Anda di halaman 1dari 111

(Suatu Studi Reinterpretasi tentang Theisme dalam Masyarakat

Suku Hamap di Kelurahan Moru, Kecamatan Alor Barat Daya)


KUTIPAN PASAL 72:
Ketentuan Pidana Undang-Undang Republik
Indonesia
Nomor 19 Tahun 2002 tentang HAK CIPTA

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan


perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan
atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
~ Petrus Tongkal ~

(Suatu Studi Reinterpretasi tentang Theisme dalam Masyarakat


Suku Hamap di Kelurahan Moru, Kecamatan Alor Barat Daya)

Pekalongan - Indonesia
(Suatu Studi Reinterpretasi tentang Theisme dalam Masyarakat Suku Hamap
di Kelurahan Moru, Kecamatan Alor Barat Daya)
Copyright © 2021

Penulis:
Petrus Tongkal

Editor:
Moh. Nasrudin
(SK BNSP: No. Reg. KOM.1446.01749 2019)

Setting Lay-out & Cover:


Tim Redaksi

Diterbitkan oleh:
PT. Nasya Expanding Management
(Penerbit NEM - Anggota IKAPI)
Jl. Raya Wangandowo, Bojong
Pekalongan, Jawa Tengah 51156
Telp. (0285) 435833, Mobile: 0853-2521-7257
www.penerbitnem.online / nasyaexpanding@gmail.com

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang.


Dilarang memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit

Cetakan ke-1, Januari 2021

ISBN: 978-623-6906-31-6
Kata Pengantar

Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada


Tuhan atas penyertaan dan tuntutan tangan kasihnya, yang
dapat memampukan penulis untuk dapat merancang sebuah
penulisan ilmiah. Ruang yang sangat sempit dan terbatas ini
tidak mungkin dapat menampung semuanya. Ada yang
tercecer dan tidak terjaring dalam tulisan ini. Dari yang
sudah terjaring pun masih banyak yang harus diteliti dan
dicermati. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan
yang membangun guna kesempurnaan penulisan ini.
Proses-demi proses telah penulis lewati mulai dari
masa-masa perkuliahan sampai masa penulisan Tugas
Akhir. Semuanya itu berkat dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Harun Y. Natonis sebagai Ketua Sekolah Tinggi
Agama Kristen Negeri (STAKN) Kupang yang telah
memberikan dorongan moril dan materil guna
keberhasilan penulis;
2. Direktur Pascasarjana STAKN Kupang yang
memberikan kesempatan kepada penulis melanjutkan
studi di Program Pascasarja (PPs) STAKN Kupang;
3. Bapak Pdt. Drs. M. D. Beeh, M.Si selaku Pembimbing I
dan Ibu Santa L. D. V Foenay-da Costa, S.Si Teol, MA
selaku Pembimbing II, yang dengan setia membimbing,
memberi masukan demi kesempurnaan tulisan ini.

v
4. Bapak Drs. Zeth Snae, Bpk. Drs. Z. Ch. Neno, Bapak.
Octovianus Liu, SH., Bapak Hemi D. Bara Pa, S.Pd.,
Bapak Wanser, M.PAK, Bapak Kristian Afi, S.Pd, Ibu
Dece Snae, SE sebagai orangtua di STAKN yang selalu
mendorong penulis menyelesaikan studinya.
5. Rekan-rekan angkatan perdana Program Pascasarjana
STAKN Kupang tahun 2011.
6. Keluarga Besar tercinta: Bapak Yusuf B. Tongkal dan
mama Mariana Tongkal-Ratu Djami, Bapak Simeon B.
Tongkal dan Mama Ester Tongkal-Mokabel. Saudara-
saudriku: Endra, Elvis, Bento, Ima, Yanti, Amelia Rocky,
Serly, Ina, Eka, Oka, Heri Ongki, Riki, Adi dan semua
yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu, yang
selalu mendukung dan mendambakan keberhasilan
penulis.
7. Seluruh rekan-rekan dosen dan pegawai dalam
hubungan dan kerja sama yang baik selama melanjutkan
studi.

Dan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan


satu per satu, tidak ada yang dapat penulis berikan. Hanya
ucapan terima kasih dalam kerendahan hati yang dapat
penulis berikan diserta doa kiranya Tuhan sang pemberi
hidup itu menyertai kita semua di masa kini dan di masa
yang akan datang.

Kupang, September 2013

Petrus Tongkal

vi
Daftar Isi

KATA PENGANTAR __ v
DAFTAR ISI __ vii

BAB 1 PENDAHULUAN __ 1
A. Latar Belakang Masalah __ 1
B. Rumusan Masalah __ 7
C. Tujuan Penelitian __ 8
D. Manfaat Penelitian __ 8

BAB 2 ALLAH YANG MENGKONTEKSTUALISASIKAN


DIRINYA __ 9
A. Konteks Perjanjian Lama (PL) __ 9
1. Masyarakat dan Umat Israel __ 10
2. Agama-agama dan Kebudayaan __ 12
3. Migrasi Penduduk __ 12
4. Situasi Geo-Politik Asia Barat Daya Kuno __ 14
5. Konteks Politik Antar-Bangsa __ 18
6. Bahasa __ 18
B. Allah yang Mengkontekstualisasikan DiriNya __ 20
1. Nama Allah __ 21
2. Gelar-gelar Kehormatan Allah __ 26
3. Gambaran-gambaran Kontekstual Hubungan
Allah-Israel __ 29
C. Perjumpaan Yudaisme dan Helenisme __ 30
D. Cara Manusia Memahami Allah yang Mengkonteks-
tualisasikan DiriNya __ 32

vii
E. Pemahaman tentang yang Mutlak dan Masyarakat
Agrikultur __ 49

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN __ 53


A. Jenis Penelitian __ 53
B. Sumber Data Penelitian __ 53
C. Populasi dan Sampel __ 53
1. Populasi __ 53
2. Sampel Penelitian __ 54
D. Teknik Analisa Data __ 54

BAB 4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN


PEMBAHASAN __ 55
A. Gambaran Umum Kabupaten Alor __ 55
1. Geografis, Administratif dan Kondisi Fisik __ 55
2. Topografi Kabupaten Alor __ 56
B. Gambaran Umum Kelurahan Moru __ 57
1. Letak Geografis __ 57
2. Keadaan Penduduk (Demografis) __ 58
3. Etnik dan Kebudayaan __ 58
4. Mata Pencaharian __ 59
5. Sistem Religi __ 60
6. Latar Belakang Sejarah __ 61
7. Mitologi Orang Hamap __ 62
C. Sejarah Masuknya Agama Kristen di Hamap __ 67
D. Konsep Kepercayaan Agama Suku Hamap __ 68
E. Sikap Agama Kristen terhadap Kepercayaan Agama
Suku Hamap __ 69
F. Pemaknaan Agama Kristen terhadap Konsep Ur, Ved
dan Lahtal __ 70

viii
G. Analisis Kristis terhadap Kepercayaan Suku Hamap
__ 71
1. Konsep tentang Lahtal __ 71
2. Makna Ur, Ved dan Lahtal bagi Orang Hamap __ 73
H. Perbandingan antara Ur, Ved dan Lahtal dengan
Kepercayaan Kristen mengenai Allah Tritunggal __ 74
I. Refleksi tentang Trinitas dalam Ajaran Iman Kristen
__ 75
1. Ajaran Kristen tentang Trinitas __ 75
2. Dasar Alkitabiah tentang Trinitas __ 77

BAB 5 PENUTUP __ 89
A. Kesimpulan __ 89
1. Konsep dan Sikap terhadap Yang Mutlak __ 89
2. Ritus-ritus dalam Agama Suku __ 91
B. Saran __ 95

DAFTAR PUSTAKA __ 96
TENTANG PENULIS

ix
x
Bab 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sumber agama adalah masyarakat itu sendiri.1 Dapat
dikatakan bahwa ide-ide dari sebuah masyarakatlah yang
menciptakan sebuah agama. Begitu pula dengan ide dalam
sebuah masyarakat tentang adanya suatu daya atau
kekuatan yang luar biasa, yang Supranatural atau yang
Transcendental, yang sering dikenal atau di`sapa dengan
nama Tuhan, Dewa, Allah dan sebagainya juga lahir dari
masyarakat. Analisa sosiologis mengenai sebuah agama,
seperti yang telah dikemukakan oleh Diurkheim, harus
dimulai dengan pengakuan akan adanya saling
ketergantungan antara agama dan masyarakat.2
Dalam peradaban Barat dan di semua kultur yang
sangat dipengaruhi oleh pemikiran Yahudi, Islam, dan
Kristen terdapat apa yang disebut sebagai gagasan generik
tentang tuhan. Dalam gagasan atau definisi generik ini, kata
tuhan merujuk ke suatu pribadi yang memiliki tujuan,
memiliki kebaikan sempurna dan kekuasaan tertinggi,
pencipta dan pemberi takdir pada dunia, kadang-kadang
manusia bisa merasakan kehadirannya, khususnya sebagai
sumber aturan-aturan moral dan pengalaman religious,

1 George Ritzer – Douglas Goodman, Teori Sosiologi Modern Edisi


VI, 23.
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern I (Jakarta:
2

PT. Gramedia Pustaka Utama), 196.

-1-
2| Ur, Ved, Lahtal

menjadi landasan yang mendasari makna dan harapan,


sehingga patut disembah.3 Ide tentang Tuhan telah
membantu memberi semangat kepada manusia dalam
menjalankan tugasnya sehari-hari, menerima nasibnya yang
tidak baik, atau bahkan “berusaha mengatasi kesukaran–
kesukaran yang dan berusaha mengakhirinya”.4
Kepercayaan atau keyakinan manusia terhadap sosok
luar biasa di luar dirinya sebagai pengatur segala kehidupan
manusia yang dikenal dengan nama tuhan atau dewa ini ada
karena adanya pengalaman dan perkenalan dengannya.
Manusia dapat mengenal tuhan lewat pengalaman hidup.
Dalam hidup ini manusia dapat mengalami pengalaman
yang disebut pengalaman religius atau keagamaan yaitu
pengalaman yang membawa manusia kepada kepercayaan
akan adanya tuhan.5 Selain agama–agama yang besar diakui
keberadaannya oleh pemerintah Indonesia seperti Kristen,
Islam, Hindu, Budha, Katolik, dan Kong Hu Cu, ada pula
yang disebut dengan istilah agama asli yaitu yang menurut
Subagya adalah kerohanian khas dari satuan bangsa atau
dari suku bangsa, sejauh itu berasal dan diperkembangkan
di tengah–tengah bangsa itu sendiri dan tidak dipengaruhi
oleh kerohanian bangsa lain atau menirunya. Kerohanian itu
tumbuh dan secara spontan bersama (suku) bangsa itu
sendiri.6 Agama asli pada hakikatnya hanya terdapat pada

3 David Ray Griffin, Tuhan & Agama dalam dunia postmodern,


(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005).
4 Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar

Sosiologi Agama, (Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1985), 4.


5 AM. Hardjana, Penghayatan Agama: yang Otentik & Tidak Otentik,

(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), 30.


6 Rachmat Subagya, Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia

(Jakarta: Yayasan Cipta Lokacaraka, 1979), 13.


Pendahuluan |3

masyarakat yang tertutup dengan pergaulan antara etnik


bangsa. Pewahyuan dalam agama asli dijamin
kelangsungannya lewat mitologi.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang di
dalamnya terdapat banyak sekali keragaman. Keragaman
tersebut meliputi keragaman suku, ras, kebudayaan, adat
istiadat, bahasa, dan agama tentunya. Dengan menyadari
pluralitas kesukuan di Indonesia, maka dalam hidup
keagamaan di indonesia tampaklah aneka warna keyakinan
ketuhanan. Yang paling tua diwakili oleh agama asli atau
agama–agama suku.
Agama–agama ini selama berabad–abad dipegang
teguh oleh rakyat sebagai pedoman hidup dan hingga kini
masih tetap terasa pengaruhnya. Bersamaan dengan aneka
warna atau ragam pula sebutan atau nama bagi yang
dianggap sebagai pemilik dunia, yang aktif membimbing
dan mengurus alam dunia dan manusia.
Sebagai sebuah daerah dengan kesukaannya yang juga
terletak di tengah–tengah keberagaman suku di Indonesia,
Desa Moru yang terletak di sebelah Barat Daya Kabupaten
Alor, berjarak 12 km dari ibu kota Kabupaten Kalabahi, juga
memiliki sejarah tentang keyakinan masyarakatnya terhadap
sosok yang dipercayai sebagai yang ilahi. Di wilayah Desa
Moru ada empat suku besar, yaitu:
1. Suku Hamap
2. Suku Klon
3. Suku Kui
4. Suku Abui

Keempat suku besar ini memiliki bahasa dan


kepercayaan yang berbeda-beda. Salah suku yang akan
4| Ur, Ved, Lahtal

diangkat oleh penulis dalam tulisan ini adalah suku Hamap.


Suku Hamap, sama seperti hampir semua suku yang ada di
Alor mempercayai apa yang disebut dengan yang ilahi itu
dengan tiga nama yaitu: Ur (Bulan); Ved (Matahari) dan Lahtal
(rumah yang ada di atas). Tiga nama inilah yang dipercayai
dan berpengaruh besar dalam pembentukan kepercayaan
suku Hamap.

Sekilas tentang Kekristenan di Alor


Tahun 1900, orang Kristen mulai masuk ke wilayah Alor
ini. Orang tersebut bernama Mingga dan Heo7. Kedua orang
itu juga masuk melalui Bang Atinang dan berdomisili di
Pantai Makassar. Penduduk asli Alor yang menganut
kepercayaan suku bermukim di gunung-gunung. Sesekali
mereka turun ke Pantai Makassar, untuk berbelanja terutama
pada hari pasar. Mereka saat itu berkomunikasi dan bergaul
serta bertransaksi jual beli dengan para masyarakat
pendatang terutama komunitas Kristen. Karena orang-orang
Kristen kuat dalam segi pastoral dan sosiologi, artinya mereka
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat
lokal sehingga tidak sedikit di antara penganut agama suku
yang simpati kepada mereka dan beralih untuk memeluk
agama Kristen. Pada tahun 1910 Belanda pun mulai mengirim
lagi seorang yang lain, pendeta yang namanya Wallem Buch.
Pengiriman tersebut dilakukan karena menurut penelitian

7 Mingga dan Heo, penganut agama Kristen. Mereka merupakan


tahanan Belanda yang dibuang ke Alor. Pembuangan mereka ke Alor
mungkin disebabkan oleh karena Alor saat itu dikenal memiliki kondisi
alamnya terjal, bergunung dan lain-lain sebagainya. Selain itu di wilayah
ini masih sering terjadi konflik antar suku, karena mereka masih percaya
kepada agama suku.
Pendahuluan |5

bahwa orang-orang gunung sudah banyak yang percaya


kepada Agama Kristen. Sehingga pada tahun yang sama
Walem Buch mengadakan pembabtisan massal di suatu
tempat, namanya Belolo. Pada tahun yang sama pula sebuah
sekolah dibuka di Belolo. Sekolah tersebut merupakan
pemisahan dari Sunday School yang didirikan sebelumnya.
Jadi sekolah umum yang mengajarkan tentang baca tulis
huruf mulai dipisahkan dengan sekolah minggu yang
mengajarkan tentang ajaran-ajaran Kristen. Pada tahun 1911,
sebuah sekolah umum lagi dibuka di Alor Kecil (Bang
Atinang). Pada tahun yang sama, kapal Conopus (kapal
Belanda, Kapal Putih), berlabu di Alor Kecil dan saat itu
Babtisan massal kedua oleh Wallem Buch lagi.8
Masuknya pengaruh agama-agama besar yang diakui
tadi, khususnya kekristenan yang membaur di seluruh
daratan pulau Alor juga tidak dapat tidak berpengaruh
terhadap keyakinan dan kepercayaan masarakat suku
Hamap. Seperti tulisan Rachmat Subagya bahwa meski pun
agama asli tidak masuk ke dalam jaringan dinamis kontak
internasional, tidak semata–mata statis saja. Irama
perkembangannya mungkin lamban; namun perubahan,
perbaikan dan kemajuan terjadi di dalamnya juga. Akan
tatapi perubahan yang faktor–faktor penyebab berasal dari
luar biasanya lebih besar.9
Agama asli yang masih murni bertemu dengan” agama
impor”, lalu umat beragama itu, dengan menghargai corak
khusus kerohanian mereka sendiri, dapat juga menghargai
agama lain sebagai lebih tepat dan benar. Agama dari luar

8 Dr. F. D. Wellem, Sejarah Gereja masehi Injili di Timor Jilid I,


(Jakarta: Permata Aksara, 2011), 114-117.
9 http://johnhome.tk/
6| Ur, Ved, Lahtal

itu dianggap sebagai pemenuhan harapan rohani yang


belum terpenuhi dan dirasai sebagai kemajuan. Agama lain
itu dapat mendarah daging dan berakar-urat di atas
landasan asli dan mengalami integrasi kokoh.10
Pertemuan agama asli dan agama impor dalam hal ini
Kristen Protestan, terjadi dalam kehidupan keagamaan
masyarakat Suku Hamap. Yang menjadi masalah bagi peneliti
dari pertemuan antara agama asli atau suku dengan ”agama
impor” adalah penyembahan terhadap sosok yang dianggap
sebagai tuhan, dewa, atau penguasa yang disebut dengan
sebutan Ur, Ved, Lahtal. Keterbukaan masyarakat Suku
Hamap dalam menerima kekristenan tidak kemudian
menghapus tiga nama yang disembah, namun menggantinya
dengan sosok Tuhan yang diperkenalkan oleh kekristenan.
Misalnya saja konsep Lahtal dipergunakan untuk
menerjemahkan kata ”tuhan” yang terdapat dalam kitab injil.
Memang belum ada Alkitab yang diterjemahkan dalam bahasa
asli suku ini, namun dalam penggunaan bahasa sehari-hari,
kata Tuhan selalu sebut dengan menggunakan kata Lahtal.
Yang juga menjadi permasalahan selanjutnya adalah
bagaimana Lahtal kemudian dilihat sebagai “tuhan” yang baru
demikian dikenali oleh masyarakat Suku Hamap setelah
masuknya agama Kristen. Sedangkan dalam ajaran agama
Kristen, berbicara mengenai “Tuhan” berarti berbicara
mengenai “Trinitas”. Dalam dogma, Konsep Trinitas
mencakup Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh. Namun
bukan berarti Kekristenan menyembah 3 (Tiga) Allah, tetapi
menyembah 1 (Satu Allah) dalam 3 (Tiga) cara berada.
Perjanjian baru berbicara mengenai yesus yang mewahyukan

10 Ibid, 15-16.
Pendahuluan |7

allah, yang tetap merupakan misteri tetapi yang hadir dalam


segala-galanya. Khususnya dalam manusia kehadirannya itu
disebut roh kudus. Tetapi dalam proses dogmatisasi; Bapa,
Firman dan Roh disejajarkan, dan masing-masing disebut
allah,11 sedangkan dalam kehidupan masyarakat Suku Hamap
dikenal Ur (Bulan), Ved (Matahari) dan Lahtal (rumah yang di
atas) sebagai Tuhan yang mereka sembah. Lalu pertanyaan
mendasar, mengapa kata Lahtal berubah arti menjadi “Tuhan”
setelah kekristenan, sedangkan Ur dan Ved seakan mulai
menghilang. Apakah karena adanya ketakutan masyarakat
dalam perkembangannya dikatakan “menyembah berhala”
sehingga mereka meninggalkan dua nama sesembahan itu.
Dan bagaimana kedudukan Ur, Ved dan Lahtal dalam
kepercayaan masyarakat suku Hamap?
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis
merasa perlu untuk mencari tahu dan meneliti mengenai
makna dari konsep Ur, Ved dan Lahtal dalam kehidupan
masyarakat suku Hamap saat ini yang sudah memeluk
agama Kristen, dengan mengangkat judul: UR VED
LAHTAL (Suatu Studi Reinterpretasi tentang Theisme
dalam masyarakat Suku Hamap di Kelurahan Moru,
Kecamatan Alor Barat Daya).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemahaman masyarakat suku Hamap
tentang Ur, Ved dan Lahtal sebelum kekristenan?
2. Bagaimana pemahaman masyarakat suku Hamap
tentang Ur, Ved dan Lahtal sesudah kekristenan?

11 Tom Jacobs SJ, Paham Allah dalam Filsafat, Agama- agama, dan
Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 159.
8| Ur, Ved, Lahtal

C. Tujuan Penelitian
Dari latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka
tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan makna dari konsep Ur, Ved dan Lahtal
dalam kepercayaan masyarakat suku Hamap.
2. Mendeskripsikan perubahan pemahaman masyarakat
suku Hamap tentang Ur, Ved dan Lahtal setelah
masuknya agama Kristen.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan teoritis tentang makna dari konsep Ur, Ved
dan Lahtal bagi wahana perkembangan ilmu agama
masyarakat dalam pengembangannya di Indonesia
khususnya di Nusa Tenggara Timur.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan akan menambah
pengetahuan tentang makna asli dari konsep Ur, Ved dan
Lahtal yang disembah dalam kepercayaan masyarakat
suku Hamap saat ini.

↜oOo↝
Bab 2
ALLAH
YANG MENGKONTEKSTUALISASIKAN
DIRINYA

A. Konteks Perjanjian Lama (PL)


Kata “konteks” berasal dari bahasa Latin yakni dari kata
con yang berarti “bersama-sama menjadi satu” dan textus yang
berarti “tersusun/terjalin”. Secara harfiah berarti “yang
terjalin/tersusun bersama-sama menjadi satu kesatuan”1. Dalam
hubungan dengan tulisan-tulisan yang membentuk suatu
karya sastra atau literatur, maka konteks berarti “keterkaitan
suatu bagian teks dalam kesatuan atau keseluruhan teks”. Dalam
arti yang lebih luas, sebagaimana dalam ilmu penafsiran
Alkitab, konteks juga berarti situasi kemanusiaan dan kesejarahan
yang empiris di luar teks dan yang turut melatarbelakangi
terbentuknya suatu teks serta ikut mempengaruhi maksud dari teks
tersebut. Dengan demikian suatu teks dapat dipahami dengan
baik apabila konteksnya juga ikut dipertimbangkan dengan
serius (lih. Hasan Susanto, 1986: 205-210). Konteks dalam
suatu teks biasanya meliputi aspek bahasa, kehidupan
keagamaan, sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan.
Apa yang menjadi konteks Perjanjian Lama (PL)? Kita
dengan mudah dapat menjawab pertanyaan ini: kehidupan

1 Bandingkan istilah “tekstil” yang digunakan untuk menyebutkan


jalinan tenunan yang rumit dari berbagai benang sehingga menjadi satu
kesatuan yang indah yang disebut kain.

-9-
10| Ur, Ved, Lahtal

Bangsa Israel sebagai konteks PL. Namun kehidupan Bangsa


Israel yang seperti apa? Inilah yang akan dijelaskan oleh
penulis dalam bagian ini yaitu kehidupan Umat Israel
sebagai umat Allah dalam sejarah. Dengan demikian
tercakup aspek kesejarahan, politik, sosial ekonomi,
keagamaan, kebudayaan dan lain-lain.
Penyelidikan-penyelidikan mutakhir para ahli teologi
mengenai konteks PL menunjukkan bahwa bangsa Israel
bukan suatu masyarakat yang berdiri sendiri dan terpisah dari
bangsa-bangsa/masyarakat lain di sekitarnya. Hasil
penyelidikan itu meperlihatkan bahwa Bangsa Israel ternyata
hidup dalam suatu interaksi yang terus menerus dengan
bangsa-bangsa dan kebudayaan-kebudayaan sekitarnya.
Bahkan interaksi tersebut sangat mempengaruhi secara
langsung kehidupan Bangsa Israel dalam pergumulannya
sebagai umat pilihan Allah.
1. Masyarakat dan Umat Israel
Kehidupan bangsa Israel baik sebagai suatu
masyarakat atau suatu umat adalah konteks utama.
Sebagai suatu masyarakat, kehidupan bangsa Israel
tidak jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat-
masyarakat lain di sekitarnya maupun yang ada di
seluruh Asia Barat Daya kuno. Tentu saja ada keunikan-
keunikan tersendiri dari setiap masyarakat yang lain.
Adat istiadat, mata pencaharian, bentuk dan susunan
kemasyarakatan, sistem pendidikan, lembaga-lembaga
peradilan, sistem politik dan lain-lain bangsa Israel
mempunyai kesamaan-kesamaan dengan masyarakat-
masyarakat sekitarnya.
Masyarakat Israel pun tidak terlepas dari masalah-
masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat umum
Allah yang Mengkontekstualisasikan Dirinya |11

pada saat itu, seperti masalah perbudakaan, perbedaan


sosial antara kaya dan miskin, perbedaan gaya hidup
antara kota dan desa, masalah perlakuan pada orang
asing, masalah hokum dan keadilan, kecenderungan
untuk mengabaikan hokum resmi (Torah) dalam
masyarakat, konflik sosial, masalah moral dan
sebagainya. Hal-hal tersebut menjadi aspek pemberitaan
para nabi dan penulis-penulis kitab-kitab PL.
Di pihak lain, kehidupan bangsa Israel sebagai umat
Allah jelas berbeda dengan umat-umat beragama lain di
sekitarnya. Perbedaan itu terletak pada kepercayaan
bangsa Israel kepada YHWH yang bersifat monoteistis
dibandingkan kepercayaan-kepercayaan lain di sekitarnya
yang bersifat politeistis. Kepercayaan kepada YHWH jelas
menghendaki suatu perilaku it is yang khusus seperti yang
tertulis dalam himpunan hokum Taurat dalam pentateukh
(lima kitab Musa).
Di balik cerita kesalehan bangsa Israel, kita juga
mendengar kritikan tajam para nabi Israel bahwa umat
Allah adalah umat yang keras kepala, tegar tengkuk dan
berkepala batu (Yes. 48:4; Yer. 17:23; 19:15; Yeh. 3:7), yang
berulang kali murtad kepada Tuhan dan menyembah
dewa-dewa kafir. Dan mungkin sampai saat ini penilaian
negatif itu masih tetap ada bahkan turut menghakimi
mereka. Timbul pertanyaan reflektif, mengapa suatu umat
yang dipilih Allah sendiri untuk menjadi umat
kesayanganNya dapat berperilaku seperti itu? Kita dapat
memahami sikap yang oleh para nabi disebut sebagai
“sikap keras kepala” bila kita memahami kehidupan
sehari-hari Israel sebagai suatu masyarakat. Sikap seperti
ini terbentuk akibat lemahnya sistem pendidikan iman di
12| Ur, Ved, Lahtal

Israel, tantangan dan kesukaran hidup yang dialami oleh


umat Israel dan kenyataan bahwa kepercayaan kepada
YHWH kurang dihayati oleh kebanyakan orang Israel.

2. Agama-agama dan Kebudayaan


Dahulu orang menganggap bahwa agama Israel
merupakan suatu gejala keagamaan yang baru dan sangat
berbeda dari agama-agama di Kanaan dan sekitarnya.
Akan tetapi, penyelidikan modern memperlihatkan bahwa
agama-agama di Kanaan dan sekitarnya ikut
mempengaruhi perkembangan agama orang Israel, baik
dalam arti positif maupun negatif.
Demikian pula dengan kebudayaan-kebudayaan di
sekitar Israel. Dalam hal ini kebudayaan Israel sebenarnya
merupakan bagian dari kebudayaan bangsa-bangsa semit
di wilayah Asia Barat Daya kuno. Sistem pertanian,
kemasyarakatan, adat istiadat dan lain sebagainya
mempunyai tingkat kemiripan yang besar dengan
kebudayaan-kebudayaan yang ada di sekitarnya.

3. Migrasi Penduduk
Uraian mengenai topik ini diawali dengan melihat
pada Kitab Kejadian 12-50. Dari uraian Kitab tersebut
dilaporkan mengenai perpindahan Abraham dari Ur-
Kasdim ke Haran dan kemudian pindah lagi ke Kanaan.
Juga dilaporkan pengembaraan keturunan di tanah
Kanaan sampai ke Mesir dan menetap di Gosyen, dan
akhirnya kembali ke Kanaan dan menetap di sana.
Penelitian-penelitian sejarah dan arkeologi yang
dilakukan para ahli memperlihatkan bahwa perpindahan
Abraham dan keturunannya merupakan bagian kecil dari
Allah yang Mengkontekstualisasikan Dirinya |13

gelombang-gelombang migrasi (perpindahan) bangsa-


bangsa pengembara (nomade) dari bagian utara dan timur
Asia Barat Daya kuno untuk menetap di daerah-daerah
yang subur atau yang memungkinkan mereka
melanjutkan kehidupannya.
Migrasi bangsa-bangsa ini menandai proses
peralihan dalam sejarah peradaban manusia dari zaman
pengembaraan (nomade) ke zaman menetap ketika
manusia mulai menetap di suatu tempat dan
membangun kehidupan yang lebih pasti dan menjamin
masa depannya. Sejarah migrasi Abraham dan
keturunannya meliputi satu millennium lamanya yakni
antara tahun 2000 sampai dengan 1000 sM., yakni dari
Abraham sampai menetapnya bangsa Israel (keturunan
Abraham) di Tanah Kanaan.
Alasan-alasan migrasi bangsa Israel pun beragam.
Dalam peristiwa perpindahan Abraham dan
keturunannya, alkitab PL mengemukakan alasan teologis
bahwa Allah berkenan pada Abraham karena
kesalehannya dan menyuruhnya pergi meninggalkan
kaum keluarganya ke suatu negeri yang akan ditunjuk
Tuhan baginya dan bagi keturunannya karena Tuhan
mempunyai rencana besar baginya (Kej. 12:1-3). Namun
penelitian sejarah dan arkeologi memperlihatkan bahwa
secara sosio-polotik kelompok Abraham merasa tidak
nyaman lagi tinggal di wilayah bangsa Ur di Mesopotamia
Selatan. Rekonstruksi sosio-historis memperlihatkan
bahwa pada umumnya sejumlah suku pengembara
menetap dalam wilayah yang dikuasai oleh masyarakat
kota atau raja kota. Antara mereka terdapat hubungan
timbal balik yang saling menguntungkan, baik dalam hal
14| Ur, Ved, Lahtal

perdagangan (ekonomi) maupun dalam hal politik dan


keamanan. Masyarakat semi pengembara ini melakukan
barter dan menyuplai penguasa atau masyarakat kota
dengan hasil-hasil peternakan mereka. Sebaliknya dari
penguasa mereka memperoleh jaminan keamanan
(perlindungan politik) maupun hasil-hasil pertanian.
Namun, apabila situasi keamanan terancam karena
pemerintahan baru masyarakat kota tersebut tidak lagi
bersahabat, maka mereka terpaksa berpindah lagi ke
wilayah/tempat lain yang keamanannya lebih terjamin.
Rekonstruksi ini kiranya dapat menjelaskan alasan-
alasan sosio-politik yang melatarbelakangi migrasi
kelompok Abraham dari Ur-Kasdim ke Haran dan
kemudian ke wilayah bangsa Kanaan.2
Penjelasan ini kiranya dapat membantu kita
memahami kejadian-kejadian yang dikisahkan dalam
Alkitab berkaitan dengan proses pengembaraan Abraham
sampai pendudukan tanah Kanaan sebagai suatu proses
migrasi suku-suku Abraham.

4. Situasi Geo-Politik Asia Barat Daya Kuno


Alkitab memperlihatkan bahwa wilayah bangsa
Kanaan, yang kemudian lebih popular dalam peta dunia
sebagai wilayah Palestina, sejak zaman dahulu menjadi
wilayah yang penuh dengan konflik politik bangsa-bangsa
besar dan berulang kali mengalami penjajahan bangsa

2 Bandingkan pengalaman yang sama dalam kisah Abraham –

Abimelek (Kej. 20) atau kisah Ishak-Abimelek (Kej. 26). Demikian juga
kisah Keluaran dari Mesir yang dialami oleh bangsa Israel disebabkan
karena penguasa Mesir yang baru ternyata telah bersikap memusuhi
keturunan Abraham ini (Kel. 1:8-22).
Allah yang Mengkontekstualisasikan Dirinya |15

asing. Sejarah Israel dalam millennium terakhir sebelum


Masehi memperlihatkan bahwa ini (dan bangsa-bangsa
lain di kawasan Palestina) berulang kali jatuh ke dalam
kekuasaan dan penjajahan bangsa-bangsa asing mulai dari
Asyur, Mesir, Babilonia, Persia, Yunani dan Romawi.
Di dalam PL kisah kehancuran dan keterjajahan
bangsa Israel dipahami secara teologis sebagai bentuk
hukuman Tuhan bagi bangsa Israel, karena ketidaktaatan
dan ketidaksetiaan pada kehendak Tuhan. Penjelasan ini
dipandang cukup dari segi iman, namum apabila
dipandang dari sudut ilmu pengetahuan tetap menjadi
pertanyaan. Pertanyaan yang muncul, mengapa wilayah
kecil ini potensial menjadi wilayah pertarungan politik
dan militer bangsa-bangsa besar pada zaman dahulu?
Pertanyaan ini dapat terjawab dengan memperhatikan
Peta Palestina secara geo-politik seperti gambar di
bawah ini.

Peta geo-politik ini memperlihatkan suatu kawasan


dengan wilayah yang sangat subur, yang membentang
16| Ur, Ved, Lahtal

dari Palestina selatan sampai ke Mesopotamia Utara lalu


berbelok ke Mesopotamia Selatan yang mencakup dataran
subur yang terdapat di sepanjang tepi-tepi sungai Eufrat
dan Tigris. Di atas peta, wilayah itu melengkung seperti
bulan sabit, sehingga para menyebutnya dengan nama
“kawasan bulan sabit yang subur” (the fertile crescent).
Wilayah ini dibatasi oleh Laut Tengah di sebelah barat,
pegunungan-pegunungan tinggi di Irak Utara dan padang
pasir Arabia di sebelah timur.
Jelas bagi kita bahwa, kawasan subur ini
merupakan lumbung pangan yang kaya raya sehingga
menjadi incaran bangsa-bangsa pengembara mupun
bangsa-bangsa besar. Gerakan-gereakan invasi militer
dari utara ke selatan atau sebaliknya jelas akan melanda
dan melalui wilayah-wilayah yang subur dan kaya ini,
dan sedapat mungkin menghindari wilayah padang
gurun Arabia yang gersang. Apabila bangsa Asyur atau
Babilonia di utara melakukan penyerbuan ke arah Mesir
di selatan, maka mereka pasti akan melalui wilayah
Kanaan (Palestina) dan memaksa kerajaan-kerajaan
setempat untuk memihak mereka atau dihancurkan.
Demikian juga sebaliknya bagi Mesir, ketika melakukan
penyerangan ke utara, selalu memaksa kerajaan-kerajaan
kecil di Kanaan untuk memihak kepadanya. Penolakan
akan berkibat fatal, sebagaimana terjadi dalam tahun
terakhir pemerintahan Raja Yosia dari Yehuda (637-608
sM.); ketika bala tentara Mesir bergerak ke utara untuk
membantu Asyur menghadapi penyerbuan Babilonia
harus melewati wilayah Yehuda tanpa perlu meminta
izin Yosia. Hal itu mengakibatkan pertempuran antara
Yehuda dan Mesir yang akhirnya menewaskan raja
Allah yang Mengkontekstualisasikan Dirinya |17

Yosia, serta campur tangan Mesir dalam politik Yehuda


setelah kematian Yosia.
Berakhirnya riwayat Kerajaan Israel di tahun 722 sM.
Di tangan bangsa Asyur, runtuhnya monarki Daud
(Yehuda) di tahun 586 sM. Oleh serbuan bangsa Babilonia
di bawah pimpinan Nebukadnezar, penjajahan Persia
setelah kerajaan Babilonia ditaklukan, kemudian disusul
oleh penajajahan Yunani menggantikan Persia, serta
penjajahan Romawi menggantikan Yunani berkaitan erat
dengan peta geo-politik asia Barat Daya tersebut. Dengan
demikian dapat dimengerti alasan nabi-nabi mengaitkan
hukuman Tuhan dengan hadirnya bangsa-bangsa asing di
wilayah Israel. Para nabi ini dengan cepat dapat melihat
bahwa bangkitnya kekuatan-kekuatan besar dari luar pada
masa itu, baik yang berada di sebelah utara (Asyur), timur
(Babilonia) maupun di sebelah selatan (Mesir), pasti akan
berdampak langsung atau tidak langsung bagi kehidupan
internal bangsa Israel.
Apabila bangsa-bangsa besar tersebut sedang lemah
dan tidak melakukan aktivitas politik dan militer di
kawasan Palestina, maka bangsa-bangsa kecil di kawasan
tersebut memperoleh kesempatan untuk berkembang
menjadi kuat di bidang politik maupun ekonomi.
Demikian pula yang terjadi pada bangsa Israel, baik
Kerajaan Israel Utara maupun Kerajaan Yehuda. Kerajaan
Israel utara memanfaatkan masa-masa lemah Asyur dan
Mesir sebagai kesempatan untuk membangun dirinya
secara ekonomi dan politik hingga mencapai zaman
keemasan di bawah pemerintahan Raja Yerobeam bin Yoas
atau Yerobeam II (tahun 786-746 sM.).
18| Ur, Ved, Lahtal

Dengan memperhatikan peta geo-politik Asia Barat


Daya kuno kita dapat memahami dengan lebih baik
pemberitaan para nabi tentang datangnya bangsa-bangsa
asing sebagai alat Tuhan untuk menghukum dan
membebaskan bangsa Israel.

5. Konteks Politik Antar-Bangsa


Situasi geo-politik seperti yang telah dijelaskan di
atas berpengaruh besar bagi kehidupan bangsa Israel. Hal
itu dapat dilihat melalui kebijakan politik dalam negeri
Israel sepanjang sejarahnya yang dipengaruhi oleh konteks
politik internasional. Salah satu contoh yang dapat
dikemukakan adalah Raja Hizkia (715-701 sM.) yang harus
melakukan kebijakan politik bermuka dua pada Mesir dan
Asyur, namun di saat yang bersamaan ia juga membangun
hubungan pertahanan keamanan dengan Mesir, musuh-
musuh Asyur dan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya
untuk mengusir Asyur keluar dari wilayahnya. Ini adalah
suatu kebijakan yang sangat berbahaya, dan karena itu
Nabi Yesaya telah memperinggatkan agar tidak
melakukannya bahkan mengecam dengan keras kebijakan
politik tersebut (Yes. 30-31). Hal semacam ini selalu terjadi
sepanjang sejarah Israel dan berpengaruh pada
pemberitaan para nabi Israel tentang penghukuman dan
penyelamatan Allah secara khusus dan kehidupan bangsa
Israel secara umum.

6. Bahasa
Salah satu faktor konteks yang juga memainkan
peranan penting yaitu faktor bahasa. Kedudukan dan
peranan bahasa dalam kehidupan keagamaan manusia
Allah yang Mengkontekstualisasikan Dirinya |19

adalah hal yang sangat menentukan bagi perkembangan


pemikiran (teologi) agama itu. Bahasa merupakan sarana
komunikasi yang paling penting baik antara sesama
manusia maupun dengan Sang pencipta.
Berbicara mengenai Allah dan kehendakNya harus
menggunakan bahasa manusia secara utuh dan
komunikatif. Dalam berkomunikasi dengan Tuhan,
manusia berbicara (berdoa) kepada Tuhan, memuji dan
memuliakan Tuhan dengan menggunakan bahasa secara
verbal dalam berbagai bentuk. Lalu bagaimana Tuhan
berkomunikasi dengan manusia? Apakah cukup dengan
memperlihatkan diriNya kepada manusia, ataukah
dengan menggunakan bahasa ilahi (semacam bahasa
roh)? Ternyata Alkitab menunjukkan bahwa Allah juga
menggunakan bahasa manusia untuk berkomunikasi
dengan manusia. Dalam hal ini perlu diperhatikan
penegasan Prof. Bernhard W. Anderson yang
menggarisbawahi pentingnya bahasa manusia. Dalam
salah satu karangannya, ia memberi perhatian khusus
pada pengakuan gereja tentang Alkitab sebagai “Firman
Allah dalam kata-kata manusia” (Theology Today, vol. 42,
1985/86:292-306). Menurut Anderson, Allah yang berada
di atas manusia (transenden) justru memasuki alam
indriawi manusia dan menggunakan bahasa manusia
untuk menyatakan kehendakNya. Penggunaan bahasa
manusia ini memiliki konsekuensi yang besar bagi
pemahaman manusia tentang Allah yang maha besar.
Manusia dimungkinkan untuk dapat memahami dengan
lebih baik siapa sesungguhnya Allah dan apa yang
menjadi kehendakNya.
20| Ur, Ved, Lahtal

B. Allah yang Mengkontekstualisasikan DiriNya


Alkitab memberitakan bahwa Allah selalu berusaha
menjalin hubungan dengan manusia, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Allah yang diberitakan oleh Alkitab
bukanlah Allah yang jauh dan tersembunyi (transenden) saja
melainkan Allah yang dekat dengan manusia (imanen). Dalam
persekutuan dengan manusia, Allah tidak hanya berfirman
dengan menggunakan bahasa manusia, tetapi Ia juga
menyatakan diriNya kepada manusia secara antropomorfis3.
Dalam fenomena antropomorfisme ini Allah masuk ke dalam
konteks kehidupan dan pengalaman nyata manusia yang
membuat diriNya dapat diindra dan dialami langsung oleh
manusia. Di sini kita berbicara tentang Allah yang berani
mengkontekstualisasikan diriNya sedemikian rupa kepada
manusia. Dengan demikian Allah menjadi Allah yang dapat
secara konkret dialami oleh manusia dalam dunia empiris.
Salah satu contoh penting Allah mengkontekstualisasikan
diriNya tampak dalam penggunaan sebutan nama bagi Allah.
Secara teologis dapat dipertanyakan: Apakah Allah memang
mempunyai nama? Jika “ya”, siapakah yang telah memberikan nama
itu kepadaNya? Apakah iitu berarti bahwa si pemberi nama itu
lebih berkuasa atau menguasai Allah, sama seperti seorang
ayah yang berhak/berkuasa memberi nama kepada anaknya?
Manusia tidak mempunyai kemungkinan lain selain
menggunakan “nama Allah” itu dengan kristis dan berhati-

3 Berasal dari bahasa Yunani antrophos “Manusia” dan morphe


“Bentuk”, adalah istilah modern, ditegaskan sejak abad kedelapan belas,
menjelaskan kecenderungan universal secara praktis dalam membentuk
gagasan-gagasan dan konsep-konsep keagamaan, dan dalam sebuah
tingkatan dasar, untuk mengalami sifat-sifat ketuhanan dalam bahasa
dan wujud kehidupan manusia.
Allah yang Mengkontekstualisasikan Dirinya |21

hati. Nama Allah yang tertulis dalam Alkitab tidak


mengartikan bahwa manusia berkuasa atas Allah atau
berkuasa memberi nama bagi Allah. Pengertian semacam ini,
yakni anggapan seolah-olah dengan mengetahui nama Allah
atau dengan menyebut nama Allah manusia berkuasa atas
Allah, jelas bertentangan dengan kesaksian Alkitab dan
merupakan suatu pengertian agama luar Yahudi yang terbawa
dalam kekristenan.
Menurut kesaksian Alkitab, Allah sendiri yang
berkenan membuat diriNya dikenal oleh manusia dan
memperkenankan manusia memanggilNya dengan sebutan
atau nama yang mengandung hakikatNya sebagai Allah.
Inilah yang akan dijelaskan dalam analisis di bawah ini yaitu
bahwa arti “nama Allah” ternyata bukan seperti nama diri
melainkan lebih merupakan “julukan” atau gelar
“kehormatan” yang memperlihatkan sikap hormat dan
tunduk dari manusia kepada Allah.
Dalam PL dapat ditemukan dua kelompok sebutan
bagi Allah yaitu kelompok sebutan “nama Allah” dan “gelar
kehormatan Allah”.
1. Nama Allah
Ada beberapa nama Allah yang umum digunakan
dalam Pl yang dapat diuraikan dalam 3 sub-kelompok,
yaitu adonai, El, dan Yahweh/Yahweh Tsebaot.
a. Adonai
Kata „Adonai‟ adalah bentuk jamak dari kata
„adon‟ yang berarti “tuan, pemilik, penguasa,
junjungan”. Dalam hubungan dengan nama Allah,
kata ini digunakan dalam bentuk jamak dengan
diberi akhiran kata ganti orang pertama tunggal, dan
secara harfiah berarti “tuan-tuanku”.
22| Ur, Ved, Lahtal

Mengapa Allah Israel yang Mahaesa disapa


dalam bentuk jamak? Gejala bahasa seperti ini akan
dibahas dalam kata „Elohim. Cukup dikatakan di sini
bahwa secara teologis penggunaan bentuk jamak
harus diartikan sebagai “tuan di atas segala tuan”,
jadi “Tuhan” yang berarti yang Mahamulia, Sang
Junjungan dan Sang Pemilik. Contoh
penggunaannya terdapat dalam Mazmur 97:5 yang
menyebut Allah sebagai “Tuhan seluruh bumi”
(Adon kol-ha‟arets). Jadi, Allah berkenan dikenal dan
diakui sebagai Sang Pemilik seluruh dunia yang
patut disembah dan dimuliakan.
Dalam perkembangan selanjutnya, sebutan
Adonai seringkali digunakan sebagai ucapan
pengganti bagi nama Yahweh (YHWH) untuk
menghindari penyebutan nama Yahweh secara
sembarangan di kalangan umat Israel, sebagaimana
yang ditegaskan dalam hokum ke-3 Dasa Tita (Kel.
20:7).

b. El
Penyelidikan terhadap agama-agama bangsa
Kanaan dan sekitarnya yang menjadi konteks
keagamaan bagi agama Israel menunjukkan bahwa
El adalah nama dewa yang menjadi kepala pantheon
(dewan para dewa) dalam agama-agama Kanaan
(Blommendaal, 1983: 32; Frank Moore Cross, 1971: 1-
44). Sebagai kepala pantheon, El dihormati sebagai
“yang mahatinggi” (Elyon), “yang mahakuasa”
(Hasyaddai) dan “yang mahakekal” (Ha‟olam).
Allah yang Mengkontekstualisasikan Dirinya |23

Umat Israel menggunakan nama “El” untuk


menyebut Allah yang telah menyatakan diriNya
kepada para leluhur mereka sebagai Allah Abraham
(„El „abi „Abraham), Allah Ishak („El „abi Yizak), dan
Allah Yakub („El „abi Ya‟akov). Hal ini dapat
dimengerti dengan cara memperhatikan adanya
hubungan kekeluargaan yang erat antara bangsa
Israel dengan bangsa Aram (Ul. 26:5-6), salah satu
dari bangsa-bangsa di Kanaan. Di samping itu, nama
El adalah nama umum yang lazim dipakai di
kalangan rumpun bahasa Semit (di mana Israel
adalah salah satu di dalamnya) untuk menyebutkan
nama Allah yang Mahakuasa dan Mahatinggi. Jadi
tidak heran kalai bangsa Israel pun menggunakan
nama El untuk menyebut Allah mereka. Aga tidak
terjadi kesalahpahaman, penulis akan menyebut El
dalam agama-agama Kanaan sebagai El-Kanaan dan
El dalam agama Israel sebagai El-Israel.
Apabila kita membandingkan pemahaman
mengenai El-Israel sebagaimana terdapat dalam PL
dengan pemahaman bangsa-bangsa Kanaan mengenai
El-Kanaan akan terlihat perbedaan yang sangat
mencolok. Perbedaan itu ada karena PL tidak
mengambil alih sifat-sifat lemah dan kemanusiaan El-
Kanaan ketika member kesaksian tentang El-Israel.
Misalnya dalam mitologi Kanaan, El-Kanaan
digambarkan sebagai dewa yang beristri banyak dewi
yang bertolak belakang dengan El-Israel. Begitu juga
sifat „olam (kekal) pada El-Israel tidak identik dengan
hal menjadi tua (uzur) dan lemah seperti pada El-
Kanaan yang membutuhkan dewa-dewi lain untuk
24| Ur, Ved, Lahtal

membantunya. Istilah „olam (kekal) pada El-Israel


justru hendak memperlihatkan kekuatan dan kemaha-
kuasaanNya yang tidak lekang dimakan waktu.
Dengan demikian, sekalipun El adalah nama
umum bagi ilah dalam agama-agama Kanaan dan
sekitarnya, namun bangsa Israel yang taat tidak
tergoda untuk mensejajarkan El-Isarel dengan El-
Kanaan begitu saja. Para penulis Elohis4 (E) yang
berasal dari Kerajaan Israel Utara pada abad ke-8
sM, justru bersikap sangat kristis pada setiap bentuk
penyamaan El-Israel dengan El-Kanaan yang hanya
akan merendahkan kemuliaan dan kekudusan El-
Israel. Demikian juga sikap penulis Pl dari kelompok
Deuteronomis (D) dan kelompok para imam atau
Priestly (P). Mereka bersikap sangat hati-hati dan
sangat kristis dalam mebahasakan El-Israel dalam
perjumpaannya dengan El-Kanaan.
Jadi tidak semua sifat dan unsur-unsur yang
melekat pada El-Kanaan digunakan atau dikenakan
pada Allah (El) Israel. Sesuai dengan hakikat Allah
Israel sebagai yang Mahakudus dan Mahamulia,
maka telah terjadi suatu seleksi yang ketat atas sifat-
sifat dan sebutan yang melekat pada El-Kanaan.
Seluruh sifat dan sebutan yang merendahkan
martabat keilahian Allah dibuang oleh teologi PL.
Sebaliknya sifat-sifat kemuliaan dan kesucian
(misalnya: pencipta seluruh bumi, raja, hakim, bapa

4 Tulisan-tulisan dari sumber Elohis (E) merupakan salah satu dari

empat sumber tertulis (sumber Priestly-P, sumber Deuteronomi-D dan


sumber Yahwist-Y) bagi penyusunan Kitab Kejadian, Keluaran, Bilangan
dan Ulangan.
Allah yang Mengkontekstualisasikan Dirinya |25

seluruh umat manusia) serta karakter-karakter yang


menunjukkan martabat ketuhanan El (mahakuasa,
mahasuci, mahamulia, mahaadil dan mahabijaksana)
tetap dipertahankan dan digunakan sebagai sebuah
kesaksian tentang Allah Israel.

c. Yahweh/Yahweh Tsebaot
Dibandingkan dengan nama El yang merupaka
sebutan umum bagi Allah dalam rumpun bangsa-
bangsa Semit, nama Yahweh dapat dikatakan
merupakan sebutan yang secara khusus lahir dalam
konteks kepercayaan bangsa Israel. Nama Yahweh
terbentuk dari empat huruf mati (konsonan) yakni
YHWH. Sesuai dengan perintah Dasa Titah untuk
tidak menyebutkan nama YHWH dengan
sembarangan, maka setiap kali orang Yahudi
menemukan nama itu dalam Kitab Suci yang sedang
dibacanya, mereka membacanya sebagai Adonai,
sehingga sekarang ditulis dalam aksara latin sebagai
Yahweh. Nama ini terdapat terdapat kurang lebih
6.823 kali dalam PL. Jumlah ini memperlihatkan
betapa pentingnya nama Allah dalam kepercayaan
bangsa Israel.
Tetragram YHWH dibentuk dari kata kerja
hayah yang berarti “ada”, “hidup” atau “menjadi
ada”. Secara historis nama Yahweh5 mulai

5 Menurut F. M. Cross (1971: 60-75) penyelidikan-penyelidikan


semantic atas kata hyh menghasilkan keterangan bahwa kata tersebut
bersama dengan varian-varian keturunannya telah dipergunakan secara
luas dalam literatur-literatur keagamaan di Asia Barat Daya kuno untuk
menjelaskan kemahakuasaan dari ilah-ilah sembahan maupun dalam
bentuk julukan-julukan bagi ilah. Misalnya dalam teks-teks keagamaan
26| Ur, Ved, Lahtal

diperkenalkan oleh Allah kepada Musa di Gunung


Sinai dalam pernyataan: „Ehyeh „asyer „Ehyeh, yang
dalam terjemahan Alkitab PL Terjemahan Lama (TL-
LAI) berbunyi: “Aku ada yang aku ada”. Beberapa
terjemahan Alkitab memang tidak sepakat mengenai
hal ini. The Received Standard Version menerjemahkan
dengan “I‟ am that is I am”, yang kemudian diikuti
oleh LAI Terjemahan Baru (TB-LAI) dengan bunyi
“Aku adalah Aku”. Sedangkan Terjemahan Bahasa
Indonesia Sehari-hari (BIS) mengikuti terjemahan
Today‟s English Version-Terjemahan dalam bahasa
inggris sehari-hari (TEV) dan menerjemahkannya
dengan “Aku adalah Aku Ada”.
Sampai sekarang masih ada perdebatan tentang
arti sesungguhnya dari nama Yahweh ini, namun
dapat dikatakan bahwa Yahweh menunjukkan
eksistensi Allah Israel sebagai Allah yang selalu ada/hadir
di tengah-tengah umatNya, yang selalu menyertai mereka
dalam setiap sistuasi dan kondisi hidup dan yang selalu
bertindak melindungi serta menyelamatkan mereka (Chr.
Barth, 1970:128-129).

2. Gelar-gelar Kehormatan Allah


Dalam pembahasan di atas secara tidak langsung
telah disinggung mengenai gelar-gelar kehormatan

dari Mari terdapat sebutan ha-ya-il/hayya-„il yang berarti “El hidup” atau
“kesabaran El”, atau hw‟il/huwa-‟il yang berarti “El ada/hidup”. Juga
dalam teks-teks keagamaan tersebut terdapat julukan-julukan seperti
Yahwi, yahi, yahu, yawi bagi ilah tertinggi di Asia Barat dya kuno
dahulu. Bahkan dikatakan bahwa sudah semenjak awal, jauh sebelum
Israel keluar dari Mesir, suku-suku Midian di Jazirah Sinai telah
menggunakan nama Yahweh sebagai julukan bagi El.
Allah yang Mengkontekstualisasikan Dirinya |27

Yahweh yang semula melekat pada El-Kanaan maupun


Baal. Pada bagian ini akan dibicarakan secara khusus
empat gelar kehormatan Allah yang mengandung
pengakuan iman Israel tentang Allahnya. Gelar-gelar itu
adalah Pencipta, Penebus, Hakim, Raja dan Sang Matahari.
a. Allah Israel sebagai Sang Pencipta
Pengakuan bahwa Yahweh, Allah Israel adalah
Sang Pencipta alam semesta dan segala isinya
sesungguhnya merupakan suatu pengakuan yang
sangat kontekstual. Dalam dua pasal pertama Kitab
Kejadian terdapat dua versi kisah penciptaan. Versi
pertama adalah kisah penciptaan yang terdapat
dalam Kejadian 1:1 – 2:4a, yang ditulis oleh penulis
Imamat (P=Priestly) sekitar tahun 550 sM.
Sedangkan versi kedua adalah versi yang lebih tua,
yakni kisah penciptaan yang terdapat dalam
kejadian Kejadian 2:4b-25 yang ditulis oleh penulis
Yahwis (Y) sekitar abad ke 8-9 sM.
Penyelidikan-penyelidikan eksegetis yang
memanfaatkan hasil-hasil penyelidikan arkeologi
dan ilmu agama atas agama-agama bangsa-bangsa
di Asia Barat Daya kuno, memperlihatkan bahwa
kedua fasal PL itu hanya dapat dipahami dengan
jelas jika konteks penulisan masing-masing fasal
dipertimbangkan dengan sadar.
Kedua fasal ini ditulis dalam masa yang berbeda.
Kejadian 1:1-2:4a ditulis ketika bangsa Yahudi (Israel
Selatan) berada dalam pembuangan di Babel. Di masa
pembuangan itulah bangsa Israel mendengar tentang
Dewa Marduk sebagai pencipta alam semesta. Dalam
mite-mite Babilonia, Dewa Enhil, Marduk dan dewa-
28| Ur, Ved, Lahtal

dewa lain selalu disebut sebagai “banu syame u irsiti”


atau “khalik langit dan bumi” (Barth, 1970: 26),
kepercayaan ini jelas mempengaruhi kepercayaan
iman bangsa Israel kepada Yahweh. Banyak orang
Israel diduga jatuh ke dalam agama Babilonia.
Bandingkan kecaman Deutero Yesaya terhadap
kecenderungan kaum buangan untuk menyamakan
Allah Israel dengan berhala-berhala mati (Yes. 40:25-
26; 41:6-7; 42:18-20, 44:6-7; 45:9-13, 18-21). Masalah
teologi pun terjadi, bagaimana mengungkapkan iman
kepada Tuhan, Allah Israel dalam konteks keagamaan
di Babilonia. Siapakah yang menciptakan langit dan
bumi, Yahweh ataukan dewa marduk atau Bel dalam
agama Babilonia?
Jawaban atas pergumulan besar tersebut hadir
lewat sebuah pengakuan iman Israel yang sangat
tegas, sebagaimana dapat dibaca dalam Kejadian 1:1-
2:4a. Ketegasan itu tampak dalam kalimat pertama
dokumen pengakuan iman tersebut yang berbunyi:
“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej.
1:1). Teks Ibrani: beresyit bara elohim et hasyamayim we‟et
ha‟arets, yang apabila diterjemahkan akan lebih tegas
lagi ungkapan iman itu yaitu: “pada mulanya Allah
menciptakan langit itu dan bumi itu”. Kata Ibrani
beresyit yang oleh LAI diterjemahkan menjadi “pada
mulanya‟ sebenarnya mengandung makna pengakuan
bahwa; Yahweh, Allah Israel telah bertindak sebagai
pencipta jauh sebelum ada segala sesuatu dan alam
semesta, bahkan jauh sebelum ada aktivitas kedewaan
atas alam semesta ini (bnd. Ay.2). demikian juga kata
bara, yang diterjemahkan “menciptakan”adalah suatu
Allah yang Mengkontekstualisasikan Dirinya |29

istilah yang hanya dipergunakan untuk melukiskan


tindakan Allah mengadakan sesuatu yang belum
pernah ada baik secara fisik maupun secara ide/
gagasan. Berdasarkan pemahaman ini, lahir ungkapan
dalam bahasa latin “creation ex nihilo” (penciptaan dari
yang tiada).

b. Allah Israel sebagai Sang Penebus


Istilah “penebus” (go‟el) adalah istilah teknis
dalam hokum social Israel kuno yang berasal dari kata
kerja ga‟al yang berarti “menebus”. Istilah ini lebih
umum digunakan untuk pembebasan budak dan
tuntutan atas keadilan bagi seorang anggota keluarga.
Seorang go‟el adalah seorang kerabat yang memiliki
kewajiban sosial untuk membela, membebaskan atau
melindungi kehidupan salah satu anggota keluarganya
yang kehilangan kebebasannya karena menjadi miskin
sehingga menyerahkan dirinya untuk diperbudak (Im.
25:25, 48; Rut. 3:13) atau yang telah diperlakukan
secara tidak adil.
PL menggunakan gagasan penebusan untuk
melukiskan tindakan-tindakan penyelamatan yang
dilakukan oleh Allah bagi umatNya. Dengan
member Yahweh gelar sebagai sang Penebus, maka
Pl menekankan bahwa Allah Israel adalah Allah
yang peduli dengan nasib manusia baik secara
kolektif maupun individual.

3. Gambaran-gambaran Kontekstual Hubungan Allah-Israel


Ada banyak sekali gambaran kontekstual yang
menggambarkan tentang hubungan antara Yahweh
30| Ur, Ved, Lahtal

dengan Israel. Tetapi pada bagian penulis hanya akan


menjelaskan tentang 4 gambaran yaitu sebagai berikut:
(a) hubungan bapak-anak, (b) hubungan suami-istri, (c)
hubungan gembala-domba dan (d) hubungan sang
petani-sang pemilik kebun anggur.
Konsekuensi penggunaan gambaran-gambaran
kontekstual ini ialah Allah disebut sebagai Sang
Ayah/Bapa (2 Sam. 7:14; I Taw. 17:13; Maz. 68:9; Yes. 9:5;
63:16; Yer. 3:4), Sang Pengantin Laki-laki (bnd, metafora
pengantin laki-laki dalam kidung agung, bnd. Juga Mat.
25:1) tau sang Suami (bnd. Yes. 54:5; 62:4-5; bnd.
Metafora Alah sebagai suami dalam kitab Hosea), Sang
Petani-Sang Pemilik kebun anggur (Yes. 5:1-7; bnd. Im.
25:23). Di satu pihak sebutan-sebutan tersebut sangat
membantu dalam pemahaman orang beriman terhadap
Tuhan yang disembahnya, namun di pihak lain
mengandung resiko besar untuk disalahpahami bila
orang tidak memahami latar belakang penggunaan
sebutan-sebutan tersebut.

C. Perjumpaan Yudaisme dan Helenisme


Sekalipun dalam Perjanjian Lama ada beberapa nama
yang ditujukan untuk menyebut „Yang disembah Israel‟ di situ
tidak pernah ada keberatan dengan salah satu nama bahkan sering
nama-nama itu dipakai bersama-sama atau menggantikan
yang lainnya. Bahasa Ibrani adalah bahasa mati yang tidak
digunakan sehari-hari, maka ketika bahasa Yunani menjadi
bahasa hidup di Laut Tengah, pada abad III-BC, 72 tua-tua
Israel dikirim oleh Imam Kepala di Yerusalem untuk pergi ke
raja „Ptolomeus Philadelphus‟ di Iskandariah (Afrika Utara)
dengan membawa salinan „Kitab Hukum‟ yang resmi yang
Allah yang Mengkontekstualisasikan Dirinya |31

selama 72 hari diterjemahkan ke bahasa Yunani. Terjemahan ini


terkenal dengan nama „Septuaginta‟ atau „LXX‟ (artinya 70).
Septuaginta secara resmi diterima oleh para Imam
Yahudi dan dalam terjemahan ini istilah „El, Elohim & Eloah‟
diterjemahkan sebagai „Theos‟ dan „Yahweh‟ sebagai „Kurios.‟
Penterjemahan Theos dan Kurios ini tidak menjadi masalah bagi
orang Yahudi maupun para Imam Yahudi. Kedua istilah Yunani
inilah yang digunakan dalam penulisan Perjanjian Baru dalam
bahasa „Yunani Koine.‟ Baik Allah, Yesus dan para Rasul
menerima terjemahan itu, bahkan ketika membaca kitab Yesaya
61:1-2, Yesus membacanya dari „LXX‟ (Kurios, Luk.4:18-19).
Dalam terjemahan PB (Yunani Koine) ke bahasa
lainnya, nama „Theos & Kurios‟ diterjemahkan sebagai „God
& Lord‟ (Inggris) dan „Allah & Tuhan‟ (Indonesia). PL
(Indonesia) diterjemahkan dari bahasa Ibrani di mana „El,
Elohim & Eloah‟ diterjemahkan sebagai „Allah‟ dan „Yahweh‟
sebagai „TUHAN‟ („Yahweh‟ tidak pernah diterjemahkan
sebagai „Allah‟).
Dalam hubungan dengan penerjemahan ke dalam bahasa
Indonesia, LAI dalam surat penjelasannya (21 Januari 1999)
mengutip Dr. Daud H. Soesilo menyebutkan bahwa:

“Dalam terjemahan bahasa melayu dan Indonesia, kata


„Allah‟ sudah digunakan terus menerus sejak terbitan Injil
Matius dalam bahasa Melayu yang pertama (terjemahan
Albert Corneliz Ruyl, 1629). Begitu juga dalam Alkitab
Melayu yang pertama (terjemahan Melchior Leijdekker,
1733) dan Alkitab Melayu yang kedua (terjemahan
Hillebrandus Cornelius Klinkert, 1879) sampai saat ini.”

Dari uraian ini kita dapat melihat bahwa terjemahan


bahasa Indonesia „Allah‟ untuk menunjuk „nama‟ El, Elohim
32| Ur, Ved, Lahtal

& Eloah dalam PL dan Theos dalam PB, dan „TUHAN‟ untuk
Yahweh dalam PL dan „Tuhan‟ untuk Kurios dalam PB
tidaklah menjadi masalah, apalagi kata „Allah‟ adalah bagian
kosa kata bahasa Indonesia sehingga tidak salah kalau
dipakai terus. Yang penting dalam menggunakan suatu nama
„generik‟ adalah „siapakah yang kita maksudkan dengan menyebut
nama itu.‟ Penggunaan nama yang sama belum tentu
dimengerti sama dan pengertian „Yahweh yang adalah
Elohim Abraham, Ishak dan Yakub‟ yang dimengerti dan
dipercaya oleh orang Yahudi belum tentu sama dengan yang
dimengerti oleh orang Kristen Perjanjian Baru yang tidak
saja mempercayai „Kurios yang adalah Theos Abraham, Ishak
dan Yakub‟ tetapi juga „yang digenapi dalam Yesus Kristus.‟
Berikut Yesus menyamakan dirinya sebagai „Kurios‟:

“Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: Tuhan,


Tuhan! (Kurios) akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga,
melainkan dia yang melakukan kehendak BapaKu yang
di sorga.” (LAI, Mat.7:21) .

D. Cara Manusia Memahami Allah yang Mengkonteks-


tualisasikan DiriNya
Berbicara tentang bagaimana manusia merespon
tindakan Allah yang mengkontekstualisasikan dirinya,
berarti kita akan berbicara mengenai bagaimana manusia
mempunyai konsep tentang Allah. John Titaley dalam
tulisannya6 menguraikan tentang konsep Tuhan dalam dua
tataran. Tataran Abstrak dan Tataran Empiris. Tataran abstrak

6 John Titaley, Negara, Agama-agama dan Hak Asasi Manusia:


Mengkaji Ulang Eksklusifisme Agama, (Makalah), Caringin, Bogor: Sidang
Raya PGI, 30 Nopember-4 Desember, 2004, 14.
Allah yang Mengkontekstualisasikan Dirinya |33

disebutnya sebagai yang mutlak7. Hal ini dapat dimengerti


sebab pada tataran ini yang mutlak itu misterius sehingga
sehingga tidak ada seorang pun yang dapat dengan
sempurna memahaminya. Sedangkan dalam tataran empiris
Yang Mutlak, disebut dengan berbagai nama yang menurut
John Hick merupakan fenomena thesitik yang sebenarnya
bertumpu pada pemahaman mengenai yang ideal.8
Yang Mutlak atau yang absolut dipahami ada dalam
realitas nomenon dan fenomenon.9 Pada aras nomenon, Yang
Mutlak menempai tempat-tempat yang sakral transenden.
Masyarakat memahaminya sebagai yang mutlak (yang di atas).
Sebagai Yang Mutlak dalam ars nomenon ini, dia berkuasa
mengendalikan segala sesuatu dan kuasanya sangat diyakini
walaupun sangat abstrak. Pada aras ini agama-agama
kemudian melahirkan berbagai doktrin Yang Mutlak itu
sebagai tokoh adikodrati yang tidak terlihat (invisible god).10

7 John A. Titaley, Di Seputar Penerjemahan Nama Yahweh dalam


Alkitab Bahasa Indonesia, dalam Jurnal Waskita: Jurnal Studi Agama dan
Masyarakat, Vol. III, No. 2, November 2006, 155
8 John Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, (Yogyakarta:
DIAN/Interfidei, 2006), 47.
9 Imanuel Kant menyebutkan dua jenis realitas, yaitu dunia

fenomena dan nomena. Dunia fenomena adalah dunia yang rasional


yang kita alami dengan panca indera. Sifatnya yang rasional
membuatnya menjadi terbuka bagi penelitian ilmiah. Ilmu pengetahuan
meneliti dunia fenomena. Dunia alami dan nalar yang mengarahkan
pengamatan. Sedangkan dunia nomena adalah dunia yang tidak bersifat
fisik atau non empiris dan karena itu tidak dapat didekati melalui
pengamatan empiris. Manusia tidak dapat menjangkau dunia nomena
walaupun dalam kehidupan manusia mempunyai peran yang dominan.
(Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Buku Sumber untuk
Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 29.
10 Martinus Ngabalin, Studi Perbandingan terhadap Konsep Tuhan

menurut orang-orang Key di Kepulauan Key dan Paulus (Tesis), Salatiga:


Program Pasca sarjana UKSW, 2006, 84.
34| Ur, Ved, Lahtal

Sedangkan pada aras fenomenon, yang Mutlak dapat


dipahami ke dalam berbagai identitas, simbol dan personifikasi
atau dalam penyebutan dalam berbagai atribut budaya.
Sebagai pengalaman yang budayawi terhadap Yang Mutlak,
maka dalam persepsi keagamaan orang Yahudi menyebutnya
Yahweh, orang Islam menyebutnya Allah S.W.T, Orang Kristen
Allah Tri Tunggal.
Yang Mutlak dalam tataran Abstrak memang
selamanya tetap misterius, namun ketika masuk dalam
empiris, Yang Mutlak dapat dipahami secara budayawi,
maka tentunya dapat ditelusuri malalui sejarah manusia
yang membentuknya.11
Berbicara mengenai Yang Mutlak, berbicara mengenai
misteri. Misteri bukanlah rahasia. Rahasia dengan sengaja
disembunyikan, tidak boleh diketahui. Sementara misteri tidak
dapat diketahui. Yang Mutlak mewahyukan diri, tetapi
manusia tidak mampu memahami Yang Mutlak itu. Di sini
tentu dengan sendirinya timbul persoalan mengenai
kemungkinan wahyu. Bagaimana Yang Mutlak itu dapat
mewahyukan diri, kalau manusia tidak mampu memahami?
Bagaimana pun soal perjumpaan dengan Yang Mutlak,
manusia tak pernah memahami yang Mutlak. Misteri bukan
soal Yang Mutlak tetapi soal manusia, soal keterbatasan
manusia. Walaupun demikian dari masa ke masa manusia
mencoba mencari Yang Mutlak dan berusaha memilikiNya.
Dan seolah-olah timbul dua konsep mengenai Yang Mutlak
yaitu Yang Mutlak yang dimengerti (Yang Transenden) dan
Yang Mutlak yang dialami (Yang Imanen). Bahkan timbul

Sudianto, Tesis, Studi-Historis Perubahan Ranying menjadi Tuhan


11

Yang Maha Esa dalam Agama Keharingan.


Allah yang Mengkontekstualisasikan Dirinya |35

pikiran bahwa Yang Mutlak bersifat personal-personal dan


impersonal. Yang Mutlak dapat diajak bicara dan Yang Mutlak
yang hadir lewat musik dan mantra. Itulah misteri Yang
Mutlak, bahwa ia dialami secara real namun tak dapat
ditangkap.12
Di India, dewa-dewa tidak lagi dipandang sebagai
wujud lain yang berada di luar para penyembahnya; justru
manusia yang berusaha memperoleh realisasi kebenaran
batiniah. Dewa-dewa tidak lagi penting di India. Selanjutnya
mereka digantikan oleh pemuka agama, yang akan
dipandang lebih tinggi dari para dewa. Ini merupakan
penegasan tentang nilai kemanusiaan dan keinginan untuk
mengendalikan nasib. Selama abad kedelapan para pemuka
agama mulai mengetengahkan isu-isu ini dalam risalah yang
disebut Aranyakas dan Upanishads, yang secara kolektif
dikenal sebagai Vedant; Penutup Weda. Upanishads telah
mengembangkan sebuah konsepsi yang khas tentang Yang
Mutlak melampaui dewa-dewa tetapi hadir secara begitu
dekat di dalam segala sesuatu.13 Budha sendiri tidak
menyangkal dewa-dewa, percaya bahwa realitas tetinggi
nirvana lebih luhur dari pada para dewa. Ketika orang
Budha mengalami kedamaian atau rasa transendensi dalam
meditasi, mereka tidak percaya bahwa itu berasal dari
hubungan dengan wujud supranatural. Keadaan seperti itu
alamiah bagi kemanusiaan: bisa dicapai oleh setiap orang
yang hidup dengan cara yang benar dan mempelajari Teknik
Yoga. Oleh sebab itu, alih-alih bersandar kepada satu dewa,

12 Tom Jacobs SJ, Paham Allah dalam Filsafat, Agama-agama, dan


Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 197.
13 Ibid., 59.
36| Ur, Ved, Lahtal

Budha mengajak murid-muridnya untuk menyelamatkan


diri mereka sendiri.14
Pengenalan terhadap yang Maha Kuasa dalam simbol
budayawi, untuk menjalin relasi denganNya. Terhadap
diglam keragaman agama-agama sesuai dengan yang dianut
manusia itu. Selanjutnya dengan manusia berhubungan
dalam pengalaman agamanya, merupakan gambaran khas
semua agama dianggap sebagai yang umum dan merata dan
dalam setiap agama. Di mana satu Tuhan dipercaya dan
disembah sebagai Yang Maha Kuasa, secara implisit atau
eksplisit hal ini mengesampingkan Yang Maha Kuasa
lainnya. Disebut sebagai monoteis. Kepercayaan pada
pluralitas dewa disebut politeisme. Kemudian heonoteisme
adalah kepercayaan kepada dewa-dewa individual yang
dipuja secara bergantian sebgai dewa maha tinggi, dewa
yang pada suatu saat disembah dan diperlakukan sebagai
Tuhan yang tinggi. Monolatri mengajarkan bahwa sementara
satu dewa dipuja dewa-dewa dari bangsa lain tetapi diakui.15
Penjelasan Hick mengenai berbagai keragaman yang
mutlak atau disebut sebagai Satu Yang Abadi dan secara
khusus tentang realitasnya, diawali dari sudut pandangnya
yang melihat agama sebagai respon manusia terhadap realitas
Satu Yang Abadi sebagai yang transenden, yang jauh berbeda
dengan manusia. Keberagaman keagamaan inilah yang
menghasilkan gambaran yang beragam (pluralitas tentang Satu
Yang Abadi) dalam setiap perspektif manusia. Memulai
dengan mengasumsikan realitas objek peribadatan, meditasi
dan pengalaman atau apapun sebutan terhadap realitas

14 Ibid., 63.
15 Mariasusai Dhavamony, Fenomenology Agama, (Yogyakarta:
Kanisius, 1995), 21.
Allah yang Mengkontekstualisasikan Dirinya |37

tersebut, Hick mengusulkan untuk menyebutkannya dalam


terminology “The External One”.16 Bagi Hick, term ini secara
bebas menggambarkan dua sisi yang berbeda, pada satu sisi
menyatakan Satu yang tak dapat dilukiskan dari tradisi mistis,
apakah ini satunya Plotinus atau Satunya tanpa yang kedua
(One without a second) dari Upanishad, dan pada sisi yang lain
Satu Yang Maha Kudus dari pengelaman teistik, apakah itu
Satu Yang Maha Kudus dari pengelaman Israel atau model
pnyembahan teistik India.17 Sebagai pijakan bersama bagi
semua tradisi religious Hick mengasumsikan bahwa realitas
“Satu Yang Abadi” adalah tidak terhingga dan dalam
kesempurnaannya melebihi jangkauan pemikiran, bahasa, dan
pengalaman manusia: tetapi hal ini berbenturan dengan
pemikiran manusia oleh karena “Dia” dinyatakan,
dikonseptualisasikan, dideskripsikan dan ditanggapi manusia
dalam cara-cara yang terbatas sebagai mana hakikat manusia
sebagai makhluk yang terbatas.18
Hick kemudian membawa asumsi-asumsi ini ke dalam
pengelaman-pengelaman dalam sejarah aktual keberagaman
manusia. Hick mengatakan, bahwa nampaknya manusia
selalu mempunyai beberapa pengertian yang samar tentang
Tuhan yang dideskripsikan didalam praktik-praktik
religious berdasarkan bukti-bukti sejarah setengah juta tahu
yang lalu. Keadaan yang menggambarkan tahapan
kehidupan manusia di mana pun tempat dan kapan periode
waktunya telah berkembang menjadi sosok makhluk
“Binatang Religius” (a religius animal). Bukti-bukti tersebut
dapat berbagai temuan arkeologis pada situs kuburan yang

16 John Hick, Tuhan punya Banyak Nama…, 42.


17 Ibid.
18 Ibid.
38| Ur, Ved, Lahtal

menunjukkan bukti simbolisme religious dalam


hubungannya dengan kematian atau situs tumpukan batu
yang menjadi tanda dari tempat-tempat yang dikeramatkan,
bahkan bukti lainnya yang diperoleh dari observasi pada
akhir abad ke-19 tentang suku-suku “primitif” yang tetap
hidup terutama di daerah-daerah Afrika, Australia,
Kepulauan Laut Selatan dan Amerika Serikat.19
Manusia pada zaman primitif ini nampaknya hidup
dalam komunitas-komunitas kecil yang tertutup, masing-
masing terikat bersama dalam sebuah mentalitas kelompok
sebelum timbulnya individualitas kesadaran diri. Secara
pribadi, manusia menyadari dirinya sebagai bagian dari
organisme sosial dan bukan sebagai individu yang otonom
dan terpisah. Mentalitas kelompok inilah yang diliputi oleh
kesadaran supranatural. Manusia hidup dalam hubungan
dengan bermacam-macam dewa dan roh kesukuan, yang
dalam banyak kasus merupakan personifikasi dari kekuatan-
kekuatan alam atau nenek moyang dan tokoh-tokoh legenda
yang diagungkan karena status ketuhanannya (divine status)
atau serupa dengan Tuhan (quasi divine); atau kekuatan suci
misterius yang terdapat pada tempat-tempat tertentu dan
pada orang-orang tertentu; dan terkadang memiliki
kesadaran tentang Tuhan Yang Mahatinggi (a High God),
yang berada jauh di langit dengan cakupan kekuasaan yang
universal, meskipun memiliki gama primitif hubungan yang
relative minim dengan segala seluk beluk kehidupan
manusia. Agama primitif dimengerti di dalam bentuk
kekuatan-kekuatan gaib yang ditakuti atau dalam wujud-
wujud yang tak dapat diduga, bahkan juga bengis untuk

19 Ibid.
Allah yang Mengkontekstualisasikan Dirinya |39

didamaikan. Sebuah kesadaran yang melahirkan berbagai


praktik religious untuk memperoleh manfaat kebaikan dari
dimensi supranatural ini atau untuk menghindari
kemarahan dan kemurkaan yang bisa saja ditimbulkan.
Dengan demikian, kewajiban moral yang diciptakan
oleh kesadaran primitif menyangkut Satu Yang Abadi selalu
berhubungan dengan tingkat moralitas yang berlaku dalam
suku tersebut. Dewa biasanya dianggap sebagai pelindung
dari suku tertentu dan ketika suku tersebut pergi berperang,
dewalah yang bertarung bagi suku tersebut, Dewa yang
lebih kuat dianggap berpengaruh. Pada saat-saat yang
berbahaya para dewa kadang dapat didamaikan dengan
pengorbanan manusia, sehingga agama dalam kategori ini
mempunyai aspek-aspek yang mengerikan dan kejam.
Demikian tahap-tahap paling awal sejarah keberagamaan,
Satu Yang Abadi direduksi kedalam kesadaran manusia,
sehingga dewa (seperti juga raja) sering berlaku kejam dan
haus darah; atau menjadi dimensi-dimensi suku atau bangsa
sebagai simbol kesatuan dan kekuasaannya; atau menjadi
dimensi kekuatan alam yang lebih kosmik, seperti matahari
yang memberi kehidupan tapi membakar, kekuatan angin
topan dan bumi yang merusak atau kekuatan kesuburan
yang misterius.20
Apa yang disebut sebagai agama alam (natural religion)
atau agama tanpa wahyu ini berkembang dari awal sejarah
manusia menuju kepermulaan spiritual yang terjadi sekitar tiga
millennium yang lalu. Dapat dikatakan, bahwa dalam periode
ini manusia masih memiliki pengertian yang samar dan kasar
mengenai Satu Yang Abadi di dalam kecenderungan religious

20 Ibid.
40| Ur, Ved, Lahtal

yang alami. Dalam sudut pandang agama-agama dunia saat


ini, bentuk keagamaan ini nampaknya terlalu “kekanak-
kanakan” (childish), brutal, mengerikan dan haus darah namun
tak dapat dipungkiri, bahwa dari sinilah “rahim” (the womb)
bagi lahirnya bentuk-bentuk keagamaan yang lebih tinggi.21
Tuntutan kesadaran primitif tentang Tuhan yang dibentuk
dalam kehidupan manusia pada periode ini adalah untuk
memelihara dan memajukan keberadaan masyarakat manusia
dari kelompok-kelompok kecil ke negara-negara yang lebih
besar. Agama telah ditempatkan di atas segala kekuatan kohesi
sosial lainnya. Hick, semuanya ini adalah tanggapan primitif
yang dibangun dalam dalam pemahaman manusia pada
periode tersebut yang masih samar, dalam bentuk yang dapat
dikatakan rendah dan belum matang tentang realitas Satu
Yang Abadi.22
Hick kemudian beranjak ke dalam periode di mana
karena evolusi manusia yang walaupun lambat dalam periode
yang lama, telah berangsur-angsur membentuk munculnya
individualitas manusia. Secara spesifik tentang kondisi apakah
ini dan bagaimana kondisi tersebut berkembang, masih
merupakan spekulasi. Namun berdasarkan apa yang
diperkenalkan oleh Karl Jaspers, periode ini dapat disebut
sebagai “Periode Aksial” (the axial period atau the axial age) yang
berlangsung kira-kira 800 sampai 200 B.C., Hick kemudian
mengurangi proyek keagamaan manusia dalam periode ini.
Pada periode ini kesadaran manusia terhadap Tuhan semakin
luas dan berkembang. Individu-individu manusia yang
penting bermunculan sebagai hasil dari respon yang tak

21 Ibid., 44.
22 Ibid., 45.
Allah yang Mengkontekstualisasikan Dirinya |41

terbatas terhadap Satu Yang Abadi, meskipun dalam latar


budaya kehidupan mereka. Di China, tempat di mana
konfusius hidup dan juga para penulis Tao Te Ching, telah dua
tradisi yaitu konfusianisme dan taoisme. Di India, Sang Budha
Gautama dan Mahavira pendiri Jainisme (aliran Jain) hidup
dan mengembangkan pengajarannya, kemudian kitab suci
Upanishhad dihasilkan dan di akhir periode ini tercipta
Bhagavad-Gita. Di Zeroaster mengubah agama pra-wahyu
yang ada menjadi Zoroastrianisme, agama yang sejak saat ini
telah musnah sebagai sebuah tradisi yang terorganisir, kecuali
pada sebagian komunitas Persia di India; meskipun demikian
agama ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap agama
Yahudi Kuno serta Agama Kristen yang mewarisi tradisi-
tradisi Yahudi. Di Israel, hidup nabi-nabi besar Yahudi, seperti:
Yeremia, Yesaya, Amos, Hosea, dan nabi-nabi lainnya.
Sedangkan di Yunani, periode ini telah melahirkan Pythagoras,
Socrates, Plato dan Aristoteles. Dengan demikian periode
aksial ini merupakan periode waktu yang secara khusus
bermakna di dalam sejarah keberagamaan manusia. Konsep
periode aksial bukanlah bagian waktu dengan permulaan dan
akhir yang jelas atau periode waktu yang dengan elastic
direntangkan untuk mencakup seluruh kejadian penting dalam
sejarah keberagamaan umat manusia. Ia merupakan konsep
dari konsentrasi peristiwa-peristiwa yang membentuk
peristiwa yang berskala besar dengan kebenaran-
kebenarannya, walaupun tanpa batasan-batasan yang tepat.23
Bagaimanapun, ia berbeda dengan peristiwa-peristiwa
sebanding lainnya yang terdapat pada generasi tertentu dan
pada tempat yang lebih luas. Sebagai contoh, Renaisains dan

23 Ibid., 47.
42| Ur, Ved, Lahtal

Revolusi industri misalnya, walaupun mempunyai efek ke


seluruh dunia, namun perkembangannya yang relatif lokal
berlangsung dalam peradaban tunggal, sedangkan periode
aksial mencakup serangkaian pergerakan yang sejenis di
seluruh daerah yang mempunyai peradaban yang relatif maju
dan stabil.24
Bagi Hick, hal ini dimungkin oleh suatu tingkatan baru
dalam perkembangan manusia yang terjadi diwaktu yang
sama dalam kebudayaan yang berbeda-beda, di mana
individu-individu yang terkemuka muncul dan mampu
menjadi jalan bagi kesadaran keagamaan yang baru serta
pemahaman tentang wahyu Tuhan. Dari karya-karya mereka
lahirlah apa yang sekarang dikenal sebagai agama-agama
besar dunia, seperti agama-agama non-teistik, misalnya
Budha dan Konfusianisme, maupun agama-agama teistik
seperti Kristen dan Islam. Masing-masing muncul dari
tradisi-tradisi terdahulunya, agama Budha muncul dari arus
kehidupan religious Hindu, Konfusianisme (dan juga
taoisme) dari tradisi China yang ada; Kristen muncul dari
kehidupan religious Yahudi; dan Islam, meskipun tidak
secara langsung, muncul dari tradisi Judeo-Kristen.
Penjelasan Hick berlanjut pada perkembangan
beragamaan manusia yang telah sampai pada titik di mana
manusia mampu untuk menerima dan merespon suatu visi
yang baru dan lebih utuh untuk mengangkut realitas Tuhan
dan penegasan realitas tersebut di dalam kehidupan manusia.
Kejadian seperti itu secara tradisional disebut pewahyuan, dan
bagi Hick, wahyu itu sendiri adalah Plural.25 Asumsinya ini

24 Ibid.
25 Ibid., 48.
Allah yang Mengkontekstualisasikan Dirinya |43

dinyatakan pada fakta-fakta aktual dalam sejarah kehidupan


manusia, perbedaan lokasi, pewahyuan yang terjadi hampir
2500 tahun yang lalu dalam peradaban China, India dan Timur
dekat dan saluran komunikasi yang lemah dan lambat pada
saat itu, jika wahyu Tuhan yang ditunjukkan kepada seluruh
umat manusia tetapi terjadi di China, India dan Israel dengan
pertimbangan kondisi komunikasi dalam periode waktu
tersebut, maka akan memerlukan waktu yang lama untuk
menyebar keseluruhan dunia dan kepada seluruh umat
manusia. Namun, dengan menganggap bahwa “sumber
wahyu” selalu mencoba berkomunikasi dengan umat manusia
dalam cara-cara baru kepada sebanyak mungkin umat
manusia yang hidup dalam peradabannya, maka sangat wajar
untuk menyatakan bahwa adalah plural, terjadi secara terpisah
di dalam pusat kebudayaan manusia yang berbeda-beda.
Sehubungan dengan pewahyuan, Hick kemudian membangun
Epistimologi tentang wahyu. Hick mendasari bangunan
epistomologinya ada apa yang dikemukakan oleh Thomas
Aquines.26 Baginya suatu kebenaran epistemologi yang
mendalam, bahkan memiliki penerapan yang lebih luas
dibandingkan dengan apa yang dinyatakan dalam hal ini,
Thomas Aquines mengatakan bahwa: “The think to know is in
the knower according to the made of the knower,” (Summa
Theologika, II/II, Q.I. art.2). (Sesuatu yang diketahui di dalam
orang yang mengetahui menurut gaya dari orang yang
mengetahui tersebut).27

26Ibid., 49.
27 Ibid, Who or What is God? Dalam http//:
www.johnhick.org.ukarticle1.html, download pada tanggal 12 Februari
2013.
44| Ur, Ved, Lahtal

Dengan kata lain, pengetahuan sesuatu adalah


kesadaran yang mampu dimiliki, memberikan sifat dasar
yang khas dan karakter mesin kognitif yang khas pula. Ini
benar untuk seluruh jenis pengetahuan (tanggapan
Inderawi), kesadaran moral dan kesadaran religious
berkaitan dengan lingkungan fisik, mesin kognitif seseorang
yang meliputi organ inderawi dan neurosistem bersama-
sama dengan otak yang berfungsi untuk menyeleksi dan
mengorganisir, mempuyai sifat ganda, yaitu: untuk
mengetahui aspek-aspek tertentu dan yang ada di sekitar
lingkungan dan pada saat yang sama, memelihara seseorang
untuk senantiasa menyadari aspek-aspek yang lain.28
Gagasan yang ingin ditunjukan Hick di sini adalah:
bahwa di dalam tanggapan inderawai yang bisa,
pengetahuan terhadap sesuatu, diketahui menurut gaya dari
orang yang mengetahui (“The think to know” is know
“according to the made of the knower”) dan hal ini pun berlaku
juga dalam kesadaran religious.29
Hick memperluas pandangan bahwa “sesuatu yang
diketahui adalah menurut gaya dari yang mengetahui”, dalam
rangka menjelaskan fakta pluralisme, agama, Hick
memberikan penjelasan data faktual yang memperlihatkan
hubungan antara pemahaman tentang Tuhan dalam kaitannya
dengan sejarah dan budaya manusia yang pada gilirannya
berkaitan pula dengan kondisi geografis, iklim, dan ekonomi.
Bagi Hick, keyakinan keagamaan bukanlah aspek yang
terisolasi dari kehidupan manusia, namun terkait dengan
sejarah dan budaya manusia pada suku Kanaan dan budaya

28 Ibid, The Fifth Dimension An Exploration of the Spiritual Realm,


(Oxford: One Word, 1999), 24.
29 Ibid, Tihan punya Banyak Nama…, 50.
Allah yang Mengkontekstualisasikan Dirinya |45

Timur Dekat kuno juga berkembang mitologi yang dapat


disamakan dengan pemujaan dewa langit (Baal) dan dewa
bumi (Anath), sebaliknya orang mesir kuno mempunyai dewi
langit (Nut) dan dewi bumi (Gep). Mesir berbeda dalam
penyebutan dewi langit dan dewi bumi, dikarenakan kondisi
geografis Mesir yang sebagian besar daerahnya sendiri oleh air
Sungai Nil yang merupakan sumber kesuburan bumi dengan
laki-laki sebagai analoginya dan bukan datang dari langit
dalam bentuk hujan, sehingga harus dianalogikan sebagai
dewi langit. Berdasarkan pemahaman ini, maka kesadaran
manusia yang berbeda tentang satu yang abadi menunjukkan
persepsi-persepsi yang berbeda yang terkondisikan secara
kultural tentang realitas Tuhan yang sama.30
Untuk mengembangkan hipotensi, Hick membedakan
antara Satu Yang Abadi dalam diri sendirinya sendiri atau
dalam wujud eksistensi dirinya yang abadi, yang melebihi
hubungannya dengan beda dunia ciptaan satu yang abadi di
dalam hubungan dengan umat manusia yang berbeda-beda
sendiri sebagaimana kesadaran manusia akan Satu Yang
Abadi difokuskan pada konsep-konsep, maka ada kedua
konsep dasar yang terkait dengan kehidupan keberagaman
manusia. Yang pertama, adalah konsep KeTuhanan atau
Satu Yang Abadi sebagai personal yang ditujukan olah
model agama teistik. Dan yang kedua, adalah konsep
tentang Satu Yang Abadi sebagai non personal yang
ditunjukan oleh model agama non-teistik atau trans-teistik.
Konsep ketuhanan atau Allah telah mengambil bentuk
yang konkrit dalam kehidupan komunitas manusia dan
kebudayaan tertentu sebagai persona Tuhan yang khas, di

30 Ibid., 52.
46| Ur, Ved, Lahtal

mana rupa, gambaran dan ikon dari Satu Yang Abadi tersebut
didasarkan pada nama dalam konteks setempat. Yahweh dari
tradisi Israel misalnya, adalah satu dari gambaran persona
Tuhan. Ia ada dalam ikatan hubungan dengan orang-orang
Israel dan tidak dapat dikarakteristikkan kecuali di dalam
ikatan hubungan itu. Ia harus dideskripsikan secara historis
sebagai Allah Abraham, Ishak dan Yakub yang membawa
bangsa Israel keluar dari perbudakan di Mesir dan
membimbing mereka ke Negeri yang dijanjikan. Yahwe tidak
bisa dipisahkan dari hubungan historisnya dengan bangsa
Israel, Ia adalah bagian dari-Nya.
Menurut Hick, Yahwe adalah persona Tuhan dalam
hubungan dengan orang-orang Yahudi, dan karenanya ia
menunjukkan persepsi manusia yang asli, otentik dan sahih
tentang Satu Yang Abadi dari bagian sejarah tertentu. Tetapi
ia adalah persona Tuhan yang berbeda dengan ~ katakanlah
Shiwa atau Krishna yang merupakan persona Tuhan dalam
hubungannya dengan masyarakat pemuja shiwa maupun
masyarakat Vaishnava India. Demikian kehadiran Tuhan
tersebut merupakan kehaatudiran Satu Yang Abadi dalam
kesadaran manusia yang terbata dan proyeksi manusia
tersebut merupakan gambaran dan simbol yang terbentuk
secara kultural dalam pengertiannya mengkonkretkan
konsep dasar tentang Tuhan.31 Kesimpulan Hick terhadap
terhadap hipotesis ini dalam term filsafat, semakin
dimungkinkan dalam karia Immanuel Kant.32 Dalam
terminologinya Kant, Hick membedakan antara nomena
Tuhan yang tunggal, yaitu Tuhan yang dalam kediriannya

31 Ibid., 53.
32 Ibid.
Allah yang Mengkontekstualisasikan Dirinya |47

yang melebihi lingkup bahasa dan pikiran manusia pada


satu sisi, dan pada sisi yang lain, Hick menyebutkan sebagai
pruralitas fenomena Tuhan. Dari kesimpulan Hick ini juga,
dia menyatakan bahwa Agama adalah interprestasi manusia
pada suatu kenyataan, bukan pernyataan-pernyataan atas
fakta yang absolut, dan merupakan konsekuensi semua
agama di dalam hubungan yang luas dan mengambarkan
kenyataan yang sama. Atau dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa, keselamatan juga terdapat dalam agama
lain, karena Tuhan yang disembah adalah Tuhan yang sama,
hanya saja dapat dipahami secara berbeda oleh masing-
masing penganut agama dan dalam praktik pelaksanaan
peribadahannya masing-masing.33
Pluralitas fenomena Tuhan ini, dikelompokan atas
personae Tuhan dari agama-agama teistik dan impersonae,
sebagaI pengkonkritan konsep apsolut dalam agama-agama
non-tasitik. Bentuk dari persona Tuhan dalam agama-agama
Teistik misalnya, Yaweh (atau Adonai), Allah Tritungal,
Allah SWT, Krisna, Shiwa dan lainnya sedangkan bentuk
dari non-personal tentang Satu Yang Abadi misalnya
Brahmana dalam Avaitik, Nirvana dalam budha Theravada
dan Sunyata dari budha Mahayana.34 Masing-masing bentuk
dari Satu Yang Abadi dan diyakini oleh manusia ini,
merupakan bagian Integal dari sebuah totalitas kompleks
yang disebut agama, dengan bentuk pengalaman religiusnya

33 Velli-Matti Karkainen, An Introdiction to the Theology of Religion:


Biblical, Historical and Contemporary Perspectives, Inter Versiti Pres, 2003,
291-292.
34 “The Real and It‟s Personae and Impersonae” (This is a revised

version f the article first published in concepts of the ultimate, ed., Linda
Tessier, London: Macmillan, 1989).
48| Ur, Ved, Lahtal

yang khas, mitos dan simbol, system teologi, etika dan gaya
hidup, kitab suci dan tradisinya, yang kesemuanya
berintegrasi dan menguatkan satu dengan yang lainnya.
Totalitas yang berbeda ini telah membentuk tanggapan
manusia yang bervariasi mengenai relegius Satu Yang Abadi
di dalam kondisi budaya atau bentu kehidupan manusia
yang berbeda-beda.35
Terlepas dari nama-nama yang digunakan dalam
pendekatan yang berbeda terhadap kenyataan tersebut, dalam
pandangannya Hick mengatakan bahwa di sana hanya ada
satu kenyataan yaitu Tuhan merupakan yang terakhir.
Dalilnya ini lebih didasarkan pada konsep-konsep ketuhanan
yang sama di dalam berbagai agama. Menurut Hick agama-
agama yang berbeda semuanya menuju kepada keselamatan.
Dengan mengabaikan. Perbedaan-perbedaan semuanya
menuju kepada keselamatan. Pemikiran lanjut dari Hick,
Tuhan itu satu yang memiliki banyak nama (God Has Many
Names) yang dimaksudkan Hick adalah Satu Yang Abadi dan
ditanggapi oleh manusia dengan budaya yang berbeda-beda
baik personal maupun non-personal. Dari persepsi yang
berbeda ini muncullah jalan hidup religious yang kita sebut
sebagai agama dunia yang agung. Hasil praktis dari tesis Hick
ini adalah bahwa orang dari tradisi religious yang berbeda
bebas melihat satu sama lain sebagai teman dari pada musuh
atau saingan. Kita adalah anggota rumah tangga iman yang
berbeda-beda tetapi masing-masing mempunyai kontak yang
khusus dengan satu yang abadi, yang mana anggota lainnya
barangkali dapat belajar untuk berbagi.36

35 Idem, Tuhan Punya Banyak Nama…, 53.


36 Ibid., 59.
Allah yang Mengkontekstualisasikan Dirinya |49

E. Pemahaman tentang yang Mutlak dan Masyarakat


Agrikultur
Dalam tulisannya The Batlle for God, Karen Armstrong
mencoba melihat salah satu fenomena paling mengejutkan di
akhir abad ke-20 yaitu muncul apa yang disebut
“Fundamentalisme” dalam tradisi keagamaan dunia.37 Hal ini
disebabkan karena adanya etos-etos modern yang tengah
mengubah agama. Di akhir abad ke-19, banyak orang Yahudi,
Kristen, dan Islam yang percaya bahwa agama mereka tengah
diambang pemusnahan. Untuk mencegah hal itu, mereka
terpaksa melakukan berbagai muslihat. Beberapa dari mereka
mengundurkan diri sama sekali dari masyarakat modern dan
membangun institusi-institusi militan milik mereka sendiri
yang berfungsi sebagai benteng dan dan tempat perlindungan
yang yang sakral; yang lain merencanakan serangan balasan
untuk mempertahankan diri; yang lain lagi mulai menciptakan
kontra-peradaban dan wacana menentang modernitas kaum
sekuler. Ada keyakinan yang semakin berkembang bahwa
agama haruslah sama rasionalnya dengan ilmu pengetahuan
modern. Di tahun-tahun abad ke-20, muncul sikat defensive
baru yang berujung pada manifestasi pertama dari gerakan
keagamaan siap tempur yang kini mita sebut sebagai
fundamentalisme.38
Pada setiap zaman dan tradisi, selalu saja ada orang-
orang yang menentang modernitas. Modernitas seolah
membuat manusia mampu membuktikan bahwa ia bisa
hidup dengan tidak tergantung pada agrikultur. Sementara
pemahaman manusia terhadap Yang Mutlak juga

37 Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan, (Jakarta: Serambi, 2001), 9.


38 Ibid., 260.
50| Ur, Ved, Lahtal

dipengaruhi olah agrikultur. Misalnya pada zaman aksial


(1600 hingga 900 SM) dalam kehidupan raja-raja China
berkembang cerita tentang leluhur pertama monarki Shang
yang percaya kepada dewa Di yang berkuasa menentukan
berhasil atau tidaknya panen dalam bidang pertanian mereka.
Kepada dewa Di lah masyarakat biasanya memohon panen
yang baik.39 Namun jika upaya para Raja Dinanti Shang
untuk mengontrol dunia spiritual gagal maka para leluhur
sering mengirim panen yang buruk dan nasib yang jelek. Dan
para peramal waktu itu juga mengatakan bahwa “Di-lah yang
merusak panen kita”.40 Kehidupan orang-orang pada zaman
aksial digambarkan Armstrong sangat terkait dengan bidang
pertanian. Menurut Armstrong, setiap ekspresi yang amat
bervariasi tentang tema-tema universal ini memperlihatkan
kecerdasan dan kreativitas imajinasi manusia ketika mencoba
mengekspresikan pemahamannya tentang Yang Mutlak.41
Untuk itu dapat dikatakan imajinasi manusia, misalnya pada
zaman aksial di China, ketika orang-orang berimajinasi
tentang Yang Mutlak itu juga dipengaruhi atau mendapat
pengaruh dari realitas hidup mereka yakni agrikultur.
Dengan demikian modernitas mengakibatkan adanya
pemahaman yang berbeda terhadap Yang Mutlak. Kemajuan
di berbagai bidang kehidupan malah justru seolah
mengakibatkan penyangkalan terhadap keberadaan Yang
Mutlak itu. Hal ini mungkin karena diakibatkan oleh
ketidaktergantungan masyarakat modern terhadap agrikultur
sebagai salah satu budaya yang mempengaruhi pemahaman

39 Karen Amstrong, The Great Transformation Awal Sejarah Tuhan,

(Bandung: Missan, 2007), 34.


40 Ibid., 35.
41 Idem, Sejarah Tuhan…, 23.
Allah yang Mengkontekstualisasikan Dirinya |51

manusia pada awalnya tentang Yang Mutlak itu. Sedangkan


konsep Yang Mutlak sendiri adalah konsep yang muncul
ketika manusia merasa adanya hubungan yang kuat dengan
alam. Cara manusia hidup dan budaya yang berkembang
mengiringi perjalanan hidup manusia mempengaruhi
pandangan dan pemahaman manusia tentang sosok Yang
Mutlak bagi mereka. Perasaan terhadap keberadaan Yang
Mutlak dipengaruhi oleh adanya hubungan masyarakat yang
khusus dengan pemberi keseburan pertanian yang mereka
kenal dengan sosok Yang Mutlak.
Oleh sebab itu, dalam bukunya sejarah Tuhan,
Armstrong melihat adanya fundamentalisme yang muncul
pada abad ke-20 yang merupakan reaksi terhadap
kebudayaan sekuler dan ilmiah, yang muncul pertama kali
di Barat dan kemudian merambah ke berbagai penjuru
dunia.42 Hal ini berakar pada abad ke-17dan ke-18, ketika
orang-orang Eropa mulai mengembangkan jenis masyarakat
yang berbeda: masyarakat yang tidak lagi berlandaskan
pada surplus agrikultur, melainkan pada teknologi yang
memungkinkan mereka mereproduksi sumber alamnya
secara tak terbatas. Perubahan ekonomi yang terjadi dalam
empat ratus tahun berakhir diiringi dengan munculnya
revolusi sosial-politik-intelektual yang luar biasa, serta
perkembangan konsep tentang sifat kebenaran yang lebih
rasional dan lebih ilmiah. Maka sekali lagi, perubahan
agama secara radikal pun merupakan sesuatu yang mutlak
terjadi. Di seluruh dunia, banyak orang menyadari bahwa
dalam situasi perubahan yang sangat dramatik, bentuk lama
kepercayaan tidak akan lagi berguna bagi mereka. Bentuk

42 Idem, Berperang demi Tuhan…, 13.


52| Ur, Ved, Lahtal

lama itu tidak mampu memberikan kepuasan dan


pencerahan yang diharapkan. Akibatnya, manusia mulai
mencari cara-cara baru untuk menjadi religious. Seperti
halnya para pembaru dan para nabi pada zaman aksial,
manusia modern menjadikan teladan masa lalu sebagai
landasan untuk mengantarkan mereka kepada dunia baru
yang mereka ciptakan sendiri. Salah satu eksperimen
modern ini (seberapa pun tampak paradoksnya) adalah
fundamentalisme.43

↜oOo↝

43 Ibid., 15.
Bab 3
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif1 yakni penelitian yang berusaha menggambarkan
atau melukiskan keadaan subyek yang diteliti, dengan
menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif
adalah penelitin yang bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami subyek penelitian, misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dll, secara holistik pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode alamiah.

B. Sumber Data Penelitian


Selanjutnya, dalam penelitian ini, pengumpulan data
dilakukan dengan cara observasi partisipatif, wawancara,
studi pustaka yang berupa buku-buku, makalah dan artikel
yang berkaitan dengan masalah penelitian.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah
masyarakat adat suku Hamap yang berada di wilayah
Kelurahan Moru Kecamatan Alor Barat Daya, Kab. Alor.

1 W. Lawrence Neuman, Sosial Research Methods: Qualitative


Aproaches, (USA: Allyn and Bacon, 1999), 21.

- 53 -
54| Ur, Ved, Lahtal

2. Sampel Penelitian
Sistem penarikan sampel dalam penelitian ini
adalah sistem penarikan sampel secara acak (Random
Sampling) dengan menentukan tokoh-tokoh adat dan
agama yang dianggap pakar berkaitan dengan persoalan
yang diteliti.

D. Teknik Analisa Data


Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
secara deskriptif. Dari data yang telah dikumpulkan dapat
dipaparkan dan dianalisis berdasarkan bidang ilmu kemudian
diakhiri dengan kesimpulan dan saran.

↜oOo↝
Bab 4
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Kabupaten Alor


1. Geografis, Administratif dan Kondisi Fisik
Kabupaten Alor merupakan salah satu Kabupaten
yang banyak pulaunya di Provinsi Nusa Tenggara Timur
terletak di bagian Timur Laut. Secara astronomis,
Kabupaten Alor termasuk dalam wilayah Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Secara geografis terletak, antara sebelah
Timur 125° sampai dengan 48° Bujur Timur. Sebelah barat
123° sampai dengan 43° bujur timur. Sebelah utara 8°
sampai dengan 6° Lintang Selatan. Dan sebelah selatan 8°
sampai dengan 36° lintang selatan.
Batas administratif Kabupaten Alor adalah sebagai
berikut:
 Sebelah Timur : Selat Wetar dan Perairan Republik
Demokrasi Timor Leste
 Sebelah Barat : Selat Alor dan dan perairan
Kabupaten Lembata.
 Sebelah Utara : Laut Flores
 Sebelah Selatan : Selat Ombay

Secara Geopolitik Kabupaten Alor termasuk 183


kabupaten/kota di Indonesia yang tergolong kabupaten
tertinggal. Kabupaten Alor juga termasuk 112

- 55 -
56| Ur, Ved, Lahtal

kabupaten/kota di Indonesia yang dikategorikan sebagai


Kabupaten perbatasan, termasuk dalam salah satu dari 26
Pusat Kegiatan Strategi Nasional, Salah satu dari 92
gugusan pulau-pulau kecil terluar dan sebagai kabupaten
kepulauan dengan jumlah pulau sebanyak 15 buah, 9 buah
di antaranya berpenduduk,yaitu pulau Alor, Pantar, Pura,
Tereweng, Ternate, Buaya, Kangge, Pura dan Pulau Kepa.
Sedangkan 6 pulau lainnya belum/tidak berpenduduk
yaitu pulau Kambing, Rusa, Batang, lapang, Sika dan
Pulau Kapas. Selain itu Kabupaten Alor juga merupakan
salah satu Kabupaten perbatasan di Provinsi NTT, yang
mana di dalamnya terdapat 7 Kecamatan dengan 22 Desa/
kelurahan merupakan wilayah perbatasan laut. 158 Desa/
Kelurahan dan yakni ibukota Kecamatan Alor Selatan
salah satu ibukota kecamatan dari 17 kecamatan berada di
pedalaman yakni ibukota Kecamatan Alor Selatan.
Kondisi iklim Kabupaten Alor merupakan masalah
yang cukup klasik dalam setahun musim penghujan
relatif lebih pendek daripada musim kemarau. Pada
tahun 2012 temperatur udara terendah (17.70°C) yang
terjadi pada bulan Juni, dan tertinggi (33.70°C) pada
bulan Desember, sedangkan curah hujan terendah pada
bulan Juli adalah (4.7 mm) dan tertinggi pada bulan
Januari (328,8) lebih rendah dari tahun sebelumnya.

2. Topografi Kabupaten Alor


Kabupaten Alor memiliki luas wilayah darat 2.864.64
Km sebagian besar luas wilayah daratan merupakan
2

penghungan tinggi yang dikelilingi oleh lembah-lembah


dan jurang-jurang dengan kemiringan di atas 40° seluas
184. 053.13 Ha (64,25 %) kemiringan 15°-40° seluas
Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan Pembahasan |57

67,634.15 Ha (23,61%) ,3°-15° seluas 24.893,72 Ha (8,69%)


dan kemiringan 0°-3° seluas 10.026 Ha (3.45%). Kondisi
kemampuan tanah dan topografi seperti di atas
memungkinkan untuk wilayah/daerah tertentu dapat
untuk dikembangkan sebagai kawasan pemukiman desa
dan kota sedangkan pada wilayah/daerah yang
kemiringannya lebih dari 40° dilaksanakan program
penghijauan dengan maksud mencegah berlanjutnya erosi.

B. Gambaran Umum Kelurahan Moru


1. Letak Geografis
a. Letak Georgafis dan Luas Wilayah
Kecamatan Alor Barat Daya memiliki 19 desa
dan 1 kelurahan yaitu Kelurahan Moru. Luas wilayah
kelurahan moru 340 m2 dengan batas wilayah sebagai
berikut: di sebelah timur berbatasan dengan Desa
Pailelang; di sebelah barat berbatasan dengan Desa
Wolwal; di sebelah Utara berbatasan dengan Desa
Kafelulang dan di sebelah selatan berbatasan dengan
wilayah laut Teluk Moru dan Teluk Kabola.
b. Keadaan Tanah (Topografi)
Sebagian besar wilayah Kelurahan Moru
memiliki permukaan tanah yang terdiri dari
sebagian besar wilayah dataran terutama yang
berada di pusat kota Moru, lereng-lereng dan tebing-
tebing serta beberapa puncak gunung yang
ketinggiannya berkisar antara 200 sampai dengan
1000 meter di atas permukaan laut. Tempat yang
bergunung-gunung itu terdapat antara lain di
Moeng (Kampung lama Hamap) dan Foang. Selain
daerah dataran dan pegunungan, Moru juga
58| Ur, Ved, Lahtal

memiliki 1 suangai besar yaitu sungai Kikilai dan 1


sungai kecil yaitu Sungai Moeng (pancoran).
c. Keadaan Iklim
Dapat dikemukakan pula bahwa, pada
umumnya iklim di daerah Moru relatif sama dengan
keadaan iklim di Kabupaten Alor yaitu mengalami
musim kemarau dan musim hujan. Musim penghujan
relatif lebih pendek dari pada musim kemarau. Musim
penghujan berkisar antara bulan November sampai
dengan bulan Maret sedangkan musim kemarau
berkisar antara bulan Mei sampai dengan bulan
Oktober.
Pada musim dingin temperatur udara terendah
mencapai 20°–23° akibatnya udara di Moru sangat
dingin, selain itu angin kencang dan ombak yang
besar meyulitkan alur transportasi laut dan kegiatan
nelayan di pesisir.

2. Keadaan Penduduk (Demografis)


Secara keseluruhan penduduk di Kelurahan Moru
berjumlah 2599 jiwa yang tersebar dalam 4 (empat) RW
dan 8 (delapan) RT. RW I (RT 1, RT 2) mewakili wilayah
kampong hamap; RW II (RT 3, RT 4) mewakili wilayah
Polsek, dan rumah Raja Kui. RW III (RT 5, RT 6)
mewakili wilayah Tonbang dan Bokabesi; RW IV (RT 7,
RT 8) mewakili wilayah Burma.

3. Etnik dan Kebudayaan


Secara umum kelurahan Moru didiami oleh 4
(empat) kelompok etnik asli dan 8 (delapan) kelompok
etnik pendatang dengan rincian sebagai berikut:
Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan Pembahasan |59

a. 4 suku asli:
- Hamap - Klon
- Kui (Masing) - Abui
b. 8 suku pendatang yang dilihat secara umum:
- Pantar - Cina
- Pura - Bali
- Alor kecil - NTB
- Flores - Jawa

4. Mata Pencaharian
Mata pencaharian utama masyarakat Moru adalah
petani sawah dan ladang serta nelayan dengan
penghasilan utama asam, kelapa, jambu mente dan
kemiri. Selain mata pencaharian yang bersumber dari
tanaman tersebut di atas sebagai komoditi ekspor, maka
untuk memenuhi kebutuhan hidup dari berladang secara
berpindah-pindah. Pembukaan ladang dilakukan dengan
penebangan pohon (kadang dibakar dan dibersihkan) lalu
ditanami dengan berbagai jenis tanaman seperti tanaman
umbi-umbian, sayur-sayuran, kacang-kacangan, pisang,
bawang maupun tanaman keras seperti tebu, kopi jambu
mente dan lain-lainnya. Di dalam pembukaan lahan
(pembersihan) dan penanaman lahan, selain ada pola
kerja sama atau pembagian kelompok kerja ada juga ada
juga pola (sistem) pembagian kerja antara kaum laki-laki
dan perempuan. Yakni perempuan menanami areal yang
telah dibersihkan dengan umbi-umbian, jagung dan padi
sedangkan laki-laki menebang dan membersihkan pohon-
pohon besar yang masih ada di dalam kebun. Biasanya
masing-masing suku atau marga memiliki tanah suku
peninggalan yang diusahakan secara turun temurun dari
60| Ur, Ved, Lahtal

generasi ke generasi. Selain itu ada juga yang berprofesi


sebagai PNS, Polisi, Tentara dan Wiraswasta serta ada
juga yang bekerja sebagai karyawan perusahaan
budidaya Mutiara.

5. Sistem Religi
Masyarakat Moru adalah masyarakat yang religius.
Hal ini terlihat jelas dari kehidupan masyarakat yang tidak
dapat dipisahkan dari nilai-nilai agama dan kepercayaan
(religi). Masyarakat religius ini memiliki tata nilai sosial
budaya yang sangat erat berkaitan dengan pemahaman
dalam agama suku tetapi juga dengan nilai-nilai agama
Kristen dan Islam.
Pembicaraan tentang pokok ini perlu juga dilakukan
untuk melihat apakah agama suku telah didesak
kedudukan dalam tatanan adat istiadat ataukah masih
kuat berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari, bahkan
terasa pula dalam kehidupan relasional antara umat
beragama Kristen dan Islam. Perlu diingat bahwa dalam
struktur kehidupan masyarakat Moru, hubungan antara
sistem religi, adat istiadat dan sistem sosial budayanya
merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Hal
seperti ini bukan saja terjadi dengan suku-suku di Moru,
akan tetapi juga berlaku bagi semua sistem religi (agama
suku) di mana pun di berbagai tempat. Masyarakat Moru
juga mengenal dan mempunyai mitologi atau cerita
tentang penciptaan dunia dan asal-usul manusia (setiap
keret atau marga mempunyai cerita seperti ini). Oleh
Karena itu harus diakui bahwa di mana pun di berbagai
bagian dunia ini, tak satu pun suku atau bangsa yang
hidupnya terpisah sama sekali dari pemahaman
Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan Pembahasan |61

hubungannya dengan dunia, alam dan unsur gaib, di luar


dirinya.
Pemahaman terhadap sang ilahi hanya mungkin
berbeda akibat suasana lingkungan alam dan tempat
tinggal (konteks konkrit) kehidupan masing-masing.
Walaupun demikian pembicaraan tentang sistem religi
tidak dimaksudkan untuk membawa kita untuk
membahas agama-agama suku yang ada di Moru atau pun
secara keseluruhan di Kabupaten alor, tetapi lebih khusus
akan dijelaskan tentang pembahasan mengenai agama
suku Hamap.

6. Latar Belakang Sejarah


a. Asal-usul dan Arti Nama Moru
Ada dua cerita yang berkembang di kalangan
masyarakat Moru mengenai nama Moru itu sendiri.
Pertama, menurut mitologi yang berkembang di
kalangan masyarakat Moru, ada dua orang kakak
beradik yang pergi ke kebun untuk memetik Lemun.
Yang Kakak mengambil Lemun yang kulitnya halus
atau licin sedangkan adiknya mengambil Lemun
yang kulitnya kasar. Tiba-tiba dari kedua lemun
yang diambil berubah menjadi dua wanita cantik
yang kemudian dijadikan istri oleh kedua kakak
beradik ini dan menjadi cikal bakal kampung Mor
Amam. Jadi Kata Moru berasal dari kata Mur
(lemun). Kedua, kata Moru sendiri berasal dari nama
salah satu anak suku Hamap yaitu Mor. Kedua cerita
ini berkembang hingga sekarang.
62| Ur, Ved, Lahtal

b. Mengapa Kata Mor/Mur Dapat Berubah Menjadi


Moru?
Menurut informan, perubahan nama ini
diakibatkan oleh dialek orang alor pesisir yang
datang ke wilayah ini untuk berjualan. Mereka tidak
menyebut nama tempat yang semula benama Mor
menjadi Moru dan inilah yang terus bertahan dan
berkembang hingga sekarang. Belum ada usaha
yang signifikan dari pihak pemerintah maupun
tokoh adat untuk mengembalikannya.

7. Mitologi Orang Hamap


Mitologi Hamap dibagi dalam empat episode yang
dalam bahasa informan disebut Purba. Sejak masa purba
pertama hingga yang terkakhir ada saja daerah yang
dijadikan tempat singgah atau tempat tinggal para tokoh
nenek moyang orang Hamap. Berikut penjelasan sesuai
pembagian episodenya.
a. Purba I
Bagian ini menceritakan tentang Bab Hiftarsah
(Nenek moyang tertinggi orang Hamap) yang mempunyai
empat orang anak. Hamap Bel (anak sulung)
menurunkan Suku Raja (Avin Lelang), Suku Tafa (Tafa
Lelang), Suku Di‟ (Di‟ Lelang) dan Suku Tu‟fa (Tu‟fa
lelang) dan seorang anak angkatnya yang dijadikan
Menbang Lelang tinggal di kampong O‟ta. Nama
kampong ini masih dikenl sampai sekarang yang
terletak di gunung kukusan. Sementara itu Hamap Kai
(Anak Kedua), menurunkan Suku Hukung, Suku
Marang dan Suku Kapitang. Dua anak bungsu dari
hiftarsah, yaitu Belah dan Mandur tinggal di Dorbang,
Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan Pembahasan |63

Kepala Burung. Sampai saat ini nama Dorbang tetap


dikenal di Kelurahan Kalabahi Barat. Keturunan
keduanya kelak menjadi orang Adang dan Kabola. Di
kepala burung, tepatnya di dulolong, dapat ditemui
Kampung Hamap.
Dalam narasi Purba I yang diceritakan tidak
hanya daerah Alor Barat Daya, khususnya Gunung
kukusan saja, tetapi juga di Alor Tengah, yaitu
Molmoti dan wilayah Kepala Burung. Palemoafen
adalah seorang “Raja/Bab1“ dari Ton (Alor), berasal
dari Lafeng yang sekarang lebih dikenal dengan nama
Moru. Raja selalu menjelajahi pulau Ton. Karena itu, Ia
diberi gelar Hiftarsah, yang artinya “pengembara”.
Bab2 Palemoafen mengembara sampai ke Molmoi atau
juga disebut Molmoti, yang terletak di bagian selatan
pulau Ton yang sekarang disebut Kecamatan Alor
Selatan. Di Molmoti Bab palemoafen dikaruniai dua
orang anak yaitu Benfif dan Mobeng. Menurut narasi
ini, orang hamap adalah keturunan Mobeng. Mobeng
mempunyai tujuh orang anak kandung yaitu: Aimo
Ton, Ulmo, Tangmo, Padamo, Timungmo, Ilmo dan Penmo
satu orang anak angkat yaitu: Tonmo.

1 Raja adalah ungkapan informan. Dalam bahasa Indonesia, istilah


tersebut kurang sesuai karena nenek moyang pertama ini tidak memiliki
kerajaan. Informan lainnya EM EL menyamakan Hiftarsah dan Bab
Benfif dan bukan dengan palemoafen. Sedangkan informan pertama, El
O menyebut Benfif sebagai salah seorang anak Hiftarsah, di samping
anaknya yang lain yaitu Mobeng. Nenek moyang orang Hamap ini
badannya besar dan berbulu merah, tidak seperti layaknya manusia
biasa. Dalam istilah anthropologi nenek moyang yang muncul seperti
halnya Hiftarsah, palemoafen atau Benfif disebut anthropomorphis.
2 Dalam bahasa Hamap leluhur disebut Bab sebagai tanda hormat

mereka.
64| Ur, Ved, Lahtal

Padamo dan Tangmo mengembangkan


keturunannya di dai mate yang juga disebut Gunung
Besar (disebut juga Gunung Muna di Kecamatan
Mataru). Ulmo mengembangkan keturunannya di
O‟a yang sekarang disebut Desa Otfai Kecamatan
Kalabahi Barat (Kampung Orang Adang).
Timungmo mengembangkan keturunan di Pul
Malai, nama sebuah kampong di Pura yang sekarang
menjadi wilayah geografisnya orang Pura. Di daerah
ini ada sepuluh kampong yang dihuni oleh
keturunan Timungmo. Sementara itu, Penmo tinggal
di Abol dan sekarang ada 10 kampung di wilayah ini
yang tersebar dari Mali-Palebol-Air Kenari yang
menjadi wilayah geografis orang Kabola. Anak
Sulung Aimo Ton bersama dengan Ilmo dan Tonmo
tetap tinggal di Molmoti.
b. Purba II
Penduduk Molmoit mendapat musibah yang
disebut Fain Bala atau “bala lebah”. Akibatnya orang-
orang mulai terpencar ke seluruh pulau Ton.
Keturunan aimo Ton yang menjadi suku Aimo Ton
mengungsi dan pindah ke suatu tempat yang bernama
Uil-Uil Doi (letaknya di bukit di belakang Gedung
DPR/Kalabahi) dan Uil-Uil Mol (sekarang disebut
Mola di tepi sungai yang melewati Kalabahi). Tempat
ini ditandai dengan sebuah mesbah yang disebut Ton
Don (Mesbah Ton). Aimo Ton mulai menyusun
pemerintahan dan mengangkat salah seorang
putranya, Arambahta menjadi Raja.
Suatu ketika terjadi banir di Ui-Uil Mol. Cucu
aimo Ton (anak Ton Arab), Mo alang dan Ton alang
Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan Pembahasan |65

terpisah. Mo alang terdampar di sebelah Barat Uil-


Uil Doi dan membuka kampong di Murafui dan
Malangwi yang kemudian dikenal sampai sekarang
dengan nama Fanating. Ton alang terdampar di
tamalabang sampai di Kolijahi dan Kolondama
(keduanya sekarang adalah nama kampong di P.
Pantar). Sementara itu, Ton Arab bersama penduduk
yang selamat mengungsi di dataran Ton Buir dan
merekalah yang membuka Ton Bang (sampai
sekarang bernama Ton Bang di Kelurahan Moru).
c. Purba III
Di Ton Bang isteri Bab Ton Arab melahirkan
putra kembar yang diberi nama Parik Lol Ai yang
disebut juga Hamap Mate dan adiknya, Mol Lol Ai
yang dikenal sebagai Hamap Kai. Kisah dimulai dari
narasi tentang Hamap Mate. Masa pemerintahan
Hamap Mate dikenal sebagai masa munculnya
benda-benda penting bagi orang Hamap karena
salah seorang anak Hamap Mate yang oleh orang
Hamap disebut Bab Peabang tenggelam. Tempat Bab
Peabang tenggelam disebut Se Pabeng3.
Adapun benda yang muncul dari sekitar sungai
itu adalah sebuah lesung tua yang berubah menjadi
moko tang disebut Malay Tana dan oleh orang
Hamap diberi nama Moib. Kemudian muncul juga
dua buah nyiru tua yang berubah menjadi Gong.
Sebuah Gong pecah dan sebuah gong lagi diberi
nama Modap, yang kemudian dibawa ke Lawahing

3“se” berarti “air” dan “Pabeng” berasal dari kata Peabang. Sampai
sekarang bernama Se Pabeng.
66| Ur, Ved, Lahtal

(sekarang Loinhul wilayah kelurahan Air Kenari,


Kalabahi). Selain itu, juga ada pedang yang
kemudian diberi nama Tabarae dan Biji Barae yang
ketika diangkat berubah menjadi muti tanah.
Ketika Bap Peabeng meninggal istrinya dalam
keadaan hamil dan melahirkan anak kembar yang
diberi nama Air Peabeng dan Lef Peabeng. Lef
Peabeng juga kemudian meninggal karena tenggelam.
Kemudian di daerah itu terjadi Bala Ular yang
membuat masyarakat takut. Mereka lari ke arah
barat dan menetap di Dop Bang, (sampai sekarang
bernama Dop Bang, ada di sebelah barat Gunung
Kukusan) sampai ke Bang Doita (juga di sebelah
Barat Gunung Kukusan) dan lari ke selatan menetap
di ilanem. Air Peabeng tetap tinggal bersama
kakeknya Hamap Mate dan mengurus kampong
Duil Talel4. Sementara itu tiga orang anak Air
Peabeng. Ingat bahwa Ton Arab, buyut dari Air
Peabeng membuka kampong Ton Bang di Ton Buir.
Jadi di Ton Buir pada waktu itu ada dua kampong
yang dalam narasi dikenal dengan nama Ton Bang
dan Duil Talel. Sementara itu tiga orang anak Air
Peabeng juga terpencar. Air Abuil menetap di Bab
Abul yang terletak di bagian Timur Kota Moru,
Tareh Adang tidak jelas tempat tinggalnya dan Bel
Fif tinggal di Foibubungdel. Tempat ini sampai
sekarang disebut Dorbang.

4Sekarang daerah ini terdiri dari 22 kampung yang tersebar dari


Desa Wolwal Barat sampai Mai Mol Fei.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan Pembahasan |67

d. Purba IV
Pada masa ini penduduk Ton Buir pindah lagi,
seluruh Ton Buir diserang oleh bunga tanaman liar
yang menutupi seluruh Ton Buir. Kejadian ini dimulai
dari suangai Abue (Abue Mol). Orang-orang Hamap
mate pindah ke daerah perbukitan di bagian barat
pulau Alor yang disebut Bang Doi Ta yang secara
Harfiah berarti “kampong di atas bukit/gunung”.
Kemudian mereka bergeser ke lyhingsah doi (beringin
sakti). Sementara itu orang-orang keturunan Hamap
Kai menuju kea rah selatan di sebelah timur Bang Doi
Ta. Di sana mereka membuka kampong yang disebut
Mol/Mor Doi (Kampung Doi). Keturunan Hamap Kai
yang terkenal adalah Pa‟ Pa‟ Name Lamuil, yang
keturunannya dikenal sebagai Belalang.
Sebenarnya di daerah ini ada dua keturunan,
yaitu keturunan Pa’Pa’ yang tinggal di Palelang5 dan
keturunan Mormo yang menetap di Duil Bang I
(terletak di atas kampong Mor).

C. Sejarah Masuknya Agama Kristen di Hamap


Pada tahun 1922 Bapak Petrus Adang yang berasal
dari suku Hamap sebagai seorang Guru Sekolah datang ke
wilayah Alor barat Daya melalui Kampung Kikilai. Dalam
perngajarannya, pada Tahun 1925, 60 orang telah mengaku
percaya kepada Kristus dibaptis menjadi Kristen setelah
lulus sekolah. Dari 60 orang ini termasuk di dalamnya 3
orang asli suku hamap yaitu: Matheos Moban, Pieter Bela
dan Kornelis La‟alape. Pada Tahun 1927, Bapak Petrus

5 Sampai sekarang nama tempat ini masih tetap Palelang.


68| Ur, Ved, Lahtal

Adang membawa agama Kristen memasuki wilayah


kampong asli Hamap yaitu di Moeng. Penginjilan
dilakukan lewat tua-tua adat. Pengajaran dan penginjilan
saat itu sangat sulit karena hampir semua anak suku yang
berada di dalam rumpun suku hamap masih sangat keras
dengn agama suku mereka. Mereka lebih suka menyembah
pada Ur, Ved dan Lahtal sebagai kepercayaan nenek
moyang dari pada kepada Yesus Kristus yang diberitakan
oleh Bapak Petrus Adang. Pada tahun 1933 terjadi
kebakaran di kampong moeng dan dalam peristiwa itu,
Rumah Suku Hamap ikut terbakar. Para tua-tua suku
sepakat untuk mebangun kembali Rumah suku yang telah
terbakar tersebut. Setelah semua bahan dikumpulkan,
Bapak Petrus Adang mengusulkan agar kampong hamap
dipindahkan ke Foang. Semua kepala suku sepakat dan
pada Tahun 1934, kampong Hamap dipindahkan dari
Moeng ke Foang. Di Foang, banyak orang Hamap yang
telah masuk menjadi Kristen dan membentuk satu jemaat
dan Bapak Petrus Adang sebagai pelayan. Jemaat di
kampong Moeng yang adalah orang Hamap tinggal di
Moeng dari Tahun 1934–1947. Pada Tahun 1952, semua
jemat sepakat untuk pindah ke Moru, karena wilayah
Foang yang sempit. Di Moru, dibentuklah sebuah Jemaat
yang berkembang hingga sekarang dengan nama Jemaat
GMIT Imanuel Habula Moru.

D. Konsep Kepercayaan Agama Suku Hamap


Setiap suku yang ada di wilayah Kelurahan Moru
mempunyai agama suku masing-masing. Hamap sebagai
salah satu suku percaya kepada 3 (Tiga) nama sesembahan
yaitu: UR, VED dan LAHTAL.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan Pembahasan |69

1. UR = Tuhan Bulan
Bulan bagi orang hamap dianggap simbol kekuatan
ilahi yang menguasai dunia di malam hari.
2. VED = Tuhan Matahari
Ved (Matahari) bagi orang hamap dianggap simbol
kekuatan ilahi yang menguasai dunia di siang hari.
3. LAHTAL =
LAH : Tempat Tinggal
TAL : Para-para (semua para-para selalu terletak di atas)
Arti Harfiah = Tempat Tinggal yang ada di atas.
Makna = Tempat yang terletak jauh di atas yang tidak
dapat dilihat dengan mata, namun dipercaya sebagai
penguasa kehidupan mereka.

E. Sikap Agama Kristen terhadap Kepercayaan Agama


Suku Hamap
Awal masuknya agama Kristen di Hamap adalah lewat
jalur pendidikan. Siapa yang masuk sekolah yang dibuka
oleh Belanda setelah tamat akan dibaptis menjadi jemaat
Kristen. Agama Kristen masuk wilayah Moru dibawa oleh
salah satu anak suku Hamap yaitu Bapak Petrus Adang.
Karena latar belakang inilah kekristenan yang masuk
wilayah Hamap cenderung bersifat terbuka kepada budaya
dan agama suku Hamap. Ketika awal masuk, kekristenan
tidak memaksa masyarakat Hamap untuk menganut agama
Kristen. Sedikit demi sedikit orang Hamap diinjili hingga
akhirnya membentuk sebuah jemaat. Sebagai penghargaam
terhadap budaya dan agama suku Hamap, hingga sekarang
Lahtal sebagai salah satu ilah agama suku diterjemahkan
menjadi Tuhan Allah.
70| Ur, Ved, Lahtal

F. Pemaknaan Agama Kristen terhadap Konsep Ur, Ved


dan Lahtal
Menurut informan El O, Ur dan Ved adalah bukti
adanya kuasa dan kekuatan besar di atas langit. Karena itu
dalam kepercayaan agama suku Hamap selalu ada upacara
penyembahan kepada dewa bulan dan dewa matahari.
Ur, Ved dan Lahtal adalah sebuah kesatuan ilahi dalam
pandangan theisme orang Hamap. Ur (dewa bulan) dan ved
(dewa matahari) adalah bukti adanya kekuatan ilahi yang
dapat dilihat dengan mata oleh manusia. Ur (bulan)
melambangkan perempuan yang walaupun bersinar terang
namun lembut dan damai ketika berada di bawahnya; Ved
(Matahari) melambangkan laki-laki karena memiliki sinar
yang sangat panas dan menyakitkan. Dalam pandangan
orang Hamap, Kekuatan sinar matahari dianggap sebagai
kekuatan yang dapat menguasai bumi. Sedang Lahtal
dipercaya sebagai sebuah kekuatan yang berada di atas dan
berkuasa atas bulan dan matahari serta dunia. Lahtal tidak
dapat dilihat tetapi selalu disembah oleh orang Hamap.
Dalam praktik theisme orang Hamap, ada praktik
dinamisme yaitu kepercayaan kepada batu besar dan pohon
besar yang dianggap memiliki kekuatan dan animism yaitu
kepercayaan kepada roh-roh nenek moyang. Orang Hamap
memiliki kepercayaan bahwa Lahtal yang jauh dan tidak
dapat dilihat ini kemudian oleh orang Hamap hadir dalam
bentuk batu besar atau pohon besar. Inilah yang membuat
orang Hamap selalu menyembah kepada batu besar dan
pohon besar.
Kuasa dan kekuatan besar yang menciptakan bulan
dan matahari itulah yang dinamakan Lahtal. Lahtal dalam
kepercayaan agama suku Hamap tidak dapat dilihat namun
Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan Pembahasan |71

seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa Lahtal yang


tinggi dan tidak kelihatan itu dipercaya hadir dapat mereka
lihat kekuatannya lewat Batu Besar dan Pohon Besar.
Dari paparan ini, dapat dikatakan bahwa Lahtal
berkedudukan lebih tinggi dari Ur dan Ved. Lahtal adalah
kekuatan yang menciptakan Ur dan Ved dan berkuasa atas
keduanya. Karena itulah ketika orang Hamap menganut
agama Kristen Ur dan Ved tidak disebutkan dalam doa
secara Kristen tetapi Lahtal disebutkan dalam doa yang
diartikan sebagai Tuhan Allah.

G. Analisis Kristis terhadap Kepercayaan Suku Hamap


Masalah kepercayaan, sebagaimana lazim terdapat di
mana-mana di antara suku Murba, masyarakat suku Hamap
juga menganut kepercayaan murba (animisme). Ada roh-roh
yang dihormati, disembah, dipercaya dan dipelihara. Roh
dari roh tersebut diberi bentuk (patung). Lazimnya patung
hewan (ular, ular naga dan buaya). Setiap keluarga
mempunyai mesbah di halaman rumah yang dipelihara
secara turun-temurun.
Ada juga kepercayaan kepada benda-benda alam yang
dianggap memiliki kekuatan yaitu Batu Besar dan Pohon
Besar. Tempat-tempat seperti ini menjadi media/wahana
pertemuan mereka dengan ilah yang tertinggi (Lahtal).
1. Konsep tentang Lahtal
Di samping roh-roh nenek moyang dan benda-
benda alam seperti yang tersebut di atas, orang Hamap
juga mengenal suatu kekuasaan yang dipercaya lebih
tinggi. Mereka menyebut kekuasaan tertinggi itu Lahtal.
Sebutan ini dikenal di seluruh wilayah Kepulauan Alor,
walaupun dengan kata yang berbeda karena perbedaan
72| Ur, Ved, Lahtal

bahasa namun pada intinya sama. Contohnya: Lahatala


(sebutan di wilayah Pantar); Alasala (Sebutan di wilayah
Abui/Gunung Besar); dan Lahtal (sebutan di wilayah
Klon). Van de Wetering (Wetering, 134-135) menjelaskan
sebagai berikut. Perkataan Lahtal atau Lahatala
sebenarnya memperlihatkan jenis pengaruh Islam yang
sudah ada di wilayah Kepulauan Alor sejak abad XVI.
Van A. A. dalen mengemukakan pikiran yang lain.
Melalui suatu pengamatan sederhana terhadap bahasa
orang alor ia menjelaskan sebagai berikut. Perkataan
Lahtal atau Lahatala merupakan kata berkait (kontraksi)
dari perkataan Laha yang berarti “Rumah” dan Tal/Tala
yang berarti “tinggi” (di atas). Jadi Lahtal atau Lahatala
dipahami sebagai penguasa tertinggi (de Allerhoogte).
Lahtal dan Lahatala mendiamai tempat tertinggi.
Dari penjelasan kedua ahli ini, ketika dikaitkan
dengan penjelasan informan kunci suku Hamap maka
yang mendekati kepercayaan suku Hamap adalah
penjelasan dari Van dalen. Seperti yang sudah dijelaskan di
atas, bahwa Lahtal dalam agama suku Hamap berasal dari
kata “Lah” yang berarti “tempat tinggal” dan “Tal” yang
berate “Para-para”. Dalam tradisi Hamap, para-para ketika
dibuat selalu berada di tempat yang tinggi. Biasanya orang
Hamap selalu menaruh sesembahan kepada Bab (arwah
nenek moyang) di atas para-para. Apabila digabungkan
kedua kata ini menjadi Lahtal, dapat diartikan sebagai
“Tempat Tinggal yang Ada di Atas”.
Dalam kepercayaan murba orang Hamap, Lahtal
dipercaya sebagai pencipta langit (langit berarti semua
isi langit termasuk bulan, bintang dan matahari) dan
bumi (seluruh isi bumi termasuk di dalamnya Manusia,
Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan Pembahasan |73

binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan). Lahtal tidak


kelihatan. Sebagai pencipta ia juga disapa sebagai
pemilik segala sesuatu, dan karena itu nama Lahtal tidak
dapat disebut dengan sembarang. Hanya dalam
peristiwa-peristiwa tertentu dan dalam upacara tertentu
nama itu diserukan lengkap: Ur, Ved, Lahtal.
Contoh:
Ur, Ved, Lahtal
Anara huil anara bal, sang bang ho eam
Ono oham ve na puin nab or. (artinya: Dewa Bulan, dewa
Matahari, Tuan yang ada di atas, engkau menyertai saya
dalam perjalanan menuju kempung dan memberi keberhasilan
agar saya kembali pulang dengan sukacita).

Hal ini menarik untuk diperhatikan, ketiga nama


sesembahan orang Hamap seperti halnya semua suku
yang ada di Alor, penyebutannya tidak dapat dipisah-
pisahkan. Dalam setiap ungkapan adat yang mengawali
sebuah ritual ketiga nama ini harus disebutkan. Yang
lebih menarik lagi adalah salah satu dari ketiga nama ini
yaitu Lahtal kemudian tetap dipakai sebagai sebutan
resmi untuk Tuhan Allah. Ini merupakan “titik kuat “
bagi penyebaran berita Injil di seluruh kepualauan Alor.
Dapat dikatakan bahwa ini merupakan modal besar bagi
pekerjaan pengajaran Gereja yang sangat menentukan.

2. Makna Ur, Ved dan Lahtal bagi Orang Hamap


Ur, ved dan Lahtal mengandung pengertian
theologis tertentu; pengertian “ketigaesaan” Lahtal. Di
dalamnya terkandung ketigaesaan: Ilah yang ada di atas
(Lahtal), Matahari (Ved) dan Bulan/Kekekalan (Ur). Ini
74| Ur, Ved, Lahtal

adalah ketigaesaan dalam ibadah orang Hamap. Orang


Hamap percaya bahwa Lahtal sebagai Ilah yang tertinggi,
yang tidak kelihatan, yang namanya tidak dapat
disebutkan dengan sembarangan menghadirkan
kekuatan dan kekuasaannya lewat Bulan dan Matahari.
Lahtal yang tidak kelihatan dapat dilihat dengan jelas
dalam wujud bulan dan matahari.
Selain itu, ada juga ketigaesaan dalam tata
kehidupan sehari-hari. Ketigaesaan itu terdiri dari:
Keluarga, Rumah adat (Suku) dan pelataran di tempat
“Lego-Lego/Lindolo”. Di bagian tertentu dalam rumah
(arsitektur) tradisional suku Hamap terdapat suatu
bentuk mirip tanduk hewan. Dalam kepercayaan murba,
bentuk itu mengandung makna “segala sesuatu yang
berasal dari atas akan kembali ke atas (ke asalnya)”.
Arwah nenek moyang pun tetap dihormati, sebab
dalam kepercayaan orang Hamap, arwah nenek moyang
tetap ikut menata kehidupan sehari-hari dari keluarga
yang masih hidup di alam nyata. Agar dapat
berkomunikasi dengan arwah nenek moyang, dibuatlah
bentuk dan wujud tertentu. Lazimnya dalam Suku Hamap
dibuat dalam wujud dan bentuk patung seekor buaya.
Kadang-kadang hubungan antara patung dan
penyembahnya begitu dekat sehingga binatang jelmaan itu
dipandang sebagai asal usul (totem).

H. Perbandingan antara Ur, Ved dan Lahtal dengan


Kepercayaan Kristen mengenai Allah Tritunggal
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa dalam
agama suku Hamap juga mengenal ketigaesaan ilahi, tetapi
tidak dapat disamakan begitu saja dengan ajaran Trinitas.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan Pembahasan |75

Kepercayaan Kristen mengenai Allah Tritunggal juga


berbicara tentang 3 (Tiga) nama. Allah Bapa, Allah Anak dan
Allah Roh. Tetapi kepercayaan Kristen tentang Trinitas
berbicara tentang 1 (Satu) Allah dalam 3 (Tiga) cara berada.
Allah yang satu itulah yang pada mulanya menciptakan
Langit dan Bumi kemudian hadir di tengah-tengah dunia
dalam Yesus Kristus untuk menyelamatkan manusia dari
dosa dan Allah yang satu itu jugalah yang akan terus
menerus ada di dalam hati manusia. Jadi kesimpulannya
ketigaesaan nama ilah orang Hamap tidak sama dengan
kepercayaan Kristen mengenai Allah Tritunggal.

I. Refleksi tentang Trinitas dalam Ajaran Iman Kristen


1. Ajaran Kristen tentang Trinitas
Secara ringkas kita menggambarkan bahwa “Allah
adalah satu dalam esensi dan tiga dalam substansi”.
Formula ini memang merupakan misteri dan paradoks
tetapi tidak kontradiksi. Suatu kontradiksi akan muncul
jika kita mengatakan bahwa “Allah adalah satu dalam
esensi dan tiga dalam esensi; atau Allah adalah tiga
substansi dan satu subtansi pada saat yang sama dan
dalam pengertian yang sama”.
Keesaan dari Allah dinyatakan sebagai esensiNya
atau keberadaanNya, sedangkan keragamannya
diekspresikan dalam tiga substansi atau pribadi. Berikut ini
merupakan ringkasan ajaran tentang Trinitas.
Pertama, Allah adalah satu dalam esensi. Esensial
kesatuan dari Allah didasarkan pada Ulangan 6:4,
“dengarlah, hai orang Isreal: TUHAN itu Allah kita,
TUHAN itu esa!” Kata “esa” adalah kata Ibrani “echad”
yang berarti “gabungan kesatuan; satu kesatuan”.
76| Ur, Ved, Lahtal

Pernyataan ini menekankan bukan hanya keunikan dari


Allah tetapi juga kesatuan dari Allah (Bandingkan
Yakobus 2:19). Ini berarti bahwa ketiga Pribadi secara
esensi tidak terbagi. Kesatuan dari esensi ini juga
menekankan bahwa ketiga Pribadi dari Trinitas tidak
berarti bertindak secara mandiri dan terpisah.
Pernyataan ini penting dalam menangkal ajaran sesat
Arianisme dan Socianisme yang menolak kesatuan
esensi Anak dan Roh Kudus dengan Bapa.
Kedua, Allah adalah tiga dalam dalam pribadi.
Walau istilah “Pribadi” cenderung menimbulkan
pemahaman keliru tentang kesatuan dalam Trinitas,
tetapi kata ini terus dipertahankan karena tidak ada kata
lain yang lebih mendekati kebenaran yang disingkapkan
Alkitab tentang Allah Trinitas ini. Istilah “Pribadi”
banyak menolong dalam menjelaskan Trinitas, karena
kata itu menekankan bukan hanya suatu manifestasi
tetapi juga pribadi sebagai persona (individu). Dengan
menyatakan bahwa Allah adalah tiga dalam kaitan
dengan pribadi hal ini menekankan bahwa (1) adanya
distingsi persona dalam Keallahan; (2) setiap Pribadi
memiliki esensi yang sama dengan Allah; dan (3) setiap
Pribadi memiliki kepenihan Allah. Jadi, Dalam Allah
tidak ada tiga pribadi bersama dan terpisah satu sama
lain, tetapi hanya perbedaan pribadi di antara esensi
Ilahi. Pernyataan tersebut merupakan suatu perbedaan
yang penting dari Modalisme atau Sabellianisme, yang
mengajarkan bahwa satu Allah hanya memanifestasikan
diriNya dalam tiga cara yang berbeda.
Ketiga, Ketiga Pribadi memiliki relasi yang berbeda.
Di antara Trinitas ada suatu relasi yang diekspresikan
Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan Pembahasan |77

dalam arti subsistensi. Bapak tidak dilahirkan dan tidak


berasal dari Pribadi manapun; Anak secara kekal berasal
dari Bapa (Yohanes 1:18; 3:16,18; 1 Yohanes 4:9). Istilah-
istilah yang digunakan untuk menjelaskan relasi di antara
Trinitas adalah “generatio” dan “prosesi”. Istilah
“generation” digunakan untuk menjelaskan bahwa dalam
relasi Trinitas Anak secara kekal lahir dari Bapa, Roh
Kudus secara kekal berasal dari Bapa dan Anak (Yohanes
14:26; 16:7). Istilah “prosesi” digunakan untuk menjelaskan
relasi Trinitarian Bapa dan Anak mengutus Roh Kudus.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa istilah-istilah ini
digunakan untuk menjelaskan relasi di antara Trinitas dan
tidak untuk menunjukkan bahwa salah satu pribadi lebih
rendah dari pribadi-pribadi lainnya.
Keempat, Ketiga Pribadi setara dalam kekekalan
dan otoritas. Meskipun istilah “generatio” dan “prosesi”
dapat digunakan dalam hubungan dengan fungsi di
antara Trinitas, adalah penting untuk menyadari bahwa
ketiga Pribadi adalah secara dalam kekekalan dan
otoritas. Bapa diakui sebagai kekal dan berotoritas
paling tinggi (1 Korintus 8:6); Anak juga diakui setara
dengan Bapa dalam segala hal (Yohanes 5:21-23);
Demikian juga Roh Kudus diakui setara dengan Bapa
dan Anak (Matius 12:31).

2. Dasar Alkitabiah tentang Trinitas


a. Ajaran Trinitas dalam Perjanjian Lama
Teks-teks Perjanjian Lama berikut ini memang
tidak tuntas dalam menjelaskan Trinitas tetapi
mengindikasikan konsep Trinitas di dalam
Perjanjian Lama.
78| Ur, Ved, Lahtal

1) Penggunaan kata Ibrani “Elohim” untuk Allah


(Kej 1:1 dan ayat lainnya) yang merupakan kata
bentuk jamak merupakan indikasi pertama
tentang Trinitas dalam Perjanjian Lama
Kata “Elohim” adalah bentuk jamak dari
kata benda untuk Allah orang Israel. Kata
“Elohim” ini mempunyai bentuk tunggal yaitu
“Eloah” yang digunakan antara lain dalam
Ulangan 32:15-17; Mazmur 19:32; dan Habakuk
3:3. Tetapi dalam Perjanjian Lama kata “Eloah”
hanya digunakan sebanyak 250 kali, sedangkan
kata “Elohim” sekitar 2500 kali. Penggunaan
kata bentuk jamak yang jauh lebih banyak ini
menunjukkan adanya “kejamakan dalam diri
Allah”. Jika memang Allah itu tunggal secara
mutlak, mengapa tidak digunakan kata Eloah
secara konsisten? Dan mengapa justru
menggunakan Elohim jauh lebih banyak dari
Eloah? Dengan demikian penggunaan kata
Elohim untuk menyebut nama Allah
mengindikasikan adanya Trinitas. Jadi, Alkitab
menggunakan kata Eloah untuk menyatakan
ketunggalan Allah dalam esensiNya, dan Elohim
untuk menyatakan kejamakan Allah dalam
pribadiNya.
2) Penggunaan kata bentuk jamak untuk Allah atau
dalam relasinya dengan Allah
“Berfirmanlah Allah (bentuk tunggal):
„Baiklah Kita (bentuk jamak) menjadikan
manusia menurut gambar dan rupa Kita (bentuk
jamak), supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan
Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan Pembahasan |79

di laut dan burung-burung di udara dan atas


ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala
binatang melata yang merayap di bumi.”
(Kejadian 1:26). “Berfirmanlah TUHAN Allah:
„Sesungguhnya manusia itu telah menjadi seperti
salah satu dari Kita (jamak), tahu tentang yang
baik dan yang jahat; ...” (Kejadian 3:23a).
“Baiklah Kita (jamak) turun dan
mengacaubalaukan di sana bahasa mereka,
sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa
masing-masing” (Kejadian 11:7).
Ada yang mengatakan bahwa pada waktu
Allah menggunakan kata “Kita” dalam Kejadian
1:26, maka saat itu Ia sedang berbicara kepada
para malaikat. Jadi bukan menunjukkan
“kejamakan dalam diri Allah”. Tetapi ini
mustahil, sebab jika dalam Kejadian 1:26
diartikan bahwa “Kita” itu menunjuk kepada
“Allah dan para malaikat”, maka haruslah
disimpulkan bahwa: manusia juga diciptakan
menurut gambar dan rupa malaikat; Allah
mengajak para malaikat untuk bersama-sama
menciptakan manusia, sehingga kalau Allah
adalah pencipta, maka malaikat adalah rekan
pencipta. Pandangan Kristen menganggap
pemakaian kata “Kita” menunjukkan bahwa
pribadi-pribadi dalam Allah Tritunggal itu
berbicara satu dengan yang lain, dan ini
menunjukkan adanya “kejamakan tertentu
dalam diri Allah”.
80| Ur, Ved, Lahtal

3) Beberapa ayat dalam Kitab Suci membedakan


Allah yang satu dengan Allah yang lain (seakan-
akan ada lebih dari satu Allah)
“Takhtamu kepunyaan Allah, tetap untuk
seterusnya dan selamanya, dan tongkat
kerajaanmu adalah tongkat kebenaran... sebab
itu Allah, Allahmu, telah mengurapi engkau
dengan minyak sebagai tanda kesukaan,
melebihi teman-teman sekutumu” (Mazmur
45:7-8). Karena dalam ayat ini Alkitab Indonesia
kurang tepat terjemahannya, mari kita lihat
terjemahan NASB di bawah ini. “Thy throne, O
God, is forever and ever ... Therefore God, Thy God
has anointed Thee” (TahtaMu, Ya Allah, kekal
selama-lamanya. ... Karena itu, Allah, AllahMu
telah mengurapi Engkau). Ibrani 1:8-9 mengutip
ayat ini, “Tetapi tentang Anak Ia berkata:
“Takhta-Mu, ya Allah, tetap untuk seterusnya
dan selamanya, dan tongkat kerajaan-Mu adalah
tongkat kebenaran. Engkau mencintai keadilan
dan membenci kefasikan; sebab itu Allah, Allah-
Mu telah mengurapi Engkau dengan minyak
sebagai tanda kesukaan, melebihi teman-teman
sekutu-Mu. “Kemudian TUHAN menurunkan
hujan belerang dan api atas Sodom dan Gomora,
berasal dari TUHAN, dari langit” (Kejadian
19:24). TUHAN (YHWH), yang saat itu ada di
bumi, menurunkan hujan belerang dan api atas
Sodom dan Gomora, berasal dari TUHAN
(YHWH), dari langit. Jadi kelihatannya ada dua
TUHAN (YHWH), satu di bumi, satu di langit.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan Pembahasan |81

4) Penampilan dari Malaikat TUHAN (Kejadian


16:2-13 22:11, 16 31:11,13 48:15,16 Keluaran
3:2,4,5 Hakim-hakim 13:20-22)
Istilah “Malaikat TUHAN” ini juga
menunjukkan bahwa “Malaikat TUHAN” (the
Angel of the LORD) ini tidak sama dengan
Allah. Tetapi, sekalipun dalam bagian-bagian
tertentu Malaikat TUHAN itu disebut sebagai
Malaikat TUHAN, dalam bagian-bagian lain Ia
juga disebut sebagai Allah/TUHAN sendiri.
Sebagai contoh, dalam Kej 16:7,9,10,11, disebut
sebagai Malaikat TUHAN; tetapi dalam Kejadian
16:13 disebut sebagai TUHAN sendiri.
Contoh lainnya, dalam Kejadian 22:11a,
disebut sebagai “Malaikat TUHAN”; tetapi dalam
Kejadian 22:11b-12, disebut sebagai “Tuhan” atau
“Allah” sendiri. Sekalipun dalam ayat 11 disebut
sebagai “Malaikat TUHAN”, tetapi dalam ayat 11b
disebut “Tuhan” oleh Abraham. Dan dalam ayat
15, “Malaikat TUHAN” itu berseru, tetapi dalam
ayat 16 dikatakan “firman TUHAN”. Lalu dalam
ayat 16 Malaikat TUHAN itu bersumpah demi
diriNya sendiri. Seorang malaikat biasa akan
bersumpah demi nama Tuhan, bukan demi
dirinya sendiri atau menggunakan namanya
sendiri (bandingkan: Daniel 12:7; Ibrani 6:13,16-17;
Wahyu 10:5-6). Jadi jelas bahwa Malaikat TUHAN
itu adalah Tuhan/Allah sendiri.
Juga, dalam Kel 23:20-23, malaikat TUHAN
ini mempunyai kuasa untuk mengampuni dosa.
Dari kata-kata “namaKu ada di dalam dia”, kita
82| Ur, Ved, Lahtal

menganggap bahwa malaikat ini adalah


Malaikat Perjanjian, yaitu Yesus Kristus sendiri.
Semua ini menunjukkan bahwa Malaikat
TUHAN itu adalah Allah atau TUHAN sendiri.
5) Seruan rangkap tiga (trisagion) dalam doa dan
berkat keimaman Harun mengindikasikan
Trinitas
Penggunaan nama “TUHAN” (YHWH)
tiga kali berturut-turut dalam Bilangan 6:24-26
dan sebutan “kudus” bagi Allah tiga kali
berturut-turut dalam Yesaya 6:3 dan Wahyu 4:8.
Tidakkah mengherankan bahwa ayat-ayat itu
menyebutkan “TUHAN” dan “kudus” sebanyak
tiga kali? Mengapa tidak tiga kali, atau lima kali,
atau tujuh kali? Jelas karena ada hubungannya
dengan Allah Trinitas!
6) Penggunaan kata “esa” dalam Ulangan 6:4
menunjukkan Trinitas
“Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN
(YHWH) itu Allah kita (Eloheynu), TUHAN
(YHWH) itu esa!” (Ulangan 6:4). Kata “esa” yang
digunakan di sini dalam bahasa Ibraninya adalah
“ekhad” yang menunjuk kepada “satu kesatuan
yang mengandung makna kejamakan; dan bukan
satu yang mutlak”.
Kata “ekhad” ini sering berarti “satu
gabungan (a compound one)”, bukan “satu yang
mutlak (an absolute one)”. Berikut ini contoh-contoh
dari penggunaan kata “ekhat”. Kejadian 1:5, “Dan
Allah menamai terang itu siang, dan gelap itu
malam. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari
Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan Pembahasan |83

pertama (yom ekhad)”. Gabungan dari petang dan


pagi membentuk satu (ekhad) hari. Kejadian 2:24,
Adam dan Hawa menjadi satu (ekhad) daging.
“Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan
ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya,
sehingga keduanya menjadi satu daging”
(Kejadian 2:24). Bilangan 13:23, “Ketika mereka
sampai ke lembah Eskol, dipotong merekalah di
sana suatu cabang dengan setandan buah
anggurnya, lalu berdualah mereka
menggandarnya; juga mereka membawa beberapa
buah delima dan buah ara”. Frase “Setandan buah
anggur”, atau “satu (ekhad) tandan buah anggur”
berati satu tandan buah anggur yang pasti terdiri
dari banyak buah anggur.
Sebetulnya ada sebuah kata lain dalam
bahasa Ibrani yang berarti “satu yang mutlak (an
absolute one)” atau “satu-satunya”. Kata itu
adalah “yakhid”. Contoh penggunaan kata
“yakhid” ini dapat dilihat dalam Kejadian
22:2,16 - “FirmanNya: „Ambillah anakmu yang
tunggal (yakhid) itu, yang engkau kasihi, yakni
Ishak, pergilah ke tanah Moria dan
persembahkanlah dia di sana sebagai korban
bakaran pada salah satu gunung yang akan
Kukatakan kepadamu.‟ ... kataNya: „Aku
bersumpah demi diriKu sendiri - demikianlah
firman TUHAN - : Karena engkau telah berbuat
demikian, dan engkau tidak segan-segan untuk
menyerahkan anakmu yang tunggal (yakhid)
kepadaKu”.
84| Ur, Ved, Lahtal

Jika Musa ingin menekankan tentang


“kesatuan yang mutlak” dari Allah dan bukannya
“kesatuan gabungan” (a compound unity), maka
pastilah ia akan menggunakan kata yakhid dan
bukan-nya ekhad untuk kata esa dalam Ulangan
6:4 tersebut. Kenyataannya, Musa menggunakan
kata ekhad dalam ayat tersebut, hal ini pasti
menunjukkan bahwa Allah itu tidak satu secara
mutlak, tetapi ada kejamakan dalam diri Allah.

b. Ajaran Trinitas dalam Perjanjian Baru


Perjanjian Baru memberikan pernyataan yang
lebih jelas tentang pribadi-pribadi yang berbeda
dalam diri Allah. Berikut secara ringkas bagian-
bagian Perjanjian Baru dimana Trinitas diajarkan.
1) Perjanjian Baru menunjukkan ketiga pribadi Allah
itu dengan lebih jelas, dan juga menyetarakan
Mereka. (Yohanes 5:31,32,37)
Yohanes 5:31 menunjukkan Yesus sebagai
“saksi”, dan Yohanes 5:32,37a menunjukkan Bapa
sebagai “saksi yang lain”, di mana untuk kata-kata
“yang lain” digunakan kata bahasa Yunani “allos”.
Ada dua kata Yunani yang berarti “yang lain”,
yaitu “allos” dan “heteros”. Tetapi kedua kata ini
ada bedanya. Kata “allos” menunjuk pada “yang
lain” dari jenis yang sama; Sedangkan “heteros”
menunjuk pada “yang lain” dari jenis yang
berbeda. Sebagai contoh, saya mempunyai satu
botol minuman sprite. Jika saya menginginkan
satu botol sprite “yang lain”, yang sama dengan
yang ada pada saya ini, maka saya akan
Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan Pembahasan |85

menggunakan kata “allos”. Seandainya saya


menghendaki minuman “yang lain”, misalnya
fanta, maka saya harus menggunakan “heteros”,
bukan “allos”. Jadi pada waktu Yesus disebut
sebagai saksi, dan Bapa sebagai Saksi yang lain,
dan kata „yang lain‟ itu menggunakan allos, maka
itu menunjukkan bahwa Yesus mempunyai
kwalitet atau jenis yang sama dengan Bapa, dan ini
membuktikan bahwa Yesus adalah Allah!
Hal yang sama terjadi antara Yesus dan Roh
Kudus. Yesus disebut “Pengantara” atau
“Parakletos” (1 Yohanes 2:1), dan Roh Kudus
disebut “Penolong” atau “Parakletos” yang lain
(Yohanes 14:16). Janji Tuhan Yesus untuk
mengirim seorang Penolong (Parakletos) “yang
lain” di sini berarti seorang yang lain dari Pribadi
Trinitas. Di sini untuk kata-kata “yang lain” juga
digunakan “allos”, yang menunjukkan bahwa
Yesus dan Roh Kudus mempunyai jenis atau
kualitas yang sama. Dengan demikian Bapa,
Anak, dan Roh Kudus mempunyai jenis atau
kualitas yang sama, dan semua ini bisa
digunakan untuk mendukung doktrin Trinitas.
Memang di sini tidak terlihat kesatuan dari
pribadi-pribadi itu, tetapi ini dengan mudah bisa
didapatkan dari ayat-ayat yang menunjukkan
ketunggalan Allah, seperti Ulangan 6:4; Markus
12:32; Yohanes 17:3 1Timotius 2:5 Yakobus 2:19 1
Korintus 8:4, dsb, yang telah saya bahas di depan.
2) Perjanjian Lama menyebut TUHAN (YHWH)
sebagai Penebus dan Juruselamat (Mazmur 19:15;
86| Ur, Ved, Lahtal

78:35; Yesaya 43:3,11,14; 47:4; 49:7,26; 60:16), maka


dalam Perjanjian Baru, Anak Allah/Yesus-lah
yang disebut demikian (Matius 1:21 Lukas 1:76-79;
2:11; Yohanes 4:42; Galatia 3:13; 4:5; Titus 2:13).
3) Perjanjian Lama mengatakan bahwa TUHAN
(YHWH) tinggal di antara bangsa Israel dan di
dalam hati orang-orang yang takut akan Dia
(Mazmur 74:2; 135:21; Yesaya 8:18; 57:15;
Yehezkiel 43:7,9; Yoel 3:17,21; Zakharia 2:10-11),
maka dalam Perjanjian Baru dikatakan bahwa
Roh Kuduslah yang mendiami Gereja, orang
percaya (Kisah Para Rasul 2:4; Roma 8:9,11; 1
Korintus 3:16; Galatia 4:6; Ef 2:22; Yakobus 4:5).
4) Perjanjian Baru memberikan pernyataan yang
jelas tentang Allah yang mengutus AnakNya ke
dalam dunia (Yohanes 3:16; Galatia 4:4; Ibrani
1:6; 1 Yohanes 4:9), dan tentang Bapa dan Anak
yang mengutus Roh Kudus (Yohanes 14:26;
15:26; 16:7; Galatia 4:6).
5) Dalam Perjanjian Baru kita melihat Bapa berbicara
kepada Anak (Markus 1:11) dan Anak berbicara
kepada Bapa (Matius 11:25-26; 26:39; Yohanes
11:41; 12:27) dan Roh Kudus berdoa kepada Allah
dalam hati orang percaya (Roma 8:26).
6) Perjanjian Baru menunjukkan ketiga pribadi
Allah itu disebut dalam satu bagian Kitab Suci
Pada peristiwa baptisan Kristus (Matius
3:16-17); Pada peristiwa Amana Agung (Matius
28:19); Penjelasan Paulus tentang Kharismata
atau karunia-karunia Roh (1 Korintus 12:4-6);
Berkat Rasuli (2 Korintus 13:13); Tentang
Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan Pembahasan |87

kesatuan tubuh Kristus (Efesus 4:4-6); dan


pernyataan Petrus (1 Petrus 1:2). Perlu
diperhatikan dalam ayat-ayat di atas ini adalah
bahwa urut-urutannya tidak selalu Bapa sebagai
yang pertama disebutkan, Anak sebagai yang
kedua, dan Roh Kudus sebagai yang ketiga.
Urut-urutan dibolak-balik, dan ini menunjukkan
kesetaraan Mereka. Kalau Bapa memang lebih
tinggi dari Anak, maka adalah mustahil bahwa
Yesus kadang-kadang ditulis lebih dulu dari
Bapa, dan kalau Roh Kudus hanya sekedar
merupakan „tenaga aktif Allah‟, maka juga
merupakan sesuatu yang mustahil bahwa
„tenaga aktif Allah‟ itu ditulis lebih dulu dari
Allahnya sendiri.
Dalam kasus-kasus tertentu, tiga nama
yang diletakkan berjajar bisa menunjukkan
bahwa mereka setingkat. Misalnya kalau
dikatakan ada konferensi tingkat tinggi tiga
negara, maka kalau negara yang satu
mengirimkan kepala negara, maka pasti kedua
negara yang lain juga demikian. Kalau negara
yang satu mengirim menteri luar negeri, maka
pasti kedua negara yang lain juga demikian. Jadi,
kadang-kadang penyejajaran tiga nama memang
bisa menunjukkan bahwa tiga orang itu
setingkat. Itu tergantung dari konteksnya; dan
karena itu harus dipertanyakan: dalam situasi
dan keadaan apa ketiga pribadi itu disebutkan
bersama-sama? Dalam ayat-ayat di atas, Bapa,
Anak, dan Roh Kudus disebutkan dalam konteks
88| Ur, Ved, Lahtal

yang sakral, seperti formula baptisan (Matius


28:19), berkat kepada gereja Korintus (2 Korintus
13:13), baptisan Yesus (Matius 3:16-17), dsb.
Karena itu ayat-ayat itu bisa dipakai sebagai
dasar untuk menunjukkan bahwa Bapa, Anak,
dan Roh Kudus itu setingkat.
7) Dalam Matius 28:19 dikatakan “dalam nama
Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus”
Secara khusus, frase Yunani yang tertulis di
Matius 28:19 yaitu “baptizontes autous eis to onoma
tou patros kai tou uiou kai tou agiou pneumatos”
yang diterjemahkan menjadi “baptislah mereka
dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus”,
di mana hal yang menarik adalah bahwa
sekalipun di sini disebutkan tiga buah nama
yaitu Bapa, Anak, dan Roh Kudus, tetapi kata
kata Yunani “eis to onomo” yang diterjemahkan
“dalam nama” adalah nominatif singular
(bentuk tunggal, bukan bentuk jamak)! Dalam
bahasa Inggris diterjemahkan name (bentuk
tunggal), bukan names (bentuk jamak). Karena
itu ayat ini bukan hanya menunjukkan bahwa
ketiga Pribadi itu setara, tetapi juga
menunjukkan bahwa ketiga Pribadi itu adalah
satu atau esa.

↜oOo↝
Bab 5
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Konsep dan Sikap terhadap Yang Mutlak
Tiap agama mempunyai konsep tentang Tuhan
atau dewa. Konsep itu pada umumnya berbeda dengan
agama yang lain. Keunikan pemahaman tiap agama
merupakan penghayatan atas perjumpaan dengan Allah
Yang Mutlak. Penghayatan tentang hakikat Yang Mutlak
melahirkan sejumlah hukum dan ketentuan. Ketentuan-
ketentuan dan hukum-hukum menjadi sumber seluruh
pengajaran agama yang bersangkutan.
Penganut agama suku menghayati adanya Yang
Mutlak melalui pengalaman sehari-hari. Mereka
memahami bahwa ada kuasa yang berada di luar
kekuasaan mereka. Kuasa itu melampaui kuasa dan
kemampuan manusia. Itulah yang disapa sebagai Yang
Mutlak. Tiap-tiap suku memberi nama atau sebutan
kepada Yang Mutlak. Lahtal dalam suku Hamap di Alor,
Yang Mutlak itu memberikan perlindungan kepada
manusia dalam hidupnya. Karena itu, manusia
menyapanya baik pada saat berada dalam keadaan
bersukacita maupun pada saat berdukacita. Manusia
menyapa Yang Mutlak dengan maksud memohon
perlindungan dari berbagai ancaman. Itulah sikap
mereka yang menggambarkan pemahaman tentang rasa
ketuhanan.

- 89 -
90| Ur, Ved, Lahtal

Agama suku merupakan agama yang bercorak


deisme (deisme berasal dalam bahasa Latin yaitu deus yang
berarti Tuhan) sekaligus bercorak teistis (theos, bahasa
Yunani, yang artinya Tuhan). Dalam paham yang bercorak
deisme dipercaya bahwa Tuhan yang adalah pencipta
segala sesuatu yang di alam semesta tetapi jauh dari
manusia. Sesudah menciptakan segala sesuatu yang ada
dalam alam semesta ini, maka Ia mengundurkan diri. Ia
tidak campur tangan dalam urusan duniawi. Tuhan atau
dewa demikian tidak mungkin diketahui hakikatnya.
Karena itu tabu untuk menyebut namanya. Segala sesuatu
yang terjadi dalam alam semesta ini diurus oleh dewa-
dewa yang lebih rendah. Dewa-dewa itu mempunyai
fungsi dan tugas masing-masing. Para dewa yang
“menjadi pelaksana tugas” itulah yang disembah oleh
manusia. Atau paling tidak melalui dewa-dewa
“bawahan” itulah manusia menyembah dewa yang
tertinggi. Contoh konkret tentang paham ini adalah dalam
agama Marapu di Sumba. Marapu adalah nenek moyang
yang telah menjadi semacam dewa. Melalui Marapu
manusia menyembah kepada Tuhan (dewa tertinggi)
sebab Ia tidak terhampiri dan tabu menyebut namanya.
Paham yang kedua adalah paham teistis. Dalam
paham teistis diyakini bahwa Tuhan adalah asal mula
dan pemilik alam semesta. Tuhan atau dewa yang
menciptakan dan memiliki alam semesta tetap terlibat
dalam mengurus dan membimbing alam semesta ini
dengan segala isinya. Ia tidak berdiam diri di tempat
kediamannya yang tak terjangkau manusia. Ia tetap aktif
mengurus ciptannya. Dalam paham ini memang masih
dikenal dewa-dewa tetapi dewa-dewa tersebut hanya
Penutup |91

mengurusi hal-hal yang sangat terbatas dan pada


umumnya di bawah kekuasaan dewa yang tertinggi.
Paham ini sangat berbeda dengan paham deisme.

2. Ritus-ritus dalam Agama Suku


Ibadah adalah perbuatan untuk menyatakan bakti
kepada Allah, yang didasari ketaatan mengerjakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah
dilakukan untuk mendapatkan kebahagiaan dan
keselarasan hidup, baik terhadap diri sendiri, keluarga,
masyarakat maupun terhadap alam semesta. Dalam
bahasa Ibrani dipakai kata avoda dan latreia dalam
bahasa Yunani. Kata avoda dan latreia sering
diterjemahkan pelayanan dalam bahasa Indonesia.
Kedua kata itu pada mulanya dipakai untuk menyatakan
pekerjaan seorang budak atau hamba upahan kepada
tuannya. Tetapi kemudian dipakai dalam dunia
keagamaan yang mempunyai makna pelayanan dan
penyembahan kepada Allah.
Pemahaman dan pemakaian secara praktis tentang
ibadah berarti perjumpaan dengan Yang Mutlak yaitu
Tuhan atau dewa. Yang Mutlak bertindak baik berupa
perintah maupun berupa tuntuntan dan larangan dan
manusia atau umat memberikan respons. Respons umat
atau manusia terwujud melalui kata-kata, gerakan tubuh
tetapi juga melalui pemberian sesuatu benda atau materi
yang lainnya.
Dalam kepercayaan agama suku ibadah atau ritus
yang dilakukan berkembang sejalan dengan
perkembangan taraf pemikiran agamani. A. C. Kruyt
membagi tiga taraf pemikiran agamani. Menurutnya
92| Ur, Ved, Lahtal

bahwa taraf pemikiran yang pertama merupakan


sistem kepercayaan yang paling tua dan selanjutnya.
Ketiga taraf perkembangan yang dimaksud adalah:
a. Dinamisme. Pada taraf ini orang percaya pada
kuasa-kuasa yang tidak berpribadi dan tak kelihatan.
Kuasa-kuasa tersebut mempengaruhi manusia secara
mekanis di mana manusia dipengaruhi tanpa
kemauan sendiri.
b. Animisme. Pada taraf animisme ini manusia percaya
kepada kuasa-kuasa yang berpribadi. Kuasa-kuasa
yang berpribadi tersebut mengambil wujud: tokoh-
tokoh rohani dengan kemauan sendiri dan roh-roh.
c. Taraf adanya kesadaran bahwa ada dewa atau
Tuhan. Taraf ketiga ini merupakan taraf kepercayaan
yang paling mudah tetapi yang paling rumit dan
paling tinggi. Manusia yang berada pada taraf
pemikiran keagamaan ini percaya bahwa alam,
manusia dan roh-roh diperintah oleh suatu kuasa
yang berada di luar dirinya. Kuasa yang menguasai
dirinya itulah yang kemudian disembah sebagai
dewa atau Allah.

Ritus-ritus atau ibadah yang dilakukan, mula-mula


bertumbuh pada taraf pemikiran kepercayaan dinamisme.
Ritus-ritus atau upacara-upacara merupakan ungkapan
keyakinan yang dapat diraba atau diindra oleh manusia.
Cara pengungkapan keyakinan yang demikian sebenarnya
umumnya terjadi dalam masyarakat yang lebih
dipengaruhi oleh perasaan daripada pemikiran. Karena
itu, semakin “primitif” manusia, maka semakin dominan
dalam mengungkapkan keyakinannya lewat ritus-ritus
Penutup |93

atau upacara-upacara. Walaupun ritus-ritus atau upacara-


upacara merupakan cara pengungkapan keyakinan
manusia pada taraf pemikiran kepercayaan dinamisme
tetapi ternyata aspek ritus-ritus masih tetap dipertahankan
pada taraf kepercayaan berikutnya. Ritus-ritus atau
upacara-upacara tersebut dilakukan dalam banyak aspek
kehidupan manusia. Ada ritus-ritus yang dilaksanakan
pada saat seseorang mengalami kesusahan tetapi ada juga
yang dilaksanakan pada saat manusia mengalami suatu
kesukaan atau kegembiraan.
Ibadah atau ritus yang dilakukan pada umumnya
dimaksudkan untuk memulihkan tata alam semesta dan
menempatkan manusia dan perbuatannya dalam tata
alam semesta tersebut. Semua yang ada dalam alam
semesta ini harus berada dalam posisi dan fungsinya
secara baik sebagaimana ia diciptakan. Pada saat terjadi
pergeseran, maka pada saat itu akan terjadi disharmoni.
Disharmoni itu nampak melalui bencana alam seperti
longsor, banjir, dan lain sebagainya. Pada saat terjadi
disharmoni, maka harus dicara akar penyebabnya.
Orang yang melanggar tata alam semesta yang
menyebabkan munculnya disharmoni harus dihukum.
Dalam agama suku penegakan terhadap peraturan ini
sangatlah ketat. Tiap pelanggaran harus dihukum. Selain
penghukuman terhadap yang melanggar, juga harus
dilakukan ibadah untuk mengembalikan tata alam
semesta itu. Biaya yang diperlukan dalam ibadah
tersebut sepenuhnya ditanggung oleh yang bersalah,
kecuali ia sama sekali tidak mampu maka biayanya akan
ditanggung oleh adat. Ibadah itu ditujukan kepada
penguasa alam semesta.
94| Ur, Ved, Lahtal

Selain untuk memelihara tata kehidupan alam


semesta ini, ibadah juga dimaksudkan untuk meminta
berkat kepada Yang Mutlak. Ibadah demikian biasanya
dilakukan pada saat memulai suatu pekerjaan atau pada
upacara-upacara kelahiran dan inisiasi. Upacara yang
dilakukan pada saat kelahiran anak menegaskan sifat
sakral dari hidup fisiologis. Setiap suku mempunyai
ritus-ritus tersendiri dalam menyambut kelahiran
seorang bayi. Misalnya placenta harus ditanam dengan
persyaratan-persyaratan tertentu. Pemberian nama juga
merupakan bagian dari ritus-ritus kelahiran tersebut.
Seseorang yang mencapai usia tertentu harus
diupacarakan untuk beralih dari taraf kanak-kanak ke
taraf yang lebih dewasa. Upacara peralihan ini yang
disebut inisiasi. Ritus ini dilakukan sesuai
perkembangan budi dan badan seseorang sebagai tanda
untuk dapat mengatasi batas-batas hidup lama dengan
hidup yang baru. Perkembangan badan dan budi
ditingkatkan atau dikokohkan dengan ritus tertentu.
Ritus ini intinya adalah pendewasaan seseorang.
Ibadah juga dimaksudkan untuk menolak bala atau
memohon perlindungan dari Yang Mutlak. Dalam
ibadah (ritus) kematian, ritus-ritus dilakukan dengan
maksud untuk memutuskan hubungan dengan dunia
kematian dan sekaligus mengantar arwah orang mati ke
tempat kekal supaya arwahnya tidak mengganggu
keluarga. Hal ini terjadi sebab umumnya suku-suku
memahami bahwa kematian terjadi karena serangan
kuasa-kuasa jahat terhadap orang yang meninggal itu.
Penutup |95

B. Saran
Tugas kita tidak selesai dengan mengakhiri penulisan
ini. Sejarah mempunyai tiga dimensi waktu. Sejarah juga
berpangkal pada keyakinan bahwa waktu itu ada dan
berkelanjutan. Pekerjaan kita mulai dengan menelusuri masa
lampau untuk menata kehidupan di masa kini tetapi kita
belum memprediksi kehidupan masa depan.
Kita harus menghargai sejarah. Ruang yang sangat
sempit dan terbatas ini tidak mungkin dapat menampung
semuanya. Ada yang tercecer dan tidak terjaring dalam tulisan
ini. Dari yang sudah terjaring pun masih banyak yang harus
diteliti dan dicermati. Oleh karena itu apa yang telah disusun
tidak saja untuk kebutuhan penelitia pendidikan secara
akademik. Masih ada pekerjaan yang lebih besar yang haris
kita emban sebagai warga gereja. Tulisan ini kiranya dapat
menebus sikap kita yang kurang acuh terhadap sejarah.
Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa peletak dasar
semua yang ada dan dilihat sekarang terjadi melalui
kehadiran gereja Prostestan di wilayah Kepulauan Alor.
Kepeloporannya mengandung konsekuensi dan resiko yang
sangat tinggi. Tetapi demi kesetiaan terhadap amanat dan
panggilan kerasulan gereja tidak dapat menghindar. Gereja
bukan benda, Gereja adalah sebuah kehidupan yang sedang
bergerak dari “langit dan bumi ini” ke “langit dan bumi baru”.

↜oOo↝
DAFTAR PUSTAKA

Alkitab
Alkitab. Terjemahan Lama Bahasa Indonesia, oleh H. C.
Klinker dan Bode, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI),
1975.

Alkitab. Terjemahan Baru Bahasa Indonesia, oleh Lembaga


Alkitab Indonesia (LAI), 2001.

The Bible. Edisi Revisen Standard Version (RSV), Londong:


The Bristish and Foreign Bible society, 1952.

Buku dan Karangan


Adang, J. A., Gereja Protestan di Wilayah Kepulauan Alor
(sebuah kajian Historis), sebuah artikel dalam Buku Ovo
Min Ai Vetang-Hidup dan karya Pelayanan Pdt. J. A.
Adang suntingan F. Y. A. Doeka & Yustus Y. Maro,
Kupang: artha Wacana Press, 2007.

Andito, Atas Nama Agama, Wacana Agama dalam Dialog Bebas


Konflik, Jakarta. Pustaka Hidaya, 1998.

Amstrong, Karen, Sejarah Tuhan Kisah Pencarian Tuhan yang


dilakukan oleh orang-orang Yahudi, Kristen dan Islam
selama 4.000 Tahun, Jakarta: Penerbit Mizan, 2001.

Dhavamony, Mariasusai, Fenomenology Agama, Yogyakarta:


Kanisius, 1995.

- 96 -
Daftar Pustaka |97

Doeka, F. Y. A.; Yustus Y. Maro, Ovo Min Ai Vetang (Hidup


dan Karya Pelayanan Pdt. J. A. Adang, S.Th), Kupang:
Artha Wacana Press.

Du Bois, Cora, The People of Alor Social-Psychological Study of


an East Indian Island, with Analyses by Abram
Kardiner and Emil Oberholzer The University of
Minnesota Press, Minneapolis, 1944.

Eichrodt, Walter, Theology of the Old Testament, Philadelphia:


The Westminster Press, 1959.

Griffin, David Ray, Tuhan & Agama dalam Dunia Postmodern,


Yogyakarta: Penerbit kanisius, 2005.

Hardjana, A. M., Penghayatan Agama: yang Otentik & Tidak


Otentik, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993.

Hadiwijono, Harun, Religi Suku Murba, Jakarta. BPK Gunung


Mulia, 2000.

Herlianto, Gerakan Nama Suci (Nama Allah yang


Dipermasalahkan), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.

Hick, John, Tuhan Punya Banyak Nama, Yogyakarta:


DIAN/Interfidei, 2006.

Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern I,


Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Karkainen, Velli; Matti, An Introdiction to the Theology of


Religion: Biblical, Historical and Contemporary
Perspectives, Inter Versiti Pres, 2003.
98| Ur, Ved, Lahtal

Kleden-Probonegoro, Ninuk, Identitas etnolinguistik Orang


Hamap: Perubahan dalam Divergensi Konvergensi,
Jakarta: LIPI, 2007.

Kleden-Probonegoro, Ninuk, Penelusuran Kekerabatan


Bahasa dalam Kerangka Mitologi Orang Hamap,
Jakarta: LIPI, 2007.

Koentjaraningrat, Ilmu Antropolog, Jakarta: Rineka Cipta,


2009.

Mawene, M. Teodorus, Perjanjian Lama dan Teologi


Kontekstual, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.

Neonbasu, Gregor, Kebudayaan: Sebuah Agenda (dalam Bingkai


Pulau Timor dan sekitanya), Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2013.

Neuman, W. Lawrence, Sosial Research Methods: Qualitative


Aproaches, USA: Allyn and Bacon, 1999.

Ngabalin, Martinus, Studi Perbandingan terhadap Konsep


Tuhan Menurut Orang-Orang Key di Kepulauan Key dan
Paulus (Tesis), Salatiga: Program Pasca sarjana UKSW,
2006.

Nottingham, Elizabeth K., Agama dan Masyarakat Suatu


Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: Penerbit Cv
Rajawali, 1985.

Onim, J. F., Islam dan Kristen di Tanah Papua, Jawa Barat:


Jurnal Info Media, 2010.

Peursen, C. A. van, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta:


Kanisius, 1988.
Daftar Pustaka |99

Ritzer, George; Douglas Goodman, Teori Sosiologi Modern


Edisi VI, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Salim, Agus, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Buku


Sumber untuk Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2006.

SJ, Tom Jacobs, Paham Allah dalam Filsafat, Agama- Agama, dan
Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Subagya, Rachmat, Agama dan Alam Kerohanian Asli di


Indonesia, Jakarta: Yayasan Cipta Lokacaraka, 1979.

Sudianto, Tesis, Studi-Historis Perubahan Ranying menjadi


Tuhan Yang Maha Esa dalam Agama Keharingan.

Telnoni, J. A., Langit dan Bumi Baru, Manusia dan Umat Baru
(Tafsiran Kejadian 1 - 11), Kupang: Inara, 2013.

----------, Manusia yang Diciptakan Allah (Telaah atas Kesaksian


Perjanjian Lama), Kupang: Artha Wacana Press, 2009.

Tessier, Linda, The Real and It’s Personae and Impersonae”


(This is a revised version f the article first published in
concepts of the ultimate, ed., London: Macmillan,
1989.

Tondo, Fanny Henry, Kajian Korfosintaksis Bahasa Hamap,


Jakarta: LIPI, 2007.

Titaley, John, Negara, Agama-Agama dan Hak Asasi


Manusia: Mengkaji Ulang Eksklusifisme Agama,
(Makalah), Caringin, Bogor: Sidang Raya PGI, 30
Nopember-4 Desember, 2004.
100| Ur, Ved, Lahtal

Titaley, John, Di Seputar Penerjemahan Nama Yahweh


dalam Alkitab Bahasa Indonesia, dalam Jurnal
Waskita: Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Vol III,
No. 2, November 2006.

↜oOo↝
Tentang Penulis

Petrus Tongkal, S.Th, M.Pd.K, kelahiran


Alor, 12 Februari 1983. Pendidikan S1
Teologi Agama Kristen di Fakultas
Teologi Universitas Kristen Artha
Wacana Kupang tahun 2006. Pendidikan
S2 Pendidikan Agama Kristen di Sekolah
Tinggi Agama Kristen Negeri Kupang
tahun 2013. Saat ini sedang menempuh
studi S3 Jurusan Agama dan Masyarakat di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai PNS Dosen
di Institut Agama Kristen Negeri Kupang sejak tahun 2010.
Mengampuh mata kuliah Pengantar dan Pengetahuan
Perjanjian Lama, Teologi perjanjian Lama, Pengantar
Dogmatika, Dogmatika. Penulis dapat dihubungi melalui e-
mail: ptongkal@gmail.com ###

Anda mungkin juga menyukai