Anda di halaman 1dari 12

Aku Bukan Sampah Mereka

Namaku Ayin, aku senang, aku bahagia, aku tidak merasa


sedih sedikitpun, aku tidak mempunyai masalah, aku bebas,
benar-benar bebas. Tapi orang-orang menganggapku sebaliknya,
dan orang-orang salah, aku bahagia, sangat bahagia.
Ayahku bernama Mahmud, biasa dipanggil Pak Mahmud,
beliau adalah seorang pemalas, kerjanya hanya tidur, makan,
tidur, tidur, dan tidur. Ayahku selalu menyuruhku untuk bekerja,
setiap sore dia selalu meminta uang hasil kerjaku. Walaupun
seperti itu, aku bahagia, sangat bahagia.
Ibuku bernama bu Yanti, beliau sangat baik kepadaku dan
tidak pernah memarahiku, kata-katanya halus setiap berbicara
denganku. Ibu sangat sayang kepadaku, dan beliau pasti sangat
sayang kepada ayah. Walaupun ayah seperti itu, ibu tetap sabar
dan bangga mempunyai suami seperti ayah. Begitu juga denganku,
aku bahagia, sangat bahagia.
Disuatu pagi aku terbangun, aku bergegas untuk shalat
shubuh dan bersiap-siap untuk bekerja, saat itu jam dinding
menunjukan pukul 5.00 WIB, aku keluar mengambil karung dan
keliling kota untuk mencari sampah. Langkah demi langkah aku
selalu mengingat nama tuhanku, berdzikir menyebut nama yang
maha kuasa. Tak satupun tempat sampah yang tidak aku

kunjungi, aku memilih sampah mana yang bisa dijual dan mana
yang tidak.
Tak jauh dari rumahku berdiri sebuah madrasah. Aku ingin
sekali sekolah, aku ingin sukses, aku tidak mau seperti ayahku,
stres karena tidak mendapat pekerjaan. Setiap hari aku pasti ke
sana

untuk

mencari

sampah,

bahkan

aku

menyempatkan

waktuku untuk mengintip di sela-sela jendela ketika mereka


sedang belajar. Aku memahami bahwa belajar itu tidak mudah,
butuh konsentrasi yang tinggi dan tidak memikirkan apapun
selain fokus, fokus, dan fokus kepada pelajaran.
Akibat terlalu fokus kepada pelajaran, aku lalai dari tugas
utamaku yaitu mencari sampah yang bisa dijual. Jika aku
membawa sedikit uang ketika pulang, ayah pasti marah dan
memaki-makiku. Kenapa ayah selalu memaksaku untuk bekerja?
Padahal masih banyak kesempatan untuk sukses, bukan dengan
cara mencari dan menjual sampah, tetapi belajar dengan serius.
Aku mencari sampah di sekitar kota. Ketika di depan
sekolah, aku melihat banyak motor parkir berbaris di depan
sekolah. Aku masuk ke dalam sekolah. Dari depan gerbang
tampak sebuah masjid berdiri kokoh di hadapanku. Aku keliling
mencari tempat sampah, mengambil sampah yang bisa dijual.
Setiap di depan kelas pasti ada tempat sampah, aku dekati tempat
sampah itu sambil mengintip ke dalam kelas melalui jendela.
Murid-murid di sana sering melihatku, bahkan guru pun sampai
memerhatikanku. Aku memerhatikan pelajaran. Tapi aku tidak
kuat hingga air mata menetes di kelopak mataku. Aku benar-benar

ingin sekolah, tapi takdir berkata lain, aku tidak diperbolehkan


sekolah. Aku pergi keluar madrasah, mencari sampah kembali.
Langit tepat di atas kepala. Adzan berkumandang dari
masjid yang cukup megah. Waktu dzuhur telah tiba, waktunya
aku beristirahat. Aku berjalan mendekati masjid, menahan rasa
panas

yang

menimpa

tubuhku.

Aku

melihat

orang-orang

berpakaian putih dan memakai peci berjalan santai menuju


masjid. Banyak sendal berbaris di depan masjid, akupun melepas
sepasang sendal bermerk swallowku disana.
Air masjid adalah air yang paling segar yang pernah aku
temui. Aku berwudlu dengan air itu, merasakan kesegaran yang
membasuhi wajahku. Tahap demi tahap aku basuh organ-organ
yang harus dibasuh, yaitu tangan, mulut, hidung, wajah, rambut,
telinga sampai kaki.
Aku berdoa. Aku meminta kepada Allah SWT supaya
dimudahkan dalam segala urusanku, supaya aku bisa bersekolah
seperti anak-anak remaja lainnya, supaya aku bisa menggapai
cita-citaku, dan membahagiakan orang tuaku.
Waktu dhuhur pun telah berlalu, aku melanjutkan tugas
utamaku yaitu mencari sampah yang bisa dijual. Ada tempat
sampah di kotaku yang bentuknya sangat aneh, aku kesulitan
untuk

memilih

sampah

di

dalamnya.

Tempat

sampah

itu

berbentuk kerucut, tepatnya berbentuk seperti piramida dengan


ujung yang tidak lancip. Ukuran tinggi dari tempat sampah itu
tidak jauh berbeda dengan tinggi badanku. Aku memanjat tempat

sampah itu untuk melihat isi di dalamnya. Aku melihat sesuatu.


Aku melihat sebuah kertas merah seperti uang seratus ribu. Aku
ingin sekali mengambilnya. Aku berusaha menjulurkan tangan
kananku, berharap uang itu dapat kuambil. Badanku bergetar,
aku tidak kuat. Aku tidak bisa mengambilnya. Aku terjatuh. Aku
masuk ke dalam tempat sampah.
Ternyata itu hanya uang mainan. Aku tertipu oleh uang
mainan. Bentuknya mirip sekali dengan uang asli, tapi mau
bagaimana lagi, itu hanya uang mainan.
Tak ada yang menolongku. Aku berteriak meminta tolong
tapi tak ada yang mendengar. Mungkin semua orang tuli sehingga
tidak mendengar teriakanku, atau suaraku yang terlalu kecil
untuk

mereka

dengar.

Aku

mengamuk

dan

menggoyang-

goyangkan tempat sampah, dan memukulinya berharap ada


seseorang yang mendengar.
Hari mulai sore, matahari turun perlahan-lahan di ufuk
barat. Aku masih berada di dalam tempat sampah. Terdengar
suara mobil besar berhenti di dekatku. Tak salah lagi, ini adalah
mobil petugas sampah. Mereka kaget. Aku ada di dalam tempat
sampah. Aku pun ditarik ke atas dan keluar dari tempat sampah.
Segar rasanya udara di luar. Walaupun tidak sesegar udara di
perdesaan, setidaknya lebih segar dari udara di dalam tempat
sampah.
Ayah pasti sangat marah jika aku tidak membawa banyak
uang. Aku benar-benar lalai. Aku tidak bisa menggunakan

waktuku dengan sebaik-baiknya. Tapi, ini kan kecelakaan, aku


terperangkap di dalam tempat sampah. Ini bukan salahku, Ini
adalah kecelakaan. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah,
sepanjang jalan aku terus berusaha membersihkan mukaku yang
penuh dengan percikan sampah dari tempat sampah. Sesampainya
aku di rumah, aku disambut dengan kemarahan ayahku yang
gusar, menanyakan uang hasil kerjaku hari ini. Aku hanya
terdiam menunduk, aku mencoba menjelaskan kejadian yang
menimpaku hari ini. Ayah maaf, aku tidak bisa mengumpulkan
uang seperti biasanya, hari ini aku tertimpa musibah, aku jatuh
ke dalam tempat sampah, Ayah maafkan aku, ujarku. Ahh
banyak alasan, dasar pemalas!, balas ayah (Ayah memegang
lengan bajuku dan menyeretku keluar rumah). Ayah mengunciku
di luar rumah, ia tidak membolehkanku tidur di dalam rumah,
menurut ayah aku pantas mendapatkan hukuman ini agar tidak
ada lagi alasan bagiku untuk tidak mendapatkan uang.
Tak ada yang bisa dilakukan oleh ibu. Ia memberanikan diri
untuk berbicara kepada ayah. Ayah, tolong biarkan anak kita
masuk dan tidur di kamarnya, sudahlah maafkan dia, lagi pula
kejadian yang menimpanya hari ini adalah musibah, tolong
biarkan ia masuk, ujar ibu (dengan nada yang merintih)
Sudahlah kau jangan ikut campur dengan urusanku hari ini, ini
adalah pelajaran untuknya agar tidak menjadi anak pemalas,
balas ayah (dengan nada menggertak). Ayah tetap tidak mengubah
keputusannya, sikapnya yang keras kepala membuatku menderita
dan aku pun tidur semalaman di luar rumah.

Keesokan harinya aku terbangun dan kembali bersiap-siap


untuk mencari sampah. Aku mulai menyusuri tempat-tempat
sampah dan memilah sampah mana yang bisa dijual. Karungku
hampir terisi
menjelang

penuh dengan botol-botol

sore,

aku

putuskan

gelas plastik.

Hari

menimbang

hasil

untuk

memulungku ke tempat pengiloan. Sesampainya di sana, sampahsampahku ditimbang, usahaku itu dinilai Rp. 20.000. Aku
bergegas pulang ke rumah. Aku cukupkan untuk hari ini.
Sesampainya di rumah, aku memberikan uang hasil memulung
kepada ayahku, Ayah aku dapat Rp.20.000 hari ini, ujarku.
Ya..ya..taruh uang itu di meja dan pergi kau sana, ujar ayah
dengan ketus. Aku langsung membersihkan tubuhku dengan
guyuran air, dan melanjutkan untuk shalat maghrib. Disetiap
lantunan doaku aku berbisik kepada Allah, Ya Allah ya Rabb ku,
kuatkan hatiku, jadikan aku anak yang sholeh, anak yang
berguna bagi keluargaku. Itulah lantunan doaku dibalik kerasnya
hidup. Nak, sudahkah kau makan?, Ibu bertanya dari celah
pintu kamarku. Belum bu, baiklah aku akan makan, ujarku.
Aku bergegas untuk makan, tudung saji pun kubuka, aku hanya
menemukan nasi dan ya.. hanya garam. Aku dan keluargaku
biasa memakan nasi dengan garam. Sedih? Oh tidak, aku
bersyukur karena lidahku masih bisa merasakan asinnya garam.
Setelah

shalat

isya

aku

bergegas

untuk

beristirahat,

dan

menyiapkan tenaga untuk menjemput rezekiku esok hari.


Keesokan harinya, aku menjalani hari seperti biasanya. Aku
memulai memilah sampah di sekolah MAN 1 Kota Serang, tiba-tiba

salah seorang guru datang menghampiriku. De, apakah kamu


tidak bersekolah, saya perhatikan setiap hari kamu selalu
memulung sampah di sekolah ini?, ujar guru itu. Tidak Bu, saya
tidak bersekolah, saya hanya memulung sampah dan menjualnya
setiap hari, apakah saya tidak boleh memulung di sekolah ini lagi
Bu?, ujarku. Oh tidak tidak, bukan begitu, mari Nak ikut ibu ke
ruang kepala madrasah, ujarnya.
Akupun memasuki ruangan kepala madrasah, aku bertemu
dengan kepala MAN 1 Kota Serang, pak Amrudin. Ia menyuruhku
untuk duduk di kursi tamunya, Berapa usiamu saat ini Nak?,
tanya pak kepala madrasah. Usiaku 15 tahun Pak, ujarku.
Mengapa kamu tidak bersekolah, dan mengapa kau memulung
sampah? Apakah orangtuamu masih ada?, tanya pak kepala
madrasah. Ekonomi keluargaku tidak mendukungku untuk
bersekolah Pak, ayahku pengangguran dan ibuku hanya ibu
rumah tangga, jadi akulah yang menjadi tulang punggung
keluarga, ujarku. Kau ingin bersekolah Nak?, tanya pak kepala
madrasah. Ya Pak, aku sangat ingin bersekolah, ujarku. Baiklah
mulai besok kau resmi menjadi siswa di madrasah ini, untuk
seragam dan buku bisa kau ambil sekarang, ujar pak kepala
madrasah sambil menepuk bahuku. Sungguh Pak? Aku boleh
bersekolah di sini?, ujarku dengan mata berkaca-kaca dan penuh
duka

cita.

Aku

langsung

bersujud

syukur

dan

merintih.

Terimakasih ya Allah terimakasih atas kasih sayangmu, ujarku.


Iya

Nak,

belajarlah

dengan

giat

jadilah

murid

yang

membanggakan untuk madrasah ini, pulanglah Nak beritahu

kedua orangtuamu, ujar pak kepala madrasah. Iya Pak, baik


Pak, aku akan segera pulang, terimakasih Pak, aku sungguh
berterimakasih, ujarku. Akupun berlari sambil menangis bahagia.
Sesampainya di rumah, Bu..Ibuuuuuu Ayahhhh, dengan
mimik gembira dan tergesa-gesa. Ada apa Anakku?, ujar ibu,
ayahku hanya memandangku saja. Ibu, Ayah, tadi aku ke
madrasah tempat aku biasa memulung sampah, ada salah satu
guru menghampiriku dan menyuruhku ikut dengannya ke ruang
kepala madrasah, saat aku bertemu dengan kepala madrasah, aku
ditanya-tanya oleh beliau, mengapa aku tidak bersekolah dan
mengapa aku memulung sampah, aku kemudian menjawab dan
menceritakan dengan sejujur-jujurnya, setelah aku bercerita ia
langsung berkata kepadaku bahwa aku boleh bersekolah di sana
dan

menjadi

bersekolah

salah
bu,

satu

siswanya,

ujarku.

Ayahku

mulai

besok

langsung

aku

bisa

memotong

pembicaraanku dengan ibu, Tidak! untuk apa kau bersekolah?


sekolah tidak menghasilkan uang! Lebih baik kau bekerja itu
menghasilkan uang! Tidak ada kata sekolah dalam hidupmu!
Jangan bermimpi!, ujar ayahku dengan marah. Ayah aku mohon
Ayah, ini adalah impian terbesarku, aku mohon Ayah, aku bisa
bekerja setelah aku pulang dari sekolah, aku janji Ayah, ujarku
dengan merintih. Tidak! Dasar anak keras kepala!, balas ayah
sambil pergi meninggalkanku. Aku berlari sambil menangis
menuju kamarku. Pokoknya aku harus bersekolah besok! Apapun
keadaanya aku harus mengejar mimpi terbesarku itu, aku akan
mengambil resiko sebesar apapun!, akupun berjanji pada diriku
sendiri.

Keesokan harinya aku bersiap-siap berangkat ke sekolah,


seragam, sepatu, topi, dan dasi sudah melekat di tubuhku, buku
pelajaran sudah ku bawa, pagi itu ayahku masih tertidur, aku
langsung meminta izin kepada ibuku dan pergi ke sekolah.
Akupun menginjakan kaki untuk yang pertama kalinya di MAN 1
Kota Serang. Sebagai murid, ini adalah langkah awalku untuk
menyusun impianku. Bel masuk pun berbunyi Teeeeettttttt, aku
segera memasuki kelasku, di sana aku bingung harus duduk di
mana, semua mata tertuju kepadaku, aku gugup, aku hanya
tertunduk sampai ada guru yang datang menghampiriku dan
menuntunku ke depan kelas, bu Agustina namanya, ia adalah wali
kelasku, Ayin, ayo perkenalkan dirimu kepada teman-temanmu,
ujarnya. Hai teman-teman, namaku Muzayyin Arifin, usiaku 15
tahun, alamat rumahku di Taktakan Indah, ujarku dengan
gugup. Bu Agustina menyuruhku duduk di bangku paling
belakang seorang diri. Pelajaran pertama yang ku pelajari ialah
fisika, waw sangat asing aku mendengar namanya, aku mulai
membuka lembar pertama halaman buku, semuanya asing di
fikiranku. Listrik Statis, Baiklah anak-anak sekarang kita lihat
materi pertama, agar lebih paham coba kalian kerjakan soal lasis
1-5, ujar bu Agustina. Aku hanya tertunduk dengan fikiran
kosong tak mengerti, aku benar-benar tak mengerti, bagaimana
caraku untuk menjawabnya. Lebih baik Aku mengistirahatkan
fikiranku, dibanding harus memikirkan soal yang sama sekali aku
tidak mengerti. Aku pun melipat tanganku di atas meja sebagai
bantal untuk alas kepalaku, aku tertidur, ya aku tertidur. Tak

lama di dalam mimpiku, aku mendengar suara pukulan kayu


sangat kencang Paaakkkkk, aku bingung, aku sedang bermimpi.
Ternyata itu bukan mimpi, melainkan itu adalah suara
pukulan meja yang dihasilkan dari tangan bu Agustina, ya bu
Agustina membangunkanku dengan penuh amarah, Ayin ini
adalah hari pertamamu masuk sekolah, mengapa kau sudah
bermalas-malasan dengan tidur di kelas!, ikut ibu ke ruang BK!,
ujar bu Agustina. Akupun mengusap mataku dan menyesali
kejadian itu, bodohnya aku sampai aku mengabaikan kesempatan
bersekolah, seharusnya aku tidak tidur. Aku pun mengikuti bu
Agustina ke ruang BK, sesampainya di sana, Ayin mengapa kamu
tidur di kelas, bukankah ini hari pertamamu masuk sekolah?,
tanya bu Juju selaku guru BK. Maafkan saya Bu, saya salah, saya
sangat menyesali ini Bu, maafkan saya, ujarku. Apakah kau
bekerja lagi sampai kau kelelahan saat di sekolah?, tanya bu
Juju. Tidak Bu, maafkan saya Bu, saya janji tidak akan
mengulangi perbuatan tercela ini, saya minta maaf Bu, ujarku
sambil merengek. Baiklah, kali ini ibu maafkan, tetapi jangan
sampai terulang lagi, manfaatkanlah kesempatan terbaikmu ini
Ayin, semangatlah dalam mengejar impianmu, jangan sampai kau
menyesal karena kau melewatkan kesempatan ini, ujar bu Juju.
Aku hanya tertunduk dengan penuh penyesalan, aku pun kembali
ke kelas dan melanjutkan hari-hari ku di sekolah. Hari demi hari
aku bersekolah, semakin hari akupun semakin mengerti tentang
pelajaran, semakin hari aku pun termotivasi untuk menjadi yang
terbaik. Satu minggu berlalu, aku jalani hari-hariku bersekolah,

dan sepulang sekolah aku bekerja memulung sampah. Allah


memberiku kejutan terindah dalam hidupku, yaitu izin. Yaaa.
Ayahku mengizinkanku bersekolah tanpa harus bekerja, ayah pun
tersadar akan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin
keluarga, ia pun memutuskan untuk bekerja. Akhirnya Allah SWT
memberikan hidayah yang begitu luar biasa kepada ayahku, ini
adalah nikmat yang begitu indah, termakasih ya Rabb.
Tiga tahun berlalu, akupun sekarang sudah diambang
bangku kelulusan. Usahaku belajar dengan tekun akhirnya
membuahkan hasil yang sangat luar biasa, aku berhasil menjadi
siswa terbaik di MAN 1 Kota Serang, dan berhasil menduduki PTN
UI jurusan Teknik Kimia dengan menggenggam beasiswa yang
bisa dibilang memuaskan. Perjalanan hidupku penuh lika-liku,
penuh asam, basa, garam, hambar, dan juga manis. Aku
bersyukur aku bisa berduka dan bercita, terimakasih ya Allah,
skenario dan prosesmu begitu indah.

Anda mungkin juga menyukai