sangat tulus
menyayangiku. Aku yang kurang peka kala itu.
Terima kasih, ya, Nak. Berkat kalian, Ustazah jadi paham
bagaimana mencintai kalian dengan sungguh-sungguh. Sebab
kalianlah, Ustazah jadi mengerti satu hal, bahwa tak ada murid
yang nakal melainkan guru yang tidak peka. Ustazah sayang
kalian.

***

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


31

ADA CINTA
DI PASAR “BECEK”
(Dian Munasir)

Hari ini, hari Sabtu. Rencananya, pagi ini aku mau ke pasar.
Ada beberapa pasar di kotaku. Di antaranya; pasar Anyar,
pasar Bogor, pasar Kemang, pasar Warung Jambu, pasar
Merdeka dan pasar Gunung Batu. Kali ini aku memilih untuk
belanja ke pasar Bogor karena cukup sekali saja naik angkot
dari rumahku untuk menuju ke sana. Lagipula, antara pasar
“becek” dan pasar “kering”nya berdekatan. Pasar “becek”
adalah istilahku untuk menyebutkan pasar tradisional yang
menjual sayuran, buah-buahan, lauk pauk mentah dan
beberapa barang dagangan lainnya dengan tempat yang begitu
sederhana.
Terkadang, tempatnya pun agak kotor dan becek akibat
hujan. Maka itu kusebut dengan pasar “becek”. Tak sedikit dari
para pedagang di sana yang menggelar jualannya di tanah.
Adapun pasar “kering” adalah pasar modern yang tempatnya
lebih bersih dan nyaman karena toko-tokonya dibangun secara
permanen. Di pasar ini lebih banyak dijual berbagai macam
pakaian, sepatu, tas, mainan anak-anak, dan sebagainya.

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
32
Jujur aku lebih menyukai belanja di pasar “becek”.
Rasanya happy kalau belanja di pasar itu. Padahal aku bukanlah
termasuk orang yang pandai menawar jika membeli sesuatu.
Bahkan rasanya nggak tega kalau mau menawar harga barang
yang dijual di pasar “becek” tersebut. Terus terang, hati kecilku
seolah mengatakan nggak usah ditawarlah. Tega banget kalau
kamu tawar-menawar sama pedagang kecil. Berapa sih
keutungan mereka dari hasil penjualannya?
Aku merasa belanja di pasar “becek” membuatku
nyaman, karena bertemu dengan para pedagang kecil tadi.
Bahagia sekali hati ini setelah membeli barang-barang jualan
mereka. Terutama saat mereka menerima uang pemberianku
dengan senyum ceria di wajahnya. Mereka bahagia, aku pun
bahagia.
Setelah sarapan pagi bersama keluarga, sekitar jam
delapan aku berangkat ke pasar Bogor. Biasanya, perjalanan ke
sana memakan waktu sekitar 20 menit, jika tidak terkena macet.
Aku mencoba menikmati perjalanan menuju pasar, merasakan
suasana sejuk kota tercintaku di pagi hari ini. Biasanya hari
Sabtu merupakan hari yang paling crowded dengan ke-
macetannya yang panjang di mana-mana. Hal ini disebabkan
banyak orang dari luar kota yang berkunjung ke Bogor untuk
mencicipi kulinernya yang bervariasi atau sekedar jalan-jalan
refreshing melepas penat di kota yang sejuk nyaman ini.
Sekitar jam setengah sembilan, angkot yang kutumpangi
tiba di pasar. Akupun bersiap turun.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


33
“Pak, stop kiri ya.” Pak supir menghentikan angkotnya.
Aku pun turun dan membayar uang sejumlah tiga ribu lima
ratus rupiah kepada pak supir. Ada dua orang ibu lainnya yang
ikut turun. Mungkin mau belanja juga, pikirku. Sepertinya arah
tujuan mereka sama denganku, mau ke pasar “becek”.
Mulailah aku menyusuri pasar “becek” ini. Pertama yang
kulihat adalah para pedagang buah. Ada penjual buah alpukat,
sirsak, bengkoang, kedondong, pisang, jeruk, pepaya,
semangka dan melon, bahkan buah kolang-kaling juga ada.
Ada satu buah yang merupakan buah khas kota Bogor. Apalagi
kalau bukan buah talas. Pasti dijual di pasar tradisional Bogor.
Jumlahnya pun lumayan banyak. Hmm … jadi membayangkan
makan kue lapis talas Bogor atau keripik talas Bogor yang
rasanya “nyummi” banget. Hehe. Pagi-pagi sudah meng-
khayal.
Aku terus melangkahkan kakiku menyusuri pasar
“becek” ini. Kali ini aku juga menemukan penjual buah duku.
Memang akhir-akhir ini sedang musim duku di Bogor. Duku
termasuk buah favoritku. Karena rasanya yang manis, hmm …
masya Allah, enak banget. Harganya juga relatif terjangkau,
bermanfaat, dan sehat.
Aku jadi teringat firman Allah dalam Al Qur’an, QS. Ali
Imran ayat 191, “Rabbana maa khalaqta haadzaa baathilaa. Ya Rabb
kami, apa yang Engkau ciptakan, tak ada yang sia-sia.”
Setelah melewati beberapa penjual buah, ada satu jenis
buah yang paling membuatku terkesan yaitu buah pisang.

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
34
Masya Allah, ada beberapa jenis pisang yang dijual di pasar ini.
Ada pisang emas, pisang ambon, pisang oli, pisang raja sereh,
pisang raja buluk, pisang kepok, pisang nangka dan khususnya
pisang tanduk yang juga cukup banyak ditemukan di Bogor.
Manfaat, kegunaan dan rasa dari beberapa jenis pisang
tersebut pun berbeda-beda. Masing-masing memiliki ke-
khasannya tersendiri. Ada yang dapat dimakan secara
langsung, dimasak sebagai campuran kolak, diolah menjadi
pisang goreng, dibuat menjadi keripik pisang, jus pisang, dan
bolu pisang.
Katanya hanya di Indonesia saja kita bisa menemukan
beragam jenis pisang ini. Wow, it’s so amazing, bukan? Really,
negara kita sangat kaya dengan buah-buahan. Ini merupakan
sebuah anugerah Ilahi yang luar biasa. Maha suci Allah yang
menciptakan segalanya. Sudah sepatutnya kita mensyukuri
nikmat dari Allah, karena jika kita bersyukur, maka Allah akan
menambahkan nikmat-Nya.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ibrahim: 7, “Dan
(ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika
kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu dan
jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih.”
Aku terus melangkahkan kakiku menyusuri pasar
tradisional ini. Setelah melewati para penjual buah, aku mulai
menemukan para pedagang sayur-mayur. Tentunya ada lebih
banyak jenis sayur yang menjadi pilihan menu masak.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


35
Kalau mau masak sayur sop, tersedia wortel, buncis,
kentang, kol dan daun bawang seledri. Jika pilihannya sayur
asem, tersedia pula labu, kacang panjang, daun melinjo, buah
tangkil, buah papaya muda dan kacang merah. Kalau mau
masak sayur bening, ada bayam, katuk, oyong dan ketimun
sebagai pilihannya atau mau masak sayur serba tumis, ada juga
kangkung, sawi putih dan sebagainya tergantung selera kita.
Jangan lupa membeli bumbu masaknya yang akan membuat
masakan kita menjadi istimewa.
Sambil belanja, aku memperhatikan wajah-wajah dan
sikap para pedagang yang ada di pasar ini. Betapa optimisnya
mereka menjalani hidup. Setiap hari bergulat dengan hiruk
pikuknya suasana pasar. Mereka lakoni episode demi episode
kehidupan. Saat panas menerpa atau tatkala hujan melanda.
Tak sedikit di antara mereka yang sudah stand by di pasar
menjelang dini hari, sebelum waktu Subuh, sekitar jam 2-3 pagi.
Mereka berjuang keras, bersusah payah, memeras tenaga,
berpeluh keringat demi mengais sesuap nasi. Mencari nafkah
untuk keluarga di rumah. Terpancar semburat keikhlasan dan
aura kesabaran dari wajah-wajah sederhana mereka. Wajah
yang terlihat apa adanya, tanpa polesan apapun. Aku yakin,
pasti ada di antara mereka yang wajahnya selalu dibasahi oleh
air wudu. Walaupun hidup tak bergelimang harta dunia,
namun mereka tetap beribadah kepada Allah. Meskipun
mereka tak kaya secara materi, tapi mereka kaya akan iman

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
36
kepada Rabb Sang Maha Pencipta. Mencoba mensyukuri apa
yang telah Allah anugerahkan kepada mereka.
Hari ini, aku memutuskan mau masak sayur asem
kesukaan suami dan anak-anak tercinta. Aku berhenti di depan
bapak tua penjual sayur yang berpeci dan berbaju koko putih.
“Pak, bawang merah dan bawang putihnya seperempat
kilo ya. Cabe merah sama cabe jablaynya campur beli lima ribu
aja, boleh kan?”
Si bapak tua menjawab, “Mangga. Apalagi, Neng?”
“Tolong buatkan sayur asem, ya, Pak. Nggak usah pake
buah tangkil (melinjo)nya, soalnya suami saya suka kena asam
urat kalo makan buah itu.”
“Siap, Neng.”
“Jadi berapa semuanya, Pak?”
“Bawang merah tujuh ribu, bawang putih sembilan ribu,
tambah cabe lima ribu, sayur asem lima ribu. Jadi semuanya
dua puluh enam ribu, Neng.”
Aku mengeluarkan uang lima puluh ribuan dan
menyerahkannya ke bapak penjual sayur tersebut. Sambil
tersenyum, kubilang, “Kembalinya dua puluh ribu aja, Pak.
Halal.”
“Oh, ya Allah Gusti. Hatur nuhun pisan (terima kasih
banyak) atuh, Neng. Semoga rezekinya sing seu’eur (banyak),
sing barokah oge (berkah juga).” Wajah bapak penjual sayur itu
terlihat ceria.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


37
Aku pun bertanya lagi, “Setiap hari dagangannya habis,
Pak?”
Si bapak menjawab, “Ya tergantung, Neng. Alham-
dulillah rezeki mah ada aja. Kan sudah ditentukan Gusti Allah.
Yang penting mah kita berusaha terus, ikhtiar dan banyak doa.
Insya Allah dapet berkah dari Allah. Yang penting mah udah
bisa makan dengan cara yang halal sehari-hari, buat Bapak itu
udah cukup. Disyukuri aja semuanya, Neng. Alhamdulillah.”
Deg, jantungku berdegup mendengar jawaban bapak
penjual sayur itu. Masya Allah, terharu sekali hati ini melihat
ketawakalan bapak ini. Betapa mulia jiwanya. Konsep hidup
yang ia punya amatlah sederhana. Ikhlas berikhtiar dan sabar
berdoa lalu bertawakal dan bersyukur kepada Allah agar
hidupnya menjadi berkah di hadapan-Nya. Subhanallah, aku
merasa sangat tersentuh. Terima kasih ya Allah, Kau
pertemukan aku dengannya. Darinya aku jadi belajar untuk
selalu bersyukur dan bersabar dalam menjalani hidup. Selalu
mencari keberkahan hidup agar bahagia dunia akhirat.
Kutinggalkan bapak penjual sayur yang saleh itu dengan
penuh rasa mengharu biru di hatiku. Ada cinta yang kurasakan
bergemuruh di dalam dadaku tatkala berada di antara “orang-
orang kecil” yang saleh dan beriman kepada-Nya di pasar ini.
Ada perasaan damai berinteraksi dengan mereka yang selalu
optimis menjalani hidupnya yang begitu apa adanya. Aku
semakin memahami mengapa dalam sirah Rasulullah
Muhammad SAW disebutkan, bahwa beliau sangat dekat

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
38
dengan orang-orang miskin. Rasulullah bahkan pernah berdoa
agar kelak bisa berkumpul bersama kaum miskin di akhirat.
Doa tersebut ada dalam Hadis riwayat Tirmidzi.” Ya
Allah, hidupkanlah dan matikanlah aku sebagai orang miskin dan
kumpulkanlah aku besama orang-orang miskin.”
Dari doa ini, kita tahu Rasulullah sangat suka mendekati
kaum miskin, mencintai mereka dengan tulus. Mungkin inilah
salah satu penyebabnya, Rasulullah merasa nyaman ber-
kumpul bersama mereka, sebagaimana yang tengah kurasakan
saat ini.
Idealnya, sebagai seorang muslim, sejatinya kita me-
laksanakan firman Allah SWT dalam QS. Al Qashas: 77, “Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.”
Inilah sebenar-benar rumus kehidupan. Hendaknya kita
fokuskan hidup untuk kebahagiaan di akhirat, namun jangan
lupakan kehidupan di dunia. Jadikanlah dunia sebagai wasilah
(sarana) untuk menggapai kebahagiaan akhirat kelak dengan
menggapai rida-Nya di dunia. Sebagaimana yang dipesankan
Allah dalam QS. Al Baqarah: 201 yakni, “Ya Tuhan kami, berilah
kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami
dari siksa neraka.”

***

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


39

DARKSIDE “PULANG”
(Sarah Nurul Fadillah)

Jauh dari lubuk hati, bahkan lebih jauh lagi dari wilayah yang
tanpa kita sadari. Bersemayam kekuatan alami yang tak bisa
hancur. Kita terkadang kerap menyerah dengan keadaan pada
tuntutan hidup yang terpaksa harus hadapi.
Dalam senja yang perlahan memudar, rasa bahagia dan
pedih yang menyertai pengalaman pulang ke rumah di
kedalaman batin yang disebabkan oleh kenyataan, bahwa
terkadang kita berkunjung tapi tak bisa menetap. Karena
senyaman apapun tinggal di rumah kedalaman sana, tapi tetap
saja kita tidak bisa tinggal di bawah air selamanya, ataupun
meratap di atas batu karang. Karena kita tetap harus kembali
ke permukaan dengan kesegaran hidup baru, walaupun
demikian tetap saja saat itu sangatlah menyedihkan, ketika
diletakkan kembali ke pantai dan kita harus sendirian lagi.
“Ia lelah, semua orang, dan apa saja meminta per-
hatiannya. Ia harus mengurus semuanya.”

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
40
Badannya pun sudah mulai menunjukan sakit fisik,
pusing, lemas, kulit kusam, wajah yang tak bersinar, sakit
pundak, cepat tersinggung, cepat meledak dan sebagainya.
Keadaan masih saja tak membiarkannya beristirahat sejenak
saja.
Namun, jauh dari lubuk hatinya tetap saja merasa
kesepian. Kesepian itu begitu menguasainya, sehingga air mata
pun tiada henti membasahi wajah dan meninggalkan jejak
sebagaimana aliran sungai di pipi. Ia masih saja selalu mencoba
tersenyum dan selalu berusaha menyenangkan dirinya sendiri.
Ia berlari di pantai, bermain pasir, berlari bersama ombak, dan
terkadang tidur di bawah teriknya matahari. Akan tetapi ia
tetap saja merindukan seorang teman, teman bicara, teman
bermain, dan teman di kala ia sedang membutuhkan pen-
dengar.
Hingga suatu malam yang gelap gulita, ia pun men-
dayung perlahan perahunya bermaksud melihat cahaya bulan
di tengah laut. Ketika bulan muncul dari sela-sela awan dan
cahayanya terpancar berkilauan di permukaan air dan batu
karang, ia sampai di suatu tempat yang tersembunyi. Ia pun
mendayung perlahan mendekat dan melihat perempuan
menari dengan begitu sangat indah. Tangan dan kakinya
panjang dan indah! Tetapi entah bagaimana, kesepian yang

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


41
membebani dadanya selama ini, bagaimana terangkat entah ke
mana. *Menyelam ke dalam ruang batin liar.

Membutuhkan Waktu Menyendiri


Agar kita dapat berkomunikasi dengan aspek feminin liar,
seorang perempuan harus sesekali meninggalkan keriuhan dan
keramaian hidup. Diam sejenak dengan kesunyian dan men-
coba berdamai dengan sepi. “Sendirian” entah selama berapa
lama, yang pasti itu tepatnya tujuan menyendiri. Itulah obat
untuk keadaan kacau yang sering umum dialami oleh
perempuan modern dalamn suatu keadaan, yang diungkapkan
oleh peribahasa kuno “Ia menunggang kudanya dan berlari ke
segala arah.”
Ketika kita sengaja untuk memutuskan menyendiri,
bukan berarti tidak melakukan apa-apa. Akan tetapi kita hanya
mengundang percakapan antara diri sendiri dan jiwa liar yang
sedang datang ke tepi pantai. Kita melakukan ini tidak hanya
agar lebih dekat dengan jiwa liar dan rohani saja, akan tetapi
kita memberikan kesempatan bagi jiwa untuk memberikan
nasihatnya.
Dengan menyendiri kita dapat menerima anugerah daya
liar kreatif dari jiwa. Kesengajaan menyendiri dapat mem-
berikan dampak meredakan sesuatu atau keadaan yang benar-
benar kita merasa kacau. Karena dengan menyendiri dapat

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
42
membuat kita sembuh dari keletihan dan mencegah rasa lelah
dalam kehidupan serta hiruk-pikuknya.
Bagaimana seseorang memanggil jiwa? Ada banyak cara
sebenarnya. Bisa melalui meditasi, membaca, menulis, me-
nyanyi, bahkan menari, melukis, berdoa, melihat keindahan,
menjahit, memasak, menabuh, menata taman di rumah atau
bahkan mood terpesona penuh dengan banyak ide. Semuanya
merupakan sinyal batin dalam memanggil jiwa dari tempat
kediamannya.
Walaupun ada juga sebagian banyak orang lebih suka
meluangkan waktu untuk pergi di mana tidak seorang pun
mengetahuinya dan pulang terlambat, tapi baik juga
meluangkan waktu menyendiri dalam suatu ruangan yang
begitu banyak orang di dalamnya. Walaupun terdengar aneh,
akan tetapi sebenarnya orang, bercakap dengan jiwa sepanjang
waktu hanya saja tidak dialaminya secara sadar. Karena
terkadang jiwa liar seakan muncul secara menyelinap, tapi kita
belajar menutupinya untuk selang waktu berkomunikasi
dengan jiwa ini. Orang biasanya menamainya dengan bicara
dengan diri sendiri, melamun, sedang menatap kejauhan
bahkan sering disebut hilang ingatan.
Kita tahu, kalau kita tidak mungkin menghayati hidup
yang terlalu banyak tuntutan. Kita tahu ada waktu di mana
berbagai masalah laki-laki, orang-orang, dan masalah dunia

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


43
lainnya harus kita tinggalkan sementara waktu. Terkadang kita
seperti makhluk amfibi, kita dapat hidup di darat tapi tak
selamanya. Kehidupan yang terlalu modern dengan kultur
yang seakan terlalu menindas ini, mencoba mencegah pe-
rempuan untuk pulang ke rumah.

***

Bagi sebagian perempuan, ada suatu perasaan duka cita,


kehilangan, rasa pedih, ketakutan. Tetapi ada juga harapan dan
kerinduan. Ada saat di mana melamun dan menatap dari
kejauhan di balik jendela. Karena kegelisahan dan keresahan ini
selalu saja menggerogoti batin jiwa bahkan selalu menusuk
setiap harinya.
Meskipun demikian perempuan terus saja sibuk setiap
harinya. Bahkan hari demi hari melakukan pekerjaan rutinnya.
Tampil tersenyum dan merendah dengan gaya yang ramah dan
sopan.
“Ya … aku harus. Aku tahu … tetapi …” kata mereka
“tetapi” ini hambatan yang selalu mencegahnya pulang.
Akan tetapi, ada alasan yang lebih dalam kenapa
perempuan berada dalam siuasi terbelah antara pergi atau
tinggal. Beberapa perempuan merasa takut kalau orang-orang
di sekitarnya tidak akan memahami kebutuhan mereka untuk

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
44
pulang. Memang tidak semua bisa mengerti. Tetapi harusnya
perempuan memahami hal ini. Meskipun banyak cara
perempuan untuk pulang, tapi tempatnya senantiasa berubah
dari waktu ke waktu. Walaupun begitu, pulang tidaklah, selalu
akan ada perjalanan yang luar biasa di setiap cerita.
Karena hal yang terpenting adalah kita dapat memahami
diri, mengenal diri dan mengetahui cara bagaimana membuat
diri sendiri untuk dapat bahagia. Gali potensi yang ada dalam
diri! Tak ada salahnya menyendiri dan berbicara dengan jiwa
liar. Pahami apa yang yang diinginkan jiwa liar, selama hal
yang dilakukan itu positif maka lanjutkan langkah dan berdoa.

Waktu itu,
Senja seakan memudar perlahan
Gemuruh ombak dan angin mengusap lembut
Ia pun masih enggan beranjak di atas batu karang
Dan tetap memutuskan menunggu setia dalam senja
Karena terkadang,
Senja selalu memberi harap, bahwa esok ia akan kembali
Walaupun di bawah laut menjanjikan keindahan
Tapi tetap saja, jiwa liar harus kembali ke permukaan
Dan tetap menyambut hari esok

***

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


45

MERAMU BAHAGIA DENGAN


MENDAMAIKAN JIWA
(Nur Alfi Yuliati)

“(Bahagia adalah) bagaimana kita dapat bermanfaat kepada


orang lain di sekitar kita dan bagaimana kita tetap selalu
bersyukur atas segala cobaan, atas jatuh dan bangunnya.
Karena sejatinya, hal itulah yang menjadikan kita orang yang
sukses. Orang yang sukses adalah orang yang bersyukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Demikian pernyataan Ayu Maulidia tentang arti
kebahagiaan. Tepuk tangan para penonton babak final
pemilihan Putri Indonesia 2020 bergemuruh menyambut
pernyataan gadis cantik ini. Pernyataan filosofis tersebut
mengantarkan putri dari provinsi Jawa Timur ini menjadi Putri
Indonesia 2020.
Saya sependapat dengan Ayu Maulida. Kebahagiaan
terpancar dari sikap syukur atas segala hal yang Tuhan berikan
kepada kita. Baik itu kesuksesan ataupun cobaan. Namun,
tidak banyak orang yang tahu bagaimana caranya bisa berbagi

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
46
kebahagiaan, sementara diri sendiri masih sulit merasa
bahagia. Bagaimana caranya bersyukur atas cobaan yang
Tuhan berikan pada kita?
Sebagian besar orang justru beranggapan bahwa cobaan
adalah sumber dari kesedihan dan keterpurukan. Apalagi jika
orang tersebut memiliki pengalaman masa lalu yang traumatis,
bahkan masih menghantuinya hingga sekarang. Bukankah hal
tersebut akan menjadi penghalang menuju kebahagiaan?

Penghalang Menuju Kebahagiaan


Pertengahan Februari 2020 saya mengikuti kelas daring
“Mengasuh Inner Child” yang dipandu oleh mbak Ribka Imari.
Beliau adalah penyintas depresi dan bipolar yang kini aktif
mempromosikan mindfulness parenting melalui media sosial.
Melalui kelas daring ini, saya kembali diingatkan bahwa
kebahagiaan tercipta dari dalam diri. Tetapi, trauma masa lalu,
kondisi lingkungan, atau pengalaman hidup yang buruk
seringkali menjadi penghalang terciptanya kedamaian jiwa.
Pengalaman masa lalu ini terekam dalam pikiran bawah
sadar kita. Rekaman alam bawah sadar ini sangat berpotensi
mempengaruhi sikap dan perilaku kita di masa sekarang.
Itulah sebabnya, orang yang mengalami kekerasan di masa
lalu, akan melakukan hal yang sama seperti tindakan yang
pernah diterimanya.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


47
Masih segar dalam ingatan saya, ketika masih kecil
pernah dibentak dan dipukul oleh orang tua gara-gara
melakukan sebuah kesalahan yang, menurut saya, tidak terlalu
fatal. Dalam hati saya berjanji, amit-amit, nanti kalau punya
anak, saya nggak akan menghukum anak dengan cara seperti
ini. Saya akan ingatkan dia dengan cara yang lembut dan
sabar.”
Waktu berlalu. Apa yang terjadi kemudian? Ketika saya
memiliki seorang anak, pada usia 2-3 tahun, anak saya mulai
memunculkan fase egosentrisnya. Dia mulai punya keinginan
dan agak susah diarahkan. Eh, tanpa disadari, saya pun
menirukan hukuman yang pernah saya terima saat masih kecil.
Astaga, ternyata peristiwa tersebut berulang dan saya
justru melakukan sesuatu yang sangat saya benci di masa lalu.
Saya sangat menyesal. Saya peluk anak saya sambil menangis
sesenggukan. Tanpa saya sadari, alam bawah sadar me-
munculkan rekaman masa lalu saat saya dimarahi dan dipukul
oleh orang tua. Ia bereaksi terhadap sebuah peristiwa yang
membuat saya benci dengan perlakuan orang tua di waktu itu.

“Mendengar” Rekaman Masa Lalu


Trauma masa kecil yang muncul secara tidak saya sadari tadi,
menurut ilmu psikologi, dikenal dengan nama inner child. Inner
child adalah bagian dalam alam bawah sadar manusia yang

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
48
merupakan hasil dari pengalaman masa kecilnya. Seperti
motivasi alam bawah sadar lainnya, inner child juga muncul
pada orang dewasa dalam bentuk perilaku atau keadaan emosi
yang tidak disadari (Bradshaw, 1992 dalam ___, 2020).
Hasil dari pengalaman masa lalu yang membentuk inner
child dapat terlihat dalam berbagai bentuk, misalnya sifat
tergantung kepada orang lain, perilaku impulsif, gangguan
trauma, dan sebagainya. Seringkali gangguan pada inner child
membawa masalah pada tingkah laku, emosi, dan hubungan
sosial (Diamond, 2008).
Trauma masa kecil bisa menjadi hambatan bagi stabilitas
inner child. Namun, bukan berarti orang yang memiliki trauma
di masa lalu tidak bisa hidup dengan bahagia. Mbak Ribka
Imari adalah contoh nyata yang seringkali membuat saya
berdecak kagum. Beliau hidup di masa lalu yang serba
kekurangan, secara fisik dan psikis, bahkan sempat mengalami
kehidupan rumah tangga yang penuh dengan kekerasan.
Alhamdulillah, kini beliau bisa hidup bahagia dengan suami
dan anak-anaknya.

Bahagia dengan Mendamaikan Jiwa


Perjuangan Mbak Ribka Imari menjadi pemacu bagi saya untuk
selalu bangkit dari permasalahan yang sedang menghampiri.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


49
Apapun masalah yang kita hadapi, kita tidak pernah sendiri.
Tuhan selalu ada bersama hamba-Nya.
Hal pertama yang saya pelajari dari perjalanan hidup
mbak Ribka adalah beliau melepaskan mental korban. Salah
satu ciri orang yang bermental korban adalah selalu
menyalahkan keadaan sekitar atas kejadian yang menimpa
dirinya. Sebaliknya, mbak Ribka memilih untuk bermental
pejuang. Menurut Baskoro Endrawan (2013), orang yang
bermental pejuang adalah seseorang yang tidak mau di-
kalahkan oleh keadaan, kuat menghadapi kritikan dan ujian,
serta mudah beradaptasi dan tahan banting.
Perjuangan yang dilakukan oleh mbak Ribka memang
tidak mudah. Beliau berusaha menerima keadaan yang sedang
dihadapi maupun masa lalunya yang menyakitkan. Beliau juga
berusaha memaafkan orang-orang yang telah menyakitinya,
kemudian mengasuh inner child dirinya dan suami yang sama-
sama terluka.
Belajar “Mengasuh Inner Child” bersama mbak Ribka
Imari mengingatkan saya pada pepatah Jawa yang menjadi
pegangan selama ini. Bila ada dua kubu yang tengah berseteru,
apalagi sampai tukar padu (bertengkar), maka simbah-simbah
Jawa akan berpesan, “Sing waras ngalah.” Artinya, orang yang
merasa dirinya waras (bisa juga diartikan lebih bisa bersikap
dewasa) sebaiknya mengalah. Simbah akan melanjutkan

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
50
nasihatnya, “Crah agawe bubrah.” Bertengkar hanya akan
menyebabkan perpecahan dan merusak segalanya.
Benar juga pesan dan nasihat dari para leluhur ini. Jika
saya kaitkan dengan pembelajaran selama berada di kelas
“Mengasuh Inner Child” rasanya memang klop. Bila kita sedang
terpancing emosi akibat suasana sekitar yang tidak men-
dukung untuk bahagia, sebaiknya tahan diri dulu. Menepi dari
“keramaian” sambil menata hati dan mengatur napas, agar bisa
memberikan respon yang tepat. Tidak sekedar melampiaskan
emosi yang sedang memuncak.
Utamakan menciptakan kedamaian jiwa. Kesampingkan
keinginan untuk didengar atau diperhatikan. Kita harus
mampu bersikap dewasa. Kesampingkan egoisme diri. Sing
waras ngalah. Jika kita sudah terbiasa untuk bersikap dan
berbuat demikian, maka kebahagiaan akan tercipta. Bahagia
yang bersumber dari kedamaian jiwa. Dengan demikian, kita
akan menyadari kebenaran sebuah ungkapan bahwa bahagia
itu kita sendiri yang menciptakan.

***

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


51
Sumber Referensi:
Noorvitri, Isnaniar. 2019. Artikel. Memahami Inner Child dalam
Diri. Dalam https://pijarpsikologi.org/memahami-inner-
child-dalam-diri/ diakses pada hari Rabu, 11 Maret 2020 jam
13.25.
_____. 2017. Artikel. Inner Child, Seberapa Penting, sih? Dalam
https://maxima.id/inner-child-seberapa-penting-sih/
diakses pada hari Rabu, 11 Maret 2020 jam 13.32.
Endrawan, Baskoro. 2013. Artikel. Mental Korban, Salah
Asuhan Pendidikan saat usia Dini. Dalam
https://www.kompasiana.com/baskoro_endrawan/menta
l-korban-salah-asuh-pendidikan-saat-usia-
dini_551f4734813311927f9df5cc diakses pada hari Rabu, 18
Maret 2020 jam 5.02.

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
53

TRAVELLING IS
MY HAPPINESS
(Ibrasia)

Kutemukan kebahagiaan saat aku menikmati ciptaan-Mu


dengan travelling dan bertemu orang-orang yang membuatku
bersyukur atas apa nikmat-Mu.

***

Setiap orang mempunyai kebahagiaan yang berbeda-beda


misalnya mendapatkan hadiah dari orang tercinta dan terkasih.
Perjalanan selalu ada pelajaran yang bisa dipetik. Pelajaran
yang membuat lebih bersyukur atas apa yang dimilik sekarang.
Travelling selalu meninggalkan kerinduan untuk kembali
mengulang. Aku merasakan kebahagiaan saat aku bisa me-
lakukan hobi travelling.
Setiap orang punya kebahagiaan sendiri. Arti ke-
bahagiaan bagiku adalah saat hobiku dapat dilakukan setiap
hari ahad yaitu travelling. Travelling selalu membuatku selalu

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
54
bersyukur kepada Sang Maha Pencipta yang masih mem-
berikan nikmat iman, Islam, sehat dan rezeki. Di saat banyak
orang bermasalah dalam kesehatan, berputus asa dengan
takdir yang ditetapkan oleh-Nya dan yang harus bekerja dari
pagi sampai pagi atau bekerja berjalan jauh demi mendapatkan
uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Travelling juga
mengajarkan untuk setiap langkah kaki yang kukerjakan selalu
menyebut nama-Mu dan mengagungkan kebesaran-Mu karena
semua yang terjadi dalam hidup adalah takdir yang sudah
Engkau tetapkan di lauhul mahfuzh.
Ada satu kerinduan dalam hati saat menikmati ciptaan-
Mu. Aku selalu memohon suatu saat bisa menikmatinya
bersama seseorang yang menjadi pendampingku. Seseorang
yang kugenggam tangannya untuk berjalan bersama dalam
menikmati ciptaan-Mu. Seseorang yang selalu ada di
sampingku dalam keadaan apapun. Seseorang yang bahunya
dapat aku jadikan sandaran saat hati gundah.
Suatu ketika saat menikmati kota Jakarta menggunakan
busway, aku melihat seorang bapak mendorong gerobak
mencari barang bekas. Dalam hati aku berbisik, ya Allah
sekarang kulihat secara langsung bagaimana mencari sesuap
nasi di kota besar. Harus berjalan jauh demi mendapatkan
barang bekas sampai bahkan berjalan sampai berkilo-kilo

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


55
meter, sementara yang didapat hanya beberapa barang bekas
dan ketika dijual harganya hanya beberapa rupiah saja.
Mungkin bagi sebagian orang beberapa rupiah yang
didapat tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Namun, bagi
mereka beberapa rupiah sangat bermanfaat untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari walau hanya sesuap demi mengganjal
perut.
“Ya Allah terima kasih untuk setiap rezeki yang tidak
pernah putus kepadaku yang terkadang belum sempurna
dalam mencintai-Mu dan masih banyak bergelinang dosa. Aku
mohon beri waktu untuk bisa membawa manfaat bagi orang
lain di sisa hidup yang tak tahu kapan Engkau akan me-
manggilku pulang ke rumah-Mu.”
Setelah kejadian itu, aku mulai untuk terus bangkit setiap
kali terjatuh. Terkadang dalam hidup tidak semulus yang
dipikirkan. Kadang harus seperti orang tuli untuk tidak
mendengarkan apa kata orang lain kalau itu tidak membawa
manfaat. Kadang harus menjadi orang bisu untuk tidak
menanggapi pembicaraan yang tidak ada manfaatnya untuk
dunia dan akhirat. Bukannya tidak peka tapi kalau ditanggapi
semuanya hidup tidak akan maju.
Aku pernah membaca satu kutipan motivasi bahwa
“Kamu dipuji tidak menjadikanmu bintang. Kamu dicaci tidak

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
56
menjadikanmu sampah. Maka jadilah dirimu sendiri. Tidak
perlu memaksakan diri untuk menjadi seseorang seperti apa
yang mereka inginkan.”
Salah satu kalimat motivasi yang membuatku untuk terus
bergerak maju dan berkembang. Dalam Islam pun meng-
ajarkan untuk tidak berputus asa jika kamu mendapat masalah.
Kalau mendapatkan masalah maka bersabar dan salatlah.
Bertambah lagi energi positif dalam berjuang menjalankan
skenario-Nya.
Travelling juga membuatku bertemu dengan orang-orang
hebat. Ada satu kejadian yang tak pernah kulupakan yaitu
berfoto dengan artis ibu kota yang bernama kak Fenita Arie.
Mengapa aku bisa berfoto dengan beliau (maklum anak
kampung baru ketemu artis)? Ceritanya saat aku menghadiri
hijrah fest road to Jakarta di JCC Senayan. Pertama ikut event
tersebut dan ternyata ketemu banyak artis.
Dulu selalu aku salawatin kalau lihat mereka di televisi.
Saat acara berakhir aku agak malu untuk meminta beliau
berfoto. Namun dalam hati berujar, kesempatan tidak datang
dua kali, kapan lagi bisa berfoto dengan artis ibukota? Lalu aku
memberanikan diri untuk berfoto bersama beliau. Ada
perasaan gugup dan syukur yang tidak henti-hentinya yang
kuucapkan dalam hati atas nikmat-Mu yang tidak setiap orang

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


57
bisa mendapat kesempatan tersebut. Dari kak Fenita Arie aku
belajar tentang rendah hati dan menghargai.
Travelling lebih tepatnya mengajarkanku tentang arti
sebuah kehidupan. Dari travelling aku banyak belajar tentang
syukur dalam segala hal baik dari kesempurnaan tubuh
(walaupun ada kekurangannya), rezeki yang tidak pernah
berhenti mengalir, kesehatan jasmani (kadang juga sih sakit
tapi alhamdulillahnya tidak sampai parah), bertemu dengan
artis ibukota dan ustaz-ustazah yang dulunya hanya lihat lewat
televisi, berkunjung ke monas, masjid Istiqlal, kota tua setiap
hari Ahad. Aku hanya bisa mengucapkan alhamdulillah atas
semua nikmat-Mu yang tidak pernah putus.
Ada teman memuji, “Enak banget ya bisa jalan-jalan
keliling kota Jakarta setiap minggu. Aku mau juga donk.”
Aku hanya membalas, “Alhamdulillah. Insya Allah kamu
juga bisa ke sini suatu saat.”
Travelling mengajarkanku tentang menghargai dan
berbagi kepada sesama. Menghargai dalam hal perbedaan
antara sesama. Berbagi kepada seseorang baik dalam keadaan
kekurangan atau berlebih. Aku menyadari setiap orang punya
perspektif atau pandangan tersendiri mengenai arti ke-
bahagiaan, karena apa yang kita jalani tidak semua orang

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
58
menyukainya. Semoga di sisa usia ini aku bisa berbagi ke-
bahagiaan bersama orang tercinta dan sesama.

***

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


59

BLESSING YOU
WITH SMILE
(Ery Prasetyo)

Hidup itu pilihan, mau seperti apa perjalanan didesain itu hak
setiap orang. Pilihan akan jatuh ketika hati mantap me-
nentukan, tapi bisa juga pilihan ditentukan saat keraguan
menyelimuti diri. Lalu berpikir untuk bagaimana bisa
menjalani semua pilihan yang sudah ditentukan sekaligus
menghadapi konsekuensi pilihan itu.
Jika kamu ingin terbang tinggi, lepaskan semua hal yang
selama ini membebani. Tanpa disangka dan diduga bonus
pilihan itu akan mengikuti dan akibat dari pilihan itu menyertai
tanpa ragu. Ketika konsekuensi dihadapi melihat orang lain
begitu bahagia dengan pilihannya dan ada beberapa yang
terpuruk menghadapi konsekuensi pilihannya maka maafkan
semua orang, maafkan masa lalumu. Kamu berhak bahagia hari
ini dan terbanglah tinggi setinggi yang mampu digapai.
“Mbok, aku pamit nggih.”

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
60
Sambil mencium tangan dan memeluk wanita setengah
baya itu, aku berpaling untuk mulai berjalan. Aku tak berani
menengok ke belakang lagi karena pasti air yang kutahan di
pelupuk mataku akan jatuh. Kudengar desahan napas Simbok
begitu berat melepaskanku pergi, namun tak ada pilihan lain
kecuali merestuiku karena keterbatasan keluarga dan
keinginanku membuat semua ini terjadi. Aku berangkat untuk
merantau ke kota meneruskan keinginanku yang tertunda
untuk melanjutkan sekolah.
Aku merasa sangat berat untuk hidup di rantau orang,
semua serba sendiri, dan merasa diri sangat berat menghadapi
hidup ini. Kupikir akulah yang paling tidak beruntung di
antara orang di sekelilingku.
“Mbok, aku mau pulang ajalah kalau kaya gini.” Setiap
kulihat hari yang berganti aku merasa diri ini lunglai
menghadapi hari ini.
“Kamu kenapa sih berbuat seperti ini, so silly!” Salah satu
temanku berseloroh seolah tak rela melihatku menghadapi
keterpurukan ini.
“Dwi, aku bingung harus bagaiman menghadapi semua
ini.” Kuhela napas panjang sambil bersender di dinding kantin
mbah Dhi.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


61
“Cin, Allah itu tidak melihat kita kuat atau tidak, tapi
sabar atau tidak menghadapi cobaan ini. Allah tahu kok ukuran
hamba-Nya.”
Aku mencoba ikhlas dan menerima pernyataan Dwi yang
ingin menguatkanku. Menikmati sambil minta pertolongan-
Nya. Seberapa sering orang terjatuh lalu mengaduh dan
menghamba, kemudian menjadikan diri sebagai hamba yang
sangat lemah dan menghiba. Terpuruk dan jatuh lalu
menjadikan dirinya terbebani dengan ujian yang diberikan.
Ingat dan ingatlah karena ujian datang dari Allah maka
penyelesaiannya pun ada pada Allah. Ada yang perlu diingat
untuk semua orang dan perlu disematkan dalam hati supaya
diri selalu bahagia. Ingat ujian bukan untuk menguji seberapa
kuat dirimu tapi menguji seberapa lihai hatimu bergantung
kepada-Nya. Masalah hanya panggilan kerinduan Allah
kepada hamba-Nya tapi kadang manusia sombong dan
congkak, merasa masalah dan ujian datang bertubi–tubi.
“Kenapa Allah nggak adil padaku? Aku selalu meng-
erjakan yang diperintahkan tapi kenapa tak pernah bahagia?
Selalu datang ujian silih berganti. Di mana salahku, ya Allah?”
“Aku sudah berusaha semaksimal yang kubisa. Salat
tanpa kutinggalkan, baik sama orang lain. Lalu salahku di
mana?”

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
62
Kutatap jendela kamar ibu angkatku untuk memastikan
aku masih ada di bumi Allah. Kujalani semua tanpa bisa
kucegah lagi. Berusaha ikhlas tanpa ragu Allah Maha Baik dan
Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ketika ujian
sekolah datang, masih harus kusimpan lekukan keluhan untuk
simbok yang lagi sibuk menatap masa depan yang kujalani.
Kadang menyalahkan orang lain karena kisahku ini
namun apalah dan siapalah aku yang hanya bisa pasrah dan
menyerah dengan semua ini. Ujian datang silih berganti,
membuatku menekuk kepala untuk menunduk malu karena
selalu mengeluh. Kutengadahkan muka dan tangan ini selesai
sujud salamku. Kuhempaskan perlahan dan kusebut sebanyak
yang kubisa. Sebanyak yang kumampu untuk melegakan hati
ini.
Untukmu yang sedang diuji kesabaranya, diuji ke-
imanannya. Cobaan hidup bukan untuk menguji seberapa kuat
dirimu tapi seberapa sering banyak kamu menyebut nama
Allah untuk memanggil dan menagih.
“Aku beriman. Aku sudah sabra. Aku ikhlas bila Engkau
uji. Aku berserah pada-Mu.”
Lepaskan kemarahan, lepaskan dendam, lepaskan
kebencian. Kamu berhak bahagia sekarang. Jangan siksa diri
sendiri, dengan semua perasaan yang tidak perlu kau pikirkan.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


63
Lihatlah mereka yang sedang berbahagia di sana. Apa itu
tak penting untuk membuatmu sebahagia mereka. Sudah
sepatutnya kamu merasa bahagia seperti mereka, karena kamu
juga berhak merasakan bahagia. Allah tidak akan me-
ninggalkan hamba-Nya dalam kondisi senang dan susah tanpa
meninggalkan manfaat bersamanya. Hanya kadang orang itu
terlalu sombong untuk bersyukur dan mengaduh bahwa
dirinya lemah.
Memandang orang begitu bahagia, melihat bahwa ada
yang lebih menderita, dan lebih pantas untuk mengeluh. Maka
alangkah indah dan baiknya bila tidak melihat kondisi orang
lain dari sisi yang terlihat oleh mata telanjang, tanpa melihat
dari sisi mana semua berkeadaan seperti itu. Untuk bisa
bersyukur kadangkala harus lihat ke bawah, masih banyak
yang lebih tidak beruntung.
Kamu sangat berhak tidak menyukai seseorang tapi
kamu tidak berhak memaksa orang lain untuk bersikap sama
denganmu. Hal yang sangat lumrah di sekitar ini bila terjadi hal
yang demikian. Kemajemukan dalam masyarakat bukan untuk
saling menghujat dan mencaci apalagi iri dan dengki pada
orang lain. Lupa mengingat bahwa semua itu sudah rencana
Allah untuk tiap hamba-Nya.
No matter how hard I try, I can never please everyone. Follow
my heart, make the most of every day, and be proud of who am I,

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
64
gumamku hanya dalam hati ketika semua yang kulalui tak
selalu membuat hatiku bahagia. Aku tahu harus mencari jalan
untuk melepaskan hati ini dari kungkungan ketidaknyamanan
hidup. Kualihkan pandangan selepas hatiku menemukan jalan.
Kuhempaskan napas ketidakluasan hati ini supaya hatiku
lapang dan terang. Kini hanya satu yang kan kujalani hingga
senyum kebahagiaan itu menjadi jalan tanpa duri. Kuayun
langkah menyingkirkan duri–duri kehidupan yang menyem-
pitkan langkahku. Dan kutemukan diriku melenggang tanpa
hambatan. Ternyata dalam hidup ini kata–kata di kehidupan
sangat mempengaruhi kebebasan hidup dalam melangkah.
Aku berhak bahagia dengan segala yang ada di sekitarku,
dengan komitmen, dan menjaga keseimbangan untuk tetap
tidak bergelimang kebahagiaan secara egois. Berdamai dengan
masa lalu, memaafkan semua orang yang sudah buat hidupku
tak bahagia. Hidup penuh emosi yang bisa bikin nggak bahagia
dalam satu periode waktu. Namun aku bisa merasakan berbagi
emosi yang berbaur jadi satu. Karena itulah membuatku
bahagia secara seimbang.
Sering kutemui, “Jika kamu ingin bahagia, jangan biarkan
masa lalu menguasaimu. Kamu boleh melihat ke belakang
dengan spion kehidupanmu, namun jangan sampai spion itu
membawamu kembali ke kenangan lama.” Kalimat itu kadang

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


65
membuatku termenung lama untuk menemukan apa arti tiap
kata di kalimat itu.
Lupakan yang telah berlalu. Hidup terus berjalan. Siapa
yang dapat membuatku bahagia, inilah yang pantas ku-
dapatkan. Melupakan masa lalu bukan berarti tak belajar.
Banyak hal yang bisa membuat jatuh, tapi satu-satunya yang
bisa menjatuhkan adalah sikap diri sendiri. Berhenti
menyalahkan orang lain dan masa lalu. Cobalah untuk
menerima dan belajar bahwa tiap masalah akan membuat diri
ini belajar untuk lebih kuat dan dewasa. Dewasa adalah paham
mengenai yang perlu atau tidak perlu untuk dipermasalahkan.
Satu hal lagi ya dewasa itu sifat bukan umur.
Banyak hal yang bisa menjtuhkan seseorang, tapi satu–
satunya hal yang benar–benar dapat menjatuhkan adalah sikap
tak dewasa seseorang itu sendiri. Sebuah permata tidak akan
didapat tanpa ada gesekan. Demikian juga seseorang tidak
akan bahagia tanpa melalui sebuah kesusahan. Pisau tajam itu
sangat membahagiakan dirinya sendiri dengan wujudnya yang
saat ini terlepas dari itu masa lalunya sebelum jadi pisau. Dia
akan ditempa dipanaskan dan diasah sedemikian rupa hingga
bisa disebut mata pisau.
Kuncinya hiduplah bahagia dengan memaafkan masa
lalumu, jangan egois dan terjebak dengan sikapmu sehingga
mampu kau tersenyum tanpa melukai orang lain. Maafkan

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
66
orang lain agar bisa tersenyum bersama. Bolehlah meng-
gunakan spion kehidupan untuk belajar menjadi dewasa dan
tersenyumlah. Hiasi hatimu dengan senyum dan pancarkan
kebahagiaan dari dalam hatimu dengan kebahagiaan lewat
senyummu.

***

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


67

YAKINI, AMINI, RASAI


(Imma Nur Faida)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ashr radhiyallahu ‘anhu, Nabi


Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Keridaan
Allah tergantung pada rida orang tua dan murka Allah tergantung
pada murka orang tua.” (HR. Tirmidzi)
Mentari pagi menghangatkan wajahku. Kulirik jam di
dinding kamar. Satu jam setengah sudah aku membayar waktu
tidurku setelah Subuh tadi. Tak baik sebenarnya kebiasaan ini,
namun apa daya, revisi jurnal tak kunjung selesai. Mungkin
aku masih harus menambah stok upayaku. Kugeser tubuh
untuk meraih handphone.
Kubuka VN dari pendamping hidupku sejak 15 tahun
lalu, suara favoritku “Assalaamuálaikum, Sayang. Kopi hitam
dengan gula merah favoritmu pasti sudah dingin. Ingat jangan
terlambat. Maaf, ya, aku nggak bisa antar kamu jadwal
bimbingan siang ini. Ada janji sama mas Farid jam 9. Nanti
kabari aku, ya, kalau sudah selesai. Makan siang bareng aja
gimana? Sorenya ingetin aku juga, kita ziarah ke makam mama.

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
68
Semoga kamu nggak lupa kalau hari ini tepat 15 tahun kita
pertama kenalan, lho.’’
Kubalas vn tersebut dengan emot love bertubi-tubi,
sambil menyeret kakiku ke ruang makan. Bujang dan
Gendukku sedang menimba ilmu di luar kota. Batitaku
bersama budhe Anisnya sudah bersosialisasi di playgroup
binaanku. Duduk menyeruput kopi kunikmati lengangnya
suasana rumahku.
Kupandangi potret pernikahanku 15 tahun lalu. Aku
yang saat itu menginjak usia 23 lebih belum juga punya
pendamping. Senantiasa berjibaku, mencoba bertahan dengan
candaan-candaan mama yang ingin lekas memiliki menantu.
Mama yang kuatir aku dilangkahi oleh adikku.
Aku sangat menghargai perasaan mama. Aku sungguh
ingin sekali mendapat rida mama. Tak hanya sekali kutuliskan
di diary betapa calon pendamping hidupku nanti adalah yang
benar-benar mendapat ikhlas mama, tanpa kata tapi. Beberapa
kali orang tuaku sempat bertemu dengan teman-teman yang
memiliki niat untuk dekat, tak pernah sekalipun ditolak oleh
mama ataupun papap. Hanya saja jika papap memutuskan
untuk semuanya terserah aku, tidak halnya dengan mama.
Selang satu atau dua hari akan muncul kalimat-kalimat khas
beliau yang menunjukkan bahwa baginya masih kurang tepat.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


69
Seperti, “Darmawan baik, ya, anaknya? Tinggi, putih,
pekerjaannya juga bagus, tapi sepertinya hanya beda satu
bulan ya usianya sama kamu, Nduk.”
Atau juga, “Wah, Mama senang lho bisa kenalan dengan
Firman. Saleh, santun baik, tapi dia …. “
Dan entah kenapa setiap kali mendengar satu kata “tapi”
dari mama secara otomatis keinginanku untuk berkenalan lebih
jauh dengan yang bersangkutan mendadak lenyap dan
memutuskan untuk membuka diri dari siapapun yang akan
datang lagi nantinya.
Hingga saat itu tiba, aku sedang di luar kota saat mama
mengirimiku pesan singkat. “[Kapan pulang, ada yang mau
Mama dan Papap kenalin.]”
Kujawab dengan, “[Besok siang aku udah di rumah,
Ma. Mungkin bisa ketemu sore harinya.]”
Kutepuk pelan pundak sahabatku yang sedang
konsentrasi penuh berjibaku pada padat dan macetnya jalanan
di Surabaya. “Eh, gue dikit lagi kawin, nih, kayanya.
Yang dijawab dengan cengiran lebar olehnya beserta satu
kata, “Pret!’’
Terkikik pelan aku mengingat momen itu. Kami berlima
di ruang tamu rumahku, papap, mama, aku, perantara yang
hendak mengenalkan kami dan calon yang hendak dikenalkan
kepadaku. Kami berlima berbicara panjang lebar tanpa pernah

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
70
ada obrolan antara aku dan calon suamiku. Selesai makan
malam, lenganku digamit pelan oleh mama, diajaknya aku
duduk di ruangan lain.
“Gimana? Kamu mau nggak nikah sama dia?”
Kujawab pertanyaan Mama dengan pertanyaan lagi.
“Mama setuju kalau aku sama dia?”
Melihat Mama mengangguk pelan, bismillaah, sirna
semua keraguanku. Tak peduli baru kali ini aku bertemu, tak
peduli fakta bahwa aku tak tahu latar belakangnya sama sekali,
namun melihat Mama mengangguk setuju aku yakin bahwa
kutemukan sudah kebahagiaanku.
Sungguh semua dimudahkan oleh-Nya saat kita men-
dapatkan restu orang tua. Jarak antara kami bertemu untuk
berkenalan pertama kali hingga menikah adalah 2 bulan.
Seluruh teman, sahabat, kenalan bahkan tetanggaku mendadak
gempar. Mengingat sulitnya aku bertemu dengan orang yang
kurasa tepat. Bahkan sahabatku sempat khawatir bahwa ini
kulakukan dengan terpaksa.
Mereka katakan berulang kali, “Beneran, nih? Udah lo
pikir matang matang? Lo masih punya kesempatan buat
berubah pikiran, lho.”
Kupeluk mereka sambil kukatakan, “Nyokap gue rida.
Insya Allah gue akan bahagia. Jangan kuatir, ya, Say.”

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


71
“Rida Allah itu tergantung rida orang tua. Ingin bahagia
selamat dunia akhirat ya cari yang Allah rida. Salah satunya
pastikan kalian dapat rida orang tua kalian, ya.” Nasihat guru
agamaku saat madrasah Diniyah sangat melekat di ingatanku.
Awal pertama kami menikah, supaya lebih dekat dengan
tempat tugasku kami memilih mengontrak.
Kesepakatan kami pertama kala itu adalah, “Sayang,
kamu agak irit jajan dulu ya bulan ini biar bisa beli per-
lengkapan rumah tangga,” ujar suamiku.
“Nggak apalah, Sayang. Nggak usah lengkap-lengkap
dulu. Bisa nyicil bulan depan tho belinya,” sahutku.
Dia katakan, “Jangan, dong. Aku lho sudah bawa kamu
keluar dari rumah orang tuamu. Minimal yang kamu dapatkan
di sana aku akan usahakan ada juga di sini. Supaya orang
tuamu ngga nelongso.”
Aku langsung terdiam saat itu dan benar-benar semakin
mensyukuri suami pilihan mamaku. Kulihat cerianya mama di
foto pernikahanku. Kulafalkan surat Al Fatihah khusus
untuknya sambil meresapi kerinduanku padanya. Menginjak
usia pernikahanku yang kedelapan, mama pergi meninggalkan
kami dikarenakan sakit yang dideritanya. Bahkan di minggu
terakhir masa hidupnya yang selalu dicarinya di rumah sakit
adalah menantunya. Sungguh kulihat betapa terpukulnya
suamiku yang memang sejatinya yatim piatu saat kehilangan

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
72
mamaku. Sepeninggalnya mama hingga saat ini, perhatian dan
kasih sayangnya kepada papap, adik-adikku serta keluarga
kecilku tak berkurang sedikitpun.
“Paket!” Suara pengantar paket membuyarkan
lamunanku.
Bergegas kuhampiri sang empunya suara kemudian
melanjutkan menyeruput kopi hitamku hingga tandas. Sedikit
berpacu dengan waktu akhirnya aku dapat menyelesaikan
tugas harianku di rumah. Sekitar empat puluh lima menit
kemudian aku berhasil memulai aktivitasku di luar rumah.
“Pagi, Mas,” sapaku kepada driver mobil online yang akan
mengantarku pagi ini sambil menutup pintu mobil.
“Pagi, Ibu. Sesuai maps kan, ya, Ibu?” tanyanya
kepadaku.
“Iya, Mas. Sesuai aja. Menuju Rawamangun memang
lumayan macet jam segini. Yang sabar aja, ya, Mas,” ujarku
mencoba mencairkan suasana.
“Siap, Bu,” sahutnya sambil tertawa.
Sepanjang perjalanan dari tempat tinggalku ke
Rawamangun, mas driver yang masih muda itu sangat
komunikatif. Jalan yang lumayan tersendat membuat
percakapannya denganku semakin melebar ke mana-mana.
Dari hal yang melatar belakanginya memilih profesi ini,
pengetahuan dan profesinya sebelum menjadi driver online,

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


73
pendapatannya hingga jumlah pacar masa lalunya dan
keluarga kecilnya saat ini. Kemampuannya menertawakan
kegetiran yang ditemui dalam hidupnya satu dua kali
membuatku terpingkal.
Kulihat melalui jendela mobil kami sudah hampir keluar
dari tol. Kusiapkan uang untuk pembayaran setelah itu
memperhatikan kembali sekitarku. Tas serta handphone kujaga,
khawatir ada yang tertinggal.
Kudengar pertanyaan dari lawan bicaraku. “Kalau Ibu
bagaimana? Saya terus, nih, yang cerita. Ketemu dengan suami
bagaimana ceritanya?” tanyanya kepadaku.
Dia tertawa lebar dan seringkali terlontar kata ketidak-
percayaan ketika kuceritakan secara singkat dan padat
bagaimana aku bertemu dengan suamiku dan berada di angka
usia pernikahan saat ini.
Tepat memasuki area kampus dia berkata, “Maaf, ya, Ibu.
Saya jadi tertawa sebab tidak pernah dengar cerita seperti ini.
Saya sampai berpendapat kalau hidup ibu kurang greget,
kurang tantangan. Kalau kata orang banyak, ketika kurang
tantangan maka akan datar aja, Bu. Rasa bahagianya kurang.
Hehehe. Itu sih menurut saya, Bu.”
Kubalas kalimatnya dengan tersenyum “Alhamdulillah,
Mas. Saya sangat berbahagia saat ini. Mungkin yang greget-
greget itu bukanlah takdir yang harus ditemui dan lalui dalam

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
74
kehidupan saya. Makasih, ya, Mas, sudah diantarkan hingga
selamat. Semoga banyak penumpangnya hari ini.”
Kususuri jalanan kampus menuju tempat dosen pem-
bimbingku berada ketika kulihat panggilan masuk dari
suamiku, “[Assalaamuálaikum, Sayang. Alhamdulillah per-
temuan dengan mas Farid berjalan lancar dan sudah selesai.
Sekarang aku sudah menuju kampusmu, nih. Sampai ketemu,
ya. Wassalaamuálaikum.]”
Kututup handphone dengan gembira. Teringat kembali
pembicaraanku dengan driver online tadi. Sempat kusesali
jawabanku kepadanya tadi. Seharusnya kukatakan bahwa aku
bahagia, sangat bahagia, luar biasa bahagia. Datar dan kurang
gregetnya hidupku tidaklah mengurangi bahagiaku. Kuyakini
bahagiaku selama ini karena bahagianya orang tuaku saat itu.
Kuamini bahagiaku adalah dengan rida dan bahagia orang
tuaku. Kurasakan senantiasa bahagia dalam hidupku karena
orang tua yang rida kepadaku.

***

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


75

MY HAPPINESS
(Meyda Sultan Darusman)

Tahun 2018 akhir, menjelang 2019 adalah puncak dari segala


keperihan hidup yang Allah berikan kepadaku. Ketika
suamiku lebih memilih pasrah saat kuputuskan menggugat
cerai dirinya. Daripada mempertahankan dan memperbaiki
keadaan, dia lebih memilih perempuan yang telah merebutnya
dariku dan anakku.
Agustus 2018 kuputuskan untuk pisah ranjang. Di tengah
kegalauan tiba-tiba ada seorang lelaki, sebut saja namanya
Dirman, mengajakku berbincang di aplikasi facebook messenger.
Pada tanggal 16 September 2018, tanggal yang sangat
kuingat, sebab di tanggal itulah awal kehancuran hidupku
yang sebelumnya sudah hancur. Awal berkenalan dia ingin
membeli salah satu produk daganganku. Obrolan pun
berlanjut. Dirman sangat sopan dan berwibawa. Dia lalu
mengirimkan foto dirinya, kedua anaknya, dan seorang wanita.
Dalam foto itu dikatakan bahwa saat ini dia menduda setelah
istrinya meninggal akibat sakit. Aku turut prihatin dan mulai
berempati padanya. Dia begitu rajin menyapaku setiap waktu

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
76
salat. Mengingatkan untuk salat wajib bahkan juga mem-
bangunkanku setiap waktu Tahajud. Bagaimana aku tak
bersimpati? Jika sibuk aku meminta Priska, anaknya, mengirim
foto mas Dirman. Priska lalu mengirimkan foto mas Dirman
yang sedang mengaji. Atau sedang duduk di ruang kerjanya
dengan menghadapi dua layar komputer dengan layar besar.
Aku maklumi kesibukan mas Dirman yang seorang direktur
perusahaan, sehingga untuk berbincang denganku kadang
jarang.
Sekali waktu mas Dirman pernah mengajakku bekerja di
perusahaannya. Tapi berhubung ijazah tertinggiku cuma SMK
maka aku tak percaya diri menerimanya.
Karena melihat semua kebaikannya, aku secara tidak
sadar sudah mulai tertarik padanya. Sejak itu hari-hariku tak
sepi lagi. Hanya dalam hitungan satu bulan Mas Dirman pun
menyatakan niatnya untuk memperistriku. Hanya saja masih
terganjal status pernikahanku. Aku segera mengajukan
gugatanku. Alasan keuangan untuk mendaftar cerai diatasi
oleh Mas Dirman. Aku pun tak menunggu lagi.
Selama berkomunikasi, dia sama sekali tak pernah mau
melakukan panggilan suara apalagi dengan tatap wajah atau
video call. Alasannya aku masih berstatus istri orang dan agama
melarang itu. Hanya Priska yang rutin dan tak pernah absen
menyapa. Dia memanggilku “Bunda” dan sangat berharap
untuk segera bertemu hanya saja ayahnya melarang.
Setidaknya sampai aku mendapat putusan cerai dari PA.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


77
Mas Dirman pernah memberikan alamat rumahnya yang
berada di Jalan Boulevard Kelapa Gading Jakarta Utara. Sekali
waktu kukirim produk makanan yang ke alamat rumahnya dan
sukses terkirim. Anaknya mengirimkan foto makanan yang
diterima sekaligus memberikan pengakuan tentang lezatnya
makanan yang kukirim.
Di bulan kedua perkenalan kami, aku setengah memaksa
dirinya untuk menemuiku tapi tak juga berhasil. Malah dia
mengatakan jika aku serius ingin menikah dengannya sambil
menanti putusan cerai, maka aku aku harus berdamai dengan
perempuan yang telah merebut suamiku. Alasannya agar aku
tak memiliki lagi musuh atau ganjalan dari masa lalu. Maka aku
pun berdamai dengan Juliana, si perempuan perebut suamiku
tersebut. Gugatan cerai pun berjalan mulus. Tiga kali
persidangan, putusan PA turun. Gugatan cerai dan hak asuh
anak yang kutuntut dikabulkan pengadilan. Tetapi Juliana
yang awalnya menerima perdamaianku mulai menjauhi dan
mencoba merebut anakku. Aku kembali merasa terusik atas
perubahan sikapnya. Dia terus menerorku. Begitu pun mantan
suamiku ikut meneror.
Yang lebih mengecewakan, setelah putusan PA tiba-tiba
mas Dirman hilang bagai ditelan bumi. Seluruh kontaknya tak
dapat dihubungi. Begitu juga Priska. Aku kebingungan harus
ke mana mencari, sedangkan untuk mendatangi alamat rumah
yang diberikan aku tak berani. Aku terus berdoa kepada Allah
memohon petunjuk apa yang sebenarnya terjadi.

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
78
Hingga suatu hari salah satu HP-ku menunjukkan gejala
kerusakan. Aku pun memutuskan untuk menghapus beberapa
aplikasi yang jarang dipakai. Setelah beberapa kali dicek,
ternyata tidak ada satu pun aplikasi yang tak terpakai, kecuali
satu aplikasi yang kupertahankan bukan lantaran aku sering
menggunakannya. Aku mempertahankan aplikasi tersebut
sebab di dalamnya banyak tersimpan grup-grup yang men-
dukung kegiatan kerja. Aplikasi tersebut bernama Telegram.
Kubuka aplikasi tersebut. Sebelum memutuskan meng-
hapusnya dari HP-ku, pertama aku cek satu per satu nama
orang yang belakangan menyita pikiran dan emosional diriku.
Pertama aku cek kontak mantan suamiku, lalu perempuan
yang telah merebut ayah anakku. Mereka semua kublokir.
Terakhir aku cek nomor Dirman. Begitu kuketik namanya.
Keluarlah kontaknya. Dengan niat iseng aku mengklik profil
lelaki tersebut. Yang mengejutkan, username Telegram yang
digunakan bukan atas nama dirinya melainkan sebuah nama
yang terasa tak asing.
Bimbi Tritama begitu username yang digunakan mas
Dirman. Aku mencoba mengingat nama username tersebut. Tak
berapa lama kuteringat, nama itu adalah anak perempuan dari
wanita yang merebut suamiku. Aku sempat berkenalan ketika
diundang wanita itu ke rumahnya.
Seketika aku merasa lemas bagai tak bertulang. Ternyata
selama ini aku telah dipermainkan oleh mereka semua. Aku tak
mampu merasakan lagi getaran emosiku. Aku ingin menangis

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


79
tapi air mata tak dapat keluar, mungkin karena guncangan
hebat di dalam jiwaku. Aku yang sedang berada di kantor saat
itu segera lari ke musala. Setelah berwudu aku salat sunah dan
memutuskan berdiam sejenak di musala. Aku mulai dapat
menangis ketika sujud lama sekali. Aku adukan segala derita
yang kurasakan.
Kusangka badai telah berlalu, kukira semua derita telah
berganti bahagia, tapi nyatanya luka dan derita terasa semakin
dalam. Pada titik seperti itu aku baru tahu bagaimana rasanya
menjadi orang yang ingin mati lalu bunuh diri. Jika bukan
karena pertolongan dan hidayah Allah, aku pun mungkin akan
bunuh diri. Aku tak dapat lagi merasakan getar emosi diri. Aku
tak dapat mengenali rasa marah, kecewa, sedih, atau bahagia.
Perasaanku seperti mati. Gejolak dalam jiwaku terlalu rumit
untuk diurai. Sampai menangis, apalagi tertawa pun sulit.
Satu hal yang masih dapat kupikirkan adalah berdoa.
Salat yang kulakukan sepertinya hanya merupakan sebuah
kebiasaan yang sudah terprogram di dalam otak. Belakangan
aku baru mengetahui kenapa Allah memerintahkan salat lima
waktu. Sebab sebuah kebaikan itu perlu dilakukan secara terus
menerus untuk membentuk sebuah karakter yang kelak akan
membawa kita pada sebuah keselamatan.
Setelah kurang lebih dua bulan aku hidup seperti zombie,
lalu mulai kembali merasakan getaran dalam hati. Itu ku-
rasakan kembali ketika tengah melaksanakan salat. Di sujud
terakhir aku yang terbiasa lebih lama dalam mengerjakannya

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
80
tiba-tiba saja mulai menangis. Sekian lama aku ingin menangis
baru kali itu aku mampu mengeluarkan air mataku. Aku
menangis sejadi-jadinya.
“Ya Rabb, hamba tahu bahwa tidak akan ada di dunia ini
lelaki sesempurna orang bernama Dirman itu, salehnya,
dewasanya, cerdasnya, sabarnya, dan juga mapan. Tapi Ya
Allah, dengan ini hamba memohon kepada-Mu, ciptakanlah
satu saja lelaki di dunia yang seperti itu sebagai jodohku.”
Begitulah isi doa yang kupanjatkan dalam sujudku.
Setelah merasa cukup menangis aku pun mengakhiri
sujud dan menutup salat dengan mengulang doa yang tadi
dipanjatkan dalam sujud secara lisan dengan khusyuk.
Setelahnya aku merasakan sebuah perasaan yang sangat lega.
Kepalaku terasa ringan. Pundakku terasa lebih santai. Aku
menjadi manusia yang lebih kuat dan tegar. Tidak mudah
merasa marah, sakit hati, dan menjadi orang yang lebih sabar.
Lebih suka memaafkan daripada dendam. Dari sana Allah pun
mulai memberikan kemudahan rezeki bagiku dan anakku.
Hari-hari kulalui dengan bahagia bersama pekerjaan baru dan
hal baru yang kutekuni yaitu dunia menulis. Buku-buku
antologi mulai kuhasilkan. Pelan tapi pasti mulai memiliki
buku solo yang saat penulisan ini sedang dalam tahap cetak.
Sampailah pada bulan November 2019. Aku mendapat
tawaran untuk dijodohkan oleh abang angkatku bernama Bang
Boy. Beliau berniat mengenalkanku dengan seorang temannya
di masa SMP. Alhamdulillah di tanggal 17 November kami pun

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


81
berkenalan. Mas Andy aku memanggilnya. Secara fisik terus
terang aku tak merasa tertarik sama sekali. Dia berkacamata,
dengan tampang kutu buku. Aku sama sekali tak merasa
tertarik hanya saja bersimpati dengan kesalehannya yang
terlihat dari cara dia berkata dan bersikap.
Saat pulang, Mas Andy membawaku ke kawasan
Sudirman. Aku saat itu berharap bisa menemui sosok mas
Dirman yang mengaku berkantor di kawasan tersebut juga.
“Ini kantorku. Aku bekerja di lantai tiga puluh enam.”
Sambil menunjuk sebuah gedung tertinggi tiba-tiba Mas Andy
mengejutkan lamunanku.
Kenapa bisa sama seperti ini? Sungguh sebuah kebetulan. Aku
pun kembali mengingat kenangan-kenangan masa lalu saat
lelaki fiktif alias Dirman yang ternyata adalah perempuan
perebut suamiku itu melancarkan tipu dayanya. Memastikan
aku betul-betul bercerai dengan suamiku.
“Kamu mau nggak bekerja di kantorku?” Tiba-tiba lagi
dia menanyakan suatu hal yang juga pernah ditanyakan
Dirman dulu.
“Oh, eh …. Sepertinya nggak mungkin deh, Mas. Saya
hanya lulusan SMK saja, dan belum pernah berpengalaman
kerja di kantoran,” jawabku grogi.
“Tapi kudengar bahwa Inggris kamu cukup fasih, deh.
Dari beberapa percakapan kita tadi. Kurasa aku bisa
mencarikan posisi untukmu.” Dia berusaha meyakinkanku.

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
82
Kemudian aku mulai mencairkan rasa grogiku dengan
pertanyaan. “Kalau boleh tahu, Mas bekerja sebagai apa di
perusahaan sekarang?”
Kemudian dia membuka dashboard mobil dan meng-
eluarkan dua kartu namanya. Tertulis jabatan yang sama persis
dengan jabatan Dirman, seorang direktur!
Hari perkenalan yang penuh kejutan pun berlalu. Hari-
hariku mulai diisi oleh perhatian dan kasih sayang dari Mas
Andy. Berikutnya Mas Andy mengirimkan foto dirinya yang
tengah sibuk dengan dua layar komputer di ruang kerjanya.
Lagi-lagi aku diingatkan kepada foto Dirman yang sama persis
dengan keadaan foto yang mas Andy kirim.
Sejak itu aku mulai membuka hati untuknya. Aku
bersedia menjalin hubungan dengannya. Inilah momen
bahagiaku. Akhirnya tiga bulan sejak perkenalan itu aku pun
menjadi istri dari mas Andy.
Sujud syukur kepada-Mu, ya Allah. My Hapiness is coming
true.
“You are the answer to my pray from up above, Mas.” Dengan
berlinang air mata kupeluk kekasih nyataku, kekasih halalku.
Masya Allah tabarakallah. Alhamdulillah.

***

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


83

BAHAGIA ITU SEDERHANA


(FARIKHAH)

Bahagia .... Siapa sih yang tidak ingin bahagia? Bahagia adalah
pilihan bagi setiap orang, dicari dan diperjuangkan dengan
berbagai cara. Arti bahagia bagi setiap orang pasti tidak akan
sama. Setiap orang berhak untuk bahagia. Apa sebenarnya
bahagia itu? Apa yang menjadi ukuran seseorang telah meraih
kebahagiaan? Bagaimana caranya seseorang untuk meraih
bahagianya?
Di sebuah kursi kayu di ruang tengah duduk seorang
laki-laki tua. Seorang bapak berumur sekitar 70 tahun. Bapak
tua itu tak lain adalah bapakku. Di atas meja di depannya
tergeletak sebuah benda, telepon genggam. Sesekali matanya
melirik telepon genggam itu. Masih diam tidak bergetar.
Hanya helaan napas yang terdengar. Raut wajahnya yang
mulai keriput, menggambarkan kekecewaan di sana. Rupanya
sedang menunggu telepon dari seseorang. Waktu berlalu. Satu
jam, dua jam sudah, tak terasa ia duduk. Meski begitu, ia tetap
sabar, menunggu, dan akan tetap menunggu. Perlahan, ia

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
84
bangkit dari kursinya. Ia berjalan pelan menuju ke belakang
rumah, untuk melihat ayam-ayam peliharaannya, memastikan
makan dan minumnya tercukupi.
Sedang asyiknya memberi makan ayam peliharaannya,
tiba-tiba seorang anak laki-laki berusia 4 tahun berlari
menghampirinya. Di tangannya menggenggam sebuah benda.
Ia berteriak, “Mbah! Mbah! Ada telepon!”
Bapak tua yang dipanggil mbah itu seketika menengok
sambil menyahut, “Telepon dari siapa?”
“Dari Bude Ranti, Mbah,” jawab anak kecil yang ternyata
adalah cucunya. Bergegas ia membersihkan tangannya dan
menerima telepon genggam dari tangan cucunya.
Seketika ada gurat bahagia di raut wajahnya, senyum
simpul terlihat di bibirnya. Akhirnya yang ditunggu dari pagi
ada juga yang menelepon. Perlahan ia duduk di kursi kayu
yang tadi diduduki. Ia dekatkan telepon ke telinga kanannya.
Beberapa saat tidak ada suara apa-apa, sampai kemudian di
ujung telepon terdengar suara.
“Assalamualaikum, Pak,” Suara perempuan memberi
salam.
“Waalaikumsalam wr wb.” Seperti biasa jawaban salam
bapak begitu lengkap.
“Bagaimana kabar, Bapak?” Terdengar suara lagi.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


85
Bapak menjawab, “Alhamdulillah Bapak sehat. Kamu
bagaimana, suami dan anak-anakmu?”
“Alhamdulillah semuanya baik dan sehat, berkat doa
bapak dan ibu, “jawabku. “Bapak sedang apa? Sudah makan?”
tanyaku lagi beruntun.
Bapak menjawab, “Bapak sudah makan. Ini tadi sedang
memberi makan ayam-ayam di belakang rumah.”
Aku lanjut bertanya, “Ayamnya banyak, Pak?”
“Alhamdulillah, ada 15 ekor, ada 3 jago, 6 ayam betina
sisanya anak ayam,” jelas Bapak.
“Oh ya. Lumayan banyak. Enak tuh nanti lebaran
disembelih buat opor. He he he,” lanjutku menggoda Bapak.
Terdengar Bapak tertawa kecil. Obrolan terus berlanjut.
Apa saja kami obrolkan. Sesekali diselingi gelak tawa dari
bapak. Tawa khas bapak terdengar di ujung telepon sana. Tak
terasa satu jam berlalu. Rasanya waktu cepat sekali.
Tiap hari Sabtu dan Minggu bapak selalu duduk
menunggu telepon dari anak-anaknya. Pagi hari setelah mandi
dan sarapan pagi, bapak sudah duduk di kursi kayu ke-
sayangannya. Kebiasaan ini sudah berlangsung sejak anak-
anaknya tidak bersamanya lagi. Anak-anak yang mempunyai
kehidupan bersama keluarganya masing-masing. Anak-
anaknya yang tinggal nun jauh di lain kota. Bapak merasa
kehilangan. Hari-harinya penuh dengan kesepian. Rumah yang

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
86
dulu ramai oleh anak-anaknya, sekarang sunyi sepi hanya
berdua tinggal bersama ibu menghabiskan sisa usianya.
Akhir pekan selalu ditunggu-tunggu oleh bapak. Bapak
akan selalu mengabsen anak-anaknya, siapa saja yang belum
meneleponnya. Bapak akan menanyakan ke ibu, mengapa si A
tidak menelpon, bagaimana keadaan si B. Apakah si C baik-
baik saja … bla bla … masih banyak pertanyaan yang terlontar
dari mulut bapak.
Lewat telepon bapak bisa mendengar suara anak-
anaknya. Hal ini sedikit mengobati rasa kangennya. Meski
tidak puas kalau tidak bertemu langsung, bertatap muka. Raut
kebahagiaan terpancar dari wajah bapak manakala bercanda
dan bergurau dengan anak-anaknya. Terkadang cucu-cucunya
ikutan nimbrung. Apalagi sekarang ada smartphone yang tidak
hanya suara yang bisa didengar, tetapi kita dapat melakukan
video call. Satu sama lain bisa saling melihat.
Suatu ketika ibu pernah bilang, bahwa bapak tidak
mengharapkan macam-macam dari anak-anaknya. Yang
terpenting anak-anaknya baik, rukun dan sehat di perantauan
sana. Cukup mengingat bapak dan menyisihkan sedikit waktu
untuk meneleponnya. Hanya itu yang bapak inginkan.
Termyata itu yang membuat bahagia bapakku. Tak terasa air
mataku meleleh. Sederhana sekali.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


87
Lalu bagaimana dengan aku, anaknya. Sudahkah aku
membahagiakan bapak dan ibu? Pertanyaan itu tak mampu
kujawab, hanya kepedihan dan perih di hati ini. Betapa
egoisnya aku tidak menyisihkan waktu untuk sekedar
menelepon bapak dan ibu. Padahal yang diminta tidak banyak
dan tidak berat. Kebahagiaan bapak dan ibu adalah ke-
bahagiaan aku, anaknya.
Pelajaran atau hikmah yang dapat kita ambil dari kisah
tadi adalah bahwa kebahagiaan itu sederhana sekali. Untuk
menjadi bahagia tidak harus mahal. Untuk bahagia tidak perlu
yang sulit. Di masyarakat masih ada pandangan bahwa jika
seseorang sudah mencapai kesuksesan, yang ditandai dengan
kehidupan yang mapan, keluarga yang lengkap, karir yang
bagus, bisa dipastikan bahwa orang tersebut pasti bahagia.
Lantas bagaimana dengan orang yang hidup biasa aja, dengan
gaji yang tidak begitu besar, rumah yang sederhana, karir yang
biasa saja. Atau orang yang hidup pas-pasan atau bahkan
kekurangan, tidak mempunyai tempat tinggal, pekerjaan tidak
tetap dengan penghasilan yang tidak menentu, makan dengan
lauk seadanya. Apakah itu mereka dikatakan tidak bahagia?
Kita tidak bisa membuat kesimpulan berdasarkan
fenomena yang ada. Kita tidak dapat menemukan kebahagiaan
dengan melihat permukaan yang nampak. Apa yang terlihat

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
88
dan tampak belum tentu mencerminkan keadaan yang
sebenarnya.
Banyak orang yang salah dalam membuat standar
bahagia. Arus kehidupan ini yang membuat orang salah
menentukan kebahagiaan hidupnya. Mereka menjadikan
dunia sebagai standar hidupnya. Dunia menjadi nomor satu
bagi mereka. Mereka lupa, bahwa dunia itu fana, tidak abadi.
Suatu saat akan hancur lenyap seiring berakhirnya kehidupan.
Ibnu Al Qoyyum telah berkata, “Dunia itu ibarat
bayangan, kejar dia, dan engkau tak akan pernah bisa
menangkapnya. Balikkan badanmu darinya dan dia tak punya
pilihan kecuali mengikutimu.”
Bahagia itu abstrak, tidak terlihat, adanya di hati. Bahagia
itu hanya bisa dirasakan. Seseorang yang tengah berbahagia
biasanya akan terpancar ke dalam perilaku atau tingkah
lakunya. Ada orang yang mengungkapkan rasa bahagianya
dengan berteriak. Ada juga dengan menangis. Ada yang diam
karena tidak dapat mengungkapkannya. Ekpresi orang yang
bahagia berbeda-beda.
Rasulullah SAW bersabda, “Yang namanya kaya (ghina)
bukannya dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan
dunia), namun yang namanya ghina adalah hati yang selalu merasa
cukup.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


89
Manusia tidak bahagia karena tidak mau membuka hati,
berusaha meraih yang tidak dapat diraih, memaksa untuk
mendapatkan segala yang diinginkannya, dan tidak mau
bersyukur. Orang yang tahu cara bersyukur adalah orang yang
bisa menikmati keindahan dan arti dari kebahagiaan hidup.
Ingat. Bukan bahagia menjadikan kita bersyukur tetapi
dengan bersyukur akan menjadikan hidup kita bahagia.

***

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
91

JANGAN LUPA TERSENYUM


(Lucia Tutut Widiati)

“Apa sih yang kamu pikirkan?”


“Entahlah, aku bingung.” Aku menjawab pertanyaan itu
dengan lirih.
“Semua orang pasti akan mati, cuma nggak ngerti kapan
waktunya,” ujar sahabatku waktu itu. “Beruntung ada yang
kasih tau kapan kamu akan mati. Kamu tuh kurang bersyukur.
Siapin semuanya dan jangan lupa bahagia.”
Kupeluk erat sahabatku sambil berucap, “Terima kasih,
ya.”
“Senyum, dong. Senyummu akan mengubah duniamu,”
lanjut sahabatku sambil mengusap air mataku.

***

Itu adalah sepenggal percakapan yang sudah mengubah


hidupku. Peristiwa itu terjadi sekitar lima tahun yang lalu. Saat
itu aku baru saja mendengar vonis dari dokter yang

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
92
menyatakan bahwa harapan hidupku hanya tinggal dua tahun
saja. Empat bulan pertama dari sisa hidup, kubuang percuma.
Aku hanya mengeluh, menangis bahkan terkadang mencaci
diriku sendiri. Astagfirullah.
Hatiku ternyata memancarkan energi negatif selama itu.
Hal itulah yang membuat semuanya menjadi runyam dan itu
sangat tidak bagus untuk siapapun. Baik untuk diriku sendiri
ataupun untuk orang-orang yang selalu berada di sekelilingku.
Ternyata aku lupa bahagia. Aku lupa tersenyum. Aku
terlalu fokus terhadap apa yang akan hilang. Tetapi aku lupa
menikmati apa yang sudah kupunya sekarang ini. Mulai saat
itu aku berproses untuk berdamai dengan diriku sendiri. Aku
harus bahagia dan harus membuat orang lain bahagia. Aku
harus tersenyum dan harus membuat orang lain tersenyum.
Karena hal itu adalah salah satu tabungan amalku untuk
bekalku di alam kematian nantinya.
Tapi ternyata aku salah, proses berdamai dengan diriku
sendiri tidak semudah yang kubayangkan. Ternyata aku belum
paham apa arti bahagia itu sendiri. Bagaimana bentuk bahagia
itu dan kapan aku Bahagia. Aku masih belum mengetahuinya.
Aku masih mencari arti bahagia. Dan itu semua membuatku
masih susah untuk tersenyum.
Beruntungnya aku adalah seorang muslim yang mem-
punyai buku ajaib yang bisa menjawab semua pertanyaan

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


93
duniawi. Kubuka Al Quran yang terletak di samping tempat
tidurku. Entah mengapa langsung kutemukan ayat ini.
Mungkin ini adalah jawaban langsung dari Allah.
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan
izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang
siapa menghendaki padala dunia, niscaya kami berikan kepada pahala
dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami
berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan
memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali
Imran: 145)
Janji Allah dalam Al Quran itu nyata sekali. Benar aku
hanya kurang bersyukur. Aku kembali mengingat nikmat-
nikmat yang sudah diberikan-Nya kepadaku. Ternyata aku
bisa tersenyum setelah berhasil mengingat itu semua. Tanpa
disadari selalu tersenyum dalam keadaan apapun ternyata bisa
membuat keadaan menjadi lebih baik. Hatiku mulai
memancarkan energi positif. Semua orang tersenyum pula
kepadaku dan duniaku berubah saat itu.
Kemudian aku mem-flashback semua yang telah kumiliki.
Saat itu terbersit pertanyaan kecil di hatiku. Jadi sebenarnya
bahagia itu apa? Menurutku bahagia adalah ketika aku bisa
mensyukuri segala nikmat-nikmat dari-Nya. Aku harus sadar
bahwa aku sedang bersyukur atas nikmat-Nya setiap detik,
setiap menit, setiap jam dan setiap hari. Semakin kita

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
94
menghitungnya semakin tidak terhingga jumlahnya. Itulah
bahagia yang sesungguhnya menurutku. Semuanya dimulai
dari hatiku sendiri.
Kemudian muncul pertanyaan lagi di hatiku, kapan aku
bahagia? Ini sebenarnya adalah pertanyaan yang sulit.
Harusnya aku bisa bahagia setiap detik, setiap detik, setiap jam
dan setiap hari. Tapi pada kenyataannya mengapa susah sekali.
Beberapa orang bilang akan bahagia ketika mendapatkan
sesuatu yang sudah lama ditunggu atau dicari. Atau beberapa
orang akan bahagia ketika mencapai suatu keadaan tertentu
yang sudah lama berposes meraihnya. Jadi kesimpulannya
mau bahagia harus berjuang dahulu. Butuh perjuangan untuk
mencapai bahagia. Terlalu berat buatku yang sudah lemah ini.
Kembali aku bertanya, “Apakah seberat itu syarat untuk
bahagia?”
Kalau jawabannya iya berarti pantas saja banyak orang
yang terlihat kurang bahagia. Karena ternyata butuh
perjuangan untuk bisa bahagia. Tapi kuyakin jawabannya
adalah tidak. Aku mecoba mencari dan menyelami diriku
sendiri. Butuh proses memang, tapi aku tidak menyerah.
Lihatlah kembali kata-kata di atas, “Terlihat kurang
Bahagia”. Kata kuncinya terletak pada kata “terlihat”. Berarti
bahagia itu harus bisa dilihat oleh siapapun. Dan untuk

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


95
meraihnya harus dengan tidak membutuhkan perjuangan yang
berat, bisa dilakukan oleh kapan pun dan di manapun.
Seperti sedang menyusun potongan-potongan puzzle
kehidupan. Jika menemukan kuncinya maka akan terlihat
sebuah gambar yang indah. Alhamdullilah aku sudah me-
nemukan kuncinya. Kunci dari puzzle kehidupanku sendiri
adalah senyum.
Senyum adalah sebuah bahasa universal yang dapat
dimengerti oleh banyak pihak yang bahkan tidak punya bahasa
pemersatu. Selain itu senyum adalah cara untuk mengurangi
tingkat stres dan kepenatan. Coba saja lakukan hal kecil ini.
Senyumlah dengan orang lain bahkan kepada orang yang
belum kita kenal, niscaya mereka akan membalas dengan
senyuman juga. Dunia pun akan menjadi berseri indah.
Ketika marah, ada sumber yang mengatakan dibutuhkan
sebanyak 63 otot yang bekerja. Ketika cemberut membutuhkan
43 otot yang bekerja. Dan lihatlah ketika kita tersenyum hanya
membutuhkan 17 otot yang bekerja. Jadi paling mudah
dilakukan adalah tersenyum.
Ingatlan selalu kata-kata “Senyum adalah ibadah.” Jadi
jika dilakukan dengan ketulusan hati dan dapat menyenangkan
orang lain insya Allah senyum akan menjadi ibadah yang
paling mudah. Sebab senyum bukan semata aktivitas
pergerakan otot saja, tapi diperlukan kekuatan hati untuk bisa

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
96
melakukannya. Satu yang pasti dengan tersenyum aku dapat
menumbuhkan energi positif dan akan menularkan kepada
sekitarku. Dengan senyum tersebut, maka sinyal positif yang
berasal dari hatiku dan menghapiri otak akan menyebar ke
seluruh tubuh.
Senyum akan membuat wajahku nampak berseri dan
menyenangkan. Aku yakin senyum adalah bahasa lain dari
bahagia. Hanya dengan tersenyum hatiku yang terasa sempit
bisa berubah menjadi lapang. Dengan tersenyum aku bisa
menghadirkan kenyamanan untuk orang yang melihatku.
Selain itu senyum bagiku bisa menjadi obat yang alami.
Karena saat tersenyum tubuh akan mengeluarkan hormon
Endorfin yang dapat meredakan rasa sakit serta Serotonin yang
dapat memberikan perasaan nyaman. Dengan tersenyum aku
akan terjauh dari stres, napas menjadi teratur, detak jantung
menjadi normal, dan aliran darah menjadi lancar.
Senyum memang sederhana, mudah dan tidak perlu
tenaga yang berlebih untuk melakukannya. Tetapi ternyata aku
butuh latihan untuk bisa melakukan itu. Butuh rida
Allah Sang pemilik hati hamba-Nya. Tanpa rida-Nya semua
akan sulit.
Puzzle kehidupanku sudah terbentuk dan aku sudah
melihat indahnya kesempatan hidup dari-Nya.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


97
“Jadi kapan aku bahagia?” Jawabannya adalah ketika aku
bisa membuat orang lain tersenyum.
“Caranya bagaimana?” Jawabannya adalah ketika aku
tersenyum dengan tulus dari hati.
Tapi ingat jangan dilakukan secara berlebihan dan
melampaui batas kewajaran. Karena sesungguhnya berlebihan
adalah sesuatu yang amat dibenci oleh Allah.

***

Alhamdulillah vonis dari dokter saat itu adalah salah. Senyum


membuatku menjadi lebih sehat. Sekarang aku sudah
menemukan arti bahagiaku. Bahagia itu adalah milik hati kita
sendiri dan merupakan anugerah dari-Nya. Jadi apakah saat ini
kamu sudah merasa bahagia? Mari kembali tata puzzle
kehidupan kita masing-masing. Semoga hasilnya indah sesuai
rida-Nya. Jangan lupa bahagia dan selalulah tersenyum.

***

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
99

KAN KUTEMUKAN
BINTANGKU
(Iffa Khaira)

“Anak semuanya nggak ada yang nurut. Orangtua lagi


ngomong selalu aja dijawab. Lihat tuh Ridho, Sri nggak pernah
ngelawan orangtua, selalu diam. Disuruh ini itu juga nurut!”
seru Bapak dengan nada yang tinggi.
Hania anak ke-2 dari tiga bersaudara. Pemikirannya yang
kritis terkadang menjadi pemicu perdebatan dirinya dengan
bapak. Bukan hanya kritis, ia pun keras kepala, teguh
pendiriannya, tidak suka diatur-atur dan terkadang suka
memberontak. Keduanya sama saja tidak ada yang mau
mengalah. Bukan kali ini saja bapak mengamuk, bisa dibilang
hal itu sering.
Amukan bapak seperti ritual yang ada di keluarganya.
Seiring bertambahnya usia, ia dan kedua saudaranya bukannya
berkurang malah semakin menjadi-jadi. Cara pandang bapak
masih kolot. Maklum saja karena pendidikan tak pernah

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
100
direngkuhnya. Bapak berasal dari keluarga yang miskin, sedari
kecil sudah bekerja.
Karena kemiskinannnyalah pekerjaan apapun ia lakoni
selama halal dan bisa menghasilkan uang. Bapak anak kedua
dari tiga bersaudara. Wataknya sangat keras tak mau men-
dengarkan orang lain apalagi nasihat. Kebenaran selalu
menjadi miliknya. Layaknya anak-anak desa yang lain, bapak
hidup di zaman yang teknologi belum menggaung seperti saat
ini dan lingkungan keluarga yang kurang perhatian men-
jadikan wataknya seperti sekarang. Kurang perhatian dan tak
pernah bersikap lemah lembut.
Itulah sekelumit hasil analisis Hania terhadap bapaknya.
Baginya bapak adalah ujian terberat dalam hidup. Tak hanya
berhadapan dengan wataknya, iapun kerapkali dibanding-
bandingkan dengan saudara sepupunya dari garis Bapak. Hal
itulah yang membuatnya semakin jengkel. Tak pernah
sekalipun bapak menganggap Hania dan kedua saudaranya.
Karakter dan sikapnya selalu tak diterima.
Pagi itu terdengar suara yang bersungut-sungut, sedang
memperbincangkan masalah Hania. Bapak tetap keukeuh
dengan pendiriannya ingin memasukkan Hania ke pesantren
bareng dengan sepupunya Ridho. Tetapi Hania masih enggan
dan bersikeras tak setuju sedangkan ibu berusaha untuk

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


101
menenangkan kami agar dibicarakan dengan tenang untuk
bermusyawarah.
Kata musyawarah tak pernah terjadi apik di rumah kami.
Semua hanya wacana yang terdengar indah di telinga. Ke-
hadirannya yang selalu dinanti berharap mampu memecah-
kan solusi hanyalah ilusi di benak Hania. Hal itu tak pernah
terjadi karena kedua pengemudi tak saling bekerjasama, saling
jatuh-menjatuhkan, berebut menanamkan pengaruh di hati
para penumpang dengan menunjukkan masing-masing de-
ritanya serta menyebarkan, melebihkan ataupun menambah
ucapan-ucapan mereka.
Lembah yang Hania huni penuh dengan pilu. Kapal yang
ia dan saudara-saudaranya tumpangi tak pernah sampai ke
dermaga bahagia. Terpecah berai di dalamnya. Ia berlari keluar
mencari lembah yang baru, mencari sosok yang dikira dapat
ditiru. Hania ingin lepas dari itu semua, tapi tak tahu
bagaimana caranya dan harus memulai darimana.
Hania hanyalah seorang anak yang akan memasuki usia
remaja. Saat itu ia tak mampu berbuat apa-apa. Percuma
melawan ataupun memberontak. Ia merasa lelah. Memang saat
Hania akan masuk sekolah SMA kondisi keuangan bapaknya
sedang memburuk, bahkan ketidakwarasan diri hampir
menyerang bapak saking stresnya dengan tekanan hidup yang
sedang ia alami. Tak hanya itu dengan sifatnya yang emosional

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
102
ia gampang sekali tantrum dan marah. Tingkahnya sangat
merepotkan dan meresahkan ibu serta saudara yang lain.
Hania kasihan melihatnya, dengan terpaksa ia pun menyetujui
usulan bapak untuk ke pesantren.
Hania menyembunyikan rasa kesalnya sendiri. Tak ia
utarakan pada siapapun. Saat itu diam adalah alternatif yang ia
lakukan untuk berdamai dengan diri. Ia tak menyangka pada
akhirnya inilah takdir yang digariskan untuknya.
Takdir yang tak bisa ditolak olehnya. Bagaimana
mungkin ia mampu menolak ketika Sang Pencipta telah
menetapkannya. Walau ia tak ingin dan terpaksa tetap saja
harus menerima. Pada akhirnya ia harus bersama dengan
kedua sepupunya yang selalu menjadi bandingannya. Mbak Sri
dan mas Ridho menjadi tolak ukur bapak dalam menilai Hania
dan kedua saudaranya.
Acuan tolak ukur yang berujung pada pemaksaan
karakter dan sifat yang dimiliki Hania. Melahirkan kefanatikan
yang luar biasa pada diri bapak terhadap dua keponakannya
itu. Rasa jengkel dan kesal yang selalu dibanding-bandingkan
kini bersarang di hati Hania. Ia pun berupaya meng-
hilangkannya setelah berada lama di pesantren bersama kedua
sepupunya.
Seiring berjalannya waktu karena sering bersama, lama-
lama hati Hania pun mengagumi sosok sepupunya ini. Walau

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


103
begitu ia tetap ingin menjadi dirinya sendiri dan ingin sesekali
bapak pun menengok karakternya. Apakah kategori anak baik
dan salihah hanya sebatas pada karakter yang dimiliki mbak
Sri? Gumamnya dalam hati. Lantas karena karakter diri yang
dimilikinya bertolak belakang dengan mbak Sri, ia tak patut di
kategorikan anak salihah? Sungguh tak adil sekali jika
ukurannya seperti itu.
Apa yang Hania lakukan semuanya serba salah, masih
saja karakternya dipermasalahkan. Lantas jika sudah seperti
ini, rasa tidak percaya diri mulai menggerogotinya. Walau hati
tak menerima, ia tetap terus melakukan. Capek rasanya, tidak
mampu menunjukan diri. Bukan untuk pamer, tapi ingin
memberitahukan kepada semua orang bahwa cukuplah
menjadi diri sendiri tak perlu seperti orang lain. Ketika diri
masih ada cela tinggal diperbaiki. Bukankah kita diciptakan
berbeda karena masing-masing diri unik. Tuhan ingin me-
nunjukkan kekuasaan-Nya melalui ciptaan-Nya.
Pikiran Bapak tak sampai ke situ. Lagi-lagi yang ia mau
hanya menjadikan Hania seperti Sri. Hal itu tak bisa ditawar-
tawar lagi. Hania tak akan pernah berharap lagi pikiran bapak
akan berubah dan sama dengannya karena hanya kekecewaan
yang pasti ia dapatkan. Mengabaikannya adalah jalan yang
terbaik.

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
104
Tak pernah benar mengabaikan. Hal itu masih selalu
mengusik batinnya. Dalam dirinya muncul dorongan begitu
kuat. Ia ingin menjadi dirinya sendiri. Keluar dengan langkah
yang berani menghadapi dunia sambil berkata inilah “Hania”.

***

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


105

BAHAGIAKU
(Nurul Fiqriyah)

Deru grinder bertenaga listrik berkumandang halus di sudut


dapur. Harum khas biji kopi sangrai yang pecah pun menguar
hingga ke ruang tamu rumah kami yang mungil. Tempat di
mana aku sedang mengenang masa-masa di saat akan me-
lahirkan anak kami yang pertama. Suamiku menyajikan
cangkir tanah berisi kopi berbuih lembut yang masih
mengepulkan asap hangat hasil racikannya. Bak seorang
barista, kemudian diangsurkannya kepadaku untuk segera
kucicipi. Kopi adalah minuman favorit kami berdua. Sambil
ditemani talas dan singkong kukus ... nikmat sekali.
Kepulan asap harum kopi seakan kembali menghadir-
kan kenangan menegangkan namun kini kurasakan sangat
indah. Menghadapi persalinan pertama, sebelumnya aku telah
melakukan persiapan. Dari baju, tempat tidur, dekorasi kamar,
semua bernuansa pink. Maklum aku sangat mendambakan
anak pertamaku ini seorang bayi perempuan. Lain dengan
suamiku selalu mengharapkan hadirnya anak laki-laki dalam

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
106
keluarga kami ini. Aku tersenyum sendiri ketika meng-
enangnya. Tiap kali periksa, hasil USG selalu menunjukkan
bayi perempuan. Tapi suamiku selalu tidak percaya. Dia yakin
anaknya laki-laki. Lain firasatku ....
Pukul 23.00 malam. Hari Selasa, 18 November 2003.
Di tengah lelap tidur, tiba-tiba ada rasa sakit yang
menyerang perutku. Aku terbangun, mencoba ke kamar
mandi. Kulewati ruang tengah dari kamar tidur menuju kamar
mandi. Nampaknya suamiku masih menikmati Liga Inggris
kesukaannya.
Suamiku kaget. “Kenapa?”
“Sakit perutku, Mas. Aku nggak kuat,” jawabku.
“Sudah saatnya, ya?” tanyanya lagi.
“HPL masih seminggu lagi, tapi kok sakit banget, ya,
Mas?” erangku.
“Kita ke dokter, ya?”
“Ngak kuat lagi, Mas …. “ Aku setengah menangis.
“Oke, aku panggil bidan.”
Dipapahnya aku ke kamar, kemudian dia telepon bidan
desa. Tak berapa lama bidan pun datang.
“Aduh! Sakit, Bidan. Tolong!”teriakku kencang bak
guntur di siang hari saja.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


107
Aku sudah tidak tahan lagi. Sungguh. Tangisan dan
rintihan tak tertahan lagi. Seperti ada sesuatu yang mendesak
dari dalam. Menjebol pintu rahimku.
“Ya Allah, sudah pembukaan berapa, Bidan?” Kembali
aku menangis menahan sakit.
“Sabar, Dek. Istigfar.” Suami mencoba menenangkanku.
“Ayo, Bu. Semangat. Sebentar lagi, bayi ibu akan lahir. Ini
sudah pembukaan 7. Tidak usah cemas. Rasa sakit yang ibu
alami adalah biasa bagi yang hendak melahirkan.”
“Allahu Akbar ... ibu seperti inikah sakitnya?” Aku ingat
ibuku.
Rasa sakit yang mendera seakan tak mau pergi, malah
semakin menjadi. Semakin sering datang dan sakitnya semakin
hebat luar biasa. Pantas Allah menempatka kita kaum Hawa
pada derajat yang tinggi. Bahkan ada perumpamaan surga ada
di bawah telapak kaki ibu, dihormati lebih dari siapapun.
Pahala yang kita dapatkan ketika melahirkan disetarakan
dengan jihad. Subhanallah dan sakitnya memang luar biasa.
1001 sakit berkumpul menjadi satu. Hanya kita kaum Hawa
yang dikaruniai rasa sakit seperti ini, masya Allah.
“Astagfirullah .... ampuni hamba, ya Allah.”
“Tenang, napas panjang.”
“Ugh ugh ugh!”
“Napas panjang, Dek. Bukan begitu.”

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
108
“Sulit, Mas. Hmh ugh. Hmh ugh!”
“Lah, gitu. Terus! Terus, Bu! Saya bantu,” kata Bidan.
Bidan dan suamiku sangat sabar. Dengan telaten sesekali
disekanya keringat di wajahku.
“Allaahu Akbar ... eghh ... ohhh!”
Tidak lama menunggu, “Oeek ... oeek!”
Lahirlah anak pertamaku. Alhamdulillah, segala puji bagi
Allah. Anakku lahir perempuan. Sehat, selamat. 2,8 kg
beratnya, dengan panjang 49 cm. Ya Allah sungguh ini adalah
sebuah karunia yang Maha Besar. Dia perempuan. Cantik.
Seketika muncul sebuah angan-angan dan harapan untuk bayi
mungilku ini. InsyaAllah hari-hari bahagia akan menghiasi
hidup kami dengan kehadirannya.
Sekian lama kami menunggu kehadirannya. Setelah
sekian lama sepi rumah kami. Sekarang akan datang cahaya di
rumah kami. Allah Maha Besar, Maha Kuasa, Maha Adil.
Kesabaran dan kegigihan kami terbalaskan sudah.
Betapa panjang dan berliku perjuangan kami untuk
mendapatkannya. Banyak cibiran, sindiran dan pertanyaan
yang berulangkali membuat hati kami tak nyaman. Banyak
yang menyangsikan kami untuk mempunyai buah hati.
Bukankah anak adalah rezeki. Kehendak Tuhan kapan dan
apakah akan diberikan, hanya Dia yang tahu.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


109
Berbagai cara dan ikhtiar, anjuran, saran dan masukan
dari semua orang berusaha kami tempuh. Asal sesuai dengan
dunia medis dan logika tanpa melupakan Allah. Hampir putus
asa dan timbul keinginan untuk mengadopsi. Tapi ternyata
Allah berkehendak lain, kami diberi amanah untuk
mendapatka bayi perempuan.
“Sakit, Bidan!”pekikku.
“Ya, Allah. Ibu tahan, jangan banyak bergerak,” kata
Bidan.
Segera di pasang selang infus di lenganku.
“Kenapa Bidan, aku kenapa!” Aku menjerit.
Aku takut. Aku kesakitan.
Ari-ari yang telah keluar disertai aliran darah yang tiada
henti. Mataku berkunang-kunang. Aku tak mampu lagi
mendengar kejadian yang berlangsung dan kualami. Beribu
bintang di kepalaku. Rasa pusing menghinggapiku. Aku
seperti berada pada suatu tempat bak taman bunga. Berjalan
seperti di awang-awang, tak berjejak tanah, tuing ... tuing ....
Aku tak sadarka diri.
Lama aku baru sadar. Di ruangan serba putih. Sendiri.
Seakan tak punya kekuatan, lemas mendera tulang-tulangku.
Lunglai. Di mana aku? Aku tak mengerti. Di mana bayiku?
Suamiku? Bidan yang menolong persalinanku? Aku sendirian.

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
110
Klik. Pintu kamar terbuka. Suamiku masuk ke ruangan
sambil menggendong bayi mungil kami. Senyumnya
mengembang. Bahagia tak terkira ketika melihat aku sudah
siuman. Ternyata aku mengalami perdarahan hebat. Terlalu
banyak kegiatan sebelum melahirka sehingga aku lelah.
Nampaknya inilah yang memicu bayi kami lahir sebelum HPL.
Alhamdulillah kami bisa melewati ini semua. Laa haula wala
kuwwata illa billah. Tiada daya dan kekuatan melainkan Allah.
“Selamat, ya? Terima kasih. Perjuanganmu sangat berat.
Ini anak kita, perempuan, cantik seperti kamu.” Lembut
suamiku berbisik.
Aku tersenyum. Terima kasih, ya Allah. Terima kasih,
Bidan.
Kebahagiaan yang penuh lika liku untuk men-
dapatkannya. Bagi kami semakin mengokohkan bangunan
mimpi, cita dan harapan tentang keluarga sakinah, telah
menjadi paripurna dengan kehadirannya. Sebuah kenyataan
yang akan kami jalani bersama, telah mengisyaratkan bahwa
telah kumiliki karunia terindah dari-Nya.
Aku berjanji pada diriku sendiri tak akan kusia-siakan
karunia ini. Setelah melewati masa-masa sulit, akhirnya Allah
izinkan kami untuk mendapatkannya. Solekha, nama anak
kami. Sudah beranjak dewasa. Atas keinginannya sendiri,
mengabdikan hidupnya untuk berjuang di jalan Allah. Menjadi

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


111
hafizah adalah pilihannya. Telah kugembleng, kutempa
hidupnya untuk berjuang di jalan Allah. Segala puji bagi
Engkau, ya Rabb. Karunia ini sungguh luar biasa. Semoga
selalu indah sampai pada masanya.

***

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
113

BAHAGIA
BEDA BAHAGIA
(Riko Anjuja)

Dulu aku pernah membaca tulisan Kahlil Gibran, salah satu


kalimatnya yang masih membekas yaitu, “Aku tidak akan
menukar luka dengan keberuntungan banyak orang, tak pula
aku akan mengubah kesedihanku yang lahir karena duka jiwa
yang dalam, dengan diam.”
Kata-kata itu seakan menjadi ekstrak perasaanku saat itu.
Aku nelangsa. Kamu yang telah kuperjuangkan sampai titik
usaha penghabisan, berpaling dalam ikatan perjanjian.
Tragisnya, kamu memilih orang yang sangat kukenal. Kamu
mengabaikan semua yang pernah diucapkan, tanpa aba-aba.
Aku tertegun. Aku menelisik ke hati yang paling dalam.
Dosa apakah yang pernah kulakukan sehingga aku menerima
hukuman seperti ini? Kesalahan apa yang telah kubuat,
sehingga aku harus menghadapi kenyataan ini?
Tidak! Aku tidak melakukan kesalahan apa-apa. Ini
hanya ujian, apakah yang kulakukan selama ini sungguh-

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
114
sungguh kuinginkan, atau sekedar perasaan temporal. Masih
segar dalam ingatanku. Kita memutuskan untuk saling berjanji.
Dengan jari kelingking melingkar, untuk fokus belajar dulu.
Hingga saatnya tiba, kita akan kembali berjumpa menuntaskan
perjanjian kita.
Hanya kita berdua saja dan Tuhan yang tahu tentang janji
ini. Kita saling tersenyum dalam lirik dan irama yang sama.
Energiku bertambah dari biasa. Aku menjadi kuat sekali. Aku
arahkan pandangan sekeliling. Semua benda menjadi bunga.
Orang-orang seperti ikut tersenyum menyambut sumringah
jiwaku.
Saat itu kita masih memakai seragam abu-abu. Seperti
ceritamu padaku. Ibumu tidak menyukai pacaran. Alasan itu
pula yang membuat kita memutuskan untuk “menandatangani
memorandum of understanding” untuk tidak pacaran dulu.
Padahal saat itu, kita belum menyepakati definisi pacaran. Tapi
tidak masalah. Yang kutahu, aku mencintaimu dengan sepenuh
jiwa. Aku berharap suatu saat nanti kita menikah, memiliki
anak, membangun keluarga dan menjalani hidup bersama
hingga usia senja datang menghampiri. Kamu tersenyum
manis saat itu kusampaikan. Walaupun bukan seorang pakar
bahasa tubuh, aku sudah bermakrifat, kamu menerima
perasaanku.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


115
Tamat SMA, nasib membawa kita ke kota yang berbeda.
Kita dipisahkan oleh perguruan tinggi dan cita-cita kuliah. Tapi
aku merasa itu bukan masalah, jarak dan tempat tak akan bisa
mengubah perasaan. Setidaknya itu yang kurasakan. Mungkin
aku sejenis laki-laki langka yang menganggap cinta dan
komitmen adalah sesuatu sakral. Mungkin yang seperti ini
masuk ke dalam spesies yang dilindungi.
Seperti biasa, kita saling bertukar kabar dan saling
bercerita. Aku berharap, waktu cepat berlalu. Jika bisa, aku
ingin melompat saja melewati masa itu. Kesibukan kuliah
masing-masing telah mereduksi komunikasi kita. Namun
dalam teori lain aku menemukan rumus, komunikasi adalah
alat efektif untuk melipat jarak dan melawan rindu. Aku tetap
menjaga ritme komunikasi kita. Tapi sepertinya ada frekuensi
berbeda yang kuterima. Aku masih berpikir positif, ini hanya
masalah biasa.
Hari itu benar-benar hari yang tidak akan pernah
kulupakan. Aku mendapatkan kabar bahagiamu dari orang
lain. Kamu mendapatkan hadiah spesial dari seseorang. Orang
yang selama ini juga kukenal. Kamu dipuji-puji banyak orang.
Kamu dipuji karena berhasil mendapatkan orang yang hebat
dan berkelas. Setidaknya seperti itu penilaian orang banyak.
Aku tak bisa berkata-kata apa lagi. Aku mengumpulkan
sisa-sisa kepercayaan diri sambil berharap Tuhan memberikan

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
116
kejutan untukku. Aku berharap agar kamu bahagia bersama
orang yang telah kaupilih. Akhirnya aku sadar. Aku tidak
pernah menjanjikan apa-apa, apalagi bahagia. Padahal aku
ingin menulis kata-kata ini dalam suratku berikutnya. Kata-
kata dalam lirik lagu Trade Mark, “I wanna spend the rest of my
life, with you by my side, forever and ever”.
Waktu berlalu, aku mendapatkan kabar bahwa orang
spesial yang telah kaupilih meninggalkanmu dengan memilih
orang lain. Aku marah, tapi aku tidak tahu pada siapa harus
marah. Aku memilih marah pada keadaan, tapi akhirnya aku
sadar. Tidak ada yang salah. Ini hanya lika liku kehidupan.
Kadang apa yang kita inginkan, belum tentu kita dapatkan.
Dalam bahasa sederhananya, if it is yours, it will be yours.
Hari ini aku telah membangun keluarga bersama orang
yang sangat kucintai. Dia datang kepadaku tanpa syarat.
Menerimaku apa adanya, dengan segala kelebihan dan
kekuranganku. Aku bahagia bersamanya. Buah cinta kami,
telah lahir sepasang malaikat yang selalu menghibur setiap kali
lelah datang mendera. Kami saling mengingatkan dalam
kebaikan. Ternyata Tuhan memberikan kebahagiaan ini untuk
melunasi janjinya. Setiap kesulitan akan datang kemudahan.
Tuhan memberikan apa yang kuinginkan, bukan
denganmu, tapi dengan orang lain yang sungguh-sungguh bisa
menerimaku. Aku bahagia, karena telah melakukan apa yang

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


117
menjadi bagianku. Aku berharap kamu juga bahagia dengan
jalan yang telah kaupilih. Aku bahagia beda bahagia
denganmu. Biarlah apa yang telah terjadi menjadi rahasia kita
berdua. Seperti janji kita dahulu, hanya kita dan Tuhan saja
yang tahu. Jika suatu saat kamu menemukan belahan jiwamu,
jangan pernah kaulakukan lagi apa yang pernah di lakukan
kepadaku. Kamu harus juga harus bahagia, walau beda
bahagia denganku.

Rindu ini telah mengendap


Ikhlas walau tak berbalas
Seperti endapan kopi
Yang tak pernah diteguk
Tunai sudah bagianku
Aku tak pernah berpaling dari cangkirku
Biarkan aku menyeduh rindu yang datang menghampiriku.

***

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
119

BAHAGIA ITU …?
(Arieska S.)

Apa itu bahagia? Definisi bahagia tiap orang pasti berbeda-


beda. Apa yang membuatmu bahagia? Pertanyaan ini juga
menghasilkan beragam jawaban tergantung kepada siapa
pertanyaan itu diajukan. Seiring pendewasaan seseorang,
makna bahagia akan berkembang dan berbeda-beda pada
setiap fase kehidupannya.
Pencarian bahagia tak sesederhana kata “be happy” karena
ternyata butuh keberanian sendiri untuk menjalaninya.
Benarkah bahagia juga identik dengan tersenyum atau tertawa?
Dulu aku berpikir seperti itu, tetapi ternyata aku salah.
Tersenyum kadang kulakukan untuk menutupi kesedihanku
dari orang lain. Jadi, apa sesungguhnya bahagia itu? Bagai-
mana aku bisa bahagia?
Sewaktu kecil bagiku bahagia adalah adalah ketika orang
tua menuruti keinginanku. Membelikan mainan kesukaan,
makanan favorit atau bahkan menuruti hal-hal lainnya. Jika
keinginanku tidak terpenuhi, rasanya sangat sedih. Pasti saat

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
120
itu aku berpikir bahwa aku tidak bahagia karena keinginanku
tidak terpenuhi. Sesederhana itu makna bahagia bagiku ketika
masih kanak-kanak.
Beranjak remaja arti bahagiaku tidak lagi hanya sebatas
terpenuhinya keinginan dibelikan mainan tetapi, lebih dari itu.
Bagi sebagian remaja, bahagia itu ketika bisa berjalan dengan
gebetan, atau bermain dengan teman-temannya. Keinginan
mereka untuk lebih bebas dalam segala hal adalah kebahagian
tersendiri. Hal ini kadang justru menimbulkan masalah dengan
orang tuanya. Bagiku di masa remaja bahagia adalah ketika
mendapat nilai yang memuaskan di setiap ulangan dan masuk
ke dalam tiga besar saat pembagian rapor. Rasanya sangat
senang melihat kedua orang tuaku tersenyum bangga atas apa
yang kuraih.
Sekarang, di masa dewasa yang sedang kujalani arti
bahagia ternyata lebih luas lagi. Bagi kebanyakan orang
bahagia itu ketika bisa menikah dengan orang yang di-
cintainya. Bahagia juga ketika mempunyai anak dan men-
dampingi tiap tahap perkembangannya. Sebagian orang
memaknai bahagia jika kehidupan keluarga dan sosialnya bisa
berjalan lancar. Sebagian lagi menyebut hidup mereka bahagia
jika mempunyai harta yang berlimpah. Memang tidak ada yang
salah ketika mendefinisikan arti bahagia yang berbeda-beda.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


121
Bagiku sekarang arti bahagia adalah ketika melihat
bidadariku sehat, tersenyum ceria, serta tumbuh dan ber-
kembang dengan baik. Melihat tingkah polahnya setiap hari
membuat hatiku tenang dan tentu saja merasa bahagia. Hanya
itu bahagiaku? Ternyata tidak! Aku bisa merasakan bahagia
ketika bisa membaca buku-buku favorit, menonton drakor
kesukaan, dan membantu orang lain. Melihat mereka ter-
senyum dan senang dengan bantuanku juga adalah kebahagian
tersendiri. Tetapi, ternyata ada hal lain lagi yang bisa mem-
buatku bahagia.
Sebagai seorang pendidik, melihat anak didikku me-
mahami setiap kata yang kujelaskan di setiap pertemuan
adalah suatu kebahagian tersendiri. Melihat semangat mereka
dalam belajar dengan segala keterbatasan ekonomi juga mem-
buatku bahagia. Apalagi melihat mereka sukses dan mem-
peroleh kehidupan yang lebih baik. Itu adalah kebahagian yang
paling didambakan oleh para pendidik.
Jika kuingat kembali hal-hal yang dapat membuatku
bahagia ternyata masih banyak lagi. Sesuatu yang baru
kusadari sekarang adalah bahagia bukan hanya masalah ter-
senyum dan tertawa. Tetapi, bahagia adalah urusan hati dan
perasaan. Orang bisa tersenyum dan tertawa tetapi ternyata
hati mereka tidak merasa bahagia. Mereka hanya menutupi
kesedihan mereka. Ketika kalian melakukan sesuatu yang

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
122
membuat hatimu senang, damai dan tersenyum puas itulah arti
bahagia.
Begitulah bahagia menurut fase hidupku yang sebagian
telah kulewati. Ternyata bahagia itu bisa kita ciptakan sendiri.
Jangan menunggu orang lain untuk membuatmu senang
sehingga kau merasa bahagia. Ciptakan bahagiamu sendiri dari
hal yang paling sederhana. Jika kau bahagia berarti kau adalah
orang yang paling beruntung. Nah, bagaimana dengan kalian?
Apa arti bahagia bagi kalian? Dan apa yang paling membuatmu
bahagia?

***

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


123

BUKU KEBAHAGIAAN
(Frida Aulia)

“Aku menuliskan tentang bahagia, agar kutahu bagaimana


cara berterima kasih.”
-----------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------
“Oke anak-anak, sampai di sini ada yang ingin di-
tanyakan?” Suara Pak Agus terdengar sayup, beradu dengan
suara derasnya air hujan siang ini. Benar saja awan hitam yang
sejak istirahat siang tadi menggelayut manja, akhirnya me-
numpahkan airnya dengan sangat deras. Ditingkahi dengar
gemuruh petir yang nyaris membuat seisi kelas terkaget.
Pikiranku mulai tak fokus. Sebuah layar terkembang di
depan netra. Bunda mengajakku ke sebuah taman kota yang tak
jauh dari komplek tempat tinggal kami. Di sana bunda
mengenalkanku berbagai macam nama bunga. Aku yang masih
kelas 1 SD sangat kagum, karena bunda sangat pintar. Bunda
banyak tahu berbagai hal. Hampir saja aku tak ingin bersekolah
di sekolah umum. Aku hanya ingin belajar dengan bunda. Aku
takut bersekolah, takut jika teman-temanku nanti tidak baik.

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
124
“Risya, bunga yang tangkainya berduri ini namanya
mawar. Hati-hati jika memegangnya, meski durinya kecil tetapi
bisa melukai kulitmu,” kata Bunda saat itu.
“Arisya, coba buat kalimat negatif dalam bentuk past tense
seperti contoh!”
Silvi mencolek tanganku sambil setengah berbisik, “Ris,
elo dipanggil Pak Agus, tuh!”
“Eh, iya Pak, saya, kalimat negatif bentuk past tense, I
didn’t watch the movie last night,” jawabku spontan.
Entah benar atau salah jawabanku, tapi Pak Agus
membenarkan dan seisi kelas bertepuk riuh.
“Wuiih Risya keren! Lagi bengong aja jawabannya
bener!” teriak Aga, salah satu cowok macho sekolah kami.
Aku hanya tersenyum kecil kemudian tenggelam
kembali dalam anganku bersama bunda.
Tak terasa bel sekolah berbunyi tanda pelajaran hari ini
usai dan hujan masih mengguyur bumi. Aku merapikan buku-
buku lalu memasukkannya ke dalam tas, memeriksa laci meja,
dan membersihkannya. Kebiasaan yang sudah kulakukan sejak
sekolah SD. Bunda yang sering mengingatkanku agar sebelum
pulang sekolah memeriksa semua perlengkapan sekolah.
Jangan ada yang tertinggal. Hal yang selalu kuingat sampai
hari ini. Aku masih enggan beranjak keluar dari kelas. Satu per
satu teman meninggalkan ruang kelas. Silvi, mengajakku untuk
pulang Bersama. Hari ini dia dijemput oleh pak Maman, supir
keluarganya. Tawaran menarik, tapi aku ingin menikmati

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


125
hujan sore ini. Kugelengkan kepala dan mengucap terima kasih
ke Silvi untuk ajakannya. Kami pun segera menghambur
keluar.
Koridor kelas 3 mulai sepi. Hanya beberapa orang yang
masih terlihat. Ruang OSIS masih ramai ternyata. Beberapa
pengurusnya masih terlihat sibuk. Ah ya, sebentar lagi jadwal
terbit Mading, pasti mereka akan sangat sibuk. Pengalaman
saat masih menjadi pengurus OSIS masih lekat dalam
ingatanku. Langkahku terhenti saat melewati ruang per-
pustakaan, biasanya masih ada ibu penjaga perpustakaan
sedang beres-beres. Segera saja kakiku berbelok ke per-
pustakaan sekolah. “Sore, Bu Arin!”
“Eh, Risya. Kok belum pulang?”
“Iya, Bu. Masih hujan. Saya boleh bantu Ibu? Sekalian sih
mau cari buku tentang Tata Surya.”
“Wah dengan senang hati, Risya. Kamu boleh pinjam
lebih dari tiga buku minggu ini.”
Bu Arin memberiku bonus boleh meminjam lebih dari
biasanya. Suatu kesempatan yang sayang untuk dilewatkan.
Aku langsung membantu Bu Arin membereskan buku-
buku, surat kabar, dan majalah ke tempatnya semula.
Kemudian mencari buku yang ingin kubaca. Dua buku tentang
tata surya dan alam semesta. Satu buku tentang cara menulis
dan sebuah novel. Tiba-tiba netraku menangkap sosok tubuh
yang beberapa waktu ini sering berpapasan tak sengaja di

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
126
koridor sekolah. Aku tak tahu namanya, karena buatku tak
penting mengingat semua siswa di sekolah ini.
Sosok berpostur tinggi, badan lumayan atletis, alis mata
tebal berpadu dua bola mata teduh, dihiasi hidung yang bangir,
dan kulit langsat. Sebuah pemandangan yang mencerahkan
untuk beberapa detik di tengah gemuruh hujan. Duh Tuhan,
kenapa Engkau hadirkan dia memasuki area pandangku.
Hush, hush, enyahlah engkau wahai sosok tampan yang tak
kukenal!
“Risya!”
Deg! Tiba-tiba aku terkejut saat sebuah suara memanggil
namaku. Langkahku terhenti seketika, hati dag dig dug tak
menentu. Ish, kenapa juga kaya gini? Hellow, Arisya tenang! Dia
bukan hantu, dia cowok kece yang sering papasan sama kamu itu, lho.
Kemon, menolehlah! Pikiran dan hati saling tarik-menarik, antara
menoleh atau pura-pura tak mendengar. Akhirnya kuhentikan
langkah dan berbalik arah menuju suara tersebut.
“Eh, tadi kamu yang manggil?” Duh, bego banget sih gue
pake nanya gitu. Udah jelas cuma dia di situ.
“Kamu Arisya kelas 3 IPS 1, kan?” Dia bertanya untuk
meyakinkan diri, mungkin karena melihat ekspresiku yang
macam orang bingung.
“Iya, benar. Kamu nggak salah, kok. Aku Arisya, eng ...
maaf kamu siapa, ya? Maaf, lho. Aku belum tahu namamu.”
“Aku Reza, kelas 3 IPA 2.” Reza mengulurkan tangannya
ke arahku, aku pun menyambut uluran tangannya. Bola mata

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


127
teduh itu seketika membuat luluh hatiku. Tak perlu waktu
lama, dua menit berikutnya aku dan Reza berbincang dengan
asyik tentang buku yang memang ingin kubaca.
Suara Bu Arin memanggilku untuk bersegera keluar dari
perpustakaan. Dengan empat buah buku yang kupilih dari rak
perpustakaan, segera saja aku dan Reza keluar ruang
perpustakaan mengikuti langkah Bu Arin. Tak lupa kuucapkan
terima kasih kepada Bu Arin karena sudah mengizinkanku
meminjam buku lebih dari biasa. Terima kasih juga karena aku
bisa berkenalan dengan cowok keren seantero SMU Gemilang.
Aku dan Reza berjalan beriring menuju gerbang sekolah.
Hujan mulai reda, menyisakan rintiknya. Sesekali suara guntur
bergemuruh, senja semakin merunduk, mentari segera kembali
ke peraduan, dan warna langit segera berganti.
Aku menyetop angkot yang biasa lewat di ujung jalan
sekolah. Kami pun masuk ke dalamnya. Hanya ada aku dan
Reza di dalam angkot, sunyi tanpa suara. Sesaat kemudian
suara Reza memecah kesunyian di antara kami. Dia me-
nanyakan lokasi rumahku. Ternyata kami satu komplek, hanya
beda blok aja. Aku di blok F, dan Reza di blok H. Tanpa
kuminta Reza mengantarku sampai rumah. Dia langsung pamit
berbarengan dengan suara azan magrib dari masjid komplek
kami. Sore ini begitu berkesan.
“Assalamu’alaikum. Arisya pulang!”
Langsung saja aku masuk lewat pintu samping. Biasanya
Bi Ipah ada di dapur sedang beres-beres. Oh, ternyata Bibi

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
128
sedang salat Magrib. Aku langsung naik ke atas, masuk kamar
untuk membersihkan badan. Rasanya segar setelah mandi.
Segera kutunaikan tiga rakaat Magrib. Aku menutup salat
dengan ungkapan syukur dan doa untuk bunda. Bunda, Risya
rindu. “Neng Risya!” Tok tok!
“Neng bangun, makan dulu!” Suara Bi Ipah meng-
agetkanku, ternyata aku tertidur di atas sajadah.
“Iya, Bi. Masuk aja, nggak dikunci,” sahutku dari dalam
kamar.
“Bibi masuk ya Neng Risya? Hayuk, makan malam
dulu!”
“Ayah sudah pulang, Bi?”
“Ayah Neng tadi telepon, katanya masih ada rapat di
kantor.”
Segera kuajak Bi Ipah untuk turun dan makan bersama.
Bi Ipah sudah seperti keluarga bagi kami. Aku makan ditemani
Bibi. Beliau harus makan juga, bukan hanya menemaniku.
Sering aku meminta Bibi untuk makan bersamaku. Seperti
malam ini, kami makan bersama sambil bercerita kenangan
masa kecilku dan saat bunda masih bersama kami.
“Bi, malam ini tidur di kamar Risya, ya? Please.” Aku
memintanya untuk menemaniku. Entah kenapa malam ini aku
tak ingin tidur sendirian. Bibi pun tak pernah menolaknya.
Kami berbincang sambil aku menyiapkan buku-buku
pelajaran. Baru sekejap ngobrol, Bi Ipah sudah tertidur.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


129
Aku mengambil sebuah buku bersampul merah jambu.
Warna kesukaanku. Bunda memberi buku ini saat ulang
tahunku yang ke-10. Buku ini tebal, aku sangat menyukainya.
Seperti sebuah kaleidoskop diriku. Isinya segala cerita
tentangku sejak masih dalam kandungan hingga usiaku
beranjak kesepuluh. Lembaran-lembaran selanjutnya kosong.
Bunda bilang, lembaran kosong itu memang sengaja banyak,
agar aku bisa menuliskan apa saja tentang kebahagiaan.
Seperti malam ini, aku menuliskan sebuah kebahagiaan
tentang Reza, dan kerinduan pada bunda.
Dear Mimi,
Kamu tahu, nggak? Pasti belum tahu, deh. Kan belum aku kasih
tahu, hehehe. Sore tadi saat jam pelajaran usai, aku enggan pulang.
Selain karena hujan yang turun dengan derasnya, aku sedang rindu
bunda. Akhirnya kuputuskan masuk ke ruang perpustakaan,
maksudnya mau pinjam buku tentang Tata Surya sekaligus
membantu bu Arin beres-beres perpustakaan. Dan ternyata ... aku
ketemu sama Reza, cowok yang beberapa waktu lalu sering papasan di
sekolah. Yup, namanya Reza. Sesuai dengan namanya, orangnya
ramah, baik, pintar, selain tentu saja kece. Kami pulang bersama,
ternyata satu komplek, onde mande Risya kemana aja dari kemarin?
Stupid question (tepok jidat).
Bunda, Risya kangen bunda. Doakan ya semoga Reza bisa
menjadi teman yang baik buat Risya. Syukur-syukur bisa jadi
menantu Bunda. Ups. Sudah dulu, ya, Mimi. Risya mau baca buku
yang tadi pinjam di perpustakaan, nih! Mimi, jika kamu bertemu

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
130
Bunda, sampaikan rindu Risya untuk bunda, ya! See you soon. *My
sweet room, Maret 2020*

Kututup buku pink pemberian bunda dan lanjut


membaca segala hal tentang alam semesta. Hal yang sangat
kusukai sejak aku mengenal huruf. Cita-citaku ingin menjadi
seorang Astronot. Tak berapa lama aku pun tertidur.
Kriiing! Kriing!
Terkaget dengan suara weker yang tiba-tiba berdering
kencang. Segera kumatikan dan melihat ke arah jarum jam.
Sudah pukul 4 pagi, bi Ipah sudah bangun rupanya. Rasanya
aku baru tidur sekejap, kenapa sudah hampir subuh? Risya,
wake up! Aku menepuk wajah sendiri agar tak lagi tertidur.
Sementara dari arah dapur bau wangi aroma masakan bi Ipah
menggoda air liurku yang mulai menari di dalam mulut.
Pagi ini begitu cerah, secerah hatiku hari ini. Kusapa ayah
yang sudah siap menunggu di meja makan. Sarapan pun sangat
istimewa, nasi goreng spesial telur buatan bi Ipah yang sangat
kusuka. Tuntas sarapan aku segera mengambil ransel pink dan
memakai sepatu. Tak dinyana Ayah mengajakku berangkat
bersama, biar mang Jeni mengantarku lebih dulu. Ingin kutolak
tapi tak biasa aku menolak kata-kata ayah. Padahal hari ini aku
sudah janjian sama Reza untuk berangkat bersama.
“Assalamu’alaikum, Arisya!” Sebuah suara yang sudah
kuingat dengan jelas memanggilku.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


131
“Lho, Risya. Itu teman sekolahmu? Siapa? Kok, Ayah
belum dikenalin?” Ayah memberondongku dengan per-
tanyaan.
“Iya, Yah. Teman Risya. Sama-sama kelas 3, tapi baru
kenal kemarin. Ternyata rumahnya Reza di blok H, surprised aja
punya teman sekolah satu komplek,” jawabku spontan.
“Oh, jadi namanya Reza,” kata Ayah sambil meng-
edipkan sebelah matanya kepadaku. “Anak Ayah sudah besar,
ya? Eh, yuk, kita masuk ke mobil. Reza biar bareng aja. Ayah
antar kalian ke sekolah.”
Di dalam mobil, aku mencuri pandang ke arah depan,
tempat Reza duduk di samping Mang Jeni. Ya Tuhan baru
kusadari Reza memang ganteng. Tapi yang terpenting dia baik.
Seperti Ayah kepada Bunda.
Seperti pesan Bunda dalam buku pink, “Carilah teman
yang baik, yang bisa membawamu kepada kebaikan.”
Kudekap erat buku pink dari Bunda. Aku me-
namakannya “Buku Kebahagiaan”. Buku ini selalu kubawa di
dalam tas. Saat aku merasa bahagia, akan kutuliskan di
dalamnya, agar kebahagiaanku bertambah dan bertambah pula
syukurku kepada Tuhan. Pun saat aku merindukan bunda.
Bunda yang telah enam tahun berpulang ke pangkuan illahi
karena sakit.
Masih kuingat lekat saat-saat terakhir bersama bunda.
Bunda terlihat sehat, kami berjalan bersama pagi itu, meng-
hirup udara segar. Mengitari komplek perumahan, duduk

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
132
sejenak di taman bunga sambil menikmati aneka bunga dan
kupu-kupu yang berterbangan. Sesampainya di rumah Bunda
bilang lelah, ingin istirahat.
Bunda mencium dan memelukku lama sambil berbisik
lirih, “Jadilah mutiara hati buat Bunda dan Ayah. Bunda
sayang Arisya dan Ayah.”
Kuantar Bunda ke kamarnya. Kuselimuti tubuhnya,
kucium kening Bunda. Kutemani hingga Bunda terlelap. Aku
menungguinya, karena biasanya Bunda akan terbangun setiap
setengah jam sekali.
Satu jam, dua jam, tiga jam, Bunda tak juga terbangun.
Kupanggil Ayah agar membangunkan Bunda. Ayah pun
memeriksa Bunda, kemudian menggelengkan kepalanya. Ayah
mengusap wajah Bunda dan memelukku kemudian lirih
mengucap, “Innaa lillaah wa innaa ilaihi rooji’un.”
Bunda pergi meninggalkan kami, meninggalkanku yang
masih membutuhkan dekapan bunda. Namun Tuhan lebih
menyayanginya. Selamat jalan, Bunda. Kita akan bertemu
kembali nanti.
Arisya berlari dalam riuhnya hujan sore itu. Didekapnya
sebuah buku bersampul merah jambu dengan erat. Ia tak ingin
kebahagiaannya itu basah terkena air hujan. Sebuah buku yang telah
menemani hari-harinya sejak orang yang dipanggil bunda
meninggalkannya sebulan yang lalu. Depok, Maret 2014.

***

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


133

Tentang Penulis

Rhea Ilham Nurjanah, nama pena dari Nurjanah


Mulyawati. Lahir dan besar di Cimahi. Aktivitas
menulis yaitu sebagai tim penulis di proyek buku
antologi Nubar, editor dan manajer area Nubar
Rumedia cabang Jawa Barat, penulis web di Rumah Media
Grup.com, Nubar-Nulis Bareng.com dan Daily Literacy
Zone.com dan penulis buku anak Islami.
Karya yang sudah dihasilkannya berupa dua buku solo
cerita anak Islami yang diterbitkan oleh penerbit Swadaya dan
Gramedia Pustaka Utama. Kemudian puluhan buku antologi
bersama Nubar Rumedia, WSC, JA. Baik yang sudah terbit
maupun yang sedang proses cetak.
FB: Rhea’s note; Ig: rhea_ilham15; Wattpad:
Rhea_Author; WA: 0895 3317 23117.

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
134
Vethria Rahmi terdidik mulai dari Tk Islam, SD,
MTsN, MAN dan UIN Imam Bonjol Sumbar. Hobi
menulisnya sejak usia sekolah dasar hingga kuliah.
Setelah belasan tahun bekerja sebagai ASN di
Kementerian Agama, menggiringnya kembali ke dunia literasi.
Sebagai salah seorang redaktur majalah bulanan kantornya,
sudah ribuan tulisan yang dikemas dalam bentuk berita
muncul di website lembaganya bahkan di media online
nasional. Bahkan puluhan artikel pernah ditulisnya, baik di
media cetak maupun online. ASN yang juga kerap dipercaya
sebagai MC, moderator.

Nama lengkap Sartina Manik. Biasa dipanggil Tina


dengan memakai nama pena Tina xlalu.
Perempuan berdarah Pakpak kelahiran 1996 di
Sumatera Utara. Kini genap berusia 23 tahun.
Pecinta diksi dan literasi. Menyelam pada dunia tulisan sejak
duduk di bangku kuliah, gemar mengoleksi novel romansa.
Saat ini sedang menulis di 3 event; 1. Gapai Ridha
Ibunda; 2. My Happines. Keduanya merupakan event menulis
antologinya bersama Penerbit rumedia; 3. Antologi Menu
Lebaran Favorit Keluarga pada penerbit Elfa Mediatama
Mari berteman lewat facebook dan Instagram: tina xlalu.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


135
Dian Munasir adalah nama penanya. Nama aslinya
Dian Kumalasari. Lahir di Jakarta, 30 April 1976.
Anak kedua dari 4 bersaudara, dari pasangan
Achmad Munasir dan Tatty Sofiati. Saat ini, Dian
mengajar di salah satu sekolah Islam swasta, di kota Bogor. Ibu
berputra 3 dan 1 putri ini ingin menjadi penulis inspiratif.
Prinsipnya, tidak ada hari tanpa berbuat kebaikan.
“Setiap kebaikan adalah sedekah.” (HR. Bukhari). Baginya,
melakukan kebaikan juga dapat ia wujudkan dalam bentuk
tulisan untuk menjadi manusia yang bermanfaat. “Sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR.
Ahmad, Ath-Thabrani, Ad-Daruqutni)
Bagi yang ingin berkenalan, bisa menghubungi alamat
email: diankms76@gmail.com.

Penulis bernama Sarah Nurul Fadillah, lahir di


Cianjur dan menetap di Garut. Bekerja di salah satu
perusahaan retail sejak tahun 2009 sampai sekarang.
Memiliki beberapa hobi seperti menulis dan
menjahit. Selain bekerja sebagai karyawan swasta, sekarang
sedang menekuni dunia fashion yang diberi nama “D’Arkatifa
Fashion Line” dan mengikuti beberapa komunitas menulis.
Aktif di BUMDES yang sedang mulai di rintis oleh team

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
136
Cinunuk Karya. Bisa menghubungi penulis di FB: Nurulfadill;
Ig: Sarah_Nurul_Fadill; Email: sarahnurul.f91@gmail.com; No
Hp: 087827358000.

Nur Alfi Yuliati adalah seorang ibu muda yang


jatuh cinta pada dunia menulis. Baginya, menulis
merupakan salah satu bentuk self healing dan
sebagai sarana mengasah kepekaan sosial. Alumnus
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga ini telah mengikuti
beberapa event Nulis Bareng dengan tema parenting, self
development, dan traveling. Buku My Happiness ini merupakan
karya kelima penulis bersama Nubar Rumedia. Dia berharap,
karya ini memberikan pencerahan dan kebahagiaan untuk para
pembaca. Penulis bisa dihubungi melalui akun media sosial FB:
Emak Millenial. Instagram: @emakmillenial.

Ibrasia nama pena dari Mutia Ibrahim. P, S.T. Saat


ini alamat domisiliku di Perumahan Bekasi Regensi
2 Blok AA2 No.21 Wanasari, Cibitung, Bekasi, Jawa
Barat. Hobi travelling dan membaca buku. Aktivitas
keseharianku sebagai pendidik. Aku mulai menulis sejak SMA.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


137
Menulis tentang kegiatan keseharian atau pengalaman yang
menambah pengetahuan.
Bergabung di Nubar Rumah Media Grup akhir tahun
2019 tepatnya bulan Desember. Antologiku bersama Nuba di
antaranya Perjalanan Spiritual Si Anak Kampung, Masalah
Menjadi Sahabat, Namamu Adalah Syair Terindah di Hadapan-
Nya, Dengan-Mu Membawa Ketenangan, Orang Ketiga, Atasi
Amarahmu, Gapai Rida-Nya. Aku dapat dihubungi: Facebook
Mutia Varbhanho Ibrahim, Instagram mutiaibra, Email
mutiaibrahimp@gmail.com.

Ery Prasetyo, nama pena dari Misri, S.Pd. Lahir di


Kota Reog. Saat ini penulis menjadi pengajar di
salah satu sekolah yang ada di kota hujan, Bogor.
Memilih berprofesi sebagai pegajar dan penulis
karena ingin dirinya menjadi lebih bermanfaat untuk umat
serta hidup bahagia dengan pilihannya tersebut.
Beberapa antologi yang diikutinya bersama Nubar Jabar
Rumedia yang sudah terbit di antaranya; My Fist Angel,
Kusambut Pinanganmu, My Wound (Ini Lukaku), Senyumku
Menguatkanmu. Sedangkan antologi Inspiring Leader dan Anakku
Inspirasiku adalah judul antologi yang diikutinya dan masih
dalam proses cetak.

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
138
Imma Nur Faida. Lahir di Jombang 13 Maret 1982.
Belajar meniti karir sebagai guru Bahasa Jerman di
MAN 2 Jakarta 2005-2014, kemudian melanjutkan
mengabdi di MAN 2 Kab. Bekasi Jawa Barat sejak
2014 hingga saat ini. Tulisan ini merupakan momen Nubar
keempatnya setelah diawali dengan Nubar di Aku Bukan
Srikandi, Guru Milenial Disiplin Siswa dan Dear my Bestie.
Pelan namun pasti, penulis berusaha memberanikan diri untuk
menyalurkan hobby menulis cerpen dan puisi yang merupakan
hobbynya yang sempat terpendam dan terlupakan dikarnakan
keasyikannya menikmati waktunya sebagai ibu dari tiga orang
anak. Saat ini penulis beralamat di Pondok Pesantren Nurul
Huda Setu, Cikarageman Setu Kab Bekasi. Komunikasi dapat
melalui Email: imma.nf82@gmail.com.

Meyda Sultan Darusman wanita yang dilahirkan di


Jakarta pada 10 Mei 1982. Seorang Ibu Rumah
Tangga full time dengan seorang putra berusia 6
tahun. Menulis adalah sebuah dunia baru yang
ditekuninya hampir dua tahun belakangan ini. Penulis
berharap melalui tulisannya dapat memberikan secercah
perbedaan dalam kehidupan para pembacanya. Sebab penulis
senang dalam berbagi kisah inspiratif yang banyak dialami

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


139
atau dijumpai di dalam kehidupannya. Semoga bermanfaat
dunia dan akhirat. Aamiin.

Farikhah lahir di Pemalang, 18 Juli 1975. Lulusan


IKIP Semarang. Sekarang mengabdikan diri sebagai
pengajar di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bekasi. Di
sela-sela waktunya mengajar mencoba untuk
membuat coretan ini. Tulisan ini adalah tulisan yang ketiga
setelah “Tips Mendisiplinkan Siswa Ala Guru Milenial” dan
“Wanita Teristimewa”. Kebetulan penulis diberi kepercayaan
sebagai kepala perpustakaan. Baru-baru ini telah mengikuti
Rakornas bidang perpustakaan, di mana dalam satu materi
pembicara mengatakan bahwa pustakawan harus bisa menulis.
Meski bukan pustakawan, tetapi itu memotivasi saya untuk
berlatih menulis. Hp/wa: 081381323660, Email:
farikhahharis00@gmail.com.

Lucia Tutut Widiati. Ibu dari dua anak perempuan


cerdas ini lahir di Boyolali pada tanggal 26 Oktober.
Dengan selalu menyembunyikan tahun lahirnya
berharap supaya selalu bisa dipanjangkan umurnya
dan diridai Allah SWT agar punya banyak waktu untuk

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
140
menulis. Baginya hidup akan menjadi lebih hidup dengan
menulis. Perempuan mandiri yang dalam keseharian aktif
sebagai CEO dari Analog Cakrawala Madani ini menjadikan
menulis sebagai ladang amalnya dan selalu fokus untuk
menebarkan nilai-nilai kebaikan dalam setiap tulisan yang
dibuatnya. Buku antologinya yang sudah terbit bersama Nubar
Rumedia di antaranya, Senyumku Menguatkanmu, My Love
Struggle, dan Gagal Itu Biasa, Bangkitlah! Beberapa lagi sedang
proses cetak.

Munifatul Khaeroh, dengan nama pena Iffa


Khaira. kelahiran Pemalang 30 Mei 1992 merupakan
anak ke-2 dari empat bersaudara. Menamatkan
gelar sarjananya di IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Fakuktas Ushuludin Jurusan Ilmu Al Quran dan Tafsir lulus
pada tahun 2016. Memiliki hobi melancong dan corat-coret.
Cita-citanya ingin menjadi penulis yang menginspirasi.
Penulis yang akrab disapa Iffa ini sekarang bekerja
sebagai karyawan swasta dan seorang guru privat. Di samping
itu baru-baru ini aktif di Organisasi FLP Cirebon.
Jejaknya bisa dilacak di akun medsos Fb. Iffa Khaira Az
Zahra, ig.@ Iffa_gadisdesa, twitter. @MunifatulKhaeroh.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


141
Nurul Fiqriyah. Profesi harian sebagai Ibu Rumah
Tangga, Petani, dan penulis. Saat ini berdomisili di
Karangasem, Rt 05/06, Ketapang, Susukan,
Semarang, Jawa Tengah, 50777. Antologinya
Bersama Nubar Rumedia yang sudah terbit yaitu “Perempuan
Penggerak Sosial”. Jika ingin terhubung dengan penulis,
silakan di FB: Nurul Fiqriyah.

Riko Anjuja. Lahir di Simpang tanggal 1 Juli 1983.


Pendidikan terakhir Ilmu Pemerintahan Universitas
Riau. Saat ini bekerja sebagai PNS di Pemerintah
Kabupaten Pasaman Barat. Istri, Destika Amelia dan
memiliki dua orang anak, yaitu Sakhiyya Nuha Zahira dan Puti
Nafisha Ulya. Masih belajar menulis dan berharap suatu saat
nanti bisa menjadi penulis.

Arieska S. adalah ibu dari seorang putri bernama


Zahra. Penulis sehari-hari mengajar di salah satu
SMP Swasta di Kecamatan Kesugihan, Kabupaten
Cilacap. Sejak kecil mempunyai hobi membaca dan
mulai tertarik ke dunia menulis sejak tahun 2018. Karena itu,
penulis memberanikan diri ikut berbagai kelas menulis online.

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
142
Usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Berkat
semangatnya, beberapa buah buku antologi bersama beberapa
penerbit indie sudah terbit dan beberpa naskah lagi sedang
dalam proses penerbitan. Dia bisa dijumpai melalui FB Aries ca
atau IG @arieska_azzahra.

Frida Aulia, nama pena dari Afaf Aulia. Ibu dari 4


anak laki-laki. Tinggal di Depok Timur, Jawa Barat.
Berprofesi sebagai IRT. Hobi membaca dan menulis,
di antaranya nulis cerpen, artikel atau puisi.
Beberapa puisinya terpilih dalam ajang kreativitas di media
online; puisi dalam “Impian Sebuku bersama Eyang Sapardi
Djoko Damono”, antologi puisi terpilih bersama penyair
ibukota, antologi puisi terpilih bersama komunitas WSC, dan
antologi puisi terpilih bersama komunitas PPI.
Penulis sudah melahirkan banyak tulisan dalam bentuk
antologi bersama WSC (Woman Script Community), PPI
(Perempuan Penulis Indonesia), dan NuBar by Rumedia. Saat
ini juga mulai belajar menulis di Web. Rumedia. Bisa dihubungi
via email, fridaflower18@gmail.com atau melalui akun Fb.,
Frida Aulia, Ig. Afaf.aulia18.

Rhea Ilham Nurjanah, dkk


143

NuBar – Nulis Bareng


My Happiness
144

Rhea Ilham Nurjanah, dkk

Anda mungkin juga menyukai