Anda di halaman 1dari 5

Agak lama kami berdiam diri. Ia bangkit dan membetulkan kedudukan daun pintu.

Mataku gerayangan untuk dapat menemukan sesuatu buat bahan bicara sementara
aku selalu waspada, siap-siap terhadap segala kemungkinan. Yang jadi perhatianku
adalah jendela. Sekiranya tiba-tiba ia menyerang, ke sana aku akan lari dan
melompat. Apa lagi tepat di bawahnya terdapat sebuah kenap yang tiada berjambang
burfga.
Di atas kursi yang tidak diduduki Robert tergeletak sebuah majalah berlipat paksa.
Nampaknya bekas dipergunakan ganjal kaki lemari atau meja.
"Kau tak punya bacaan ?" tanyaku.
Ia duduk di kursinya lagi sambil menjawab dengan tawa tanpa suara. Giginya putih,
terawat baik dan gemerlapan.
"Maksudmu dengan bacaan, kertas itu ?" matanya menuding pada majalah berlipat
paksa itu. "Memang pernah kubalik-balik dan kubaca."
Barang itu diambilnya dan diserahkan padaku. Pada waktu itu aku menduga ia
memandang ragu untuk berbuat sesuatu Matanya tajam menembusi jantungku dan
aku bergidik. Kertas itu memang majalah. Sampulnya telah rusak, namun masih
terbaca potongan namanya: Indi......
"Bacaan buat orang malas," katanya tajam. "Bacalah kalau kau suka. Bawalah."
Dari kertas dan tintanya jelas majalah baru.
"Kau mau jadi apa kalau sudah lulus H.B.S. ?" tiba-tiba ia bertanya. "Robert Suurhof
bilang kau calon bupati."
"Tidak benar. Ak,u tak suka jadi pejabat. Aku lebih suka bebas seperti sekarang ini.
Lagi pula siapa akan angkat aku jadi bupati ? Dan kau sendiri, Rob," aku balik
bertanya.
"Aku tak suka pada rumah ini. Juga tak suka pada negeri ini. Terlalu panas. Aku lebih
suka salju. Negeri ini terlalu panas. Aku akan pulang ke Eropa. Belayar. Menjelajahi
dunia. Begitu nanti aku naik ke atas kapalku yang pertama, dada dan tanganku akan
kukasih tattoo."
"Sangat menyenangkan," kataku. "Aku pun ingin melihat negeri-negeri lain." ^
"Sama. Kalau begitu kita bisa sama-sama pergi belayar menjelajah dunia. Minke, kau
dan aku. Kita bisa bikin rencana bukan ? Sayang kau Pribumi."
“Ya, sayang sekali aku Pribumi."
"Lihat gambar kapal ini. Temanku yang memberi ini," ia nampak bersemangat. "Dia
awak kapal Karibou. Aku pernah bertemu secara kebetulan di Tanjung Perak. Dia
bercerita banyak, terutama tentang Kanada. Aku sudah sedia ikut. Dia menolak. Apa
guna jadi kelasi bagimu, katanya. Kau anak orang kaya. Tinggal saja di rumah. Kalau
kau mau kau sendiri bisa beli kapal." Ia tatap aku dengan mata mengimpi. "Itu dua

! 81!
tahun yang lalu. Dan dia tak pernah lagi berlabuh di Perak. Menyurati pun tidak.
Barangkali tenggelam."
"Barangkali Mama takkan ijinkan kau pergi," kataku. "Siapa nanti mengurus
perusahaan besar ini ?"
"Huh," ia mendengus. "Aku sudah dewasa, berhak menentukan diri sendiri. Tapi aku
masih juga ragu. Entah mengapa."
"Lebih baik bicarakan dulu dengan Mama." Ia menggeleng. "Atau dengan Papa," aku
menyarankan.
"Sayang," ia mengeluh dalam.
"Tak pernah aku lihat kau bicara dengan Mama. Kiranya baik kalau aku yang
menyampaikan ?"
"Tidak. Terimakasih. Dari Suurhof aku dengar kau seorang buaya darat."
Aku rasai mukaku menggerabak karena jompakan darah. Sekaligus aku tahu: aku
telah memasuki sudut hatinya yang terpeka. Itu pun baik, karena keluarlah
maksudnya yang terniat.
"Setiap orang pernah dinilai buruk atau baik oleh orang ketiga. Juga sebaliknya
peftiah ikut menilai. Aku pernah. Kau pernah. Suurhof pernah," kataku.
"Aku ? Tidak," jawabnya tegas. "Tak pernah aku peduli pada kata dan perbuatan
orang. Apalagi kata orang tentang dirimu. Lebih-lebih lagi tentang diriku. Cuma
Suurhof bilang: hati-hati pada Pribumi dekil bernama Minke itu, buaya darat dari
klas kambing."
"Dia benar, setiap orang wajib berhati-hati. Juga Suurhof sendiri. Aku tak kurang
berhati-hati terhadapmu, Rob."
"Lihat, aku tak pernah mengimpi untuk menginap di tempat lain karena wanita. Biar
pun memang banyak yang mengundang."
"Sudah kubilang sebelumnya, aku suka pada adikmu. Mama minta aku tinggal di
sini."
Baik. Asal kau tahu bukan aku yang mengundang." Tahu betul, Rob. Aku masih
simpan surat Mama itu."
"Coba aku baca."
"Untukku, Rob, bukan untukmu. Sayang."
Makin lama sikap dan nada suaranya makin mengandung permusuhan. Lirikannya
mulai bersambaran untuk menanamkan ketakutanku. Dan aku sendiri juga sudah
merasa kuatir.
"Aku tidak tahu apa pada akhirnya kau akan kawin dengan adikku atau tidak.
Nampaknya Mama dan Annelies suka padamu. Biar begitu kau harus ingat, aku anak
lelaki dan tertua dalam keluarga ini."

! 82!
"Aku di sini sama sekali tak ada hubungan dengan hak-hakmu, Rob. Juga tidak
untuk mengurangi. Kau tetaplah anak lelaki dan tertua keluarga ini. Tak ada yang
bisa mengubah."
Ia mendeham dan mmenggaruk kepalanya dengan hati-hati, takut merusakkah
sisiran.
"Aku tahu, kau juga tahu, orang-orang di sini pada memusuhi aku. Tak ada yang
menggubris aku. Ada yang membikin semua mi. Sekarang kau datang kemari. Sudah
pasti kau seorang di antara mereka. Aku berdiri seorang diri di sini. Hendaknya kau
jangan sampai lupa pada apa yang bisa dibikin oleh seorang yang berdiri seorang
diri," katanya mengancam dengan bibir tersenyum.
"Betul, Rob, dan kau pun jangan sampai lupa pada kata-katamu sendiri itu, sebab itu
juga tertuju pada dirimu sendiri."
Matanya sekarang nampak mengimpi menatap aku. Menaksir-naksir kekuatanku.
Dan aku mengikuti contohnya, juga tersenyum. Semua gerak-geriknya aku
perhatikan. Begitu nanti nampak ada gerakan yang mencurigakan, hup, aku sudah
melompat keluar dan jendela. Dia takkan dapatkan aku di dalam kamar ini
"Baik," katanya sambil mengangguk-angguk. "Dan jangan pula kau lupa, kau hanya
seorang Pribumi."
"Oh, tentu saja aku selalu ingat, Rob. Jangan kuatir. Kau pun jangan lupa, dalam
dirimu ada juga darah Pribumi. Memang aku bukan Indo, bukan Peranakan Eropa,
tapi selama belajar pada sekolah-sekolah Eropa, ada juga ilmu-pengetahuan Eropa
dalam diriku, yaitu, kalau yang serba Eropa kau anggap lebih tinggi."
"Kau pandai, Minke, patut bagi seorang siswa H.B.S."
Percakapan pendek itu terasa memakan waktu berjam-jam penuh ketegangan.
Kemudian kuketahui, hanya sepuluh menit berlangsung. Beruntung Annelies
memanggil dari luar kamar, dan aku minta diri.
Tak kusangka sambil masih tetap duduk Robert berkata sangat tenang:
"Pergilah, nyaimu sedang mencarimu."
Aku terhenti di pintu dan memandanginya dengan heran. Ia cuma tersenyum.
"Dia adikmu, Rob. Tak patut itu diucapkan. Aku pun punya kehormatan.,..."
Annelies buru-buru menarik aku ke ruangbelakang seakan suatu kejadian penting
telah terjadi dalam kamar itu. Kami duduk di atas sofa berkasur tinggi dan bertilam
bunga-bunga war-na-warni di atas dasar warna creme. Ia begitu melengket padaku,
berbisik hati-hati:
"Jangan suka bergaul dengan Robert. Apa lagi masuk ke kamarnya. Aku kuatir.
Makin hari ia makin berubah. Telah dua kali ini Mama menolak membayar hutang-
hutangnya, Mas. "Perlukah kau bermusuhan dengan abangmu sendiri V Bukan

! 83!
begitu. Dia harus bekerja untuk mendapatkan nafkahnya sendiri. Dia bisa kalau mau.
Tapi dia tidak mau." "Baik, tapi mengapa kalian berdua mesti bermusuhan ?" "Tidak
datang dari pihakku. Itu kalau kau mau percaya. EValam segala hal Mama lebih
benar dari dia. Dia tak mau mengakui kebenaran Mama, hanya karena Mama
Pribumi. Lantas harus apa aku ini ?"
Aku tahu, tak boleh mencampuri urusan keluarga. Maka tak kuteruskan. Sementara
itu terpikir olehku, Apa yang didapat pemuda ganteng ini dari kehidupan
keluarganya?, dari bapaknya tidak, dari ibunyapun tidak. Dari saudarinya apalagi.
Kasih tiak sayangpun tidak. Aku datang kerumah ini dan ia cemburui aku. Memang
sudah sepantasnya.
"Mengapa kau tak bertindak sebagai pendamai Ann ?, ”Buat apa? Perbuatannya yang
keterlaluan sudah bikin aku mengutuk dia."
"Mengutuk ? Kau mengutuk ?..
"Melihat mukanya pun aku tidak sudi. Dulu memang aku masih sanggup bertik
dengannya. Sekarang, untuk seumur hidup - tidak. Tidak, Mas."
Aku menyesal telah mencoba mencampuri urusannya. Dan wajahnya yang mendadak
kemerahan menterjemahkan amarahnya'. Nvai datang menyertai kami. Selembar
koran S.N.v/d D ada di tangannya. Ia tunjukkan padaku sebuah cerpen Een
Buitengewoon Gewoone Nyai. die Ik ken*.
"Kau sudah baca cerita ini, Nyo ?
"Sudah, Ma, di sekolah."
“Rasanya aku pernah mengenal orang yang ditulis dalam cerita ini."
Barangkali aku pucat mendengar omongannya. Walau judulnya telah diubah, itulah
tulisanku sendiri, ceipenku yang pertama kali dimuat bukan oleh koranlelang.
Beberapa patah kata dan kalimat memang telah diperbaiki, tapi itu tetap tulisanku.
Bahan cerita bukan berasal dari Anneiies, tapi khayal sendiri yang mendekati
kenyataan sehari-hari Mama. "Tulisan siapa, Ma “ tanyaku pura-pura. "Max
Tollenaar. Benar kau hanya menulis teks iklan ? Sebelum pembicaraan jadi berlarut
segera kuakui: "Memang tulisanku sendiri itu, Ma." "Sudah kuduga. Kau memang
pandai, Nyo. Tidak seorang dalam seratus bisa menulis begini. Cuma kalau yang kau
maksudkan dalam cerita ini aku.*..
"Mama yang kukhayalkan," jawabku cepat menyambar. "Ya. Patut banyak tidak
benarnya; Sebagai cerita memang bagus, Nyo. Semoga jadi pujangga, seperti Victor
Hugo." Masyaallah, dia tahu Victor Hugo. Dan aku malu bertanya siapa dia. Dan dia
bisa memuji kebagusan cerita. Kapan dia belajar ilmu cerita ? Atau hanya sok saja ?
"Sudah pernah baca Francis ? G.Francis ?"
Sungguh aku merasa kewalahan. Itu pun aku tak tahu.

! 84!
"Rupanya Sinyo tak pernah membaca Melayu."
"Buku Melayu, Ma ? Ada ?" tanyaku mengembik.
"Sayang kalau tak tahu, Nyo. Banyak buku Melayu sudah dia tulis. Aku kira dia orang
Totok atau Peranakan, bukan Pribumi. Sungguh sayang, Nyo, kalau tidak ada
perhatian."
Ia masih banyak bicara lagi tentang dunia cerita. Dan semakin lama semakin
meragukan. Boleh jadi ia hanya membuatkan segala apa yang pernah didengarnya
dari Herman Mellema. Guruku cukup banyak mengajar tentang bahasa dan sastra
Belanda. Tak pernah disinggung tentang segala yarig diomongkannya. Dan guru
kesayanganku, Juffrouw Magda Peters, pasti jauh lebih banyak tahu daripada hanya
seorang nyai. Nyai yang seorang ini malah mencoba bicara tentang bahasa tulisan
pula!
"Francis, Nyo, dia telah menulis Nyai Dasima, benar-benar dengan cara Eropa.
Hanya berbahasa Melayu. Ada padaku buku itu. Barangkali kau suka
mempelajarinya."
Aku hanya mengiakan. Tahu apa dia tentang dunia cerita. Lagi pula mengapa dia
suka membaca cerita, dan mencoba mencampuri urusan para tokoh khayali para
pengarang, bahkan juga bahasa yang mereka pergunakan, sedang di bawah matanya
sendiri anaknya, Robert, kapiran ? Meragukan.
Seperti 'dapat membaca pikiranku ia bertanya:
"Boleh- jadi kau hendak mepulis tentang Robert juga."
"Mengapa, Ma ?" .
"Karena kemudaanmu. Tentu kau akan menulis tentang orang-orang yang kau kenal
di dekat-dekatmu. Yang menarikmu. Yang menimbulkan sympati atau antipatimu.
Aku kira Rob pasti menarik perhatianmu.
Untung saja percakapan yang tak menyenangkan itu segera tersusul oleh
makanmalam. Robert tidak serta. Baik Mama mau pun Anneiies tidak heran, juga
tidak menanyakan. Pelayan juga tak menanyakan sesuatu.
Tengah makan ternlat olehku untuk menyampaikan keinginan Robert jadi pelaut,
pulang ke Eropa. Pada waktu itu juga justru Nyai berkata:
"Cerita, Nyo, selamanya tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya,
biar pun yang ditampilkannya itu hewan, raksasa atau dewa atau hantu. Dan tak
ada#yang lebih sulit dapat difahami daripada sang manusia. Itu sebabnya tak habis-
habisnya cerita dibuat di bumi ini. Setiap han bertambah saja. Aku sendiri tak
banyak tahu tentang im Suatu kali pernah terbaca olehku tulisan yang kira-kira
katanya begini: jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu
sederhana; biar pengelihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau cukur,

! 85!

Anda mungkin juga menyukai