s
BY: JENNIFER OKTAVIA
1
Prolog
2
Keesokan harinya, aku melihat ayah dan ibuku sedang
berbincang, dari suara yang pelan hingga nada suara ibuku
meninggi, sepertinya mereka sedang memperdebatkan
sesuatu. Ibu aku menangis lagi, ia melihatku dan melemparkan
tatapan tajam seolah olah kehadiran ku adalah sebuah
musibah bagi dia dan akhirnya dia membuang tatapan
tersebut kepada ayahku. Ayahku lalu memegang tangan
ibuku, entah apa yang dibicarakan, kemudian mereka
berpelukan.
Semenit kemudian, ayahku datang menghampiriku
dan menggendongku keluar dari rumah sakit bersama ibuku.
Diperjalanan, aku melihat perubahan suasana dari rumah sakit
ke tempat ini, tempat ini penuh dengan orang yang tidak rapi,
pakaiannya berbeda dari orang yang berada di rumah sakit.
Kebanyakan dari mereka berpakaian compang-camping dan
terdengar suara tangisan bayi yang tidak beraturan. Suara riuh
orang berjualan juga terdengar. Aku tidak tahan dengan suara-
suara yang sangat berisik dan akhirnya aku menangis kencang
mengikuti suara tangisan bayi lainnya hingga aku tertidur.
Ketika aku membuka mata, aku tergeletak di lantai
menghadap langit langit rumah yang terbuat dari kayu lalu ku
lihat ke samping dan terlihat ibuku sedang memindahkan
beberapa kardus yang diikat menjadi satu.
“1kg Rp.2000 ya, Mas.” Ibu ku memberikan kardus
tersebut kepada seorang bapak. Bapak tersebut lalu
mengeluarkan selembar uang Rp.5000 yang terlihat masih
baru.
“Kembaliannya Ibu simpan aja” Sang Bapak
tersenyum. Ibu ku membalas senyuman sambil menerima
selembar uang Rp5000 itu dan membungkukkan badannya
3
berulang kali sebagai tanda terima kasih. Bapak itupun
mengangguk kepala dan berjalan keluar rumah ini. Ibuku
masih menatap punggung badan bapak itu sampai akhirnya
tidak terlihat lagi, aku bisa merasakan kebahagiaan ibu
menerima uang lebih dari bapak tersebut. Iya, beginilah
keluarga kami. Keluarga yang sangat kekurangan. Bukan hanya
kekurangan pada ekonomi, mereka juga memiliki anak yang
kekurangan seperti aku.
Setiap hari Ibuku memulung di dekat rumah
membawa aku digendongannya, namun tidak pernah
sekalipun Ibuku menatapku dengan tersenyum. Sering ibuku
sengaja hampir meninggalkan aku di jalan. Juga tidak jarang
aku melihat kedua orangtua ku berdebat tentang kedaan
ekonomi dan keadaanku sampai ibuku meneteskan air mata.
Ayahku, satu satunya orang yang menyayangiku, satu-satunya
orang yang ingin mempertahankanku, ia kerja pagi pulang
malam, kadang bahkan tengah malam. Namun, ayahku tidak
pernah melupakan ‘Pelukan malam’ pelukan hangat yang
kutunggu setiap malam, pelukan yang mampu
menyembuhkan rasa sakit yang diberikan Ibu untuk aku,
pelukan yang diberikan seolah-olah aku memanglah bayi
pembawa keberuntungan.
Aku sangat amat mecintai ayahku. Aku berjanji suatu
hari nanti, aku akan membawa kebahagiaan untuk keluarga ini
dan aku akan membuat keluarga ini bangga. Aku akan
membuktikan kepada Ibuku bahwa aku bukan beban keluarga,
dan akan menunjukkan kepada dunia bahwa kondisi fisik aku
bukanlah hal yang bisa menghalangi aku untuk menuju
kehidupan yang sukses. Dengan begini, cerita aku dimulai.
4
Hari Pertama Sekolah
“Apakah kamu sudah siap untuk sekolah, tuan putri?”
kata ayahku dengan riang sambil mengelus-ngelus jidatku
dengan posisi aku yang masih tiduran. Aku mengangguk pelan
namun pasti, lalu membuka mataku perlahan, aku melihat
wajah ayahku dihiasi senyuman yang lebar, membuatku juga
mengikuti senyuman dia. Dengan semangat aku bangun
mengubah posisiku yang tadinya tidur menjadi duduk, lalu
menarik seluruh badanku supaya tubuhku renggang. Aku
segera menyiapkan diri untuk pergi ke sekolah untuk pertama
kalinya yang dibantu oleh ibuku.
Aku didaftarkan di sekolah umum oleh orangtuaku
karena ekonomi dalam keluarga tidak memungkinkan aku
untuk bersekolah di sekolah untuk anak-anak dengan
berkebutuhan khusus. Sesampainya di gerbang pintu sekolah,
aku merasakan sensasi yang sangat berbeda. Aku melihat
orangtua yang mengantarkan anaknya sampai ke dalam
sekolah, sedangkan orangtuaku hanya mengantarkan aku
sampai gerbang. Aku melihat kiri kanan dan menyadari bahwa
tidak ada satu orang pun yang memiliki fisik yang serupa
dengan diriku. Hampir semua dari mereka memiliki fisik yang
sempurna, beberapanya bahkan memiliki paras yang menarik.
Bel masuk kelas bunyi, aku segera lari menuju kelasku
yang tidak jauh dari gerbang. Aku hanya perlu menaiki tangga
yang berada di sebelah kanan setelah aku memasuki gerbang
dan kelasku berada tepat di kelas yang pertama di lantai dua.
Aku membuka pintu kelas dengan perasaan yang kurang
tenang, takut akan pandangan orang-orang terhadap fisikku.
Canda, tawa, riuh di kelas menjadi hening. Semua mata tertuju
padaku tepat saat aku memasuki ruang kelas. Mataku
memindai ruang kelas yang sudah hampir dipenuhi oleh siswa
5
siswi, dan aku menemukan bangku kosong yang berada di
sebelah siswi berambut pendek berwarna hitam. Ia memiliki
mata berbentuk almond, hidung yang tidak terlalu mancung
dan bibir yang tipis. Aku berjalan pelan menuju bangku kosong
di sebelah dia, mengharapkan dia tidak memandangku dengan
pandangan aneh seperti yang dilakukan orang lain.
Selama jam pelajaran, tidak ada satupun kata-kata
yang dikeluarkan oleh teman sebangku aku. Ingin ku tanya
siapa nama dia, tetapi sepertinya dia terlalu fokus
mendengarkan apa yang diajarkan oleh guru. Jadi aku
memutuskan untuk tidak mengganggunya. Aku tidak bisa
fokus mendengarkan apa yang diajarkan oleh guru, mataku
selalu liar melihat suasana kelas sampai akhirnya mataku
berhenti di buku teman sebangku aku yang bertulisan Cessy
Allison. Dari sini, aku tau namanya adalah Cessy Allison.
Bel tanda jam istirahat berbunyi, murid-murid berdiri
dan keluar kelas, ada juga yang ibunya datang untuk
mengantar bekal kepada anak mereka. Anak-anak lainnya pun
mulai bercerita tentang hari ini kepada ibunya. Canda dan
tawa mulai memenuhi kelas, suasana riang kembali lagi
seperti saat sebelum aku memasuki ruang kelas. Aku duduk
dengan perasaan resah karena ibuku yang tidak kunjung
datang. Setelah sekian menit, belum terlihat juga batang
hidung ibuku. Aku yang tadinya resah menjadi kecewa.
Perlahan, menempelkan jidatku ke atas meja dan menutup
mata. Bersedia menenggelamkan rasa laparku dengan tidur.
Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku, aku memiliki
perasaan bahwa orang yang menepuk pundakku adalah ibuku,
aku segera mengangkat kepala ku dengan semangat. Dengan
senyuman yang lebar, aku melihat Cessy berada di depan aku.
Ternyata Cessylah yang menepuk pundak aku, bukan Ibu. Dia
6
membawa satu bekal yang sudah dimakan setengah, dan
menyodorkan sebuah sosis untuk aku tanpa banyak bicara.
“Boleh?” tanyaku dengan mata yang bersinar namun
masih sedikit ragu. Dia mengangguk. Senyuman yang tadinya
sudah pudar, kembali menghiasi mukaku. Aku menerima
sosisnya dengan perasaan yang sangat senang. Perasaan yang
tadinya takut akan tidak memiliki teman, kini sudah hilang
karena adanya kehadiran Cessy. Terdengar bunyi bel tanda
masuk kelas, semua murid yang tadinya di luar pun segera
memasuki ruangan kelas, orangtua yang berada di dalam juga
segera keluar kelas.
Seorang ibu guru mengenai kemeja putih dan rok
hitam selutut memasuki ruangan dengan aroma parfum yang
menyengat. Ia berjalan menuju tempat duduknya dan
meletakkan tas tangan dia di atas meja. Duduk sejenak, lalu
dia berdiri dengan tegas, membuka kalimat pertamanya
“Selamat siang semuanya! Ibu ingin kalian
memperkenalkan diri. Kita mulai dari…” mata ia kemudian
berliar mencari siapa orang pertama yang akan
memperkenalkan diri. Aku sadar semua murid menghindar
mata mereka dari ibu guru tersebut karena tidak ingin
dipanggil, dan ketika aku menyadari hal itu, mataku bertemu
dengan mata sang ibu guru. Berusaha untuk memalingkan
mataku, namun sudah terlambat. Alhasil, akulah orang
pertama yang dipanggil untuk memperkenalkan diri. Dengan
kaki yang gemetaran, aku berdiri dari dudukku. Berusaha
supaya percaya diri, aku memperkenalkan,
“Perkenalkan, nama saya Joy Fayola. Joy yang berarti
bahagia dibahasa inggris dan Fayola yang diambil dari kata
Fortune yang berarti keberuntungan. Orangtuaku
7
memberikan ini sebagai namaku karena mereka yakin aku bisa
membawa keberuntungan kepada mereka. Walaupun
tanganku sedikit berbeda dengan kalian, aku tidak merasakan
hal ini sebagai hambatan aku dalam menjalani hariku. Aku
berjanji kepada orangtuaku untuk membanggakan mereka!”
aku memperkenalkan diri dengan panjang tanpa aku sadar.
Diantara mereka ada yang tertawa terbahak bahak membuat
wajahku seperti terbakar. Aku langsung duduk kembali
dengan lemas. Ibu guru menepuk tangan menunjukkan
kepuasan dia terhadap perkenalan diri aku, membuat murid
yang lain mengikuti. Aku melihat kearah Cessy dan dia
memberikan jempol dia kepadaku.
Aku dan Cessy sudah menjadi akrab semenjak dia
menawarkan sosisnya kepadaku, bisa dilihat Cessy adalah
orang yang rajin belajar dan cepat menangkap apa yang
dikatakan ibu guru. Aku selalu kurang paham dengan apa yang
disampaikan guru, dan Cessylah yang menjelaskannya
kepadaku. Tidak dengan kata-kata, namun dengan secarik
kertas. Aku rasa, Cessy adalah orang yang suka ketenangan
dan tidak ingin mengganggu orang lain, itulah sebabnya ia
menggunakan secarik kertas.
Ketika bel pulang berbunyi, semua murid yang tadi
sedang menahan kantuk kembali bersemangat seperti
matahari yang baru saja terbit. Semuanya menyimpan barang
bawaan mereka ke dalam tas dan duduk manis sembari
menunggu ibu guru membubarkan kelas. Orangtua sudah
memenuhi luar ruang kelas, mataku berlari menuju jendela
untuk mencari kehadiran ibuku yang dari tadi tidak kelihatan.
Setelah kelas dibubarkan, anak-anak berlari menuju pintu
dengan riang dan pulang satu persatu. Suasana riang
menghilang setelah semua murid sudah pulang. Tiga puluh
menit berjalan dan orangtua aku belum juga datang. Aku
8
kemudian memutuskan untuk menunggu orangtuaku di
depan gerbang sekolah saja.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, aku melihat
seorang perempuan berambut pendek, sama persis seperti
Cessy, ternyata dia juga belum dijemput oleh orangtuanya.
Suasana sekolah menjadi semakin sepi, bisa dilihat guru-guru
juga mulai pulang satu persatu, namun aku dan Cessy belum
juga dijemput. Aku berusaha untuk mengajak Cessy bicara
supaya suasana tidak canggung, tapi yang dilakukan Cessy
kepada aku hanyalah mengangguk dan menggelengkan
kepalanya. Sebenarnya dari tadi, aku belum mendengarkan
suara Cessy sekalipun. Rasa penasaranku pun mulai tumbuh,
ingin memancing Cessy untuk bicara. Namun sebelum aku
memulainya, aku mendengarkan suara familiar sedang
memanggilku.
“Joy!” Iya, suara familiar itu adalah suara ibuku.
Segera aku menoleh kebelakang untuk mencari keberadaan
ibuku, aku melihat ibuku sedang berada dalam posisi jongkok
yang sedang menungguku untuk lari ke pelukan dia.
Lengkungan garis bibirku tergambar manis di wajahku, aku
langsung lari menuju ibuku sambil memanggil sapaan Ibu
dengan perasaan berbunga-bunga setelah menanti kehadiran
dia yang sudah lama. “Bagaimana hari pertamamu, Joy?”
tanya ibuku dengan hati-hati, takut adanya perundungan yang
terjadi. Dengan antusias aku menjawab bahwa hari ini
menakjubkan karena aku telah bertemu dengan seseorang
teman yang bernama Cessy, aku kemudian menghampiri
Cessy dan ibu mengikutiku.
Melihat Cessy belum dijemput, Ibuku menawar untuk
mengantarnya pulang ke rumah. Namun, Cessy menggeleng-
geleng kepalanya karena yakin orangtuanya akan datang.
9
Ibuku setuju, dan ibuku menawar untuk menunggu sampai
orangtua Cessy tiba. Aku senang melihat keadaan yang begini,
aku yakin Cessy juga senang. Orangtua ku selalu mengajak
Cessy untuk berbincang, namun apa yang dilakukan Cessy
kepada orangtuaku sama seperti ketika aku mengajak dia
bicara, ia hanya menjawab dengan anggukan dan gelengan.
Lima menit kemudian, sebuah mobil hitam yang
terlihat bersih berhenti tepat di depan Cessy. Aku menatap
mobil itu dengan perasaan bingung. Pintu mobil terbuka
dengan pelan dan aku melihat kaki seorang perempuan yang
anggun menuruni mobil. Wanita tersebut jalan mendekati
Cessy dan membungkuk badannya sedikit untuk membelai
rambut Cessy dengan lembut. “Maafkan ibu, Cessy. Ibu telat
menjemputmu.” Kemudian ibunya melihat wajahku, dan
matanya berhenti di tanganku yang hanya berukuran
setengah. Muka ibunya terlihat kaget tetapi tidak
merendahkan, lalu ibunya melihat ibuku. “Terima kasih sudah
menunggu anakku sampai aku datang.” Ibunya tersenyum
anggun sembari menyodori tangan dia untuk
memperkenalkan diri. Ia lalu membisikkan sesuatu kepada
ibuku dan kembali ke tempat dimana Cessy berada kemudian
berpamitan dengan aku dan ibuku.
Cessy yang sudah berada di dalam mobil membuka
kaca jendelanya dan melambaikan tangannya dengan
senyuman manis namun masih tidak bersuara.
10
Cerita Tengah Malam Bersama Ayah
Kondisi ekonomi keluargaku sudah menjadi sedikit
lebih baik sejak aku berumur empat tahun. Kami sudah pindah
dari tempat kumuh ke tempat yang lebih tidak kumuh.
Hubungan kedua orangtuaku juga menjadi semakin membaik,
ibuku sudah tidak memandangku dengan tatapan kebencian
lagi. Ayahku juga sudah bisa membeli sebuah televisi bekas
yang kami tonton bersama setiap malam.
Malam itu setelah kami makan malam, seperti
biasanya aku dan kedua orangtuaku menonton televisi di
ruang tamu. Berbincang bincang sedikit tentang hari pertama
aku sekolah, aku mengingat sesuatu.
“Ibu! Mengapa ibu tidak hadir tadi ketika jam
istirahat? Kan aku lapar bu…” aku mengerutkan kening,
menggerutu. Berpura-pura untuk ngambek, ibuku terlihat
panik saat itu juga. Ibuku segera meminta maaf atas
ketidakhadirannya dan menanyakan apa yang aku lakukan
ketika lapar. Aku teringat tentang Cessy yang menawarkan
sebuah sosis dan menceritakan bahwa orangtua Cessy juga
tidak hadir pada saat itu serta bagaimana awal mula
pertemanan kami. Ayah aku melihatku dan berkata
“Cessy adalah teman yang baik, mungkin kamu bisa
belajar dari dia untuk menawarkan makananmu kepada orang
lain?” Ayahku memberi masukan dengan senyuman yang
bangga. Kami melanjutkan perbincangan tentang hari itu
sampai pada pukul sembilan malam dan Ibuku mengingatkan
aku untuk tidur karena besok masih ada sekolah. Aku
mengiyakan ibuku dan meranjak dari lantai, mencium pipi kiri
dan kanan ayah dan ibuku sebelum aku kembali ke kamar.
11
Aku menutup pintu kamarku dengan pelan dan
mematikan lampu, bersedia untuk tidur. Ku tutup mataku,
namun aku tidak bisa tidur. Aku sudah berguling-guling di atas
ranjang untuk sekian kalinya, namun aku masih berkesusahan
untuk tidur. Sesuatu yang aneh masih berlari-lari dipikiranku.
Pertanyaanku, Cessy tidak bicara sama sekali kepadaku tadi,
apakah dia tidak suka kepadaku?
Dibalik itu, ketika aku sudah balik ke kamarnya,
orangtuaku juga kembali ke kamar mereka, detik disaat ketika
mereka mau tidur, ibuku menerima sebuah telpon dari nomor
hp yang baru saja disimpan nomornya: Ibu Cessy. Ibu Cessy
berterima kasih kepada Ibuku untuk sekali lagi dan
mengatakan sesuatu hal yang cukup mengejutkan. Kurang
bisa mempercayainya namun itu adalah kenyataan.
Kenyataan bahwa Cessy memiliki nasib yang sama dengan ku,
sama sama berbeda dengan murid yang lain, sama sama
memiliki kelainan. Cessy merupakan seorang anak yang bisu.
Ibuku membesarkan pupil ketika mendengar kabar tersebut,
bergagap dan menutup mulutnya dengan tangan kiri dia.
Orangtua Cessy mengharapkan orangtuaku untuk
menyampaikan hal ini kepada ku, supaya aku tidak terkejut
keesokan harinya.
Ibuku menceritakan semua yang disampaikan Ibu
Cessy kepada Ayahku. Dengan pandangan berbelas kasih,
ayahku merasakan apa yang dirasakan orangtua Cessy.
Ayahku juga merasa bahwa hal ini harus segera disampaikan
kepada aku sebelum matahari terbit. Ia bangun dari tempat
tidur dan jalan menuju kamarku. Berendap-endap, ayahku
mengintip apakah aku sudah tertidur. Namun, aku menyadari
kehadiran ayahku.
12
“Ayah…” sapaku lemas. Ayahku terlihat bingung
karena biasanya aku bisa langsung tidur setelah kamarku
gelap.
“Apa yang sedang kamu pikirkan sampai sampai kamu
tidak bisa tidur?” tanya ayahku kebingungan sambil mengelus
ngelus rambut aku. Aku terdiam. Ayahku bisa segampang itu
membaca pikiran aku. Aku masih bingung tentang hal ini, tidak
tau boleh diceritakan atau tidak, aku akhirnya memilih untuk
memendamkan rasa ini saja. Ayahku juga sepertinya peka
terhadap keadaan, ia tidak menanyakan untuk kedua kali.
Tetapi, satu hal lagi yang membuatku merasa Ayahku memang
bisa membaca pikiranku, ayahku membuka percakapan yang
tidak kujawab tadi.
“Ayah ingin menceritakan tentang Cessy, Joy.” Aku
bangun dari tempat tidurku dengan cepat. Menanyakan
dengan buru-buru apa yang ingin diceritakan oleh ayahku.
Ayahku menghembuskan nafas panjang sebelum ia memulai
kalimat barunya lagi. Ayahku membuka kalimat dengan
memanggil namaku. Ia menatap mataku dengan pandangan
yang sedih namun serius.
“Ayah mendapatkan telepon dari orangtua Cessy,
mereka mengatakan bahwa Cessy itu adalah anak yang bisu.”
Ayahku ngomong dengan terpatah-patah. Sedikit enggan
membagikan kabar tersebut, takut aku sedih akan kabar
tersebut, ayahku memegang tanganku yang sudah mulai
gemetaran. Hatiku berdetak dengan sangat cepat karena
kabar yang sangat mengejutkan ini. Aku telah salah menilai
Cessy. Dia tidak membenciku namun ia tidak bisa bicara.
Perasaan bersalahku kemudian menjadi belas kasih kepada
Cessy.
13
“Ayah, Cessy adalah seorang bisu dan aku hanya
memiliki lengan yang tidak sempurna. Maksud aku, lengan
yang pendek. Kami bisa menjadi teman yang baik. Tetapi
ayah… mengapa kami begini? Apakah semua orang juga
seperti kami? Mengapa di dalam kelas yang berisi empat puluh
orang, hanya aku dan Cessy yang mengalami hal ini? Apa salah
kami yah? Mengapa terjadi kepada Cessy? Mengapa terjadi
kepada aku?” tanpa disadari, aku meneteskan air mata. Rasa
sedih yang mendalam sudah menguasai tubuhku, aku
menanyakan banyak hal yang tidak bisa dijawab oleh ayahku,
mungkin pada saat itu, ayahku sudah merasakan kepanikan
aku, tetapi ia tetap professional dan tenang menghadapi aku.
Tidak menjawab pertanyaanku, ayahku malah meminta maaf
kepada aku.
“Maafkan Ayah, Joy. Kamu cantik. Kamu tidak perlu
sedih jika kamu tidak memiliki lengan yang sempurna. Hal
tersebut tidak akan mempengaruhi sifat kamu. Jika kamu baik,
maka kamu baik.” Ayahku berusaha menghibur aku dengan
kata kata penghibur. Kemudian ia bercerita sedikit tentang
masa lalu. “Apakah kamu tau, Joy. Ketika kamu baru saja lahir,
Ibumu menanyakan kehadiranmu, menayakan mengapa
kamu berbeda dengan anak yang lainnya.” Rasa sedih aku
muncul lagi ketika mendengar kalimat ini. Aku baru tau alasan
mengapa Ibuku sangat tidak menyukai aku saat itu. Ayahku
masih menjaga kalimatnya agar tidak menyakiti perasaanku,
“walaupun begitu, ayah percaya. Percaya bahwa kamu akan
membawa kebahagiaan untuk keluarga kita” Aku tau, kalimat
ini bukan fakta, namun aku suka mendengarnya. “Kamu ingatt
tidak ketika kita hidup sangat susah waktu itu? Kita bahkan
tidak bisa memilih apa yang akan kita makan nanti. Makanan
setiap hari kita tergantung pada berapa rajinnya aku hari itu.
Iya, ayah jujur saja kadang ayah capek, lelah, dan pingin
14
menyerah. Tapi kamu tau apa yang menghentikan ayah untuk
menyerah?” aku menjawab ayahku dengan menggelengkan
kepalaku pelan. “kamu.” Kata ayahku bangga. Aku hanya
menjawab ayahku dengan satu alisku yang dinaikkan. “setiap
hari aku pulang dari kerja, aku melihatmu, Joy. Ayah melihat
bayi terimut yang pernah ada dan dirimu telah memberi
harapan kepada ayah. Dan benar, setahun setelah
kelahiranmu, ayah mendapatkan jabatan yang baru.”
Senyuman tipis diwajahku kembali terlihat. ”Ibumu yang dulu
sering adu mulut dengan ayah juga mulai menjaga hubungan
terhadap sesama. Dan satu lagi, berkat kehadiranmu, kita bisa
pindah rumah kita ke sini, tempat yang tidak terlalu kumuh.”
Ayah aku menepuk kepala aku pelan dan mengusap sisa air
mata aku yang masih dipipiku. Ia menatapku dengan tatapan
penuh kasih sayang, kemudian ia memelukku dengan erat.
Ayahku menemaniku sambil bercerita sedikit sampai
aku tertidur. Ketika aku sudah tidur, ayahku berdiri dan
mencium kening aku dengan penuh kasih sayang, lalu dia bisik
ke telinga aku “Selamat tidur, anak pembawa
keberuntungan.”
15
Teman
Keesokan harinya di sekolah, kakiku berhenti ketika
aku melihat ada seorang perempuan cantik sedang berdiri di
samping meja Cessy. Aku merasa senang karena ada yang
ingin menjadi teman Cessy. Aku melanjutkan langkahku untuk
menuju ke meja Cessy, namun sebelum aku sampai, aku
mendengar sesuatu yang diucapkan oleh perempuan cantik
itu dan terpaksa menghentikan langkahku lagi.
“sombong banget sih kamu! Dari tadi aku ajak bicara
kok cuman jawab pake anggukan dan gelengan, emangnya
kamu ga ada mulut?” dengan nada suara yang ketus dan
tatapan yang kesal. Cessy tidak menghiraukannya, ia bahkan
tidak tertarik untuk mengangkat kepalanya untuk melihat
perempuan tersebut. Cessy hanya melanjutkan gambar yang
belum diselesaikannya dari rumah. Perempuan itu
mengepalkan tangannya dengan kekuatan yang maksimal
sambil menutup matanya, dan menarik nafas dengan panjang
lalu memhembusnya dengan kuat. Terlihat jelas jika
perempuan itu sudah habis kesabarannya. Ia langsung
menarik lukisan yang sedang digambar oleh Cessy.
“Lukisan mu bagus,” katanya dengan ketus. “tapi jika
kamu tidak memiliki sopan santun dan tidak menjawab apa
yang dikataan orang lain, orang tidak akan ingin menjadi
temanmu!” kata perempuan itu dengan tegas, seperti sedang
memberikan Cessy pelajaran. Kali ini Cessy mengangkat
kepalanya. Melihat wajah perempuan itu dengan tatapan
lurus langsung ke mata, berdiri dan merebut kembali gambar
dia tanpa mengeluarkan suara. Merasa kalah, perempuan
cantik itu memberi tatapan menjijikan kepada Cessy.
Perempuan itu merasa bahwa dia sudah tidak dapat
berkomunikasi dengan Cessy lagi, dan pada saat itu, perasaan
16
perempuan cantik tersebut sedang kacau. Ia membalikan
badan untuk pergi dari meja Cessy dan ia menyadari bahwa
aku sedang memperhatikan dia dari tadi. Dia menatapku
dengan tatapan ketakutan, takut karena takut aku
melaporkannya kepada guru. Menyadari aku dan dia saling
bertatap-tatapan, aku memberikan seulas senyum kepada dia.
“Jijik.” ia memandangku dari ujung kepala sampai ke
ujung kaki. Pandangan ketakutan tadi telah menjadi
pandangan yang merendahkan. Masih dengan keadaan
tersenyum, aku memberanikan diri untuk menanyakan siapa
nama dia. Perempuan tersebut mengubah pandangan
merendahkan menjadi pandangan penasaran terhadapku,
kemudian pandangan merendahkannya muncul lagi “aku tidak
ingin memiliki teman sepertimu. Tumbuhkan dulu lenganmu
sebelum kamu ajak aku bicara lagi.” Cessy yang mendengar hal
itu segera berdiri dari kursinya, melewati perempuan itu dan
menepuk lembut kepalaku, berusaha untuk menghibur. Cessy
menulis sesuatu dikertasnya dan menunjukkan kepadaku, aku
baca tulisannya. Dia tidak tau siapa yang sedang dia ajak
bicara. Aku tidak mengerti kalimat tersebut, aku hanya bisa
menggaruk garuk kepalaku. Untungnya, Cessy mengerti. Jadi
dia memberikan aku secarik kertas lagi yang bertulisan kamu
adalah orang yang baik hati dengan senyuman yang lebar dan
harapan yang besar supaya aku tidak sakit hati lagi akibat
perkataan perempuan itu. Aku membalas Cessy dengan
senyum juga. Disini, aku merasa bahwa Cessy benar-benarlah
teman yang baik.
Saat jam pelajaran matematika, Cessy seperti hari
sebelumnya, dia sangat fokus kepada apa yang dibicarakan
guru. Sedangkan, aku sama sekali tidak fokus kepada apa yang
diajarkan guru, gurunya sedang mengajarkan satu tambah
satu, dua tambah dua dan seterusnya yang dituliskan di papan
17
tulis dan sepertinya Cessy menyadari bahwa aku sedang
kebingungan menghadapi persoalan itu. Cessy menepuk
pundak aku dengan tangan kanan dan menunjukkan sebuah
pensil yang dipegangnya di tangan kirinya, ia lalu meletakkan
pensil tersebut di atas meja dan mataku mengikutinya,
kemudian ia mengeluarkan lagi sebuah pensil dan
meletakkannya di sebelah pensil yang tadi. Sebentar saja, aku
mengerti apa yang ingin disampaikan Cessy. Ternyata
begitulah cara menghitung satu ditambah satu.
Sepanjang pelajaran, aku diajarkan Cessy untuk
menghitung. Cessy dapat mendengarkan ajaran guru dan
langsung menyampaikannya kepada aku dengan cara yang
lebih mudah dimengerti. Hampir sampai akhir pelajaran, Cessy
melakukan itu dan aku tidak bosan menghadapinya. Bel untuk
pulang berbunyi, tapi guru belum memperbolehkan kami
untuk pulang. Guru tersebut menginginkan kami untuk
menjawab soal matematika sebelum pulang, dan bagi yang
benar, dialah yang boleh pulang. Ya, beginilah ciri-ciri guru
yang bakal tidak disukai murid nantinya.
Aku mulai panik takut akan tidak bisa menjawab
persoalan dari guru. Tanganku mulai terasa dingin, dan
mukaku pucat. Tetapi, Cessy memegang tanganku dan
menunjukkan ekspresi tidak apa-apa. Dengan pegangan yang
diberi oleh Cessy, akhirnya perasaanku dapat tenang kembali.
“Soal pertama. Satu tambah satu sama dengan?”
tanya guruku, memberikan soal termudah untuk soal
pertama. Tanpa lirik sana sini, aku langsung mengangkat
tanganku karena soal itu sudah diajarkan oleh Cessy tadi.
Namun, guru itu tidak melihat tanganku, karena setinggi
apapun aku mengangkat tanganku, tanganku tidak akan
setinggi orang biasa. Soal berikutnya, guruku memberikan dua
18
dikali tiga. Aku tidak bisa menjawab soal itu, tapi tenang,
bukan aku sendiri yang tidak bisa menjawab. Hampir seluruh
murid tidak bisa menjawab soal itu. Cessy mengangkat
tangannya dengan percaya diri dan semua mata menuju
kepada Cessy dengan pandangan yang kagum. Sayangnya,
Cessy tidak bisa menjawab dengan suara dan guru tersebut
menganggap Cessy tidak bisa menjawab soal itu. Guru kami
memberikan soal soal yang wajib dijawab oleh semua murid.
Aku dan Cessy selalu mengangkat tangan tetapi guru itu selalu
melanjutkan aku karena tidak melihat tanganku dan Cessy
karena dia tidak bersuara. Suasana kelas menjadi sangat seru
ketika semua murid berebut untuk menjawab pertanyaan
supaya mereka bisa pulang. Murid di kelas sudah pulang satu
persatu dan kelas sudah menjadi sepi. Aku dan Cessy sengaja
menunggu semua murid pulang supaya bisa menceritakan
perbedaan kami dengan murid lainnya. Namun, masih ada
seseorang yang belum pulang. Dari belakang, perempuan
tersebut terlihat familiar, sepertinya aku tau dia.
“Nana, satu tambah satu berapa?” tanya gurunya
mengharapkan jawaban dari perempuan tersebut. Namun
tidak ada jawaban dari perempuan itu. Aku antusias ingin
menjawab pertanyaan dari Ibu guru karena itu adalah
pertanyaan yang paling aku bisa. Dikarenakan aku angkat
tangan dan tidak dilihat, aku teriak dengan semangat namun
tidak menantang “Aku mau jawab! Aku mau jawab!” pada saat
itu juga, perempuan yang bernama Nana ini menoleh ke
arahku. Sedikit tercengang, ternyata Nana adalah perempuan
yang memarahi Cessy tadi pagi. Aku dan Cessy saling
bertatapan untuk beberapa detik dan membaca pikiran
masing-masing.
“Silahkan dijawab, Joy.” Kata Ibu sambil jalan ke
bangku aku. Aku menegakkan badanku dan menjawab dua.
19
Ibu guru tersernyum sembari memberikan tangannya buat
aku berpamitan dengannya. Aku pamit dengan Ibu,
mengambil tas dan melangkah menuju pintu kelas, lalu aku
berpaling menghadap Cessy “Jangan jadi orang yang terakhir
keluar ya, Cessy!” lalu baru melanjutkan langkahku keluar.
Kutunggu Cessy di luar kelas untuk beberapa menit
dan akhirnya Cessy muncul. Kami melakukan tos pertemanan
sebelum pergi ke gerbang depan sekolah. Sesampainya di
gerbang, ibu Cessy sudah menunggu dia di luar. Ibunya
menjemput Cessy di gerbang dan mengajaknya jalan ke mobil,
namun ketika Ibunya sudah jalan, Cessy tidak ikut melangkah.
Cessy lalu melakukan beberapa gerakan isyarat untuk
menyampaikan sesuatu kepada ibunya. Ibunya tersenyum
melihat pesan Cessy, lalu ibunya mengatakan bahwa Cessy
ingin menunggu aku sampai orangtuaku datang
menjemputku. Aku tersenyum lebar setelah mendengarkan
pesan dari Cessy, lalu berulang kali mengucapkan terima kasih
kepada Cessy dan Ibunya. Cessy kemudian memberikan
sebuah surat yang bertulis aku senang dapat menjadi
temanmu, semoga pertemanan ini bisa untuk selamanya.
20
Kenangan
Sudah beberapa tahun semenjak aku mengenali
Cessy, dan sekarang hubungan kami sudah menjadi jauh lebih
dekat. Kami selalu membagikan cerita, canda, dan tawa
bersama. Tahun ini, aku dan Cessy sudah meranjak ke bangku
SMP. Sayangnya, aku dan Cessy menjadi musuh terbesar Nana
di SD. Nana mendapatkan geng dia dan dia mulai membully
aku dan Cessy bersama teman-teman dia. Di sekolah, Nana
adalah murid terkaya, ayahnya bagaikan pahlawan bagi
sekolah kami karena Ayahnya sering berkontribusi dalam
acara di sekolah dalam bentuk sumber daya manusia maupun
materi. Itulah alasannya tidak ada yang berani membela aku
dan Cessy ketika kami dibully walaupun terkadang perlakuan
Nana tidak dapat dimaafkan. Ia membuat tidak ada satu
orangpun yang berani berkawan dengan kami. Alhasil, aku
hanya dapat menghabiskan enam tahun masa SD aku hanya
dengan Cessy.
Aku akan mengubah kehidupanku di SMP ini dengan
cara berkawan dengan semua orang, tentunya mengajak
Cessy dengan harapan besar tidak bersama Nana lagi di SMP
ini. Aku meyakinkan diriku untuk bisa bertemanan sama
semua orang karena kita tidak cukup jika hanya baik kepada
orang, kita harus menjadi teman.
Di dalam enam tahun ini, ayahku juga sudah mencapai
tujuan dia untuk menjadi manajer di perusahaan yang sedang
ia bekerja. Kami pun pindah rumah kami ke rumah yang lebih
besar dari sebelumnya yang lebih dekat dengan rumah Cessy.
Begitu pula dengan Ibuku, Ibuku menjadi sahabat terbaik Ibu
Cessy. Kedekatan orangtua kami membuat kami menjadi
sering keluar bersama. Dan besok, hari yang telah kutunggu
tunggu sejak lama yaitu pergi ke pantai bersama Cessy!
21
Aku sedang memasukkan barang barangku ke dalam
tas untuk pergi ke pantai bersama orangtua ku, dengan
antusias aku memikirkan apa saja yana harusku bawa sambil
melihat ke arah langit-langit di rumah. Aku menyadari
terdapat sebuah kotak tua berbentuk harta karun kayu di atas
lemari pakaian. Tidak dapat mengambilnya sendiri, aku
meminta bantuan ayahku. Ayahku menurunkan kotak
tersebut dan membukanya bersama. Di dalamnya, terdapat
banyak lukisan dengan kertas yang sudah menguning dan
berdebu. Aku mengambil salah satu lukisan paling di atas dan
melihat dengan wajah yang mengagumkan, lukisan itu benar
benar indah sekali.
“Ibu, apakah ibu mengenali gadis yang berada di
lukisan ini? Ia terlihat sangat cantik.” Aku menanyakan kepada
Ibuku masih dengan perasaan kagum terhadap seniman yang
melukis gambar ini. Namun, ibuku tidak menjawab
pertanyaanku, Ibuku hanya tersenyum tersipu malu. Ayahku
menyadari lukisan itu dan mengatakan
“Itu adalah masa muda ibumu.” Dengan senyuman
bangga bisa mendapatkan cinta Ibu. Aku terbelalak
mendengarnya, ternyata ibuku secantik bagaikan bidadari.
“Ayahmu menyatakan perasaannya dengan lukisan
ini, Joy.” Aku tidak mengerti apa yang dikatakan ibu, aku
menaikkan satu alis mataku. Ibuku sadar akan ke lolaan ku dan
Ia melanjutkan “Ayahmu dulu tidak mampu untuk membeli
cincin, jadi ayahmu menggantikan cincin dengan lukisan ini.”
Tambah Ibu memperjelas perkataannya. Aku melirik ke
Ayahku dan ayahku mengangguk angguk.
“Percintaan yang luar biasa ya Ayah dan Ibu.” Kataku
mengagumkan. “kalau cintaku kapan datangnya, Yah?”
22
tanyaku dengan polos. Ayah dan Ibuku saling melirik-lirikan
dengan muka yang canggung, ayahku datang mendekatiku,
memegang bahuku dengan kedua tangannya dan meyakinkan
aku.
“Ketika kamu menemukan seseorang yang benar-
benar tulis padamu, tuan putri.” Aku mengangguk setengah
mengerti. Mungkin yang dimaksud ayahku adalah tentang
ketidaksempurnaan aku. Tentunya aku susah untuk mencari
cinta. Tidak semua orang bisa menerima kenyataan ini.
Bahkan ayahku jatuh cinta kepada Ibuku karena Ibuku
memiliki paras yang sangat menarik. Iya, pada akhirnya aku
pasti akan menemukan seseorang yang tidak pandang
ketidaksempurnaanku dan bisa mencintaiku apa adanya. Toh
aku baru saja masuk SMP, waktuku masih panjang.
Keesokan pagi, kami berangkat ke pantai bersama
keluarga Cessy dan Cessy. Ayah Cessy menyetir mobil dan
ayahku duduk di bagian depan, Ibu aku dan ibu Cessy duduk di
bagian belakang mobil di dekat pintu, sedangkan aku dan
Cessy duduk bersama di tengah Ibu kami. Di mobil, kami
berbincang bincang, menceritakan tentang bagaimana kisah
cinta orangtuaku, dan orangtua Cessy juga membagikan cerita
bagaimana mereka bisa bertemu. Cerita-cerita yang dibagikan
membuat perjalanan terasa dekat. Hanya sebentar saja, kami
sudah sampai ditujuan kami.
Aku dan Cessy menuruni mobil dengan antusias, lupa
akan kehadiran orangtua kami, kami langsung mengganti baju
renang. Cessy menarik tanganku untuk menuju ke laut, ia
memercikkan air laut tepat dimuka ku dan aku membalasnsya,
kami bermain di laut dengan perasaan yang sangat senang.
Tidak tersadari, matahari sudah di atas kepala kami. Ibu kami
23
khawatir akan kesehatan kami, jadi kami diminta untuk
istirahat sejenak.
Ketika aku dan Cessy sedang berjalan menuju tempat
teduh dimana orangtua kami berada, aku merasakan ada sinar
cahaya flash dari arah ibuku. Ternyata flash itu adalah cahaya
potretan kamera dari ibuku. Ibuku memotret aku dan Cessy
yang sedang tersenyum lebar bermain bersama sambil
berjalan ke arah orangtua kami. Menyadari kami dimotret,
kami saling bertatap dan terdiam, lalu meledakkan tawa kami.
Setelah itu, kami dengan antusias berlari ke arah orangtua
kami untuk melihat hasil foto kami. Fotonya terlihat bagus,
aku dan Cessy terlihat sangat bahagia difoto itu. Akhirnya,
kami masing-masing menyimpan foto tersebut.
Kami menghabiskan siang hari kami dengan melihat
kembali masa SD kami yang sekarang telah menjadi kenangan.
Kenangan pahit yang terdapat Nana yang membully kami dan
kenangan indah karena Cessy tidak pernah meninggalkan aku
sendirian, ia juga selalu datang untuk menghiburku ketika aku
dibully Nana. Iya, pertemanan pertama yang membuatku
langsung mengerti tentang pertemanan asli. Kami berbincang-
bincang sampai akhirnya matahari sudah hampir terbenam.
Orangtua kami menyuruh kami untuk berberes karena hari
sudah mau usai, Ibu kami juga membantu kami.
Aku melihat Cessy dan merasakan ada yang berbeda
di dalam dirinya, dia terlihat sedih dan bingung terhadap
sesuatu. Aku menanyakan kepada dia dan yang dia jawab
hanyalah geleng-geleng tanpa menggunakan Bahasa isyarat.
Aku ikut kebingungan, tetapi aku memutuskan untuk tidak
bertanya lagi. Tiba-tiba, Cessy menggenggamkan tanganku
dengan kuat dan menahannya, lalu mengeluarkan sebuah
kalung loket yang berisi foto yang dipotret oleh ibuku tadi.
24
“Wah indah sekali!” aku melihat kalung loket tersebut
dengan mata yang berkilau. Cessy melepaskan genggamannya
perlahan, lalu memelukku dengan erat. Dia mengucapkan
sesuatu dengan tidak jelas. Aku yang ingin tau apa yang
dibicarakannya langsung melepaskan pelukannya dengan
lembut. Kulihat mata Cessy sudah berkaca-kaca, sepertinya
dia ingin menangis. Dan benar, ia menguburkan mukanya
dikedua telapak tangannya dan menangis dengan kencang.
“Cessy, kamu kenapa?” ku tepuk dan elus pundak
Cessy dan menanyakan dengan hati-hati. Cessy hanya
menggeleng-geleng menjawabku, dia membalikkan badan lalu
menghadap ke arahku lagi, seperti ingin menyampaikan
sesuatu namun tidak jadi. Dia lalu membalikkan badannya lagi
dan berlari sambil menangis ke arah Ibunya.
25
Perpisahan
26
mendalam. Malahan, ayahku yang menjawabku dengan
memberikan aku sedikit harapan.
“Apakah kamu ingin bertemu dengan Cessy untuk
terakhir kalinya?” Tanya papaku. Tanpa berpikir panjang, aku
langsung beranjak dari tempat tidur dan mempersiapkan
diriku secepat kilat untuk bertemu dengan Cessy untuk yang
terakhir kalinya. Di perjalanan, aku tidak bisa tenang, mataku
kemana-mana untuk mencari Cessy, mengharapkan ketemu
dia diperjalanan. Namun tidak ada bayangan Cessy yang
terlihat. Ayahku membawaku ke bandara, karena
kemungkinan yang paling besar keberadaan Cessy adalah di
bandara.
Sesampainya di bandara, aku langsung berlari menuju
tempat yang aku rasa ada Cessy, tetapi aku masih belum
menemukannya. Waktu berjalan dengan cepat, aku juga
semakin panik. Aku takut akan kehilangan Cessy, aku bagaikan
orang sakit jiwa yang baru keluar dari rumah sakit. Aku melihat
kiri kanan dengan sangat cepat untuk mencari sosok Cessy
sampai aku terpikir untuk menelpon Ibunya.
“Ayah, bolehkah ayah telpon kepada Ibu Cessy?” aku
memohon kepada ayah dengan terburu-buru. Ayahku
bergerak dengan cepat dan langsung mengantarku ke tempat
Check-in. Aku mendesak ayahku untuk jalan lebih cepat
supaya tidak ketinggalan pertemuan terakhirku kepada Cessy.
Sesampainya di tempat check-in, aku masih belum melihat
Cessy. Perasaan buruk bahwa Cessy sudah meninggalkan aku
dan aku tidak berkesempatan untuk menemukan dia muncul.
Mataku mulai berair dan pandanganku sudah tidak jelas. Aku
hanya bisa mengandalkan kepada suaraku sekarang.
27
“Cessy!” Aku memanggil namanya berulang kali tetapi
tidak ada tanda tanda bahwa Cessy disini. Aku benar-benar
sudah lemas. Dengan masih memanggil namanya, aku
terduduk dengan kakiku dipeluk oleh tanganku. Suaraku
memanggil Cessy yang lama kelamaan semakin kecil suaraku,
dan akhirnya aku menunduk dan menenggelamkan wajahku
dipelukanku. Menangis.
Ayahku menyolek bahuku, menyuruhku untuk bangun
tetapi aku tidak kuat. Ayahku kemudian memaksaku untuk
berdiri, lalu ia menunjukkan arah jam dua belas. Aku
mengucek mataku untuk melihat seseorang yang berjarak dua
meter dariku. Orang tersebut terlihat familiar. Memiliki
rambut dan bentuk tubuh yang sama persis seperti Cessy dari
belakang, atau jangan-jangan, dia memanglah Cessy?
“Cessy!” aku teriak lagi dengan sekuat tenaga.
Perempuan tersebut menoleh ke arah aku, menyipitkan
matanya dan memberikan senyuman terbahagia yang pernah
dia keluarkan, melambai-lambaikan tangannya kepadaku
dengan sekuat tenaga dia, lalu menerobos antrian yang sudah
dia antri dari pagi untuk bertemu denganku. Dia datang dan
langsung menggali manja kepalanya ke bahu aku. Aku dapat
merasakan kebahagiaan yang dirasakan Cessy sekarang.
Berusaha untuk tidak nangis, aku berpura-pura untuk tetap
tegar.
“Jangan khawatir Cessy. Kita pasti akan bertemu lagi.”
Aku mengatakan kalimat itu menunjukkan bahwa aku tegar,
tetapi suara tidak bisa menipu. Suaraku gemetaran seperti
orang yang lagi nangis, dan bener, aku memang sedang
menangis. Cessy akhirnya mengangkat kepalanya dengan
terpaksa dari bahuku dan mengusap air mataku dengan
senyuman yang dipaksa, padahal mata Cessy juga sama
28
basahnya seperti diriku. Cessy masih memaksakan
senyumannya walaupun aku tau dia ingin menangis lalu dia
menganggukan kepala dia.
Cessy sudah dipanggil oleh orangtuanya karena sudah
mendapatkan antrian untuk check-in, dan untuk terakhir
kalinya, Cessy memelukku dengan erat sebelum kemudian ia
melangkah kembali ke Ibunya sembari melambaikan tangan
kepadaku pertanda selamat tinggal. Aku juga membalas
lambaian tanganku yang pendek bermaksud perpisahan.
Namun, sebelum dia sampai di gerbang check-in, aku berlari
dan menggenggam tangannya. Aku memberikan dia sebuah
lukisan yang aku gambar yang rencananya untuk memberikan
kepada dia ketika dia ulang tahun bulan depan. Namun, situasi
menjadi tidak mendukung aku untuk memberikan kado ulang
tahun kepada Cessy, jadi aku memberikan kepadanya sebagai
hadiah perpisahan. Dan untuk terakhir kalinya, aku berteriak
dengan suaraku yang masih bergemetaran.
“Selamat tinggal, Cessy! Kamu akan selalu menjadi
teman terbaikku!”
29
Belajar Hal Baru
Waktu berjalan sangat lambat kemarin, sehari serasa
seminggu tanpa Cessy. Aku tidak memiliki selera untuk makan
dan tidak memiliki tenaga untuk melakukan apa-apa. Aku
hanya bisa rebahan di tempat tidur dengan wajah yang sedih
memikirkan kesedihan yang tidak seharusnya aku rasakan.
Menghabiskan waktu dengan kegiatan yang tidak produktif
bahkan tidak melakukan apa-apa.
Orangtuaku mulai khawatir atas perilaku ku yang tidak
seperti biasanya, mereka melakukan berbagai cara untuk
menghiburku termasuk membelikan makanan kesukaanku,
tetapi apapun yang dilakukan orangtuaku tidak membantu
dalam membalikan perasaanku sekarang. Mungkin yang bisa
membalikkan perasaanku hanyalah Cessy. Aku tidak
berkomunikasi dengan orangtuaku seharian. Aku hanya
tiduran di tempat tidur sambil memikirkan Cessy dan aku
menghabiskan hariku hanya di tempat tidur.
Jika dipikirkan kembali, aku sungguh menghabiskan
waktu aku kemarin. Jadi hari ini, aku tidak boleh lagi
menghabiskan waktu aku. Aku akan melakukan apapun untuk
bisa melupakan perasaan sedih ini. Aku mulai mencatat apa
yang bisa kulakukan sendirian tanpa Cessy, dan aku
mendapatkan list kegiatan yang bisa dilakukan sebagai
berikut: menggambar, membaca, dan menyanyi. Kegiatan
pertama yang akan aku mulai adalah menggambar karena
ayahku jago dalam hal gambar.
Aku meminta ayahku untuk mengajarkan aku untuk
menggambar. Mendengar hal tersebut, ayahku membalas
dengan muka bahagia sebelum dia menerima tawaranku.
Ayahku membanggakan dirinya kepada Ibu karena aku
30
mendapatkan hobi yang sama dengan Ayah bukan Ibu.
Sebelum ayah memulai mengajar, ayahku menanyakan
mengapa aku ingin menggambar walaupun dia jelas tau
bahwa aku ingin menggambar supaya bisa tidak bersedih
karena Cessy.
Kami bicara sebentar lalu ayahku membawa aku ke
ruangan kerja dia dimana terdapat satu tempat khusus
peralatan gambar ayahku. Aku tercengang melihatnya, karena
ini adalah pertama kali aku melihat peralatan gambar yang
selengkap ini. Ayahku menunjukkan alatnya sambil
mengajarkan aku tentang menggambar. Ia memulai dari
memperkenalkan alat dahulu, dan dia menjelaskan gunanya
pensil dan bedanya pensil tebal dan tipis. Dia mengajarkanku
tentang pensil karena dia ingin berbagi ilmunya tentang
sketsa.
Pertama-tama, dia meminta aku untuk menggambar
sebuah/seseorang yang istimewa. Mata ayahku berkaca-kaca
seperti mengharapkan aku menggambarkan dirinya, namun
aku tidak menyadari ekspresi wajah ayahku. Aku langsung
menggambar sebuah perempuan berambut pendek dengan
ekspresi yang tidak bisa dijelaskan. Ayahku melihat
gambaranku dan langsung menebak.
“Aku ramal dia Cessy!” kata Ayahku dengan percaya
diri. Aku tercengang atas jawaban Ayahku. Aku melihat ayahku
lalu gambarku berulang kali, merasa sedikit bangga karena
Ayahku bisa melihat siapa yang aku gambar yang tandanya aku
bisa menggambar dengan bagus, lalu aku menanyakan
kepadanya
31
“Mengapa ayah bisa tau?” dengan kedua tanganku
dikepalkan dan diletakkan di depan dadaku, masih dengan
ekspresi tercengang.
“Jelas saja, Joy. Cessy kan satu-satunya temanmu.”
Sambil ketawa. “Selamat Joy, kamu sudah menggambarkan
gambaran pertama kamu yang bernama Stickman.” Lanjut
Ayah sambil menahan tawa tetapi juga bangga karena aku
sudah bisa menggambar Stickman. Sebenarnya, ini bukanlah
karya pertama aku, aku sudah pernah menggambar
sebelumnya dan ku berikan hasil karya terbaikku kepada Cessy
kemarin tepat sebelum dia check-in pesawat. Aku
memberitaukan ini kepada ayahku dan ayahku yang tadinya
hanya ketawa kecil menjadi tertawa terbahak-bahak. Ayahku
tertawa dengan nada yang mengejek membuatku merasa
terhina.
“Kamu lucu sekali Joy” Ayahku hanya mengucapkan
satu kalimat yang masih belum dapat menjelaskan alasan dia
tertawa. Aku tidak menghiraukannya lagi dan aku melanjutkan
untuk menggambar.
Aku menghabiskan dua jam dan akhirnya aku bisa
menggambar stickman yang lebih rapi dan real. Ayahku tidak
lagi tertawa atas karyaku sekarang. Malahan, dia mengajarku
untuk menggambar beberapa ekspresi wajah seperti bahagia,
sedih, marah, malu, ketakutan, dan bingung. kali ini, Ayahku
memuji bahwa aku adalah anak yang cepat nangkap dalam
pembelajaran dan ia menyarankan aku untuk belajar
mewarnai. Dia mulai mengajariku dengan menggabungkan
warna, seperti jika biru dicampur kuning maka akan menjadi
hijau, merah dicampur kuning maka akan menjadi oranye dan
lain lain. Aku amat senang dalam mempelajari hal ini.
32
Siangnya, Ayahku menyarankanku untuk memilih alat
lukis. Dia lalu membawa ku ke toko alat tulis untuk
membelikan beberapa alat gambar yang akan ku pilih sendiri.
Kata Ayah, menggambar menggunakan alat tulis sendiri lebih
seru, karena kita akan membangun hubungan dengan alat
gambar kita. Aku memilih beberapa pensil warna dan spidol
berwarna saja karena bakatku yang belum terpenuhi, namun
ayaku menyarankanku untuk langsung beli semuanya saja
termasuk kuas dan cat air karena dia melihat bakat
menggambar didiriku. Selanjutnya, ayahku juga mengajakku
ke toko buku untuk beli beberapa novel karena aku tidak
memiliki teman lain selain Cessy, novel akan menjadi teman
baruku. Aku beli beberapa buku selain novel seperti buku
panduan cara sketsa, buku mewarnai, dan lain lain.
Ayahku menghabiskan banyak uangnya demi
membahagiakan aku atas kehilangan Cessy dan untuk
mendukung hobi aku. Aku merasa sangat bersyukur memiliki
Ayah yang sangat sayang kepadaku. Hal ini membuat aku
memperkuat janjiku untuk membahagiakan orangtuaku
dimasa depan.
Malamnya, Ibuku yang biasanya masak tidak
memasak hari ini. Ibuku menyuruhku untuk memilih restoran
mana saja yang akan kukunjungi, mereka akan membawa aku
kesana. Aku tau ini adalah rencana mereka untuk
membahagiakanku. Mereka tidak ingin aku bersedih sedih
lagi, jadi mereka rela mengeluarkan apa saja demi
kebahagiaanku. Aku memilih ke restoran anak-anak yang
sudah lama ingin saya kunjungi, restoran yang didesain khusus
anak anak dengan interior yang lebih kecil dilengkapi taman
bermain di dalamnya. Menu makanan yang ditawarkan juga
lucu-lucu. Orangtua ku membebaskan aku untuk memesan
menu makanan sesuai keinginanku. Es krim, jus, manisan dan
33
lain lain aku pesan semua tanpa memikirkan hal yang lain.
Malam itu, aku makan dengan sangat bahagia. Tentunya ayah
dan Ibuku juga bahagia melihat aku dapat melupakan Cessy
untuk sementara waktu. Ini juga berkat dukungan orangtuaku,
aku bisa melupakan kesedihanku dan kembali bersenang-
senang.
Setelah makan dan ingin pulang, aku berdiri sebelum
orangtuaku berdiri, aku jalan tengah tengah mereka lalu aku
memberikan kecupan di pipi mereka. Kecupan yang ikhlas.
Aku lalu mengatakan “Terima kasih Ayah dan Ibu, aku merasa
jauh lebih baik hari ini daripada semalam” ayah dan ibuku
menatap satu sama lain, tersenyum. Lalu memeluk aku
dengan kedua tangan mereka.
34
Teman Sebangku
Melihat kondisi aku yang sering dibully ketika aku
duduk di bangku SD, ayahku menyarankan aku untuk
mengejar ilmu di sekolah untuk anak berkebutuhan khusus.
Namun, aku menolaknya. Tolak karena aku tau dunia luar itu
tidak seindah yang dibayangkan dan cepat atau lambat, aku
harus menghadapinya. Aku akan beradaptasi dengan dunia
luar, bukan dunia luar yang beradaptasi dengan aku. Pertama
tama, ayahku belum setuju dengan alasan yang aku berikan,
namun lama-kelamaan, ayahku melihat keinginan dan
pendirianku yang kuat. Akhirnya, dia mengizinkanku untuk
mencari ilmu di sekolah umum.
Sesampainya di sekolah baru aku, aku merasakan
banyak orang yang memandangku dengan pandangan aneh,
pandangan yang mengatakan aku tidak seharusnya disini dan
ini bukan tempatku. Persis seperti ketika aku pertama kali
masuk ke SD. Aku sudah sering dipandangi dengan pandangan
begitu, dan ini bukan suatu hal yang bisa aku hindar, karena
nyatanya, aku memanglah berbeda dari anak yang lain. Aku
hanya akan berusaha untuk berbaur dan menjadi teman
orang-orang disini.
Aku memasuki kelas, sudah tidak dengan takut-takut
akan pandangan orang. Lincah, mataku langsung
mendapatkan sebuah bangku kosong di sebelah seorang lelaki
yang kelihatan pendiam. Ku Tarik bangku ku yang berada di
sebelah dia. Tetapi, tidak ada reaksi dari dia, dia bahkan tidak
melihatku. Entah dia sengaja, atau memang dia malu.
Hari hari berlalu dengan aku yang selalu berusaha
mengajak dia bicara dan dia yang selalu mencuekkan aku. Dia
tidak aktif dalam menjawab pertanyaan dari guru, juga tidak
35
pergi ke kantin selama jam istirahat. Jika dari fisik, dia terlihat
normal. Sama seperti orang-orang di sekitar pada umumya.
Anehnya, tidak ada yang berinisiatif untuk mengajak dia bicara
dan dia juga tidak mengajak orang lain untuk bicara. Ketika aku
mengajak dia bicara, dia juga tidak peduli. Tidak menjawab
walaupun hanya sekedar mengangguk dan menggeleng
kepala. Yang lebih parah, dia juga tidak menjawab pertanyaan
dari guru. Iya, sepasif itulah dia.
Aku kira dia bakal bicara ketika sudah sebulan.
Namun, sebulan sudah berlalu dan dia tidak ada perubahan.
Aku yang tadinya semangat untuk mengajak dia bicara, kini
juga sudah mulai jenuh. Aku merasa tidak ada perlunya untuk
mengajak seseorang yang tidak ingin bicara kepadaku untuk
berbicara. Dia hanya seperti boneka dengan ukuran manusia
yang diletakkan di kelas saja. Sebulan ini, aku sudah menghafal
nama-nama orang kelas dan mendengarkan suara mereka.
Namun, lelaki ini masih misterius. Aku belum tau namanya dan
belum pernah mendengar suara dia. Bahkan guru-guru sudah
tidak menganggap kehadiran dia lagi.
Menghadapi teman sebangku yang sepasif ini, aku
hanya bisa menghabiskan waktu aku untuk menggambar.
Tidak ada lagi orang yang akan menjelaskan kepadaku ketika
aku tidak mengerti materi yang diberikan oleh guru dan tidak
ada orang lagi yang akan meminjam catatan kepadaku. Sama
seperti ketika aku SD, aku masih tidak bisa fokus kepada apa
yang dibicarakan guru. Jadi setiap kali guru menjelaskan di
depan, aku hanya bisa menggambar dikertas di atas mejaku.
Karena menggambarlah hal yang paling ku nikmati saat ini.
36
Lomba
Aku belum mendapatkan teman, dan tidak memiliki
teman sama sekali. Jadi ketika jam istirahat, semua orang
menghabiskan jam istirahat mereka dengan pergi ke kantin.
Sedangkan, aku hanya berdiam diri di kelas dan menghabiskan
waktuku dengan menggambar. Hampir setiap hari aku
melakukan hal yang sama. Aku selalu meletakkan lukisanku di
bawah meja belajarku di kelas dan tidak membawa pulang
gambarku. Setiap paginya, gambaranku sudah tidak ada.
Mungkin, tukang bersih bersih di sekolah membuangnya atau
mungkin tukang bersih-bersihnya menyukai gambaranku, kan
siapa tau. Namun, itu tidak masalah, karena gambaranku tidak
pernah serius. Aku hanya ingin sekedar menghabiskan
waktuku dengan menggambar, jadi mau disimpam atau
dibuang, aku tidak peduli.
Tiba-tiba aku mendapatkan panggilan untuk ke ruang
guru, memikirkan kesalahan apa yang aku perbuat sehingga
dipanggil ke ruang guru, namun tidak terpikirkan sama sekali.
Apa jangan-jangan aku dipanggil karena tidak pernah fokus
mendengarkan ajaran guru di kelas? Aku tidak berani
meranjak kakiku dari kursi.
“Joy! Ibu Kelly masih menunggu mu!” Desak orang
yang tadi memanggilku. Sedikit was was, aku juga memikirkan
apakah ini jahilan dari orang, karena sering sekali murid disini
mengganggu temannya dengan cara mengabari mendapatkan
panggilan dari guru padahal tidak. Aku berdiam diri sampai
akhirnya Ibu Kelly datang sendiri untuk memanggilku.
“Joy, kemarilah.” Kata Ibu Kelly sembari mengayunkan
tangannya memanggil aku kesana. Aku jalan menuju Ibu Kelly.
“Kamu terpilih untuk mengikuti lomba tingkat sekolah.
37
Apakah kamu tertarik, Joy?” tanya Ibu Kelly dengan harapan
besar aku terima. Sedikit bingung karena aku tidak pernah
menunjukkan lukisanku kepada siapa siapa, masih memikirkan
bagaimana Ibu ini bisa tau jika aku bisa menggambar.
“Ibu, kalau boleh tau, kenapa Ibu tau saya bisa gambar
dan mengapa saya dipilih?” aku memutuskan untuk
menanyakan saja dari pada menduga yang tidak tidak. Ibunya
tersenyum.
“tukang bersih sekolah selalu menemukan selembar
lukisan di bawah mejamu, dan dia mengumpulkannya setiap
hari kepadaku. Setelah dilihat-lihat, gambaran mu memang
ada ciri khasnya sendiri, dan untuk orang yang seumuran
kamu, gambar ini luar biasa. Jadi, apakah kamu tertarik untuk
didaftarkan lomba menggambar?” jelas Ibu Kelly dan
menanyakan sekali lagi. Gemilang wajahku, hatiku berbung-
bunga. Tentu, aku akan menerima tawaran ini dengan senang
hati. Ibu Kelly lalu memberikan tangannya bersalaman dengan
aku, aku memberikan tanganku juga dan kami bersalaman
yang bertanda bersedia.
Ibu Kelly langsung mengajakku ke ruang guru dan
memberikan formulir pendataran lomba gambar dan aku isi
langsung disana juga. Ternyata, topik lukisan yang diminta itu
adalah suasana lingkungan sekolah dan perlombaannya akan
dimulai minggu depan.
Sesampainya di rumah, aku langsung mengabarkan
kabar baik ini kepada kedua orangtuaku. Mereka menyambut
baik kabar ini dan memberikanku motivasi. Ayahku tidak
percaya bahwa aku sudah bisa menggambar dengan bagus,
dia sendiri tercengang dengan perkembanganku selama satu
bulan ini. Ayahku mulai melatih aku untuk menggambar setiap
38
malam supaya aku bisa memenangi lomba ini. Sebenarnya
kata orangtuaku menang atau kalah itu tidak masalah, yang
penting kita sudah berjuang. Aku latihan menggambar setiap
hari di sekolah dan malam di rumah dengan Ayah sebagai
guruku. Ibuku yang tidak bisa mengajarkan ku untuk
menggambar sering memotivasi aku dari belakang. Yang
paling sering diucapkan adalah “Practice makes perfect, Joy!”
39
Bola Basket
40
“Halo, maafkan aku” ia meminta maaf dengan
pandangan yang masih lurus ke bola, belum melihat diriku.
“boleh tolong ambilin bo…” cowo tersebut berhenti
ucapannya ketika dia mengangkat kepalanya dan melihat
lengan aku yang tidak sempurna. “maafkan aku sekali lagi, aku
ambil sendiri saja.” Katanya dengan merasa bersalah. Ia
menundukkan kepalanya sedikit menunjukkan rasa
bersalahnya sebelum dia pergi melanjutkan permainan.
41
terletak di atas mejaku. Aku mendekati buku itu dan
memerhatikan sampul buku tersebut. Terdapat tulisan Joy
Fayola, nama aku. Aku penasaran dengan isi buku ini karena
terdapat namaku dan bukan milikku. Ku buka perlahan buku
ini. Sekali lagi, aku ternganga. Buku ini memiliki gambaran
gambaranku yang hilang sebelumnya, gambaran yang ku kira
sudah dibuang oleh pembersih sekolah. Aku mulai membalik
halaman buku tersebut sampai akhir halaman, dan benar,
semua gambaran ku yang diambil pembersih sekolah terdapat
di dalam buku ini, tertata dengan rapi. Sampai diakhir
halaman, aku melihat sebuah kertas yang tertulis Semangat
buat lombanya. Aku tersenyum sedikit, memikirkan siapa yang
bakal memberikan aku hal seperti ini untuk memotivasi aku,
ku angkat dan peluk bukunya dengan perasaan lega. Tiba-tiba
terdapat secarik kertas yang keluar dari buku tebal tersebut.
Aku ambil kertas tersebut dan membacanya dalam hati. Jika
kamu ingin tau siapa aku, lihatlah ke arah lapangan basket.
42
“Sama-sama, Dek. Ini tugas bapak kok.” Katanya
dengan suara diperlembut. Namun, aku kurang mengerti apa
yang dimaksud sebagai tugasnya. Mengapa menyimpan
lukisan dan membuatnya jadi buku merupakan tugas dia?
Sepertinya ada kesalahpahaman. Aku menanyakan sekali lagi
untuk memperjelas kondisi. Namun, jawaban dia tidak sesuai
ekspektasi.
43
kepalanya di atas meja menghadap ke arahku, tertidur.
Mungkin dia lelah, pikirku.
44
Latihan
45
berada di sekolah satu jam lebih lama dari biasanya, tapi dia
tetap saja belum pulang. Aku tidak lagi menggambar.
Malahan, aku jadi fokus kepada dia, aku memandangi dia
seperti sedang kasmaran. Tiba tiba, dia menoleh ke arahku.
Pandangan kami bertemu.
46
jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya, masih tidak
bisa menjawab jawaban dari dia. Lalu dia senyum tipis
memecahkan semua kecanggungan ini, dia berdiri dan
mengatakan “Yauda, lanjut aja dulu.” Sambil mengelus
kepalaku sebelum dia pergi dari lapangan basket ini.
47
Persiapan
48
😊😊😊
😊😊😊
49
“Joy, cepat!” desak ibuku karena sepuluh menit lagi
lomba sudah mau dimulai.
50
Tanpa kusadari, aku menyelesaikan gambarnya
dengan waktu satu jam tiga puluh menit. Sedangkan waktu
yang diberikan kepadaku adalah dua jam. Aku masih memiliki
waktu tiga puluh menit. Jadi ku kerjakan ketentuan yang
diberikan untuk memenangi lomba ini yaitu: menulis cerita
dibalik lukisan ini yang nantinya akan dibacakan kepada para
penonton.
51
Hasil
52
Dia tau, bahwa dia tidak mungkin akan menjadi seorang
pemain basket.
53
basket dan keinginan besar dia untuk menjadi pemain basket.
Lelaki itu mendengarkannya dengan penuh empati. Kemudian
lelaki tersebut bertekad.
Selesai.”
54
“Juara dua jatuh kepada… Granis!” tepuk tangan riuh
dari penonton terdengar, aku yang tadinya berada di depan
barisan mundur langkahku ke belakang karena sudah hilang
harapan. Keluarga Granis dipersilahkan untuk maju untuk
mengambil foto bersama Granis.
I did it!
55
Daniel Brandon Alvaro
😊😊😊
56
dengan ketakutan dan Ayah Joy melihat ekspresi wajahnya,
tidak mirip maling sama sekali. Bahkan, Ayah Joy langsung bisa
membaca pemuda tersebut hanya seumuran Joy. jadi Ayah
Joy menduga bahwa pemuda tersebut adalah teman Joy.
57
mengetahui apa motif pemuda ini, pastinya, bukan sekedar
ingin memberikan surat selamat kepada Joy. Kalau diingat-
ingat lagi, punggung pemuda ini terlihat seperti punggung
lelaki yang menggunakan baju basket berangka empat itu.
58
Menerima pandangan dari Daniel, Ayah Joy langsung
mengerti apa yang diinginkan Daniel. Namun masih dengan
padnagan dingin, dia mengatakan.
😊😊😊
59
Makan Malam Bersama Daniel
60
“Teman sebangkumu, Joy. masa tidak tau namanya
sih.” Kata Ibuku menjelaskan. Dan baru hari ini, aku
mengetahui nama teman sebangkuku. Daniel melihat ke
arahku dan senyum dengan canggung. Lalu aku mengangguk
balik dengan sedikit senyuman yang menggoresi wajahku.
61
merasa Daniel merebut pekerjaan ayahku yang selalu
mengambilkan lauk untukku.
😊😊😊
62
Setelah Joy pergi, Daniel kembali membuka
percakapan.
😊😊😊
63
Pemandu Sorak
64
“Menurutmu, apa mungkin aku jadi seorang pemandu
sorak?” aku menjawab dengan nada yang sedikit ku tinggikan,
menunjukkan jika aku sedang tidak senang.
“Iya udah, kalau kamu tidak mau, orang lain aja yang
akan menjadi pemandu sorakku.” Katanya sedikit pasrah
terhadap reaksi aku yang berlebihan. Tidak mengerti mengapa
aku emosi, akhirnya Daniel juga menjadi badmood. Daniel
mengeluarkan ponselnya untuk menghentikan perasaaan
buruk yang berlanjut.
😊😊😊
65
“Iya”. Balas Daniel singkat. Sesingkat mungkin yang ia
bisa.
😊😊😊
66
Pertandingan Basket
67
arah perkumpulan tim pemandu sorak dan mulai mengambil
posisi, masih membelakangiku. Daniel melihat dan
memberikan senyum kepadanya.
68
“Iya! Dia adalah sahabat aku yang hilang tanpa kabar.”
Bohong Nana kepada Daniel. Nana langsung memelukku di
depan Daniel dan orangtuaku dan mengatakan bahwa dia
sangat kangen kepadaku. Ayah dan Ibuku saling menatap dan
tersenyum, merasa setidaknya aku masih memiliki teman.
Sedangkan aku, hanya terdiam di pelukan Nana, berwajah
datar, tidak tau harus bagaimana.
😊😊😊
69
sudah mengira bahwa mereka adalah sahabat. Wajah Nana
menjadi datar setelah mendengar pertanyaan yang baru saja
keluar dari mulut Daniel, tidak menyangka orang yang
direkomendasikan Daniel adalah Joy, orang yang pernah
dibully dirinya.
70
“Iya, tidak apa-apa. Aku bersedia untuk menjadi
temannya. Aku akan mendaftarkan ke sekolah yang sama
seperti Joy dan kamu ketika kita SMA nanti.” Kata Nana
berusaha menenangkan Daniel sambil menepuk-nepuk
pundaknya.
😊😊😊
71
Waktu yang Lewat
72
Di sekolah, Nana sering mengatakan bahwa ia adalah
sahabatku kepada siswa-siswi sekolah dan tentunya di depan
Daniel juga. Tetapi jika di belakang Daniel, Nana membuka
topengnya. Ia masih sering membullyku di SMA. Aku tidak
pernah layan kelakuan Nana, ia hanya seperti anak-anak yang
masih SD. Aku tidak layan Nana di depan maupun di belakang
Daniel. Akibatnya, Daniel merasa Nanalah orang yang selalu
berusaha ingin menjadi temanku dan aku orang yang sangat
cuek, orang yang tidak ingin menerima pertemanan dari orang
lain, orang yang wajar jika tidak memiliki teman.
73
Ejekan
74
“Yauda kalian aja.” Jawabku singkat. Tidak ingin
memperpanjang drama di kantin nanti. Aku menundukkan
kepala dan melanjutkan aktivitas ku. Melihat jawabanku yang
singkat, Daniel menarik napas panjang, ingin mengatakan
sesuatu, diantara menegur aku atau menceramahi aku, tetapi
Nana menarik fokus Daniel. Ia mulai memasang muka sedih,
sesedih yang ia bisa untuk menarik perhatian.
75
“Kamu tau apa, Dan.” Aku menghembuskan napasku
sambil menggeleng-geleng kepalaku.
76
tidak suka kepadaku. Daniel hanya percaya kepada apa yang
dia lihat, bukan dengan omongan orang lain. Dan Nana pintar,
selalu berbuat hal baik kepadaku di depan Daniel,
menyembunyikan semua kebusukannya di belakang Daniel.
77
Rahasia
78
seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Nana tidak lagi
bicara kepada Daniel, dia hanya diam diri menundukkan
kepalanya seperti ketakutan. Tidak tau akting apa yang akan
dia lakukan lagi kepadaku. Daniel merasa ada yang tidak beres
dari Nana, Daniel menanyakan berulang kali mengapa Nana
jadi diam setelah kehadiranku, namun Nana hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya membuatku merasa ini
bukan lagi akting.
79
“i…ini rumahmu?” aku tanya dengan hati-hati, takut
menyinggung perasaan dia. Nana tidak menjawab
pertanyaanku, ia langsung menarik paksa tangan Daniel
masuk ke rumahnya meninggalkan aku sendirian. Jujur, ini
pertama kali aku melihat Nana sepanik ini, apalagi di depan
Daniel.
😊😊😊
😊😊😊
80
Aku melihat Daniel keluar dari rumah Nana dengan
buru-buru setelah dua menit. Tanpa menjelaskan apa yang
dibicarakan Nana di dalam rumah, Daniel langsung
mengajakku untuk pulang.
81
Saran
82
berkaca-kaca. Ku lihat Nana yang sedang dirangkul Daniel yang
berusaha menghibur dirinya.
83
membantuku mengambil tas beratku dan menepuk pundakku
berusaha untuk menghiburku. Sekali lagi, ia bertanya
“Kenapa?” aku hanya bergeleng-geleng lemas.
84
melepaskan diri dari pelukannya dan masuk ke dalam kamarku
sebelum ia sempat menanyakan kepadaku lagi.
85
melahirkan seorang yang tidak sempurna. Ayahku tidak
menjawabku setelah aku bilang kalimat itu. Yang aku perhatiin
adalah, ayahku mulai resah dan tidak tau harus berbuat apa.
86
Rencana
87
terjatuh itu. Melihat Daniel membantu, aku juga ikut
membantu.
“Ini, aku bawa roti buat kamu dan Nana. Tetapi, Nana
tidak sengaja menjatuhkan roti miliknya.” Aku menyodorkan
sebuah roti yang kubikin olesin selai sendiri. Aku melihat Nana
dan dia memandang ku dengan penuh kebencian. “Terserah
apa yang kamu pikirkan Daniel, aku hanya kesini untuk
memberikan roti.” Aku menjelaskan sekali lagi, Daniel tampak
menyesal atas penuduhannya kepadaku barusan. Dia tidak
menjawabku dan aku pikir, aku sudah tidak usah disini lagi.
“Yauda, aku balik ke kelas dulu ya.” Aku pamit kepada Daniel
dan Nana.
😊😊😊
88
“Joy melemparkan rotinya ke lantai dan menyuruhku
untuk mengambilnya.” Daniel melihat Nana dengan tidak
percaya. Selama Daniel berteman dengan Joy, Joy bukanlah
orang yang seperti itu. Nana mulai menundukkan kepalanya
menunjukkan bahwa ia sedang bersedih. Daniel tidak
melakukan apapun untuk menghibur Nana. Tetapi kalimat
lihat saja besok, Nana yang dikatakn oleh Joy kemarin
membuat Daniel yakin bahwa Joy akan melakukan hal seperti
ini. Daniel menggigit rahangnya lalu mengepalkan tangannya,
bergegas untuk mengejar Joy.
😊😊😊
89
omongan kami. Tiba-tiba, Daniel menepuk pundak ku dari
belakang, dengan tatapan berbelas kasih, Daniel bertanya
😊😊😊
90
seseorang yang setia menunggumu, Nana. Dialah orang yang
tepat. Orang yang bersedia menunggumu hingga rambut
putih, orang yang bersedia menjalani seumur hidupnya
denganmu. Berikanlah dia sebuah kesempatan dan tolong
bebaskan Joy dari kekanganmu itu. Aku merasa bersalah
sudah memaksa Joy untuk menjadi temanmu.” Daniel
mengkerutkan keningnya seperti kecapekan bicara.
Menunjukkan wajah jika dia terganggu dan muak terhadap
perlakuan Nana. Nana kaget, tidak pernah dia melihat Daniel
seserius ini. Nana menundukkan kepalanya, merasa bersalah
telah menipu Daniel.
😊😊😊
91
Loket
92
“Sini!” Teriak Nana dari tempat duduknya, dengan
wajah yang sungguh polos. Aku tersenyum mengira ia benar
benar ingin meminta maaf. Aku lari ke tempat dimana ia
berada dengan antusias dan menyapa dia dengan semangat.
93
Cessy. Ia tertawa lebih keras kali ini. Ia mengangkat tinggi
loketku di atas kepala dia. Aku melebarkan mataku, melihat
apa yang ditangan dia dan langsung melompat ke Nana untuk
mengambil kembali loket pemberian Cessy. Tetapi aku lambat
selangkah. Ketika aku sedang proses mengambil, Nana
melemparkannya ke semak-semak di taman. Aku terbang
menuju semak semak dengan panik dengan harapan aku bisa
mengambilnya tepat waktu. Tetapi, aku terjatuh di dalam
semak-semak, tangan kosong. Nana hanya melihatku dan
tertawa lebih kencang.
94
menyusul keterkejutanku. Ku bentak balik tanpa rasa takut
apapun. Aku tidak lagi berpikir bagaimana jika Daniel
membenciku. Terserah dia mau ejek aku berapa kali, namun
tadi dia telah mengejek temanku sebagai orang yang bisu,
emosiku yang sudah ku tahan beberapa tahun ini meluap hari
ini dan aku tidak akan peduli lagi apa pandangan ayahku
kepada ku.
95
Satu jam sudah lewat. Kami belum menemukan apa-
apa. Ayahku menyuruhku untuk istirahat, tetapi aku tidak
ingin. Aku bertekad untuk menemukan loketku malam ini juga.
Keadaanku sekarang sangat menyedihkan, keringat
bercucuran dan lututku berdarah. Namun, aku masih ingin
mencari loket itu.
96
Kejutan
97
Aku ke taman dan mulai mencari, aku mencari dari
semak-semak yang kemungkinan ada loket aku di arah dimana
Nana buang sampai ke ujung semak-semak. Aku mencari
dengan teliti. Semua semak semak ku sinari pakai senter dan
aku meraba hampir semua semak-semak itu. Dua jam sudah
lewat dan aku masih belum menemukan apa apa. Aku bilang
ke diri sendiri jangan pernah putus asa, aku harus
menemukannya juga hari ini. Namun, kosong. Aku tidak
menemukannya. Aku mulai merasa lelah dan mungkin aku
harus beristirahat untuk mengisi tenaga aku.
98
binatang kesakitan. Aku mengenali suaranya. Dia adalah
Daniel.
99
yang baik, dia fokus kepada semua kata yang kuucapkan tanpa
kelewat satu katapun. Lalu ketika sudah selesai bercerita, ia
menemaniku sampai rumah dengan selamat.
100
Penggemar
101
dan sebuah surat dari seorang penggemar. Ternyata, aku juga
memiliki seorang penggemar. Aku menerimanya dengan
senang hati dan langsung membaca surat pemberian
penggemarku.
“Maafkan aku, Joy. Aku rasa tidak boleh, kamu tau kan
kondisi lenganmu, nanti penggemarmu akan terkejut.
Lagipula, kamu juga sudah menandatangani perjanjian untuk
102
tidak mengumbarkan biodatamu. Jangan lupa kalau kamu
masih dibawah umur dan orang yang masih di bawah umum
tidak diperbolehkan untuk bekerja. Kami menerima kamu
disini karena pekerjaamu bagus dan kamu bisa menyalin karya
orang lain tanpa kesalahan, kamu juga tidak pernah disuruh
revisi apa-apakan. Iya, itulah alasan kami menerimamu.” Kata
ketuaku panjang menghasut aku untuk tidak pergi menemui
penggemarku.
103
Tidak Terduga
104
“Kamu Joy Fayola yang aku kirimkan surat kemarin
bukan?” tebak dia sekali lagi dengan penuh semangat, berhasil
membuatku merasa akrab dengan dia secepat itu. Aku
mengangguk kepalaku dua kali lalu dia langsung memajukan
kursi rodanya untuk memberikan tangannya, bersalaman.
105
karena lenganmu?” tebak Dennis lagi, cukup mengejutkan
karena tebakan dia selalu benar.
106
keduanya adalah anak yang difabel. Aku penasaran tentang
cerita café ini, jadi aku bertanya lagi.
107
Cerita Tengah Malam Bersama Ibu
108
menghabiskan malam kami dengan menonton televisi hingga
jam tidur tiba.
109
“Karena ceritanya sangat menginspiratif. Jika Café
Sempurna itu adalah milik ayah Daniel, berarti ayahmu adalah
temannya ayah Daniel. Daniel lahir lima bulan sebelum kamu
lahir. Pada waktu itu, ayah Daniel tidak bisa menerima
kenyataan kalau kedua anaknya tidak normal, jadi ayahmu lah
yang sering menghibur ayah Daniel. Itu bukanlah sebuah
kenangan yang baik. Ayahmu selalu memotivasi Ayah Daniel
untuk bersikap baik kepada Daniel dan adiknya. Dengan
keteguhan hati ayahmu, akhirnya ayah Daniel berhasil untuk
melihat ke sisi positif. Lalu karena ayah Daniel tau perasaan
orangtua yang memiliki anak yang difabel, dibangunlah
sebuah café yang bernama Café Sempurna untuk
mengingatkan semua orang yang memiliki kondisi yang serupa
supaya jangan bersedih dan menulis cerita tentang kedua
anaknya itu. Ia pilih nama Sempurna karena walaupun kedua
anaknya difabel, kedua anaknya masih bisa menjalankan
kehidupan normal bagaikan orang yang Sempurna, Ayah
Daniel ingin semua orang merasakan hal ini. Ibu rasa, ayahmu
sudah mengenali Daniel dari pertama kali.” Cerita ibuku
dengan panjang, mengingat cerita bahwa ayah Daniel tidak
bisa menerima kenyataan tentang Daniel, aku jadi ingin
bertanya apakah Ibuku pernah memikirkan hal yang sama
seperti ayah Daniel.
110
“Jujur saja, Ibu sedih pas pertama kali melahirkan
seorang anak yang tidak sempurna. Tetapi ayahmu selalu
mengatakan bahwa kamu adalah anak pembawa
keberuntungan. Ayahmu aja langsung membelikanmu sebuah
gelang berwarna merah jambu ketika kamu baru lahir.” Ibuku
melihat ke tanganku dan menunjukkan gelang merah jambu
yang masih ku pakai hingga sekarang. “Ada lagi, ketika kamu
berumur dua tahun, Ibu sakit parah. Dan pada saat itu,
ayahmu masih belum memiliki pekerjaan seperti ini. Ayahmu
harus kerja lembur setiap hari demi mencukupi kebutuhan
kita sehari-hari. Ibu tidak bisa bangun untuk mengambil obat.
Tetapi kamu tiba-tiba bangun dari tidurmu dan datang
membawa obat yang terletak tidak jauh dari tempat tidurmu
padahal saat itu, kamu belum bisa jalan, kamu memaksa
dirimu untuk mengambil obat itu untuk memberikannya
kepada Ibu. Kamu bahkan berusaha untuk mengucapkan kata
semoga cepat sembuh dengan bahasamu yang tidak jelas itu.
Itu adalah kenangan yang tidak terlupakan, Joy. Dari momen
itu, aku berjanji kepada diriku untuk menyayangimu dengan
sepenuh hatiku. Kamu benar-benar membawa kebahagiaan
dalam hidupku, Joy.” Ibuku bercerita hingga menangis dan
mengakhirinya dengan memelukku.
111
Cessy
112
Aku berlatih dengan sungguh sungguh, karena aku
ingin sekali untuk memenangi pertandingan ini supaya aku
bisa melanjutkan ke tingkat provinsi. Sebenarnya cita-cita
terbesar aku adalah menjadi seorang pelukis yang mendunia.
Aku latihan dari pagi hingga malam demi memenangkan
perlombaan ini.
113
lagi apakah gambaran aku original. Jawabanku tetap sama,
original. Lalu sekarang, jurinya mengatakan menggunakan mic
114
untuk melepas walaupun kami berada di atas panggung, kami
sama sama melepas rindu yang terjadi selama beberapa tahun
ini. Kami menunjukkan rasa rindu kami dengan menggambar
wajah yang berada di loket untuk lomba dan aku sungguh
terharu atas pilihan gambar tersebut. Lukisan ini benar-benar
berharga.
115
Pengakuan
7 Desember 2019
116
Aku memasuki ruang kelas Joy dan mencari
keberadaan dia. Aneh sekali, biasanya dia sudah sampai di
sekolah jam segini. Apa yang terjadi? Dia tidak pernah absen
sekolah sepanjang tahun. Dengan pasrah, aku kembali ke kelas
aku dan menanyakan keberadaan Joy kepada Daniel.
117
“Nana, bukannya kamu sudah tau siapa yang aku
suka?” Daniel membalas pertanyaanku dengan jengkel.
118
bernama Cessy. Aku pernah membully dia ketika kami masih
SD dan Joy selalu membela sahabatnya itu.” Aku berhenti dan
memerhatikan Daniel, dia masih mendengarkanku. “Setelah
aku mencuri loket dia, Joy melototiku dengan pandangan yang
tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya, dia dorong aku dengan
kuat sampai aku terjatuh. Lutut koyak, nafas tersedak, dan
telapak tangan berdarah memaksaku untuk menyadari aku
sudah keterlaluan karena sudah membuang sesuatu yang
sangat berharga bagi dia. Namun, aku masih perlu
mempertahankan harga diriku, akhirnya aku berdiri dan
menampar pipi Joy dengan tanganku yang berdarah. Aku
sungguh bodoh.” Aku berhenti berbicara dan tertawa dengan
menyedihkan. Melihat ke Daniel dan dia masih mendengarkan
dengan serius. “Setelah aku tampar dia, ayah dia datang
bagaikan pahlawan yang menolong tuan putri dari monster.
Pada malam itu, aku pulang rumah tetapi aku tidak bisa tidur,
aku merasa sungguh bersalah, aku juga takut jika Joy beneran
kehilangan loket itu. Jadi aku mampir ke Café kamu malam itu
untuk mengaku semua kesalahanku dan ingin meminta
bantuanmu untuk mencarinya untuk Joy. Namun aku
sepertinya telat, kamu sudah tau duluan. Aku melihat kamu
lari keluar dari café dengan tergesa-gesa, dengan wajah penuh
khawatiran.” aku tersenyum dengan paksa. Daniel hening,
tidak berkata-kata. Ia melihatku dengan pandangan kosong, ia
tidak tau harus bilang apa, tetapi ia tidak marah.
119
“Pada malam itu juga, aku sudah sepenuhnya
melupakan keinginan untuk bersamamu.” Aku memberikan
senyum yang pahit.
120
Move On
121
menunjukkan betapa aku mencintai dia. “Dan akhirnya,
Dennis tidak tau mau bagaimana menghiburku, dia bilang
kepadaku bahwa dia sudah kehabisan kata-kata untuk
menghiburku lagi, tetapi dia memiliki lengan yang selalu
terbuka untuk memelukku, telinga yang selalu siap untuk
mendengar, dan hati yang selalu mencintaiku dengan tulus.
Dan pada saat itu juga, aku jatuh ke dalam pelukan Dennis.
Setidaknya, aku merasa kehangatan pelukannya. Ku rasa,
dengan kesabaran dan ketulusan dia, hatiku tergoyah.
Selamat Daniel. Aku sudah berpindah dari kamu ke Dennis.”
Aku senyum tipis. Ku harap akting ku untuk senang ini berjalan
dengan baik.
122
Pernyataan Cinta
123
sebuah gaun yang bukan milikku, dia lalu keluar dari ruangan
dan mengunci ku di dalam ruang VIP.
124
melihat wajah Dennis yang penuh harapan, aku tidak tega
untuk mengatakan sebenarnya.
125
sudah tertata dan memakan makanan dia. Ia langsung
memuntahkan apa yang baru saja dia makan dengan ekspresi
yang sungguh menjijikkan. “Makanan apa ini!” ia teriak
kepada makanan yang ia masak. “Bagaimana kamu bisa
menelan makanan ini? Ini adalah makanan paling tidak enak
yang pernah aku cicipi” Dia mengerutkan keningnya dan
membuka mulutnya lebar sambil menggoyangkan lidahnya.
Aku masih menatap dia, lalu tertawa atas kelakuan dia yang
seperti anak kecil. Dia melihatku juga.
126
tidak kudapatkan dari Daniel. Namun, ini sudah lebih dari
cukup.
127
Kenyataan
128
Jadi ini adalah alasan kamu berani memakan masakanku,
karena kalau kamu memiliki indera pengecap yang normal,
sebagai orang biasa kamu tidak mungkin akan memakan
masakanku.” Dia malah ketawa setelah mengetahui fakta
bahwa aku adalah seorang Ageusia. Dia malah membuat hal
ini menjadi lawakan. Aku ikut tertawa melihat dia tertawa.
Tetapi sebentar saja, aku menjadi serius lagi. Aku ingin
menanyakan suatu hal yang mungkin akan membuat dia
berubah pikiran.
129
“Maksudmu?” tanya Dennis tidak mengerti. Ingin
mengetahui tentangku lebih lanjut. Aku lihat Dennis dan
merasa bahwa Dennis bukan hanya sekedar penasaran, tetapi
ia benar-benar peduli kepadaku. Jadi setelah beberapa detik
berpikir, aku memutuskan untuk menceritakan kepadanya.
130
bahwa aku adalah seorang ageusic. Jadi akhirnya, aku menjadi
seorang pembully bersama teman-temanku.” Aku menarik
nafas panjang karena sudah menuangkan perasaan hati yang
terpendam selama bertahun-tahun, melihat Dennis untuk
memastikan bahwa ia tidak bosan.
131
memberimu gaji yang besar. Aku berjanji akan memberimu
kebebasan, kamu berhak mendapat kehidupan yang lebih
baik. Percayalah kepadaku, kamu dan ibumu tidak akan hidup
dalam kesusahan lagi.” Sorotan mata dia begitu meyakinkan.
“Mintalah ibumu untuk datang dan tinggal disini. Aku akan
menyiapkan kamar kosong buat kamu dan ibumu.” Perintah
Dennis dengan nada yang sungguh bossy.
132
Reuni
133
“Teman.” Aku mengoreksi perkataan ibuku, dengan
pandangan miring ke arah Cessy sebelum menghadap kembali
ke Ibuku. Ternyata semua orang yang berada disana
memerhatikan reaksiku setelah Ibuku mengatakan hal
tersebut. Semuanya lalu tertawa dengan kecil, kecuali Daniel.
Iya, ini bukan hal yang lucu untuk mengatakan bahwa kami
adalah teman. Tetapi, ini kenyataannya. Maksudku, apakah
dia tidak terganggu ketika Ibuku bicara tentang hal ini?
134
senyum kepadaku. Aku merasa lega sekali. Setelah itu, kami
tidak lagi membahas tentang status Daniel dan aku.
135
Canggung
136
“Bagaimana kalau kita mengatakannya bersama? Aku
hitung satu sampai tiga.” Aku setuju dengan sarannya, kami
kemudian hitung. Satu, dua, ti… dan tiba tiba terdengar suara
ayahku yang melayang sampai ke kamarku.
137
Resmi
138
“Joy, aku bukan seorang pria yang romantis dalam
drama atau novel atau apa pun itu, tetapi sekarang, aku ingin
memberi tau ke kamu bahwa kamu adalah hal terbaik yang
pernah ku temui pada hidupku. Dan karena sekarang aku tau
perasaanmu kepada aku, aku ingin menanyakan sesuatu
kepada kamu.” Dia menghembuskan napas dengan tajam dan
suaranya menjadi rendah dan berat. "Maukah kamu menjadi
pacarku?"
139
Permintaan Maaf
140
Kami diantarin ke tempat duduk yang memiliki lima
kursi oleh Dennis.
141
sebelum aku bisa mengeluarkan sepatah kata pun dari
mulutku, dia melanjutkan
“Aku sungguh-sungguh.”
142
Aku mendengarkan semua kalimatnya dengan teliti
tanpa satu katapun terlewatkan dan aku pikir aku sudah mulai
bisa mengertiin dia.Aakhirnya, aku menjawab "Senang
bertemu denganmu, Nana" aku mengulurkan tanganku
padanya seolah-olah ini adalah pertama kalinya aku bertemu
dengannya.
SELESAI
143
Epilog
144
berubah menjadi hijau seolah-olah aku baru saja makan
sampah, dan Cessy tidak jauh berbeda denganku. Dia tersedak
oleh makanan tersebut.
145
Apakah mereka mengerjain diriku? Tapi ada apa dengan
ekspresi Nana barusan, atau hanya makanan Cessy dan aku
yang mengerikan? Banyak tanda tanya muncul dipikiranku.
146
meminta kita semua untuk menutup mata sebelum spanduk
itu selesai. Dan sekarang, spanduk telah selesai.
147
Ucapan Terima Kasih
148
Tentang Penulis
149
150
151