KELAS : 1X-F
NO. UJIAN : 12-079-166-3
Dulkamdi nampak tak enak sebab menolak ajakan Roma. Terlebih setelah melihat raut wajah
karibnya itu berubah. Sementara itu, iqamat telah dikumandangkan dari masjid. Kami shalat dengan
kecamuk di benak masing-masing.
Selepas shalat kami berpisah. Aku dan Roma langsung menuju ke belakang masjid, sedang
Dulkamdi balik ke asrama. Saat ngopi, topik pembahasan kami tak jauh-jauh dari Pak Salimin, itu
pun Roma yang memulai, sementara aku lebih banyak diam.
Persahabatan kami bertiga memang bisa dibilang ‘unik’, sebab sifat Roma dan Dulkamdi yang
cenderung berseberangan. Dulkamdi dengan segala ketaatannya, Roma dengan egois-liberalisnya.
Sedangkan aku menjadi semacam penengah antara keduanya. Meski begitu, kami saling
menoleransi satu sama lain dalam banyak hal. Kami paham, teman terdekat pun tak selalu
sependapat dengan diri sendiri.
Hari berhitung hari, bulan berbilang bulan, tahun merajut tahun. Kelulusan ada di depan mata.
Dulkamdi masih rajin, otaknya juga masih pas pasan. Sedangkan Roma, ah, ia semakin menggila.
Setelah ia mendapat juara di kelas tahun lalu, ia semakin tak karuan. Semakin bad. Sekarang tak
hanya Pak Salimin yang ia rasani, namun hampir seluruh ustadz yang ia anggap tidak
berkredibilitas. Yang paling parah, kemarin waktu kami ngaji di ndalem abah Yai, ia membuat
beliau tersinggung, atau bahkan sakit hati sebab ucapannya. Maksudnya memang baik, ia ingin
mengkritik kebijakan pengasuh yang -menurutnya- otoriter. Di depan teman sekelas, berapi-api ia
matur pada abah Yai, bilang jika ia tak setuju dengan kebijakan beliau, tanpa menggunakan etika
sama sekali. Seakan-akan ia lupa sedang berbicara kepada siapa.
Setelah ia selesai berbicara, abah Yai yang rona wajahnya terlanjur merah padam langsung
mengakhiri pengajian saat itu. Beliau duko, marah. Bahkan Roma sampai didiamkan hingga saat
ini, beberapa bulan setelah kejadian itu. Aku yang tak pernah lelah mengingatkan sohib-ku itu
hanya mengelus dada. Pasrah dengan perilakunya sekarang. Apalagi Dulkamdi, ia hampir tak peduli
dengan Roma sekarang. Seperti ada tembok penghalang antara mereka. Persahabatan kami
renggang, berada dalam ambang kehancuran. Dulu, ketika tiap kali bertemu kami langsung akrab,
sekarang menjadi acuh tak acuh. Aku sampai lelah sendiri mencari topik pembicaraan, saking
pendiamnya dua orang tersebut ketika bertemu.
Hari wisuda semakin dekat, tinggal menghitung minggu. Aku yang bertugas meng-handle berbagai
urusan, hampir tak pernah beristirahat. Selalu sibuk. Mengurangi waktu ngopi tiap harinya.
Kalaupun ada kesempatan, aku lebih memilih untuk istirahat. Bahkan, beberapa hari ini aku tak
bertemu dengan kedua sobatku. Aku tak tahu begaimana keadaan mereka. Maklum, kami berbeda
asrama. Intinya, mulai beberapa waktu lalu hingga entah kapan, mungkin hingga seluruh rangkaian
acara kelulusan selesai, kami sibuk dengan urusan masing-masing.
Beberapa hari kemudian, seluruh acara kelulusan sukses kami jalani. Tepat setelah malam terakhir
acara, mereka berdua kupaksa ‘damai’. Aku tak ingin pergi dengan meninggalkan permusuhan.
Setidaknya, bila bertemu baik-baik, harus berpisah baik-baik pula. Saat itu, di bawah cahaya bulan
yang terlihat lebih besar daripada biasanya, -mungkin supermoon-, mereka berdamai untuk berpisah
sebentar lagi. Setelah itu, kukatakan kepada mereka, bahwa aku ingin bekerja. Membantu kedua
orangtuaku yang sudah sepuh. Mereka kutanyai, akan kemana setelah ini. Dulkamdi menjawab,
bahwa ia ingin mengabdi di sini. Menjadi pengajar atau apapun itu, yang penting mengabdi,
katanya. Roma pula, ia ingin kuliah ke luar negeri. Dengan otak cerdasnya, itu sangat mungkin. Ia
bisa dengan mudah memperoleh beasiswa. Dan kami tertawa bersama malam itu. Tawa yang
mungkin masih lama lagi akan terulang.
Dengan semangat kuselesaikan pekerjaanku di atas kereta. Kukirimkan lay-out-¬nya kepada
RM134. Ia setuju. Mengajak bertemu seminggu lagi. Ingin mengajakku bisnis, katanya. Aku
menyetujuinya. Sementara itu, kereta telah sampai pada tujuannya. Peluitnya lagi-lagi
membuyarkan anganku. Kutengok arlojiku, jarum menunjukkan angka empat. Aku turun, mencari
penginapan terdekat. Setelah lima jam perjalanan, aku butuh istirahat.
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa. Setelah bertemu klien hari itu, aku kembali tenggelam
dalam pekerjaanku. Dan seminggu kemudian, sesuai yang dijanjikan, aku bertemu dengan RM134.
Di kafe yang cukup terkenal, ia menemuiku. Kau tahu yang tak biasa? Aku terpaku saat menemui
orangnya. Tubuhku membeku, tak percaya dengan diriku sendiri. Mataku tak berkedip, mulutku
menganga. Kaget mengetahui siapa sebenarnya RM134. Sementara ia hanya tersenyum, seperti
sudah menduga.