Sore itu, seperti biasa sepulang sekolah aku berjalan melewati gang
kecil sebuah perumahan kumuh dekat sekolah. Suara canda tawa anak kecil
yang berlarian, kicauan para ibu-ibu yang bergosip tiada akhirnya dan
beberapa balita yang sedang mandi di luar sudah menjadi hal yang familiar di
mataku.
Dua tahun yang lalu, saat masih duduk di bangku sekolah dasar, salah
satu teman sekelasku bernama Meilin, seorang keturunan tionghoa yang
sangat menyebalkan. Yang menjadi temannya hanya yang cantik, kaya dan
berkulit putih. Seakan-akan dialah pemeran utamanya dan yang lain hanya
tokoh figuran. Sejak saat itu aku tidak suka pada orang tionghoa seperti
Meilin. Melihat mukanya saja membuatku muak.
Sudah tiga hari kami berteman dengan Suyin. Kuakui, ia gadis yang
manis dan lugu. Entah sampai kapan ia akan tetap seperti itu dan kemudian
berubah menjadi seperti sikap Meilin yang menyebalkan. Dan hanya tiga hari,
ia sudah mendapat lima teman yang selalu mengajaknya ke kantin atau
sekedar berbincang. Dan itu cukup membuatku kesal.
Setelah dua setengah bulan kami berteman, belum ada yang berubah
dari Suyin, kecuali ia menjadi lebih ceria dari sebelumnya. Entah aku yang
selalu mencari-cari kesalahannya atau memang dia anak yang baik.
“aku tahu kamu tidak suka padaku daridulu. Aku tidak tahu alasannya
kenapa, tapi itu terlihat jelas dari raut wajahmu. Aku minta maaf jika aku ada
salah, aku harap kita bisa saling mengenal lebih baik lagi. Bukankah kita
teman?” jelas Suyin terang-terangan. Aku hanya tersenyum. Jujur, aku cukup
tersentuh dengan perkataan Suyin. Aku merasa bersalah dengan pikiran
burukku tentang Suyin.
“kita teman, kok. Bukannya tidak suka, tapi aku orangnya memang
kurang ramah dengan orang lain. Jangan salah paham” jawabku jujur.
Bahkan orang yang lahir dan dibesarkan di luar negeri, lebih paham tentang
kebhinekaan daripada aku.
Bisa dibilang, sejak saat itu aku menjadi lebih dekat dengan Suyin.
Dan aku tersadar, akulah peran antagonisnya, bahkan dalam ceritaku sendiri.
Aku terlalu dikuasai rasa benci dan ego. Sifat rasis yang harusnya dihindari,
justru malah kutanam dalam diriku. Dan pada akhirnya aku mengerti.
Mengingat bahwa Bhineka Tunggal Ika bukan hanya sebuah
semboyang bangsa Indonesia, namun sebuah kalimat pembangun hasrat
untuk membangun masa depan cerah dengan bersatu dan menghargai serta
menghormati sesama tanpa melihat latar belakang orang itu.
~^~^~~~
8A / 25