Anda di halaman 1dari 5

padaku, bukan ?

"
"Tak ada guru lebih kusayangi."
"Benar itu, Minke ?"
"Sejujur hati, Juffrouw."
"Sudah kuduga. Kau pasti mengikuti semua pelajaranku dengan cermat, dengan otak
dan hati. Kalau tidak, tidak mungkin kau bisa menulis sebagus itu. Kau tak gusar
pada Suurhof, kan ?"
"Tidak, Juffrouw."
"Kau betul. Kau jauh lebih berharga daripada dia. Kau telah membuktikan apa yang
kau bisa.
Memang malu mendengar sanjungan seperti itu. Disuruhnya aku berdiri.
"Setidak-tidaknya, Minke, jerih-payahku selama lima tahun ini ada hasilnya juga," ia
tarik aku ke dekatnya.
Dengan terkejut aku telah berada dalam pelukannya, dan diciumnya aku sampai
pengap. Sampai pengap!
Setiap hari aku masih memerlukan datang ke rumah Jean -menjemput atau
mengantarkan May atau untuk menyerahkan order baru. Biar pun hanya untuk satu-
dua menit. Juga kuperlu-kan menengok rumah pemondokanku.
Dengan bendi sendiri memang lebih mudah melakukan pekerjaan mencari order,
menulis teks adpertensi untuk koran-le-lang, dan menulis untuk yang lain. Waktu
rasanya menjadi lebih panjang.
Sampai di Wonokromo tenagaku sudah atau hampir habis dan kuperlukan tidur
sebentar. Biasanya Annelies yang membangunkan, membawakan anduk bersih dan
menyuruh aku mandi. Setelah itu kami duduk mengobrol, atau membaca koran
terbitan Hindia atau majalah terbitan Nederland.
Di malamhari aku bekerja, belajar, atau menulis sambil menunggui Annelies di
kamarnya. Kesehatannya makin pulih. Tapi ia belum mulai bekerja seperti biasa.
Mama terlalu sibuk bekerja di kantor dan di belakang, tak mempunyai waktu untuk
kami berdua di sianghari.
Pada malam seperti pada malam-malam belakangan ini aku duduk pada meja di
dalam kamar Annelies. Ia sedang membaca Defoe Robinson Crosoe terjemahan
Belanda, yang setiap halaman terbagi dalam dua kolom. Telah aku susunkan daftar
buku yang harus ia baca. Semua buku remaja: Dumas dan Stevenson. Ia harus
selesaikan dalam satu bulan. Dan di sampingnya tergeletak kamus tua yang tiap hari
dipergunakan Mama - kamus tua yang dalam sepuluh tahun belakangan ini sudah
tak dapat menjawab perkembangan baru.
Aku duduk di seberangnya membaca surat Miriam dan Sarah sebelum menulis cerita

! 171!
yang akan berjudul Anak Ayah. Yang aku maksudkan tak lain dari Robert Mellema.
Surat Miriam sekali ini semakin semarak:
Ingat kiranya kau pada yang "lain" itu ? Aku telah menerima surat dari Nederland.
Dari seorang teman, sahabat, yang mengenal keadaannya di Afrika selatan, di daerah
Transvaal. Penulis surat itu pulang ke Nederland setelah cedera di dalam suatu
pertempuran pendek. Ia sendiri pernah dalam satu kesatuan dengan yang "lain" itu.
Pasukannya berada di bawah seorang komandan bernama Mellema, seorang insinyur
muda yang sangat keras, berani, penuh ambisi, katanya.
Sahabat, senang sekali menerima suratnya. Sama senangnya dengan menerima
kepunyaanmu. Di dalamnya, sahabat, ada suatu hal yang mungkin bisa jadi
perhatianmu. Yang "lain" itu mungkin beberapa tahun saja lebih tua daripada kau.
Terpanggil
oleh seruan bangsa Belanda di Afrika Selatan untuk merebut dan mempertahankan
kemerdekaannya dari Inggris, tanpa pikir panjang ia berangkat ke sana
dan...mendapat kekecewaan besar.
Walau pun sedikit perang Afrika Selatan ada juga diumumkan dalam koran Hindia.
Hanya banyak yang tidak pernah diberitakan secara wajar. Bangsa Belanda
immigran di sana, sahabat -- aku kira gurumu tersayang Magda Peters perhatiannya
terlalu sedikit tentang perang —, telah menguasai penduduk asli. Pada gilirannya
Belanda immigran diperintah kekuasaan Inggris, kekuasaan pendatang dari Eropa
juga. Inilah kekuasaan berlapis-lapis dengan Pribumi di tempat paling bawah.
Bayangkan, sahabat, kan itu sama dengan keadaan di Hindia ? sejauh pernah
dikatakan Papa ? Memang ada perbedaan kecil, tapi tak mengurangi ujudnya.
Pribumi Hindia , bukankah dikuasai para pembe-sarnya ? raja-raja, sultan-sultan,
dan para bupati ? Pada gilirannya Pemerintah Coklat ini dikuasai oleh Pemerintah
Putih. Para raja, sultan dan bupati dengan semua alatnya di sini sama dengan
kekuasaan Belanda immigran di Afrika Selatan.
Sahabat, yang "lain" itu menanggung kecewa setelah tahu, perang antara Inggris dan
bangsa Boer — bangsa Belanda immigran itu — cuma hendak memperebutkan
kekuasaan mutlak atas tanah, emas, dan Pribuminya. Pemuda-pemuda Belanda yang
terpanggil ke sana, dari semua penjuru dunia, ternyata hanya datang untuk cedera
atau mati buat satu perkara yang tidak punya kepentingan nasional Belanda. Sedang
yang "lain" itu, kata surat itu, melihat keadaan Pribumi Afrika Selatan jauh lebih
buruk daripada Pribumi Hindia, jauh lebih buruk daripada di Aceh. Kalau ia
membenarkan dirinya, katanya, ia merasa tak beda dengan serdadu Kompeni di
Aceh.
Sungguh keinsafan yang terlambat. Itu pun karena pertemuan tak terduga dengan

! 172!
penduduk bukan kulit putih, juga bukan hitam, bernama Mard Wongs. Orang itu,
sahabat, hanya seorang dari sekian banyak petani kaya bukan Pribumi yang bisa
berbahasa Jawa. Dia dan mereka itu, biar pun berbicara Afrikan*, adalah bangsa
Slameier*, sebangsamu sendiri. Mard Wongs tak lain dari nama yang sudah
disesuaikan dengan bahasa Afrikan.
Semestinya, kiraku: Mardi Wongso. Dan bangsa Slameier tak lain dari keturunan
Pribumi Jawa dan Bugis-Makassar-Madura, yang dahulu dibuang Kompeni ke Afrika
Selatan.
Menarik, kan ?
Nah, sahabat, pasukan Mellema, begitu tulis teman dari Nederland itu. memasuki
rumah besar Mard Wongs minta penginapan. Orang tua yang sudah serba putih itu
bukan saja menolak, malah mengusir mereka dengan garang. Mellema naik pitam,
mengancam hendak menembak.
Mard Wongs meradang: Apa lagi kalian, Belanda, kehendaki ? Di Jawa hak-milik
kami kalian rampas, kebebasan kami kalian rampas, di sini kalian mengemis minta
naungan di bawah atapku. Apa kau tak pernah diajar arti perampasan dan
pengemisan ? Tembak! Ini dada Mard Wongs. Bayangan dari selembar daun atap
dan lindungan dari sebilah papan rumah ini tak rela aku berikan. Pergi!
Heran, sahabat, Mellema kalah wibawa. Dengan pasukannya terpaksa menginap di
bawah langit terbuka.
Nah, peristiwa itu yang menyedarkan yang "lain". Sekarang ia tahu kebencian
Pribumi Hindia terhadap Belanda. Ia insaf, regunya bukan pendukung cita mulia,
hanya cita kolonial semata. Ia malu telah salah tempatkan diri. Pikirannya kacau. Ia
pernah bermimpi jadi pahlawan, menyumbangkan sesuatu pada um-mat manusia.
Kini ia sedang ditengah medan kezaliman.
Kasihan, yang "lain" itu.
Paginya pasukan itu melakukan penyerbuan terhadap tempat yang dikuasai oleh
pasukan South African Light Horse Inggris. Orang bilang, tulis temanku itu, pasukan
itu dipimpin oleh letnan W.Ch. Dari jurusan lain pasukin Boer dalam jumlah besar
telah menyerang lebih dulu, dihadapi, terdesak, nyaris terkepung dan dibinasakan.
Pada saat genting pasukan Mellema menyergap punggung musuh. Inggris terkejut,
sibak-belah dan buyar dalam serangan-ganti dari dua jurusan. Tempat itu jatuh ke
tangan Boer.
Tetapi, sahabatku, yang "lain" itu tertembak dan tertawan. Tulis temanku itu, dia
mungkin diangkut sebagai tawananperang ke Inggris. Pada hari-hari terakhir itu ia
tak habis-habis menyesali kebodohannya.
Maksudku menyampaikan ini, sahabat, tak lain untuk tambahan pemandangan

! 173!
tentang hal yang tidak banyak diumumkan di Hindia. Kan yang kau baca di koran
hanya kekejaman Inggris dan kemenangan Belanda ? Sebaliknya, menurut Papa,
harian-harian Inggris memberitakan keganasan dan kesekakaran
Belanda terhadap penduduk Pribumi. Tetap tak ada satu koran baik di Nederland,
Inggris, apalagi Hindia, yang bicara tentang Pribumi Afrika Selatan. Jangan ditanya
lagi tentang bangsa Slameier itu. Betul aneh dunia ini, kan ?
Kiranya lebih beruntung Pribumi Jawa. Ada beberapa orang yang telah angkat bicara
untuk kepentingan mereka. Ya, sekali pun suara mereka redam tenggelam dalam
riuhrendah birokrasi. Malah kita belum lagi mencoba bicara dan menyoroti soal ini.
Marilah pada kesempatan lain kita coba. Setuju, kan ?
Nah, Minke, sahabat, jangan biarkan aku menunggu suratmu terlalu lama. Miriam de
la Croix.
Surat Sarah lain lagi. Tulisnya:
Kalau Juffrouw Magda Peters tak tahu tentang teori assosia-si kami sepenuhnya
dapat mengerti. Miriam dan aku pun sebenarnya tak tahu apa-apa kecuali yang
pernah kami katakan itu saja. Lebih tidak.
Telah aku sampaikan pada Papa, kau tidak mengetahui sesuatu tentangnya. Ia hanya
tertawa bahak, bilang begini: Kau pun takkan tahu lebih daripada itu. Kalian
memang keterlaluan sebagai senior.
Setelah suratmu datang aku sampaikan pada Papa bahwa Juffrouw Magda Peters
ternyata tidak tahu tentang itu. Guru-gurumu yang lain tidak memberikan
keterangan. Barangkali mereka segan, mengendalikan diri, atau memang tidak tahu.
Lantas apa kata Papa ? Begini: Tidak setiap orang punya perhatian pada masalah
kolonial, sebagaimana tidak setiap orang punya perhatian pada ilmu masak. Lagi
pula dalam masa hidup kita sekarang seluruh Hindia percaya pada keagungan,
kewibawaan, kebijaksanaan, keadilan, dan kemurahan Gubermen. Tak ada pengemis
mati kelaparan di jalanan. Tak ada yang mati dianiaya di jalanan. Dia pun dilindungi
hukum Gubermen. Tak ada orang asing mati dikeroyok, hanya karena dia orang
asing. Si asing juga dilindungi hukum Gubermen.
Ada sesuatu yang rasanya patut kau ketahui. Papa telah merasani kau: Anak seperti
dia patutnya meneruskan di Nederland melanjutkan ke universitas. Barangkali, Papa
merasani kau, dia baik kuliah pada fakultas hukum. Kalau toh gagal kuliahnya kelak
paling tidak dia akan mengerti hukum menurut makna E-ropa.
Bagaimana pendapatmu sendiri ? Mungkin kiranya Pribumi bisa jadi sarjana dalam
keilmuan Eropa ? Terus-terang, Papa sebenarnya meragukan. Kata Papa - dan kau
jangan gusar seperti dulu — kejiwaan Pribumi belum berkembang setinggi Eropa;
terlalu mudah hilang pertimbangannya yang baik terdesak oleh rangsang berahi. Aku

! 174!
sendiri tak tahu benar demikian atau tidak. Kenyataan memang demikian, terutama
yang terlihat pada kalangan atas bangsamu. Kau sendiri sepatutnya ikut memikirkan.
Bagaimana pendapatmu ?
Selain itu ada satu hal yang juga patut kusampaikan: salah seorang anak percobaan
Dokter Snouck Hurgronje itu, bernama Achmad, anak Banten. Aku sampaikan ini --
siapa tahu kelak dapat berjumpa, berkenalan dan berkorespondensi.......
"Mengapa mengeluh V tiba-tiba Annelies bertanya.
"Terbakar."
"Apa yang terbakar T*
"Kepala. Kepalaku sendiri. Ada saja yang datang. Tak dibiarkan diri agak tenang
barang sebentar dengan pekerjaan yang sudah banyak. Bacalah!" dan kusodorkan
surat-surat itu.
"Bukan untukku. Mas."
"Kau perlu tahu."
Annelies membacainya, lambat dan hati-hati.
"Nampaknya banyak yang sayang padamu. Sayang aku tak banyak mengerti."
"Bukan sayang. Ann. Nampaknya semua ingin jadi guruku."
"Kan baik mendapatkan guru ?"
Kau pula, Ann! mendapatkan guru baik saja.Tak ada pengetahuan percuma. Hanya
rasanya mereka nampak bernafsu melihat aku jadi orang penting karena jasa
mereka. Apa sendiri mereka tak mampu lakukan untuk diri sendiri ?
"Guru membosankan cukup menganiaya," kataku.
"Kalau begitu tak perlu kau jawab."
"Itu pun tidak benar, Ann. Telah kubaca surat mereka. Mereka menulis untuk
mendapatkan jawaban."
Dan Sarah sudah begitu keterlaluan. Tanpa malu dia mulai bicara tentang soal
berahi. Minta jawaban pula. Apa dia juga menghendaki aku menelanjangi diri sendiri
? Di Eropa pun hal itu bukan soal umum. Pribadi, tertutup rapat. Betapa keterlaluan
gadis-gadis de la Croix ini.
Annelies meneruskan bacaannya. Nampak ia mulai tak tenang setelah mengetahui
surat-surat itu dari dua orang gadis bersaudari. Ia letakkan kertas-kertas itu di meja,
melipatnya baik-baik dan memasukkan ke dalam sampul semula. Ia tak memberi
komentar lagi.
Agak lama kami tak bicara.
"Ann," tegurku, "Aku lihat kau sudah mulai sehat."
"Terimakasih atas rawatanmu, Mas Dokter."
"Kalau begitu mulai besok, Ann, kau tak perlu teman lagi dalam kamarmu."

! 175!

Anda mungkin juga menyukai