Anda di halaman 1dari 4

Ubah Cara Pandang dan Bangun Masa Depan

Sore itu, seperti biasa sepulang sekolah aku berjalan melewati gang
kecil sebuah perumahan kumuh dekat sekolah. Suara canda tawa anak kecil
yang berlarian, kicauan para ibu-ibu yang bergosip tiada akhirnya dan
beberapa balita yang sedang mandi di luar sudah menjadi hal yang familiar di
mataku.

Kuceritakan sedikit, setelah kurang lebih 10 menit berjalan, di


seberang ujung gang terdapat dua tempat ibadah yang bersebelahan.
Sebuah masjid dengan arsitektur modern lengkap dengan dua menara dan
satu kubah di tengahnya yang berdiri dua setengah meter tepat di sebelah
kanan sebuah gereja katedral dengan ornamen yang memberikan kesan
megah pada bangunan dan tanda salib di atas menara gereja. Seringkali aku
tersenyum sendiri membayangkan seorang ustadz dan pendeta berjalan
bersama menuju tempat ibadah masing-masing tanpa saling mencela
keyakinan salah satu pihak. Bagiku itu lucu.

Setibanya di rumah, aku melihat sebuah mobil sedan putih bernomor


polisi kota Yogyakarta terparkir di depan pagar rumah. Mungkin ada tamu,
batinku. Sepasang suami-istri duduk di sofa ruang tamu sambil berbincang
dengan ayah, sesekali mereka tertawa renyah untuk hal-hal remeh.
Penampilan mereka terlihat casual namun tetap elegan. Tas bermerk dan
aksesoris yang dikenakan wanita itu menyilaukan mata. Jujur saja, aku tidak
suka dengan kehadiran mereka. Bukan karena penampilan mereka, tetapi
karena sepasang suami-istri itu mirip orang tionghoa.

Dua tahun yang lalu, saat masih duduk di bangku sekolah dasar, salah
satu teman sekelasku bernama Meilin, seorang keturunan tionghoa yang
sangat menyebalkan. Yang menjadi temannya hanya yang cantik, kaya dan
berkulit putih. Seakan-akan dialah pemeran utamanya dan yang lain hanya
tokoh figuran. Sejak saat itu aku tidak suka pada orang tionghoa seperti
Meilin. Melihat mukanya saja membuatku muak.

Daripada sibuk mengingat itu, lebih baik aku menatap layar


handphone-ku. Grup kelas ramai membahas rumor murid baru dari luar
negeri. Luar negeri? Amerika? Eropa? Inggris? Membayangkannya saja
keren, apalagi bertemu langsung. Bertampang kaukasoid, berambut pirang,
hidung mancung, mata lebar, ah, hampir sempurna, batinku. Bagiku ras
kaukasoid sangat menarik.

Keesokannya di sekolah, teman-teman sekelas masih ramai


membicarakan gosip tersebut. Aku memilih diam mendengarkan ocehan
sahabatku, Resha. Sesekali aku merespon dengan tertawa renyah atau
hanya menjawab “ohh” dan “iya”

Setelah istirahat pertama adalah pelajaran bahasa Indonesia, yang


berarti wali kelas tercinta kami, Bu Rina. Beliau memasuki kelas, sepuluh
menit kemudian dengan membawa seorang gadis berhijab, dan….. bermata
sipit. Ah, pasti ini murid baru itu, mengecewakan. Dan benar, dialah murid
baru itu, namanya Suyin, lahir dan dibesarkan di Beijing, ayah-ibunya asli
Indonesia, namun pindah ke Beijing setelah menikah karena urusan
pekerjaan. Benar-benar diluar angan-anganku. Ia mengatakan bahwa,
mesikupun tinggal di Beijing, namun dirinya dari kecil sudah diajarkan bahasa
Indonesia dan dikenalkan tentang budaya Indonesia. Apapun itu, tetap saja ia
mirip orang Tionghoa. Kemudian, Ia duduk tepat di depanku, lalu menyapa
ramah aku dan Resha dengan senyuman. Kubalas dengan anggukan kecil
dan sedikit tersenyum.

Sudah tiga hari kami berteman dengan Suyin. Kuakui, ia gadis yang
manis dan lugu. Entah sampai kapan ia akan tetap seperti itu dan kemudian
berubah menjadi seperti sikap Meilin yang menyebalkan. Dan hanya tiga hari,
ia sudah mendapat lima teman yang selalu mengajaknya ke kantin atau
sekedar berbincang. Dan itu cukup membuatku kesal.

Setelah dua setengah bulan kami berteman, belum ada yang berubah
dari Suyin, kecuali ia menjadi lebih ceria dari sebelumnya. Entah aku yang
selalu mencari-cari kesalahannya atau memang dia anak yang baik.

Pada jam olahraga, aku hanya duduk-duduk di kursi koridor,


menghadap lapangan dan melihat anak laki-laki bermain futsal. Tiba-tiba
Suyin menghampiriku dan duduk disebelahku. Ia berusaha mencari bahan
obrolan.

“aku tahu kamu tidak suka padaku daridulu. Aku tidak tahu alasannya
kenapa, tapi itu terlihat jelas dari raut wajahmu. Aku minta maaf jika aku ada
salah, aku harap kita bisa saling mengenal lebih baik lagi. Bukankah kita
teman?” jelas Suyin terang-terangan. Aku hanya tersenyum. Jujur, aku cukup
tersentuh dengan perkataan Suyin. Aku merasa bersalah dengan pikiran
burukku tentang Suyin.

“kita teman, kok. Bukannya tidak suka, tapi aku orangnya memang
kurang ramah dengan orang lain. Jangan salah paham” jawabku jujur.
Bahkan orang yang lahir dan dibesarkan di luar negeri, lebih paham tentang
kebhinekaan daripada aku.

Bisa dibilang, sejak saat itu aku menjadi lebih dekat dengan Suyin.
Dan aku tersadar, akulah peran antagonisnya, bahkan dalam ceritaku sendiri.
Aku terlalu dikuasai rasa benci dan ego. Sifat rasis yang harusnya dihindari,
justru malah kutanam dalam diriku. Dan pada akhirnya aku mengerti.
Mengingat bahwa Bhineka Tunggal Ika bukan hanya sebuah
semboyang bangsa Indonesia, namun sebuah kalimat pembangun hasrat
untuk membangun masa depan cerah dengan bersatu dan menghargai serta
menghormati sesama tanpa melihat latar belakang orang itu.

Namaku Sora, dan aku hidup dalam kebhinekaan.

~^~^~~~

Novisda Dwi Rachmadini

8A / 25

Anda mungkin juga menyukai