Anda di halaman 1dari 134

2

AIR MATA AYAH


Karya Yulia Medhy, dkk
ISBN: 978-623-6932-23-0

Copyright © 2020, Yulia Medhy, dkk


Hak cipta dilindungi undang-undang (All right reserved)

Editor: Nurjanah Mulyawati


Layout: Abu Naufal
Desain Cover: Alfafa Art Design

Cetakan I: Januari 2021


Kategori: Bunga Rampai
Perpustakaan Nasional RI:
Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Diterbitkan oleh:
RUMAH MEDIA
Jalan Swadaya 1 - Pejaten Timur
Pasar Minggu - Jakarta Selatan
rumahmediagrup@gmail.com
www.rumahmediagrup.com

Yulia Medhy, dkk


3

Alhamdulillah tiada terkira, kami ucapkan ke hadirat Tuhan


yang Maha Esa. Berkat karunia-Nya buku berjudul “Air Mata
Ayah” akhirnya hadir di tengah penikmat literasi negeri ini.
Terima kasih kepada orang tua, keluarga, sahabat dan
mentor yang telah berjasa dalam tulisan ini. Terkhusus para
pembaca setia kami. Tanpa kalian, kami bukanlah siapa-siapa.
Ayah memang tidak melahirkanmu ke dunia. Namun,
ayah menyayangimu sampai kapan pun. Keringatnya bercucur
deras demi mengais rezeki untukmu. Ayah adalah cinta
pertama bagi anak perempuannya. Karena ayah, kita menjadi
kuat seperti sekarang ini.
Untaian tulus penuh cinta kami persembakan kepadamu,
Ayah. Bagaimanapun kondisinya, ayah tetaplah seorang ayah.
Di manapun kini engkau berada, di dalam darahku mengalir

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
4
darahmu. Teruntuk ayah yang sudah di surga, damailah
dengan tenang. Al Fatihah untukmu.

Maret, 2020
PJ. Yulia Medhy

Yulia Medhy, dkk


5

Kata Pengantar – 3
Catatan Hati Seorang Anak (Yulia Medhy) – 7
Darah Ayahku Mengalir di Pembuluhku (Vethria Rahmi) – 15
Selamat Ulang Tahun Ayah (Dewi Sartika Harianja) – 23
Tangis Terakhir Ayah (Maepurpple) – 31
Selaksa Doa untuk Bapak (Mira Djajadiredja) – 37
Bapak (Rusnita Darmawan) – 43
Air mata Kerinduan (Farikhah) – 49
Tak Ingin Jadi Pahlawan (Mariati Sinaga) – 55
Hadiah untuk Ayah (Ummu Alfath) – 63
Tatkala Ayah Menitikkan Air mata (Leila Rizki Niwanda) – 71
Air mata Ayah (Riko Anjuja) – 77
Diplomasi Kaki Sapi (Aan VK) – 85
Lelaki Paling Sempurna Sedunia (Sri Vindhita Dhaniswari) – 93
Papa is My Hero (Primadora Khairul) – 101

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
6
Ayahku Idolaku (Titik Suryaningsih) – 109
Minggu Terakhir Bersama Ayah (Merida Merry) – 117
Tentang Penulis – 123

Yulia Medhy, dkk


7

Catatan Hati Seorang Anak


(Yulia Medhy)

Aku terlahir sebagai anak sulung dari 4 bersaudara. Dari kecil,


aku sudah dimanja ayah. Apapun yang kuinginkan selalu
dikabulkan. Bagiku, ayah adalah lelaki hebat yang selalu ada
untukku.
25 Mei 2011, hari yang paling kelam dalam hidupku.
Ayah pergi untuk selamanya. Tiada lagi superhero yang selalu
menyelamatkanku.
Satu tahun berlalu, aku mendapati nisan itu sudah
tertutup rumput ilalang. Aku rindu, ayah. Seketika tangisku
pecah di atas pusara. Bagaimana bisa aku melupakan indahnya
masa bersama ayah? Dari kecil sampai aku besar ayah tidak
pernah memarahiku sedikit pun. Beliau manusia terbaik yang
pernah kumiliki.
Aku terpuruk saat ayah pergi. Dunia bagiku tidak
seindah dulu. Ingatanku kembali ke tahun 2002, di saat aku
memutuskan untuk menikah dengan lelaki yang menjadi
pilihanku. Beberapa tahun setelah itu, ayah sakit. Apakah

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
8
memang awal mulanya ayah sakit karena keputusanku
menikah di usia muda? Atau memang karena takdir Allah? Tak
sedikit terdengar suara sumbang yang sampai di telingaku.
Tanpa rasa malu, mereka mengatakan ayah sakit karena terlalu
memikirkanku. Entah maksud bercanda atau ingin membuatku
berpikir, aku tak tahu.
Di saat aku wisuda, tahun 2005, ayah sudah mulai
merasakan sakit kembali. Matanya mulai kabur karena
penyakit diabetes yang diderita. Namun, bukan ayah namanya
jika harus menyerah pada keadaan.
Di saat fisiknya mulai melemah, ayah tetap pergi bekerja
seperti biasa. Selain ke kantor, ayah hobi berkebun, menanam
cabai, dan coklat. Suatu kebahagiaan bagi ayah bila beliau
mampu menanam di kebun. Hasilnya nanti akan dibagikan
untuk kami dan keluarga lainnya.
Aku melihat ayah begitu bahagia dengan aktivitasnya.
Tiada pernah ayah mengeluh sedikit pun. Tapi, kondisi fisik
yang tidak baik membuat ayah jatuh sakit lagi. Tepatnya tahun
2009, ayah sakit pulang dari kebun.
Saat itu juga, aku harus menerima kenyataan pahit. Adik
mengabari bahwa ayah terkena serangan stroke. Keesokan
harinya, aku dan suami langsung berangkat menuju kota
Padang. Kudampingi ayah di RSUD M. Djamil Padang.
Fisiknya lemah sebelah, suaranya mulai berubah, dan tak

Yulia Medhy, dkk


9
mampu lagi berbicara dengan jelas. Kutemukan air mata
mengalir di kedua sudut netra. Aku memeluk ayah erat dan
meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.
Setelah memeluk ayah, aku pun berlari keluar ruangan.
Kutumpahkan air mata yang sedari tadi telah menggenang di
mataku. Aku tak kuat melihat sakit yang diderita ayah. Aku
masih ingin melihatnya sehat dan sembuh seperti sediakala.
Namun, apa hendak dikata, serangan stroke itu membuat fisik
ayah melemah seketika dan prediksi dokter, susah untuk
disembuhkan. Ayah disarankan terapi.
Setelah beberapa hari, akhirnya ayah pulang. Di rumah,
semua keperluan ayah telah disiapkan, begitu pula tenaga
terapis yang nantinya akan menjaga dan mengarahkan ayah
untuk terapi fisiknya yang lemah.
Sebagai anak sulung yang hidup di perantauan, ayah
harus merelakanku kembali ke kota tempatku mencari sesuap
nasi. Aku kembali membawa setumpuk nestapa. Tak ingin
rasanya jauh dari ayah, tapi bagaimanapun ada tugas yang
harus kukerjakan.
Tahun 2009, aku telah menjadi seorang tenaga pendidik
di salah satu Sekolah Dasar Islam Terpadu. Salah satu cita-
citaku, ingin menjadi guru. Aku menikmati selama mengajar di
sana. Banyak ilmu yang kudapat, yang begitu berkesan. Aku

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
10
bertemu dengan teman baru yang akhirnya menjadi sahabat.
Aku merasakan dia selalu ada buatku saat itu.
Support yang luar biasa dari dua sahabatku itu, mem-
buatku kuat untuk bertahan di kota yang menurutku sudah
tidak nyaman. Di satu sisi, aku teringat selalu akan ayah, tapi
sebagai seorang istri kewajiban melayani suami juga hal utama
yang harus ditunaikan.
Bermacam warna hadir dalam pernikahanku saat itu.
Aku menganggap sebagai pelangi yang datang setelah hujan.
Tak terlalu kupusingkan. Pikiranku hanya tercurah pada ayah
dan tugas di sekolah.
Ada dua sahabat, tempat semua gundah terlampiaskan.
Di saat ayah sakit, prahara rumah tangga pun bergejolak.
Bukan memberi pelangi, tapi api yang sesaat akan membara
bila tersulut. Kuredam segalanya. Kutahan ego demi keluarga.
Tak kuhiraukan wanita-wanita yang berkeliaran dalam rumah
tanggaku, yang memporak porandakan bingkai keluargaku.
Aku tak mampu menahan apa yang Tuhan gariskan
kepadaku. Hanya air mata teman saat itu. Keputusan suami
untuk resign dari pekerjaannya membuat air mata tak henti
mengalir. Berharap semua akan tetap baik meskipun sudah
tidak bekerja lagi di tempat yang menurutku memberikan
sallary jauh dari cukup. Kujalani hari-hari mulai dari nol berdua
dengannya.

Yulia Medhy, dkk


11
Ayah tidak mengetahui awal keputusan menantunya itu,
karena bagiku apapun pekerjaan suami, yang terpenting cukup
bagiku. Mulailah suamiku dengan pekerjaan barunya, bergelut
di bidang properti.
Waktu terus berjalan, tahun 2010. Keinginan ayah untuk
sembuh begitu kuat. Kulihat ayah rajin terapi dan minum obat
sesuai yang dianjurkan. Tapi terkadang, sebagai seorang yang
terkena stroke, jiwanya begitu sensitif, sering menangis, sedih
bila melihat sesuatu yang membahagiakan atau menyedih-
kannya.
Pernah satu hari, di saat itu, aku pulang ingin bertemu
dengan ayah. Hari itu, ayah hanya ingin makan makanan dari
yang kuambilkan. Ayah sangat senang bila aku datang ber-
kunjung. Di tahun itu, untuk pertama kalinya aku membawa
cucunya ke kampung.
Begitu bahagianya ayah di saat melihat cucu laki-laki
satu-satunya itu. Secepat kilat ayah pun ingin menggendong si
cucu. Padahal aku tahu, tangannya tak sanggup untuk
menggendong lama. Selain karena lemah sebelah, ayah juga
belum terlalu sehat untuk berlama-lama duduk.
Dengan penuh kehangatan, kulihat ayah begitu senang
bermain dengan cucunya, walaupun si cucu masih berusia 6
bulan. Tanpa terasa, kulihat manik matanya berkaca-kaca.

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
12
Aku pun memeluk ayah dan berbisik di telinganya,
“Cucu Ayah mirip sekali dengan ayah. Dia ganteng dan putih
seperti ayah.”
Sambil terkekeh-kekeh, ayah tertawa dan berujar, “Na …
na … na….”
Kulihat ayah bahagia. Setelah sekian lama, baru kali itu
aku mendapati ayah berurai tangis bahagia. Aku ingin saat itu,
ayah bisa bicara normal, tapi itu tidak mungkin, akibat
penyakit stroke, sarafnya mati rasa dan tak mampu lagi
berbicara layaknya manusia normal. Tetapi ayah paham apa
yang kita maksud dan dia tahu apa yang kita bicarakan.
Hanya seminggu aku bisa membawa cucunya pulang,
aku pun kembali ke perantauan. Saat terberat sebagai seorang
bunda harus kujalani. Aku resign dari sekolah, tempat di mana
aku mendapatkan ilmu dan penghargaan. Demi si buah hati,
aku memilih ingin menjadi bunda sejati meskipun saat itu ada
kegamangan di relung hati. Tapi, aku meyakini, rezeki di
tangan Sang Pencipta.
Ayah ….
Saat ini, aku telah ikhlas. Semua cerita bersama ayah akan
selalu terukir di memoriku. Aku telah mempunyai seorang
anak laki-laki dan aku percaya jagoan kecil ini nantinya akan
menjadi anak kebanggaanku.
Ayah ….

Yulia Medhy, dkk


13
Saat semua ini kutuangkan dalam lembaran putih ini, aku
ingin ayah tahu, tiada maksudku untuk menyakiti semuanya.
Aku belum bisa membahagiakan adik-adik setelah ayah pergi.
Ayah ….
Tahukah ayah? Dari tahun 2019 itu, si bungsu sakit. Aku
iba padanya, Yah. Orang selalu mengatakan aku dan dia itu
mirip. Dia belahan jiwaku. Saat dia sakit, aku belum bisa
membantunya secara materi. Maafkan aku, Yah.
Ayah ….
Satu impianku yang belum terwujud, aku ingin menjadi
pengusaha, sesuai keinginan Ayah. Agar aku bisa membantu
orang-orang yang membutuhkan, tapi aku belum bisa menjadi
pengusaha sesuai yang Ayah inginkan.
Ayah ….
Aku sangat kehilanganmu. Aku masih ingat, Yah. Di saat
aku akan pergi ke perantauan, saat itu pula kondisiku sedang
tidak baik, tapi aku malu di kampung. Ayah merasakan itu.
Ayah menangis dan memelukku sambil memberikan uang
limapuluh ribu kepadaku. Aku memeluk Ayah erat. Ingatkah,
Ayah? Aku berbisik mengatakan aku akan baik-baik saja. Aku
akan menjadi dosen dan pengusaha di kota itu nantinya.
Ayah ….
Maafkan aku. Sampai saat kau pergi aku belum bisa
membahagiakanmu. Aku hanya membuat air mata di pipimu.

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
14
Maafkan aku, Yah.
Aku percaya, Ayah telah tenang di sana. Aku yakin, Ayah
telah berada di surga Allah.
Padamu segala kenangan akan terpatri ….
Al Fatihah, Yah.

***

*Pekanbaru, 10 Maret 2020

Yulia Medhy, dkk


15

DARAH AYAHKU MENGALIR DI PEMBULUHKU


(Vethria Rahmi)

Untukmu yang telah mengenalkanku cara membangun


kepercayaan diri dan menjejali masa kanak-kanak dengan buku
dan sejuta cerita. Untukmu, yang selalu siaga mengawal
sederet jadwal harianku dan menggantungkan kalender yang
wajib ditempel di dinding kamarku. Untukmu, yang telah
membuatku jatuh cinta pada agama, sejarah, filsafat, politik,
seni, jurnalis, dan sastra hingga olahraga. Untukmu, yang tak
lelah memapahku menemukan jati diri hingga passion-ku.
Untukmu yang selalu memberiku motivasi, sehingga aku
berani bermimpi, bercita-cita memiliki segudang talenta luar
sepertimu. Untukmu, yang telah memberi dan selalu memberi
tanpa pernah meminta. Untukmu, Ayahku, yang sudah
mengajarkan kami tugas hidup secara paripurna. Maafkan
aku. Maafkan kami anak-anakmu masih jauh dari sempurna
membalas semua lelah dan jasamu. Semoga Allah membalas
semua kebaikanmu, menjadi amal yang takkan pernah berhenti
mengalir dunia wal akhirat.

***

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
16
Dedi. Ayah. Bapak. Abah. Abak. Apapun sebutannya. Tak akan
pernah ada kata yang cukup untuk mengenang jasa dan
pengorbanannya. Aku sendiri memanggilnya, ayah. Usianya
yang sudah semakin senja, mulai menginjak kepala tujuh tak
mengurangi kelincahan dan kegesitannya dalam bertindak dan
berpikir. Itu yang kulihat dari sosok ayah hingga detik ini.
Ayah menguasai banyak hal, pengetahuan, cerdas
namun tawadu. Aku masih ingat betul. Saat masih di bangku
SD kami anak-anaknya selalu dilecut semangat belajarnya.
Selalu dirangsang untuk berpikir. Kami acapkali membuat teka
teki silang (TTS) bersama.
Ayah seolah menjadi mbah google-ku bila sudah tak
mampu mengisi TTS dengan tepat. Aktivitas yang menye-
nangkan karena merasa pengetahuan kami selalu bertambah.
Terlebih ayah juga melengkapi dengan buku PINTAR, kamus
bahasa kontemporer, dan Kamus Bahasa Indonesia.
Selain memiliki pengetahuan yang luas, pandai ber-
pidato, ayah juga memiliki suara yang merdu yang di-
lantunkannya saat bernyanyi pada saat acara formal ataupun
semi formal, kemampuan dalam olahraga, dan bermain alat
musik, tetapi juga sering tampil menjadi imam salat. Tidak
hanya salat rutin di masjid dekat rumah, tapi juga pada salat di
hari besar Idul Fitri atau Idul Adha. Teringat waktu ayah
menjadi imam salat di halaman kantor bupati sebuah daerah.
Ayah melantunkan ayat-ayat dengan sempurna.

Yulia Medhy, dkk


17
Usai salat banyak mata yang tertuju padaku dan adik-
adik seraya berkata, “Ayahmu hebat. Bagus banget bacaannya.
Kami sampai merinding dan menangis mendengar lantunan
ayat-ayat yang dibacakannya. Merdu dan menyentuh kayak
imam salat di Makkah,” ucap seorang ibu yang ternyata
mengenali keluargaku.
“Terima kasih, Bu,” ucapku malu malu tapi bahagia
sambil menyalaminya.
Kesempurnaan ayah menjadi motivasi tersendiri bagiku
untuk terus berusaha mengikuti jejaknya walau belum tentu
akan bisa sepertinya. Menerima apa adanya hidup sembari
terus bersyukur seperti yang terus ayah ajarkan juga kerap
menjadi ukuran bagiku untuk selalu berada di jalur agama
seperti yang kugeluti saat ini.
Ayah punya kepekaan yang tinggi dan bertindak cepat
untuk membantu jika kami dalam kesulitan. Hingga kini pun
aku masih kerap berdiskusi via telepon tentang suatu hal
terkait agama yang kurang kumengerti. Ayah selalu menjadi
tumpuan keluh kesahku setelah suami. Di saat aku mem-
butuhkan solusi dan masukan.
Kekagumanku pada ayah juga sangat dirasakan oleh
ibuku. Kadang, bila teringat semua yang telah dilakukannya
padaku dan saudaraku lainnya, mata ini selalu berkaca-kaca
menahan haru dan bangga. Ayah memotivasiku menjadi
seorang qariah sekaligus hafizah. Bahkan hobiku lainnya

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
18
seperti baca puisi, lomba olah vokal Islami, dan menari pun tak
dilarangnya selama bisa membagi waktu.
“Kalau mau bernyanyi juga, lagu Islami ayah izinkan.
Tapi di luar itu ayah takkan izinkan,” ucapnya suatu hari.
Sontak aku kecewa, karena aku jenis pelahap semua
genre musik. Bagaimana mungkin aku bernyanyi Islami saja,
sementara kesukaanku pada jenis musik lain tak bisa ditepis?
Pikirku dalam hati.
“Kalau lagu pop boleh nggak, Yah?” kataku balik
bertanya.
“Lagu apa itu, tak ada nilai mendidiknya. Teriak-teriak
tak jelas begitu,” ucap ayah santai dengan suara bassnya.
Ayah memang selalu menjadi mentorku dalam hal
apapun. Dalam bidang olahraga yang kusukai seperti
badminton dan tenis meja, ayah juga ahlinya. Saat aku berlatih
seni tilawah Al Quran, ayah yang langsung menjadi mentorku.
Bahkan untuk orasi atau sekadar menulis konsep pidato,
ayah adalah mentor terhebat juga bagiku. Rasanya hampir
semua aliran darah seni dan akademik ayah mengalir dalam
diriku. Begitu banyak pengalaman tak terlupakan bila
mengenang waktuku dengan ayah. Ayah selalu siap menemani
dan mengantarku saat mengikuti berbagai perlombaan. Tak
jarang aku yang masih suka pusing saat itu setiap kali berada
dalam perjalanan darat. Pasti akan tumbang dan tertidur pulas
di atas paha ayah. Entah kenapa, kebiasaan tidur di atas paha
ayah tak pernah hilang hingga aku kuliah. Urat malu seolah

Yulia Medhy, dkk


19
tercopot begitu saja meski dipelototi banyak orang, berganti
dengan rasa nyaman dan tenang tiap kali tidur di
pangkuannya.
Bagai rajawali yang selalu siap menangkap anak-anaknya
jika akan jatuh saat terbang. Tanggung jawab ayah sebagai
seorang bapak dan suami tidak pernah berhenti. Waktu terus
berjalan. Ayah masih tetap sama. Rendah hati, jujur, bersahaja,
dan dermawan.
Yang seringkali ditekankannya padaku adalah bagai-
mana menjadi seorang yang jujur. Menurutnya orang baik
belum tentu jujur, tapi orang jujur sudah pasti baik.
“Penting sekali mengenal tentang nilai sebuah kejujuran
dan rasa syukur,” ungkapnya pada saat itu.
Kendati ayah adalah anak bungsu. Tapi sikapnya tidak
cengeng dan uniknya menjadi tempat tumpuan mengadu bagi
saudaranya yang lain bila ada masalah. Berawal dari seorang
guru, ayah melakoni apapun pekerjaan untuk menambah
penghasilan. Mulai dari menjual gorengan dan menjadi guru
mengaji di sisa waktu mengajar pun ditekuninya.
Ayah memang dikenal kreatif dan tidak bisa diam. Ketika
ayah berada bersama keluarga, tidak pernah sama sekali pun
aku melihat ayah berpangku tangan atau bermalas-malasan
menikmati waktunya di rumah. Ada saja hal yang beliau
lakukan. Membuat meja tempat belajar mengaji, memeriksa
listrik, mengecek air, membaca koleksi buku terbarunya atau
kadang membantu ibuku mencuci pakaian. Segala hal yang

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
20
terjadi di rumah diperiksanya. Memastikan apakah ada hal
yang kurang atau menganggu anak-anaknya dan keluarganya.
Kemampuan menulis dan menjahit yang dimilikinya juga
membuatku berdecak kagum dan geleng-geleng kepala.
Ayahku memang sosok pekerja keras, bertanggung jawab pada
keluarga, dan jujur dalam segala aspek.
“Kalau kalian ingin menjadi orang yang dipercaya
selamanya, pertahankanlah kejujuran itu. Karena kejujuran
akan mengantarkan kalian pada kebahagiaan yang se-
benarnya.” Pesannya kala itu.
Perkataan keramat ayahku begitu melekat kuat dalam
hidupku hingga sekarang. Teringat kisah ayah saat berada
pada puncak karirnya pada sebuah lembaga. Setelah hijrah dari
guru ke lembaga struktural di sebuah lembaga pemerintah,
karir ayah semakin menanjak. Keahliannya dalam banyak hal
menghantarnya menjadi seseorang yang disegani di ling-
kungan kerjanya. Prinsipnya yang jujur dan setia terhadap istri
menjadikannya panutan bagi banyak orang.
Hanya karena mempertahankan kejujurannya, ayah
bertahan dan bersedia untuk tidak dilantik menjadi kepala
kantor pada sebuah lembaga karena diketahui ada permainan
tidak jujur dari beberapa kepentingan. Qadarullah karena
kejujurannya pula ayah akhirnya dilantik juga menjadi kepala
dinas pada sebuah lembaga pemerintah.
Di mataku, empati dan sosialnya amat tinggi pada orang
lain. Beliau tak pernah tega jika melihat orang lain dalam

Yulia Medhy, dkk


21
kesusahan dan akan membantu semampunya. Ayah dengan
mudah memberikan pinjaman dari hasil gajinya kepada orang
lain atau keluarga yang membutuhkan. Prinsipnya, sangat
kuingat Allah akan melipatgandakan rezeki untuknya dan
keluarganya bila mudah membantu dan memudahkan urusan
orang lain.
“Allah tak pernah tidur. Ia akan selalu melihat kebaikan
dan tingkah laku kita meskipun kadang manusia tidak
mengakuinya,” terang ayah padaku.
“Vera.” Suara ayah sayup terdengar di balik pintu kamar.
Aku bergegas menuruni anak tangga rumah.
“Buatkan teh hangat untuk bapak ini,” pintanya seraya
menunjuk seorang bapak berpakaian lusuh di teras rumah.
“Iya, sebentar, Yah. Dibuatkan dulu.” Tak lama, ku-
serahkan secangkir teh hangat untuk bapak tersebut.
Bapak itu memang 1 kali dalam 4 hari lewat di depan
rumahku untuk memungut sampah sampah di rumah
kompleks kami menggunakan sepeda dilengkapi boks sampah.
Ayah tak segan-segan memberikan uang tips yang tidak sedikit
kepada bapak itu kendati beliau sudah mendapat gaji rutin
bulanan.
Bagi ayah berbagi rezeki itu seolah sudah menjadi
kewajiban. ”Apapun yang kalian miliki sekarang, itu semua
hanya titipan. Jangan pernah sombong. Manusia itu ada masa
susahnya dan ada pula masa jayanya. Bersyukur dengan setiap
kondisi itulah bahagia,” pesannya setiap kali ada obrolan.

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
22
Yang diajarkannya adalah seperti Nabi Luqman dalam
QS. 31: 12 yang telah Allah beri Al Hikmah (Al Quran sebagai
sumber hukum tertinggi). Pesannya jangan hidup men-
dualisme dengan (hukum) Allah, karena itulah hakikat Syirkun
sebagai kezhaliman tertinggi (QS. 31: 13).
Firman Allah, “Bukankah (Hukum) Allah yang paling
menghakimi?” (QS.95: 8). Ia mengajarkan tak ada apapun
termasuk biji sawi selain atas eksistensi hukum Allah,
sebagaimana (QS. 31: 16). Dia perintahkan untuk bangkitkan
salat agar bisa amar makruf dan nahi mungkar serta sabar atas
segala konsekuensi, itu berasal dari tekad baja untuk
menjalankan perintah Allah (QS. 31:17). Jangan sombong dan
angkuh karena Allah benci seluruh kesombongan lagi mem-
bangga-banggakan diri (QS. 31: 18). Sederhanalah dalam
menjalani hidup dan lembutkanlah suaramu. Karena seburuk-
buruk suara adalah suara keledai (QS. 31: 19). Jadi hamba
Arrahman itu adalah yang menjalani hidup dengan rendah
hati. Walau usianya hampir 69 tahun, tapi masih sehat hingga
kini, insya Allah.

***

Yulia Medhy, dkk


23

SELAMAT ULANG TAHUN AYAH


(Dewi Sartika Harianja)

Untukmu pria terhebat, untukmu lelaki yang menjadi cinta


pertamaku, untukmu yang merelakan peluhmu tercurah
bagiku, untukmu yang siap mengorbankan hidupmu demiku,
untukmu yang mencintaiku bak lingkaran yang tidak berujung
dan utuh seperti bilangan bulat. Tak ada syarat bagimu untuk
mencintaiku, tulus setulus-tulusnya hati, itulah cinta yang kau
berikan untukku. Terima kasih, Ayah. Terima kasih yang tidak
terhingga bagimu.

***

Putri kecil nan manja itu kini telah dewasa dan akan segera
membangun rumah tangganya sendiri. Namun, di hadapan
ayahnya ia tetaplah seorang putri kecil yang manja. Putri yang
selalu dinantikannya untuk pulang ke singgasananya.

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
24
Semenjak putrinya kuliah di luar kota dan akan segera
menikah, dia hanya dapat bersabar menahan rindu yang tidak
terbahasakan. Bagaimana tidak, putri yang dibesarkannya
dengan penuh kasih dan tetesan keringat, yang merengek
manja dalam pelukannya, yang memancarkan senyuman
manis menyambutnya di pintu rumah ketika pulang dari
peraduannya mengais rezeki, putri yang selalu menjadi alasan
baginya untuk kuat menantang badai hidup, putri yang selalu
menempati tempat teristimewa di hatinya, kini harus tinggal
terpisah darinya. Ruang dan waktu tidak lagi menyatukan
mereka, hanya cinta kasih yang tetap mempersatukan,
sekalipun risau terkadang menghiasi hati menahan rindu yang
sesak di dada.
Hanya doa yang bisa melegakan hati, berharap putri
kesayangannya itu mendapat kebahagiaan bersama me-
nantunya kelak. Semoga putri kesayangannya itu mampu
membangun kehangatan dalam keluarganya sekalipun dia
mulai kehilangan kehangatan dari anak-anaknya. Sebab menua
adalah sebuah kepastian. Dan itu sudah di depan mata. Saat
anak-anak yang dibesarkannya dengan peluh telah pergi dari
dekapannya untuk melanjutkan kehidupannya masing-
masing. Ayah hanya dapat berdoa untuk kebahagiaan anak-
anak kesayangannya.

Yulia Medhy, dkk


25
Rindu di dada terkadang seperti sembilu menyayat hati,
bukan rupiah yang paling diharapkannya, melainkan kasih dan
perhatian. Dering telepon menjadi bunyi yang paling di-
nantikan, sebab suara sang anak adalah bunyi yang paling
merdu beradu dalam gendang telinganya.

***

Ayahku tersayang, terima kasih menjadi pria terhebat untuk


kami. Terima kasih untuk kasih sayangmu yang tercurah
melimpah bagi kami, terima kasih untuk memarahi kami dalam
kedegilan kami yang melukai sesama, terima kasih mem-
beritahu kami tentang kerasnya hidup, terima kasih untuk
tetap melindungi kami dari ancaman dan bahaya. Terima kasih
dan terima kasih untuk semuanya.
Di tiap lipatan kulit wajah tuamu terukir kasih yang tidak
dapat kami balas dengan cara apapun. Terima kasih yang tidak
terhingga kepada Tuhan yang memberikan anugerah istimewa,
kami dilahirkan sebagai anakmu. Dalam rumah kecil kita telah
terukir kisah kasih yang kekal di hati kami anak-anakmu.
Bersama Ibunda tersayang, ayah telah menghadirkan sukacita
di rumah kita yang sederhana.

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
26
Banyak gelombang yang terjadi, tetapi dengan meng-
andalkan Tuhan, engkau menunjukkan kepada kami bagai-
mana menjadi puas bermain sky di tengah ombak yang
menggelora. Engkau menunjukkan bahwa di dunia ini tidak
ada kekekalan maka tidak perlu bersandar kepada salah satu di
antaranya. Pada akhirnya semuanya akan berlalu pada
waktunya, dan hanya Tuhanlah yang kekal. Maka engkau
selalu menasihatkan untuk tidak menjadi serakah dalam hidup
tetapi bagaimana menjadi bermakna.
Satu pesanmu yang tidak akan pernah kami lupakan
supaya kami menentukan pilihan jodoh terbaik bukan
berdasarkan harta kekayaan dan jabatan. Sebab engkau
bersama ibunda tersayang telah menunjukkan bagaimana
keluarga yang berbahagia dalam kesederhanaan. Bagaimana
mempercayai Allah dalam perekonomian yang sulit tetapi
tetap tenang dalam bekerja dan menyaksikan Allah bertindak
mencurahkan berkatnya yang melimpah.
Terima kasih pria terhebat yang kami kenal, dengan
susah payah dan penuh perjuangan, engkau membiayai
pendidikan kami. Kami sangat bangga padamu. Kami tahu
perjuanganmu tidak gampang. Dengan iman engkau mem-
berangkatkan kami kuliah dan buah imanmu menghasilkan

Yulia Medhy, dkk


27
buah yang manis untuk kami nikmati. Kami telah sarjana. Kini
telah bekerja dan akan segera menikah
Ayah, di rumah kecil kita banyak proses hidup yang
terjadi, dan darimu kami belajar bagaimana menguasai diri dan
menjadi tenang dalam ombak ganas kehidupan yang me-
nerjang. Pengampunan, penerimaan, belas kasihan dan
kemurahan hati, semua itu dapat kami pelajari darimu. Meski
terkadang emosimu tersulut karena tingkah nakal kami,
namun kharisma seorang bapak yang mengasihi dan me-
lindungi begitu kuat menyatu dalam pribadimu.
Ayah, sesungguhnya, putrimu yang manja ini sangat
berat melangkahkan kaki meninggalkan rumah kita yang
sederhana. Semua kenangan bersamamu terukir indah dan
tersusun rapi di memoriku. Aku masih ingin bermanja dalam
pelukanmu. Dekapanmu terasa menghangatkan hatiku yang
terkadang menjadi dingin oleh gejolak gelombang hidup yang
menderu.
Namun putrimu harus melanjutkan hidup, Ayah. Aku
akan menikah dengan lelaki pilihanku. Semoga dia yang
kupilih menjadi partner terbaik untuk memberi kehangatan
kasih bagi anak-anak kami kelak, seperti kasih yang kau
berikan bagi kami anak-anakmu.

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
28
Ayah, hari ini adalah hari teristimewa bagi kita. Hari di
mana aku disatukan dengan menantumu dalam pernikahan
kudus. Di hari ini juga, tepat 65 tahun yang silam, ayah lahir ke
dunia mengukir sejarah hidup sampai detik ini. Sungguh
sebuah keistimewaan bagi kita, Ayah.
Ayah, sebagai putri bungsumu yang sering merengek
dalam pelukanmu, bahkan sering lupa usia saat bersamamu.
Layaknya anak kecil merengek minta sesuatu, demikian
tingkahku di hadapanmu. Sampai detik ini tidak pernah
terlihat olehku ayah menangis dalam kerapuhan. Entah karena
tidak mau terlihat lemah di depan putrimu, entah sedang
mengajariku untuk menjadi kuat dalam proses hidup.
Tetapi hari ini, di hari istimewa kita, air mata itu keluar
dari pelupuk mata ayah. Perlahan tetapi jelas terlihat, semakin
dipertajam dengan suaramu yang parau memberi nasihat
untukku dan menantumu tentang kehidupan berumah tangga.
Pahit manis kehidupan pasti mewarnai perjalanan biduk
rumah tangga yang akan kami lalui. Dan satu hal yang Ayah
pastikan, doamu selalu mengiringi langkah kami.
Ayah, ingin rasanya tangisanku meledak memelukmu.
Aku tahu, Ayah, sangat tahu, betapa besarnya cintamu
untukku. Air mata itu baru kali ini terlihat olehku dan itu
adalah bukti tulusnya kasihmu untukku.

Yulia Medhy, dkk


29
Sebagai Ayah, engkau bahagia melihatku bahagia ber-
sanding dengan menantumu sekalipun risau melanda hatimu.
Sebab sejak hari ini putri bungsumu tidak lagi kembali ke
singgasana kita yang sederhana namun menghangatkan.
Tetapi asal aku bahagia, ayah turut bahagia.
Enam puluh lima tahun engkau mengukir sejarah hidup.
Ayah, kami bangga padamu. Di hati kami terukir namamu.
Dengan bangga akan kami ceritakan pada suami dan anak-
anak kami kelak. Kami bangga padamu. Kami bangga pada
kalian, orang tua kami terkasih.
Selamat ulang tahun, Ayah. Selamat ulang tahun lelaki
terhebatku. Semoga doa dan harapanmu segera terwujud. Ajari
kami bagaimana membahagiakanmu. Sangat mengasihimu,
Ayah.

***

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
31

TANGIS TERAKHIR AYAH


(Maepurpple)

Ayah dalam benakku adalah sosok makhluk yang paling


tangguh, gagah, bertanggung jawab dan pemimpin yang adil.
Aku hampir tidak pernah melihat ayah meneteskan air mata.
Ayah begitu tegar dan kuat, walau aku tahu di matanya
menyimpan duka dan lelah.
Ayah, pertama aku mengenalnya saat usia dini, dan aku
pertama bisa memanggil sebutan “ayah” hati ini sudah terpaut
dengan sosoknya yang tegas. Awalnya aku beranggapan
bahwa itu sikap ayah yang “galak”, karena ayah yang memiliki
hipertensi. Setiap memberikan teguran atau nasihat selalu
menggunakan suara dan nada yang tinggi. Bagiku dan kakak
adikku, itu hal yang biasa kami dengar, ketika di antara kami
ada yang memiliki kesalahan atau tidak patuh dengan aturan.
Ketegasan ayah terkadang tidak bisa diterima oleh anak-
anaknya. Ketika ayah melakukan ketegasan fisik, hal ini
menjadi tersimpan dalam memori panjang, tapi setelah kami
(anak-anak) menyadari mungkin dengan keterbatasan ilmu

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
32
yang dimiliki kedua orang tua kami. Sehingga memiliki
ketentuan sendiri dalam mendidik kami. Lain dengan
kehidupan saat ini aku bisa banyak belajar dari media
elektronik dan banyak media cetak juga menuliskan tentang
pendidikan anak sesuai yang kita butuhkan. Sehingga apa yang
dilakukan orang tua dulu, aku sebagai orang tua juga memilah
yang bisa kuterapkan. Terlepas dari itu semua setiap orang tua
memiliki tujuan yang baik. Terutama ayah sebagai pemimpin
keluarga pasti memiliki harapan besar pada anak-anaknya
supaya di kehidupan mendatang bisa berdiri di kakinya sendiri
ketika orang tuanya sudah tiada.
Saat dewasa, aku memiliki angan-angan ingin memiliki
suami seperti ayah, begitu tegas, perhatian dan penuh kasih
saying. Kekagumanku pada ayah selalu terbayang dan
tersimpan dalam ingatan sampai saat ini, walau ayah sudah
menutup mata. Saat itu ketika ayah mulai sakit, aku melihat
ayah tidak mau memperlihatkan sakitnya di depan anak-
anaknya dan menyembunyikannya dengan senyumnya yang
selalu menyejukkan hati. Ketika sakit itu sudah tidak bisa
disembunyikan lagi, barulah ayah meminta ibu meng-
antarkannya ke dokter. Aku yang tinggal jauh dari keluarga
karena mengikuti suami di Bekasi, dikabari ibu ketika ayah
mulai dirawat di salah satu rumah sakit yang ada di Kota
Subang.

Yulia Medhy, dkk


33
Ayah terlihat begitu lesu, kusam, dan tak bergairah,
sambil sesekali mengeram kesakitan. “Ayah … mana yang
sakit?” tanyaku dengan pelan di samping telinganya.
“Perut, May … “ Suaranya lirih hampir tak terdengar.
“Ayah mau makan apa?” tanyaku lagi.
Tak terasa air mataku mengalir melihat ayah tak berdaya
dan lemah di atas ranjang besi rumah sakit yang terlihat sempit.
Ayah menggelengkan kepala sambil melirik pipiku yang dialiri
air mata. Aku menatap mata ayah yang sendu, seakan ingin
berkata “jangan menangis anakku!”
Aku keluar ruangan untuk menghilangkan air mata. Aku
tidak mau ayah melihatku cengeng. Ayah tidak mau anak-
anaknya lemah. Ayah selalu mendidikku dan keluargaku
dengan keras supaya bisa hidup dan kuat dalam menerima
cobaan apapun.
“May!” Suara ibu memanggilku.
Aku segera masuk ruangan tempat ayah dirawat. Di sana
terlihat dokter yang didampingi seorang suster sedang
memeriksa ayah.
“Maaf ini keluarga pasien?”
“Ya, Dok! Aku anaknya.” Aku menjawab cepat.
“Ayah anda harus dioperasi besok, karena benjolannya
semakin membesar!”

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
34
Degh! Serasa berhenti berdebar jantungku, mendengar
keputusan dokter. Aku tidak memiliki banyak uang untuk
biaya operasi, tapi aku mau ayah sembuh. Aku tidak sanggup
melihat ayah menderita.
“May …” Ayah memanggilku dengan lirih, aku men-
dekatkan telinga ke bibir ayah.
“Ayah pulang aja. Tidak usah dioperasi. Berobat jalan aja.
Ayah nggak betah, May.” Ayah meminta dengan wajah
memelas.
“Baik, Ayah.”
Aku pergi keluar menemui ibu, kakak dan adik.
Kebetulan mereka berkumpul. Kami merundingkan per-
mintaan ayah. Kami memutuskan untuk memulangkan ayah
dan selanjutnya berobat jalan. Hati kecil ini ingin menangis.
Aku belum bisa membahagiakan ayah, untuk biaya operasi
ayah aku tidak bisa bantu.
Sampai di rumah, aku merenung. Ada rasa takut apabila
ayah di rumah kurang terjaga kesehatannya, tapi aku tahu ayah
tidak ingin merepotkan anak-anaknya.
“Yah.” Aku menghampiri ayah dan ingin melakukan
sesuatu supaya ayah merasa bahagia. Ayah hanya melirik
keberadaanku di sampingnya.
“Yah, May janji nanti suami gajian, aku bawa ayah ke
rumah sakit untuk operasi.”

Yulia Medhy, dkk


35
Ayah tersenyum dan meraih tanganku. “Tidak usah,
lebih baik uangnya buat kebutuhan ayah kalau meninggal.”
Degh! Jantungku seakan berhenti, lidahku kelu, air
mataku mengalir, dan pecahlah tangisku di atas dada ayah.
“May … “ Ayah mengelus kepalaku, seperti mengelus
anak kecil.
“Tidak usah menangis. Ayah titip ibu dan adik-adikmu.
Jaga ibu, karena ibu sudah sering sakit-sakitan. Ayah mau
kamu baca Al Quran untuk ayah sekarang.”
Aku cepat mengusap air mata, bergegas mengambil air
wudu dan mulai membaca surah Ar Rahman penuh ke-
khusyukan. Setelah selesai membaca, aku menghampiri ayah
lagi. Aku melihat mata ayah berkaca-kaca. Selama hidup aku
belum pernah melihat ayah menangis. Aku berusaha meng-
hapus air mata ayah.
Ayah menarik tanganku. “Kamu janji sama Ayah untuk
jaga ibu, May?”
Aku mengangguk, “Ya, Yah.”
“Ya sudah. Sekarang kamu tidur! Ayah juga mau tidur.”
Aku pergi ke kamar ibu. “Bu!”
Ibu tersenyum dan menarik tanganku. “Sini!”
Aku duduk di samping ibu dan menyandar di
pundaknya. “Bu, nanti tanggal 25, ayah kita bawa lagi ke
rumah sakit, ya?”

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
36
“Ya udah, kalau ayah kamu mau.” Kami berdua ngobrol
sampai malam dan akhirnya tertidur.
“Ibu! May!” Kami terbangun mendengar teriakan kakak.
“Ayah! Ayah!” Suara kakak setengah berteriak.
“Innalillahi wainna ilaihi rojiuun.”
Ya, Allah … semalam adalah permintaan dan air mata
terakhir ayah untuk berpamitan kepadaku. Semoga Allah
mengampuni dosa-dosa ayah dan diberikan tempat yang baik
di sisi-Nya. Aamiin.
Semuanya seperti mimpi, terjadi begitu cepat. Aku belum
berbuat apa-apa untuk ayah dan ibu. Aku ingin mem-
bahagiakan ibu dan mengikuti permintaan ayah untuk menjaga
ibu. Setelah 40 hari meninggalnya ayah berlalu, ibu kuboyong
ke rumahku. Mudah-mudahan ibu kerasan di rumahku,
sehingga aku bisa menyediakan kebutuhannya sehari-hari.

***

Yulia Medhy, dkk


37

SELAKSA DOA UNTUK BAPAK


(Mira Djajadiredja)

Suatu hari di bulan September tahun 2000. Kami sekeluarga


sedang menonton televisi bersama ketika telepon berdering.
Suamiku bangkit dan menerima telepon. Kuperhatikan
wajahnya serius, dan mengangguk beberapa kali. Setelah
menutup pembicaraan ia menatapku sejenak, lalu memberi
isyarat untuk mengikutinya ke kamar. Aku mengikutinya
dengan hati berdebar. Ada kabar apa gerangan?
“Bun, ada kabar dari Bandung,” katanya, lalu me-
rengkuhku ke dalam pelukan. “Bapak sudah pergi.”
Aku hanya terdiam. Bapak memang sudah lama
mengidap stroke, dan beberapa bulan ini keluar-masuk rumah
sakit untuk menjalani perawatan. Namun berita ini tetap
membuat air mataku mengalir tanpa terasa. Perlahan kuelus
perutku yang membesar. Anakku akan lahir tanpa mengenal
kakeknya.
Kami pun segera bersiap untuk menempuh perjalanan ke
Bandung. Saat itu aku tengah menunggu saat kelahiran, maka

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
38
barang bawaan kami cukup banyak. Kutitipkan anakku yang
sulung kepada seorang saudara dan kami pun menempuh
perjalanan menuju Bandung. Sesekali aku harus menarik napas
panjang untuk menahan mulas yang mendera, tapi kami terus
melaju mengejar waktu. Kenangan demi kenangan tentang
bapak bermain di ruang mataku.
Jika melihat ke masa lalu, yang teringat adalah masa
kecilku yang bahagia. Bukan karena semua keinginanku
terpenuhi, atau karena bisa bermain sepanjang hari. Aku kecil
bahagia karena aku tahu bapak dan mamah sayang se-
penuhnya kepadaku. Kenangan dibangunkan di pagi hari, lalu
digendong bapak dan dibawa menemui mamah yang sedang
sibuk menyiapkan sarapan di dapur hanya untuk sekedar
bersentuhan kulit, masih membekas dalam hatiku sampai
sekarang.
Bapak yang mengepal-ngepal nasi sarapanku sebesar
satu suapan karena aku malas makan. Bapak juga yang
menyisir rambutku sehabis mandi sampai belahan tengahnya
bisa dipastikan lurus jika diukur dengan penggaris. Kalau
Bapak mencukur rambut aku tak mau ketinggalan, ikut
bercukur dengan gaya “jongens kop” alias potongan anak laki-
laki.
Entah kenapa kenangan masa kecilku banyak me-
nampakkan sosok bapak. Bukan karena mamah tak meng-

Yulia Medhy, dkk


39
asuhku, tapi mungkin mengurus 6 kakak dengan rentang usia
yang terpaut jauh denganku membuat beliau cukup sibuk. Aku
kecil akan membangunkan bapak bila mendadak lapar di
tengah malam, meskipun harus merangkak melewati mamah
yang tertidur pulas.
Ada satu peristiwa yang sangat berkesan bagiku. Ketika
itu kalau tidak salah aku duduk di kelas 4 SD. Salah seorang
temanku berulang tahun dan mengundang semua anak ke
pesta yang diadakan di rumahnya pukul 4 sore. Dengan
pedenya aku kecil mengajak teman-teman untuk berkumpul di
rumahku sepulang sekolah.
“Nanti bapakku yang mengantar.” Begitu kataku waktu
itu.
Tak terpikir olehku untuk meminta izin terlebih dahulu.
Ketika bapakku pulang dari tugasnya (beliau komandan
kepolisian di Lembang ketika itu), kami makan siang bersama
seperti biasa. Ketika itulah aku baru menyampaikan janjiku
pada teman-teman kepada bapak. Bisa dibayangkan, beliau
masih lelah sepulang bertugas, belum sempat beristirahat, tapi
sudah ditodong oleh anak bungsunya untuk mengantar ke
pesta ulang tahun. Kalau sekarang kuingat itu, ingin rasanya
bersujud di kaki beliau untuk meminta maaf. Sayang
kesempatan itu sekarang sudah tak ada lagi.

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
40
Marahkah Bapak? Tidak. Beliau terkejut, tapi lalu
tersenyum. Dengan senang hati diantarnya aku dan beberapa
teman yang sudah menunggu dengan setia di teras rumah ke
rumah teman yang berulang tahun, plus dijemput sore harinya.
Masih banyak kenangan tentang bapak, yang kalau
dituliskan mungkin jadi satu memoar sendiri. Satu prinsip
yang diwariskan beliau kepada kami, “hiduplah dengan jujur
dan mandiri”. Beliau paling membenci para koruptor dan
penyuap, baik yang menyuap maupun yang disuap. Pernah
suatu ketika beliau dikirimi segepok uang—betul-betul
segepok, setebal batu bata—oleh salah seorang supplier
perlengkapan polisi. Tujuannya tentu agar perusahaannya
mendapat tender menyediakan kebutuhan para petugas
kepolisian.
Uang itu dikirim ke rumah ketika beliau tidak ada dan
diterima oleh ibuku. Mamah yang juga mendapat didikan tegas
dari bapak, tidak berani membuka bungkusan tersebut dan
hanya menaruhnya di lemari. Ketika Bapak pulang dan
menerima bungkusan itu, beliau marah besar. Beliau segera
berangkat lagi menemui orang yang mengirimkannya untuk
mengembalikan uang tersebut. Padahal uang tersebut bisa
sangat berguna untuk membiayai sekolah kami bertujuh, tapi
bapak punya prinsip yang tidak bisa ditawar.

Yulia Medhy, dkk


41
Ketika kakekku meninggal dunia, bapak mendapat
warisan beberapa petak sawah dan kolam ikan yang subur.
Aku masih ingat pengalaman liburan mengunjungi sawah dan
kolam ikan yang semuanya menyenangkan. Semakin aku
beranjak dewasa, kunjungan itu semakin jarang. Setelah kuliah
baru aku tahu kalau sawah dan kolam-kolam itu dijual bapak
satu-persatu untuk membiayai sekolah kami. Pantas Bapak
sering berkata kalau kami jangan mengharapkan warisan harta
dari beliau. Ah, Bapak. Warisan kasih sayang, pendidikan dan
prinsip hidup yang tegas bagi kami jauh lebih berharga dari
harta sebanyak apapun.
Setibanya kami di rumah bapak, para pelayat sudah
berkumpul. Bapak sudah dimandikan dan dikafani dengan
rapi. Ingin rasanya aku mencium beliau untuk terakhir kali,
tapi aku khawatir tak bisa menahan air mata dan membuatnya
harus dimandikan sekali lagi. Akhirnya aku duduk bersimpuh
di sampingnya dan melaksanakan salat jenazah bersama
suamiku, karena aku sudah tidak kuat berdiri terlalu lama.
Pemakaman bapak diiringi ratusan orang yang
mengantar beliau ke pemakaman. Aku sendiri hanya bisa
mengantar sampai di tepi jalan. Kupandangi ambulans yang
meraung pergi diiringi mobil dan motor yang melambaikan
bendera kuning. Kami tak akan pernah melihat bapak lagi, tapi
jejak pengasuhan beliau tertanam kuat dalam diriku dan

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
42
keenam kakakku. Kupanjatkan selaksa doa untuk beliau,
semoga Allah mengampuni semua kesalahannya dan me-
nempatkannya di tempat yang indah di sisi-Nya. Aamiin.

***

Yulia Medhy, dkk


43

BAPAK
(Rusnita Darmawan)

Gerimis pagi itu menyurutkan niat Bapak ke kebun karet.


“Sepertinya hasil sadapan karet kemaren nggak akan
bersisa,” ungkap Bapak sembari menyeruput teh manis buatan
Mamak (ibu).
Rupanya hujan deras yang turun sejak sore kemarin
memupus harapan Bapak sebagai petani karet. Aku paham
betul bagaimana perasaan orang tuaku. Bukan kami tak
mensyukuri akan nikmat hujan yang menjadi rahmat bagi
alam, namun terkadang sulit menata hati yang sudah terlanjur
berharap akan sebuah hasil. Raut wajah Bapak masih terlihat
sendu sementara Mamak masih sibuk dengan panganan yang
sedang dimasaknya.
Kami adalah keluarga petani karet yang sudah turun
temurun, sehingga musim hujan yang panjang seperti ini
adalah hal yang biasa kami hadapi. Bapak dan mamak selain
rutin ke kebun karet, juga membuat kebun sayur kecil-kecilan
di pekarangan rumah. Hasil dari kebun sayur mampu

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
44
menyuplai kebutuhan harian kami. Cabe merah, cabe rawit,
tomat, terong, katuk, singkong, kacang panjang menjadi
tanaman tetap di pekarangan rumah. Selain itu mamak juga
membiasakan menyimpan beberapa rupiah dari setiap uang
yang diperoleh bapak saat menjual karet. Dan biasanya
tabungan mamak akan dipakai pada saat musim hujan seperti
saat ini.
Dulu sempat beberapa tahun bapak mencoba perun-
tungan bertanam padi. Namun entah apa gerangan yang
kemudian membuat bapak tak lagi meneruskan berladang.
Aku tahu kedua orangtuaku saling bahu membahu dalam
memenuhi kebutuhan keluarga. Bapak walau fisiknya kecil
namun beliau adalah sosok lelaki tangguh, pekerja keras, dan
gigih. Dalam mendidik anak-anaknya beliau begitu tegas dan
disiplin.
Dari beliau kami kakak beradik belajar mengaji. Walau
sudah seharian bekerja namun beliau masih menyisakan waktu
khusus untuk mengajarkan kami mengaji. Beliau tidak pernah
mewajibkan jam makan malam sebelum magrib, namun kami
sudah terbiasa mempersiapkan diri untuk salat magrib
berjamaah dalam keadaan perut sudah terisi. Bakda magrib
hingga menjelang waktu isya beliau pergunakan untuk
mengajarkan anak-anaknya mengaji. Begitu setiap malamnya.

Yulia Medhy, dkk


45
Seolah memahami takdir yang Allah tetapkan untuk
kami, mamak pun tak pernah terlihat bersusah hati. Mungkin
hal ini juga dikarenakan bapak sangat pandai memanjakan
mamak. Bukan dengan harta tentunya bapak memberikan
kemewahan kepada mamak. Namun bapak selalu punya
waktu khusus untuk sekedar membawa mamak berkeliling
kampung.
Biasanya bapak akan membawa mamak bersilaturahmi
ke rumah karib saudara atau berkunjung ke rumah teman
bapak di kampung lain. Hal semacam ini menjadi kegiatan
rutin bapak dan mamak. Jika memiliki tabungan yang dirasa
cukup, bapak akan membawa mamak dan beberapa anaknya
yang masih kecil melakukan perjalanan keluar daerah. Atau
sekedar menraktir mamak minum semangkuk es doger di
ibukota kabupaten. Hal lain yang menjadi kedermawanan
bapak kepada mamak adalah dengan membelikan pakaian.
Semua pakaian mamak adalah hasil shopping bapak.
Kesederhanaan yang kami miliki tak menyebabkan
bapak menyederhanakan kasih sayangnya kepada kami.
Waktu yang habis untuk mencari nafkah tak membuat beliau
merasa lelah untuk memanjakan anak-anak dan istrinya. Beliau
begitu sabar menemani dan mendampingi anak-anaknya
belajar. Tak jarang beliau harus merelakan waktu istirahat
malamnya hanya untuk menemani kami menyelesaikan tugas

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
46
sekolah. Beliau adalah sumber informasi dan guru bimbel bagi
anak-anaknnya. Kesukaannya membaca buku mungkin men-
jadi sebab beliau tahu banyak hal, ditambah hobi mendengar
berita di radio kala itu. Ketika ada undangan dari sekolah pun
beliau selalu memprioritaskannya.
Bapak, pribadi ceria yang suka bersenandung namun tak
pernah tertawa terbahak-bahak. Baginya tawa kecil atau
sekedar senyum sudah cukup mewakili kebahagiaan hatinya.
Begitu pula ketika sakit menyapa tubuhnya, tak ada rintihan
ataupun keluhan. Beliau akan memilih mengistirahatkan
tubuhnya dan jadi lebih pendiam. Sikap seperti itulah yang
mengatakan kepada kami kalau bapak sedang tidak sehat. Lalu
biasanya mamak yang selalu setia menemani bapak. Sesekali
kami anak-anaknya bergantian memijat punggung, tangan,
dan kaki bapak. Sampai pada saat itu, bapak menangis karena
sakit yang sudah hampir empat bulan dideritanya tak kunjung
pergi. Tak ada keluhan keluar dari bibirnya namun deraian air
mata cukup mewakili bagaimana sakit yang teramat sangat
sedang dirasakannya.
Selama empat bulan pula mamak tak pernah me-
ninggalkan bapak dan selama itu pula kami merasa bahwa
kami harus belajar mandiri, berani, dan mengambil alih
tanggung jawab yang selama ini bapak emban. Semua
berupaya untuk kesembuhan bapak namun takdir menuliskan

Yulia Medhy, dkk


47
bahwa bapak harus “kembali”. Air mata yang kami lihat saat
itu adalah air mata pertama dan terakhir dari sosok tangguh
pejuang keluarga kami. Air mata itu adalah salam perpisahan.
Setelah itu tak pernah lagi terdengar senandung yang
menemani mamak masak, tak ada lagi yang membawa mamak
berkeliling kampung, tak ada lagi sosok setia yang menemani
kami saat harus belajar hingga larut malam. Namun se-
peninggal bapak, kami sudah lancar membaca Al Quran
bahkan sudah bisa mengajar mengaji.

***

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
49

AIR MATA KERINDUAN


(Farikhah)

Selepas turun dari angkutan umum, kupercepat langkah ke pool


bus, untuk membeli tiket. Rencananya malam ini aku mau
pulang ke kampung halamanku. Alhamdulillah tiket pun
kudapatkan. Jadwal keberangkatan bus jam 07.00 pagi. Masih
ada waktu untuk pulang, mengambil barang bawaan.
Bergegas kupesan ojek online agar cepat sampai di rumah.
Setelah merapikan barang bawaan dan menyiapkan makan
malam buat suami. Aku balik lagi ke pool bis diantar suamiku.
Rasanya ingin cepat sampai ke kampung, rasa kangen ini sudah
sedemikian menumpuk. Bus pun akhirnya berangkat dan
diperkirakan kalau lancer pukul 02.30 dinihari akan sampai di
terminal kotaku. Dari terminal aku harus berganti bus kecil
untuk melanjutkan perjalanan ke desa kelahiranku.
Tepat ketika azan subuh berkumandang, sampailah aku
di depan rumahku. Sepi … tidak ada yang berubah. Semuanya
masih sama seperti dulu. Rumah lumayan besar dengan cat
warna putih dan jendela kayu warna coklat, halaman depan

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
50
dan samping rumah yang luas dan teduh. Masih berjejer pohon
mangga dan cengkeh. Meski jarang berbuah, tetap di-
pertahankan.
Kuketuk pintu, satu kali. Dua kali tidak ada yang
mendengar. Ketiga kalinya kuketuk jendela rumah, sambil
kupanggil nama adikku.
“Nin! Nin! Tolong bukain pintu. Ini Mbak Farah.”
Terdengar pintu ruangan dalam dibuka. Lalu bunyi
langkah kaki mendekati pintu samping rumah.
“Assalamualaikum.” Kuucapkan salam begitu pintu
terbuka.
“Waalaikumsalam,” jawab adikku.
Kami berjabat tangan dan saling berpelukan. “Bagaimana
kabarnya, Nin?” tanyaku.
“Alhamdulillah sehat, Mbak.” Adikku menjawab sambil
melepas pelukannya. “Mbak pulang sama siapa?” tanya adikku
sambil berjalan ke ruang tengah.
Aku mengikutinya, “Sendirian. Naik bus.” Kujawab
sembari meletakkan tas di kursi ruang tengah.
“Bapak dan ibu mana?” Belum dijawab pertanyaanku,
muncul bapak disusul ibu di belakangnya, sehabis melak-
sanakan salat Subuh berjamaah.
Aku cium tangan bapak dan ibu, kupeluk dan cium
keduanya. Erat sekali.

Yulia Medhy, dkk


51
“Bagaimana kabar Bapak dan Ibu?” tanyaku melepas
pelukannya. Ada raut bahagia di wajah mereka. Kulihat ada air
mata di kelopak mata Bapak. Kami duduk di ruang tengah,
sementara adikku ke dapur untuk membuatkan teh manis.
“Bapak dan Ibu baik dan sehat,” jawab Bapak. “Kamu
pulang sendirian? Mana suami dan anak-anakmu?” tanyanya.
Aku menjawab, “Iya, aku pulang sendiri, Pak. Mas Gagah
dan anak-anak tidak bisa ikut. Nitip salam katanya.” Bapak dan
ibu mengangguk berbarengan mendengarnya.
Tak lama adikku membawakan teh manis hangat. Aku
minum. Seketika ada rasa hangat mengalir di kerongkongan
berakhir di perutku. Rasa kantuk dan penat dari perjalanan
jauh sedikit berkurang. Aku pun pamit untuk mengambil air
wudu dan melaksanakan salat Subuh.
Selepas salat, kami berkumpul sambal menikmati serabi
dan tempe goreng yang gurih serta renyah—makanan ke-
sukaanku saat pulang kampung. Ibu pasti selalu menyediakan
kala kami anak-anaknya pulang.
Sambil menikmati sarapan pagi, kami ngobrol banyak
hal, terutama dengan bapak. Aku memang lebih dekat dengan
bapak. Tak banyak perubahan yang tampak dari bapak, hanya
tubuh yang semakin kurus dan ringkih termakan usia. Bapak
adalah sosok yang kuat, di usia yang telah lanjut, tetap
melakukan aktivitas seperti biasanya. Tiap pagi menyapu
halaman, lalu bergegas pergi ke sawah.

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
52
Ini dilakukan dari muda dulu. Ya, bapak adalah seorang
petani. Di saat teman-temannya merantau ke kota, bapak
memilih tetap tinggal d idesa, menggarap sawah miliknya.
Hidup berdua dengan nenek. Semenjak kecil telah ditinggal
bapaknya, membuat bapak tumbuh menjadi pribadi yang
mandiri dan pekerja keras, meskipun anak bungsu. Bapak
hanya orang kampung yang lulusan SD dan pondok pesantren,
tetapi bapak selalu memberi semangat dan motivasi anak-
anaknya untuk sekolah dan menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Saat berkumpul dengan anak-anaknya, nasihat bapak
yang selalu kami ingat. “Anak-anakku, Bapak tidak punya
harta. Makanya kalian harus mempunyai ilmu sebanyak-
banyaknya, karena ilmu yang akan membuat kalian kaya. Ilmu
yang akan mengangkat derajat kalian.” Alhamdulillah semua
anak-anaknya dapat memperoleh pendidikan sampai sarjana.
Ada kebahagiaan bapak saat satu persatu anak-anaknya
lulus sarjana. Bapak akan antusias untuk menghadiri acara
wisuda tiap anaknya. Dibela-belain menyewa mobil untuk
dapat membawa keluarga besarnya agar bisa ikut
menyaksikan. Aku yakin untuk itu bapak rela menjual hasil
sawahnya atau kebunnya.
Pagi itu aku duduk sambil membuka-buka album foto
masa kecil. Lembar demi lembur kubuka.
“Ah, masa kecil yang indah,” gumamku.

Yulia Medhy, dkk


53
Mataku tertuju pada satu foto. Aku dipangku bapak
sambil menangis. Wajah bapak tersenyum melihatku menangis
di pangkuannya. Aku tak ingat momen apa itu, karena masih
sangat kecil.
Ingatanku melayang. Pernah aku sakit, bapak membawa
ke dokter. Zaman dulu kalau periksa ke dokter pasti disuntik.
Aku sangat takut dengan jarum suntik dan paling tidak bisa
kalau harus minum obat. Turun dari mobil, sesampai di klinik
aku berontak. Kupukul bapak. Aku teriak menolak untuk
masuk, sampai-sampai peci yang bapak pakai lepas dan jatuh.
Aku tersenyum kalau ingat itu. Kata ibuku saat kecil aku
termasuk anak yang cengeng, sedikit-dikit menangis.
Kubuka lagi lembar yang lain. Ada foto saat bapak naik
haji. Bapak pakai jubah seperti yang biasa dipakai orang Arab.
Kebetulan bapak pergi haji masih muda, menemani ibunya.
Saat itu aku baru lahir. Aku jadi teringat, kala ibu naik haji
sendirian, bapak yang tidak pernah ditinggal ibu begitu lama,
merasa kehilangan. Bapak selalu mendoakan dan sesekali
menelepon ingin tahu keadaan ibu. Tiba saatnya hari
kepulangan ibu, bapak sudah menunggu kabar dari pagi.
Melalui sambungan telepon aku mendapat kabar bahwa ibu
sudah sampai di tanah air. Aku kabari Bapak. Pertama yang
terucap dari mulut Bapak kalimat “alhamdulillah”. Kulihat
Bapak menangis. Itu air mata bapak yang pertama aku liat.

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
54
Tangis bahagia, tangis syukur ibu telah kembali dengan
selamat.
Air mata bapak yang kedua di saat anak-anaknya pulang
dari perantauan. Bapak pasti akan menangis. Tangis kerinduan
seorang bapak akan kehadiran anak-anaknya.
Kini bapak sudah semakin renta, tubuhnya semakin
melemah, kulit keriputnya membungkus tulang-tulang yang
semakin kelihatan. Tak ada lagi tubuh gagah pergi pagi pulang
siang bahkan terkadang sore. Tiada lagi cangkul dan karung di
bahunya.
Sayup-sayup terdengar suara Ebiet G Ade dari tape yang
diputar di bus mengiringi perjalananku kembali ke kota.
Selamat tinggal, Bapak. Selamat tinggal kampung halamanku.
Sampai kapanpun aku pasti akan selalu merindukan dan suatu
saat pasti akan kembali.
Kepergianku diantar oleh tatapan sedih Bapak. Saat
kucium tangan dan kupeluk tubuhnya, ada air mata yang
mengembang di kedua pelupuk matanya. Ah, Bapak. Aku rindu
padamu. ‘Kan kuhapus air matamu. ‘Kan kuganti dengan senyummu.
“Ayah … dalam sepi hening kurindu ....
Untuk menuai padi milik kita
Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang banyak menanggung beban.”

***

Yulia Medhy, dkk


55

TAK INGIN JADI PAHLAWAN


(Mariati Sinaga)

“Assalamualaikum Hana, sedang ada di mana?”


“Waalaikumsalam, Ayah. Saat ini Hana sedang berada di
Preikestolen atau yang terkenal dengan nama ‘Pulpit Rock’.
Dari atas sini Hana dapat melihat jauh Lyse Fjord dari segala
penjuru arah. Pemandangannya sangat indah, Ayah.
Rencananya Hana dan Brigitte, teman Hana, akan menyusuri
teluk ini hingga ke hulu.”
“Apa masih sempat? Sekarang sudah tengah hari?”
“Haa, Ayah. Di sini kan masih pagi sekali.”
“Oh, iya, ya.” Kami pun tertawa bersama.
Suara tawa Ayah memenuhi ruangan, sementara Ibu
senyum-senyum sambil merapikan kain jahitan yang terletak di
meja. Setiap sore, kami bertiga berkumpul di ruang tengah
membantu ibu dengan jahitannya. Lima tahun yang lalu kami
berempat, namun si bungsu Dimas meninggalkan kami akibat
demam berdarah. Ayah adalah seorang guru IPS di beberapa
sekolah menengah pertama swasta.

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
56
Candaan favorit kami adalah berimajinasi seolah-olah
aku atau Ayah berada di suatu tempat di luar daerah kami.
Biasanya aku berkhayal berada di negara-negara lain,
sedangkan Ayah berkhayal berada di daerah-daerah Indonesia
di luar Pulau Jawa. Jika Ayah memulai dengan kalimat,
“Assalamualaikum, Hana. Sedang ada di mana?”
Maka aku bisa menjawab sedang berendam di spa
penyembuhan Pamukkale Turki, menemukan tanaman yang
digunakan dalam pembuatan obat-obatan tradisional Cina di
Sanqingshan, menikmati warna-warna yang berbeda di Puerto
Rico. Jika aku memulai dengan kalimat, “Assalamualaikum, ini
Hana. Ayah ada di mana?”
Maka Ayah bisa menjawab sedang menikmati Kopi Gayo
di Pantan terong Takengon, sedang terengah-engah menaiki
tangga menuju kuburan Papan Tinggi di Barus, mengagumi Al
Qur’an yang ditulis tangan sendiri oleh Sultan Syarif
Abdurrahman Alqadrie di Pontianak, mengunakan baju hitam
di Kampung Ammatoa Bulukumba, dan sebagainya.
Sebagai seorang guru, ayah sangat displin. Walaupun
sekolah baru mulai jam 7.15 WIB, ayah selalu hadir jam
setengah tujuh. Sebelum setengah tujuh, aku sudah diantar ke
sekolahku, SMA negeri yang dekat dengan tempat bertugas
ayah. Tak heran jika aku mengenal beberapa siswa SMP di
sekolah Ayah. Dari mereka, aku tahu ayah termasuk guru
favorit, demikian juga di 2 sekolah lain tempat ayah mengajar.

Yulia Medhy, dkk


57
Ayah sangat sabar menghadapi siswa-siswanya, ter-
senyum bijaksana menghadapi gejolak pubertas anak didiknya.
Apalagi ayah mengajar di sekolah swasta, sebagian besar siswa
merasa bahwa gaji gurunya di tangan mereka. Sehingga
terkadang melupakan sopan santun dan norma-norma hu-
bungan guru dan siswa. Namun ayah santai saja me-
nanggapinya. Sepertinya ayah sangat menikmati profesinya
sebagai pendidik. Ayah adalah seorang lelaki berperawakan
sedang. Menjadi yatim di usia belia, sebagai anak sulung Ayah
menggantikan posisi Atok sebagai kepala keluarga. Mem-
banting tulang membantu nenek membesarkan ketiga adik-
adiknya yang masih kecil.
Di SMP, setiap pagi sebelum ke sekolah, Ayah akan
memanggul hasil ladang nenek ke pasar. Sepulang sekolah,
Ayah akan menjemput nenek di pasar sambil membawakan
beras, gula pasir dan kebutuhan lain yang akan dijual nenek di
warungnya. Ketika berada di SMA, Ayah membuka les bidang
studi matematika, IPA dan bahasa Inggris di rumahnya. Siswa-
siswanya adalah teman-teman adiknya.
Ayah membiayai kuliahnya dengan mengajar di sebuah
bimbingan studi dan memberi les privat ke rumah-rumah.
Sepulang KKN, Ayah diterima mengajar di sebuah yayasan
perguruan baru di dekat rumah Ibu. Di sanalah Ayah bertemu
dengan Ibu, yang membantu di warung tempat ayah sering
makan siang. Kedisplinan dan kejujuran ayah menjadi per-
hatian pendiri sekaligus ketua yayasan. Sebelum menyerah-

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
58
kan jabatan ketua yayasan kepada putranya, beliau berpesan
agar mempertahankan ayah sebagai guru di sekolah tersebut.
Aku baru saja membereskan mukena dan sajadah sehabis
salat Magrib saat terdengar ketukan di pintu.
“Assalamualaikum, Pak. Maaf mengganggu, kami
orangtua Fatma, siswa Bapak.” Kulihat sepasang suami istri
dengan seorang anak, Fatma. Wajahnya tampak sembab
sehabis menangis.
Lirikan mata Ibu yang memerintahkanku untuk masuk
ke dalam kamar langsung kuturuti. Aku tak terbiasa meng-
uping pembicaraan orang lain, apalagi saat ayah dan ibu ada
tamu. Untuk mengalihkan perhatian dari pembicaraan di
ruang tamu, aku membuka-buka buku pelajaran. Perutku
mulai keroncongan. Kami terbiasa makan malam pada
waktunya. Tapi sepertinya masalah Fatma serius, karena
pembicaraan mereka diiringi isak tangis—yang aku tak tahu
isak tangis Fatma atau ibunya.
Saat keesokan harinya, Ayah tidak banyak bicara.
Barulah sepulang sekolah aku mendengar ceritanya dari Ibu.
Beberapa hari yang lalu, salah seorang siswa Ayah bernama
Shofi datang ke rumah Fatma. Shofi minta izin untuk menginap
di rumah Fatma, karena keluarga pamannya sedang keluar
kota. Semenjak ibunya meninggal, Shofi dititipkan ayahnya di
rumah pamannya karena ayahnya sering keluar kota.
Selama ini, Shofi juga sering menginap di rumah Fatma
dengan alasan belajar bersama. Namun dua hari yang lalu,

Yulia Medhy, dkk


59
sepulang sekolah. Fatma dan Shofi tidak langsung pulang.
Mereka ke rumah seseorang yang dipanggil “Kak Endang” oleh
Fatma. Kata Shofi itu adalah rumah saudaranya. Ternyata di
tempat itu sudah ada bang Rio, pacar Shofi dan seorang pria
berusia sekitar 60 tahun. Karena kelaparan sepulang sekolah,
tanpa curiga Fatma menghabiskan makanan dan minuman
yang dihidangkan.
Terjadilah malapetaka itu. Fatma seperti terhipnotis dan
membiarkan saja pria tua itu merenggut hartanya yang paling
berharga. Dalam keadaan bingung dan linglung Fatma diantar
pulang oleh Rio. Fatma tidak berani menceritakan hal tersebut
pada orangtuanya, namun adiknya mengadu bahwa kakaknya
sering menangis. Waktu ibunya bertanya, Fatma tidak bisa
berbohong dan menceritakan semuanya. Karena Ayah adalah
wali kelas Fatma, maka ayah dan ibu Fatma meminta nasihat
ayah untuk masalah ini.
Saat berkumpul bersama di sore hari, Ayah bercerita
tentang kejadian di sekolah. Untuk masalah Fatma, sudah
dibicarakan dengan kepala sekolah, wali kelas Shofi, dan guru
Bimbingan Konseling. Dari guru BK diketahui bahwa akhir-
akhir ini Shofi sering tidak hadir, sedangkan dari wali kelasnya
diketahui bahwa Shofi berbohong ketika menyatakan bahwa
keluarga pamannya sedang keluar kota.
“Ayah berharap Hana tidak menceritakan masalah ini
kepada siapa pun, sebab hal ini menyangkut masa depan
Fatma. Ayah cerita pada Hana karena mereka datang ke rumah

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
60
kita. Pihak sekolah hanya bisa menjadi mediator antara
keluarga Fatma dan Shofi dan kami sepakat menutupi hal ini.”
Aku mengangguk tegas. Aku tahu bahwa berita ini dapat
menghancurkan reputasi sekolah Ayah. Esoknya seperti biasa
aku tiba paling awal di sekolah. Tak lama kemudian beberapa
teman menyusul.
Ketika bel masuk berbunyi, Tantri dari kelas sebelah
menghampiriku. “Bener nggak, Han? Kabarnya ada seorang
siswa di sekolah ayahmu yang menjual kawannya, ya?”
Aku terkejut bukan main, bagaimana mungkin berita itu
bisa menyebar, sementara Ayah berkata bahwa pihak sekolah
sepakat menutupinya. Tak ayal pertanyaan Tantri membuatku
gundah. Rupanya Shofi banyak dikenal oleh teman-temanku,
terutama yang dulu sempat satu sekolah dengannya.
Beberapa hari terakhir, Ayah tampak sibuk, sering
terlambat pulang, bahkan sampai menjelang makan malam.
Aku menduga Ayah mengurus masalah Fatma, sehingga aku
tak ingin banyak mengganggu. Tapi aku mulai rindu candaan
ayah, karena saat mengantarku pagi hari, Ayah lebih banyak
bertanya mengenai sekolahku. Sering kuhabiskan waktu
dengan ibu, bertanya soal keterampilan rumah tangga.
Seperti malam ini, kami hanya makan berdua dengan ibu.
Ibu bercerita ingin membuka kursus menjahit di rumah dan
ingin membuat beberapa jenis kerajinan seperti tas, dompet,
bantal kursi dan kotak pensil. Namun aku menangkap ada rasa

Yulia Medhy, dkk


61
sedih pada wajah Ibu. Padahal biasanya Ibu selalu bersemangat
bila sedang membicarakan ide-ide baru.
“Hana tau ada yang Ibu sembunyikan. Kenapa Ibu tiba-
tiba ingin buka kursus, sedangkan pesanan jahitan banyak
yang ibu tolak. Ada apa, Bu” tanyaku menyelidik.
Lalu Ibu bercerita pelan diiringi dengan air mata yang
mengalir deras. Ternyata ayah Shofi yang seorang pejabat
beranggapan bahwa ayah mencemarkan nama baik anaknya.
Bahwa tidak benar Shofi mengajak dan menjebak Fatma, tapi
Fatma melakukannya dengan sukarela. Ayah Shofi berniat
membawa masalah ini ke jalur hukum, mempolisikan ayah dan
pihak sekolah.
Dengan uang dan pengaruhnya, ayah Shofi mem-
bungkam orang tua Fatma sehingga mereka membuat surat
pernyataan bahwa kejadian yang menimpa Fatma tidak benar.
Pihak yayasan juga tidak ingin masalah ini menimbulkan efek
tidak baik bagi citra sekolah dan yayasan sehingga menyetujui
syarat yang diajukan Ayah Shofi untuk menyelesaikan masalah
ini. Tinggallah Ayah, sebagai satu-satunya orang yang harus
menjadi kambing hitam untuk menyenangkan hati Ayah Shofi
dan menyelamatkan yayasannya. Akhirnya ayah dipecat dari
yayasan tersebut juga dari dua sekolah swasta lainnya tempat
ayah selama ini mengajar.

***

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
62
Aku terkejut mendengar suara isakan tangis, masih beberapa
jam lagi menjelang subuh. Di atas sajadah kulihat Ayah sedang
khusyuk berdoa, suara isakannya kian keras. Seumur hidup tak
pernah kulihat Ayah menangis, bahkan saat adikku Dimas
meninggal. Namun kali ini aku melihat pertahanan ayah
runtuh. Aku tahu Ayah mengadu kepada Sang Maha Kuasa.
Ayah terkejut saat melihatku berada di dekatnya. Serta merta
tangisnya meledak. “Maafkan Ayah, Nak. Maafkan, Ayah,”
bisiknya berulang-ulang. Aku tak tahu harus berkata apa.
“Ayah tak ingin jadi pahlawan. Ayah tak ingin jadi
pahlawan,” isaknya.
Kulihat Ibu datang dan memeluk Ayah. “Ayah,
percayalah bahwa Allah Maha Tahu dan Maha Mendengar.
Setelah ada kesusahan pasti ada kemudahan. Kami percaya
pada Ayah,” bisik Ibu lembut.
“Ayah sudah mencoba melamar ke beberapa sekolah.
Mereka lebih memilih guru muda. Kalau Ayah tidak bekerja,
bagaimana ayah akan menyekolahkan Hana.” Tangis Ayah
makin keras, air matanya kian deras.
Mataku kabur oleh air mata, seolah mengaburkan
harapanku untuk melihat Burj Khalifa, Bendungan Aswan, Taj
Mahal, Ha Long Bay atau bahkan hanya Menara Petronas.

***

Yulia Medhy, dkk


63

HADIAHKU UNTUK AYAH


(Ummu Alfath)

Aku seorang anak perempuan satu-satunya di keluargaku. Aku


juga anak sulung. Aku memiliki amanah untuk mengayomi
adik-adikku. Itu sebabnya ayah berusaha untuk menjaga dan
mendidikku.
Ayah mempunyai mimpi yang besar, ketika kehadiranku
ada di keluarganya. Beliau bekerja di sebuah Dinas Per-
industrian dan Perdagangan. Daerahku adalah salah satu
penghasil nilam. Ayahku sangat terinspirasi dengan nama latin
nilam “patchouli”, dari bahasa Tamil patchai (hijau), dan “ellai”
(daun), karena minyaknya disuling dari daun. Minyak nilam
ini banyak dipergunakan dalam industri kosmetik, parfum,
sabun serta aromaterapi. Selain itu juga bermanfaat untuk
penyembuhan fisik juga mental dan emosional. Minyak nilam
ini bersifat “fixative” (yakni bisa mengikat minyak atsiri
lainnya).
Berdasarkan manfaat yang didapatkan dari nilam, ayah
bersepakat dengan ibu membuat namaku “Patchouli Salviani”.

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
64
Sejak bayi sampai SD, aku dipanggil “chaoli”. Orang tuaku
berharap aku bisa mengharumkan nama mereka dan
memberikan manfaat sebanyak-banyaknya kepada orang lain.
Seiring berjalan waktu ketika menjelang tamat SD, namaku
diubah menjadi Fatkhauli Salviani. Tetapi nama panggilan oleh
orang-orang terdekat tetap dipanggil “chouli”.
Ungkapan keinginan para orang tua telah Allah catat di
Al Quran surat Al Furqan ayat 74. Ayat inilah yang sering
dilantunkan khususnya para orangtua dalam setiap untaian
doanya.
“Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyyatina qurrata
a’yun waj’alna lil muttaqina imama.” Yang artinya, “Ya Tuhan
kami, anugerahkanlah untuk kami istri-istri dan anak
keturunan kami istri-istri dan anak keturunan kami, dan
jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
Al Quran menggambarkan setidaknya ada empat model
tingkah laku anak:
1. Tingkah laku anak yang menyejukkan hati. Mereka inilah
anak saleh salihah yang mempu memberikan ketenteraman
sekaligus penghilang gundah gulana. Anak-anak ini mampu
menjadi penyejuk hati serta kebanggaan setiap orangtua,
baik di dunia maupun akhirat (mengangkat derajat para
orangtua di sisi Allah), karena anak-anak ini senantiasa
mendoakan orangtuanya. Imam Ibnu Katsir menafsirkan

Yulia Medhy, dkk


65
“qurrata’ayun” sebagai anak keturunan yang taat dan patuh
mengabdi kepada Allah.
2. Tingkah laku anak yang memberikan kebanggaan di dunia,
namun belum mampu menunjukkan prestasi akhirat.
3. Tingkah laku anak yang menjadi cobaan. Jika para orang tua
mampu menanganinya dengan sabar dan ikhtiar sebaik
mungkin akan dapat menghantarkan orang tua menjadi
hamba yang taat dan memperoleh pahala kebaikan.
4. Tingkah laku anak yang menjadi musuh. Anak-anak model
inilah yang durhaka dan melakukan perlawanan kepada
orangtuanya. Anak-anak inilah yang menyeret para orang
tua jatuh ke dalam lembah maksiat. Ini terjadi sesungguhnya
akibat orang tua lalai menjalankan dan menjaga amanah
berupa anak keturunan.

Aku berusaha untuk menjadi anak yang model pertama.


Aku berusaha untuk belajar semampuku. Alhamdulillah aku
selalu menjadi juara kelas sejak SD sampai SLTA. Aku selalu
menjaga sikapku. Aku khawatir apabila melakukan kesalahan
nanti bisa membuat ayahku malu. Aku pernah sedih, karena
pada saat itu aku ingin ayah bisa tampil di depan untuk
mengambil raporku sebagai juara umum. Karena ada
pertimbangan lain, akhirnya temanku yang tampil di depan.
Aku menangis di depan ayah. Dengan besar hati ayah
menenangkan hatiku. Beliau tetap bangga walaupun anaknya

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
66
tidak dipanggil ke depan untuk maju mengambil hadiah
sebagai juara umum
Tiba saat aku kuliah, saat pemilihan universitas. Aku
hanya berani bermimpi untuk menjadi tenaga kesehatan,
seperti perawat atau bidan. Tak disangka, pilihan undangan
masuk universitas tanpa tes pun menghampiriku. Awalnya aku
diterima di Teknik Sipil Malang. Tak lama kemudian dapat
informasi ada lagi undangan untuk masuk Fakultas Ke-
dokteran di Unsyiah. Ayah langsung mengarahkanku untuk
masuk Kedokteran saja, tapi aku ragu karena biaya pendidikan
menjadi dokter itu mahal. Setelah berdiskusi dengan ayah,
akhirnya kami putuskan kalau aku akan kuliah di jurusan
pendidikan dokter.
Pada saat keberangkatan untuk pergi kuliah pertama kali,
ada sesuatu yang disampaikan ayah kepadaku, “Seandainya
nanti sewaktu kuliah ada yang suka padamu, kasih tahu Ayah
dan Ibu. Kalau bisa orang Aceh juga atau boleh orang luar, tapi
nanti mau pulang ke Aceh, hati-hati di kampung orang. Jaga
diri.”
Aku mendengar pesan ayah, merasa malu sendiri.
Setahuku ayah sangat posesif kepadaku. Kalau aku pergi
menginap di tempat teman dilarang, boncengan dengan lelaki
sembarangan dilarang, menerima tamu seperti teman laki-laki
di depan rumah tak boleh. Pergi-pulang sekolah dijemput.

Yulia Medhy, dkk


67
Begitu juga kalau pergi les atau kemana pun beliau selalu
mengantar, kecuali sedang rapat atau dinas luar kota. Aku
merasa ayah sudah selesai menjagaku, sekarang saatnya aku
harus menjaga diriku di perantauan.
Aku sangat manja dan dimanjakan oleh ayah, sampai-
sampai adik-adik laki-lakiku cemburu padaku. Walaupun
demikian, mereka juga sangat sayang dan memanjakanku.
Mungkin karena melihat melihat ayah dalam memper-
lakukanku.
Saat merantau, Ayah sudah mempersiapkan rumah kos
yang aman untukku. Pada saat itu, mungkin aku belum paham
maksud dari semua yang dilakukan ayah. Bapak kosku
termasuk tipe orang yang pembersih dan galak. Beliau tidak
memberikan toleransi kepada tamu laki-laki pada anak kosnya,
selain ayah kandung, saudara kandung dan kerabat dekat anak
kosnya. Bahkan pernah ayah mau meneleponku, karena lupa
menyampaikan identitas kalau itu beliau, telepon langsung
dimatikan oleh bapak kos. Ayah tak marah, malahan bersyukur
anaknya makin aman dititip sama beliau.
Ayahku mengamalkan pesan Rasulullah, “Jagalah
pesanku tentang kaum perempuan agar mereka diperlakukan
dengan baik.” Ayah tak pernah memarahiku, tak pernah
berbicara kotor, dan kasar kepadaku. Pernah suatu waktu, aku
dibentak oleh seseorang petugas administrasi di bagian rektor

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
68
saat pengurusan beasiswa. Aku tanpa sengaja menangis. Aku
merasakan kesulitan tanpa ayah. Biasanya masalah adminis-
trasi ayah yang bantu semua.
Pernah terpikir, mengapa orang-orang mau ya pacaran?
Apa sih untungnya? Yang ada bisa membuat malu orang tua.
Saat itu aku merasa, ayah bisa melengkapi semua ke-
butuhanku, karena ayahku adalah cinta pertamaku. Aku tak
butuh sosok laki-laki lain. Ada ayah yang mencintai,
menyayangi, dan melindungiku.
Ayah adalah sosok yang bisa “memenangkan hati”ku,
sehingga melahirkan cinta, penghormatan, dan ketaatan
seorang anak kepadanya. Beliau juga sangat selektif mencari
calon menantu untukku. Karena suatu saat, kewajiban
mendidik dan menjaga anak perempuannya akan beralih
kepada sosok laki-laki yang diharapkan bisa mencintai,
menyayangi serta menjaga anak perempuan. Serta mendidik
agar anak perempuannya bisa terus mendoakannya ketika dia
sudah tiada.
Pernah suatu waktu, ayah sedih. Beliau curhat kepadaku.
Aku sedih sekaligus bangga. Aku dipercayai oleh ayah untuk
mendengar masalah yang sedang dihadapinya. Mungkin
beliau tidak butuh solusi, tetapi beliau butuh anak perem-
puannya untuk mendengar perjalanan hidupnya. Saat itu aku
sudah bekerja dan berpenghasilan. Selama bisa membantu,

Yulia Medhy, dkk


69
kubantu. Karena harta seorang anak ada hak ayahnya. Ayah
adalah orang yang punya rasa sosial tinggi, rela berkorban
demi orang lain.
Ayah pergi meninggalkan kami secara mendadak,
padahal saat itu beliau hendak dinas luar kota. Saat itu, aku
sudah mempunyai anak berumur 11 bulan, suamiku tugas di
provinsi lain. Selama suami dinas luar, ayahkulah yang banyak
menghabiskan waktu dengan cucunya. Ketika beliau tidak ada,
masih ada adik laki-lakiku. Ketika aku hamil anak kedua, rasa
rindu akan sosok ayah makin kuat, sehingga ketika anak
keduaku lahir. Wajahnya mirip dengan ayah, tetapi
karakternya mirip suamiku.
Aku berjanji pada diri agar bisa menjadi anak salihah,
berusaha menjadi investasi akhirat. Semoga doa dan amalanku
selalu sampai kepada ayah, serta ingin memberikan jubah dan
mahkota untuk ayahku. Aku berusaha untuk menjadi seorang
hafizah bersanad. Itulah hadiah yang sedang kupersiapkan
untuk ayahku.

***

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
71

TATKALA AYAH MENITIKKAN AIR MATA


(Leila Rizki Niwanda)

“Lelaki kok nangis. Cengeng!”


Stereotipe itulah yang berkembang di masyarakat. Laki-
laki yang menangis seolah diragukan kadar wibawanya. Akan
tetapi, kehadiran anak bisa jadi membuat pandangan
masyarakat tersebut melunak. Seringkali kita menjumpai cerita
atau menyaksikan sendiri adegan seorang ayah menangis saat
pertama kali mengazani bayinya yang baru lahir, atau saat
mengucapkan kalimat yang mengantarkan putrinya berubah
status menjadi seorang istri. Benarlah, ayah adalah cinta
pertama bagi putra-putrinya.
Lahirnya bayi memang mengubah banyak hal dalam
kehidupan orang tua, secara jasmani maupun mental. Ada
yang dapat bersegera menjalankan perannya dengan baik, ada
pula orang tua yang mengalami kendala. Jika penyebab depresi
pada ibu salah satunya adalah pengaruh ketidakstabilan
hormon yang naik-turun sejak hamil hingga melahirkan,

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
72
bagaimana dengan para ayah? Meskipun ayah secara fisik tidak
ikut hamil, tetapi ternyata hormonnya juga terpengaruh.
Level testosteron seorang ayah akan cenderung turun,
sedangkan estrogen, prolaktin, dan kortisol meningkat. Malah,
ada ayah yang ikutan mual-mual dan berat badannya
bertambah. Ada ahli yang mengatakan bahwa perubahan
hormon ini adalah karena adanya kontak fisik dengan ibu dan
bayi. Ayah yang lebih banyak mengekspresikan kasih
sayangnya kepada anak-anak juga ternyata memiliki kadar
hormon oksitosin yang lebih tinggi.
Hormon oksitosin ini kerap disebut sebagai hormon kasih
sayang dan bisa jadi inilah penyebab seorang lelaki jadi lebih
mudah tersentuh atau terharu, bahkan hingga menitikkan air
mata. Hanya saja, bukan cuma momen bahagia yang bisa
membuat ayah menangis. Rasa takut dan kekhawatiran yang
muncul sebagai seorang ayah baru pun mampu membuat
kaum adam bersedih.
Sebuah studi yang dilaporkan dalam Journal of the
American Medical Association memperkirakan bahwa 10 persen
dari ayah di seluruh dunia mengalami depresi pasca kehadiran
bayi, atau diistilahkan sebagai paternal postnatal depression
(PPND). Apa bedanya PPND dengan “daddy blues”?
“Daddy blues” ataupun keadaan stres yang masih berada
pada taraf wajar biasanya akan dapat diatasi cukup dengan

Yulia Medhy, dkk


73
menambah waktu istirahat, berolah raga, atau bersosialisasi.
Kegiatan-kegiatan ini tidaklah membantu dalam kondisi
PPND. Gejala “daddy blues” juga hanya berlangsung selama dua
atau tiga pekan, sedangkan PPND bisa sampai berbulan-bulan.
PPND dapat terjadi sejak kehamilan istri diketahui
hingga tahun pertama sejak bayi lahir. Risiko terjadinya PPND
tertinggi berada pada bulan-bulan awal dan memang lebih
mungkin terjadi jika ada faktor risiko seperti telah ada riwayat
depresi sebelumnya, hubungan ayah yang sudah kurang baik
dengan keluarga, depresi yang dialami istri, sampai masalah
kesehatan bawaan pada bayi.
Gejala PPND sendiri bisa beragam bentuknya, mulai dari
perasaan cemas, “kosong”, mudah tersinggung atau marah,
hingga kehilangan kendali diri. Bahkan, ayah bisa sampai
membenci dirinya sendiri, tidak lagi tertarik melakoni
kegemarannya, dan menarik diri dari pergaulan. Ayah juga
mungkin merasakan kecemasan tidak dapat mencukupi
kebutuhan keluarga—yang bertambah anggotanya—secara
finansial maupun emosional.
Selain gejala psikologis, PPND juga bisa memicu
timbulnya rasa sakit secara fisik, termasuk sesak napas, sakit
punggung, sakit kepala, masalah tidur, maupun masalah
pencernaan yang tidak kunjung membaik dengan penanganan
biasa. Ketidaknyamanan ini bisa diperparah oleh waktu tidur

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
74
yang memang berkurang drastis setelah adanya bayi. Ada pula
ayah yang terpacu untuk bekerja lebih keras agar mendapatkan
penghasilan yang lebih besar pula demi sang buah hati, dan
aktivitas berlebihan ini berbuah kelelahan.
Belum lagi, ayah sendiri bahkan mungkin tidak
menyadari apa yang ia alami. Postpartum depression yang
dibahas oleh media kebanyakan menggarisbawahi kondisi
tersebut yang dialami oleh kaum ibu dan lelaki juga tidak
terbiasa curhat akan perasaannya karena akan membuat seolah
dirinya kurang jantan. Apalagi kalau sampai minta tolong ke
pihak lain. Berbeda dengan perempuan yang mungkin sudah
tahu terlebih dahulu akan adanya potensi depresi, meski bukan
jaminan ia akan terbebas dari risiko tersebut. Setidaknya,
perempuan terbiasa berbagi perasaan ke sesamanya. Banyak
pula grup dukungan para ibu yang bisa dijadikan ajang saling
bertanya dan memotivasi.
Bagaimana mengatasi PPND pada ayah? Pendekatan
agama menjadi yang utama. Dengan bekal ilmu bahwa
kehadiran anak memang membawa konsekuensi tertentu
sekaligus juga ada buah manis yang dijanjikan Allah dari
mendidik anak-anak dengan baik, ayah diharapkan sudah
lebih siap menjalani perannya.
Menjalani hobi juga bermanfaat untuk membuat ayah
bernapas sejenak dari tugas-tugasnya. Asal, jangan keterusan

Yulia Medhy, dkk


75
sampai terlalu jauh mengambil jeda dari peran sebagai ayah.
Apalagi jika ternyata istri juga mengalami gangguan
emosional, yang pastinya perlu dukungan suami di sisi agar
dapat bangkit kembali.
Jika masalah seperti depresi memang sudah terasa sangat
mengganggu, jangan ragu mencari bantuan. Sadari dan akui
keberadaan kondisi yang menantang ini. Dalam ajaran agama
Islam misalnya, kita diminta menyerahkan masalah pada
ahlinya, bukan? Ahli ini bisa ahli ilmu agama seperti ustaz yang
tepercaya, atau psikolog yang memang kompeten di bidang-
nya. Buang jauh rasa gengsi, apalagi jika keharmonisan rumah
tangga sudah jadi taruhannya.
Jika masih merasa canggung mencurahkan isi hati
kepada orang lain, bercerita kepada Sang Pencipta dapat
menjadi pilihan yang baik. Ayah yang beragama Islam bisa
menjalani salat malam, bersujud memohon bantuan dan
petunjuk. Begitu khusyuknya dalam berdoa dan meminta, bisa
jadi airmata pun kembali menetes dari mata seorang ayah.
Ya, jika sejumlah pakar psikologi mengatakan bahwa
emosi negatif bukanlah kelemahan melainkan bagian dari
kehidupan yang tidak terelakkan, ayah barangkali bisa juga
mengambil sudut pandang yang lain. Bahwa kita memang
lemah sebagai manusia dan hanya Yang Maha Kuatlah yang
memampukan kita untuk melakoni peran sebagai orang tua. Di

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
76
saat itulah, air mata menjadi bukti kepasrahan, bahwa kita
berserah diri sepenuhnya setelah segala upaya kita jalani.

***

Sumber Referensi:
Gholipour, Bahar. (2014). 5 Ways Fatherhood Changes a Man’s
Brain. https://www.livescience.com/46322-fatherhood-
changes-brain.html. Diakses 25 Maret 2020.
Rosen, Margery D., Diana Kelly. (2020). Why We Need to Talk
More About Male Postpartum Depression.
https://www.parents.com/parenting/dads/sad-dads/
Diakses 25 Maret 2020.
Villano, Matt. (2016). When Dad Struggles After the Baby Arrives.
https://www.psychologytoday.com/us/blog/women-s-
mental-health-matters/201603/when-dad-struggles-after-
the-baby-arrives. Diakses 25 Maret 2020.

Yulia Medhy, dkk


77

AIR MATA AYAH


(Riko Anjuja)

Saat paling sulit yang harus kami hadapi adalah saat membayar
uang sekolah ataupun uang kuliah datang. Ayah dan ibu harus
memikirkan tempat meminjam uang baru lagi. Maklum, gaji
ayah sebagai guru SD saat itu tidak mencukupi kebutuhan
kami sekeluarga. Apalagi untuk membayar uang sekolah atau
kuliah. Tapi tekad dan harapannya, telah membuat se-
mangatnya menjadi berlipat ganda untuk menyekolahkan
anak-anaknya.
“Mau jadi apa kamu? Sudah, sudah, tidak ada ujian-ujian.
Kamu perempuan. Tidak akan bisa dapat pangkat. Toh pada
akhirnya nanti tetap akan jadi ibu rumah tangga!” Demikian
Ibu mengulang-ulang perkataan ayahnya, kakek kami, saat
beliau akan mengikuti ujian Pendidikan Guru Agama Tahun
1965.
Sambil berderai air mata Ibu menceritakannya pada
kami. Kisah yang tidak pernah bosan diulang-ulangnya, jika
semua anak-anaknya berkumpul. Hal itulah yang menjadi

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
78
pelecut semangat ayah dan ibu untuk menyekolahkan anak-
anaknya semampu yang mereka bisa.
Untuk membantu kebutuhan hidup sehari-hari, Ibu
harus tampil dengan multi-peran. Beliau bisa menjadi penjual
lontong sayur, ibu rumah tangga, guru mengaji di rumah
bahkan menjadi petani dari siang hingga sore hari. Sedangkan
Ayah, ketika jam sekolah usai, beliau bergegas pulang untuk
melaksanakan tugas rutin berikutnya, ke sawah atau ke ladang.
Hampir tak ada waktu ayah maupun ibu yang tidak mereka
gunakan untuk bekerja. Rasanya tidak banyak waktu yang bisa
mereka gunakan untuk istirahat.
Biasanya mereka memulai pagi dari pukul empat dini
hari, bahkan bisa lebih awal lagi. Menyiapkan masakan untuk
jualan lontong sayur di sekolah tempat ayah mengajar, salat
Subuh, memastikan semua anak-anak mandi dan makan pagi
sebelum berangkat sekolah serta sederet kegiatan lainnya
mengisi pagi. Jika jam sekolah usai, tanpa komando biasanya
saya bersama ayah langsung berangkat ke sawah atau ke
ladang, sedangkan adik-adik perempuan saya membantu ibu
menyiapkan kebutuhan memasak ibu untuk jualan hari
berikutnya.
Malam hari biasanya kami wajib mengikuti kelas
membaca Al Quran yang kami sebut dengan mengaji. Ibu

Yulia Medhy, dkk


79
bertindak sebagai guru mengaji dengan sepotong lidi,
perangkat utama selain Juz Amma yang selalu ada.
“Ba duo di ateh ban, ba duo di bawah bin, ba duo di dapan bun,
ban, bin, buunnn.” Demikian cara kami diajar membaca Al
Quran di saat itu.
Akhir-akhir ini saya mengetahui, bahwa metode belajar
seperti itu dinamakan “Metode Baghdadiyah” atau di Jawa lebih
dikenal dengan “Turutan”. Ada juga yang menyebutnya
dengan “Alip-alipan”, karena diawali dengan menghafal huruf
Hijaiyyah. Dilihat dari namanya, metode ini berasal dari
Baghdad, Irak. Banyak sumber mengatakan, metode ini ada
sejak zaman Daulah Bani Abbasiyah, namun siapa yang
menyusun metode ini belum ada sumber yang valid. Yang jelas,
metode ini telah membantu kami bisa membaca Al Quran
dengan baik di bawah bimbingan guru terbaik yang pernah
kami miliki, yaitu ayah dan ibu. Demikian biasanya hari-hari
yang kami lewati bersama mereka.
Saat itu, dua orang kakak kami masih kuliah ditambah
dua orang lagi yang masih menimba ilmu di sekolah
menengah, sedangkan kami masih duduk di bangku SD dan
sebagian belum sekolah. Masih segar dalam ingatan saya, jika
awal tahun ajaran baru atau tengah semester datang, Ayah dan
Ibu harus berpikir ekstra keras untuk mendapatkan sumber
uang baru untuk mencukupi kebutuhan uang sekolah atau

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
80
kuliah. Rasanya waktu saat itu berjalan pelan, berjingkat,
bahkan cenderung seperti berhenti. Begitu berat suasana batin
saat itu.
Pernah suatu ketika, saya diajak Ibu berkunjung ke
rumah kerabat untuk meminjam uang guna membayar uang
sekolah yang sudah jatuh tempo. Ayah tak bisa menemani
karena kurang sehat. Hujan turun begitu deras, petir yang
saling bersahutan, kami memakai payung dan senter dengan
dua baterai. Kami menembus malam tanpa menghiraukan
suasana.
“Tenang, Nak. Hujan ini akan segera reda.” Ibu mencoba
menenangkan suasana.
Dalam batin sesungguhnya kami saling merasa khawatir,
tapi tidak terucapkan melalui kata-kata. Alhamdulillah, setiap
kali meminjam uang, hampir tidak pernah kami ditolak.
Belakangan saya ketahui, kuncinya ayah dan ibu hampir tak
pernah terlambat mengembalikan sesuai dengan perjanjian.
Jika waktunya tiba, tetapi uang pinjaman belum bisa di-
kembalikan, biasanya Ibu selalu menjadi diplomat untuk
memberikan penjelasan. Dalam bahasa sederhana, mungkin ini
yang dinamakan komitmen. Setiap kali kesulitan kami yang
hadapi, tetapi selalu ada kemudahan yang diberikan Allah
melalui kebaikan orang lain. Setiap itu juga kami memanjatkan

Yulia Medhy, dkk


81
doa agar kebaikan yang kami terima dibalas Allah dengan
banyak kebaikan yang lain.
Hidup dengan segala keterbatasan itu telah mengajarkan
banyak hal pada kami. Bersyukur, bersabar, empati, saling
menguatkan dan pelajaran hidup lainnya. Kami selalu diberi
kejutan berharga oleh-Nya setiap saat. Walau bagi orang lain
itu adalah hal biasa, tapi bagi kami itu adalah nikmat yang luar
biasa. Tapi yang paling membuat saya terkesan, ayah hampir
tidak pernah menunjukkan kesedihannya, beliau menjadi tiang
kokoh untuk setiap masalah yang datang.
“Jangankan untuk menyekolahkan kalian, berpikir kalian
tumbuh sehat dan menjadi besar saja sudah melebihi
ekspektasi Ibu.” Demikian kata yang sering diulang-ulang Ibu
dalam berbagai kesempatan.
Dalam usia ayah yang tidak muda lagi, saya belum
pernah melihat beliau bersedih, apalagi menangis. Dulu ketika
usia saya masih 6 tahun, Ayah pernah diusir oleh Datuak
(pemangku adat) di kampung kami, karena masalah sepele.
Akibatnya, Ayah mengajak kami semua untuk pindah dari
rumah yang susah payah dibangunnya bersama Ibu. Saat itu
Ibu masih hamil 9 bulan adik saya yang kedua. Saat lahir, ayah
telah menyiapkan nama spesial untuknya.
Ayah menulis dengan sangat baik dalam buku
catatannya. Melewati suka duka kehidupan bersama Ibu, tak

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
82
pernah ayah menunjukkan kesedihannya. Beliau telah me-
nunjukkan kepada saya bagaimana menjadi seorang anak laki-
laki. Ayah telah mengajarkan bahwa setiap anak laki-laki harus
bisa mengerjakan banyak hal, mulai dari bertukang, ke hutan,
sawah, ladang bahkan menjadi guru bagi anak-anak. Demikian
beberapa nasihatnya. Walau sebagian besar belum bisa saya
terapkan sesuai dengan panduan yang beliau ajarkan.
Pada Senin itu, saya tidak akan pernah melupakan
momen yang saya saksikan dengan mata kepala sendiri. Ayah
yang saya kenal laki-laki tegar, yang tidak pernah me-
nunjukkan kesedihannya, yang selalu bisa menetralisir suasana
hatinya, luluh dalam satu dekapan. Beliau harus menerima
kenyataan. Sosok yang telah mendampinginya selama lebih
empat puluh tahun, memenuhi panggilan Sang Khalik.
Bagaimana tidak, berpuluh tahun beliau menjalani hidup
dengan sosok yang saling melengkapi hidupnya. Namun, hari
itu ditinggalkan tanpa aba-aba, tanpa tanda-tanda sebelumnya.
Ibu menggenapkan bilangan usianya. Ayah goyah, pera-
saannya tumpah bersama air mata. Air mata yang pertama kali
saya saksikan semenjak saya mengenal ayah.
Hari ini ayah genap berusia 76 tahun, tapi beliau tidak
lagi bersama kami saat ini. Beliau berpulang memenuhi
panggilan Ilahi 7 bulan lalu, menyusul Ibu yang lebih dulu
pergi 5 tahun yang lalu. Tuhan telah memilihkan tanggal

Yulia Medhy, dkk


83
berpulang yang sama untuk mereka berdua, yaitu tanggal 1
September. Bedanya, Ayah dipanggil sebelum azan Zuhur
sedangkan Ibu sebelum azan Subuh berkumandang.
Paripurna sudah perjuangan, pengorbanan dan peng-
abdian. Sempurna sudah tuntunan teladan, rengkuhan cinta,
kasih sayang bagi anak-anak dan cucu-cucunya. Hari ini kami
tahu bahwa rindu yang paling berat adalah rindu pada
seseorang yang telah dipanggil Allah. Semoga kalian berdua
tenang di sana. Semoga Allah mengganti semua air mata yang
telah tumpah dengan senyuman bahagia. Bersama orang-orang
beriman lainnya. Aamiin.

***

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
85

DIPLOMASI KAKI SAPI


(Aan VK)

“Kamu pilih dipengkal sikil sapi opo dipengkal sikil bayi?1“ geram
Bapak padaku.
Bapak-bapak petugas satpam di kampus ini meng-
angguk-angukkan kepalanya tanda setuju. Aku meliriknya
dengan sebal.
“Kulo2 pengin kuliah di Yogya, Pak. Di UGM,” sahutku
lirih.
“Apa bedanya kuliah di sini sama di Yogya? Nduk, golek
ngelmu kui ora kudu nang kampus mentereng. Niatmu golek ngelmu
opo arep gengsi-gengsian?3“ ucapan Bapak telak tak terbantahkan
lagi.
Aku terdiam, belum sepenuhnya menerima alasan Bapak
tidak mengizinkanku kuliah di kampus ternama itu.

1 Kamu memilih kena tendang kaki sapi atau kaki bayi?


2 Saya
3 Mencari ilmu itu tidak harus di kampus yang keren, niatmu mau sekolah atau mau

mencari gengsi?

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
86
“Satu lagi, Nduk. Kalau jadi bidan, kamu bisa berguna
untuk sesama. Apa kamu nggak seneng kalau bisa membantu
sesama kaummu, menyelamatkan nyawa mereka, menjadi
saksi kehidupan generasi baru?” Bapak masih terus mem-
bujukku.
Itulah sepenggal percakapanku dengan Bapak lebih dari
dua dasawarsa lalu. Ketika itu Bapak begitu bersemangat
bahkan setengah memaksa mendorongku masuk pendidikan
Akademi Kebidanan. Hal itu terjadi setelah aku gagal lolos
UMPTN pada jurusan yang juga diarahkan oleh Bapak,
Kedokteran Umum. Karena merasa bersalah, aku menurut saja.
Walaupun begitu, tanpa restu bapak aku juga mendaftar
di sebuah universitas terkemuka negeri ini di Yogyakarta,
mengambil jurusan diploma Kesehatan Hewan. Aku berpikir
sederhana saja. Kalau nantinya aku diterima, pasti Bapak akan
senang dan bangga. Kenyataannya tidak begitu. Ketika
pengumuman jatuh pada hari yang sama dan aku dinyatakan
lolos kedua-duanya, Bapak tetap menginginkan putri satu-
satunya ini menjadi seorang tenaga kesehatan.
Awalnya, aku yang masih remaja belasan tahun waktu
itu menerima keputusan bapak dan menjalani masa awal
kuliah dengan terpaksa. Yang ada dalam benakku waktu itu
hanyalah betapa tak demokratisnya bapak, hingga anaknya
seolah tak punya hak menentukan nasibnya sendiri.

Yulia Medhy, dkk


87
Nilaiku pada semester awal sungguh amburadul. Baru
pada semester empat kesadaranku mulai tumbuh. Ini pun
karena bapak sering berdialog memberiku gambaran dan
wejangan yang pada akhirnya membuatku sadar bahwa tak
ada satu orang tua pun yang menginginkan keburukan untuk
anaknya. Lulus dari pendidikan, aku tak serta merta bebas
bekerja semauku. Lagi- lagi bapak masih ambil bagian. Ada
pilihan untuk bekerja di rumah sakit atau di institusi
pendidikan sebagai pengajar. Sebenarnya, aku lebih tertarik
menjadi dosen, tapi restu bapak belum bisa kuraih, sementara
ibu, beliau selalu mengikuti apa kata bapak.
“Bapak ingin menyaksikan kamu jadi bidan yang bisa
nyuntik, bukan yang hanya pinter mengajar. Carilah
pengalaman praktik dulu di lapangan. Kalau sudah cukup,
kamu boleh jadi dosen,” komentar Bapak memang selalu
begitu, tidak bertele- tele namun dalam maknanya.
“Dadi wong kui ora usah ngoyo bondo, Nduk. Sing penting
cukup.4“
Sebuah wejangan yang menurutku susah juga di-
terjemahkan. Definisi “cukup” itu tentu bisa berarti kaya juga.
Hehehe ....
“Pak, sebenarnya enak jadi mantri hewan, lho,” kataku
suatu sore ketika kami sedang minum teh di teras.

4 Orang hidup itu tidak usah mengejar harta benda, yang penting cukup.

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
88
Kami sedang membincangkan hal serius. Mengenai Audit
Maternal Perinatal.5
“Opo enake?6“ tanya Bapak.
“Misal nih, Pak. Nolong kelahiran sapi, terus bayi sapinya
itu mati. Kan gampang tinggal dibelikan di pasar. Nah, kalau
bayi manusia? Urusannya itu panjang, Pak. Walaupun
meninggal bukan karena kesalahan kita, tetap saja ada audit
sampai pengadilan.” Aku menjelaskan panjang lebar.
“Lho ... opo ra salah kui, Nduk?7 Bapak nyekolahin kamu itu
biar jadi orang pinter. Ya, jangan sampai meninggal. Bekerjalah
dengan kemampuan terbaikmu, jangan asal.”
Jleb! Nasihat Bapak serasa melemparku ke titik paling
lemah. Bapak selalu punya jawaban jitu dari setiap masalah
yang kutanyakan. Di dekatnya, aku merasa tak pernah ada
jalan yang buntu.
Ketika tiba saatnya memilih jodoh, Bapak pula orang
yang pertama kali kumintai pertimbangan. Mungkin karena
aku anak perempuan satu-satunya, kedekatanku pada bapak
lebih terasa dibandingkan dua adikku yang semuanya laki-laki.
Laki-laki yang melamarku harus sudah lolos “interogasi”

5 Serangkaian kegiatan penelusuran sebab kematian atau kesakitan ibu dan bayi
untuk mencegah terjadinya kasus yang sama di masa mendatang.
6 Apa enaknya?
7 Lho, apa tidak salah, Nak?

Yulia Medhy, dkk


89
bapak yang mendetail. Termasuk ditanya kesanggupannya
membahagiakanku seperti bapak menyayangiku sejak kecil.
Beberapa saat sebelum bapak menikahkanku, menjadi
bagian tak terlupakan dalam hidupku. Bapak berpesan tentang
bagaimana menjadi istri yang baik, tentang tanggung jawabnya
padaku yang sudah tunai sampai di sini, dan dia serahkan pada
laki-laki yangg kelak menjadi suamiku. Aku tergugu waktu itu,
menangis dalam keharuan yang membuncah.

***

Dua puluh tahun berlalu.


Aku terpekur memandangi wajahnya yang sepuh. Gurat-gurat
ketuaan makin jelas di sana. Rambut, jenggot dan kumis,
bahkan kedua alisnya sudah sepenuhnya memutih. Kupegang
telapak tangannya yang dingin. Kucium tangannya dengan
segenap cinta yang memenuhi dadaku. Tangan keriput inilah
yang dulu begitu perkasa menggendongku, membuatkan
berbagai mainan masa kecilku, mengayunkan cangkul tak
kenal lelah untuk menafkahi keluarga kami.
Kini usianya memasuki tahun ke-72. Aku bahagia beliau
dikaruniai tubuh yang bugar dan prima. Maklum, selain
pensiunan guru olahraga, Bapak juga tak pernah melewatkan
harinya tanpa mengunjungi sawah, mencari rumput untuk sapi

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
90
peliharaannya. Bahkan ketika tak ada pekerjaan di sawah,
Bapak tak akan segan untuk membantu mencangkul di lahan
milik saudara atau tetangga sehingga tubuhnya selalu sehat
karena beraktivitas.
Nilai tolong menolong tanpa pamrih ini selalu mewarnai
sepanjang hidupnya. Satu lagi, tak sekalipun kudengar keluhan
keluar dari bibirnya saat menghadapi ketakberdayaan. Yang
ada hanyalah ikhtiar dan berdoa. Entahlah. Aku melihat bukti
nyata ketika hukum semesta menunaikan tugasnya. Siapa yang
menanam, pasti akan menuai. Sepanjang yang kuketahui,
pertolongan selalu datang dari segala arah ketika keluarga
kami di titik nadir. Aku percaya, pasti peran bapak yang selalu
ringan menolong orang lain ada di sana.
Hari ini, aku mengunjunginya untuk melihat ke-
adaannya. Bapak jatuh dari sepeda motor dalam perjalanan ke
sawah sore kemarin. Alhamdulillah tak ada luka serius, tapi
aku tak mengizinkannya beraktivitas lagi untuk sementara
waktu.
Apa tanggapan Bapak? “Awakku pegel nek ora obah,
Nduk.8“ Masya Allah, Bapak ....
Kalimatnya mengingatkanku pada nasihatnya sejak aku
masih duduk di bangku SMA. “Nduk, sebaik-baik manusia itu

8 Badanku pegal- pegal kalau tidak bergerak, Nak.

Yulia Medhy, dkk


91
yang tidak menyusahkan orang lain. Bapak berdoa semoga
sampai usia tua nanti Gusti Allah memberikan kesehatan.”
Doa itu diijabah oleh Allah. Bapak masih produktif di
usia senjanya, subhanallah.
Kini, ketika aku juga sudah menjadi orang tua dari ketiga
putriku, pesan-pesan bapak yang dulu hanya terdengar sepele
di telingaku, perintahnya yang seringkali tak bisa dibantah dan
membuat kesan galak pada dirinya justru menjadi semacam
nutrisi bagi bekal hidupku.
Bapak, di balik sikap tegas dan galakmu, aku tahu kau simpan
cinta indah penuh kasih untukku. Semoga Allah merahmatimu,
menyayangimu seperti kau menyayangiku. I love you, Bapak.

***

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
93

LELAKI PALING SEMPURNA SEDUNIA


(Sri Vindhita Dhaniswari)

Beliau adalah lelaki pertama yang kulihat. Dengan bau khasnya


yang selalu membuatku betah. Tak peduli orang lain meng-
atakan itu bau rokok. Buatku, itu menenangkan. Satu-satunya
bau rokok yang kumaklumi
Lelaki ini adalah lelaki yang sangat penyayang, dengan
caranya. Aku tak pernah melihatnya mengobral kata cinta, atau
mengumbar segala kemesraan ala drama korea. Tapi beliau
sangat memastikan semua berjalan lancar tanpa kendala. Beliau
tak suka air mata, atau ada yang sedih hati dan gundah gulana.
Baginya, semua harus riang gembira, bahagia, dan terpuaskan
hatinya. Beliau tak suka dan tak tega melihat orang susah. Saat
pergi bekerja, bersama seorang supir yang mengendarai
mobilnya, maka ketika pulang ia akan membawa beragam
makanan. Setiap pedagang asongan yang menawarkan
dagangan, baik di lampu merah, atau di SPBU tempatnya
mengisi bensin, pasti dibelinya.

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
94
Makanan itu tidak dibawa semua ke rumah, tapi
dibagikannya kembali pada tetangga-tetangga. Beliau hanya
membawa satu atau dua bungkus untuk keluarganya.
Tidak. Jika kalian pikir beliau adalah orang kaya, kalian
salah. Beliau tak sekaya pejabat negeri, atau artis terkenal. Tapi
beliau adalah orang paling royal yang kutahu. Jika beliau
mengetahui bahwa anak-anaknya suka pada satu penganan,
maka akan membelikannya berdus-dus kemudian. Sampai
anak-anaknya bosan, atau sakit karena terlalu banyak
mengudap makanan itu dalam satu waktu. Ya, kadang beliau
memang berlebihan. Tapi anak-anaknya mengingat semua itu
dengan rasa bahagia dan syukur yang luar biasa.
Di satu masa ketika kehidupan mereka masih merintis,
anaknya meminta mainan robot-robotan. Karena ketidak-
sanggupannya untuk membelikan, maka dengan tangannya
yang terampil membuat boneka Gareng dari kertas karton.
Ditempelkan pada sebilah bambu dan dilengkapi dengan
sistem mekanik tali, sehingga saat tali ditarik, tangan dan kaki
boneka itu akan bergerak-gerak.
Satu ketika, saat anak pertamanya mendapatkan rapor
untuk pertama kali, sang adik mengamuk karena meng-
inginkan hal yang sama, padahal belum sekolah. Beliau dengan
sabarnya membujuk, sambil tangannya dengan cekatan

Yulia Medhy, dkk


95
mengambil beberapa lembar kertas HVS lalu melipat dan
menjilidnya sehingga membentuk seperti buku.
Di bagian depan beliau menulis besar-besar kata
“RAPOR”, seraya berkata, “Ini buku rapor adek, jangan nangis
lagi.” Ajaib, tangis sang adik langsung berhenti. Lalu dengan
gembira membawa-bawa hasil karya itu.
Semua sangat melekat pada benak anak-anaknya sampai
mereka dewasa. Bukan hanya pada anak-anaknya saja beliau
begitu. Keponakan dan saudara-saudara jauhnya pun meng-
atakan demikian, menambah bangga keluarganya. Lelaki yang
tidak begitu tinggi ini adalah lelaki yang tampak galak di luar.
Namun, sebenarnya memiliki hati yang sangat lembut.
Pernah satu waktu, ada anak anjing terjepit pagar rumah.
Suara ibunya melolong-lolong sedih. Ketika mendengarnya,
tak banyak bicara beliau langsung mendekati anak anjing itu
sambil berbicara dengan suaranya yang pelan dan dalam. Suara
yang sama dengan nada yang beliau keluarkan ketika me-
nembang. Induk anjing itu menggeram-geram, mengira anak-
nya akan disakiti.
Tapi beliau dengan sabarnya mengeluarkan kepala anak
anjing itu dari bawah pagar. Agak lama, karena beliau juga tak
ingin tergigit. Saat anak anjing itu berhasil melepaskan diri dan
berlari ke arah induknya, beliau hanya tersenyum lega,
ditimpali suara riuh anak-anaknya yang bertepuk tangan

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
96
bergembira. Di saat itu pula, mereka belajar untuk mau
menolong siapapun. Tak melulu harus mereka kenal. Pun tak
melulu harus manusia.
Begitu pula ketika ada anak kucing yang beliau tahu
terkena aspal cair. Dengan hati-hati dan penuh kelembutan
dilepaskannya aspal itu dari bulu si kucing kecil. Benar-benar
pelajaran berharga bagi anak-anaknya yang menyaksikan.
Namun tak jarang, kebaikannya ini dimanfaatkan oleh orang
yang picik. Ada kalanya kudengar beliau kecewa pada
beberapa orang karena mereka memanfaatkan kemurahan
hatinya. Tapi kuakui, lelaki ini sungguh bijak. Beliau selalu
memilih mundur dan mencari jalan lain daripada ber-
konfrontasi.
Lelaki ini adalah lelaki terpintar yang kutahu. Beliau
sangat menggemari bahasa dan piawai mengalirkan kata-kata
dalam sebuah cerita. Karena beliau adalah seorang yang
humoris dan kocak, maka cerita yang ditulis biasanya adalah
cerita komedi. Baik yang berupa pengalaman pribadi, atau
cerita orang yang disadurnya dalam bentuk cerita pendek.
Ada beberapa buku yang kutahu. Tidak sampai
diterbitkan. Beliau hanya menuliskannya dalam buku tulis atau
kertas A4 yang lalu disampul sendiri. Beliau sangat suka
membaca, terutama fiksi. Semangat itu ditularkan pada anak-
anaknya. Kebanyakan koleksi bukunya adalah tentang hewan,

Yulia Medhy, dkk


97
cerita dongeng dari berbagai negara, termasuk cerita
pewayangan, dan karya penulis-penulis Eropa seperti Enid
Blyton dan H.C. Anderson, serta novel dan komik-komik
dalam negeri. Saking banyaknya, satu ruangan menjadi tempat
buku-buku tersebut bersemayam. Pernah selama beberapa
tahun beliau membuka perpustakaan bernama “Taman
Bacaan”. Cukup ramai kala itu, karena buku ceritanya yang
bisa dibilang lengkap. Namun ketika mulai lebih sibuk,
perpustakaan itu ditutupnya.
Beliau sangat suka seni. Gambarnya sangat indah jika
membuat dekorasi. Buku hasil bikinannya pun tak luput dari
coretan kreasinya. Begitupun tulisannya. Beliau bisa menulis
dengan tinta seperti pada zaman dahulu. Tebal-tipisnya sangat
pas. Bahkan lebih sering menulis dengan tinta tersebut
dibandingkan dengan pulpen atau pensil. Itu yang kutahu.
Bagiku, beliau adalah seniman serba bisa. Karena sense of
music yang sangat tinggi. Berbagai alat musik sangat di-
kuasainya. Dari gitar, organ, sampai harmonika dan kecapi.
Dulu, ketika masih muda, beliau pernah menjadi seorang
dalang. Mungkin dari situ pula keahlian menembang dan
berceritanya terasah.
Lelaki ini pada dasarnya adalah pembelajar sejati. Dari
beragam alat musik sampai komputer, mampu dikuasainya.
Brillian. Itulah kata yang tepat untuk mendeskripsikan

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
98
otaknya. Sepertinya di sana selalu ada ide kreatif yang bertunas
setiap saat, menunggu untuk dipupuknya dan disiram dengan
baik. O ya, satu sebutan lagi untuknya. Workaholic.
Beliau sangat senang menjadi konseptor. Membuat hal-
hal baru, mendirikan berbagai lembaga pendidikan, dan
membuat modul-modul pelajaran. Bahasa Inggris utamanya,
sebagai dasar ilmu yang dipelajarinya.
Kamu akan menemukannya di depan komputer sampai
larut malam, sementara anak-anaknya tertidur sambil men-
dengarkan suara dengungan PC. Tempat favoritnya selain itu
adalah meja makan dan depan TV jika sedang ada per-
tandingan tinju.
Sangat jarang aku melihatnya marah. Yang kutahu,
marahnya hampr selalu dalam kata-kata pendek, atau dalam
diam. Hanya raut wajahnya saja yang menyiratkan kekesalan
dan kemarahan. Tapi beliau adalah lelaki yang sungguh keras
kepala. Jika memiliki keinginan, maka akan berusaha me-
wujudkannya dengan segala cara yang beliau mampu. Yang
halal dan sesuai aturan tentu saja.
Lelaki ini tak pernah mengeluh sakit. Bahkan setahuku,
beliau tak pernah sakit. Sehingga ketika tiba-tiba tidak bisa
masuk kantor selama beberapa waktu, tentu saja itu
mengejutkan. Lebih mengagetkan lagi ketika tahu bahwa
sakitnya adalah kanker otak stadium 4.

Yulia Medhy, dkk


99
Beliau berhenti bicara dan beraktivitas sejak saat itu.
Tidak mau makan dan minum. Membuat sedih seluruh
keluarganya. Satu hari tubuhnya tak sanggup lagi, mem-
buatnya harus dirawat untuk menyetabilkan kondisi. Bukan
untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Sakitnya tak lama,
hanya sekitar 4 bulan saja. Namun itu adalah satu caturwulan
terpanjang yang pernah terjadi dalam keluarga tersebut.
Pernah satu kali, anaknya hendak berangkat kuliah.
Beliau yang sedang duduk di sofa ruang tengah menatap
dengan wajah khawatir, namun tak mampu untuk meng-
ucapkan sepatah kata pun. Sang istri yang baru keluar dari
kamar melihat pemandangan itu. Lelaki paruh baya tersebut
menoleh pada istrinya, tetap dalam diam, dan tetap dengan
raut wajah yang sama. Sang istri lalu berkata dengan nada
menenangkan, “Sudah, sudah diberi ongkos.” Seketika raut
wajah yang asalnya berkerut resah itu perlahan mulai hilang.
Berganti dengan raut tenang.
Kondisinya makin lama semakin lemah dan lalu tak kuat
lagi menopang tubuhnya sendiri. Beliau lalu ditempatkan di
satu tempat tidur khusus, dilengkapi selang sonde karena
ketidaksanggupannya untuk mencerna makanan secara oral.
Sebelum meninggal, lelaki yang kutahu tak pernah
menangis itu mengalirkan air mata. Mungkin air mata per-
pisahan bagi seluruh keluarga yang dicintai dan disayanginya

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
100
dengan segenap jiwa dan raga. Saat itu kutahu, telah tuntas
seluruh tugasnya di dunia. Beliau pergi dengan tenang di suatu
pagi, saat semua anak dan istrinya sedang berkumpul di
rumah.
Aku mengingat lelaki ini sebagai Bapakku.

***

*Batujajar, Maret 2020

Yulia Medhy, dkk


101

PAPA IS MY HERO
(Primadora Khairul)

Semasa hidupnya Papa selalu memberikan pengajaran tentang


pembelajaran hidup yang terbaik buat kami 9 bersaudara. Papa
tidak pernah membeda-bedakan kasih sayangnya kepada kami
semua, walaupun terkadang adik-adikku merasa papa lebih
menyayangiku sebagai kakak tertua.
Kuakui itu semua, karena dengan jumlah adik yang
banyak terkadang naluriku sebagai seorang anak pertama,
sangat menginginkan kasih sayang yang berlebih dari kedua
orang tua. Terkadang aku juga merasa egois. Setiap yang
kuminta semua harus diwujudkan oleh papa dan mama.
Tetapi itu dulu tatkala semua serba ada. Saat keluarga
kami lengkap karena ada papa. Sekarang kegoisan dan
kemanjaanku telah sirna, karena aku adalah kakak tertua yang
harus mengayomi dan melindungi semua adik-adikku guna
membantu perjuangan mama ditambah lagi mama sekarang
sudah pensiun.

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
102
Papa menjadi tempat bagiku untuk berkeluh kesah
karena aku lebih dekat dengannya dibandingkan dengan
mama, karena mamaku orangnya cerewet. Pernah waktu itu
aku mengalami masa-masa sulit untuk menyelesaikan
skripsiku. Papa adalah orang pertama yang kutelepon untuk
meluahkan rasa kecewa di hatiku. Bahkan aku ngobrol dengan
Papa sampai berjam-jam agar seluruh isi hatiku tersampaikan
kepadanya. Aku sampai menangis sejadi-jadinya, tetapi Papa
selalu setia mendengarkan keluhan serta tangisanku sampai
aku benar-benar tenang. Beliau adalah orang yang paling sabar
dan pendengar yang baik di atas dunia ini.
Setelah aku tenang, baru Papa membujuk dan me-
nenangkanku dengan caranya yang khas. Setelah memberikan
nasihatnya yang panjang lebar, kemudian Papa akan mem-
berikan guyonan sampai aku tertawa lepas sehingga tak ingat
lagi masalah yang dihadapi. Meskipun aku sebenarnya tahu
kalau di ujung sana Papa menangis untukku, tetapi beliau tidak
pernah sama sekali menunjukkan air matanya kepada kami
anak-anaknya. Alhamdulillah berkat kesabaran Papa yang
selalu memotivasiku, akhirnya aku bisa mempersembahkan
dengan bangga kepadanya keberhasilanku untuk menjadi
wisudawati dengan nilai cumlaud sekaligus mendapatkan
predikat lulusan terbaik.
Papa, orangnya tidak banyak bicara tetapi selalu murah
senyum dan berkharisma sehingga siapapun mudah dekat dan

Yulia Medhy, dkk


103
bisa bercerita tentang apapun dengannya. Kalau sudah
berkaitan dengan nasihat, Papa tidak ada bandingannnya
dengan yang lain. Pasti ada saja solusi yang diberikannya
sehingga tidak ada lagi kata-kata yang terbantahkan darinya.
Setiap ada masalah dalam keluarga, kami selalu men-
diskusikannya terlebih dahulu, sehingga dalam keluarga
besarku Papa juga menjadi menantu sekaligus panutan bagi
adik-adik Mama karena kedua orang tuaku membantu
menyekolahkan mereka. Papa selalu bisa menempatkan diri
sebagai pemimpin dalam keluarga juga pemimpin di
masyarakat karena profesi Papa dulunya adalah kepala desa
yang sangat dihormati dan disegani oleh masyarakatnya.
Papa adalah sang pemberi solusi terbaik dikeluarga besar
mama yang seluruhnya berjumlah 75 orang. Mulai dari anak,
menantu, cucu, sampai cicit. Kalau kami berkumpul untuk
pulang kampung, terutama pas hari lebaran maka rumah
nenek dan rumahku akan penuh semua.
Masih banyak kenangan yang tak bisa kuungkapkan dari
memori hatiku buat Papa tercinta, yang menjadi pahlawan
dalam hidupku dan keluargaku. Papa adalah orang yang
paling sabar dan mulia di atas bumi ini bagi kami. Beliau adalah
sosok pekerja keras dan tidak pernah sama sekali menunjukkan
amarahnya kepada kami, walaupun sudah membuat Papa
jengkel dengan tingkah laku kami anaknya. Papaku meninggal

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
104
saat kami sangat butuh kasih sayangnya. Waktu itu usia Papa
baru paruh baya. Beliau meninggal di usianya 52 Tahun.
Beliau dipanggil Allah karena penyakit stroke yang
diderita semenjak tahun 2005. Tepat tanggal 6 Februari 2006
Papa meninggalkan kami semua untuk selama-lamanya. Suatu
hal yang membuat kami bersedih adalah saat keinginan
kuatnya untuk sembuh dari penyakit stroke tapi beliau tidak
punya kesempatan banyak untuk berkumpul dengan kami
lebih lama lagi.
Kami anak-anaknya belajar banyak selama Papa sakit.
Beliau memberikan pembelajaran hidup kepada kami semua
bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Bagaimana cara
memotivasi diri sendiri untuk sehat, jangan banyak mengeluh,
dan selalu berpikiran positif kepada Allah. Sementara kami saat
itu masih muda dan kecil-kecil. Belum banyak yang kami
mengerti tentang hidup dan bagaimana kerasnya dunia ini.
Kami hanya bisa mengeluh dan kurang bersyukur atas
pemberian-Nya.
Dengan keterbatasan beliau menggerakkan sebagian
anggota tubuhnya, Papa memberikan isyarat secara tidak
langsung kepada kami bahwa, hidup didunia ini tidak mudah.
Tetapi tidak ada yang tidak mungkin kalau niat hati kita ingin
berusaha maka semuanya akan dimudahkan oleh Allah.
Aku ingat betul bagaimana saat Papa pertama kali
terserang stroke. Mama dan aku melarikan Papa ke rumah sakit

Yulia Medhy, dkk


105
menggunakan mobil pribadi teman Papa yang tinggal tak jauh
dari rumah kami. Saat itu aku langsung panik, karena Papa
tidak bisa bergerak sama sekali, tapi kukuatkan hatiku untuk
tidak menangis dan panik di depan Mama. Aku juga takut
nanti kondisi Mama jadi drop karena Mama juga memiliki
riwayat penyakit tensi tinggi dan gula. Aku mulai cemas.
Kulihat wajah Mama. Beliau menangis karena Papa tidak juga
bangun. Kupegang tangan Papa erat-erat tapi tidak ada respon.
Kepalaku langsung terasa sakit, pandanganku terasa kabur.
Aku langsung memeluk tubuh Papa dengan erat.
Aku tahu apa yang sedang Mama pikirkan saat itu.
Sebenarnya dalam hatinya berkecamuk apa yang akan terjadi
pada kami semua kalau Papa sakit. Kami semua tidak
menyangka kondisi Papa akan seperti ini. Papa adalah pria
yang kuat. Sesibuk-sibuknya Papa di kantornya, pergi pagi
pulang kadang sudah malam karena menyelesaikan masalah
yang ada di desa, Papa tidak pernah mengeluh dan tidak
pernah sakit.
Setibanya di rumah sakit Papa langsung dibawa ke
ruangan UGD. Alhamdulillah semua tim medis menangani
Papa dengan begitu cepat dan cekatan. Kulihat perawat
langsung mengukur tensi Papa dan di bagian dadanya
dipasang alat deteksi jantung. Aku hanya bisa melihat Papa
dari kejauhan. Air mataku terus mengalir membanjiri pipi. Aku
tak peduli dengan siapapun yang ada di sekelilingku. Sayup-

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
106
sayup terdengar suara dokter berbicara kepada Mama kalau
Papa tidak bisa lagi mereka tolong.
Tepat jam 10.15 malam itu, adalah jam di mana Papa
meninggalkan kami semua. Bumi terasa berhenti. Aku merasa
sebagian jiwaku dan energiku telah dibawa Papa untuk
selamanya. Aku akhirnya tersadar seluruhnya atas kehendak-
Nya. Manusia hanya bisa berencana tetapi semua adalah
keputusan-Nya. Kepalaku terasa pusing. Mataku berkunang-
kunang. Seluruh badanku terasa lemas. Aku tidak kuat lagi dan
akhirnya terkulai di lantai. Dengan cepat Mama merangkul
tubuhku dan langsung menidurkanku di lantai. Tidak lama
setelah pingsan, aku terbangun karena suara Mama
memanggil-manggil namaku.
Aku hanya terduduk lemas sambil memeluk Mama
dengan erat. Kupandangi wajah sendu Mama yang
memandang ke depan dengan tatapan kosong. Aku sangat
sedih sekali dan tidak bisa berpikir banyak, membayangkan
bagaimana dengan nasib kami, adikku masih kecil-kecil dan
membutuhkan biaya yang banyak untuk sekolahnya. Entah
kenapa saat ini aku sangat merindukan papa, guyonan dan
nasihat papa. Akhirnya aku menangis lagi. Semua terasa
bagaikan mimpi bagiku. Aku berharap memang ini hanya
mimpi, tetapi setiap kukucek-kucek mataku ternyata ini adalah
kenyataan pahit yang harus kami rasakan karena ditinggalkan
Papa untuk selama-lamanya.

Yulia Medhy, dkk


107
Selang waktu berjalan, kami melewati masa-masa sulit
itu. Adik-adik Mama juga bahu-membahu membantu kami
baik secara moril maupun materil. Dengan penuh keyakinan
kami menatap masa depan dengan penuh semangat. Seperti
yang diajarkan mendiang Papa kepada kami bahwa rezeki,
maut dan jodoh semua ditentukan oleh Allah tetapi kita harus
tetap selalu berikhtiar. Kami akan selalu mengingat nasihat
beliau semasa hidupnya, untuk tidak mengeluh, jangan suka
bermalas-malasan, selalu menabung agar suatu waktu kalau
tidak ada uang bisa kami manfaatkan.
Alhamdulillah sekarang anak-anak Papa sudah besar dan
dewasa. 4 orang sudah bekeluarga dan berhasil berkat didikan
Papa semasa hidupnya, Aku sendiri berprofesi sebagai Guru
PNS dan sudah sertifikasi. Yang nomor dua adikku Lusi juga
sudah PNS, berprofesi sebagai Kepala Ruangan Bedah di
Rumah Sakit di kampungku, dia lulusan Fakultas kedokteran
jurusan keperawatan UNAND. Adikku nomor tiga, Reno juga
sudah PNS sebagai penyuluh kesehatan masyarakat di
Puskesmas Pasundan-Bandung. Dia dulunya juga kuliah di
kampus yang sama dengan Lusi tetapi jurusannya adalah
Kesehatan Masyarakat.
Berikutnya, Beta juga sudah bekerja di perusahaan kertas.
Nomor 4 adikku namanya Gama juga sudah berkeluarga dan
bekerja di bagian rontgen di Rumas Sakit Daerah di Tanjung
Pinang, Nomor 5 adikku Alfa baru tamat kuliah di Tekhnik

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
108
Pertambangan UNP, kemudian nomor 6 adikku Yance saat ini
sedang menyelesaikan skripsinya di Tekhnik Industri UPI
Padang. Sedangkan adikku nomor 8 Primadona, baru saja
menyelesaikan kuliahnya di Universitas Bakrie-Jakarta, tetapi
karena virus corona, dia kami suruh istrahat dulu di kampung.
Adikku yang paling bontot yaitu Kiky sudah menyelesaikan
pendidikannya di SMK Penerbangan di Padang.
Semoga Papa selalu tenang dan tersenyum di surganya
Allah. Bahagia melihat kami telah berhasil berjuang me-
lanjutkan hidup. Dalam setiap sujud-sujudku, aku senantiasa
berharap Allah membalas setiap kebaikan Papa dan memohon
agar Allah berkenan mempertemukan kami.
Walaupun ragamu tak lagi di sisi. Walau kita tidak lagi berpijak
pada bumi yang sama. Kami percaya doa dan harapan tulus dari kami
anak-anakmu akan sampai ke singgasanamu di janah-Nya. Aamiin.
Kami semua mencintai Papa ....

***

Yulia Medhy, dkk


109

AYAHKU IDOLAKU
(Titik Suryaningsih)

“Selamat pagi, Dok,’’ sapa Pak Mul. Beliau adalah komandan


di klinik Bhayangkara.
“Pagi juga, Ndan,’’ jawab Dokter Tina.
Dokter Tina adalah dokter klinik Bhayangkara yang
bernaung di bawah Kepolisian Resor (disingkat Polres) yaitu
struktur komando Kepolisian Republik Indonesia di daerah
kabupaten atau kota.
“Begini, Dok. Besok kita ke daerah–daerah tujuan
pertama ke Kepolisian Sektor Cepogo, ya, Dok.’’ Pak Mul
menjelaskan dengan seksama.
Kepolisian Sektor (Polsek) adalah struktur komando
Kepolisian Republik Indonesia di tingkat kecamatan.
“Siap, Ndan,” jawab Dokter Tina tegas.
Bekerja di instansi kepolisian diajarkan disiplin yang
tinggi, pagi jam 06.00 WIB sudah siap untuk berangkat ke
daerah yang dituju. Hari ini 3 Polsek yang harus dikunjungi

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
110
Tina yaitu Polsek Cepogo, Selo, dan Ampel. Hati Tina bahagia
sekali karena tidak duduk manis di kantor menunggu pasien,
melainkan jalan-jalan di benaknya.
“Pak Mul, ini saya napak tilas.” Percakapan dimulai Tina
saat berangkat naik ambulans.
“Kok bias, Dok?” tanya Pak Mul.
“Iya. Saat kecil saya sering diajak ayah saya ke daerah-
daerah. Pusat kesehatan masyarakat keliling, Pak. Bedanya
dulu ke Puskesmas, sekarang ke Polsek. Itu berlangsung di kala
liburan sekolah.” Terang Tina.
Tina langsung termenung teringat ayahnya yang sayang
dan selalu ada buatnya, karena ibunya JARUM SUPER.
Bukannya itu merek rokok, ternyata itu kepanjangan dari
jarang di rumah suka pergi. Begitulah ibu. Ibu asyik dengan
pekerjaannya sebagai pedagang yang harus melayani penjual
dan pembeli.
Mereka sadar akan hal itu. Perginya ibu bukan karena
hura-hura tapi memang membantu ayah untuk mencari nafkah
Tina dan keluarga besarnya. Tina anak kelima dari lima
bersaudara. Yang menuruni keahlian ayahnya hanya dia,
karena keempat kakaknya tidak mau terjun ke tenaga medis.
Alasan kakaknya bukunya tebal–tebal. Malas belajarnya.

Yulia Medhy, dkk


111
Sebetulnya Tina juga tidak dipaksa ayahnya untuk
masuk kedokteran. Tina sendiri yang mempunyai cita–cita jadi
dokter bahkan karena melihat ayahnya sering merokok. Dokter
spesialis paru–paru yang jadi cita–citanya.
“Yah, maafkan Tina. Tina cuman jadi dokter umum.”
Suatu sore Tina berkunjung saat ibunya sakit.
“Tidak apa–apa. Ayah bersyukur kamu jadi dokter.
Daripada Ayah hanya seorang mantri. Anak itu harus lebih
tinggi dari orang tuanya,” jawab ayah Tina.
Mantri adalah sebutan perawat di desa yang mengobati
para penduduk. Atau pada zaman dahulu mantri merupakan
suatu jabatan untuk perawat senior yang sudah mampu
membimbing beberapa perawat. Zaman dulu dokter tidak
sebanyak sekarang. Tugas mantri di desa seperti dokter bahkan
melebihi.
Inilah yang membuat semangat Tina menjadi seorang
dokter, melihat kehidupan sehari–hari ayahnya yang tidak
mengenal lelah. Pagi sudah ditunggu pasien, pulang kantor
sudah ada yang menunggu untuk periksa. Bahkan tengah
malam ada yang meminta ke rumah untuk memeriksa
keluarganya yang sakit pun berangkat.
Di kantor Puskesmas ayah Tina bisa dikatakan senior
walaupun ada beberapa orang yang sebaya dengannya. Ayah

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
112
Tina sangatlah terkenal di kecamatan Cepogo karena ke-
dekatannya dengan para penduduk. Selalu siap siaga apabila
ada yang memanggilnya untuk berobat.
“Assalaamu’alaikum.”
Tina masuk rumah pulang dari indekos karena sekolah di
Yogyakarta. Pulang satu minggu sekali atau dua minggu sekali
tergantung banyak sedikitnya tugas jadi mahasiswa ke-
dokteran.
“Waalaikumussalam wr wb,” jawab ayah Tina. “Pulang,
Nak? Apa uang sakunya habis?” goda sang ayah.
“Tidak, Yah. Besok mau cari bahan buat tugas akhir di
kantor BPKBN,” kata Tina.
“Besuk kalau ke kantor badan pemeriksaan keluarga
berencana nasional nemui mbak Asih, pasti dibantu.” Terang
ayahnya.
“Siap, Yah. Matur nuwun (Terima kasih),” jawab Tina
dengan semangat.
Salah satu yang disukai Tina, setiap dibutuhkan,
ayahnya selalu ada dan selalu membantunya. Tina merasa
bahagia sekali selalu dibantu dan diperhatikan ayahnya.
“Tina mau ikut tidak, Ayah mau jemput ibu ke Boyolali?”
tanya ayahnya.

Yulia Medhy, dkk


113
“Ikut, Yah. Di rumah sendiri. Tidak enak. Sepi,” jawab
Tina.
Akhirnya Tina dan ayahnya berangkat, setelah salat Isya.
“Tadi janjian jam berapa, Yah, sama ibu?” Tina me-
mecahkan suasana yang hening di mobil itu.
Saat itu tidak seperti sekarang sudah banyak telepon
seluler. Sudah hampir sampai baru kasih kabar.
“Sebelum berangkat ke Sragen, ibumu bilang kalau suruh
jemput jam sembilan,” jawab ayahnya.
“Baru Jam setengan delapan, Yah,” kata Tina.
Begitulah ayah, tidak mau terlambat menjemput ibu.
Masih dua jam sudah berangkat. Ayah tidak mau terlambat
menjemput. Kasihan kalau ibu harus menunggu sedangkan
angkutan bis antar kota tidak bisa ditentukan waktunya.
Kadang tepat waktu kadang molor. Renung Tina dalam hati.
“Mau makan apa kamu, Tin?” tanya ayahnya setelah
memarkirkan mobilnya.
“Pecel lele di depan itu saja, Yah. Kayaknya enak. Bau
sambelnya sampai ke hidung,” celoteh Tina diikuti senyum
ayahnya.
Ini juga salah satu kesukaan Tina, kalau diajak pergi sama
ayahnya pasti beli makan dan pasti suruh memlih apa
kesukaannya. Duduk berdampingan bersama ayahnya me-

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
114
rupakan kebahagiaan tersendiri. Apalagi sambil makan pecel
lele kesukaan Tina, kalau ayahnya ayam goreng. Sambal di
warung itu memang terkenal enak karena yang masak laki-laki,
cerita ayah Tina. Sambil sesekali Tina melihat ke jalan kalau ada
bis berhenti melihat ibunya turun dari bis. Hal ini salah satu
kesukaan Tina bila pulang akhir pekan diajak ayahnya jemput
ibu, berlangsung sebulan sekali atau dua bulan sekali bahkan
berbulan-bulan. Membuat kenangan yang tidak bisa di-
lupakan.
Tina lima bersaudara. Empat saudaranya sudah pada
menikah dan tinggal di berbagai kota. Jarak Tina dengan kakak
nomor empat kurang lebih sepuluh tahun. Tina anak bungsu
dari lima bersaudara. Tetapi tidak seperti anak-anak bungsu
yang lainnya, kebanyakan anak bungsu itu manja dan apapun
permintaannya dikasih. Hal ini berbeda dengan Tina. Tina
harus bantu semua pekerjaan rumah ayah dan ibunya kalau
liburan tiba.
Saatnya wisuda sarjana kedokteran, karena ibunya perias
pengantin, Tina tidak pusing mencari salon. Pagi itu Tina dirias
ibunya. Ayahnya menunggu di sebelah sambil membaca koran.
Entah kenapa Tina tidak sengaja melihat mata ayahnya
memerah. Ada tetesan yang membasahi koran yang dibacanya.
Ayahnya merasa terharu akhirnya ada yang bisa meneruskan

Yulia Medhy, dkk


115
cita-citanya dari kelima putra putrinya. Bahkan tidak cuma
mantri kesehatan atau perawat, ini seorang dokter. Ayah Tina
sangat bersyukur atas nikmat-Nya. Begitu juga Tina bisa
membahagiakan kedua orang tuanya adalah sesuatu nikmat
tersendiri untuk mensyukuri-Nya.
Setelah beberapa bulan kelulusan itu, Tina mendapat
jodoh sesama profesi. Seorang dokter dengan dua adik. Ayah
Tina merasa bahagia sekali anaknya yang bungsu mendapat
jodoh anak sulung dokter pula. Setidaknya bisa melindungi
seperti kakak terhadap adiknya. Sampai akad nikah mereka
tiba, tak terbendung sudah air mata kebahagian itu.
“Ayah engkaulah segalanya bagi Tina,” kenangnya.

***

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
117

MINGGU TERAKHIR BERSAMA AYAH


(Merida Merry)

Hatiku terhenyak ketika melihat tayangan berita tentang


perlakuan buruk ayah tiri kepada anak tirinya. Tidak
tanggung-tanggung. Tiga berita beruntun memperlihatkan
kasus berbeda. Pelecehan, pemerkosaan, hingga pembunuhan.
Membuatku bergidik ngeri.
Orang-orang bilang ayah tiri itu sama dengan ayah
ruting. Ikan ruting atau ikan gabus memiliki perilaku berbeda
dengan ikan jenis lainnya. Ruting jantan menyimpan anak-
anaknya di dalam mulut. Meskipun tidak ada penelitian yang
membuktikan bahwa ruting jantan ini memakan anak-anaknya,
namun di kalangan masyarakat telah tertanam stigma negatif
bahwa ikan ruting jantan memakan anak-anaknya. Makanya
tidak heran jika stigma negatif itu muncul, karena yang marak
jadi pemberitaan sekarang ini adalah tentang perlakuan buruk
ayah tiri.

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
118
Ingatanku melayang kepada ayah. Seorang lelaki
sederhana, tidak banyak bicara, perkerja keras, namun tidak
sungkan bertingkah lucu untuk membuat anak-anaknya
tertawa.
Ketika ayah menikahi ibu, status ibu adalah janda dengan
5 orang anak yang usianya beranjak remaja. Jika ayah pria yang
bejat, bukan tidak mungkin ia akan tergoda dengan anak-anak
tirinya yang sedang ranum itu.
Tetapi tidak dengan ayah. Hati dan pikirannya begitu
bersih. Hingga akhir hayatnya tidak pernah sekalipun aku
mendengar berita miring perlakuan ayah terhadap anak
tirinya. Jangankan melecehkan, berkata kasar pun ayah tidak
pernah.
Ayah selalu berkata dengan suara yang lembut, “Jangan
pernah memarahi anak saat makan, nanti perutnya bisa sakit.
Jangan marahi anak saat belajar, nanti dia jadi bodoh. Jangan
marahi anak sebelum tidur, nanti dia mimpi buruk.” Itu adalah
beberapa nasihat ayah kepada ibu yang sangat membekas di
ingatanku.
Saat di dekat ayah, kami merasa suasana begitu tenang
dan damai. Ayah sangat baik, santun, adil dan penuh kasih
sayang dalam memperlakukan kami semua. Dia tidak pernah
membedakan anak kandung dan anak tiri. Baginya, anak-anak

Yulia Medhy, dkk


119
istrinya, adalah anak-anaknya juga. Bahkan sebagai satu-
satunya anak kandung, aku baru mengetahui fakta kami
berbeda setelah duduk di bangku SMA.
Tetapi, sayang di hari tuanya, ketika tubuhnya renta oleh
usia, ketika tubuhnya keropos diserang stroke, anak-anak yang
diperjuangkannya dengan penuh perhatian justru abai dan
tidak peduli. Di hari tuanya, di saat beliau tidak lagi mampu
berkarya dan menghasilkan pundi-pundi uang, ayah harus
menghabiskan sisa hidupnya dengan tergolek di kasur tipis,
tanpa fasilitas memadai.
Lupakan kasur empuk, lupakan ruangan yang bersih.
Ayah bisa makan dan minum obat dengan teratur saja aku
sudah sangat bersyukur. Aku si anak kandung. Tidak berdaya
berbuat banyak. Penghasilanku sebagai SPG hanya cukup
untuk biaya hidup sehari-hari saja.
Suatu waktu pernah aku dengar ibu meminta belas kasih
dari anak-anaknya yang lain, tapi masing-masing mereka
punya alasan yang membuat ibu harus menebalkan muka di
depan ayah. Aku yakin, ibu pasti sangat malu kepada ayah.
Anak-anaknya berperilaku seperti kacang yang lupa dengan
kulitnya.
Tapi meski begitu tidak sekalipun aku melihat raut sedih
di wajah ayah ketika mendengar ibu mengeluh. Ayah juga

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
120
tidak berkata banyak, namun aku sangat yakin dalam diamnya
ayah pasti menyimpan lara.
Coba tanyakan pada diri kita, jika berada di posisi beliau.
Yakinkah tidak meneteskan air mata? Seumur hidup kau
habiskan waktu untuk menghidupi orang lain. Di saat kau
susah dan terpuruk semua menjauh. Kau dianggap beban yang
membuat hidup mereka semakin sulit.
Aku sedih membayangkan nasib ayah. Jika saja ayah
egois, dengan semua kerja kerasnya selama ini setidaknya ia
bisa tidur nyaman di kasur yang empuk. Bukan di ranjang kecil
dengan kasur tipis.
Ayah, dalam diamnya, di balik senyumnya yang selalu
mengembang, pasti ada butiran bening yang beliau tahan.
Ayah, maafkan aku tidak bisa berbuat banyak di hari tuamu.
Maafkan aku tidak bisa membahagiakanmu.
Ayah, hatimu sungguh seluas samudra. Cintamu tidak
lekang oleh waktu. Hatimu begitu tulus. Ketika aku
mengumpat dengan kesal karena keadaan, tangan keriputnya
meraih tanganku, menuntunku untuk duduk di sampingnya.
“Hidup kita sudah ada yang mengatur, Nak. Jangan
kecewa dengan kakak-kakakmu. Berlapang dadalah. Doakan
kebaikan untuk mereka dan keluarganya. Dengan begitu tidak

Yulia Medhy, dkk


121
akan pernah ada penyesalan di hati Ayah.” Dengan tersendat,
kata-kata itu meluncur dari mulutnya.
Ada sedikit butiran bening mengambang di sudut
matanya. Ayah berusaha mengalihkan pandangannya, tapi aku
terlanjur tahu. Aku terlanjur melihat. Bulir-bulir itu mengalir di
pipinya. Untuk pertama kalinya aku melihat sosok tegar itu
meneteskan air matanya. Sosok yang selalu menampakkan
senyum itu menahan isaknya di balik bahunya yang
terguncang.
Ayah, menangislah jika itu bisa membuat dadamu terasa
lebih ringan! Teriakku dalam hati seraya memeluknya dengan
erat. Aku tidak sanggup menahan haru melihat pemandangan
indah di hadapanku saat ini. Ayah, dengan semua ke-
terbatasannya dalam berbicara, masih berupaya meluruskan
pikiran anaknya yang mulai tersesat.
Ayah dengan semua ilmu ikhlasnya telah mengajarkanku
bahwa kebaikan bukan untuk diungkit-ungkit. Perbuatan baik
tidak untuk menuntut balas. Perbuatan baik bukan untuk
dibanggakan. Perbuatan baik adalah fitrah manusia.
Ayah, betapa aku kagum akan kemuliaan hatimu.
Bagiku, ayah adalah malaikat tak bersayap, yang selalu
memberi inspirasi akan makna kebaikan yang sesungguhnya.

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
122
Ayah, setiap detik akan kulangitkan doa untukmu.
Bermohon kepada-Nya agar semua yang engkau lakukan
semasa hidup bernilai ibadah di sisi-Nya.
Hari ini, aku melihat senyum itu mengembang dalam
keabadian. Aku tidak pernah menyangka kalau hari ini
merupakan hari Minggu terakhir bersama ayah.
“Selamat jalan, Ayah.
Selamat jalan malaikat tak bersayapku.
Sekarang tidak sakit lagi ‘kan, Yah?
Sekarang sudah tidak sedih lagi ‘kan, Yah?
Berbahagialah Bersama-Nya, Ayah Sayang.
Insya Allah, kita bertemu di surga-Nya kelak.”

***

*Pekanbaru, 6 Mei 2007

Yulia Medhy, dkk


123

Yulia Medhy adalah nama pena dari Yulia Zafitri.


Lahir di Padang, 38 tahun silam. Bunda Atha
Kentzie Mubarack ini sehari-hari berbisnis properti.
Baginya menulis adalah panggilan jiwa. Berawal
dari menulis artikel di beberapa media online, akhirnya tertarik
dengan buku antologi.
Tahun 2019-2020 sudah memiliki lebih 20 antologi dari
berbagai komunitas menulis yang diikuti. Air Mata Ayah ini
adalah event keenam penulis sebagai seorang PJ Nubar di
Rumedia, setelah sebelumnya ada Wanita Teristimewa, Aku Ingin
Lepas, Anakku Inspirasiku, Samara Bersamamu, dan Sang
Penggoda.
“Menebar manfaat lewat tulisan” itulah motto penulis.
Ingin berkenalan dengannya, bisa ke alamat email

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
124
juliamedhy02@gmail.com atau FB. Yulia Medhy dan WA:
081268891136.

Vethria Rahmi terdidik mulai dari Tk Islam, SD,


MTsN, MAN dan UIN Imam Bonjol Sumbar. Hobi
menulisnya sejak usia sekolah dasar hingga kuliah.
Setelah belasan tahun bekerja sebagai ASN di
Kementerian Agama, menggiringnya kembali ke dunia literasi.
Sebagai salah seorang redaktur majalah bulanan kantornya,
sudah ribuan tulisan yang dikemas dalam bentuk berita
muncul di website lembaganya bahkan di media online
nasional. Bahkan puluhan artikel pernah ditulisnya, baik di
media cetak maupun online. ASN yang juga kerap dipercaya
sebagai MC, moderator.

Dewi Sartika Harianja lahir di Onan Gultom,


Pangaribuan, Sumatera Utara pada tanggal 9 Juli
1989. Sejak di bangku kuliah aktif menulis dalam
buletin organisasi. Tahun 2019 turut berpartisipasi
sebagai kontributor dalam buku nubar penerbit Rumedia
berjudul “Hero”.

Yulia Medhy, dkk


125
Sekarang penulis mengabdikan diri sebagai pendidik di
SMK N 1 Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi
Sumatera Utara.

Maepurpple nama pena dari Maemunah, S.Pd.I.,


Lahir di kota Subang, pada tanggal 23 bulan Maret
tahun 1972. Aktivitas keseharian adalah seorang
pendidik. Saya anak kedua dari empat bersaudara.
Ibu dari dua putra.
Saya mulai menulis sejak tahun 2015, mulai menulis dari
hal yang kecil, pengalaman sehari-hari atau jurnal. Terkadang
saya suka menulis puisi, ungkapan hati atau cerita hidup
seseorang yang kebetulan saya kenal lebih dalam.
Menulis di media sosial “Kompasiana”, buku Antologi
“Perjalanan ke Singapura dan Malaysia” tahun 2017.
Sepertinya ini adalah buku antologi keempat di “NUBAR”.
Ingin menjadi penulis besar itu salah satu cita-cita saya.

Mira Djajadiredja adalah seorang ibu yang punya


hobi menulis sejak kecil. Mulai serius menekuni
dunia tulis-menulis sejak tahun 2017 dengan
mengikuti berbagai kelas dan komunitas menulis.

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
126
Ingin berkarya dan menebar kebaikan melalui tulisan. Ia sudah
menghasilkan beberapa antologi baik fiksi maupun non fiksi.
Namun menulis bukan hanya tentang berbagi. Menulis juga
berarti membaca diri, mengolah hati, dan pada akhirnya
ekspresi akan mengalir dengan sendirinya melalui ujung-ujung
jari.
Penulis dapat ditemui di facebook Mira Djajadiredja.

Rusnita Darmawan, lahir di kota kecil Rengat pada


21 September 1980. Menulis adalah hobi yang sejak
bangku SMA ia tekuni. Beberapa hasil karyanya
kerap mengisi mading sekolah kala itu. Namun
sayang hobi tersebut perlahan terabaikan seiring waktu
membawanya ke dunia kampus.
Beberapa tahun terakhir gairah menulis itu kembali
menyapanya manakala ajakan bergabung dengan komunitas
menulis mengusiknya. Kerinduan akan membaca hasil tulisan
sendiri seperti magnet yang terus menarik hatinya. Menyentuh
laptop seolah menjadi mainan baru yang membuatnya
ketagihan untuk menarikan jemari lentik di atas keyboard.

Yulia Medhy, dkk


127
Farikhah lahir di Pemalang, 18 Juli 1975. Lulusan
IKIP Semarang, sekarang mengabdikan diri sebagai
pengajar di Madrasah Aliyah Negeri 2 Bekasi
kabupaten Bekasi. Di sela-sela waktunya mengajar
mencoba untuk membuat coretan ini. Tulisan ini adalah tulisan
yang keempat setelah Tips Mendisiplinkan Siswa Ala Guru
Milenial, Wanita Teristimewa dan My Happiness.
Semoga melalui NuBar ini, semakin terasah dan semakin
berkualitas tulisannya. Handphone/wa: 081381323660, Email:
Farikhahharis00@gmail.com.

Mariati Sinaga, lahir pada 11 Mei 1974 di Kediri,


Jawa Timur. Menjalani masa kecil sampai tingkat
sekolah menengah pertama di kota Parapat,
Sumatera Utara. Selanjutnya bersekolah di SMA 3
Pematang Siantar dan meneruskan pendidikan di jurusan
Pendidikan Fisika di IKIP Medan pada tahun1993. Sejak tahun
1997 mulai mengajar di beberapa sekolah swasta di kota Medan
untuk selanjutnya diangkat sebagai guru di SMPN 4 Raya,
Kabupaten Simalungun.
Menyukai dunia tulis menulis sejak kuliah dan aktif di
unit penerbitan mahasiswa. Saat ini sebagai pembina di Pers
Mahasiswa Kreatif Universitas Negeri Medan. Ibu dua orang

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
128
putri ini berdomisili di kota Medan dan sekarang aktif
mengajar di SMPN 8 Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.

Ummu Alfath adalah seorang Ibu Rumah Tangga,


yang profesi tambahannya adalah dokter umum
dengan magister administrasi rumah sakit.
Memiliki 2 jagoan yang bernama Muhammad
Fatihul Khair (9 tahun) dan Abiyyu Alif Fathullah (6 tahun).
Suami bernama Dabrinus, pegawai BUMD.
Ummu Alfath mempunyai hobi membaca dan mem-
punyai mimpi bisa menjadi penulis profesional yang
menginspirasi. Ummu Alfath sangat senang dengan hal yang
berhubungan dengan parenting, pendidikan, ibadah serta
psikologi. Mohon doanya Ummu Alfath bisa menjadi psikiater
anak. Tulisan ini untuk mengenang proses belajar dan berjuang
dalam mendampingi anak.
Fb: khauliummualfath, Ig: khauli_ummuAlfath, email:
fatkhaulisalviani01@gmail.com. WA: 085277452667.

Leila Rizki Niwanda, ibu dua orang putri, lahir 35 tahun yang
lalu di Surakarta. Tulisannya telah dimuat dalam sekitar 30
buku fiksi maupun nonfiksi, juga di majalah maupun media

Yulia Medhy, dkk


129
daring. Saat ini bertugas sebagai abdi negara
sekaligus mengikuti penugasan suami di Jakarta.
Tulisannya bisa dibaca di http://ceritaleila.com dan
instagram https://instagram.com/leila_niwanda.

Riko Anjuja. Lahir di Simpang tanggal 1 Juli 1983.


Pendidikan terakhir Ilmu Pemerintahan Universitas
Riau. Saat ini bekerja sebagai PNS di Pemerintah
Kabupaten Pasaman Barat. Istri, Destika Amelia
serta memiliki dua orang anak, yaitu Sakhiyya Nuha Zahira
dan Puti Nafisha Ulya. Masih belajar menulis dan berharap
suatu saat nanti bisa menjadi penulis terkenal.

Aan VK adalah nama pena penulis yang bernama


asli Aniyati. Penulis yang juga seorang bidan ini
dikaruniai tiga putri yang rentang usianya tak
terpaut jauh. Selain beraktivitas sehari-hari di
sebuah rumah sakit, penulis sangat menikmati perannya
sebagai ibu dari ketiga anak perempuannya. Baginya, alam,
anak- anak, dan rumah sakit menjadi sumber inspirasi yang tak
pernah habis untuk menyalurkan hobi menulisnya.

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
130
Penulis bisa disapa di akun FB: Aniyati Aan atau di Ig
dengan akun yang sama.

Penulis yang bernama lengkap Sri Vindhita


Dhaniswari adalah seorang penyandang low vision
sejak tahun 2009. Lahir di Bandung pada tanggal 27
Maret 1980 sebagai sulung dari 3 bersaudara.
Memiliki hobi membaca sejak kecil dan menulis sejak remaja.
Penulis favoritnya adalah Dee atau Dewi Lestari. Karyanya
yang telah terbit Antologi: Karma, Aku Bukan Srikandi, Samara
Bersamamu, dan Sang Penggoda.
Saat ini kesibukannya sebagai nyonya rumah tangga,
pebisnis online, dan volunteer di Yayasan Kayu Manis, yaitu
sebuah yayasan multi difabel dan bergerak di bidang sosial
keagamaan serta pemberdayaan para difabel di Indonesia,
khususnya Jawa Barat. Serta volunteer di organisasi Balvi, bala
vision yaitu pemberdayaan difabel low vision dan tuna netra.

Primadora Khairul adalah seorang ibu yang


mempunyai 3 orang anak yang masih muda belia.
Pengalaman menulis masih belum seberapa, tapi
semenjak diajak untuk bergabung dengan Pejuang

Yulia Medhy, dkk


131
Literasi di keluarga Wonderland Family dan NBB yang hebat-
hebat, semangat menulisnya jadi tumbuh dan tidak terasa
sudah 1 tahun berjalan.
Alhamdulillah berkat yakin dan semangat tinggi
ditambah dorongan dari PJ yang sangat sabar mengingatkan,
sekarang sudah banyak bukunya yang sudah terbit. Di
antaranya bertemakan: Petualangan, Celah rindu, Titik balik, My
First Hijab, My Love Struggle, Senyumku Menguatkanmu dan
Mengelola Rasa Marah, Genduk serta Air Mata Ayah yang sedang
proses terbit ini.

dr. Titik Suryaningsih, A.md (TIRA). Beralamat di


dr. Titik Nurdin, Dukuhan, RT. 3 RW. 3, Candi,
Ampel, Boyolali, Jawa Tengah, 57353.No WA:
08121527511, FB: Tira (Titik Surya) IG: Tira 5758.
Email: Titiksuryaningsih697@yahoo.co.id.
Tergabung di antologi Dokter Juga Manusia Jilid 2 dan
Ayat-ayat Penggugah Semangat. Saat ini sedang proses terbit.
Terima kasih. Barakallah.

Merida Merry pernah berkerja sebagai Finance and Accounting


Head di perusahaan retail. Kesukaannya dalam membaca

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
132
memotivasi dirinya untuk menjadi seorang penulis.
Setelah resign, ia pun fokus dengan dunia menulis.
Hasil karyanya sudah terangkum dalam beberapa
buku antologi dengan berbagai genre berbeda. Agar
kemampuan menulisnya terus terasah, dia pun terjun menjadi
seorang blogger. Saat ini dia memiliki 2 blog aktif yaitu
www.meirida.my.id dan www.meripedia.com.
Untuk mengetahui aktivitasnya sehari-hari boleh dilihat
di akun media sosialnya yaitu IG @merida_merry, Twitter
@Meyrida2581, Facebook @merida merry.

Yulia Medhy, dkk


133

NuBar – Nulis Bareng


Air Mata Ayah
134

Yulia Medhy, dkk

Anda mungkin juga menyukai