Anda di halaman 1dari 152

Flawles

s
BY: JENNIFER OKTAVIA

1
Prolog

Terdengar suara tangisan bayi yang melengking,


seorang bapak dengan pakaian kuli dengan bercak hitam
langsung terbangun dari duduknya, melangkah laju menuju
ruang kelahiran, lalu membuka pintu dengan tergesa-gesa dan
melihat istrinya yang habis melahirkan, bayi tersebut masih di
gendongan ibunya. Tangisan bayi masih berlangsung, namun
raut wajah istrinya tidak lagi tersenyum setelah melihat
kondisi fisik bayi tersebut. Bayi itu tampak berbeda dengan
bayi yang lain, ia tidak memiliki lengan yang sempurna. Lengan
bayi tersebut lebih pendek dari pada ukuran bayi yang normal.
Singkat kata, bayi itu cacat. Iya, bayi cacat itu adalah aku.
Ayah aku berjalan pelan menuju Ibuku, lalu ia melihat
diriku. Tanpa berkata-kata, ia langsung membalikan badannya
dan keluar dari ruangan tersebut meninggalkan aku dan ibuku.
Tidak tau apa yang dipikirkan kedua orangtua ku, ibuku mulai
meneteskan air mata, menangis kencang dihadapan para
bidan. Lalu, ibuku memberikan aku kepada bidan, kemudian
aku diletakkan di boks bayi.
Satu jam berlalu, tangisan ibuku sudah mulai reda.
Terlihat seseorang memasuki ruangan ini, ayahku. Ia datang
membawa gelang mungil berwarna merah jambu dan satu
bungkus bubur hangat buat ibuku. Ayahku kemudian berjalan
pelan menuju boks bayi, ia melihatku kemudian tersenyum,
senyum dengan penuh kasih sayang. Ia menggendong ku dari
boks bayi, lalu mengenakan aku gelang mungil bertulisan Joy
Fayola, kemudian ia berkata
“Selamat datang di kehidupan, Joy. Kamu pasti akan
membawa kebahagiaan.” Lalu ia meletakkan aku kembali di
boks bayi.

2
Keesokan harinya, aku melihat ayah dan ibuku sedang
berbincang, dari suara yang pelan hingga nada suara ibuku
meninggi, sepertinya mereka sedang memperdebatkan
sesuatu. Ibu aku menangis lagi, ia melihatku dan melemparkan
tatapan tajam seolah olah kehadiran ku adalah sebuah
musibah bagi dia dan akhirnya dia membuang tatapan
tersebut kepada ayahku. Ayahku lalu memegang tangan
ibuku, entah apa yang dibicarakan, kemudian mereka
berpelukan.
Semenit kemudian, ayahku datang menghampiriku
dan menggendongku keluar dari rumah sakit bersama ibuku.
Diperjalanan, aku melihat perubahan suasana dari rumah sakit
ke tempat ini, tempat ini penuh dengan orang yang tidak rapi,
pakaiannya berbeda dari orang yang berada di rumah sakit.
Kebanyakan dari mereka berpakaian compang-camping dan
terdengar suara tangisan bayi yang tidak beraturan. Suara riuh
orang berjualan juga terdengar. Aku tidak tahan dengan suara-
suara yang sangat berisik dan akhirnya aku menangis kencang
mengikuti suara tangisan bayi lainnya hingga aku tertidur.
Ketika aku membuka mata, aku tergeletak di lantai
menghadap langit langit rumah yang terbuat dari kayu lalu ku
lihat ke samping dan terlihat ibuku sedang memindahkan
beberapa kardus yang diikat menjadi satu.
“1kg Rp.2000 ya, Mas.” Ibu ku memberikan kardus
tersebut kepada seorang bapak. Bapak tersebut lalu
mengeluarkan selembar uang Rp.5000 yang terlihat masih
baru.
“Kembaliannya Ibu simpan aja” Sang Bapak
tersenyum. Ibu ku membalas senyuman sambil menerima
selembar uang Rp5000 itu dan membungkukkan badannya

3
berulang kali sebagai tanda terima kasih. Bapak itupun
mengangguk kepala dan berjalan keluar rumah ini. Ibuku
masih menatap punggung badan bapak itu sampai akhirnya
tidak terlihat lagi, aku bisa merasakan kebahagiaan ibu
menerima uang lebih dari bapak tersebut. Iya, beginilah
keluarga kami. Keluarga yang sangat kekurangan. Bukan hanya
kekurangan pada ekonomi, mereka juga memiliki anak yang
kekurangan seperti aku.
Setiap hari Ibuku memulung di dekat rumah
membawa aku digendongannya, namun tidak pernah
sekalipun Ibuku menatapku dengan tersenyum. Sering ibuku
sengaja hampir meninggalkan aku di jalan. Juga tidak jarang
aku melihat kedua orangtua ku berdebat tentang kedaan
ekonomi dan keadaanku sampai ibuku meneteskan air mata.
Ayahku, satu satunya orang yang menyayangiku, satu-satunya
orang yang ingin mempertahankanku, ia kerja pagi pulang
malam, kadang bahkan tengah malam. Namun, ayahku tidak
pernah melupakan ‘Pelukan malam’ pelukan hangat yang
kutunggu setiap malam, pelukan yang mampu
menyembuhkan rasa sakit yang diberikan Ibu untuk aku,
pelukan yang diberikan seolah-olah aku memanglah bayi
pembawa keberuntungan.
Aku sangat amat mecintai ayahku. Aku berjanji suatu
hari nanti, aku akan membawa kebahagiaan untuk keluarga ini
dan aku akan membuat keluarga ini bangga. Aku akan
membuktikan kepada Ibuku bahwa aku bukan beban keluarga,
dan akan menunjukkan kepada dunia bahwa kondisi fisik aku
bukanlah hal yang bisa menghalangi aku untuk menuju
kehidupan yang sukses. Dengan begini, cerita aku dimulai.

4
Hari Pertama Sekolah
“Apakah kamu sudah siap untuk sekolah, tuan putri?”
kata ayahku dengan riang sambil mengelus-ngelus jidatku
dengan posisi aku yang masih tiduran. Aku mengangguk pelan
namun pasti, lalu membuka mataku perlahan, aku melihat
wajah ayahku dihiasi senyuman yang lebar, membuatku juga
mengikuti senyuman dia. Dengan semangat aku bangun
mengubah posisiku yang tadinya tidur menjadi duduk, lalu
menarik seluruh badanku supaya tubuhku renggang. Aku
segera menyiapkan diri untuk pergi ke sekolah untuk pertama
kalinya yang dibantu oleh ibuku.
Aku didaftarkan di sekolah umum oleh orangtuaku
karena ekonomi dalam keluarga tidak memungkinkan aku
untuk bersekolah di sekolah untuk anak-anak dengan
berkebutuhan khusus. Sesampainya di gerbang pintu sekolah,
aku merasakan sensasi yang sangat berbeda. Aku melihat
orangtua yang mengantarkan anaknya sampai ke dalam
sekolah, sedangkan orangtuaku hanya mengantarkan aku
sampai gerbang. Aku melihat kiri kanan dan menyadari bahwa
tidak ada satu orang pun yang memiliki fisik yang serupa
dengan diriku. Hampir semua dari mereka memiliki fisik yang
sempurna, beberapanya bahkan memiliki paras yang menarik.
Bel masuk kelas bunyi, aku segera lari menuju kelasku
yang tidak jauh dari gerbang. Aku hanya perlu menaiki tangga
yang berada di sebelah kanan setelah aku memasuki gerbang
dan kelasku berada tepat di kelas yang pertama di lantai dua.
Aku membuka pintu kelas dengan perasaan yang kurang
tenang, takut akan pandangan orang-orang terhadap fisikku.
Canda, tawa, riuh di kelas menjadi hening. Semua mata tertuju
padaku tepat saat aku memasuki ruang kelas. Mataku
memindai ruang kelas yang sudah hampir dipenuhi oleh siswa

5
siswi, dan aku menemukan bangku kosong yang berada di
sebelah siswi berambut pendek berwarna hitam. Ia memiliki
mata berbentuk almond, hidung yang tidak terlalu mancung
dan bibir yang tipis. Aku berjalan pelan menuju bangku kosong
di sebelah dia, mengharapkan dia tidak memandangku dengan
pandangan aneh seperti yang dilakukan orang lain.
Selama jam pelajaran, tidak ada satupun kata-kata
yang dikeluarkan oleh teman sebangku aku. Ingin ku tanya
siapa nama dia, tetapi sepertinya dia terlalu fokus
mendengarkan apa yang diajarkan oleh guru. Jadi aku
memutuskan untuk tidak mengganggunya. Aku tidak bisa
fokus mendengarkan apa yang diajarkan oleh guru, mataku
selalu liar melihat suasana kelas sampai akhirnya mataku
berhenti di buku teman sebangku aku yang bertulisan Cessy
Allison. Dari sini, aku tau namanya adalah Cessy Allison.
Bel tanda jam istirahat berbunyi, murid-murid berdiri
dan keluar kelas, ada juga yang ibunya datang untuk
mengantar bekal kepada anak mereka. Anak-anak lainnya pun
mulai bercerita tentang hari ini kepada ibunya. Canda dan
tawa mulai memenuhi kelas, suasana riang kembali lagi
seperti saat sebelum aku memasuki ruang kelas. Aku duduk
dengan perasaan resah karena ibuku yang tidak kunjung
datang. Setelah sekian menit, belum terlihat juga batang
hidung ibuku. Aku yang tadinya resah menjadi kecewa.
Perlahan, menempelkan jidatku ke atas meja dan menutup
mata. Bersedia menenggelamkan rasa laparku dengan tidur.
Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku, aku memiliki
perasaan bahwa orang yang menepuk pundakku adalah ibuku,
aku segera mengangkat kepala ku dengan semangat. Dengan
senyuman yang lebar, aku melihat Cessy berada di depan aku.
Ternyata Cessylah yang menepuk pundak aku, bukan Ibu. Dia

6
membawa satu bekal yang sudah dimakan setengah, dan
menyodorkan sebuah sosis untuk aku tanpa banyak bicara.
“Boleh?” tanyaku dengan mata yang bersinar namun
masih sedikit ragu. Dia mengangguk. Senyuman yang tadinya
sudah pudar, kembali menghiasi mukaku. Aku menerima
sosisnya dengan perasaan yang sangat senang. Perasaan yang
tadinya takut akan tidak memiliki teman, kini sudah hilang
karena adanya kehadiran Cessy. Terdengar bunyi bel tanda
masuk kelas, semua murid yang tadinya di luar pun segera
memasuki ruangan kelas, orangtua yang berada di dalam juga
segera keluar kelas.
Seorang ibu guru mengenai kemeja putih dan rok
hitam selutut memasuki ruangan dengan aroma parfum yang
menyengat. Ia berjalan menuju tempat duduknya dan
meletakkan tas tangan dia di atas meja. Duduk sejenak, lalu
dia berdiri dengan tegas, membuka kalimat pertamanya
“Selamat siang semuanya! Ibu ingin kalian
memperkenalkan diri. Kita mulai dari…” mata ia kemudian
berliar mencari siapa orang pertama yang akan
memperkenalkan diri. Aku sadar semua murid menghindar
mata mereka dari ibu guru tersebut karena tidak ingin
dipanggil, dan ketika aku menyadari hal itu, mataku bertemu
dengan mata sang ibu guru. Berusaha untuk memalingkan
mataku, namun sudah terlambat. Alhasil, akulah orang
pertama yang dipanggil untuk memperkenalkan diri. Dengan
kaki yang gemetaran, aku berdiri dari dudukku. Berusaha
supaya percaya diri, aku memperkenalkan,
“Perkenalkan, nama saya Joy Fayola. Joy yang berarti
bahagia dibahasa inggris dan Fayola yang diambil dari kata
Fortune yang berarti keberuntungan. Orangtuaku

7
memberikan ini sebagai namaku karena mereka yakin aku bisa
membawa keberuntungan kepada mereka. Walaupun
tanganku sedikit berbeda dengan kalian, aku tidak merasakan
hal ini sebagai hambatan aku dalam menjalani hariku. Aku
berjanji kepada orangtuaku untuk membanggakan mereka!”
aku memperkenalkan diri dengan panjang tanpa aku sadar.
Diantara mereka ada yang tertawa terbahak bahak membuat
wajahku seperti terbakar. Aku langsung duduk kembali
dengan lemas. Ibu guru menepuk tangan menunjukkan
kepuasan dia terhadap perkenalan diri aku, membuat murid
yang lain mengikuti. Aku melihat kearah Cessy dan dia
memberikan jempol dia kepadaku.
Aku dan Cessy sudah menjadi akrab semenjak dia
menawarkan sosisnya kepadaku, bisa dilihat Cessy adalah
orang yang rajin belajar dan cepat menangkap apa yang
dikatakan ibu guru. Aku selalu kurang paham dengan apa yang
disampaikan guru, dan Cessylah yang menjelaskannya
kepadaku. Tidak dengan kata-kata, namun dengan secarik
kertas. Aku rasa, Cessy adalah orang yang suka ketenangan
dan tidak ingin mengganggu orang lain, itulah sebabnya ia
menggunakan secarik kertas.
Ketika bel pulang berbunyi, semua murid yang tadi
sedang menahan kantuk kembali bersemangat seperti
matahari yang baru saja terbit. Semuanya menyimpan barang
bawaan mereka ke dalam tas dan duduk manis sembari
menunggu ibu guru membubarkan kelas. Orangtua sudah
memenuhi luar ruang kelas, mataku berlari menuju jendela
untuk mencari kehadiran ibuku yang dari tadi tidak kelihatan.
Setelah kelas dibubarkan, anak-anak berlari menuju pintu
dengan riang dan pulang satu persatu. Suasana riang
menghilang setelah semua murid sudah pulang. Tiga puluh
menit berjalan dan orangtua aku belum juga datang. Aku

8
kemudian memutuskan untuk menunggu orangtuaku di
depan gerbang sekolah saja.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, aku melihat
seorang perempuan berambut pendek, sama persis seperti
Cessy, ternyata dia juga belum dijemput oleh orangtuanya.
Suasana sekolah menjadi semakin sepi, bisa dilihat guru-guru
juga mulai pulang satu persatu, namun aku dan Cessy belum
juga dijemput. Aku berusaha untuk mengajak Cessy bicara
supaya suasana tidak canggung, tapi yang dilakukan Cessy
kepada aku hanyalah mengangguk dan menggelengkan
kepalanya. Sebenarnya dari tadi, aku belum mendengarkan
suara Cessy sekalipun. Rasa penasaranku pun mulai tumbuh,
ingin memancing Cessy untuk bicara. Namun sebelum aku
memulainya, aku mendengarkan suara familiar sedang
memanggilku.
“Joy!” Iya, suara familiar itu adalah suara ibuku.
Segera aku menoleh kebelakang untuk mencari keberadaan
ibuku, aku melihat ibuku sedang berada dalam posisi jongkok
yang sedang menungguku untuk lari ke pelukan dia.
Lengkungan garis bibirku tergambar manis di wajahku, aku
langsung lari menuju ibuku sambil memanggil sapaan Ibu
dengan perasaan berbunga-bunga setelah menanti kehadiran
dia yang sudah lama. “Bagaimana hari pertamamu, Joy?”
tanya ibuku dengan hati-hati, takut adanya perundungan yang
terjadi. Dengan antusias aku menjawab bahwa hari ini
menakjubkan karena aku telah bertemu dengan seseorang
teman yang bernama Cessy, aku kemudian menghampiri
Cessy dan ibu mengikutiku.
Melihat Cessy belum dijemput, Ibuku menawar untuk
mengantarnya pulang ke rumah. Namun, Cessy menggeleng-
geleng kepalanya karena yakin orangtuanya akan datang.

9
Ibuku setuju, dan ibuku menawar untuk menunggu sampai
orangtua Cessy tiba. Aku senang melihat keadaan yang begini,
aku yakin Cessy juga senang. Orangtua ku selalu mengajak
Cessy untuk berbincang, namun apa yang dilakukan Cessy
kepada orangtuaku sama seperti ketika aku mengajak dia
bicara, ia hanya menjawab dengan anggukan dan gelengan.
Lima menit kemudian, sebuah mobil hitam yang
terlihat bersih berhenti tepat di depan Cessy. Aku menatap
mobil itu dengan perasaan bingung. Pintu mobil terbuka
dengan pelan dan aku melihat kaki seorang perempuan yang
anggun menuruni mobil. Wanita tersebut jalan mendekati
Cessy dan membungkuk badannya sedikit untuk membelai
rambut Cessy dengan lembut. “Maafkan ibu, Cessy. Ibu telat
menjemputmu.” Kemudian ibunya melihat wajahku, dan
matanya berhenti di tanganku yang hanya berukuran
setengah. Muka ibunya terlihat kaget tetapi tidak
merendahkan, lalu ibunya melihat ibuku. “Terima kasih sudah
menunggu anakku sampai aku datang.” Ibunya tersenyum
anggun sembari menyodori tangan dia untuk
memperkenalkan diri. Ia lalu membisikkan sesuatu kepada
ibuku dan kembali ke tempat dimana Cessy berada kemudian
berpamitan dengan aku dan ibuku.
Cessy yang sudah berada di dalam mobil membuka
kaca jendelanya dan melambaikan tangannya dengan
senyuman manis namun masih tidak bersuara.

10
Cerita Tengah Malam Bersama Ayah
Kondisi ekonomi keluargaku sudah menjadi sedikit
lebih baik sejak aku berumur empat tahun. Kami sudah pindah
dari tempat kumuh ke tempat yang lebih tidak kumuh.
Hubungan kedua orangtuaku juga menjadi semakin membaik,
ibuku sudah tidak memandangku dengan tatapan kebencian
lagi. Ayahku juga sudah bisa membeli sebuah televisi bekas
yang kami tonton bersama setiap malam.
Malam itu setelah kami makan malam, seperti
biasanya aku dan kedua orangtuaku menonton televisi di
ruang tamu. Berbincang bincang sedikit tentang hari pertama
aku sekolah, aku mengingat sesuatu.
“Ibu! Mengapa ibu tidak hadir tadi ketika jam
istirahat? Kan aku lapar bu…” aku mengerutkan kening,
menggerutu. Berpura-pura untuk ngambek, ibuku terlihat
panik saat itu juga. Ibuku segera meminta maaf atas
ketidakhadirannya dan menanyakan apa yang aku lakukan
ketika lapar. Aku teringat tentang Cessy yang menawarkan
sebuah sosis dan menceritakan bahwa orangtua Cessy juga
tidak hadir pada saat itu serta bagaimana awal mula
pertemanan kami. Ayah aku melihatku dan berkata
“Cessy adalah teman yang baik, mungkin kamu bisa
belajar dari dia untuk menawarkan makananmu kepada orang
lain?” Ayahku memberi masukan dengan senyuman yang
bangga. Kami melanjutkan perbincangan tentang hari itu
sampai pada pukul sembilan malam dan Ibuku mengingatkan
aku untuk tidur karena besok masih ada sekolah. Aku
mengiyakan ibuku dan meranjak dari lantai, mencium pipi kiri
dan kanan ayah dan ibuku sebelum aku kembali ke kamar.

11
Aku menutup pintu kamarku dengan pelan dan
mematikan lampu, bersedia untuk tidur. Ku tutup mataku,
namun aku tidak bisa tidur. Aku sudah berguling-guling di atas
ranjang untuk sekian kalinya, namun aku masih berkesusahan
untuk tidur. Sesuatu yang aneh masih berlari-lari dipikiranku.
Pertanyaanku, Cessy tidak bicara sama sekali kepadaku tadi,
apakah dia tidak suka kepadaku?
Dibalik itu, ketika aku sudah balik ke kamarnya,
orangtuaku juga kembali ke kamar mereka, detik disaat ketika
mereka mau tidur, ibuku menerima sebuah telpon dari nomor
hp yang baru saja disimpan nomornya: Ibu Cessy. Ibu Cessy
berterima kasih kepada Ibuku untuk sekali lagi dan
mengatakan sesuatu hal yang cukup mengejutkan. Kurang
bisa mempercayainya namun itu adalah kenyataan.
Kenyataan bahwa Cessy memiliki nasib yang sama dengan ku,
sama sama berbeda dengan murid yang lain, sama sama
memiliki kelainan. Cessy merupakan seorang anak yang bisu.
Ibuku membesarkan pupil ketika mendengar kabar tersebut,
bergagap dan menutup mulutnya dengan tangan kiri dia.
Orangtua Cessy mengharapkan orangtuaku untuk
menyampaikan hal ini kepada ku, supaya aku tidak terkejut
keesokan harinya.
Ibuku menceritakan semua yang disampaikan Ibu
Cessy kepada Ayahku. Dengan pandangan berbelas kasih,
ayahku merasakan apa yang dirasakan orangtua Cessy.
Ayahku juga merasa bahwa hal ini harus segera disampaikan
kepada aku sebelum matahari terbit. Ia bangun dari tempat
tidur dan jalan menuju kamarku. Berendap-endap, ayahku
mengintip apakah aku sudah tertidur. Namun, aku menyadari
kehadiran ayahku.

12
“Ayah…” sapaku lemas. Ayahku terlihat bingung
karena biasanya aku bisa langsung tidur setelah kamarku
gelap.
“Apa yang sedang kamu pikirkan sampai sampai kamu
tidak bisa tidur?” tanya ayahku kebingungan sambil mengelus
ngelus rambut aku. Aku terdiam. Ayahku bisa segampang itu
membaca pikiran aku. Aku masih bingung tentang hal ini, tidak
tau boleh diceritakan atau tidak, aku akhirnya memilih untuk
memendamkan rasa ini saja. Ayahku juga sepertinya peka
terhadap keadaan, ia tidak menanyakan untuk kedua kali.
Tetapi, satu hal lagi yang membuatku merasa Ayahku memang
bisa membaca pikiranku, ayahku membuka percakapan yang
tidak kujawab tadi.
“Ayah ingin menceritakan tentang Cessy, Joy.” Aku
bangun dari tempat tidurku dengan cepat. Menanyakan
dengan buru-buru apa yang ingin diceritakan oleh ayahku.
Ayahku menghembuskan nafas panjang sebelum ia memulai
kalimat barunya lagi. Ayahku membuka kalimat dengan
memanggil namaku. Ia menatap mataku dengan pandangan
yang sedih namun serius.
“Ayah mendapatkan telepon dari orangtua Cessy,
mereka mengatakan bahwa Cessy itu adalah anak yang bisu.”
Ayahku ngomong dengan terpatah-patah. Sedikit enggan
membagikan kabar tersebut, takut aku sedih akan kabar
tersebut, ayahku memegang tanganku yang sudah mulai
gemetaran. Hatiku berdetak dengan sangat cepat karena
kabar yang sangat mengejutkan ini. Aku telah salah menilai
Cessy. Dia tidak membenciku namun ia tidak bisa bicara.
Perasaan bersalahku kemudian menjadi belas kasih kepada
Cessy.

13
“Ayah, Cessy adalah seorang bisu dan aku hanya
memiliki lengan yang tidak sempurna. Maksud aku, lengan
yang pendek. Kami bisa menjadi teman yang baik. Tetapi
ayah… mengapa kami begini? Apakah semua orang juga
seperti kami? Mengapa di dalam kelas yang berisi empat puluh
orang, hanya aku dan Cessy yang mengalami hal ini? Apa salah
kami yah? Mengapa terjadi kepada Cessy? Mengapa terjadi
kepada aku?” tanpa disadari, aku meneteskan air mata. Rasa
sedih yang mendalam sudah menguasai tubuhku, aku
menanyakan banyak hal yang tidak bisa dijawab oleh ayahku,
mungkin pada saat itu, ayahku sudah merasakan kepanikan
aku, tetapi ia tetap professional dan tenang menghadapi aku.
Tidak menjawab pertanyaanku, ayahku malah meminta maaf
kepada aku.
“Maafkan Ayah, Joy. Kamu cantik. Kamu tidak perlu
sedih jika kamu tidak memiliki lengan yang sempurna. Hal
tersebut tidak akan mempengaruhi sifat kamu. Jika kamu baik,
maka kamu baik.” Ayahku berusaha menghibur aku dengan
kata kata penghibur. Kemudian ia bercerita sedikit tentang
masa lalu. “Apakah kamu tau, Joy. Ketika kamu baru saja lahir,
Ibumu menanyakan kehadiranmu, menayakan mengapa
kamu berbeda dengan anak yang lainnya.” Rasa sedih aku
muncul lagi ketika mendengar kalimat ini. Aku baru tau alasan
mengapa Ibuku sangat tidak menyukai aku saat itu. Ayahku
masih menjaga kalimatnya agar tidak menyakiti perasaanku,
“walaupun begitu, ayah percaya. Percaya bahwa kamu akan
membawa kebahagiaan untuk keluarga kita” Aku tau, kalimat
ini bukan fakta, namun aku suka mendengarnya. “Kamu ingatt
tidak ketika kita hidup sangat susah waktu itu? Kita bahkan
tidak bisa memilih apa yang akan kita makan nanti. Makanan
setiap hari kita tergantung pada berapa rajinnya aku hari itu.
Iya, ayah jujur saja kadang ayah capek, lelah, dan pingin

14
menyerah. Tapi kamu tau apa yang menghentikan ayah untuk
menyerah?” aku menjawab ayahku dengan menggelengkan
kepalaku pelan. “kamu.” Kata ayahku bangga. Aku hanya
menjawab ayahku dengan satu alisku yang dinaikkan. “setiap
hari aku pulang dari kerja, aku melihatmu, Joy. Ayah melihat
bayi terimut yang pernah ada dan dirimu telah memberi
harapan kepada ayah. Dan benar, setahun setelah
kelahiranmu, ayah mendapatkan jabatan yang baru.”
Senyuman tipis diwajahku kembali terlihat. ”Ibumu yang dulu
sering adu mulut dengan ayah juga mulai menjaga hubungan
terhadap sesama. Dan satu lagi, berkat kehadiranmu, kita bisa
pindah rumah kita ke sini, tempat yang tidak terlalu kumuh.”
Ayah aku menepuk kepala aku pelan dan mengusap sisa air
mata aku yang masih dipipiku. Ia menatapku dengan tatapan
penuh kasih sayang, kemudian ia memelukku dengan erat.
Ayahku menemaniku sambil bercerita sedikit sampai
aku tertidur. Ketika aku sudah tidur, ayahku berdiri dan
mencium kening aku dengan penuh kasih sayang, lalu dia bisik
ke telinga aku “Selamat tidur, anak pembawa
keberuntungan.”

15
Teman
Keesokan harinya di sekolah, kakiku berhenti ketika
aku melihat ada seorang perempuan cantik sedang berdiri di
samping meja Cessy. Aku merasa senang karena ada yang
ingin menjadi teman Cessy. Aku melanjutkan langkahku untuk
menuju ke meja Cessy, namun sebelum aku sampai, aku
mendengar sesuatu yang diucapkan oleh perempuan cantik
itu dan terpaksa menghentikan langkahku lagi.
“sombong banget sih kamu! Dari tadi aku ajak bicara
kok cuman jawab pake anggukan dan gelengan, emangnya
kamu ga ada mulut?” dengan nada suara yang ketus dan
tatapan yang kesal. Cessy tidak menghiraukannya, ia bahkan
tidak tertarik untuk mengangkat kepalanya untuk melihat
perempuan tersebut. Cessy hanya melanjutkan gambar yang
belum diselesaikannya dari rumah. Perempuan itu
mengepalkan tangannya dengan kekuatan yang maksimal
sambil menutup matanya, dan menarik nafas dengan panjang
lalu memhembusnya dengan kuat. Terlihat jelas jika
perempuan itu sudah habis kesabarannya. Ia langsung
menarik lukisan yang sedang digambar oleh Cessy.
“Lukisan mu bagus,” katanya dengan ketus. “tapi jika
kamu tidak memiliki sopan santun dan tidak menjawab apa
yang dikataan orang lain, orang tidak akan ingin menjadi
temanmu!” kata perempuan itu dengan tegas, seperti sedang
memberikan Cessy pelajaran. Kali ini Cessy mengangkat
kepalanya. Melihat wajah perempuan itu dengan tatapan
lurus langsung ke mata, berdiri dan merebut kembali gambar
dia tanpa mengeluarkan suara. Merasa kalah, perempuan
cantik itu memberi tatapan menjijikan kepada Cessy.
Perempuan itu merasa bahwa dia sudah tidak dapat
berkomunikasi dengan Cessy lagi, dan pada saat itu, perasaan

16
perempuan cantik tersebut sedang kacau. Ia membalikan
badan untuk pergi dari meja Cessy dan ia menyadari bahwa
aku sedang memperhatikan dia dari tadi. Dia menatapku
dengan tatapan ketakutan, takut karena takut aku
melaporkannya kepada guru. Menyadari aku dan dia saling
bertatap-tatapan, aku memberikan seulas senyum kepada dia.
“Jijik.” ia memandangku dari ujung kepala sampai ke
ujung kaki. Pandangan ketakutan tadi telah menjadi
pandangan yang merendahkan. Masih dengan keadaan
tersenyum, aku memberanikan diri untuk menanyakan siapa
nama dia. Perempuan tersebut mengubah pandangan
merendahkan menjadi pandangan penasaran terhadapku,
kemudian pandangan merendahkannya muncul lagi “aku tidak
ingin memiliki teman sepertimu. Tumbuhkan dulu lenganmu
sebelum kamu ajak aku bicara lagi.” Cessy yang mendengar hal
itu segera berdiri dari kursinya, melewati perempuan itu dan
menepuk lembut kepalaku, berusaha untuk menghibur. Cessy
menulis sesuatu dikertasnya dan menunjukkan kepadaku, aku
baca tulisannya. Dia tidak tau siapa yang sedang dia ajak
bicara. Aku tidak mengerti kalimat tersebut, aku hanya bisa
menggaruk garuk kepalaku. Untungnya, Cessy mengerti. Jadi
dia memberikan aku secarik kertas lagi yang bertulisan kamu
adalah orang yang baik hati dengan senyuman yang lebar dan
harapan yang besar supaya aku tidak sakit hati lagi akibat
perkataan perempuan itu. Aku membalas Cessy dengan
senyum juga. Disini, aku merasa bahwa Cessy benar-benarlah
teman yang baik.
Saat jam pelajaran matematika, Cessy seperti hari
sebelumnya, dia sangat fokus kepada apa yang dibicarakan
guru. Sedangkan, aku sama sekali tidak fokus kepada apa yang
diajarkan guru, gurunya sedang mengajarkan satu tambah
satu, dua tambah dua dan seterusnya yang dituliskan di papan

17
tulis dan sepertinya Cessy menyadari bahwa aku sedang
kebingungan menghadapi persoalan itu. Cessy menepuk
pundak aku dengan tangan kanan dan menunjukkan sebuah
pensil yang dipegangnya di tangan kirinya, ia lalu meletakkan
pensil tersebut di atas meja dan mataku mengikutinya,
kemudian ia mengeluarkan lagi sebuah pensil dan
meletakkannya di sebelah pensil yang tadi. Sebentar saja, aku
mengerti apa yang ingin disampaikan Cessy. Ternyata
begitulah cara menghitung satu ditambah satu.
Sepanjang pelajaran, aku diajarkan Cessy untuk
menghitung. Cessy dapat mendengarkan ajaran guru dan
langsung menyampaikannya kepada aku dengan cara yang
lebih mudah dimengerti. Hampir sampai akhir pelajaran, Cessy
melakukan itu dan aku tidak bosan menghadapinya. Bel untuk
pulang berbunyi, tapi guru belum memperbolehkan kami
untuk pulang. Guru tersebut menginginkan kami untuk
menjawab soal matematika sebelum pulang, dan bagi yang
benar, dialah yang boleh pulang. Ya, beginilah ciri-ciri guru
yang bakal tidak disukai murid nantinya.
Aku mulai panik takut akan tidak bisa menjawab
persoalan dari guru. Tanganku mulai terasa dingin, dan
mukaku pucat. Tetapi, Cessy memegang tanganku dan
menunjukkan ekspresi tidak apa-apa. Dengan pegangan yang
diberi oleh Cessy, akhirnya perasaanku dapat tenang kembali.
“Soal pertama. Satu tambah satu sama dengan?”
tanya guruku, memberikan soal termudah untuk soal
pertama. Tanpa lirik sana sini, aku langsung mengangkat
tanganku karena soal itu sudah diajarkan oleh Cessy tadi.
Namun, guru itu tidak melihat tanganku, karena setinggi
apapun aku mengangkat tanganku, tanganku tidak akan
setinggi orang biasa. Soal berikutnya, guruku memberikan dua

18
dikali tiga. Aku tidak bisa menjawab soal itu, tapi tenang,
bukan aku sendiri yang tidak bisa menjawab. Hampir seluruh
murid tidak bisa menjawab soal itu. Cessy mengangkat
tangannya dengan percaya diri dan semua mata menuju
kepada Cessy dengan pandangan yang kagum. Sayangnya,
Cessy tidak bisa menjawab dengan suara dan guru tersebut
menganggap Cessy tidak bisa menjawab soal itu. Guru kami
memberikan soal soal yang wajib dijawab oleh semua murid.
Aku dan Cessy selalu mengangkat tangan tetapi guru itu selalu
melanjutkan aku karena tidak melihat tanganku dan Cessy
karena dia tidak bersuara. Suasana kelas menjadi sangat seru
ketika semua murid berebut untuk menjawab pertanyaan
supaya mereka bisa pulang. Murid di kelas sudah pulang satu
persatu dan kelas sudah menjadi sepi. Aku dan Cessy sengaja
menunggu semua murid pulang supaya bisa menceritakan
perbedaan kami dengan murid lainnya. Namun, masih ada
seseorang yang belum pulang. Dari belakang, perempuan
tersebut terlihat familiar, sepertinya aku tau dia.
“Nana, satu tambah satu berapa?” tanya gurunya
mengharapkan jawaban dari perempuan tersebut. Namun
tidak ada jawaban dari perempuan itu. Aku antusias ingin
menjawab pertanyaan dari Ibu guru karena itu adalah
pertanyaan yang paling aku bisa. Dikarenakan aku angkat
tangan dan tidak dilihat, aku teriak dengan semangat namun
tidak menantang “Aku mau jawab! Aku mau jawab!” pada saat
itu juga, perempuan yang bernama Nana ini menoleh ke
arahku. Sedikit tercengang, ternyata Nana adalah perempuan
yang memarahi Cessy tadi pagi. Aku dan Cessy saling
bertatapan untuk beberapa detik dan membaca pikiran
masing-masing.
“Silahkan dijawab, Joy.” Kata Ibu sambil jalan ke
bangku aku. Aku menegakkan badanku dan menjawab dua.

19
Ibu guru tersernyum sembari memberikan tangannya buat
aku berpamitan dengannya. Aku pamit dengan Ibu,
mengambil tas dan melangkah menuju pintu kelas, lalu aku
berpaling menghadap Cessy “Jangan jadi orang yang terakhir
keluar ya, Cessy!” lalu baru melanjutkan langkahku keluar.
Kutunggu Cessy di luar kelas untuk beberapa menit
dan akhirnya Cessy muncul. Kami melakukan tos pertemanan
sebelum pergi ke gerbang depan sekolah. Sesampainya di
gerbang, ibu Cessy sudah menunggu dia di luar. Ibunya
menjemput Cessy di gerbang dan mengajaknya jalan ke mobil,
namun ketika Ibunya sudah jalan, Cessy tidak ikut melangkah.
Cessy lalu melakukan beberapa gerakan isyarat untuk
menyampaikan sesuatu kepada ibunya. Ibunya tersenyum
melihat pesan Cessy, lalu ibunya mengatakan bahwa Cessy
ingin menunggu aku sampai orangtuaku datang
menjemputku. Aku tersenyum lebar setelah mendengarkan
pesan dari Cessy, lalu berulang kali mengucapkan terima kasih
kepada Cessy dan Ibunya. Cessy kemudian memberikan
sebuah surat yang bertulis aku senang dapat menjadi
temanmu, semoga pertemanan ini bisa untuk selamanya.

20
Kenangan
Sudah beberapa tahun semenjak aku mengenali
Cessy, dan sekarang hubungan kami sudah menjadi jauh lebih
dekat. Kami selalu membagikan cerita, canda, dan tawa
bersama. Tahun ini, aku dan Cessy sudah meranjak ke bangku
SMP. Sayangnya, aku dan Cessy menjadi musuh terbesar Nana
di SD. Nana mendapatkan geng dia dan dia mulai membully
aku dan Cessy bersama teman-teman dia. Di sekolah, Nana
adalah murid terkaya, ayahnya bagaikan pahlawan bagi
sekolah kami karena Ayahnya sering berkontribusi dalam
acara di sekolah dalam bentuk sumber daya manusia maupun
materi. Itulah alasannya tidak ada yang berani membela aku
dan Cessy ketika kami dibully walaupun terkadang perlakuan
Nana tidak dapat dimaafkan. Ia membuat tidak ada satu
orangpun yang berani berkawan dengan kami. Alhasil, aku
hanya dapat menghabiskan enam tahun masa SD aku hanya
dengan Cessy.
Aku akan mengubah kehidupanku di SMP ini dengan
cara berkawan dengan semua orang, tentunya mengajak
Cessy dengan harapan besar tidak bersama Nana lagi di SMP
ini. Aku meyakinkan diriku untuk bisa bertemanan sama
semua orang karena kita tidak cukup jika hanya baik kepada
orang, kita harus menjadi teman.
Di dalam enam tahun ini, ayahku juga sudah mencapai
tujuan dia untuk menjadi manajer di perusahaan yang sedang
ia bekerja. Kami pun pindah rumah kami ke rumah yang lebih
besar dari sebelumnya yang lebih dekat dengan rumah Cessy.
Begitu pula dengan Ibuku, Ibuku menjadi sahabat terbaik Ibu
Cessy. Kedekatan orangtua kami membuat kami menjadi
sering keluar bersama. Dan besok, hari yang telah kutunggu
tunggu sejak lama yaitu pergi ke pantai bersama Cessy!

21
Aku sedang memasukkan barang barangku ke dalam
tas untuk pergi ke pantai bersama orangtua ku, dengan
antusias aku memikirkan apa saja yana harusku bawa sambil
melihat ke arah langit-langit di rumah. Aku menyadari
terdapat sebuah kotak tua berbentuk harta karun kayu di atas
lemari pakaian. Tidak dapat mengambilnya sendiri, aku
meminta bantuan ayahku. Ayahku menurunkan kotak
tersebut dan membukanya bersama. Di dalamnya, terdapat
banyak lukisan dengan kertas yang sudah menguning dan
berdebu. Aku mengambil salah satu lukisan paling di atas dan
melihat dengan wajah yang mengagumkan, lukisan itu benar
benar indah sekali.
“Ibu, apakah ibu mengenali gadis yang berada di
lukisan ini? Ia terlihat sangat cantik.” Aku menanyakan kepada
Ibuku masih dengan perasaan kagum terhadap seniman yang
melukis gambar ini. Namun, ibuku tidak menjawab
pertanyaanku, Ibuku hanya tersenyum tersipu malu. Ayahku
menyadari lukisan itu dan mengatakan
“Itu adalah masa muda ibumu.” Dengan senyuman
bangga bisa mendapatkan cinta Ibu. Aku terbelalak
mendengarnya, ternyata ibuku secantik bagaikan bidadari.
“Ayahmu menyatakan perasaannya dengan lukisan
ini, Joy.” Aku tidak mengerti apa yang dikatakan ibu, aku
menaikkan satu alis mataku. Ibuku sadar akan ke lolaan ku dan
Ia melanjutkan “Ayahmu dulu tidak mampu untuk membeli
cincin, jadi ayahmu menggantikan cincin dengan lukisan ini.”
Tambah Ibu memperjelas perkataannya. Aku melirik ke
Ayahku dan ayahku mengangguk angguk.
“Percintaan yang luar biasa ya Ayah dan Ibu.” Kataku
mengagumkan. “kalau cintaku kapan datangnya, Yah?”

22
tanyaku dengan polos. Ayah dan Ibuku saling melirik-lirikan
dengan muka yang canggung, ayahku datang mendekatiku,
memegang bahuku dengan kedua tangannya dan meyakinkan
aku.
“Ketika kamu menemukan seseorang yang benar-
benar tulis padamu, tuan putri.” Aku mengangguk setengah
mengerti. Mungkin yang dimaksud ayahku adalah tentang
ketidaksempurnaan aku. Tentunya aku susah untuk mencari
cinta. Tidak semua orang bisa menerima kenyataan ini.
Bahkan ayahku jatuh cinta kepada Ibuku karena Ibuku
memiliki paras yang sangat menarik. Iya, pada akhirnya aku
pasti akan menemukan seseorang yang tidak pandang
ketidaksempurnaanku dan bisa mencintaiku apa adanya. Toh
aku baru saja masuk SMP, waktuku masih panjang.
Keesokan pagi, kami berangkat ke pantai bersama
keluarga Cessy dan Cessy. Ayah Cessy menyetir mobil dan
ayahku duduk di bagian depan, Ibu aku dan ibu Cessy duduk di
bagian belakang mobil di dekat pintu, sedangkan aku dan
Cessy duduk bersama di tengah Ibu kami. Di mobil, kami
berbincang bincang, menceritakan tentang bagaimana kisah
cinta orangtuaku, dan orangtua Cessy juga membagikan cerita
bagaimana mereka bisa bertemu. Cerita-cerita yang dibagikan
membuat perjalanan terasa dekat. Hanya sebentar saja, kami
sudah sampai ditujuan kami.
Aku dan Cessy menuruni mobil dengan antusias, lupa
akan kehadiran orangtua kami, kami langsung mengganti baju
renang. Cessy menarik tanganku untuk menuju ke laut, ia
memercikkan air laut tepat dimuka ku dan aku membalasnsya,
kami bermain di laut dengan perasaan yang sangat senang.
Tidak tersadari, matahari sudah di atas kepala kami. Ibu kami

23
khawatir akan kesehatan kami, jadi kami diminta untuk
istirahat sejenak.
Ketika aku dan Cessy sedang berjalan menuju tempat
teduh dimana orangtua kami berada, aku merasakan ada sinar
cahaya flash dari arah ibuku. Ternyata flash itu adalah cahaya
potretan kamera dari ibuku. Ibuku memotret aku dan Cessy
yang sedang tersenyum lebar bermain bersama sambil
berjalan ke arah orangtua kami. Menyadari kami dimotret,
kami saling bertatap dan terdiam, lalu meledakkan tawa kami.
Setelah itu, kami dengan antusias berlari ke arah orangtua
kami untuk melihat hasil foto kami. Fotonya terlihat bagus,
aku dan Cessy terlihat sangat bahagia difoto itu. Akhirnya,
kami masing-masing menyimpan foto tersebut.
Kami menghabiskan siang hari kami dengan melihat
kembali masa SD kami yang sekarang telah menjadi kenangan.
Kenangan pahit yang terdapat Nana yang membully kami dan
kenangan indah karena Cessy tidak pernah meninggalkan aku
sendirian, ia juga selalu datang untuk menghiburku ketika aku
dibully Nana. Iya, pertemanan pertama yang membuatku
langsung mengerti tentang pertemanan asli. Kami berbincang-
bincang sampai akhirnya matahari sudah hampir terbenam.
Orangtua kami menyuruh kami untuk berberes karena hari
sudah mau usai, Ibu kami juga membantu kami.
Aku melihat Cessy dan merasakan ada yang berbeda
di dalam dirinya, dia terlihat sedih dan bingung terhadap
sesuatu. Aku menanyakan kepada dia dan yang dia jawab
hanyalah geleng-geleng tanpa menggunakan Bahasa isyarat.
Aku ikut kebingungan, tetapi aku memutuskan untuk tidak
bertanya lagi. Tiba-tiba, Cessy menggenggamkan tanganku
dengan kuat dan menahannya, lalu mengeluarkan sebuah
kalung loket yang berisi foto yang dipotret oleh ibuku tadi.

24
“Wah indah sekali!” aku melihat kalung loket tersebut
dengan mata yang berkilau. Cessy melepaskan genggamannya
perlahan, lalu memelukku dengan erat. Dia mengucapkan
sesuatu dengan tidak jelas. Aku yang ingin tau apa yang
dibicarakannya langsung melepaskan pelukannya dengan
lembut. Kulihat mata Cessy sudah berkaca-kaca, sepertinya
dia ingin menangis. Dan benar, ia menguburkan mukanya
dikedua telapak tangannya dan menangis dengan kencang.
“Cessy, kamu kenapa?” ku tepuk dan elus pundak
Cessy dan menanyakan dengan hati-hati. Cessy hanya
menggeleng-geleng menjawabku, dia membalikkan badan lalu
menghadap ke arahku lagi, seperti ingin menyampaikan
sesuatu namun tidak jadi. Dia lalu membalikkan badannya lagi
dan berlari sambil menangis ke arah Ibunya.

25
Perpisahan

Pagi ini, aku dibangun oleh Ibuku.


“Joy, kamu dapat surat dari Cessy” Ibuku
memberikanku secarik kertas putih yang sudah dihias dengan
sticker-sticker lucu. Aku mengambil surat dengan perasaan
sedikit tidak tenang dan membacanya.
Joy, ini aku Cessy. Aku hari ini sudah pindah ke luar kota karena
alasan pekerjaan Ayahku. Aku benar-benar mau minta maaf
karena kabarinnya ke kamu setelat ini. Aku sudah ingin
menyampaikan ini kepadamu kemarin, tetapi aku tidak tau
cara menyampaikannya. Aku tidak memiliki kertas dan pensil
untuk menuliskan untukmu dan aku bersikeras tidak ingin
Ibuku membantu, karena aku ingin menyampaikan kepadamu
sendiri. Oh iya, kamu ingatkan sama kalung loket yang aku
kasih kemarin? Tolong jangan hilangin ya. Aku juga
menyimpan satu buatku sendiri supaya ketika aku kangen
kamu nanti, aku dapat melihatmu di kalung loket ini. Aku
berharap kamu dapat mencari teman yang baik setibanya
kamu duduk di bangku SMP ya. Aku mengharapkan yang
terbaik untukmu, Joy! Bakal kangen banget sama kamu 😊
Setelah membaca surat itu, sekujur tubuhku
melemas. Aku baru ngerti mengapa Cessy terlihat sedih
semalam, ternyata pertemuan semalam adalah pertemuan
terakhir diantara aku dan Cessy. Aku juga baru mengerti
mengapa dia nangis pada saat itu. Aku merasa ditinggalkan
oleh Cessy. Hati aku patah, tetapi aku tidak menangis.
“Ibu, apakah Cessy meninggalkanku?” suara aku
sangat kecil, hampir tidak terdengar dan tanganku gemetaran.
Ibuku juga sedih melihat keadaanku dan tidak mampu
menjawab pertanyaanku, takut akan kesedihan yang lebih

26
mendalam. Malahan, ayahku yang menjawabku dengan
memberikan aku sedikit harapan.
“Apakah kamu ingin bertemu dengan Cessy untuk
terakhir kalinya?” Tanya papaku. Tanpa berpikir panjang, aku
langsung beranjak dari tempat tidur dan mempersiapkan
diriku secepat kilat untuk bertemu dengan Cessy untuk yang
terakhir kalinya. Di perjalanan, aku tidak bisa tenang, mataku
kemana-mana untuk mencari Cessy, mengharapkan ketemu
dia diperjalanan. Namun tidak ada bayangan Cessy yang
terlihat. Ayahku membawaku ke bandara, karena
kemungkinan yang paling besar keberadaan Cessy adalah di
bandara.
Sesampainya di bandara, aku langsung berlari menuju
tempat yang aku rasa ada Cessy, tetapi aku masih belum
menemukannya. Waktu berjalan dengan cepat, aku juga
semakin panik. Aku takut akan kehilangan Cessy, aku bagaikan
orang sakit jiwa yang baru keluar dari rumah sakit. Aku melihat
kiri kanan dengan sangat cepat untuk mencari sosok Cessy
sampai aku terpikir untuk menelpon Ibunya.
“Ayah, bolehkah ayah telpon kepada Ibu Cessy?” aku
memohon kepada ayah dengan terburu-buru. Ayahku
bergerak dengan cepat dan langsung mengantarku ke tempat
Check-in. Aku mendesak ayahku untuk jalan lebih cepat
supaya tidak ketinggalan pertemuan terakhirku kepada Cessy.
Sesampainya di tempat check-in, aku masih belum melihat
Cessy. Perasaan buruk bahwa Cessy sudah meninggalkan aku
dan aku tidak berkesempatan untuk menemukan dia muncul.
Mataku mulai berair dan pandanganku sudah tidak jelas. Aku
hanya bisa mengandalkan kepada suaraku sekarang.

27
“Cessy!” Aku memanggil namanya berulang kali tetapi
tidak ada tanda tanda bahwa Cessy disini. Aku benar-benar
sudah lemas. Dengan masih memanggil namanya, aku
terduduk dengan kakiku dipeluk oleh tanganku. Suaraku
memanggil Cessy yang lama kelamaan semakin kecil suaraku,
dan akhirnya aku menunduk dan menenggelamkan wajahku
dipelukanku. Menangis.
Ayahku menyolek bahuku, menyuruhku untuk bangun
tetapi aku tidak kuat. Ayahku kemudian memaksaku untuk
berdiri, lalu ia menunjukkan arah jam dua belas. Aku
mengucek mataku untuk melihat seseorang yang berjarak dua
meter dariku. Orang tersebut terlihat familiar. Memiliki
rambut dan bentuk tubuh yang sama persis seperti Cessy dari
belakang, atau jangan-jangan, dia memanglah Cessy?
“Cessy!” aku teriak lagi dengan sekuat tenaga.
Perempuan tersebut menoleh ke arah aku, menyipitkan
matanya dan memberikan senyuman terbahagia yang pernah
dia keluarkan, melambai-lambaikan tangannya kepadaku
dengan sekuat tenaga dia, lalu menerobos antrian yang sudah
dia antri dari pagi untuk bertemu denganku. Dia datang dan
langsung menggali manja kepalanya ke bahu aku. Aku dapat
merasakan kebahagiaan yang dirasakan Cessy sekarang.
Berusaha untuk tidak nangis, aku berpura-pura untuk tetap
tegar.
“Jangan khawatir Cessy. Kita pasti akan bertemu lagi.”
Aku mengatakan kalimat itu menunjukkan bahwa aku tegar,
tetapi suara tidak bisa menipu. Suaraku gemetaran seperti
orang yang lagi nangis, dan bener, aku memang sedang
menangis. Cessy akhirnya mengangkat kepalanya dengan
terpaksa dari bahuku dan mengusap air mataku dengan
senyuman yang dipaksa, padahal mata Cessy juga sama

28
basahnya seperti diriku. Cessy masih memaksakan
senyumannya walaupun aku tau dia ingin menangis lalu dia
menganggukan kepala dia.
Cessy sudah dipanggil oleh orangtuanya karena sudah
mendapatkan antrian untuk check-in, dan untuk terakhir
kalinya, Cessy memelukku dengan erat sebelum kemudian ia
melangkah kembali ke Ibunya sembari melambaikan tangan
kepadaku pertanda selamat tinggal. Aku juga membalas
lambaian tanganku yang pendek bermaksud perpisahan.
Namun, sebelum dia sampai di gerbang check-in, aku berlari
dan menggenggam tangannya. Aku memberikan dia sebuah
lukisan yang aku gambar yang rencananya untuk memberikan
kepada dia ketika dia ulang tahun bulan depan. Namun, situasi
menjadi tidak mendukung aku untuk memberikan kado ulang
tahun kepada Cessy, jadi aku memberikan kepadanya sebagai
hadiah perpisahan. Dan untuk terakhir kalinya, aku berteriak
dengan suaraku yang masih bergemetaran.
“Selamat tinggal, Cessy! Kamu akan selalu menjadi
teman terbaikku!”

29
Belajar Hal Baru
Waktu berjalan sangat lambat kemarin, sehari serasa
seminggu tanpa Cessy. Aku tidak memiliki selera untuk makan
dan tidak memiliki tenaga untuk melakukan apa-apa. Aku
hanya bisa rebahan di tempat tidur dengan wajah yang sedih
memikirkan kesedihan yang tidak seharusnya aku rasakan.
Menghabiskan waktu dengan kegiatan yang tidak produktif
bahkan tidak melakukan apa-apa.
Orangtuaku mulai khawatir atas perilaku ku yang tidak
seperti biasanya, mereka melakukan berbagai cara untuk
menghiburku termasuk membelikan makanan kesukaanku,
tetapi apapun yang dilakukan orangtuaku tidak membantu
dalam membalikan perasaanku sekarang. Mungkin yang bisa
membalikkan perasaanku hanyalah Cessy. Aku tidak
berkomunikasi dengan orangtuaku seharian. Aku hanya
tiduran di tempat tidur sambil memikirkan Cessy dan aku
menghabiskan hariku hanya di tempat tidur.
Jika dipikirkan kembali, aku sungguh menghabiskan
waktu aku kemarin. Jadi hari ini, aku tidak boleh lagi
menghabiskan waktu aku. Aku akan melakukan apapun untuk
bisa melupakan perasaan sedih ini. Aku mulai mencatat apa
yang bisa kulakukan sendirian tanpa Cessy, dan aku
mendapatkan list kegiatan yang bisa dilakukan sebagai
berikut: menggambar, membaca, dan menyanyi. Kegiatan
pertama yang akan aku mulai adalah menggambar karena
ayahku jago dalam hal gambar.
Aku meminta ayahku untuk mengajarkan aku untuk
menggambar. Mendengar hal tersebut, ayahku membalas
dengan muka bahagia sebelum dia menerima tawaranku.
Ayahku membanggakan dirinya kepada Ibu karena aku

30
mendapatkan hobi yang sama dengan Ayah bukan Ibu.
Sebelum ayah memulai mengajar, ayahku menanyakan
mengapa aku ingin menggambar walaupun dia jelas tau
bahwa aku ingin menggambar supaya bisa tidak bersedih
karena Cessy.
Kami bicara sebentar lalu ayahku membawa aku ke
ruangan kerja dia dimana terdapat satu tempat khusus
peralatan gambar ayahku. Aku tercengang melihatnya, karena
ini adalah pertama kali aku melihat peralatan gambar yang
selengkap ini. Ayahku menunjukkan alatnya sambil
mengajarkan aku tentang menggambar. Ia memulai dari
memperkenalkan alat dahulu, dan dia menjelaskan gunanya
pensil dan bedanya pensil tebal dan tipis. Dia mengajarkanku
tentang pensil karena dia ingin berbagi ilmunya tentang
sketsa.
Pertama-tama, dia meminta aku untuk menggambar
sebuah/seseorang yang istimewa. Mata ayahku berkaca-kaca
seperti mengharapkan aku menggambarkan dirinya, namun
aku tidak menyadari ekspresi wajah ayahku. Aku langsung
menggambar sebuah perempuan berambut pendek dengan
ekspresi yang tidak bisa dijelaskan. Ayahku melihat
gambaranku dan langsung menebak.
“Aku ramal dia Cessy!” kata Ayahku dengan percaya
diri. Aku tercengang atas jawaban Ayahku. Aku melihat ayahku
lalu gambarku berulang kali, merasa sedikit bangga karena
Ayahku bisa melihat siapa yang aku gambar yang tandanya aku
bisa menggambar dengan bagus, lalu aku menanyakan
kepadanya

31
“Mengapa ayah bisa tau?” dengan kedua tanganku
dikepalkan dan diletakkan di depan dadaku, masih dengan
ekspresi tercengang.
“Jelas saja, Joy. Cessy kan satu-satunya temanmu.”
Sambil ketawa. “Selamat Joy, kamu sudah menggambarkan
gambaran pertama kamu yang bernama Stickman.” Lanjut
Ayah sambil menahan tawa tetapi juga bangga karena aku
sudah bisa menggambar Stickman. Sebenarnya, ini bukanlah
karya pertama aku, aku sudah pernah menggambar
sebelumnya dan ku berikan hasil karya terbaikku kepada Cessy
kemarin tepat sebelum dia check-in pesawat. Aku
memberitaukan ini kepada ayahku dan ayahku yang tadinya
hanya ketawa kecil menjadi tertawa terbahak-bahak. Ayahku
tertawa dengan nada yang mengejek membuatku merasa
terhina.
“Kamu lucu sekali Joy” Ayahku hanya mengucapkan
satu kalimat yang masih belum dapat menjelaskan alasan dia
tertawa. Aku tidak menghiraukannya lagi dan aku melanjutkan
untuk menggambar.
Aku menghabiskan dua jam dan akhirnya aku bisa
menggambar stickman yang lebih rapi dan real. Ayahku tidak
lagi tertawa atas karyaku sekarang. Malahan, dia mengajarku
untuk menggambar beberapa ekspresi wajah seperti bahagia,
sedih, marah, malu, ketakutan, dan bingung. kali ini, Ayahku
memuji bahwa aku adalah anak yang cepat nangkap dalam
pembelajaran dan ia menyarankan aku untuk belajar
mewarnai. Dia mulai mengajariku dengan menggabungkan
warna, seperti jika biru dicampur kuning maka akan menjadi
hijau, merah dicampur kuning maka akan menjadi oranye dan
lain lain. Aku amat senang dalam mempelajari hal ini.

32
Siangnya, Ayahku menyarankanku untuk memilih alat
lukis. Dia lalu membawa ku ke toko alat tulis untuk
membelikan beberapa alat gambar yang akan ku pilih sendiri.
Kata Ayah, menggambar menggunakan alat tulis sendiri lebih
seru, karena kita akan membangun hubungan dengan alat
gambar kita. Aku memilih beberapa pensil warna dan spidol
berwarna saja karena bakatku yang belum terpenuhi, namun
ayaku menyarankanku untuk langsung beli semuanya saja
termasuk kuas dan cat air karena dia melihat bakat
menggambar didiriku. Selanjutnya, ayahku juga mengajakku
ke toko buku untuk beli beberapa novel karena aku tidak
memiliki teman lain selain Cessy, novel akan menjadi teman
baruku. Aku beli beberapa buku selain novel seperti buku
panduan cara sketsa, buku mewarnai, dan lain lain.
Ayahku menghabiskan banyak uangnya demi
membahagiakan aku atas kehilangan Cessy dan untuk
mendukung hobi aku. Aku merasa sangat bersyukur memiliki
Ayah yang sangat sayang kepadaku. Hal ini membuat aku
memperkuat janjiku untuk membahagiakan orangtuaku
dimasa depan.
Malamnya, Ibuku yang biasanya masak tidak
memasak hari ini. Ibuku menyuruhku untuk memilih restoran
mana saja yang akan kukunjungi, mereka akan membawa aku
kesana. Aku tau ini adalah rencana mereka untuk
membahagiakanku. Mereka tidak ingin aku bersedih sedih
lagi, jadi mereka rela mengeluarkan apa saja demi
kebahagiaanku. Aku memilih ke restoran anak-anak yang
sudah lama ingin saya kunjungi, restoran yang didesain khusus
anak anak dengan interior yang lebih kecil dilengkapi taman
bermain di dalamnya. Menu makanan yang ditawarkan juga
lucu-lucu. Orangtua ku membebaskan aku untuk memesan
menu makanan sesuai keinginanku. Es krim, jus, manisan dan

33
lain lain aku pesan semua tanpa memikirkan hal yang lain.
Malam itu, aku makan dengan sangat bahagia. Tentunya ayah
dan Ibuku juga bahagia melihat aku dapat melupakan Cessy
untuk sementara waktu. Ini juga berkat dukungan orangtuaku,
aku bisa melupakan kesedihanku dan kembali bersenang-
senang.
Setelah makan dan ingin pulang, aku berdiri sebelum
orangtuaku berdiri, aku jalan tengah tengah mereka lalu aku
memberikan kecupan di pipi mereka. Kecupan yang ikhlas.
Aku lalu mengatakan “Terima kasih Ayah dan Ibu, aku merasa
jauh lebih baik hari ini daripada semalam” ayah dan ibuku
menatap satu sama lain, tersenyum. Lalu memeluk aku
dengan kedua tangan mereka.

34
Teman Sebangku
Melihat kondisi aku yang sering dibully ketika aku
duduk di bangku SD, ayahku menyarankan aku untuk
mengejar ilmu di sekolah untuk anak berkebutuhan khusus.
Namun, aku menolaknya. Tolak karena aku tau dunia luar itu
tidak seindah yang dibayangkan dan cepat atau lambat, aku
harus menghadapinya. Aku akan beradaptasi dengan dunia
luar, bukan dunia luar yang beradaptasi dengan aku. Pertama
tama, ayahku belum setuju dengan alasan yang aku berikan,
namun lama-kelamaan, ayahku melihat keinginan dan
pendirianku yang kuat. Akhirnya, dia mengizinkanku untuk
mencari ilmu di sekolah umum.
Sesampainya di sekolah baru aku, aku merasakan
banyak orang yang memandangku dengan pandangan aneh,
pandangan yang mengatakan aku tidak seharusnya disini dan
ini bukan tempatku. Persis seperti ketika aku pertama kali
masuk ke SD. Aku sudah sering dipandangi dengan pandangan
begitu, dan ini bukan suatu hal yang bisa aku hindar, karena
nyatanya, aku memanglah berbeda dari anak yang lain. Aku
hanya akan berusaha untuk berbaur dan menjadi teman
orang-orang disini.
Aku memasuki kelas, sudah tidak dengan takut-takut
akan pandangan orang. Lincah, mataku langsung
mendapatkan sebuah bangku kosong di sebelah seorang lelaki
yang kelihatan pendiam. Ku Tarik bangku ku yang berada di
sebelah dia. Tetapi, tidak ada reaksi dari dia, dia bahkan tidak
melihatku. Entah dia sengaja, atau memang dia malu.
Hari hari berlalu dengan aku yang selalu berusaha
mengajak dia bicara dan dia yang selalu mencuekkan aku. Dia
tidak aktif dalam menjawab pertanyaan dari guru, juga tidak

35
pergi ke kantin selama jam istirahat. Jika dari fisik, dia terlihat
normal. Sama seperti orang-orang di sekitar pada umumya.
Anehnya, tidak ada yang berinisiatif untuk mengajak dia bicara
dan dia juga tidak mengajak orang lain untuk bicara. Ketika aku
mengajak dia bicara, dia juga tidak peduli. Tidak menjawab
walaupun hanya sekedar mengangguk dan menggeleng
kepala. Yang lebih parah, dia juga tidak menjawab pertanyaan
dari guru. Iya, sepasif itulah dia.
Aku kira dia bakal bicara ketika sudah sebulan.
Namun, sebulan sudah berlalu dan dia tidak ada perubahan.
Aku yang tadinya semangat untuk mengajak dia bicara, kini
juga sudah mulai jenuh. Aku merasa tidak ada perlunya untuk
mengajak seseorang yang tidak ingin bicara kepadaku untuk
berbicara. Dia hanya seperti boneka dengan ukuran manusia
yang diletakkan di kelas saja. Sebulan ini, aku sudah menghafal
nama-nama orang kelas dan mendengarkan suara mereka.
Namun, lelaki ini masih misterius. Aku belum tau namanya dan
belum pernah mendengar suara dia. Bahkan guru-guru sudah
tidak menganggap kehadiran dia lagi.
Menghadapi teman sebangku yang sepasif ini, aku
hanya bisa menghabiskan waktu aku untuk menggambar.
Tidak ada lagi orang yang akan menjelaskan kepadaku ketika
aku tidak mengerti materi yang diberikan oleh guru dan tidak
ada orang lagi yang akan meminjam catatan kepadaku. Sama
seperti ketika aku SD, aku masih tidak bisa fokus kepada apa
yang dibicarakan guru. Jadi setiap kali guru menjelaskan di
depan, aku hanya bisa menggambar dikertas di atas mejaku.
Karena menggambarlah hal yang paling ku nikmati saat ini.

36
Lomba
Aku belum mendapatkan teman, dan tidak memiliki
teman sama sekali. Jadi ketika jam istirahat, semua orang
menghabiskan jam istirahat mereka dengan pergi ke kantin.
Sedangkan, aku hanya berdiam diri di kelas dan menghabiskan
waktuku dengan menggambar. Hampir setiap hari aku
melakukan hal yang sama. Aku selalu meletakkan lukisanku di
bawah meja belajarku di kelas dan tidak membawa pulang
gambarku. Setiap paginya, gambaranku sudah tidak ada.
Mungkin, tukang bersih bersih di sekolah membuangnya atau
mungkin tukang bersih-bersihnya menyukai gambaranku, kan
siapa tau. Namun, itu tidak masalah, karena gambaranku tidak
pernah serius. Aku hanya ingin sekedar menghabiskan
waktuku dengan menggambar, jadi mau disimpam atau
dibuang, aku tidak peduli.
Tiba-tiba aku mendapatkan panggilan untuk ke ruang
guru, memikirkan kesalahan apa yang aku perbuat sehingga
dipanggil ke ruang guru, namun tidak terpikirkan sama sekali.
Apa jangan-jangan aku dipanggil karena tidak pernah fokus
mendengarkan ajaran guru di kelas? Aku tidak berani
meranjak kakiku dari kursi.
“Joy! Ibu Kelly masih menunggu mu!” Desak orang
yang tadi memanggilku. Sedikit was was, aku juga memikirkan
apakah ini jahilan dari orang, karena sering sekali murid disini
mengganggu temannya dengan cara mengabari mendapatkan
panggilan dari guru padahal tidak. Aku berdiam diri sampai
akhirnya Ibu Kelly datang sendiri untuk memanggilku.
“Joy, kemarilah.” Kata Ibu Kelly sembari mengayunkan
tangannya memanggil aku kesana. Aku jalan menuju Ibu Kelly.
“Kamu terpilih untuk mengikuti lomba tingkat sekolah.

37
Apakah kamu tertarik, Joy?” tanya Ibu Kelly dengan harapan
besar aku terima. Sedikit bingung karena aku tidak pernah
menunjukkan lukisanku kepada siapa siapa, masih memikirkan
bagaimana Ibu ini bisa tau jika aku bisa menggambar.
“Ibu, kalau boleh tau, kenapa Ibu tau saya bisa gambar
dan mengapa saya dipilih?” aku memutuskan untuk
menanyakan saja dari pada menduga yang tidak tidak. Ibunya
tersenyum.
“tukang bersih sekolah selalu menemukan selembar
lukisan di bawah mejamu, dan dia mengumpulkannya setiap
hari kepadaku. Setelah dilihat-lihat, gambaran mu memang
ada ciri khasnya sendiri, dan untuk orang yang seumuran
kamu, gambar ini luar biasa. Jadi, apakah kamu tertarik untuk
didaftarkan lomba menggambar?” jelas Ibu Kelly dan
menanyakan sekali lagi. Gemilang wajahku, hatiku berbung-
bunga. Tentu, aku akan menerima tawaran ini dengan senang
hati. Ibu Kelly lalu memberikan tangannya bersalaman dengan
aku, aku memberikan tanganku juga dan kami bersalaman
yang bertanda bersedia.
Ibu Kelly langsung mengajakku ke ruang guru dan
memberikan formulir pendataran lomba gambar dan aku isi
langsung disana juga. Ternyata, topik lukisan yang diminta itu
adalah suasana lingkungan sekolah dan perlombaannya akan
dimulai minggu depan.
Sesampainya di rumah, aku langsung mengabarkan
kabar baik ini kepada kedua orangtuaku. Mereka menyambut
baik kabar ini dan memberikanku motivasi. Ayahku tidak
percaya bahwa aku sudah bisa menggambar dengan bagus,
dia sendiri tercengang dengan perkembanganku selama satu
bulan ini. Ayahku mulai melatih aku untuk menggambar setiap

38
malam supaya aku bisa memenangi lomba ini. Sebenarnya
kata orangtuaku menang atau kalah itu tidak masalah, yang
penting kita sudah berjuang. Aku latihan menggambar setiap
hari di sekolah dan malam di rumah dengan Ayah sebagai
guruku. Ibuku yang tidak bisa mengajarkan ku untuk
menggambar sering memotivasi aku dari belakang. Yang
paling sering diucapkan adalah “Practice makes perfect, Joy!”

39
Bola Basket

Aku sedang duduk sendiri di bangku kosong dekat


lapangan basket sambil memikirkan konsep gambar untuk
lomba. Ku pandang lapangan basket dan hal itu memberikan
inspirasi untuk menggambar. Aku ingin menggambar lapangan
basket untuk mengikuti lomba ini. Beberapa menit setelah aku
menggambar sketsa kasar lapangan basket, datanglah
beberapa pemain basket membawa bola berwarna oranye
dan mulai memantulkan bola itu. Mereka memberikan aku
inspirasi baru untuk menggambar lagi. Akhirnya aku
memutuskan untuk menggambar pemain basket yang
bermain basket di lapangan basket.

Aku fokus pada gambarku, dimulai dari sketsa kasar


lapangan basket, kemudian aku sudah mulai mengarsir
gambaranku. Tiba-tiba, sebuah bola oranye laju datang dari
jauh dan menempel tepat dimuka ku.

“Aduh!” aku teriak kesakitan. Aku melihat


segerombolan cowo datang untuk mengambil bola. Namun,
sebagian dari mereka berhenti ditengah jalan. Hanya satu dari
mereka yang melanjutkan perjalanan untuk mengambil bola
dengan tatapan matanya lurus kepada bola, tidak menyadari
bahwa teman-temannya sudah pada berhenti. Bola tersebut
berhenti tepat di bawah tempat dudukku.

Pada saat itu, cowo tersebut ingin mengambilnya,


tetapi dia melihat terdapat orang yang sedang duduk yang
membuatnya tidak dapat mengambil bola tersebut.

40
“Halo, maafkan aku” ia meminta maaf dengan
pandangan yang masih lurus ke bola, belum melihat diriku.
“boleh tolong ambilin bo…” cowo tersebut berhenti
ucapannya ketika dia mengangkat kepalanya dan melihat
lengan aku yang tidak sempurna. “maafkan aku sekali lagi, aku
ambil sendiri saja.” Katanya dengan merasa bersalah. Ia
menundukkan kepalanya sedikit menunjukkan rasa
bersalahnya sebelum dia pergi melanjutkan permainan.

Wajah saja menjadi merah akibat pukulan bola yang


luar biasa tadi, hidung aku juga berubah menjadi merah.
Perlahan, air mata aku mengalir sampai pipiku. Pikiranku
mulai liar, memikirkan jika saja Cessy berada disisiku sekarang,
pasti hal ini tidak akan terjadi. Walaupun terjadi, Cessy pasti
akan menghiburku. Perasaanku sangat sedih sekarang, tidak
bisa menggambar lagi, aku memutuskan untuk pergi dari sini
dan berdiam diri di dalam kelas saja.

“Jangan nangis lagi.” Ku dengar suara yang belum


pernah kudengar sebelumnya. Aku menoleh ke arah dia. Aku
lihat dia mengenakan seragam basket, lalu ku arahkan mataku
ke tangan dia sebelah kanan, ia sedang mengluarkan selembar
tisu, ia lalu memberikannya kepada aku. Baru aku melihat
wajahnya. Aku ternganga. Dia adalah teman sebangku aku.

Aku menghapus air mataku dengan tisu pemberian


dia dan beranjak dari kursi untuk pergi dari sana. Tidak ingin
dia melihatku menangis. Aku berlari menuju ruang kelasku
yang dalam keadaan kosong, lalu berjalan pelan menuju
tempat duduk aku. Ku lihat sebuah buku tebal bukan milikku

41
terletak di atas mejaku. Aku mendekati buku itu dan
memerhatikan sampul buku tersebut. Terdapat tulisan Joy
Fayola, nama aku. Aku penasaran dengan isi buku ini karena
terdapat namaku dan bukan milikku. Ku buka perlahan buku
ini. Sekali lagi, aku ternganga. Buku ini memiliki gambaran
gambaranku yang hilang sebelumnya, gambaran yang ku kira
sudah dibuang oleh pembersih sekolah. Aku mulai membalik
halaman buku tersebut sampai akhir halaman, dan benar,
semua gambaran ku yang diambil pembersih sekolah terdapat
di dalam buku ini, tertata dengan rapi. Sampai diakhir
halaman, aku melihat sebuah kertas yang tertulis Semangat
buat lombanya. Aku tersenyum sedikit, memikirkan siapa yang
bakal memberikan aku hal seperti ini untuk memotivasi aku,
ku angkat dan peluk bukunya dengan perasaan lega. Tiba-tiba
terdapat secarik kertas yang keluar dari buku tebal tersebut.
Aku ambil kertas tersebut dan membacanya dalam hati. Jika
kamu ingin tau siapa aku, lihatlah ke arah lapangan basket.

Aku segera lari ke pinggir kelas, daerah yang memiliki


jendela. Kosong. Tidak ada siapa pun, hanya seorang
pembersih sekolah yang baru saja keluar dari ruang sampah.
Aku melambaikan tanganku kepada pembersih sekolah,
menduga bahwa yang memberikan buku motivasi ini adalah
dia. Ia melambaikan balik. Aku segera lari ke lapangan basket
untuk menyamperin pembersih sekolah untuk menyatakan
terima kasih.

“Terima kasih, Pak.” Aku membungkukkan badanku


berulang kali.

42
“Sama-sama, Dek. Ini tugas bapak kok.” Katanya
dengan suara diperlembut. Namun, aku kurang mengerti apa
yang dimaksud sebagai tugasnya. Mengapa menyimpan
lukisan dan membuatnya jadi buku merupakan tugas dia?
Sepertinya ada kesalahpahaman. Aku menanyakan sekali lagi
untuk memperjelas kondisi. Namun, jawaban dia tidak sesuai
ekspektasi.

“tadi ada pemain basket yang jatuh dan kakinya luka.


Aku hanya kesini untuk membersihkan lukanya saja. Jadi kamu
tidak perlu berterima kasih kepadaku karena ini memanglah
tugasku.” Jelas pembersih sampah. Aku akhirnya
mengucapkan terima kasih lagi atas informasi yang diberikan
lalu kembali ke kelas dengan perasaan kecewa.

Sesampainya di kelas, aku memikirkan siapa yang


mungkin memberikan buku ini kepada aku. Namun tidak ada
jawabannya. Aku sama sekali tidak memiliki teman disini. Dari
pada memikir lagi, aku mending melanjutkan gambaran yang
tadinya belum terselesaikan. Ku mulai gambar dengan fokus
dan ketika hampir selesai, seseorang memasuki ruang kelas.
Orang itu adalah teman sebangku aku. Cara berjalannya
berbeda, dia terlihat pincang. Aku menegakkan badanku
untuk melihat kakinya dan aku melihat luka dikaki nya. “Oh,
ternyata dia orang yang jatuh tadi” kataku dalam hati.

Dia berjalan dengan kesusahan untuk duduk di tempat


dia yang bertepatan di sebelah aku lalu melipat tangannya di
atas meja, menundukkan kepalanya dan meletakkan

43
kepalanya di atas meja menghadap ke arahku, tertidur.
Mungkin dia lelah, pikirku.

Aku memerhatikan wajah dia dengan dekat beberapa


detik, untuk pertama kalinya, aku benar benar melihat dia. Dia
ternyata memiliki wajah yang menarik dan enak dilihat. Dia
juga memiliki kulit yang mulus nyaris sempurna. Dan hal
terakhir yang aku ketahui tentang dia. Dia jugalah seorang
pemain basket.

44
Latihan

Hari hari ini, aku menghabiskan waktuku di sekolah


sampai malam untuk latihan menggambar. Namun, di sekolah
selalu saja ada seseorang yang latihan di sekolah sampai
malam juga. Orang itu adalah teman sebangkuku. Aku
mendengar bahwa dia terpilih untuk lomba bermain basket
juga, jadi mungkin dia di sekolah sampai malam untuk latihan
buat perlombaan dia.

Aku sudah menggambar berlembar-lembar lapangan


basket dan aku selalu meningkatkan hasil gambarku setiap kali
aku mengganti kertas. Keputusan terakhir yang aku ambil
dalam menentukan konsep lomba gambar ini adalah, aku akan
menggambar seorang laki-laki yang sedang bermain basket
dan seorang perempuan yang tidak memiliki tangan sempurna
sedang menontonnya. Tangan tidak sempurna yang dimaksud
adalah diriku sendiri.

Sehabis pelajaran terakhir, aku langsung menuju ke


lapangan basket untuk mulai latihan menggambar lagi.
Beberapa saat kemudian, teman sebangku aku muncul. Dia
memainkan basket sendirian, memantulkan bolanya dan
memasukkan kedalam ring yang berada di lapangan basket
seperti biasanya dan aku juga fokus kepada lukisanku seperti
biasanya.

Matahari sudah hampir tenggelam dan aku masih


fokus kepada gambaranku karena besok adalah hari
perlombaannya. Dipikiranku, kapan teman sebangku ku akan
pulang? Dia selalu pulang setelah aku. Hari ini, aku sudah

45
berada di sekolah satu jam lebih lama dari biasanya, tapi dia
tetap saja belum pulang. Aku tidak lagi menggambar.
Malahan, aku jadi fokus kepada dia, aku memandangi dia
seperti sedang kasmaran. Tiba tiba, dia menoleh ke arahku.
Pandangan kami bertemu.

Jantungku berdetak sangat cepat. Aku menundukkan


kepalaku secepat kilat untuk menghindari pandangan
tersebut. berusaha menyibukkan diri dengan menggambar
apapun itu. Hatiku tidak tenang membuat barang barangku
berjatuhan di lantai. Dia pasti sedang mengetawaiku, pikirku.
Aku mengambil barangku dengan susah karena tanganku yang
pendek. Ingin meminta tolong tetapi tidak mungkin. Aku
terlalu panik hingga aku tidak menyadari lelaki itu sudah
berdiri di depanku.

Aku mengangkat kepalaku untuk melihat dia,


kemudian dia jongkok dengan kaki yang masih terluka,
membantu membawa lukisan-lukisanku yang berjatuhan. Ia
membantuku untuk bangun dari jongkok dan membantu aku
untuk duduk kembali.

“Kamu seharusnya lagi menggambar. Mengapa kamu


melihat ke arahku?” tanya dia frontal. Seperti sedang
mewawancarai aku. Keringat dingin mulai bercucuran. Aku
sendiri tidak mengerti mengapa aku sedang memerhatikan dia
dari tadi. aku terdiam dan tidak bisa menjawab, akhirnya aku
hanya bisa mengeluarkan kata-kata yang terpatah-patah. Dia
menghembuskan napasnya tipis, “tidak usah panik, aku hanya
menanyakan karena aku ingin tau.” Katanya lagi membuat

46
jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya, masih tidak
bisa menjawab jawaban dari dia. Lalu dia senyum tipis
memecahkan semua kecanggungan ini, dia berdiri dan
mengatakan “Yauda, lanjut aja dulu.” Sambil mengelus
kepalaku sebelum dia pergi dari lapangan basket ini.

Warna merah menguasai seluruh wajahku. Aku telah


tertangkap basah.

47
Persiapan

Setelah makan malam, aku balik ke kamar dan


menggambar sebuah gambaran yang akan ku gambar pada
hari perlombaan. Aku gambar dengan fokus sampai lukisanku
selesai. Tidak pernah terpikirkan untuk menggambar teman
sebangku ku, namun tanganku lah yang mengaturnya. Aku
telah menggambar teman sebangkuku sedang bermain
basket.

Ibuku masuk ke kamarku untuk melihat proses aku


menggambar. Ia melihat gambaranku dan menunjuk
perempuan yang berlengan pendek itu.

“Apakah dia itu kamu?” tanya Ibuku. Aku hanya


mengangguk pelan. Lalu ibuku menunjuk ke lelaki yang sedang
bermain basket. “Apakah dia pacarmu?” tanya ibu sekali lagi,
dengan ekspresi yang sama. Aku tersentak. Berhenti
menggambar dan melihat ke arah ibuku, mengangkat satu
alisku.

“Bukan!” teriakku membela diri, sudah sedikit salah


tingkah. Ibuku memerhatikanku dan mulai tertawa. Ia
mengolok olokku dan aku selalu saja mengelak pertanyaan dia
maupun ejekan ibuku. Kami bercanda sampai hampir pukul
Sembilan, yang artinya waktu aku tidur sudah tiba. Ibuku
berhenti mengejek aku dan mengingatkanku untuk
menyiapkan barang untuk besok.

“Semangat buat lombanya anakku tercinta.” Ibuku


berdiri dari kasurku dan menyium keningku.

48
😊😊😊

Setelah Ibu Joy keluar dari kamar, ia balik ke kamar dia


dan mengabarkan sesuatu kepada ayah.

“sepertinya anak kita sudah mengetahui tentang


cinta.” Kata ibu Joy sedikit senang. Mengharapkan perasaan
yang sama dari ayah Joy. Ayah Joy bingung, ia menanyakan
kembali mengapa ibu Joy bisa mengatakan hal seperti itu.

“Joy menggambar seorang pemain basket yang


mengenakan baju berangka empat.” Ibu Joy memperjelas
perkataannya. Ayah Joy terlihat terkejut setelah mengetahui
angka tersebut. Dia berpikirk keras tentang angka empat,
sepertinya dia pernah melihatnya.

Ayah Joy mondar mandir di kamar untuk mengingat


kembali apa ingatan yang terlupakan itu, lalu tiba-tiba dia
kembali duduk di kasur dengan cepat menghadap ke Ibu Joy.

“Aku sering lihat lelaki menggunakan seragam basket


berangka empat di daerah sini beberapa hari yang lalu.
Sepertinya aku mulai melihatnya ketika Joy mulai melatih
gambarannya di sekolah.” Kata Ayah Joy memberikan
informasi kepada Ibu Joy.

Kedua orangtua Joy saling bertatapan, mengangguk,


dan tersenyum.

😊😊😊

49
“Joy, cepat!” desak ibuku karena sepuluh menit lagi
lomba sudah mau dimulai.

Dengan buru-buru aku menyiapkan diri dan


mengambil barang-barangku dan menuju ke sekolah.
Perlombaan ini adalah lomba gambar tingkat sekolah yang
diadakan setiap tahun untuk mengetahui bakat anak yang
bakal dikirimkan untuk melanjutkan lomba tingkat kota.

Aku dipanggil oleh panitia untuk berkumpul di aula


karena perlombaan akan dimulai sebentar lagi. Aku berjalan
menuju aula dengan cemas karena ini adalah pertama kali aku
mengikuti lomba. Aku ditemani oleh kedua orangtuaku,
mereka selalu meyakinkan aku bahwa semua akan baik baik
saja. Aku kemudian mencari nomor urut yang sudah diberikan
kepadaku yang juga ditempel di meja tempat ku menggambar
nanti.

Hatiku berdebar-debar, ku lihat kiri kananku,


sepertinya semua peserta adalah peserta yang
berpengalaman. Mereka terlihat tidak cemas sama sekali. Aku
mendengar bel berbunyi.

“Perlombaan dimulai!” teriak seorang MC.

Aku mengeluarkan pensilku yang sudah ku raut


semalam dan alat warnaku. Aku mulai menggambar dengan
tenang. Ternyata, berada di atas panggung tidak se ngeri yang
aku bayangkan. Tadi hanyalah kecemasan sementara, kini rasa
cemas itu sudah hilang.

50
Tanpa kusadari, aku menyelesaikan gambarnya
dengan waktu satu jam tiga puluh menit. Sedangkan waktu
yang diberikan kepadaku adalah dua jam. Aku masih memiliki
waktu tiga puluh menit. Jadi ku kerjakan ketentuan yang
diberikan untuk memenangi lomba ini yaitu: menulis cerita
dibalik lukisan ini yang nantinya akan dibacakan kepada para
penonton.

Setelah selesai menulis latar belakang dari lukisan


tersebut, aku mengangkat kepalaku. Mengintip sekilas kepada
para penonton, dan aku melihat orangtuaku. Mereka sedang
melihatku dengan penuh harapan.

Ketika bel tanda waktu habis dibunyikan, semua


peserta diminta untuk mengangkat lukisan kami. Lukisan kami
akan digantung di dinding dan akan dipungut suara langsung
oleh penonton. Kelima nilai terbanyak yang dipilih oleh
penonton akan diminta untuk membaca latar belakang dari
lukisan tersebut dan cerita paling menarik, akan
memenangkan juara pertama.

Lukisan-lukisan sudah mulai digantung didinding. Aku


bisa melihat para penonton sedang mem-voting lukisan orang.
Ku pejamkan mata dan mengharapkan yang terbaik untuk
diriku. Entah kenapa, aku memikirkan jika aku memenangkan
lomba ini.

51
Hasil

MC mulai membuat suasana menjadi tegang,


membiarkan para penonton untuk menebak-nebak siapa
pemenangnya. Ia memulainya sengan sedikit canda, tawa dan
interaksi kepada penonton. Panitia mulai berdatangan untuk
menyebutkan siapa pemenangnya dari juara satu sampai lima.
Nama aku tidaklah berada diperingkat pertama maupun dua,
tetapi namaku terdapat diperingkat tiga.

Ketika namaku disebut, aku ragu untuk melangkah


kedepan, aku hanya memandang wajah orangtuaku, dan
emang bener, orangtuakulah yang memberikan aku semangat
untuk maju kedepan. Mereka selalu saja memandangku
dengan penuh harapan. Aku lalu melangkah ke depan dengan
penuh kebanggaan.

Seperti yang sudah ditetapkan, peringkat satu sampai


lima wajib menceritakan kisah dibalik gambar tersebut. aku
mendengarkan kisah si juara satu dan juara dua sebelum
kisahku dimulai. Mereka memilih cerita yang bahagia.

Giliran aku, aku menarik nafas panjang, lalu


menghembuskannya. Aku membaca dengan teliti, dengan
penuh perasaan.

“Suatu hari terdapat seorang perempuan yang sangat


menyukai permainan basket namun tidak memiliki lengan
yang normal seperti anak-anak pada umumnya. Perempuan
tersebut berlatih setiap malam ketika lapangan basket sekolah
sudah kosong karena takut akan ada pembullyan yang terjadi.

52
Dia tau, bahwa dia tidak mungkin akan menjadi seorang
pemain basket.

Dia berjuang setiap hari untuk bergabung ke team


basket, namun orang-orang sering menolaknya karena alasan
lengannya itu. Dia juga mendaftarkan diri kepada pelatih
basket namun hampir semua pelatih basket yang ditemuinya
tidak menginginkan murid seperti perempuan tersebut. Bukan
hanya tidak ingin bermain bersama dan tidak ingin
melatihnya, orang-orang bahkan menyuruhnya untuk
menyerah saja.

Suatu hari, seorang pemain basket lelaki menyadari


kehadiran perempuan tersebut setiap malam di lapangan
basket ketika lapangan sedang keadaan kosong. Dia datang
untuk melihat perempuan itu setiap malam dan ia menyadari
perempuan tersebut menggunakan salah Teknik dalam
permainan basket. Setelah satu minggu memperhatikan
perempuan tersebut dan tidak ada peningkatan, laki-laki
tersebut merasa iba kepadanya. Akhirnya, ia memutuskan
untuk mengajarnya.

“Hey, kenapa kamu bermain sendirian?” tanya lelaki


tersebut membuat perempuan itu terkejut dan berhenti
memantulkan bola oranye itu.

“Sini.” Panggil laki-laki tersebut sambil mengayunkan


tangannya.

Tanpa berpikir panjang, perempuan tersebut


menceritakan semua hambatan dia dalam menjadi pemain

53
basket dan keinginan besar dia untuk menjadi pemain basket.
Lelaki itu mendengarkannya dengan penuh empati. Kemudian
lelaki tersebut bertekad.

“Mulai hari ini, kamu boleh manggil aku pelatih.” Ia


menawarkan diri.

Selesai.”

Kulihat satu persatu penonton, beberapa dari mereka


meneteskan air mata, beberapa dari mereka hanya bengong
melihatku, beberapa dari mereka juga ada yang tepuk tangan
dengan riang sambil bersorak-sorai, dan sebagian dari mereka
merasa puas setelah mendengarkan kisahku ini.

Panitia mulai menuruni panggung dan memberikan


kertas kecil yang kosong untuk pemungutan suara untuk
menentukan siapa pemenangnya. Setelah diberikan, para
penonton mengisinya dengan tertib dan memasukannya ke
sebuah kotak. Aku menunggu sekitar tiga puluh menit sampai
akhirnya semua suara sudah terkumpul.

MC kembali meriuhkan suasana dengan menebak-


nebak siapa pemenangnya. Lalu ketika panitia selesai
menghitung suara, panitia mulai mengumumkan siapa
pemenangnya.

“Juara tiga jatuh kepada… Becky!” jantungku berhenti


berdetak ketika aku tidak mendengar namaku. Muka aku
mulai pucat. Keluarga Becky dipersilahkan untuk naik ke atas
panggung untuk mengambil foto bersama Becky.

54
“Juara dua jatuh kepada… Granis!” tepuk tangan riuh
dari penonton terdengar, aku yang tadinya berada di depan
barisan mundur langkahku ke belakang karena sudah hilang
harapan. Keluarga Granis dipersilahkan untuk maju untuk
mengambil foto bersama Granis.

Juara satu belum diumumkan, namun perasaanku


sudah mengetahui bahwa aku bukanlah pemenangnya. Aku
mulai menundukkan kepalaku tidak ingin melihat ke arah
orangtuaku takut mereka kecewa.

“Siapakah juara satunya?” Panitia meriuhkan suasana,


membuat perasaanku semakin tidak enak.

“Joy! Joy! Joy!” sorak penonton membuat ku kembali


bersemangat. Aku tersenyum lebar karena dukungan dari
penonton. Orangtuaku juga merasakan hal yang serupa
seperti aku.

“Selamat! Juara satu jatuh kepada… Joy Fayola!”


mataku terbelalak dan mulutku membentuk huruf O. tidak
menyangka aku memenangkan juara pertama. orangtuaku
dipanggil ke depan untuk mengambil foto bersamaku.
Orangtuaku memberikan senyum bangga untukku.

I did it!

55
Daniel Brandon Alvaro

Sesampainya di rumah, orangtuaku mengucapkan


selamat kepadaku

“Selamat, Joy. Kami bangga kepadamu!” Kedua


orangtuaku memelukku dengan erat. Aku merasakan
kepuasan pertama kali yang kudapatin dengan hasil usahaku
sendiri. Setidaknya dengan kebanggaan kecil orangtuaku ini,
telah mendekatkanku kepada janji untuk membanggakan
mereka suatu hari nanti. Aku tidak bisa berhenti menyengir
sejak namaku dipanggil atas kemenangan aku. Aku berencana
untuk menraktir orangtuaku dengan uang hadiah
kemenangan menggambar dan mereka merespon baik atas
tawaranku.

😊😊😊

Teman sebangku Joy berjalan mondar mandir di


depan rumah Joy dengan surat ucapan selamat atas
kemenangan yang Joy dapatkan. Ia berjalan ke depan pintu
rumah Joy dan ingin mengetuk pintu, namun tidak jadi karena
takut akan mengganggu keluarga Joy. Ia menghembuskan
napas panjang untuk memberanikan diri untuk mengetuk
pintu. Ketika ia baru mengangkat satu tangannya untuk
mengetuk pintu, pintu rumah Joy terbuka. Teman sebangku
Joy terkejut dan reflek untuk melarikan diri, kabur dari rumah
Joy. Tetapi semuanya sudah telat. Ayah Joy memanggilnya.

“Anak muda!” Ayah Joy mengejar lelaki tersebut


mengira ia adalah maling. Ia berpaling ke arah Ayah Joy

56
dengan ketakutan dan Ayah Joy melihat ekspresi wajahnya,
tidak mirip maling sama sekali. Bahkan, Ayah Joy langsung bisa
membaca pemuda tersebut hanya seumuran Joy. jadi Ayah
Joy menduga bahwa pemuda tersebut adalah teman Joy.

“Ha… Halo…, Om.” Jawabnya dengan nada ketakutan,


dengan menundukkan kepala. Ayah Joy menatapnya sinis.

“Perkenalkan dirimu.” Katanya Tegas, membuat


suasana lebih menegangkan. Teman sebangku Joy mulai
berpikir harus memberikan kesan pertama yang baik untuk
Ayah Joy. Jadi ia mengangkat kepalanya, melihat ke
pandangan Ayah Joy, dan mengulurkan salam.

“Perkenalkan, nama saya Daniel Brandon Alvaro. Aku


teman sebangku Joy.” Katanya dengan mantap, tidak ada rasa
takut sama sekali. Membuat Ayah Joy tercengang. Namun,
Ayah Joy masih menyembunyikan rasa kagum kepada pemuda
ini.

“Ada apa kamu kesini?” Tanya Ayah Joy singkat.


Pemuda tersebut mulai merasa panik lagi, tapi ia memiliki
alasan untuk datang. Jadi dia menggunakan dua detik untuk
mempersiapkan kalimatnya.

“Aku kesini untuk memberikan surat ucapan selamat


buat Joy atas kemenangan yang didapatinnya.” Ia lalu
mengeluarkan selembar surat yang sudah ditulis itu. “Kalau
tidak keberatan, bolehkah Om memberikan surat ini kepada
Joy tanpa memberitahu Joy bahwa aku yang
memberikannya?” tanya Daniel. Pada detik ini, Ayah Joy sudah

57
mengetahui apa motif pemuda ini, pastinya, bukan sekedar
ingin memberikan surat selamat kepada Joy. Kalau diingat-
ingat lagi, punggung pemuda ini terlihat seperti punggung
lelaki yang menggunakan baju basket berangka empat itu.

“Seorang lelaki seharusnya memiliki sifat pemberani.”


Sindir Ayah Joy dengan ketus sambil mendorong surat yang
diberikan pemuda itu. Pemuda itu mengerti sindiran Ayah Joy.
Namun, sebelum merespon lebih lanjut, tiba-tiba ada
seseorang yang membuka pintu rumah dari dalam, seorang
wanita cantik, memiliki wajah yang mirip dengan Joy. ia
memberikan sekilas senyum kepada Daniel dan menanya
kepada Ayah Joy.

“Siapa itu?” sambil menunjuk halus menggunakan jari


jempolnya kepada Daniel.

“Daniel Brandon Alvaro, teman sebangku Joy. dia


kesini untuk mengucapkan selamat kepada Joy.” Jawab Ayah
dengan nada yang jauh lebih halus dibandingkan ketika
sedang menginterogasi Daniel.

“Oh, hai. Senang bertemu denganmu, Daniel.” Sapa


Ibu Joy dengan anggun dan senyum yang begitu mempesona.
“Apakah kamu mau makan malam bareng dengan kami? Joy
akan menraktir malam ini.” Ajak Ibu Joy tanpa menanyakan
izin kepada Ayah Joy maupun Joy. Daniel ingin sekali
menerima ajakan dari ibu Joy, tetapi ia tidak berani
menjawabnya, ia tidak tau reaksi Ayah Joy jika dia menerima
ajakan spontan itu. Daniel lalu melihat ke arah Ayah Joy,
mengharap diberikan suatu jawaban.

58
Menerima pandangan dari Daniel, Ayah Joy langsung
mengerti apa yang diinginkan Daniel. Namun masih dengan
padnagan dingin, dia mengatakan.

“Akan sangat tidak sopan jika seorang pemuda


menolak ajakan dari orang yang lebih tua” Kata Ayah Joy
sambil memandang sinis Daniel, sengaja menakut-nakutin
Daniel tetapi juga memberi harapan untuk Daniel karena jika
dilihat-lihat, Daniel bukanlah seorang yang jahat atau buruk

Daniel tersenyum, merasa disambut oleh kedua orangtua Joy


walaupun Ayah Joy yang sangat dingin sikapnya. Tetapi Daniel
tau, itu semua hanyalah akting untuk mengetes apakah Daniel
cukup kuat untuk melewati semua ini. Dengan perasaan
bahagia, Daniel menjawab

“Dengan senang hati, Ayah dan Ibu Joy.” sambil


mengbungkuk badannya menerima ajakan dari Ibu Joy.

😊😊😊

59
Makan Malam Bersama Daniel

Aku menyiapkan diri untuk menraktir orangtuaku,


tetapi setelah aku selesai, rumah dalam keadaan kosong. Aku
mencari-cari keberadaan orangtuaku diseluruh ruangan
rumah namun masih tidak ada. Aku mulai memikirkan,
mungkin saja mereka di luar rumah menungguku. Aku buka
pintu rumahku dan benar, aku melihat Ayah dan Ibuku sedang
berbicara dengan seseorang, aku melihat siapa itu dan merasa
aneh, mengapa teman sebangku aku bisa disini dan mengapa
dia bisa mengobrol dengan orangtuaku?

“Ayah.” Aku panggil ayahku, membuat seluruh


pandangan mata menuju ke arahku termasuk teman sebangku
aku. Aku berusaha tidak memperdulikan teman sebangku ku
dan mengajak ayahku untuk pergi ke tempat makan sekarang
karena aku sudah lapar.

“Kita memiliki seorang tamu, Joy.” Kata Ibuku. Aku


sudah mulai menebak apakah teman sebangku aku adalah
tamu kami, dan masih dengan pertanyaan sama. Mengapa dia
disini? “Dia teman sebangku mu bukan?” tanya Ibu Joy. Aku
dan Daniel mengangguk dengan bersamaan dan memandang
satu sama lain lalu buru-buru mengubah pandangan kemana
saja yang penting bukan mata kami berdua. “Ayo jalan yuk,
Daniel juga ikut ya.” Ajak Ibuku dengan ceria.

“Daniel?” aku kebingungan, nama asing yang tidak


pernah kudengar sebelumnya, aku tidak tau siapa yang
dimaksud ibuku.

60
“Teman sebangkumu, Joy. masa tidak tau namanya
sih.” Kata Ibuku menjelaskan. Dan baru hari ini, aku
mengetahui nama teman sebangkuku. Daniel melihat ke
arahku dan senyum dengan canggung. Lalu aku mengangguk
balik dengan sedikit senyuman yang menggoresi wajahku.

Kami berjalan berempat ke tempat makan untuk


memenuhi janjiku menraktir orangtuaku, kami memasuki
restoran tersebut dan mencari tempat duduk yang sudah
biasa kami duduki. Di restoran, Daniel duduk di sebelahku.
Sedangkan ibuku duduk di hadapan Daniel, dan ayahku di
sebelah Ibuku. Suasana sangat canggung, tidak ada
percakapan diantara kami. Padahal, biasanya kami semua
sering berbagi cerita. Aku memandang Ibuku mengharapkan
ibuku memecahkan keheningan.

“Daniel, kok kamu diam aja dari tadi?” tanya Ibuku


kepada Daniel setelah mendapat kode dari aku. Daniel hanya
senyum menjawab pertanyaan dari Ibuku membuat suasana
semakin canggung. Untungnya, makanan datang tepat waktu.
Setelah makanan datang, Daniel berdiri dan mengambilkan
nasi untuk ayah, ibu, dan aku. selanjutnya, dia juga membantu
aku untuk mengambil lauk karena dia tau aku akan kesusahan
untuk mengambil sendiri. Selama kami makan, Daniel selalu
memperhatikan piring aku, jika piring aku kehabisan lauk, ia
akan berinisiatif untuk mengambilnya untuk aku.

Ayahku memerhatikan Daniel yang selalu


memperhatikan piring aku, Ayahku merasa Daniel dapat
dipercaya untuk menjaga aku, tetapi disatu sisi, ayahku

61
merasa Daniel merebut pekerjaan ayahku yang selalu
mengambilkan lauk untukku.

“Daniel, kamu makan aja. Biar Om yang ambilin buat


Joy.” kata ayahku datar. Dia mengangguk menjawab ayahku
dan mulai fokus untuk makan.

Setelah makan malam, masih di restoran, suasana


sudah tidak canggung lagi. Kami mulai berbagi cerita, tetapi
kebanyakan cerita yang kami bagikan adalah cerita yang tidak
dingertiin oleh Daniel. Ayahku sadar akan kecanggungan
Daniel, Ia lalu membuka topik untuk Daniel.

“Daniel, bukannya kamu mau memberikan sesuatu


kepada Joy?” ayahku mengingatkan Daniel. Daniel tersentak
sejenak dan mencari-cari surat yang disimpannya di dalam
kantong celananya, lalu memberikannya kepadaku dengan
malu-malu. Aku bisa melihat telinga Daniel menjadi merah
seperti kebakaran di dalam dirinya. Aku menerima surat itu
dengan cepat juga akibat malu, tidak kubuka ditempat, aku
langsung menyimpannya di dalam kantongku. Aku senang
setelah menerima surat tersebut dan aku tidak ingin
menunjukkan perasaan bahagiaku ke semua orang yang ada
disini, jadinya aku berdiri meranjak dari kursi dan pamit untuk
membayar makanan.

“Aku bayar makanannya dulu ya.” Ku balik badanku


dan jalan ke kasir dengan hati yang berbunga-bunga dan
senyum yang bahagia.

😊😊😊

62
Setelah Joy pergi, Daniel kembali membuka
percakapan.

“Tante, Om, Minggu depan aku mengikuti lomba


basket. Apakah Om dan Tante mau berikan dukunganmu
kepadaku dengan menontonnya?” ajak Daniel dengan suara
yang berwibawa namun sopan membuat Ibu Joy tersipu.

“Iya, kami pasti hadir.” Jawab Ibu Joy spontan tanpa


menanyakan kepada Ayah Joy. Ayah Joy menatap Ibunya dan
mengangguk tanda setuju.

😊😊😊

Aku kembali lagi setelah membayar makanan. Ku lihat


Daniel sedang berbincang-bincang kepada Ayah dan Ibuku
dengan seru, padahal ketika ada aku tadi, Daniel hanya diam
saja. Aku datang dan menghampiri mereka.

“Aku kira kamu tidak pernah bicara.” Ku memotong


topik yang sedang dibicarakan mereka. Ayah dan Ibuku
melihatku kebingungan, tidak mengerti apa yang ku maksud,
lalu aku menjelaskan kepada mereka betapa diamnya Daniel
di sekolah. Nyaris tidak pernah bicara, walaupun yang
mengajak bicara dia itu adalah seorang guru.

“Aku ada alasanku tersendiri.” Untuk pertama kalinya


dalam hari ini, Daniel menjawabnya dengan ketus. Daniel yang
tadinya tersenyum mengubah wajahnya menjadi serius.

63
Pemandu Sorak

Keesokan harinya ketika aku baru memasuki kelas,


Daniel sudah berada di tempat duduknya.

“Joy!” manggil Daniel dari bangkunya. Aku melihat kiri


kanan dan semua murid yang sudah hadir di kelas sepertinya
merasa heran karena ini adalah pertama kali mereka
mendengar suara Daniel dan kata pertama yang diucapkan
Daniel adalah namaku. Aku bergegas lari ke tempat dudukku
dengan panik, meletakkan tas di atas kursi dan bisik
kepadanya,

“sst, gausa sekeras itu juga kali.” aku menggeleng-


gelengkan kepala. Dia menutupkan mulutnya dengan kedua
tangannya seperti anak kecil ketika diminta untuk diam. Aku
tersenyum tipis lalu duduk di bangku kursiku. Daniel
menyerong badannya ke arahku, kemudian hadap kembali ke
depan. Ia melakukannya berulang kali seperti ada sesuatu
yang ingin disampaikan. Aku sedikit risih menghadapi hal itu,
namun aku berusaha untuk tidak bertanya.

“Hey, hey, Joy. ka…kamu mau gak jadi pemandu


sorakku?” tanya Daniel setelah beberapa kali ia mondar
mandir di tempat duduknya. Pemandu sorak? Pikirku. Aku
menghembus napas cepat, melihat ke tanganku kanan dan
kiri, lalu melihat Daniel, senyum palsu terlukis diwajahku. Aku
merasa tersindir oleh permintaan Daniel.

64
“Menurutmu, apa mungkin aku jadi seorang pemandu
sorak?” aku menjawab dengan nada yang sedikit ku tinggikan,
menunjukkan jika aku sedang tidak senang.

“Iya udah, kalau kamu tidak mau, orang lain aja yang
akan menjadi pemandu sorakku.” Katanya sedikit pasrah
terhadap reaksi aku yang berlebihan. Tidak mengerti mengapa
aku emosi, akhirnya Daniel juga menjadi badmood. Daniel
mengeluarkan ponselnya untuk menghentikan perasaaan
buruk yang berlanjut.

Mustahil, pikirku. Menjadi seorang pemandu sorak


biasanya memiliki wajah yang menarik dan fisik yang
sempurna. Sebenarnya ada sedikit keinginan dalam diriku
untuk menjadi pemandu sorak, tetapi dengan keadaan aku
yang begini, tidak memungkinkan sekali bagiku. aku merasa
bersalah setelah membentak Daniel atas tawarannya.

Ketika aku ingin meminta maaf, ponsel Daniel bunyi.


Aku mengurungkan niatku untuk meminta maaf karena Daniel
juga sedang berfokus kepada ponselnya.

😊😊😊

Daniel menerima sebuah pesan.

“Hai, Daniel. Apakah kamu sudah memikirkan tim aku


untuk menjadi pemandu sorakmu?” Daniel membacanya
dalam hati. Mencuri pandang kepada Joy sebelum ia
membalasnya.

65
“Iya”. Balas Daniel singkat. Sesingkat mungkin yang ia
bisa.

“Bagaimana dengan perempuan yang kamu sebut


hari itu?” Balasnya cepat, kurang dari dua detik.

“Lupakan saja tentang dia.” Balas Daniel cuek. Sedikit


menghadap ke Joy dengan rasa kecewa.

“Oke, terima kasih sudah memberikan aku


kesempatan untu menjadi pemandu sorak kamu <3” Daniel
memandang lama emoji berbentuk hati tersebut. lalu
mengunci ponselnya, tidak membalas pesan dari perempuan
tersebut lagi.

Ia menyimpan ponselnya ke dalam kantong celana dia


dan mulai melakukan rutinitas setiap hari dia di kelas. Tidur.

😊😊😊

66
Pertandingan Basket

Seminggu setelah aku menolak permintaan dia dan


aku belum sempat untuk minta maaf, dia sama sekali tidak lagi
ajak aku untuk berbicara, kecuali kepentingan tugas sekolah.
Walaupun demikian, aku masih akan menonton lomba basket
dia karena keinginan orangtuaku. Pertandingan basket ini
akan diadakan di lapangan basket umum. Aku dan keluargaku
menyiapkan diri dari rumah untuk pergi ke lokasi
pertandingan basket tersebut. sesampainya disana, aku
melihat keramaian yang amat sangat. Ibuku mencari-cari
keberadaan Daniel, namun tidak menemukannya.

“Itu Daniel.” Ayahku menunjuk ke arah keramaian.


Aku jinjitkan kakiku untuk melihat. Sebentar saja, Ibuku
menemukan Daniel. Daniel sedang berdiri disebelah
perempuan setinggi telinga Daniel, berambut panjang,
mengenakan seragam pemandu sorak. Senyum tipis mengulas
diwajahku. Perempuan tersebut terlihat cantik sekali dari
belakang. Ibuku menyenggol bahuku menggunakan sikunya.

“Kamu kenal perempuan itu, Joy?” tanya Ibuku


dengan hati-hati takut menyinggung perasaanku, karena
wajahku sudah mulai berubah semenjak aku melihat Daniel
berbicara dengan perempuan tersebut. Aku hanya
menggeleng kepalaku tanpa menjawab dan melihat Ibuku.
Tanda tanya berlarian dikepalaku, siapakah perempuan
tersebut? Aku melihat perempuan itu dan merasa bahwa
mereka merupakan pasangan yang kompatibel. Setidaknya,
sama-sama memiliki fisik yang normal. Perempuan itu jalan ke

67
arah perkumpulan tim pemandu sorak dan mulai mengambil
posisi, masih membelakangiku. Daniel melihat dan
memberikan senyum kepadanya.

Kami sekeluarga menonton pertandingan sampai


selesai. Ayah dan Ibuku sorak bergembira mendukung Daniel
sedangkan aku hanya diam menontonnya. Ketika sudah
selesai, diumumin bahwa tim Daniel menang, Ayah dan Ibuku
langsung mengajakku menurun ke lapangan untuk
mengucapkan selamat kepada dia, aku turun ke lapangan
dengan sedikit perasaan tidak enak. Setibanya di lapangan,
Daniel menyambut baik aku dan orangtuaku, ia menerima
ucapan selamat dari orangtuaku, dan aku juga mengucapkan
kepadanya.

“Selamat, Daniel.” Aku ucap dengan suara yang kecil,


terlihat seperti sedang malu. Daniel senyum lebar setelah
mendengar ucapanku, lalu ia mengacak-acak rambutku
menggunakan tangan kanan dia.

“Joy?” seseorang dengan suara yang pernah kudengar


memanggilku. Daniel melepaskan tangannya dari kepalaku
setelah perempuan tersebut menghampiri kami. Aku
menoleh. Pupil mataku melebar, aku terbelalak. Aku
mengenal dia. Dia adalah Nana, orang yang membully aku dari
SD kelas satu hingga SD kelas enam. Aku tidak pernah mengira
dia sudah tumbuh menjadi perempuan yang tinggi, yang
sungguh cantik wajahnya.

“Kamu kenal dia, Nana?” Tanya Daniel kepada Nana,


merasa kebingungan.

68
“Iya! Dia adalah sahabat aku yang hilang tanpa kabar.”
Bohong Nana kepada Daniel. Nana langsung memelukku di
depan Daniel dan orangtuaku dan mengatakan bahwa dia
sangat kangen kepadaku. Ayah dan Ibuku saling menatap dan
tersenyum, merasa setidaknya aku masih memiliki teman.
Sedangkan aku, hanya terdiam di pelukan Nana, berwajah
datar, tidak tau harus bagaimana.

😊😊😊

Setelah Joy dan orangtuanya pulang, hanya tersisa


Daniel dan Nana. Daniel mengajak Nana ke tempat duduk
yang berada di pinggir lapangan basket.

“Maafkan aku, Nana. Selama ini, aku salah menilaimu.


Aku kira kamu hanya bertemanan sama orang seperti itu.”
Daniel menunjuk ke arah sekelompok perempuan yang tinggi
dan fashionable.

“Ah, tidak apa-apa, Daniel. Aku tidak pernah memilih-


milih dalam persoalan pertemanan. Aku berteman kepada
semua orang.” Bohong Nana lagi berusaha untuk menarik
perhatian Daniel, Nana lalu perlahan memegang tangan
Daniel berusaha untuk membuat meyakinkan Daniel atas
ucapannya. Daniel menghindar perlahan lalu mengganti topik,
masih dengan perasaan tenang dan lega.

“Joy lah orang yang aku merekomendasikan untuk


bergabung ke kelompok pemandu sorakmu. Kalau ada
kesempatan lagi, maukah kamu menerimanya untuk menjadi
pemandu sorakku?” Kata Daniel dengan santai karena Daniel

69
sudah mengira bahwa mereka adalah sahabat. Wajah Nana
menjadi datar setelah mendengar pertanyaan yang baru saja
keluar dari mulut Daniel, tidak menyangka orang yang
direkomendasikan Daniel adalah Joy, orang yang pernah
dibully dirinya.

“Ti… maksudku, i… iya, kenapa tidak? Ha… ha… ha….”


Nana menjawabnya dengan canggung karena sebenarnya dia
tidak menginginkan keberadaan Joy. Namun ia berhasil
menyembunyikan kecanggungannya dihadapan Daniel. Daniel
melihatnya dan tersenyum lebar. Daniel lalu berdiri dan
membungkukkan badannya mengucapkan terima kasih.

“Terima kasih, Nana! Aku bersyukur memiliki teman


sepertimu. Aku berharap kamu adalah teman sekolahku,
karena dengan begitu Joy tidak usah merasakan kesepian
lagi.” Kata Daniel memuji Nana membuat Nana bangga atas
perlakuan dia. Namun kalimat Joy tidak usah merasakan
kesepian lagi menimbulkan rasa penasaran Nana untuk
bertanya lebih lanjut.

“Memangnya, Joy tidak memiliki teman di sekolah?”


tanya Nana prihatin. “Dulu ketika SD, Joy juga tidak memiliki
teman, tidak ada yang bersedia untuk menjadi teman dia
kecuali aku dan satu perempuan lagi. Sisanya, mereka
membully Joy.” Nana membuat ekspresi sesedih mungkin
yang ia bisa untuk menarik perhatian Daniel. Daniel lalu juga
ikut bercerita

“Orang disini tidak membully Joy, tetapi juga tidak


mengajaknya bicara.” Komentar Daniel.

70
“Iya, tidak apa-apa. Aku bersedia untuk menjadi
temannya. Aku akan mendaftarkan ke sekolah yang sama
seperti Joy dan kamu ketika kita SMA nanti.” Kata Nana
berusaha menenangkan Daniel sambil menepuk-nepuk
pundaknya.

😊😊😊

Setelah kemenangan Daniel dipertandingan basket,


Daniel menjadi terkenal. Orang-orang di kelas mulai
mengajaknya bicara. Daniel yang dulunya tidak pernah
menjawab ketika orang lain bicara, kini sudah menjawab. Ia
juga menjadi aktif dalam menjawab pertanyaann guru.

Hubungan aku dan Daniel juga mengalami


peningkatan karena kami sering berkomunikasi. Aku dan
Daniel telah menjadi sahabat dekat semenjak hari itu. Daniel
dan orangtuaku juga menjalin hubungan yang dekat.
Seringkali orangtuaku mengajak Daniel untuk makan bersama
di rumahku.

Namun, terdapat satu hal yang membuatku kurang


suka kepada Daniel yaitu, dia sering menyebutkan nama Nana
dan menceritakan betapa besar keinginan Nana untuk
menjadi temanku.

71
Waktu yang Lewat

Waktu berjalan dengan sangat cepat, sudah dua tahun


sejak pertandingan bola basket Daniel. Aku sudah bisa
dikatakan fasih dalam menggambar. Kegiatan aku setiap hari
adalah menggambar di kelas. Bukan hanya itu, aku juga aktif
dalam mengikuti lomba menggambar, dan hampir setiap
lomba yang aku ikuti, aku memenangkan peringkat pertama.
Atas hadiah kemenangan yang ku dapatkan, sekarang aku
sudah bisa membeli handphone dengan uangku sendiri.

Aku ditawarkan untuk bekerja di perusahaan


menggambar komik dengan gaji yang cukup tinggi untuk
seumuran aku. Perusahaan tersebut mempekerjakanku
karena mereka melihat hasil gambarku yang bagus. Sekarang,
lengan tidak normal tidak lagi menjadi permasalahanku untuk
bekerja. Perusahaan ini tidak mengizinkan biodata ku untuk
diumumin karena kondisi lenganku, perusahaan takut apa
yang akan dipikirkan para fans. Tetapi tidak apa-apa, aku tidak
tersinggung sama sekali atas perlakuan itu, malahan karena
aku adalah pekerja rahasia, terkadang aku bisa mendapatkan
pekerjaan lain dari perusahaan yang berbeda dan itu
membuat pemasukanku menjadi lebih besar. Aku tidak lagi
meminta uang jajan kepada orangtuaku, dan aku merasa aku
menjadi lebih dewasa semenjak aku mencari duit aku sendiri.

Jika untuk Nana, dia mengatakan bahwa ia akan


mendaftar diri ke sekolah dimana ada Daniel, dan kebetulan,
aku dan Daniel mendaftarkan diri di SMA yang sama. aku
sekarang satu sekolah dengan Nana. Kelas baru juga sudah
dibagikan. Nana dan Daniel mendapatkan kelas yang sama,
sedangkan aku sendirian di kelas sebelah mereka.

72
Di sekolah, Nana sering mengatakan bahwa ia adalah
sahabatku kepada siswa-siswi sekolah dan tentunya di depan
Daniel juga. Tetapi jika di belakang Daniel, Nana membuka
topengnya. Ia masih sering membullyku di SMA. Aku tidak
pernah layan kelakuan Nana, ia hanya seperti anak-anak yang
masih SD. Aku tidak layan Nana di depan maupun di belakang
Daniel. Akibatnya, Daniel merasa Nanalah orang yang selalu
berusaha ingin menjadi temanku dan aku orang yang sangat
cuek, orang yang tidak ingin menerima pertemanan dari orang
lain, orang yang wajar jika tidak memiliki teman.

Daniel sering membujukku untuk menjadi teman


Nana karena Nana sudah berjuang sekeras mungkin untuk
menjadi temanku. Namun, Daniel tidak tau kenyataannya.
Bukan aku tidak mau menjadi temannya, tetapi Nanalah yang
suka berakting menjadi tokoh protagonis di depan Daniel.

Seringkali aku berusaha menjelaskan kepada Daniel,


tetapi Daniel hanya percaya kepada apa yang dia lihat. Alhasil,
aku tidak pernah lagi bicara tentang Nana kepada Daniel.

Untuk kesempatan terakhir kalinya, aku gagal gagal


lagi dalam mencari pertemanan di tingkat SMA.

Tentang pekerjaanku sebagai penggambar komik,


masih dirahasiakan kepada Daniel dan semua orang kecuali
orangtuaku.

73
Ejekan

Aku melihat Nana memasuki kelasku padahal kelas dia


berada di sebelah. Dia berdiri di depan pintu dan seperti
sedang mencari seseorang, ketika pandangan matanya
menemu mataku, dia senyum dengan manis.

“Selamat pagi, anak cacat!” senyuman yang diberikan


semanis yang dia bisa. Jika aku adalah orang tuli sekarang, aku
tidak akan pernah tau apa yang dikatakan dia adalah ucapan
yang pedas. Iya, semanis itulah senyuman dia. Aku berusaha
untuk tidak melayani dia walaupun sebenarnya hatiku sudah
tergores. Aku mengeluarkan headset dan memasang
headsetku ditelinga berusaha supaya kelihatan sibuk. Dia lalu
menghentakkan kakinya dan datang ke tempat dudukku,
menarik headsetku dan teriak di telingaku.

“Kamu dengar gak sih?! Aku lagi menyapa!” aku


terkejut atas perlakuannya itu, ku menutup telingaku dengan
tanganku karena kesakitan. Lalu berusaha untuk menguatkan
diri, ku tatap matanya tajam, seperti ingin menerkam, tidak
sadar bahwa Daniel datang menghampiriku. Tatapanku lepas
setelah Daniel mengajakku untuk makan.

“Yuk, ke kantin.” Ajak Daniel. Sebenarnya aku pingin,


tetapi jika Nana juga makan bersama, lebih baik jika aku tidak
ikut. Karena aku muak dengan wajah Nana.

“Apakah Nana juga ikut?” aku tanya kepada Daniel


tanpa memikirkan apa yang akan dipikirkan Daniel kepadaku.

“Tentu saja, kan dia teman kita.” Jawab Daniel dengan


perasaan tidak senang atas pertanyaan yang aku berikan.

74
“Yauda kalian aja.” Jawabku singkat. Tidak ingin
memperpanjang drama di kantin nanti. Aku menundukkan
kepala dan melanjutkan aktivitas ku. Melihat jawabanku yang
singkat, Daniel menarik napas panjang, ingin mengatakan
sesuatu, diantara menegur aku atau menceramahi aku, tetapi
Nana menarik fokus Daniel. Ia mulai memasang muka sedih,
sesedih yang ia bisa untuk menarik perhatian.

“Kenapa kamu tidak pernah ingin jalan bersamaku,


Joy? Kalau alasan kamu tidak ikut ke kantin karena ada aku, iya
udah, aku aja yang tidak usah ke kantin.” Nana nangis
meneteskan air mata. Aku tau itu hanyalah akting. Aku
senyum menyeringai.

“Bagus. Yuk, Daniel. Kita aja” aku berdiri dari tempat


dudukku dan berjalan menuju depan pintu kelas tanpa
meminta maaf atas kejadian Nana menangis. Daniel terlihat
kesal denganku. Ini bukan pertama kali Daniel kesal denganku
akibat perbuatan Nana. Daniel mengejarku sampai pintu
kelas, ia menarik tanganku dan bilang

“Lupakan tentang kantin. Ikut aku.” ia membawaku ke


perpustakaan sekolah dengan langkah yang sangat cepat dan
tergesa-gesa membuat aku susah mengejarnya. Sesampainya
di perpustakaan, Daniel langsung menghempas tanganku.

“Kenapa kamu tidak pernah ingin bertemanan dengan


Nana? Dia sudah berjuang keras demi menjadi temanmu, Joy.”
Daniel membentakku, terlihat kecewa. Aku hanya bisa senyum
dengan tidak ikhlas melihat Daniel yang tidak tau perbuatan
Nana kepadaku.

75
“Kamu tau apa, Dan.” Aku menghembuskan napasku
sambil menggeleng-geleng kepalaku.

“Dia mampir ke kelasmu setiap pagi hanya untuk


menyapamu karena dia tau kalau kamu tidak memiliki teman.”
Daniel menjelaskan seolah-olah dia mengetahui semuanya.
Aku tersenyum sinis lagi. Iya, Nana menyapaku setiap pagi.
Menyapaku dengan panggilan cacat. Aku tidak ingin
menjelaskan kepada Daniel tentang Nana karena ini hanya
akan memperpanjang cerita.

“Dia kasihani aku? Aku ga perlu, Daniel. Aku bisa hidup


sendiri dan sudah pernah hidup tanpa teman. Kehidupanku
juga baik baik aja bahkan ketika sebelum ada dia. Aku merasa
kehidupanku lebih baik tanpa dia.” Aku menjelaskan panjang
tanpa menjelaskan perlakuan buruk Nana kepadaku.

“Kamu tidak ingin memberikan kesempatan buat dia


untuk menjadi temanmu? Beneran itu maumu?” Daniel
merendahkan nadanya, wajahnya menjadi serius.

“Iya.” Aku jawab singkat. Daniel mengangguk. Tidak


ingin menanyakan dan membujukku untuk menjadi teman
Nana lagi.

“Oke.” Jawabnya singkat juga. Daniel menatap


mataku mendalam. Mengepalkan tangannya, mengangguk
dengan kesal lalu berbalik arah berjalan pergi meninggalkan
aku sendirian di perpustakaan.

Daniel tidak mengerti perasaanku. Aku juga tidak ingin


menyampaikan keburukan Nana kepada Daniel karena jika
aku menceritakannya kepada Daniel, Daniel hanya akan lebih

76
tidak suka kepadaku. Daniel hanya percaya kepada apa yang
dia lihat, bukan dengan omongan orang lain. Dan Nana pintar,
selalu berbuat hal baik kepadaku di depan Daniel,
menyembunyikan semua kebusukannya di belakang Daniel.

Aku berjalan dengan lemas, keluar dari perpustakaan


menuju ke ruang kelasku. Di tengah perjalanan, aku bertemu
dengan Nana.

“Apa kabarmu dengan Daniel?” Nana senyum puas


karena ia tau aku habis diceramahi oleh Daniel. Aku tidak
melayani dia, ku lanjut langkahku menuju kelas. Kemudian, dia
menarik tanganku dengan paksa.

“Jangan pernah kau mengabaikan aku lagi atau aku


buat Daniel benci kepadamu!” matanya melebar ketika dia
mengatakan kata benci. Aku hanya bengong melihat dia. Lalu
tersenyum sedikit.

“Kata Nike, Just do it” aku melanjutkan langkahku


tanpa memperdulikan kata-katanya.

Nana berhenti mengejarku, ia hanya menyengir dan


berkata di dalam hati “Lihat saja nanti”

77
Rahasia

Sepulang sekolah, aku jalan menuju rumah dengan


lesu mengingat kejadian tadi. Sungguh aku tidak ingin Daniel
membenciku, aku hanya tidak suka dengan Nana karena dia
suka membully aku. Seandainya jika dia tidak membully aku,
mungkin aku sudah bisa menjadi temannya sekarang. Di
perjalanan, aku melihat Daniel dan Nana sedang berjalan
berduaan sambil ketawa ketiwi. Aku mengepalkan tanganku
dan bertekad untuk menyapa mereka dan berusaha sebaik
mungkin walaupun ada Nana.

“Hai! Pada mau kemana nih?” Sapa ku dengan


kepercayaan diri yang tinggi. Nana lihat aku dengan ekspresi
senyum, senyum yang membuat semua orang tidak bisa
membencinya. Aku senyum balik kepadanya.

“Hai juga. Lagi nemenin Nana pulang.” Jawab Daniel


santai seolah-olah peristiwa tadi tidak terjadi.

“Aku boleh ikut gak?” tanya ku hati-hati memandang


Daniel dan Nana berulang kali.

“G…” Nana ingin menjawab, tetapi dipotong oleh


Daniel “Tentu saja boleh, ayo.” Daniel memberikan senyuman
bahagia dia kepadaku. Ia merasa bahwa ini adalah langkah
pertama aku untuk ingin bertemanan dengan Nana. Ia juga
merasa bahwa perkataan dia di perpustakaan tadi telah
membuka pikiran aku.

Setelah Daniel mengizinkan aku untuk mengantarnya


pulang bersama, Nana menjadi tidak nyaman. Bukan tidak
nyaman dalam artian benci kepadaku, tetapi tidak nyaman

78
seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Nana tidak lagi
bicara kepada Daniel, dia hanya diam diri menundukkan
kepalanya seperti ketakutan. Tidak tau akting apa yang akan
dia lakukan lagi kepadaku. Daniel merasa ada yang tidak beres
dari Nana, Daniel menanyakan berulang kali mengapa Nana
jadi diam setelah kehadiranku, namun Nana hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya membuatku merasa ini
bukan lagi akting.

Kami berjalan semakin ke perumahan kumuh, aku


tidak mengerti mengapa kami kesini padahal niat kami untuk
mengantar Nana sampai ke rumah. Semakin dekat dengan
perumahan kumuh ini, semakin terlihat ketakutan si Nana.
Aku bingung, ingin bertanya mengapa kami kesini, tetapi
sepertinya tidak sopan. Dari jauh terlihat sebuah perumahan
kayu yang berdiri sendiri, rumah yang paling kecil diantara
semuah perumahan kumuh ini. Lalu, semakin kami berjalan
lagi, semakin dekat dengan rumah kayu itu. Kami berhenti
tepat di depan rumah kayu tersebut.

“Terima kasih sudah mengantarku.” Kata Nana tidak


berani melihat wajahku. Aku mengangkat satu alisku, melihat
kiri dan kanan, dan masih tidak mengerti kenapa rumah Nana
seperti ini. Aku kira dia berasal dari keluarga yang kaya, karena
ketika SD, dia sering berkontribusi kepada sekolahku. Aku
masih ingat dia sering berdonasi kepada orang yang
berkekurangan atas nama sekolah, dan sebenarnya alasan
yang membuat aku tidak berani melawan Nana walaupun
terkadang dia kelewatan adalah karena dia mempunyai
kekuasaan besar di sekolah.

79
“i…ini rumahmu?” aku tanya dengan hati-hati, takut
menyinggung perasaan dia. Nana tidak menjawab
pertanyaanku, ia langsung menarik paksa tangan Daniel
masuk ke rumahnya meninggalkan aku sendirian. Jujur, ini
pertama kali aku melihat Nana sepanik ini, apalagi di depan
Daniel.

😊😊😊

“Daniel, aku mempunyai sebuah permintaan.” Kata


Nana tergesa-gesa setelah melepaskan genggamannya dari
tangan Daniel. Daniel merenggangkan tangannya yang
kesakitan habis ditarik Nana. Menatapnya bingung.

“Gas” balas Daniel cepat mengikuti hembusan napas


ngos ngosan oleh Nana.

“Jangan pernah kasih tau ke Joy kalau aku bekerja di


Café mu, oke?” Nana menyatakan sebuah permintaan yang
sangat mudah untuk diterima oleh Daniel.

“Oke.” Jawab Daniel nurut, menganggukkan kepala


dia tanpa bertanya alasan kenapa tidak boleh memberitahu
Joy.

“Terima kasih, Daniel. Kamu memang terbaik. Udah,


kamu temenin Joy gih, nanti malah kelamaan dia nungguin
kamu.” Ucap Nana berterima kasih lalu langsung mengusir
Daniel dari rumah kecilnya itu.

😊😊😊

80
Aku melihat Daniel keluar dari rumah Nana dengan
buru-buru setelah dua menit. Tanpa menjelaskan apa yang
dibicarakan Nana di dalam rumah, Daniel langsung
mengajakku untuk pulang.

Diperjalanan, aku tidak bisa berhenti memikirkan apa


yang terjadi kepada Nana karena ingatanku tentang perlakuan
Nana tidak mungkin salah, ingatanku tentang Nana adalah
siswi terkaya di sekolah juga tidak mungkin salah. Aku
menanyakan kepada Daniel tentang Nana, dan Daniel
sepertinya tidak ingin menjawabku. Dia bahkan menghindar
pertanyaanku tentang Nana. Tidak tau apa yang
disembunyikan dia. Aku akhirnya menyerah untuk bertanya
karena Daniel selalu mengganti topik ketika aku menanyakan
tentang hal ini.

Sesampainya di depan rumahku, aku mengajak Daniel


untuk makan di rumahku saja karena Ibuku memasak hari ini.
Daniel setuju dengan tawaranku.

Sebelum masuk ke rumah, aku menanyakan untuk


terakhir kalinya tentang apa yang terjadi kepada Nana. Daniel
menghembuskan napas, lalu mengucapkan

“Dia jauh lebih kuat dari yang kamu bayangkan.”


Daniel hanya bilang sepatah kalimat itu tanpa menjelaskannya
lebih lanjut. Aku memiringkan kepalaku tanda tidak ngerti, lalu
ngangguk pasrah atas jawabannya sebelum aku masuk ke
rumah.

81
Saran

Keesokan harinya seperti biasanya, Nana akan datang


ke kelasku untuk menyapaku dengan cara yang sungguh
menyebalkan.

“Selamat pagi, Joy! Aku menemukan lenganmu di


bawah tadi.” Nana tertawa terbahak-bahak seolah-olah apa
yang dikatakan dia adalah hal yang lucu. Aku tidak berpura-
pura untuk tidak mendengar dia, aku bahkan tidak lihat ke
arah dia. Nana datang dan duduk di sebelahku, dia
mengatakan bahwa ini adalah kesempatan terakhir yang
diberikan untukku. Jika aku masih mengabaikan dia, maka dia
benar-benar akan membuat Daniel membenciku. Tidak ingin
melihat wajah Nana, aku menoleh ke arah jendela dan aku
melihat Daniel melewati jendela kelasku, ingin ku panggil, tapi
Nana tiba tiba menarik tanganku dan menampar dirinya
sendiri.

“Aduh!” Nana teriak sekuat-kuatnya sampai Daniel


mendengar dari luar. Nana kemudian menambah isakan
supaya memperkuat jika dia adalah korban. Aku menatap
bingung tidak mengerti kepada Nana.

Daniel datang dari luar dan memisahkan aku dan


Nana.

“Joy apa yang kamu lakukan!” teriak Daniel kuat


membentakku. Aku terkejut dan ketakutan oleh bentakan dari
Daniel. Daniel tidak pernah berteriak sekeras itu untuk
memarahiku. Badanku gemetaran. Tetapi Daniel malah fokus
ke Nana yang berpura-pura nangis kesakitan itu. Mataku mulai

82
berkaca-kaca. Ku lihat Nana yang sedang dirangkul Daniel yang
berusaha menghibur dirinya.

Aku tidak tahan lagi dengan kondisi ini, ku langsung


mengambil tasku dan beranjak dari kursi, ingin pulang ke
rumah. Selama aku berdiri dan jalan ke depan kelas, mataku
selalu menatap sinis ke Nana. Biasanya aku hanya diejek. Hari
ini, aku difitnah. Jika hal ini berulang terus menerus dan aku
tidak mengatasinya, cepat atau lambat Daniel pasti akan
membenciku. Aku tidak boleh membiarkan hal tersebut
terjadi.

“Lihat saja besok, Nana.” Kataku berusaha untuk


menakuti Nana dengan kejujuranku. Setelah aku
mengeluarkan kalimat itu, Nana berjalan mundur satu
langkah, menunjukkan bahwa ia ketakutan. Ia memeluk Daniel
ingin mendapatkan perlindungan dari Daniel. Aku muak
dengan akting dia yang tidak pernah berubah dan kepolosan
Daniel yang selalu dimanfaatkan. Aku kemudian berlari keluar
sekolah.

Aku memasuki rumah dengan perasaan kacau balau,


muka ku lesu, badanku juga lemas. Ku buka pintu dengan tidak
bertenaga dan melihat Ayah aku sedang duduk di atas sofa
menonton televisi. Ayahku menyadari kehadiranku dan ia
melihat jam dinding, pukul 10.00. ayahku langsung
menyambutku dari sofa.

“Kenapa sudah pulang, Joy? apakah tidak ada


pelajaran? Dan kenapa kamu terlihat sedih anakku?” timpa
ayahku dengan beberapa pertanyaan sekaligus. Melihat aku
masih lesu, ayahku berdiri dari sofa dan jalan ke tempatku,

83
membantuku mengambil tas beratku dan menepuk pundakku
berusaha untuk menghiburku. Sekali lagi, ia bertanya
“Kenapa?” aku hanya bergeleng-geleng lemas.

“Katakanlah apa yang terjadi, mungkin Ayah bisa


membantumu?” Ayahku menawarkan. Aku merasa terharu,
setidaknya masih ada orang yang perhatiin aku. mataku mulai
merah akibat menahan nangis, lalu mataku berair, aku sedang
melawan air mataku supaya ia tidak keluar. Tetapi, air mata
yang kutampung sudah terlalu banyak hingga tidak bisa lagi
kutampung. Akhirnya, air mata yang kutahan supaya tidak
keluar, keluar bercucuran.

Melihat kondisiku yang buruk dan aku tidak ingin


menceritakannya kepada siapapun, ayahku memelukku erat
berusaha menenangkan aku.

“Ayolah Joy, siapa yang bikin tuan putriku menangis?!


Dia harus membayar semua ini!” Kata Ayahku dengan nada
yang sedikit dibikin menjadi superhero untuk menghiburku,
tetapi aku tau, sebenarnya dia hanya menahan emosi dia
supaya aku tidak merasa lebih buruk.

“aku tidak apa apa, yah…” aku balas dengan suara


yang masih penuh dengan isakan tangis.

“Kamu tidak baik, Joy. Aku Ayahmu, aku bisa


melihatnya.” Ayahku membujukku untuk menceritakan.
Mendengar kalimat itu, air mataku semakin bercucuran. Aku
merasa bahwa Ayahkulah orang yang paling mengerti aku.
Tanpa harus aku ceritapun, dia bisa melihatnya. Aku tidak
ingin Ayahku melihat aku nangis seperti ini, ku langsung

84
melepaskan diri dari pelukannya dan masuk ke dalam kamarku
sebelum ia sempat menanyakan kepadaku lagi.

Aku menghabiskan siangku dengan berpikir apa yang


harus aku lakukan supaya Daniel melihat sikap asli Nana,
sebenarnya aku tidak ingin mengarang cerita seperti yang
dilakukan Nana, tetapi jika situasinya seperti ini, aku rasa mau
tidak mau aku harus melakukannya.

Malamnya, ketika aku sudah sedikit tenang, aku mulai


menggambar komik ku. Ayahku mengetuk pintu kamarku dan
aku mempersilahkannya masuk. Aku tau tujuan ayahku ke
kamarku. Ia ingin menanyakan hal tentang pagi ini, tetapi ia
tidak langsung menanyakannya. Ia melihat lihat dulu
gambaranku, lalu menatap wajahku lama sampai aku
menyadarinya. Aku peka dengan keinginan ayahku, dan aku
mulai menceritakannya

“Ayah ingat perempuan cantik yang kita ketemu di


pertandingan basket dua tahun yang lalu?” ku tanya untuk
memastikan Ayahku mengetahui pelakunya. Ayahku berpikir
keras karena dia sepertinya sudah lupa. Aku mendeskripsikan
ciri ciri perempuan tersebut sampai ayahku tau. Akhirnya
ayahku mengangguk karena dia sudah ingat.

“Kenapa dia? Dia menganggumu?” Tebak ayahku


setelah ia mengetahui siapa yang aku deskripsikan.

“Dia mengejek aku sebagai anak cacat, yah…” Aku


mengatakannya dengan sedikit terpaksa. Ayahku menutup
mulutnya dengan kedua tangannya, tidak menyangka ada
manusia sejahat ini. Ayahku memasang raut wajah sedih, ia
menjadi merasa ini semua adalah kesalahan dia karena telah

85
melahirkan seorang yang tidak sempurna. Ayahku tidak
menjawabku setelah aku bilang kalimat itu. Yang aku perhatiin
adalah, ayahku mulai resah dan tidak tau harus berbuat apa.

Aku mengerti perasaan orangtuaku, dan juga tau ini


akan terjadi jika aku menceritakan hal ini kepada orangtuaku.

“Ayah, aku tidak apa-apa memiliki lengan seperti ini,


jadi ayah tidak usah merasa bersalah oke?” kataku pelan
berusaha untuk menenangi ayah. Lalu aku lanjut “yang
menjadi permasalahan disini adalah Nana suka Daniel, yah.
Nana sering berpura-pura baik di depan Daniel dan
menggangguku di belakang Daniel. Seperti tadi, Nana
mengambil tanganku dan menampar dirinya sendiri
menggunakan tanganku. Jujur aku bingung mengapa dia
melakukan itu, ternyata ini semua karena dia ingin Daniel
membenciku yah… Daniel melihat aku menampar dia dan
Daniel membentakku.” Aku berhenti sampai disitu dan
kembali mengingat kejadian tadi, suara aku mulai terisi
dengan isakan tangis, ayahku mengambilkan tissue dan
mengelap air mataku. Ayahku masih tidak berkata-kata, ia tau
aku masih mau melanjutkan. “Ayah, aku boleh pindah sekolah
aja engga?” tanyaku dengan mata berkaca-kaca.

“Tentu tidak! Apakah kamu lupa kalau kamu masih


memiliki lomba menggambar? ini sangat tidak berarti kalau
kamu pindah sekolah karena perempuan yang bernama Nana
itu. Nanti dia malah merasa dirinya menang. Kamu harus
lawan dia, Joy.” kata ayahku memotivasikan ku. “Sini aku beri
tau rencananya.” Ayahku memasang senyuman iblis.

86
Rencana

Keesokan harinya, yang biasanya Nana yang


menghampiriku di kelasku, hari ini aku berencana untuk
menghampirinya.

“Selamat pagi, anak ternormal sedunia.” Sapa ku


sindir Nana. Nana melihat kiri kanan karena merasa malu
seseorang seperti aku menyapa dia.

“Apa yang kau lakukan disini?” katanya sedikit


memerhatikan orang-orang di ruangan. Lalu menatap aku dari
ujung kepala sampai ujung kaki. Aku hanya mengikuti cara dia,
aku senyum semanis dan sepolos yang aku bisa untuk
menjengkelkan dia.

“Aku sedang menantikan kehadiran Daniel, aku


menyiapkan roti buat dia.” Sengaja ku keluarkan rotiku di
hadapan Nana karena aku tau dia akan mengambilnya dariku.
Dan benar seperti yang ku duga, Nana merampas rotiku dan
membuangnya ke lantai, lalu menginjak dengan kaki kotornya
itu.

“Ah, maafkan aku. aku tidak sengaja


menjatuhkannya.” Kata Nana senyum puas. Namun melihat
ekspresiku yang masih tersenyum tidak kalah, Nana mulai
merasa gelisah. Melihat Daniel sudah datang, Nana langsung
jongkok memungut roti yang sudah diinjaknya. Daniel melihat
Nana memunguti roti yang tepat di bawah kakiku sedangkan
aku tidak melakukan apa apa, hal tersebut membuat Daniel
merasa aku sedang membully Nana. Daniel langsung
mendorongku dan membantu Nana mengambil roti yang

87
terjatuh itu. Melihat Daniel membantu, aku juga ikut
membantu.

“Kenapa kamu tidak memungutnya dari tadi?” Tanya


Daniel dengan nada ketus seperti sedang menginterogasi aku.
aku kehilangan kata-kata. Sepertinya Daniel sudah mulai
membenciku. Aku tidak tau apa yang diperbuat Nana sehingga
Daniel sudah tidak percaya lagi kepadaku. Kemudian aku
berhenti mengambil roti yang terjatuh. Aku berdiri dan
mengeluarkan sebuah roti baru untuk Daniel.

“Ini, aku bawa roti buat kamu dan Nana. Tetapi, Nana
tidak sengaja menjatuhkan roti miliknya.” Aku menyodorkan
sebuah roti yang kubikin olesin selai sendiri. Aku melihat Nana
dan dia memandang ku dengan penuh kebencian. “Terserah
apa yang kamu pikirkan Daniel, aku hanya kesini untuk
memberikan roti.” Aku menjelaskan sekali lagi, Daniel tampak
menyesal atas penuduhannya kepadaku barusan. Dia tidak
menjawabku dan aku pikir, aku sudah tidak usah disini lagi.
“Yauda, aku balik ke kelas dulu ya.” Aku pamit kepada Daniel
dan Nana.

Aku jalan keluar dengan pelan menduga bahwa Nana


akan ngadu kepada Daniel tentang apa yang terjadi. Aku juga
tau pengaduan Nana akan mengandung unsur penipuan.

😊😊😊

Setelah melihat Joy pergi, Nana memulai aktingnya.


Dengan tangan gemetaran, Nana memegang tangan Daniel. Ia
mengatakan

88
“Joy melemparkan rotinya ke lantai dan menyuruhku
untuk mengambilnya.” Daniel melihat Nana dengan tidak
percaya. Selama Daniel berteman dengan Joy, Joy bukanlah
orang yang seperti itu. Nana mulai menundukkan kepalanya
menunjukkan bahwa ia sedang bersedih. Daniel tidak
melakukan apapun untuk menghibur Nana. Tetapi kalimat
lihat saja besok, Nana yang dikatakn oleh Joy kemarin
membuat Daniel yakin bahwa Joy akan melakukan hal seperti
ini. Daniel menggigit rahangnya lalu mengepalkan tangannya,
bergegas untuk mengejar Joy.

😊😊😊

Aku tau bahwa Daniel akan mengejarku setelah


mendengarkan aduhan dari Nana, jadi aku sudah menyiapkan
seseorang untuk menjalankan rencana yang disusun oleh
ayahku. Ketika Daniel keluar dari kelas untuk mengejarku,
salah satu teman sekelasku menarik paksa ku ke koridor
sekolah. Daniel mengikutiku dari belakang. Teman sekelasku
teriak seperti sedang kesal.

“Kenapa kamu selalu terima dibully Nana sih!” kata


laki-laki itu menatap aku dengan kesal karena kebodohan aku.
aku mundur selangkah, lalu membalas dengan ragu.

“Mak…maksud kamu?” aku pura-pura tidak mengerti


omongan lelaki itu supaya lelaki itu mengulang lagi.

“kesabaranku sudah habis Joy menghadapi Nana yang


datang ke kelas setiap pagi untuk mengejekmu. Dia bahkan
membuang roti yang kamu kasih ke dia! Sebenarnya, untuk
apa sih kamu kasih dia roti segala.” Lelaki itu menjelaskan
panjang lebar karena dia tau Daniel sedang mendengarkan

89
omongan kami. Tiba-tiba, Daniel menepuk pundak ku dari
belakang, dengan tatapan berbelas kasih, Daniel bertanya

“Apakah itu semua bener, Joy?” tanya Daniel,


berusaha untuk meluruskan kesalahpahaman yang dibuat
oleh Nana. Aku melihat dia, lalu mengatakan

“Percaya atau tidak, terserah kamu.” Aku melangkah


pergi meninggalkan Daniel dan teman rencanaku.

Daniel tidak putus asa, dia tidak menanyaku lagi tetapi


dia menanyakan kebenaran kepada teman rencanaku itu.
Mereka ketemuan di perpustakaan dan teman rencanaku
mulai bercerita tentang hal ini. Akhirnya, Daniel mengetahui
kebenaran yang sebenarnya.

😊😊😊

Setelah mengetahui kenyataan yang diputarbalik oleh


Nana, Daniel kembali ke kelas untuk menenangkan diri, lupa
bahwa Nana masih menantinya. Ketika Daniel masuk kelas,
Nana langsung menghampirinya di depan pintu.

“Bagaimana Daniel, apakah Joy mengaku kesalahan


dia?” Tanya Nana semangat tapi masih dengan nada sedih.
Daniel hanya bisa menatap Nana, kehilangan kata-kata karena
ia tau bahwa Nana hanya sedang akting.

“Nana, hentikan ini. Aku sudah diberitau oleh


seseorang tentang perlakuan mu kepada Joy setiap pagi.
Tentang bagaimana kamu menyapa dia, tentang bagaimana
kamu memandang dia, tentang bagaimana kamu mengganggu
dia.” Daniel hembuskan napas. “Aku tau kamu suka aku, kamu
bahkan sudah menembak aku. Tapi tolong sadarlah, ada

90
seseorang yang setia menunggumu, Nana. Dialah orang yang
tepat. Orang yang bersedia menunggumu hingga rambut
putih, orang yang bersedia menjalani seumur hidupnya
denganmu. Berikanlah dia sebuah kesempatan dan tolong
bebaskan Joy dari kekanganmu itu. Aku merasa bersalah
sudah memaksa Joy untuk menjadi temanmu.” Daniel
mengkerutkan keningnya seperti kecapekan bicara.
Menunjukkan wajah jika dia terganggu dan muak terhadap
perlakuan Nana. Nana kaget, tidak pernah dia melihat Daniel
seserius ini. Nana menundukkan kepalanya, merasa bersalah
telah menipu Daniel.

“A…aku minta maaf.” Kata Nana ketakutan, suaranya


juga tidak stabil.

“Iya, jangan pernah membully Joy lagi atau kamu akan


kehilangan aku sebagai teman.” Daniel berusaha untuk
menyarankan dengan nada yang sehalus mungkin, tidak ingin
Nana terluka atas perkataannya.

“Iya, Daniel.” Jawab Nana dengan nada yang sungguh


patut dikasihani, namun masih berakting.

😊😊😊

91
Loket

Pada sore hari ketika aku sedang rebahan di kasur, aku


mendapat sebuah pesan dari Nana.

Jam enam di taman dekat sekolah. Nana. Ingin


meminta maaf.

Membaca pesan yang dikirim oleh Nana, seulas garis


melengkung ke atas langsung menghiasi wajahku. Aku
mengabarkan kabar baik ini kepada Ayahku yang telah
membantuku dalam penyusunan rencana ini. Aku senang
sekali karena Nana ingin meminta maaf kepadaku, seperti
sebuah hal yang mustahil terjadi.

“Wah! Rencanaku berhasil” Sorak Ayah Joy. “Tapi,


jangan kecepatan percayanya, dia pasti ada rencana sendiri
juga, nanti ayah temanin kamu ke taman ya” Duga ayahku
kepada Nana. Ayahku mengkhawatirkanku, ia tidak
mengizinkan aku untuk pergi ke taman sendirian. aku juga
setuju ditemani oleh Ayahku. Setidaknya, aku merasa lebih
nyaman jika ayahku pergi bersamaku. Walaupun begitu, aku
meminta Ayahku untuk tidak muncul jika tidak terjadi apa-apa
dan Ayahku setuju dengan permintaanku.

Aku tidak sabar menunggu jam enam untuk menemui


Nana. Ingin melihat apakah dia benar-benar ingin minta maaf
atau tidak. Perasaanku mengatakan bahwa Nana emang ingin
meminta maaf. Aku merasa senang sekali hari ini.

Jam enam sudah tiba, aku menuju ke taman dan


melihat seorang gadis berambut panjang menggunakan baju
berwarna hitam dan celana jeans pendek, ia adalah Nana.

92
“Sini!” Teriak Nana dari tempat duduknya, dengan
wajah yang sungguh polos. Aku tersenyum mengira ia benar
benar ingin meminta maaf. Aku lari ke tempat dimana ia
berada dengan antusias dan menyapa dia dengan semangat.

“Hai!” kataku riang. Nana melihatku, lalu memutar


pupil nya.

“Tumben mau bicara sama aku, aku kira kamu suka


mengabaikanku.” Dengan nada yang sungguh tidak enak
didengar, seperti sedang menyindir aku. “Sini duduk.” Ia
menepuk bangku kosong yang ada disebelah dia. Aku nurut
perkataan dia, aku duduk di sebelah dia, masih menunggu
perminta maafan dia. Nana melebarkan tangannya dan
meletakkannya di atas bangku, seperti sedang merangkulku.
Ia kemudian menatapku dengan dekat, seperti mau
menciumku.

“Berani beraninya kamu mengadu ke Daniel tentang


perbuatanku ke kamu! Kamu kira setelah Daniel mengetahui
ini semua, kamu akan baik-baik saja? Kamu kira aku
mengajakmu keluar karena ingin meminta maaf?” ia
menghembuskan nafas tertawa sekali. “Bagaimana kamu
hidup bertahun-tahun tanpa teman? Kamu sungguh
menyedihkan!” ia mengubah nadanya yang tadi jahat jadi
bersedih, namun mengejek.

“Aku tidak butuh teman.” Kataku singkat. Nana


tertawa terbahak-bahak atas jawaban aku.

“Jadi menurutmu, Cessy itu siapa?” Nana berdiri


dengan cepat, menarik sesuatu dari leherku. Lalu ia
menunjukkan bahwa ia telah mengambil loket pemberian

93
Cessy. Ia tertawa lebih keras kali ini. Ia mengangkat tinggi
loketku di atas kepala dia. Aku melebarkan mataku, melihat
apa yang ditangan dia dan langsung melompat ke Nana untuk
mengambil kembali loket pemberian Cessy. Tetapi aku lambat
selangkah. Ketika aku sedang proses mengambil, Nana
melemparkannya ke semak-semak di taman. Aku terbang
menuju semak semak dengan panik dengan harapan aku bisa
mengambilnya tepat waktu. Tetapi, aku terjatuh di dalam
semak-semak, tangan kosong. Nana hanya melihatku dan
tertawa lebih kencang.

“Kalau kamu memiliki lengan yang panjang, mungkin


kamu sudah dapat mengambilnya.” Dia senyum manja. “Oh
iya, semangat dalam mencari teman bisumu.” Ia senyum
sambil mengangkat satu bahunya.

Mendengar kalimat kurang ajar itu. Aku tidak lagi


menahan kesabaranku. Aku bangun dari kejatuhanku,
menghembus napas cepat dan menatap Nana dengan tajam,
ku gigit gigi ku, mengepalkan tanganku, dan siap untuk
menerkam. Aku lari dengan cepat melawan angin ke arah
Nana dan dengan sekuat tenagaku, ku dorong Nana sampai
jatuh ke tanah.

“Joy! Kamu keterlaluan sekali!” Teriak Nana. Ia tidak


pernah mengira bahwa aku akan melakukan hal ini. Dia berdiri
dan langsung menempelkan lima jarinya dipipiku dengan
sekuat tenaga membuat suara yang keras dan pipi ku langsung
merah bagaikan tomat, nyaris berdarah.

“Gak usah kau sentuh muka ku dengan tangan kotor


mu! Sampah!” Suaraku meninggi ketika kemarahan mulai

94
menyusul keterkejutanku. Ku bentak balik tanpa rasa takut
apapun. Aku tidak lagi berpikir bagaimana jika Daniel
membenciku. Terserah dia mau ejek aku berapa kali, namun
tadi dia telah mengejek temanku sebagai orang yang bisu,
emosiku yang sudah ku tahan beberapa tahun ini meluap hari
ini dan aku tidak akan peduli lagi apa pandangan ayahku
kepada ku.

Tiba-tiba, ayahku muncul dihadapanku, berusaha


menghentikanku.

“Sudah, Joy. Hentikan.” Ayahku menegurku pelan.


Lalu melihat ke Nana. “Dan kamu, pulang.” Ayahku
memerintah Nana. Nana melotot kepada aku, kemudian
ayahku sebelum dia membalik badannya untuk pulang.

Setelah Nana pulang, aku terjatuh dalam lututku yang


sudah berdarah akibat jatuh tadi. Hatiku sangat kacau. Dan
mataku, telah dibanjiri oleh air mata. Aku mengepalkan
tanganku dan memukul-mukul hatiku berulang kali sambil
menangis. Aku teriak tidak berkaruan dan Ayahku datang
untuk memelukku, mengelus kepalaku.

“Ayah. Aku sungguh benci kepada dia. Dia sungguh


kejam. Aku tidak pernah berpikir bahwa ia akan membuang
loket pemberian Cessy. Bagaimana jika loketnya sudah hilang?
Tidak, aku harus menemukannya sekarang.” Aku mengatakan
dengan panik. Ku lepas pelukan dari ayah dan segera
menerjun ke semak-semak untuk mencari keberadaan
loketku.

Ayahku tidak tega melihat keadaanku yang sangat


kacau. Ia lalu membantuku untuk menyari loketku.

95
Satu jam sudah lewat. Kami belum menemukan apa-
apa. Ayahku menyuruhku untuk istirahat, tetapi aku tidak
ingin. Aku bertekad untuk menemukan loketku malam ini juga.
Keadaanku sekarang sangat menyedihkan, keringat
bercucuran dan lututku berdarah. Namun, aku masih ingin
mencari loket itu.

Loket itu bagaikan pertemanan aku dengan Cessy.


Walaupun sekarang kami tidak bertemu lagi, setidaknya aku
masih bisa melihat Cessy lewat loket ini.

Ayahku membujukku untuk berhenti mencari, namun


aku mengabaikannya. Aku masih melanjutkan pencarianku
karena aku ingin menemukan Cessy secepatnya.

Hari sudah semakin gelap dan aku tidak memiliki


senter. Taman ini juga tidak menyediakan lampu. Pada
akhirnya, karena tidak ada bantuan cahaya dan aku sudah
tidak mungkin dapat mencarinya, aku terpaksa pulang dengan
sedih.

96
Kejutan

Di rumah, ayah Joy menelpon Daniel untuk


memberitau jika loket pemberian sahabat kecil Joy telah
hilang di taman dekat sekolah mereka tanpa menyebutkan
nama Nana.

Aku pulang dan mengambil sebuah senter, ingin pergi


ke taman untuk mencari loket aku lagi. Ku keluar dari kamarku
dan melihat ayahku sedang berbicara ditelepon, aku
menghampiri ayahku dan dia terlihat kaget. Ia langsung
mematikan teleponnya dan menyimpan handphonenya.

“Ayah, aku izin pergi ke taman ya.” Kataku minta izin,


hanya sebagai formalitas dan langsung melangkah kakiku
keluar rumah, tetapi dihentikan oleh suara ayahku.

“Tidak. Hari sudah gelap.” Katanya tegas namun masih


penuh rasa kasih sayang. Aku membalikkan badanku dan jalan
ke ayahku. Ku pegang kedua tangan ayahku dan memohon
supaya diberikan izin. Namun, sama saja. Ayahku tetap tidak
memberikannya. “Jadi anak baik ya Joy. Malam hari itu sangat
berbahaya.” Katanya khawatir.

Ayahku tidak mengizinkanku untuk pergi ke taman.


Tetapi, aku sangat ingin pergi karena aku sudah bertekad
untuk menemukannya malam ini juga, dan aku memegang
janjiku. Jadi malamnya jam sepuluh malam ketika kedua
orangtuaku sudah tidur lelap, aku pergi ke taman diam-diam
membawa sebuah senter.

97
Aku ke taman dan mulai mencari, aku mencari dari
semak-semak yang kemungkinan ada loket aku di arah dimana
Nana buang sampai ke ujung semak-semak. Aku mencari
dengan teliti. Semua semak semak ku sinari pakai senter dan
aku meraba hampir semua semak-semak itu. Dua jam sudah
lewat dan aku masih belum menemukan apa apa. Aku bilang
ke diri sendiri jangan pernah putus asa, aku harus
menemukannya juga hari ini. Namun, kosong. Aku tidak
menemukannya. Aku mulai merasa lelah dan mungkin aku
harus beristirahat untuk mengisi tenaga aku.

“Maafkan aku, Cessy. Aku bukanlah teman yang baik.


Aku bahkan tidak bisa mengimpan barang pemberianmu
dengan baik.” Kataku kepada diri sendiri, merasa diriku
sungguh menyedihkan. Air mataku mulai keluar. Aku
menghapusnya dengan cepat supaya ia tidak menetes.

Tiba-tiba, aku mendengarkan langkah kaki dari


belakang. Tidak berani menoleh, aku malah melangkah pergi
dari taman. Tetapi suara langkah kaki itu mengikuti langkah
kakiku. Tidak, sekarang ia malah mempercepat langkah
kakinya seperti sedang mengejarku. Malam hari itu sangat
berbahaya, tiba-tiba suara ayahku terlintas di benakku. Suara
itu semakin mendekat sampai ada sebuah tangan menangkap
lenganku dan menarik badanku ke depan badan dia. Aku ingin
menoleh namun dia terlalu kuat buatku. Aku mengambil
napas dalam, dan berteriak “tolong!” sekuat mungkin. Aku
berhasil menjerit sekali lagi sebelum dia menutup mulutku
dengan tangan lainnya, dan aku tenggelamkan gigiku ke
telapak tangannya dan dia mengeluarkan suara seperti

98
binatang kesakitan. Aku mengenali suaranya. Dia adalah
Daniel.

“Ngapain kamu disini!” Aku tersedak. Hatiku berdetak


sangat kuat mengira dia adalah orang jahat, tetapi dilain sisi,
aku juga bersyukur kalau Daniel yang hadir, bukan orang lain.
Air mata kesedihan yang tadi menetes berubah menjadi air
mata bersyukur akibat kehadiran Daniel. Daniel masih
memainkan tangannya yang kesakitan, lalu ia tersenyum,
mengeluarkan sebuah loket yang tidak asing dari kantong
celananya. Melihat loket itu adalah loket milikku, aku langsung
ingin mengambil dari tangan dia, tetapi dia mengangkat loket
itu lebih tinggi untuk menjauhkan loket tersebut dari
tanganku.

“Dua kali.” Katanya. Posisiku masih sedang ingin


mengambil loket tersebut yang diangkat tinggi. “Ini adalah
kedua kali aku melihatmu nangis. Kali ini, selembar tissue tidak
akan cukup.” Daniel langsung memegang tanganku yang
masih ku ulur tinggi, dia menurunkan tanganku, dia
melangkah maju dan memelukku, menggendong tubuh
kurusku seolah aku anak kecil yang butuh hiburan. Aku
menegang, kemudian melepaskan badanku menentangnya
dan mulai menangis lebih keras.

“Dia pasti teman terbaikmu.” Katanya sambil


mengelus rambutku. Aku hanya mengangguk kecil untuk
membalasnya.

Akhirnya Daniel menemaniku sepanjang malam


dengan mendengarkan semua cerita ku tentang Cessy sampai
aku merasa sedikit lega. Daniel memang seorang pendengar

99
yang baik, dia fokus kepada semua kata yang kuucapkan tanpa
kelewat satu katapun. Lalu ketika sudah selesai bercerita, ia
menemaniku sampai rumah dengan selamat.

100
Penggemar

Keesokan harinya di sekolah, Nana tidak lagi datang ke


kelasku untuk menyapaku. Ketika aku bertemu dia di
sekolahpun, dia hanya memasang muka senyum yang tidak
sinis namun sedikit tulus. Jam istirahat, aku ketemu Daniel dan
Nana sedang jalan berduaan, aku dan Daniel saling menyapa
dan Nana hanya melihatku dengan pandangan penuh rasa
bersalah. Aku menyadari bahwa dia sedang melihat loket aku.

“Aku pergi dulu ya.” Pamit Nana seperti sedang


menghindari aku. Ketika Nana sudah pergi, aku dan Daniel
berbincang-bincang sebentar, lalu aku mengucapkan terima
kasih atas apa yang dilakukan Daniel semalam.

“Aku senang bisa membantu.” Kata Daniel sambil


mengacak-acak rambutku iseng sebelum ia kembali ke kelas.
Lalu aku juga kembali ke kelas setelah Daniel pergi.

Di kelas, aku baru sadar bahwa hari ini adalah batas


waktu aku untuk mengumpulkan komik kepada perusahaan.
Aku menggambar dan mewarnai dengan cepat, hanya
memerlukan satu jam untuk menyelesaikan semuanya.

Siangnya, aku pergi ke perusahaan untuk


mengumpulkan pekerjaanku. Tim pemeriksa gambar
melakukan pengecekan terhadap gambaranku, untungnya,
tidak ada yang harus direvisi lagi, semuanya sudah tertata rapi.

“Pekerjaan yang bagus!” puji ketua tim pemeriksa


gambar. Ia memuji bahwa aku adalah penggambar yang hebat
dan basa basi lainnya, lalu untuk menghadiahi ketekunan aku
dalam mengerjakan tugas, ia memberikan aku gaji tambahan

101
dan sebuah surat dari seorang penggemar. Ternyata, aku juga
memiliki seorang penggemar. Aku menerimanya dengan
senang hati dan langsung membaca surat pemberian
penggemarku.

“Halo, Joy. Komik yang kamu gambar semuanya


sangat bagus. Apakah kamu pernah memikirkan untuk
mengadakan meet and greet? Aku sangat penasaran dengan
penampilan dan sifatmu. Aku tidak mengerti mengapa
perusahaan kamu tidak menampilkan biografimu di internet.
Selain jenis kelamin dan namamu, aku tidak mengetahui
segalanya tentangmu. Aku merasa aku adalah seorang
penggemar yang gagal. Oh iya, Ayahku memiliki sebuah café
dekat perusahaan yang kamu kerja, jadi jika kamu kesana,
jangan lupa untuk menulis namamu di daftar pengunjung ya
supaya aku tau kamu datang. Aku akan menunggumu setiap
hari, Joy.”

Setelah membaca surat tersebut, suasana hatiku


berbunga-bunga, kupu-kupu mulai beterbangan diperutku.
Aku tidak menyangka aku akan mendapatkan seorang
penggemar. Timbul lah niatku untuk menemuinya, tetapi
karena alasan perusahaan, sebaiknya aku tidak melanggarnya.
Namun jika diizinkan, kenapa tidak?

“Ketua, bolehkah saya bertemu dengan


penggemarku?” aku minta izin kepada ketua aku berharap dia
mengizinkanku. Namun ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Maafkan aku, Joy. Aku rasa tidak boleh, kamu tau kan
kondisi lenganmu, nanti penggemarmu akan terkejut.
Lagipula, kamu juga sudah menandatangani perjanjian untuk

102
tidak mengumbarkan biodatamu. Jangan lupa kalau kamu
masih dibawah umur dan orang yang masih di bawah umum
tidak diperbolehkan untuk bekerja. Kami menerima kamu
disini karena pekerjaamu bagus dan kamu bisa menyalin karya
orang lain tanpa kesalahan, kamu juga tidak pernah disuruh
revisi apa-apakan. Iya, itulah alasan kami menerimamu.” Kata
ketuaku panjang menghasut aku untuk tidak pergi menemui
penggemarku.

“hmm… oke jika begitu.” Aku mulai murung, ingin


sekali bertemu dengan penggemarku. Aku juga ingin dikenal
orang.

Di rumah, aku memberitau ke Ibuku tentang


penggemar tersebut. Ibuku menyarankanku untuk
menemuinya dengan diam-diam dan mengatakan bahwa dia
adalah fans yang beruntung, jadi minta dia untuk tidak
menyebar kan diodataku. Dipikirkan lagi, sepertinya ide dari
Ibuku tidak buruk. Jadi aku berencana untuk menemui
penggemar aku besok setelah pulang sekolah.

103
Tidak Terduga

Sepulang sekolah, aku langsung pergi ke café milik


ayah penggemarku tanpa mengganti baju seragam sekolahku.
Nama café tersebut adalah Café Sempurna. Katanya, café ini
memiliki cerita dibalik nama tersebut. Setauku, pemilik dari
café ini memiliki dua orang anak laki-laki. Kudengar dua anak
laki-laki tersebut adalah anak kembar, tetapi kedua anak itu
tidak sempurna, mereka mengalami cacat. Jadi untuk
mengingatkan kepada orang-orang yang memiliki kejadian
serupa, ayah mereka membuka café ini yang kemudian
dinamakan Sempurna.

Aku melihat tulisan Café Sempurna dengan teliti untuk


memastikan café yang aku masuk adalah café yang benar. Aku
membuka pintu café dan langsung disambut hangat oleh
semua pelayannya. Aku merasakan seperti seorang bintang.
Aku melihat-lihat suasana sekitar sebelum diantar ke tempat
duduk. Tiba-tiba seseorang yang tidak menggunakan seragam
pelayan yang sedang menduduki kursi roda datang
menghampiriku.

“Hey, seragam yang kamu kenakan sama persis


seperti seragam yang digunakan abangku setiap hari. Kamu
pasti teman sekolahnya.” Dia menyapaku dengan tebakan
yang ramah, seperti orang biasa tanpa memandang diriku
aneh.

“Nama aku Joy Fayola.” Balasku dengan ramah juga.


Dia membulatkan matanya dan membentuk mulutnya
menjadi huruf O kemudian menutup mulutnya dengan
tangannya dengan cepat.

104
“Kamu Joy Fayola yang aku kirimkan surat kemarin
bukan?” tebak dia sekali lagi dengan penuh semangat, berhasil
membuatku merasa akrab dengan dia secepat itu. Aku
mengangguk kepalaku dua kali lalu dia langsung memajukan
kursi rodanya untuk memberikan tangannya, bersalaman.

“Senang bertemu denganmu! Nama aku adalah


Dennis Brandon Alvaro.” Dia senyum dengan sangat bahagia.

“Dennis Brandon Alvaro?” kataku memiringkan


kepalaku. Nama yang sangat familiar. Aku jadi kebingungan,
aku berpikir nama itu sangat tidak asing, namun sebelum aku
mendapatkan jawabannya, Dennis mengajakku untuk duduk
di tempat duduk, ia menarik tanganku dan menunjuk tempat
yang ingin diduduki dia, lalu aku mendorong kursi roda dia
membantu dia untuk kesana.

“Joy, aku pingin tau tentangmu, aku pingin tau kenapa


biografi kamu tidak ditampilkan, aku penasaran sekali.” Kata
Dennis melemparkan beberapa pertanyaan sekaligus,
menunjukkan dia benar-benar penasaran. Dennis masih tetap
bahagia walaupun melihat kondisi tanganku begini. Dennis
menarik keinginanku untuk bertanya tentang lenganku.

“Kenapa kamu tidak memandang aneh kepada


lenganku?” bukan menjawab pertanyaan Dennis, aku malah
menanyakan hal lain kepadanya. Dennis memiringkan
kepalanya, lalu balik bertanya lagi.

“Kenapa harus?” ia menjawab seolah-olah aku


memiliki tangan yang utuh, tidak ada pandangan aneh sama
sekali dari mata Dennis. “Aku sangat bahagia bisa bertemumu.
Jangan jangan, alasan biografi kamu tidak ditampilkan adalah

105
karena lenganmu?” tebak Dennis lagi, cukup mengejutkan
karena tebakan dia selalu benar.

“Mungkin.” Sambil mengangguk kecil. “Aku sudah


menandatangani perjanjian untuk tidak mempublikasikan
biografiku kepada umum. Aku juga tidak pernah menunjukkan
wajahku ke siapa-siapa, aku sendiri tidak pernah menyangka
aku akan mendapatkan seorang penggemar.” Jawabku sedikit
bangga karena mendapat seorang penggemar.

“Jadi aku adalah penggemar pertamamu?” Dennis


ketawa. “Jangan minder, Joy. Aku tau lenganmu bukan
menjadi masalah dalam mencari uang. Lihat, aku juga tidak
pernah merendahkan diriku untuk tidak bisa berjalan secara
normal seperti orang lain. Aku hidup dengan kursi roda ini
selamanya.” Ia lalu melipat celana panjangnya ke atas untuk
menunjukkan sesuatu yang berada di balik celananya. Namun,
setelah dia lipat, aku tidak melihat apa apa. Ternyata, Dennis
tidak memiliki kaki. Aku hanya bisa menatap lurus dengan
pandangan kosongku ke bagian yang seharusnya ada kaki dia.
“Ini tidak pernah menjadi masalah bagiku.” Kata Dennis masih
dengan semangat.

“Maafkan aku.” aku tiba-tiba menjadi merasa


bersalah karena sudah mengingatkan masa buruk kepadanya.
Tetapi Dennis sepertinya baik-baik saja. Akulah yang terlalu
banyak memikirkan.

“Makanya café ini dinamakan Café Sempurna.” Dennis


memberikan sebuah informasi mengenai café ini. Aku
memikirkan lagi cerita dibalik café ini, dan aku ingat bahwa
dicerita café ini, pemiliknya memiliki dua anak laki-laki dan

106
keduanya adalah anak yang difabel. Aku penasaran tentang
cerita café ini, jadi aku bertanya lagi.

“Oh iya. Aku pernah dengar ceritanya. Berdasarkan


cerita ini, pemilik café ini tidak memiliki anak yang nor…” aku
ingin bertanya untuk memastikan kebenaran cerita yang
diceritakan oleh Ibu aku, namun karena takut tersinggung, aku
memberhentikan kalimat aku. Dennis sepertinya sudah
menebak apa yang ingin ku pertanyakan.

“Iya benar. Aku memiliki seorang kembaran.


Kembaran yang tidak identik. Abangku, ia juga sekolah
ditempat kamu menimba ilmu. Seragam kalian sama. dan
benar, dia juga tidak normal.” Dennis berhenti setelah kalimat
itu. Melihat ekspresiku, lalu melanjutkan kalimatnya “dia tidak
memiliki pendengaran yang bagus, hampir tuli. Jadi mungkin
dia tidak banyak bicara di sekolah. Tetapi, dua tahun yang lalu
sebelum pertandingan basket, dia menjalani operasi telinga
dan untungnya operasi tersebut sukses. Namun, ia masih akan
kehilangan pendengarannya kapan saja, jadi dia harus
melakukan pemeriksaan rutin di rumah sakit. Oh iya, namanya
adalah Daniel Brandon Alvaro.”

107
Cerita Tengah Malam Bersama Ibu

aku pulang ke rumah dengan pikiranku yang terikat


pada potongan kalimat dari Dennis yang berantakan, yang
hampir tidak masuk akal. Maksudku, mengapa semua teman-
temanku ternyata adalah seorang difabel? Cessy dan Daniel.
Aku tau di dunia ini banyak orang yang tidak normal. Tetapi
dari semua orang, kenapa harus Daniel? Aku masih tidak dapat
mempercayainya.

Aku sangat bersyukur karena sudah menemui


penggemarku, Dennis. Dia ternyata adalah adik dari Daniel
dan dia juga memberikan informasi tentang Daniel yang tidak
pernah diceritakan oleh Daniel. Sekarang setidaknya aku
mengetahui kondisi Daniel. Bukannya dia sombong, tetapi dia
tidak bisa mendengar ketika SMP. Mungkin ini juga salah satu
alasan mengapa dia sudah mulai bicara dan menjadi siswa
yang aktif seusai pertandingan basket.

Sesampainya di rumah, aku menceritakan semuanya


tentang Daniel kepada orangtuaku. Tentang kembarannya
dan juga pendengarannya. Ibuku membalas ceritaku dengan
reaksi orang yang baru saja mengetahui hal yang baru, ibuku
juga mengomentari mengapa Daniel tidak pernah
menceritakan ini semua, padahal keluarga kami menjalin
hubungan baik dengan Daniel.

“Dia memiliki privasinya sendiri.” Kata ayahku


memotong komentar dari Ibuku. Ayahku balas dengan penuh
perhatian kepada Daniel, seolah-olah ayahku sudah tau
tentang ini sebelumnya. Lalu seperti biasa, kami

108
menghabiskan malam kami dengan menonton televisi hingga
jam tidur tiba.

Malamnya, aku tidak bisa tidur. Mengingat Daniel


jugalah seorang yang cacat dan ia tidak pernah
menceritakannya. Aku merasa Daniel perlu kehangatan dari
seseorang, dan aku bersedia untuk menjadi seseorang itu.
Tiba-tiba ibuku memasuki kamarku, memecahkan semua
pikiranku tentang Daniel.

“Kenapa belum tidur, Joy? Apakah kamu sedang


memikirkan Daniel?” tanya Ibuku. Aku tidak langsung
menjawabnya.

“Hmm… aku sedang memikirkan tentang kehidupan


bu. Sedikit memikirkan tentang Daniel.” Balasku sedikit ragu.

“Pingin cerita?” tanya Ibuku prihatin. Aku langsung


mengubah posisiku dari baring menjadi duduk untuk
menuangkan perasaanku kepada Ibuku.

“Ibu, ibu tau gak Café Sempurna itu milik orangtua


Daniel?” Ibuku sedikit terkejut mendengar hal itu. Ia
menggeleng, lalu mengangguk.

“Baru tau sekarang.” Balasnya singkat, menungguku


untuk melanjutkan kalimatku.

“Lalu kenapa Ibu sering menceritakan cerita tentang


Café Sempurna?” aku tanya lagi untuk mengisi botol
penasaranku di dalam hati. Ibuku berpikir, lalu menjawab
dengan mantap.

109
“Karena ceritanya sangat menginspiratif. Jika Café
Sempurna itu adalah milik ayah Daniel, berarti ayahmu adalah
temannya ayah Daniel. Daniel lahir lima bulan sebelum kamu
lahir. Pada waktu itu, ayah Daniel tidak bisa menerima
kenyataan kalau kedua anaknya tidak normal, jadi ayahmu lah
yang sering menghibur ayah Daniel. Itu bukanlah sebuah
kenangan yang baik. Ayahmu selalu memotivasi Ayah Daniel
untuk bersikap baik kepada Daniel dan adiknya. Dengan
keteguhan hati ayahmu, akhirnya ayah Daniel berhasil untuk
melihat ke sisi positif. Lalu karena ayah Daniel tau perasaan
orangtua yang memiliki anak yang difabel, dibangunlah
sebuah café yang bernama Café Sempurna untuk
mengingatkan semua orang yang memiliki kondisi yang serupa
supaya jangan bersedih dan menulis cerita tentang kedua
anaknya itu. Ia pilih nama Sempurna karena walaupun kedua
anaknya difabel, kedua anaknya masih bisa menjalankan
kehidupan normal bagaikan orang yang Sempurna, Ayah
Daniel ingin semua orang merasakan hal ini. Ibu rasa, ayahmu
sudah mengenali Daniel dari pertama kali.” Cerita ibuku
dengan panjang, mengingat cerita bahwa ayah Daniel tidak
bisa menerima kenyataan tentang Daniel, aku jadi ingin
bertanya apakah Ibuku pernah memikirkan hal yang sama
seperti ayah Daniel.

“Ibu, Ibu sedih gak memiliki anak seperti aku? Anak


yang jauh dari kata sempurna.” Aku bertanya dengan harapan
besar jawaban ibuku sesuai ekspektasi aku.

“Maafkan Ibu, Joy. Jawaban ibu adalah sedih.” Ibuku


menjawab dengan perasaan bersalah. Aku hanya bisa senyum
dengan terpaksa mendengar jawaban dari Ibuku.

110
“Jujur saja, Ibu sedih pas pertama kali melahirkan
seorang anak yang tidak sempurna. Tetapi ayahmu selalu
mengatakan bahwa kamu adalah anak pembawa
keberuntungan. Ayahmu aja langsung membelikanmu sebuah
gelang berwarna merah jambu ketika kamu baru lahir.” Ibuku
melihat ke tanganku dan menunjukkan gelang merah jambu
yang masih ku pakai hingga sekarang. “Ada lagi, ketika kamu
berumur dua tahun, Ibu sakit parah. Dan pada saat itu,
ayahmu masih belum memiliki pekerjaan seperti ini. Ayahmu
harus kerja lembur setiap hari demi mencukupi kebutuhan
kita sehari-hari. Ibu tidak bisa bangun untuk mengambil obat.
Tetapi kamu tiba-tiba bangun dari tidurmu dan datang
membawa obat yang terletak tidak jauh dari tempat tidurmu
padahal saat itu, kamu belum bisa jalan, kamu memaksa
dirimu untuk mengambil obat itu untuk memberikannya
kepada Ibu. Kamu bahkan berusaha untuk mengucapkan kata
semoga cepat sembuh dengan bahasamu yang tidak jelas itu.
Itu adalah kenangan yang tidak terlupakan, Joy. Dari momen
itu, aku berjanji kepada diriku untuk menyayangimu dengan
sepenuh hatiku. Kamu benar-benar membawa kebahagiaan
dalam hidupku, Joy.” Ibuku bercerita hingga menangis dan
mengakhirinya dengan memelukku.

Malam itu, aku berlarut dalam cerita ibuku hingga aku


tidur lelap.

111
Cessy

“Selamat pagi, Joy! Apakah kamu tau besok hari apa?”


Tanya ibuku penuh selagi mengoles selai di roti sedetik ketika
aku keluar dari kamarku.

“Besok?” aku berpikir sejenak, mengingat hari apa


besok. “Oh iya! Besok adalah hari perlombaanku tingkat
kota!” Jawabku dengan penuh semangat.

Hari ini tanggal 7 Desember 2019, aku bolos sekolah


karena ingin latihan menggambar di rumah untuk perlombaan
besok. Aku menerima telepon dari Daniel, ia menanyakan
mengapa aku tidak hadir sekolah hari ini dan aku
menjaawabnya dengan alasan yang sebenarnya.

Di kamarku, aku memikirkan apa yang seharusnya aku


gambar buat perlombaan besok, tiba tiba wajah Cessy
melewati pikiranku. Aku telah memikirkan apa yang harus aku
gambar. Aku akan menggambar moment aku bersama Cessy
yang difoto oleh orangtua kami yang kemudian kami simpan
fotonya di dalam loket. Aku mulai latihan untuk menggambar,
untungnya, hasil gambaranku sungguh memuaskan.

Perlombaan tingkat kota ini akan diadakan di pusat


kota di kota ini. Peserta lain yang berasal dari kota lain harus
datang ke kota ini untuk mengikuti lomba ini. Peraturan
perlombaan ini juga cukup unik. Peserta dilarang
menunjukkan wajahnya supaya tidak terjadi pilih kasih untuk
menentukan pemenangnya. Jadi, peserta akan menunjukkan
wajahnya setelah pemenang diumukan.

112
Aku berlatih dengan sungguh sungguh, karena aku
ingin sekali untuk memenangi pertandingan ini supaya aku
bisa melanjutkan ke tingkat provinsi. Sebenarnya cita-cita
terbesar aku adalah menjadi seorang pelukis yang mendunia.
Aku latihan dari pagi hingga malam demi memenangkan
perlombaan ini.

Keesokan harinya, aku pergi ke pusat kota dengan


tepat waktu. Aku diberikan angka tujuh oleh panitia, aku
adalah peserta nomor tujuh. Ketika bel pertanda perlombaan
dimulai, aku langsung memasuki ruangan yang memiliki angka
tujuh dan mulai menggambar wajah Cessy dikertasku. Gambar
yang sama persis seperti di loket aku. Aku menggambarnya
dengan sangat cepat dan tidak ada kesalahan dikertasku.
Ketika waktunya sudah habis, kami diminta untuk
mengumpulkan gambaran kami kepada juri untuk dinilai
tanpa menunjukkan wajah kami. Biasanya, juri hanya
memerlukan lima menit untuk menilai. Tetapi hari ini, jurinya
menilai dengan lama. Apakah karena ini tingkat kota? Pikirku.
Lalu seorang panitia masuk ke ruanganku dan menanya

“Apakah lukisan yang kamu gambar itu original?” aku


menatap panitia itu dengan kebingungan yang amat sangat.
Ya tentu original, dia aneh sekali menanyakan pertanyaan
seperti itu. Lalu MC diminta untuk membacakan peraturan
sekali lagi.

“Lukisan yang dikumpulkan harus original untuk


menghindari gambaran yang sama seperti peserta yang lain.”
Baca MC itu dengan nada sedikit lawakan membuat penonton
terhibur namun membuat aku sedikit tersinggung. Aku
kemudian ditanya lagi oleh panitia untuk memastikan sekali

113
lagi apakah gambaran aku original. Jawabanku tetap sama,
original. Lalu sekarang, jurinya mengatakan menggunakan mic

“Mari menunjukkan dirimu dan jelaskan apa yang


terjadi sekarang. Jelaskan mengapa lukisan kalian bisa sama.
Jika salah satu dari kalian menyalin lukisan orang lain, maka
kalian berdua, nomor tujuh dan sebelas akan didiskualifikasi
dari perlombaan ini.” Kata jurinya dengan tegas.

Mendengarkan komentar seperti itu, aku merasa


sungguh menjengkelkan, lukisan ini bukan hasil menyalin
orang lain, apalagi lukisan ini memiliki arti yang berharga.
Siapa yang memiliki lukisan ini selain aku dan Cessy? Lalu aku
berpikir, apa mungkin Nana melakukan trick trick lagi untuk
menjatuhkanku? Tidak mungkin. Aku berlangkah keluar
menunjukkan wajahku kepada penonton sesuai perintah juri.
Begitupula dengan si angka sebelas.

Ketika aku melihat lukisan yang digambar oleh angka


sebelas, mataku terbelalak. Lukisannya sama persis seperti
lukisanku, aku segera menghadap ke orang yang berangka
sebelas untuk melihat siapa orangnya.

“Cessy!” Aku teriak dari kejauhan.

Matanya melebar, ia tidak percaya siapa yang baru


saja ia lihat. Peralatan menggambarnya jatuh dari cengkraman
tangannya setelah dia melihatku. Dia berlari dengan cepat
tanpa memikirkan apa yang terjadi dilingkungan sekitar dan
memelukku erat di atas panggung.

Semua penonton menjadi bingung dengan situasi


yang mengarukan ini. Kami berpelukkan dengan erat, enggan

114
untuk melepas walaupun kami berada di atas panggung, kami
sama sama melepas rindu yang terjadi selama beberapa tahun
ini. Kami menunjukkan rasa rindu kami dengan menggambar
wajah yang berada di loket untuk lomba dan aku sungguh
terharu atas pilihan gambar tersebut. Lukisan ini benar-benar
berharga.

Tidak lama kemudian, sekelompok reporter datang


menghampiri kami menaikki panggung dan melemparkan
beberapa pertanyaan kepada kami seperti

“Apakah kalian mengenal satu sama lain? Apa


hubungan kalian? Apakah lukisan yang sama persis ini hanya
sebuah kebetulan? Apakah karakter anak-anak yang dilukisan
kalian adalah kalian berdua ketika masih kecil?”

Kami tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan


oleh para reporter, kami hanya saling memandang dan
tersenyum lebar, karena saking bahagianya kami. Aku melihat
orang tuaku dari panggung dan mereka sedang menangis
bahagia melihat aku bertemu dengan Cessy. Mereka juga
bertemu dengan orangtua Cessy.

Pada akhirnya, jurinya mengumumkan siapa yang


akan menjadi pemenangnya

“Aku meminta maaf untuk memberitahu kalian semua


tetapi lukisan mereka sama persis, bahkan ketebalan
warnanya juga sama. aku, seorang juri mengumumkan bahwa
keduanya patut menduduki peringkat pertama!”

115
Pengakuan

7 Desember 2019

*Sudut pandang Nana

Aku merasa malu untuk menemu Joy dan Daniel


setelah aku membuang loket kesayangan si Joy karena aku tau
rasanya kehilangan sesuatu yang sangat berarti. Aku harus
meminta maaf kepada Joy hari ini juga, aku merenung
sendirian di dalam kelas. Daniel memasuki ruangan kelas.

“Selamat pagi, Daniel.” Aku sapa dia sedikit berbeda


dari hari biasanya. Biasanya aku semangat, namun hari ini aku
tidak sesemangat hari sebelumnya.

“Selamat pagi juga, Nana.” Balas Daniel monoton. Lalu


sudah tidak ada lagi percakapan yang terjadi antara kami.
Biasanya aku selalu mengajak Daniel untuk bicara, namun hari
ini aku hanya diam. Daniel yang kemudian memecahkan
keheningan.

“Nana, apakah kamu pernah mempertimbangkan adik


aku? Dia sudah menantimu semenjak hari pertama kamu
bekerja di Café ayahku.” Tanya Daniel penasaran.

“Kamu tau jawaban aku, Dan.” Jawabku sedikit


menggoda Daniel. Aku tidak pernah mempertimbangkan
adiknya karena aku selalu mencintai Daniel. Setelah aku
menjawab Daniel, dia tidak lagi melayaniku, Daniel emang
tidak suka digoda oleh perempuan manapun. Suasana
menjadi sangat canggung, aku berdiri dari tempat dudukku
pergi ke kelas Joy. Ku rasa, sudah seharusnya aku minta maaf
kepada dia.

116
Aku memasuki ruang kelas Joy dan mencari
keberadaan dia. Aneh sekali, biasanya dia sudah sampai di
sekolah jam segini. Apa yang terjadi? Dia tidak pernah absen
sekolah sepanjang tahun. Dengan pasrah, aku kembali ke kelas
aku dan menanyakan keberadaan Joy kepada Daniel.

“Daniel, Joy absen hari ini. Apakah kamu tu mengapa


Joy tidak hadir?” aku menduga Daniel mengetahui
jawabannya.

“Dia absen hari ini?” Daniel malah tanya balik


kepadaku. “Hmm… aku coba hubungi dia.” Daniel
mengeluarkan ponselnya dan menelepon Joy. Setelah satu
menit berbicara, Daniel matikan ponselnya dan mengatakan
bahwa Joy absen karena Joy memiliki lomba gambar keesokan
harinya, jadi Joy ingin latihan gambar seharian hari ini. Aku
hanya mengangguk menjawab Daniel.

“Nana,” panggil Daniel. “Ke kantin yuk.” Ajaknya.


Sebuah kalimat simple yang tidak pernah gagal membuat aku
senang. “Ayo” jawabku dengan senang. Aku berdiri dan pergi
ke kantin bersama Daniel. Aku sangat senang dapat berjalan
berduaan dengan Daniel tanpa kehadiran Joy. Tetapi selama
perjalanan ini, kami sama sekali tidak bicara. Akhirnya aku
membuka percakapan.

“Daniel, kamu pernah mempertimbangkan aku


engga? Aku sudah menunggumu semenjak hari pertama aku
bekerja di Café Ayahmu.” Aku mengulang kalimat yang dia
ucapkan tadi di kelas. Daniel lalu berhenti berjalan, ia
melihatku dengan pandangan kurang menyenangkan.

117
“Nana, bukannya kamu sudah tau siapa yang aku
suka?” Daniel membalas pertanyaanku dengan jengkel.

“Aku tau dengan jelas, Daniel. Apakah kamu tau


sesuatu? Aku ingin mengaku kepadamu tentang suatu hal, aku
yakin setelah aku memberitaukan ini kepadamu, kamu akan
membenciku.” Aku mengatakan dengan menundukkan
kepalaku, menunjukkan rasa bersalah.

“Kasih tau aja, aku ga mungkin membenci seseorang


yang sangat disayang adikku.” Kata Daniel menenangiku agar
aku mengatakan kepadanya.

“Aku rasa kamu sudah tau. Tapi aku tetap ingin


memberitaumu dengan mulut aku sendiri. Kamu tau gak
betapa sakitnya aku setelah aku mengetahui kamu keluar
pada malam itu hanya untuk mencari loket Joy yang hilang?”
aku menatapi dia lurus dimata. Dia mengangguk pelan. Lalu
aku sambung lagi “Kamu membantu Joy untuk membersihkan
kekacauan yang disebabkan oleh aku.” kataku sedikit
ketakutan, mengakui kesalahanku.

“Jelaskan.” Perintah Daniel dengan tegas.

“Hari itu, setelah kejadian roti yang dibuang, kamu


menyuruhku untuk berhenti jadi temannya kan? Aku kira, Joy
memberitaukan mu tentang kejelekkanku. Jadi aku sangat
emosi pada hari itu, dan aku ingin membalas perlakuan dia.
Jadi pada malam hari, aku mengirimkan sebuah pesan kepada
Joy mengatakan aku ingin meminta maaf, aku ajak dia
bertemu di taman dekat sekolah. Tetapi tujuan utama aku
adalah mencuri kalung loket yang dipakai Joy setiap hari
karena aku tau dia hanya memiliki seorang teman yang

118
bernama Cessy. Aku pernah membully dia ketika kami masih
SD dan Joy selalu membela sahabatnya itu.” Aku berhenti dan
memerhatikan Daniel, dia masih mendengarkanku. “Setelah
aku mencuri loket dia, Joy melototiku dengan pandangan yang
tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya, dia dorong aku dengan
kuat sampai aku terjatuh. Lutut koyak, nafas tersedak, dan
telapak tangan berdarah memaksaku untuk menyadari aku
sudah keterlaluan karena sudah membuang sesuatu yang
sangat berharga bagi dia. Namun, aku masih perlu
mempertahankan harga diriku, akhirnya aku berdiri dan
menampar pipi Joy dengan tanganku yang berdarah. Aku
sungguh bodoh.” Aku berhenti berbicara dan tertawa dengan
menyedihkan. Melihat ke Daniel dan dia masih mendengarkan
dengan serius. “Setelah aku tampar dia, ayah dia datang
bagaikan pahlawan yang menolong tuan putri dari monster.
Pada malam itu, aku pulang rumah tetapi aku tidak bisa tidur,
aku merasa sungguh bersalah, aku juga takut jika Joy beneran
kehilangan loket itu. Jadi aku mampir ke Café kamu malam itu
untuk mengaku semua kesalahanku dan ingin meminta
bantuanmu untuk mencarinya untuk Joy. Namun aku
sepertinya telat, kamu sudah tau duluan. Aku melihat kamu
lari keluar dari café dengan tergesa-gesa, dengan wajah penuh
khawatiran.” aku tersenyum dengan paksa. Daniel hening,
tidak berkata-kata. Ia melihatku dengan pandangan kosong, ia
tidak tau harus bilang apa, tetapi ia tidak marah.

“Terima kasih sudah mengaku.” Katanya dengan


singkat, tidak dimainkan oleh emosi.

119
“Pada malam itu juga, aku sudah sepenuhnya
melupakan keinginan untuk bersamamu.” Aku memberikan
senyum yang pahit.

120
Move On

“Sekali lagi, terima kasih sudah membuang keinginan


tersebut.” Balas Daniel dengan acuh tak acuh.

“Iya, dan sebelum aku berkesempatan untuk


melangkah keluar dari Café, Dennis memanggilku. Dia
menanyakan apa kabarku hari itu dan mengapa aku berada di
Café pada malam hari. Ia memintaku untuk duduk dan
berbincang-bincang sedikit bersamanya. Akhirnya, aku dapat
terbuka dengan Dennis pada malam itu, aku bisa mengatakan
sejujurnya kepada Dennis tentang bagaimana aku membully
Joy dan Cessy, tentang betapa dalamnya cintaku kepadamu. Ia
selalu mendengarkanku bahkan ketika aku menceritakan
semua hal tentangmu, ia hanya memasang wajah senyum
yang tidak bahagia sama sekali. Lalu ia memberikan saran
kepadaku jika aku tidak seharusnya membenci orang lain
karena pada akhirnya aku akan tersakiti. Menenangiku dengan
mengatakan bahwa semua hal bisa diampuni, menenangiku
dengan mengatakan bahwa ada seseorang yang selalu
mencintaimu lebih dari siapapun.” Aku mencurahkan semua
kejadian malam bersama Dennis kepada Daniel. Daniel
senyum kepadaku, merasa lega akhirnya aku mengetahui
semua ini. Lalu aku senyum pahit kepada dia, sedikit tertawa.

“Walaupun Dennis berusaha untuk menenangkanku,


kamu tau apa yang aku jawab ke dia? Aku menanyakan
kemana kamu pergi, aku menanyakan mengapa kamu pergi
pada jam malam segitu, aku menanyakan semua hal yang
berkaitan dengan mu!” aku teriak di depan Daniel,

121
menunjukkan betapa aku mencintai dia. “Dan akhirnya,
Dennis tidak tau mau bagaimana menghiburku, dia bilang
kepadaku bahwa dia sudah kehabisan kata-kata untuk
menghiburku lagi, tetapi dia memiliki lengan yang selalu
terbuka untuk memelukku, telinga yang selalu siap untuk
mendengar, dan hati yang selalu mencintaiku dengan tulus.
Dan pada saat itu juga, aku jatuh ke dalam pelukan Dennis.
Setidaknya, aku merasa kehangatan pelukannya. Ku rasa,
dengan kesabaran dan ketulusan dia, hatiku tergoyah.
Selamat Daniel. Aku sudah berpindah dari kamu ke Dennis.”
Aku senyum tipis. Ku harap akting ku untuk senang ini berjalan
dengan baik.

Daniel terlihat sungguh senang, ini pertama kali aku


melihat Daniel senang atas perkataanku. Sayangnya, Daniel
ketipu dengan omonganku.

“Bagus, Nana! Ini adalah kabar terbaik buat Dennis!”


Daniel senyum dengan lebar, dia tampak sangat bahagia.

122
Pernyataan Cinta

Hari perlombaan Joy

Keesokan harinya sepulang sekolah, aku langsung


menuju ke Café Flawless untuk memulai pekerjaanku. Seperti
biasanya, Dennis datang menyapaku dan aku membalas
sapaan dia.

“Apakah kamu sudah menceritakan semuanya kepada


abangku dan meminta maaf kepada Joy?” tanya nya
mengkhawatirkanku.

“Aku sudah menceritakan semuanya kepada Daniel,


tetapi aku belum meminta maaf kepada Joy. Terima kasih atas
saranmu, saranmu sungguh membantu, aku hampir lupa
bagaimana rasanya melewati hari yang menyenangkan.” Aku
senyum kepadanya dan bungkuk badanku mengucapkan
terima kasih.

“Begitulah seharusnya kita menjalani kehidupan.”


Jawab Dennis dengan bijaksana. Lalu ia teringat sesuatu. “Oh
iya, aku mempunyai sesuatu untuk diberikan kepadamu.
Tunggu aku disini ya…” dia lalu memutarkan kursi rodanya dan
pergi ke dapur café.

Aku menunggu melayani pelanggan lain selagi


menunggu Dennis. Tiba-tiba pelayan lainnya datang dan
meminta aku untuk berhenti bekerja untuk hari ini, aku
bingung, apa jangan jangan aku dipecat? Pelayan lain meminta
aku untuk menjadi pelanggan untuk hari ini. Aku ditarik ke
ruangan VIP dan dipaksa untuk menukar seragamku menjadi

123
sebuah gaun yang bukan milikku, dia lalu keluar dari ruangan
dan mengunci ku di dalam ruang VIP.

Tidak lama setelah pelayan tersebut keluar, Seseorang


mengetuk pintu ruang VIP dan memasukinya, ia adalah
Dennis. Dennis membawa beberapa masakan ditangan dia. Ia
meletakkan makanan tersebut dimeja, lalu memandangku
sambil senyum. Ia melihat gaun yang aku kenakan dan
senyumannya makin melebar.

“Kamu terlihat cantik dengan gaun itu.” Dia memuji.


Aku hanya terbengong. Lalu aku terasa panas di dalam
ruangan, muka ku menjadi merah.

“Apa yang terjadi? Aku seharusnya sedang berada di


luar melayani pelanggan lainnya.” Aku mengomelinya,
sebenarnya aku hanya salah tingkah.

“Kamu hanya diizinkan untuk melayani aku hari ini.


Ayo, cobain masakanku. Katakana apa rasanya.” Perintah
Dennis mengeluarkan nada boss dia.

“Nyobain masakanmu? Tidak.” Aku menolak.

“Ini adalah ke 29 kalinya kamu menolak untuk


mencoba masakanku. Aku tau semua orang mengatakan
masakanku tidak enak. Tetapi, bolehkah kamu memberikanku
sebuah kesempatan dengan mencobanya?” Dia memohon
kepadaku. Ia lalu mengambil sendok yang sudah tertata
dimeja dan menyuapkanku makanan yang dimasaknya. Aku
makan dan tidak merasakan apa-apa.

“Bagaimana rasanya?” Dennis mengharapkan sesuatu


yang bagus. Sebenarnya aku tidak merasakan apa-apa, tetapi

124
melihat wajah Dennis yang penuh harapan, aku tidak tega
untuk mengatakan sebenarnya.

“Rasanya luar biasa sekali!” aku mengacungkan jari


jempolku menandakan enak. Tetapi sepertinya Dennis tau
bahwa aku sedang bohong.

“Hmm… banyak yang bilang masakanku tidak enak.”


Ia menggeleng-geleng pasrah.

“Gapapa, rasanya enak dimulut aku kok.” Aku


berusaha menyemangatin dia.

“Kalau begitu, apakah kamu mau lagi?” Dennis


sengaja menawarkannya lagi, karena jika tidak enak, aku pasti
akan menolaknya.

“Boleh.” Aku menerima makanan itu dan melahapnya


sekali lagi.

Dari luar, aku mendengarkan beberapa orang yang


bilang masakan Dennis tidak enak, mereka bilang memakan
masakan Dennis adalah sebuah musibah. Dennis mendengar
semua omongan dari orang luar, lalu Dennis yang tadinya ceria
mulai merasa sedih, putus asa terhadap masakan dia.

“Nana, kamu tidak usah berbohong tentang rasanya.


Kalau engga enak, kasih tau aja.” Dennis masih menuntut
kejujuranku. Aku tidak tau apa rasanya, karena ketika aku
makan, bener bener tidak ada rasanya. Aku sampai tidak tau
bagaimana rasa enak dan rasa tidak enak pada makanan.

“Bagaimana jika kamu menyobainya sendiri?” aku


memberikan saran. Dia langsung mengambil sendok lain yang

125
sudah tertata dan memakan makanan dia. Ia langsung
memuntahkan apa yang baru saja dia makan dengan ekspresi
yang sungguh menjijikkan. “Makanan apa ini!” ia teriak
kepada makanan yang ia masak. “Bagaimana kamu bisa
menelan makanan ini? Ini adalah makanan paling tidak enak
yang pernah aku cicipi” Dia mengerutkan keningnya dan
membuka mulutnya lebar sambil menggoyangkan lidahnya.
Aku masih menatap dia, lalu tertawa atas kelakuan dia yang
seperti anak kecil. Dia melihatku juga.

“Hey, kenapa kamu melihatku dengan pandangan


seperti itu? Apakah aku ganteng hari ini?” canda Dennis
membuatku ketawa walaupun sedikit garing.

“Ahaha. Mataku diciptakan untuk melihatmu.” Aku


menggombalnya untuk menaikkan suasana. Dennis seperti
terkejut atas gombalanku karena aku tidak pernah
menggombal sebelumnya, apalagi menggombal Dennis.

“Dan mulut aku diciptakan untuk menyatakan cintaku


kepadamu hari ini! Jadi apakah kamu bersedia untuk menjadi
pacarku?” ia mulai mengeluarkan sesuatu dari kantongnya.
Aku melihat sebuah cincin yang bersinar ditangannya. “aku
menembakmu dengan tulus.” Katanya dengan nada yang
mulai serius. Aku hanya melihat dia, sedikit sudah tau apa
yang akan dia lakukan. Aku tidak kaget, aku sudah
berekspektasi hari ini akan tiba. Tanpa berpikir panjang, aku
mengatakan

“Awal yang baru buat kita nih? Aku bersedia. Bersedia


untuk menjadi pacarmu, bersedia untuk memakan
masakanmu setiap hari.” Ku merasakan kesenangan yang

126
tidak kudapatkan dari Daniel. Namun, ini sudah lebih dari
cukup.

“Kamu tidak apa-apa dengan kakiku?” tanya dia


sedikit takut akan ku ubah pikiranku.

“Tentu saja tidak, aku bisa bekerja untukmu dan kamu


bisa memasak untukku. Kita bisa saling melengkapi.” Aku
mengucapkannya dengan setulus hati.

“Kamu yakin akan memakan masakanku setiap hari?”


dia memberikanku pandangan setengah percaya, ia tidak
yakin aku akan menepati perkataanku. Aku mengangguk
dengan anggun, menunjukkan bahwa dia bisa
mempercayaiku.

Ku rasa sekarang saatnya memberitau sesuatu kepada


Dennis.

“Ada sesuatu tentang aku yang belum diketahuimu


tapi diketahui Daniel.” Aku mulai mempertegangkan suasana.
Mengatakannya dengan serius. Tetapi, Dennis sepertinya
sudah tau apa yang mau ku bicarakan.

“Daniel sudah memberitahuku. Apakah kamu juga


seorang yang difabel?”

Pupilku membesar. Ternyata dia sudah tau.

127
Kenyataan

Aku merasa terkhianati oleh kalimat Dennis yang


mengatakan bahwa ia mengetahui kondisi aku dari mulut
Daniel karena Daniel telah berjanji untuk tidak
memberitahukan ke siapa-siapa.

“Iya, apa yang dikasih tau Daniel lagi tentang aku?”


aku bertanya, ingin mengetahui sebanyak rahasia yang Daniel
sebarkan kepada Dennis. Aku masih memikirkan buat apa
Daniel memberitahukan Dennis.

“Tidak ada lagi. Daniel hanya memberitaukan bahwa


kamu memiliki cacat, namun ia tidak memberitahukan cacat
apa yang kamu miliki.” Jelas Dennis melihat ekspresi aku
penuh penyesalan memberitau rahasia terbesarku kepada
Daniel.

“Oh” Kataku lega. “karena kamu adalah pacarku


sekarang, aku akan memberitaukan semuanya. Jadi, kamu tak
gak kenapa aku selalu menolak untuk mencicipi masakan mu?
Bukan karena aku tidak pingin, tetapi aku tidak bisa. Aku
adalah seorang ageusia.” Aku berhenti melanjutkan kata-
kataku untuk memancing pertanyaan dari dia.

“Apa itu Aguesia?” Tanyanya sesuai harapanku.

“Aguesia adalah kondisi di mana seseorang tidak bisa


merasakan rasa apapun dari makanan yang dimakannya” aku
jelasin, lalu dia memberikan ekspresi tidak percaya, tetapi
masih tenang.

“Jadi kamu tidak bisa merasakan semua makanan?


Jadi kamu tidak tau ap aitu rasa manis, asem, asin, dan pahit?

128
Jadi ini adalah alasan kamu berani memakan masakanku,
karena kalau kamu memiliki indera pengecap yang normal,
sebagai orang biasa kamu tidak mungkin akan memakan
masakanku.” Dia malah ketawa setelah mengetahui fakta
bahwa aku adalah seorang Ageusia. Dia malah membuat hal
ini menjadi lawakan. Aku ikut tertawa melihat dia tertawa.
Tetapi sebentar saja, aku menjadi serius lagi. Aku ingin
menanyakan suatu hal yang mungkin akan membuat dia
berubah pikiran.

“Setelah mengetahui fakta ini, apakah kamu menyesal


telah memacariku?” Tanyaku tidak ragu-ragu.

“Tentu tidak, aku menjadi lebih mencintaimu dari


sebelumnya.” Ia senyum iklhas kepadaku, lalu jemarinya
memainkan di atas kepalaku, berusaha memastikan bahwa
cintanya adalah cinta yang tulus.

“Ternyata rasanya begini mencintai seseorang yang


juga mencintaimu, aku baru bisa merasakannya sekarang.
Maafkan aku telah membuatmu menunggu lama.” Aku
meminta maaf atas ketidakpekaanku selama ini. Sebenarnya
bukan tidak peka, namun lebih ke aku masih menunggu
Daniel.

“Iya, tidak apa-apa, aku tidak masalah untu menunggu


selamanya asalkan itu adalah kamu.” Dia senyum
menunjukkan giginya.

“Ahh… ini sungguh romantis. Sayang sekali Ibuku tidak


merasakan hal yang sama.” tanpa sadar aku mengeluarkan
kalimat tersebut.

129
“Maksudmu?” tanya Dennis tidak mengerti. Ingin
mengetahui tentangku lebih lanjut. Aku lihat Dennis dan
merasa bahwa Dennis bukan hanya sekedar penasaran, tetapi
ia benar-benar peduli kepadaku. Jadi setelah beberapa detik
berpikir, aku memutuskan untuk menceritakan kepadanya.

“Jadi, dulu aku adalah murid terkaya di sekolah. Tetapi


kedua orangtuaku tidak menjalin hubungan yang baik, mereka
berkelahi hampir setiap hari dan sebagai anak SD di rumah,
aku merasa jengkel. Aku juga tidak bisa menerima fakta bahwa
aku terlahir menjadi seorang cacat sampai suatu hari aku
bertemu dengan Joy, seseorang yang tidak memiliki tangan
yang normal namun bisa hidup dengan bahagia setiap hari.
Aku memerhatikannya setiap hari dan mendapatkan informasi
bahwa dia memiliki seorang teman yang bernama Cessy. Aku
mengira dia adalah murid normal, murid normal yang bisa
berteman dengan murid cacat seperti Joy. Jadi, suatu hari aku
mengajaknya untuk berbicara, tetapi dia tidak menjawabku,
jadi dengan emosi yang sudah ditanam dari keluargaku, aku
menjadi cepat kesal, aku kesal pada Cessy waktu itu. Lalu aku
teriak kepadanya, dan sungguh tidak beruntung. Teriakan aku
saat itu didengar oleh Joy. Aku pikir, Joy pasti sudah mengecap
aku sebagai orang yang jahat, dan melihat temannya
diteriakin, pasti Joy akan membela. Itu pikirku saat itu. Jadi
sebelum Joy memarahiku, aku memarahi dia duluan dengan
mengatakan ‘tumbuh lenganmu dulu sebelum bicara dengan
aku.’ Aku sungguh menyesali perkataan aku. Tetapi aku juga
terlalu meninggikan harga diri, kan orangtuaku adalah
pengkontribusi terbesar untuk sekolah. Masa aku meminta
maaf kepadanya? Jika aku meminta maaf, teman temanku
pasti akan mengolok-olokku. Tentunya mereka tidak tau

130
bahwa aku adalah seorang ageusic. Jadi akhirnya, aku menjadi
seorang pembully bersama teman-temanku.” Aku menarik
nafas panjang karena sudah menuangkan perasaan hati yang
terpendam selama bertahun-tahun, melihat Dennis untuk
memastikan bahwa ia tidak bosan.

“Lanjutkan dong.” Kata Dennis menyemangatiku


untuk melanjutkan cerita ini.

“Semuanya berubah setelah aku lulus dari SD,


orangtua ku cerai. Ayahku pergi dan menikah kepada wanita
lain. Hal yang konyol adalah, ayahku tidak memberikan
sedikitpun uang kepada ibuku, ibuku jadi harus bekerja
bagaikan kuda untuk mengisi perut kami. Ibuku mengatakan
bahwa ini adalah kesalahan dia karena tidak bisa
mempertahankan cinta dari ayahku. Dan ibuku
memberitahukanku untuk berjuang demi cinta, hal itu
tertanam dalam diriku, dan mungkin inilah sebabnya aku
terlalu melekatkan diriku kepada Daniel. Tapi jangan khawatir
Dennis. Sekarang, aku telah menjadi milikmu. Oh iya, satu hal
lagi. Aku bersyukur bahwa aku adalah seorang ageusic, karena
ketika Ibuku tidak bisa membelikan makan untukku, aku bisa
makan makanan sisa tanpa merasakan rasa yang tidak enak.
Dan setelah ayahku dan ibuku bercerai, aku akhirnya ikut
membantu Ibuku dalam mencari uang.” Aku merasa lega
sudah bisa mencurahkan isi hatiku kepada Dennis. Beban yang
tersimpan di hatiku juga baru saja terangkat.

“Itu terlalu berat untukmu, sayang. Kamu tidak perlu


bekerja lagi mulai besok. Kamu Sekarang adalah pacarku,
kamu berhak mendapatkan lebih dari seorang pelayan.
Bagaimana jika kamu menjadi asisten pribadiku? Ayahku akan

131
memberimu gaji yang besar. Aku berjanji akan memberimu
kebebasan, kamu berhak mendapat kehidupan yang lebih
baik. Percayalah kepadaku, kamu dan ibumu tidak akan hidup
dalam kesusahan lagi.” Sorotan mata dia begitu meyakinkan.
“Mintalah ibumu untuk datang dan tinggal disini. Aku akan
menyiapkan kamar kosong buat kamu dan ibumu.” Perintah
Dennis dengan nada yang sungguh bossy.

“Tapi…” aku kehilangan kata-kata. Sangat bersyukur


terhadap apa yang dikatakan Dennis. Tetapi juga tidak ingin
merepotkannya.

“Aku ingin kau tinggal disini, bodoh.” Katanya kasar


tapi masih imut. “kamu harus keluar dari rumah yang sekarang
kau tinggali dan tinggal disini. Tentang ibumu, ia juga boleh
memberhentikan pekerjaannya dan mulai menikmati hidup,
aku akan bertanggung…” aku langsung terbang ke dia di dalam
pelukan sebelum dia menyelesaikan kalimatnya dan dia
menderita sesaat sebelum dia mengelak. Sepertinya aku
terlalu kencang memelukinya

“Terima kasih Dennis! Aku mencintaimu!” aku


mencium pipinya.

“Sama sama, sayang! Aku juga mencintaimu!”

132
Reuni

*Sudut pandang Joy, setelah perlombaan


menggambar

Aku merasa senang karena aku bisa bertemu dengan


Cessy di situasi seperti ini. Yang lebih mengejutkan, dia juga
menggambar lukisan yang sama persis seperti aku. Dari ini,
aku tau jika dia merindukan aku seperti aku merindukan dia.
Aku bersyukur karena sudah memilih gambar untuk mengisi
kekosongan aku ketika dia baru pindah waktu itu.

Setelah pengumuman pemenang, kami mendapatkat


peringkat pertama. Yay! Selanjutnya, orangtuaku mengajak
Cessy dan orangtuanya untuk makan malam di rumahku,
tentunya kami tidak melupakan Daniel. Ibuku mengenalkan
Daniel kepada Cessy dan mereka sepertinya terlihat dapat
menjalin komunikasi dengan baik walaupun Cessy tidak dapat
berbicara.

Kami sedang duduk dimeja makan menunggu Ibuku


yang sedang mengambil masakan dari dapur, aroma masakan
yang sangat wangi memasuki rongga hidungku. Ku tau
makanan sudah mendekat. Ibuku keluar dari dapur membawa
makanan kesukaanku sesuai dugaanku.

“Cessy, Daniel itu pacarnya Joy.” Ibuku


memperkenalkan status yang tidak jelas. Aku mengangkat
mataku dan melihat ke Ibuku yang sudah melihatku duluan.
Semacam ekspresi mengejek merangkak menuju wajahnya,
aku menahan tatapannya lalu menggeleng gelengkan
kepalaku dengan cepat.

133
“Teman.” Aku mengoreksi perkataan ibuku, dengan
pandangan miring ke arah Cessy sebelum menghadap kembali
ke Ibuku. Ternyata semua orang yang berada disana
memerhatikan reaksiku setelah Ibuku mengatakan hal
tersebut. Semuanya lalu tertawa dengan kecil, kecuali Daniel.
Iya, ini bukan hal yang lucu untuk mengatakan bahwa kami
adalah teman. Tetapi, ini kenyataannya. Maksudku, apakah
dia tidak terganggu ketika Ibuku bicara tentang hal ini?

Cessy masih tertawa, ia menggerakan tangannya


berusaha untuk menyampaikan sesuatu. Ibunya
mendengarkannya dan membantu Cessy untuk
meyampaikan.

“Cessy bilang Joy dan Daniel terlihat cocok berdua.”


Aku menyipitkan mata melihat Cessy, lalu memikirkan hal
untuk mengganti topik ini.

“Terima kasih,” jawabku tergesa-gesa. “Dia sudah


menjadi temanku semenjak kita SMP, sayang sekali tidak ada
kamu waktu itu. Jika ada kamu, kita pasti akan menjadi tiga
teman terbaik.” Aku mengatakan hal tersebut untuk
menghindar dari kesalahpahaman. Tetapi di sisi lain, aku juga
takut Daniel akan sedih. Aku lihat ke Daniel, ekspresi wajahnya
tercampur dengan muka yang bete dan merasa sedih.

“Joy, kita…” Daniel mengatakan sesuatu tapi aku


potong.

“Cessy, aku akan kenalin kamu ke teman aku sebelum


kamu balik ke kota mu ya. Apakah kamu bisa memberikan
waktumu besok?” Aku mengedip satu mata aku,
mengharapkan dia mau. Cessy mengangguk kepalanya dan

134
senyum kepadaku. Aku merasa lega sekali. Setelah itu, kami
tidak lagi membahas tentang status Daniel dan aku.

Malam itu setelah makan malam, aku, Daniel, dan


Cessy bermain permainan keluarga di kamarku. Kami sudah
main beberapa ronde dan aku selalu menjadi si kalah.
Akhirnya aku tidak mau main lagi.

“Udah ah! Malas kalah mulu!” aku mengoceh.

Kedua dari mereka tertawa atas ketidak


beruntunganku. Tidak lama kemudian, orangtua Cessy
memanggilnya untuk turun karena hari sudah malam. Aku
melihat wajahnya yang mengatakan bahwa ia masih ingin
disini. Dia berada di kamarku sampai ibunya datang ke
kamarku untuk menarik dia keluar dari kamarku. Dia masih
terlihat sangat lucu sampai sekarang. Aku menanya kepada
Ibunya apakah dia boleh menginap di kamarku namun Ibunya
tidak mengizinkannya karena takut dia menggangguku. Lalu,
Cessy keluar dari kamarku dengan muka yang sungguh
menyedihkan yang semua orang akan tidak ingin melihatnya.

135
Canggung

Setelah Cessy keluar dari kamar, aku melihat sekilas ke


Daniel dan dia memberikan seulas senyum. Lalu aku hanya
bisa mengembalikan senyumannya dengan tegang. Iya,
berada di kamar berduaan dengan lelaki yang aku cintai
sungguh bukan hal yang biasa, suasana ini sangat canggung.
aku tidak bisa tetap fokus pada apa yang ingin ku lakukan dan
ku berharap dia segera keluar, atau memecahkan keheningan
dengan berbicara.

“Hey, Joy.” Dia melakukan apa yang kupikir dia akan


lakukan

“Ya?” aku menjawabnya masih dengan


kecanggungan.

“Apakah kamu benar-benar tidak setuju ketika ibumu


menjodohkan kita? Aku akan sangat kecewa jika kamu
menjawah iya.” Tanya Daniel terus terang membuat ku
tercengang.

“Hmm…, ya… tidak sepenuhya tidak setuju sih….


Hanya saja, hmm…, kita kan tidak sedang pacaran. Aku hanya
mengatakan sejujurnya.” Aku jawab dengan terbata-bata.

“Kalau begitu, bolehkah aku mengklarifikasi


perasaanmu? Apakah kamu... mencintai ku?” Dia menatap
mataku dalam, membuat hatiku berdetak tidak beraturan.
Aku terdiam, menatap matanya dalam, mengharapkan
mulutku mengatakan sesuatu. Pikiranku bersorak iya tetapi
mulutku tidak mematuhinya.

“Bagaimana denganmu?” aku membalas pertanyaan.

136
“Bagaimana kalau kita mengatakannya bersama? Aku
hitung satu sampai tiga.” Aku setuju dengan sarannya, kami
kemudian hitung. Satu, dua, ti… dan tiba tiba terdengar suara
ayahku yang melayang sampai ke kamarku.

“Daniel, itu tidak baik untuk bermain di kamar


sendirian dengan seorang gadis.”

Tidak, Yah. Kamu menegur di waktu yang salah. Kami


sedang menukar jawaban tentang perasaan yang kami berdua
mengharapkan jawaban positif, pikirku dalam hati. Tidak
sampai lima detik, Ayahku mengetuk pintu kamarku dan
masuk tanpa menunggu jawaban.

“Daniel, hari sudah malam.” Kata ayahku tegas.

Ayolah, aku hanya ingin mendengar jawabannya. Aku


membuka mulut untuk memprotes “Hanya seben…” Tapi
Daniel memotongku “Iya, benar kata Ayahmu, hari sudah
malam. Aku seharusnya pulang” Daniel berdiri lalu mengambil
tasnya, menyiapkan diri untuk pulang. Ia jalan keluar ke arah
Ayahku, lalu membalikkan badan “Aku cinta kamu.” Dia
mengatakannya sedikit lebih kuat untuk memastikan aku
mendengarnya. Muka aku langsung terbakar sedetik
mendengarkan jawaban itu. Mulutku tidak bisa berhenti
tersenyum, dan tingkahku mulai aneh. Aku hanya sangat puas
atas jawaban dia.

“Aku juga” aku membisikkannya kepada diriku, tetapi


entah bagaimana, dia mendengarkannya.

137
Resmi

Pada hari berikutnya, Cessy sarapan di rumahku,


ibuku memasak untuk Cessy dan keluarganya. Setelah
sarapan, aku berencana untuk membawa Cessy ke café ayah
Daniel untuk memperkenalkannya kepada teman-teman
sesuai janjiku semalam.

Aku membuka pintu rumahku dan menyadari bahwa


Daniel berada di luar, yang kurasa adalah kejutan yang
menyenangkan. Segalanya menjadi canggung sejak kemarin
antara aku dan dia, aku sudah tidak bisa bertingkah normal
lagi.

“Hey,” dia melihatku dengan pandangan berbeda,


pandangan yang penuh cinta. Namun aku tidak bisa
melihatnya secara langsung, aku merasa dia menjadi lebih
ganteng dari biasanya dan itu sangat membuatku salah
tingkah. Aku mengalihkan pandangan ke sepatunya, yang
mungkin adalah tempat paling aman untuk menghindar
tatapan dia. Lalu aku mulai bicara.

“Hey, Dan.” aku terkejut dengan suaraku yang tenang


dan netral. “Apa yang membuat kamu berada disini pagi ini?”
tanyaku. Ia lalu melihat ke Cessy sebentar sebelum ia
membalas pertanyaanku “Cessy, bolehkah aku pinjam Joy
sebentar?” Cessy menggelengkan kepalanya, lalu
mengangguk. Daniel tersenyum lebar, kemudian menarik
tanganku untuk ke tempat yang lebih jauh dari rumahku,
tempat dimana bisa dilihat oleh Cessy namun tidak bisa
didengar oleh Cessy.

138
“Joy, aku bukan seorang pria yang romantis dalam
drama atau novel atau apa pun itu, tetapi sekarang, aku ingin
memberi tau ke kamu bahwa kamu adalah hal terbaik yang
pernah ku temui pada hidupku. Dan karena sekarang aku tau
perasaanmu kepada aku, aku ingin menanyakan sesuatu
kepada kamu.” Dia menghembuskan napas dengan tajam dan
suaranya menjadi rendah dan berat. "Maukah kamu menjadi
pacarku?"

Pipiku terbakar dan sudut-sudut mulutku terus


berusaha ke atas. Wajahku adalah pengkhianat yang berubah-
ubah. Daniel melihatnya dan mencerah, tetapi ketika aku tidak
mengatakan apa-apa, dia menarik leher bajunya dan
menundukkan kepalanya seperti aku sudah menolaknya.

Aku menghela nafas panjang. "Ya, aku terima."


Kebahagiaan mulai menggelegak melaluiku, membuatku sulit
untuk menjaga ekspresi wajahku.

Dia meraih tanganku dan berkata, "Terima kasih


sudah menerimaku sebagai pacarmu. Ayo kenalkan Cessy
pada temanmu.”

"Oke" aku bergerak melewatinya menuju Cessy dan


merasakannya berbalik ke arahku. Akhirnya aku membiarkan
diriku tersenyum lebar, dan ketika aku sudah mulai, aku tidak
bisa berhenti tersenyum.

“Kami sudah resmi berpacaran.” Kataku kepada Cessy.

139
Permintaan Maaf

"Ayo, Cessy," aku meraih tangannya dan berjalan ke


Café Sempurna bersama Daniel. Kami tidak banyak bicara
dalam perjalanan ke cafe, kami hanya saling melirik setiap 50
meter dan tersenyum dan tertawa, aku bahkan tidak tahu apa
yang membuat kami tertawa, namun kami hanya ketawa.

Akhirnya, setelah 20 menit tersenyum dan tertawa,


kami sampai di Cafe. Daniel membukakan pintu untuk kami,
"Ladies first" katanya. aku tidak tahu bahwa Daniel
sebenarnya adalah seorang pria yang memiliki sikap
gentleman. Dan baru tahu ini sekarang.

Begitu kami melangkah ke kafe, orang pertama yang


aku lihat adalah Dennis, yang merupakan teman baru bagi
Cessy. Aku melambaikan tangan padanya dan memintanya
untuk membawa kami ke tempat duduk meskipun Daniel ada
di sini.

"Selamat datang, teman-temanku! Dan kamu ...?" dia


memandang Cessy karena dia orang asing.

"Dia adalah teman baikku." Aku memperkenalkan.


menurutku, sahabat adalah kata yang tepat untuk
menggambarkan hubungan kami, dan aku yakin dia pasti juga
setuju dengan kata sahabat.

Dennis memberikan senyum ramah kepada Cessy dan


mengatakan “senang bertemu dengan Anda” dan Cessy
membalasnya dengan membungkuk dan tersenyum di
wajahnya.

140
Kami diantarin ke tempat duduk yang memiliki lima
kursi oleh Dennis.

“Empat sudah cukup.” Kataku, tidak terpikir bahwa


Dennis akan mengajak orang lain.

“Masih ada satu orang lagi.” Kata Dennis. Dan untuk


sesaat, aku menyadari bayangan Nana datang dari
belakangku, aku tidak terpikir orang yang datang itu adalah
dia, kuharap itu orang lain. Aku menoleh dan menyipitkan
mataku, dan ya. itu benar-benar Nana. Aku bisa melihat Cessy
menundukkan kepalanya untuk menghindari tatapan jahat
yang pernah diberikan oleh Nana dulu.

Nana duduk di sebelah Dennis sebelum kami


menyambutnya, dan dia terlihat sangat dekat dengan Dennis.
Mereka terlihat seperti pasangan, atau mungkin memang
demikian. Aku tergingat bagaimana dia mencintai Daniel lebih
dari siapa pun, dan berani melakukan apa pun untuk
melindungi cintanya termasuk membully aku. Lalu, apa yang
terjadi, Mengapa sekarang dia bersama Dennis? Pikiranku
penuh dengan tanda tanya.

Sebelum ada yang mulai berbicara, dia meminta maaf.

"Maaf, Joy." dia meminta maaf. Mataku berbinar


ketika aku merasa bahwa ini hanyalah akting untuk
mendapatkan perhatian dari Daniel atau Dennis, atau bahkan
sahabatku, Cessy. Namun, suaranya dan matanya sangat tulus
sampai sampai aku tidak dapat menemukan kesalahan dalam
aktingnya, ini sangat nyata. Kurasa aku harus memberinya
satu ronde sorakan dan tepuk tangan atas aktingnya itu. Dan

141
sebelum aku bisa mengeluarkan sepatah kata pun dari
mulutku, dia melanjutkan

“Aku sungguh-sungguh.”

Tidak, ini sangat nyata. Ekspresinya yang tulus


memaksaku untuk mempercayai kata-katanya meskipun
pikiran ku tidak mengizinkan. Dan entah bagaimana, pikiranku
menjadi mematuhi hatiku. Dan ya, pada akhirnya aku percaya
bahwa permintaan maafnya adalah tulus. Mungkin, aku telah
melakukan hal yang benar. Aku memalingkan pandangan ke
Cessy dan menangkap matanya menatapku berpikir 'siapa
dia?' atau 'apakah dia Nana?' atau 'mengapa saya dia meminta
maaf sekarang?' atau 'Apakah dia tahu siapa aku?' atau
'apakah dia temanmu?' atau saya tidak tahu. Hidup tanpa
komunikasi sangat susah untuk dipahami, dan aku kagum
karena Cessy dapat hidup sampai hari ini. Aku tidak membalas
Nana untuk menunggu penjelasannya.

Ruangan ini sunyi, hanya terdengar suara Nana yang


menjelaskan perminta maafnya itu. Nana menceritakan
segalanya dari awal, dari ketika kami berada di sekolah dasar,
tentang mengapa dia membully kami, tentang bagaimana dia
merasa bersalah kepada kami, tentang perceraian orang
tuanya, tentang bagaimana dia ingin melindungi Daniel,
tentang bagaimana Dennis selalu berada di sisinya, dan
tentang bagaimana ia berhasil move on dari Daniel dan jatuh
cinta pada Dennis. "Kurasa aku menjadi lebih bahagia
sekarang.

142
Aku mendengarkan semua kalimatnya dengan teliti
tanpa satu katapun terlewatkan dan aku pikir aku sudah mulai
bisa mengertiin dia.Aakhirnya, aku menjawab "Senang
bertemu denganmu, Nana" aku mengulurkan tanganku
padanya seolah-olah ini adalah pertama kalinya aku bertemu
dengannya.

Akhirnya, semuanya terceritakan. Kurasa aku bisa


tidur nyenyak dengan hati yang damai di dalam diriku karena
tidak ada orang yang dibenci lag sekarang. Dan kurasa hidupku
yang normal akan dimulai dari hari ini. Dari memiliki Cessy di
sisiku, dan sebuah kisah cinta untuk ditulis. Tentu saja, tidak
memiliki musuh juga menjadi salah satu bagian favorite aku
dalam menjalani kehidupan ini.

SELESAI

143
Epilog

Dennis menawari kami untuk makan makanan yang


dimasaknya, kami semua tampak senang karena kami bisa
makan makanan yang dimasak Dennis, kecuali Daniel yang
sepertinya tidak senang sama sekali. Aku tidak menyadari
bahwa Nana sedang menyeringai ketika Dennis menawarkan
untuk mencicipi masakannya sampai Daniel berkata, "Kau
tahu sesuatu, bukan? tentang rasa masakannya "Daniel
mengangkat salah satu alisnya, tetapi pertanyaan itu tidak
dijawab oleh Nana.

Ding! Bunyi suara bell menandakan makanan sudah


datang.

"Halo teman-temanku. Aku sebagai koki dari cafe ini


ingin teman-temanku untuk mencicipi rasa makanan yang
dimasak oleh aku. Aku akan memberikan suapan pertama
pada cintaku, Nana." Dennis memberikan makanan tersebut
kepada Nana, dan Nana memakannya dengan ekspresi yang
puas, membuat Cessy dan aku tidak sabar untuk mencicipi
masakannya.

"Selanjutnya, aku ingin memberikan ini pada abangku,


Daniel!" Dennis tampak bersemangat memberikan makanan
kepada Daniel, dan anehnya Daniel terlihat takut untuk
mencicipi makanannya. Dia hanya meletakkan makanan di
atas meja tanpa melihatnya. Saatnya bagi Cessy dan aku untuk
mencicipi makanannya. Kami sangat senang, jadi begitu
Dennis memberi kami makanan, kami langsung melahapnya.

Sebelum makanan kami hancur di dalam mulut kami,


kami memuntahkan makanan itu bersama-sama. Wajahku

144
berubah menjadi hijau seolah-olah aku baru saja makan
sampah, dan Cessy tidak jauh berbeda denganku. Dia tersedak
oleh makanan tersebut.

Tidak ada orang di sana yang menawarkan air kepada


Cessy dan aku, "Segelas air dong!" aku berteriak. Lalu, seorang
pelayan datang membawa segelas air ke Cessy dan aku.

"Bagaimana rasanya, Nona?" Dennis mengangkat


suaranya dan membuatnya menyeramkan seperti seorang
pedofil ketika bertemu seorang anak.

Rasa ini sangat tidak enak. Ini adalah makanan


terburuk yang pernah ku makan. Kalau saja aku bisa kembali
ke hari sebelumnya, aku bahkan tidak mau menyentuh
makanan ini. Itu adalah semua kalimat yang ada di benakku
ketika Dennis bertanya bagaimana makanannya, tetapi tidak
mungkin aku menjawab apa yang baru sajaku pikirkan.

"Oke, Dennis. Kamu melihat bahwa aku sudah


memuntahkannya, jadi kurasa kamu tau jawabanku. Sekarang
aku juga tau mengapa Daniel tidak ingin mencicipi makanan
kamu. Dan untuk Nana, aku tau kalau kamu berpacaran
dengan Dennis. Tapi, seharusnya kamu mengatakan
sejujurnya kepada Dennis tentang rasanya sebenarnya
daripada memberikan ekspresi puas seperti kamu baru saja
makan makanan paling enak di dunia. Ekspresi kamu sudah
menipu Cessy dan aku." Aku mengerutkan hidungku karena
masih merasa jijik atas rasa makanan tersebut.

Cessy mengangguk untuk menunjukkan pemikiran


yang sama denganku, dan mendorong makanan untuk Dennis.
Tiba-tiba semua orang mulai tertawa. Aku kebingungan.

145
Apakah mereka mengerjain diriku? Tapi ada apa dengan
ekspresi Nana barusan, atau hanya makanan Cessy dan aku
yang mengerikan? Banyak tanda tanya muncul dipikiranku.

"Joy, masakan Dennis adalah makanan paling enak


yang pernah kurasakan, aku tidak berbohong." dia menjawab.
"Aku bahkan rela makan masakannya setiap hari. Dan jika
kamu tidak percaya padaku, aku akan memakannya
sekarang." Nana mengambil makananku dan memakannya
dengan lezat di depanku. Ya aku akui. Melihatnya makan,
membuat aku ingin makan juga. Tapi, gak mungkin aku
membiarkan diriku jatuh ke dalam lubang yang sama lagi.

"Yang benar aja Nana, aku tidak percaya kalau kamu


memiliki kemampuan untuk memakan rasa makanan seperti
itu. Jangan-jangan kamu memiliki indera perasa yang berbeda
atau jangan-jangan kamu bahkan tidak memiliki indera
pencicip?!" Aku tertawa, tidak pernah bermaksud untuk
mengejeknya. Juga tidak tau kalau indera perasa dia tidak
berfungsi. Dia tidak membalas dengan langsung, tetapi
menatap Dennis dengan mata berbinar. Dia kemudian
menganggukkan kepalanya dengan cepat, dan mengedipkan
matanya berulang-ulang. "Kamu benar, Joy! aku tidak memiliki
indera perasa." dia mengumumkan dengan keras.

"Eh?" Aku kebingungan. Tidak mungkin, dia ternyata


adalah seorang yang difabel juga. Aku tidak tau apakah aku
seharusnya merasa bahagia atau simpati untuknya.Tiba-tiba,
Dennis meminta pelayan untuk datang dan berbisik
"Sekarang." Kemudian, tidak lebih dari 2 detik, semua pelayan
datang dan memasang spanduk ditembok. Namun, Dennis

146
meminta kita semua untuk menutup mata sebelum spanduk
itu selesai. Dan sekarang, spanduk telah selesai.

“Semuanya, buka mata kalian.” Dennis


memerintahkan. Kami semua membuka mata kami dan
melihat spanduk besar bertulisan Selamat datang di kelompok
kami, kelompok Sempurna.

147
Ucapan Terima Kasih

Terima kasih terdalam kuucapkan untuk kedua


orangtua ku yang sudah melahirkanku dan membesarkanku
dengan cara yang luar biasa baiknya sehingga aku bisa
bertumbuh dengan sehat. Karena tanpa kalian orangtuaku,
aku bukanlah apa-apa.

Terima kasih juga kuucapkan kepada Ibu Wa Ode


selaku dosen aku, karena tanpamu, buku ini tidak akan ada.
Terima kasih telah memberikan tugas ini dan dukunganmu
yang tidak pernah berhenti. Terima kasih sudah menjadi
dosen yang baik, aku akan selamanya berterima kasih
kepadamu.

Kepada Kenji, teman OMB aku, terima kasih sudah


membantu aku dalam pembuatan cover novel aku dengan
deskripsi yang tidak banyak kuberikan, namun kamu mampu
menggambarkan novelku dengan penuh arti.

Yang terakhir, terima kasih untuk para pembaca.


Terima kasih sudah memilih buku ini untuk menemani kalian.
Aku akan selalu senang berbagi ceritaku kepada kalian.

148
Tentang Penulis

Jennifer Oktavia adalah


salah satu mahasiswi yang
menempuh pendidikannya
di Universitas Multimedia
Nusantara yang biasanya
dipanggil J.O. Lahir di kota
kecil Indonesia bernama
Tanjungpinang pada 02 Juni
2001. Jennifer mempunyai
hobi untuk menceritakan
suatu cerita kepada teman dan keluarga. Hingga suatu hari ia
memutuskan untuk menulis Novel. Novel pertama yang ditulis
oleh Jennifer berjudul Sempurna.

Untuk mengenal Jennifer lebih dekat, kalian bisa


mengunjungi akun Instagrammnya yang bernama
@Jenniferoktavia

149
150
151

Anda mungkin juga menyukai