Anda di halaman 1dari 7

NAMA : ARIS TYANTO ERIADI

NO ABSEN : 05
KELAS : IX-H

BERAKAR DURI BERPUNCUK CAHAYA

“Bukan memandang seberapa tinggi pangkat jabatanmu, bukan memandang seberapa besar
penghasilanmu. Selama itu halal dan baik asal mulanya tak perlu takut untuk maju. Hanya
orang yang tidak mengerti arti kehidupan jika ia memandang seseorang dari sesuatu yang
tidak harus dilihat. Selain kerja keras, usaha, dan hasil.”
Abiyyu Faizal Ramadhan, nama yang bapak dan ibu berikan ketika melihat dunia pertamaku.
Ayah pernah bilang, “kesuksesan hanya ada di tangan masing-masing setiap orang, Ayah dan
ibu hanya bisa berdoa sebaik mungkin untuk kamu yang terbaik. Ingat awali semua dengan
sesuatu yang baik, maka akan berujung baik pula.”
Ayah dan ibu mengajarkan banyak hal kepadaku. Mulai dari kerja keras, bertanggung jawab,
sampai hidup bersyukur, dan tidak melupakan kewajiban kepada sang maha kuasa.
Aku terlahir dari keluarga yang sangat sederhana, namun harmonis. Nyaman untuk tempat
keluh kesah hingga berbagi cerita.
Ayah bekerja sebagai kuli, dengan penghasilannya yang tidak tetap. Ibu hanya sebagai ibu
rumah tangga.
Pernah ibu bersih keras meminta bekerja, untuk menambah biaya kehidupan kami. Tapi ayah
melarang.
Dengan kondisi yang tidak memungkinakan membuat kami khawatir ketika ibu bekerja.
Ibu menderita penyakit gagal ginjal. Penyakit yang ibu derita sejak lama. Terkadang sedih
melihat kondisi ibu.
Harus bolak balik ke rumah sakit untuk kontrol ke dokter. Yang membutuhkan biaya cukup
mahal setiap bulannya.
Di sisi lain, aku ingin mencapai impian terbesarku, yaitu kuliah.
Namun dengan kondisi keuangan kami tak memungkinkan aku untuk meminta biaya kuliah
kepada ayah dan ibu.
Hingga aku memutuskan untuk kuliah secera diam-diam. Di selang waktu kuliah aku  bisa
bekerja untuk menambah sedikit beban kedua orang tuaku.
Aku memilih jurusan kedokteran, terinspirasi dari ibu yang sekarang sedang sakit-sakitan.
Sinar matahari masuk melewati sela-sela tirai yang membuatku terbangun dari tidur. Kulirik
jam yang menghiasi kamar kecil milikku, yang berukuan 2 x 1,5 m. Jam menunjukan pukul
06.00 AM Kondisi ibu semakin parah. Dan aku harus mengganti kan ibu untuk mengurus
rumah. Dari memasak, membereskan rumah, dan pekerjaan rumah lainnya.
Aku baru akan berangkat kuliah ketika semua pekerjaan rumah selesai. Aku harus berbohong
kepada ibu dan ayah akan keberangkatan kuliahku.
Tidak mau merepotkan mereka dengan memikirkan biaya kuliah. Dan aku memutuskan untuk
tidak memberi tahu mereka, hingga hari yang tepat untuk dibicarakan.
Hari semakin siang. Satu jam lagi aku harus berangkat kekampus.
Rumah yang sudah kubereskan, ibu yang sudah kuberi makan, dan Abiyya yang sudah
berangkat sekolah dari 3 jam yang lalu membuatku tenang untuk meninggalkan rumah.
Ayah sudah berangkat dari jam 05.00 subuh tadi. Kini waktunya aku bersiap-siap diri untuk
berangkat kuliah. Motor tua milikku sudah siap untuk berangkat. Hanya memerlukan waktu
25 menit untuk sampai dikampus.
Sesampainya di kampus, aku memarkirkan motor di sebuah tempat khusus motor. Dan
berjalan sedikit lebih cepat untuk ke kelas. Karena 25 menit lagi kelas akan dimulai.
Terdapat sekitar 15 orang yang sudah berada di ruangan. Terutama kedua teman akrabku,
Ahmad dan Deno.
Mereka sosok teman yang sangat mendukung apa yang aku impikan. Bahkan mereka tak
segan-segan untuk membantu.
Aku menghampiri mereka yang sedang asik berbincang. Ahmad yang menyadari
kedatanganku, langsung menyambut dengan senyum khasnya.
Begitu pula dengan Deno. Aku berjalan menuju sebuah kursi dekat dengan Ahmad dan Deno.
Seperti biasa aku jarang ikut campur akan pembicaraan mereka, dan memilih untuk membaca
beberapa materi kuliah. Mereka memahami sikapku yang seperti ini.
Tak kusadari kelas sudah ramai, dan buk Mela, dosenku sudah berada dalam kelas. Segera
aku menutup buku.
Bu Mela banyak membantuku, pernah iya membayar ongkos ke Makassar untuk mengikuti
lomba. Tanpa mengecewakan beliau, aku berhasil meraih juara pertama.
“Baik, hari ini saya akan memberi beberap materi untuk kalian rangkum dan presentasikan di
pertemuan besok. Kelompoknya yang sudah saya bagian pekan kemarin,” katanya dengan
antusias. Semua menjawab dengan semngat, berbeda dengan aku. Lagi lagi harus
mengeluarkan biaya untuk presentasi besok. Yang membutuhkan biaya cukup banyak.
Bu Mela keluar kelas dari 5 menit yang lalu. Dan aku masih asik mencatat materi yang telah
diberinya.
Ahmad dan Deno pulang lebih awal hari ini. Ada pekerjaan yang harus mereka lakukan.
Aku menyusuri koridor kelas. Terdengar hinaan-hinaan yang setiap hariku dengar.
Walaupun tak semua menghina tapi tetap saja membuat telingaku panas. Aku harus tetap
bersabar.
 “Itu kan si tukang becak bukan sih?”
“Eh ada tukang becak.”
“Hey, jangan kayak gituh, kasian tauk.”
“Diliat-liat kasian juga ya.”
Aku mempercepat langkah kaki, untuk tidak mendengarkan perkataan mereka. Ya, inilah
kehidupan sehari-hariku.
Tapi di sisi lain masih ada oarang yang mau mendukung dan menyemangatiku untuk terus
maju. Dengan perkataan mereka aku tidak boleh putus semangat untuk bekerja.
Dan menjadikan sebuah motivasi diri. Setelah ini aku memutuskan untuk kembali kerumah
dan langsung bekerja.
Sekarang aku berada di sebuah pangkalan becak. Namanya manusia, ada yang suka ada yang
tidak.
Bahkan di tempat itu aku masih harus mendengar perkataan mereka yang tidak menyukai
dengan apa yang aku kerjakan.
“Woi Faizal, kenapa lu kemaren gak ngebecak?” aku membalas dengan senyum. Kemarin
aku tidak bekerja karena sakit ibu sangat parah. Membuatku harus tidak bekerja, dan memilih
untuk merawat ibu.
“Kasian amat sih lu Faiz, napa gak bapak lu aja yang kerja. Harusnya lu tuh fokus kuliah
bukan kerja kayak gini.”
“Maaf, abang salah, tak setiap waktu ayah yang harus bekerja, di umurnya yang sekarang
seharusnya ayah tidak lagi merasakan lelahnya pekerjaan, dan merasakan masa tuanya. Saya
hanya meringankan pekerjaan ayah. Dan saya bersyukur bisa sedikit membantu ayah,”
jelasku.
Tono yang ku panggil abang itu hanya membalas senyum menyeringai. Dari pada
memperpanjang masalah, kuputuskan untuk menjauhi Bang Tono.
Pekerjaan dengan hasil yang baik membutuhkan kesabaran. Penumpang becakku hari ini tak
sebanyak penumpang kemarin. Tapi tetap aku harus bersyukur.
Sore menjelang malam ini aku harus kembali ke rumah. Masih banyak yang harus aku
kerjakan di rumah. Takut ayah belum kembali ke rumah.
Di perjalanan, aku menemukan seseorang bapak tua yang sepertinya membutuhkan bantuan.
Langsung aku mendekati bapak tersebut.
Ia tersenyum lesu kepadaku. Ada beberapa uang hasil pekerjaanku hari ini, baiknya
kuberikan setengah dari uangku itu.
“Bapak, saya punya beberapa sedikit uang untuk bapak. Tolong terima ya pak.”
“Te.. terima.. kasih nak, semoga kamu dipermudahkan dalam segala ujianmu,” kata bapak itu
dengan suara lemah.
“Amiin ya rabb,” aku pun langsung pergi kerumah. Mempercepat langkahku.
Percayalah sesuatu yang kita lakukan saat ini akan terbalas dikemudian hari. Yang tak pernah
kita duga-duga.
Jangan pernah merasa bahwa Tuhan tak adil, masih banyak manusia yang lebih tidak
beruntung darimu.
Dan Jangan karena masalah serta ujianmu itu menghalang kebaikan yang ada dalam diri.
“Assalamualaikum ibu, ayah?” Aku membuka pinu yang langsung disambut Abiyya dengan
tingkah bocahnya.
“Waalaikumsalam, kakak! Yey kakak udah balik. He.. he.. kayak biasanya,” ia menjulurkan
tangannya meminta uang dariku.
“Nih,” kuserahkan beberapa lembar ribuan kepada Abiyya.
“Hari ini kakak gak kasih sebanyak hari kemarin!” Ia sering meminta uang kepada ku, entah
buat apa. Tapi aku mendukungnya, karena setiap uang yang kuberi selalu ditabung.
“Nggak masalah kok, makasih kakak.”
“Sama-sama Abiyya!”
“Ibu di mana? Ayah udah balik?” Tanya ku kepada Abiyya
“Ibu ada kok di kamar. Ayah juga udah balik dari tadi,” aku membalas dengan anggukan.
Mengerti. Kuhampiri ayah dan ibu yang berada dalam kamar. Kucium pundak telapak tangan
mereka dan kupeluk ayah. Membayangkan betapa senangnya mereka ketika aku wisuda
nanti. Semoga saja itu terjadi.
“Nak, apakah baiknya kamu berhenti bekerja? Lanjutkan pendidikanmu saja. Insya Allah
ayah sanggup membiayai kuliahmu.”
Ayah ingin aku kuliah, dan berhenti bekerja. Uang yang kudapat dari hasil pekerjaanku
jarang ibu dan ayah ambil, bahkan menyuruhku untuk menabungnya.
“Ayah tak perlu repot-repot memikirkan kuliah, birkan aku bekerja yah, untuk membantu
keuangan keluarga. Toh aku anak pertama yang seharusnya membantu ayah, biarkan Abiyya
saja yang melanjutkan pendidikannya. Yah, bu kesuksesan itu banyak cara,” aku berusaha
membuat mereka mengerti.
“Tapi apakah kamu yakin akan terus-terusan seperti ini, tidak kuliah, dan harus bekerja?
Bahkan banyak orang yang menghinamu nak.”
“Abaikan saja apa yang mereka katakan. Kita cukup bedoa saja. Usaha tak akan bakal
menyiakan hasil.“
“Aku ke kamar dulu yah, bu,” aku langsung pergi ke kamar. Ayah yang tak bisa memaksa
keinginanku hanya bisa terdiam. Dan ibu tersenyum lesu.
Ayah, ibu memang tidak tahu akan kuliahku saat ini. Dan aku membiarkan itu berjalan
sendiri. Biarkan waktu yang memberi tahu mereka.
“Ya Rabb apakah pilihanku ini baik? Berbohong untuk tidak menyulitkan mereka apa kah ini
yang terbaik? Ya Rabb permudahkanlah semuanya,” kataku memohon.
Kuliah hari ini berjalan seperti biasa. Pamit kepada ibu dengan alasan keluar sebentar, teman-
teman yang masih tidak menyukaiku, dan presentasi yang berjalan sempurna.
Semua persiapan presentasi sudah siap tanpaku ketahui. Ahmad dan Denolah yang
mempersiapkan semuanya.
Aku berusaha mengganti biaya yang keluar untuk presentasi tapi mereka menolak. Lagi-lagi
mereka membantuku.
Hari ini aku bersama ke dua temanku pulang bersama. Saat kami berjalan ke arah tangga,
tiba-tiba seseorang memanggil namaku.
Aku menengok ke sumber suara. Ternyata Bu Mela yang memanggil. Aku langsung
menghampiri beliau.
“Iya bu, ada apa?” Tanyaku bingung.
“Saya ingin berbicara sesuatu sama kamu, apa kamu ada waktu sebentar?”
“Insya Allah ada,” aku menyuruh ke dua temanku untuk pulang duluan, karena tidak
mungkin mereka menemaniku untuk waktu yang lama.
Bu Mela membawaku ke cafe dekat kampus. Di situ kami berbicara. Sebelum membuka
pembicaraan, kami memesan beberapa makanan dan minuman.
Bu Mela yang mentraktir semua pesanan.
“Jadi saya mengajak kamu ke sini untuk memberi tahu sesuatu. Saya melihat potensi selama
kamu mengikuti perkuliahan. Saya melihat ada yang beda di diri kamu dari yang lain.
Semnagat kamu, kesabaran kamu, semua itu saya rasa baik dan berhak mendapatkan yang
seharusnya. Ada beasiswa untuk kamu. Untuk mempermudah kamu dalam keuangan
pendidikan. Terima ini sebagai penghargaan.” Aku diam terpaku. Benar kah?
“Ibu sudah banyak membantu saya, tapi saya tidak bisa membalas semua kebaikan ibu. Saya
merasa ber....”
“Saya ikhlas membantu, semoga ini membantu,“ lanjut Bu Mela.
“Sudah kesorean, sebaiknya kamu pulang. Takut ibu kamu mengkhawatirkanmu.”
“Baiklah, terima ksaih, Insya Allah saya tidak akan mengecewakan ibu.” Aku
mempersilahkan Bu Mela keluar terlebih dahulu. Barulah aku mengikutinya dari belakang.
Aku akan mencari angkutan umum saat Bu Mela sudah dijemput suaminya. Takut ada apa-
apa kalau aku pulang duluan. Berhentilah sebuah angkutan umum dihadapanku.
Segera aku memasukinya. Betapa bahagianya aku saat mendengar kabar yang disampaikan
bu Mela tadi.
Aku percaya ini hasil dari semua doa-doa kedua orang tua, dan orang-orag yang sayang
denganku.
Aku membuka gagang pintu rumah. Abiyya tak menyambutku hari ini, tidak seperti biasanya.
Rumah pun sepertinya kosong. Kemana ibu? Kemana Abiyya? Apakah ayah belum juga
datang?
Beberapa pertanyaan dan pikiran negatif terlintas dibenakku. Aku langsung  berlari ke dalam.
Benar-benar tidak ada orang. Lantas kemana semua orang?
Aku menyusuri semua ruangan, mencari ibu ataupun Abiyya. Perasaan tidak enak yang
kurasakan saat ini. Tiba-tiba seseorang menyentuh punggungku. 
“Ayah? Ibu di mana? Kenapa gk ada dirumah?” Ayah yang tiba-tiba datang membuatku
terkejut.
“Ganti bajumu, setelah itu ikut ayah.”
“Kemana? Ibu dimana yah?” Tanyaku lagi. Tapi ayah malah diam tak menjawab.
“Ayah tunggu di depan ya,” aku membalas dengan anggukkan mengerti.
Ayah membawaku ke sebuah tempat, yang belum aku ketahui. Kami menggunakan
angukatan umum. Aku yang belum berani bertanya hanya diam berpikir.
Tiba-tiba kami berhenti di rumah sakit. Aku dan ayah turun di sana. Memasuki sebuah
ruangan dengan nomor kamar 036.
Perlahan aku membuka knop pintu kamar. Terlihat perempuan lesu berbaring di atas kasur
dengan selang infus.
Mataku memerah, menahan tangis.  “Ibu? “ Abiyya yang mendengar aku memanggil ibu
menjawab dengan senyum hangat.
“Ibu sedang tidur kak, masuk lha,” ternyata mereka yang kucari-cari tadi ada di sini.
Sekarang aku belum dapat jawaban dari ini semua. Apa yang terjadi? Kenapa ibu ada di sini?
“Penyakit ibu semakin parah nak, dan kita sangat membutuhkan biaya untuk oprasi ibu.”
Jelas ayah dengan lembut. Aku terdiam, bagaimana ayah akan mendapatkan biaya untuk
oprasi ibu?
“Lha, lha.. kenapa? Tiba-tiba meluk ibu kayak gini?” Ayah yang membutuhkan jawaban
melihat wajahku bingung.
“Minggu depan aku wisuda!”
“Hah? Wisuda apaan? Kapan kamu kuliahnya? Ibu gak mengerti maksud kamu apa?”
“Ceritanya panjanggg bangeeettt. Intinya aku mau ibu sama ayah daateng ke acara
kelulusanku.”
Ibu mengeluarkan air mata bahagianya.  Air mata yang kutunggu sejak lama. Kupeluk
tubuh  ibu yang tiba-tiba disambut dengan pelukan ayah.
“Terimakasih ya rabb. Kau perlihatkan kepadaku sesuatu yang awalnya terlihat tak mungkin,
dan berujung nyata.”
Hari ini, hari wisudaku. Semua orang terlihat bahagia dengan kelulusannya. Dari semua
usaha yang tak akan mungkin menyiakan hasil.
Lantas tak semua mesti harus dipandang dari sisi pangkat ia berada, karena kesuksesan
tak membutuhkan itu.
Layaknya sebuah duri yang harus disingkirkan untuk menghilangkannya, dan tak mudah
bukan? Ya, seperti itu lah kehidupan. Tapi tidak perlu takut, kita akan mendapatkan hasilnya
nanti.

Anda mungkin juga menyukai