Anda di halaman 1dari 4

Ayah, Aku Rindu

Hari itu ayah kembali melemparkan senyum yang telah lama tidak kulihat.
Matanya berkaca-kaca menahan tangis yang hampir keluar. Pelukan hangat ini, ah
masih sama seperti 7 tahun lalu, walau badan ayah tak seperti dulu lagi. Badan itu
telah dimakan waktu dan digerogoti penyakit yang sampai kini aku tak tahu
namanya. Penyakit itu menyerangnya saat kakakku melanjutkan studinya ke UIN
Sunan Kalijaga Jogjakarta. Aku yang waktu itu masih duduk di bangku SMA
merasa amat terpukul. Senyum ayah sedikit memudar kala itu.
Ayah yang kukenal dulu berubah sangat jauh, dari yang dulunya mudah
tersenyum, ramah, baik dan soleh. Berubah menjadi ayah yang pendiam, tertutup
dan lupa waktu beribadah. Aku seakan melihat sosok lain dalam diri ayah. Dia
yang sekarang ini bahkan tak sesering dulu menegurku.Membuat sebuah jarak di
antara aku dan ayah.
Hingga malam itu tiba, malam dimana aku harus memilih antara dua pilihan yang
ayah tawarkan saat aku diterima di dua universitas negeri yang berbeda,
Universitas Sumatera Utara dengan prodi Sastra Indonesia dan juga Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri Padangsidimpuan dengan prodi Bimbingan
Konseling Islam. Aku memang berusaha mati-matian untuk masuk perguruan
tinggi negeri demi menghemat pengeluaran orang tuaku. Namun malam itu ayah
berkata dengan sayu “Benar kau ingin ke Medan, Nak? Ayah dengar jurusan
Sastra Indonesia itu peluang kerjanya tidak banyak, kalau jurusan Bimbingan
Konseling banyak peluang kerjanya dan amat dicari sekarang ini”. Air mataku
menetes. Jiwa muda dalam tubuhku berontak. “Ayah tahu apa tentang peluang
kerja. Ayah bahkan tidak pernah memberi masukan saat aku memilih jurusan,
ayah bahkan hanya bilang iya iya saja saat aku memilih jurusan itu. Saat testing
pun ayah seakan mendukungku, lalu kenapa sekarang ayah seolah-olah
menentang pilihanku,” batinku. Namun timbul pertentangan dalam diriku saat itu,
“Ayah mungkin tidak ingin aku jauh. Di matanya seolah-olah takut jika aku jauh
aku tak bisa berada di sampingnya saat penyakit itu kambuh lagi. Mungkin aku
harus pilih universitas yang lebih dekat dengan rumah” batinku kemudian.
“Sudahlah Nak. Tak usah kau hiraukan kata-kata ayahmu. Ia hanya ingin kau
yakin dengan pilihanmu. Dia hanya takut kau menyesal di tengah jalan dan
meninggalkan studimu. Kami tidak melarangmu pergi, hanya ingin memastikan
kau akan belajar dengan sungguh-sungguh nantinya” ucap ibu menenangkanku.
Dengan dorongan dari ibu, aku tetap melanjutkan niat awalku menjadi mahasiswi
Sastra Indonesia. Ibu yang mengantarku ke Medan. Saat berangkat dari rumah,
aku hanya menyalami ayah dan dia hanya mengusap kepalaku. Aku ingin dipeluk,
namun aku tahu berat bagi ayah memelukku ketika matanya penuh kabut. Aku
mengerti waktu itu jaraklah yang ayah sedang sesali.
Aku mungkin tidak pernah menyesali apa yang aku pilih. Aku bahkan menikmati
jurusan yang aku pilih, masalah aku dan ayah pun telah selesai. Aku selalu
menghubungi ayah lewat telepon. Walau waktu ngobrol dengan ayah hanya 5
menit saja dengan pertanyaan yang itu-itu saja. Namun bagiku itu cukup. Aku
mendengar suara ayah, tahu keadaan ayah dan yang terpenting di atas segalanya
bahwa ayah tidak pernah sedikitpun marah padaku.
Ketika menginjakkan kakiku kembali di kampung kelahiranku, di Pinangsori
sapaan hangat ayah menyambutku. Senyuman yang telah hilang kembali
bertengger di wajah tuanya, keriput telah melingkupi wajahnya, tetapi
ketegasannya tidak berkurang sedikitpun. Ayah tidak pernah menangis di depan
anak-anaknya. Bahkan waktu masuk Rumah Sakit pun ia hanya meringis
menahan sakitnya. Di hari kepulanganku itulah ayah menangis. Menangis dalam
diam. Ia menangis karena kerinduannya akan hadirku.
Tangisan ayah mengingatkanku akan tangisanku dulu. Dulu ketika ayah
mengajakku pergi ke pasar malam. Aku yang masih kecil menangis karena ingin
melihat pertunjukan lempar gelang. Ayah menertawakanku saat itu dan mulai
mengangkatku di atas bahunya. “Kamu benar-benar cengeng, Nak. Ayah kira
putri ayah tak akan menangis lagi” ucap ayah kala itu. Aku yang masih kecil
hanya menyeka air mataku dengan ujung baju ayah. Aku juga pernah menangis
saat aku menahan sakit, ketika itu kaki kiriku harus dijahit karena ditabrak sepeda
motor. Ibu bukannya menghibur malah ikut menangis denganku. Ah hati seorang
ibu memang lembut hingga merasa tak tega melihat anaknya terluka dan ibu
bukan seorang penyemangat yang baik.
Saat itu, aku harus menerima 7 jahitan pada kakiku dan untuk beberapa hari aku
bahkan tidak bisa berjalan. Ayah menjadi tongkat untukku. Tengah malam ia
masih terjaga, ia mencemaskanku saat nanti butuh sesuatu tidak ada orang di
sampingku. Kuingat betul waktu hari ke empat aku sakit. Ayah dengan sangat
sangat bahagia berkata padaku, “Nak, kamu harus berlatih jalan, ayah udah tanya
dokter, katanya tidak apa-apa jika kamu mulai berlatih jalan, jangan manjakan
kakimu itu nanti dia jadi kaku”. Aku pun berusaha menahan sakit saat aku
mencoba langkah pertamaku. Ayah selalu di belakang menjaga agar aku merasa
yakin. Awalnya malas untuk mencobanya, namun kesungguhan seorang ayah
membuatku optimis aku bisa.
Mata ayah berbinar penuh kebahagiaan saat aku mulai berjalan tertatih-tatih
dengan tongkatku. Sebuah pelukan hangat menghampiriku, ya itulah pelukan
hangat yang terakhir kali terasa hangat. Pelukan sayang ayah yang kini telah
kulupa rasanya. Benar-benar pelukan hangat yang membuatku rindu.
Mengingat hal itu selalu membuatku terharu. Ayah membunyarkan lamunanku
dan mengajakku masuk. Lihatlah, ia mengundang anak-anak yang kehilangan
orang tua untuk makan bersama kami. Ayahku masih saja rendah hati. Dengan
bangga ia berceloteh kepada anak-anak itu bahwa anaknya adalah anak yang
hebat, bangga hatiku seketika mendengar ayah amat membanggakanku, tanpa
terasa bulir air mata jatuh di pipi ini. kelak jika anak-anak itu besar ayah berharap
mereka tetap mengejar cita-cita yang telah mereka impikan itulah yang selalu
ayah katakan padaku. Dimanapun kita berada saat niat kita baik, semua akan
mudah dan ada jalannya.
Setelah acara makan-makan itu selesai,kuhampiri ayah yang duduk termenung di
teras rumah. Ayah selalu saja menatap kubah masjid yang ada di samping rumah
kami. Kata ayah kubah itu selalu memberikan kenyamanan di dalam hati yang
melihatnya. Kubah itu tidak mewah malah terlalu sederhana, tetapi aku setuju
pada ayah untuk sebuah rasa nyaman di hatiku. Tiba-tiba teringat sebuah rasa
nyaman, aku memberanikan diri untuk bertanya,
“Ayah, bolehkah aku memelukmu?”
Ayah hanya tertawa mendengar pertanyaanku. Aku kesal dia menertawakanku.
Namun saat hendak pergi ayah merangkulku hangat. Pelukan ini yang selalu
kurindukan. Pelukan yang telah lama hilang dari hidupku.
“Ayah kira anak gadis ayah telah dewasa, itu sebabnya ayah tidak pernah lagi
memeluknya. Rupanya anak ayah masih sama. Anak kecil yang cengeng dan
manja”.
Membuncah air mataku mendengar perkataan ayah. Semua rindu, kebahagiaan,
dan kesedihan yang ada dalam diriku menghilang. Terganti rasa haru. Sesak itu
menghilang begitu saja di sapu angin yang berhempus di cuaca panas siang hari
ini. Ayah tidak berubah, ia masih saja sama dengan ayah yang dulu. Dia tetap
ayahku dengan pelukan hangatnya, dia tak pernah berubah. Pelukan ini bagai
seteguk air di padang pasir yang tandus. Amat sangat melegakan dahaga yang
kusimpan selama 7 tahun ini.
Medan, 10 November 2015
Biodata Penulis

Nama saya Latifah Yusri Nasution. Lahir di Pinangsori pada tanggal 22 Maret
1996. Merupakan seorang mahasiswi jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu
Budaya di Universitas Sumatera Utara. Alamat saya di Asrama Putri USU Jalan
Universitas no 20, Medan. Saya bisa dihubungi melalui akun facebook Latifah
Yusri Nasution atau e-mail: latifahyusri22@gmail.com.

Anda mungkin juga menyukai