Anda di halaman 1dari 4

BERJALAN TANPA PETA MENUJU LAUTAN MASA DEPAN

Karya: Afri Alisa Arta

KETIDAKPASTIAN akan masa depan membuat kebanyakan orang berhati-hati


dalam memilih jalan. Pada kenyataannya, hidup ini memang akan selalu berporos pada
setiap jalan yang kita telusuri. Dalam prosesnya kadang ada luka, kadang kecewa, dan
kadang juga tersesat ke arah jalan yang salah. Tidak apa-apa, masa depan memang
harus diraih, walau jerih, walau perih.

Banyak perasaan yang tidak bisa dijabarkan ketika diri ini mulai beranjak ke jenjang
kedewasaan. Saat itu, kita dituntut untuk jadi seorang yang sempurna, seorang yang
serba bisa, dan seorang yang selalu berguna. Gelisah, begitulah kira-kira gambaran yang
bisa dirasakan. Rasa takut juga datang ketika tiba hari pengumuman bahwa kami akan
lulus dan berlanjut kependidikan yang lebih tinggi yaitu Sekolah Menengah Atas
ataupun Sekolah Menengah Kejuruan1. Beberapa menit yang lalu sebenarnya
pengumuman siswa berprestasi telah usai. Semua orang ramai bersorak, ada juga yang
bersedih karena tidak termasuk di dalamnya. Tetapi bukan di sana letak ketakutan yang
sebenarnya. Ketakutan itu adalah ketika dari sana dan lanjut ke mana. Seperti ucapan
guru BK yang selalu memperhatikan masa depan para siswanya atau seperti ucapan
orang tua terhadap kesuksesan anaknya.

“Kamu masih bingung menentukan pilihan jurusan dan lanjut ke mana?” tanya beliau
kala itu.

1 Seleksi Nasional Sekolah Menengah Atas


Ya, beliau yang dimaksud adalah guru BK di sekolahku.
Ia tersenyum, “tidak apa-apa pikirkan lagi dengan matang, Ibu yakin kamu dan semua
temanmu bisa,” ucapnya penuh keyakinan, dalam binar matanya terlihat jelas terpancar
sebuah harapan besar. Tetapi sungguh, dalam hati aku ingin berkata lebih.

Saat yang lain sudah yakin dengan jalan yang dipilih, rasanya aku sendiri yang masih
belum yakin dengan jalan yang ingin kuambil, terkesan sporadis. Kadang aku berpikir,
mereka yang sudah memutuskan itu hanyalah mereka yang sudah berada pada jalan
keinginan orang tuanya, atau sudah berada pada jalan keinginannya masing-masing.
Aku mulai membayangkan bagaimana buruknya mereka yang dituntut jalan dengan
keadaan yang terlihat baik-baik saja padahal sebenarnya sayapnya patah.

“Aku mau masuk sekolah favorit, Bu." Aku sedikit menghela napas sebelum
melanjutkan kata-kata yang akan terlontar dalam mulutku. "Aku akan mengambil
jurusan IPS."

Butuh waktu yang tidak sebentar untuk memikirkan suatu langkah yang besar ini. Aku
sangat paham bahwa ini terlalu tinggi untuk harga sebuah harapan. Karena nyatanya
kebohongan terbesar dalam hidupku salah satunya datang karena aku belum sepenuhnya
mampu. Aku tahu itu akan memerlukan biaya lebih yang pastinya sangat tinggi.
Mungkin saja aku mampu dalam pelajarannya namun tidak dalam segi biaya.

“Tidak apa-apa, jalan dan kesuksesan tiap orang itu berbeda."

“Tidak semua harapan akan berbuah sesuai kemauan, berkat usaha dan doa kamu pasti
bisa.”

“Mimpimu besar, namun tidak bisa diraih dengan langkah kecil saja, sejauh ini kamu
sudah hebat, teruskan, dan nikmati tiap perjalanan."

Entah energi apa yang telah diberikan beliau kepada diriku. Namun sungguh, kata-kata
penyemangat itu membuat keinginan dalam diriku menguar. Mungkin jika aku tidak
meneruskan jalan ini, akan ada dua pilihan ; yakni menyerah dan kalah atau memulai
ulang kembali langkah.

Memikirkannya saja aku tidak sanggup, apalagi jika hal itu terjadi. Tidak bisa
kubayangkan jika aku memulai semuanya dari awal. Akan banyak langkah yang
pastinya terbuang sia-sia, lalu semua perjuanganku mengudara bak angin yang berlalu.
Maka kala itu aku putuskan, bahwa aku mampu meski di depan nanti akan ada
gelombang besar yang menghampiri, meski dalam perjalanannya aku harus mati.
Setidaknya aku telah berusaha meyakini diri sendiri dan telah menjadi versi terbaik dari
diri ini.

Kita berhak melangkah, walau tanpa peta di dalamnya. Kita pun berhak memilih, walau
tidak semua orang bisa mengerti, lautan seperti apa yang akan di selami. Karena sejauh
yang 'ku tahu, nilai tidak dibentuk hanya dari kemampuan bertahan. Namun juga,
kemampuan pergi akan sesuatu yang membelenggu menuju titik tumbuh.

Seperti saat ini ketika aku memberanikan diri untuk mendaftarkan diri pada sekolah
yang telah aku impikan. Untuk biaya aku sudah bertekad akan mencari beasiswa dan
mencari pekerjaan sampingan yang sekiranya bisa untuk pelajar sepertiku. Bisa, aku
pasti bisa!

Jujur tanganku gemetar saat memencet tombol submit pada layar pendaftaran yang
terpampang jelas di depanku. Tidak tahu bagaimana hasilnya nanti, aku tidak
memikirkan diriku lagi. Saat itu yang ada di alam pikiranku hanyalah harapan dari
orang-orang sekitar.

Bagaimana jika nantinya aku gagal?

Aku selalu takut akan kegagalan, selalu takut akan hal-hal yang di luar kendaliku.
Padahal seharusnya tidak begitu. Kegagalan bukan akhir dari perjalanan, namun
sebuah jalan kesuksesan untuk masa depan. Begitulah sebuah postingan yang aku baca
lewat beranda sosial media. Seolah-olah dunia pun tahu bahwa aku sedang berada di
fase ambang ini. Lihat saja, perahuku sederhana tetapi inginku menjadi laksmana. Tidak
punya peta, tetapi berharap mendapatkan pulau dengan segala harta karun di dalamnya.

“Kamu sudah mendaftarkan diri?” tanya teman sebangku-ku. Dan aku mengangguk
sebagai jawabannya

“Sudah, lalu bagaimana denganmu? Apa kamu juga sudah memilih ingin lanjut ke
mana?” ucapku sembari berjalan keluar ruangan kelas.

“Tentu saja, aku sedari dahulu ingin sekali ingin lanjut ke SMK karena ingin menjadi
seorang designer!” jawabnya dengan histeris. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku
melihat tingkahnya itu.

“Kalau kamu, kemarin memilih di mana?” lanjutnya.


Aku berhenti sejenak. Dia pun sama, berhenti tepat di sebelahku.
1 menit ...

2 menit ...

Hening

Tidak ada sepatah kata pun yang terucap oleh bibir ini, aku yakin dia juga penasaran
dengan sekolah yang ku pilih. Namun, aku tidak mau di cap sebagai orang yang tidak
tahu diri karena memilih sebuah sekolah favorit dengan keadaan finansial yang tidak
memungkinkan. Tetapi berbohong juga tidak akan memberi efek apa pun saat ini.

“Sekolah Favorit di Kota,” jawabku akhirnya.

Matanya membulat, sorot sinarnya mengisyaratkan keterkejutan. Lalu aku tertawa


renyah, namun bukan respons itu yang aku bayangkan. Aku kira, dia bakal bilang hal ini
itu di luar nalar, tetapi justru dia mendukungku sepenuhnya.

Sepenuhnya.

Lalu arus pun membawa kita tepat pada hari pengumuman itu tiba. Pengumuman yang
akan menentukan di mana langkah ini akan ku teruskan. Dengan penuh hati-hati aku
membuka link yang sama seperti kala itu aku mendaftar pada saat pendaftaran. Aku
tidak siap, dengan hasil yang akan terlihat nantinya. Jari jemari ini enggan memencet
tombol papan pengumuman dilayar.

Apakah aku diterima atau tidak dengan standar nilai raportku? Aku memencet tombol
pengumuman pada link tersebut dan ...
Tidak kusangka, layar itu membiru. Haru!
Tidak tahu akan seperti apa ke depannya, tapi aku berjanji akan menjalani apa yang
telah aku perjuangkan dengan semaksimal mungkin.

Satu hal yang kuyakini sampai saat ini adalah tidak ada hal yang tidak mungkin terjadi
di dunia ini. Semua mempunyai peluangnya masing-masing. Dan waktu 'pun menjadi
teman sejati dalam setiap perjalanan yang kita lakukan. Satu hal yang harus aku syukuri
adalah, diriku. Beribu - ribu, berjuta - kata sepenuhnya diapresiasikan oleh diriku dan
untuk diriku. Masa depan bukan tentang berapa harganya, tetapi tentang bagaimana kita
berusaha. Ini tentang kita yang mempunyai keinginan untuk maju dan tidak terbelakang.

Anda mungkin juga menyukai