Anda di halaman 1dari 2

Senja

Hari semakin sore dan senja telah memperlihatkan keindahannya. Senja, ya aku suka
senja dari dulu. Langit dengan semburat sinar kuning kemerah-merahan membuat
bibirku melengkungkan senyuman dan ketika piringan matahari secara keseluruhan
hilang ditelan cakrawala. Hembusan angin membuat rambutku yang tergerai berayun-
ayun. Senja selalu bercerita tentang akhir dari sebuah perjalanan.
Dibalik indahnya senja ternyata ada seorang gadis yang sedang melamun dengan
tatapan kerinduan yang terpancar dari kedua matanya.
Di jalan menuju sekolah seorang gadis dengan seragam putih abu-abu berjalan
sendirian, sesekali dia tersenyum kepada teman-temannya.
“Selamat pagi Senja”
Sontak aku menatap kearah sumber suara,cowok beralis tebal tersenyum
kepadaku.Ya dia adalah sahabatku dari kecil, dan yang kalian perlu tahu tanggal lahir
kami sama.
“pagi” jawabku dengan sesungging senyum terindah.
“bareng kekelas yuk,senja” ucapnya merangkulku
“ayo” balasku dengan hati yang senang.
Cinta itu bisa datang kapan saja terkadang hati bingung untuk memilih cinta atau
persahabatan. Ya aku menyukainya sejak lama. Banyak suka duka yang kami alami.
Dalam perjalanan menuju kelas dia bercerita kalau dia menyukai seorang gadis dan
itu membuat aku cemburu.
“Senja aku mau bercerita.” Ucapnya dengan semangat.
“cerita apa?” balasku bingung melihat dia sesemangat ini.
“Aku menyukai seseorang, namanya Gadis dia sangat cantik.aku mau
mengungkapkan perasaan ini pada nya. Tapi aku takut kalau ditolak gimana?”
jelasnya.
Perasaanku berkecamuk mendengar pernyataan itu. Tidakkah dia tahu berapa sesak
nafasku mendengarnya. Tidak kah dia tahu berapa lama cinta ku kumpulkan untuk
kuberikan padanya. Tidakkah dia tahu betapa sungguh aku menyukainya. Ah,
bukankah dia memang tak pernah tahu.
“Asal niat kita tulus, ungkapkan saja apa yang mau kamu ungkapkan. Urusan ditolak
mah belakangan aja, yang terpenting kamu sudah berani mengungkapkannya.”
jawabku dengan senyum sekenannya dan terkesan dipaksakan.
Aku berada dalam situasi yang tidak mengungtungkan. Kedekatan kami yang terjalin
atas nama persahabatan memberikan batasan bahwa memang inilah hubungan yang
seharusnya terjadi. Tak lebih. Bahkan hanya untuk sekedar egois sebab perasaan ini
pun sepertinya terlarang.
“Kamu benar. Makasih ya kamu udah mendengar curhatanku dan ngasih solusinya.”
ucap dia sambil memelukku
Pelukan yang hampa. Seharusnya aku bahagia mendengarnya. Bukankah sahabat
sejati akan bahagia jika sahabatnya bahagia. Ah itu retorika yang terlalu sulit
kupahami. Kini aku berada dalam sebuah paradoks perasaan yang sangat
mengganngu jalannya akal sehatku.

Selepas sekolah tak seperti biasanya kami pulang bersama. Hari itu aku ingin sendiri.
Ya, benar-benar sendiri. Aku berjalan, berlari, menjauh dari kenyataan pahit bahwa
perasaan yang kupendam selama ini harus kukubur mati bersama luka.
Diujung senja, dalam penantian menuju akhir pagi pun akhir dari penantianku untuk
mengatakan bahwa aku suka akan dia. Garis pantai dengan deru ombak
menertawakanku. Di ujung senja, aku sendiri. Terpaku, termenung dengan semua
rasa yang telah tersusun rapi dan kini berantakan. Sebab aku tak punya sedikit saja
keberanian untuk berterus terang. Tapi aku takut.
Biarlah deru ombak menertawakanku, biarlah batu dermaga ini jadi saksi dan biarlah
kucurahkan semua rasa ini pada tulisan. Bukankah selama ini tulisan lah yang
menjadi pundak tempat aku bersandar dari lelahnya rasa ini. Biarlah ombak, batu
dermaga, diaryku, dan senja yang tahu bahwa aku mencintainya.
Jakarta,26 September 2019

Anda mungkin juga menyukai