Anda di halaman 1dari 5

dengan mata waspada:

"Belum pernah ada larangan makan rujak di sini, Ndoro Tuwan," bantahnya.
"Membantah ? Tak tahu kau aku Belanda bekas Kompeni ?"
Tentu si Gendut ini pendekar. Ia tak takut pada Belanda bekas Kompeni. Mungkin
jago silat, atau kuntow.
"Biar begitu tidak ada larangan polisi. Pengumuman larangan juga tidak ada, Ndoro
Tuwan. Biarkan sahaya duduk-duduk di sini makan rujak. Belanja sahaya pun belum
sahaya bayar," dan ia bersiap hendak duduk lagi.
Termasuk aku menjadi curiga mendengar orang itu menyebut larangan. Jelas dia
tahu peraturan. Semestinya Telinga berbuat lebih hati-hati. Tetapi bekas serdadu
yang hanya dapat berpikir dengan kekerasan itu telah melayangkan tangan,
menempeleng. Dan si Gendut menangkis, dan tidak balas menyerang.
"Sudah, sudah," Jean Marais mencoba menengahi.
"Jangan teruskan, Ndoro Tuwan," pinta si Gendut.
Telinga naik pitam ada orang berani menantang diri dan perintahnya. Ia sudah tak
hiraukan lagi duduk-perkara. Gensinya sebagai Indo bekas serdadu terluka. Dengan
tangan-kanannya ia ayunkan pukulan maut pada kepala si Gendut. Dan
pembangkang itu mengelak tenang. Tlhnga terhuyung ke depan oleh ayunan sendiri
yang luput. Sebenarnya Gendut dapat memasukkan tinju pada iga-iga lawannya, tapi
ia tak lakukan. Elakan demi elakan membikin Telinga semakin kalap dan terus
menerjang. Si Gendut mundur-mundur kemudian lari. Tllinga mengejar. Gendut
menghilang ke dalam gang sempit yang menjadi tempat penimbunan sampah.
"Telinga gila!" gerutu Jean Marais, "lagaknya sepeiti masih Kompeni."
Yang digerutui masih terus memburu, juga hilang ke dalam gang.
"Buat apa semua mi ? Mari pulang, Minke. Kaulah biang-keladi," ia menyalahkan
aku.
Ia menolak aku papah. May dan Mevrouw Telinga gopoh-gapah menyambut dan
menanyakan apa sedang terjadi. Tak ada
yang menerangkan. Kami pun duduk menunggu kedatangan si berangsang. Dengan
gelisah tentu.
Sepuluh menit kemudian Tuan Tllinga muncul, bermandi keringat, muka kemerahan
dan nafas sengal-sengal. Ia rubuhkan diri di kursi malas dari kain tenda.
"Jan," tegur istrinya, "bagaimana kau ini ? Lupa kau kalau invalid ? Cari-cari musuh.
Apa kau kira kau masih muda ?" ia dekati suaminya, merampas pipa besi dari
tangannya, dan membawanya ke dalam.
Tuan Telinga tak bicara. Dan seakan sudah terjadi persetujuan rahasia antara kami.
Tak ada yang lebih menyesal dari diriku. Dalam hati aku bersyukur tidak terjadi

! 146!
sesuatu drama. Juga merasa beruntung tak pernah menyampaikan cerita Darsam.
Benar-benar aku bisa jadi biangkeladi.
"Tuanmuda masih sakit," seru Mevrouw dari dalam, "jangan duduk berangin-angin.
Tidur lebih baik. Sebentar lagi makan siap."
"Pulang saja kau, May," perintah Jean, dan May pulang.
Kami bertiga duduk diam-diam sampai Telinga mendapatkan nafasnya kembali.
"Lupakan saja peristiwa tadi," aku mengusulkan. Uh, kalau sampai jatuh ke tangan
polisi, dan berlarut. Uh, benar-benar aku biangkeladi memalukan. "Kepalaku pening
lagi, Jean. Maafkan Tuan Telinga, Jean.........."
Di dalam kamar aku semakin yakin: memang si Gendut sedang memata-matai aku.
Jelas dia tangan-tangan Robert. Cerita Darsam harus kuterima bukan sebagai
omongkosong. Hati-hati kau, diri!
Sebagai terpelajar kenyataan ini harus kuterima: ada seseorang menginginkan
nyawaku, dan melapor pada Polisi tidak mungkin. Tidak bijaksana menyulitkan Nyai,
Annelies, Ayah yang baru diangkat jadi bupati, dan terutama Bunda. Semua harus
dihadapi dengan diam-diam, tapi waspada.
Untuk pertama kali pintu kukunci dari dalam pada sianghari begini. Juga jendela.
Sebatang tongkat kayu keras bekas tangkai pel lantai kusediakan di pojok. Setiap
waktu akan dapat kuraih. Setidak-tidaknya, sekali pun masih tingkat kias kambing,
aku pun pernah belajar beladiri di T. dulu.
Empat hari lamanya peningku belum juga hilang. Memang kurang tidur. Dan setiap
pagi susu kiriman terus juga datang.
Tetap tak ada berita dari Darsam..........
Rasanya sudah terlalu lama aku tak masuk kias. Dokter memberi sertifikat untuk tiga
minggu. Buah palakia dalam kepala tumbuh jadi pohon tanpa seijin diriku sebagai
pemilik tunggal dan syah. Betul kau, pohon palakia dalam kepala, memang aku harus
lupakan Nyai dan Annelies. Hubungan harus putus! Tak ada guna. Hanya kesulitan
saja buahnya. Tanpa mengenal keluarga seram dan aneh itu pun hidupku tidak
merugi, tidak kena kusta. Aku harus sembuh. Cari order seperti sediakala. Menulis .
untuk koran. Menamatkan sekolah sebagai diharapkan banyak orang. Bagaimana
pun aku masih suka bersekolah. Bergaul.seca- o • ra terbuka dengan semua teman.
Bebas. Menerima ilmu baru yang tiada kan habisnya. Dan: menampung segala dari
bumi manusia ini, dulu, sekarang dan yang akan datang. Pada akhir bulan
mendatang Juffrouw Magda Peters akan membuka diskusi, menyuluhi bumi
manusia-dari segala seginya yang mungkin. Dan aku sakit begini.
Liburan darurat sia-sia. Segumpal waktu yang padat dengan ketegangan. Kadang
terpikir: sudah perlukah diri semuda ini di-buntingi ketegangan intensif macam ini ?

! 147!
Kadang aku jawab sendiri: belum perlu. Juffrouw Magda pernah bercerita tentang
pengarang Multatuli dan sahabatnya, penyair-wartawan Roorda van Eysinga*:
mereka hidup dalam ketegangan intensif karena kepercayaan dan perjuangan
intensif, dan pribadi, untuk meringankan nasib bangsa-bangsa Hindia. Penindasan
serba-Eropa dan serba-Pribumi sekaligus! Dalam pembuangan, untuk bangsa-bangsa
Hindia yang tidak mengenal seseuatu tentang dunia, Minke, tanpa sahabat datang
menengok, tanpa tangan terulur
memberikan bantuan....... Baca syair Roorda van Eysinga,
menggunakan nama Sentot, Hari Terakhir Ollanda di Jawa** itu. Setiap katanya
padat dengan ketegangan dari satu individu yang berseru-seru memperingatkan.
Multatuli dan van Eysinga mengalami ketegangan intensif karena perbuatan besar.
Dan ketegangan yang menyiksa aku sekarang ? Hanya salah-tingkah seorang
philogynik. Aku harus lepaskan Annelies. Harus dan harus bisa. Dan hati ini tak juga
mau diyakinkan. Dara secantik itu! Dan Nyai — pribadi mengagumkan dan
mengesankan itu - seorang ratu pemilik dayasihir. Ya-ya: suka tak kurang puji, benci
tak kurang cela.
Lambat-lambat tapi pasti aku mulai mengerti: segala kete-
gangan ini hanya akibat keogahan membayar karcis untuk memasuki dunia
kesenangan, dunia di mana impian jadi kenyataan. Multatuli dan van Eysinga hanya
membayar karcis. Mereka tak menghendaki sesuatu untuk diri sendiri. Apa arti
tulisanku dibandingkan dengan karya mereka ? Dan aku mengharapkan dan
bernafsu mendapatkan segala untuk diri sendiri. Memalukan.
Ya, harus kulepaskan Annelies. Adieu, ma belle! Selamat berpisah, impian, untuk
takkan bertemu kembali, kapan dan di mana pun. Ada sesuatu yang lebih penting
daripada hanya kecantikan seorang dara dan kewibawaan seorang nyai. Tak ada guna
mati tanpa arti. Dan nyawaku, dan tubuhku, modal utama dan satu-satunya.
Keputusan itu memerosotkan sang pening. Biar pun tidak sekaligus. Memang begitu
.hukum penyakit: datang mendadak, pergi bermalas. Buah palakia itu berhenti
menjalarkan akar dan semian. Kemudian pun menjadi mati hanya karena datangnya
sepucuk surat: dari Miriam de la Croix. Tulisannya lembut dan kecil-kecil, rapi.
Tulilsnya:
Sahabat,
Tentu kau sudah sampai di Surabaya dengan selamat. Kunantikan beritamu tapi tak
juga kunjung tiba. Jadi aku yang mengalah.
Jangan kau heran, Papa mempunyai perhatian besar terhadapmu. Sampai dua kali ia
bertanya, ada atau belum surat dari kau. Papa ingin sekali mengetahui kemajuanmu.
Sungguh ia terkesan oleh sikapmu. Kau, katanya, orang Jawa dari jenis lain, terbuat

! 148!
dari bahan lain, seorang pemula dan pembaru sekaligus.
Dengan senanghati aku tulis surat ini, malah merasa mendapat kehormatan dapat
menyampaikan pendapat Papa. Mir, Sarah, katanya lagi pada kami, begitu kiranya
wajah Jawa nanti yang terasuki peradaban kita, tidak lagi melata seperti cacing kena
matari. Maaf, Minke, kalau Papa menggunakan perbandingan sekasar itu. Ia tidak
bermaksud menghina. Kau tak marah, bukan ? Jangan, jangan marah, sahabat. Tak
ada pikiran jahat pada Papa mau pun kami berdua terhadap Pribumi apalagi
terhadap pribadimu.
Papa merasa iba melihat bangsa Jawa yang sudah sedemikian dalam kejatuhannya.
Dengarkan kata Papa lagi, sekali pun tetap menggunakan perbandingan kasar tsb.:
Tahu kalian apa yang dibutuhkan bangsa cacing ini ? Seorang pemimpin yang
mampu mengangkat derjad mereka kembali., Kau dapat mengikuti 'aku, sahabat.
Jangani terburu gusar sebelum memahami pintaku.
Tidak semua orang Eropa peserta dan penyebab kejatuhan bangsamu. Papa,
misalnya, sekali pun seorang assisten residen, tidak termasuk golongan itu. Memang
ia tidak bisa berbuat apa-apa sebagaimana halnya aku atau pun Sarah, sekali pun, ya,
sekali pun ingin sekali kami mengulurkan tangan. Kami hanya menduga tahu apa
mesti kami lakukan. Kau sendiri suka pada Multatuli, bukan ? Nah, pengarang yang
diagungkan oleh kaum liberal itu memang sudah sangat berjasa pada bangsamu. Ya,
Multatuli, di samping Domine Baron von Hoevel itu, dan seorang lagi, yang
barangkali saja gurumu lupa menyampaikan, yakni Roorda van Eysinga. Hanya saja
mereka tidak pernah bicara pada bangsamu, cuma pada sebangsanya sendiri, yakni
Belanda. Mereka minta perhatian pada Eropa agar memperlakukan bangsamu secara
patut.
Sahabat,
Segala apa yang telah mereka lakukan untuk bangsamu pada akhir abad 19 ini sudbh
termasuk gaya lama, kata Papa. Sekarang ini, menurut Papa lagi, Pribumi sendiri
yang harus berbuat sesuatu untuk bangsanya sendiri. Karena itu kalau dulu kita
bicara tentang usaha Doktor Snouck Hurgronje sama sekali bukan suatu kebetulan.
Sarjana tsb. menempati kedudukan terhormat dalam penilaian keluarga kami. Kami
memuji assosiasi yang justru kau tertawakan itu. Jadi mengertilah, sahabat,
mengapa Papa punya perhatian padamu. Memang belum pernah Papa dan kami
berdua menemui orang Jawa seperti kau. Sikapmu, katanya, sepenuhnya Eropa,
telah terlepas dari acuan budak Jawa dari jaman kekalahan semenjak orang Eropa
menginjakkan kaki di bumi kelahiranmu.
Di malam sunyi dalam gedung kami yang besar dan lengang ini, apabila Papa tidak
lelah, sukalah kami mendengarkan uraiannya tentang nasib bangsamu, yang pernah

! 149!
melahirkan beratus dan beribu pahlawan dan pemimpin dalam usaha menghalau
penindasan Eropa. Seorang demi seorang dari mereka jatuh, kalah, tewas, menyerah,
gila, mati dalam kehinaan, dilupakan dalam pembuangan. Tak seorang pun pernah
memenangkan perang. Kami dengarkan dengan terharu, juga ikut menjadi jengkel
dengan kelakuan para permbesarmu yang menjuali konsessi pada Kompeni untuk
kepentingan sendiri sebagai pertanda ke-krbposan watak dan jiwanya. Pahlawan-
pahlawanmu, dalam cerita Papa, bermunculan dari latarbelakang penjualan
konsessi, begitu terus-menerus, berabad-abad, dan tidak mengerti bahwa semua itu
hanya ulangan dari yang sudah-sudah, semakin lama semakin kerdil. Dan begitulah,
kata Papa, suatu bangsa yang telah mempetaruhkan jiwa-raga dan harta-benda
untuk segumpal pengertian abstrak bernama kehormatan.
Mereka dikodratkan kalah, kata Papa, dan lebih mengibakan lagi karena mereka tak
mengerti tentang kodratnya. Bangsa besar dan gagah-perwira itu terus juga mencoba
mengangkat kepala dari permukaan air, dan setiap kali bangsa Eropa
memperosokkan kembali kepalanya ke bawah. Bangsa Eropa tidak rela melihat
Pribumi menjengukkan kepala pada udara melihat keagungan ciptaan Allah. Mereka
terus berusaha dan terus kalah sampai tak tahu lagi usaha dan kekalahannya sendiri.
Menurut Papa, kodrat ummat manusia kini dan kemudian ditentukan oleh
penguasaannya atas ilmu dan pengetahuan. Semua, pribadi dan bangsa-bangsa akan
tumbang tanpa itu. Melawan pada -yang berilmu dan pengetahuan adalah
menyerahkan diri pada maut dan kehinaan.
Maka Papa menyetujui assosiasi. Hanya itu satu-satunya jalan yang baik untuk
Pribumi. Ia mengharapkan, juga kami berdua, kau kelak duduk setingkat dengan
orang Eropa, bersama-sama memajukan bangsa dan negeri ini, sahabat. Permulaan
itu kau sendiri sudah mulai. Pasti kau bisa memahami maksud kami. Kami jangat
mencintai ayah kami. Ia bukan sekedar seorang ayah, juga seorang guru yang
memimpin kami melihat dan memahami dunia, seorang sahabat* yang masak dan
berisi, seorang administrator yang tak mengharapkan keuntungan dari keluh-ke-sah
bawahan.
Mari aku ceritai kau tentang kata-katanya setelah kau pulang dari kunjunganmu
yang pertama. Kau sendiri pergi dengan hati mengkal atau sebal, bukan ? Kami dapat
mengerti, karena kau belum mengerti maksud kami. Papa memang sengaja
meninggalkan kau, agar kau bisa bicara bebas dengan kami. Tapi sayang, kau
bersikap begitu kaku dan tegang. Begitu kau pergi Papa menanyakan pendapat kami
tentang kau. Pada akhirnya Minke marah, Sarah melaporkan, Doktor Snouck
Hurgronje dan assosiasinya sudah tiga ratus tahun ketinggalan, jadi:tepat seperti kau
katakan. Papa terkejut dan terpaksa mendengarkan keterangan lebih jauh dari aku.

! 150!

Anda mungkin juga menyukai