Anda di halaman 1dari 6

NAMA : FELICIA AURELLA RAMADHANI

KELAS : 1X-F
NO. UJIAN : 12-079-166-3

RONA KARMA ROMA

Pukul sebelas siang.


Stasiun kota sedang ramai-ramainya hari ini. Puluhan calon penumpang, pedagang asongan, bahkan
calo, hilir mudik menuju tujuan mereka. Aku sendiri akan pergi ke kota seberang, menemui kolega
guna keperluan bisnis. Di ujung stasiun terdengar suara peluit panjang, pertanda ada kereta yang
akan datang. Orang-orang segera memusatkan perhatian mereka pada kereta tersebut. Ada yang
memastikan bahwa itu adalah kereta yang akan mereka tumpangi, ada juga yang harap-harap
cemas, menunggu kedatangan seseorang. Aku menyaksikan semua rangkaian korelasi sistemik
tersebut dari dalam ruang tunggu VIP yang disediakan sambil bekerja menggunakan MacBook-ku
yang tiba-tiba berdenting. Menandakan ada pesan masuk.
Setelah kubuka, ternyata ada pesan dari klienku, menanyakan desain yang ia pesan. Sekadar
informasi, aku adalah seorang desainer kaos di sebuah distro milik temanku. Selain itu aku juga
membuka usaha sampingan dengan membuka orderan secara online. Jadi, kebanyakan klienku
hanya kenal secara maya, tanpa mengenal secara nyata. Bahkan klienku kali ini sama sekali tak
kukenal. Tiba-tiba saja ada pesanan masuk ke kotak masuk e-mailku. Nicknamenya pun asing,
hanya tertulis RM134. Demi kepuasan pelanggan, aku menyetujuinya.
Aku membalas pesan tersebut dengan permintaan maaf sebab belum bisa memenuhinya sekarang.
Selepas itu aku kembali tenggelam dalam lautan binarial yang sarat akan informasi. Mencari ada
peristiwa apakah hari ini. Kubuka portal berita langgananku. Di sana terpampang berbagai
informasi terhangat, mulai dari politik, ekonomi, bahkan gosip artis papan atas tanah air yang
sedang naik daun pun tak luput dari coretan kuli tinta.
Beberapa saat kemudian, laptopku berdenting lagi. Ada balasan masuk. Klienku meminta
penggantian konsep kaos pesanannya. Ia menginginkan perubahan konsep, ingin lebih islami,
katanya. Aku menimbang sebentar, lalu menuliskan balasan. Aku menyetujuinya.
Gegara pesan tersebut, aku teringat pekerjaanku. Keinginanku mencari berita lenyap dalam sekejap.
Sejurus kemudian, aku sudah mengetikkan kata kunci pencarian kata-kata islami. Beberapa menit
memilah, aku bimbang, rasanya tak ada yang pas.
“Bisa lebih spesifik nggak ya mas? Islaminya yang kayak gimana?” Daripada ragu, kutanyakan saja
kepada RM134.
Sementara itu, kereta yang akan kunaiki sudah datang. Suara peluitnya membuyarkanku yang tak
kunjung menemukan inspirasi. Kututup MacBook-ku, dan bargegas kulangkahkan kaki keluar.
Kerumunan orang-orang mulai memenuhi pinggiran rel. Mereka sama sepertiku, menumpang kereta
yang sama, namun dengan isi hati yang berbeda-beda.
Dalam kereta, kubuka kembali laptopku. Aku tak bisa tenang kalau pekerjaanku tak tuntas.
Kutelaah lagi, mana kata yang pas, mana yang tak pas. Sejenak berlalu, balasan yang kutunggu tak
kunjung bertalu. Di benakku berkecamuk berbagai hal saat ini.
Kalian tahu? Aku lebih suka menaiki kereta ketimbang moda transportasi yang lain. Entah kenapa,
bagiku terasa lebih efisien. Selain tak ada macet, di dalamnya juga kutemukan sebuah ketenangan
yang tak bisa kurasakan di tempat lain. Dan kali ini, untuk perjalanan bisnis, aku sengaja memilih
kelas eksekutif. Tak apalah mahal sedikit, yang penting nyaman.
Ping! Balasan itu akhirnya datang jua. Ia ingin kata yang bertema ilmu, katanya. “Baiklah.”
Balasku. Kulihat lamat-lamat laptopku. Aku merenung. Otakku memasukkan berbagai variabel
pencarian pada memoriku. Lalu setelah mengerucut, sebuah jargon muncul, memaksa untuk diingat.
“Bil Adab Tafhamu al Ilma,” kata tersebut langsung menyeretku bak pusaran kencang yang
membawaku ke kenangan masa silam. Masa di mana aku masih mondok di pesantren dulu. Sebuah
kisah yang mungkin menjadi titik balik kehidupan sepasang sahabat. Mereka tak menyadarinya, -
tapi aku- ingat betul. Hari ini, pukul dua belas, di dalam kereta. Bayangan sebuah kisah menari-nari
di pikiranku. Sementara itu, tempias air mulai menitikkan eksistensinya, membuat jendela telihat
seperti media kanvas abstraksionalnya.

6 tahun yang lalu…


Suara azan maghrib menggema di masjid pondok. Aku bersama kedua teman karibku, Durohman
dan Dulkamdi, bergegas melangkahkan kaki menuju tempat peribadatan yang konon dibangun oleh
leluhur pengasuh pesantren kami, sebelum diuprak-uprak oleh bagian keamanan yang bertugas.
Begitupun ratusan santri yang lain, yang mungkin memiliki perasaaan sama dengan kami. Langkah
mereka terlihat dinamis, mantap dan bersemangat.
“Bro, nanti ngopi ya..” ajak Roma, sapaan akrab Durohman kepada kami berdua.
“Kapan?” tanyaku memastikan.
“Abis ini langsung…” jelasnya sambil mengedipkan mata.
“Siap bos,” jawabku tanpa pikir panjang. “Kamu gimana Dul?”
“Aku.. Mmmm.. ngaji,” jawabnya seperti bimbang.
Di antara kami bertiga, Dulkamdi-lah yang paling rajin perihal urusan belajar-mengajar. Seringkali
ia menolak ajakan ngopi kami dengan alasan mengaji atau belajar. Ia sadar betul, ia dikaruniai otak
yang pas-pasan. Sehingga mau tak mau ia harus belajar ekstra keras. Aku bahkan sering tengah
malam menjumpainya duduk sendirian di depan asrama, menghafalkan pelajaran esok hari. Berbeda
dengan Roma yang sekali melihat langsung hafal. Ia memang punya semacam photographic
memory, kemampuan menghafal sekali lihat, seperti kamera. Dan pada malam ini, ketika kami
mengajaknya membolos, lagi-lagi ia menolak, bilang bahwa ia ingin mengaji sajalah.
“Lah… ngapain ngaji kalau yang mulang nggak kompeten..” Roma nyerocos begitu saja. Kami
membolos memang bukan tanpa alasan. Kami bolos karena pada pengajian kali ini, yang mengajar
adalah Pak Salimin, guru yang di-haters-i mayoritas santri. Bahkan ia memiliki julukan sendiri di
mata kami, para santri mbedhik -yang mulutnya kayak cabai, sekali menggojlok minimal harus
sampai membuat objek gojlokan menangis- yaitu “Bongkrek”.
“Emang siapa yang mulang, Ma?” tanyaku tak ingat.
“Biasalah.. Bongkrek.” Sahut Roma datar.

Dulkamdi nampak tak enak sebab menolak ajakan Roma. Terlebih setelah melihat raut wajah
karibnya itu berubah. Sementara itu, iqamat telah dikumandangkan dari masjid. Kami shalat dengan
kecamuk di benak masing-masing.
Selepas shalat kami berpisah. Aku dan Roma langsung menuju ke belakang masjid, sedang
Dulkamdi balik ke asrama. Saat ngopi, topik pembahasan kami tak jauh-jauh dari Pak Salimin, itu
pun Roma yang memulai, sementara aku lebih banyak diam.
Persahabatan kami bertiga memang bisa dibilang ‘unik’, sebab sifat Roma dan Dulkamdi yang
cenderung berseberangan. Dulkamdi dengan segala ketaatannya, Roma dengan egois-liberalisnya.
Sedangkan aku menjadi semacam penengah antara keduanya. Meski begitu, kami saling
menoleransi satu sama lain dalam banyak hal. Kami paham, teman terdekat pun tak selalu
sependapat dengan diri sendiri.
Hari berhitung hari, bulan berbilang bulan, tahun merajut tahun. Kelulusan ada di depan mata.
Dulkamdi masih rajin, otaknya juga masih pas pasan. Sedangkan Roma, ah, ia semakin menggila.
Setelah ia mendapat juara di kelas tahun lalu, ia semakin tak karuan. Semakin bad. Sekarang tak
hanya Pak Salimin yang ia rasani, namun hampir seluruh ustadz yang ia anggap tidak
berkredibilitas. Yang paling parah, kemarin waktu kami ngaji di ndalem abah Yai, ia membuat
beliau tersinggung, atau bahkan sakit hati sebab ucapannya. Maksudnya memang baik, ia ingin
mengkritik kebijakan pengasuh yang -menurutnya- otoriter. Di depan teman sekelas, berapi-api ia
matur pada abah Yai, bilang jika ia tak setuju dengan kebijakan beliau, tanpa menggunakan etika
sama sekali. Seakan-akan ia lupa sedang berbicara kepada siapa.
Setelah ia selesai berbicara, abah Yai yang rona wajahnya terlanjur merah padam langsung
mengakhiri pengajian saat itu. Beliau duko, marah. Bahkan Roma sampai didiamkan hingga saat
ini, beberapa bulan setelah kejadian itu. Aku yang tak pernah lelah mengingatkan sohib-ku itu
hanya mengelus dada. Pasrah dengan perilakunya sekarang. Apalagi Dulkamdi, ia hampir tak peduli
dengan Roma sekarang. Seperti ada tembok penghalang antara mereka. Persahabatan kami
renggang, berada dalam ambang kehancuran. Dulu, ketika tiap kali bertemu kami langsung akrab,
sekarang menjadi acuh tak acuh. Aku sampai lelah sendiri mencari topik pembicaraan, saking
pendiamnya dua orang tersebut ketika bertemu.
Hari wisuda semakin dekat, tinggal menghitung minggu. Aku yang bertugas meng-handle berbagai
urusan, hampir tak pernah beristirahat. Selalu sibuk. Mengurangi waktu ngopi tiap harinya.
Kalaupun ada kesempatan, aku lebih memilih untuk istirahat. Bahkan, beberapa hari ini aku tak
bertemu dengan kedua sobatku. Aku tak tahu begaimana keadaan mereka. Maklum, kami berbeda
asrama. Intinya, mulai beberapa waktu lalu hingga entah kapan, mungkin hingga seluruh rangkaian
acara kelulusan selesai, kami sibuk dengan urusan masing-masing.
Beberapa hari kemudian, seluruh acara kelulusan sukses kami jalani. Tepat setelah malam terakhir
acara, mereka berdua kupaksa ‘damai’. Aku tak ingin pergi dengan meninggalkan permusuhan.
Setidaknya, bila bertemu baik-baik, harus berpisah baik-baik pula. Saat itu, di bawah cahaya bulan
yang terlihat lebih besar daripada biasanya, -mungkin supermoon-, mereka berdamai untuk berpisah
sebentar lagi. Setelah itu, kukatakan kepada mereka, bahwa aku ingin bekerja. Membantu kedua
orangtuaku yang sudah sepuh. Mereka kutanyai, akan kemana setelah ini. Dulkamdi menjawab,
bahwa ia ingin mengabdi di sini. Menjadi pengajar atau apapun itu, yang penting mengabdi,
katanya. Roma pula, ia ingin kuliah ke luar negeri. Dengan otak cerdasnya, itu sangat mungkin. Ia
bisa dengan mudah memperoleh beasiswa. Dan kami tertawa bersama malam itu. Tawa yang
mungkin masih lama lagi akan terulang.
Dengan semangat kuselesaikan pekerjaanku di atas kereta. Kukirimkan lay-out-¬nya kepada
RM134. Ia setuju. Mengajak bertemu seminggu lagi. Ingin mengajakku bisnis, katanya. Aku
menyetujuinya. Sementara itu, kereta telah sampai pada tujuannya. Peluitnya lagi-lagi
membuyarkan anganku. Kutengok arlojiku, jarum menunjukkan angka empat. Aku turun, mencari
penginapan terdekat. Setelah lima jam perjalanan, aku butuh istirahat.
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa. Setelah bertemu klien hari itu, aku kembali tenggelam
dalam pekerjaanku. Dan seminggu kemudian, sesuai yang dijanjikan, aku bertemu dengan RM134.
Di kafe yang cukup terkenal, ia menemuiku. Kau tahu yang tak biasa? Aku terpaku saat menemui
orangnya. Tubuhku membeku, tak percaya dengan diriku sendiri. Mataku tak berkedip, mulutku
menganga. Kaget mengetahui siapa sebenarnya RM134. Sementara ia hanya tersenyum, seperti
sudah menduga.

Aku bertemu Dulkamdi.


Penampilannya jauh berbeda ketimbang dulu. Kalau dulu ia bersarung samarinda yang sudah sangat
tipis, berbaju takwa yang sudah kucel dan menguning, sekarang ia tak kalah dengan pengusaha
yang sering muncul di televisi. Necis, gagah dan terlihat ‘sukses’. Tak perlu menunggu lama untuk
mencairkan suasana. Kami langsung berpelukan setelah sekian lama tak bertemu. Hanya soal
waktu, setelah kami duduk, ia bercerita bahwa dulu, sewaktu ia menjadi pengurus di sana, ia diutus
abah Yai menjaga toko milik pondok yang berada di seberang jalan. Ia yang pasrah sepenuhnya ikut
saja pada abah Yai, meskipun ia sendiri tidak suka dengan pekerjaannya, sebab tak bisa belajar.
Namun siapa tahu, sekarang ia telah menjadi pemilik puluhan toko yang, tanpa kusadari, sering
kukunjungi. Ia sukses sekarang. Setidaknya karena barokah abah Yai, katanya semangat. Dan ia
mengajakku ke sini menawarkan kerjasama denganku. Ia ingin membuka distro untuk ekspansi
imperium bisnisnya. Ia tahu kalau aku seorang desainer, makannya tadi ia tak kaget sepertiku saat
bertemu.

Tapi bukan hanya itu saja yang membuatku tecengang.


Sewaktu kami berbincang seru, minuman yang kami pesan datang. Aku yang tidak terlalu peduli
hanya menoleh sekilas, mengucapkan terima kasih. Tapi tidak dengan Dulkamdi. Ia terdiam
seketika melihat si pengantar. Setelah beberapa langkah menjauh, ia memanggilnya kembali. Ia
terpaku melihatnya berdiri di samping meja kami. Aku pun juga. Meskipun sudah tumbuh cambang
di sana-sini, aku tetap mengingat pandangan itu, mata itu.
Waitress itu adalah Roma. Kali ini ia sama terkejutnya dengan kami. Sebuah kebetulan yang benar-
benar tak terduga. Setelah ia pulih dari keterkejutannya, ia buru-buru berbalik ke belakang, malu.
Namun sebelum langkahnya terayun, kucekal tangannya. Ia yang terlanjur ‘tertangkap basah’
akhirnya duduk. Ia terlihat sangat rikuh, segan. Ia beralasan bahwa ia takut dimarahi bosnya.
Dulkamdi serta merta berdiri, lalu berjalan cepat menuju pria paruh baya yang dari tadi mengawasi
Roma. Ia terlihat berbincang akrab dengan bos-nya Roma. Beberapa saat, perbincangan itu diakhiri
dengan anggukan.
Dulkamdi kembali duduk. Bilang kepada Roma bahwa ia sudah mengizinkannya kepada bos-nya.
Lalu dengan sendirinya, Roma menceritakan keadaannya. Setelah ia lulus dulu, ia memang
berangkat ke Mesir. Di sana, kata Roma mengawang, ia tak paham apa yang dijelaskan dosennya.
Berbeda dengan keadaannya sewaktu di pondok silam. Dua tahun di sana, karena nilainya terus
menurun, pemerintah mencabut beasiswanya. Ia yang tak mempunyai pengalaman kerja sama sekali
terlunta-lunta menggantungkan hidup pada orangtua. Ia terpaksa dideportasi karena tak memiliki
uang.
Tak lama setelah kepulangannya, kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan. Ia mau tak mau
harus bertahan hidup dengan segala kemampuannya. Akhirnya, ia bekerja di proyek pembangunan
jalan tol di ibukota. Tak mampu bekerja keras, ia dipecat. Ia kembali terkatung-katung menghadapi
kerasnya kehidupan. Ia pulang di kampung halaman dengan tangan hampa. Kemudian, berbagai
usaha ia rintis demi memenuhi kebutuhannya. Namun semuanya gagal, hingga pada akhirnya salah
satu temannya yang kasihan menawarinya bekerja di kafe ini, katanya menutup cerita.
Meja kami berubah menjadi tempat reuni dadakan. Kami saling berbagi cerita, saling bertukar
nomor, dan berjanji akan bertemu lagi beberapa hari lagi. Kami tertawa lepas malam itu. Akhirnya
tawa kami bisa terulang lagi setelah bertahun-tahun tak terdengar. Kemudian kami berpisah. Aku
pulang mengendarai Mustang GT-ku dengan gamang. Belum hilang heranku, melihat kenyataan
yang ada. Bagaimana Roma, si jenius yang menjadi harapan bangsa malah mengecewakan.
Sedangkan Dulkamdi, yang hanya dianggap sebagai underdog, remeh-temeh, malah menjadi sang
‘juara’. Jika kita hanya mengandalkan logika dan rasio belaka, hal tersebut sangatlah susah untuk
dipercaya. Namun seringkali kita lupa, bahwa manusia pandai memprediksi semata. Kita lupa
bahwa di tempat yang tak bertempat, ada sebuah kekuatan absolut yang melebihi segala kekuatan
nisbi manusia. Yang dengan mudah menimbulkan irasional menurut akal manusia. Ialah kekuatan
Tuhan.
Semakin jauh Mustang-ku berlari, anganku makin membumbung tinggi. Semakin dalam kurenungi,
benang merah terus kucari. Hingga akhirnya aku menemukan satu titik. Seperti yang telah
kutuliskan di desain kaos pesanan Dulkamdi. Benarlah kata pepatah Arab tersebut. “Bil Adab
Tafhamu Al Ilma”, hanya dengan etika-lah kau bisa memahami ilmu. Dan ilmu bukan hanya
sekedar halal-haram. Lebih dari itu, ilmu ialah setiap sesuatu yang membuat kita lebih dekat dengan
Tuhan, termasuk etika dengan ‘orang dekat’nya Tuhan.
Sebagai penutup, malam ini, aku menemukan sebuah pelajaran hidup yang tak ternilai dari dua
sahabatku sendiri. Tentang bagaimana etika, karma, dan logika adalah hal-hal yang terkadang
sinkron, terkadang kontras. Hal-hal yang tidak memiliki kepastian. Pesanku, ber-etika-lah, niscaya
hidupmu akan bahagia. Itu bukan sebuah kepastian, tapi lebih dari itu, sebuah keniscayaan.
Mustang-ku semakin cepat lajunya. Di atas sana, setelah pertemuan kami, supermoon
menggantungi angkasa bak anak kecil yang menggelayut manja.

Anda mungkin juga menyukai