kunjungi, aku memilih sampah mana yang bisa dijual dan mana
yang tidak.
Tak jauh dari rumahku berdiri sebuah madrasah. Aku ingin
sekali sekolah, aku ingin sukses, aku tidak mau seperti ayahku,
stres karena tidak mendapat pekerjaan. Setiap hari aku pasti ke
sana
untuk
mencari
sampah,
bahkan
aku
menyempatkan
yang
menimpa
tubuhku.
Aku
melihat
orang-orang
memilih
sampah
di
dalamnya.
Tempat
sampah
itu
mereka
dengar.
Aku
mengamuk
dan
menggoyang-
sore,
aku
putuskan
gelas plastik.
Hari
menimbang
hasil
untuk
memulungku ke tempat pengiloan. Sesampainya di sana, sampahsampahku ditimbang, usahaku itu dinilai Rp. 20.000. Aku
bergegas pulang ke rumah. Aku cukupkan untuk hari ini.
Sesampainya di rumah, aku memberikan uang hasil memulung
kepada ayahku, Ayah aku dapat Rp.20.000 hari ini, ujarku.
Ya..ya..taruh uang itu di meja dan pergi kau sana, ujar ayah
dengan ketus. Aku langsung membersihkan tubuhku dengan
guyuran air, dan melanjutkan untuk shalat maghrib. Disetiap
lantunan doaku aku berbisik kepada Allah, Ya Allah ya Rabb ku,
kuatkan hatiku, jadikan aku anak yang sholeh, anak yang
berguna bagi keluargaku. Itulah lantunan doaku dibalik kerasnya
hidup. Nak, sudahkah kau makan?, Ibu bertanya dari celah
pintu kamarku. Belum bu, baiklah aku akan makan, ujarku.
Aku bergegas untuk makan, tudung saji pun kubuka, aku hanya
menemukan nasi dan ya.. hanya garam. Aku dan keluargaku
biasa memakan nasi dengan garam. Sedih? Oh tidak, aku
bersyukur karena lidahku masih bisa merasakan asinnya garam.
Setelah
shalat
isya
aku
bergegas
untuk
beristirahat,
dan
cita.
Aku
langsung
bersujud
syukur
dan
merintih.
Nak,
belajarlah
dengan
giat
jadilah
murid
yang
menjadi
bersekolah
salah
bu,
satu
siswanya,
ujarku.
Ayahku
mulai
besok
langsung
aku
bisa
memotong